Download - PBL Blok 14 - SKenario 5
Sistemik Lupus Eritmatosus
Farella Kartika Huzna
102011408 / F-8
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Email : [email protected]
Pendahuluan
Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi
antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat
luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.1
Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang
berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat
sementara dan sulit untuk didiagnosis.1
Lupus eritmatosus sistemik (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai
oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.1
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai sistemik lupus eritmatosus secara lengkap
sebagai hasil pembelajaran penulis.
Skenario
Seorang wanita 30 tahun datang dengan keluhan sering lemas 2 minggu terakhir. Pasien mengatakan
sudah cukup beristirahat namun tetap saja lemas. Pasien juga tidak tahan berada di bawah terik matahari
dan setiap kali dibawah terik timbul kemerahan pada kedua pipi. 1 bulan terakhir pasien juga mengalami
kerontokan rambut dan badan sering hilang timbul terasa hangat. Pasien juga mengeluhkan terdapatnya
nyeri pada jari – jari tangan sejak 2 minggu terakhir.
1
Anamnesis
Kapan anda pertama kali merasakan lemas ?
apakah terdapat demam? Sudah berapa hari? Panas tinggi atau tidak? Pagi/siang/malam?
Apakah ada keluhan lain yang dirasakan? Misalnya sakit kepala, rambut rontok, tidak kuat berada diterik
matahari bila terlalu lama?
Apakah ada nyeri di persendian tubuh lainnya slain di jari –jari tangan ? seperti di siku, bahu , lutut dan
pergelangan kaki?
Apakah nyeri sendi yang ibu rasakan menimbulkan deformitas sendi? Atau perubahan bentuk sendi?
Apakah BB ibu turun? Apakah ada luka di mulut ? Apakah ada nyeri dada yang dirasakan ?
Pada anamnesis didapatkan keluhan yaitu sering lemas 2 minggu terakhir. Sudah beristirahat cukup
namun tetap saja lemas. Tidak tahan berada di bawah terik matahari dan setiap kali dibawah terik timbul
kemerahan pada kedua pipi. 1 bulan terakhir juga mengalami kerontokan rambut dan badan sering
hilang timbul terasa hangat. Juga terdapat nyeri pada jari – jari tangan sejak 2 minggu terakhir.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Pasien tampak lemah, gelisah, cemas dan kesakitan (Pasien sakit sedang).
TTV :
- TD : 100/90 mmHg
- ND : 88 x/i
- RR : 16 x /i
- S : 37,1 C
Kulit : adanya ruam kupu-kupu pada wajah
Mata : adanya konjungtiva anemis
Mulut : melihat adanya ulserasi pada mulut dan nasofaring
Sendi Jari tangan: adanya nyeri tekan dan gerak pada DIP 2-1 & PIP 2-4 (dextra dan sinistra
manus)
2
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti anemia normositik
normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis. Pada SLE lebih sering ditemukan
leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering
dipakai adalah laju endap darah (LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP).2-3
LED dapat meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE
dibanding pada penyakit infeksi.2,3
Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini positif pada >
95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG terhadap DNA untai ganda yang tinggi
merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan
mengarahkan diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit atau
manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya memenuhi salah satu kriteria dan
dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan
kematian janin.2-4
Dilakukan pemeriksaan Anti-dsDNA untuk mengetahui Titer tinggi SLE-spesifik dan pada beberapa
pasien berkorelasi dengan aktivitas penyakit, vaskulitis nefritis.2
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan untuk diagnosis) dapat
mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro.2-4
Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik total), penting
untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Kadar C4 yang rendah dapat menggambarkan
aktivitas penyakit, namun juga dapat menggambarkan defisiensi produksi parsial, sedangkan C3 rendah
menggambarkan aktivasi komplemen.3
Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar protein, dan antobodi
antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun kadar dalam serum negatif. 3
Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan gambaran deposisi
kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan dermis-epidermis dengan pola granular.
Biopsi ginjal menunjukkan derajat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan.4
Working diagnosis
3
Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke perifer. Secara
praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin dan diikuti hematokrit.5
Anemia hemolitik autoimun sendiri merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap
antigen sel-sel eritrosit membentuk komponen dan kemudian sitolisis sehingga umur eritrosit
memendek. Kemungkinan hal ini terjadi karena gangguan central tolerance dan gangguan pada
proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.1Pasien didiagnosis mengalami anemia hemolitik
autoimun dikarenakan adanya penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit yang disertai oleh
gejala penyakit lain yang didiagnosis SLE.5
The American Rheumatism Association telah mengambangkan criteria untuk memilah SLE.
Adanya 4 atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan
diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat
membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya.1
Tabel.1 Kriteria penyakit SLE.1,2
Kriteria Definisi1. Malar rash/ Ruam pada wajah Eritema yang rata atau sdikit menimbul diatas permukaan kulit
muka, menyerupai kupu-kupu,biasanya tidak mengenai plika nasolabialis.
2. Lupus discoid Ruam berbentuk bulatan menimbul diataspemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan parut.
3. Fotosensitif Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis ataupemeriksaan fisik.
4. Ulserasi oral atau nasofaring Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari pemeriksaan fisik
5. Artritis Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial.
6. Serositis a) Pleuritis – adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura
b) Perikarditis –dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi perikardium
7. Kelainan ginjal a) proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+
b) Celular cast – dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
4
8. Kelainan neurologis a) Kejang – spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Kelainan hematologik a) Anemia hemolitik dengan retikulositosisb) Leukopenia – kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih
pengukuran c) Limfopenia – kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih
pengukuran
10. Kelainan immunologi a) Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA
b) Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos
c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada :1. Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi
anti-kardiolipin atau, 2. Antikoagulan lupus positif dengan
menggunakan metode standar atau3. Uji serologis positif semu selama minimal 6
bulan dan dikonfirmasi oelh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema
11. . Antibodi Antinuclear Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang setara, yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat
Differential diagnosis
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Dapat terjadi pada segala usia terutama wanita. Penurunan
jumlah sel darah merah memacu sumsum tulang untuk meningkatkan pelepasan sel darah merah
abnormal yang berukuran kecil dan kekurangan hemoglobin.6
Gambaran klinisnya pada individu dewasa terlihat tanda sistemik hemoglobin kurang dari 12
g/100 mL, bahkan biasanya penderita tidak mencari pengobatan untuk mengurangi gejalanya
sampai – sampai kadang hemoglobinnya turun menjadi 8 mg/100 mL. selain itu juga ditemukan
pucat pada tangan, konjungtiva, dan daun telinga.6
Dilakukan analisa darah yang memperlihatkan anemia dengan sel mikrositik (MCV<87) dan
penurunan besi serum. Kapasitas pengikatan besi dalam darah meninggi karena protein yang
berikatan dengan besi kurang dari kebutuhan. Pemeriksaan feses untuk mencari darah samar
mungkin positif, yang mengisyaratkan perdarahan atau carcinoma saluran cerna.6
5
Komplikasinya nilai hemoglobin kurang dari 5 g/100 mL dapat menyebabkan gagal jantung dan
kematian. Penatalaksanaannya dengan diet kaya besi yang mengandung daging dan sayur hijau,
seperti bayam, juga mengkonsumsi suplemen besi oral, dan mengobati penyebab perdarahan
abnormal jika diketahui.6
Artritis Reumatoid (AR)
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik
dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik AR adalah poliartritis
sistemik terutama mengenai sendi – sendi kecil pada perifer yaitu tangan dan kaki. Selain lapisan
synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ – organ diluar seperti kulit, jantung, paru – paru,
dan mata. Mortalitasnya meningkat dengan adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit
ginjal, keganasan, dan adanya komorbiditas.5,7
Beberapa perbedaan AR dan SLE adalah sebagai berikut :5,7
1. Nyeri
Pada SLE, nyeri sendi hanya bersifat sementara dan tidak sampai mengalami deformitas sendi.
Sendi yang terserang simetris meliputi jari tangan, yaitu PIP dan DIP. Sedangkan pada AR, nyeri
sendi bersifat akut dan dapat menjadi kronis, bahkan mengalami deformitas. Nyeri sendi pada AR
menyerang sendi – sendi perifer tangan dan kaki secara simetris, tetapi dapat juga menyerang
sendi – sendi bagian tubuh yang lain secara simetris pula.
2. Kaku sendi
Pada SLE tidak ditemukan adanya kaku sendi pada pagi hari. Sedangkan pada AR, terjadi kaku
sendi pada pagi hari selama kurang lebih satu jam.
3. Pemeriksaan
Secara fisik pada penderita SLE akan terlihat kemerahan yang timbul pada kedua pipinya jika
terkena sinar matahari (butterfly rush) dan pasien mengalami kerontokan rambut, tetapi pada
penderita AR tidak ditemukan.
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan ANA dan Rheumatoid factor mengalami
peningkatan pada SLE dan AR. Pemeriksaan ANA positif pada penderita SLE lebih diutamakan,
sedangkan pada AR tidak. Begitu juga dengan Rheumatoid factor, pada SLE tidak begitu
diutamakan, pada AR, rheumatoid factor bukanlah patognomic untuk diagnosis AR.
Pemeriksaan anti ds-DNA adalah spesifik untuk SLE, sedangkan pemeriksaan anti-CCP dan
AKA (Anti Keratin Antibodies)adalah lebih spesifik untuk AR.
4. Genetic
Pada penderita SLE dan AR lebih banyak pada wanita. Usia untuk penderita SLE adalah sekitar
20-45 tahun yaitu pada masa produktif seks, sedangkan pada AR bisa menyerap segala umur. Gen
6
predisposisi untuk penderita SLE adalah HLA-DR2 dan HLA-DR 3, sedangkan pada AR adalah
HLA-DR4.
Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin dapat menurunkan progesifitas
penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan pyramid terbalik, yaitu pemberian
DMARD (Desease Modifying Anti Rheumatic Drugs) sedini mungkinuntuk menghambat
perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi adekuat, akan terjadi dekstruksi, deformitas, dan
disabilitas sendi.1,4
Tatalaksana
Penatalaksanaan Medika Mentosa
Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dam agen penekan imun. Pemilihan obat yang
sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS dipakai untuk
mengatasi artritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insidens
hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar.
Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tertinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit,
hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.2,4
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis
tingkat tinggi untuk memperoleh keadaan remisi, biasanya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila
dalam waktu 6 bulan tidak memberikan respons yang baik, harus di stop.Bersihnya lesi kulit
merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid
atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini
biasanya dipakai ketika: (1) diagnosis pasti sudah ditegakkan, (2) adanya gejala-gejala berat yang
mengancam jiwa, (3) kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian
steroid tidak memberikan respons atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek
samping, dan (4) tidak adanya infeksi, kehamilan, dan neoplasma.2,4
Pada beberapa penderita yang menunjukan respons adekuat dengan analgetik atau obat
antiinflamasi non-steroid atau obat malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE.2,4
Serangan akut SLE, terutama pada orang yang juga memiliki nefritis interstisial, diobati
dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya
dikurangi setelah beberapa minggu. Baik SLE dan kortikosteroid sistemik dapat menimbulkan
perubahan tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.2,4
Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa7
Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet (UV).
Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar UV secara normal akan
bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar. Pasien SLE
harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang apabila ke luar rumah.
Tabir surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar UV. Tabir surya ini
biasa sering dipakai setelah berenang atau setelah berolahraga berat.2,4
Epidemiologi
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS, angka yang
paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi,3 namun didapatkan angka yang berbeda pada
berbagai laporan.1,2,4 Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan
Hispanik, berisiko lebih tinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah.2,3
Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih
sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang
ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika.1,4 SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering
dimulai pada usia dekade kedua dan ketiga; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada
sekitar usia 50 tahun.1,3 Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif
sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai
empat kali lebih sering daripada pria.3 Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.4
Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).Sampai saat ini penyebab SLE belum
diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem
imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.6
Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan
berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan
menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga
terjadi penyakit menahun.6
8
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi
diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu
timbulnya lupus:6
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu & Hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak
diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang
memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit
ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa
menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan
pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang
wanita.6,7
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan
mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit
ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada
masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.6,7
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat
anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imun sedangkan estrogen
memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya
pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron
mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen menambah resiko penyakit.4,6
3. Sinar UV
9
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE
kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.4
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.4-6
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :6
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin
6. Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang
mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan
dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap
penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.6
Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan
tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem
yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan
eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.6
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti
demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.6
Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang
paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
10
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat
efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala
terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.6
Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling
sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.6
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua
pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang
terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi
kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.6
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.6
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat
sering ditemui pada SLE.6
Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau
hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus
SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.6
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai
sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat.6
Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.6
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.6
Susunan Saraf Pusat
11
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-
kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-
lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar
menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.6
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan
dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau
menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan
sebaliknya.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah afasia, hemiplegia.6
Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid
di retina.6
Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.6
Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera (penimbunan cairan
antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak
napas.6
Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya
menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul
mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.6
Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak
nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran
hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia
dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-
imun.6
Patofisiologi
12
Ada baiknya patogenesis SLE dipandang dalam fase-fase tersendiri meskipun fase-fase ini secara klinis
tidak jelas terpisah. Memang, terdapat kemungkinan bahwa proses-proses yang mendasari inisiasi
penyakit terjadi sebelum munculnya gejala klinis, dan penguatan kronik fase propagasi diperlukan untuk
kemunculan penyakit.7,8
1. Inisiasi
Respons autoantibodi yang kuat pada lupus ditunjukkan pada kelompok self-antigen yang sangat
spesifik. Meskipun kelompok autoantigen ini tidak memiliki kesamaan (misalkan struktur,
distribusi, atau fungsi) di sel-sel sehat, molekul-molekul ini mengelompok dan mengalami
modifikasi struktural pada permukaan sel apoptotik. Memang penelitian-penelitian
mengisyaratkan bahwa proses awal pada lupus adalah suatu bentuk unik kematian sel apoptotik
yang berlangsung dalam konteks proimun. Beberapa faktor lingkungan dilaporkan berkaitan
dengan inisiasi penyakit SLE. Faktor-faktor tersebut mencakup sinar matahari, infeksi virus, dan
obat tertentu. Agen-agen ini merupakan hal-hal yang sering dijumpai oleh manusia, yang
mengisyaratkan bahwa orang yang mengidap SLE memiliki suatu kelainan yang menyebabkan
mereka rentan terhadap inisiasi penyakit.7,8
Gambar 2. Autoantigen, meskipun tidak terdapat di sel sehat, menyatu di sel apoptotik.7
Defek penting untuk timbulnya dan perkembangan proses SLE tampaknya adalah gangguan pada
pembersihan normal sel-sel apoptotik di jaringan. Karena itu, pada orang normal, nasib sebagian
besar sel apoptotik adalah fagositosis cepat dan efisien oleh makrofag, dan antigen-antigen yang
difagosit dengan cara ini dapat cepat diuraikan. Selain itu, fagositosis sel-sel apoptotik
menghambat sekresi sitokin proinflamasi dari makrofag dan menginduksi sekresi beberapa
sitokin anti-inflamasi, yang menyebabkan sel apoptotik tidak dapat memicu respon imun primer.
Akhirnya, fagositosis sel-sel apoptotik oleh makrofag normal mengurangi kemungkinan sel-sel
apoptotik tersebut mengakses populasi sel dendritik, yaitu inisiator respons imun promer yang
13
sangat efisien. Bersama-sama, faktor-faktor ini menjamin bahwa orang normal tidak
mengimunisasi diri mereka sendiri dengan materi-materi apoptotik yang berasal dari jaringan
sendiri. Sebaliknya, gangguan pembersihan sel-sel apoptotik dijumpai pada sekelompok pasien
dengan SLE. Pada kondisi ketika materi apoptotik tidak secara efisien dibersihkan oleh makrifag,
terjadi peningkatan jumlah materi-materi tersebut hingga melebihi ambang tertentu. Materi-
materi tersebut kemudian memperoleh akses ke populasi sel penyaji-antigen poten pada kondisi
proimun dan memicu respons terhadap molekul-molekul dengan struktur yang telah termodifikasi
saat terjadinya kematian sel apoptotik.7,8
2. Propagansi
Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan melalui berbagai mekanisme.
Pertama, mekanisme patogenik tersering adalah pembentukan dan pengendapan kompleks imun,
dengan antigen yang berasal dari sel yang rusak dan mati. Jika konsentrasi dan ukuran kompleks
terkait mempermudah pengendapan di subendotel, kompleks yang sangat proinflamatorik ini
akan memicu fungsi efektor inflamatorik yang menyebabkan kerusakan jaringan. Fungsi yang
terutama penting adalah kemampuan kompleks imun untuk mengikat reseptor Fc gamma yang
mengaktifkan fungsi efektor sel-sel mielomonositik. Pengendapan kompleks imun di ginjal,
sendi, dan kulit mendasari beberapa gambaran klinis utama SLE.7,8
Kedua, autoantibodi berikatan dengan molekul ekstrasel di organ sasaran dan mengaktifkan
fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, yang kemudian merusak jaringan. Contoh fenomena
ini adalah anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia serta penyakit kulit fotosensitif pada
sindrom lupus neonatus.7,8
Ketiga, autoantibodi secara langsung memicu kematian sel dengan mengikat molekul-molekul
permukaan sel atau dengan menembus sel hidup dan menimbulkan efek. Penting dicatat bahwa
antigen-antigen intrasel yang mendorong respons imun pada SLE dapat berasal dari sel yang
rusak atau apoptotik. Kerusakan atau apaptosis tersebut sering terjadi di jalur efektor imun.
Karena itu, jalur-jalur efektor ini dapat menghasilkan antigen tambahan yang semakin
merangsang sistem imun dan memicu pembentukan antigen lebih banyak lagi. Autoamplifikasi
ini merupakan gambaran utama pada fase propagansi lupus. Data-data terakhir mengisyaratkan
bahwa interferon tipe 1 berperan besar dalam lengkung amplifikasi ini.7,8
3. Kekambuhan
Salah satu gambaran khas respons imun adalah terbentuknya ingatan imunologis sehingga jika
organisme kembali bertemu dengan antigen yang sama, sistem imun akan berespons dengan lebih
14
cepat dan hebat pada konsentrasi antigen yang lebih rendah daripada konsentrasi yang
dibutuhkann untuk memicu respons primer. Kekambuhan pada SLE tampaknya mencerminkan
ingatan imunologis, yang timbul sebagai respons sistem imun yang telah tersensitisasi terhadap
pajanan ulang antigen. Apoptosis terjadi tidak saja selama perkembangan sel dan homeostasis
tetapi juga pada banyak keadaan sakit. Karena itu, kekambuhan penyakit dapat dipicu oleh
beragam rangsangan.7,8
Prognosis
Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan
lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembukan, penatalaksanaan ditujukan untuk
mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.1
Komplikasi
Komplikasi LES meliputi :8
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeletal (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%)
Pencegahan dan Edukasi
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi,
prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE8
1. Monitoring yang teratur
15
2. Penghematan energi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat
yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu
untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus
memeriksanya.
Penutup
Seorang yang datang dengan keluhan seperti scenario diatas, didiagnosa menderita Sistemik
Lupus Eritematosus (SLE). SLE adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan adanya
inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ dan sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE
lebih menyerang pada wanita dengan usia produktif seks dan predisposisi gen untuk SLE adalah HLA-
DR 2 dan HLA-DR 3. Walaupun pada SLE ditemukan gejala nyeri sendi seperti pada AR, tetapi hasil
pemeriksaan ANA dan Anti ds-DNA pada penderita SLE tidak ditemukan pada penderita AR. SLE tidak
dapat disembuhkan, hanya dapat mengobati gejalanya saja.
Daftar Pusaka
1. Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Volume 2 Jakarta
EGC.hal 1392.-96.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.
3. Humes HD, DuPont HL, Gardner LB, Griffin JW, Harris ED, Hazzard WR, et al. Kelly’s
Textbook of Internal Medicine. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins Publishers;
2000.
16
4. Golman L, Ausiello D (eds). Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. USA: WB Saunders Company;
2003.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: InternaPublishing;2009.h.25-7,31-2,1109,2445-9,2565-77.
6. Corwin JE. Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC;2007.h.427-8.
7. Wallace DJ. The Lupus book. London: B-First;2005.h.5-60.
8. Remmers EF, Plenge RM, Lee AT, Graham RR, Hom G, Behrens TW, et al. STAT4 and the Risk
of Rheumatoid Arthritis and Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med 2007 Sep 6; 357:
977-86.
17