Transcript

1

PEDOMAN TEKNIS

PENYUSUNAN PETA KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASA

I. PENDAHULUAN

Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor produksi termasuk produksi biomasa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya. Di sisi lain, kegiatan produksi biomassa yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomasa, sehingga dapat menurunkan mutu dan fungsinya, pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, mengatur dengan jelas bahwa propinsi dan kabupaten mempunyai mandat antara lain melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan/tanah. Mandat ini dipertegas dengan keluarnya Permen Lingkungan Hidup No. 19 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Lingkungan Hidup Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 20 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis SPM Bidang Lingkungan Hidup Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Karena itu diperlukan suatu data yang berisi kondisi tanah dan status kerusakan tanah yang tertuang dalam peta berskala minimal 1:50.000 untuk daerah kota dan skala 1:100.000 untuk wilayah kabupaten sebagai bahan awal dalam melakukan pengawasan.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 150 tahun 2000 telah ditetapkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi Biomasa, termasuk di dalamnya parameter-parameter yang harus ditetapkan serta metodologi pengukurannya. Sedangkan tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomasa telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 07 tahun 2006. Kedua produk perundangan ini menjadi acuan dalam penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah.

Permasalahan saat ini adalah belum tersedianya data-data kondisi tanah dan status kerusakan tanah baik luasan maupun penyebarannya di berbagai daerah. Oleh karena itu agar pengawasan dan pengendalian kerusakan tanah dapat berlangsung dengan baik, maka terlebih dahulu harus dilakukan kegiatan inventarisasi data kondisi tanah dan kerusakannya yang selanjutnya dituangkan dalam Peta Kondisi Tanah dan Peta Status Kerusakan Tanah.

Di sisi lain terdapat pula permasalahan Sumberdaya Manusia (SDM) di dalam melakukan kegiatan pemetaan tersebut. Ketersediaan SDM di berbagai daerah sangat beragam baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Oleh karena itu di dalam penyusunan Peta Kondisi Tanah dan Peta Status Kerusakan Tanah masih diperlukan suatu pedoman teknis yang lebih mudah dipahami dan diikuti sehingga memberi kemudahan bagi para operator lapangan di daerah.

Tujuan

Tujuan dari penyusunan pedoman teknis ini adalah menyediakan panduan untuk memetakan kondisi dan status kerusakan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Panduan ini digunakan sebagai acuan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam melakukan pemetaan status kerusakan tanah.

2

Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman teknis ini adalah :

� Prosedur penyusunan peta kondisi awal tanah � Prosedur verifikasi lapangan � Prosedur penyusunan peta kondisi tanah � Prosedur penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomasa.

Pengertian Dalam pedoman teknis ini yang dimaksud dengan: 1) Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang

melampaui kriteria baku kerusakan tanah 2) Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu; bunga, biji, buah, daun,

ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman.

3) Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.

4) Areal kerja efektif adalah kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai pengembangan/produksi biomasa, yaitu daerah pertanian, perkebunan, hutan tanaman.

5) Peta kondisi awal tanah adalah peta yang berisi informasi awal tentang kondisi tanah yang disusun berdasarkan superimpose/overlay atas beberapa peta tematik guna memperoleh gambaran areal yang berpotensi mengalami kerusakan.

6) Verifikasi lapangan adalah kegiatan survey lapangan dalam rangka identifikasi karakteristik tanah melalui pengamatan dan pengambilan contoh tanah untuk penentuan kondisi dan status kerusakan tanah.

7) Peta kondisi tanah adalah peta yang berisi informasi kondisi tanah setelah dilakukan verifikasi lapangan, baik berdasarkan data pengamatan lapang maupun hasil analisis laboratorium. Peta ini menjadi bahan dalam penetapan status kerusakan tanah.

8) Peta status kerusakan tanah adalah peta yang berisi informasi status kerusakan tanah setelah dilakukan evaluasi lahan, yaitu membandingkan sifat-sifat kondisi tanah dengan kriteria baku kerusakan tanah.

3

II. BAHAN DAN PERALATAN

A. Bahan

1) Peta dasar Peta dasar adalah peta yang menyajikan informasi-informasi dasar dari suatu

wilayah, antara lain jalan, pemukiman/kampung, sungai, gunung, tutupan lahan, elevasi dan wilayah administrasi. Peta ini menjadi wadah dituangkannya berbagai peta tematik. Skala peta dasar yang akan digunakan sama atau lebih detil dari skala peta yang akan dihasilkan. Sebagai bahan peta dasar dapat menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) produksi Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

2) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Peta RTRW yang digunakan adalah peta RTRW tingkat Kabupaten atau Kota. Fungsi dari peta RTRW dalam penyusunan peta kondisi awal tanah adalah sebagai penyaring daerah kerja efektif yang akan disurvey dan dilihat kondisi tanahnya di lapangan berdasarkan status lahannya. Daerah yang dijadikan sebagai areal kerja efektif adalah daerah yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi biomassa di kawasan budidaya.

3) Peta tanah

Peta tanah diperlukan sebagai bahan untuk penilaian potensi kerusakan tanah. Informasi utama yang diambil dari peta ini adalah jenis tanah. Jenis tanah yang diperoleh dari peta tanah tergantung dari skala peta. Semakin detil skala peta tersebut, semakin banyak informasi sifat tanah yang diperoleh. Jenis (klasifikasi) tanah yang digunakan dapat beragam, umumnya menggunakan sistem klasifikasi Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, USDA) dan kadang-kadang juga disertakan padanannya dari klasifikasi Puslittan dan FAO.

4) Peta lereng Peta lereng merupakan hasil olahan dari peta topografi. Kemiringan lahan

berkaitan erat dengan potensi erosi sebagai faktor utama penyebab kerusakan tanah sehingga dijadikan bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Peta lereng yang mudah didapat diantaranya bersumber dari peta satuan lahan. Peta satuan lahan terdiri dari kumpulan peta-peta dasar seperti peta lereng, peta tanah dan sebagainya. Peta tersebut diantaranya bisa didapat di BBSDL (...) dan di Bakosurtanal. Peta lereng juga dapat dipersiapkan dengan DEM (digital elevation model) yaitu melakukan interpolasi peta kontur digital. DEM terbaru didapatkan dengan metode korelasi image digital dari dua image optik yang sama namun diambil dari sudut berbeda. Sumber image antara lain citra dari SPOT, ASTER dan sebagainya.

5) Peta curah hujan Curah hujan merupakan unsur yang paling penting dari iklim dan menjadi agen

utama kerusakan tanah melalui proses erosi. Untuk itu ketersediaan data ini diperlukan dalam penentuan potensi kerusakan tanah. Peta hujan biasanya disusun dari peta isohyet. BMG ditingkat propinsi kadang juga menyusun peta hujan. Sumber

4

lain adalah peta hujan yang disusun oleh Bappeda masing-masing daerah kabupaten, kota atau propinsi.

6) Peta penggunaan/penutupan lahan

Umumnya kerusakan tanah di Indonesia terjadi sebagai pengaruh aktivitas manusia (penggunaan lahan) baik pertanian, kehutanan, pertambangan, industri dan sebagainya. Karena itu peran peta penggunaan lahan (land use) sangat penting sebagai salah satu bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Dalam pendugaan potensi kerusakan tanah, peta penggunaan/penutupan lahan yang digunakan adalah peta terbaru yang masih relevan menggambarkan kondisi penggunaan/penutupan lahan saat verifikasi lapang dilakukan. Jika tidak tersedia, peta ini dapat disusun berdasarkan data Citra. Beberapa jenis citra yang dapat digunakan antara lain citra Landsat, SPOT, ASTER dan Quick Bird.

7) Peta dan data lainnya

Peta dan data lain seperti peta lahan kritis atau laporan langsung dari masyarakat atau instansi terkait tentang adanya kerusakan tanah pada kawasan tertentu, maka informasi tersebut dapat diakomodir dalam peta kondisi awal jika posisi dan sebarannya diketahui.

B. Peralatan Lapang

1) Alat-alat pengukur parameter-parameter kerusakan tanah sesuai Permen No. 07 tahun 2006

2) GPS, kompas, klinometer/abney level 3) Audio visual yang bisa digunakan untuk menyimpan data 4) Form isian data kondisi tanah (Lampiran 2.) 5) Kantong plastik (wadah contoh tanah) 6) ATK

5

III. METODOLOGI

A. Penyusunan Peta Kondisi Awal Tanah Inti kegiatan dari tahap persiapan adalah penyusunan peta kondisi awal tanah dan

deliniasi sebaran tanah berpotensi rusak. Hasil pemetaan digunakan sebagai peta kerja untuk verifikasi lapangan. Pada prinsipnya peta kondisi awal (peta kerja) menyajikan informasi dugaan potensi kerusakan tanah berdasarkan analisis peta dan data-data sekunder. Peta ini disusun berdasarkan peta-peta tematik utama serta data dan informasi lainnya yang mendukung. Potensi kerusakan tanah diduga dengan dua pendekatan, yaitu metode overlay peta-peta tematik dan metode skoring dari faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap kerusakan tanah.

Gambar 1. Skema kerja dalam penyusunan Peta Kondisi Awal

Proses penyusunan Peta Kondisi Awal ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu (1) penyaringan areal kerja efektif, (2) Skoring potensi kerusakan lahan pada peta-peta tematik (3) overlay beberapa peta tematik yang diperlukan, dan (4) penentuan potensi kerusakan tanah. Langkah-langkah tersebut secara terperinci diuraikan di bawah ini:

1. Penyaringan areal kerja efektif

Tahap awal dari penyusunan Peta Kondisi Awal adalah menyaring daerah kerja efektif melalui overlay dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah. Daerah yang menjadi areal kerja efektif adalah kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai pengembangan/produksi biomasa, yaitu daerah pertanian, perkebunan, hutan tanaman. Sedangkan pada kawasan lainnya (kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya seperti permukiman, perikanan, dll) tidak termasuk areal efektif.

2. Skoring potensi kerusakan tanah

Nilai skoring atau skor pembobotan potensi kerusakan tanah didapat dari hasil perkalian nilai rating yaitu nilai potensi masing-masing unsur peta tematik terhadap terjadinya kerusakan tanah dengan nilai bobot masing-masing peta tematik yaitu peta tanah, peta lereng, peta curah hujan dan peta penggunaan lahan. Nilai rating ditetapkan berkisar dari 1 sampai 5. Sementara nilai bobot didasarkan kepada akurasi dari masing-masing informasi peta tematik dalam penilaian potensi kerusakan tanah. Peta penggunaan lahan dan peta tanah diberi nilai bobot dua (2) dan peta kelerengan dan curah hujan diberi bobot tiga (3). Semakin tinggi nilai skoring pembobotan yang didapat, semakin tinggi pula potensi wilayah tersebut mengalami kerusakan tanah. Nilai rating dan skoring pembobotan dari masing-masing peta tematik disajikan dalam Tabel 1, 2, 3 dan 4. a. Peta tanah

Berdasarkan sistem klasifikasi Soil Taxonomy, di Indonesia tersebar 10 ordo tanah, yaitu Histosols yaitu ordo untuk tanah basah dan Entisols, Inceptisols, Vertisols, Andisols, Alfisols, Ultisols, Oxisols, serta Spodosols yaitu ordo untuk tanah lahan kering. Berdasarkan kondisi kelembabannya, tanah dibagi menjadi tanah lahan basah dan tanah lahan kering. Tanah lahan basah adalah tanah yang sebagian besar waktu di tahun-tahun normalnya berada pada kondisi jenuh air. Sedangkan

6

tanah lahan kering adalah tanah yang sebagian besar waktu di tahun-tahun normalnya berada pada kondisi tidak jenuh. Tanah lahan kering dan lahan basah dapat diduga dari nama jenis tanahnya. Selain Histosol, yang termasuk lahan basah adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai rejim kelembaban akuik atau bersub ordo akuik, misalkan Aquents, Aquepts, Aquults, Aquods dsb.

Dalam menduga potensi kerusakan, tanah-tanah dikelompokan ke dalam 5 (lima) kelas potensi kerusakan tanah. Nilai rating potensi kerusakan tanah (Tabel 1) diberikan terutama berdasarkan pendekatan nilai erodibilitas tanah.

Tabel 1 . Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan jenis tanah (tingkat Ordo)

Tanah Potensi Kerusakan

Tanah Simbol Rating

Skor pembobotan

(rating X bobot)

Vertisol, Tanah dengan rejim kelembaban aquik*

Sangat ringan T1 1 2

Oxisol Ringan T2 2 4

Alfisol, Mollisol, Ultisols

Sedang T3 3 6

Inceptisols, Entisols, Histosols

Tinggi T4 4 8

Spodosol Andisol

Sangat tinggi T5 5 10

Keterangan: *Aquents, Aquepts, Aquults, Aquoxs, dsb. dengan pengecualian untuk Sulfaquept dan Sulfaquent yang dinilai berpotensi kerusakan tinggi.

b. Peta lereng Dalam kaitannya dengan kerusakan tanah, tingkat kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap proses kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi tanah. Dalam menduga potensi kerusakan tanah berdasarkan kondisi kelerengan lahan, tanah dikelompokan ke dalam 5 (lima) kelas potensi kerusakan tanah (Tabel 2) Dasar penetapan klas lereng adalah pembagian klas lereng yang digunakan dalam penetapan potensi lahan kritis seperti yang diatur dalam peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dephut, SK.167/V-SET/2004. Peta lahan kritis yang disusun oleh Deptan juga menggunakan pembagian klas lereng yang sama. Tabel 2. Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan kemiringan lahan

Lereng (%) Potensi kerusakan

tanah Simbol Rating

Skor pembobotan

(rating X bobot)

1-8 sangat ringan L1 1 3

9-15 Ringan L2 2 6

16-25 sedang L3 3 9 26-40 tinggi L4 4 12 >40 sangat tinggi L5 5 15

7

c. Peta curah hujan Curah hujan adalah salah satu agen utama dari kerusakan tanah melalui proses erosi. Untuk hal itu ketersediaan data melalui peta curah hujan sangat diperlukan untuk penilaian potensi kerusakan tanah. Pengelompokan curah hujan didasarkan pada pengelompokan curah hujan tahunan dalam Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia yang disusun oleh Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Klas curah hujan tahunan dalam kaitannya dengan potensi kerusakan tanah disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai Skor Status Kerusakan tanah berdasarkan Jumlah Curah Hujan tahunan

CH (mm) Potensi Kerusakan Tanah Simbol Rating

Skor pembobotan

(rating X bobot)

<1000 sangat rendah H1 1 3

1000-2000 rendah H2 2 6

2000-3000 sedang H3 3 9 3000-4000 tinggi H4 4 12

>4000 sangat tinggi H5 5 15 d. Peta penggunaan lahan Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan penggunaan lahan didekati dengan mengacu kepada koefisien tanaman (faktor C). Berdasarkan pendekatan tersebut, jenis-jenis penggunaan lahan (baik penggunaan lahan di daerah pertanian maupun vegetasi alami) dikelompokan ke dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Sekalipun informasi pada satuan penggunaan lahan bersifat lebih umum, namun informasi-informasi yang lebih detil menyangkut jenis komoditas/vegetasi, tipe pengelolaan dan langkah-langkah konservasi yang diterapkan yang terkait erat dengan sifat tanah sangat penting dan bermanfaat dalam menduga potensi kerusakan tanah. Oleh karena itu, data-data tersebut penting untuk dicatat dan diperhatikan dalam pemanfaatan peta penggunaan lahan untuk penyusunan peta kondisi awal tanah. Tabel 4. Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan jenis penggunaan lahannya

Penggunaan Lahan Potensi

Kerusakan Tanah

Simbol Rating

Skor pembobotan

(rating X bobot)

Hutan alam Sawah Alang-alang murni subur

Sangat rendah T1 1 2

Kebun campuran Semak belukar Padang rumput

Rendah T2 2 4

8

Hutan produksi Perladangan

Sedang T3 3 6

Tegalan (tanaman semusim)

tinggi T4 4 8

Tanah terbuka Sangat tinggi T5 5 10

3. Overlay peta tematik Setelah areal kerja efektif dan nilai skor dari masing-masing peta tematik diperoleh, maka pada areal tersebut dilakukan overlay peta-peta tematik sebagaimana telah disebutkan. Proses overlay tersebut akan menghasilkan poligon-poligon baru dengan atribut kondisi lahan sesuai dengan peta-peta tematik penyusunnya. Pada poligon baru ini akan dinilai potensi kerusakan lahannya dengan mempertimbangkan skor pembobotan potensi kerusakan tanah dari peta-peta penyusunnya.

4. Penentuan potensi kerusakan tanah

Potensi kerusakan tanah diduga dengan melakukan pengelompokan terhadap akumulasi skor pembobotan yaitu hasil kali nilai skor dengan bobot masing-masing peta tematik. Penilaian potensi ini dilakukan terhadap poligon yang dihasilkan melalui proses overlay. Nilai akumulasi skor tersebut berkisar dari 10 sampai 50. Nilai maksimal terjadi jika seluruh nilai atribut dari tiap-tiap peta tematik yang digunakan berpotensi sangat tinggi terhadap kerusakan tanah. Berdasarkan akumulasi skor tersebut, seluruh tanah yang akan dinilai dikelompokan terhadap 5 kelas potensi kerusakan tanah, yaitu tanah yang berpotensi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Pada prinsipnya semakin tinggi nilai skor yang diberikan, semakin tinggi pula potensi wilayah tersebut mengalami kerusakan tanah. Kriteria pengelompokan potensi kerusakan tanah ini disajikan dalam Tabel 5.

9

Tabel 5. Kriteria pembagian kelas potensi kerusakan tanah berdasarkan nilai skor

Simbol Potensi Kerusakan Tanah Skor Pembobotan

PR.I Sangat rendah < 15

PR.II Rendah 15 - 24

PR.III Sedang 25 - 34

PR.IV Tinggi 35 - 44

PR.V Sangat tinggi 45 - 50

Penentuan potensi kerusakan tanah secara sederhana disajikan dalam Tabel 6 dan

skema cara penilaian seperti dikemukakan pada Gambar 2. Dalam contoh tersebut, digunakan 4 faktor kerusakan tanah yang didapat dari 4 peta tematik. Skoring pembobotan untuk faktor-faktor kerusakan tanah tersebut ditentukan terlebih dahulu, kemudian seluruh nilai tersebut dijumlahkan dan hasilnya (dalam contoh tersebut 29) dijadikan sebagai dasar untuk menentukan potensi kerusakan tanahnya. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, angka 29 menunjukkan bahwa potensi kerusakan tanah tergolong sedang. Tabel 6. Tabulasi tata cara penilaian potensi kerusakan tanah.

Faktor Kerusakan Tanah

Rating terhadap potensi kerusakan

tanah

Bobot Skor pembobotan

Jenis Tanah: Typic Hapludults

Sedang (3) 2 6

Penggunaan Lahan Tegalan

Tinggi (4) 2 8

Lereng 8%

Rendah (2) 3 6

Curah hujan 2500 mm/th

Sedang (3) 3 9

Jumlah 29

Di samping keempat peta tematik di atas, peta kondisi awal dapat juga mengakomodasi peta atau data lainnya terkait dengan potensi dan keberadaan tanah yang rusak. Peta dan informasi tersebut dapat langsung digunakan untuk menduga potensi kerusakan tanah, tanpa harus melalui proses skoring dan pembobotan. Sebagai contoh peta lahan kritis keluaran BPDAS Departemen Kehutanan yang memilah lahan kritis atas 5 golongan. Untuk lahan tergolong sangat kritis kerusakan tanahnya diduga setara dengan potensi kerusakan tanah sangat tinggi. Lahan yang tergolong kritis diduga setara dengan potensi kerusakan tanah tinggi. Lahan agak kritis diduga setara dengan potensi kerusakan tanah sedang. Lahan potensial kritis diduga setara dengan potensi kerusakan tanah rendah. Sedangkan lahan tidak kritis diduga mempunyai potensi kerusakan tanah sangat rendah.

10

Gambar 2. Skema Penilaian Potensi Kerusakan Tanah

Peta Kondisi Awal pada prinsipnya menyajikan informasi dugaan potensi

kerusakan tanah, luasan dan sebarannya. Peta ini akan digunakan sebagai peta kerja dan bertujuan agar dapat mempermudah dan mengarahkan verifikasi di lapangan, terutama dalam menentukan prioritas lokasi yang akan disurvey serta jenis-jenis pengukuran yang akan dilakukan. Untuk keperluan itu maka perlu dicantumkan faktor-faktor penting atau diduga dapat menjadi penyebab kerusakan tanah, yaitu jenis tanah, bahan induk, kemiringan lereng, curah hujan tahunan dan penggunaan lahan. Informasi tersebut dituangkan dalam legenda peta dengan format sebagaimana terlihat dari contoh Legenda Peta Kondisi Awal dalam Lampiran 2A.

B. Verifikasi Lapangan Verifikasi lapangan adalah untuk membuktikan benar tidaknya indikasi atau

potensi kerusakan tanah yang telah disusun. Kegiatan ini dilakukan dengan urutan prioritas berdasarkan potensi kerusakan tanahnya. Prioritas utama dilakukan pada tanah dengan potensi kerusakan paling tinggi.

1. Metode Pengamatan Tanah Di dalam pelaksanaan survey lapangan, terdapat beberapa metode pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Metode pengambilan contoh tanah yang umum digunakan adalah pengambilan sistem random (random sampling) dan pengambilan sistem grid (grid sampling).

11

a. Sistem grid (jalur) Sistem ini merupakan teknik pengamatan tanah yang dilakukan pada jarak yang

teratur. Dalam sistem ini titik-titik pengamatan terlebih dahulu dirancang dalam peta kerja dengan pola bentuk grid. Kerapatan grid disesuaikan dengan skala peta yang akan dibuat. Metode sampling seperti ini cocok diterapkan pada kondisi: - Lahan homogen dan tidak dapat dibedakan secara visual di lapangan, misalkan

pada lahan gambut. - Peta dasar dan peta pendukung kurang lengkap. - Pengalaman/jam terbang para surveyor masih rendah/minim.

b. Sistem bebas Sistem ini biasanya diterapkan pada kondisi lahan yang cukup beragam, dimana lahan dibagi kepada beberapa satuan lahan yang relatif homogen melalui proses tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta tematik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan kemudian pada setiap satuan lahan tersebut dilakukan sampling secara random. Homogenitas pada setiap satuan lahan menjadi syarat dalam penggunaan metode sampling ini.

c. Sistem sistematik Sistem ini hampir sama dengan sistem grid, tapi jarak pengamatannya tidak

sama jauh. Penerapan sistem ini harus disertai dengan peta dasar dan data penunjang cukup lengkap.

d. Sistem bebas sistematik

Sistem ini hampir sama dengan sistem bebas, dilakukan untuk mengatasi kekurangan waktu di lapangan. Dalam penerapannya harus disertai ketersediaan peta dasar dan peta penunjang cukup lengkap, serta berdasarkan hasil interpretasi.

Kerapatan pengamatan selain tergantung kepada tingkat survey (lihat Tabel 7), juga tergantung pada jumlah satuan peta sementara (hasil interpretasi) yang harus diverifikasi.

Tabel 7. Unsur-unsur pemetaan terkait kerapatan pengamatan dalam berbagai tingkat survey

Unsur Tingkat Survey

Tinjau mendalam Semi-detil Detil

Peta dasar 1:20.000 1:50.000

1:5.000 1:20.000

1:2.000 1:5.000

Jml observasi (obs/100 ha)

4 - 8 8 - 16 16 - 24

Skala Peta laporan

1:50.000 1:100.000

1:20.000 1:50.000

1:5.000 1:10.000

Kegunaan - Perencanaan umum penggunaan lahan

- Penetapan areal yang akan disurvey lebih dalam

-Studi kelayakan rencana teknis

-Pelaksanaan pengembangan

-Rencana operasional

12

2. Identifikasi Kerusakan Tanah Pengamatan parameter-parameter kriteria baku kerusakan tanah dilakukan

berdasarkan metode yang telah ditetapkan PP No. 150 tahun 2000. Secara teknis, tata cara pengukuran parameter-parameter tersebut diuraikan dalam Permen LH No. 07 tahun 2006.

Beberapa parameter kriteria baku kerusakan tanah diukur langsung di lapangan, sedangkan sebagian lainnya diukur melalui analisis laboratorium. Untuk itu perlu dilakukan pengambilan contoh tanah pada setiap titik pengamatan. Petunjuk pengambilan contoh tanah mengacu pada Permen LH No. 07 tahun 2006.

Khusus untuk parameter tingkat erosi tanah dan subsidensi gambut, hasilnya hanya dapat diperoleh jika telah dilakukan sedikitnya dua kali pengukuran di tempat yang sama dengan interval waktu pengukuran satu tahun.

Hasil verifikasi dan identifikasi parameter kerusakan tanah juga memungkinkan terjadinya perubahan poligon pada Peta Kondisi Awal.

3. Inventarisasi Informasi Pendukung Peta Status Kerusakan Tanah Informasi pendukung lain yang diperlukan dalam penyusunan Peta Status

Kerusakan Tanah, diantaranya adalah penggunaan lahan aktual, vegetasi/tanaman utama, teknik budidaya, teknik konservasi, lama pengusahaan lahan dan lain-lain. Informasi ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan program rehabilitasi tanah nantinya.

C. Penyusunan Peta Kondisi Tanah

Peta Kondisi Tanah bersifat deskriptif, artinya peta ini hanya memberikan gambaran tentang sifat-sifat tanah pada wilayah yang disurvey. Peta Kondisi Tanah disusun berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi sifat tanah di lapangan dan selanjutnya peta disempurnakan dengan data-data hasil analisis laboratorium.

Peta Kondisi Tanah memuat nilai parameter-parameter kriteria baku kerusakan tanah. Nilai dicantumkan dalam legenda peta berupa nilai kisaran dari masing-masing parameter. Peta ini juga memuat informasi kondisi lahan yang diperoleh dari peta-peta tematik, yaitu jenis tanah, bahan induk, kemiringan lereng, curah hujan tahunan, dan penggunaan lahan. Format legenda Peta Kondisi Tanah disajikan pada Lampiran 2B dan 2C.

Pada tahap selanjutnya, data-data dari peta ini akan dinilai dan menjadi dasar dalam penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa.

D. Penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa

Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa merupakan output akhir yang berisi informasi tentang status, sebaran dan luasan kerusakan tanah pada wilayah yang dipetakan. Peta ini disusun melalui dua tahapan evaluasi yaitu matching dan skoring. Secara terperinci penetapan status kerusakan tanah diuraikan sebagai berikut:

1. Metode matching

Matching adalah membandingkan antara data parameter-parameter kerusakan tanah yang terukur dengan kriteria baku kerusakan tanah (sesuai dengan PP No. 150 tahun 2000). Matching ini dilakukan pada setiap titik pengamatan. Dengan metode ini, setiap titik pengamatan dapat dikelompokan ke dalam tanah yang tergolong rusak (R) atau tidak rusak (N).

13

2. Metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah.

Metode skoring dilakukan dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah yang tergolong rusak dalam suatu poligon. Yang dimaksud dengan frekwensi relatif (%) kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah didasarkan perbandingan jumlah contoh tanah yang tergolong rusak yaitu hasil pengukuran setiap parameter kerusakan tanah yang sesuai dengan kriteria baku kerusakan tanah, terhadap jumlah keseluruhan titik pengamatan yang dilakukan dalam poligon tersebut. Dalam menetapkan status kerusakan tanah langkah-langkah yang dilalui adalah sebagai berikut: 1) Menghitung frekwensi relatif (%) dari setiap parameter kerusakan tanah. 2) Memberi nilai skor untuk masing-masing parameter berdasarkan nilai frekwensi

relatifnya dengan kisaran nilai dari 0 sampai 4 (Tabel 8). 3) Melakukan penjumlahan nilai skor masing-masing parameter kriteria kerusakan

tanah. 4) Penentuan status kerusakan tanah berdasarkan hasil penjumlahan nilai skor pada poin

3 (Tabel 9).

Secara lengkap tahapan-tahapan penentuan status kerusakan tanah disajikan pada Gambar 3. Tabel 8. Skor kerusakan tanah berdasarkan frekwensi relatif dari berbagai parameter

kerusakan tanah Frekwensi Relatif Tanah Rusak (%) Skor Status Kerusakan Tanah

0-10 0 Tidak rusak 11-25 1 Rusak ringan 26-50 2 Rusak sedang 51-75 3 Rusak berat 76-100 4 Rusak sangat berat

Dalam penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering, nilai maksimal

penjumlahan skor kerusakan tanah untuk 10 parameter kriteria baku kerusakan adalah 40. Sedangkan nilai skor maksimal pada lahan basah adalah 20, 24 atau 28, tergantung pada banyak parameter yang diukur. Misalkan jika jenis tanah lahan basah berupa tanah mineral atau tanah gambut dengan lapisan substratum bukan pasir kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 6 (nilai redoks tanah gambut dan subsidensi tidak diukur) sehingga nilai skor maksimalnya 24. Contoh lain, jika jenis tanah lahan basah berupa tanah gambut dengan lapisan substratum pasir kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 7 (nilai redoks tanah yang mengandung pirit tidak diukur) dan nilai skor maksimalnya adalah 28.

Dari penjumlahan nilai skor tersebut dilakukan pengkategorian status kerusakan tanah. Berdasarkan status kerusakannya, tanah dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu tidak rusak (N), rusak ringan (R.I), rusak sedang (R.II), rusak berat (R.III) dan rusak sangat berat (R.IV). Status kerusakan tanah berdasarkan penjumlahan nilai skor kerusakan tanah disajikan dalam Tabel 9.

14

Tabel 9. Status kerusakan tanah berdasarkan nilai akumulasi skor kerusakan tanah untuk lahan kering dan lahan basah

Simbol Status

Kerusakan Tanah

Nilai akumulasi skor kerusakan tanah

Lahan Kering

Lahan Basah Tanah gambut

bersubstratum pasir kuarsa

Tanah gambut lain atau mineral

N Tidak rusak 0 0 0 R.I Rusak ringan 1 – 14 1 – 12 1 - 8 R.II Rusak sedang 15 – 24 13 – 17 9 - 14 R.III Rusak berat 25 – 34 18 – 24 15 - 20 R.IV Rusak sangat

berat 35 - 40 25 – 28 21 - 24

Contoh cara penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering digambarkan dalam

Tabel 10 dan pada lahan basah yaitu tanah gambut di atas pasir kuarsa pada Tabel 11. Dalam Tabel 10, hasil penjumlahan dari skor frekwensi relatif adalah 7, artinya status kerusakan tanah tergolong rusak ringan. Sedangkan pada Tabel 12, hasil penjumlahan skor frekwensi relatif adalah 13, artinya status kerusakan tanah tersebut tergolong rusak sedang.

Tabel 10. Tabulasi tata cara penilaian kerusakan tanah berdasarkan persentase frekwensi

relatif pada lahan kering Keterangan: * Angka menunjukkan status kerusakan tanah tergolong rusak ringan

No. Kriteria baku kerusakan tanah

Frekwensi relatif kerusakan tanah (%)

Skor frekwensi relatif

1. Ketebalan Solum 40 2 2. Kebatuan Permukaan 20 1 3. Komposisi Fraksi kasar 20 1 4. Berat isi (BI) 10 0 5. Porositas Total 10 0

6. Derajat Pelulusan Air 20 1 7. pH (H2O) 1:2.5 0 0 8. Daya hantar listrik (DHL) 0 0 9. Redoks 0 0 10. Jumlah Mikroba 30 2 Jumlah Skor 7*

15

Tabel 11. Tabulasi cara penilaian kerusakan tanah berdasarkan persentase frekwensi relatif pada lahan basah (tanah gambut di atas pasir kuarsa).

No. Kriteria baku kerusakan tanah Frekwensi relatif kerusakan tanah (%)

Skor frekwensi relatif

1. Subsidensi gambut di atas pasir

kuarsa 50 2

2. Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah

0 0

3. Kedalaman air tanah dangkal

76 4

4. Redoks untuk tanah berpirit - - 5. Redoks untuk gambut 30 2 6. pH ( H20) 1: 2,5 25 1 7. Daya Hantar Listrik/DHL 60 3 8. Jumlah Mikroba 20 1 Jumlah skor 13*

Keterangan:* Angka menunjukkan status ketursakan tanah tergolong rusak sedang

3. Tata cara penulisan simbol kerusakan tanah Peta Status Kerusakan Tanah menyajikan informasi tentang status kerusakan tanah.

Dalam penyajiannya informasi dikemas dalam suatu legenda peta yang berisi informasi status kerusakan tanah, parameter utama yang tergolong rusak serta luas tanah.

Di dalam penulisannya, setiap simbol status kerusakan tanah diikuti oleh faktor pembatas yang disimbolkan oleh satu atau dua huruf latin (Tabel 12). Simbol kerusakan tanah dan simbol parameter faktor pembatasnya dipisahkan oleh tanda strip (-). Jika terdapat lebih dari satu jenis faktor pembatas, maka simbol-simbol faktor pembatas tersebut dibatasi oleh tanda koma (,). Jumlah faktor pembatas yang dimunculkan dalam peta dibatasi maksimal 3 jenis parameter yang berpengaruh paling dominan. Format legenda Peta Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa disajikan pada Tabel 13.

16

Tabel 12. Simbol parameter-parameter kerusakan tanah No. Parameter Simbol 1 Ketebalan solum s 2 Kebatuan permukaan b 3 Komposisi fraksi f 4 Berat isi d 5 Porositas total v 6 Derajat pelulusan air p 7 pH (H2O) 1: 2,5 a 8 Daya Hantar Listrik/DHL e 9 Redoks r 10 Jumlah mikroba m 11 Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa g 12 Kedalaman lapisan berpirit dari

permukaan tanah f

13 Kedalaman air tanah dangkal w 14 Redoks untuk tanah berpirit rp 15 Redoks untuk gambut rg

Tabel 13. Contoh Format Legenda Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa

No Simbol Keterangan Luas

Status Kerusakan Tanah

Pembatas ha %

1 2 3

R.I-a R.II-d,p R.III-b

Rusak ringan Rusak sedang Rusak berat

pH Kepadatan tanah dan porositas total Kebatuan permukaan

100 200 150

5,3 10,6 7,95

17

Gambar 3. Skema Penilaian Status Kerusakan Tanah

Status Kerusakan Tanah: Rusak ringanRusak ringanRusak ringanRusak ringan

Parameter Skoring Skor Frekwensi relatif

+

Ketebalan Solum

Kebatuan Permukaan

Komposisi Fraksi kasar

Berat isi

Dibandingkan dengan kriteria

Frekwensi relatif Tanah rusak

Porositas Total

Derajat Pelulusan Air

pH (H2O) 1:2.5

Daya hantar listrik (DHL)

Redoks

Jumlah Mikroba:

40 %

20%

20%

10%

10%

20%

0

0

0

30%

2

1

1

0

0

1

0

0

0

2

Jumlah : 7

Diakumulasikan

18

E. Penyusunan Layout Peta

Di dalam kegiatan Pemetaan Kondisi Tanah dan Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa, penyajian informasi yang ditampilkan adalah sebagai berikut: 1) Judul Peta Peta Kondisi Lahan atau Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa. 2) Skala Peta Peta memuat informasi skala peta. Contoh: Skala 1: 100.000 atau 1:50.000. Informasi

ini dapat juga berupa skala bar/skala garis. 3) Proyeksi peta Proyeksi peta menggunakan system proyeksi UTM dan Geografis (derajat,

menit, detik) 4) Simbol arah utara. Simbol yang menunjukkan arah utara. Bentuk simbol tidak ditentukan. 5) Peta inset Peta inset adalah peta yang menunjukkan posisi/lokasi daerah yang dipetakan dalam

suatu wilayah yang lebih luas, misalkan dalam wilayah propinsi. 6) Legenda umum Meliputi simbol dan keterangan data umum dari peta. Sebagai contoh: simbol jalan,

batas administrasi, sungai, kampung, gunung, kontur dll. 7) Legenda Legenda yang menyajikan informasi utama sesuai dengan tujuan pemetaan. Format

legenda ini sesuai dengan yang telah dicontohkan sebelumnya. 8) Institusi pelaksana pemetaan Lembaga yang bertanggunggjawab dalam pelaksanaan kegiatan. 9) Tahun produksi pemetaan Tahun produksi pemetaan menginformasikan waktu/tahun ketika peta ini disusun. 10) Sumber-sumber peta Peta-peta lain yang dirujuk dalam pembuatan peta ini, baik berupa peta dasar, peta

tanah, peta penggunaan lahan, atau peta curah hujan (isohiet).

19

Lampiran 1. Kriteria Baku Kerusakan Tanah

A. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Di Lahan Kering Akibat Erosi Air

TEBAL TANAH

AMBANG KRITIS EROSI METODE

PENGUKURAN PERALATAN (1) (2)

Ton/ha/tahun mm/10 tahun

< 20 cm > 0,1 – < 1 > 0,2 - < 1,3 1. Gravimetrik 1. Timbangan, tabung ukur, penera debit (discharge) sungai dan peta daerah tangkapan air (cathment area)

20 - < 50 cm 1 - < 3 1,3 - < 4

50 - < 100 cm 3 - < 7 4,0 - < 9,0

100 - 150 cm 7 – 9 9,0 – 12 2. Pengukuran

langsung 2. Patok erosi

> 150 cm > 9 > 12

B. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Di Lahan Kering

NO. PARAMETER AMBANG KRITIS METODE

PENGUKURAN PERALATAN

1 Ketebalam solum < 20 cm Pengukuran langsung meteran

2 Kebatuan permukaan < 40% Pengukurang langsung imbangan batu dan tanah dalam unit luasan

Meteran; Counter (line atau total)

3 Komposisi fraksi pasir < 18% koloid; LEMPUNG > 80% pasir kuarsatik PASIR KASAR

Warna pasir, gravimetrik

Tabung ukur; timbangan

4 Berat isi BV > 1,4 g/cm3 Gravimetric pada satuan volume

Lilin, tabung ukur; ring sampler, timbangan analistik

5 Porositas total < 30% ; > 70% Perhitungan berat isis (BI) dan berat jenis (BJ)

Piknometer; double ring permeameter

6 Derajat pelulusan air <0,7 cm/jam > 8 cm/jam

Permeabilitas Ring sampler; double ring permeameter

7 pH (H2O) 1:2,5 <4,5 ; >8,5 potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan

8 Daya Hantar istrik/DHL >4,0 mS/cm Tahanan listrik EC meter

9 Redoks < 200 mV Tegangan listrik pH meter; elektroda platina

10 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah Plating technique Cawan petri; colony counter

20

C. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Di Lahan Basah

NO. PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PENGUKURAN

PERALATAN

1 Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa

> 35 cm/5 tahun untuk ketebalan gambut > 3 m atau 10%/5 tahun untuk ketebalan gambut < 3 m

Pengukuran langsung

Patok subsidensi

2 Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah

< 25 cm dengan pH < 2,5

Reaksi oksidasi dan pengukuran langsung

Cepuk plastic; H2O2; pH stick skala 0,5 satuan; meteran

3 Kedalaman air tanah dangkal "

> 25 cm Pengukuran langsung

Meteran

4 Redoks untuk tanah berpirit

> -100 mV Tegangan listrik pH meter; ekektroda platina

5 Redoks untuk gambut > 200 mV Tegangan listrik pH meter; ekektroda platina

6 pH ( H20) 1: 2,5 < 4,0 ; > 7,0 Potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan

7 Daya Hantar Listrik/DHL

> 4,0 mS/cm Tahanan listrik EC meter

8 Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah Plating technique Cawan petri; colony counter

Catatan : - Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman >100 cm, ketentuan kedalaman air

tanah dan nilai redoks tidak berlaku. - Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku jika lahan

belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam.

21

Lampiran 2. Format Legenda Peta

A. Format Legenda Peta Kondisi Awal No Simbol Potensi

Kerusakan Tanah

Tanah Lereng Bahan Induk

CH (mm/tahun) Penggunaan Lahan

Dugaan Parameter penyebab Kerusakan lahan

1 2 3

PR.I PR.II PR.III

Sangat ringan Ringan Sedang

Typic Sulfaquents Typic Hapludults Typic Dystrudepts

0-1 3-8% 8-15%

Endapan Marin Batupasir Batuliat

1000-2000 2000-3000 3000-4000

Rumput rawa Semak Rumput

pH, redoks, kedalaman air Erosi, pH, BI Erosi, pH, BI

B. Format Peta Kondisi Tanah pada Lahan Kering

No Tanah Lereng Bahan Induk

CH (mm/thn)

Penggunaan Lahan

Ketebalan Solum (cm)

Kebatuan permukaan

(%)

Komposisi fraksi

Berat isi (g/cm2)

Porositas total (%)

Derajat Pelulusan air

(cm/jam)

pH (H2O) 1:2,5

DHL (mS/cm)

Redoks (mV)

Jml. Mikroba

(cfu/g tnh)

Luas

Pasir %)

Koloid (%)

Ha %

1 2 . .. dst

Jumlah

C. Gambaran legenda Peta Kondisi Tanah pada Lahan Basah

No Tanah Bahan Induk CH (mm/thn) Penggunaan Lahan

Subsiden gambut

(cm/5 thn)

Kedalaman pirit (cm)

Kedalaman air tanah

Redoks pH (H2O) 1:2,5

DHL Jml. Mikroba Luas

Ha %

1 2 3 . .dst

Typic Haplosaprists Terric Haplosaprists Typic Sulfaquepts

Bahan organik Bahan organik/endapan pasir Endapan liat

2500 2500 2500

Semak Rumput Semak

10 5 -

40-60 20 10

30 40 60

150 165 100

6.0 6.0 3.0

3 4 5

110 120 110

15,6 32,3 10,5

Jumlah 100

22

Lampiran 3. Contoh form isian data kondisi tanah

1. No form.:....................................................... 2. Kode SL (Satuan Lahan): ......................................

3. Tanggal Pemantauan :........................... 4. Nama Observer :.........................................................

5. GPS-UTM: Zone…........S/N; X:…….........................….…;Y:…....…......….................; Elevasi: .............m dpl

6. Lokasi: Provinsi:……..…… Kab.:…..…...…., Kec:……………., Desa:……………, Dusun/Kp:…..…………..........

7. Penggunaan Lahan : ……………………….

8. Vegetasi/tanaman (existing) : a. ............................. b. .............................

9. Lereng:...........................% 10. Bahan induk: …......................................................….

11. Muka air tanah:...............cm

12. Erosi aktual: 1) tanpa erosi 2) erosi lembar 3) erosi alur 4) erosi parit 5) longsor 6) lainnya ..........

13. Tindakan konservasi : 1) Tidak diteras 2) Diteras : …………………………….... 3) Lainnya …………..

Konservasi vegetative : ……………………………………… Lain-lainnya: ............................................................

Parameter Kerusakan Tanah

Lahan Kering Lahan basah

NO.

PARAMETER AMBANG KRITIS No. Parameter Nilai

1 Ketebalam solum … cm 1 Subsidensi gambut di atas pasir

kuarsa

… cm/ tahun

2 Kebatuan permukaan … % 2 Kedalaman lapisan berpirit dari

permukaan tanah

… cm

3 Komposisi fraksi pasir … % koloid;

… % pasir kuarsatik

3 Kedalaman air tanah dangkal … cm

4 Berat isi … g/cm3 4 Redoks untuk tanah berpirit … mV

5 Porositas total … mV 5 Redoks untuk gambut … mV

6 Derajat pelulusan air … % 6 pH ( H20) 1: 2,5 …

7 pH (H2O) 1:2,5 … cm/jam 7 Daya Hantar Listrik/DHL … mS/cm

8 Daya Hantar Listrik/DHL … mS/cm 8 Jumlah mikroba … cfu/g tanah

9 Redoks … mV

10 Jumlah mikroba … cfu/g tanah

11 Lapiasan tanah tererosi … cm/thn

14. Catatan : …………………………………………………………………………………………………………………


Top Related