i
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT SKIMMING
PADA SEKTOR PERBANKAN
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagaimana persyaratan
untuk mencapai derajat S-1 pada
Program Studi Ilmu Hukum
OLEH:
ADINDA MARWAH HAJJANI
D1A013011
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2017
ii
Halaman Pengesahan
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT SKIMMING
PADA SEKTOR PERBANKAN
Oleh:
ADINDA MARWAH HAJJANI
D1A013011
Menyetujui
Pembimbing Pertama,
Prof.Dr. H.Zainal Asikin, SH.,SU.
NIP. 19550815 1981 04 1 001
Pembimbing Kedua,
Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, SH.,MH.
NIP. 19730624 2002 12 1 001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2017
iii
SKRIPSI INI TELAH DISEMINARKAN DAN DIUJI PADA
TANGGAL:…………………………………..
OLEH :
DEWAN PENGUJI
Ketua
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU.
NIP. 19550815 1981 04 1 001
(______________________________)
Anggota I
Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, SH., MH.
NIP. 19730624 2002 12 1 001
(______________________________)
Anggota II
Dr. H. Muhaimin, SH., M.Hum.
NIP.19761001 2001 12 1 001
(______________________________)
Mengetahui,
Fakultas Hukum Universitas Mataram
Bagian Hukum Bisnis
Budi Sutrisno, SH.,M.Hum.
NIP.19591022 198903 1 002
iv
SKRIPSI TELAH DITERIMA DAN DISAHKAN OLEH FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM PADA TANGGAL ……………………………......
Dekan,
Prof.Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum.
NIP. 19621231 198803 1 010
v
KATA PENGANTAR
.
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul, “Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa
Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan” sesuai dengan waktu yang
telah direncanakan.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki oleh
penyusun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca sangat dibutuhkan untuk kebaikan karya penyusun di masa yang
akan datang. Dalam menyelesaikan skripsi ini penyusun menyadari tidak
hanya bersandar pada kemampuan penyusun semata tetapi tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari semua pihak yang telah diberikan kepada
penyusun. Untuk itu, sudah sepantasnya memberi penghargaan dan ucapan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Mataram.
2. Bapak Budi Sutrisno, SH.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Mataram.
3. Bapak Prof. Dr. H.Zainal Asikin, SH.,SU selaku Dosen Pembimbing
pertama yang penuh kesabaran dan ketelitian membimbing penyusun
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, SH.,MH selaku Pembimbing kedua
yang telah membimbing dengan sabar, membantu dan meluangkan
waktunya sejenak dalam pemeriksaan skripsi ini.
5. Bapak Dr. H. Muhaimin, SH.,M.Hum selaku anggota tim penguji dua
(penguji netral) yang juga telah banyak memberikan nasehat dan arahan
dalam memperbaiki skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai di Fakultas Hukum Universitas
Mataram yang telah memberikan ilmu dan pelayanan terbaik kepada
seluruh mahasiswa.
7. Buat kedua orang tuaku, Ibu Al Wardah Fajriah dan Bapak Diar Ichsan
Nah, karena dengan kesabaran dan do’a keduanya sampai saat ini
penyusun tidak pernah kehilangan semangat dalam menuntut ilmu di
Fakultas Hukum Universitas Mataram. Atas jasa dan jerih payah mereka
yang tidak akan pernah bisa terbalaskan, penyusun panjatkan do’a untuk
mereka dan tidak ada satu halpun yang sangat penyusun inginkan dari
segala ikhtiar kecuali hanya untuk membahagiakan mereka dan semoga
vi
dengan ilmu yang bermanfaat yang didapat selama perkuliahan dapat
memberikan sebiris senyum kepada mereka.
8. Buat saudara kembar saya Ananda Shafa Hajjana yang selalu menemani
dan menyemangati dalam pengerjaan skripsi.
9. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Muhammad Syauqi yang telah
banyak membantu, memberikan motivasi kritik serta saran dalam
penyusunan skripsi ini.
10. Terimakasih kepada sahabat-sahabat serta teman-teman tercinta yang juga
telah memberikan banyak dukungan dan motivasi bagi penyusun hingga
dapat menyelesaikan skripsi ini,dan
11. Teman-teman KKN Tematik Universitas Mataram Desa Kuranji Dalang
tahun 2016.
Kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan,
baik berupa moril maupun materiil, serta pihak-pihak yang telah
memberikan kepercayaan dan kerja sama yang baik dengan penyusun
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu, maka penyusun
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Dengan segala kerendahan hati, akhirnya penyusun berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penyusun pribadi maupun bagi pihak-
pihak yang membutuhkan referensi atau bagi semua orang yang membaca
skripsi ini.
Mataram, April 2017
Penyusun
Adinda Marwah Hajjani
vii
RINGKASAN
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT SKIMMING
PADA SEKTOR PERBANKAN
Adinda Marwah Hajjani
Pembimbing
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH.,SU dan Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, SH.,MH
Transaksi elektronik kini telah menjadi hal umum bagi kehidupan
konsumen. Selain memberikan manfaat, memiliki ATM juga mempunyai
risiko. Salah satunya yang dapat terjadi adalah hilangnya simpanan nasabah
karena ulah para criminal dengan cara skimming. Skimming merupakan
kegiatan menggandakan data kartu nasabah secara illegal pada saat
bertransaksi menggunakan ATM. Dengan modus skimming ini informasi
yang tersimpan secara magnetis pada kartu ATM dapat terbajak kemudian
disalin pada kartu ATM kosong.
Dalam penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai perlindungan
hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM dalam sistem perbankan Indonesia
serta bagaimana penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor
perbankan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan
menganalisis isu atau permasalahan hukum melalui peraturan perundang-
undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi nasabah
pengguna kartu ATM dalam sistem perbankan Indonesia serta untuk
mengetahui penyelesaian sengketa akibat kejahatan skimming pada sektor
perbankan.
Berdasarkan hasil penelitian, adapun kesimpulan pertama,
perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM yang bermasalah
adalah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yaitu
mencegah terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah terhadap pelayanan
jasa perbankan dan mendapatkan pembelaan hukum atas kerugian yang telah
diderita oleh nasabah. Kedua, penyelesaian sengketa akibat skimming pada
sektor perbankan ditempuh melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi.
Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi yaitu bank bertanggung jawab
terhadap pengembalian dana nasabah yang hilang akibat skimming dengan
melakukan mediasi untuk penyelesaian sengketa secara sederhana, murah dan
viii
cepat. Sedangkan apabila nasabah tidak puas dengan ganti kerugian akibat
skimming tersebut nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan.
Adapun saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan
penelitian ini adalah agar nasabah lebih waspada dan berhati-hati dalam
melakukan transaksi di mesin ATM serta selalu melakukan penggantian
nomor PIN ATM secara berkala untuk meminimalisir kemungkinan resiko
menjadi korban penggandaan kartu ATM.
ix
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT SKIMMING
PADA SEKTOR PERBANKAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi nasabah
pengguna kartu ATM dalam sistem perbankan Indonesia serta untuk mengetahui
penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif. Disimpulkan bahwa, perlindungan hukum
bagi nasabah pengguna kartu ATM yang bermasalah adalah berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
Penyelesaian sengketa akibat skimming dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi
dan litigasi
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Nasabah, Skimming
JURIDICAL ANALYSIS OF THE DISPUTE RESOLUTION FOR BANK
ACCOUNT SKIMMING CASES IN BANKING SECTOR
ABSTRACT
This research has purposed to discover the legal protection for a customers which is
using ATM card in Indonesia banking systems and to discover the dispute resolution
against skimming system in banking sector. This research used normative research
method. The conclusion from this study that is the legal protection for customers who
is using ATM cards is based Act Number 8 of 1999 concerning Customer Protections
and Act Number 21 of 1999 concerning Financial Services Authority especially on
The regulation of Financial Services Authority Number 1/POJK.07/2013 concerning
Customers Legal Protection on Financial Services. The dispute resolutions for
skimming system problems can be resolved by litigation and non litigation.
Keywords: Legal Protection, Customers, Skimming
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN DEWAN PENGUJI DAN KETUA BAGIAN ..... iii
LEMBAR PENGESAHAN DEKAN ........................................................................ iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
RINGKASAN ................................................................................................................. vii
ABSTRAK ....................................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 7
D. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Bank ............................................................. 9
1. Pengertian Bank ........................................................................ 9
2. Fungsi dan Tujuan Bank .......................................................... 10
3. Tanggung Jawab Bank ............................................................. 12
4. ATM (Anjungan Tunai Mandiri) Sebagai Produk Bank ....... 13
B. Tinjauan Umum Tentang Nasabah Penyimpan Dana .......................... 14
1. Pengertian Nasabah .................................................................. 14
2. Nasabah Penyimpan Dana ....................................................... 15
3. Hubungan Hukum Nasabah dan Bank .................................... 18
C. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming
Pada Sektor Perbankan .......................................................................... 20
xi
1. Pengertian Card Skimming Pada Kartu ATM ....................... 20
2. Pengertian Sengketa ................................................................. 20
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitan ................................................................................. 23
B. Metode Pendekatan .................................................................... 23
C. Sumber dan Jenis Bahan Hukum ..................................................... 24
D. Teknik dan Sumber Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 25
E. Analisis Bahan Hukum ............................................................... 25
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Pengguna Kartu ATM Dalam
Sistem Hukum Perbankan Indonesia .................................................. 26
1. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan .................................... 27
2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ............... 30
3. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Menurut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ............... 33
B. Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan ............... 35
1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ........................................ 37
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan ....................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 65
B. Saran ........................................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu hal yang ikut serta menunjang keberhasilan pembangunan
ekonomi adalah stabilnya sektor perbankan. Sektor perbankan merupakan
jantung dalam sistem perekonomian sebuah Negara dan sebagai alat dalam
melaksanakan kebijakan moneter.
Berdasarkan fungsi dasarnya sebagai penghimpun dana juga
penyalur atas dana, maka bank akan selalu berkepentingan dengan pihak-
pihak yang kelebihan dana dan juga pihak-pihak yang kekurangan atau
membutuhkan dana, yang sering disebut kreditur. Dalam aktifitasnya, bank
akan dihadapkan dengan berbagai permasalahan seputar fungsi dasar
perbankan.
Hubungan bank sebagai penyedia jasa perbankan bagi masyarakat
dan nasabah sebagai konsumen atau pelanggan sering menimbulkan
masalah bagi kedua belah pihak. Hubungan antara bank dan nasabah
didasarkan pada 2 (dua) unsur yang saling terkait yaitu hukum dan
kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan
mengembangkan banknya apabila masyarakat menaruh kepercayaan
untuk menempatkan uangnya melalui produk perbankan yang
ditawarkan oleh bank tersebut berdasarkan kepercayaan masyarakat
tersebut, bank dapat memodalisir dana dari masyarakat untuk
ditempatkan di banknya, dan bank akan dapat memberikan jasa-jasa
perbankan.1
Persoalan disektor jasa keuangan menjadi kasus aduan masyarakat
paling dominan. Kedepan, persoalannya bisa makin banyak serta beragam
1 Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjuan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia
Dewasa Ini), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hlm.34
2
seiring dengan meningkatnya kegiatan transaksi perdagangan yang linier
dengan pengguna jasa keuangan.
Transaksi elektronik kini telah menjadi hal umum dalam kehidupan
di hampir setiap harinya. Dengan ATM, nasabah bisa melakukan transaksi
keuangan dengan mudah hingga memberikan suatu nilai tersendiri bagi
nasabah yaitu nilai kepuasan terhadap layanan yang diberikan bank.
Semua dimaksudkan untuk kemudahan nasabah dalam bertransaksi
karena dengan metode transaksi elektronik ini, nasabah tidak perlu membawa
uang tunai yang notabene memiliki resiko kejahatan.
Pelayan terbaik merupakan peran penting bank terhadap nasabah,
namun dewasa ini kejahatan bank banyak terjadi yaitu salah satunya kejahatan
Anjungan Tunai Mandiri (ATM).2
Hal ini telah meresahkan nasabah, karena telah memakan banyak
kerugian akibat kejahatan card skimming. Card skimming merupakan kegiatan
menggandakan data kartu nasabah karena pada saat bertransaksi menggunakan
mesin ATM telah terpasang alat skimmer di depan mulut card reader.
Belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan
terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya
pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Berdasarkan dasar perlindungan konsumen diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 1/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013
2Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.120
3
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Pasal 1 angka (2)
menjelaskan bahwa:
“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa
Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar
Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana
Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan”.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
“Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen
dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan”.
Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, mencantumkan
bahwa perlindungan konsumen menerapkan prinsip:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/ informasi Konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Berdasarkan Pasal tersebut di atas terlihat bahwa perlindungan
konsumen sangat penting untuk kita perhatikan bersama, bukan hanya
masyarakat saja selaku konsumen yang mendapatkan perlindungan, namun
pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban.
Sejalan dengan hal tersebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa Otoritas
Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
4
sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel
dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun
masyarakat.
Perlindungan konsumen menjadi sangat penting karena kebutuhan
dan semakin tergantungnya masyarakat terhadap penggunaan Automatic
Teller Machine (ATM), telah melahirkan kejahatan-kejahatan dengan bentuk
yang baru, salah satunya adalah pembobolan rekening nasabah melalui ATM.
Kejahatan ini sangat meresahkan masyarakat khususnya nasabah dan telah
menimbulkan kerugian yang besar bagi nasabah yang menjadi korban
pembobolan rekening nasabah melalui ATM.
Dalam dunia perbankan, keamanan bertransaksi menjadi jaminan bagi
setiap nasabah. Hal ini dikarenakan kedudukan pihak nasabah sebagai
konsumen dan pihak bank sebagai pelaku usaha menjadikan bank harus
bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami nasabahnya, hal ini dapat
terjadi karena bank kurang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-
hatian, dan kurang memiliki pengawasan internal yang cukup untuk
kompleksitas kegiatan usahanya.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, dalam Pasal 29 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa:
“Untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian bagi transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank”.
5
Pada Pasal tersebut tidak terlihat mengenai perlindungan hukum
terhadap nasabah bank. Jika dilihat dalam penjelasan Pasal tersebut tidak
terdapat penjelasan dan pengertian secara menyeluruh mengenai apa dan
bagaimana perlindungan kepentingan nasabah yang dirugikan akibat
pengguanaan jasa bank dalam kegiatan transaksi nasabah.
Jika dilihat berdasarkan pengertiannya nasabah bank pengguna kartu
ATM adalah konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen
mengenai pengertian “konsumen” yaitu “setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Selain itu, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan mengenai hak-hak konsumen
yaitu :3
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa;
2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan
atau jasa yang digunakan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
serta jaminan yang barang dan atau jasa;
4. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
5. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
6. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
3Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm.31
6
7. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Sejalan dengan hal tersebut, apabila terjadi masalah dalam
penggunaan kartu ATM sehingga mengakibatkan kerugian yang dalam hal
bukan dikarenakan kesalahan dari nasabah maka pihak bank wajib mengganti
kerugian sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 7 huruf f dan
huruf g yang menyebutkan bahwa :
“Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan dan memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
Selain itu juga terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
perdagangkan”.
Masalah yang terjadi pada umumnya adalah masyarakat tidak
mengetahui tanggung jawab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Masyarakat juga pada
umumnya tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagai nasabah apabila
terjadi masalah dalam penggunaan kartu ATM. Kurangnya sosialisasi
terhadap aturan-aturan hukum yang terjadi jika dilihat pada masalah yang ada
dalam nasabah sehingga masyarakat tidak memahami perlindungan hukum
apabila masyarakat mengalami kerugian terutama masalah kartu ATM dan
7
penyelesaian masalah yang dihadapi nasabah dalam pengguna kartu ATM,
karena para pihak tidak selamanya selalu merujuk pada peradilan tetapi pihak
juga dapat diselesaikan diluar peradilan.
Berdasarkan uraian diatas maka penyusun terdorong untuk
mengakaji lebih lanjut mengenai “Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa
Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan”. Dan penyusun juga ingin
mengkaji upaya-upaya dalam penyelesaian sengketa didalam sektor keuangan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dikaji yaitu:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM
dalam sistem hukum perbankan Indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor
perbankan?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah
penguna kartu ATM dalam sistem hukum perbankan Indonesia
b. Untuk mengkaji dan menganalisis penyelesaian sengketa akibat
skimming pada sektor perbankan
8
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Dapat mengetahui perlindungan hukum bagi nasabah penguna kartu
ATM dalam sistem hukum perbankan Indonesia dan penyelesaian
sengketa akibat skimming pada sektor perbankan.
b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi tambahan materi bagi para
pembacanya, baik masyarakat pada umumnya maupun para akademisi
pada khususnya, yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proses
penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan.
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Untuk menghindari penyimpangan serta pembiasan dari pokok
permasalahan, maka perlu diberikan batasan batasan mengenai ruang lingkup
permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup dari penelitian ini
adalah mengenai “Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Akibat
Skimming Pada Sektor Perbankan”.
9
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perbankan
1. Pengertian Bank
Apabila ditelusuri sejarah dari terminologi “Bank”, maka
ditemukan bahwa kata bank berasal dari kata Italia “Banca” yang
berarti bance, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sejak pada masa
zaman pertengahan, pihak bangkir Itali yang memberikan
pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk
di bangku-bangku halaman pasar.4
Pengertian bank umum menurut Pasal 1 butir (2) Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998, Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan menurut G. M. Verryn Stuart di dalam bukunya Bank
Politik mengatakan bahwa: “bank adalah suatu badan yang
bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-
alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari
orang lain, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat
penukar uang berupa uang giral”.5
Berdasarkan pengertian diatas terlihat bahwa bank didirikan
dalam bentuk badan usaha. Hal ini terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang
menentukan bentuk hukum bank, yaitu perusahaan persero, perusahaan
daerah, koperasi, dan perseroan terbatas. Bank dalam menjalankan
4
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993, hlm.80
5Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.10
10
aktivitasnya harus selalu mengacu kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengenai tentang perbankan. Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang membagi bank
dalam dua jenis yaitu, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank
Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk
hukum Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan
Perusahaan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka telah jelas suatu
bank haruslah didirikan dalam bentuk badan hukum dan tidak boleh
berbentuk usaha perseorangan.
2. Fungsi dan Tujuan Bank
Peran Perbankan Nasional dalam membangun ekonomi
kerakyatan perbankan merupakan salah satu sektor yang dihadapkan
berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional atau
regional.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur tentang
fungsi perbankan, yaitu dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
“Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun
dan penyalur dana masyarakat”.
Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-
pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak
kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds).
11
Selain tugas yang tercantum dalam Pasal tersebut di atas, di
Indonesia Lembaga Keuangan bank memiliki misi dan fungsi
khusus selain fungsi yang lazim seperti apa yang telah diuraikan
di atas. Bank diarahkan untuk berperan sebagai agen
pembangunan ( agent of development ), yaitu sebagai lembaga
yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Hal tersebut menunjukan
bahwa perbankan di Indonesia selain memiliki tugas-tugas
tradisional, yaitu menghimpun dana dan memberikan kredit, juga
dapat berfungsi untuk menjaga kestabilan moneter.6
Menurut Thomas Suyatno, tugas pokok bank adalah membantu
pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, serta mendorong kelancaran produksi dan
pembangunan dalam memperluas kesempatan kerja, guna
meningkatkan taraf hidup.7 Dengan demikian terlihat bahwa
fungsi perbankan tidak hanya sekadar sebagai wadah
penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau perantara
penabung dan investor, tetapi fungsinya akan diarahkan kepada
peningkatan taraf hidup rakyat banyak, agar masyarakat menjadi
lebih baik dan sejahtera dari pada sebelumnya.8
Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan menyebutkan bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak”.
6H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005, hlm.14
7Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996,
hlm.207 8Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia,
2011, hlm. 43
12
3. Tanggung Jawab Bank
Dalam bahasa Inggris, kata tanggung jawab digunakan dalam
beberapa kata, yaitu liability, responsibility, dan accountability.9
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia mengartikan liability adalah
pertanggungjawaban, sedangkan responsibility adalah
pertanggungan jawab atau tanggung jawab, dan accountability
adalah keadaan untuk dipertanggung jawabkan atau keadaan
dapat dimintai pertanggung jawab.10
Pengertian tanggung jawab
dalam Kamus Umum Bahasa Besar Indonesia adalah keadaan
dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga
berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan menjelaskan bahwa bank harus memberikan infomasi
kemungkinan timbulnya risiko kerugian transaksi nasabanya dalam
kegiatan usaha bank tersebut. Selain itu dalam Pasal 37B Undang-Undang
Perbankan menjelaskan bahwa setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan dalam bank tersebut.
Masalah tanggung jawab perdata atas kelalaian atau kesalahan
yang terjadi pada bank dapat dihubungkan dengan kepengurusan
bank tersebut. Pengurus bank yaitu pihak yang bertindak
mewakili badan hukum bank tersebut berdasarkan ketentuan
aggaran dasar perusahaan. Dengan demikian tanggung jawab
pengurus terhadap perbuatannya menjadi dua bentuk yakni
tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab perusahaan.
Tanggung jawab pribadi ada apabila si pengurus bertindak di luar
kewenangan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar
perusahaan sewaktu pemberian kuasa perwakilan tersebut. Tetapi
apabila perbuatan pengurus masih dalam pelaksanaan dan
wewenang yang tertuang dalam anggaran dasar perusahaan maka
itu merupakan tanggung jawab perusahaan.11
9Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm.95 10
Ibid, hlm.128. 11
Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Nusa Media, Bandung,
2012, hlm.125
13
4. ATM (Anjungan Tunai Mandiri) Sebagai Produk Bank
ATM (bahasa Indonesia: Anjungan Tunai Mandiri atau dalam
bahasa Inggris: Automated Teller Machine) adalah sebuah alat elektronik
yang mengijinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan mengecek
rekening tabungan mereka tanpa perlu dilayani oleh seorang "teller"
manusia.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan kartu
menyebutkan bahwa pengertian kartu ATM sendiri adalah APMK yang
dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan
dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan
mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau
lembaga selain bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
ATM merupakan mesin dengan sistem komputer yang diaktifkan
dengan kartu magnetik bank yang berkode atau bersandi; melalui mesin
tersebut nasabah dapat menabung, mengambil uang tunai, transfer dana
antar-rekening, dan transaksi rutin; ATM dipasang secara nasional ataupun
internasional sehingga memudahkan nasabah mendapatkan uang tunai dari
ATM di negara tempat nasabah berada dengan menggunakan kode atau
sandi ATM yang diterbitkan oleh bank yang bersangkutan dan nomor jati
diri nasabah. Menggunakan ATM, pelanggan dapat mengakses akun bank
mereka untuk membuat penarikan, uang tunai melalui kartu debit, dan
14
memeriksa saldo rekening mereka serta membeli kredit ponsel prabayar.
ATM sering ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, seperti restoran, pusat
perbelanjaan, bandar udara, pasar, dan kantor-kantor bank itu sendiri.
Pemegang Kartu ATM wajib menjaga kerahasiaan PIN (Personal
Identification Number) ATM-nya kepada orang lain dan harus
menyimpannya dengan hati-hati untuk mencegah PIN ATM
tersebut diketahui orang lain. Dalam hal PIN ATM diberitahukan
kepada atau diketahui oleh pihak lain, Pemegang kartu harus
segera merubah PIN ATM-nya.12
Selain itu pemegang kartu ATM juga memiliki hak-hak, yaitu
Pemegang Kartu ATM berhak menerima catatan atas seluruh
transaksi yang telah dilakukan dengan menggunakan Kartu, dan
catatan tersebut merupakan bukti yang bersifat final dan
mengikat bagi Pemegang Kartu namun demikian tidak
menghalangi Bank untuk dari waktu ke waktu melakukan koreksi
atas catatan Bank tersebut. Apabila Pemegang Kartu
mempersoalkan transaksi tertentu, Pemegang Kartu memahami
bahwa Bank dengan pertimbangannya sendiri berhak sepenuhnya
baik untuk tidak mengkreditkan ataupun untuk
mengkreditkannya kembali terlebih dahulu ke rekening
Pemegang Kartu sejumlah dana sesuai dengan transaksi yang
dipersoalkan.13
B. Tinjauan Umum Tentang Nasabah Penyimpan Dana
1. Pengertian Nasabah
Pada lembaga perbankan, nasabah memiliki peran penting.
Nasabah bagai nafas yang menentukan apakah siklus perbankan tetap
berlanjut atau tidak. Undang-Undang Perbankan secara singkat
merumuskan bahwa “nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005, pengertian
nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang
12
www.citybank.co.id, Diakses Pada Tanggal 11 Februari 2017, Pukul 09.00 Wita 13
Ibid
15
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan
transaksi keuangan.
Pengertian nasabah terdapat pada Pasal 1 Angka (15) Undang-
Undang Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa Konsumen
adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan
pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah
pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pengertian nasabah juga diatur dalam Pasal 1 ayat (16) Undang-
Undang Perbankan menyebutkan rumusan nasabah yaitu, sebagai pihak
yang menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada butir
berikutnya, yaitu sebagai berikut:
a. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan
dananya di Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
b. Nasabah peminjam (debitur)
2. Nasabah Penyimpan Dana
Nasabah dalam Perbankan, setiap orang yang memiliki rekening
dalam suatu bank, orang yang menggunakan jasa penyimpanan
benda pada bank dan termasuk juga pengiriman rekening antar
bank, seperti letter of credit, melakukan permohonan kredit
untuk kepentingan nasabah. Nasabah atau customer suatu pihak
orang atau perusahaan yang mengatakan deposito atau memiliki
rekening Koran atau hal-hal serupa lainnya pada sebuah bank
istilah untuk ini lebih tepat “Nasabah”.14
14Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi: Uang dan Bank, PT.Rineka Cipta, Jakarta,
2007, hlm 74
16
Atas pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap orang
maupun perusahaan yang bertransaksi dengan bank yang menjadikan bank
tersebut untuk menempatkan dananya atau memanfaatkan jasa-jasa
layanan yang dimiliki oleh bank adalah merupakan nasabah bank.
Sedangkan ada dua masalah dominan yang sering dikeluhkan
konsumen jasa perbankan. Pertama, pengaduan soal produk
perbankan, seperti ATM (Automatic Teller Machine), Kartu
Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan
produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk
perbankan. Kedua, pengaduan soal cara kerja petugas yang tidak
simpatik dan kurang professional khususnya petugas service
point, seperti teller, customer service, dan satpam.15
Dalam Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Perbankan
menyebutkan bahwa Nasabah penyimpan merupakan nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Nasabah Penyimpan
menempatkan dananya pada bank dalam bentuk simpanan. Simpanan
adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat
Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
Berdasarkan Pada Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen menyebutkan bahwa Nasabah
berhak mendapatkan perlindungan atas tabungan atau rekening yang
disimpan pada suatu bank. Selain itu pada Pasal 29 ayat (4) menjelaskan
15Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm.19-20
17
bahwa nasabah berhak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melaui bank dan nasabah juga berhak
mendapatkan ganti kerugian atas dana atau rekening yang hilang atau
dicuri dari pihak bank pemegang hak simpanan.
Karena ada kaitan antara kepentingan nasabah penyimpan dana
dan bank, para penyimpan dana perlu mengetahui jumlah
simpanannya di bank dari waktu ke waktu. Hal tersebut antara
lain dapat diketahui melalui neraca dan perhitungan laba/rugi
dari bank tersebut. Kewajiban memenuhi untuk mengumumkan
neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan tersebut sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Perbankan yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Pada hakekatnya prinsip keterbukaan dalam
kegiatan usaha perbankan merupakan salah satu cara untuk
memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dana.16
Dalam dunia perbankan pihak nasabah merupakan unsur yang
sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada
kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.17
Karena itu pemerintah
harus melindungi masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum pegawai
bank atau pihak ketiga di luar bank yang tidak bertanggung jawab.
Besarnya risiko yang dapat terjadi apabila menurunnya kepercayaan
masyarakat pada lembaga perbankan, maka perlindungan hukum dalam
jasa perbankan perlu mendapatkan perhatian khusus.
3. Hubungan Hukum Nasabah dan Bank
Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai
perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum
(rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh Van Dunne
16
Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Justice Publisher, Bandar Lampung, 2014, hlm. 75 17
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm.282.
18
yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum
merupakan teori klasik atau teori konvensional.18
Hubungan antara nasabah dan bank didasarkan pada dua unsur
yang paling terkait, yakni hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa
melakukan kegiatan dan mengembangkan bank, apabila masyarakat
percaya untuk menyimpan uangnya pada produk-produk perbankan yang
ada pada bank tersebut.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat
memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan
bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.19
Hubungan yang timbul di antara nasabah, meliputi:20
a. Kepercayaan (fiduciary relation) berarti bank berkedudukan
sebagai bagian dari sistem moneter yang terpercaya.
b. Kerahasiaan (confidential relation) artinya ada keterikatan
bank terhadap kewajiban menyimpan rahasia bank yang
diperlukan untuk kepentingan bank sendiri demi menjaga
kepercayaan nasabah penyimpan.
c. Kehati-hatian (prudential relation) artinya bank tidak
mempunyai kebebasan mutlak untuk menggunakan uang
simpanan nasabah, artinya harus terjamin kepastian bahwa
bank nantinya akan mampu membayar kembali dana
masyarakat yang disimpan.
Subsistem hukum perdata, fungsi perbankan melalui
hubungan hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada
pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum tersebut dapat
dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, hubungan
hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut
perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank
dengan nasabah debitur disebut perjanjian kredit bank.21
18Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,
PT.Alumni, Bandung, 2003, hlm.5
19
Ronny Sautama Hotma Bako, Op.Cit., hlm 32
20
Ibid hlm.40
21Tan Kamello, Op.Cit., hlm.7
19
Menurut bentuknya, hubungan hukum nasabah dengan bank
dapat dibagi menjadi:
a. Hubungan Kontraktual
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan
nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir
terhadap semua nasabah baik nasabah debitur, nasabah
deposan, ataupun nasabah nondebitur-nondeposan.22
Basis
hubungan hukum antara bank dan para nasabahnya adalah
hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini terjadi pada
saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan pihak bank,
setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti nasabah
membuka rekening tabungan, deposito, dan produk
perbankan lainnya.23
b. Hubungan Nonkontraktual
Selain hubungan kontraktual seperti yang telah disebutkan di
atas maka berikut ini kita akan lihat apakah ada hubungan
hukum yang lain antara pihak bank dan pihak nasabah,
terutama antara nasabah deposan dan nasabah nondeposan-
nondebitur.24
Ada 6 (enam) jenis hubungan hukum antara bank dan nasabah
selain dari hubungan kontraktual sebagaimana disebutkan di atas, yaitu:25
a. Hubungan Fidusia (Fiduciary Relation)
b. Hubungan Konfidensial,
c. Hubungan Bailor-Bailee,
d. Hubungan Principal-Agent,
e. Hubungan Morgagor-Mortagagee, dan
f. Hubungan Trustee-Benefciary
22
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm.100
23Ronny Sautama Hotma, Op.Cit., hlm.33
24
Munir Fuady, Op.Cit., hlm.102 25
Ibid
20
C. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming Pada
Sektor Perbankan
1. Pengertian Card Skimming Pada Kartu ATM
Selain memberikan manfaat, memiliki ATM juga memiliki
resiko. Salah satu resiko yang dapat terjadi adalah hilangnya
simpanan nasabah karena ulah para kriminal dengan cara
kejahatan teknologi skimming. Pengertian Card Skimming
adalah menggandakan data kartu nasabah pada saat trasnsaksi di
ATM karena telah terpasang alat skimmer di depan card reader.
Dengan modus skimming ini informasi yang tersimpan secara
magnetis pada kartu ATM dapat dibajak melalui perangkat
khusus yang ditempatkan dimulut kartu ATM yang kemudian
disalin pada kartu duplikat. Setelah itu, kartu dibuat
duplikatnya.26
Setelah itu para pelaku kejahatan menggunakan kartu duplikat
tersebut untuk melakukan transaksi di mesin ATM.
2. Pengertian Sengketa
Sengketa atau konflik dapat berasal dari berbagai sumber
pemicu. Istilah konflik berasal dari bahasa Inggris conflict dan
dispute yang berarti ‘perselisihan’, ‘percekcokan’, atau
‘pertentangan’. Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu
terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik muncul karena
adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat
dikomunikasikan dengan baik. Konflik nyaris tak dapat
terpisahkan dari setiap individu baik terhadap dirinya sendiri
maupun dengan orang lain.27
Sengketa dalam pengertian yang luas (termasuk perbedaan
pendapat, perselisihan, ataupun konflik) adalah hal yang lumrah dalam
kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih
berinteraksi pada suatu peristiwa dan mereka memiliki presepsi,
kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa tersebut.
26
Pulo Siregar, Resiko Kartu ATM (Manfaat dan Tips Aman Bertransaksi Dengan Kartu
ATM), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010, hlm 47.
27
Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa Konsumen,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2014, hlm.33
21
Sengketa juga merupakan suatu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut
menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi
menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan
dengan sengketa.
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau
pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada
dengan itu Winardi mengemukakan: “Pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok
yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas
suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain”. Sedangkan menurut Ali Achmad
berpendapat: “Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya”.28
Dari kedua pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa
sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang
dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi
hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Perlu diketahui bahwa sengketa muncul dikarenakan berbagai
alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya
Conflict of Interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara
para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau
perdagangan dinamakan sengketa ekonomi.
28
http://nevacipid.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-sengketa.html?m=I, Diakses Pada
Hari Senin Tanggal 26 Desember 2016 Pukul 20.59 Wita
22
Apabila para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan
baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun bila terjadi
sebaliknya para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang
timbul.29
Sengketa keuangan biasanya ditafsirkan sebagai sebuah problem
yang terjadi dalam ranah perekonomian sebuah Negara, secara khusus
sengketa keuangan diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan
yang terjadi berkaitan masalah-masalah keuangan.
29
Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm.273
23
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang
sangat penting karena dapat dipergunakan guna mempermudah dalam
mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti.
Sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan hasil penelitian
yang diharapkan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
penelitian normatif dengan mengkaji bahan hukum termasuk di dalamnya
asas-asas hukum, norma-norma hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli
dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalah yang diteliti.
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk
meneliti norma-norma hukum yang terkandung didalamnya terkait satu
sama lain secara logis, dan apakah norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada
kekurangan hukum dan apakah proses norma-norma hukum tersebut
tersusun secara hierarkis.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengkaji teori, pendapat para ahli yang ada kaitannya
dengan permasalan yang dikaji dan beranjak dari Perundang-undangan dan
24
doktrin-doktrin dalam ilmu hukum sehingga melahirkan pengertian,
konsep, dan asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi.
Dimana pemahaman dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut akan menjadi sandaran penyusun untuk membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.
3. Sumber Dan Jenis Bahan Hukum
Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan adalah :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti seperti:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yaitu :
1) Buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini
2) Pendapat para ahli/doktrin
3) Karya tulis/jurnal
4) Istilah hukum yaitu istilah yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sakunder,
seperti kamus, ensiklopedia.30
30
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2012, hlm. 32.
25
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan, alat
pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumentasi, yaitu
teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara menghimpun dan mengkaji
data kepustakaan yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan, literatur-
literatur serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pokok permasalahan
yang ada. Studi dokumen yang dilakukan meliputi bahan hukum primer dan
sekunder yang memiliki keterkaitan dengan pokok permasalahan dari
penelitian ini.
5. Analisa Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh yaitu peraturan perundang-
undangan dan literatur yang dimaksud, diuraikan secara sistematis dan logis
guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun cara analisis
bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum menjadi khusus sehingga dapat
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Pengguna Kartu ATM Dalam
Sistem Hukum Perbankan Indonesia
Suatu hal yang wajar apabila kepentingan nasabah terhadap bank
memperoleh pelindungan hukum. Hal ini dikarenakan nasabah pengguna kartu
ATM akan mengalami berbagai masalah terkait dengan penggunaan jasa
perbankan. Selain itu, kepercayaan merupakan inti perbankan sehingga bank
harus menjaganya. Di tataran Undang-Undang maupun Peraturan Bank
Indonesia terdapat pengaturan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada
perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi
nasabah.
Perlindungan hukum bagi nasabah dapat dilakukan dengan 2 (dua)
cara yaitu : 31
1. Perlindungan tidak langsung, yaitu perlindungan hukum yang
diberikan kepada nasabah terhadap semua resiko kerugian yang
mungkin timbul akibat suatu kebijaksanaan atau kegiatan usaha
bank.
2. Perlindungan langsung, yaitu perlindungan secara langsung
terhadap nasabah terhadap kemungkinan resiko kerugian yang
timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Selain itu, Undang-undang memberikan perlindungan hukum bagi
orang yang dirugikan dengan menuntut pihak yang menyebabkan kerugian
tersebut untuk memberikan ganti rugi atas apa yang telah diperbuatnya.
Dengan demikian bank harus memberikan ganti rugi kepada nasabah
31 Hermansyah, Op.Cit., hlm.154
27
pengguna kartu ATM yang merasa dirugikan akibat kesalahan dari pelayanan
jasa Perbankan.
Melihat begitu besarnya resiko yang dapat terjadi kepada nasabah
pengguna ATM, maka diperlukan suatu regulasi atau perhatian khusus untuk
melindungi kepentingan nasabah. Seiring dengan kajian yang penyusun
lakukan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
tidak mengatur secara eksplisit tentang perlindungan penggunaan pelayanan
jasa Perbankan termasuk penggunaan ATM. Namun, dalam rangka usaha
untuk melindungi konsumen, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Maka berdasarkan hal tersebut diatas, dalam mengkaji perlindungan
hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM dalam sistem hukum perbankan
Indonesia penyusun akan menjabarkannya dalam pembahasan di bawah ini
melalui perlindungan hukum bagi nasabah menurut Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
1. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 secara eksplisit
memberikan perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan bahwa
simpanannya dijamin oleh bank melalui pembentukan lembaga penjamin
simpanan masyarakat yang bersifat permanen, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
28
Rumusan Pasal 37 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998:
1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada
bank yang bersangkutan.
2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) berbentuk badan hukum Indonesia.
4) Ketentuan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga
Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan badan hukum
yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga yang independen,
transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang
disimpan dalam bank yang bersangkutan. Amanat tersebut telah
direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin
simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas,
LPS mempunyai wewenang:32
1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan;
2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank
pertama kali menjadi peserta;
32
Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan.
29
3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS;
4. Mendapatkan data simpanan nasabah,data kesehatan bank,
laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank
sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank;
5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas
data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan
keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank;
6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran
klaim;
7. Menunjuk, menguasakan, dan atau menugaskan pihak lain
untuk bertindak bagi kepentingan dan atau atas nama LPS,
guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang
penjaminan simpanan; dan
9. Menjatuhkan sanksi administratif.
Adapun kewenangan LPS lainnya meliputi penjaminan simpanan
(deposit guarantee) dan upaya meningkatkan kepercayaan nasabah
penyimpan terhadap bank yang memang sangat diperlukan stabilitas
sistem perbankan.33
Kewenangan yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
tersebut dimaksudkan agar dengan dilakukannya pengambilan
segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan
wewenang RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan
kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh Lembaga
Pengawasan Perbankan (untuk saat ini oleh Bank Indonesia).
Kewenangan melakukan pemberesan aset dan kewajiban
dimaksudkan untuk memaksimalkan pengembalian (recovery)
dana penjaminan. Di samping itu, dengan kewenangan yang
sama LPS dapat melakukan pengelolaan dan pengurusan bank
yang diputuskan untuk diselamatkan.34
Berdasarkan hal tersebut di atas, LPS melakukan perlindungan
langsung terhadap nasabah manakala bank tempat nasabah menyimpan
mengalami kegagalan, maka LPS akan mengganti dana tersebut.
33
Rizal Ramadhani, Likuidasi Terhadap Bank Yang Berbentuk Hukum Perusahaan
Daerah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 3, Desember 2006,
hlm 25 34
Ibid, hlm 139
30
2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan pembahasan di atas, nasabah bank pengguna kartu
ATM merupakan konsumen jasa perbankan. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998
tentang Perlindungan Konsumen mengenai pengertian “konsumen” yaitu:
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lainnya, dan tidak untuk
diperdagangkan”
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjabarkan tentang Asas-
asas perlindungan konsumen yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha
dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
31
Perlindungan hukum bagi nasabah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dapat dilihat dalam
Pasal 7 huruf f yang menyebutkan bahwa memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Sejalan dengan
hal tersebut dalam Pasal 7 huruf g menyebutkan bahwa memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila terjadi masalah dalam
penggunaan kartu ATM sehingga mengakibatkan kerugian yang dalam hal
bukan dikarenakan kesalahan dari nasabah maka pihak bank wajib
mengganti kerugian yang dialami oleh nasabah.
Selain itu juga terdapat Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”.
Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya.
Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung
jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya.
Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila
32
kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha
dimintai pertanggungjawaban.
3. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa
keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana,
perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi yang sudah
harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor
keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus
dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung
keberadaan OJK tersebut.35
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan:
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat dengan
OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”
Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti
industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan
pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.36
Pasal 4 Undang-Undang OJK menyebutkan bahwa Otoritas Jasa
Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa
keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan
35
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, (Kementerian Hukum
dan HAMRI, 2011), hlm.44 36
Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2016, hlm.49
33
yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat.
Perlindungan konsumen yang diberikan OJK dianggap penting
mengingat begitu kompleknya aktifitas dalam sektor jasa keuangan.
Perlindungan konsumen yang difasilitasi OJK dapat berupa tindakan
pencegahan kerugian konsumen, pelayanan pengaduan konsumen dan
pembelaan hukum.
Alasan lainnya yang menjadi dasar untuk pembentukan OJK,
yaitu adanya amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali
diubah yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana
pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan,
serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat. Dengan terbentuknya satu lembaga yang terpadu,
independen, dan akuntabel tersebut, diharapkan kegiatan sektor
jasa keuangan mampu mewujudkan perekonomian nasional yang
mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, serta akuntabel.37
Setelah diberlakukannya Undang-Undang OJK, tugas pengaturan
dan pengawasan bank yang sebelumnya menjadi kewenangan Bank
Indonesia akan beralih menjadi kewenangan OJK. Menurut Pasal 6
Undang-Undang OJK dirumuskan bahwa OJK melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap:38
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
37 Muhamad Djumhana, Op.Cit., hlm.39
38
Uswatun Hasanah, Op.Cit., hlm.111
34
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian
konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan
konsumen, tindakan perlindungan dengan melakukan pembelaan
dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti rugi. Dengan
demikian, kewenangan OJK dalam perlindungan konsumen
meliputi 2 hal yaitu mencegah terjadinya kerugian konsumen jasa
keuangan nasabah yaitu perlindungan yang dilakukan sebelum
melakukan transaksi (perlindungan pra-transaksi) dan melakukan
tindakan pembelaan hukum atas kerugian yang diderita oleh
nasabah (perlindungan pasca-transaksi).39
Dari ketentuan tersebut tampak bahwa nasabah telah memperoleh
perlindungan hak-haknya karena adanya OJK yang bertindak
sebagai wakil nasabah dalam menghadapi lembaga jasa
keuangan. Dengan adanya Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, pengaturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah
telah memperoleh legitimasi. Begitu pula tentang penyelesaian
sengketa, adanya Undang-Undang OJK yang memberi
kewenangan OJK untuk melakukan pembelaan kepentingan
nasabah sehingga secara normatif, hak-hak nasabah atas
penyelesaian sengketa telah mendapatkan perlindungan hukum.40
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap
nasabah yang menggunakan jasa perbankan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah mencegah
terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah terhadap pelayanan jasa
perbankan dan mendapatkan pembelaan hukum atas kerugian yang telah
diderita oleh nasabah.
39
Ibid., hlm.113 40
Ibid., hlm.114
35
B. Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan
Sengketa merupakan suatu situasi dimana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan
ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Berdasarkan pengertian tersebut, bila
dikaitkan dengan sengketa perbankan, ketidakpuasan tersebut dapat
diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya
maupun sebagian mengingat lembaga pengaduan nasabah berada pada internal
bank tempat nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Apabila dalam
proses penyelesaian pengaduan tersebut bank tidak memberikan solusi seperti
yang diinginkan nasabah maka akan timbul permasalahan yang berpotensi
terjadinya sengketa.
Seiring dengan kajian yang penyusun lakukan, pada dasarnya
pengertian di atas berhubungan erat dengan beberapa prinsip dasar dalam
perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya dalam hal terjadi sengketa
antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur melalui Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/10/PBI/2008 Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/01/PBI/2008 Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Pasal 1 angka (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, mendefinisikan pengaduan sebagai
ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi
kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian
36
Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI Nomor 10/10/PBI/2008, maka bank wajib
menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan
pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan
penanganan dan penyelesaian pengaduan.
Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 7/24/DPNP antara lain
sebagai berikut:
1. Kewajiban Bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup
kewajiban menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan
dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah,
termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan
atau bank lain yang menjadi Nasabah bank tersebut.
2. Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk
mengajukan pengaduan.
3. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah
yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat
kuasa khusus dari Nasabah.
Selain itu, penyelesaian sengketa antara nasabah bank sebagai
konsumen dengan bank dapat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusunya diatur dalam Bab X
yang terdiri dari empat Pasal yaitu Pasal 45, 47, 48 dan Pasal 49.
Bentuk penyelesaian sengketa menurut Pasal 45 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat
ditempuh melalui 2 cara yaitu melalui peradilan atau litigasi dan melalui luar
peradilan atau non litigasi.
Berdasarkan bentuk penyelesaian sengketa tersebut, pihak yang
bersengketa dapat melakukan berbagai pilihan tindakan dengan tujuan agar
37
sengketa tersebut dapat diselesaikan. Penyelesaian ini harus dilakukan
menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak.
Sehingga dalam mengkaji penyelesaian sengketa akibat skimming
pada sektor perbankan penyusun akan menjabarkannya dalam pembahasan di
bawah ini melalui penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dan melalui pengadilan.
1. Penyelesaian Sengketa Nasabah di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
“menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen sebagaimana yang dijelaskan dalam
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau lebih dikenal
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh
dengan berbagai cara. ADR tersebut dapat berupa arbitrase,
mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial. Settlement
conference serta bentuk lainnya.41
Setelah dibentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(LAPS) di sektor jasa keuangan, maka penyelesaian jika terjadi sengketa
keuangan terlebih dahulu harus di selesaikan melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengekta.
Pengelolaan sengketa sangat penting diketahui oleh para pihak
untuk mengetahui sejauh mana cara penyelesaian sengketa yang
41Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.186
38
dihadapi sesuai dengan sengketa yang ada, dan hasil apa yang
diharapkan melalui metode penyelesaian sengketa yang dipilih.
Untuk sengketa-sengketa yang lebih menekankan pada hal
kepastian hukum dan kemenangan, metode penyelesaian yang
tepat adalah litigasi melalui pengadilan atau arbitrase.
Sebaliknya, jika lebih menekankan pada hal membina hubungan
bisnis, metode penyelesaian yang tepat adalah melalui negosiasi,
mediasi, atau konsiliasi.42
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Sektor Jasa Keuangan, apabila terjadi sengketa keuangan dapat
diselesaikan melalui LAPS. Penyelesaian sengketa khususnya
penyelesaian sengekta akibat skimming pada sektor perbankan, LAPS
sendiri telah membentuk lembaga yang khusus menangani persoalan pada
sektor perbankan. Penyelesaian sengketa tersebut, yaitu pada Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
Berikut penulis akan memaparkan proses penyelesaian sengketa
akibat skimming pada sektor perbankan oleh Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI):43
1. Mediasi
Mediasi LAPSPI adalah cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan melalui proses perundingan di LAPSPI untuk
memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu
mediator. Mediator LAPSPI adalah pihak netral yang
membantu para pihak dalam proses perundingan dalam
mediasi LAPSPI guna mencari berbagai solusi penyelesaian,
namun Mediator tidak diperbolehkan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator tidak
memberikan keputusan atau penetapan pembayaran, namun
hanya memfasilitasi pertemuan dalam kerangka mediasi para
42 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm19
43
https://lapspi.org/profile/, Diakses Pada Tanggal 06 Maret 2017 Pukul 22.40 Wita.
39
pihak yang bersengketa untuk memahami perspektif, posisi
dan kepentingan masing-masing pihak atas masalah yang
dihadapi, untuk mencari alternatif penyelesaian secara adil,
cepat, murah dan efisien. Melalui mediasi diharapkan dapat
tercapai perdamaian di antara para pihak yang bersengketa.44
a) Alasan Mengapa Memilih Mediasi
Beberapa pertimbangan untuk menyelesaikan permasalahannya:
1. Adanya keyakinan dari para pihak bahwa mediator LAPSPI
mampu membantu menyelesaikan permasalahan para pihak
secara adil, cepat, murah, dan efisien.
2. Mediator LAPSPI adalah para professional di bidang industry
perbankan yang memahami dengan baik dunia perbankan dan
mempunyai keahlian mediasi serta telah mempunyai sertifikat
mediator nasional.
3. Adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan
permasalahan mereka tanpa saling merugikan (win-win
solution).
4. Adanya keinginan para pihak untuk saling mempertahankan
hubungan bisnis jangka panjang (long-term relationship) dari
pada penyelesaian secara hukum yang mengedepankan antara
yang salah dan benar (jalur litigasi).
5. Mediasi melalui LAPSPI dilakukan secara tertutup untuk
umum.
b) Penggunaan Mediasi
Mediasi dapat digunakan pada setiap tahapan
penyelesaian sengketa, yakni pada saat:
1. Setelah musyawarah mufakat mengalami kegagalan;
2. Ketika Arbiter tunggal/ Majelis Arbitrase
menawarkan upaya perdamaian pada siding pertama;
3. Sebelum Hakim Pengadilan memulai siding
pemeriksaan perkara (sesuai Peraturan Mahkamah
Agung No.1/2008)
4. Selama proses Arbitrase/persidangan selama belum
dijatuhkan putusan.
44 https://lapspi.org/mediasi/, Diakses Pada Tanggal 06 Maret 2017 Pukul 22.50 Wita.
40
c) Pendaftaran Permohonan Mediasi
Mediasi diselenggarakan berdasarkan permohonan yang
diajukan pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak
kepada LAPSPI. Permohonan diajukan secara tertulis kepada
LAPSPI untuk Ketua LAPSPI dan dialamatkan ke kantor LAPSPI.
Permohonan mediasi tersebut paling kurang harus memuat:
1. Nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak
2. Jenis perkara
3. Permintaan kepada LAPSPI untuk diselenggarakan Mediasi
4. Resume perkara. Resume perkara dibuat oleh masing-masing
pihak jika tidak dimungkinkan untuk dibuat secara bersama-
sama
5. Fotokopi dokumen-dokumen atau bukti-bukti pendukung.
d) Syarat Penyelesaian Melalui Mediasi
Adapun syarat penyelesaian sengketa melalui mediasi
LAPSPI harus memenuhi semua kriteria di bawah ini:
1) Merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan
dan/ atau berkaitan dengan bidang Perbankan.
2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
3) Sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan dapat diadakan perdamaian.
4) Sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah
tetapi para pihak tidak berhasil mencapai perdamaian,
dan
5) Antara para pihak terkait dalam Perjanjian Mediasi.
e) Verifikasi Permohonan
Atas permohonan mediasi yang telah diterima, pengurus
LAPSPI melakukan langkah langkah sebagai berikut:
1) Pengurus memeriksa kelengkapan dokumen apakah memenuhi
persyaratan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak.
41
2) Pengurus menyampaikan konfirmasi penerimaan atau
penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Mediasi kepada
para pihak dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung
setelah tanggal pengajuan.
3) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak, maka surat
sebagaimana tersebut diatas (butir 2) harus memuat alasan
penolakan. Para pihak dapat mengajukan kembali Permohonan
Mediasi setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
4) Apabila Permohonan Mediasi diterima, maka surat
sebagaimana tersebut diatast (butir 2) memuat pula :
a. Pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Mediator.
b. Pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk
oleh pengurus untuk perkara yang bersangkutan.
c. Informasi mengenai biaya-biaya mediasi atas perkara yang
bersangkutan.
5) Terhadap Permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana
dimaksud butir 4, maka Seketariat pada tanggal yang sama
dengan tanggal konfirmasi dimaksud mencatatkan permohonan
tersebut dalam buku register perkara LAPSPI.
f) Perjanjian Mediasi
Adapun syarat terpenting untuk dapat mengajukan
permohonan penyelesaian permasalahan melalui mediasi LAPSPI
adalah adanya kesepakatan para pihak bahwa permasalahan akan
diselesaikan melalui mediasi LAPSPI. Tanpa adanya kesepakatan
tersebut maka permasalahan tidak dapat diajukan kepada mediasi
LAPSPI.
Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai
berikut:
1) Tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian
pokok;
2) Dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para
Pihak;
3) Dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan
Arbitrase LAPSPI.
42
Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir 3 diatas, maka
perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara
Persidangan Arbitrase LAPSPI.
Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak
bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua
kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta
menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi. LAPSPI,
atas permintaan salah satu Pihak, dapat memfasilitasi pertemuan
antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi.
g) Syarat Menjadi Mediator
Untuk dapat menjadi Mediator LAPSPI, harus orang yang
sudah diangkat oleh Pengurus sebagai Mediator tetap LAPSPI.
Seseorang dapat diangkat menjadi Mediator Tetap LAPSPI setelah
melalui proses yang diputuskan dalam Rapat Pengurus berdasarkan
pemahaman Pengurus mengenai integritas dan kapabilitas dari
calon yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan. Dalam menjalankan tugasnya, mediator harus
menjunjung tinggi kode etik, bersikap adil, netral dan mandiri,
bebas dari pengaruh dan tekanan pihak manapun, serta bebas dari
benturan kepentingan, baik dengan salah satu pihak manapun
dengan permasalahan yang bersangkutan. Apabila hal-hal tersebut
43
dilanggar maka Mediator yang bersangkutan harus berhenti atau
diberhentikan dari tugasnya.
h) Perundingan, Kaukus dan Dengar Pendapat
Perundingan Mediasi harus dimulai selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan
pengangkatan Mediator, dan berlangsung paling lama 30 (tiga
puluh) hari, yang dapat diperpanjang atas kesepakatan Para Pihak
dan Mediator paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi. Proses mediasi
dilaksanakan secara efisien dan sungguh-sungguh sehingga Para
Pihak mencapai Kesepakatan Perdamaian. Mediator harus
mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan
jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas
dan disepakati. Disamping itu Mediator harus mendorong Para
Pihak utnuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam:
1) Proses Mediasi secara keseluruhan;
2) Menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan
3) Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para
Pihak.
Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan
Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak, dan dengan
persetujuan dan biaya Para Pihak, Mediator dapat mengundang 1
(satu) atau lebih ahli dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga
lainnya untuk memberikan keterangan Para Pihak harus
menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh
Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya.
44
Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses
perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum
Para Pihak.
Dalam hal suatu pihak merupakan badan hukum, maka
harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah
dan berwenang atau berdasarkan surat kuasa khusus, untuk:45
1) Mewakili badan hukum
2) Mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum dan
3) Membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum.
Acara perundingan, kaukus dan mendengar keterangan
ahli atau pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan
tatap muka langsung atau melalui sarana tehnologi informasi
(seperti telepon, telekoferensi, dan/atau video koferensi). Selama
belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu pihak dapat
menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan
tembusan pihak lain dan pengurus, jika terdapat alasan dan bukti
yang kuat bahwa pihak lain menunjukan itikad tidak baik dalam
menjalani proses mediasi.
i) Akta Perdamaian
Dalam proses mediasi ada 2 kemungkinan, yakni berhasil
atau gagal. Mediasi dikatakan berhasil apabila proses Mediasi
berujung kepada ditandatanganinya Kesepakatan Perdamaian di
antara para pihak. Apabila para pihak menghendaki Kesepakatan
45
Ibid
45
Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (yang
dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian), maka Kesepakatan
Perdamaian tersebut dapat dituangkan ke dalam Akta Perdamaian
oleh Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal apabila Mediasi tersebut
dilaksanakan dalam kerangka proses Arbitrase Akta Perdamaian
tersebut memiliki kekuatan hukum sebagaimana layaknya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun apabila proses Mediasi berlangsung di luar
proses Arbitrase, dan para pihak menghendaki Kesepakatan
Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (lebih dari
sekedar kekuatan suatu perjanjian), maka salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan Arbitrase kepada LAPSPI yang di dalam
petitumnya meminta kepada Majelis Arbitrase/ Arbiter Tunggal
untuk menghukum para pihak menaanti kesepakatan perdamaian
yang telah dibuat oleh para pihak.
Selanjutnya Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal akan
menjatuhkan putusan dengan amar sebagaimana yang dituntut oleh
pemohon, sehingga perdamaian tersebut memiliki kekuatan
eksekutorial karena tertuang dalam putusan Arbitrase. Jika Para
Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian, maka Kesepakatan Perdamaian
harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang
menyatakan perkara telah selesai. Mediasi dikatakan gagal apabila
46
perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) dan para pihak
tidak mau melanjutkannya. Apabila kegagalan ini terjadi, maka
proses penyelesaian diserahkan kembali kepada masing-masing
pihak, apakah selanjutnya akan memilih jalur Arbitrase atau
pengadilan. Apabila mediasi tersebut diselenggarakan dalam
kerangka proses Arbitrase/Arbiter Tunggal melanjutkan kembali
persidangan Arbitrase
j) Pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian
Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau
melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dalam jangka waktu yang
disepakati tersebut Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis
kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI. Setelah
menerima tembusan surat tersebut maka Pengurus akan
menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan
tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi Perbankan serta
Otoritas Jasa Keuangan
k) Jangka Waktu Pemeriksaan.
Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah
tanggal disampaikannya surat teguran masi juga diingkari, maka
Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran
tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada
Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Pihak yang
berkepentingan atas pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian berhak
47
melakukan upaya hukum terhadap Pihak yang ingkar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
l) Biaya-Biaya Mediasi
Biaya-biaya dalam layanan Mediasi LAPSPI, terdiri:
1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya yang harus dibayar lunas oleh
para pihak pada saat mendaftarakan permohonan Mediasi
LAPSPI.
2) Biaya Sengketa, yakni biaya untuk penyelenggaraan
perundingan/pertemuan dalam rangka proses penyelesaian (at
cost). Biaya sengketa ini dibayar oleh para pihak sebelum
dimulainya pertemuan yang bersangkutan dalam bentuk deposit
sesuai yang ditentukan LAPSPI.
3) Biaya Mediator, yakni biaya atas layanan Mediasi LAPSPI
yang harus dibayar oleh para pihak, yang dihitung atas dasar
persentase tertentu dari nilai sengketa.
Biaya-biaya tersebut menjadi tanggungjawab para pihak
dengan pembagian beban yang disepakati di antara para pihak
sendiri.
2. Ajudikasi
Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar Arbitrase
dan Peradilan umum yang dilakukan oleh Ajudikator untuk menghasilkan
suatu putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan
penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat Pihak Termohon.
Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut
Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa
perkara dan memberikan putusan Ajudikasi mengenai sengketa
tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi
LAPSPI. Dalam pembahasannya mengenai Alternative Dispute
Resolution (ADR), yang termasuk dalam mekanisme Ajudikasi
adalah Pengadilan dan Arbitrase, karena disana ada putusan yang
dijatuhkan oleh Otoritas yang berwenang (Hakim/Arbiter) dan
putusannya bersifat mengikat. Sedangkan yang termasuk dalam
mekanisme Non-Ajudikasi adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi,
dan sebagainya, yang di sana tidak ada suatu putusan (melainkan
48
suatu kesepakatan damai yang dibuat secara sukarela oleh para
pihak).46
Dalam perkembangannya “Ajudikasi” dipergunakan untuk
mekanisme ADR yang karakteristiknya mirip dengan Arbitrase. Dapat
dikatakan bahwa Ajudikasi adalah mekanisme arbitrase yang
disederhanakan dan kemudian di customised sedemikian rupa sehingga
dapat memenuhi kebutuhan penyelesaian sengketa yang ritel dan kecil
(retail and small claim), karena sengketa ritel dan kecil tersebut akan
sangat tidak efisien jika diselesaikan melalui Arbitrase.
Bisa jadi bahwa sengketa ritel dan kecil tersebut sebelumnya
sudah menempuh upaya Mediasi tetapi tidak berhasil mencapai
kesepakatan damai, sehingga para pihak menghendaki suatu putusan atas
sengketanya melalui mekanisme lain namun tidak melalui Arbitrase,
apalagi pengadilan. Mekanisme Ajudikasi ini berkembang pesat dalam
konteks perlindungan konsumen sehingga tidak mengherankan jika
mekanisme tersebut dinilai sesuai untuk penyelesaian sengketa nasabah
atau konsumen ritel dan kecil.
a) Alasan Mengapa Memilih Ajudikasi
Beberapa pertimbangan mengapa Para Pihak memilih
Ajudikasi untuk menyelesaikan sengketanya:
1) Para pihak yang bersengketa sudah tidak dapat lagi melanjutkan
perundingan;
2) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara penyelesaian yang
lebih mempertimbangkan benar-salah menurut hukum (right based
procedure/approach).
46
https://lapspi.org/ajudikasi/, Diakses Pada Tanggal 07 Maret 2017 Pukul 21.50 Wita
49
3) Para pihak yang bersengketa menginginkan putusan yang final dan
mengikat, namun pihak konsumen sebagai pemohon (penggugat)
menghendaki ada opsi baginya untuk memilih apakah menerima
putusan ataukah menolak putusan;
4) Penyedia jasa sebagai termohon (tergugat) ingin memberikan
layanan yang baik bagi konsumennya dengan harapan memberikan
dampak yang positif bagi penyedia dalam persoalan kepercayaan
(loyalitas) konsumen lainnya (termasuk masyarakat luas);
5) Para pihak yang bersengketa ingin mendapatkan jaminan bahwa
orang yang akan memberikan putusan atas sengketa (Ajudikator)
benar-benar memahami dunia perbankan dan mempunyai keahlian
ber-Ajudikasi;
6) Para pihak yang bersengketa ingin menyelesaikan sengketa melalui
forum yang tertutup untuk umum;
7) Para pihak yang bersengketa menghendaki praktek acara yang
bersih.
b) Syarat Penyelesaian Melalui Ajudikasi
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Ajudikasi LAPSPI
harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
1) Merupakan sengketa di bidang Perbankan dan/atau berkaitan
dengan bidang Perbankan;
2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa;
3) Sengeketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
4) Sengketa yang telah menempuh upaya Mediasi tetapi Para Pihak
tidak berhasil mencapai perdamaian;
5) Antara Pemohon dan termohon terikat dengan Perjanjian Mediasi
6) Pihak Pemohon adalah nasabah Bank Saving Account (BSA) dan
nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan nilai
sengketa minimum Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah),
sedangkan Pihak Termohon adalah Bank.
c) Pendaftaran Permohonan Ajudikasi
1) Ajudikasi diselenggarakan berdasarkan permohonan yang diajukan
pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada
LAPSPI. Permohonan diajukan secara tertulis kepada LAPSPI,
Ketua LAPSPI dan dialamatkan ke kantor LAPSPI.
2) Permohonan Ajudikasi terdiri atas:
a. Surat tuntutan
50
b. Lampiran-lampiran.
3) Pengurus melakukan verifikasi terhadap berkas pendaftaran
Permohonan Ajudikasi, atas hasil verifikasi tersebut pengguna
menyampaikan konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap
pendaftaran Permohonan Ajudikasi kepada Pemohon, dengan
tembusan kepada Termohon, dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari terhitung setelah tanggal pengajuan.
4) Apabila pendaftaran Permohonan Ajudikasi ditolak Pengurus,
maka surat sebagaimana dimaksud pada butir 3 alasan penolakan.
Pemohon dapat mengajukannya kembali dengan memenuhi
persyaratan dalam waktu yang ditetapkan.
5) Apabila pendaftaran Permohonan Ajudikasi dinyatakan diterima,
surat sebagaimana dimaksud pada butir 3 memuat pula:
a. Pemberitahuan bahwa pengurus akan segera membentuk Panel;
b. Pemberitahuan mengenai nama Sekretaris;
c. Salinan Permohonan Ajudikasi untuk Termohon.
6) Terhadap pendaftaran Permohonan Ajudikasi yang diterima, maka
Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi
tersebut mencantumkan Permohonan Ajudikasi ke dalam buku
register perkara LAPSPI.
7) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan
konfirmasi terhadap pendaftaran Permohonan Ajudikasi kepada
Sekretariat.
d) Verifikasi Permohonan
Terhadap permohonan Ajudikasi yang diterima, maka
pengurus LAPSPI akan memeriksa:47
1) Apakah para pihak telah terikat dengan Perjanjian Ajudikasi;
2) Apakah sengketa yang diajukan adalah sengketa bidang perbankan
atau yang berkaitan dengan bidang perbankan.
3) Apakah Permohonan adalah nasabah Basic Saving Account (BSA)
atau nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan
nilai sengketa maksimum Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta
Rupiah), sedangkan Pihak Termohon adalah Bank.
4) Apakah Pemohon telah membayar biaya-biaya yang ditetapkan.
5) Apakah telah ditempuh upaya, Mediasi tetapi Para Pihak tidak
berhasil mencapai perdamaian.
6) Apakah sengketa merupakan sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
47 Ibid
51
Atas verifikasi yang telah dilakukan, maka pengurus akan
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pemohon dan Termohon
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
pendaftaran, apakah permohonan Ajudikasi diterima atau ditolak.
Apabila pendaftaran permohonan Ajudikasi memenuhi persyaratan
maka pengurus akan menyampaikan pemberitahuan kepada Pemohon
dan Termohon bahwa pendaftaran permohonan Ajudikasi diterima dan
akan diproses lebih lanjut, sekaligus dicatatkan pada buku perkara
LAPSPI. Proses selanjutnya adalah pembentukan paneh Ajudikasi oleh
pengurus LAPSPI.
e) Penunjukan Ajudikator
Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut
Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa perkara
dan memberikan Putusan Ajudikasi mengenai sengketa tertentu yang
diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi LAPSPI. Meskipun
Ajudikator ditunjuk oleh Pengurus LAPSPI, namun para pihak tetap
memilik hak untuk menolak penunjukan tersebut jika Ajudikator
tersebut memiliki benturan kepentingan.
Berbeda dengan Arbitrase LAPSPI yang memungkinkan
menunjuk orang di luar yang tercatat dalam Daftar Arbiter Tetap
LAPSPI sebagai Arbiter dalam suatu perkara, sedangkan dalam
Ajudikasi LAPSPI Pengurus hanya menunjuk Ajudikator yang
tercantum dalam Daftar Ajudikator Tetap LAPSPI saja.
52
f) Syarat Menjadi Ajudikator
Yang bisa ditunjuk oleh Pengurus LAPSPI menjadi
Ajudikator dalam proses Ajudikasi LAPSPI adalah mereka yang
tercantum di dalam Daftar Ajudikasi Tetap LAPSPI. Dalam
menjalankan tugasnya Ajudikator harus menjunjung tinggi kode etik,
bersikap adil, netral dan mandiri, bebas dari pengaruh dan tekanan
pihak manapun, serta bebas dari benturan kepentingan baik dengan
salah satu pihak yang bersengketa maupun dengan materi sengketa
yang bersangkutan. Adapun hal-hal tersebut dilanggar, maka
Ajudikator yang bersangkutan harus berhenti atau diberhentikan dari
tugasnya oleh Pengurus.
g) Panggilan Dengar Pendapat dan Upaya Perdamaian
1) Dengar pendapat pertama:
a. Panel melalui Sekretaris menyampaikan surat panggilan dengar
pendapat pertama kepada Para Pihak. Dalam surat panggilan
tersebut Termohon diminta memberikan tanggapan secara
tertulis (jawaban) pada dengar pendapat pertama tersebut.
b. Apabila pada hari yang telah ditentukan Pemohon tidak dating
tanpa alasan yang sah, maka Panel menunda dengar pendapat
dan melakukan pemanggilan kembali kepada Termohon.
c. Apabila pada hari yang telah ditentukan Termohon tidak datang
tanpa suatu alasan yang sah, maka Panel menunda dengar
pendapat dan melakukan pemanggilan kembali kepada
Termohon.
d. Apabila Termohon tetap tidak datang tanpa alasan sah, maka
pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran Termohon.
2) “Jawaban” disampaikan Termohon kepada Panel dengan dan
dilampirkan alat bukti dan fotokopi/salinan dokumen bukti-bukti.
3) Panggilan untuk dengar pendapat berikutnya ditetapkan oleh Panel
dalam prosedur dengar pendapat, atau melalui surat panggilan
tertulis
4) Dalam prosedur dengar pendapat, Panel memeriksa keterangan
masing-masing Pihak, mengupayakan perdamaian, memeriksa
bukti dan mendengar keterangan saksi.
53
5) Prosedur dengar pendapat dapat diselenggarakan dalam bentuk
pertemuan tatap muka secara langsung ataupun melalui sarana
teknologi informasi, seperti telekoferensi dan videokoferensi.
6) Apabila selama pemeriksaan Para Pihak setuju untuk melakukan
upaya damai, maka Panel dapat menunda proses pemeriksaan,
untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak mengupayakan
perdamaian sesuai pilihan penyelesaian sengketa yang disepakati
oleh Para Pihak.
7) Dalam hal upaya perdamaian berhasil mencapai perdamaian, maka
kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan
Permohonan Ajudikasi dan menyatakan perkara telah selesai. Atas
hal tersebut Pemohon menyatakan mencabut Permohonan
Ajudikasi di hadapan Panel dan selanjutnya Panel menutup
pemeriksaan dan menyatakan Ajudikasi selesai.
8) Pemeriksaan Ajudikasi akan dilanjutkan jika upaya perdamaian
tidak berhasil.
h) Jangka Waktu Pemeriksaan
1) Jangka waktu pemeriksaan Ajudikasi adalah paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung setelah tanggal pembentukan Panel.
2) Panel berwenang untuk memperpanjang jangka waktu.
3) Dalam rangka menjamin kepastian waktu penyelesaian
pemeriksaan Ajudiasi, maka pada dengar pendapat pertama, Panel
menetapkan jadwal pemeriksaan berikutnya sampai dengan
pembacaan Putusan Ajudikasi.
4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud butir 2, maka
dalam dengar pendapat ditetapkan perpanjangan jangka waktu
pemeriksaan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
5) Apabila dalam waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
butir 3 ternyata persidangan Ajudikasi belum juga selesai, Panel
hanya dapat memperpanjang waktu berdasarkan persetujuan Para
Pihak dan Pengurus.
6) Para Pihak sepakat bahwa sengketa harus diselesaikan dengan
itikad baik dan secepat mungkin, dan oleh karena Para Pihak tidak
akan mengulur-ngulur waktu, bersikap dan/atau melakukan
tindakan yang dapat menghambat jalannya proses Ajudikasi.
i) Pengambilan Keputusan
Apabila pemeriksaan sengketa telah dianggap cukup maka
Panel menyatakan pemeriksaan segera ditutup dan Panel menetapkan
hari sidang untuk membacakan Putusan Ajudikasi.
54
Putusan tersebut akan diucapkan dalam sidang yang tertutup
untuk umum dalam waktu paling lama 20 hari setelah pemeriksaan
dinyatakan ditutup. Apabila salah satu Pihak atau anggota Panel tidak
hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, maka pembacaan putusan
Ajudikasi tetap dilaksanakan oleh Ketua Panel. Dalam mengambil
keputusan:
1) Panel bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pengurus
LAPSPI atau Otoritas di bidang Perbankan.
2) Panel mengambil keputusan atas dasar keadilan dan kepatutan.
3) Meskipun diperbolehkan adanya perbedaan, namun keputusan
Panel adalah keputusan kolektif yang diambil atas dasar
musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak tercapai musyawarah
mufakat maka keputusan diambil atas dasar suara terbanyak.
j) Biaya-Biaya Ajudikasi
Biaya-biaya dalam layanan Ajudikasi LAPSPI terdiri atas:
1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya yang harus dibayar oleh Para Pihak
untuk mendaftarkan penyelesaian melalui layanan Ajudikasi
LAPSPI. Biaya ini harus dibayar lunas oleh Pemohon pada saat
pendaftaran.
2) Biaya Sengketa, yakni biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan proses Ajudikasi. Biaya sengketa ini menjadi
beban Pemohon, yang harus disetor berupa deposit sebelum
dimulainya sidang Ajudikasi.
3) Biaya Pelaksanaan Putusan Ajudikasi, yakni biaya yang harus
dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan putusan Ajudikasi, antara
lain berupa pengeluaran biaya untuk pendaftaran Putusan
Ajudikasi di Pengadilan Negeri, biaya pengambilan salinan
Putusan Ajudikasi yang sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri,
dan biaya lainnya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan hasil
putusan Ajudikasi. Biaya pelaksanaan Putusan ini menjadi beban
Pemohon.
4) Biaya Ajudikator, yakni biaya jasa atas layanan Ajudikator yang
harus dibayar di muka seluruhnya oleh Pemohon sebelum sidang
pertama diselenggarakan.
Biaya-biaya tersebut, khususnya biaya pendaftaran, biaya
sengketa dan biaya Ajudikator harus dibayar sebelum proses/sidang
55
Ajudikasi pertama diselenggarakan. Pengurus dapat menunda
dan/atau menghentikan proses Ajudikasi hingga biaya-biaya
dimaksud dilunasi sesuai Peraturan dan Prosedur yang berlaku.
3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang
Perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum,
yang diselenggarakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan menggunakan Peraturan dan
Prosedur Arbitrase LAPSPI.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan Arbiter Tetap
LAPSPI atau Arbiter Tidak Tetap LAPSPI yang ditunjuk menurut
Peraturan dan Prosedur LAPSPI sebagai Arbiter Tunggal/Majelis
Arbitrase untuk memeriksa perkara dan memberikan Putusan Arbitrase
mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada
Arbitrase LAPSPI.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa
Arbitrase LAPSPI pada hakekatnya mirip dengan Pengadilan. Sedangkan
Arbiter dalam proses Arbitrase adalah mirip hakim pada proses litigasi.
a) Syarat Penyelesaian Melalui Arbitrase LAPSPI
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI
harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:
1) Merupakan sengketa di bidang perbankan dan/atau berkaitan
dengan bidang perbankan;
2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa;
56
3) Sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
4) Antara Pemohon dan Termohon terkait dengan Perjanjian
Arbitrase.48
b) Pendaftaran Gugatan atau Permohonan Arbitrase
Setelah mennyampaikan notifikasi, salah satu Pihak harus
mengajukan gugatan (Permohonan Arbitrase) secara tertulis kepada
LAPSPI. Pihak yang mengajukam permohonan disebut “Pemohon”,
atau istilah dalam Pengadilan sama dengan “Penggugat”. Sedangkan
pihak lawannya disebut “Termohon”, atau dalam istilah Pengadilan
sama dengan “Tergugat”.
Isi Permohonan:
1) Informasi mengenal nama, alamat dan kedudukan para Pihak
2) Uraian sengketa/ duduk perkara (posita);
3) Isi tuntutan (petitum).
Khususnya untuk Permohonan Arbitrase LAPSPI, harus
mengutip dan menyertakan pula Perjanjian Arbitrase , pernyataan
bahwa Pemohon akan terikat dan tunduk serta melaksanakan Putusan
Arbitrase dan tidak akan mengajukan perlawanan dan/atau upaya
hukum lain atas sengketa yang sama di Pengadilan Negeri dan
lembaga peradilan manapun, dan menyertakan akta buktu dan daftar
saksi fakta/saksi ahli, dan bukti lunas Biaya Pendaftaran.
c) Verifikasi Permohonan
Terhadap permohonan Arbitrase LAPSPI yang telah
didaftarkan, Pengurus LAPSPI akan memeriksa:
48
https://lapspi.org/arbitranse/, Diakses Pada Tanggal 08 Maret 2017 Pukul 21.50 Wita
57
1) Apakah permohonan telah memenuhi syarat kelengkapan
administrasinya;
2) Apakah para pihak telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase yang
menyatakan bahwa persengketaan akan diselesaikan melalui
Arbitrase;
3) Apakah persengketaan yang diajukan adalah mengenai
persengketaan perdata sehubungan dengan kegiatan di bidang
Perbankan;
4) Apakah pemohon telah memabayar Biaya Pendaftaran.
Apabila permohonan sudah memenuhi persyaratan di atas,
Pengurus LAPSPI akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada
Pemohon dan Termohon dalam waktu selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah pendaftaran, apakah diterima atau ditolak.
Apabila permohonan dinyatakan ditolak, maka didalam surat
pemberitahuan harus menyebutkan alasan penolakannya, dan Pemohon
dapat mengajukan kembali dengan memenuhi persyaratannya. Apabila
diterima dalam surat pemberitahuan tersebut memuat:
1) Pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Arbiter.
2) Permbertitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh
Pengurus untuk perkara yang bersangkutan.
3) Informasi mengenai biaya-biaya Arbitrase atas perkara yang
bersangkutan
4) Salinan Permohonan Arbitrase untuk termohon.
d) Penunjukan Arbiter
Arbiter adalah orang perorangan yang karena kompetensi dan
integritasnya dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memeriksa dan memberikan putusan atas sengketa yang bersangkutan.
Para pihak berhak menunjuk Arbiter, dan Arbiter pun berhak untuk
menerima atau menolak penunjukan tersebut. Dalam proses Arbitrase
LAPSPI para pihak harus menyepakati terlebih dahulu bentuk
58
Arbitrase, apakah akan berbentuk Arbiter tunggal atau berbentuk
Majelis Arbiter (berjumlah tiga orang Arbiter atau lebih, dan harus
berjumlah ganjil).
f) Syarat Menjadi Arbiter
Pada dasarnya yang bisa ditunjuk oleh Pemohon dan
Termohon sebagai Arbiter di dalam Arbitrase LAPSPI adalah mereka
yang tercantum di dalam Daftar Arbiter LAPSPI. Namun, apabila
Pemohon dan/atau Termohon bermaksud menunjuk Arbiter dari luar
daftar tersebut, maka harus memenuhi persyaratan tertentu dan
mendapatkan persetujuan dari pengurus BAPMI.
Dalam menjalankan tugasnya, Arbiter harus menjunjung
tinggi kode etik, bersikap adil, netral dan mandiri, bebas dari pengaruh
dan tekanan pihak manapun, serta bebas dari benturan kepentingan
dari afiliasi, baik dengan salah satu pihak yang bersengketa (termasuk
kuasa hukumnya) maupun dengan persengketaan yang bersangkutan.
Apabila hal-hal tersebut dilanggar, maka Arbiter yang bersangkutan
harus berhenti atau diberhentikan dari tugasnya.
g) Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dalam pokok perkara akan berlangsung paling
lama 180 hari terhitung sejak Arbiter tunggal ditunjuk/ Majelis
Arbitrase terbentu, tanpa dihitung keperluan pemeriksaan atas eksepsi
dan tuntutan professional lainnya jika ada. Arbiter Tunggal/Majelis
Arbitrase dapat memperpanjang jangka waktu tersebut berdasarkann
59
alasan tertentu atau dengan persetujuan Pemohon dan Termohon.
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera
ditutup dan Arbiter menetapkan hari sidang untuk mengucapkan
Putusan Arbitrase paling lama 30 hari.
h) Biaya-Biaya Arbitrase
Biaya dan imbalan untuk proses Arbitrase LAPSPI, terdiri dari:
1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya ini harus dibayar lunas oleh
Pemohon pada saat mendaftarkan permohonan Arbitrase LAPSPI.
2) Biaya Pemeriksaan, yakni merupakan pengeluaran nyata untuk
persidangan, antara lain biaya pemakaian ruangan sidang,
tranportasi dan akomodasi pemeriksaan setempat, dan transportasi
dan akomodasi saksi/saksi ahli, penggandaan dokumen, konsumsi
dan lain lain. Biaya pemeriksaan ini dibayar oleh Pemohon dan
Termohon sebelum dimulainya pemeriksaan yang bersangkutan
dalam bentuk deposit yang akan diperhitungkan kemudian.
3) Biaya Arbiter, yakni imbalan atas penggunaan layanan Arbitrase
LAPSPI yang harus dibayar oleh Pemohon dan Termohon secara
pro-rata sebelum sidang pertama dimulai.
4) Biaya Pelaksanaan, yakni biaya yang terkait dengan pelaksanaan
Putusan Arbitrase, meliputi biaya pendaftaran putusan sampai
biaya eksekusi apabila Putusan Arbitrase tidak dilaksanakan secara
sukarela sehingga membutuhkan biaya untuk permohonan perintah
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
i) Alasan Memilih Arbitrase LAPSPI
Ada beberapa alasan mengapa para pihak yang bersengketa
memilih Arbitrase LAPSPI untuk menyelesaikan sengketanya:
1) Para pihak yang bersengketa sudah tidak dapat lagi melanjutkan
perundingan;
2) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara penyelesaiannya
yang lebih mempertimbangkan benar salah menurut hukum;
3) Para pihak yang bersengketa menginginkan putusan yang final dan
mengikat, namun tidak ingin menempuh jalur litigasi karena akan
memakan waktu yang lama dan biaya yang besar;
60
4) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara yang lebih mudah,
lebih cepat dan lebih efisien;
5) Para pihak yang bersengketa ingin menyelesaikan sengketa melalui
forum yang tertutup untuk umum;
Berdasarkan penjelasan di atas, telah diketahui ada beberapa cara
dalam penyeleseaian sengketa di luar pengadilan yaitu mediasi, ajudikasi, dan
arbitrase. Berikut penjabaran perbedaan alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan:
2. Penyelesaian Sengketa Nasabah Melalui Pengadilan
Sebagaimana telah dikemukakan, UUPK menyediakan fasilitas
penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan/litigasi dan di luar
pengadilan atau non litigasi.
Awalnya setiap sengketa diselesaikan melalui pengadilan,
sehingga pengadilan dijadikan the first and last resort dalam penyelesaian
NO MEDIASI AJUDIKASI ARBITRASE
1 Para pihak sukarela
berkehendak
menyelesaikan sengketa
Para pihak sukarela
berkehendak
menyelesaikan sengketa
Para pihak sukarela
berkehendak
menyelesaikan sengketa
2 Yang memutus sengketa
adalah para pihak
Yang memutus sengketa
adalah ajudikator,
bersifat final dan
mengikat
Yang memutus sengketa
adalah arbiter, yang
disepakati oleh para
pihak
3 Keterlibatan pihak
ketiga dikehendaki
sebagai penengah
karena keahliannya di
bidang yang
disengketakan
Keterlibatan pihak ketiga
dikehendaki sebagai
pemutus sengketa karena
ajudikator ditunjuk
menurut Peraturan dan
Prosedur ajudikasi
Keterlibatan pihak ketiga
dikehendaki sebagai
pemutus masalah yang
disengketakan karena
arbiter yang dipilih
memang ahli dalam
bidang yang
bersangkutan
61
sengketa. Secara prinsip, penegakan hukum hanya dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman yang dilembagakan secara konstitusional yang
lazim disebut sebagai badan yudikatif. Dengan demikian yang berwenang
memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung
di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman :
“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pengadilan Negeri merupakan salah satu peradilan yang
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat
termasuk penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan.
Tugas pokok pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
(Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970). Tugas pokok
tersebut dapat terlaksana apabila ada pengajuan sengketa atau perkara oleh
pihak yang bersengketa ke pengadilan.
Kartu ATM merupakan produk yang dikeluarkan oleh bank yang
dalam pengoperasiannya berada di bawah pengawasan pihak bank. Oleh
karena itu bank harus bertanggungjawab terhadap keamanan produk yang
dikeluarkannya.
62
Maraknya kejahatan yang terjadi dalam bidang perbankan,
seperti pencurian dana nasabah bank melalui modus skimming
mempengaruhi stabilitas dan rasa aman bagi nasabah bank. Kemajuan
tehnologi informasi yang menjadi nilai awal dari keberadaan cyber crime,
secara yuridis dapat membawa dampak pada hukum yang mengatur
tentang hal tersebut.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan atau pelanggaran
pelaku usaha melalui pengadilan umum menurut Pasal 46 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
meliputi:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhu syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan atau
yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Dari ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas diketahui bahwa yang
berwenang untuk mengajukan gugatan ke peradilan umum adalah
konsumen yang dirugikan atau oleh ahli warisnya, sekelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama, Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat dan Pemerintah.
63
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo bahwa penyelesaian
sengketa konsumen melalui peradilan umum hanya memungkinkan
apabila:49
a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, atau
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum
acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi
negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses
perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak
yang menggugat.
Pada kasus pencurian dana nasabah melalui modus skimming,
dapat dilihat ada unsur kegagalan bank, baik dari sistem atau tehnologi
yang mereka gunakan. Terbukti dengan kebobolannya mesin ATM
sehingga merugikan nasabah.
Bank sudah menbayar ganti kerugian yang dialami nasabah
akibat skimming tersebut, tetapi disini nasabah telah mengalami kerugian
materil maupun immaterial yaitu salah satunya nasabah mendapatkan
denda karena terlambat membayar cicilan karena kasus skimming tersebut.
Dalam hal ini, pihak bank tidak mau bertanggung jawab karena pihak bank
hanya berkewajiban mengganti kerugian yang diakibatkan oleh skimming
saja, tanpa memikirkan dampak bagi nasabah.
49
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007 hlm. 234
64
Nasabah merasa sangat dirugikan akan hal ini karena gagal
mendapatkan ganti kerugian dari pihak bank dapat menempuh
penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak mungkin akan
dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah
pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak
akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang
kalah.
Sengketa yang diselesaikan melalui Pengadilan, ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan oleh kedua belah pihak selain waktu
dan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, juga identitas
para pihak yang bersengketa akan diketahui oleh masyarakat.
Masalah lainnya adalah bahwa penyelesaian sengketa melalui
pengadilan prosesnya cukup lama. Hal ini tiada lain karena
proses litigasi ada beberapa tingkatan yang harus dilalui, yakni
tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN); tingkat kedua di
Pengadilan Tinggi (PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga
adalah Mahkamah Agung (MA) sebagai tingkat kasasi yang
merupakan instansi terakhir dalam hierarki lembaga peradilan.50
Suatu perkara lama selesai karena wilayah hukum dari
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi itu luas, di samping itu setiap hari
selalu saja terjadi perkara dan perkara tersebut menumpuk di Mahkamah
Agung sehingga butuh waktu yang lama untuk putusannya. Selain itu,
putusan yang diambil oleh hakim belum tentu benar-benar adil, karena
hakim biasanya memiliki pengetahuan umum atas suatu perkara.
50
http://marullohtekindustri.blogspot.co/id/2016/06/penyelesaian-sengketa-perusahaan-
secara.html?m=1, Diakses Pada Tanggal 03 Mei 2017 Pukul 17.08 Wita
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penulis menarik beberapa kesimpulan atas hasil analisis
tersebut yaitu:
1. Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM yang bermasalah
adalah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan yaitu
mencegah terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah terhadap
pelayanan jasa perbankan dan mendapatkan pembelaan hukum atas
kerugian yang telah diderita oleh nasabah.
2. Penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan ditempuh
melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi. Penyelesaian sengketa
melalui jalur non litigasi yaitu bank bertanggung jawab terhadap
pengembalian dana nasabah yang hilang akibat skimming dengan
melakukan mediasi untuk penyelesaian sengketa secara sederhana, murah
dan cepat. Sedangkan apabila nasabah tidak puas dengan ganti kerugian
akibat skimming tersebut nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan.
66
B. Saran
Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan permasalahan dan
pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang
mewajibkan pihak bank meningkatkan keamanan mesin ATM yang
dimiliki oleh bank dan menerapkan sanksi yang berat terhadap bank yang
tidak melaksanakan hal tersebut sehingga dapat melindungi nasabah dari
kejahatan penggandaan kartu ATM.
2. Agar bank lebih berhati-hati ketika sedang bekerja sama dengan vendor
yang mungkin lalai.
3. Agar nasabah lebih waspada dan berhati-hati dalam melakukan transaksi
di mesin ATM serta selalu melakukan penggantian nomor PIN ATM
secara berkala untuk meminimalisir kemungkinan resiko menjadi korban
penggandaan kartu ATM.
67
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1993
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta,
2005
Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa
Konsumen, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2014
Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka
Yustisia, 2011
Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Nusa Media,
Bandung, 2012
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata
di Pengadilan, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta
Pulo Siregar, Resiko Kartu ATM (Manfaat & Tips Aman Bertransaksi
Dengan Kartu ATM), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010
Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Justice Publisher, Bandar Lampung,
2014
68
Rizal Ramadhani, Likuidasi Terhadap Bank Yang Berbentuk Hukum
Perusahaan Daerah, Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 3, Desember 2006
Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap
Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjuan Hukum Terhadap
Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini), Citra Aditya
Bhakti, Bandung, 1994
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,
2000
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan,
(Kementerian Hukum dan HAMRI, 2011)
Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi: Uang dan Bank, PT.Rineka
Cipta, Jakarta, 2007
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, PT.Alumni, Bandung, 2003
Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1996
Veithzal Rivai, Bank and Financial Institution Managemen, Rajawali
Pres, Jakarta 2007
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan
Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007
Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2005
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2016
69
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Atas Perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821
Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 10/01/PBI/2008 Atas Perubahan
Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan
C. Sumber Lainnya
www.citybank.co.id
https://lapspi.org/profile/
https://lapspi.org/mediasi/
https://lapspi.org/ajudikasi/
https://lapspi.org/arbitranse/
http://nevacipid.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-sengketa.html?m=I
http://www.google.co.id/amp/s/m.tempo.co/amphtml/read/news/2016/10/2
7/058815667/ojk-327-nasabah-bri-mataram-laporkan-pembobolan-
rekening
http://marullohtekindustri.blogspot.co/id/2016/06/penyelesaian-sengketa-
perusahaan-secara.html?m=1