IDENTIFIKASI SENYAWA INHIBITOR α-GLUKOSIDASE
DAN ANTIOKSIDAN DARI KUMIS KUCING (Orthosiphon
stamineus Benth) DENGAN PENDEKATAN METABOLOMIK
BERBASIS FTIR DAN NMR
JULIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Inhibitor α-
Glukosidase dan Senyawa Antioksidan dari Kumis Kucing (Orthosiphon
Stamineus Benth) dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR dan NMR adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Juliani
F251130081
RINGKASAN
JULIANI. Identifikasi Inhibitor α-Glukosidase dan Senyawa Antioksidan dari Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth) dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR dan NMR. Dibimbing oleh NANCY DEWI YULIANA dan SLAMET BUDIJANTO.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase dan senyawa antioksidan melalui identifikasi gugus fungsi sebagai penanda senyawa aktif menggunakan pendekatan metabolomik berbasis spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR) dan Nuclear Magnetic
Resonance (1H NMR). Pada penelitian ini, metode metabolomik digunakan untuk mengidentifikasi senyawa aktif dengan aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dan antioksidan pada ekstrak dan fraksi tanaman kumis kucing (OS). Ekstrak dan fraksi OS menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 berkisar 0,15±0,03-0,47±0,09 mg/mL dan aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 berkisar 7,41±0,02-19,35±0,09 µg/mL. Fraksi butanol adalah fraksi dengan aktivitas penghambatan α-glukosidase tertinggi dan aktivitas antioksidan menengah dengan nilai IC50 berturut-turut 0,15±0,03 mg/mL dan 10,84±0,54 µg/mL.
Profil kimia ekstrak metanolik, fraksi heksana, kloroform, butanol, dan air OS dianalisis dengan FTIR dan 1H NMR. Korelasi antara data aktivitas biologis dan komposisi kimia dianalisis dengan orthogonal projections to latent structures
(OPLS). Berdasarkan nilai VIP (variable influence on projection) dan nilai koefisien dari model OPLS yang dihasilkan dari data FTIR, beberapa gugus fungsi seperti, karbonil (1708 cm-1), metoksi (2924, 2854 cm-1), hidroksil dan C-O (1000-1300 cm-1) diketahui berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase sedangkan gugus fungsi hidroksil (>3000 cm-1) dan C=C aromatik (1500-1600 cm-1) diketahui berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan serta ditemukan dalam jumlah besar pada fraksi aktif. Data yang diperoleh dibandingkan dengan spektrum IR senyawa yang telah teridentifikasi pada OS. Metoksi flavonoid (sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) diduga merupakan senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase sedangkan fenolik (asam rosmarinat), flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) diduga sebagai senyawa antioksidan.
Pada model OPLS yang dihasilkan dari data NMR, identifikasi dilakukan secara semi-otomatis menggunakan aplikasi MetaboHunter. Oleh karena keterbatasan pangkalan data, hanya asam rosmarinat diidentifikasi sebagai senyawa inhibitor α-glukosidase dan antioksidan. Identifikasi kemudian dilanjutkan secara manual dengan membandingkan hasil analisis OPLS data NMR dengan senyawa yang telah diidentifikasi pada OS, δ 0.94-1.82 dan δ 6.62-8.26
berturut-turut merupakan karakteristik pergeseran kimia senyawa diterpena/triterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton/asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) dan fenolik/flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’ tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon, dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon) yang berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase sedangkan δ 2.82-4.41 dan δ 6.22-7.02 berturut-turut merupakan karakteristik pergeseran kimia diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) dan fenolik atau flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’ tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon, dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon) yang berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan. Dengan demikian data analisis metabolomik berbasis 1H NMR sejalan dengan hasil analisis metabolomik berbasis FTIR.
Kata kunci: Antioksidan, FTIR, metabolomik, 1H NMR, Orthosiphon stamineus, dan inhibitor α-glukosidase
SUMMARY
JULIANI. Identification of α-Glucosidase Inhibitor and Antioxidant Compounds from Orthosiphon stamineus Benth Using FTIR and NMR Based Metabolomics. Supervised by NANCY DEWI YULIANA and SLAMET BUDIJANTO.
This study aimed at identify α-glucosidase inhibitor and antioxidant compounds through identification of functional groups as the marker of active compounds using FTIR and NMR based metabolomics approach. In this research, metabolomics method was used to identify active compounds with α-glucosidase inhibitory and antioxidant activity in aerial parts of Orthosiphon stamineus (OS) extract and its fractions. OS extracts and fractions showed inhibitory activity against α-glucosidase enzymes with IC50 value 0.15±0.03-0.47±0.09 mg/mL and antioxidant activity with IC50 value 7.41±0.02-19.35±0.09 µg/mL. Butanol fraction was the fraction with the highest α-glucosidase inhibitory activity and moderate antioxidant activity with IC50 value between 0.15±0.03 mg/mL and 10.84±0.54 µg/mL, respectively.
Chemical profile of OS methanolic extracts and hexane, chloroform, butanol, and water fractions were analyzed using infrared and 1H NMR spectroscopy. The correlation between the biological activity and chemical composition data were analyzed using Orthogonal Projections to Latent Structures (OPLS). Based on the VIP (variable influence on projection) and the coefficient value of FTIR based OPLS model, several functional groups such as carbonyl (1708 cm-1), methoxy (2924, 2854 cm-1) and hidroxyl dan C-O (1000-1300 cm-1) groups were found positively correlate with α-glucosidase inhibitory activity while hydroxyl (>3000 cm-1) and aromatic ring or phenyl (1500-1600 cm-1) groups were found positively correlate with antioxidant activity and they were abundant in the active fractions. The data was compared with IR spectral of compounds previously identified in OS. It was suggested that methoxy flavonoid (sinensitin and 5,6,7,3’-tetramethoxy-4’-hydroxy-8-C-prenylflavone), diterpenes (orthosiphols, ortho-arisins, neoorthosiphols, staminols, and staminolactones) and triterpenes (ursolic acid, oleanolic acid, betulinic acid, hydroxybetulinic acid, maslinic acid, α-amyrin and β-amyrin) might be the responsible compounds for the α-glucosidase inhibitory activity while phenolic (rosmarinic acid), flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hydroxy-6,7,3’,4’-tetramethoxyflavone, salvigenin, 6-hydroxy-5,7,3’-trimethoxyflavone and 5,6,7,3’-tetramethoxy-4’-hydroxy-8-C-prenyl-flavone), diterpenes (orthosiphols, orthoarisins, neoorthosiphols, staminols, and staminolactones) and triterpenes (ursolic acid, oleanolic acid, betulinic acid, hydroxybetulinic acid, maslinic acid, α-amyrin and β-amyrin) might be the responsible compounds for the antioxidant activity.
From NMR based OPLS analysis, the identification is done semi-automatically using MetaboHunter application. Because of the limitations of the database, rosmarinic acid is the only compound identified as a α-glucosidase inhibitor and antioxidant. Therefore, identification resumed manually by comparing the results of the OPLS analysis of NMR data with compounds that have been identified in OS, δ 0.94-1.82 and 6.62-8.26 respectively are chemical shift characteristic of diterpenes/triterpenes (orthosiphols, orthoarisins, neoorthosiphols, staminols, and staminolactones/ursolic acid, oleanolic acid,
betulinic acid, hydroxybetulinic acid, maslinic acid, α-amyrin and β-amyrin) and phenolic/flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hydroxy-6,7,3’,4’-tetramethoxy-flavone, salvigenin, 6-hydroxy-5,7,3’-trimethoxyflavone and 5,6,7,3’-tetramethoxy-4’-hydroxy-8-C-prenylflavone) respectively compounds known to correlate with the activity of the enzyme α-glucosidase inhibition while δ 2.82-4.41 and δ 6.22-7.02 respectively are characteristic δ of diterpenes (orthosiphols, orthoarisins, neoorthosiphols, staminols, and staminolactones), triterpenes (ursolic acid, oleanolic acid, betulinic acid, hydroxybetulinic acid, maslinic acid, α-amyrin and β-amyrin), phenolic or flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hydroxy-6,7,3’,4’-tetramethoxyflavone, salvigenin, 6-hydroxy-5,7,3’-trimethoxyflavone and 5,6,7,3’ tetramethoxy-4’-hydroxy-8-C-prenylflavone) known to correlate with antioxidant activity. Thus 1H NMR-based metabolomics is used to confirm the predicted results by FTIR-based metabolomics. In addition, metabolomics also provide information on the functional group chemical structures which correlate positively or negatively with bioactivity tested.
Keywords: Antioxidants, FTIR, metabolomics, NMR, orthosiphon stamineus, and α-glucosidase inhibitors
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
IDENTIFIKASI INHIBITOR α-GLUKOSIDASE DAN
SENYAWA ANTIOKSIDAN DARI KUMIS KUCING
(Orthosiphon stamineus Benth) DENGAN PENDEKATAN
METABOLOMIK BERBASIS FTIR DAN NMR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
JULIANI
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sukarno, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 hingga Februari 2016 ini ialah Identifikasi Inhibitor α-Glukosidase dan Senyawa Antioksidan dari Kumis Kucing (Orthosiphon Stamineus Benth) dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR dan NMR.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nancy Dewi Yuliana STP MSc dan Bapak Prof Dr Ir Slamet Budijanto MAgr selaku tim komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bantuan, motivasi dan saran selama proses penyusunan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Sukarno, MSc sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tesis. Di samping itu, ucapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada Ibunda Ramlah Abdullah, Ayahanda Ismail Yahya, Kakanda Dahniar, Adinda Nova Andriani dan beserta seluruh keluarga besar.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Pascasarjana IPB Dr Ir Dahrul Syah MSc dan Kepala Program Studi Ilmu Pangan Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum dan mantan Kepala Program Studi Ilmu Pangan Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc yang telah memberikan izin untuk penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada para staf peneliti dan teknisi Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB Teh Ella, Teh Ina, Teh Wiwi, dan Mas Nio
yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar Ilmu Pangan angkatan 2013, staff Program Studi Ilmu Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu terutama Mb May dan Mb Fatimah, keluarga Wisma Gardenia dan Az-Zukhruf yang selalu memberikan support selama kuliah, penelitian hingga penyelesaian tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi program magister dengan beasiswa BPPDN 2013.
Ucapan terima kasih penulis kepada Riset Inovatif Produktif (RISPRO) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) bekerja sama dengan PT Soho Industri Farmasi yang telah membiayai sebagian dari penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 30 Agustus 2016
Juliani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Hipotesis 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3 Kumis Kucing 3 Komponen Bioaktif Antidiabetes dari Kumis Kucing 4 Inhibitor α-Glukosidase 5 Antioksidan 6 Metabolomik 7 Teknik Spektroskopi pada Penelitian Berbasis Metabolomik 8 METODOLOGI PENELITIAN 12 Waktu dan Tempat Penelitian 12 Alat dan Bahan 12 Metode 12 Pra-perlakuan 12 Ekstraksi dan Fraksinasi Kumis Kucing 14
Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α-glukosidase 14 Uji Aktivitas Antioksidan dengan DPPH 15 Uji Profil Kimia Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing dengan FTIR 15 Uji Profil Kimia Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing dengan 1H NMR 15 Analisis Data 16
HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing 17 Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing 17
Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing 18 Hubungan Aktivitas Antioksidan dengan Penghambatan Enzim α-Glukosidase 19
Profil Kimia Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase
Berbasis FTIR 19
Penanda Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis FTIR 21 Profil Kimia Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase
Berbasis NMR 24
Penanda Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis NMR 25 Profil Kimia Senyawa Antioksidan Berbasis FTIR 32
Penanda Senyawa Antioksidan Berbasis FTIR 33 Profil Kimia Senyawa Antioksidan Berbasis NMR 35 Penanda Senyawa Antioksidan Berbasis NMR 36
SIMPULAN DAN SARAN 39
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 49
RIWAYAT HIDUP 67
DAFTAR TABEL
1 Penelitian aktivitas antidiabetes dari tanaman kumis kucing 10 2 Perbandingan aktivitas antioksidan oleh ekstrak dan fraksi kumis kucing
yang diperoleh pada penelitian ini dengan literatur 19 3 Deretan puncak rosmarinat dari pangkalan data MetaboHunter terhadap
aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase 26 4 Deretan puncak flavonoid diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase 26 5 Deretan puncak diterpena diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase 28
6 Deretan puncak triterpena diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase 29 7 Deretan puncak rosmarinat dari pangkalan data MetaboHunter terhadap
antioksidan 37 8 Deretan puncak flavonoid diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan 37 9 Deretan puncak diterpena diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan 38 10 Deretan puncak triterpena diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan 39
DAFTAR GAMBAR
1 Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) 3
2 Mekanisme antidiabetes dari tanaman 5 3 Skema kerja penelitian 14 4 Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh ekstrak dan fraksi
kumis kucing. 18 5 OPLS score plot aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh ekstrak
dan fraksi kumis kucing berbasis FTIR 20 6 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
FTIR 20 7 Spektrum FTIR fraksi kloroform kumis kucing 22
8 OPLS score plot aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh ekstrak
dan fraksi kumis kucing berbasis NMR 24 9 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
NMR 25 10 Spektrum 1H NMR fraksi kloroform kumis kucing 27 11 Spektrum FTIR fraksi butanol kumis kucing 30 12 Spektrum 1H NMR fraksi aktif butanol kumis kucing 30
13 Sinyal δ 3.345 pada Y-related coefficient diduga sebagai pengotor 31 14 OPLS score plot antioksidan ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
FTIR 32 15 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
FTIR 33
16 OPLS score plot antioksidan ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
NMR 35 17 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
NMR 36
LAMPIRAN
1 Hasil analisis korelasi antara aktivitas antioksidan dengan aktivitas
penghambatan enzim α-glukosidase 50 2 Karakteristik IR senyawa aktif terhadap aktivitas penghambatan enzim α-
glukosidase berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP 50 3 Pergeseran kimia (δ) senyawa aktif terhadap aktivitas penghambatan
enzim α-glukosidase berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP 53 4 Karakteristik IR senyawa aktif terhadap aktivitas antioksidan berdasarkan
nilai Y-related coefficient dan VIP 62 5 Pergeseran kimia (δ) senyawa aktif terhadap aktivitas antioksidan
berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP 64
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diabetes merupakan penyakit akibat kesalahan metabolisme glukosa yang
disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin, resistensi terhadap insulin maupun keduanya. Indonesia menempati posisi ke tujuh negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia dengan jumlah penderita diabetes sekitar 10 juta jiwa (International Diabetes Federation 2015).
Diabetes dikelompokkan menjadi beberapa tipe. Diabetes tipe 1 terjadi karena akibat autoimun atau β-cell pankreas rusak sehingga ketergantungan pada insulin. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh resistensi terhadap insulin dan ditandai dengan keadaan hipergikemia dan hiperinsulinemia (tingginya kadar insulin di dalam darah). Diabetes tipe 3 diasosiasikan dengan penyakit alzheimer yang ditandai dengan resisten insulin kronis dan defisiensi insulin pada otak. Selain itu, terdapat tipe diabetes yang diasosiasikan dengan kehamilan (diabetes gestasional) yang ditandai oleh defisiensi insulin dan hiperglikemia (de la Monte dan Wands
2008). Dari banyaknya kasus diabetes, 87-97 persen penderita diabetes termasuk kelompok diabetes tipe 2 (International Diabetes Federation 2015).
Kadar gula darah normal puasa berkisar 70-105 mg/dl (Warade et al. 2014) sedangkan kadar gula darah puasa yang mencapai 126 mg/dl dikategorikan dalam keadaan hiperglikemia (Umpierrez et al. 2002). Keadaan hiperglikemia dapat menginduksi kerusakan jaringan dan produksi radikal bebas berlebih. Jika jumlah antioksidan di dalam tubuh tidak mencukupi, tubuh akan mengalami stres oksidatif yang merupakan awal terjadinya komplikasi diabetes (Rolo dan Palmeira
2006). Retinopati, nefropati, neuropati, jantung koroner, hipertensi, periferal vaskular merupakan penyakit yang terjadi akibat komplikasi diabetes (Amos et al. 1997).
Akarbosa, metformin dan voglibose merupakan obat-obatan yang selama ini digunakan untuk mengontrol gula darah melalui penghambatan kerja enzim pencernaan pada penderita diabetes tipe 2. Penggunaan obat-obatan antidiabetes seperti akarbosa, metformin, atau voglibose memiliki efek samping seperti gangguan gastrointestinal (diare dan flatulensi), gangguan hati, pusing, mual dan muntah (van de Laar 2008; Dabhi et al. 2013) sehingga diperlukan obat alternatif yang lebih aman misalnya melalui pemanfaatan komponen bioaktif dari bahan alami.
Kumis kucing merupakan tanaman obat Indonesia yang secara tradisional digunakan untuk mengobati diabetes. Kemampuan mengontrol gula darah (antihiperglikemik) oleh ekstrak kumis kucing salah satunya dengan cara menghambat aktivitas enzim α-glukosidase (Mohamed et al. 2011; Mohamed et
al. 2012). Selain antihiperglikemik, tanaman kumis kucing kaya akan senyawa antioksidan sehingga kumis kucing berpotensi pula untuk menurunkan resiko komplikasi diabetes akibat stres oksidatif (Akowuah et al. 2005; Baynes dan Thorpe 1999). Sejumlah penelitian melaporkan sifat antidiabetes kumis kucing akan tetapi penelitian terhadap senyawa aktif yang yang bertanggung jawab atas aktivitas antidiabetes dari kumis kucing masih sangat terbatas. Kumis kucing mengandung berbagai senyawa aktif dari kelompok monoterpena, diterpena,
2
triterpena, saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan asam organik (Adnyana et al.
2013). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mempercepat proses
identifikasi komponen aktif dari ekstrak tanaman adalah metoda metabolomik (Yuliana et al. 2011). Metabolomik merupakan analisis metabolit baik primer maupun sekunder secara menyeluruh di dalam suatu tanaman baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Verpoorte et al. 2007). Pada metode metabolomik ini, ekstrak tanaman dibagi dua; untuk uji bioaktifitas dan untuk uji profil kimia. Hasil uji kemudian dianalisis dengan teknik analisis multivariat data (MVDA), misalnya Orthogonal Projections to Latent Structures (OPLS). OPLS dipilih pada penelitian ini karena teknik ini secara efektif mampu memisahkan variasi yang berkorelasi dengan aktivitas dengan variasi yang tidak berkorelasi dengan aktifitas bilogis sehingga memudahkan intepretasi data (Worley dan Powers 2013).
Data profil metabolit dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai teknik kromatografi maupun spektroskopi. NMR memiliki kelebihan antara lain preparasi sampel mudah dan cepat, waktu pengukuran yang singkat, serta memungkinkannya elusidasi senyawa aktif, bahkan untuk senyawa baru menggunakan 2D NMR. Selain itu reprodusibilitas tinggi yang merupakan syarat penting dalam memililih instrumen dalam metabolomik. Hal ini membuat NMR menjadi instrument yang paling menunjang untuk digunakan pada saat ini (Yuliana et al. 2011; Verpoorte et al. 2008). Analisis menggunakan NMR relatif mahal oleh sebab itu sebagai alternatif teknik Fourier transform infrared (FTIR) merupakan salah satu teknik spektroskopi yang juga berpotensi digunakan untuk memperoleh data profil kimia pada penelitian ini. Metabolomik berbasis FTIR digunakan untuk mengevaluasi perubahan metabolit buah pada berbagai musim dan waktu panen serta mengevaluasi komposisi kimia secara kuantitatif untuk membedakan enam kultivar beri ((Hussain et al. 2009, Yusof et al. 2015; Pop et
al. 2013). Teknik ini memiliki keunggulan antara lain persiapan sampel yang cepat dan mudah, robust dan non-destruktif (Pop et al. 2014). Metabolomik berbasis NMR kemudian digunakan juga untuk mengkonfirmasi data dari OPLS berbasis FTIR.
Rumusan Masalah
Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) merupakan tanaman yang secara tradisional digunakan untuk mencegah maupun mengobati diabetes. Namun demikian penelitian terhadap senyawa-senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antidiabetes masih sangat terbatas. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi senyawa aktif yang memiliki aktivitas penghambatan α-glukosidase dan antioksidan dari ekstrak dan fraksi kumis kucing menggunakan metabolomik berbasis FTIR dan NMR.
Hipotesis
Senyawa aktif yang dapat menghambat aktivitas α-glukosidase dan senyawa aktif antioksidan dapat teridentifikasi baik dengan metabolomik berbasis NMR maupun FTIR dari kstrak dan fraksi tanaman kumis kucing.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa aktif inhibitor α-glukosidase dan senyawa antioksidan dengan pendekatan metabolomik berbasis NMR dan mengidentifikasi gugus fungsional yang merupakan penanda dari senyawa aktif inhibitor α-glukosidase dan senyawa antioksidan dengan menggunakan pendekatan metabolomik berbasis FTIR.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi ekstrak atau fraksi OS yang aktif dalam menghambat
aktivitas α-glukosidase dan senyawa antioksidan 2. Senyawa aktif yang diketahui berperan sebagai inhibitor α-glukosidase dan
antioksidan pada ekstrak tersebut dapat digunakan sebagai senyawa marker pada ekstrak terstandar (standardized extracts).
3. Teridentifikasinya senyawa aktif dengan pendekatan metabolomik dapat membantu mempercepat proses isolasi senyawa aktif bila diperlukan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kumis Kucing
Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth) adalah tanaman yang berasal dari wilayah Afrika tropis, kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia. Berdasarkan morfologi dan anatominya kumis kucing didefinisikan sebagai tanaman semak dengan akar merambat, berdaun sederhana berpasangan berlawanan yang teratur. Batang dengan panjang 28 cm pada umur 12 hari dan memiliki benang sari tipis panjang ungu pucat pada bunga (Almatar et al. 2013).
Terdapat dua jenis kumis kucing yang umumnya tumbuh di Indonesia.
Kedua tanaman ini sangat mirip, perbedaan yang menonjol hanya pada warna bunga sehingga sulit untuk dibedakan pada saat belum bunga. Menurut Keng dan
Gambar 1 Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth)
4
Siong (2006) dua varietas kumis kucing tersebut memiliki perbedaan pada bentuk daun dan bunga. Daun kumis kucing bunga ungu berbentuk bulat telur sedangkan untuk kumis kucing bunga putih berbentuk jajar genjang. Karakter bunga berbeda pada warna daun mahkota (corolla) dan kumpulan mahkota (calyx). Pada bunga ungu terdapat bintik ungu pada corolla dan calyx berwarna merah tua sedangkan pada bunga putih corolla putih tanpa bintik dan calyx berwarna hijau.
Kumis kucing tumbuh baik pada dataran rendah dan tinggi. Ketinggian optimum pertumbuhan tanaman kumis kumis kucing adalah 500-1.200 m dari permukaan laut dengan curah hujan 3.000 mm/tahun. Kumis kucing baik ditanam di tempat terbuka dengan sinar matahari penuh dan dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Panen tanaman kumis kucing dilakukan ketika tanaman telah berumur 3 bulan dan selanjutnya berselang 4–5 bulan. Produktifitas tanaman kumis kucing mencapai 4–6 ton/ha/tahun (Kementerian Negara Riset dan Teknologi 2014). Klasifikasi dari tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Magnoliophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Lamiales Famili : Lamiaceae Genus : Orthosiphon Spesies : Orthosiphon stamineus Benth.
Komponen Bioaktif Antidiabetes dari Kumis Kucing
Pengobatan dengan metode kimia memiliki efek samping sehingga diperlukan penelitian metode pengobatan yang lebih sesuai (Abdulazeez 2015). Obat tradisional yang merupakan obat-obatan herbal telah digunakan dan akan terus digunakan dalam kapasitas tertentu di setiap negara di seluruh dunia. Sekitar 70-95 persen dari populasi disebagian besar negara berkembang bergantung pada obat-obat tradisional untuk perawatan kesehatan utama. Pada tahun 2008 pasar global mencatat sebesar US $ 83 miliar per tahun diperoleh dari obat tradisional dan terus meningkat secara eksponensial (Robinson dan Zhang 2011).
Penelitian terhadap tanaman yang memiliki aktivitas antidiabetes telah banyak dilaporkan (Rao et al. 2014; Rao et al. 2012; Luo et al. 2008). Mekanisme antidiabetes dari tanaman (Gambar 2) umumnya terjadi dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan, meningkatkan sekresi insulin, menghambat produksi glukosa dan menghambat penyerapan glukosa di usus (Hui et al. 2009). Studi antidiabetes in vivo kumis kucing (Tabel 1) menunjukkan penurunan glukosa plasma oleh ekstrak air tanaman (aerial part) dan menurunkan level glukosa darah oleh ekstrak ekstrak EtOH akar kumis kucing. Ekstrak kumis kucing tidak berpengaruh terhadap level insulin darah (Rao et al. 2014; Mohamed et al. 2011; Mohamed et al. 2013). Hasil berbeda dilaporkan Sriplang et al. (2007) yang menyatakan ekstrak kumis kucing berpotensi meningkatkan sekresi insulin. Aktivitas antidiabetes kumis kucing juga diamati melalui penurunan glukosa-6-fosfatase dan peningkatan glukosa-6-fosfat dehidrogenase dan level glikogen (Rao et al. 2014).
5
Gambar 2 Mekanisme antidiabetes dari tanaman Studi in vitro menunjukkan peningkatan asupan glukosa oleh otot
diafragma tikus dan penurunan penyerapan glukosa di jejunum oleh fraksi kloroform kumis kucing (Mohamed et al. 2013). Menurunnya penyerapan glukosa dapat diakibatkan oleh penghambatan aktivitas enzim α-amilase dan α-glukosidase (Mohamed et al. 2012). Studi in vivo terhadap aktivitas penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase mengkonfirmasi mekanisme ini sebagai salah satu mekanisme aktivitas antidiabetes dari kumis kucing (Mohamed et al. 2015).
Ekstrak dan fraksi aktif kumis kucing dilaporkan mengandung senyawa fenolik, terpenoid dan flavonoid (Sriplang et al. 2007; Mohamed et al. 2011). Senyawa metoksi flavonoid seperti 3’hidroksi-5,6,7,4’tetrametoksiflavon, sinensitin dan eupatorin merupakan komposisi utama fraksi aktif kloroform. Sinensitin merupakan satu-satunya senyawa pada kumis kucing yang telah diidentifikasi memiliki aktifitas antidiabetes dengan menghambat aktivitas enzim α-amilase dan α-glukosidase (Mohamed et al. 2012).
Inhibitor α-Glukosidase
Pati setelah konsumsi oral dicerna menjadi oligosakarida oleh α-amilase dalam air liur dan pankreas, hingga mencapai usus kecil. Disakarida seperti maltose dengan ikatan α-1,4-glikosidik, isomaltose dengan α-1,6- ikatan glikosidik, dan sukrosa dengan ikatan alpha-1,2-glikosidik dicerna menjadi monosakarida oleh α-glukosidase yang terletak pada membran sikat pembatas usus kecil (Nakamura et al. 2012). Beberapa penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa penyakit diabetes dikontrol dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase. Beberapa senyawa fenolik dari kelompok flavonoid, terpen, saponin, dan tanin diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase (Phan et al. 2013; Uddin et al. 2012; Luo et al. 2008; Xiou et
al. 2015) Baohuosida I yang diisolasi dari ekstrak air daun Epimedium brevicornum
menunjukkan aktivitas penghambatan yang kuat terhadap α-glukosidase yang
6
diisolasi dari khamir (IC50 28.9 mmol/L). Dari kinetika reaksi enzim diketahui bahwa penghambatan oleh senyawa ini memiliki karakteristik tipe campuran (reaksi berada diantara kompetitif dan kompetitif) dengan demikian baohuosida I dapat berikatan dengan α-glukosidase bebas maupun glukosidase yang membentuk kompleks dengan substrat. Dari kinetika inhibisi juga diketahui bahwa nilai K1 (12.47 µmol/L) lebih rendah dari K2 (31.7 µmol/L) yang menunjukkan bahwa Baohuosida I lebih mudah berikatan dengan enzim bebas dibandingkan dengan kompleks enzim-substrat dimana pada kondisi substrat melimpah Baohuosida I akan cenderung membentuk berikatan dengan kompleks enzim-substrat. Dari strukturnya, baohuosida I memiliki cincin C7-OH sedangkan icariin yang merupakan senyawa flavonol dari tanaman yang sama menunjukkan aktivitas lemah dengan struktur C40-OH (Phan et al. 2013). Asam pistagremik (PA) dari tanaman Pistacia integerrima Stewart memiliki aktivitas kuat terhadap α-glukosidase dari khamir (IC50 89.12 μM), intestinal tikus (IC50 62.47 μM). Studi docking menunjukkan penghambatan kemungkinan terjadi melalui ikatan hidrogen antara PA dengan residu sisi aktif katalitik enzim (Asp60, Arg69 dan Asp70) (Uddin et al. 2012).
7 dari 12 senyawa triterpenoid saponin merupakan senyawa triterpenoid saponin yang pertama kali berhasil diisolasi dan dieludasi dari akar Gypsophila
oldhamiana. Dari 3 kelompok triterpenoid saponin (3-O-monoglukosida, 28-O-monoglukosida dan 3, 28-O-bidesmosida) golongan 28-O-monoglukosida merupakan kelompok inhibitor kuat terhadap α-glukosidase dengan IC50 berkisar 15.2 -78.5 µM. Salah satu senyawa dari kelompok 28-O-monoglukosida yaitu gipsogenin 28-O-α-D-galaktopiranosil-(1→6)-β-D-glukopiranosil-(1→6)-[β-D-glukopiranosil-(1→3)]-β-D-glukopiranosil ester memiliki aktivitas penghambatan terkuat (IC50 15.2 µM) dibandingkan dengan akarbosa (IC50 388 µM). Senyawa tersebut merupakan monosakarida α anomerik α-galaktosa sehingga strukturnya mirip dengan akarbosa yang memiliki monosakarida α anomerik α-glukosa. Dari hubungan struktur senyawa dengan aktivitas diketahui posisi ikatan gula dengan aglikon menentukan tingkat penghambatan (Luo et al. 2008).
Penghambatan α-glukosidase oleh tannin jugatelah dilaporkan. Asam tanat merupakan salah satu tannin spesifik komersil penghambat α-glukosidase kuat (IC50 = 0.44 μg/mL), lebih kuat dibanding obat anti α-glukosidase komersil akarbosa (IC50 > 0.60 μg/mL). Asam tanat bekerja dengan membentuk kompleks dengan enzim. Reaksi penghambatan terjadi dengan melibatkan interaksi hidrofobik dan elektrostatik antara asam tanat dengan enzim (Xiou et al. 2015).
Antioksidan
Keadaan hiperglikemia merupakan gejala diabetes yang dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas reaktif. Hipergikemia secara langsung meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxigen Species). Glukosa mengalami autooksidasi menghasilkan radikal •OH. Glukosa juga dapat bereaksi dengan protein dalam reaksi non enzimatik menghasilkan produk AGE (advanced glycation end products) dan ROS dapat dihasilkan dari berbagai tahap pada proses ini. Selain itu, metabolisme glukosa melalui jalur poliol (sorbitol) menghasilkan produksi •O2-. Kondisi stres oksidatif yang disebabkan oleh ketidaksetimbangan antara antioksidan dengan radikal bebas menyebabkan gangguan fungsi vaskular,
7
kerusakan protein selular, membran lipid, dan asam nukleat (Johansen et al. 2005). Stres oksidatif memperparah diabetes melalui dua mekanisme yaitu resistensi insulin yang terjadi akibat kerusakan pemberi sinyal insulin dan menurunnya sekresi insulin akibat kerusakan sel beta pankreas (Lazo-de-la-Vega-Monroy and Fernández-Mejía 2013).
Antioksidan pada tanaman di dalam tubuh dapat berfungsi sebagai penghambat dan menurunkan stress oksidatif dengan menjadi pemburu radikal dan mengubahnya menjadi senyawa yang lebih stabil. Stres oksidatif pada tikus diabetes diinduksi streptozotocin (STZ) dapat diamati dari peningkatan aktivitas peroksidasi lipid (LPO) dan penurunan aktivitas enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPx) di hati. Ekstrak metanolik dari Rhinacanthus nasutus (R. nasutus) dapat meringankan stres oksidatif dengan menurunkan level LPO dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan (Rao et al. 2012).
Beragam jenis antioksidan alami membuat senyawa antioksidan sulit untuk dipisahkan, dideteksi dan dikuantifikasi dari kompleks makanan maupun matriks biologis. Namun demikian manfaat menyehatkan senyawa antioksidan dapat diketahui dari kemampuan antioksidan. Metode pengukuran antioksidan dibagi menjadi dua yaitu metode transfer atom hidrogen (HAT assay) yang meliputi Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC), 2.2’-azobis(2-
amidinopropane) hydrochloride (AAPH), dan Total peroxyl radical-Trapping
Antioxidant Parameter (TRAP). Metode transfer elektron (ET assay) meliputi Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP), Cupric Reducing Antioxidant
Capacity (CUPRAC), Trolox-Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC), dan 2.2-
diphenyl-1-pycrilhidrazil (DPPH) (Apak et al. 2013). DPPH adalah radikal stabil berwarna ungu gelap. DPPH dapat bereaksi
dengan senyawa yang mampu mentransfer atom hidrogen menyebabkan warna ungu menghilang pada panjang gelombang 515 nm. DPPH terbukti sebagai metode analisis antioksidan termudah, murah, dan cepat. Reaksi reduksi senyawa radikal DPPH (Re) oleh senyawa antioksidan (AH) adalah sebagai berikut; DPPH +AH DPPH-A+A DPPH +R
DPPH-R ........ (Brand-Williams et al. 1995)
Metabolomik
Makhluk hidup menghasilkan zat kimia yang disebut metabolit. Metabolit ini terdiri dari dua jenis yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer dihasilkan untuk untuk memenuhi kebutuhan sel hidup dan umumnya sama untuk setiap makhluk hidup (protein, karbohidrat) sedangkan metabolit sekunder digunakan untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan (penyakit atau hama) dan biasanya spesies spesifik (Verpoorte et al. 2007). Metabolomik merupakan salah satu teknologi “omics” yang digunakan untuk menganalisis berbagai metabolit secara bersamaan. Herbal merupakan campuran kompleks dimana sebagian besar komponen senyawa-senyawa penyusunnya belum diketahui. Metode eksploratif komponen secara keseluruhan (holistik) dapat digunakan untuk mengeksplorasi potensi suatu suatu herbal (Pelkonen et al. 2012).
8
Menurut Yuliana et al. (2010) aplikasi metabolomik memungkinkan untuk mempelajari suatu campuran kompleks secara sistematis dengan menghubungkan hasil pengamatan yang diperoleh dengan serangkaian tes biologis. Aplikasi metabolomik menggunakan NMR yang diintegrasikan dengan metode ekstraksi komprehensif mempercepat identifikasi dua senyawa metoksi flavonoid yaitu tetrametilskutellarein dan sinensetin pada tanaman kumis kucing (Orthosiphon
stamineus Benth) yang memiliki aktivitas terhadap reseptor Adenosin A1 (Yuliana et al. 2009). Selain itu, Yuliana et al. (2013) juga menggunakan aplikasi metabolomik untuk mengidentifikasi flavonoid dari Boesenbergia rotunda Linn (Zingiberaceae) yang aktif terhadap reseptor Adenosin A1.
Javadi et al. (2015) menggunakan pendekatan metabolomik berbasis GC-MS untuk mempelajari lama waktu penyimpanan daun Cosmos caudatus terhadap profil metabolit dan aktivitas penghambatan α-glukosidase. Semakin lama penyimpanan aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh ekstrak tanaman semakin berkurang dan aktivitas terkuat diperoleh dari ekstrak tanaman segar (penyimpanan 0 jam) dengan komposisi kimia pembeda pada penyimpanan waktu singkat terdiri dari α-tokoferol, katekin, siklohexen-1-asam karboksilat, asam benzoat, mio-inositol, stigmasterol, dan likopen. Selain itu, matabomik dapat digunakan untuk memprediksi umur tanaman dengan aktivitas penghambatan terkuat. Tanaman Ipomoea aquatic memiliki aktivitas penghambatan terkuat pada umur 5-6 minggu dimana pada umur ini tanaman tersebut tinggi akan kandungan asam maleat, epikatekin, kolin dan rutin (Lawal et al. 2015).
Data metabolomik merupakan data multidimensi sehingga membutuhkan analisis data multivariat (MVD). Salah satu metode MDV yang dapat digunakan untuk mengkorelasikan data komposisi kimia suatu ekstrak dengan profil aktivitas biologisnya Orthogonal Projection to Latent Structure (OPLS) (Yuliana et al., 2011). OPLS merupakan pengembangan lebih lanjut dari metode Projection to
Latent Structure (PLS) yang menggunakan dua variabel berupa matriks X dan matriks Y. Data profil metabolit dilambangkan dengan X dan matriks data bioaktivitas dilambangkan dengan Y. Korelasi X (profil metabolit) dengan Y (bioaktivitas) pada OPLS diamati dari besaran-besaran seperti koefisien korelasi. Pembacaan dan intepretasi data metabolomik dengan OPLS dilakukan dengan memisahkan data yang berkolerasi dan tidak berkolerasi secara orthogonal (Trygg dan Wold 2002).
Teknik Spektroskopi pada Penelitian Berbasis Metabolomik
Teknik analisis kromatografi dan spektroskopi berperan penting dalam penelitian terkait senyawa aktif tanaman yang berbasis metabolomik. Dalam metabolomik dibutuhkan metode yang tidak hanya memiliki produsibilitas tinggi namun kemudahan dalam mengidentifikasi senyawa yang diukur dan kemampuannya dalam mendeteksi sebanyak mungkin metabolit dalam waktu yang singkat menjadi kriteria penting dari teknis analisis yang dipilih (Yuliana et
al. 2011; Liang et al. 2006). Beberapa teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk mendapatkan data profil kimiawi ekstrak tanaman dengan pendekatan metabolomik yaitu Nuclear Magnetic Resonance (NMR), MS (Mass
Spectroscopy) dan Fourier Transform Infrared (FTIR).
9
Diantara sejumlah teknologi yang tersedia untuk analisis metabolom MS dan NMR dianggap sebagai pendekatan primer yang paling universal untuk saat ini. Walaupun sensitifitas MS lebih tinggi dibandingkan NMR namun MS memiliki masalah pada reprodusibilitas. Pada analisis dengan MS, senyawa terlebih dahulu dionisasi sebelum diukur. Perbedaan tipe MS dengan cara ionisasi molekul berbeda, berbagai perangkat keras dan kondisi yang digunakan serta keberadaan matriks mempengaruhi efisiensi ionisasi sehingga memungkinkan diperoleh hasil yang berbeda (Verpoorte et al. 2007; Verpoorte et al. 2008).
Reprodusibilitas merupakan kriteria utama dalam pengembangan teknologi metabolomik membuat NMR menjadi pilihan utama dalam pendekatan metabolomik. NMR merupakan salah satu teknik spektroskopi yang memanfaatkan sifat magnet dari inti atom. Inti akan beresonansi ketika ditempatkan pada medan magnet yang kuat, frekuensi yang dihasilkan dalam rentang frekuensi radio dari spektrum elektromagnet. Dari perbedaan resonasi dapat diketahui struktur molekul dimana atom tersebut berada (Jacobsen 2007). Menurut Verpoorte et al. (2007) masing-masing senyawa memiliki spektrum yang sangat spesifik sehingga dapat ditentukan dengan NMR spektroskopi dengan menvariasikan pelarut dan kekuatan medan magnet yang digunakan. Selain itu, konsentrasi mutlak dari masing-masing metabolit dapat diperoleh dari analisis 1H NMR dengan menggunakan standar internal yang sesuai (Verpoorte et al. 2008).
NMR satu dimensi memiliki resolusi yang relatif rendah dan terjadinya pengelompokan sinyal ketika menganalisis campuran (Viant (2003). Metode NMR dua dimensi (2D) dapat digunakan untuk meningkatkan hasil analisis dan untuk mengelusidasi struktur senyawa baru dalam campuran (Verpoorte et al. 2007). Metode spektroskopi umumnya memberikan informasi sebagian unsur dalam suatu senyawa. Hasil spectra NMR 2D memberikan informasi setiap atom dalam suatu molekul (Verpoorte et al. 2008).
Ikatan molekuler dengan elektrik momen dipol yang dapat berubah oleh perpindahan atom akibat vibrasi alami merupakan aktif IR. Mode vibrasi tersebut yang kemudian diukur oleh spektroskopi IR (Baker et al. 2014). Keberadaan metabolit dalam sampel ditentukan berdasarkan nilai absorbansi puncak dari grup fungsional (Cozzolino 2015). FTIR terbukti cepat, murah dan merupakan teknik analisis langsung dengan keuntungan tanpa perlu persiapan sampel (Yusof et al. 2015).
Dibandingkan NMR, FTIR memiliki kelebihan diantaranya dapat digunakan untuk sampel berbagai bentuk dengan sedikit atau bahkan tanpa preparasi sampel sama sekali, lebih murah, cepat dan cepat. Akan tetapi kondisi ruangan sekeliling instrumen FTIR dapat menyebabkan perbedaan spektra yang dihasilkan, kemungkinan membutuhkan standardisasi, pengumpulan data yang banyak, dan kemampuan analisis yang baik dan tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi struktur senyawa secara spesifik (Davis dan Mauer 2010; Emwas 2010).
Tabe
l 1 P
enel
itian
akt
ivita
s ant
idia
bete
s dar
i tan
aman
kum
is k
ucin
g Je
nis E
kstra
k
Has
il Pe
ngam
atan
In
vit
ro/
In
vitr
o
Kom
posi
si K
imia
Se
nyaw
a Te
riden
ti-
fikas
i
Ekst
rak
air
dari
tana
man
(S
ripla
ng e
t a
l.
2007
)
- Pe
nuru
nan
gluk
osa
plas
ma
pada
tik
us n
orm
al d
an t
ikus
diin
duks
i ST
Z*
diam
ati p
ada
kons
entra
si e
kstra
k 1.
0 g/
kg b
b da
n ha
sil y
ang
sam
a di
pero
leh
pada
kon
sent
rasi
0.5
g/k
g bb
dib
erik
an se
tiap
hari
sela
ma
14 h
ari
- B
erpo
tens
i men
ingk
atka
n se
kres
i ins
ulin
pad
a ko
nsen
trasi
eks
trak
100
µg/m
l.
In v
ivo
-
Flav
onoi
d -
Feno
lik
-
Ekst
rak
etan
ol
dari
akar
(Rao
et
al.
201
4)
- Pe
ngam
atan
sel
ama
0.5-
12 j
am t
ikus
diin
duks
i ST
Z m
enun
jukk
an p
enur
unan
le
vel g
luko
sa g
ula
dara
h se
tela
h 2
jam
pad
a ko
nsen
trasi
eks
trak
200-
800
mg/
kg
deng
an e
fekt
ivita
s ek
stra
k pa
da k
onse
ntra
si 8
00 m
g/kg
seb
andi
ng d
enga
n gl
iben
klam
ida
(600
µg/
kg)
- Pe
nguj
ian
sela
ma
4 m
ingg
u tik
us d
iindu
ksi S
TZ m
enun
jukk
an p
enur
unan
leve
l gl
ukos
a gu
la d
arah
set
elah
sem
ingg
u pa
da k
onse
ntra
si e
kstra
k 20
0-80
0 m
g/kg
da
n ef
ektiv
itas
ekst
rak
pada
ko
nsen
trasi
40
0 m
g/kg
se
band
ing
deng
an
glib
enkl
amid
a (6
00 µ
g/kg
). -
Sete
lah
4 m
ingg
u pe
rlaku
an ti
dak
ada
peru
baha
n si
gnifi
kan
dari
leve
l ins
ulin
, te
rjadi
pe
nuru
nan
gluk
osa-
6-fo
sfat
ase
dan
peni
ngka
tan
gluk
osa-
6-fo
sfat
de
hidr
ogen
ase
dan
leve
l glik
ogen
yan
g si
gnifi
kan.
In v
ivo
-
-
Ekst
rak
petro
leum
et
er,
CH
CL 3
, m
etan
olik
da
n ai
r da
ri da
un
(Moh
amed
et
al.
20
11)
- M
engh
amba
t ke
naik
an g
ula
dara
h tik
us y
ang
dibe
ri 15
0 m
g/kg
bb
gluk
osa
seca
ra su
bkut
an o
leh
1 g/
kg b
b ek
stra
k C
HC
L 3
- Pe
mur
nian
be
rdas
arka
n uj
i bi
olog
is
(bio
ass
ay-
gu
ided
p
uri
fica
tio
n)
men
unju
kkan
CH
CL 3
frak
si 2
B (C
ƒ2B
) seb
agai
frak
si a
ktif
- su
bfra
ksi C
ƒ2-B
tida
k m
emili
ki e
fek
hipo
glik
emik
terh
adap
tiku
s dia
bete
s aku
t -
Cƒ2
-B t
idak
mem
iliki
efe
k st
imul
an t
erha
dap
sekr
esi
insu
lin a
tau
pada
lev
el
gula
dar
ah ti
kus d
iabe
tes
In v
ivo
•
Terp
enoi
d •
Flav
onoi
d
Ekst
rak
etan
ol
50 p
erse
n da
un
(Moh
amed
et
al.
20
12)
Men
gham
bat k
erja
enz
im α
-glu
kosi
dase
: -
IC50
ekt
rak
etan
ol 5
0 p
erse
n 4.
63 m
g/m
l -
IC50
sin
ense
tin 0
.66
mg/
ml
- IC
50 ac
arbo
se 1
.93
mg/
ml
In v
itro
• 3
hidr
oksi
-5,6
,7,4
’ te
tram
etok
sifla
von
• Si
nens
itin
• Eu
pato
rin
Sine
nsiti
n
10
11
Men
gham
bat k
erja
enz
im α
-am
ilase
: -
IC50
eks
trak
etan
ol 5
0 p
erse
n 36
.70
mg/
ml
- IC
50 s
inen
setin
1.1
3 m
g/m
l -
IC50
acar
bose
4.8
9 m
g/m
l
Ekst
rak
CH
CL 3
(Cf2
-b)
daun
(M
oham
ed e
t a
l.
2013
)
- St
udi
in vi
vo m
enun
jukk
an p
embe
rian
ekst
rak
CH
CL 3
sub
frak
si 2
(C
f2-b
) pa
da k
onse
ntra
si 1
g/k
g (b
b) d
ua k
ali p
ada
tikus
dia
bete
s m
enur
unka
n le
vel
gula
dar
ah a
khir
tapi
tida
k ad
a pe
ruba
han
leve
l pla
sma
insu
lin d
iban
ding
kan
sebe
lum
per
laku
an.
- St
udi
in
vitr
o
men
unju
kkan
C
f2-b
pa
da
kons
entra
si
2 m
g/m
L se
cara
si
gnifi
kan
men
ingk
atka
n as
upan
glu
kosa
ole
h ot
ot d
iafr
agm
a tik
us d
an
men
urun
kan
peny
erap
an g
ula
di j
ejun
um p
ada
kons
entra
si e
kstra
k 0.
5-2
mg/
mL.
In
vivo
da
n in
vitr
o
• Te
rpen
oid
• Fl
avon
oid
3’hi
drok
si 5
,6,7
,4’-
tetra
met
oksi
flavo
n (0
.58
pers
en)
Sine
nsiti
n (1
.48
pers
en)
Eupa
torin
(2.2
6 pe
rsen
)
Ekst
rak
etan
ol
50 p
erse
n da
un
(Moh
amed
et
al.
20
15)
Peng
ham
bata
n ak
tivita
s en
zim
α-g
luko
sida
se d
iam
ati p
ada
tikus
nor
mal
set
elah
di
beri
pati
dan
sukr
osa
dan
tikus
dia
bete
s di
indu
ksi s
trepz
otoc
in (
STZ)
set
elah
pe
mbe
rian
pati
pada
kon
sent
rasi
100
0 m
g/kg
.
In v
ivo
•
3’hi
drok
si-5
,6,7
,4’-
tetra
met
oksi
flavo
n (1
.02
pers
en),
• Si
nens
etin
(3.7
6 pe
rsen
) •
Eupa
torin
(3.0
3 pe
rsen
)
-
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 hingga Februari 2016 di Laboratorium Technopark, Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengering cabinet, blender, freezer, ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner model 8510E
MTH, Branson Ultrasonic Corporation, USA), rotary evaporator (Butchi Rotavapor R-210, BÜCHII Labortechnik, Switzerland), dengan pompa vakum (Buchi B-169 vacum system, BÜCHII Labortechnik, Switzerland), labu pemisah, pengering beku (Gamma 2-16 LSC, Martin Christ Gefriertrocknungsanlagen GmbH, Germany), microplate reader (Epoch Microplate Spectrophotometer, BioTek® Instruments Inc., USA), inkubator, FTIR (Tensor 37, Bruker Optik GmbH, Germany) dilengkapi detektor DTGS (deuterated triglycine sulphate), peralatan kempa manual (Shimadzu, Tokyo, Jepang), peranti lunak OPUS versi 4.2 (Bruker Optik GmbH, Karlsruhe, Jerman), peranti lunak XLSTAT versi 2012 (Addinsoft, New York, Amerika Serikat), 500 MHz 1H NMR (Varian INOVA NMR Spectrometer, Varian Inc., USA), perangkat lunak Chenomx software (v. 5.1, Alberta, Canada) dan 2D NMR (1H–1H J-resolved, Homonuclear Correlation
Spectroscopy (COSY) dan heteronuclear multiple bond correlation (HMBC)), perangkat lunak SIMCA-P versi 13.0 (v. 13.0, Ulmetrics, Umeá, Swedia) dan peralatan lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kumis kucing yang terdiri dari daun, ranting dan bunga diperoleh dari daerah Nagrak, Sukabumi. Bahan untuk ekstraksi dan fraksinasi yaitu metanol (Merck, USA), heksana (Merck, USA), kloroform (Merck, USA) dan n-butanol (Merck, USA). Bahan untuk uji bioaktivitas yaitu KH2PO4 (Sigma Aldrich P0662), K2HPO4 (Sigma Aldrich P3786), p-nitrofenill-α-D-glukopiranosida (Sigma Aldrich N1377), DMSO (Merck, USA), akarbosa (Glucobay®, PT. Bayer Indonesia), enzim α-glukosidase Bacillus stearothermophilus (Sigma Aldrich G3651), natrium karbonat (Sigma Aldrich 223530), DPPH (Sigma Aldrich D9132), Etanol (Merck, USA), kuersetin (Sigma Aldrich 337951). Bahan untuk uji profil kimia berupa KBr dan MeOD.
Metode
Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu 1) persiapan sampel, 2) ekstraksi dan fraksinasi dan 3) analisis. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3
Pra-perlakuan
Sebanyak 3 kg kumis kucing segar disortir dan dikeringkan dengan pengering kabinet pada suhu 45 °C selama 8 jam. Tanaman kumis kucing kering
13
ditepungkan menggunakan blender. Sebanyak 531 g tepung tanaman kumis kucing dikemas dalam 3 plastik tertutup untuk 3 kali ekstraksi. Sampel disimpan di dalam freezer pada suhu -20 °C sampai dilakukan proses ekstraksi.
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
Pemekatan (rotavapor)
Sonikasi 30 menit, Truang
Bubuk kumis kucing ditambahkan metanol 80 persen 1:3 (v/v)
Ekstrak metanolik pekat dilarutkan di dalam air
Penyaringan
Ekstrak pekat
Kumis kucing segar
Pengecilan ukuran sampel (blender) menjadi bubuk
Pengemasan dalam kemasan plastik tertutup
Penyimpanan dalam freezer (-20 0C) sebelum
diproses lebih lanjut
Bubuk kumis kucing dalam kemasan
Pengeringan dengan pengering kabinet pada suhu 45 ⁰C selama 8 jam
Tahap 2.
Ekstraksi dan
fraksinasi
Tahap 1. Persiapan Sampel
100 ml metanol 80 persen
Penyaringan
Metanolik (M)
Residu Heksana (H)
Fraksinasi cair-cair, heksana sinasi cair-cair, heksana
Penambahan Penambahan
Fraksinasi cair-cair, kloroform sinasi cair-cair, heksana
Penambahan Penambahan
Fraksinasi cair-cair, butanol sinasi cair-cair, heksana
Penambahan Penambahan
Kloroform (K) Residu Kloroform (K) Residu
Butanol (B) Air (A)
14
Gambar 3 Skema kerja penelitian ………………………………………………………………………………………
Ekstraksi dan Fraksinasi Kumis Kucing
Ekstraksi kumis kucing (177 g) dilakukan dengan menambahkan metanol 80 persen sebanyak dua kali volume bubuk kumis kucing, kemudian disonikasi dengan Ultrasonic bath selama 30 menit pada suhu ruang, disaring dan diambil filtratnya. Proses ekstraksi ini diulang dua kali. Hasil ekstraksi disatukan dan dikeringkan dengan rotary evaporator, dengan pompa vakum pada suhu 40⁰C sampai 1/3 volume awal (500 mL), sebanyak 100 mL dipisahkan (ekstrak ini selanjutnya disebut ekstrak metanolik). Sisa larutan ekstrak sebanyak 400 mL dikeringkan untuk kemudian difraksinasi sebagai berikut; ekstrak kering dilarutkan dalam 250 mL air, dimasukkan ke dalam labu pemisah dan ditambahkan 250 mL pelarut organik (1:1 v/v). Pelarut organik yang ditambahkan berturut-turut adalah heksana, kloroform dan n-butanol. Tahapan proses ekstraksi dan fraksinasi ini diulang sebanyak 3 kali ulangan. Ekstrak dan fraksi dipekatkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan pengering beku.
Uji Penghambatan Aktivitas Enzim α-glukosidase
Uji ini mengacu pada Sancheti et al. (2007). Sebanyak 50 µL buffer fosfat 0.1 M pH 6,9, 25 µL larutan p-nitrofenill-α-D-glukopiranosida (dilarutkan dalam 0,1 M larutan buffer fosfat pH 6,9), ekstrak kumis kucing sebanyak 10 µL dilarutkan dalam DMSO dan akarbosa sebagai kontrol positif dilarutkan dalam aquabides, 25 µL α-glukosidase Bacillus stearothermophilus 0,04 U/mL dalam larutan buffer 0,1 M pH 6,9 dicampurkan. Reaksi ini diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 µL larutan natrium karbonat 0,2 M. Reaksi hidrolisis enzimatis diukur pada panjang gelombang 410 nm menggunakan microplate reader. Pengujian dilakukan
Tahap 3. Analisis Ekstrak dan fraksi kering
Uji aktivitas biologis; DPPH dan penghambatan enzim α-
glukosidase
Uji profil kimia; FTIR dan 1H NMR
OPLS
Plot VIP Plot Skor Plot Y-related coeffisien
Identifikasi senyawa aktif
Konfirmasi aktivitas dengan literatur
15
sebanyak 3 kali. Aktivitas inhibisi α-glukosidase dinyatakan sebagai persen inhibisi dan dihitung sebagai berikut:
persen inhibisi = [(AB − AKB) − (AS − AKS]
(AB − AKB)x 100 persen
Diketahui, AB = absorbansi blanko, AKB = absorbansi kontrol blanko, AS = absorbansi sampel, AKS = absorbansi kontrol sampel. Hasil perhitungan diekspresikan dalam IC50.
Uji Aktivitas Antioksidan dengan DPPH
Uji ini mengacu pada Salazar-Aranda et al. (2011). Sebanyak 500 µL larutan ekstrak ditambahkan ke dalam 500 µL larutan DPPH 125 µM dalam EtOH, diaduk dan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit. Penurunan absorbansi diukur menggunakan microplate reader pada gelombang 517 nm. Kuersetin digunakan sebagai kontrol positif.
persen aktivitas antioksidan = [(AB − AKB) − (AS − AKS]
(AB − AKB)x 100 persen
Diketahui, AB = absorbansi blanko, AKB = absorbansi kontrol blanko, AS = absorbansi sampel, AKS = absorbansi kontrol sampel. Hasil perhitungan diekspresikan dalam IC50.
Uji Profil Kimia Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing dengan FTIR
Spektrum FTIR diukur menggunakan spektrofotometer FTIR Tensor 37 dengan detektor DTGS (deuterated triglycine sulphate). Sebanyak 5 mg sampel dicampurkan dengan 200 mg KBr. Campuran tersebut kemudian dibuat menjadi pelet menggunakan peralatan kempa manual. Pelet tersebut ditempatkan pada tempat sampel untuk direkam spektrum FTIR-nya di daerah inframerah 4000-400 cm-1 dengan resolusi 4 cm-1 dan jumlah cuplikan 32.
Spektra yang diperoleh kemudian diproses dengan peranti lunak OPUS versi 4.2. Perlakuan pendahuluan berupa pemrosesan sinyal dilakukan pada area puncak spektra FTIR ekstrak dan fraksi yang diperoleh dari hasil pengukuran yang diskalakan terhadap puncak total dan dikurangi menjadi daerah terintegrasi dengan lebar sama (bilangan gelombang 2 cm-1) menggunakan peranti lunak XLSTAT versi 2012.
Uji Profil Kimia Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing dengan 1H NMR
20 mg ekstrak dan fraksi kumis kucing kering dilarutkan dalam pelarut terdeuterasi mengandung 0.375 ml pelarut CH3OH-d4 dan 0.375 ml bufer KH2PO4 dalam D2O (pH 6.0) yang mengandung 0.1 persen (TSP) dimasukkan ke dalam tabung ependorf. Tabung tersebut kemudian divorteks selama 1 menit pada suhu ruang dan diultrasonikasi 30 menit pada suhu ruang, disentrifugasi pada 16000 g selama 15 menit untuk memisahkan endapan dengan supernatan. Supernatant sebanyak 0.6 ml dipindahkan ke dalam tabung NMR untuk dianalisis.
Pengukuran dengan 1H NMR dilakukan menggunakan 500 MHz Varian INOVA NMR spectrometer yang dioperasikan 499.887 MHz dan dipertahankan pada suhu 26⁰C. Pada semua sampel dilakukan pengaturan presaturasi. Waktu akuisisi untuk masing-masing spektra 1H NMR adalah 3.53 menit terdiri dari 64 payar terhadap spektra dengan lebar 20 . Koreksi terhadap pentahapan (phasing) dan garis dasar (baseline) dilakukan terhadap 15 spektra
16
sampel menggunakan perangkat lunak Chenomx. Sebanyak 0.2 persen TMS (Tetrametilsilan) dalam CD3OD digunakan sebagai standar internal untuk pergeseran kimia dan peskalaan intensitas sinyal NMR.
Analisis Data
Pada penelitian ini spektra FTIR dan 1NMR merepresentasikan profil kimia ekstrak yang kemudian digunakan sebagai matriks data X sedangkan aktivitas biologis merupakan matriks data Y. Data komposisi kimia diperoleh hasil pengukuran dengan FTIR sebanyak 30 sampel dan yang diperoleh hasil pengukuran dengan NMR sebanyak 15 sampel. Data aktivitas biologis terdiri dari data aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dan data aktivitas antioksidan. Data kemudian dinormalisasi dan diskalakan berdasarkan metode Pareto untuk FTIR dan Ctr untuk NMR . Data dianalisis dengan orthogonal projection to latent
structures (OPLS) menggunakan perangkat lunak SIMCA-P versi 13.0. Model dideskripsikan dengan kriteria ketepatan model (R2Y) dan ketepatan prediksi (Q2). Model diuji validasi dengan CV ANOVA dan test permutasi. Terdapat beberapa keluaran OPLS yang dapat digunakan untuk mengintepretasi data diantaranya score plot, plot Y-related coefficient dan plot VIP (Variable Influence on
Projection). Untuk mengidentifikasi gugus fungsi senyawa aktif, plot VIP digunakan sebagai parameter sinyal x penting terhadap data Y sedangkan plot Y-
related coefficient digunakan untuk mempelajari sinyal yang berkorelasi positif dengan mariks data Y (aktivitas biologis). VIP hanya memberikan nilai korelasi positif untuk semua sinyal sedangkan plot Y-related coefficient dapat memberikan nilai korelasi baik positif dan negatif (Eriksson et al. 2006). Sinyal yang dipilih adalah sinyal yang berkorelasi positif dan bernilai VIP tinggi (>0,5) dengan diagram batang kesalahan (error bar) tidak menyentuh sumbu X.
Secara manual identifikasi senyawa aktif dilakukan dengan dengan membandingkan hasil analisis OPLS (Y-related coefficient dan VIP) dengan spektrum hasil analisis dan pangkalan data berupa jurnal-jurnal yang memberikan informasi sinyal penanda senyawa aktif yang telah diisolasi sebelumnya. selain itu secara semi-otomatis identifikasi juga dilakukan menggunakan layanan web MetaboHunter pada http://www.nrcbioinformatics.ca/MetaboHunter/. Dua kolom deretan puncak dan intensitas diunggah dalam bentuk berkas atau dikopi di dalam kotak teks. Keluaran berupa search result view deretan ID metabolit, nama, dan asal taksonomik yang terhubung pada halaman web deskriptif asli, informasi skor, dan terhubung pada plot spektrum dan visualisasi peta kecocokan puncak (peaks
hit map visualization) dari dua pangkalan data yaitu Madison Metabolomics
Consortium Database (MMCD) dan Human Metabolome Database (HMDB). Hasil dapat diunduh dalam bentuk teks (Tulpan et al. 2011). Untuk mempelajari hubungan aktivitas antioksidan dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dilakukan analisis korelasi pearson menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing
Penggunaan metanol 80 persen sebagai pelarut pada ekstraksi awal bertujuan untuk mengekstraksi sebanyak mungkin senyawa aktif dari kumis kucing sedangkan penggunaan untuk berbagai jenis pelarut pada fraksinasi bertujuan untuk mendapatkan penyebaran senyawa aktif pada masing-masing fraksi sehingga memudahkan dalam pembacaan spektra. Dari hasil ekstraksi dengan metanol 80 persen diperoleh ekstrak sebanyak 52.47 g yang terdiri dari ekstrak metanolik (M) sebesar 10.97 g, fraksi heksana (H) sebesar 4.2 g, fraksi kloroform (K) sebesar 16.16 g, fraksi butanol (B) sebesar 4.23 g, dan fraksi air (A) sebesar 16.92 g. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing
Dari hasil ekstraksi kumis kucing menggunakan Hasil uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh ekstrak OS dapat dilihat pada Gambar 4. Aktivitas penghambatan terkuat diperoleh dari fraksi B akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif akarbosa. Ekstrak etanol daun kumis kucing dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dengan IC50 sebesar 4.63 mg/mL (Mohamed et al. 2012) lebih besar dibandingkan dengan nilai IC50 yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu sebesar 0.46 mg/mL.Perbedaan asal geografis tempat tumbuh, jenis pelarut dan bagian tanaman yang yang digunakan mempengaruhi kandungan bioaktif sehingga dapat menyebabkan perbedaan aktifitas biologis dari tanaman kumis kucing (Rafi et al. 2015; Akowuah et al. 2005). Penggunaan metanol dan air (aquaeos methanol) sebagai pelarut untuk ekstraksi tanaman kumis kucing diketahui mampu mengekstrak lebih banyak senyawa aktif dan memiliki kandungan total fenolik lebih tinggi dibandingkan pelarut lainnya (Abdelwahab et al. 2011). Tanaman kumis kucing kaya akan kandungan senyawa fenolik termasuk flavonoid (Sriplang et al. 2007). Beberapa literatur menyatakan senyawa penghambat aktivitas α-glukosidase termasuk dalam kelompok ini (Kwon et al. 2008; Shobana et al. 2009).
Fraksi kloroform diketahui mengandung senyawa-senyawa kelompok terpenoid dan flavonoid termasuk sinensitin (Mohammed et al. 2011). Sinensitin adalah salah satu senyawa flavonoid langka karena memiliki gugus metoksi pada C-5 (Sumaryono et al. 1999). Senyawa ini memiliki aktivitas anti α-glukosidase kuat dengan IC50 sebesar 0.66 mg/ml (Mohammed et al. 2012). Selain itu kumis kucing mengandung senyawa glikosida termasuk saponin (Sumaryono et al.1999; Siddiqui et al. 2009). Yang et al. (2013) mengisolasi senyawa glikosida dan flavonoid dengan aktivitas anti α-glukosidase kuat dari fraksi butanol herbal Gynostemma pentaphyllum. Son et al. (2011) melaporkan bahwa fraksi butanol kumis kucing memiliki aktivitas antiobesitas akan tetapi komposisi kimia maupun senyawa aktif fraksi tersebut belum diketahui.
18
Keterangan: * Tidak aktif pada konsentrasi tertinggi diujikan yaitu 476 µg/mL
Gambar 4 Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh ekstrak dan fraksi kumis kucing.
Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Kumis Kucing
Pada Tabel 2 dapat diamati aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi OS. Aktivitas antioksidan pada penelitian ini lebih tinggi pada fraksi dan ekstrak yang cenderung polar dan polar (A, B, dan M) dibandingkan fraksi non polar (K dan H) akan tetapi aktivitas yang diperoleh lebih rendah dibandingkan kuersetin sebagai kontrol positif. Perbedaan polaritas pelarut ekstraksi digunakan yaitu metanol 80 persen dengan metanol 60 persen dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan nilai IC50 yang diperoleh dari penelitian ini dengan Abdelwahab et al. (2011). Aktivitas ekstrak akan berbeda walaupun dari material yang sama. Hal ini tergantung dari kemampuan solven yang digunakan dalam melarutkan senyawa fenolik. Senyawa marker terpolar yaitu asam rosmarinat dilaporkan tertinggi kandungannya pada solven metanol 50 persen secara signifikan dibandingkan metanol 100 persen. Asam rosmarinat merupakan antioksidan terkuat dibandingkan marker lainnya (Akowuah et al. 2005). Khamsah et al. (2006) melaporkan perbedaan tempat tumbuh tanaman kumis kucing yang juga dapat menjadi penyebab perbedaan kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan. Fenolik merupakan salah satu kelompok penting senyawa aktif kumis kucing yang berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan (Akowuah et al. 2004).
Dari 4 marker yaitu sinensetin (SEN), eupatorin (EUP) and 3’-hidroksi-5,6,7,4’-tetrametoksiflavon (TMF) dan asam rosmarinik (RA), fraksi kloroform tinggi akan kandungan SEN dan EUP (Akouwah et al. 2005). Oleh karena gugus O-metil pada SEN, EUP dan TMF senyawa-senyawa ini bersifat lipofilik sehingga memungkinkan terkandung dalam jumlah besar dalam ekstrak non polar. Fraksi kloroform dan heksan tinggi akan kandungan total flavonoid (Abdelwahab et al. 2011). Mengingat diantara solven-solven yang digunakan kloroform dan heksan merupakan solven paling tidak polar sehingga memungkinkan melarutkan sebagian besar senyawa flavonoid lipofilik. Aktivitas antioksidan tinggi pada fraksi dan ekstrak cenderung polar dapat disebabkan salah satunya oleh senyawa
465,83±85,34
TA*
250,69±51,89
154,07±30,60
TA* 0,02±0,000,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
Metanolik Heksana Kloroform Butanol Air Akarbosa
Nila
i IC
50 (µ
g/m
L)
19
RA yang diketahui merupakan senyawa polar. Tidak hanya itu senyawa gula diduga juga dapat berperan sebagai antioksidan mengingat penstabilan aktivitas radikal bebas oleh antioksidan disebabkan oleh kemampuannya mendonorkan hidrogen (Akowuah et al. 2005). Tabel 2 Perbandingan aktivitas antioksidan oleh ekstrak dan fraksi kumis kucing
yang diperoleh pada penelitian ini dengan literatur Sampel IC50 (µg/ml)
Hasil Penelitian Abdelwahab et al. 2011 Metanolik (M) 7.41±0.02 16.66 Heksan (H) TA* 126.2 Kloroform (K) TA* 31.25 Butanol (B) 10.84±0.54 13.56 Air (A) 19.35±0.09 23.0 Kuersetin** 5.46±0.00 -
Keterangan: *Tidak aktif pada konsentrasi tertinggi diujikan yaitu 25 µg/ml, ** kontrol positif Hubungan Aktivitas Antioksidan dengan Penghambatan Enzim α-
Glukosidase
Pada Lampiran 1 dapat dilihat terdapat korelasi yang lemah antara aktivitas antioksidan dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dengan nilai R sebesar 0.23. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis dan kuantitas dari senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak dan fraksi. Sinensitin yang merupakan senyawa yang teridentifikasi memiliki aktivitas penghambatan α-glukosidase diisolasi dari fraksi etil asetat yang diperoleh dari ekstrak etanol 50 persen sedangkan senyawa asam rosmarinat yang berkontribusi tinggi terhadap aktivitas antioksidan merupakan senyawa polar dan diketahui larut air (Mohamed et al. 2012; Sumaryono et al. 1999). Selain itu, pelarut dengan polaritas yang optimal untuk ekstraksi senyawa aktif penghambat α-glukosidase dari tanaman sulit diprediksikan dan diduga tergantung spesies atau sampel (Chai et al. 2015).
Profil Kimia Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis
FTIR
Score plot pada OPLS digunakan untuk mengelompokkan sampel berdasarkan karakteristik data matriks Y (aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase). Pemisahan yang baik antara sampel dengan aktivitas rendah dan sampel dengan aktivitas tinggi menunjukkan bahwa OPLS dapat digunakan lebih lanjut untuk identifikasi gugus fungsi senyawa aktif. Pada Gambar 2 terlihat fraksi aktif (M, K, dan B) dan fraksi tidak aktif (H dan A) terpisah dengan baik sehingga proses identifikasi gugus fungsi senyawa aktif dengan OPLS dapat dilakukan lebih lanjut.
Untuk mengetahui ketepatan model OPLS dapat dilihat dari nilai R2Y dan Q2Y. Nilai R2Y merupakan jumLah variabel Y yang dapat dijelaskan oleh model dan peninjauan kecocokan model. Q2Y adalah hasil validasi silang dan pengukuran kuantitatif antara hasil prediksi dengan data yang sebenarnya. Nilai R2Y diperoleh pada model ini sebesar 0.76 sedangkan nilai Q2Y sebesar 0.59. Pada model OPLS ini kedua nilai tersebut mendekati 1 sehingga tergolong model yang baik (Eriksson et al. 2006).
20
B C
D
Tidak Aktif Aktif
E
Gambar 6 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis FTIR. Area A (2845 - 2977 cm-1), Area B (1676 - 1755 cm-1), Area C (1162 - 1301 cm-1), Area D (935 - 979 cm-1), dan Area E (480 – 399 cm-1) adalah puncak-puncak yang menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas penghambatan α-glukosidase.
A
Gambar 5 OPLS score plot aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis FTIR. Tiap sampel diwakili oleh lingkaran dengan variasi warna kuning ke merah mewakili sampel dengan aktivitas rendah ke aktivitas tinggi. Sumbu dan ordinat plot menunjukkan skor OPLS untuk setiap sampel.
21
OPLS cenderung memaksakan kecocokan model dengan data (over-fit)
sehingga dibutuhkan tahapan validasi untuk memastikan keandalan (reliability) dari model (Worley and Powers 2013). Nilai p yang menjadi patokan pada metode validasi CV ANOVA yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 0.03, lebih kecil dari nilai maksimum yang diterima yaitu p<0,05 sehingga model dianggap memiliki reabilitas yang baik (Eriksson et al. 2008). Selain itu, test permutasi juga dilakukan untuk mengetahui seberapa besar terjadinya korelasi yang tidak disengaja akibat jumlah sampel yang kecil dengan variabel yang berjumlah besar (Lindgren et al. 1996). Model yang valid seharusnya memiliki nilai intersep R2 dan Q2 pada sumbu Y berturut-turut tidak lebih dari 0.3-0.4 (Eriksson et al. 2006). Nilai intersep R2 dan Q2 yang diperoleh pada model ini berturut-turut adalah 0.26 dan -0.94.
Dari Gambar 6 diketahui ada lima area puncak bilangan gelombang yang berkorelasi positif terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase yaitu Area A (2845 - 2977 cm-1), Area B (1676 - 1755 cm-1), Area C (1162 - 1301 cm-1), Area D (935 - 979 cm-1), dan Area E (480 – 399 cm-1). Area Puncak A, B, C dan D dipilih untuk diidentifikasi lebih lanjut karena pada puncak tersebut terdapat sinyal penanda senyawa aktif penting terhadap aktivitas penghambatan terhadap α-glukosidase. Pita serapan Area A (2845 - 2977 cm-1) mengindikasikan vibrasi ulur asimetri dan simetri gugus fungsi dari grup metilena (CH2 dan CH3), turunan metoksi dan C-H (aldehid) termasuk cis ikatan rangkap dan hidroksil (Saidan et al. 2015). Area B (1676 - 1755 cm-1) mengindikasikan gugus karbonil (C=O)) sedangkan Area C (1162 - 1301 cm-1) mengindikasikan gugus ulur C-O dan OH. Area D (935 - 979 cm-1) mengindikasikan keberadaan vinil atau pita tekuk C-H dari senyawa aromatik (Silva et al. 2014; Pop et al. 2014). Kelima area ini kemudian dibandingkan dengan data IR senyawa-senyawa yang telah diidentifikasi pada ekstrak kumis kucing dari literatur.
Penanda Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis
FTIR
Pita serapan serapan sempit dan tajam pada bilangan gelombang 2924 cm-1 dan 2854 cm-1 mencirikan senyawa metoksi flavonoid (Rafi et al. 2015). Dari hasil analisis OPLS mengindikasikan senyawa sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon (Hossain dan Rahman 2015) memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase. Flavonoid kumis kucing umumnya larut kloroform, bilangan gelombang penanda gugus fungsi aktif flavonoid seperti OCH3 (2928 cm-1 dan 2857 cm-1), C=O (1690-1729 cm-1), C-O (1234-1284 cm-1), C-O dan C-OH (1173-1176 cm-1) dan dan pita tekuk C-H dari senyawa aromatik (913-997 cm-1) pada penelitian ini dapat diamati pada spektrum fraksi aktif kloroform (Gambar 7). Perbedaan antara bilangan gelombang yang diperoleh pada literatur dengan pada spektra kemungkinan disebabkan oleh senyawa yang diukur pada literatur merupakan senyawa murni. Pengukuran contoh dalam bentuk campuran memungkinkan terjadi tumpang tindih puncak gugus fungsi penanda senyawa aktif dalam spektra ekstrak maupun fraksi (Stehfest et al. 2004). Rangkuman hasil analisis karakteristik IR seluruh senyawa yang diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan terhadap α-glukosidase berupa nilai VIP berkisar 0.00-1.63 dan memiliki nilai Y-related coefficient positif
22
dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai VIP≥0.5 dianggap relevan sedangkan nilai VIP>1 sangat relevan (Galindo-Prieto et al. 2014).
Sinensitin dengan gugus fungsi dari grup metoksi, asam karboksilat, cincin fenil dan heteroaromatik, metil, hidroksi fenolik, C-O, dan ujung metilena merupakan salah satu senyawa yang diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap α-glukosidase (Hossain dan Rahman 2015; Mohamed et al. 2012). Hasil berbeda dikemukakan oleh Damsud et al. (2014) yang mengisolasi 4 flavonoid yaitu sinensetin, salvigenin, tetrametilskutellarein dan 3,7,4'-tri-O-metilkaempferol. Dari empat flavonoid tersebut tetrametilskutellarein dan 3,7,4'-tri-O-metilkaempferol dilaporkan menghambat a-glukosidase khamir dengan IC50 berturut-turut sebesar 6.34 mM dan 0.75 mM. Subtitusi gugus metoksil pada flavonoid diketahui dapat menurunkan aktivitas penghambatan α-glukosidase (Gao et al. 2004; Asghari et al. 2015). Sinensetin memiliki lima gugus metoksi dan merupakan senyawa flavonoid dengan subtitusi gugus metoksi terbanyak yang diisolasi dari tanaman kumis kucing (Sumaryono et al. 1991). Selain itu keberadaan gugus OH dan C=O diduga memiliki kecenderungan meningkatkan aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh flavonoid. Kemampuan gugus fungsi C=O diduga lebih baik dibandingkan gugus fungsi OH dalam membentuk ikatan hidrogen pada sisi aktif enzim yang merupakan salah satu mekanisme penghambatan enzim α-glukosidase oleh senyawa bioaktif (Asghari et al. 2015; Uddin et al. 2012).
Senyawa isopimaran diterpena diindikasikan dari pita IR 910-980 cm-1
(Pinto et al. 1991). Pada plot Y-related coeffiicient pita IR ini dapat diamati pada bilangan gelombang 935-979 cm-1 (Area D). Pada spektrum FTIR pita ini dapat diamati pada spektrum fraksi kloroform yang merupakan fraksi dimana senyawa diterpena kumis kucing umumnya diisolasi pada bilangan gelombang 913-996
C-O
OCH3 C=O C=O/ OH
CH3
Gambar 7 Spektrum FTIR fraksi kloroform kumis kucing
23
cm-1. Pada spektrum aktif fraksi kloroform dapat diamati gugus fungsi aktif penanda diterpena yaitu hidroksil pada bilangan gelombang 3396-3420 cm-1 dan ester karbonil pada bilangan gelombang 1113-1284 cm-1. Berdasarkan hasil identifikasi gugus fungsi penanda senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase mengindikasikan senyawa dari kelompok diterpena tipe isopimaran yaitu Ortosifol F-J (Tezuka et al. 2000), ortoarisin A, ortoarisin B, ortoarisin C, ortoarisin D, ortoarisin E, ortoarisin F, ortoarisin G (Di et al. 2013) sebagai senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Walaupun belum ada laporan aktivitas senyawa isopimaran diterpena dari kumis kucing tetapi isopimaran diterpena baru 5R, 6S, 10S, 11R, 13R and 14S dan isopimaran diterpena teridentifikasi 11-deoksidiaportein A dari kapang laut Epicoccum sp. HS-1 dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 berturut-turut 4.6 μM dan 11.9 μM (Xia et al. 2015).
Senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase juga diidentifikasi dari kelompok diterpena tipe isopimaran teroksigenasi yaitu ortosifol O, ortosifol P, ortosifol Q, dan noortosifonolida A (Awale et al. 2002), kelompok diterpena tipe isopimaran teroksigenasi tinggi ortosifol A, ortosifol B, ortosifol U, ortosifol V, ortosifol W, ortosifol X, ortosifol Y dan ortosifol Z (Masuda et al. 1992; Awale et al. 2003), kelompok diterpena tipe isopimaran termigrasi yaitu neoortosifol A dan neoortosifol B (Ohashi et al. 2000), dan senyawa ortoarisin H dari kelompok diterpena tipe sekoisopimaran (Di et al. 2013). Diterpena tipe isopimaran teroksigenasi tinggi ortosifol A dikarakterisasi berdasarkan data spektroskopi secara selektif menghambat enzim maltase dengan nilai IC50 sebesar 6.54 mM. Studi lebih lanjut ortosifol A menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan fungsi maltase terjadi secara tidak kompetitif (Damsud et al. 2014). Diterpena tipe sekoisopimaran dari Salvia cinnabarina diketahui memiliki aktivitas antipasmodik (Capasso et al. 2004) dan mutagenik (Di Sotto et al. 2009) akan tetapi aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase belum pernah dilaporkan. Senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase diidentifikasi dari kelompok diterpena tipe staminan adalah staminol A, staminol B, staminolakton A, staminolakton B, norstaminol A (Tezuka et al. 2000) dan ortoarisin I (Di et al. 2013).
Gugus hidroksil (3410 cm-1), ester dan asam karbonil (1735 dan 1688 cm-1) dan tiga ikatan rangkap tersubtitusi (1628 and 812 cm-1) merupakan karakteristik triterpenoid (Ali et al. 2015). Asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, α-amirin, β-amirin, asam maslinat (Hossain dan Ismail 2013) merupakan senyawa triterpena yang diidentifikasi dari gugus fungsi penanda senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase yang diduga berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Asam maslinat dan asam oleanolat dari ekstrak etil asetat daun Lagerstroemia speciosa dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dengan IC50 berturut-turut 5.52 g/mL dan 6.29 g/mL (Hou et al. 2009). Lebih lanjut senyawa triterpena penghambat aktivitas enzim α-glukosidase asam ursolat (IC50 47.6 μM) dan asam betulinat (IC50 14.0 μM) diisolasi dari dari apel emas-merah (Malus domestica) (He et al. 2014). Asam ursolat dan asam oleanolat sebagai senyawa yang menghambat aktivitas enzim α-glukosidase secara tidak kompetitif dengan nilai IC50 berturut-turut 39.0 dan 35.0 mM juga dilaporkan dari bunga Punica granatum L. (Salah El Dine et al. 2014). Asam hidroksibetulinat
24
belum pernah dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase akan tetapi pentasiklik triterpena asetat 3β-asetoksi-16β-asam hidroksibetulinat dari tanaman Fagara tessmannii Engl. menunjukkan aktivitas penghambatan yang signifikan terhadap enzim α-glukosidase (IC50 7.6 μM) (Mbaze et al. 2007). Secara in vivo α-amirin dan β-amirin menunjukkan aktivitas antihiperglikemik pada konsentrasi 10, 30 dan 100 mg/kg terhadap mencit (Santos et al. 2012). Aktivitas antihiperglikemik ini dapat diakibatkan salah satunya oleh aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase. β-amirin dari Memecylon
umbellatum Burm. F dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase yang signifikan pada konsentrasi 10.0 mM (Sridevi et al. 2015).
Profil Kimia Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis
NMR
Score plot pada OPLS digunakan untuk mengelompokkan sampel berdasarkan karakteristik data matriks Y (aktivitas antioksidan). Pada Gambar 8 terlihat fraksi aktif dan fraksi tidak aktif terpisah dengan baik sehingga memungkinkan penggunaan OPLS dalam mengidentifikasi gugus fungsi senyawa aktif lebih lanjut. Nilai R2Y dan Q2Y diperoleh berturut-turut sebesar 0.84 dan 0.80. Dari hasil permutasi diperoleh nilai intersep R2 dan Q2 berturut-turut adalah 0.034 dan -0.338 sehingga dapat disimpulkan bahwa model OPLS ini cukup valid (Eriksson et al. 2006).
Pada Gambar 9 terdapat lima area puncak dengan bilangan gelombang yang berkorelasi positif terhadap aktivitas antioksidan yaitu Area A (δ 8.26-6.62), Area B (δ 1.82-1.46), Area C (δ 1.26-0.94). Puncak-puncak yang korelasi positif dengan aktivitas antioksidan tersebut digunakan sebagai sinyal penanda untuk identifikasi senyawa aktif lebih lanjut. Area A (δ 8.26-6.62) merepresentasikan
Aktif Tidak Aktif Aktif Tidak Aktif
Gambar 8 OPLS score plot aktivitas penghambatan α-glukosidase oleh ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis NMR. Tiap sampel diwakili oleh lingkaran dengan variasi warna kuning ke merah mewakili sampel dengan aktivitas rendah ke aktivitas tinggi. Sumbu dan ordinat plot menunjukkan skor OPLS untuk setiap sampel.
25
sinyal tipikal flavonoid (Hossain et al. 2015). Sinyal pada δ 6-8 mengindikasikan daerah aromatik dari flavonoid aglikon (Lenny et al. 2013) dan daerah aromatik dari diterpena (Awale et al. 2002; Nacoulma et al. 2013). Area B (δ 1.82-1.46) dan C (δ 1.26-0.94) merepresentasikan daerah sinyal metil dari senyawa kelompok terpenoid maupun steroid (Hossain et al. 2013; Awale et al. 2003; Nacoulma et al. 2013) sedangkan δ 1.2–1.4 merupakan sinyal metil dari senyawa lemak (Nacoulma et al. 2013).
Gambar 9 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
NMR. Area A (δ 8.26-6.62), Area B (δ 1.82-1.46), Area C (δ 1.26-0.94) adalah puncak-puncak dengan pergeseran kimia (δ) yang menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase.
Penanda Senyawa Penghambat Aktivitas Enzim α-Glukosidase Berbasis
NMR
Menggunakan cara semi-otomatis pada MetaboHunter, puncak-puncak tinggi yang berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan α-glukosidase dari plot Y-related coefficient dianalisis menggunakan plot Xvar. Hasilnya menunjukkan bahwa sinyal-tinggi pada δ 1.14-1.22, δ 0.94-1.02, δ 0.82 dan δ 0.78 terdapat dalam jumlah besar pada fraksi kloroform terutama kloroform 1 (K1) dan 3 (K3). Dari hasil unggahan deretan puncak spektra K1 dan K3 pada MetaboHunter diperoleh sebanyak berturut-turut 435 dan 439 senyawa dari pangkalan data. Dari sejumlah senyawa tersebut hanya rosmarinat yang merupakan senyawa yang diketahui telah diisolasi dari kumis kucing. Hal ini dapat disebabkan oleh terbatas pangkalan data pada MetaboHunter. Selain itu senyawa aktif-senyawa aktif seperti terpenoid yang terdapat pada kumis kucing merupakan senyawa khas tanaman tersebut sehingga mungkin tidak umum ditemukan pada tanaman lain dapat menyebabkan sedikitnya senyawa yang teridentifikasi berasal dari tanaman kumis kucing.
B A
C
26
Hasil unduhan deretan puncak senyawa rosmarinat yang telah dicocokan dengan hasil OPLS ditunjukkan pada Tabel 3. Dari nilai VIP sinyal-sinyal penanda senyawa asam rosmarinat yang berkorelasi positif dengan aktivitas α-glukosidase memiliki nilai VIP<0.5. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa penghambatan aktivitas α-glukosidase oleh asam rosmarinat bersifat lemah. Asam rosmarinat merupakan salah satu senyawa penanda biologis (biomarker) dari kumis kucing terutama terkait aktivitas antioksidan. Temuan ini pertama kalinya rosmarinat sebagai senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase dari kumis kucing akan tetapi dari tanaman lain senyawa ini telah dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh asam rosmarinat dari daun Perilla frutescens bernilai IC50 sebesar 0.23 mg/ml dan asam rosmarinat yang diisolasi dari ekstrak metanol P.
madagascariensis memiliki aktivitas penghambatan α-glukosidase dengan IC50 sebesar 33.0 mol/l (Zhu et al. 2014; Kubínová et al. 2014). Tabel 3 Deretan puncak rosmarinat dari pangkalan data MetaboHunter terhadap
aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase Pergeseran kimia (δ) Y-related coefficients VIP Sumber data
2.9 + 0.06
Madison Metabolomics
Consortium Database
(MMCD)
3.0 - - 3.1 - - 5.0 - - 6.1 - - 6.7 + 0.15 6.8 + 0.23 6.9 + 0.13 7.3 + 0.16
Tabel 4 Deretan puncak flavonoid diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase Pergeseran kimia (δ) bernilai Y-related
coefficient positif
Senyawa Referensi VIP
6.76-7.68 5,3’-dihidroksi-6,7,4’-trimetoksiflavon (eupatorin)
Hossain dan Rahman 2015
0.11-0.27
6.78-7.68 5,6,7,3’,4’-pentametoksiflavon (sinensetin)
0.06-0.27
5.29-7.29 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksiflavon
0.04-0.16
6.67-7.74 Salvigenin 0.02-0.11 6.65-7.45 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon 0.10-0.14 1.60-7.44 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-
C-prenilflavon 0.11-0.28
Senyawa dari hasil OPLS diidentifikasi berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dapat dilihat pada Lampiran 3. Flavonoid terutama metoksi flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa aktif dominan pada kumis kucing. Dari hasil analisis OPLS mengindikasikan senyawa dari kelompok metoksi flavonoid dan flavonoid terprenilasi merupakan senyawa-
27
senyawa yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase (Tabel 4).
Keberadaan flavonoid pada kumis kucing umumnya dalam bentuk termetoksilasi akan tetapi pada daerah δ 3.30-4.30 yang merupakan area pergeseran kimia tipikal gugus metoksi flavonoid tidak aktif (Gambar 10). Jika dilihat dari hasil analisis OPLS sinyal senyawa metoksi flavonoid dari bernilai Y-
related coefficients positif namun memiliki nilai VIP rendah. Hal ini mungkin berarti aktivitas penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase oleh metoksi flavonoid sangat rendah atau aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase kuat dari kumis kucing disebabkan oleh senyawa flavonoid yang tidak termetoksilasi. Selain itu, pada penelitian ini ekstrak dan fraksi kumis kucing diukur dalam bentuk campuran sehingga memungkinkan beberapa sinyal pada flavonoid aktif bertumpang tindih dengan flavonoid tidak aktif. Temuan ini didukung sejumlah penelitian sebelumnya yang menunjukkan penurunan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh flavonoid dengan semakin banyaknya gugus metoksi (Gao et al. 2004; Tadera et al. 2006; Asghari et al. 2014).
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa senyawa metoksi flavonoid
terprenilasi 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon bernilai VIP relatif lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa metoksi flavonoid lainnya. Prenilasi flavonoid hirtakoumaroflavonosida dan hirtaflavonosida B diketahui meningkatkan aktivitas penghambatan dibandingkan flavonoid tidak terprenilasi kuersetrin dan metoksi flavonoid dimetoksikuersetrin (Sheliya et al. 2015). Peningkatan prenilasi pada flavonoid menunjukkan peningkatan aktvitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase (Tabopda et al. 2008).
Keberadaan diterpena diindikasikan oleh keberadaan sinyal metil umumnya berupa puncak singlet pada daerah δ 0.66-1.82 (Awale et al. 2002). Rangkuman senyawa-senyawa dari hasil analisis OPLS diindikasikan sebagai senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase dari hasil analisis OPLS dapat
Gambar 10 Spektrum 1H NMR fraksi kloroform kumis kucing
Fenolik/flavonoid
Terpenoid
Gula/ asam amino
Metoksi
28
dilihat pada Tabel 5. Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dari diterpena dari kumis kucing maupun tanaman lain telah dilaporkan sebelumnya (Damsud et
al. 2014; Xia et al. 2015). Dari hasil analisis OPLS sinyal senyawa ortoarisin F memiliki nilai VIP<0.5 yang menunjukkan bahwa sinyal dari senyawa tersebut kurang signifikan terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Selain itu terdapat kemungkinan area aktif ortoarisin F yaitu δ 0.66-7.87 walaupun berada pada daerah sinyal tipikal senyawa fenolik namun dapat berhimpit dengan senyawa fenolik yang tidak aktif dalam menghambat aktivitas enzim α-glukosidase.
Tabel 5 Deretan puncak diterpena diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase Pergeseran kimia (δ) bernilai Y-
related coefficient positif Senyawa Referensi VIP
1.02-8.05 Neoortosifol A Ohashi et al.
2000 0.00-1.53
1.07-8.06 Neoortosifol B 0.03-0.52 1.16-8.08 Ortosifol O Awale et al.
2002 0.02-0.76
1.18-7.55 Ortosifol P 0.05-0.73 1.12-7.52 Ortosifol Q 0.03-0.76 1.19-8.08 Noortosifonolida A 0.03-0.73 1.04-7.60 Ortosifol A Masuda et al.
1992 0.01-1.53
0.87-7.84 Ortosifol B 0.01-0.76 1.12-8.09 Ortosifol U Awale et al.
2003 0.03-0.76
1.09-8.11 Ortosifol V 0.03-0.76 1.04-8.02 Ortosifol W 0.01-1.53 1.03-8.05 Ortosifol X 0.02-1.53 1.14-7.53 Ortosifol Y 0.03-0.76 1.17-7.60 Ortosifol Z 0.03-0.73 0.99-7.59 Ortosifol F Tezuka et al.
2006 0.01-0.76
1.00-8.09 Ortosifol G 0.03-1.53 1.13-7.70 Ortosifol H 0.03-0.76 0.98-8.11 Ortosifol I 0.05-1.46 1.11-8.11 Ortosiphol J 0.01-0.76 1.09-8.26 Staminol A 0.00-0.52 1.00-8.16 Staminol B 0.03-1.53 1.03-8.06 Staminolakton A 0.03-1.53 1.04-7.86 Staminolakton B 0.03-1.53 1.04-7.68 Norstaminol A 0.01-1.53 1.14-8.15 Ortoarisin A Di et al. 2013 0.02-0.76 1.00-8.01 Ortoarisin B 0.02-1.53 1.19-8.03 Ortoarisin C 0.04-0.73 0.71-8.04 Ortoarisin D 0.03-0.73 1.04-7.69 Ortoarisin E 0.03-1.53 0.66-7.87 Ortoarisin F 0.03-0.48 0.96-8.09 Ortoarisin G 0.05-1.53 1.18-8.05 Ortoarisin H 0.03-0.73 0.97-8.02 Ortoarisin I 0.00-1.46
Senyawa triterpenoid kumis kucing diindikasikan oleh lima sinyal metil
tersier daerah δ 0.86-1.68 (Hossain et al. 2013 dan Ali et al. 2015). Beberapa senyawa triterpenoid dari tanaman kumis kucing yang diduga memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dirangkum dalam Tabel 6. Aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dari senyawa terpenoid ini sudah banyak diteliti (Hou et al. 2009; Salah El Dine et al. 2014; He et al. 2014). Berdasarkan
29
studi docking dan 2D-QSAR (2D-Quantitative structure-activity relationships) bioaktivitas anti α-glukosidase dari asam ursolat menunjukkan bahwa asam ursolat bekerja dengan membentuk ikatan hidrogen antara hidroksil C-3 dengan wilayah hidrofobik dari kantung aktif dan untuk meningkatkan ikatan afinitas dari ligan (Wu et al. 2015). Pada Tabel 6 dapat diamati sinyal-sinyal senyawa β-amirin memiliki nilai VIP rendah (<0.5) yang dapat mengindikasikan senyawa tersebut kurang aktif akan tetapi senyawa β-amirin dari Memecylon umbellatum Burm. F dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase yang signifikan pada konsentrasi 10.0 mM (Sridevi et al. 2015). Rendahnya nilai VIP dari sinyal β-amirin dapat disebabkan oleh beberapa sinyal senyawa tersebut berada pada daerah δ 1.5–3.0 dan δ 5.0–5.5 yang juga merupakan daerah tipikal asam lemak (Nacoulma et al. 2013) dan kemungkinan tidak aktif terhadap penghambatan enzim α-glukosidase.
Tabel 6 Deretan puncak triterpena diidentifikasi memiliki aktivitas penghambatan
terhadap enzim α-glukosidase Pergeseran kimia (δ) bernilai Y-related coefficient positif
Senyawa Referensi VIP
0.73-3.17 Asam ursolat Hossain dan Ismail 2013
0.01-1.53 0.79-3.17 Asam oleanolat 0.01-1.46 0.65-3.17 Asam betulinat 0.04-1.46 0.81-3.18 Asam hidroksibetulinat 0.33-1.53 1.08-2.17 α-amirin 0.01-0.52 1.08-5.14 β-amirin 0.03-0.48 0.95-3.26 Asam maslinat 0.06-1.46
Hasil analisis OPLS berbasis FTIR dan 1H NMR menghasilkan senyawa
penghambat enzim α-glukosidase dari kelompok senyawa dan jumlah senyawa yang sama terkecuali dari kelompok flavonoid yang mana jumlah senyawa flanonoid teridentifikasi berbeda. Dari hasil analisis menggunakan FTIR menghasilkan dua senyawa flavonoid sedangkan menggunakan 1H NMR diperoleh enam senyawa yang teridentifikasi memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase. Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan tingkat resolusi kedua instrumen dimana FTIR hanya mampu memberikan data berupa gugus fungsi yang menjadi penciri suatu senyawa, sedangkan NMR mampu memberikan informasi struktral suatu senyawa secara lebih detail. Satu puncak bilangan gelombang FTIR mewakili satu gugus fungsi yang terdiri dari beberapa atom sedangkan satu puncak δ mewakili satu atom sehingga hasil analisis menggunakan 1H NMR lebih spesifik dibandingkan dengan FTIR menyebabkan senyawa yang diidentifikasi akan lebih banyak. Sebaliknya hasil analisis menggunakan 1H NMR senyawa yang kurang aktif dalam kelompok senyawa aktif terhadap penghambatan enzim α-glukosidase akan dapat terdeteksi sedangkan menggunakan FTIR hasil ini sulit dicapai dikarenakan puncak gugus fungsi senyawa aktif bertumpang tindih dengan senyawa tidak aktif.
Senyawa yang diidentifikasi aktif merupakan senyawa-senyawa yang diidentifikasi dari fraksi kloroform. Selain fraksi kloroform, fraksi butanol memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase bahkan aktivitasnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase oleh fraksi kloroform. Son et al. (2011) melaporkan bahwa
30
Gambar 11 Spektrum FTIR fraksi butanol kumis kucing
Gambar 12 Spektrum 1H NMR fraksi aktif butanol kumis kucing
fraksi butanol kumis kucing memiliki aktivitas antiobesitas tetapi identifikasi senyawa-senyawa aktif dari fraksi butanol belum pernah dilaporkan.
Gugus OH bilangan gelombang 3413 cm-1 dan gugus C-O-C pada bilangan
gelombang 1077 cm-1 mengindikasikan sifat glikosidik (Rossakutty & Roslin 2012; Almutairi & Ali 2014). Pada Gambar 11 ikatan glikosidik diindikasikan oleh bilangan gelombang 3405 cm-1 dan 1074 cm-1 dapat diamati pada spektrum FTIR dari fraksi butanol kumis kucing. Adanya ikatan glikosidik memungkinkan adanya senyawa glikosida. Glikosida adalah senyawa yang terdiri karbohidrat (glikon) dan non karbohidrat (aglikon) (Hong et al. 2002). Adanya kandungan
Fenolik/flavonoid
Terpenoid
Gula/asam amino
Metoksi
31
Gambar 13 Sinyal δ 3.345 pada Y-related coefficient diduga sebagai pengotor
δ 3.345
glikosaponin dan flavonol glikosida pada ekstrak kumis kucing telah dilaporkan sebelumnya (Siddiqui et al. 2009; Sumaryono et al. 1991).
Pada spektrum 1H NMR fraksi butanol (Gambar 12) dapat dideteksi
keberadaan flavonol pada δ 6.0–8.5, gula pada δ 3.0–5.0 dan sinyal doublet anomerik proton pada δ 5.09 mengindikasikan keberadaan gugus β glukopiranosil (Ma et al. 2015) yang menguatkan dugaan keberadaan senyawa flavonol glikosida. Fraksi butanol diketahui kaya akan kandungan saponin dan flavonol glikosida (Deng et al. 2012; Tang et al. 2001). Sumaryono et al. (1991) untuk mengindentifikasi dua senyawa flavonol glikosida dari ekstrak polar kumis kucing yaitu kaempferol 3-O-β glikosida dan quercetin 3-O-β glikosida menggunakan HPLC. Oleh karena keterbatasan pangkalan data senyawa aktif berbasis spektroskopi dari kumis kucing maka pada penelitian ini senyawa aktif tersebut tidak dapat diidentifikasi. Flavonol glikosida sebagai penghambat aktivitas enzim α-glukosidase telah banyak dilaporkan sebelumnya (Habtemariam 2011).
Selain itu, pada Gambar 12 diamati keberadaan triterpenoid dan gula. Tujuh senyawa triterpenoid saponins diisolasi dan dielusidasi dari fraksi butanol akar tanaman Gypsophila oldhamiana memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase. Hasil analisis SAR (Structure–Activity Relationships) menunjukkan bahwa perbedaan posisi gula yang berikatan pada aglikon menentukan perbedaan tingkat penghambatan oleh senyawa-senyawa tersebut (Luo et al. 2008). Selain itu dari pengamatan hasil analisis OPLS, sinyal δ 3.345 pada plot Y-related coefficient diduga sebagai sinyal pengotor D2O dan MeOD (Yuliana et al. 2013) dengan nilai VIP 13.90. Dari Plot Xvar diketahui sinyal ini dalam jumlah besar pada fraksi butanol. Nilai VIP yang sangat tinggi dapat mengindikasikan sinyal tersebut sebagai kesalahan positif yang mungkin berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase yang kuat oleh fraksi butanol.
32
Gambar 14 OPLS score plot antioksidan ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis FTIR. Tiap sampel diwakili oleh lingkaran dengan variasi warna ungu ke biru mewakili sampel dengan aktivitas rendah ke aktivitas tinggi. Sumbu dan ordinat plot menunjukkan skor OPLS untuk setiap sampel.
Profil Kimia Senyawa Antioksidan Berbasis FTIR
Score plot pada OPLS digunakan untuk mengelompokkan sampel berdasarkan karakteristik data matriks Y (aktivitas antioksidan). Pada Gambar 11 terlihat fraksi aktif (M, B, dan A) dan fraksi tidak aktif (H dan K) terpisah dengan baik sehingga memungkinkan penggunaan OPLS dalam mengidentifikasi gugus fungsi senyawa aktif lebih lanjut. Nilai R2Y dan Q2Y diperoleh berturut-turut sebesar 0.82 dan 0.59. Hasil validasi silang CV ANOVA diperoleh 0.03 sehingga secara statistik metode ini tergolong valid (Eriksson et al. 2008). Dari hasil permutasi diperoleh nilai intersep R2 dan Q2 berturut-turut adalah 0.29 dan -0.95 sehingga dapat disimpulkan bahwa model OPLS ini cukup valid.
Pada Y-related coefficient plot (Gambar 12) terdapat lima area puncak dengan bilangan gelombang yang berkorelasi positif terhadap aktivitas antioksidan yaitu Area A (3020–3649 cm-1), Area B (1600-1635 cm-1), Area C (1519–1598 cm-1), Area D (1380-1409 cm-1), dan Area E (408–430 cm-1). Selain Area E (408–430 cm-1), puncak-puncak lain yang berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan digunakan untuk identifikasi senyawa aktif lebih lanjut karena berdasarkan nilai sinyal penanda senyawa aktif penting (VIP>0.5). Gugus fungsi OH direpresentasikan oleh bilangan gelombang pada Area A (3020–3649 cm-1) sedangkan Area B (1600-1635 cm-1), Area C (1519–1598 cm-1) mengindikasikan vibrasi ulur gugus C=C pada cincin fenil. Area D (1380-1409 mengindikasikan pita tekuk CH3 (Pop et al. 2014; Saidan et al. 2015). Pita-pita tersebut kemudian dicocokkan dengan data IR senyawa-senyawa yang diidentifikasi ada pada kumis kucing dari literatur.
Tidak Aktif
Aktif
33
Penanda Senyawa Antioksidan Berbasis FTIR
Pita ulur dari grup fenil (C=C) pada bilangan gelombang 1609-1608 cm-1 dan bilangan gelombang 1516-1516 cm-1 merupakan karakteristik IR tipikal senyawa aromatik yang dapat mengindikasikan keberadaan senyawa fenolik (Silva et al. 2014). Pada spektra karakteristik IR senyawa fenolik berupa pita ulur dari grup fenil (C=C) berada pada bilangan gelombang 1602-1608 dan 1522-2527 cm-1. Asam rosmarinat yang merupakan senyawa fenolik polar turunan asam kafeat dengan gugus fungsi cincin fenil, C-H aromatik, grup fenol dan karboksilat diketahui memiliki kontribusi kuat terhadap aktivitas antioksidan (Stehfest et al. 2004; Hunaefi et al. 2012).
Rangkuman hasil analisis karakteristik IR seluruh senyawa yang diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan berupa nilai VIP berkisar 0.01-0.67 dan memiliki nilai Y-related coefficient positif dapat dilihat pada Lampiran 4. VIP merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur secara kumulatif pengaruh variabel X pada model yang mana nilai VIP≥0.5 dianggap relevan (Galindo-Prieto et al. 2014). Gugus fungsi OH (>3000 cm-1) dan cincin fenil (>1500-1600 cm-1) bernilai VIP berturut-turut 0.15-0.67 dan 0.09-0.33 memiliki peranan penting terhadap aktivitas antioksidan. Rendahnya nilai VIP dari kedua gugus fungsi ini kemungkinan karena sampel sangat umum ditemukan terutama jika contoh yang diukur dalam bentuk campuran sehingga terjadinya tumpang tindih antara gugus fungsi OH dan cincin fenil senyawa aktif dengan senyawa tidak aktif sangat mungkin terjadi.
Kumis kucing diketahui kaya akan kandungan senyawa fenolik dan
flavonoid. Hasil identifikasi gugus fungsi penanda senyawa yang berkorelasi dengan aktivitas antioksidan mengindikasikan senyawa-senyawa metoksi
A B C D E
Gambar 15 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis FTIR. Area A (3020–3649 cm-1), Area B (1600-1635 cm-1), Area C (1519–1598 cm-1), Area D (1380-1409 cm-1), dan Area E (408–430 cm-1) adalah puncak-puncak yang menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas antioksidan.
34
flavonoid dan flavonoid terprenilasi berikut memiliki aktivitas antioksidan antara lain eupatorin, sinensitin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksflavon, salvegenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon, dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon (Hossain dan Rahman 2015). Eupatorin dan 3’-hidroksi-5,6,7,4’-tetrametoksiflavon (TMF) diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang relatif sama dengan butylated hydroxylanisole (BHA) sedangkan aktivitas antioksidan sinensitin lebih rendah dari BHA pada konsentrasi yang sama (0,05 mg/mL) (Akowuah et al. 2005). Aktivitas antioksidan oleh flavonoid dan senyawa fenol lainnya sebagian besar disebabkan oleh gugus hidroksil aromatik sehingga radikal fenolik menjadi lebih stabil langsung setelah radikal terbentuk ketika satu hidrogen radikal didonorkan untuk DPPH (de Souza et al. 2013). Semakin banyak gugus hidroksi pada struktur kimia semakin tinggi aktivitas antioksidan oleh senyawa tersebut (Liu et al. 2010). Selain itu, flavonoid yang disubtitusi dengan sejumlah OMe menunjukkan penurunan aktivitas antioksidan (Jeong et al. 2007).
Senyawa diterpena ditandai dengan adanya pita serapan gugus hidroksil pada bilangan gelombang 3500-3480 cm-1, ester karbonil pada bilangan gelombang 1270-1150 cm-1, serta fenil pada bilangan gelombang 1600 cm-1 dan 1420 cm-1 (Sim et al. 2004). Senyawa diterpena dapat diisolasi dari fraksi kloroform (Awale et al. 2002; Awale et al. 2003). Berdasarkan hasil identifikasi gugus fungsi penanda senyawa antioksidan (Lampiran 4) mengindikasikan senyawa dari kelompok diterpena tipe isopimaran yaitu ortosifol F, ortosifol G, ortosifol H, ortosifol I, ortosifol J (Tezuka et al. 2000), ortoarisin A, ortoarisin B, ortoarisin C, ortoarisin D,ortoarisin E, ortoarisin F dan ortoarisin G (Di et al. 2013). Diterpena tipe isopimaran teroksigenasi antara lain ortosifol O, ortosifol P, ortosifol Q, dan noortosifonolida A (Awale et al. 2002), diterpena tipe isopimaran teroksigenasi tinggi antara lain ortosifol A, ortosifol B, ortosifol U, ortosifol V, ortosifol W, ortosifol X, ortosifol Y, dan ortosifol Z (Masuda et al. 1992; Awale et al. 2003), diterpena tipe isopimaran termigrasi Neoortosifol A dan Neoortosifol B (Ohashi et al. 2000) dan diterpena tipe sekoisopimaran ortoarisin H (Di et al. 2013). Delapan belas senyawa diterpena (ortosifol U-Z, ortosifol A, B, D, F, G, I, J, O, R, T, ortosifonon A dan sekoortosifol B) diisolasi dari ekstrak metanol kumis kucing menujukkan aktivitas penghambatan yang signifikan terhadap produksi nitrit oksida (NO) pada sel serupa mikrofag J774.1 teraktivasi lipopolisakarida (LPS). Namun demikian ortosifol A, B, D, dan X menunjukkan aktivitas penghambatan kuat melebihi kontrol positif NG-monometil-L-arginin (L-NMMA). Ortosifol U menunjukkan aktivitas terkuat dengan nilai IC50 sebesar 6.4 µM (Awale et al. 2003).
Senyawa yang berkorelasi dengan aktivitas antioksidan juga diduga dari kelompok diterpena tipe staminan. Beberapa senyawa diterpena tipe staminan diidentifikasi yaitu staminol A, staminol B, staminolakton A, staminolakton B, norstaminol A (Tezuka et al. 2000) dan ortoarisin I (Di et al. 2013). Aktivitas antioksidan diterpena tipe staminan terhadap produksi nitrit oksida (NO) pada sel serupa mikrofag J774.1 teraktivasi lipopolisakarida (LPS) dilaporkan dari senyawa staminol C dan D yang diisolasi dari ekstrak metanol kumis kucing dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 61.1 µM dan 92.0 µM (Ngunyen et al. 2004).
Berdasarkan hasil identifikasi gugus fungsi penanda senyawa antioksidan (Lampiran 4) mengindikasikan senyawa dari kelompok triterpena yaitu asam
35
ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, α-amirin, β-amirin, dan asam maslinat (Hossain dan Ismail 2013) sebagai senyawa antioksidan. Asam ursolat yang diisolasi dari ekstrak Sambucus australis menunjukkan aktivitas antioksidan terhadap senyawa DPPH dengan nilai IC50 sebesar 5.97 x 10-2 mg/ml, asam maslinat yang diisolasi dari kulit buah Ziziphus
jujuba Mill. menunjukkan aktivitas antioksidan terhadap DPPH setara standar BHT dengan nilai dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 39.6 µg/ml 28.12 µg/ml (do Nascimento et al. 2014; Rajopadhye dan Upadhye 2016). Aktivitas antioksidan juga dilaporkan dari triterpena β-amirin dari daun Symplocos
cochinchinensis Moore. yang menunjukkan aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH (IC50 89.63 g/ml), hidroksil (IC50 76.41 g/ml), nitrit oksida (IC50 87.03 g/ml) dan superoksida (IC50 81.28 g/ml) sekaligus aktivitas mereduksi radikal yang tinggi dan kuat dalam menekan pengaruh peroksidasi lipid (Sunil et al. 2014). Selain itu, senyawa triterpena α-amirin, asam ursolat, dan asam oleanolat dyang diisolasi dari F. pseudopalma merupakan pendonor proton dengan nilai IC50>333.33 µM dan kemampuan mereduksi sebessar RC50>909.09 µM. asam ursolat merupakan penghambat NO• tertinggi (IC50>166.67 µM) yang disusul asam oleanolat dan kemudian α-amirin. Asam ursolat juga merupakan penghambat radikal •O2 tertinggi. Tidak hanya itu, α-amirin, asam oleanolat dan asam ursolat menujukkan kemampuan menghambat peroksidasi lipid dengan nilai IC50 <15 µM (Santiago et al. 2014). Profil Kimia Senyawa Antioksidan Berbasis NMR
Score plot pada OPLS digunakan untuk mengelompokkan sampel berdasarkan karakteristik data matriks Y (aktivitas antioksidan). Pada Gambar 13 terlihat fraksi aktif (M, B, dan A) dan fraksi tidak aktif (H dan K) terpisah dengan baik sehingga memungkinkan penggunaan OPLS dalam mengidentifikasi gugus fungsi senyawa aktif lebih lanjut. Nilai R2Y dan Q2Y diperoleh berturut-turut sebesar 0.84 dan 0.80. Dari hasil permutasi diperoleh nilai intersep R2 dan Q2 berturut-turut adalah 0.03 dan -0.34 sehingga dapat disimpulkan bahwa model OPLS ini cukup valid (Eriksson et al. 2006).
Aktif Tidak Aktif
Gambar 16 OPLS score plot antioksidan ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis NMR. Tiap sampel diwakili oleh lingkaran dengan variasi warna ungu ke biru mewakili sampel dengan aktivitas rendah ke aktivitas tinggi. Sumbu dan ordinat plot menunjukkan skor OPLS untuk setiap sampel.
36
Pada Gambar 14 terdapat lima area puncak dengan bilangan gelombang yang berkorelasi positif terhadap aktivitas antioksidan yaitu Area A (δ 7.02-6.22) dan Area B (δ 4.41-2.82). Pada Area A (δ 7.02-6.22) dan Area B (δ 4.41-2.82) puncak-puncak yang korelasi positif dengan aktivitas antioksidan digunakan untuk identifikasi senyawa aktif lebih lanjut. Area A (δ 7.02-6.22) dapat merepresentasikan daerah aromatik dari flavonoid aglikon dan daerah aromatik dari diterpena (Lenny et al. 2013; Nacoulma et al. 2013). Area B (δ 4.41-2.82) dapat merepresentasikan metoksi flavonoid (Yuliana et al. 2013), gula (Kutyshenko et al. 2015) dan alifatik metilen dari diterpena (Awale et al. 2004).
Penanda Senyawa Antioksidan Berbasis NMR
MetaboHunter merupakan keluaran komprehensif untuk mengidentifikasi metabolit dalam bentuk input spektrum ataupun deretan puncak dalam bentuk campuran. Untuk proses identifikasi semi-otomatis menggunakan MetaboHunter sinyal berkorelasi positif tertinggi pada plot Y-related coefficient diantaranya δ 3.62 -3.82 dipilih menggunakan plot Xvar sehingga diketahui bahwa sinyal-sinyal tersebut terdapat dalam jumlah banyak pada fraksi A1 dan A3. Dari hasil unggahan deretan puncak spektra fraksi A1 dan A3 pada MetaboHunter diperoleh senyawa aktif berturut-turut sebanyak 387 dan 439 senyawa dari pangkalan data. Salah satu senyawa yang teridentifikasi dan berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan adalah asam rosmarinat (Tabel 5). Aktivitas antioksidan dari asam rosmarinat telah dilaporkan sebelumnya bahkan senyawa ini diduga merupakan senyawa paling berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dari tanaman kumis kucing (Hunaefi et al. 2012).
Gambar 17 Plot Y-related coefficient ekstrak dan fraksi kumis kucing berbasis
NMR. Area A (δ 7.02-6.22) dan Area B (δ 4.41-2.82) adalah puncak-puncak dengan pergeseran kimia (δ) yang menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas antioksidan.
B
A
37
Dengan menggunakan pangkalan data berupa jurnal-jurnal yang memuat karakteristik data NMR senyawa yang pernah diidentifikasi dari kumis kucing, senyawa dari kelompok flavonoid, diterpena dan triterpena diduga sebagai senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa dari hasil OPLS diidentifikasi berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari hasil analisis OPLS data NMR mengindikasikan bahwa senyawa dari kelompok metoksi flavonoid dan flavonoid terprenilasi berkorelasi positif terhadap aktivitas antioksidan (Tabel 8). Aktivitas antioksidan dari metoksi flavonoid telah dilaporkan sebelumnya (Akouwah et al. 2004; Akouwah et al. 2005) sedangkan aktivitas antioksidan dari flavonoid terprenilasi kumis kucing belum pernah dilaporkan. Flavonoid terprenilasi diindikasikan dari sinyal singlet tajam pada δ 1.67. Dari plot Y-related coefficient sinyal tersebut tidak aktif. Flavonoid terprenilasi 5,7,3’,5’-tetrametoksi-8-C-prenilflavon dan 5,7,3’,5’-tetrametoksi-6-C-prenilflavon kumis kucing diketahui memiliki aktivitas toksik terhadap sel liver metastatic murine colon 26-L5 carsinoma cells pada ED60 sekitar 10-90 µg/ml (Hossain dan Ismail 2011). Isolat lima flavonoid terprenilasi dari Cudrania tricuspidata tidak aktif terhadap radikal DPPH (IC50>300 μM) namun aktif terhadap radikal ABTS (IC50<10 μM) (Lee et al. 2006).
Tabel 7 Deretan puncak rosmarinat dari pangkalan data MetaboHunter terhadap antioksidan
Tabel 8 Deretan puncak flavonoid diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan
Pergeseran kimia (δ) bernilai Y-related coefficient positif
Senyawa Referensi VIP
3.72-6.88 5,3’-dihidroksi-6,7,4’-trimetoksiflavon (eupatorin)
Hossain dan Rahman 2015
0.30-2.19
3.76-7.18 5,6,7,3’,4’-pentametoksiflavon (sinensetin)
0.02-0.90
3.41-6.97 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksiflavon
0.00-2.52
3.91-6.67 Salvigenin 0.17-0.66 3.91-6.65 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon 0.10-0.14 3.51-6.99 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-
8-C-prenilflavon 0.02-0.70
Keberadaan diterpena diindikasikan oleh keberadaan sinyal metil umumnya
berupa puncak singlet pada daerah δ 0.66-1.82 (Awale et al. 2002). Senyawa-senyawa diterpena yang diprediksikan sebagai senyawa penghambat aktivitas
Pergeseran kimia (δ)
Y-related
coefficients VIP Sumber data
2.9 + 0.26 Madison Metabolomics
Consortium Database
(MMCD) 3.0 + 0.55 3.1 + 0.55 5.0 - - 6.1 - - 6.7 + 0.4 6.8 + 0.43 6.9 + 0.30 7.3 + 0.01
38
antioksidan dari hasil analisis OPLS dapat dilihat pada Tabel 9. Senyawa-senyawa diterpena khas dari kumis kucing ini dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan (Ngunyen et al. 2004: Awale et al. 2003) akan tetapi aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH belum pernah dilaporkan. Sinyal-sinyal senyawa ortosifol Q, ortosifol U, ortosifol V, ortosifol X, ortosifol G, ortoarisin D dan F memiliki nilai VIP kurang dari 0.5. VIP<0.5 mengindikasikan bahwa sinyal dari senyawa tersebut tidak signifikan (Galindo-Prieto et al. 2014) akan tetapi sinyal 1H NMR yang digunakan pada penelitian ini tidak mengikutsertakan sinyal OH (≥10 ) sedangkan penetralan radikal bebas DPPH oleh senyawa aktif terjadi dengan mendonorkan proton dari gugus OH (Akowuah et al. 2005).
Tabel 9 Deretan puncak diterpena diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan Pergeseran kimia (δ) bernilai Y-related coefficient positif
Senyawa Referensi VIP
2.94-6.30 Neoortosifol A Ohashi et al. 2000 0.06-3.57 2.52-6.27 Neoortosifol 0.07-1.61 2.95-6.86 Ortosifol O Awale et al. 2002 0.02-0.76 1.94-3.49 Ortosifol P 0.09-0.70 1.90-3.14 Ortosifol Q 0.02-0.37 2.50-5.12 Noortosifonolida A 0.34-0.76 1.94-3.49 Ortosifol A Masuda et al.
1992 0.55-0.70
1.90-3.39 Ortosifol B 0.02-0.81 4.46 Ortosifol U Awale et al. 2003 0.07 2.86 Ortosifol V 0.10 3.55 Ortosifol W 3.57 2.82-4.50 Ortosifol X 0.02-0.09 1.90-6.14 Ortosifol Y 0.02-0.76 2.84-3.11 Ortosifol Z 0.10-0.70 1.50-6.99 Ortosifol F Tezuka et al. 2006 0.01-1.16 5.87 Ortosifol G 0.05 2.48-3.18 Ortosifol H 0.76-1.77 2.47-6.39 Ortosifol I 0.09-0.70 2.69-3.52 Ortosiphol J 0.01-3.57 1.88-6.29 Staminol A 0.06-0.70 1.38-5.38 Staminol B 0.05-0.55 1.89-5.13 Staminolakton A 0.02-1.13 1.86-7.18 Staminolakton B 0.00-0.65 3.69-3.81 Norstaminol A 1.69-2.52 1.93-3.89 Ortoarisin A Di et al. 2013 0.17-0.90 1.90-7.34 Ortoarisin B 0.01-2.19 2.88-5.38 Ortoarisin C 0.24-1.13 2.14-3.90 Ortoarisin D 0.01-0.23 2.50-3.51 Ortoarisin E 0.70-0.76 2.38 Ortoarisin F 0.00 2.14-6.39 Ortoarisin G 0.01-1.26 3.06-3.77 Ortoarisin H 0.49-2.52 1.94-6.29 Ortoarisin I 0.06-1.77
Daerah δ 0.86-1.68 mengindikasikan lima sinyal metil tersier yang
merupakan karakteristik senyawa triterpenoid (Hossain et al. 2013 dan Ali et al. 2015). Beberapa senyawa triterpenoid dari tanaman kumis kucing yang diduga memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase dapat dilihat pada Tabel 10. Aktivitas antioksidan isolat senyawa triterpena dari kumis kucing ini terhadap radikal DPPH belum pernah dilaporkan. Dari tanaman lain senyawa
39
triterpenoid tersebut dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH (do Nascimento et al. 2014; Sunil et al. 2014; Rajopadhye dan Upadhye 2016).
Tabel 10 Deretan puncak triterpena diidentifikasi memiliki aktivitas antioksidan
Pergeseran kimia (δ) dengan nilai Y-related coefficient positif
Senyawa Referensi VIP
0.94-3.38 Asam ursolat Hossain dan Ismail 2013
0.34-2.51 1.38-3.38 Asam oleanolat 0.34-1.77 1.38-3.38 Asam betulinat 0.34-1.77 2.14-4.50 Asam hidroksibetulinat 0.01-1.77 3.53-5.13 α-amirin 0.05-3.57 1.86-5.14 β-amirin 0.02-0.55 3.26-4.10 Asam maslinat 0.06-1.36
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Metode metabolomik berbasis FTIR memungkinkan identifikasi secara
cepat gugus fungsional penanda senyawa yang berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dan antioksidan dari ekstrak kasar dan fraksi kumis kucing. Hasil analisis menunjukkan bahwa gugus fungsi karbonil, metoksi, hidroksil dan C-O yang mengindikasikan keberadaan senyawa-senyawa dari kelompok metoksi flavonoid (sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) yang berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase sedangkan gugus fungsi hidroksil dan cincin fenil mengindikasikan keberadaan senyawa-senyawa dari kelompok fenolik (asam rosmarinat), flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon), diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) yang diduga berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan. δ 0.94-1.82 dan δ 6.62-8.26 berturut-turut mengindikasikan senyawa-senyawa dari kelompok diterpena/triterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton/asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-amirin) dan fenolik/flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’ tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon, dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon) yang berkorelasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase sedangkan δ 2.82-4.41 dan δ 6.22-7.02 berturut-turut mengindikasikan senyawa-senyawa dari kelompok diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminol, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, α-amirin dan β-
40
amirin) dan fenolik atau flavonoid (eupatorin, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3’,4’ tetrametoksiflavon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon, dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon) yang berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan. Dengan demikian, metabolomik berbasis 1H NMR yang digunakan berhasil mengkonfirmasi senyawa hasil prediksi metabolomik berbasis FTIR. Pada penelitian ini, konfirmasi aktivitas senyawa aktif yang diprediksi oleh OPLS dilakukan dengan penelusuran literatur mengenai aktivitas α-glukosidase atau antioksidan senyawa tersebut.
Saran
Studi lebih lanjut fraksi butanol diperlukan untuk memastikan komponen
yang berkontribusi terhadap aktivitas biologis oleh fraksi tersebut. Selain itu, konfirmasi lebih lanjut senyawa-senyawa hasil prediksi yang telah diidentifikasi pada penelitian ini menggunakan 2D NMR sangat disarankan mengingat senyawa aktif diukur dalam bentuk campuran. Untuk memastikan tingkat keaktivan masing-masing senyawa teridentifikasi, senyawa-senyawa tersebut dapat diisolasi dan diuji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase atau antioksidannya. Dengan adanya informasi dari analisis OPLS ini, maka proses isolasi dan identifikasi akan jauh lebih mudah dan terarah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdelwahab SI, Mohan S, Elhassan MM, Al-Mekhlafi N, Mariod AA, Abdul
AB, Abdulla MA. Alkharfy KH. 2011. Antiapoptotic and antioxidant
properties of Orthosiphon stamineus Benth (cat’s whiskers): intervention
in the Bcl-2-mediated apoptotic pathway. Evid-Based Compl Alt
2011:01-11. doi:10.1155/2011/156765.
Abdulazeez SS. 2015. Diabetes treatment: A rapid review of the current and
future scope of stem cell research. Saudi Pharm J. 23:333-40.
Abedini A, Roumy V, Mahieux S, Biabiany M, Standaert-Vitse A, Rivière C,
Sahpaz S, Bailleul F, Neut C, Hennebelle T. 2013. Rosmarinic Acid and
Its Methyl Ester as Antimicrobial Components of the Hydromethanolic
Extract of Hyptis atrorubens Poit. (Lamiaceae). Evid-Based Compl Alt
2013:01-011. doi: 10.1155/2013/604536.
Adnyana IK, Setiawan F, Insanu M. 2013. From ethnopharmacology to clinical
study of Orthosiphon stamineus benth. Int J Pharm Sci 5:63-66.
Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Sadikun A, Khamsah SM. 2004a. Sinensetin,
eupatorin, 3’-hydroxy-5, 6, 7, 4’-tetramethoxyflavone and rosmarinic acid
contents and antioxidative effect of Orthosiphon stamineus from Malaysia.
Food Chem 87: 559–566. doi:10.1016/j.foodchem.2004.01.00.
Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Sadikun A. 2004b. Radical Scavenging
Activity of Methanol Leaf Extracts of Orthosiphon stamineus. Pharm Biol
42: 629–635. doi: 10.1080/13880200490902572.
Akowuah GA, Ismail Z, Norhayati I, Sadikun A. 2005. The effects of different
extraction solvents of varying polarities on polyphenols of Orthosiphon
stamineus and evaluation of the free radical-scavenging activity. Food
Chem 93:311–317. doi : 10.1016/j.foodchem.2004.09.028.
Almatar M, Rahmat Z, Salleh FM. 2013. Preliminary morphological and
anatomical study of Orthosiphon stamineus. Indian J. Pharm. Biol. Res.
1:1-6.
Apak R, Gorinstein S, Böhm V, Schaich KM, Özyürek M, Güçlü K. 2013.
Methods of measurement and evaluation of natural antioxidant
capacity/activity (IUPAC Technical Report). Pure Appl. Chem 85: 957–
998. doi: 10.1351/PAC-REP-12-07-15.
Asghari B, Salehi P, Sonboli A, Nejad Ebrahimi S. 2015. Flavonoids from Salvia
chloroleuca with α-Amylsae and α-Glucosidase Inhibitory Effect. Iran J
Pharm Res. 14:609-15.
Awale S, Tezuka Y, Banskota AH, Kouda K, Tun KM, Kadota S. 2002. Four
Highly Oxygenated Isopimarane-Type Diterpenes of Orthosiphon
stamineus. Planta Med 68: 286-288. doi: 10.1055/s-2002-23137.
Awale S, Tezuka Y, Banskota AH, I Ketut Adnyana, Kadota S. 2003. Nitric
Oxide Inhibitory Isopimarane-type Diterpenes from Orthosiphon
stamineus of Indonesia. J Nat Prod. 66:255-8. doi: 10.1021/np020455x.
Baker MJ, Trevisan J, Bassan P, Bhargava R, Butler HJ, Dorling KM, Fielden PR,
Fogarty SW, Fullwood NJ, Heys KA, Hughes C, Lasch P, Martin-Hirsch
PL, Obinaju B, Sockalingum GD, Sulé-Suso J, Strong RJ, Walsh MJ,
Wood BR, Gardner P, Martin FL. 2014. Using Fourier transform IR
42
spectroscopy to analyze biological materials. Nat Protoc. 9:1771-91. doi:
10.1038/nprot.2014.110.
Baynes JW, Thorpe SR. 1999. Perspectives in diabetes: Role of oxidative stress in
diabetic complications a new perspective on an old paradigm. Diabetes
48:01-07.
Brand-Williams, W. Cuvelier ME, Berset C. 1995. Use of a Free Radical Method
to Evaluate Antioxidant Activity. Lebensm.-Wiss.u-Technol 28:25-30.
Capasso R, Izzo AA, Romussi G, Capasso F, De Tommasi N, Bisio A, Mascolo
N. 2004. A secoisopimarane diterpenoid from Salvia cinnabarina inhibits
rat urinary bladder contractility in vitro. Planta Med.70:185-8. doi:
10.1055/s-2004-815501.
Cozzolino D. 2015. Infrared Spectroscopy as a Versatile Analytical Tool for the
Quantitative Determination of Antioxidants in Agricultural Products,
Foods and Plants. Antioxidants (Basel). 4: 482–497. doi:
10.3390/antiox4030482.
Dabhi AS, Bhatt NR, Shah MJ. 2013. Voglibose: An Alpha Glucosidase Inhibitor.
J Clin Diagn Res. 7: 3023–3027. doi: 10.7860/JCDR/2013/6373.3838.
Damsud T, Grace MH, Adisakwattana S, Phuwapraisirisan P. 2014. Orthosiphol
A from the aerial parts of Orthosiphon aristatus is putatively responsible
for hypoglycemic effect via alpha-glucosidase inhibition. Nat Prod
Commun. 9:639-41.
de la Monte SM, Wands JR. 2008. Alzheimer's Disease Is Type 3 Diabetes–
Evidence Reviewed. J Diabetes Sci Technol. 2: 1101–1113.
de Souza RF, Marinho VHS, da Silva GA, Costa-Jr. LM, da Silva JKR, Bastos
GNT, Arruda AC, da Silva MN, Arruda MSP. 2013. New Isoflvones from
the Leaves of Vatairea guianensis Aublé. J. Braz. Chem. Soc. 24:1857-
1863. doi: 10.5935/0103-5053.20130231.
Di Sotto A, Mastrangelo S, Romussi G, Bisio A, Mazzanti G. 2009.
Antimutagenic activity of a secoisopimarane diterpenoid from Salvia
cinnabarina M. Martens et Galeotti in the bacterial reverse mutation assay.
Food Chem Toxicol. 47:2092-6. doi: 10.1016/j.fct.2009.05.030. 2.
do Nascimento PG, Lemos TL, Bizerra AM, Arriaga ÂM, Ferreira DA, Santiago
GM, Braz-Filho R, Costa JG. 2014. Antibacterial and antioxidant activities
of ursolic acid and derivatives. Molecules. 19:1317-27. doi:
10.3390/molecules19011317.
Eriksson L, Johansson E, Wold N, Trygg J, Wikstrom C, Wold S. 2006.
Multi- and Megavariate Data Analysis: Advanced Applications and
Method Extensions. 1st ed. Umea: Umetrics AB.
Eriksson L, Trygg J, Wold S. 2008. CV-ANOVA for significance testing of PLS
and OPLS models. J Chemometrics 22:594–600. doi: 10.1002/cem.1187.
Galindo-Prieto B, Eriksson L, Trygg J. 2014. Variable influence on projection
(VIP) for orthogonal projections to latent structures (OPLS). J
Chemometrics 28: 623-632. doi: 10.1002/cem.2627.
Gao H, Nishioka T, Kawabata J, Kasai T. 2004. Structure-activity relationships
for alpha-glucosidase inhibition of baicalein, 5,6,7-trihydroxyflavone: the
effect of A-ring substitution. Biosci Biotechnol Biochem. 68:369-75.
Habtemariam S. 2011. α-glucosidase inhibitory activity of kaempferol-3-O-
rutinoside. Nat Prod Commun. 6:201-3.
43
He QQ, Yang L, Zhang JY, Ma JN, Ma CM. 2014. Chemical constituents of gold-
red apple and their α-glucosidase inhibitory activities. J Food Sci.
79:C1970-83. doi: 10.1111/1750-3841.12599.
Hossain MA, Rahman SMM. 2015. Isolation and characterisation of flavonoids
from the leaves of medicinal plant Orthosiphon stamineus. Arab J Chem
8:218-221. doi: 10.1016/j.arabjc.2011.06.016.
Hossain MA, Ismail Z. 2013. Isolation and characterizati on of triterpenes from
the leaves of Orthosiphon stamineus. Arab J Chem 6: 295–298.
doi:10.1016/j.arabjc.2010.10.009.
Hou W, Li Y, Zhang Q, Wei X, Peng A, Chen L, Wei Y. 2009. Triterpene acids
isolated from Lagerstroemia speciosa leaves as alpha-glucosidase
inhibitors. Phytother Res. 23:614-8. doi: 10.1002/ptr.2661.
Hui H, Tang G, Go VLW. 2009. Hypoglycemic herbs and their action
mechanisms. Chin Med 2009; 4-11.
Hunaefi D, Akumo DN, Riedel H,
Smetanska
I. 2012. The Effect of Lactobacillus
plantarum ATCC 8014 and Lactobacillus acidophilus NCFM
Fermentation on Antioxidant Properties of Selected in vitro Sprout Culture
of Orthosiphon aristatus (Java Tea) as a Model Study. Antioxidants
(Basel). 1: 4–32. doi: 10.3390/antiox1010004.
Hussain K, Ismail Z, Sadikun A, Ibrahim P. 2009. Evaluation of Metabolic
Changes in Fruit of Piper Sarmentosum in Various Seasons by
Metabolomics Using Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy. Int
J Clin Pharm Res 1: 68-71.
Jacobsen, NE. 2007. Nmr Spectroscopy Explained : Simplified Theory,
Applications and Examples for Organic Chemistry and Structural Biology.
John Wiley & Sons.
Javadi N, Abas F, Abd Hamid A, Simoh S, Shaari K, Ismail IS, Mediani A,
Khatib A. 2014. GC-MS-based metabolite profiling of Cosmos caudatus
leaves possessing alpha-glucosidase inhibitory activity. J Food Sci.
79:C1130-6. doi: 10.1111/1750-3841.12491.
Jeong JM, Choi CH, Kang SK, Lee IH, Lee JY, Jung H. 2007. Antioxidant and
chemosensitizing effects of flavonoids with hydroxy and/or methoxy
groups and structure-activity relationship. J Pharm Pharm Sci. 10:537-46.
Johansen JC, Harris AK, Rychly DJ, Ergul A. 2005. Oxidative stress and the use
of antioxidants in diabetes: Linking basic science to clinical practice.
Cardiovasc Diabetol. 4: 5. doi: 10.1186/1475-2840-4-5.
Kementerian Negera Riset dan Teknologi RI. 2014. www.warintek.ristek.go.id.
[28 Februari 2014].
Keng CL, Siong LP. 2006. Morphological Similarities and Differences between
the Two Varieties of Cat`s Whiskers (Orthosiphon stamineus Benth.)
grown in Malaysia. Int J Bot 2:1-6. doi: 10.3923/ijb.2006.1.6.
Khamsah SM, Akowah G, Zhari I. 2006. Antioxidant activity and phenolic
content of Orthosiphon stamineus benth from different geographical
origin. J Sustain Sci Manage 1:14-20.
Kwon YI, Apostolidis E, Shetty K. 2008. In vitro studies of eggplant (Solanum
melongena) phenolics as inhibitors of key enzymes relevant for type 2
diabetes and hypertension. Bioresour Technol. 99:2981-8. doi
10.1016/j.biortech.2007.06.035.
44
Kubínová R, Pořízková R, Navrátilová A, Farsa O, Hanáková Z, Bačinská A,
Cížek A, Valentová M. 2014. Antimicrobial and enzyme inhibitory
activities of the constituents of Plectranthus madagascariensis (Pers.)
Benth. J Enzyme Inhib Med Chem. 29:749-52. doi:
10.3109/14756366.2013.848204.
Kutyshenko VP, Budantsev AY, Uversky VN. 2015. Analysis of seasonal changes
in plants by high-resolution NMR spectroscopy: Looking at the aqueous
extracts from different plant tissues. J Nat Sci 1: 1-4.
[IDF] International Diabetes Federation. 2013. IDF Diabetes Atlas.
http://www.idf.org/diabetesatlas [28 Februari 2014].
Lawal U, Mediani A, Maulidiani H, Shaari K, Ismail IS, Khatib A, Abas F. 2015.
Metabolite profiling of Ipomoea aquatica at different growth stages
incorrelation to the antioxidant and α glucosidase inhibitory activities
elucidated by 1H NMR-based metabolomics. Sci. Hortic 192: 400–408.
Lazo de la Vega-Monroy ML, Larrieta E, German MS, Baez-Saldana A,
Fernandez-Mejia C. 2013. Effects of biotin supplementation in the diet on
insulin secretion, islet gene expression, glucose homeostasis and beta-cell
proportion. J Nutr Biochem. 24:169-77.doi:10.1016/j.jnutbio.2012.03.020.
Lee BW, Lee JH, Gal SW, Moon YH, Park KH. 2006. Selective ABTS radical-
scavenging activity of prenylated flavonoids from Cudrania tricuspidata.
Biosci Biotechnol Biochem. 70:427-32.
Lenny S, Barus T, Marpaung, ML.Pandapotan Nasution. 2013. Structure
elucidation of flavonoid compound from the leaves of coleus
atropurpureus benth using 1D- and 2D-NMR techniques. Malays J Anal
Sci 17: 255 – 261.
Liang YS, Choi YH, Kim HK, Linthorst HJM, Verpoorte R. 2006. Metabolomic
analysis of methyl jasmonate treated Brassica rapa leaves by 2-
dimensional NMR spectroscopy. Phytochem. 67: 2503–2511.
Lindgren F, Hansen B, Karcher W. 1996. Model validation by permutation tests:
applications to variable selection. J. Chemometrics 10:521-532.
Liu W, Yu Y, Yang R, Wan C, Xu B, Cao S. 2010.
Optimization of Total
Flavonoid Compound Extraction from Gynura medica Leaf Using
Response Surface Methodology and Chemical Composition Analysis. Int J
Mol Sci. 11: 4750–4763. doi: 10.3390/ijms11114750.
Luo JG, Ma L, Kong LY. 2002. New triterpenoid saponins with strong alpha-
glucosidase inhibitory activity from the roots of Gypsophila oldhamiana.
Bioorg Med Chem. 16:2912-20. doi: 10.1016/j.bmc.2007.
Ma YY, Zhao DG, Zhou AY, Zhang Y, Du Z, Zhang K. 2015. α-Glucosidase
Inhibition and Antihyperglycemic Activity of Phenolics from the Flowers
of Edgeworthia gardneri. J Agric Food Chem. 63:8162-9. doi:
10.1021/acs.jafc.5b03081.
Mbaze LM, Poumale HM, Wansi JD, Lado JA, Khan SN, Iqbal MC, Ngadjui BT,
Laatsch H. 2007. alpha-Glucosidase inhibitory pentacyclic triterpenes
from the stem bark of Fagara tessmannii (Rutaceae). Phytochemistry.
68:591-5. doi: 10.1016/j.phytochem.2006.12.015
Mohamed EAH, Mohamed AJ, Asmawi MZ, Sadikun A, Ebrika OS, Yam MF.
2011. Antihyperglycemic effect of Orthosiphon stamineus Benth leaves
45
extract and its bioassay-guided fractions. Molecules 16:3787-3801. doi:
10.3390/molecules16053787.
Mohamed EAH, Siddiqui MJA, Ang LF, Sadikun A, Chan SH, Tan SC, Asmawi
MZ and Yam MF. 2012. Potent α-glucosidase and α-amylase inhibitory
activities of standardized 50 persen ethanolic extracts and sinensetin from
Orthosiphon stamineus Benth as anti-diabetic mechanism. BMC Complem
Altern M 12:01-07. doi: 10.1186/1472-6882-12-176.
Mohamed EA, Yam MF, Ang LF, Mohamed AJ, Asmawi MZ. 2013. Antidiabetic
properties and mechanism of action of Orthosiphon stamineus Benth
bioactive sub-fraction in streptozotocin-induced diabetic rats. J Acupunct
Meridian Stud. 6:31-40. doi: 10.1016/j.jams.2013.01.005.
Mohamed EA, Ahmad M, Ang LF, Asmawi MZ, Yam MF.2015. Evaluation of α-
Glucosidase Inhibitory Effect of 50 persen Ethanolic Standardized Extract
of Orthosiphon stamineus Benth in Normal and Streptozotocin-Induced
Diabetic Rats. Evid Based Complement Alternat Med. 2015:754931. doi:
10.1155/2015/754931.
Nacoulma AP, Vandeputte OM, De Lorenzi M, El Jaziri M, Duez P. 2013.
Metabolomic-Based Study of the Leafy Gall, the Ecological Niche of the
Phytopathogen Rhodococcus Fascians, as a Potential Source of Bioactive
Compounds. Int. J. Mol. Sci. 14: 12533-12549;
doi:10.3390/ijms140612533
Ohashi K, Bohgaki T, Matsubara T, Shibuya H. 2000. Indonesian medicinal
plants. XXIII. Chemical structures of two new migrated pimarane-type
diterpenes, neoorthosiphols A and B, and suppressive effects on rat
thoracic aorta of chemical constituents isolated from the leaves of
Orthosiphon aristatus (Lamiaceae). Chem Pharm Bull (Tokyo) 48:433-5.
Pelkonen O, Pasanen M, Lindonc JC, Chand K, Zhaof L, Dealg G, Xuh Q, Fan T.
2012. Omics and its potential impact on R and D and regulation of
complex herbal products. J Ethnopharmacol. 140: 587– 593.
Phan MAT, Wang J, Tang J, Lee YZ, Ng K. 2013. Evaluation of a-glucosidase
inhibition potential of some flavonoids from Epimedium brevicornum.
Lwt-Food Sci Technol 53: 492-498.
Pinto AC, Queiroz PPS, Garcez W. 1991 Diterpenes from Vellozia bicolor. J Braz
Chem Soc. 2: 25-30. 10.5935/0103-5053.19910006.
Pop RM, Buzoianu AD, Raţi IV, Socaciu C. 2014. Untargeted metabolomics for
sea buckthorn (Hippophae rhamnoides ssp. carpatica) berries and leaves:
fourier transform infrared spectroscopy as a rapid approach for evaluation
and discrimination. Not. Bot. Horti Agrobo. 42:545-550. doi:
10.1583/nbha4229654
Rafi M, Purwakusumah ED, Ridwan T, Barus B, Sutandi A, Darusman LK. 2015.
Geographical classification of Java Tea (Orthosiphon stamineus) from
Java Island by FTIR spectrocopy combined with canonical variate analysis.
JSM 23: 25-31.
Rajopadhye A, Upadhye AS. 2016. Estimation of Bioactive Compound, Maslinic
Acid by HPTLC, and E valuation of Hepatoprotective Activity on Fruit
Pulp of Ziziphus jujuba Mill. Cultivars in India. Evid-Based Compl Alt
2016: 1-8. doi:10.1155/2016/4758734.
46
Rao PV, Sujana P, Vijayakanth T, Naidu MD. 2012. Rhinacanthus nasutus - Its
protective role in oxidative stress and antioxidant status in streptozotocin
induced diabetic rats. Asian Pac J Trop Dis. 2012: 327-330. doi:
10.1016/S2222-1808(12)60071-1.
Rao NK, Bethala K, Sisinthy SP, Rajeswari KS. 2014. Antidiabetic activity of
Orthosiphon stamineus benth roots in streptozotocin induced type 2
diabetic rats. Asian J. Pharm. Clin. Res. 7: 149–153.
Robinson MM, Zhang X. 2011. Traditional Medicine: Global situation, Issues and
challenges. Geneva: World Health Organization.
Rolo AP1, Palmeira CM. 2006. Diabetes and mitochondrial function: role of
hyperglycemia and oxidative stress. Toxicol Appl Pharmacol. 212:167-78.
Saidan NH, Hamil MSR, Memon AH, Abdelbari MM, Hamdan MR, Mohd KS,
Majid AMSA, Ismail Z. 2015. Selected metabolites profiling of
Orthosiphon stamineus Benth. leaves extracts combined with
chemometrics analysis and correlation with biological activities. BMC
Complem Altern M 15:12-30. doi: 10.1186/s12906-015-0884-0.
Salah El Dine R, Ma Q, Kandil ZA, El-Halawany AM. 2014. Triterpenes as
uncompetitive inhibitors of α-glucosidase from flowers of Punica
granatum L. Nat Prod Res. 28: 2191-4. doi:
10.1080/14786419.2014.928292.
Salazar-Aranda R, P´erez-L´opez LA, L´opez-Arroyo J, Alan´ıs-Garza BA, de
Torres NW. 2011. Antimicrobial and antioxidant activities of plants from
Northeast of Mexico. Evid-Based Compl Alt 2011:01-06. doi:
10.1093/ecam/nep127.
Sancheti S, Sancheti S, Seo SY. 2007. Chaenomeles Sinensis: A potent α-and β-
glucosidase inhibitor. Am J Pharm dan Toxicol 4:8-11.
doi:10.3844/ajptsp.2009.8.11.
Santiago LA, Dayrit KC, Correa PCB, Mayor ABR. 2014. Comparison of
antioxidant and free radical scavenging activity of triterpenes α-amyrin,
oleanolic acid and ursolic acid. J Nat Prod 7:29-36.
Santos FA, Frota JT, Arruda BR, de Melo TS, de Carvalho Almeida da Silva AA,
de Castro Brito GA, Chaves MH, Rao VS. 2012. Antihyperglycemic and
hypolipidemic effects ofα , β -amyrin, a triterpenoid mixture from Protium
heptaphyllum in mice. Lipids Health Dis 11 1:8.
Siddiqui M, Hafizoh S, Zhari I, Sahib H, Helal M, Majid AA. 2009. Analysis of
total proteins, polysaccharides and glycosaponins contents of Orthosiphon
stamineus Benth. in spray and freeze dried methanol: water (1:1) extract
and its contribution to cytotoxic and antiangiogenic activities.
Pharmacognosy Res 1:320-326.
Silva SD, Feliciano RP, Boas LV, Bronze MR. 2014. Application of FTIR-ATR
to Moscatel dessert wines for prediction of total phenolic and flavonoid
contents and antioxidant capacity. Food Chem 150:489–493. Doi::
10.1016/j.foodchem.2013.11.028.
Sim CO, Hamdan MR, Ismail Z , Ahmad MN. 2004. Assessment of herbal
medicines by chemometrics-assisted interpretation of FTIR spectra. J.
Anal. Chim. Acta 570: 116-123.
47
Sheliya MA, Rayhana B, Ali A, Pillai KK, Aeri V, Sharma M, Mir SR. 2015.
Inhibition of α-glucosidase by new prenylated flavonoids from euphorbia
hirta L. herb. J Ethnopharmacol. 176:1-8. doi: 10.1016/j.jep.2015.10.018.
Shobana S, Sreerama YN, Malleshi NG. 2009. Composition and enzyme
inhibitory properties of finger millet (Eleusine coracana L.) seed coat
phenolics: Mode of inhibition of α-glucosidase and pancreatic amylase.
Food Chem. 115: 1268–1273. doi:10.1016/j.foodchem.2009.01.042.
Sridevi H, Jayaraman P, Pachaiyappan P. 2015. Evaluation of α-Glucosidase
Inhibitory Action of Isolated Compound beta Amyrin from Memecylon
umbellatum Burm. Int J Pharmacogn Phytochem Res 7: 1033-1038.
Sriplang K, Adisakwattana S, Rungsipipat A, Yibchok-anun S. 2007. Effects of
Orthosiphon stamineus aqueous extract on plasma glucose concentration
and lipid profile in normal and streptozotocin-induced diabetic rats. J
Ethnopharmacol. 109: 510–514.
Stehfest K, Boese M, Kerns G, Piry A, Wilhelm C. 2004. Fourier transform
infrared spectroscopy as a new tool to determine rosmarinic acid in situ. J
Plant Physiol 161:151–156. doi:10.1078/0176-1617-01099.
Sunil C, Irudayaraj SS, Duraipandiyan V, Al-Dhabi NF, Agastian P, Ignacimuthu
S. 2014. Antioxidant and free radical scavenging effects of β-amyrin
isolated from S. cochinchinensis Moore. Leaves. Ind Crop Prod 61: 510–
516. doi: 10.1016/j.indcrop.2014.07.005.
Tabopda TK, Ngoupayo J, Awoussong PK, Mitaine-Offer AC, Ali MS, Ngadjui
BT, Lacaille-Dubois MA. 2008. Triprenylated flavonoids from Dorstenia
psilurus and their alpha-glucosidase inhibition properties. J. Nat. Prod. 71,
2068–2072.
Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of alpha-
glucosidase and alpha-amylase by flavonoids. J Nutr Sci Vitaminol
(Tokyo). 52:149-53.
Tezuka Y, Stampoulis P, Banskota AH, Awale S, Tran KQ, Saiki I, Kadota S.
2000. Constituents of the Vietnamese medicinal plant Orthosiphon
stamineus. Chem Pharm Bull (Tokyo) 48:1711-9.
doi:10.1248/cpb.48.1711.
Trygg J, Wold S. 2002. Orthogonal projection to latent structures (O-PLS). J
Chemometr 16: 119-128.
Tulpan D, Léger S, Belliveau L, Culf A, Cuperlović-Culf M. 2011.
MetaboHunter: an automatic approach for identification of metabolites
from 1H-NMR spectra of complex mixtures. BMC Bioinformatics.
14;12:400. doi: 10.1186/1471-2105-12-400.
Uddin G, Rauf A, Al-Othman AM, Collina S, Arfan M, Ali G, Khan I. 2012.
Pistagremic acid, a glucosidase inhibitor from Pistacia integerrima.
Fitoterapia. 83:1648-52. doi: 10.1016/j.fitote.2012.09.017.
Umpierrez GE, Isaacs SD, Bazargan N, You X, Thaler LM, Kitabchi AE. 2002.
Hyperglycemia: an independent marker of in-hospital mortality in patients
with undiagnosed diabetes. J Clin Endocrinol Metab. 87:978-82.
van de Laar FA1. 2008. Alpha-glucosidase inhibitors in the early treatment of
type 2 diabetes. Vasc Health Risk Manag. 4:1189-95.
Verpoorte R, Choi YH, Kim HK. 2007. NMR-based metabolomics at work in
phytochemistry. Phytochem Rev 6:3–14. doi: 10.1007/s11101-006-9031-3.
48
Verpoorte, R, Choi YH, Mustafa NR, Kim HK. 2008. Metabolomics: back to
basics. Phytochem Rev 7: 525. doi:10.1007/s11101-008-9091-7.
Viant, MR. 2003. Improved methods for the acquisition and interpretation of
NMR metabolomic data. Biochem. Biophys. Res. Commun. 310: 943–948.
Warade JP, Pandey A. 2014. Fasting Blood Glucose Level Higher Than Post-
Meal in Healthy Subjects: A Study of 738 Subjects. World J Pharm Res 3;
1121-1128.
Worley B, Powers R. 2013. Multivariate analysis in metabolomics. Curr
Metabolomics 1:92-107. DOI: 10.2174/2213235X11301010092.
Wu P, Zheng J, Huang T, Li D, Hu Q, Cheng A, Jiang Z, Jiao L, Zhao S, Zhang K.
2015. Synthesis and Evaluation of Novel Triterpene Analogues of Ursolic
Acid as Potential Antidiabetic Agent. PLoS One. 10:e0138767. doi:
10.1371/journal.pone.0138767.
Xia X, Qi J, Liu Y, Jia A, Zhang Y, Liu C, Gao C, She Z. 2015. Bioactive
isopimarane diterpenes from the fungus, Epicoccum sp. HS-1, associated
with Apostichopus japonicus. Mar Drugs. 13:1124-32. doi:
10.3390/md13031124.
Xiao H, Liu B, Mo H, Liang G. Comparative evaluation of tannic acid inhibiting
α-glucosidase and trypsin. Food Res Int. 76:605–10.
Yang F, Shi H, Zhang X, Yang H, Zhou Q, Yu L. 2013. Two new saponins from
tetraploid jiaogulan (Gynostemma pentaphyllum), and their anti-
inflammatory and a-glucosidase inhibitory activities. Food Chem 141:
3606–3613. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.06.015.
Yuliana ND1, Khatib A, Link-Struensee AM, Ijzerman AP, Rungkat-Zakaria F,
Choi YH, Verpoorte R.2009. Adenosine A1 receptor binding activity of
methoxy flavonoids from Orthosiphon stamineus. Planta Med. 75:132-6.
doi: 10.1055/s-0028-1088379.
Yuliana ND, Khatib A, Verpoorte R, Choi YH. 2011. Comprehensive extraction
method integrated with NMR metabolomics: a new bioactivity screening
method for plants, adenosine A1 receptor binding compounds in
Orthosiphon stamineus Benth. Anal Chem 83:6902–6906. doi:
10.1021/ac201458n.
Yuliana ND1, Khatib A, Choi YH, Verpoorte R. 2011. Metabolomics for
bioactivity assessment of natural products. Phytother Res. 25:157-69. doi:
10.1002/ptr.3258.
Yuliana ND1, Budijanto S, Verpoorte R, Choi YH. 2013. NMR metabolomics for
identification of adenosine A1 receptor binding compounds from
Boesenbergia rotunda rhizomes extract. J Ethnopharmacol.150:95-9. doi:
10.1016/j.jep.2013.08.012.
Yusof NA, Isha A, Ismail IS, Khatib A, Shaari K, Abas F, Rukayadi Y. 2015.
Infrared-metabolomics approach in detecting changes in Andrographis
paniculata metabolites due to different harvesting ages and times. J Sci
Food Agric. 95 :2533-43. doi: 10.1002/jsfa.6987.
Zhu F, Asada T, Sato A, Koi Y, Nishiwaki H, Tamura H. 2014. Rosmarinic acid
extract for antioxidant, antiallergic, and α-glucosidase inhibitory activities,
isolated by supramolecular technique and solvent extraction from Perilla
leaves. J Agric Food Chem. 62:885-92. doi: 10.1021/jf404318j.
LAMPIRAN
50
Lampiran 1 Hasil analisis korelasi antara aktivitas antioksidan dengan aktivitas
penghambatan enzim α-glukosidase
Lampiran 2 Karakteristik IR senyawa aktif terhadap aktivitas penghambatan
enzim α-glukosidase berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP Senyawa Bilangan
gelombang (cm-1
)
Y-related
coefficients
VIP Referensi
Sinensitin 2850 + 0.72 Hossain dan
Rahman
2015 1215 + 0.67
1189 + 0.72
5,6,7,3’-tetrametoksi-
4’-hidroksi-8-C-
prenilflavon
2964 + 0.69
2936 + 1.13
1271 + 0.93
1200 + 0.77
Neoortosifol A 1720 + 1.01 Ohashi et al.
2000 1267 + 0.88
Neoortosifol B 1720 + 1.01
1250 + 0.75
Ortosifol O 1725 + 0.94 Awale et al.
2002 1280 + 0.98
Ortosifol P 1720 + 1.01
1275 + 0.96
Ortosifol Q 1725 + 0.94
1265 + 0.86
Noortosifonolida A 1720 + 1.01
1285 + 0.94
Ortosifol A 2967 + 0.60 Masuda et al.
1992 1723 + 0.98
1287 + 0.89
1240 + 0.69
Ortosifol B 2970 + 0.40
1717 + 1.12
1289 + 0.82
1240 + 0.69
Ortosifol U 1720 + 1.01 Awale et al.
2003 1210 + 0.72
Correlations
Aktivitas_antioks
idan_DPPH
Aktivitas_pengha
mbatan_enzim_
alfa_glukosidase
Aktivitas_antioksidan_DPPH Pearson Correlation 1 .226
Sig. (2-tailed) .229
N 30 30
Aktivitas_penghambatan_en
zim_alfa_glukosidase
Pearson Correlation .226 1
Sig. (2-tailed) .229
N 30 30
51
1180 + 0.80
Ortosifol V 1720 + 1.01
1210 + 0.72
1180 + 0.80
Ortosifol W 1725 + 0.94
1210 + 0.72
1180 + 0.80
Ortosifol X 1720 + 1.01
1210 + 0.72
1175 + 0.81
Ortosifol Y 1735 + 0.66
1210 + 0.72
Ortosifol Z 1725 + 0.94
1265 + 0.86
Ortosifol F 1725 + 0.94 Tezuka et al.
2000 1280 + 0.98
Ortosifol G 1720 + 1.01
1280 + 0.98
Ortosifol H 1725 + 0.94
1280 + 0.98
1240 + 0.69
Ortosifol I 1725 + 0.94
1270 + 0.91
Ortosiphol J 1725 + 0.94
1270 + 0.91
1230 + 0.63
Staminol A 1725 + 0.94
1200 + 0.77
1270 + 0.91
Staminol B 1725 + 0.94
1200 + 0.77
1270 + 0.91
Staminolakton A 1730 + 0.83
1200 + 0.77
1240 + 0.67
Staminolakton B 1730 + 0.83
1270 + 0.91
1200 + 0.77
1240 + 0.67
Norstaminol A 1725 + 0.94
1280 + 0.98
1200 + 0.77
1240 + 0.67
Ortoarisin A 1716 + 1.12 Di et al. 2013
1275 + 0.96
Ortoarisin B 1716 + 1.12
1279 + 0.98
Ortoarisin C 1720 + 1.01
1276 + 0.93
Ortoarisin D 1712 + 1.19
1238 + 0.67
Ortoarisin E 2972 + 0.32
2944 + 0.77
2883 + 0.04
1729 + 0.86
52
1276 + 0.93
Ortoarisin F 2970 + 0.42
2938 + 1.02
2881 + 0.06
1725 + 0.94
1283 + 0.78
1235 + 0.65
1174 + 0.81
Ortoarisin G 2970 + 0.42
2938 + 1.02
2881 + 0.06
1725 + 0.94
1283 + 0.78
1235 + 0.65
1174 + 0.81
Ortoarisin H 1731 + 0.79
1277 + 0.97
1244 + 0.71
Ortoarisin I 1718 + 1.06
1271 + 0.93
Asam ursolat 1293 + 0.62 Hossain dan
Ismail 2013 1216 + 0.65
963 + 0.07
Asam oleanolat 2876 + 0.18
1265 + 0.86
1227 + 0.62
964 + 0.06
Asam betulinat 2953 + 0.78
2887 + 0.04
1682 + 0.57
1221 + 0.63
1194 + 0.73
980 + 0.00
Asam hidroksibetulinat 2926 + 1.63
1742 + 0.46
1254 + 0.77
975 + 0.07
α-amirin 2969 + 0.51
2931 + 1.36
2849 + 0.61
1254 + 0.77
969 + 0.07
β-amirin 2964 + 0.69
2920 + 1.67
1753 + 0.08
1260 + 0.81
Asam maslinat 2926 + 1.63
1742 + 0.46
1254 + 0.77
975 + 0.07
53
Lampiran 3 Pergeseran kimia (δ) senyawa aktif terhadap aktivitas penghambatan
enzim α-glukosidase berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP Senyawa Pergeseran
kimia (δ)
Y-related
coefficients
VIP Referensi
5,3’-dihidroksi-6,7,4’-
trimetoksiflavon (eupatorin)
6.76 s + 0.27 Hossain dan
Rahman 2015 6.88 s + 0.13
7.10 d + 0.10
7.45 s + 0.14
7.68 dd + 0.11
5,6,7,3’,4’-pentametoksiflavon
(sinensetin)
6.78 s + 0.23
7.12 d + 0.11
7.18 s + 0.06
7.52 s + 0.27
7.68 d + 0.11
5-hidroksi-6,7,3’,4’-
tetrametoksiflavon
5.29 s + 0.04
6.97 s + 0.11
7.10 s + 0.10
7.29 d + 0.16
Salvigenin 6.67 s + 0.10
7.13 d + 0.11
7.74 d + 0.02
6-hidroksi-5,7,3’-
trimetoksiflavon
6.65 s + 0.10
7.05 d + 0.12
7.45 d + 0.14
5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-
hidroksi-8-C-prenilflavon
1.60 s + 0.17
6.96 s + 0.28
6.99 d + 0.11
7.44 m + 0.14
Neoortosifol A 1.02 s + 1.53 Ohashi et al.
2000 1.08 s + 0.48
1.66 s + 0.52
2.02 s + 0.16
2.18 s + 0.19
2.61 d + 0.01
5.82 d + 0.03
6.30 dd + 0.00
7.48 dd + 0.27
7.61 dd + 0.14
8.24 d + 0.01
7.42 dd + 0.03
7.57 dd + 0.14
8.05 d + 0.03
Neoortosifol B 1.07 s + 0.48
1.46 s + 0.22
1.54 s + 0.33
1.65 s + 0.52
5.28 ddd + 0.04
6.27 dd + 0.04
7.43 dd + 0.03
7.59 dd + 0.14
7.60 dd + 0.14
8.06 d + 0.03
Ortosifol O 1.16 s + 0.76 Awale et al.
2002 1.20 s + 0.73
1.52 s + 0.33
54
1.82 d + 0.16
1.96 s + 0.22
2.02 m + 0.16
2.11 s + 0.05
2.55 dd + 0.34
6.86 t + 0.12
7.29 t + 0.16
7.41 t + 0.03
7.60 t + 0.14
7.75 d + 0.02
8.08 d + 0.07
Ortosifol P 1.18 s + 0.73
1.22 s + 0.60
1.76 s + 0.42
1.94 s + 0.22
2.11 d + 0.05
2.68 dd + 0.07
5.54 d + 0.04
7.09 t + 0.11
7.23 t + 0.06
7.39 tt + 0.13
7.50 tt + 0.27
7.54 dd + 0.24
7.55 dd + 0.24
Ortosifol Q 1.12 s + 0.76
1.46 s + 0.22
1.55 s + 0.33
1.56 m + 0.33
1.90 dt + 0.38
1.99 s + 0.03
2.85 s + 0.04
5.15 d + 0.03
7.52 s + 0.27
Noortosifonolida A 1.19 s + 0.73
1.20 s + 0.73
1.20 s + 0.73
1.62 s + 0.16
1.78 br d + 0.42
1.96 m + 0.22
1.99 s + 0.03
3.14 d + 0.08
5.19 d + 0.11
7.45 t + 0.14
7.57 t + 0.14
8.08 br d + 0.07
Ortosifol A 5.30 br d + 0.04 Masuda et al.
1992 1.99-2.12 m + 0.16
1.99-2.12 m + 0.16
3.11 br d + 0.06
2.57 dd + 0.16
1.96 dd + 0.22
1.14 s + 0.76
1.04 s + 1.53
1.07 s + 0.48
1.49 s + 0.01
55
1.94 s + 0.22
2.17 s + 0.19
7.29 t + 0.16
7.54 t + 0.24
7.60 d + 0.14
7.11 t + 0.10
7.41 t + 0.03
7.58 d + 0.14
Ortosifol B 4.95 br s + 0.02
4.41 br s + 0.01
2.01-2.15 m + 0.16-0.40
2.01-2.15 m + 0.16-0.40
3.39 d + 0.05
5.93 br t + 0.03
2.59 dd + 0.16
1.90 br d + 0.38
5.82 dd + 0.03
4.94 d + 0.02
1.15 s + 0.76
1.09 s + 0.33
1.52 s + 0.33
7.48 t + 0.27
7.64 t + 0.14
7.84 d + 0.05
7.16 t + 0.11
7.41 t + 0.03
7.59 d + 0.14
Ortosifol U 1.12 s + 0.76 Awale et al.
2003 1.14 s + 0.76
1.48 s + 0.22
1.63 s + 0.16
1.80 dd + 0.42
1.93 td + 0.22
1.99 s + 0.03
5.85 dd + 0.29
7.40 t + 0.13
7.57 t + 0.14
8.09 d + 0.07
Ortosifol V 1.09 s + 0.76
1.14 s + 0.76
1.62 s + 0.16
1.81 d + 0.16
1.96 m + 0.22
2.86 d + 0.04
5.30 br s + 0.04
5.84 dd + 0.29
7.43 t + 0.03
7.60 t + 0.14
8.11 d + 0.07
Ortosifol W 1.04 s + 1.53
1.07 s + 0.48
1.11 s + 0.33
1.77 dd + 0.42
1.98 m + 0.03
2.10 s + 0.05
56
4.41 br t + 0.01
7.42 t + 0.03
7.57 tt + 0.14
8.02 dd + 0.05
Ortosifol X 1.03 s + 1.53
1.21 s + 0.60
1.23 s + 0.60
1.51 s + 0.01
1.76 m + 0.42
1.95 s + 0.22
1.95 s + 0.22
2.82 d + 0.03
4.94 d + 0.02
5.91 dd + 0.06
6.89 t + 0.13
7.29 t + 0.16
7.40 t + 0.13
7.56 t + 0.24
7.77 d + 0.02
8.05 d + 0.03
Ortosifol Y 1.14 s + 0.76
1.16 s + 0.76
1.24 s + 0.60
1.90 dt + 0.38
1.98 s + 0.03
5.19 d + 0.11
7.53 s + 0.24
Ortosifol Z 1.17 s + 0.73
1.21 s + 0.60
1.76 td + 0.42
2.84 d + 0.03
5.15 d + 0.03
5.25 d + 0.04
7.60 s + 0.14
Ortosifol F 0.99 s + 0.46 Tezuka et al.
2006 1.12 s + 0.76
1.26 s + 0.06
1.47 s + 0.22
1.50 s + 0.01
1.82 s + 0.16
2.69 dd + 0.07
5.29 d + 0.04
5.54 t + 0.04
6.99 t + 0.11
7.21 t + 0.06
7.31 dt + 0.16
7.44 dt + 0.14
7.49 dd + 0.27
7.59 dd + 0.14
Ortosifol G 1.00 s + 1.53
1.13 s + 0.76
1.23 s + 0.60
1.66 s + 0.52
1.73 dd + 0.40
1.82 m + 0.16
57
1.95 m + 0.22
1.97 s + 0.03
2.58 m + 0.16
2.60 d + 0.16
5.87 dd + 0.29
7.43 t + 0.03
7.55 t + 0.24
8.09 d + 0.07
Ortosifol H 1.13 s + 0.76
1.14 s + 0.76
1.52 s + 0.33
1.95 dd + 0.22
2.02 m + 0.16
2.58 dd + 0.16
3.18 d + 0.34
5.16d + 0.11
7.12 t + 0.11
7.32 t + 0.16
7.42 tt + 0.03
7.54 tt + 0.24
7.60 dd + 0.14
7.70 dd + 0.03
Ortosifol I 0.98 s + 1.46
1.12 s + 0.76
1.14 s + 0.76
1.77 s + 0.42
1.95 s + 0.22
2.66 d + 0.05
7.46 t + 0.14
7.58 tt + 0.14
8.11 dd + 0.07
Ortosiphol J 1.11 s + 0.33
1.12 s + 0.76
1.76 s + 0.42
1.95 s + 0.22
1.98 m + 0.03
2.63 d + 0.01
2.69 d + 0.07
5.28 dd + 0.04
7.43 t + 0.03
7.58 t + 0.14
8.11d + 0.07
Staminol A 1.09 s + 0.33
1.60 s + 0.17
1.68 s + 0.52
1.93 s + 0.22
2.63 dd + 0.01
5.15 dt + 0.03
6.29 dd + 0.00
7.42 t + 0.03
7.48 t + 0.27
7.58 tt + 0.14
7.61 tt + 0.14
8.26 dd + 0.01
Staminol B 1.00 s + 1.53
58
1.09 s + 0.33
1.59 s + 0.17
1.67 s + 0.52
1.98 s + 0.03
1.99 br d + 0.03
2.85 br d + 0.04
5.14 dt + 0.03
7.42 d + 0.03
7.42 d + 0.03
7.48 t + 0.27
7.55 t + 0.24
8.04 d + 0.05
8.16 d + 0.06
Staminolakton A 1.03 s + 1.53
1.11 s + 0.33
1.57 s + 0.17
1.75 s + 0.40
2.02 br d + 0.16
7.33 t + 0.06
7.52 t + 0.27
7.53 t + 0.24
7.63 t + 0.14
7.72 d + 0.03
8.06 d + 0.03
Staminolakton B 1.04 s + 1.53
1.15 s + 0.76
1.59 s + 0.17
1.74 s + 0.40
1.93 br d + 0.22
1.99 s + 0.03
4.40 s + 0.05
5.19 d + 0.11
5.30 d + 0.04
7.10 t + 0.10
7.18 t + 0.06
7.21 t + 0.06
7.37 t + 0.13
7.52 d + 0.27
7.86 d + 0.05
Norstaminol A 1.04 s + 1.53
1.12 s + 0.76
1.66 s + 0.52
1.70 s + 0.42
1.82 s + 0.16
1.82 br t + 0.16
1.91 br d + 0.38
2.62 br d + 0.01
5.29 br s + 0.04
7.07 t + 0.12
7.29 t + 0.16
7.41 t + 0.03
7.53 t + 0.24
7.58 d + 0.14
7.68 d + 0.11
Ortoarisin A 1.14 s + 0.76 Di et al. 2013
59
1.93 dt + 0.22
2.13 dd + 0.40
2.15 dd + 0.40
2.18 s + 0.19
2.55 dd + 0.34
5.84 ddd + 0.29
7.28 t + 0.16
7.38 t + 0.13
7.42 t + 0.03
7.55 + 0.24
7.77 d + 0.02
8.15 d + 0.03
Ortoarisin B 1.00 s + 1.53
1.00 s + 1.53
1.20 s + 0.73
1.90 d + 0.38
2.00 m + 0.16
2.12 m + 0.40
2.12 d + 0.40
2.55 dd + 0.34
5.24 d + 0.18
7.34 t + 0.06
7.34 t + 0.06
7.50 t + 0.27
7.50 t + 0.27
7.80 d + 0.02
8.01 d + 0.05
Ortoarisin C 1.19 s + 0.73
1.95 m + 0.22
2.00 s + 0.16
2.88 d + 0.07
5.29 d + 0.04
5.85 dd + 0.29
7.32 t + 0.16
7.45 t + 0.14
7.52 t + 0.27
7.61 t + 0.14
7.90 d + 0.67
8.03 d + 0.05
Ortoarisin D 0.71 s + 0.19
1.11 s + 0.33
1.11 s + 0.33
1.18 s + 0.73
1.98 m + 0.03
2.14 d + 0.40
2.68 d + 0.07
5.20 d + 0.18
7.48 t + 0.27
7.60 t + 0.14
8.04 d + 0.05
Ortoarisin E 1.04 s + 1.53
1.06 s + 0.48
1.08 s + 0.48
1.46 s + 0.22
1.48 m + 0.22
60
1.52 m + 0.33
2.15 s + 0.40
5.83 br t + 0.03
7.16 t + 0.11
7.31 t + 0.16
7.44 t + 0.14
7.54 t + 0.24
7.69 d + 0.03
7.69 d + 0.03
Ortoarisin F 0.66 t + 0.04
1.06 s + 0.48
1.08 s + 0.48
1.48 s + 0.22
1.57 s + 0.17
1.72 s + 0.42
1.82 d + 0.16
7.13 t + 0.11
7.41 t + 0.03
7.48 t + 0.27
7.58 d + 0.14
7.63 t + 0.14
7.87 t + 0.05
Ortoarisin G 0.96 s + 1.46
1.03 s + 1.53
1.18 m + 0.73
1.20 s + 0.73
1.48 s + 0.22
2.14 s + 0.40
2.66 d + 0.05
7.08 t + 0.11
7.37 t + 0.13
7.56 t + 0.24
7.56 t + 0.24
7.89 d + 0.67
8.09 d + 0.07
Ortoarisin H 1.18 s + 0.73
1.19 s + 0.73
1.20 s + 0.73
1.20 t + 0.73
1.21 s + 0.60
1.99 dt + 0.03
2.57 dd + 0.16
5.15 d + 0.03
5.94 dd + 0.03
7.47 t + 0.14
7.58 t + 0.14
8.05 d + 0.03
Ortoarisin I 0.97 s + 1.46
1.07 s + 0.48
1.62 s + 0.16
1.94 m + 0.22
2.60 dd + 0.16
3.18 d + 0.34
5.19 dt + 0.11
6.29 dd + 0.00
61
7.40 t + 0.13
7.47 t + 0.14
7.58 t + 0.14
7.60 t + 0.14
8.02 d + 0.05
8.02 d + 0.05
Asam ursolat 0.73 s + 0.17 Hossain dan
Ismail 2013 0.77 s + 0.73
0.79 s + 0.73
0.94 s + 0.62
1.00 s + 1.53
1.51 m + 0.01
2.13 m + 0.40
3.17 t + 0.34
Asam oleanolat 0.79 s + 0.73
0.97 s + 1.46
1.08 s + 0.48
1.51 m + 0.01
3.17 t + 0.34
Asam Betulinat 0.65 s + 0.04
0.77 s + 0.73
0.98 s + 1.46
1.14 s + 0.76
2.13 m + 0.40
3.17 t + 0.34
Asam Hidroksibetulinat 0.81 s + 0.62
1.01 s + 1.53
1.18 s + 0.73
1.55 m + 0.33
2.14 m + 0.40
2.16 m + 0.40
3.18 t + 0.34
α-amirin 1.08 d + 0.48
1.51 m + 0.01
1.60 d + 0.17
1.68 s + 0.52
1.80 m + 0.42
2.01 d + 0.16
2.17 d + 0.19
β-amyrin 1.08 d + 0.48
1.48 m + 0.22
1.52 d + 0.33
1.69 s + 0.42
1.90 m + 0.38
5.14 s + 0.03
Asam maslinat 0.95 s + 0.62
0.97 s + 1.46
0.99 s + 1.46
1.03 s + 1.53
1.23 s + 0.60
1.25 s + 0.06
3.26 dd + 0.18
62
Lampiran 4 Karakteristik IR senyawa aktif terhadap aktivitas antioksidan
berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP Senyawa Bilangan
gelombang
(cm-1
)
Y-related
coefficients
VIP
Referensi
Asam rosmarinat 3382 + 0.66 Abedini et al.
2013 1606 + 0.21
1522 + 0.11
Eupatorin 3470 + 0.44 Hossain dan
Rahman 2015 3250 + 0.55
1605 + 0.22
1599 + 0.31
Sinensitin 1600 + 0.27
1590 + 0.23
5-hidroksi-6,7,3’,4’-
tetrametoksflavon
3415 + 0.52
1600 + 0.27
1590 + 0.23
Salvegenin 3450 + 0.52
1600 + 0.27
1590 + 0.23
6-hidroksi-5,7,3’-
trimetoksiflavon
3470 + 0.44
1595 + 0.33
1590 + 0.23
5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-
hidroksi-8-C-prenilflavon
3435 + 0.43
1610 + 0.19
1595 + 0.33
Neoortosifol A 3420 + 0.61 Ohashi et al. 2000
3080 + 0.51
Neoortosifol B 3410 + 0.55
3080 + 0.51
Ortosifol O 3550 + 0.19 Awale et al. 2002
3400 + 0.50
Ortosifol P 3550 + 0.19
3450 + 0.52
Ortosifol Q 3550 + 0.19
3450 + 0.52
Noortosifonolida A 3550 + 0.19
3450 + 0.52
Ortosifol A 3425 + 0.62 Masuda et al.
1992 Ortosifol B 3420 + 0.61
Ortosifol U 3450 + 0.52 Awale et al. 2003
1605 + 0.22
1590 + 0.23
Ortosifol V 3450 + 0.52
1605 + 0.22
1590 + 0.23
Ortosifol W 3400 + 0.50
1605 + 0.22
1590 + 0.23
Ortosifol 3450 + 0.52
1605 + 0.22
1585 + 0.09
OrtosifolY 3450 + 0.52
Ortosifo Z 3450 + 0.52
Ortosifl F 3550 + 0.19 Tezuka et al.
63
3450 + 0.52 2000
Ortosifol G 3550 + 0.19
3400 + 0.50
Ortosol H 3550 + 0.19
3400 + 0.50
Ortoifol I 3550 + 0.19
3400 + 0.50
Ortosifol J 3550 + 0.19
Staminol A 3550 + 0.19
3430 + 0.61
3300 + 0.53
1600 + 0.27
Staminol B 3550 + 0.19
3430 + 0.61
3300 + 0.53
1600 + 0.27
Staminolakton A 3570 + 0.44
1600 + 0.27
Staminolakton B 3570 + 0.44
1600 + 0.27
Norstaminol A 3550 + 0.19
1600 + 0.27
Ortoarisin A 3580 + 0.15 Di et al. 2013
1602 + 0.24
Ortoarisin B 3439 + 0.45
1602 + 0.24
Ortoarisin C 3430 + 0.61
1601 + 0.27
Ortoarisin D 3460 + 0.56
1601 + 0.27
Ortoarisin E 3519 + 0.32
1601 + 0.27
Ortoarisin F 3425 + 0.62
1601 + 0.27
Ortoarisin G 3425 + 0.62
1601 + 0.27
Ortoarisin H 3363 + 0.58
1601 + 0.27
Ortoarisin I 3438 + 0.45
1601 + 0.27
Asam ursolat 3435 + 0.43 Hossain dan
Ismail 2013 3243 + 0.67
1621 + 0.12
1600 + 0.27
1528 + 0.12
1380 + 0.01
Asam oleanolat 3331 + 0.54
3161 + 0.65
3095 + 0.54
1616 + 0.16
Asam betulinat 3473 + 0.38
3063 + 0.46
Asam hidroksibetulinat 3435 + 0.43
1380 + 0.01
α-amirin 3446 + 0.48
64
3035 + 0.34
β-amirin 3452 + 0.52
3035 + 0.34
Asam maslinat 3435 + 0.43
1380 + 0.01
Lampiran 5 Pergeseran kimia (δ) senyawa aktif terhadap aktivitas antioksidan
berdasarkan nilai Y-related coefficient dan VIP Senyawa Pergeseran
kimia (δ) Y-related coefficients
VIP Referensi
5,3’-dihidroksi-6,7,4’-trimetoksiflavon (eupatorin)
3.72 s + 2.19 Hossain dan Rahman 2015 3.88 s + 0.61
3.96 s + 0.34
6.76 s + 0.81
6.88 s + 0.30
5,6,7,3’,4’-pentametoksiflavon (sinensetin)
3.76 s + 2.52
3.78 s + 2.52
3.84 s + 0.61
3.88 s + 0.61
3.96 s + 0.34
6.78 s + 0.43
7.18 s + 0.00
5-hidroksi-6,7,3’,4’-tetrametoksiflavon
3.41 s + 0.90
6.97 s + 0.02
Salvigenin 3.91 s + 0.17
3.94 s + 0.34
3.99 s + 0.33
6.67 s + 0.66
6-hidroksi-5,7,3’-trimetoksiflavon 3.91 + 0.17
3.94 + 0.34
3.97 + 0.33
6.45 + 0.05
6.65 + 0.66
5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon
3.51 d + 0.70
3.90 s + 0.17
3.94 s + 0.34
3.99 s + 0.33
4.00 s + 1.13
6.96 s + 0.30
6.99 d + 0.02
Neoortosifol A 2.94 dd + 0.70 Ohashi et al. 2000 2.98 d + 0.43
3.52 d + 3.57
4.45 d + 0.07
6.30 dd + 0.06
Neoortosifol B 2.52 d + 0.76
2.99 dd + 0.43
3.24 d + 1.61
4.47 d + 0.07
6.27 dd + 0.29
Ortosifol O 2.95 d + 0.70 Awale et al. 2002 5.38 t + 0.24
6.86 t + 0.06
Ortosifol P 1.94 s + 0.65
2.46 d + 0.55
2.68 dd + 0.09
65
2.95 d + 0.70
3.49 d + 0.70
Ortosifol Q 1.90 dt + 0.02
2.85 s + 0.10
3.14 s + 0.37
Noortosifonolida A 2.50 m + 0.76
2.52 dd + 0.76
3.14 d + 0.37
5.12 s + 0.34
Ortosifol A 3.49 m + 0.70 Masuda et al. 1992 3.11 br d + 0.55
1.94 s + 0.65
Ortosifol A 3.39 d + 0.81
1.90 br d + 0.02
Ortosifol U 4.46 br t + 0.07 Awale et al. 2003 Ortosifol V 2.86 d + 0.10
Ortosifol W 3.55 d + 3.57
Ortosifol X 2.82 d + 0.09
4.50 br t + 0.02
Ortosifol Y 1.90 dt + 0.02
2.50 dd + 0.76
4.47 br t + 0.07
6.14 dd + 0.01
Ortosifol Z 2.84 d + 0.10
2.95 d + 0.70
3.11 s + 0.55
Ortosifol F 1.50 s + 1.16 Tezuka et al. 2006 2.69 dd + 0.01
3.04 d + 0.49
6.99 t + 0.02
Ortosifol G 5.87 dd + 0.05
Ortosifol H 2.48 dd + 0.76
3.18 d + 1.77
Ortosifol I 2.47 dd + 0.55
2.66 d + 0.09
3.49 s + 0.70
6.39 d + 0.01
Ortosiphol J 2.69 d + 0.01
3.52 s + 3.57
Staminol A 1.88 br t + 0.55
1.93 s + 0.65
2.96 dd + 0.70
3.11 d + 0.55
5.38 dd + 0.24
6.29 dd + 0.06
Staminol B 1.38 s + 0.34
2.85 br d + 0.10
3.05 dd + 0.49
3.10 d + 0.55
5.14 dt + 0.05
5.38 br s + 0.24
Staminolakton A 1.89 br t + 0.02
3.10 d + 0.55
4.00 br s + 1.13
5.13 br s + 0.05
Staminolakton B 1.86 br t + 0.55
1.93 br d + 0.65
7.18 t + 0.00
66
Norstaminol A 3.69 br d + 1.93
3.80 br s + 2.52
3.81 br d + 1.69
Ortoarisin A 1.93 dt + 0.65 Di et al. 2013
3.43 d + 0.90
3.89 d + 0.17
Ortoarisin B 1.90 d + 0.02
3.21 d + 1.61
3.69 br s + 1.93
3.75 br s + 2.19
7.34 t + 0.01
7.34 t + 0.01
Ortoarisin C 2.88 d + 0.26
4.01 s + 1.13
5.38 d + 0.24
Ortoarisin D 2.14 d + 0.01
2.53 dd + 0.23
2.68 d + 0.09
3.90 s + 0.17
Ortoarisin E 2.50 d + 0.76
2.95 d + 0.70
3.51 s + 0.70
Ortoarisin F 2.38 d + 0.00
Ortoarisin G 2.14 s + 0.01
2.50 br t + 0.76
2.66 d + 0.09
3.59 s + 1.26
6.39 s + 0.01
Ortoarisin H 3.06 dd + 0.49
3.77 t + 2.52
Ortoarisin I 1.94 m + 0.65
2.92 dd + 0.70
3.18 d + 1.77
3.51 d + 0.70
6.29 dd + 0.06
Asam ursolat 0.94 s + 2.51 Hossain dan Ismail 2013 1.38 m + 0.34
3.17 t + 1.77
3.38 s + 0.81
Asam oleanolat 1.38 m + 0.34
3.17 t + 1.77
3.38 s + 0.81
Asam Betulinat 1.38 m + 0.34
3.17 t + 1.77
3.38 s + 0.81
Asam Hidroksibetulinat 2.14 m + 0.01
3.19 t + 1.77
3.48 s + 1.13
4.50 s + 0.02
α-amirin 3.53 s + 3.57
3.67 m + 1.62
5.11 s + 0.34
5.13 s + 0.05
β-amyrin 1.86 m + 0.55
1.90 m + 0.02
5.14 s + 0.05
Asam maslinat 3.26 dd + 1.36
4.10 ddd + 0.53
67
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aceh Besar pada tanggal 19 Januari 1989
sebagai anak kedua dari ayah bernama Ismail Yahya dan
Ramlah Abdullah. Pendidikan sekolah dasar hingga sarjana
ditempuh di Banda Aceh dari tahun 1995-2007. Penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
dari tahun 2007 dan lulus pada bulan April 2011. Pada tahun
2013 penulis mendapatkan beasiswa program pendidikan
dalam negeri (BPPDN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) Kemdiknas dan melanjutkan pendidikan program magister di
Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Penulis memiliki minat keilmuan di bidang Kimia Pangan dan Biokimia
pangan. Sebagian dari tesis ini dengan judul Inhibitor α-Glukosidase dan Senyawa
Antioksidan dari Kumis Kucing Dengan Pendekatan Metabolomik Berbasis FTIR
berstatus editing akhir pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan dan telah
dipresentasikan pada International Conference Food Ingredient Asia 2016.