Download - Sari Pustaka TB MDR
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Munculnya kejadian tuberculosis (TB) kebal obat merupakan suatu peringatan
terhadap penanganan dan pengendalian TB secara global. World Health Organization
(WHO) memperkirakan sekitar 480.000 kasus Multidrug-resistant tuberculosis
(MDR-TB) terjadi pada tahun 2013. Sedangkan di Indonesia dilaporkan terdapat 260
kasus MDR-TB yang terjadi pada tahun 2011 dan pada tahun 2013 diperkirakan akan
terdeteksi 1800 kasus (WHO 2014).
Penatalaksanaan klinis MDR-TB lebih rumit dibandingkan dengan TB yang
sensitif, karena mempergunakan OAT lini I dan lini II. Pada tatalaksana TB yang
sensitif hanya menggunakan 4 obat dan membutuhkan waktu 6 bulan, sedangkan
pada tatalaksana MDR TB mempergunakan minimal 5 obat dan berlangsung selama
18 sampai 24 bulan. Tatalaksana kasus MDR TB ini sering dihubungkan dengan
kejadian efek samping mulai dari yang ringan sampai yang berat (Holtz et.al, 2010).
Cara yang rasional untuk memilih obat anti-TB secara tepat adalah menggunakan
obat dari yang paling kuat efek bakterisidnya dengan toksisitas paling rendah sampai
yang paling lemah dengan toksisitas paling tinggi. Pemilihan obat untuk kasus MDR
TB antara lain menggunakan obat lini I jika masih efektif, satu obat injeksi,
mempergunakan obat golongan flurokuinolon, menggunakan obat untuk kelompok 4
(lini II oral) sampai diperoleh empat jenis obat yang efektif, dan obat kelompok 5
untuk memperkuat regimen atau saat sebelum diperoleh empat jenis obat yang efektif
dari kelompok sebelumnya. Terapi MDR-TB menggunakan beberapa jenis obat
sehingga menyebabkan beberapa permasalahan dalam hal toleransi terhadap obat-
obatan tersebut. Respons masing-masing individu tidak dapat diprediksi, tetapi
pengobatan tidak boleh dihentikan hanya karena ketakutan terhadap reaksi yang
timbul (Lia, 2011).
Hanya sebagian dari pasien MDR-TB yang memulai pengobatan secara global
yang berhasil sembuh, hal ini dikarenakan kegagalan dalam follow-up (28%), hal ini
dikaitkan dengan efek samping obat, dan tingginya angka kematian (15%). Sebagai
tambahan, diperkirakan sekitar sepertiga kasus MDR-TB mungkin mempunyai koloni
yang resisten terhadap fluoroquinolones ataupun obat injeksi lini kedua
(aminoglycosides atau capreomycin), menyebabkan pengobatan menjadi semakin
sulit, dimana jalan lain yang dipilih yaitu hanya dengan menggunakan obat yang lebih
toksik (WHO 2014).
Pengobatan MDR-TB sering dikaitkan dengan kejadian efek samping, dengan
tingkatan yang beragam mulai dari efek samping yang ringan sampai yang dapat
mengancam jiwa, dimana hal ini dapat menyebabkan pengobatan harus dihentikan
2
sementara ataupun secara permanen. Penghentian pengobatan tersebut justru akan
menyebabkan kegagalan dalam pengobatan dan mungkin akan menyebabkan
peningkatan angka kegagalan pengobatan dan kematian pada pasien MDR-TB (Holtz
et.al, 2010).
Berdasarkan penelitian Bloss (2010), dikatakan bahwa kejadian efek samping
pada pengobatan MDR-TB merupakan hal yang umum dialami, dimana ditemukan
bahwa dari 79% kasus mengalami minimal satu dari efek samping yang berhubungan
dengan pengobatan. Efek samping yang umumnya dialami antara lain, mual (58%),
muntah (39%), nyeri abdomen (24%), gangguan psikologi (13%), hepatitis (9%), dan
gagal ginjal (4%) (Holtz et.al, 2010).
Berdasarkan penelitian pada pengobatan MDR-TB yang dilakukan di India dan
Amerika Serikat, didapatkan bahwa efek samping lebih cenderung terjadi pada
periode awal, umunya pada 6 bulan awal pengobatan. Hal ini dikarenakan
penggunaan obat injeksi sering dikaitkan dengan kejadian efek samping, dimana obat
injeksi biasanya diberikan pada 6-9 bulan pengobatan, sehingga hal ini diperkirakan
sebagai penyebab tingginya angka kejadian efek samping pada periode tersebut. Oleh
karena itu, selama periode awal pengobatan harus dilakukan pemantauan dan
intervensi segera jika terjadi efek samping, ini merupakan hal mendasar yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan MDR-TB (Holtz et.al, 2010).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
MDR-TB adalah kasus TB yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis
resisten, minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan dengan atau
tanpa obat anti TB (OAT) lini I yang lain (Holtz et.al, 2010).
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi MDR TB
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mycobacterium tuberculosis
resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB
resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer
yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT
sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan
positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi
pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003).
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat
mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi
menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh
konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi
tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi).
Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang
yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya
infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol
infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000).
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al.
2006):
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat
hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai
berbulan-bulan.
2.3. Mekanisme resistensi OAT
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada
resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa
resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara
genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa
mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat
(Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB
menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat
tabel 1).
Tabel 1. Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium
tuberculosis
A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).
5
Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi
secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase
peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.
Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase
dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei,
yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al.
2006. Wallace, et al. 2004). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat
atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada
semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau
adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat
RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan
rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan
frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan
akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk
beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat
ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada
keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et
al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat
organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.
Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
6
pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi
pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis
standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang
memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.
Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti
asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan
menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten
terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari
dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin
ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi
pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya
mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme.
Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi
silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al. 2004).
2.4. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik (PDPI, 2011).
1. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 3 minggu
7
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
• Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat.Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
C. Pemeriksaan Bakteriologik
8
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (PDPI, 2011).
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut- turut atau dengan cara:
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5
ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah
tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
9
- Kalsifikasi atau fibrotic
- Kompleks ranke
- Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
• Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan
paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik
tersebut.Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis.Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang
benar dan sesuai standar.Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB (PDPI, 2011).
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik
ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
10
penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM
dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP).
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi.
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT
tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa.
Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping
garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan
warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila
setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen
pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para
klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi
yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis(PDPI, 2011).
3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini
dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.
11
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,
biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat
pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan
perkejuan.
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis
yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti,
apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi
dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika
diulang 1 bulan kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan
gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang
berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan
(M.tuberculosis).
12
8. Pemeriksaan Xpert MTB / RIF Assay
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF Assay merupakan suatu Nucleic Acid
Ampilfication (NAA) test dengan menggunakan instrumen GeneXpert. Sampel
sputum diambil dari pasien dengan suspek TB. Sputum dicampur dengan reagen dan
catridge yang berisi campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin GeneXpert
(CDC, 2013).
Keuntungan Xpert MTB/RIF Assay:
Hasil pemeriksaan yang cepat.
Kemampuan mendeteksi MDR TB.
Hasil pemeriksaan ini harus diinterpretasikan bersamaan dengan gejala klinis, hasil
pemeriksaan radiologi dan laboratorium lainnya. Hasil pemeriksaan pemeriksaan
resistensi terhadap Rifampicin ini ada 3, yaitu:
a. Terdeteksi.
b. Tidak terdeteksi.
c. Indeterminate.
Resistensi Isoniazid biasa terjadi pada keadaan resistensi Rifampicin,
sehingga hasil pemeriksaan resistensi Rifampicin dengan menggunakan Xpert
MTB/RIF assay ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis MDR TB.
2.5. Terapi
Pengobatan TB MDR
a. OAT untuk pengobatan TB MDR. Pengobatan pasien TB MDR menggunakan
paduan OAT yang terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5
kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu :
Pengelompokan OAT
Golongan Jenis ObatGolongan-1 Obat Lini Pertama Isoniazid (H)
Rifampisin (R) Etambutol (E) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km) Amikasin (Am) Kapreomisin(Cm)
Golongan-3 Golongan Florokuinolon Levofloksasin(Lfx) Moksifloksasin(Mfx) Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini kedua Etionamid (Eto)
13
Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs) Terizidon (Trd) Para amino salisilat (PAS)
Golongan-5 Obat yang belum terbukti efikasi-nyadan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan rutin TB MDR
Clofazimin (Cfz) Linezolid (Lzd) Klaritromisin (Clr) Imipenem (Ipm). Amoksilin/ Asam
Klavulanat (Amx/Clv)
b. Paduan obat TB MDR di Indonesia
Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan standar, yang pada permulaan
pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized
treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :
1) Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris.
2) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan
bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan
adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.
3) Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistansi terhadap
etambutol
4) Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah ada
konfirmasi hasil uji resistansi M. tuberculosis dengan cara konvensional,
paduan OAT akan disesuaikan.
Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistansi, misalnya : pasien sudah pernah
mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya maka diberikan
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resistan terhadap
levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloksasin
diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan
dan persetujuan dari tim ahli klinis atau timad hoc.
Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagai penyebabnya.
14
Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak,
demam, penurunan berat badan.
5) Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh TAK
6) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan
sebagai berikut:
Cm–Lfx–Eto–Cs–Z–(E) / Lfx–Eto–Cs–Z–(E)
7) Jika terbukti resistan terhadap kuinolon maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:
Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)
Jika moksifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis
tinggi. Pada penggunaan levofloksasin dosis tinggi harus dilakukan pemantauan ketat
terhadap kondisi jantung pasien dan kemungkinanterjaditendinitis/ruptur tendon.
8) Jika pada pengobatan TB MDR tidak dapat menggunakan sikloserin maka
penggunaan sikloserin dapat diganti dengan PAS.
9) Jika terbukti resistan terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR) atau pasien TB
MDR/HIV maka akan memerlukan penatalaksanaan khusus. Pasien yang berdasarkan
uji kepekaan ulangan menunjukkan resistansi tambahan terhadap kanamisin dan
kuinolon maka pengobatan standar MDR dianggap gagal dan pasien akan memulai
pengobatan untuk TB XDR yaitu:
Cm–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E)
c. Pemberian obat
1) Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu), Suntikan
diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – ju’mat)
2) Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
(hari minggu pasien tidak minum obat)
3) Obat suntikan harusdiberikanolehpetugas kesehatan.
4) Pada pengobatan TB MDR dimungkinkan terjadinya pemberian obat dengan dosis
naik bertahap (ramping dose/incremental dose) yang bertujuan untuk meminimalisasi
kejadian efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan adalah hari pertama pasien
bisa mendapatkan obat dengan dosis penuh.
15
5) Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment dengan PMO diutamakan
adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatanterlatih.
6) Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserindengan
dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
7) Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan fluoroquinolon
diberikan sebagai dosis tunggal. Sedangkanetionamid, sikloserin dan PAS dapat
diberikan sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping jika terjadi efek
samping yang berat atau pada kasus TB MDR/HIV. Catatan : Untuk mengurangi
kejadian efek samping obat maka pada awal pemberian OAT bisa
dilakukanramping/incremental doseselama maksimal 1 minggu.
1) Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan
pasien.
2) Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas
farmasi RS Rujukan TB MDR untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir
pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh TAK. Jika pasien diobati
diRSRujukan TB MDRmaka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan
tersebut akan di simpan di Unit TB MDR RS RujukanTB MDR.
3) Jika pasien meneruskan pengobatan di RS Sub Rujukan/ fasyankes satelitTB
MDRmaka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi RS
SubRujukan/fasyankessatelitTB MDRdari unit farmasiRSRujukan TB MDR
setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk
menyimpan obat.
4) Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
16
d. Pengobatan adjuvan pada TB MDR
- Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu: 1) Nutrisi tambahan: Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll). Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing– masing obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
Kortikosteroid.
- Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka dosis diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
Penanganan Efek Samping OAT MDR
Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB
MDR karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek
samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama.
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai
kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat.
17
Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan
pengobatan TB MDR. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
Efek samping ringan dan sedang yang sering muncul
NO Efek samping Kemungkinan OAT penyebab
Tindakan
1 Reaksi kulit alergi ringan
Z, E,Eto, PAS, Km, Cm - Lanjutkan pengobatan OAT. - Berikan Antihistamin p.o atau hidrokortison krim - Minta pasien untuk kembali bila gejala tidak hilang atau menjadi bertambah berat
Reaksi kulit alergi sedang dengan/ tanpa demam
Z,E,Eto, PAS, Km, Cm - Hentikan semua OAT dan segera rujuk keRS Rujukan. - Jika pasien dengan demam berikan parasetamol (0.5–1 g, tiap 4-6 jam). - Berikan kortikosteroid suntikan yang tersedia misalnyahidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, dandilanjutkan dengan preparat oral prednison atau deksametason sesuai indikasi.
2 Neuropati perifer Cs, Km, Eto, Lfx - Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan. - Tingkatkan dosis piridoksin sampai dengan 200 mg perhari. - Rujuklah ke ahli neurologi bila terjadi gejala neuropati berat (nyeri, sulit berjalan), hentikan semua pengobatan selama 1-2 minggu. - Dapat diobati dulu dengan amitriptilin dosis rendah pada malam hari dan OAINS. Bila gejala neuropati mereda atau hilang OAT dapat dimulai kembali dengan dosis uji. - Bila gejalanya berat dan tidak membaik bisa dipertimbangkan penghentian sikloserin dan mengganti dengan PAS. - Hindari pemakaian alkohol dan rokok karena akan memperberat gejala neuropati.
3 Mual muntah ringan
Eto, PAS, Z, E, Lfx -Pengobatan tetap dilanjutkan.
18
- Pantau pasien untuk mengetahui berat ringannyanya keluhan. - Singkirkan sebab lain seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakaian alkohol atau merokok atau obatobatan lainnya. - Berikan domperidon 10 mg 30 menit sebelumminum OAT. - Untuk rehidrasi, berikan infus cairan IV jika perlu. - JIka berat, rujuk kePusat RujukanTB MDR
Mual muntah berat Eto, PAS, Z, E, Lfx. - Rawat inap untuk penilaian lanjutan jika gejala berat - Jika mual dan muntah tidak dapat diatasi hentikan etionamid sampai gejala berkurang atau menghilang kemudian dapat ditelan kembali. - Jika gejala timbul kembali setelah etionamid kembali ditelan, hentikan semuapengobatan selama 1 minggu dan mulai kembali pengobatan seperti dijadualkan untuk memulai OAT TB MDR dengan dosis uji yaitu dosis terbagi Jika muntah terus menerus beberapa hari, lakukan pemeriksaan fungsi hati, kadar kalium dan kadar kreatinin. - Berikan suplemen kalium jika kadar kalium rendah atau muntah berlanjut beberapa hari. Bila muntah terjadi bukan diawal terapi, muntah dapat merupakan tanda kekurangan kalium pada pasien yang mendapat suntikan kanamisin.
4 Anoreksia Z, Eto, Lfx - Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi tambahan -Konsultasi kejiwaan untuk menghi-langkan dampak psikis dan depresi - KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas fisisdan istirahat cukup.
5 Diare PAS - Rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi intravena bila muncul tanda dehidrasi
19
berat. - Penggantian elektrolit bila perlu - Pemberianloperamid,norit - Pengaturan diet, menghindari makanan yang bisa memicu diare. - Pengurangan dosis PAS selama masih memenuhi dosis terapi
6 Nyeri kepala Eto, Cs - Pemberian analgesik bila perlu (aspirin, parasetamol, ibuprofen). - Hindari OAINS pada pasien dengan gastritis berat dan hemoptisis. - Tingkatkan pemberian piridoksin men-jadi 300 mg bila pasien mendapat Cs. - Bila tidak berkurang maka pertimbang-kan konsultasi ke ahli jiwa untuk mengurangi faktor emosi yang mungkin berpengaruh. - Pemberian paduanparasetamol dengankodein atauamitriptilin bila nyeri kepala menetap.
7 Vertigo Km, Cm, Eto - Pemberian antihistamin-anti vertigo :betahistin metsilat - Konsultasi dengan ahli neurologi bila keluhan semakin berat - Pemberian OAT suntik 1 jam setelah OAT oral dan memberikan etionamid dalam dosis terbagibila memungkinkan.
8 Artralgia Z, Lfx - Pengobatan TB MDR dapat dilanjut-kan. - Pengobatan dengan OAINS akan membantu demikian juga latihan/ fisioterapi dan pemijatan. - Lakukan pemeriksaan asam urat, bila kadar asam urat tinggi berikanalopurinol. - Gejala dapat berkurang dengan perjalanan waktu meskipun tanpa penanganan khusus. - Bila gejala tidak hilang dan menggang-gu maka pasien dirujuk kePusat Rujukan TB MDR untuk
20
mendapatkan rekomendasi penanganan oleh TAK bersama ahli rematologi atau ahli penyakit dalam. Salah satu kemungkinan adalah pirazinamid perlu diganti.
9 Gangguan Tidur Lfx, Moxi - Berikan OAT golongan kuinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien - Lakukan konseling mengenai pola tidur yang baik - Pemberian diazepam
10 Gangguan elektrolit ringan : Hipokalemi
Km, Cm - Gejala hipokalemi dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kejang, baal/numbness, kelemahan tungkai bawah, perubahan perilaku atau bingung - Hipokalemia (kadar < 3,5 meq/L) dapat disebabkan oleh:
Efek langsung aminoglikosida pada tubulus ginjal.
Muntah dan diare. - Obati bila ada muntah dan diare. - Berikan tambahankalium peroral sesuai keterangan tabel. - Jika kadar kalium kurang dari 2,3 meq/l pasien mungkin memerlukan infus IV penggantian dan harus di rujuk untuk dirawat inapdiPusat Rujukan TB MDR. - Hentikan pemberiankanamisin selama beberapa hari jika kadarkalium kurang dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad hoc. - Berikan infus cairan KCl: paling banyak 10 mmol/jam Hati-hati pemberian bersamaan dengan levofloksasin karena dapat saling mempengaruhi.
11 Depresi Cs, Lfx, Eto - Lakukan konseling kelompok atau perorangan. Penyakit kronik dapat merupakan fakor risiko depresi. - Rujuk ke Pusat Rujukan TB MDR jika gejala
21
menjadi berat dan tidak dapat diatasi di fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR. - TAK bersama dokter ahli jiwa akan menganalisa lebih lanjut dan bila diperlukan akan mulai pengobatan anti depresi. - Pilihan anti depresan yang dianjurkan adalah amitriptilin atau golongan SSRI (Sentraline/Fluoxetine) - Selain penanganan depresi, TAK akan merevisi susunan paduan OAT yang digunakan atau menyesuaikan dosis paduan OAT. - Gejala depresi dapat berfluktuasi selama pengobatan dan dapat membaik dengan berhasilnya pengobatan. - Riwayat depresi sebelumnya bukan merupakan kontra indikasi bagi penggunaan obat tetapi berisiko terjadinya depresi selama pengobatan.
12 Perubahan perilaku Cs - Sama dengan penanganan depresi. - Pilihan obat adalahhaloperidol - Pemberian 50mg B6 setiap 250mg Cs
13 Gastritis PAS, Eto - PemberianPPI (Omeprazol) - Antasida golongan Mg(OH)2 - H2 antagonis (Ranitidin)
14 Nyeri di tempat suntikan
Km, Cm - Suntikan diberikan di tempat yang bergantian - Pengenceran obat dan cara penyuntikan yang benar - Berikan kompres dingin pada tempat suntikan
15 Metalic taste Eto Pemberian KIE bahwa efek samping tidak berbahaya
Efek Samping Berat
No Efek Samping Kemungkinan OAT Penyebab
Tindakan
1 Kelainan fungsi hati
Z,Eto,PAS,E,Lfx - Hentikan semua OAT, rujuk segera pasien ke Pusat
22
Rujukan PMDT - Pasien dirawat inapkan untuk penilaian lanjutan jika gejala menjadi lebih berat. - Periksa serum darah untuk kadar enzim hati. - Singkirkan kemungkinan penyebab lain, selain hepatitis. Lakukan anamnesis ulang tentang riwayat hepatitis sebelumnya. - TAK akanmempertimbangkan untuk - menghentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab. Mulai kembali dengan obat lainnya, apabila dimulai dengan OAT yang bersifat hepatotoksik, pantau fungsi hati.
2 Kelainan fungsi ginjal
Km, Cm - Pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes melitus atau riwayat gangguan ginjal harus dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal : edema, penurunan produksi urin, malaise, sesak nafas dan renjatan. - Rujuk ke Pusat Rujukan PMDT bila ditemukan gejala yang mengarah ke gangguan ginjal. - TAK bersama ahli nefrologi atau ahli penyakit dalam akan menetapkan penatalaksanaannya. Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5-2.2 mg/dl), hentikan kanamisin sampai kadar kreatinin menurun. TAK dengan rekomendasi ahli nefrologi akan menetapkan kapan suntikan akan kembali diberikan. - Untuk kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), hentikan semua obat dan lakukan perhitungan GFR. - Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai tabel penyesuaian dosis. - Bila setelah penyesuaian
23
dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu.
3 Perdarahan lambung
PAS, Eto, Z - Hentikan perdarahan lambung. - Hentikan pemberian OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali. - Dapat dipertimbangkan untuk mengganti OAT penyebab dengan OAT lain selama standar pengobatan TB MDR dapat terpenuhi.
4 Gangguan Elektrolit berat (Bartter like syndrome)
Cm, Km - Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai dengan hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia dan alkalosis hipoklorik metabolik secara bersamaan dan mendadak. - Disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT suntikan. - Lakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman. - Berikan amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit.
5 Gangguan pendengaran
Km, Cm - Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai pemburukan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya. - Rujuk pasien segera ke RS rujukan untuk diperiksa penyebabnya dan di konsulkan kepada TAK. - Apabila penanganannya terlambat maka gangguan pendengaran sampai dengan tuli dapat menetap. - Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll. - Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengaran semakin buruk selama beberapa minggu berikutnya hentikan kanamisin.
6 Gangguan penglihatan
E - Gangguan penglihatan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau.
24
Meskipun gejala ringan etambutol harus dihentikan segera. Obat lain diteruskan sambil dirujuk keRS Rujukan. - TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi meskipun etambutol sudah dihentikan. - Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan melihat.
7 Gangguan psikotik (Suicidal tendency)
Cs Fasyankes satelit/RS Sub Rujukan TB MDR: - Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke RS Rujukan harus didampingi. - Hentikan sementara OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik, sebelum pasien dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Berikan haloperidol 5 mg p.oRS Pusat RujukanTB MDR: - Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau membunuh, hentikan sikloserin selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat anti-psikotik.- Berikan pengobatan antipsikotik dan konseling. - Bila gejala psikotik telah mereda, mulai kembali sikloserin dalam dosis uji. - Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari. - Bila kondisi teratasi lanjutkan pengobatan TB MDR bersamaan dengan obat antipsikotik.
8 Kejang Cs, Lfx - Hentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang. - Berikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan diazepam iv10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6 s/d 200 mg/ hari. Setelah stabil segera rujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR
25
- Penanganan pasien dengan kejang harus dibawah pengamatan dan penilaian TAK di RSRujukanTB MDR. - Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat, alkohol atau trauma kepala). - Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB MDR tanpa pemberian sikloserin selama 12 minggu. Setelah itu sikloserin dapat dberikan kembali dengan dosis uji.- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari. - Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi hati,hentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal. - Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR selesai atau lengkap.
9 Tendinitis Lfx dosis tinggi - Singkirkan penyebab lain seperti gout, arthritis rematoid, skleroderma sistemik dan trauma. - Untuk meringankan gejala maka istirahatkan daerah yang terkena, berikan termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin,ibuprofen). - Suntikan kortikosteroid pada daerah yang meradang akan membantu. - Bila sampai terjadi ruptur tendon maka dilakukan tindakan pembedahan.
10 Syok Anafilaktik Km, Cm - Segera rujuk pasien ke RS Pusat Rujukan TB MDR. - Berikan pengobatan segera seperti tersebut di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR: 1. Adrenalin 0,2 – 0,5 ml, 1:1000 SC, ulangi jika perlu. 2. Pasang infus cairan IV untuk jika perlu.
26
3. Beri kortikosteroid yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, ulangi jika perlu.
11 Reaksi alergi toksik menyeluruh dan SJS
Semua OAT yang digunakan
- Berikan segera pengobatan seperti di bawah ini, sambil dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera: 1. Berikan CTM untuk gatalgatal 2. Berikan parasetamol bila demam. 3. Berikan prednisolon 60 mg per hari atau suntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari jika tidak ada prednisolon 4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300 mg pada malam hari
- Di RS Pusat RujukanTB MDR: 1. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi kulit. 2. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai ada perbaikan, tappering off kortikosteroid jika digunakan sampai 2 minggu. 3. Pengobatan jangan terlalu cepat dimulai kembali. Tunggu sampai perbaikan klinis. TAK merancang paduan pengobatan selanjutnya tanpa mengikutsertakan OAT yang diduga sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dosis terbagi terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis total perhari tidak boleh dikurangi (harus sesuai berat badan) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji yang diberikan selama 15 hari.
12 Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin. - Penatalaksanaan dilakukan di RS Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli
27
endokrinologi atau ahli penyakit dalam. - Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l). - Ahli endokrin memberikan rekomen-dasi pengobatan dengan levotiroksin/ natiroksin serta evaluasinya.
2.6. DOTS dan DOTS PLUS
2.6.1. DOTS
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course). Oleh karena itu, pemahaman tentang DOTS
merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu:
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal
dengan istilah Directly Observed Therapy (DOT)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencacatan dan pelaporan yang baku/standar
Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi
oleh WHO, yaitu:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan
kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruih
pasien terutama pasien tudak mampu.
2. Memberikan perhatian khusus pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan
aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain
yang relevan.
3. Kontribusi pada sitem kesehatan dengan kolaborasi bersama program
kesehatan yang lain.
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta, dan non
pemerintah, dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM)
untuk mematuhi International Standards of TBCare.
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk
berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.
28
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat
baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan program.
Tujuan penerapan strategi DOTS adalah:
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi (PDPI, 2011)
2.6.2. DOTS-PLUS
Menurut WHO (2003), dalam penanganan kasus Multidrug Resistant TB (MDR
TB), dibutuhkan strategi baru untuk melengkapi program DOTS. Oleh karena itu,
WHO membuat strategi manajemen yang baru yaitu, DOTS-PLUS yang tetap
berprinsip dari DOTS sebelumnya. DOTS-PLUS merupakan pyoyek dan penelitian di
bawah anggota The International Stop-TB Working Group (WG) on DOTS-PLUS for
MDR TB.
Program DOTS-PLUS terdiri atas lima, yaitu:
1. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam menangani MDR-
TB
2. Mengidentifikasi protokol yang terstandar optimal dalam mendiagnosis
MDR-TB
3. Mengidentifikasi persyaratan yang minimal optimal dalam membangun dan
menerapkan DOTS-PLUS
4. Mengidentifikasi indikator pencapaian dalam penerapan DOTS-PLUS
5. Permasalahan operasional yang lain (The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease, 2003).
2.7. Prognosis
Prognosis kasus MDR-TB tergantung dari pengobatan dan faktor risiko.
Kesembuhan yang total dengan sedikit komplikasi diharapakan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan yang lengkap. Berdasarkan penelitian, dengan pengobatan
OAT yang lengkap, angka kekambuhan mencapai 0-14%. Pada negara dengan
kejadian TB yang rendah, kekambuhan biasanya mencul dalam 12 bulan penyelesaian
pengobatan dan karena relaps. Sedangkan pada negara dengan kejadian TB yang
tinggi, kebanyakan kekambuhan setelah pengobatan yang sesuai.
Marker prognostik yang buruk meliputi keterlibatan ekstrapulmoner,
immunocompromised, usia tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Penelitian
prospektif di Malawi menunjukkan, dari 199 pasien, 12 orang (6%), di antaranya
meninggal dunia (Thomas, 2014).