Tinjauan Kasus
PENATALAKSANAAN PENDERITA ASMA BRONKIALE
Jovyta Augustine Cecilia Young, Sang Ayu Putu Gandhitri, Made Bagiada
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSU Sanglah
Denpasar, April 2008
1. PENDAHULUAN
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.1
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hal
tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti)
ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ASMA
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal kehidupan.
Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan sepertiga bagian
lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat perbandingan 2:1
untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada umur 30
tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang
sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.3,4
1
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma
alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti
rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap
injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi
yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.4
2.2 PATOFISIOLOGI ASMA
Patofisiologi asma merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan beberapa
komponen yaitu inflamasi saluran nafas, obstruksi aliran udara, dan hiperaktivitas bronkus.4
2.2.1 Penyempitan Saluran Napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan perubahan
fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran
napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan dinding
saluran napas dan hipersekresi mukus. 2
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema
pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada
eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau
disebut juga ”remodelling”.2 Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang
rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan
jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.1
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara
klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi
2
mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi)
yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu,
inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.7,8
2.3 FAKTOR PENCETUS ASMA
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan
faktor lingkungan. 1
3
a. Faktor host
Genetik
Obesitas
Jenis kelamin
b. Faktor lingkungan
Rangsangan alergen.
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
Infeksi.
Merokok
Obat.
Penyebab lain atau faktor lainnya.
4
2.4 GAMBARAN KLINIS ASMA
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya
dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut
dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh
adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas,
obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja
atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4
2.5 DIAGNOSIS ASMA1,2
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat
alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat
ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal paru
telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan
nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada
asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum,
5
namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.
2.6 KLASIFIKASI ASMA1,2
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)1
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paruI. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat
≤ 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20%
II. Persisten Ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala > 1x/minggu, tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%
III. Persisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari
Serangan menggangu aktivitas
dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>1x/minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE≤ 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan1
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatanTahap 1Intermiten
Tahap 2Pesisten ringan
Tahap 3Persisten sedang
Tahap I: IntermitenGejala < 1x/mgguSerangan singkatGejala malam < 2x/blnFaal paru normal diluar serangan
Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
Tahap II: Persisten RinganGejala >1x/mggu, tapi <1x/hari
Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
6
Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mgguFaal paru normal diluar seranganTahap III: Persisten SedangGejala setiap hariSerangan mempengaruhi tidur dan aktivitasGejala malam >1x/mggu60%<VEP1<80% nilai prediksi60%<APE<80% nilai terbaik
Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
Tahap III: Persisten BeratGejala terus menerusSerangan seringGejala malam seringVEP1≤60% nilai prediksi, atauAPE≤60% nilai terbaik
Persisten berat Persisten berat Persisten berat
2.7 PENATALAKSANAAN ASMA1-10
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen program
penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen pengobatan yang
dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.1
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan
pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, obat-obat
yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan asma di rumah.
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri mutlak
dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian lagi tidak
dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.
MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
7
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam menetapkan
atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau mempertahankan
keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas, terdiri
atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek
samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk
karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
8
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi,
digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping umumnya
minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga
digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping
yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia
dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian
jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek
protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja
lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral.
Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama inhalasi akan
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan
kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan
asma.
9
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit
atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua
leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil
pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi
akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek
sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
10
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut
dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
C. Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai tujuan
pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.
D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asmaTabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma1
Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Harian
Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Asma Intermiten
Tidak perlu - -
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya)
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotrien modifiers
-
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
kerja lama
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene
Ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Ditambahkan teofilin lepas lambat
11
modifiers
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
kerja lama, ditambah ≥1 dibawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Prednisolon/ metil prednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis β2
kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1
Gejala dan Tanda
Berat Serangan Akut Keadaan Mengancam
JiwaRingan Sedang Berat
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun
Frekuensi nafas < 20/menit 20-30/menit > 30 menit
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus paradoksus
-
10 mmHg
±
10-20 mmHg
+
> 25 mmHg
-
kelelahan otot
Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal
- + + Torakoabdominal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
12
ekspirasi
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%
Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan1
Serangan Pengobatan Tempat pengobatanRinganAktivitas relatif normalBerbicara satu kalimat dalam 1 nafasNadi < 100APE > 80%
Terbaik:Inhalasi agonis β2
Alternatif:Kombinasi oral agonis β2 dan teofilin
Di rumah
Di praktek dokter/ klinik/ puskesmas
Sedang Jalan jarak jauh timbulkan gelajaBerbicara beberapa kata dalam 1 nafasNadi 100-120APE 60-80%
Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 subkutan- Aminofilin iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL scOksigen bila mungkinKortikosteroid sistemik
Darurat gawat/RSKlinikPraktek dokterPuskesmas
Berat Sesak saat istirahatBerbicara kata perkata dalam 1 nafasNadi > 120APE < 60% atau 100 L/dtk
Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 sc/iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
Aminofilin bolus dilanjutkan dripOksigenKortikosteroid iv
Darurat gawat/RSKlinik
Mengancam jiwaKesadaran berubah /menurunGelisahSianosisGagal nafas
Seperti serangan akut beratPertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik
Darurat gawat/RSICU
KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma jangka
panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli paru pada
13
keadaan-keadaan tertentu.
POLA HIDUP SEHAT
Pola hidup sehat yang dianjurkan antara lain adalah meningkatkan kebugaran fisik melalui
olahraga, penderita dianjurkan untuk berhenti atau tidak pernah merokok karena rokok
merupakan oksidan yang dapat menimbulkan inflamasi dan menyebabkan
ketidakseimbangan protease antiprotease serta penderita asma dianjurkan untuk tidak
bekerja di tempat kerja yang merupakan faktor pencetus asma.
3. KASUS
Seorang wanita usia 24 tahun suku Bali datang ke IRD Penyakit Dalam RSUP Sanglah
dengan keluhan sesak nafas. Sesak dirasakan tiba-tiba saat pasien berbaring saat akan tidur
malam, 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak bertambah berat saat pasien duduk atau
beraktivitas. Sesak dirasakan seperti rasa penuh dan berat di dada. Sesak nafas sebenarnya
sudah dirasakan kurang lebih 2 minggu yang lalu dan semakin hari semakin memberat. Pada
saat sesak nafas, penderita juga merasakan rasa tidak nyaman di dada. Selain itu, penderita
juga mengeluarkan suara ’ngik-ngik’ pada saat mengalami serangan sesak. Sesak juga
membuat penderita sukar berbicara dan hanya dapat berbicara terputus-putus. Saat
pemeriksaan sesak nafas tidak dikeluhkan.
Penderita mengalami batuk kurang lebih sejak satu bulan sebelum masuk rumah
sakit. Batuk hilang timbul dan semakin memberat. Batuk tidak disertai dahak maupun darah.
Batuk lebih sering dirasakan pada malam hari dan pada saat melakukan aktivitas. Saat ini
batuk masih dialami penderita namun sudah berkurang dibanding sebelumnya. Selain itu
penderita juga mengeluh keluar cairan dari hidungnya secara spontan, berwarna putih jernih
yang disertai dengan gatal-gatal pada hidung sejak 2 minggu SMRS. Saat ini keluhan keluar
cairan dari hidung masih dirasakan oleh penderita namun sudah membaik.
Pada saat ini penderita tidak dalam keadaan hamil maupun menstruasi. Penderita
sebelumnya juga tidak ada mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak pengawet
seperti snack ringan, makanan ataupun minuman kaleng. Penderita tidak memiliki keluhan
meskipun sedang berada di sekitar orang yang sedang merokok. Penderita tidak pernah
mengkonsumsi udang karena penderita tidak menyukainya. Sebelum serangan sesak,
penderita tidak melakukan aktivitas yang berat maupun sedang dalam keadaan emosional.
14
Penderita menyatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun debu. Mual
tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun, BAK & BAB dirasakan biasa, tidak ada
keluhan.
Penderita mulai merasakan sesak sejak ia kecil, tetapi tidak pernah masuk rumah
sakit sebelumnya. Selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien hampir setiap hari
merasakan sesak napas. Untuk mengatasinya, penderita membeli obat di warung
(Neonafazin). Selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita sudah 2 kali
berobat ke puskesmas karena sesak mengganggu, tetapi ia lupa jenis obat yang diberikan.
Tetapi sesak yang dirasakan sebelumnya tidak pernah seberat ini.
Dari riwayat keluarga, ayah penderita menderita asma sejak kecil namun tidak
mengkonsumsi obat asma secara teratur karena dikatakan asma ayahnya tidak pernah
kambuh lagi.
Penderita adalah seorang ibu rumah tangga, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit
pakaian. Gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja sebagai penjahit.
Penderita bekerja dari pukul 08.00-16.00 wita. Gejala sesak, pilek dan batuk sering
mengganggu aktivitasnya.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik kesadaran pasien Compos Mentis (E4V5M6),
tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, teratur, & isi cukup, pernafasan
spontan 20 kali/menit, temperatur axila 36,70C, tinggi badan 155 cm, berat badan 50 kg.
Pemeriksaan fisik mata tidak didapatkan anemia, juga tidak ada ikterus pada mata
kanan dan kiri, refleks pupil positif pada mata kanan dan kiri, isokor. THT dalam batas
normal, leher: JVP PR ± 0cm H20. Pada inspeksi thoraks didapatkan dada simetris kanan dan
kiri saat statis maupun dinamis, pada palpasi fremitus vokal normal pada kedua paru, perkusi
sonor pada kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak ada ronki dan
didapatkan wheezing pada kedua paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tidak
tampak, palpasi iktus kordis teraba dua jari sebelah medial dari garis pertengahanan
klavikula kiri ruang sela iga IV, pada perkusi didapatkan batas-batas jantung yaitu batas atas:
ruang sela iga II, batas kanan: garis parasternal kanan, batas kiri : garis pertengahan
klavikula kiri, pada auskultasi didapatkan bunyi jantung pertama dan kedua tunggal, teratur,
tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan abdomen, secara inspeksi tidak terdapat
distensi, pada auskultasi bising usus positif normal, dari palpasi hepar dan lien tidak teraba.
15
Traube space timpani. Tidak terdapat nyeri tekan pada perut. Pada pemeriksaan ballotement
tidak didapatkan pembesaran ginjal. Perkusi perut didapatkan timpani, tidak ditemukan
adanya ascites, serta nyeri ketok Costo Vertebral Angle negatif.
Pada pemeriksaan fisik ekstremitas, secara inspeksi terlihat warna kulit tangan dan
kaki normal. Tidak ditemukan adanya oedem pada kedua tangan maupun kaki. Pada palpasi
didapatkan akral yang hangat pada kedua tangan dan kaki.
Pemeriksaan penunjang didapatkan:
16
Pemeriksaan 25-02-2008
WBC (K/uL)RBC (M/Ul)HGB (g/dl)HCT (%)PLT (K/uL)Neu Lym Mono Eosi
13,14,6413,639,934710,411,360,610,70
Baso 0,0
Pemeriksaan 25-02-2008BUNCreaGluASTALTUreum
10,20,88981812
21,8
17
AGD (25-02-2008)
pH 7,39 HCO3 act 19,4 mmol/l
pCO2 32 mmHg HCO3 std 21,3 mmol/l
pO2 157 mmHg BE (ect) -5,6 mmol/l
O2 sat 99% BE(B) -4,7 mmol/l
Hasil foto Rontgen Thorax PA (25 Februari 2008) didapatkan:
Po : apex bersih, infiltrate tidak ada, sudut costofrenikus tajam
Cor : CTR 48 %, pinggang jantung (+)
Kesan : Normal thorax
Dari data tersebut disimpulkan penderita dengan : Serangan asma akut pada asma
persisten sedang
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini untuk serangan asma dan
pengobatan di MRS adalah O2 2 liter/menit, nebulizer combivent @ 4 jam, aminofilin i.v 5
mg/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan IVFD drip aminofilin 1 ampul (24 mg) dalam D5% 20
tts makro/mnt, metil prednisolon injeksi 62,5 mg iv dan bromhexin 3 x C1. Pada pasien ini
direncanakan pemeriksaan Spirometri dan IgE total. Monitoring yang dilakukan pada kasus
ini adalah keluhan sesak nafas dan vital sign. Prognosis pasien ini adalah dubius ad bonam.
4. PEMBAHASAN
Menurut literatur yang ada, keluhan sesak nafas dapat disebabkan oleh kelainan paru dan di
luar paru seperti penyakit jantung, anemia berat, asites dan sebagainya. Sesak yang
disebabkan oleh penyakit jantung biasanya terjadi ketika penderita beraktivitas (dyspneu on
effort) dan membaik dengan beristirahat terutama dengan posisi setengah duduk (orthopneu).
Selain itu ada disertai dengan tanda-tanda kelainan jantung yang lainnya. Apabila sesak
dikarenakan anemia berat, sebagian besar penderita datang dengan keluhan utama sindrom
anemia dan disertai tanda-tanda anemia lainnya. Sesak yang dialami pada pasien ini
kemungkinan besar mengarah ke kelainan paru dimana penyebab sesak karena kelainan di
paru itu sendiri bisa berasal dari penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, penyakit
vaskular paru, penyakit pleura, dan penyakit dinding paru. Pada pasien ini, keluhan sesak
nafas mengarah ke kelainan pada saluran nafas karena keluhan sesak nafas pada pasien ini
18
disertai dengan adanya bunyi ‘ngik’ pada saat mengeluarkan nafas (expiratory wheezing);
dalam hal ini jelas ada penyempitan dari saluran nafas perifer yang dapat disebabkan oleh
spasme dan/atau edema dan/atau mukus atau benda asing (corpus alienum). Serangan sesak
nafas yang timbulnya mendadak dapat terjadi pada beberapa kasus antara lain asma akut dan
pneumothorak, sementara bila timbulnya secara perlahan-lahan dapat terjadi pada bronkitis
kronik serta karsinoma paru. Pada kasus ini, serangan sesak nafas yang terjadi timbulnya
secara mendadak/akut, sehingga kemungkinan besar merupakan suatu serangan asma akut.
Saat pemeriksaan sesak napas sudah tidak dikeluhkan, kemungkinan karena pasien sudah
mendapatkan pengobatan. Ini menandakan bahwa gejala pasien berespons terhadap
pengobatan.
Dari keluhan batuk dapat dipikirkan beberapa kelainan yang menyebabkan batuk
antara lain penyakit saluran nafas akut, penyakit saluran nafas kronis, penyakit parenkimal,
penyakit kardiovaskular, iritan lingkungan, benda asing, neoplasma, dan alergi. Batuk yang
dialami penderita sejak 1 bulan menandakan proses ini merupakan proses kronis ( menurut
literatur, batuk kronis berlangsung 3 minggu atau lebih ). Batuk yang tidak disertai dahak
maupun darah menandakan tidak adanya proses infeksi disana. Batuk yang dirasakan hilang
timbul dan muncul sewaktu-waktu serta lebih sering dirasakan pada malam hari dan pada
saat melakukan aktivitas. menandakan batuk dipengaruhi oleh keadaan-keadaan khusus,
seperti udara dingin dan aktivitas fisik.
Dari keluhan keluar cairan dari dari hidung dapat dipikirkan mengenai infeksi saluran
napas atas maupun rhinitis alergi. Karena cairan yang keluar berwarna putih jernih disertai
dengan gatal-gatal pada hidung maka rhinitis alergi yang menjadi kemungkinan terbesar.
Menurut kepustakaan, mayoritas pasien asma memiliki riwayat atau bukti-bukti rhinitis dan
lebih dari 30% pasien dengan rhinitis persisten akan berkembang menjadi asma. Rhinitis
dapat menjadi faktor resiko munculnya gejala asma. Rhinitis dan asma memiliki beberapa
faktor resiko yang sama seperti alergen didalam dan diluar rumah seperti debu rumah dan
kutu, serbuk bunga, dan faktor tidak spesifik seperti aspirin. Oleh karena itu, Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan dimana ada asma harus
dipikirkan kemungkinan pada pasien tersebut mengalami rhinitis.
Dari riwayat penyakit sebelumnya didapatkan bahwa penderita mulai merasakan
sesak sejak ia kecil, tetapi tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Selama dua minggu
19
sebelum masuk rumah sakit, pasien hampir setiap hari merasakan sesak napas. Keterangan
penderita ini dapat mencerminkan beratnya penyakit, dimana dalam kasus ini asma yang
diderita penderita termasuk dalam derajat asma persisten sedang.
Dari riwayat keluarga, ayah penderita menderita asma sejak kecil namun tidak
mengkonsumsi obat asma secara teratur karena dikatakan asma ayahnya tidak pernah
kambuh lagi. Data ini menunjukkan adanya riwayat atopi di keluarga penderita, dimana
riwayat atopi berperan besar terhadap terjadinya penyakit asma.
Penderita adalah seorang ibu rumah tangga, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit
pakaian. Gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja sebagai penjahit. Jika
dilihat dari lingkungan kerja penderita yang jauh dari polusi, hal ini menunjukkan bahwa
pekerjaan penderita tidak berhubungan dengan asap rokok atau polusi udara dimana
beberapa hal tersebut merupakan faktor-faktor tersering yang mencetuskan asma. Tetapi
penderita juga mengatakan gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja
sebagai penjahit, sehingga bisa dipikirkan bahwa ada faktor dari pekerjaannya yang dapat
mencetuskan asma, terutama debu. Dari jam kerja penderita dan jenis pekerjaannya dapat
dipikirkan bahwa bukan aktivitas fisik yang berlebihanlah yang mencetuskan asmanya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari anamnesis di atas yaitu adanya beberapa data
yang mengarahkan diagnosis ke asma antara lain :
Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada
Sesak nafas mendadak, disertai suara “ngiik”
Sesak nafas bersifat episodik, membaik dengan pengobatan
Gejala memburuk di malam hari
Didapatkan adanya riwayat atopi di keluarga
Kesimpulan anamnesis tersebut kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik
yang dilakukan tanggal 27 Februari 2008, dimana didapatkan kesadaran komposmentis,
tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 80 x/menit (ketika serangan asma terjadi
(25/2/2008), denyut nadi pasien 122 x / menit), Laju pernafasan 24 x/mnt (ketika serangan
asma terjadi (25/2/2008), laju pernafasan penderita 32 x/menit) reguler, ekspirasi
memanjang. Temperatur axilla 36,8°C (ketika serangan asma terjadi (25/2/2008), temperatur
axilla penderita adalah 36,8 °C), tinggi badan 155 cm, berat badan 50 kg. Hal-hal ini
20
merupakan komponen penting yang berperan dalam menentukan klasifikasi derajat serangan
asma akut.
Pada pemeriksaan paru : inspeksi didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis
maupun dinamis, pada palpasi vokal fremitus normal pada kedua paru, perkusi sonor pada
kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak dipatkan rhonki,
didapatkan wheezing pada kedua paru. Pada pemeriksaan fisik jantung, inspeksi tidak
tampak ictus cordis; palpasi teraba ictus cordis pada ruang sela iga V midclavicular line kiri;
pada perkusi didapatkan batas atas jantung pada sela iga II kiri, batas kanan pada parasternal
kanan, batas kiri pada midclavicular line kiri; pada auskultasi terdengar bunyi jantung S1S2
tunggal reguler tanpa adanya murmur. Pada pemeriksaan fisik ekstremitas didapatkan akral
yang hangat pada kedua tangan dan kaki dan tidak ditemukan adanya edema maupun
sianosis pada keempat ekstremitas.
Data yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang untuk semakin menguatkan diagnosis dan melihat apakah ada
komplikasi akibat penyakit dasar. Pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan adanya
leukositosis yaitu 13,1 K/uL. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi. Pemeriksaan kimia
darah, AGD dan rontgen toraks dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, penderita
didiagnosis dengan : Serangan asma akut pada asma persisten sedang
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini untuk serangan asma dan
pengobatan di MRS adalah O2 2 liter/menit, nebulizer combivent @ 4 jam, aminofilin i.v 5
mg/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan IVFD drip aminofilin 1 ampul (240 mg) dalam D5%
20 tts makro/mnt dan metil prednisolon injeksi 62,5 mg iv.
1. Pemberian O2 bertujuan untuk mencapai kadar saturasi oksigen ≥ 92%.
2. Pemberian nebulizer combivent telah sesuai dengan pengobatan serangan asma
berat berfungsi untuk relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan
pembersihan mukosilier, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
memodulasi pelepasan mediator sel mast dan basofil. Kombinasi dengan
ipratropium bromide adalah untuk meningkatkan respon bronkodilatasi dengan
cara memblok pelepasan asetilkolin saraf kolinergik jalan nafas.
21
3. Pada penderita asma serangan berat diberikan aminofilin bolus yang dilanjutkan
drip. Penderita ini mendapat aminofilin i.v 5 mg/kgBB (bolus). Sedangkan untuk
drip penderita mendapat dosis 1 ampul (240 mg) aminofilin dalam D5% 20 tts
makro/mnt. Dosis tersebut sudah mendekati dosis yang disarankan yaitu sebesar
0,5-0,9 mg/kgBB/jam. Aminofilin disini berfungsi sebagai bronkodilator.
4. Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma, terutama jika pemberian agonis β2 kerja singkat inhalasi pada
pengobatan awal tidak memberikan respon, serangan terjadi walau penderita
sedang dalam pengobatan, serangan asma berat. Dosis yang didapat penderita
sebesar 62,5 mg intravena, sesuai dengan analisis meta yang menunjukkan
glukokortikosteroid sistemik metil prednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg
hidrokortison atau equivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam
perawatan.
Sebagai obat pengontrol asma persisten sedang yaitu kombinasi antara inhalasi
glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2 kerja lama, ditambah
teofilin lepas lambat atau leukotriene modifiers atau glukokortikosteroid oral.
Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan Spirometri dan IgE total. Monitoring yang
dilakukan pada kasus ini adalah keluhan sesak nafas dan vital sign. Prognosis pasien ini
adalah dubius ad bonam.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et
al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
2. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2006),
Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
Ontario Canada.
3. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
4. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E.
Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2,
McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
5. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds)
Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill, Philadelphia, pp: 230-
241.
6. Rani, AA. Soegondo, S. Nasir, UAZ. Wijaya, IP. Nafrialdi. Mansjoer, A. (2006),
Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
PB PAPDI, Jakarta.
7. Gross KM, Ponte DC. New Strategies in The Medical Management in Asthma.
American Family Physician. Available at :
http://www.aafp.org/afp/980700ap/gross.html Last update: July 1st 1998. Accessed:
February 19th 2008
8. Kavuru MS, Lang DM, Erzarum SC. Asthma. Available at:
www.clevelandclinicmedical.com/medicalpubs/diseasemanagemen/asthma.htm. Last
update : March 2007. Accessed: February 18th 2008
23
9. Boushey HA. (2001), Drugs Used in Asthma, In: Katzung BG (eds), Basic and Clinical
Pharmacology, 8th ed, Lange Medical Book/McGraw-Hill, Philadelphia, pp: 333-349
10. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. (2005), Katzung&Trevor’s Pharmacology, 7th ed,
McGraw Hill, Philadelpia, pp 172-177
24