ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat dalam syair lagu daerahnya
DESCRIPTION
Ini adalah laporan penelitian dosen muda.TRANSCRIPT
i
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL
PENELITIAN DOSEN MUDA
1. Judul Penelitian : Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat
Madura dalam Syair Lagu Daerahnya
2. Bidang ilmu penelitian : Sastra
3. Ketua Peneliti :
a. Nama Lengkap : Misnadin, S.S.
b. Jenis Kelamin : L
c. NIP : 132304312
d. Pangkat/Golongan : Penata Muda / IIIa
e. Jabatan : -
f. Fakultas/Jurusan : Hukum / Sosiologi
4. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang
5. Lokasi Penelitian : Syair dan Lagu Madura
6. Bila Penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan
a. Nama Instansi : -
b. Alamat : -
7. Waktu penelitian : 8 bulan
8. Biaya : Rp.10.000.000,00
Bangkalan, 22 November 2007
Mengetahui, Ketua Peneliti
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo
(H.Moh.Amir Hamzah,SH,MH.) (Misnadin,S.S)
NIP. 131 761 435 NIP. 13230431
Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Trunojoyo
(Dr.M.Nizarul Alim,SE.,Msi,Ak.)
NIP. 132 304 991
ii
RINGKASAN
Lagu dan syair Madura merupakan salah satu wujud dari kebudayaan
masyarakat Madura yang sampai kini masih digemari oleh masyarakat. Faktor
keterbatasan pemahaman tentang lagu dan syair Madura inilah yang
menjadikannya kering makna. Kekeringan makna pada lagu dan syair Madura
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian simbolitas dan ekspresi pengarang
dalam lagu dan syair Madura menjadi penting karena berguna untuk menggali
makna baik tersurat maupun tersirat.
Hasil penelitian ini tentang keterkaitan antara ekspresi jiwa dan simbolitas
hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya. Metode penelitian ini
menggunakan kualitatif deskriptif dengan objek 25 lagu dan syair Madura yang
ditulis oleh pengarang asli Madura dan telah dibukukan. Data penelitian
menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam lagu dan syair asli Madura
dikelompokkan menjadi empat tema yakni: (1) dongeng rakyat dan
kepahlawanan, (2) karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) kondisi
alam dan aktivitas orang Madura sehari-hari, dan (4) percintaan muda-mudi.
Empat tema yang tergali merupakan ekspresi pengarang yang erat dengan
simbolitas hidup dan timbul dari pengamatan terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat Madura. Makna dalam tema lagu dan syair Madura sekaligus juga
cermin refleksi kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara
hidup masyarakat Madura dengan berbagai aktivitasnya.
iii
SUMMARY
Madurese songs become a manifestation of Madurese culture that have
been enjoyed so far by Madurese people. The limited understanding factor on
Madurese songs have made them meaningless. The meaninglessness of the songs
is interesting to investigate further. Research into the writers’ symbolity and
expression in Madurese songs is important to do because it is useful to explore
both explicit and implicit meanings of songs.
The research tried to discover the relationship between the soul expression
and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The
research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs
written by great Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that
the meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales
and patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition
of nature and Madurese people’s daily activities, and (4) stories about young
people love relationships.
The four explored themes were the writers’ expressions closely related to
their life symbolity and emerged from their observations and experiences of social
and cultural conditions of Madurese people. The meanings contained in the songs
also reflected the culture, basic character, behavior, work ethic and way of life of
Madurese people with all of their activities.
iv
PRAKATA
Dengan mengucap syukur kehadirat Allat SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada peneliti sehingga penyusunan laporan hasil penelitian dengan
judul: Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat Madura dalam Syair
Lagu Daerahnya telah terselesaikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ekspresi pengarang syair yang
asli Madura mengungkap makna-makna sosial budaya dalam kehidupan
masyarakat Madura yang terdapat pada simbolitas kata-kata yang ada dalam syair
lagu daerah Madura. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum
syair merupakan sarana kreativitas seni budaya yang indah guna mengungkap
kecintaan terhadap tanah kelahiran. Secara khusus, syair lagu daerah adalah
mediator pengarang Madura untuk menyampaikan pesan tentang makna hidup
masyarakat Madura.
Tersusunnya laporan hasil penelitian ini telah melibatkan bantuan dan
kerjasama berbagai pihak, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Pimpinan dan staf DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui
Dana DIPA DIKTI 2007,
2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo
yang membantu proses pelaksanaan penelitian ini sampai selesai,
3. Anggota peneliti yang telah membantu proses penelitian,
4. Para pengarang syair lagu daerah Madura yang telah memberikan
masukan dalam mengungkap makna syair lagu yang dikarangnya.
Terakhir harapan peneliti, semoga laporan hasil penelitian ini menjadi
bacaan pilihan pembaca yang berminat mendalami sastra daerah Madura. Selain
itu juga menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah untuk melestarikan sastra
daerah. Tak ada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membina akan
diterima dengan senang hati guna penyempurnaan laporan penelitian ini.
Bangkalan, November 2007
Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................i
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN.................................................................................................... ii
SUMMARY...................................................................................................... iii
PRAKATA ....................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
BAB I ............................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................ 6
BAB III ............................................................................................................ 9
BAB IV .......................................................................................................... 10
BAB V ............................................................................................................. 11
BAB VI ....................................................................................................... .... 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH ............................................................................ 45
C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN ......................................................... 59
LAMPIRAN......................................................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini
adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh
karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan
pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan
dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah
membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia
sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media
untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara
ditampilkan dalam berbagai kesempatan.
Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan
berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat
dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan
kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang
dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian
Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni
tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual.
Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling
menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu
bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara
yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang
telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini
menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang
digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi
berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat
mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya
Madura serta kehidupan masyarakatnya.
2
Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan
karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa
sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan
setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan
secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah
sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain.
Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah
Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan
dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas,
dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan
dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.
Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup
masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap
dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya
anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu
daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan
simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari
pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap
perkembangan syair lagu daerah.
Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah
ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah
orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan
syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk
dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah
memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair
dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku
kumpulan lagu daerah Madura.
Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan
adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu
Madura, yakni: R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd.
Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Su”udin Achmad, Adhira
3
dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian
Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku
kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat
dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak
lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura.
Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun
dari tiga versi yakni: 1) Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya ditulis
dengan notasi seperti aslinya, 2) Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu
pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri
didalamnya, 3) Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para
komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis
Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura,
seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara
dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah
nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang
mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi.
Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam
dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada
Masyarakat Madura.
Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu
diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:“Tondu’ Majang”, “Ole
Olang”, “Pa’-Opa’ iling”, “Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Lir-Saalir”,
“Es Lilin Cabbi”, “Ronjhangan”, “Kembhangnga Naghara”, “Pahlawan
Trunojoyo”, “Entara Akarang”, “Les-Balesan”, “Pa’ kopa Eling”, “E Tera’
Bulan”, “Taresna”, “Malem Kerrabhan”, “Caca Aghuna”, “Coma Dhika”,
“Palabbhuwan Kamal”, “Pajjhar Laggu,” “Pacakang Alako”, “Pajjhar”, “Ghu-
Toghu Saba”, “Ngambat Lajhangan”.
Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan
dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu
masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan
media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah
4
khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan
memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya.
Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami
maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak
tersampaikan pada generasi muda.
Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair
lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair
Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa
pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan
harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa
(simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat
Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang
lain berdasarkan pengalaman kehidupan.
Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan
masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra.
Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang
mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang
sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek
nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam
kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan
warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya
merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian
menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya.
Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah
Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura.
Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah
asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga
Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini
memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori
simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol
5
yang dipakai dalam syair lagu daerah. Berdasarkan pendahuluan di atas, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah Madura
dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam syair lagu
daerah asli Madura?
2. Bagaimanakah makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam
simbolitas syair lagu daerah asli Madura?
3. Adakah keterkaitan ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup
masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah
tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal
dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang
berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana
penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan
peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair
lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing
(2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988).
Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini
diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan
pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan
oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau
dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama
nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat.
Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan
atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala
pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang
diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan
pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai
pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas
hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.
Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra
maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial
(Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari: 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara
aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara
7
gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari
semua jenis gejala sosial.
Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau
hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan
pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk
menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan
selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang
timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990).
Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah
mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt.
Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah
1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang,
dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang
mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya;
3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra
dengan pembacanya.
Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono :
1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh
mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang
mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial.
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwa-
peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco: 1978). Semiotik
merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna
yang didasarkan pada sistem tanda (Segers: 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara
kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan
teori simbol.
Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan
dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah
lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada
8
gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan
makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986)
mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian: 1) simbol-simbol universal, yakni
yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang
dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual,
biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.
9
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Khusus
1. Mengetahui makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu
daerah Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam
syair lagu daerah asli Madura.
2. Mengetahui makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam
simbolitas syair lagu daerah asli Madura.
3. Mengetahui makna yang terkait antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna
simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.
3.2. Tujuan Umum
1. Mengetahui makna sosial budaya masyarakat Madura dalam syair lagu
Madura.
2. Mendalami dunia kepengarangan syair lagu daerah Madura.
3. Mendalami simbolitas kehidupan pengarang dan masyarakat Madura.
3.3. Manfaat Penelitian
1. Memberi gambaran makna kehidupan sosial budaya masyarakat Madura
melalui ekspresi dan simbolitas pengarang dalam syair lagu Madura.
2. Mengembangkan dan menambah wawasan penelitian tentang sastra Madura
pada umumnya dan syair lagu pada khususnya.
3. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan tentang sastra daerah guna
menentukan cara mengelola, mengembangkan dan melestarikan sastra daerah
pada umumnya dan sastra Madura pada khususnya.
10
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini
digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu
yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu
daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra.
Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya,
memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang
sesuai dengan objek penelitiannya.
Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara :
1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk
digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah
Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura
tahun 2003.
2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang
dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25
syair lagu).
3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang
diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi
sastra, teori semiotik dan teori simbol.
4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir.
11
BAB V
HASIL PEMBAHASAN
Lagu merupakan ekspresi kemanusiaan yang bersifat universal.
Universalitas lagu dapat menembus perbedaan ruang, waktu, sosial dan budaya.
Universalitas tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Banyak orang yang begitu senang menyanyikan lagu-lagu meskipun mereka
sendiri kurang atau bahkan tidak memahami makna yang terkandung di dalam
lagu-lagu tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal ini, hampir semua budaya dan masyarakat di
Indonesia memiliki corak dan kekhasan yang tercermin dalam lagu-lagu
daerahnya. Kekhasan tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai
dunia, perbedaan lingkungan geografis, dan perbedaan-perbedaan sosial dan
kultur setempat. Sebagai contoh, masyarakat budaya yang hidupnya bercocok
tanam akan memiliki corak lagu yang berbeda dengan masyarakat budaya yang
hidup sebagai nelayan.
Masyarakat Madura merupakan masyarakat budaya yang memiliki corak
kekhasan tersendiri. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang ulet
dan gigih berusaha. Sebagian masyarakat Madura hidup dengan bercocok tanam
dan sebagian lainnya hidup sebagai nelayan. Kemampuan bercocok tanam dan
bekerja sebagai nelayan tersebut banyak digambarkan dalam lagu-lagu daerahnya.
Berikut ini akan dibicarakan beberapa lagu yang merupakan cerminan kehidupan
sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut kemudian akan dianalisis
untuk memahami makna dan keterkaitannya dengan simbolitas kehidupan sosial
dan budayanya.
5.1. Makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah
Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya
(1) Tondu’ Majang
Ngapote r’wa’ lajarra etangale
Semajang tantona la padha mole
12
Mon tangghu dari ambet dha jhalanna
Mase bannya’a ongghu ollena.
O... mon ajhelling odi’na oreng majangan
Abhantal omba’ sapo’ angen salanjhangah
Reng majang bannya’ ongghu bhabhajana
Kabhilang alako bhan dha nyabana.
Lagu “Tondu’ Majang” (Giat Bekerja sebagai Nelayan) di atas
menceritakan kehidupan para nelayan. Kehidupan mereka digambarkan sangat
keras karena mereka harus mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghidupi
keluarga yang ditinggalkan dan menunggu di rumah sambil berharap suami dan
anak-anak lelakinya membawa hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang cukup
banyak untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya dijual di pasar. Kerasnya hidup
sebagai nelayan tersebut diibaratkan dengan ungkapan berbantal ombak dan
berselimutkan angin (Abhantal omba’ sapo’ angen).
Berbantal ombak bermakna bahwa mereka harus berada di laut di malam
hari dan melupakan tidur malamnya demi mencari nafkah bagi keluarganya.
Sedangkan berselimutkan angin mengandung pengertian bahwa mereka harus rela
kedinginan dihembus angin malam yang terasa sampai ke relung-relung tulang
mereka. Tidak jarang mereka harus merasakan dinginnya air hujan dan panasnya
sengatan matahari di tengah-tengah hempasan gelombang laut yang dahsyat.
Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggambarkan semangat
masyarakat nelayan Madura yang tidak pernah mengenal lelah dan rasa takut
dalam bekerja untuk menghidupi keluarganya. Mereka menjalankan tugasnya
sebagai nelayan dengan semangat tinggi dengan kadang-kadang tidak
memperdulikan bahaya dan risiko kehilangan nyawa yang sewaktu-waktu bisa
menimpa mereka selama perjalanan menunju ke laut ataupun ke darat. Bagi
mereka, pekerjaan merupakan ibadah yang wajib dijalankan dan mati ketika
melakukan ibadah adalah mati syahid. Keyakinan inilah yang memperkuat
semangat dan kegigihan mereka bekerja tanpa mengenal lelah dan rasa takut.
(2) Ole Olang
Ole olang olang, paraona alajara, alajar ka Temor Daja,
Ole olang praona alajara,
13
Ole olang, A lajara ka Madhura,
Ole olang, Tojjhuwanna ka Mor Daja,
Ole Olang, alajar dari Sorbhaja
Lagu “Ole Olang” di atas menggambarkan sesuatu yang berbeda dari
lagu “Tondu’ Majhang”. Lagu ini tidak bercerita tentang kerasnya hidup sebagai
nelayan melainkan hanya menceritakan perjalanan pulang orang Madura dari
pulau lain menuju ke Pulau Madura, dalam hal ini berlayar dari Kota Surabaya.
Seperti kita ketahui, karena kondisi alam Madura yang kurang
menjanjikan terutama untuk kegiatan pertanian, banyak orang Madura merantau
ke pulau-pulau lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Banyak dari mereka mendapatkan keberhasilan di tempat perantauan tersebut.
Sebagai perantau, mereka tidak pernah melupakan daerah asalnya dengan
mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya di Madura.
Lagu ini merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha
menggambarkan perasaan orang Madura ketika mereka berlayar pulang menuju
kampung halamannya dengan membawa hasil kerja keras mereka selama di
perantauan. Ungkapan ole olang memperkuat rasa kegembiraan mereka selama
perjalanan pulang ke Madura. Selama perjalanan pulan, pikiran mereka dipenuhi
dengan keinginan bertemu orang-orang yang dicintainya setelah begitu lama
ditinggalkan merantau ke pulau-pulau lain maupun ke negeri seberang demi
kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dan sanak saudaranya di kampung.
(3) Pa’-Opa’ Iling
Pa’ o pa’ iling, Dang dang asoko randhi,
Reng towana tar ngaleleng,
Ajhara ngajhi babana cabbhi,
Le olena gheddhang bighi.
Lagu “Pa’- Opa’ Iling” biasanya dinyanyikan orang tua ketika mereka
menimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil. Lagu ini terutama
dinyanyikan ketika anak sedang belajar berdiri.
Meskipun lagu ini hanya terdiri dari empat baris, pengarang berusaha
mengungkapkan beberapa hal. Lagu ini mengandung ajaran yang sangat berguna.
14
Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, masyarakat
Madura selalu mewajibkan anak-anaknya untuk belajar mengaji yang merupakan
alat untuk memperdalam ilmu agama kelak ketika mereka sudah dewasa.
Lagu di atas juga mengungkapkan bahwa tugas orang tua adalah bekerja
keras untuk bisa membuat anak-anaknya pintar. Dalam hal ini, mengaji tidak
hanya berarti mengaji Al-Qur’an tetapi bisa diartikan pula sebagai kegiatan
mencari ilmu bagi bekal kehidupan di masa yang akan datang. Bagi masyarakat
Madura, anak-anak tidak boleh mewarisi kebodohannya. Orang tua mungkin
bodoh tetapi anak-anaknya tidak boleh mengalami pengalaman jelek yang telah
mereka hadapi. Oleh karena itu, mereka tidak bosan-bosan selalu mengingatkan
anak-anaknya untuk belajar dan menuntut ilmu agar mereka kelak tidak
mengalami kebodohan dan kesulitan hidup seperti orang tuanya. Masyarakat
Madura meyakini bahwa orang yang berilmu akan lebih mudah mengatasi
masalah yang sewaktu-waktu muncul dalam kehidupan ini.
(4) Soto Madhura
Kaula paneka, oreng Madhura
Katana Jhaba, toron Sorbhaja,
Ajhuwalan soto Madhura, ajhuwalan soto Madhura,
Soto Madhura, soto Madhura...
Lagu “Soto Madhura” menceritakan perjalanan orang Madura yang
merantau ke Pulau Jawa dan berjualan soto Madura di Surabaya. Pekerjaan
sebagai penjual soto berlangsung turun-temurun dan menjadi pekerjaan yang
cukup menjanjikan untuk menopang kehidupan mereka dan keluarganya yang
ditinggal di Madura.
Berjualan soto Madura telah menjadi kebanggaan bagi orang Madura
yang tinggal di perantauan karena dengan soto Maduranya mereka bisa
menunjukkan kepada masyarakat non-Madura bahwa Madura juga memiliki
makanan khas yang dapat dinikmati orang lain. Soto Madura hampir dapat
dijumpai di seluruh Indonesia.
15
(5) Kerrabhan Sape
Sabbhan taon e Madhura la tanto ramme.
Bannya’ reng manca pada dateng dari jhau
Parlo nengghuwa kerrabhan sape Madhura
E ................. Sape buru dhuli buru
E ................. Sape buru dhuli buru
Lagu “Kerrabhan Sape” ini menceritakan pegelaran kerapan sapi di
Madura yang biasanya diadakan setiap tahun di Kota Pamekasan. Budaya kerapan
sapi telah menjadi ikon Madura pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya.
Setiap tahun diadakan lomba kerapan sapi yang memperebutkan piala
Presiden Republik Indonesia. Hanya sapi-sapi terpilih saja yang dapat mengikuti
perlombaan tersebut. Biasanya setiap kabupaten di Madura hanya mengirimkan
empat pasang sapi pilihan yang akan diadu untuk memperebutkan piala tersebut.
Kerapan sapi tidak hanya diminati masyarakat Madura. Banyak orang
dari daerah lain di Indonesia bahkan dari manca negara datang berbondong-
bondong untuk menyaksikannya.
(6) Lir saalir
Lir saalir, alir alir, kung! Ngare’ benta ngeba sada,
Mon motta esambi keya, Lir saalir, alir alir, kung!
Tada’ kasta neng e ada’, Ghi’ kasta e budi keya,
Lir saalir, alir alir, kung!
Perreng pettong pote pote, Reng lalakon patengate....
“Lir Saalir” merupakan lagu yang biasanya dinyanyikan anak-anak
ketika mereka bermain di tengah terangnya rembulan. Lagu ini berbentuk pantun
nasihat yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan ini.
Melalui lagu ini pengarang berusaha memperingatkan kita untuk selalu
berhati-hati dalam mengambil tindakan, berhati-hati dalam bertingkah laku,
berbicara, dan bersikap. Lagu ini menyarankan kepada kita untuk berpikir dengan
jernih sebelum mengambil tindakan, membuat keputusan, ataupun tindakan-
tindakan penting lainnya. Kesalahan mengambil tindakan atau memutuskan
sesuatu akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari (Tada’ kasta neng e
16
ada’, Ghi’ kasta e budi keya). Jadi, kita dituntut hati-hati dalam bertindak dan
berperilaku agar tidak menyesal di kemudian hari.
(7) Es Lilin Cabbhi
Akaleleng kotta.......... kabara’ soka temor, ......
Nyajhaaghi es lilin lemma’ manes nyaman ta’ baddhay,
Nyare pangore reng tuwa ban sana’ e dhisa
paghunongan
Es lilin cabbhi ayo bhi Bhittas ngonyer a yo nyer
Nyerra otang a yo tang, Tanggal ennem a yo nem,
Nemmo padi ayo di, Di kapandi. ............
Bariya re panglepor ate sangsara.....
Lagu “Es Lilin Cabbhi” bercerita tentang seorang penjual es keliling
yang bekerja untuk menghidupi orang tua dan keluarganya yang tinggal jauh di
desa di daerah pegunungan. Penjual es ini adalah seorang pekerja keras dan tidak
mengenal lelah yang menjual esnya dengan mengelilingi kota.
Keuletan dan kegigihan penjual es yang digambarkan dalam lagu ini
merupakan ciri khas orang Madura yang tidak mengenal lelah dalam bekerja.
Mereka tidak malu menjalani pekerjaan apapun asalkan pekerjaan itu bisa
menyambung hidupnya dan hasil yang diperolehnya halal serta tidak bertentangan
dengan hukum agama maupun hukum negara.
(8) Ronjhangan
R’wa’ ronjhangan la etabbhu e tabbhu,
ronjhanganna la amonye,
monyena sajan lanyeng jan lanyeng,
Nyennengaghi ka kopeng s’pada ngeding.
Reng tane pada anga bhunga padina la e toto,
Ronjhanganna la amonye amonye,
Tik tak tik tuk tik tak tik senneng ongghu.
Lagu “Ronjhangan” (ronjhangan merupakan alat tradisional Madura
yang digunakan petani untuk menumbuk gabah kering untuk menghasilkan beras)
adalah bentuk ekspresi pengarang dalam menceritakan kegembiraan para petani
17
karena mereka baru saja melakukan panen padi di sawah. Pada jaman dahulu,
mesin selep belum dikenal sehingga mereka menggunakan ronjhangan untuk
menumbuk gabah. Ketika proses berlangsung, terdengar bunyi yang dihasilkan
alat tersebut. Meskipun terdengar ramai, mereka merasa sangat senang karena
sebentar lagi mereka akan memperoleh beras (Reng tane pada anga bhunga
padina la e toto). Menumbuk padi dengan menggunakan ronjhangan biasanya
dilakukan oleh ibu-ibu dan remaja putri secara bersama-sama.
Makanan khas orang Madura dahulu adalah jagung. Namun, seiring
dengan kemajuan teknologi pertanian padi juga ditanam petani terutama di
wilayah-wilayah Madura yang tanahnya tidak tadah hujan. Bagi sebagian besar
masyarakat Madura, terutama kelompok masyarakat yang hidup di desa dengan
keadaan ekonomi pas-pasan, musim panen padi menjadi musim yang sangat
ditunggu-tunggu karena biasanya pada musim panen tersebut mereka bisa
menikmati makan nasi putih tanpa dicampur dengan jagung.
(9) Kembhangnga Naghara
Onenga panjhenengan sadhaja para potre e Madhura,
Jha’ dhimen ghi’ bakto jhaman rajha,
Bada kembhangnga naghara
Pangeran Cakraningrat ‘peng empa’,
kasebbhut Sidingkap jhugha..
K’sastreya paneka ampon nyata socce abhilla naghara
K’sastreya se gaga’ bangal bhuru,
E jhi pojhi ta’ bu ambu.
Bhadi kaca kebbhang para ngoda
Pamondhi Madhura....
“Kembhangnga Naghara” merupakan lagu daerah Madura yang khusus
menceritakan kepahlawanan Pangeran Cakraningrat IV. Dia adalah seorang
ksatria dari Madura yang pantang menyerah dan rela berkorban untuk membela
bangsa dan negara.
Kepahlawanannya merupakan simbol sifat orang Madura yang gigih,
rela berkorban dan pantang menyerah untuk membela kebenaran dan keadilan
18
yang dapat dijadikan teladan oleh para pemuda penerus bangsa (Bhadi kaca
kebbhang para ngoda pamondhi Madhura).
Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggugah masyarakat Madura
untuk meneladani semangat juang para pahlawan. Meskipun mereka sudah wafat
ratusan tahun yang lalu, kita harus berusaha mengenang jasa-jasanya dan
mengikuti jejak-jejak kebaikan dan keteladanan yang telah ditorehkannya.
Semangat, keberanian, keikhlasan berjuang, dan kesukarelaan mereka patut kita
contoh untuk membangun bangsa dan negara kita kedepan.
(10) Pahlawan Trunojoyo
Kabit dhimen ampon kaalok pahlawan Madhura.
Ta rongghu abhilla kadhilan Nusantara.
Trunojoyo gaga’ tor bengal menangka pahlawan
Salerana bhabhar, e pabhabharan kotta Sampang
Tojjhuepon malejjhar panjhajhah dari Indonesia,
Terros maju tor nantang alorok mosona
Trunjoyo sedha amargha etepo bhangsana
Namung lampaepon e bhut sebbhut salanjhanga.
“Pahlawan Trunojoyo” merupakan contoh lain dari lagu yang
mengekspresikan penghormatan masyarakat Madura kepada para pahlawan
bangsa dan negara. Pahlawan dalam pandangan masyarakat Madura adalah orang
yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dikenang jasa-jasanya, dan diteladani
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Lagu di atas bercerita tentang sosok pahlawan nasional yang berasal dari
Sampang Madura. Dia adalah Trunojoyo yang dengan tanpa pamrih dan semangat
berkobar-kobar tidak pernah gentar dalam membela bangsa dan negara untuk
mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Trunojoyo adalah pahlawan yang gagah
dan pemberani.
Lebih lanjut lagu tersebut mengungkapkan bahwa Trunojoyo wafat
bukan karena tipu muslihat penjajah melainkan karena akal bulus bangsanya
sendiri. Trunojoyo memang sudah lama wafat namun apa yang telah dilakukannya
19
akan selalu diingat dan dikenang orang selamanya. Dia adalah sosok pahlawan
bangsa yang patut diteladani.
Melalui lagu ini, pengarang berusaha mengingatkan kita bahwa
persatuan dan kesatuan menjadi hal yang sangat penting untuk membangun
bangsa dan negara. Diperlukan kekompakan dan kerjasama yang kokoh untuk
membangun suatu bangsa karena tanpanya sulit bagi kita mencapai kemenangan
dan kejayaan. Penghianatan adalah perbuatan jelek yang harus dihindari karena
tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain serta bangsa dan
negara secara keseluruhan.
(11) Entar Akarang
Entar akarang bula, nyareya kerrang bula,
Ka pengghir sereng, ta’ osa nyambi bella,
mong yambi kereng,
olle pas teng-teng,
Du, senneng areng bhareng ca kanca,
Nyare engon abhanto oreng tuwa,
Tanembhang enmaenan malolo,
Mowang bakto parcoma ta’ aghuna,
Maddha dhuliyan kanca
Aeng pon sorot, makko ombai caraca,
Kenneng pancale
Lagu “Entar Akarang” (Mencari Kerang) menceritakan aktivitas yang
biasa dilakukan orang dewasa dan anak-anak utamanya yang tinggal di daerah
pesisir pantai untuk mencari kerang dan sejenisnya. Aktivitas tersebut biasa
dilakukan ketika air laut dalam keadaan surut dan dilakukan secara berkelompok.
Mencari kerang bagi masyarakat pesisir menjadi aktivitas yang
menyenangkan dan juga menghasilkan. Sama halnya dengan nelayan yang
mencari ikan, mereka juga menjual hasil tangkapan kerangnya selain juga
dikonsumsi sendiri. Kegiatan ini bersifat santai dan dilakukan ketika mereka
sedang tidak melaut atau sebagai pengisi waktu luang sambil menunggu waktu
untuk berangkat ke laut mencari ikan.
20
Melalui lagu tersebut pengarang berusaha mengajak dan menganjurkan
kaum muda untuk tidak membuang-buang waktu dengan sia-sia atau hanya
digunakan untuk bermain belaka (Tanembhang enmaenan malolo, mowang bakto
parcoma ta’ aghuna). Dalam masyarakat Madura, anak-anak sejak dini memang
sudah diajari untuk bekerja membantu orang tua. Proses ini akan sangat
membantu mereka ketika sudah menginjak dewasa karena sejak dini anak-anak
sudah terbiasa bekerja keras. Selain itu, mencari karang juga mengasyikkan
karena dilakukan secara bersama-sama teman sebaya. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan sesuatu tetapi juga
menyenangkan hati.
(12) Ghu-Toghu Saba
Salagghu neng esaba, ghu-toghu so ca-kanca, ajaga
asel tane, padina la ngakoneng, horra! Horra mano’
horre! Ghu-toghu esaba, maperak ate, amargha
molongnga asella tane......
“Ghu-Toghu Saba” (Menjaga Padi di Sawah) merupakan lagu yang
menceritakan kegiatan anak-anak dan orang dewasa yang sedang menjaga padi di
sawah agar padi tidak dimakan burung. Biasanya aktivitas menjaga padi di sawah
ini dilakukan mulai pagi sampai menjelang sore.
Untuk mengusir burung mereka menggunakan alat bunyi-bunyian seperti
kentongan dan sejenisnya dan kadang-kadang juga memasang orang-orangan di
tengah sawah. Orang-orangan yang biasanya terbuat dari jerami dan diberi baju
tersebut diikat dengan tali. Ketika ada burung yang hinggap dan memakan padi,
orang-orangan digerakkan dengan menarik tali yang diikatkan tersebut atau
membunyikan kentongan keras-keras sehingga membuat burung yang akan
hinggap di sawah terbang ketakutan.
Kegiatan ini juga dilakukan dengan senang karena sebentar lagi mereka
akan menikmati hasil panen padi (Ghu-toghu e saba maperak ate amargha
molongnga asela tane).
21
(13) Caca Aghuna
Ya’ tampar ya’ tampar, mulet nyono’ ka cengkol, mon
lapar yu’ nono tela sapekol, ka’ koorang, ka’ koorang,
ka’ koorang, mon coma neng sapekol, arapa ma’ pada
bongsombongan, acaca ta’ mambhu ongnaongan, lebbi
becce’ caca seaghuna, nyauwaghi ka jhuba’ panyana,
arapa arapa, bhujung bada eroma, acaca acaca
ngangghuya tatakrama, yu’ kanca kakabbhi, yu’ kanca
pada a alako se aghuna.
“Caca Aghuna” (Perkataan yang Berguna) berisi nasihat agar orang
selalu berhati-hati dalam berkata-kata karena perkataan tidak jauh berbeda dengan
perbuatan. Orang akan dihormati atau dihina karena perkataannya.
Lagu tersebut juga menyarankan agar kita selalu mengatakan sesuatu
yang berguna karena akan menjauhkan diri dari kejelekan (lebbi becce’ acaca
seaghuna, nyawuaghi ka jhuba’ panyana). Tidak hanya itu, ketika berbicara kita
harus menggunakan tatakrama (acaca ngangghuya tatakrama), yaitu kita harus
melihat siapa yang kita ajak bicara. Berbicara dengan sesama teman sebaya
tentunya akan berbeda dengan berbicara kepada orang tua atau orang yang patut
dihormati. Maka dari itu, anak-anak dalam masyarakat Madura sudah sejak dini
diperknalkan dengan tingkatan bahasa, yaitu bahasa enja’ iya, enggi enten, dan
enggi bunten. Orang yang tidak mampu menggunakan tingkatan bahasa tersebut
sesuai dengan situasi dan kondisi dianggap orang yang tidak mengerti tatakrama.
(14) Les-Balesan
Arapa ma’ nojjhune ta’ nyapa, la-pola senko’ andi’
sala, Enja’ sengko’ ta’ apa-rapa, Coma ta’ kenceng
acaca, Ma’ pas akolba’na budi arena, Sapa bara’ ro,
Namen tales pengghir paghar, Ta’ enga’ lamba’ ro,
Aba’ males sengka ajhar, Sapa bara’ ro, Mano’ keddhi’
ca’-lonca’an, Ta’ enga’ lamba’ ro, Mon ta’ andi’ ta’-
penta’an
“Les-Balesan” (Saling Membalas) adalah lagu yang berbentuk pantun
nasihat. Lagu tersebut mengandung ajaran dan nasihat yang patut diikuti
22
masyarakat Madura. Lagu di atas menyarankan kepada para anak muda untuk
tidak malas mencari ilmu karena akan membuat mereka menyesal kelak ketika
mereka sudah tua (Ta’ enga’ lamba’ ro, Aba’ males sengka ajhar). Di samping
itu, lagu tersebut juga mengandung nasihat umum agar masyarakat Madura
mengedepankan semangat kekeluargaan dalam berhubungan, saling membantu
dan bergotong royong dalam mengatasi persoalan hidup.
Dalam hal itu, kita disarankan untuk tidak melupakan pertolongan orang
lain. Kita tidak boleh hanya meminta pertolongan tetapi enggan memberikan
pertolongan sementara kita mampu melakukannya. Jadi, yang perlu ditekankan di
sini adalah prinsip mutualisme (Ta’ enga’ lamba’ ro, Mon ta’ andi’ ta’ penta’an).
(15) E Tera’ Bulan
Ampon dapa’ baktona tera’ bulan, Sadnajhana tore
akompol pas maelang sossa ate katon rota’ apangghi...
E tera’ bulan tarkataran sonarra, langgnge’ bherse,
bintang pote dhap-ngarreddhap ce’ pernana. Tan-
taretan jha pas kangse’ apesa eman ongghu pagghun
akompol pada tresna Madhura.
Lagu “E Tera’ Bulan” (Waktu Terang Bulan) merupakan lagu yang
sering dinyanyikan kaum muda maupun kaum tua Madura ketika bulan purnama
muncul. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang tinggal di daerah
pedesaan ketika listrik belum masuk desa. Kebahagian terlihat di raut wajah
mereka ketika bulan purnama yang memancarkan sinarnya yang terang benderang
tersebut muncul di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pada saat bulan purnama orang-orang biasanya berkumpul dan
bercengkrama. Mereka keluar rumah dan duduk-duduk di tempat yang tidak
terhalang pepohonan. Tidak jarang momen tersebut digunakan untuk
mendiskusikan sesuatu yang mereka hadapi dalam hidup. Namun, pada intinya
kegiatan berkumpul ketika bulan purnama tiba digunakan untuk menghilangkan
segala kepenatan hidup dengan berusaha melupakan persoalan hidup walaupun
hanya sesaat (Ampon dapa’ baktona tera’ bulan, Sadnajhana tore akompol pas
23
maelang sossa ate katon rota’ apangghi...). Dengan kata lain, momen terang
bulan juga digunakan untuk saling bertemu karena setiap orang mempunyai
kesibukan dengan pekerjaannya masing-masing di siang hari.
(16) Taresna
Berra’ bula seapesa’a marghana dhika pon abit cekka’
e ate saestona coma dhika panglepor ate. Aka ekeba
mate. Nape seekakarep ongghu bula ta’ ngarte ta’
kobasa pole bule n’resnane dhika parandhineng ta’
kasta. Seddhi bula mekkere dhika robana dhika segghut
maombar edalem mempe dada bula t’ros taobbhar
dalem taresna.
Lagu “Taresna” (Cinta) mengisahkan seorang pemuda dan pemudi yang
sedang dilanda cinta. Karena sesuatu hal, kedua kekasih yang sudah lama
memadu kasih tersebut harus berpisah. Perpisahan tersebut sangat berat untuk
mereka hadapi (Berra’ bula seapesa’a marghana dhika pon abit cekka’ e ate
saestona coma dhika panglepor ate).
Sang kekasih tidak habis mengerti mengapa dia harus berpisah seperti
itu. Perpisahan itu telah membuatnya sangat sedih dan menyesal mengapa
percintaan mereka harus berakhir seperti itu. Karena sang kekasih selalu
memikirkannya, wajah kekasihnya selalu muncul dalam mimpinya dan hal itu
semakin membuat cintanya berkobar-kobar (Seddhi bula mekkere dhika robana
dhika segghut maombar edalem mempe dada bula t’ros taobbhar dalem taresna).
Melalui lagu ini pengarang berusaha mengungkapkan bahwa kadang-
kadang kecintaan kita yang berlebihan kepada seseorang dapat menyiksa batin
dan perasaan kita. Hal itu bisa terjadi ketika orang yang dicintai tidak memiliki
kesamaan pandangan dan keinginan. Ketika hal itu terjadi, yang muncul
berikutnya adalah perpisahan yang begitu menyakitkan karena cinta telah terbiasa
membuat orang merasakan kebahagiaan hidup ini. Oleh karena itu, ketika cinta
mulai tercerabut dari hati seseorang karena ketidakcocokan atau sebab-sebab
lainnya, yang terjadi adalah perasaan sedih yang sulit diatasi. Tidak jarang, hal
24
tersebut menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan dan kadang-kadang tragis
seperti kegilaan dan perbuatan bunuh diri.
(17) Coma Dhika
Coma dhika sebada e ate. Bula taresna esto ka dhika
tada’ selaen bulacoma ngarep dhika tada’ selaen coma
dhika sengapencote. Du, bula ta’ kera loppa margha
pesemma. Du, dhika b’wana ate sakabbhina coma
dhika! Coma dhika! Dhika ban bula mogha ta’ tapesa’a
bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna.
“Coma Dhika” (Cuma Kamu) juga merupakan lagu yang
mengekspresikan perasaan cinta kepada kekasih. Tema lagu ini berbeda dengan
lagu cinta sebelumnya. Lagu ini bercerita tentang kekaguman seorang kekasih
kepada kekasihnya. Sang kekasih mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia
adalah satu-satunya orang yang ada dalam hatinya. Menurutnya tidak ada orang
lain yang dia cintai, sayangi, dan kagumi kecuali dirinya (Bula taresna esto ka
dhika tada’ selaen bulacoma ngarep dhika tada’ selaen coma dhika
sengapencote).
Satu hal yang membuat sang kekasih tersebut jatuh cinta adalah
senyuman kekasihnya. Senyuman tersebut tidak akan pernah terlupakan olehnya
(Du, bula ta’ kera loppa margha pesemma). Senyuman itu pula yang membuat
perasaan cinta dan sayangnya semakin besar kepadanya dengan disertai harapan
mereka tidak akan pernah terpisah satu sama lainnya (Dhika ban bula mogha ta’
tapesa’a bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna). Sang kekasih mengatakan
bahwa kekasihnya adalah satu-satu orang yang dia rindukan dalam hidup ini.
Melalui lagu ini pengarang ingin mengekspresikan bahwa perasaan cinta
adalah sesuatu yang universal karena ia adalah manusiawi sifatnya. Setiap
manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai dan hal seperti itu tidak
mengenal batas-batas sosial dan budaya. Di mana ada manusia hidup
bermasyarakat, di situ akan timbul benih-benih perasaan cinta, baik cinta yang
ditimbulkan karena persahabatan, persaudaraan maupun cinta yang timbul karena
ketertartikan antara laki-laki dan perempuan yang mengarah pada keinginan untuk
25
menyatukan diri dalam ikatan perkawinan untuk menggapai kebahagiaan hidup
sebagai keluarga yang utuh.
(18) Malem Kerrabhan
Ebakto malem kerrabhan e Bhangkalan pon tanto
ramme, bannya’ oreng ban reng manca dateng parlo
ngal-nengale. E lon-alon se ghir daja kennengnganna
reng ajhuwalan ban tatengghunna da’ pole kajhabhana
salabatdhan. Dari jhau pon kapereng monyena
Tuktukgha sape. Mataghiyur atena sadhaja reng se
ghunengghuwa E bakto malem kerrabhan, ramme ban
reng se lanjhalanan kasempatdhanka pra ngoda dateng
parlo gol-senggolan.
“Malem Kerrabhan” (Malam Kerapan Sapi) adalah lagu yang
menggambarkan keramaian suasana di malam kerapan sapi di kota Bangkalan.
Pada malam itu terlihat banyak orang berdatangan untuk menonton kerapan sapi
keesokan harinya. Yang menarik adalah bahwa orang yang datang bukan hanya
dari Madura tetapi juga ada dari mereka yang datang dari luar negeri.
Digambarkan juga bahwa di alun-alun sebelah utara ditempati orang
berjualan. Selain itu, orang yang datang ke alun-alun juga bisa menyaksikan
pertunjukan yang telah disediakan oleh panitia. Keramaian di malam kerapan sapi
juga dimanfaatkan kaum muda untuk bertemu pasangannya masing-masing.
(19) Palabbhuwan Kamal
Du, arowa neng e palabbhuwan Kamal. Bannya’ motor
senyabbhranga ka Sorbhaja. Ngeba bharang
dhaghangan hasel Madhura. Se ella kalonta e tana
jhaba. Du, arowa neng e Palabbhuwan Kamal. Ondhur
dateng reng se nompa’ prao messin. Bannya’ keya reng
se coma lanjhalanan parlo ngal-nengale malepor ate.
“Palabbhuwan Kamal” (Pelabuhan Kamal) menceritakan keramaian di
Pelabuhan Kamal Madura. Diceritakan bahwa banyak mobil menyeberang
melewati pelabuhan tersebut mengangkut barang dagangan dari Madura yang
26
akan dijual ke Pulau Jawa. Terlihat banyak orang yang lalu lalang dengan
mengendarai perahu mesin.
Dari sekian banyak orang yang lalu lalang tersebut, ada yang memang
mau berdagang tetapi juga ada yang sekadar jalan-jalan untuk menghilangkan rasa
sedih dan kesulitan hidup.
(20) Pacakang Alako
Klaban dhasar Pancasila to Dhang-Undhang Dhasar
Empa’ Lema’ Esse’e kamardhika’an Indonesia
abhangon e sabbhan bidang. Settong naghara se rajha,
pon kalonta da’ manca naghara, ngasellaghi
kabhutowan searopa: sandhang pangan ban laenna.
Dari jhau katengal mentamenan tombu ghumbhus
rampa’ cengngar ngabhiru. Nandhaaghi jha’ bhume
Indonesia tanaepon sanget landhu. Oh, potra potre
sadhaja nyara sroju’ pacakang alako, nyopre kantos
abhukte settong masyarakat, adhil ma’mor pada melo.
“Pacakang Alako” (Giatlah Bekerja) menceritakan kondisi negara
Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Lagu ini menggugah semangat
rakyat Indonesia untuk membangun dan mengisi kemerdekaan Negara Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tanah Nusantara yang begitu subur menjadikan segala macam tanaman
yang dapat digunakan bagi kepentingan rakyat Indonesia tumbuh dengan begitu
suburnya. Tumbuh-tumbuhan menghijau daunnya sebagai pertanda tanahnya
subur. Kekayaan alam yang tersedia di negeri ini tidak akan ada artinya apabila
tidak diiringi dengan semangat untuk bekerja dengan giat. Oleh karena itu, sudah
saatnya bagi putra-putri Indonesia untuk menyingsingkan lengan baju guna
mewujudkan negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui lagu ini pengarang berusaha menggugah semangat putra-putri
Indonesia untuk giat bekerja. Kekayaan alam tidak akan ada artinya apabila kita
tidak berusaha mengolahnya dan hanya mengandalkannya saja. Sudah saatnya
kita menyingsingkan lengan baju bekerja keras untuk mengolah sumber kekayaan
alam yang tersimpan di bumi Indonesia.
27
(21) Pajjhar
Pajjhar ampon ngombar dari mongging temor, bulan
pornama abak ngabara pon para competdha. Angen
ser-ngalesser cellep tape seggher, Bintang porteka
ngadhirap terrang sonarra ngabhiru. Ajam saroju’
pada akongko’ monyena sanget lante, Menangka
tandha nyara sadhaja kasokana abungo. Pajjar ampon
ngombar dari mongghing temor, Soddhi taretan nyara
sahaja pada’a alako.
“Pajjhar” (Fajar) adalah lagu yang menceritakan keadaan di pagi hari.
Di pagi hari angin berhembus sepoi-sepoi dan menyegarkan. Datangnya fajar
menandakan datangnya siang. Sudah saatnya orang bangun untuk bekerja di
sawah dan di kebun. Masyarakat Madura yang bekerja sebagai petani biasanya
berbondong-bondong pergi ke sawah atau ke kebun dengan membawa cangkul
dan peralatan pertanian lainnnya. Sebagian ibu-ibu juga pergi ke sawah menyiangi
rumput yang tumbuh bersama tanaman padi atau jagung. Sebagian orang mencari
makanan sapi dan ternak lainnya. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing.
(22) Ngennes
Aduh ngennessa e malem talebat seppena, Ojhan ta’
ambu, Kelappa rang-rangrang nako’e, Kali marentek
Ebhuna. Kerrong ka Eppa’na se ella abit apesa, Adhina
ana’ bine, Parlo abhilla naghara, Ngoman ebhuna,
Bengrembeng ta’ manggha mekkere, Tedung cong
tedung, Eppa’na lagghu’ la abali.
“Ngennes” (Merana) mengisahkan seorang ibu dan anaknya yang
ditinggal pergi ayahnya untuk membela negara. Anak kecil tersebut merengek-
rengek kepada ibunya karena dia sudah lama ditinggalkan ayahnya. Dia ingin
bertemu sang ayah tetapi sang ayah tidak pulang-pulang. Sang ibu tidak kuasa
memendam kesedihan karena sang anak terus-menerus menanyakan kapan
ayahnya akan pulang. Untuk menghibur sang anak, ibu tersebut menyuruh
anaknya tidur karena ayahnya akan pulang besok.
28
Dalam perkembangan selanjutnya, lagu di atas juga mengekspresikan
kesedihan ibu dan anak yang ditinggal merantau oleh sang kepala keluarga.
Banyak kaum laki-laki Madura harus meninggalkan Madura untuk bekerja di
daerah lain. Mereka biasanya tidak kembali ke kampung halamannya selama
bertahun-tahun meninggalkan keluarga yang dicintainya.
(23) Mosem Anye
Mare pajjhar la pada ajhalan, dapa’ kasaba are bhuru
ombar. Mano’ ngoce ramme ot saotdhan, anye elepor
lanceng paraban. Mosem anye padi pada dhaddhi,
tondu’ merras hasella cokop madhane, Asar maba la
mole abhareng, padi epekol eso’on atena senneng.
“Mosem Anye” (Musim Panen Padi) menceritakan suka cita orang
Madura ketika musim panen tiba. Di pagi-pagi buta mereka sudah pergi ke sawah.
Tua muda bersama-sama bekerja untuk memanen padi. Di sana-sini terdengar
burung-burung bernyanyi bersahut-sahutan. Padi terlihat merunduk dan berisi
yang menandakan bahwa hasil panen saat ini akan banyak. Di sore hari mereka
kembali ke rumah dengan membawa hasil panennya. Mereka semua kelihatan
bersuka gembira dan bersyukur atas keberhasilan panennya.
(24) Pajjhar Lagghu
Pajjhar lagghu arena pon nyonara. Bapa’ tane se
tedung pon jhagha’a. Ngala’ are’ so landhu’ tor
capengnga, A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.
Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna
nagharana ban bangsana.
“Pajjhar Lagghu” (Fajar Pagi) adalah lagu yang menggambarkan fajar di
pagi hari. Ketika fajar tiba, matahari pun terbit menandakan bahwa sudah
waktunya bagi petani untuk pergi ke sawah dan ladang.
Para petani pergi ke sawah membawa cangkul dan topi untuk
melaksanakan pekerjaannya guna menghidupi keluarganya. Mereka menanam
segala jenis tanaman untuk kemakmuran negara dan bangsanya. Bagi masyarakat
Madura bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama. Meskipun sebagian
29
tanahnya tidak begitu subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang
menyerah mereka dapat menghasilkan sesuatu dari bercocok tanam tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong
dalam bercocok tanam. Ini dilakukan secara bergantian. Anak-anak yang sudah
dewasa dan cukup kuat untuk menggunakan cangkul juga tidak segan-segan
membantu orang tuanya bercocok tanam di sawah dan di ladang. Dari situ,
mereka mulai mengenal cara-cara bercocok tanam.
(25) Ngambhat Lajangan
Mara ocol lajanganna ghun e dissa, Sengko’ se
ngambhadha pas olok angenna, Selunganna pas
tegghu’ jha’ pasaleng ka’, Bhinareng ya’ angenna pas
ceddhu, Lajanganna akaleppek ongghu, Peopeope,
Mara pas dateng, Makko naspanas, Ngambhat e diya,
Lebur ongghu alajangan ghun diya, la la la la la la, Hm
hm hm
“Ngambhat Lajangan” (Menarik layang-layang agar bisa terbang) adalah
lagu yang menceritakan kegiatan bermain layang-layang yang biasa dilakukan
masyarakat Madura ketika mereka pulang dari sawah dan ladang. Bermain
layang-layang dijadikan hiburan setelah lelah bekerja di sawah dan di ladang.
Layang-layang biasanya dilengkapi dengan bunyi-bunyian sehingga
membuat suasana menjadi lebih meriah. Terdapat banyak jenis layang-layang
yang dimainkan baik dari segi bentuk, warna maupun ukurannya. Anak-anak
cenderung bermain layang-layang kecil sedangkan orang dewasa bermain layang-
layang yang besar.
Musim layang-layang biasanya bersamaan dengan musim tanam
tembakau karena cuaca pada musim tanam bakau biasanya cerah dan hembusan
angin cukup kencang untuk bisa menerbangkan layang-layang.
5.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu
daerah asli Madura
Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura
dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam
30
penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni
lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat
itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan
oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada
pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat
Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah
asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan
khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan
yang mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke
generasi. Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil
merekam dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada
Masyarakat Madura.
Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang
menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura
yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang
berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat
dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi
masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik
ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup
bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia. Berikut ini akan dikelompokkan
25 lagu yang menjadi pusat analisis dalam penelitian ini berdasarkan tema-
temanya. Pada dasarnya, tema yang diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar
tentang dongeng rakyat Madura, perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara
dan lain-lain).
5.2.1. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
dongeng rakyat dan kepahlawanan
Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki
tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah “Kembangnga Naghara”
dan “Pahlawan Trunojoyo”. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan
Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi
31
Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang
menyerah dalam menghadapi musuh.
Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang
terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan
berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut
apabila berada di pihak yang salah.
Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil
dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin
termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene’ ta’ korang bulanna (kecil
tidak kurang bulannya), “kecil-kecil cabai rawit” kata pepatah Melayu yang
dimadurakan menjadi ne’-kene’ cabbi lete’. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan
dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres
(keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang
tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan
rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan
berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan
penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya.
Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan “mon lo’
bangal acarok jha’ ngako oreng Madhura” (kalau tidak berani bercarok jangan
mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang
seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk
menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih
dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang
mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang
yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang
Madura memang suka melakukan kekerasan.
Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya
adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu
lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep
bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau
tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya
32
terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep
sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya
bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada’
(berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya.
5.2.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat)
Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi
masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah “Pa’-Opa’ Iling”, “Lir Saalir”,
“Entar Akarang”, “Caca Aghuna”, “Les Balesan”, “Pajjhar Laggu” dan
“Pacakang Alako”.
Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut.
Lagu “Pa’-Opa’ Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan
sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa’-Opa’ Iling sebenarnya bermakna
memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya
dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari
kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut.
Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu “Lir Saalir” adalah bahwa orang
Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya
“Look before you leap”. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang
dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan
menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan
segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada
orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak
terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa
Madura “ada’ kasta e ada’”, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di
depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang
telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya
sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya.
“Caca Aghuna” juga mengandung nasihat penting dan merupakan
simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi
33
masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya
atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena
ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak
berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan
dengan raja ghaludhugga ta’ kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara
bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta’ atellor
(berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo’ balijjha (mulut penjaja keliling) juga
merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata
yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum.
Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati
dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti tera’na dhamar
(terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk
kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri.
Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya
tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan
bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk,
petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan
petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta’ tao
ajhai’ (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan
kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya.
Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak
boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus
berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain
yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan
saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani
memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti
terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani
membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat
mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir
34
attas ban bibir baba ghampang akebbi’). Memang, lidah itu kecil bentuknya
tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu
yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan
mulutmu adalah harimaumu.
Lagu yang berjudul “Les-Balesan” (Saling Membalas) berusaha
mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau
bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup
yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang
Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain
ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi
tidak mau membalasnya dikatakan mella’ salajha (melihat sebelah mata).
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk
kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan
dhibi’ yang bermakna “saudara sendiri” sering digunakan ketika mereka bertemu
di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan
cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling
membantu di antara sesama mereka.
“Pacakang Alako” (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak
orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal
memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta’ tako’ mate, tape tako’
kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan
ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena
kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal
yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah
dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang
sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja
keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak
sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan
mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya.
Ungkapan kar-ngarkar colpe’ (mengais terus mematuk) merupakan
cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran
35
untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup
hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan
menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan
menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima,
pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan,
pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya.
Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar
meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut
bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan
keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka
harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa.
Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang
malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja),
oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali
tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti
diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan
orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna
(ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada
beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Karena itu, orang Madura tidak
menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu’ cellot (orang
yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada’ tondung
balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah kembali).
5.2.3. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
alam dan aktivitas yang dilakukannya
Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan
masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup sehari-
hari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :“Tondu’ Majang”,
“Ole Olang”, Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Es Lilin Cabbi”,
“Ronjhangan”,, “Entara Akarang”, “E Tera’ Bulan”, “Malem Kerrabhan”,
36
“Palabbhuwan Kamal”, “Mosem Anye”, “Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-
Toghu Saba”, dan “Ngambat Lajhangan”.
Lagu “Tondu’ Majang” dan “Ole Olang” menggambarkan kehidupan
orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan
dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi
segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari
ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik
matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut.
Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan
selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba’ asapo’ angen.
Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan
apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut
yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera
bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua
itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena
semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan
menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara
hasilnya Tuhan yang menentukan.
Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih
dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah
kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadah-
ibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah,
barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan
suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai
nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya.
“Soto Madhura” dan “Es Lilin Cabbi” adalah lagu yang mengungkap
kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam
melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni
37
dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar
hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama.
Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak
pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan
apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan
mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain.
Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang
dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri
yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan
agama maupun budaya masyarakat Madura.
“Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-Toghu Saba”, “Ronjhangan” dan
“Mosem Anye” adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang
Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang
bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah
tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman
yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian.
Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan
tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa
ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air.
Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang
Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka
harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka
membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah
sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena
bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini
makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik “A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.
Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna nagharana ban bangsana”.
Di samping itu, dalam lagu “Ghu-Toghu Saba” digambarkan kegiatan
petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya
yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang
belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti
38
dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang
laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan
menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung
mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari
serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya.
Sementara “Mosem Anye” menggambarkan proses memanen padi hasil
sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka
bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani
terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan
ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan
mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan.
Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang.
Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka.
Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah
menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini
tergambar dalam lagu yang berjudul “Ronjhangan”. Sama halnya dengan kegiatan
lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi
terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka
mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh
semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini
juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar
senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini
menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya.
Lagu “Kerabhan Sape”, “Malem Kerrabhan”, dan “Ngambat
Lajhangan” merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan
yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu
obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu
“Ngambat Lajhangan” (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka
sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain
layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim
itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara
39
budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang
memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya,
diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam
situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya,
setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana
kerjasama dan kegotongroyongan.
5.2.4 Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
percintaan
Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu
yang berjudul “Taresna” dan “Coma Dhika”. Dalam kedua lagu tersebut
tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal
yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit
hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta
jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat
cintanya menggebu-gebu.
5.3. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas
hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerah
Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi
pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata
masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu
tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya
terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut
merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku,
etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai
petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan pada sektor informal lainnya.
Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu
tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan
dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib,
semangat gotong-royong, kekeluargaan, kepasrahan diri dan lain-lain. Di samping
itu, melalui lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang
40
dilakukan masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini,
pengarang berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan
orang-orang dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani
profesinya masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi
alam Madura juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut.
Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap
dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya,
perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini,
pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya.
Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya
sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu
masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan
kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya
sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya.
Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih
menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah
keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya
sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi
pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa
lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang
melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat
itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail
menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya
dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut.
Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau
merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal
yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syair-
syair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan
sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat.
Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang
berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat.
41
Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan
sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat
antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura.
Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha
mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya.
Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan
bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang
dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan
budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagu-
lagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala
aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.
42
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura
dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut
merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi
sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura.
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu
daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu
rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang
bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang
bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan
(4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi.
Dua puluh lima lagu yang dianalisis di atas merupakan ekspresi
pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata
masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang
timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura.
Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola
perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja
sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya.
Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi
pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan
sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini
berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui
lagu-lagu yang diciptakannya.
6.2. Saran
Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat
Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura.
43
Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis
syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat
kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang
sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan proses
identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara luas
melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian kedepan ini
diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif
terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya
tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.
44
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literature Term. New York : Rinehart and
Winston Inc.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta :
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Eco, Umberto. 1978. Literary Theory, An Introduction. Oxford : Basil Blackwell.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London : Methuen and Co.
Jalil, Danie Abdul. 1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung :
Angkasa.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westeijn. 1984. Pengantar Umum
Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia
Mulders, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Pengkajian Puisi. Cetakan kedua. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London : Indiana University Press.
Sariono, Agus dan Titik Maslikatin. 2002. Bahasa dan Sastra Using : Ragam dan
Alternatif Kajian. Jember : Tapal Kuda.
Segers, T. Rien. 1978. The Evoluationof Literary Texts. Lisse: The Petter de
Ridder Press.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa.
Tjitraprawira, R. Amirudin dkk. 2003. Kumpulan Lagu-Lagu Madura. Jakarta :
Lembaga Pelestarian Kebudayaan Madura.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani
Budianta. Jakarta : Gramedia.
45
DRAF ARTIKEL ILMIAH
Abstract
The research tried to discover the relationship between the soul expression
and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The
research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs
written by Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that the
meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales and
patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition of
nature and Madurese people’s daily activities, and (4) stories about young people
love relationships. The four explored themes were the writers’ expressions closely
related to their life symbolity and emerged from their observations and
experiences of social and cultural conditions of Madurese people. The meanings
contained in the songs also reflected the culture, basic character, behavior, work
ethic and way of life of Madurese people with all of their activities.
Keywords : Writers’ soul expressions and Madurese song lyrics
PENDAHULUAN
Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini
adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh
karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan
pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan
dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah
membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia
sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media
untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara
ditampilkan dalam berbagai kesempatan.
Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan
berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat
dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan
kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang
dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian
Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni
tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual.
Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling
menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu
bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara
yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang
telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini
menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang
digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi
berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat
46
mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya
Madura serta kehidupan masyarakatnya.
Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan
karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa
sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan
setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan
secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah
sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain.
Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah
Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan
dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas,
dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan
dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.
Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup
masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap
dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya
anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu
daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan
simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari
pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap
perkembangan syair lagu daerah.
Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah
ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah
orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan
syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk
dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah
memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair
dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku
kumpulan lagu daerah Madura.
Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan
adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu
Madura, yakni : R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd.
Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Su”udin Achmad, Adhira
dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian
Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku
kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat
dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak
lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura.
Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun
dari tiga versi yakni : 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya
ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang
diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri
didalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para
komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis
Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura,
seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara
47
dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah
nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang
mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi.
Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam
dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada
Masyarakat Madura.
Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu
diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:“Tondu’ Majang”, “Ole
Olang”, “Pa’-Opa’ iling”, “Soto Madhura”, “Kerabhan Sape”, “Lir-Saalir”,
“Es Lilin Cabbi”, “Ronjhangan”, “Kembhangnga Naghara”, “Pahlawan
Trunojoyo”, “Entara Akarang”, “Les-Balesan”, “Pa’ kopa Eling”, “E Tera’
Bulan”, “Taresna”, “Malem Kerrabhan”, “Caca Aghuna”, “Coma Dhika”,
“Palabbhuwan Kamal”, “Pajjhar Laggu,” “Pacakang Alako”, “Pajjhar”, “Ghu-
Toghu Saba”, “Ngambat Lajhangan”.
Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan
dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu
masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan
media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah
khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan
memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya.
Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami
maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak
tersampaikan pada generasi muda.
Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair
lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair
Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa
pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan
harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa
(simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat
Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang
lain berdasarkan pengalaman kehidupan.
Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan
masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra.
Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang
mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang
sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek
nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam
kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan
warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya
merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian
menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya.
Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah
Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura.
Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah
asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga
48
Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini
memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori
simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol
yang dipakai dalam syair lagu daerah.
Sehubungan dengan pernyataan di atas maka hasil penelitian ini
menitikberatkan pada kajian ekspresi jiwa pengarang lagu daerah Madura dalam
mengungkap makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam
simbolitas syair lagunya.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah
tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal
dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang
berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana
penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan
peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair
lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing
(2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988).
Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini
diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan
pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan
oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau
dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama
nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat.
Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan
atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala
pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang
diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan
pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai
pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas
hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.
Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra
maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial
(Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari : 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara
aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara
gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari
semua jenis gejala sosial.
Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau
hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan
pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk
menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan
selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang
timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990).
49
Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah
mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt.
Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah
1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang,
dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang
mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya;
3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra
dengan pembacanya.
Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono :
1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh
mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang
mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial.
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwa-
peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco : 1978). Semiotik
merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna
yang didasarkan pada sistem tanda (Segers : 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara
kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan
teori simbol.
Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan
dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah
lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada
gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan
makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986)
mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian : 1) simbol-simbol universal,
yakni yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang
dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual,
biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini
digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu
yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu
daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra.
Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya,
memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang
sesuai dengan objek penelitiannya.
Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara :
1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk
digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah
Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura
tahun 2003.
2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang
dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25
syair lagu).
50
3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang
diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi
sastra, teori semiotik dan teori simbol.
4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir.
HASIL PEMBAHASAN
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu Madura
Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura
dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam
penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni
lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat
itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan
oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada
pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat
Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah
asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan
khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan
yang mendidik sehingga dapat terus hidup dari generasi ke generasi.
Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang
menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura
yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang
berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat
dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi
masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik
ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup
bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia.
Berikut ini akan dikelompokkan 25 lagu yang menjadi pusat analisis
dalam penelitian ini berdasarkan tema-temanya. Pada dasarnya, tema yang
diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar tentang dongeng rakyat Madura,
perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain).
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
dongeng rakyat dan kepahlawanan
Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki
tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah “Kembangnga Naghara”
dan “Pahlawan Trunojoyo”. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan
Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi
Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang
menyerah dalam menghadapi musuh.
Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang
terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan
berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut
apabila berada di pihak yang salah.
Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil
dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin
termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene’ ta’ korang bulanna (kecil
51
tidak kurang bulannya), “kecil-kecil cabai rawit” kata pepatah Melayu yang
dimadurakan menjadi ne’-kene’ cabbi lete’. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan
dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres
(keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang
tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan
rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan
berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan
penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya.
Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan “mon lo’
bangal acarok jha’ ngako oreng Madhura” (kalau tidak berani bercarok jangan
mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang
seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk
menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih
dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang
mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang
yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang
Madura memang suka melakukan kekerasan.
Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya
adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu
lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep
bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau
tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya
terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep
sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya
bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada’
(berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya.
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat)
Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi
masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah “Pa’-Opa’ Iling”, “Lir Saalir”,
“Entar Akarang”, “Caca Aghuna”, “Les Balesan”, “Pajjhar Laggu” dan
“Pacakang Alako”.
Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut.
Lagu “Pa’-Opa’ Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan
sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa’-Opa’ Iling sebenarnya bermakna
memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya
dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari
kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut.
Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu “Lir Saalir” adalah bahwa orang
Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya
“Look before you leap”. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang
dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan
menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan
segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada
orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak
52
terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa
Madura “ada’ kasta e ada’”, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di
depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang
telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya
sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya.
“Caca Aghuna” juga mengandung nasihat penting dan merupakan
simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi
masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya
atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena
ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak
berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan
dengan raja ghaludhugga ta’ kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara
bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta’ atellor
(berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo’ balijjha (mulut penjaja keliling) juga
merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata
yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum.
Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati
dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti tera’na dhamar
(terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk
kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri.
Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya
tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan
bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk,
petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan
petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta’ tao
ajhai’ (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan
kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya.
Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak
boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus
berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain
yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan
saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani
memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti
terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani
membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat
mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir
attas ban bibir baba ghampang akebbi’). Memang, lidah itu kecil bentuknya
tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu
yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan
mulutmu adalah harimaumu.
Lagu yang berjudul “Les-Balesan” (Saling Membalas) berusaha
mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau
bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup
yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang
53
Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain
ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi
tidak mau membalasnya dikatakan mella’ salajha (melihat sebelah mata).
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk
kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan
dhibi’ yang bermakna “saudara sendiri” sering digunakan ketika mereka bertemu
di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan
cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling
membantu di antara sesama mereka.
“Pacakang Alako” (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak
orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal
memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta’ tako’ mate, tape tako’
kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan
ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena
kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal
yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah
dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang
sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja
keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak
sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan
mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya.
Ungkapan kar-ngarkar colpe’ (mengais terus mematuk) merupakan
cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran
untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup
hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan
menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan
menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima,
pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan,
pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya.
Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar
meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut
bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan
keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka
harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa.
Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang
malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja),
oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali
tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti
diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan
orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna
(ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada
beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Oleh karena itu, orang Madura
tidak menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu’ cellot
(orang yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada’
54
tondung balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah
datang kembali).
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan alam
dan aktivitas yang dilakukannya
Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan
masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup sehari-
hari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :“Tondu’ Majang”,
“Ole Olang”, Soto Madhura”,“Kerabhan Sape”, “Es Lilin Cabbi”,
“Ronjhangan”,, “Entara Akarang”, “E Tera’ Bulan”, “Malem Kerrabhan”,
“Palabbhuwan Kamal”, “Mosem Anye”, “Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-
Toghu Saba”, dan “Ngambat Lajhangan”.
Lagu “Tondu’ Majang” dan “Ole Olang” menggambarkan kehidupan
orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan
dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi
segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari
ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik
matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut.
Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan
selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba’ asapo’ angen.
Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan
apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut
yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera
bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua
itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena
semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan
menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara
hasilnya Tuhan yang menentukan.
Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih
dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah
kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadah-
ibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah,
barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan
suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai
nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya.
“Soto Madhura” dan “Es Lilin Cabbi” adalah lagu yang mengungkap
kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam
melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni
dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar
hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama.
Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak
pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan
apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan
mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain.
55
Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang
dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri
yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan
agama maupun budaya masyarakat Madura.
“Pajjhar Laggu,” “Pajjhar”, “Ghu-Toghu Saba”, “Ronjhangan” dan
“Mosem Anye” adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang
Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang
bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah
tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman
yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian.
Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan
tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa
ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air.
Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang
Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka
harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka
membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah
sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena
bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini
makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik “A jhalananna ghi’ sarat kawajibhan.
Atatamen mabannya’ hasel bhumena. Mama’morna nagharana ban bangsana”.
Di samping itu, dalam lagu “Ghu-Toghu Saba” digambarkan kegiatan
petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya
yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang
belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti
dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang
laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan
menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung
mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari
serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya.
Sementara “Mosem Anye” menggambarkan proses memanen padi hasil
sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka
bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani
terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan
ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan
mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan.
Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang.
Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka.
Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah
menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini
tergambar dalam lagu yang berjudul “Ronjhangan”. Sama halnya dengan kegiatan
lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi
terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka
mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh
semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini
juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar
56
senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini
menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya.
Lagu “Kerabhan Sape”, “Malem Kerrabhan”, dan “Ngambat
Lajhangan” merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan
yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu
obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu
“Ngambat Lajhangan” (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka
sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain
layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim
itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara
budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang
memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya,
diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam
situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya,
setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana
kerjasama dan kegotongroyongan.
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan
percintaan
Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu
yang berjudul “Taresna” dan “Coma Dhika”. Dalam kedua lagu tersebut
tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal
yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit
hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta
jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat
cintanya menggebu-gebu.
Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup
masyarakat Madura dalam syair lagu daerah
Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi
pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata
masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu
tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya
terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut
merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku,
etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai
petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan sektor informal lainnya.
Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu
tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan
dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib,
semangat gotong-royong, kekeluargaan dan lain-lain. Di samping itu, melalui
lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang dilakukan
masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini, pengarang
berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan orang-orang
dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani profesinya
57
masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi alam Madura
juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut.
Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap
dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya,
perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini,
pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya.
Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya
sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu
masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan
kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya
sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya.
Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih
menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah
keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya
sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi
pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa
lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang
melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat
itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail
menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya
dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut.
Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau
merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal
yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syair-
syair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan
sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat.
Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang
berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat.
Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan
sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat
antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura.
Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha
mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya.
Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan
bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang
dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan
budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagu-
lagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala
aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura
dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut
merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi
sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura.
58
Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu
daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu
rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang
bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang
bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan
(4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi.
Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi
pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata
masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang
timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura.
Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola
perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja
sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya.
Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi
pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan
sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini
berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui
lagu-lagu yang diciptakannya.
Saran
Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat
Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura.
Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis
syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat
kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang
sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan pada
proses identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara
luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian lanjutan
ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif
terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya
tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.
59
SINOPSIS
JUDUL: Pemetaan Syair Lagu Madura Berdasarkan Karakteristik
Masyarakat di Kabupaten Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan
Sumenep)
Akhir-akhir ini para ahli bahasa atau pengamat kebudayaan telah
memprediksikan bahwa dalam kurun waktu mendatang akan banyak bahasa
daerah atau bahasa lokal yang mengalami kepunahan, tidak hanya di Indonesia
tetapi juga di belahan bumi yang lain. Kepunahan bahasa akan lebih mudah terjadi
pada bahasa-bahasa yang memiliki jumlah penutur yang sedikit. Kepunahan
bahasa-bahasa daerah di Indonesia ini berpengaruh juga pada karya-karya sastra
daerah lainnya. Karya sastra daerah seiring dengan kepunahan bahasa daerah juga
mengalami kepunahan secara perlahan-lahan dengan berkurangnya minat
pengarang atau pun penikma karya sastra daerah tersebut.
Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan sastra
daerah adalah Madura. Pulau Madura yang dekat dengan Jawa dan Bali
mempunyai kekhasan sendiri dalam sastra daerahnya. Kekayaan sastra daerah
yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang dipengaruhi
paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar sastra daerah Madura
diklasifikasi menjadi dua kelompok yakni, sastra tertulis dan sastra lisan.
Pada perkembangan saat ini, sastra daerah Madura mengalami penurunan
kualitas baik dari sisi kuantitas pengarang dan penikmat maupun kualitas karya
dan kritik terhadap karya. Kerisauan dan kecemasan para ahli atau pengamat
budaya terhadap kepunahan bahasa dan sastra daerah tidak semata-mata
difokuskan pada hilangnya entitas bahasa sebagai sarana komunikasi atau
interaksi antarsesama dalam menghasilkan karya sastra daerah, tetapi lebih pada
persoalan sirnanya konsep dan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalam
simbol-simbol atau ungkapan kebahasaannya. Nilai-nilai itu merupakan kekayaan
peradaban manusia dan pencerminan interaksi manusia dengan lingkungannya.
60
Kearifan-kearifan lokal dapat teraktualisasi dalam ungkapan serta karya-
karya sastra yang ada baik tulisan maupun lisan. Hal seperti ini yang tidak bisa
dikompensasikan oleh peranan pengganti dari bahasa yang lain misalnya bahasa
nasional (Indonesia) karena bahasa dan karya sastra daerah tersebut sesungguhnya
merupakan unsur penting identitas budaya masyarakat penuturnya.
Kepunahan bahasa dan karya sastra daerah salah satunya syair lagu seperti
yang ada di Madura merupakan fenomena global seiring dengan perubahan-
perubahan besar di berbagai bidang kehidupan manusia. Revolusi di bidang
ekonomi-industri dan teknologi informasi komunikasi yang memperkuat gejala
kapitalisme global memiliki andil yang sangat besar di dalam akselerasi
pemunahan bahasa daerah maupun karya sastranya. Penetrasi insentif dari gejala
sosial-ekonomi tersebut telah menyulap masyarakat pedesaan menjadi bagian dari
masyarakat global. Daerah-daerah sedang berkembang menjadi daerah-daerah
global. Kecenderungan demikian yang terus meningkat di masa mendatang akan
membawa konsekuensi-konsekuensi logis di bidang kehidupan sosial budaya
masyarakat lokal khususnya aspek bahasa dan sastra.
Perspektif pemikiran di atas yang akan digunakan untuk memahami
kelangsungan hidup sastra daerah Madura khususnya syair lagu daerah Madura.
Penelitian yang telah dilakukan terhadap Ekspresi Jiwa pengarang Syair lagu
Madura menunjukkan bahwa syair-syair lagu madura sarat akan makna kehidupan
yang mengandung nilai-nilai relegiusitas, sosial dan budaya masyarakat Madura
(Misnadin, 2007). Sebagai salah satu karya sastra Madura, syair lagu Madura di
masa depan tidak akan terbebas dari dampak kecenderungan gejala kepunahan.
Berbagai upaya, seperti kajian ilmiah dan kegiatan penelitian bertujuan untuk
menjaga kelangsungan hidup karya sastra Madura telah dilakukan oleh berbagai
pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap sastra daerah.
Rencana penelitian lanjutan ini dalam rangka mengetahui seberapa jauh
syair-syair lagu daerah di empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan sumenep telah diidentifikasi baik secara ilmiah maupun alamiah.
Identifikasi akan dilakukan dengan memetakan jenis-jenis syair lagu daerah sesuai
dengan karakter masing-masing masyarakat di empat kabupaten tersebut di
61
Madura. Metode penelitian akan dilakukan dengan kualitatif deskriptif dan lebih
menitikberatkan pada proses identifikasi syair lagu. Hasil pemetaan akan
dipublikasikan secara luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya
rencana penelitian lanjutan ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial
yang berdampak destruktif terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura
sehingga kelestariannya tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh
anak-cucu nanti.
62
LAMPIRAN PERSONALIA PENELITI :
1. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap : Misnadin, S.S.
b. Jenis Kelamin : L
c. Golongan/Pangkat dan NIP : III-a/Penata Muda/132304312
d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli
e. Jabatan Struktural : -
f. Fakultas/Program Studi : Hukum/Sosiologi
g. Perguruan Tinggi : Universitas Trunojoyo
h. Bidang Keahlian : Bahasa Inggris
i. Waktu untuk penelitian ini : 20 jam/minggu
Pengalaman Memberi Kuliah :
No No Mata Kuliah Tahun Program
1. Bahasa Inggris untuk Sosiologi 2003-Sekarang S-1
2. Bahasa Inggris untuk Ilmu Hukum 2003-Sekarang S-1
3. Bahasa Inggris untuk Ilmu
Komunikasi 2005 S-1
4. English For Communications 2006 S-1
Pelatihan/Seminar yang telah diikuti :
No. Nama Pelatihan/Seminar Tahun Tempat
1. Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti
Muda 2003 LPPM
Unijoyo
2. Lokakarya Penulisan Karya Tulis Bahasa
Inggris 2005 Univ.Malang
3. Lokakarya Intensive English Course 2005 Univ.Malang
4. Pelatihan Pendidikan Kewarganegaraan 2005 DIKTI-JKT
63
Penelitian yang pernah dilakukan:
No Judul Penelitian Tahun Lokasi
1. Studi Pemertahanan Bahasa Madura di
Surabaya
(Dana Mandiri)
1999 Surabaya
2. Studi Tentang Kursus Intensif Bahasa Inggris di
Lingkungan Universitas Trunojoyo (Dana Dikti-DP2M)
2005 Bangkalan -
Madura
Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam
daftar riwayat hidup ini.
Bangkalan, 22 November 2007
(Misnadin,S.S.)
64
2. Anggota Peneliti
a. Nama lengkap : Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum.
b. Jenis Kelamin : P
c. Golongan/Pangkat dan NIP : III-b/Penata Muda Tk.1/132304323
d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli
e. Jabatan Struktural : -
f. Fakultas/Program Studi : Hukum/Sosiologi
g. Perguruan Tinggi : Universitas Trunojoyo
h. Bidang Keahlian : Sistem Sosial Budaya Indonesia
i. Waktu untuk penelitian ini : 10 jam/minggu
Pengalaman Memberi Kuliah :
No No Mata Kuliah Tahun Program
1. Sistem Sosial Budaya Indonesia 2004-Sekarang S-1
2. Bahasa Indonesia 2004-Sekarang S-1
3. Sosiologi Budaya 2005-Sekarang S-1
4. Sosiologi Lingkungan 2005-Sekarang S-1
Pelatihan/Seminar yang telah diikuti :
No.
Nama Pelatihan/Seminar Tahun Tempat
1. Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti Muda 2003 LPPM
Unijoyo
2. Lokakarya Penulisan Artikel Berbahasa Inggris 2004 DIKTI-Bdg
3. Lokakarya Dosen Ilmu Budaya Dasar 2004 DIKTI-Bali
Penelitian yang pernah dilakukan:
No Judul Penelitian Tahun Lokasi
1. Makna Mitos Cindelaras dalam Kehidupan
Masyarakat Jawa Barat (Dana Mandiri) 1999
Majalaya
Jawa Barat
65
2. Respon Anak-anak terhadap Alokasi Waktu
yang diterapkan dikalangan Keluarga Jawa
(Dana Mandiri)
2000 Yogyakarta
3. Strategi Penyelesaian Konflik Sosial-Ekonomi Pada Masyarakat Nelayan (Dana Dikti DP2M)
2005 Bangkalan-
Madura
Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam
daftar riwayat hidup ini.
Bangkalan, 22 November 2007
(Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum)
66
PERNYATAAN PENGANTIAN ANGGOTA PENELITI
Bersama laporan hasil penelitian ini, saya selaku Ketua Peneliti:
Nama : Misnadin, S.S.
NIP : 132 304 312
Menyatakan pengantian anggota peneliti lama yakni :
Nama : Yan Ariyani, S.Psi
NIP : 132 308 996
Diganti dengan anggota peneliti yang baru yakni :
Nama : Ekna Satriyati, S.S.,M.Hum.
NIP : 132 304 323
Hal tersebut dikarenakan anggota peneliti lama mempunyai jadual kesibukan
akademis yang cukup padat sebagai pengelola Program Studi Psikologi di
Universitas Trunojoyo yang baru berdiri tahun ini yakni 2007.
Bangkalan, 28 September 2007
Pembuat Pernyataan :
(Misnadin,S.S.)