1
PEGOLAHA AIR MIUM PORTABLE SKALA RUMAH
TAGGA DEGA MEGGUAKA TEKOLOGI TEPAT
GUA UTUK DAERAH BECAA BAJIR DI PROVISI
JAWA TIMUR
Rofiq, Fauzan1)
1) Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Surabaya,
Indonesia, email: [email protected]
Abstrak
Jawa Timur memiliki dua puluh satu kota dan kabupaten dengan potensi bencana banjir tinggi dan sedang
yang memiliki ketersediaan air bersih yang minim. Terlebih lagi pada saat bencana banjir terjadi. Hal ini
mengakibatkan para korban bencana banjir mengkonsumsi air banjir yang tidak diolah secara tepat, sehingga
mengakibatkan terjangkitnya penyakit diare. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan dalam menghadapi dampak yang
ditimbulkan dalam hal pemenuhan kebutuhan air minum, yaitu melakukan pengolahan air banjir menjadi air minum
dengan menggunakan alat yang dapat dipindahkan dengan mudah dan menggunakan teknologi tepat guna sebagai
teknologi yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Alat hasil penelitian ini mampu mengolah air banjir dengan
efisiensi removal optimum sebesar 99,88% untuk parameter kekeruhan dan 100% untuk parameter Escherichia coli.
East Java Province has twenty one cities and regencies with high and medium flood disaster risk that have
minimum clean water access. Moreover, during the flood disaster. It will cause the victim of flood disaster to consume
flood water without appropriate treatment which leads into the spreading of the diarrhea. Therefore, it needs a
treatment to treat the flood water into drinking water which is portable and using appropriate technology. The water
treatment can treat flood water with optimum removal efficiency as high as 99.88% for turbidity and 100% for
Escherichia coli.
2
I. PEDAHULUA
Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari saluran yang
ada dan menggenangi wilayah di sekitarnya. Sembilan puluh persen dari kejadian bencana alam
(tidak termasuk bencana kekeringan) berhubungan dengan banjir. Mengkonsumsi makanan atau
minuman yang tercemar air banjir bisa beresiko bagi kesehatan (Yayasan IDEP, 2007). Enam belas
kota dan kabupaten di Jawa Timur beresiko tinggi terkena bencana banjir. Sementara itu, lima kota
dan kabupaten di Provinsi Jawa Timur beresiko sedang terkena bencana banjir. Enam belas kota
dan kabupaten yang beresiko tinggi tersebut adalah Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik,
Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, Kota dan Kabupaten Mojokerto, Jombang, Kabupaten Malang,
Kota dan Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Situbondo dan Banyuwangi. Sementara itu, lima daerah
beresiko sedang adalah Pacitan, Trenggalek, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Ke-21 kota dan
kabupaten tersebut memiliki ketersediaan air bersih dengan jumlah yang minim (Taufiq, 2011). Hal
ini ditegaskan oleh Peta Indeks Bencana Banjir yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Oleh karena itu,
diperlukan kesiapan untuk menghadapi dampak kesulitan air bersih karena pada saat bencana banjir
terjadi, sumber air menjadi terganggu dan terkontaminasi. Namun demikian, tidak jarang korban
bencana banjir yang menggunakan genangan air banjir untuk minum dan memasak tanpa
pengolahan air yang baik, yaitu hanya dengan cara diendapkan dan disaring terlebih dahulu,
sehingga tidak jarang korban bencana banjir yang terkena penyakit diare akibat mengkonsumsi air
tersebut (Sucipto, 2009). Penggunaan genangan air banjir untuk konsumsi terjadi karena sumber air
bersih terendam air banjir (Qohar, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan akan
kebutuhan air minum yang aman untuk dikonsumsi merupakan hal yang penting dan mendesak bagi
korban bencana banjir untuk mengurangi resiko kesehatan pada korban banjir.
3
Gambar 1 Peta Indeks Ancaman Bencana Banjir di Indonesia
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009
Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan air minum tersebut adalah dengan memberikan
suplai bantuan berupa air bersih untuk dimasak maupun air minum dalam kemasan yang siap
dikonsumsi, namun langkah ini menjadi tidak efektif karena kondisi medan pada saat banjir terjadi
mempersulit proses distribusi bantuan karena tidak jarang akses komunikasi dan transportasi akan
terputus pada saat bencana banjir terjadi, khususnya untuk mencapai daerah yang terpencil. Terlebih
lagi jika banjir terjadi dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, proses pengolahan air banjir
merupakan alternatif yang sangat baik untuk memperoleh air pada kondisi darurat (Saragih dan
Soedjono, 2011). Jumlah kebutuhan air minum yang diperlukan dalam keadaan darurat adalah
sebanyak 2,5 – 3 liter per orang per hari (Yayasan IDEP, 2007). Menurut Oxfam Humanitarian
Department, alat pengolahan air minum untuk korban bencana banjir harus menggunakan teknologi
yang sederhana dan sesuai dengan kondisi masyarakat yang merupakan korban bencana banjir
karena penggunaan teknik pengolahan air dengan teknologi baru dan rumit dapat menghasilkan
kualitas air olahan yang tidak baik, meskipun secara teknis baik. Oleh karena itu, diperlukan alat
4
dengan menggunakan teknologi tepat guna karena teknologi sesuai dengan kondisi budaya dan
kondisi ekonomi masyarakat setempat (Munaf dkk., 2008).
Menurut Fitriani (2010), kekeruhan air Kali Surabaya pada saat musim hujan adalah 1.000
NTU. Sementara Menurut Wulandari (2009), kekeruhan air Sungai Bengawan Solo pada saat
musim hujan adalah 617,52 NTU. Menurut Saragih dan Soedjono (2011), air banjir dapat diolah
dengan menggunakan pengolahan air minum konvensional, yaitu dengan proses koagulasi,
flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi. Namun demikian, pada proses pengolahan air banjir dipelukan
pengendapan awal (prasedimentasi) untuk mendapatkan air baku dengan variasi kualitas air yang
lebih konstan agar dosis koagulan yang dibubuhkan tidak menjadi terlalu variatif. Dosis koagulan
yang tidak variatif ini mempermudah warga, yang merupakan warga yang sedang kesusahan, untuk
mendapatkan kualitas air terolah yang lebih pasti. Oleh karena itu, diperlukan waktu pengendapan
yang tepat pada saat pengendapan awal (prasedimentasi). Selain itu, pada proses koagulasi dan
flokulasi diperlukan dosis koagulan dan lama waktu (durasi) pengadukan yang tepat agar proses
koagulasi dan flokulasi dapat terjadi secara maksimal serta lama waktu proses sedimentasi yang
optimum. Proses pengolahan air banjir dengan pengolahan air minum konvensional seperti yang
telah disebutkan hanya menghasilkan air bersih saja. Oleh karena itu, diperlukan disinfeksi air hasil
proses filtrasi untuk membunuh bakteri patogen yang berbahaya untuk dikonsumsi dan
menghasilkan sisa klor aktif yang tidak membahayakan.
II. METODE PEELITIA
Dalam penelitian ini, digunakan air baku yang berasal dari Kali Surabaya di Kota Surabaya
(Gambar 2) yang merupakan cabang dari Sungai Brantas. Kali Surabaya dan Sungai Brantas
merupakan sungai yang mengakibatkan banjir di Provinsi jawa Timur. Parameter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kekeruhan, Escherichia coli, pH, dan sisa klor aktif. Analisis kekeruhan
dilakukan dengan metode turbidimetri, analisis pH dilakukan dengan menggunakan pH meter,
5
analisis Escherichia coli dilakukan dengan menggunakan metode Most Probable umber (MPN),
dan sisa klor aktif dianalisis dengan menggunakan metode iodometri. Sementara itu, baku mutu
yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 492 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Analisis laboratorium
yang diperlukan dilakukan di Laboratorium Jurusan Teknik Lingkungan FTSP – ITS. Koagulan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah alumunium sulfat. Sementara itu, kalsium hipoklorit
digunakan sebagai disinfektan. Secara umum, variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas tiga variabel, yaitu:
- Lama waktu pengendapan pada proses prasedimentasi: 10 menit; 20 menit; 30 menit; 40
menit; 50 menit; dan 60 menit.
- Lama waktu pengadukan pada proses koagulasi dan flokulasi:
o Koagulasi: 1 menit dan 2 menit.
o Flokulasi: 2 menit dan 3 menit.
- Lama waktu pengendapan pada proses sedimentasi: 10 menit; 20 menit; 30 menit; 40
menit; 50 menit; dan 60 menit.
Tahapan penelitian dilakukan dengan melakukan analisis laboratorium terhadap kualitas air
baku. Dalam hal ini, digunakan kekeruhan buatan dengan cara mencampurkan sedimen Kali
Surabaya dengan air Kali Surabaya untuk mensimulasikan kekeruhan air sungai pada saat banjir.
Dalam hal ini, kekeruhan buatan yang digunakan adalah 945 NTU. Parameter yang digunakan
dalam analisis kualitas air baku adalah kekeruhan, Escherichia coli, dan pH. Hasil analisis kualitas
air baku tersebut digunakan sebagai data acuan dalam penelitian ini.
Alat pengolahan air minum yang juga berfungsi sebagai reaktor dalam penelitian ini
direncanakan terdiri atas proses prasedimentasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan disinfeksi.
Proses pengolahan air minum
mengolah air banjir menjai a
bahan plastik dan kayu dengan
ini dilakukan mengingat kon
harus mudah dipindahkan de
minum dibuat sebisa mungkin
memastikan pengguna dapat m
sebisa mungkin dengan pertim
serta kemudahan dalam maint
pengguna yang beragam dan
medan atau lapangan pada saa
Satu paket pengolahan air por
a) Unit pengambilan
(ember plastik beru
b) Meja penyangga u
dipilih dengan pertimbangan bahwa proses p
air minum. Alat pengolahan air minum dire
n tujuan agar tidak mudah pecah, ringan dan
ndisi medan atau lapangan saat banjir, sehin
engan resiko kerusakan alat sekecil mungk
n dari peralatan yang telah umum (familiar
menggunakan alat. Selain itu, penggunaan per
mbangan kemudahan perakitan dan penggun
tenance. Hal ini dilakukan dengan pertimbang
penggunaan alat dalam keadaan yang tidak
at bencana.
Gambar 2 Lokasi Pengambilan Sampel
Sumber: Google Maps, 2011
table direncanakan terdiri atas unit – unit pen
n air baku yang tergabung menjadi satu d
ukuran 22,71 liter).
untuk bak koagulasi, flokulasi, dan sedimentas
Lokasi Pengambilan Sampel
6
pengolahan tersebut dapat
encanakan menggunakan
mudah dipindahkan. Hal
ngga alat pengolahan air
kin. Alat pengolahan air
r) bagi masyarakat untuk
ralatan mekanis dihindari
naan alat oleh masyarakat
gan bahwa latar belakang
ideal mengingat keadaan
ngolahan air, yaitu:
dengan unit sedimentasi
si.
7
c) Unit koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi yang tergabung menjadi satu (ember plastik
berukuran 22,71 liter yang dilengkapi dengan paddle yang terbuat dari pipa PVC dan
dilengkapi dengan keran air).
d) Unit filter (pipa PVC berukuran 6 inchi dengan jenis filter adalah single media dan
media filter berupa pasir kuarsa berdiameter 0,422 mm – 0,599 mm).
e) Unit penampung air bersih (ember plastik berukuran 22,71 liter).
f) Unit disinfeksi yang tergabung menjadi satu dengan unit penampung air minum (ember
plastik berukuran 22,71 liter yang dilengkapi dengan keran air dan pengaduk kayu).
Alat pengolahan air minum portable ini direncanakan untuk dikelola oleh badan atau instansi terkait
yang menangani bencana alam, dalam hal ini adalah badan penanggulangan bencana daerah kota
dan kabupaten yang ada di Jawa Timur. Alat pengolahan air minum portable ini direncanakan
untuk digunakan pada tempat pengungsian korban bencana banjir dengan korban bencana banjir
sendiri yang bertindak sebagai operator alat. Ketika bencana banjir terjadi, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah kota dan kabupaten tempat bencana banjir terjadi akan mendistribusikan paket
pengolahan air minum portable untuk digunakan oleh para korban bencana banjir. Pasir kuarsa,
kerikil, dan kaporit yang dilengkapi dengan pasir dan kerikil cadangan yang diperlukan dalam
pengolahan air disediakan dalam satu paket dengan unit pengolahan air. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan pengguna yang merupakan korban banjir, sehingga pengguna dapat langsung
menggunakan alat sesegera mungkin setelah alat didistribusikan. Setelah bencana banjir berakhir,
paket pengolahan air minum portable akan diserahkan kembali kepada badan penanggulangan
bencana daerah setempat untuk disimpan dan dipergunakan kembali ketika terjadi bencana banjir
lagi. Gambar desain alat pengolahan air minum portable yang direncanakan ditunjukkan oleh
8
Gambar 3. Gambar 4 menunjukkan gambar alat pengolahan air minum portable dalam keadaan
tersusun secara lengkap dan siap digunakan.
Gambar 3 Desain Alat Pengolahan Air Minum Portable
Penentuan lama waktu prasedimentasi dengan menggunakan settleable solids test dengan
menggunakan Imhoff Cone. Variabel lama waktu pengendapan: 10 menit; 20 menit; 30 menit; 40
menit; 50 menit; dan 60 menit. Waktu pengendapan yang terpilih adalah waktu pengendapan yang
menghasilkan jumlah endapan yang terbesar atau signifikan. Setelah diperoleh lama waktu
pengendapan yang terpilih, langkah selanjutnya adalah dilakukan jar test untuk menentukan dosis
koagulan yang diperlukan dalam proses koagulasi dan flokulasi setelah air diendapkan terlebih
dahulu dengan lama waktu pengendapan yang terpilih untuk proses prasedimentasi. Dalam hal ini,
koagulan yang digunakan adalah alumunium sulfat (tawas). Setelah diperoleh dosis koagulan yang
diperlukan, dilakukan penentuan lama waktu sedimentasi dengan menggunakan settleable solids
test dengan menggunakan Imhoff cone setelah dilakukan proses koagulasi dan flokulasi dengan
dosis koagulan yang terpilih. Variabel lama waktu pengendapan: 10 menit; 20 menit; 30 menit; 40
menit; 50 menit; dan 60 menit. Waktu pengendapan yang terpilih adalah waktu pengendapan yang
9
menghasilkan jumlah endapan yang terbesar atau signifikan. Setelah diperoleh lama waktu
sedimentasi, langkah selanjutnya adalah penentuan lama waktu pengadukan untuk proses koagulasi
dan flokulasi. Running proses pengolahan dilakukan pada tahap selanjutnya. Dlaam tahap ini,
dilakukan analisis kekeruhan, dilakukan analisis kekeruhan, analisis pH, analisis Breakpoint
Chlorination (BPC) untuk menentukan dosis disinfektan (kalsium hipoklorit) yang diperlukan
untuk proses disinfeksi, analisis klor aktif dan analisis Escherichia coli.
Gambar 4 Alat Pengolahan Air Minum Portable
III. HASIL DA PEMBAHASA
Berdasarkan hasil analisis kualitas air baku, diperoleh tingkat kekeruhan yang jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan tingkat kekeruhan pada saat banjir, yaitu 23,3 NTU. Oleh karena
itu, dilakukan simulasi kekeruhan dengan mencampurkan sedimen Kali Surabaya. Setelah
dilakukan pencampuran, diperoleh kenaikan kekeruhan menjadi 945 NTU. Kenaikan juga terjadi
pada parameter Escherichia coli, dari yang semula 6.000 per 100 ml sampel menjadi 70.000 per
100 ml sampel dengan kekeruhan buatan. Peningkatan jumlah Escherichia coli dalam air dengan
kekeruhan buatan diakibatkan karena sedimen sungai dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan
untuk Escherichia coli dalam aliran air (Sherer dkk, 1992). Sementara untuk pH, tidak terjadi
perubahan, yaitu 7,12.
10
Berdasarkan penentuan lama waktu prasedimentasi dengan settleable solids test dengan
menggunakan Imhoff cone, diperoleh waktu optimum pengendapan selama 30 menit hal ini ditandai
dengan tidak terjadinya penambahan jumlah endapan yang terbentuk setelah 30 menit (Gambar 5).
Dosis koagulan yang diperlukan dalam pengolahan air minum ditentukan dengan melakukan jar
test. Berdasarkan hasil jar test yang telah dilakukan, diperoleh dosis koagulan yang paling optimum
adalah sebesar 12 mg/l (Gambar 6). Hal ini diakibatkan terjadinya restabilisasi partikel koloid
akibat penambahan koagulan yang berlebih setelah penambahan koagulan sebanyak 12 mg/l,
sehingga kekeruhan air meningkat setelah penambahan dosis koagulan sebesar 12 mg/l (Akhtar
dkk, 1996). Penurunan pH air terjadi karena penambahan alumunium sulfat menyebabkan
pembebasan ion H+, sehingga pH larutan berkurang (Alaerts dan Santika, 1987). Oleh karena itu,
nilai pH larutan semakin berkurang seiring dengan semakin bertambahnya dosis koagulan yang
ditambahkan (Gambar 7). Untuk lama waktu sedimentasi, diperoleh waktu optimum selama 30
menit karena penurunan jumlah endapan yang terbentuk akibat tekanan yang diakibatkan oleh
endapan yang terbentuk pada lapisan atas tidak signifikan setelah 30 menit (Gambar 8). Penurunan
endapan yang terbentuk diakibatkan oleh tekanan yang disebabkan oleh endapan yang terbentuk
pada lapisan teratas. Semakin sedikit endapan yang terbentuk, maka semakin sedikit kecil pula
tekanan yang dihasilkan, sehingga penurunan jumlah endapan yang terbentuk pun semakin kecil.
Sedangkan untuk lama waktu pengadukan pada proses koagulasi dan sedimentasi, diperoleh lama
waktu pengadukan optimum selama 2 menit untuk proses koagulasi dan 3 menit untuk proses
flokulasi dengan efisiensi removal kekeruhan sebesar 98,27%.
11
Gambar 5 Grafik Pengaruh LamaWaktu Pengendapan Terhadap Jumlah
Endapan yang Terbentuk Pada SettleableSolids Test Untuk Proses Prasedimentasi
Gambar 6 Grafik Pengaruh DosisKoagulan Terhadap Kekeruhan
Gambar 7 Grafik Pengaruh DosisKoagulan Terhadap pH
Gambar 8 Grafik Pengaruh Lama WaktuPengendapan Terhadap Jumlah Endapanyang Terbentuk Pada Settleable Solids Test
Untuk Proses Sedimentasi
Running Proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan lama waktu prasedimentasi
terpilih, dosis koagulan terpilih, lama waktu pengadukan terpilih, dan lama waktu sedimentasi
terpilih. Berdasarkan perhitungan lama waktu proses running, diperoleh lama waktu proses
pengolahan yang terdir atas proses prasedimentasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan
disinfeksi adalah selama 140,5 menit. Dalam proses running pengolahan air, dilakukan running
hingga kualitas efluen proses filtrasi untuk parameter kekeruhan tidak memenuhi baku mutu
kualitas air minum menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 492 Tahun
2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, hingga
percobaan ke-7 kualitas efluen proses filtrasi yang dihasilkan untuk parameter kekeruhan masih
memenuhi baku mutu dengan total air bersih yang dihasilkan sebanyak 77,8 liter, yaitu antara 1,09
12
Gambar 9 Grafik Persen Removal
Kekeruhan Pada Proses PrasedimentasiGambar 10 Grafik Persen RemovalKekeruhan Pada Proses Koagulasi,
Flokulasi, dan Sedimentasi
Gambar 11 Grafik Persen RemovalKekeruhan Pada Proses Filtrasi
Gambar 12 Persen Total RemovalKekeruhan Pengolahan Air
– 4,39 NTU. Total air bersih tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum
selama 5 hari untuk 1 KK yang terdiri atas 5 anggota keluarga setelah dilakukan proses disinfeksi.
Removal kekeruhan untuk masing-masing tahapan proses pengolahan air ditunjukkan oleh Gambar
9 – 11. Sementara itu, removal kekeruhan total untuk masing-masing percobaan ditunjukkan oleh
Gambar 12.
Selain analisis kekeruhan untuk masing-masing percobaan, dilakukan juga analisis pH untuk
masing-masing percobaan. Hasil analisis pH secara lengkap tercantum pada Tabel 4. Berdasarkan
hasil analisis tersebut, dapat diketahui bahwa nilai pH air hasil pengolahan masih memenuhi baku
mutu untuk air minum, yaitu di antara 6,5 – 8,5.
13
Disinfeksi diperlukan dalam proses pengolahan air minum agar air dapat dikonsumsi tanpa
menyebabkan resiko kesehatan bagi konsumen. Dosis disinfeksi yang diperlukan ditentukan dengan
melakukan analisis Breakpoint Chlorination (BPC). Dalam hal ini, disinfektan yang digunakan
adalah kalsium hipoklorit. Berdasarkan hasil analisis BPC, diperoleh grafik BPC seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 10. Berdasarkan grafik tersebut, diperoleh dosis klor aktif sebesar 14,18
mg Cl2/l dengan sisa klor aktif sebesar 0,709 mg Cl2/l. Dalam pengolahan air minum ini,
direncanakan sisa klor aktif sebesar 0,4 mg Cl2/l. Oleh karena itu, diperlukan dosis kalsium
hipoklorit 14, 9 mg Cl2/l. Total klor aktif yang diperlukan untuk keperluan disinfeksi air bersih
sebanyak 15 liter adalah 15 liter x 14,9 mg Cl2/liter = 223,5 mg Cl2 atau 0,63 liter larutan kalsium
hipoklorit. Waktu proses disinfeksi yang diperlukan adalah 30 menit. Setelah dilakukan proses
disinfeksi selama 30 menit, diperoleh nilai sisa klor aktif sebesar 0,355 mg Cl2/l dengan jumlah
Escherichia coli sebesar 0 per 100 ml sampel. Nilai sisa klor aktif dan jumlah Escherichia coli ini
memenuhi baku mutu kualitas air minum seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Gambar 4.16 Kurva Breakpoint Chlorination (BPC)
IV. KESIMPULA
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Air Banjir dapat diolah menjadi air minum dengan menggunakan pengolahan air minum
portable dengan menggunakan teknologi tepat guna yang terdiri atas:
14
a. Bak pengambilan air baku dan proses prasedimentasi berupa ember plastik
dengan kapasitas 22,71 liter (6 Gallon).
b. Bak koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi berupa ember plastik dengan kapasitas
22,71 liter (6 Gallon) yang dilengkapi dengan paddle untuk pengadukan pada
proses koagulasi dan flokulasi.
c. Meja penyangga terbuat dari bahan kayu dengan ketinggian 126 cm.
d. Filter berbentuk pipa dengan diameter 6 inchi dan ketinggian 126 cm yang
dilengkapi dengan keran air.
e. Bak penampung air bersih berupa ember plastik dengan kapasitas 22,71 liter (6
Gallon).
f. Bak disinfeksi berupa ember plastik dengan kapasitas 22,71 liter (6 Gallon) yang
dilengkapi dengan pengaduk kayu untuk keperluan pengadukan pada proses
disinfeksi.
2. Total efisiensi removal kekeruhan paling optimum sebesar 99,88%.
3. Dalam mengolah Escherichia coli, efisiensi pengolahan mencapai 100%.
4. Untuk pH dan sisa klor aktif masih memenuhi baku mutu air minum, yaitu berkisar
antara 6,56 – 6,60 untuk pH dan sisa klor aktif sebesar 0,355 mg Cl2/l.
V. SARA
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dihasilkan saran sebagai
berikut.
1. Sebaiknya dilakukan uji analisis Escherichia coli untuk masing-masing tahapan pengolahan
air pada saat proses running.
15
2. Sebaiknya digunakan air baku dari beberapa sungai yang berbeda di wilayah Provinsi Jawa
Timur untuk mengetahui performa alat dengan lebih akurat.
V. DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, Waseem, Muhammad, R., Iqbal, A. 1997. Optimum Design of Sedimentation
Tanks Based on Settling Characteristics of Karachi Tannery Wastes.
Pakistan: Institute of Environment Engineering and Research, NED University of
Engineering and Technology. Water, Air, and Soil Pollution Volume 98: 199 –
211.
Alaerts, G. dan Santika, S. S. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional
Surabaya
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2009. Peta Indeks Ancaman Bencana
Banjir di Indonesia. Jakarta
Google. 2011. Google Map, <URL:http://maps.google.com>
Munaf, D. R., Suseno, T., Janu R. I., dan Badar, A. M. April 2008. Peran Teknologi Tepat
Guna Untuk Masyarakat Daerah Perbatasan. Jurnal Sosioteknologi Edisi 13
Tahun 7 329 - 333
Nurina, Fitriani. 2010. Pengaruh Roughing Filter dan Slow Sand Filter Dalam
Pengolahan Air Minum Dengan Air Baku dari Intake Karang Pilang
Terhadap Parameter Fisik. Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Saragih, M., dan Soedjono, E. S. 2011. Instalasi Pengolahan Air Portable Sebagai
Penyediaan Air Bersih di Daerah Bencana Banjir. Seminar Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
16
Sherer, B., M., Miner, J., R., Moore, J., A., dan Buckhouse, J., C. Indicator Bacterial
Survival in Stream Sediments. Journal of Environmental Quality 21: 591-595
Taufiq, Fathurrohman. 2011. 21 Kabupaten/Kota Jawa Timur Rawan Banjir,
<http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/02/28/brk,20110228-
316467,id.html>
Wulandari. 2009. Efektifitas Polyalumunium Chloride (PAC) Dalam Penurunan
Kekeruhan, Warna, dan Fe Pada Air Sungai Bengawan Solo Segmen
Sembayat. Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Yayasan IDEP. 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat,
Edisi Kedua. Ubud: Yayasan IDEP