Download - Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
1
Sidoarjo Bangkit Melawan!
Air mata itu belum kering.... Luka itu masih mengangga....... Penghinaan itu masih terasa...
Dan penindasan itu masih terus dilanjutkan.... Lantas,
Apakah kita memilih diam ..... atau bangkit melawan?
(Enam Tahun Kasus Lapindo, 29 Mei 2006-29 Mei 2012)
Oleh: Firdaus Cahyadi
2
Sidoarjo Bangkit Melawan!
Oleh: Firdaus Cahyadi
Penerbit
Daus Institute
Buku ini ditulis dengan menggunakan prinsip-prinsip copyleft bukan copyright.
Silahkan mengutip isi buku ini, menggandakan dan mendistribusikannya secara bebas, asal tetap menyebutkan sumbernya dan bukan untuk tujuan komersial.
3
Ucapan Terimakasih:
1. Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga buku sederhana ini
dapat diterbitkan. 2. Muhammad SAW, atas inspirasinya untuk selalu membela orang-orang
miskin dan tertindas. 3. Almarhum Bapakku, Suryadi, atas kasih sayangnya dan
pengorbanannya dalam membesarkan dan mendidik anaknya. 4. Almarhumah Ibuku, Maryati, atas ketulusan kasih sayang yang
diberikannya.
5. Almarhumah nenekku, atas perjuangan dan pengorbanannya sehingga cucunya bisa menyelesaikan kuliah di Surabaya
6. Mbak Ani, Mbak Amri, Mbak Nurul, Mas Sofyan dan Mas Kholik atas dukungan dan pengorbanannya selama ini
7. Istriku, atas dukungan dan doanya 8. Anakku, atas keceriaan dan kecerdasannya 9. Kawan-kawan Walhi, Jatam, SatuDunia dan Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Korban Lapindo, atas dukungannya.
4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Penulis ..........................................................................5
I. Sidoarjo oh Sidoarjo……………………..............................................7
II. Kisah Pilu Mbok Jumik…………………............................................9 III. Mbak Pur Terbakar Gas Metan…........................................………11
IV. Bayi itu Bernama Aulia Nadira Putri............................................13 V. Gajah Loe Lawan .................................................................…….15 VI. Antara Mbak Prita dan Mbok Jumik…………………….. ................21
VII. Kasus Lapindo=Kasus Politik?….......................................……..…26 VIII. PR Lama Anggota Komnas HAM Baru..........................................32
IX. Lho Lapindo Ngebor Lagi?............................................................38 X. Pembelajaran Singkat Kasus Lapindo...........................................43
Bahan Bacaan ......................................................................................44
5
Kata Pengantar Penulis
29 Mei 2006 adalah sebuah tanggal yang bersejarah bagi
warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada tanggal tersebut,
semburan lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan warga
Porong.
Bukan hanya rumah dan tanah yang tenggelam dan hancur.
Tapi juga harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Sejak muncul semburan lumpur misalnya, mereka
harus rela menghirup udara beracun dan menggunakan air yang
tercemar.
Bukan hanya itu, anak-anak pun terpaksa harus putus
sekolah. Banyak orang tua yang kehilangan pekerjaan. Berbagai
perosalan sosial lainnya pun muncul.
Namun, semua persoalan sosial dan lingkungan hidup yang
muncul akibat semburan lumpur itu tidak pernah diperhatikan
pemerintah. Pemerintah hanya fokus pada persoalan jual beli
tanah. Seakan jika persoalan jual beli tanah selesai, selesai pula
kasus lumpur Lapindo ini.
Penyelesaian kasus Lapindo yang jauh dari kata adil inilah
yang melatarbelakangi penulis menulis buku ini. Saat buku ini
6
ditulis, kasus Lapindo hampir memasuki usia ke-6 tahun. Sebuah
waktu yang terlalu panjang bagi korban Lapindo untuk menderita
dan diperlakukan tidak adil.
Penulis berharap, buku kecil ini dapat bermanfaat bagi kita
semua warga Indonesia. Paling tidak buku ini bisa digunakan
untuk melawan penyakit lupa bahwa pernah terjadi tragedi
kemanusiaan yang terjadi di Porong pada 29 Mei 2006 silam.
Dengan tidak lupa, penulis berharap tragedi kemanusiaan lumpur
Lapindo itu tidak pernah terulang lagi di waktu yang akan datang
dan di kawasan lainnya.
Jakarta, 18 Mei 2012
Firdaus Cahaydi
7
I. Sidoarjo oh Sidoarjo...
September 2008. Untuk pertama kalinya aku menginjakan
kaki ke Sidoarjo setelah terjadinya tragedi kemanusiaan semburan
lumpur Lapindo, Mei 2006. Aroma busuk begitu menusuk
hidungku ketika melintas di jalan raya Porong, Sidoarjo. Pada saat
itu aku dan kawan-kawan Yayasan SatuDunia hendak
mengunjungi Posko Korban Lumpur Lapindo di Porong.
Sidoarjo sungguh telah berubah, tidak seperti dulu sebelum
muncul semburan lumpur Lapindo. Dulu setiap hari Sabtu-
Minggu, sekitar tahun 1998-2001 aku sering mampir ke rumah
kakak saudaraku di Sidoarjo. Tidak ada bau busuk. Waktu itu
memang belum muncul semburan lumpur Lapindo.
Sidoarjo di tahun 1998-2001, adalah kota yang hidup.
Warganya ramah. Dan tentu saja makanannya enak. Kurang pas
rasanya jika tidak mencicipi tempe penyet bila datang ke Sidoarjo.
Di Porong, Sidoarjo, sebelum muncul semburan lumpur, tiap
malam terlihat kesibukan ibu-ibu yang sedang membimbing
anaknya belajar. Selain itu hampir setiap malam terdengar suara
orang mengaji.
8
Namun itu dulu. Kini, setelah muncul semburan lumpur
semua seperti berubah. Kini, Porong seperti kota mati. Rumah-
rumah nampak ditinggalkan penghuninya. Puing-puing rumah
berserakan. Tak terbanyangkan sebelumnya.
Nampak pula atap-atap rumah yang tenggelam oleh lumpur
yang mulai mengering. Perih rasanya melihat pemandangan itu
semua. Andai tragedi itu menimpa aku dan keluarga, bisa jadi aku
tidak setegar dan sesabar saudara-saudara yang kini menjadi
korban lumpur. Bayangkan, sedikit demi sedikit uang yang mereka
kumpulkan untuk membeli rumah dan tanah, tiba-tiba harus
hilang dalam sekejap.
Waktu pun berlalu. Kini ancaman terhadap kehidupan warga
Porong, Sidoarjo bukan hanya kehilangan rumah dan tanah.
Dampak buruk semburan lumpur Lapindo kian meluas. Udara pun
telah tercemar. Padahal kita sebagai manusia tidak bisa memilih
udara yang kita hirup.
9
II. Kisah Pilu Mbok Jumik
Minggu, 30 November 2008, Mbok Jumik mengembuskan
napas terakhir. Ia meninggal dengan tetap menyandang status
sebagai korban lumpur.
Sebelumnya, tepatnya pada Juni 2008, Mbok Jumik mulai
merasakan sakit luar biasa di perutnya. Pada saat itu keluarga
Mbok Jumik membawanya ke RSUD Sidoarjo. Sekitar dua minggu
Mbok Jumik dirawat di rumah sakit. Namun, karena tak mampu
membiayai ongkos rumah sakit, keluarga Mbok Jumik
membawanya pulang ke pengungsian korban lumpur di Pasar Baru
Porong. Hingga pada akhirnya Mbok Jumik meninggal di
pengungsian.
Dua tahun kemudian, di awal tahun 2010, mantan petinggi
Group Bakrie, Aburizal Bakrie mengatakan bahwa korban lumpur
Lapindo telah menjadi milyader. Ical, panggilan akrab Aburizal
Bakrie mengatakan bahwa warga yang menjadi korban semburan
lumpur Lapindo telah mendapat uang pengganti dan bantuan
dalam nilai di atas rata-rata.
10
Judul berita di portal itu pun berbunyi, Ical: Korban Lumpur
Lapindo Jadi Miliarder1.Menurut Ical, dari 12 ribu kepala keluarga
korban semburan lumpur, sebanyak 11.920 di antaranya sudah
selesai.
Padahal jika korban lumpur Lapindo telah menjadi milyader,
tentu Mbok Jumik tidak akan memilih dirawat di pengungsian
dengan pengobatan tradisional. Keluarga Mbok Jumik tentu akan
memilih dirawat di rumah sakit, paling tidak RSUD Sidoarjo.
1 http://www.detiknews.com/read/2011/01/25/183531/1554443/10/ical-korban-lumpur-lapindo-jadi-miliarder
11
III. Mbak Pur Terbakar Gas Metan
Naas benar nasib Mbak Pur, panggilan Purwaningsih. Warga
Desa Siring, Porong, Sidoarjo itu pada awal September 2010 lalu
harus dirawat di rumah sakit. Sekujur tubuhnya mengalami luka
bakar yang cukup serius. Semburan gas liar yang mengandung
metan dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh
mereka berdua.
Derita mbak Pur pun bertambah. Ia dan keluarganya harus
berjuang sendiri menghadapi segala penderitaan akibat peristiwa
kebakaran itu. Padahal jika tidak muncul semburan lumpur,
mungkin penderitaan itu tidak akan pernah terjadi.
Seperti ditulis oleh portal korbanlumpur.info2, hingga tahun
2011, Purwaningsih masih menjalani perawatan untuk luka
bakarnya. Sudah banyak biaya dikeluarkan. Tidak tanggung-
tanggung, sejak Purwaningsih dipulangkan paksa oleh Rumah
Sakit Umum Daerah Sidoarjo, biaya yang sudah dikeluarkannya
sampai sekarang kurang lebih sudah mencapai Rp 200 juta.
2 http://korbanlumpur.info/kisah/kisah-korban/807-terbakar-gas-metan-setahun-korban-lapindo-diabaikan.html
12
Biaya sebesar itu diperoleh Purwaningsih dari bantuan dan
pinjaman dari sanak saudara dan teman-temannya. Lebih
menyedihkan, rumahnya pun kini sudah dijaminkan ke bank
untuk biaya berobat.
Lantas apa yang diperbuat pemerintah dan juga Lapindo?
Entah mengapa, baik pemerintah maupun Lapindo, lebih fokus ke
mekanisme jual beli aset korban lumpur. Padahal dalam
mekanisme itu, persoalan kesehatan tidak pernah diperhitungkan.
13
IV. Bayi itu Bernama Aulia Nadira Putri
Siapa tak kenal Almira Tunggadewi Yudhoyono? Ya, ia adalah
putri cantik pasangan Annisa Larasati Pohan dan Agus Harimurti.
Amira, demikian putri cantik itu dipanggil, adalah cucu pertama
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia lahir pada 17
Agustus 2008 silam.
Lahirnya seorang anak dalam sebuah keluarga adalah sebuah
kebahagiaan. Hal yang sama tentunya juga dirasakan oleh
keluarga Aulia Nadira Putri, seorang bayi yang lahir di awal tahun
2011 ini. Namun sayang, pada tanggal 14 April 2011 lalu Aulia
Nadira Putri, bayi usia 3,5 bulan menghembuskan nafas
terakhirnya di dunia ini. Bayi tak berdosa itu meninggal dunia
karena diduga terlalu sering menghirup gas beracun dari lumpur
Lapindo.
Dua jam sebelum meninggal, seperti ditulis oleh portal berita
okezone.com3, napas bayi Aulia Nadira Putri terlihat tersengal-
sengal. Bahkan, untuk bernapas saja, bayi usia 3,5 bulan itu
sampai harus menggerakkan pundaknya. Pihak Rumah Sakit (RS)
3 http://news.okezone.com/read/2011/04/15/340/446205/bayi-terserang-sesak-napas-meninggal-dunia
14
Siti Hajar, mengungkapkan bahwa bayi tersebut menderita sesak
napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.
Jarak rumah keluarga Aulia Nadira Putri memang hanya
beberapa meter dari tanggul lumpur Lapindo. Tak heran dengan
jarak sedekat itu gas beracun dari lumpur Lapindo tercium dari
rumahnya. Bagi kesahatan orang dewasa, gas beracun itu bisa
berakibat fatal, apalagi bagi seorang bayi berusia 3,5 bulan yang
sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa.
Keluarga Aulia Nadira Putri seharusnya memang mengungsi
dari rumahnya. Kondisi lingkungan hidup di kawasan itu sudah
membahayakan keselamatan hidup mereka. Namun apa daya,
keluarga itu belum mendapatkan ganti rugi, yang kemudian telah
dibelokan menjadi jual beli asset, oleh PT. Minarak Lapindo Jaya.
15
V. Gajah Loe Lawan!
Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Anindya
Novyan Bakrie, seperti ditulis di salah satu portal4, mengunkapkan
akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA
Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun
2015.
Group Bakrie mulai membangun kerajaan media. Lantas
bagaimana pengaruhnya dengan persolan semburan lumpur di
Sidoarjo? Untuk melihat sejauh mana pengaruhnya, mari kita lihat
bagaimana media di bawah Group Bakrie memberitakan kasus ini.
TV One menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo
bukan lumpur Lapindo5. Bahkan TV itu secara khusus
mewawancarai pakar geologi Rusia Dr. Sergey Kadurin yang
menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan
akibat kesalahan pengeboran6. Sementara pendapat pakar yang
menyatakan bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak
diwawancarai.
4 http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-bakrie-telecom/8867
5 Penyebutan semburan lumpur dengan lumpur Sidoarjo mengarahkan opini publik bahwa semburan itu adalah bencana alam
bukan akibat pengeboran. 6 http://www.youtube.com/watch?v=F9H1X8cMaoE
16
Hal yang sama juga terjadi di ANTV. Televisi milik Group
Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur
Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. ANTV juga menayangkan
pendapat Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur
adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran7.
Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan bahwa semburan
lumpur akibat pengeboran tidak dimintai pendapat.
Hal yang sama juga terjadi pada vivanews.com. Portal berita
milik Group Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai
lumpur Sidoarjo, bukan lumpur Lapindo. Di saat yang hampir
bersamaan pula portal berita itu menampilkan pendapat pakar
geologi Rusia yang menyatakan semburan lumpur bukan akibat
pengeboran8. Liputan khusus terhadap pakar Rusia juga
ditampilkan secara audio-visual di portal vivanews.com9.
Publik pun tidak tinggal diam. Terkait wawancara khusus
kelompok media Bakrie terhadap Dr. Sergey Kadurin yang
menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan
akibat kesalahan pemboran, diimbangi oleh
7 http://www.youtube.com/watch?v=vLlvU9pcVZU
8 http://nasional.vivanews.com/news/read/180457-lumpur-sidoarjo-bukan-karena-pengeboran
9 http://video.vivanews.com/read/11227-wawancara-dengan-pakar-geologi-rusia-tentang-penyebab-lumpur-sidoarjo
17
www.korbanlumpur.info10 dengan menuliskan pendapat pakar
perminyakan Mark Tingay dari Australian School of Petroleum,
Universitas Adelaide, Australia11. Menurut Mark Tingay, semburan
lumpur di Sidoarjo, 90% akibat aktivitas pemboran bukan bencana
alam12.
Web korban korban lumpur sendiri adalah sebuah inisiatif
masyarakat sipil untuk melawan wacana dari media mainstream
dalam kasus Lapindo. Web korban lumpur juga mendistribusikan
kontennya melalui media sosial, facebook dan twitter. Kampanye
untuk melawan wacana media mainstream dalam kasus Lapindo
juga dilakukan melalui jejaring sosial facebook.
Namun, tidaklah mudah melawan wacana kasus Lapindo ini.
Group media Bakrie lebih banyak menjangkau kalayak
dibandingkan dengan media alternatif yang dibangun masyarakat
sipil.
10
Situs ini (www.korbanlumpur.info) dikelola oleh Kanal News Room, dapur berita dan data yang lahir atas inisiatif aliansi masyarakat sipil untuk korban Lapindo pada pertemuan Ciputat 12-13 Juli 2008. Kanal hingga kini melahirkan tiga bentuk media, yakni website www.korbanlumpur.info, buletin Kanal dan Kanal Radio. Kanal menyajikan fakta lapangan, data, dan analisis tentang kasus lumpur Lapindo dengan menitikberatkan pada komitmen memperjuangkan hak-hak korban. 11
http://korbanlumpur.info/berita/lingkungan/705-pakar-bantah-ilmuwan-rusia-90-persen-yakin-semburan-lapindo-akibat-pemboran-.html 12
“Menurut pendapat saya, berdasarkan kajian-kajian ilmiah yang sudah saya lakukan, gempa tidak bisa memicu semburan lumpur Lapindo. Dan kita 90 persen yakin, bahkan kolega-kolega saya 99 persen yakin, semburan ini terkait dengan kecerobohan pemboran,” ujar Tingay.
18
Tabel : Gerakan kampanye kasus Lapindo di media sosial
Channel Jumlah
anggota/follower
Keterangan
Fanpage facebook13 878 (per 19 Juli 2011)
Friend of Lapindo
Victim, Group in
Facebook14
3404 (per 19 Juli 2011)
@korbanlapindo15
452 (27 Juli 2011)
Cause;Dukung Korban
Lapindo Mendapatkan
Keadilan 16
17,238 ( Per Juni 2011)
Tingkat keterbacaan atau paparan media yang dijadikan
tempat untuk melawan dominasi wacana dalam kasus Lapindo
sangat sedikit dibandingkan dengan keterbacaan atau paparan
dari media konglomerasi Group Bakrie.
Tabel Perlawanan Kasus Lapindo di Internet
NO Channel Jumlah
pembaca/pemirsa
Ranking di
Alexa
Jumlah
anggota/follower
di media sosial
Gerakan kampanye publik untuk kasus Lapindo
1 Website
korbanlumpur.info
6,167,065
(global),
140,328
13
http://www.facebook.com/korbanlumpur.info?sk=wall 14
http://www.facebook.com/group.php?gid=26083340518 15
http://twitter.com/#!/korbanlapindo 16
http://www.causes.com/causes/333125?m=faf1a932
19
(rank in id),
40 (site link
in)
2 Fanpage facebook 878
3 Friend of Lapindo
Victim, Group in
3404
4 Twitter
@korbanlapindo
452
5 Cause;Dukung
Korban Lapindo
Mendapatkan
Keadilan
17,238
Media Group Bakrie
1 Vivanews.com Peringkat
ke-13 topsite
menurut
alexa.
857 (global),
13 (rank in
Id), 276 (site
link in)
(@VIVAnews)
185,597
Vivanews.com di
facebook17
4,545
Vivanews.com di
facebook 218
66,849
17
http://www.facebook.com/#!/pages/VIVAnews-dot-COM/72076019043?sk=wall
20
2 AnTV 87,4 juta
AnTV di twitter19 30,278
3 TV One 108,8
TV One di Twitter20 404,409
18
http://www.facebook.com/#!/VIVAnewscom 19
@whatsonANTV 20
@tvOneNews
21
VI. Antara Mbak Prita dan Mbok Jumik
"Kita tolak gugatan perdatanya Omni, dan mengabulkan
permohonan Prita," ujar Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa
seperti ditulis sebuah media di Jakarta. Ya, Mbak Prita Mulyasari,
akhirnya terbebas dari jeratan hukum. Dukungan para pengguna
internet di negeri ini kepada Mbak Prita tidak sia-sia.
Tak berlebihan bila gerakan mendukung Mbak Prita di
internet melawan RS Omni menjadi tonggak bersejarah bagi
gerakan sosial digital atau lebih sering disebut click activism.
Nama Mbak Prita selalu dirujuk dalam seminar dan diskusi
mengenai gerakan sosial digital.
Banjir dukungan dari para pengguna internet kepada Mbak
Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional
menjadi capaian spektakuler gerakan sosial digital dalam
menggalang opini publik dan solidaritas masyarakat. Megawati,
calon presiden pada pemilu 2009 lalu pun menyempatkan diri
untuk mengunjungi Mbak Prita.
Begitu pula solidaritas masyarakat dalam mengumpulkan
koin untuk membayar tuntutan denda terhadap Mbak Prita
22
Mulyasari mampu menyedot perhatian media-media mainstream.
Kabarnya, besarnya pemberitaan di media mainstream itu pula
yang sempat membuat RS Omni Internasional merasa ragu untuk
meneruskan gugatannya.
Lain Mbak Prita Mulyasari, lain pula Mbok Jumik. Siapa pula
Mbok Jumik itu? Dan mengapa membandingkanya dengan icon
gerakan sosial digital Mbak Prita Mulyasari?
Mbok Jumik adalah perempuan yang tinggal di Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur. Ia salah satu perempuan yang menjadi
korban lumpur Lapindo. Usianya tidak lagi muda seperti Mbak
Prita Mulyasari. Ia berusia 52 tahun. Lumpur Lapindo telah
menghancurkan rumah Mbok Jumik di Desa Renokenongo. Air
yang telah menggenangi rumahnya sejak hari pertama munculnya
semburan lumpur memaksa keluarga Mbok Jumik menjadi
pengungsi.
Bulan Juni 2008 Mbok Jumik mulai merasakan sakit luar
biasa di perutnya. Pada saat itu keluarga Mbok Jumik pun segera
membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo.
Sekitar dua minggu Mbok Jumik dirawat di rumah sakit. Namun,
karena tak mampu membiayai ongkos rumah sakit, keluarga Mbok
23
Jumik membawanya pulang ke tempat pengungsian korban
Lapindo di Pasar Baru Porong. Keluarganya pun pasrah.
Selanjutnya, Mbok Jumik dirawat dengan menggunakan
pengobatan tradisional.
Para relawan Posko Korban Lapindo di Porong pun segera
menulis surat terbuka permohonan bantuan biaya perawatan bagi
Mbok Jumik via internet (email, milis, forum dan sebagainya).
Bahkan mereka juga menulis surat khusus permohonan bantuan
untuk Mbok Jumik kepada lembaga bantuan sosial yang ada di
Indonesia via email.
Berbeda dengan kasus yang menimpa Mbak Prita Mulyasari
melawan RS Omni Internasional yang mampu menciptakan
solidaritas sosial di kalangan pengguna internet. Dalam kasus
Mbok Jumik ini solidaritas itu tidak muncul. Bahkan hingga Mbok
Jumik menghembuskan nafas terakhir pun, tidak ada bantuan
yang datang.
Jika dalam kasus Mbak Prita Mulyasari melawan RS Omni
Internasional terkait dengan hak konsumen yang tidak dipenuhi
oleh sebuah industri jasa rumah sakit, maka dalam kasus Mbok
24
Jumik ini terkait dengan tidak dipenuhinya hak warga negara atas
kesehatan.
Meskipun begitu kasus Mbok Jumik tidak cukup menarik
simpati para pengguna internet di Indonesia untuk melakukan
solidaritas sosial seperti dalam kasus Mbak Prita Mulyasari.
Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa click activism gagal
membangun solidaritas sosial dalam kasus Mbok Jumik, tidak
seperti dalam kasus Mbak Prita Mulyasari?
Untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu mari kita
lihat komposisi pengguna internet di Indonesia. Jika kelas sosial
menengah-atas dikaitkan dengan tingkat pendidikan, maka terlihat
bahwa pengguna internet di negeri ini didominasi oleh kelas sosial
tersebut. Ditinjau dari jenjang pendidikan, menurut indikator
telematika yang ditulis iptek.net menyebutkan, tingkat sarjana
adalah pengguna terbanyak (43%) selanjutnya tingkat SLTA (41%).
Sementara berdasarkan profesi menunjukkan bahwa mahasiswa
yang paling banyak menggunakan internet (39%).
Karena pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kelas
menengah, maka solidaritas sosial akan muncul jika ada isu yang
mengusik atau berpontensi menganggu kepentingan mereka kelak
25
di kemudian hari. Kelas menengah yang mendominasi penggunaan
internet di Indonesia ini adalah juga konsumen atau minimal calon
konsumen dari RS Internasional. Jadi wajar bila mereka kemudian
memiliki empati dan membangun solidaritas dalam kasus yang
menimpa Mbak Prita Mulyasari yang juga konsumen dari RS Omni
Internasional.
Sementara dalam kasus Mbok Jumik solidritas sosial itu tidak
terbangun karena para pengguna internet di Indonesia yang
didominasi kelas menengah itu tidak ikut merasakan perihnya
hidup menjadi korban lumpur Lapindo. Mereka tidak pernah
merasakan menjadi pengungsi dan menghirup udara beracun di
Porong, Sidoarjo. Bahkan seringkali para pengguna internet ini
berselancar di internet dengan nyaman di sebuah ruangan
berpendingin udara (AC). Berbeda 180 derajat dengan kehidupan
Mbok Jumik dan korban lumpur Lapindo sehari hari.
Dari dua kasus ini terlihat bahwa click activism memiliki
cacat bawaan, yaitu bias kelas sosial menengah-atas. Persoalan
yang menyangkut kepentingan kelas menengah-atas lebih mudah
terangkat, sementara persoalan yang menyangkut kepentingan
kelas menengah-bawah sulit terangkat.
26
VII. Kasus Lapindo=Kasus Politik?
Saat tulisan ini dibuat, sudah lima tahun lebih semburan
lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan warga Porong,
Sidoarjo. Lima tahun adalah waktu yang tidak sebentar bagi warga
Porong untuk terus menderita. Timbul pertanyaan, dimana negara?
Kenapa warga korban lumpur dibiarkan sendirian
memperjuangkan hak-haknya sendiri?
Berbeda dengan korban lumpur dibiarkan sendirian oleh
pemerintah dalam memperjuangkan hak-haknya. Saat Group
Bakrie terlilit masalah, bantuan pemerintah segera datang.
"Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak
boleh. Tidak ada diskriminasi. Itu terlalu kecil bantuannya kalau
hanya minta tolong diawasi jika dibanding yang lain," ujar Wakil
Presiden Jusuf Kalla seperti ditulis Koran Tempo, 15 November
2008. Pernyataan itu sekaligus sebuah pengakuan bahwa
pemerintah benar-benar telah menolong PT Bumi Resources, salah
satu bagian Grup Bakrie, dari kebangkrutan.
Dalih nasionalisme pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf
Kalla untuk membenarkan tindakan tersebut. Logika yang dipakai
27
adalah Grup Bakrie merupakan perusahaan nasional, maka wajar
dibantu, apalagi korporasi tersebut juga merupakan pembayar
pajak di negeri ini. Meskipun korban lumpur di Sidoarjo sejatinya
juga pembayar pajak kepada negeri ini.
Perlakuan berbeda itu semakin menguatkan dugaan bahwa
sesungguhnya kasus semburan lumpur ini bukanlah sekedar
kasus sosial dan lingkungan hidup. Ada dimensi politik di
dalamnya.
Lihatlah bagaimana pemerintah lebih nyaman untuk
mengikuti seruan iklan Lapindo yang mengatakan bahwa
semburan lumpur itu adalah bencana alam. Bukan akibat
pengeboran.
Padahal audit BPK21, dokumen rahasia Medco22 (mitra
Lapindo), pendapat mayoritas pakar pengeboran di dunia23,
menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bukanlah
bencana alam. Semburan lumpur itu terkait dengan proses
pengeboran.
21
http://www.slideshare.net/indoleaks/anwar-nasution-lapindo 22
http://www.aljazeera.com/mritems/Documents/2009/6/17/2009617151210657572TriTech_Lukman_report_-
_East_Java_Well_Blow-out_Assessment_-_Preliminary_Report_Document.pdf,
http://www.aljazeera.com/mritems/Documents/2009/6/17/2009617151816979683Final%20Report%20Sidoarjo%20
Neil%20Adams.pdf 23
http://korbanlumpur.info/berita/lingkungan/378-konferensi-aapg-cape-town--lapindo-penyebab-semburan-
lumpur-panas.html
28
Dimensi politik dalam kasus Lapindo mulai nampak ketika
para petinggi Lapindo mencalonkan diri menjadi Bupati Sidoarjo.
Setelah berhasil "menguasai" tanah Sidoarjo melalui pembelokan
persoalan ganti rugi menjadi sekadar jual-beli aset, bukan tidak
mungkin sebentar lagi Sidoarjo secara politik jatuh ke tangan
Lapindo secara total, andai saja petinggi (mantan) Lapindo berhasil
menjadi Bupati Sidoarjo.
Mencalonkan diri secara politik menjadi pejabat publik,
termasuk Bupati Sidoarjo, adalah hak setiap warga negara.
Namun, untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) Sidoarjo, agak
ganjil bila tiga petinggi kelompok Lapindo secara bersamaan
mencalonkan diri menjadi pejabat publik di kawasan itu. Apa
kepentingan Lapindo dalam pilkada Sidoarjo?
Seperti diberitakan oleh berbagai media massa nasional,
memasuki tahun keempat, semburan lumpur Lapindo ternyata
belum terselesaikan secara tuntas dan adil. Bahkan dampak buruk
semburan lumpur makin meluas, menembus batas-batas peta area
terkena dampak yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Bukan hanya tanah, rumah, dan sawah yang terendam, udara dan
air tanah di Porong, Sidoarjo, pun kini telah tercemar.
29
Pada pertengahan 2009, misalnya, warga dari kawasan Siring
Barat, Jatirejo, dan Mindi di Porong, Sidoarjo, harus mengungsi
dari rumah mereka. Pasalnya, pemerintah daerah Jawa Timur
menyatakan kawasan di tiga desa tersebut tidak layak huni akibat
dampak semburan lumpur Lapindo yang makin meluas.
Celakanya, selain dampak buruk semburan lumpur Lapindo
makin meluas, proses jual-beli aset korban lumpur berjalan
tersendat. Janji-janji manis yang dilontarkan oleh pihak Lapindo
kepada warga dengan mudah diingkari. Begitu pula janji dari
pemerintah, yang akan mengawal proses jual-beli aset korban
lumpur ternyata hanya isapan jempol.
Seharusnya, memasuki tahun keempat semburan lumpur,
warga Sidoarjo memerlukan seorang bupati yang berani bukan
hanya mendampingi warga korban lumpur, tapi juga berada di
barisan terdepan ketika berhadapan dengan Lapindo dan
pemerintah pusat dalam memperjuangkan hak-hak korban
lumpur. Bukan hanya hak atas tanah yang telah terendam lumpur,
namun juga hak atas kesehatan, air bersih, dan penghidupan yang
layak. Aroma untuk memetieskan kasus lumpur Lapindo secara
tuntas melalui pencalonan tiga petinggi Lapindo sebagai Bupati
30
Sidoarjo mulai menyengat. Terlebih sebelumnya Kepolisian Daerah
Jawa Timur telah berhasil memetieskan kasus pidana Lapindo
melalui penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Setelah secara hukum kasus lumpur Lapindo bisa
dipetieskan, secara politik kasus ini juga mulai ditinggalkan.
Partai-partai politik di tingkat nasional lebih asyik mempersoalkan
kasus skandal Bank Century dan melupakan penderitaan panjang
korban lumpur yang akan memasuki tahun keempat.
Sialnya, meskipun di tingkat nasional persoalan lumpur
Lapindo tidak lagi dianggap penting, ternyata tidak menyurutkan
perlawanan korban lumpur di Sidoarjo untuk terus-menerus
menuntut haknya.
Hal itu terbukti beberapa kali perlawanan korban lumpur
tersebut mendapat liputan di berbagai media massa nasional.
Bahkan di hadapan Menteri Kelautan dan Perikanan, saat itu,
Fadel Muhammad, kolega Aburizal Bakrie di Partai Golkar, para
petani budi daya ikan dan udang di Sidoarjo secara lugas
menyampaikan keluhan terkait dengan dampak buruk lumpur
Lapindo terhadap usaha tambak mereka.
31
Suara protes dari Sidoarjo itu, jika tidak ditertibkan, tentu
akan memancing elite politik di tingkat pusat yang semula sudah
bungkam untuk kembali bersuara. Bila itu terjadi, upaya untuk
memetieskan kasus lumpur Lapindo akan berantakan. Perlawanan
warga Sidoarjo harus diredam melalui jalur politik dengan
mengambil alih kekuasaan bupati di kawasan itu. Proyek untuk
memetieskan kasus lumpur Lapindo tidak boleh gagal. Jika upaya
memetieskan kasus lumpur Lapindo ini gagal, bukan tidak
mungkin akan berkembang seperti kasus pencemaran di Bhopal,
yang setiap tahun diperingati oleh para pegiat lingkungan hidup di
dunia. Dan itu merupakan aib bagi Lapindo serta grup perusahaan
yang menaunginya.
Selain itu, upaya menguasai Sidoarjo secara politik ini
sejatinya menunjukkan bahwa sebenarnya semburan lumpur di
kawasan tersebut bukan murni bencana alam. Jika murni bencana
alam, tentu para petinggi Lapindo tidak perlu capek-capek untuk
mencalonkan diri sebagai Bupati Sidoarjo. Pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono secara jelas telah menyatakan bahwa
semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, tidak terkait
dengan pengeboran. Lantas apa lagi yang ditakutkan Lapindo?
32
VIII. PR Lama Anggota KOMNAS HAM Baru
Juli 2012, adalah bulan terakhir bagi anggota Komisi Nasional
(Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) periode 2007-2012 untuk
mengemban tugas negara. Lima tahun adalah waktu yang cukup
panjang bagi mereka untuk berkiprah dalam penegakan HAM di
tanah air. Dan tidak lama lagi para anggota Komnas HAM periode
2007-2012 akan digantikan oleh anggota yang baru.
Apresiasi pantas kita berikan pada anggota Komnas HAM
periode 2007-2012 atas perannya dalam penegakan HAM selama
lima tahun terakhir ini. Namun ada sebuah pekerjaan rumah (PR)
yang ditinggalkan oleh anggota Komnas HAM periode 2007-2012.
Dan pekerjaan rumah itu harus diselesaikan oleh anggota Komnas
HAM yang baru. Pekerjaan rumah itu adalah menyelesaikan kasus
Lapindo.
Awal tahun 2010 silam, sidang paripurna Komnas HAM
secara aklamasi menyetujui rekomendasi Tim Investigasi Kasus
Lumpur Lapindo untuk membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia
tentang Pengadilan HAM atas Peristiwa Lumpur Lapindo. Tim
menemukan dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam
33
kasus lumpur Lapindo yang mengarah pada kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity).
Waktu pun berlalu. Hingga hari-hari terakhir masa kerja
anggota Komnas HAM periode 2007-2012, hasil penyidikan
Komnas HAM masih misteri. Komnas HAM yang semula
diharapkan mampu memperkuat posisi korban lumpur dalam
memperjuangkan hak-haknya, sepert ikut-kutan loyo ketika
berhadapan dengan kasus lumpur Lapindo.
Pertanyaannya kemudian adalah sebegitu sulitkah
menemukan adanya pelanggaran HAM dalam kasus lumpur
Lapindo? Apakah Komnas HAM harus menunggu hingga lahir
sebuah generasi cacat di Porong untuk membuktikan ada
pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo? Diabaikan hak-
hak korban lumpur Lapindo selama lebih dari enam tahun ini
menjadi tamparan keras bagi penegakan HAM di tanah air.
Dilanggarnya hak-hak kemanusiaan korban lumpur adalah noda
hitam dalam penegakan HAM di Indonesia.
Tentu bukan hal yang sulit bagi anggota Komnas HAM periode
2007-2012 untuk mengetahui penderitaan panjang korban lumpur
Lapindo. Mereka tentu pernah mendengar kematian Aulia Nadira
34
Putri, bayi 3,5 bulan, yang meninggal akibat terlalu sering
menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo.
Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 tentu juga pernah
mendengar kisah pilu yang dialami oleh Purwaningsih dan Dedy
Purbianto. Pada awal September 2010 silam, dua orang itu harus
dirawat di rumah sakit. Sekujur tubuh mereka mengalami luka
bakar yang cukup serius. Semburan gas liar yang mengandung
metan dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh
mereka berdua.
Dan menjelang enam tahun semburan lumpur Lapindo,
ancaman bagi warga Sidoarjo bukan hanya munculnya semburan
gas liar yang mudah terbakar, namun juga makin meluasnya
penurunan tanah di Porong. Kini penurunan tanah di kawasan itu
mulai membahayakan konstruksi rumah. Rumah yang tidak
tenggelam lumpur Lapindo pun berpotensi roboh secara berlahan.
Praktis, warga Porong seperti menghitung hari untuk menjadi
pengungsi.
Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 juga tentu sudah
mengetahui semburan lumpur Lapindo juga berdampak pada
meningkatnya jumlah anak yang putus sekolah. Dan mereka tentu
35
sudah paham bahwa memperoleh pendidikan yang layak adalah
bagian dari hak asasi manusia.
Anggota Komnas HAM periode 2007-2012 tentu memahami
bahwa dari serangkaian kejadian di atas menunjukan bahwa
semburan lumpur Lapindo bukan hanya sekedar hilangnya rumah
dan tanah. Tapi juga telah mengancam keselamatan hidup warga
dan juga pemenuhan hak-hak warga lainnya. Anggota Komnas
HAM periode 2007-2012 tentu tidak harus diajari bahwa komponen
HAM bukan hanya hak sipil dan politik tapi juga hak ekonomi,
sosial dan budaya (Ekosob).
Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah mengapa Anggota
Komnas HAM 2007-2012 belum juga menuntaskan kasus Lapindo?
Apakah ada diantara anggota Komnas HAM periode 2007-2012
yang sedeng ‘masuk angin’ sehingga membiarkan penyelesaian
kasus Lapindo dari sisi HAM tidak tuntas?
Entahlah. Yang jelas sekarang ini, kasus Lapindo telah
menjadi pekerjaan rumah terberat bagi anggota Komnas HAM
periode 2012-2017. Kini, mereka harus melihat serangkaian fakta
dari kasus Lapindo itu dari sudut pandang lain. Karena menurut
kaidah HAM, pemerintah yang memiliki tanggungjawab untuk
36
menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warganya,
maka anggota Komnas HAM yang baru harus mengarahkan pisau
analisisnya pada serangkaian kebijakan pemerintah yang telah
mereduksi persoalan ganti rugi hanya menjadi sekedar jual beli
aset tanah dan rumah.
Anggota Komnas HAM baru harus segera membongkar semua
kebijakan pemerintah yang pernah dikeluarkan terkait kasus
Lapindo. Mereka harus menganalisa sejauh mana kebijakan-
kebijakan itu berpontensi memicu pelanggaran HAM. Dari titik
tolak itulah kemudian dapat diketahui sejauh mana peran
pemerintah dalam dugaan terjadinya pelanggaran HAM kasus
Lapindo.
Selagi matahari masih bersinar, di saat itu pulalah masih ada
harapan. Tidak berlebihan bila kita semua berharap pada anggota
Komnas HAM yang baru dalam penyelesaian kasus Lapindo.
Kita berharap anggota Komnas HAM yang baru dapat
membuat trobosan hukum untuk menyelamatkan warga Porong,
Sidoarjo dari penderitaan panjangnya. Enam tahun adalah waktu
yang terlampau panjang bagi warga Porong, Sidoarjo untuk terus
37
menderita akibat kasus Lapindo. Semoga kali ini anggota Komnas
HAM yang baru tidak mengecewakan harapan korban lumpur.
38
IX. Lho Lapindo Mau Ngebor Lagi?
Berita mengejutkan itu datang dari Sidoarjo. Salah satu media
massa di Jakarta (26/2/2011) menuliskan bahwa Lapindo akan
menambah titik eksplorasi di Desa Kalidawir, Kecamatan
Tanggulangin, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat
semburan lumpur.
Baru kemarin rasanya, semburan lumpur Lapindo
menghancurkan kehidupan warga Porong, Sidoarjo. Semburan
lumpur itu masih menyisakan duka yang amat dalam bagi warga
Sidoarjo. Rumah, tanah dan juga harapan warga Porong, Sidoarjo
untuk hidup layak seperti warga lainnya seakan hilang begitu
muncul semburan lumpur Lapindo.
Di saat air mata masih basah, di saat luka masih menganga
itu Lapindo memiliki rencana kembali melakukan eksplorasi
minyak dan gas bumi (migas) di wilayah itu. Dari sisi ekonomi
mungkin eksplorasi itu layak. Karena Provinsi Jawa Timur memang
terkenal sebagai penopang migas secara nasional.
Menurut catatan Walhi Jawa Timur, Propinsi Jawa Timur,
menopang 40 % kekayaan minyak dan gas (migas) nasional dengan
39
28 Blok Migas dalam tahap eksplorasi. Salah satunya adalah Blok
Brantas, yang memiliki 49 sumur yang tersebar di 3 Kabupaten
Jawa Timur (Sidoarjo 43 sumur, 4 sumur di Mojokerto dan 2
sumur di Pasuruan).
Pertanyaanya kemudian adalah, meskipun secara ekonomi
layak, namun apakah secara sosial, rencana Lapindo untuk
kembali melakukan pengeboran eksplorasi itu juga layak? Mengapa
Lapindo seperti mengabaikan kejadian semburan lumpur yang
terjadi pada tahun 2006 silam?
Keberanian Lapindo untuk kembali merencanakan eksplorasi
pengeboran baru di Sidoarjo setidaknya didasarkan oleh dua
alasan. Pertama, pemerintah sudah begitu meyakini bahwa
semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam dan tidak terkait
pemboran.
Keyakinan pemerintah itu kemudian mendapat angin segar
setelah ditolaknya gugatan perdata Walhi dan YLBHI. Keyakinan
itu semakin tak tergoyahkan ketika Kepolisian Daerah (Polda) Jawa
Timur menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
kasus pidana Lapindo.
40
Keyakinan itu seakan mengabaikan dokumen rahasia Medco,
mitra Lapindo dalam mengeksplorasi migas di Blok Brantas, yang
menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo terkait dengan
aktivitas pengeboran. Bahkan laporan audit BPK dan pendapat
masyoritas pakar pengeboran internasional yang menyatakan hal
yang sama pun diabaikan oleh pemerintah.
Kuatnya keyakinan pemerintah bahwa semburan lumpur
Lapindo adalah bencana alam dan tidak terkait degan pengeboran
juga tercermin dari munculnya wacana dari pemerintah untuk
menjadikan kawasan semburan lumpur sebagai tempat wisata
geologi.
Pesan dari munculnya wacana itu sangat jelas. Bahwa
semburan lumpur Lapindo justru membawa berkah bagi masyarkat
sekitar. Kawasan yang terkena semburan dapat menjadi tempat
wisata. Dan itu artinya akan mendatangkan uang. Jadi tidak perlu
ada yang ditakutkan lagi jika ada eksplorasi migas lanjutan di
kawasan itu. Kalaupun nanti terjadi kecelakaan pengeboran, toh
akan tetap bisa membawa berkah bagi masyarakat sekitar.
Kuatnya keyakinan pemerintah bahwa semburan lumpur
Lapindo adalah bencana alam juga terlihat dari pola penanganan
41
dampak dari semburan lumpur itu. Dalam penanganan dampak
semburan lumpur, persoalan ganti rugi telah dibelokan menjadi
sekedar persoalan jual beli aset. Apa ini artinya?
Artinya, jika persoalan jual beli aset itu selesai maka selesai
pulalah kasus Lapindo ini. Dan karena sudah selesai kasusnya
maka tidak ada alasan lagi untuk mempermasalahkan ekplorasi
migas baru di kawasan itu.
Benar saja. Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral
(ESDM) Widjajono Partowidagdo pun menawarkan kepada Lapindo
untuk kembali melakukan eksplorsai bila sudah menyelesaiak
persoalan jual beli aset korban lumpur. Di sebuah Koran TEMPO
(9/11/2011), sang wakil menteri itu menawarkan kepada Lapindo
untuk melanjutkan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Sidoarjo.
Menurutnya ladang minyak di Sidoarjo, yang kini terendam
lumpur, pasti berpotensi memiliki cadangan migas.
Namun sayang, sepertinya pemerintah lebih tergiur terhadap
kekayaan migas di Sidoarjo daripada harus menjaga keberlanjutan
kehidupan warganya. Warga Sidorajo seperti diposisikan hanya
sebatas angka statistik, bukan manusia seutuhnya yang harus
dilindungi hak-haknya. Padahal jika pemerintah mengutamakan
42
keselamatan warga Sidoarjo maka, yang dilakukan adalah
melakukan moratorium terhadap segala bentuk eksplorasi dan
eksploitasi migas di Sidoarjo. Kehancuran ekologi di Sidoarjo harus
dipulihkan seperti semula sebelum ijin baru untuk eksplorasi dan
eksploitasi migas kembali diterbitkan.
43
X. Pembelajaran Singkat Kasus Lapindo
Pembelajaran yang utama dari kasus Lapindo ini adalah,
pentingnya menempatkan keselamatan warga negara di atas
kepentingan bisnis industri tambang. Negara memiliki kekuasaan
untuk melindungi keselamatan dan masa depan warganya. Dan
kekuasaan itu harusnya digunakan. Seandainya kedepan ada
kejadian yang serupa dengan kasus Lapindo maka, negara harus
lebih kuat. Negara tidak boleh kalah dengan kepentingan bisnis.
Semburan lumpur di Sidoarjo tidak boleh terulang dan terjadi
di kawasan lainnya. Warga yang berada di kawasan yang akan
dijadikan daerah eksplorasi dan eksploitasi tambang harus kritis
terhadap segala resiko yang terjadi akibat operasional
pertambangan. Warga harus menggunakan hak – haknya untuk
mengetahui secara detail rencana operasional tambang, bukan
sekedar rencana pengelolaan lingkungan hidup.
Dan, perlawanan ini belum selesai......................
44
Bahan Bacaan
1. http://www.detiknews.com/read/2011/01/25/183531/155444
3/10/ical-korban-lumpur-lapindo-jadi-miliarder 2. http://korbanlumpur.info/kisah/kisah-korban/807-terbakar-gas-
metan-setahun-korban-lapindo-diabaikan.html 3. http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-
bakrie-telecom/8867 4. http://www.youtube.com/watch?v=F9H1X8cMaoE
5. http://www.youtube.com/watch?v=vLlvU9pcVZU 6. http://nasional.vivanews.com/news/read/180457-lumpur-
sidoarjo-bukan-karena-pengeboran 7. http://video.vivanews.com/read/11227-wawancara-dengan-
pakar-geologi-rusia-tentang-penyebab-lumpur-sidoarjo 8. http://korbanlumpur.info/berita/lingkungan/705-pakar-bantah-
ilmuwan-rusia-90-persen-yakin-semburan-lapindo-akibat-pemboran-.html
9. http://www.facebook.com/korbanlumpur.info?sk=wall 10. http://www.facebook.com/group.php?gid=26083340518 11. http://twitter.com/#!/korbanlapindo 12. http://www.causes.com/causes/333125?m=faf1a932
13. http://www.facebook.com/#!/pages/VIVAnews-dot-COM/72076019043?sk=wall
14. http://www.facebook.com/#!/VIVAnewscom 15. http://www.slideshare.net/indoleaks/anwar-nasution-lapindo
http://www.aljazeera.com/mritems/Documents/2009/6/17/2009617151210657572TriTech_Lukman_report_-
_East_Java_Well_Blow-out_Assessment_-_Preliminary_Report_Document.pdf, http://www.aljazeera.com/mritems/Documents/2009/6/17/2009617151816979683Final%20Report%20Sidoarjo%20Neil%20Adams.pdf
16. http://korbanlumpur.info/berita/lingkungan/378-konferensi-
aapg-cape-town--lapindo-penyebab-semburan-lumpur-panas.html
45
Sekilas tentang Penulis
Firdaus Cahyadi dilahirkan di Magetan, 1975. Menghabiskan waktu sekolah dari TK hingga SMA di Kabupaten Magetan. Selepas dari SMA Negeri Maospati, Magetan pada tahun 1994, penulis melanjutkan sekolah di Fakultas Teknologi Industri (FTI), tepatnya pada jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Namun kuliah di ITS hanya bertahan hingga dua tahun. Tahun 1996, penulis melanjutkan kuliah S-1 pada jurusan Teknik Kelautan/Oceanography di Universitas Hang Tuah Surabaya. Selama kuliah penulis aktif di organisasi ekstra maupun intra kampus. Di organisasi ekstra kampus, penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis pernah mengikuti Latihan Kader (LK) ke-1 HMI yang diselenggarakan oleh Komisariat Hukum HMI Universitas Airlangga Surabaya. Selanjutnya penulis lebih banyak aktif di organisasi intra kampus. Penulis pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Universitas Hang Tuah, Surabaya pada periode 1998-1999. Menjadi Redaktur Pelaksana Tabloid Hang Tuah Post periode 1999-2000. Selain itu, pada tahun 1998, penulis juga aktif kesatuan aksi Hang Tuah Pro Demokrasi. Sebuah kelompok aksi mahasiswa Universitas Hang Tuah Surabaya yang dibentuk untuk mendesakan perubahan kebijakan politik pada rejim Orde Baru.
46
Setamat kuliah di Universitas Hang Tuah, Surabaya pada tahun 2001, penulis bekerja menjadi wartawan di desk politik pada mingguan DIALOG di Jakarta. Selanjutnya penulis juga pernah bekerja sebagai Technical Officer di sebuah perusahaan pelayaran. Merasa tak puas bekerja di perusahaan swasta, penulis menjajaki untuk menjadi pekerja sosial. Penulis pun memilih menjadi relawan di LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional. Selepas menjadi relawan di WALHI, penulis sempat menjadi Program Manager di untuk Clean Air Project Jakarta. Selepas itu pernah menjadi Konsultan Policy Reform di SwissContact, sebuah lembaga donor dari Swiss. Selepas dari SwissContact, penulis bekerja di Yayasan SatuDunia sebagai Knowledge Manager hingga kini. Selain itu, penulis juga aktif sebagai koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Polusi Udara di Kaukus Lingkungan Hidup-Jakarta. Selain bekerja di Yayasan SatuDunia, penulis juga menjadi peneliti freelance untuk isu informasi dan pembangunan berkelanjutan. Sejak tahun 2005 hingga kini, penulis juga aktif menulis di kolom opini di berbagai media massa cetak nasional dan daerah, seperti pada Harian KOMPAS, Harian Bisnis Indonesia, Koran TEMPO, Harian KONTAN, Harian SOLO POS dan juga di majalah anak-anak. Isu yang sering ditulis oleh penulis seputar persoalan Lingkungan Hidup, Sosial, Informasi dan Pengetahuan. Saat ini penulis sedang merintis sebuah bisnis sosial. Sebuah bisnis yang tidak sekedar mendapatkan profit secara ekonomi namun membawa ‘virus-virus’ perubahan sosial yang lebih adil bagi kehidupan masyarakat di masa mendatang. Sebuah mimpi yang sedang diupayakan menjadi sebuah kenyataan.