enews indonesia edisi v

6
aphi_forest www.rimbawan.com APHI_forest aphi.forest APHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia e-Newsletter Edisi 005/I/2021 Tahun Baru Selamat The Headlines Indonesian Forest Update Tahun Baru Selamat

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ENews Indonesia Edisi V

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia e-Newsletter Edisi 005/I/2021

Tahun Baru Selamat

The Headlines The Headlines Indonesian Forest Update

Tahun Baru Selamat

Page 2: ENews Indonesia Edisi V

PRIORITAS PEMULIHAN KINERJA SEKTOR USAHA KEHUTANAN SEBAGAI

SEKTOR ANDALAN PEMULIHAN EKONOMI DAN MENGATASI DAMPAK COVID-19

Rapat Kerja APHI 2020

Rapat Kerja (Raker) APHI tahun 2020 diselenggarakan pada 2-3 Desember 2020 secara virtual dalam suasana keprihatinan dan keterbatasan, ditengah pandemi Covid-19 yang telah berdampak terhadap kegiatan perekonomian di global dan nasional, tidak terkecuali, di sektor usaha kehutanan dari hulu ke hilir.

Raker APHI 2020 dibuka secara resmi pada Rabu (02/12) oleh Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dilanjutkan dengan webinar dengan topik “UU Cipta Kerja: Penghela Percepatan Pemulihan Kinerja Sektor Usaha Kehutanan Terdampak Covid-19” dengan narasumber Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Bambang Hendroyono, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Nani Hendiarti, Plt Direktur Produk Ekspor Pertanian dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Luther Palimbong, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) Indroyono Soesilo dan Pengamat Ekonomi, Aviliani.

Akibat pandemi covid-19, sampai dengan Mei 2020, kinerja ekspor hasil hutan Indonesia, year-on-year turun hingga minus 8.4%. Namun demikian, sejak Agustus 2020 hingga November 2020, kinerja ekspor hasil hutan Indonesia sudah rebound, year-on-year, menjadi minus 4,9% dibandingkan dengan bulan November 2019 dan ditargetkan devisa dari ekspor produk kehutanan, hulu – hilir, dapat mencapai diatas US$ 11 miliar.

Oleh karenanya, ditengah pandemi Covid-19, sebagian besar kegiatan APHI di tahun 2020 difokuskan untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada anggotanya agar tetap bertahan dan menjalankan kegiatan operasionalnya.

Berdasarkan laporan 15 Komda APHI dari seluruh Indonesia, hingga saat ini tidak banyak terjadi PHK terhadap para pekerja usaha kehutanan hulu-hilir yang jumlahnya sekitar 1.5 juta karyawan.

Keberhasilan mempertahankan kinerja dan tenaga kerja tidak lepas dari dukungan kebijakan pemerintah dalam mendukung investasi. Puncak dari kebijakan untuk mendukung investasi di tengah Covid-19 adalah terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Fokus Percepatan Pemulihan Sektor Usaha Kehutanan

Rapat Kerja APHI 2020 merekomendasikan hal-hal strategis yang difokuskan dalam rangka pemulihan kinerja sektor usaha kehutanan akibat pandemi Covid-19 melalui peningkatan kinerja anggota dengan mempercepat implementasi kebijakan terkait perubahan paradigma pemanfaatan hutan produksi, antara lain pengembangan multiusaha kehutanan, upaya pengembangan energi terbarukan berbasis biomassa, upaya pengembangan jasa lingkungan (karbon), upaya pengembangan ekowisata, upaya peningkatan produktifitas hutan alam, upaya perluasan pemasaran hasil hutan di pasar domestik untuk meningkatkan kinerja usaha kehutanan, khususnya produksi kayu bulat.

Selain itu, APHI senantiasa mendorong sektor usaha bidang kehutanan sebagai kegiatan strategis Nasional karena memiliki peran antara lain dalam aspek lingkungan (bencana, kesediaan air, dll), mendukung pasokan bahan baku ke industri yang lain dan sebagai 'Jaring Pengaman' terkait penyediaan lapangan kerja, dukungan pangan, obat-obatan/herbal dan multiplier effect.

Dalam kondisi keuangan yang masih belum sepenuhnya pulih akibat Pandemi Covid-19, APHI masih mengharapkan dukungan kebijakan pemerintah terkait rasionalisasi pungutan sektor kehutanan yang memberatkan anggota antara lain peninjauan kembali kebijakan PPn untuk menurunkan beban usaha, penghapusan ketentuan pengenaan pajak terhadap alat berat, rasionalisasi PNBP berupa PSDH dan DR, rasionalisasi PNBP berupa Iuran Izin dan rasionalisasi PBB yang perhitungannya berdasarkan areal kerja yang diusahakan (RKT) dan standardisasi perhitungan pengenaan tarif.

APHI optimis melalui sinkronisasi kebijakan yang kondusif termasuk yang akan diatur dalam UU Cipta Kerja diyakini akan mendorong percepatan pemulihan kinerja sektor usaha kehutanan sebagai sektor andalan pemulihan ekonomi, mengatasi dampak covid-19 dan tetap mempertahankan kontribusi kepada negara baik devisa maupun penyerapan tenaga kerja.(*)

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021

Page 3: ENews Indonesia Edisi V

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021

Membangun Bisnis Model

Multiusaha KehutananYang Inklusif dan Berkelanjutan

Kawasan hutan di Indonesia seluas 125 juta ha atau 65 % dari total luas daratan, namun demikian hanya memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,65%. Menurut Prof. Dodik Nurrochmad (2020), nilai riil lahan hutan sangat rendah, hanya sebesar Rp. 400/m2, dibandingkan sawah Rp. 1.500/m2, sawit Rp. 3.800/m2, perumahan Rp. 40.000/m2 dan hortikultura Rp. 48.000/m2. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menaikkan peranan sektor kehutanan dalam pembangunan Indonesia melalui pemanfaatan lahan hutan, antara lain melalui kegiatan multiusaha kehutanan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mencanangkan multiusaha kehutanan sebagai backbone perekonomian baru Indonesia pada 10 Mei 2019 lalu. Multiusaha Kehutanan diharapkan dapat mendorong peningkatan produktivitas lahan hutan, sebagai jaring pengaman pangan nasional, pengembangan industri pengolahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan dan juga sebagai upaya resolusi konflik lahan.

Pengembangan model bisnis multiusaha kehutanan yang inklusif dalam pengelolaan hutan saat ini memperoleh momentum yang tepat dengan terbitnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui UU ini, Perhutanan Sosial dan pengelolaan hutan berbasis satu izin berusaha untuk memanfaatkan multiusaha kehutanan yang meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan, mendapat payung kebijakan yang kuat. Demikian disampaikan Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo pada webinar “Membangun Bisnis Model Multiusaha Kehutanan Yang Inklusif dan Berkelanjutan” pada Kamis (19/11).

Webinar yang diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Lembaga Kemitraan dengan narasumber dari Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Franciscus Welirang, Direktur Perhutanan Sosial Perum Perhutani Natalas Anis Harjanto; Direktur Utama PT Silva Inhutani Lampung Djunaidi Nur, Direktur Utama PT. Kampung Kearifan Indonesia (JAVARA) Helianti Hilman dengan pembahas Prof. Dodik Ridho Nurrochmat dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan moderator Brigita Manohara.

Webinar ini dalam rangka memberi masukan untuk implementasi Perhutanan Sosial dan Multiusaha Kehutanan sebagai tindak lanjut terbitnya UU Cipta Kerja, serta merumuskan pola dan bisnis model multiusaha kehutanan melalui Kemitraan Kehutanan antara pemegang izin/pengelola hutan dengan kelompok masyarakat yang berada di dalam dan sekitar areal kerjanya, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan resolusi konflik lahan.

Indroyono menjelaskan, untuk mengintegrasikan fungsi produksi, ekologi dan sosial dalam pengelolaan hutan, khususnya oleh pemegang izin/pengelola hutan, maka pendekatan inklusif menjadi sebuah keniscayaan pada masa mendatang.

“Model bisnis inklusif dalam pengelolaan hutan dimaknai sebagai pendekatan bisnis yang memberikan solusi inovatif, sistemik, mengembangkan manfaat serta memberi nilai bersama (creating shared value) secara berkelanjutan dalam rantai bisnisnya bersama dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar areal kerjanya” ungkap Indroyono.

Lebih lanjut, Indroyono menyampaikan, pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi di dalam areal izin usaha perlu dioptimalkan. Oleh karena itu, orientasinya tidak hanya pemanfaatan hasil hutan kayu saja, tetapi pemanfaatan potensi kawasan lainnya seperti hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Model multiusaha kehutanan yang inklusif dan berkelanjutan sangat potensial menjadi solusi bisnis di tengah menurunnya kinerja sektor usaha kehutanan di tengah pendemi Covid-19.

Dengan terbitnya UU Cipta Kerja, model multiusaha kehutanan dapat dikembangkan melalui Kemitraan Kehutanan, sehingga menjadi wahana kerjasama yang saling menguntungkan antara pemegang izin/pengelola hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitarnya, yang mencakup tidak saja aspek budidayanya, tetapi juga pengolahan dan pemasaran hasilnya.

“PermenLHK No. P.62/2019 tentang Pembangunan HTI yang membuka peluang pemanfaatan berbagai komoditas kehutanan, dapat lebih dikembangkan ke depan. Hal ini sejalan dengan terbitnya UU Cipta Kerja, sehingga pola Kemitraan Kehutanan menjadi lebih menarik,” pungkas Indroyono.

Webinar mengenai multiusaha ini merupakan rangkaian kegiatan Pra-Raker APHI. Raker APHI 2020 diselenggarakan pada tanggal 2-3 Desember 2020. Kegiatan ini menjadi langkah awal bagi APHI dan Kemitraan untuk membangun kolaborasi dalam mengimplementasikan pengelolaan hutan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan melalui skema yang disepakati bersama. (*)

Page 4: ENews Indonesia Edisi V

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021

Membahas Penggunaan dan RDPU Panja Komisi IV DPR RI

Pelepasan Kawasan Hutan

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) diundang pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI yang dipimpin Dedi Mulyadi (Ketua) membahas mengenai Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan di Gedung Nusantara, DPR-RI Senayan, Jakarta, pada hari Kamis (12/11).

RDPU Panja Komisi IV DPR dalam rangka memperoleh masukan dari para stakeholders mengenai penggunaan dan pelepasan kawasan hutan, yang merupakan tindak lanjut diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap pelaksanaan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan.

Pada kesempatan tersebut, selain mengundang APHI, RDPU Panja Komisi IV DPR juga mengundang Akademisi (Fakultas Kehutanan IPB), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( ), Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), dan Yayasan Auriga Nusantara. Dari APHI hadir Wakil Ketua Umum Bambang Supriyambodo, Ketua Bidang Organisasi dan Keuangan Tjipta Purwita dan Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman, Soewarso, serta Direktur Eksekutif, Purwadi Soeprihanto.

Purwadi menyampaikan penghargaan kepada DPR dan Pemerintah atas terbitnya UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Kami sudah menunggu cukup lama terbitnya UU Cipta Kerja (UUCK) ini, kareana setidaknya ada 3 topik penting yang terkait usaha sektor kehutanan saat ini, yang pertama bagaimana proses kemudahan izin berusaha, yang kedua kami sangat menghargai sekali topik tentang perhutanan sosial, dan yang ketiga, topik tentang penyelesaian permasalahan yang terkait perizinan berusaha di sektor kehutanan” ujarnya.

Menurut Purwadi, UUCK akan banyak meletakkan dasar-dasar pergeseran paradigma pengelolaan hutan. “Dalam peraturan sebelumnya hanya berbasis satu perizinan, satu produk, tapi kemudian ada perubahan yang sangat mendasar dalam UUCK ini dimana paling tidak ada 4 pemanfaatan yang bisa dikelola dalam satu izin berusaha” ujar Purwadi.

Lebih lanjut Purwadi menyebutkan pengelolaan hutan dalam bentuk perizinan dimaksud meliputi 1) Pemanfaatan kawasan, 2) Hasil hutan kayu dan bukan kayu, 3) Jasa lingkungan, dan 4) Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

“Topik yang cukup penting dalam UUCK adalah perhutanan sosial terkait masyarakat adat, masyarakat yang berada disekitar hutan ini yang harus dijadikan perhatian ke depan dan Alhamdulillah payung hukumnya sudah ada” ujarnya.

Pergeseran paradigma ke depan diperlukan, bahwa penguatan pengelolaan hutan harus berbasis ekosistem. “Tidak bisa lagi berbasis kayu, atau non-kayu, tetapi bagaimana kita memanfaatkan seluruh unsur yang ada dengan berbasis ekosistem dan masyarakat” ujarnya.

Lebih lanjut Purwadi menyebutkan bagaimana mensinergikan kegiatan pengelolaan yang berbasis ekosistem, berbasis masyarakat dan yang terkait kepatuhan berusaha. “Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keberlangsungan usaha jangka panjang yang sinergi dengan masyarakat dapat terus terjalin” imbuhnya.

Selanjutnya Purwadi menyampaikan hal penting lainnya yang terkait penggunaan dan pelepasan kawasan hutan dalam UUCK diharapkan dapat selaras antara pembangunan dan upaya peningkatan investasi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian.

“Kami mendukung ketentuan dalam UUCK terkait pelepasan kawasan hutan bahwa, perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HP) setelah melalui penelitian yang komprehensif oleh tim terpadu yang ditetapkan oleh Menteri “ ujarnya.

Selanjutnya, pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan dikenakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pelepasan kawasan hutan senilai kawasan hutan yang dilepas, dan untuk menjamin kepastian berusaha, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pada areal yang telah dibebani perizinan berusaha diberlakukan setelah berakhirnya izin dan/atau setelah tanaman/tegakan di atasnya dimanfaatkan oleh pemegang izin berusaha.

“Kami juga mendukung ketentuan terkait penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan, yang dilakukan melalui pinjam pakai oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu,” ujarnya.

Selanjutnya, Purwadi mengharapkan dapat mengikuti ketentuan dalam hal penggunaan kawasan hutan untuk investasi pertambangan yang berada di areal yang sudah dibebani perizinan berusaha (izin pemanfaatan hutan), maka izin pinjam pakai diberikan maksimal 10% dari luasan efektif izin pemanfaatan hutan (*)

Walhi

Page 5: ENews Indonesia Edisi V

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected] ©Humas APHI 2021

Upaya APHI

MENINGKATKAN HARGA FEEDSTOCK dan

Pembangkit Listrik Berbahan Bakar BiomassFEED-IN TARIFF (FIT)

Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melakukan pertemuan audiensi dengan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam rangka membahas harga feedstock untuk woodchip dan harga fit in tariff PLTBm yang dilaksanakan pada hari Senin (14/12).

Wakil Ketua Umum APHI, Iman Santoso menyatakan bahwa pada saat ini harga feedstock biomass kayu untuk tujuan pembangkit listrik masih rendah, dengan hitungan 85% dari harga batubara.

“Harga ini hanya sesuai untuk pembelian limbah, sedangkan untuk biomass dari pengusahaan hutan tentu saja tidak layak karena memerlukan biaya investasi dan pemeliharaan” ujarnya.

Iman menambahkan, disisi lain, diperlukan juga penyesuaian harga pembelian listrik (FIT) oleh PLN dari PLTBm yang layak secara bisnis. APHI menilai bahwa pengembangan woodpellet untuk mendukung program cofiring PLTU Batubara akan sulit, karena harga beli dalam negeri yang terlalu rendah sedangkan biaya produksi yang tinggi.

Selanjutnya, APHI mengajukan harga usulan feedstock untuk woodchip sebesar Rp. 666.000 – Rp. 995.000 per ton dengan variabel lokasi dan jarak angkut.

“Terkait feed in tariff/FIT, APHI mengusulkan biaya pembelian listrik per kWh oleh PLN setidaknya sebesar Rp. 2.200,- untuk wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, sedangkan diluar wilayah-wilayah tersebut sebesar Rp. 1.850,-“ sebut Iman .

Dalam kesempatan itu, Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyambut baik usulan yang disampaikan oleh APHI dan mengharapkan partisipasi anggota APHI dalam mendukung pencapaian target bauran energi tersebut.

“Kami akan membantu memfasilitasi harga feedstock untuk woodchip agar layak secara bisnis , yang dipasok secara berkelanjutan dari Hutan Tanaman Energi ” ujarnya.

Selanjutnya Kementerian ESDM mengharapkan agar APHI dapat menyajikan data kesiapan potensi dukungan bahan baku biomass dari anggota APHI untuk 52 PLTU yang akan di-cofiring, meliputi luas, perkiraan volume dan lokasi.

Upaya pencapaian target EBT 23% dalam bauran energi nasional pada 2025 sebagaimana yang diamanatkan PP.79/2014 memang tidaklah mudah, dimana sampai tahun lalu baru mencapai sekitar 12%. Namun melalui kerja keras semua pihak, didukung komitmen yang kuat dari pemerintah dengan kebijakan yang kondusif serta partisipasi dari pihak swasta yang akan memasok bahan baku, niscaya pencapaian target tersebut akan dapat terealisasi. Semoga. (*)

Page 6: ENews Indonesia Edisi V

aphi_forest www.rimbawan.comAPHI_forestaphi.forestAPHI Forest [email protected]

Team

Ketua : Wakil : Redaktur Pelaksana : Trisia MegawatiAnggota Redaksi : Herry Prayitno & Vivid VDesign & Layout : Fajar Mart Setyawan

SugijantoPurwadi Soeprihanto

©Humas APHI 2021

Editorial

Indonesia dan Uni Eropa pada15 November 2016 lalu sepakat untuk melakukan perjanjian Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) yang merupakan Voluntary Partnership Agreement (VPA). Komitmen ini membuat Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mencapai tonggak penting dalam upaya global memberantas pembalakan liar serta perdagangan kayu illegal. Pergerakan ekspor Indonesia ke Uni Eropa meningkat setelah pemberlakuan lisensi FLEGT tersebut.

Dengan hasil yang positif ini, muncul keinginan untuk memperluas keberterimaan SVLK di negara-negara non-Uni Eropa. Salah satunya hasil studi Ketua Sebijak Institut UGM Prof.Dr.Ahmad Maryudi yang bertema

Tjipta Purwita Sekretaris Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) sekaligus ketua Bidang Organisasi & Keuangan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan

“Menakar pengakuan dunia: Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia” di pasar Non-Uni Eropa. Hasil studi ini dibahas oleh

Rudy T Luwia Direktur PT Philnesia International yang juga mewakili ASMINDO dengan moderator Trisia Megawati dari Bidang Humas & Kerjasama APHI. Webinar ini diselenggarakan oleh Sebijak Institut bekerjasama dengan Multi-stakeholder Forestry Programme Phase-4 (MFP4)

Fokus studi ini adalah menganalisis potensi pengakuan SVLK di negara-negara non-UE. Negara yang dipilih dalam penelitian ini adalah China, Amerika Serikat (AS), Jepang, Republik Korea, dan Vietnam

Prof. Maryudi dalam pemaparannya menyebutkan bahwa SVLK tidak hanya berguna untuk memberantas illegal logging, tetapi juga meningkatkan domestic governance dan meningkatkan reputasi ekspor kayu Indonesia. Ia juga membahas mengenai kebijakan, kondisi lingkungan dan industri, serta gambaran ekspor dan impor dari 5 negara yang menjadi objek studi. “potensi rekognisi V-Legal di negara-negara tersebut masih terbuka lebar,” jelas Prof Maryudi. Secara umum, ia juga memaparkan SVLK Indonesia punya peluang besar untuk direkognisi di negara objek studi, dengan pengecualian Vietnam yang memang merupakan kompetitor langsung dari Indonesia dalam hal industri perkayuan global.

Tjipta Purwita membahas mengenai kinerja industri kehutanan 2020 yang secara umum turun sekitar 4,9% dibanding tahun 2019, tetapi di AS dan Tiongkok justru naik. “Dengan tuntutan Green Products, tren kebijakan, dan adanya hambatan di negara kompetitor, maka peluang promosi SVLK masih terbuka lebar,” jelas Tjipta. Ia juga menambahkan, sudah ada berbagai upaya peningkatan kinerja di industry baik di hulu maupun di hilir diantaranya penguatan SVLK, market intelligence, penerapan kebijakan multiusaha kehutanan, pemanfaatan Indonesia Timber Exchange termasuk studi banding dan kunjungan dagang.

Rudy menjelaskan dengan rinci kondisi dan peluang industri perkayuan dari perspektif produsen furnitur. Dengan adanya banyak keunggulan dari negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam, Indonesia semestinya dapat unggul dalam pasar furnitur global. Akan tetapi, berbagai hambatan dari segi bahan baku, sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan inovasi memang perlu diatasi. “optimalisasi kebijakan sangat perlu dilakukan untuk memperkuat industri furnitur dalam negeri, khususnya untuk produsen skala kecil-menengah (UMKM) yang bergantung pada bahan baku lokal yang tidak ada di negara lain,” imbuhnya.

Dengan banyaknya “pekerjaan rumah” dalam rekognisi SVLK di negara-negara non Uni Eropa maka kajian ini diharapkan dapat memberi solusi untuk perluasan penetrasi pasar industri kehutanan Indonesia . Dengan upaya bertahap yang sinergis, kolaboratif, dan terarah, diharapkan sumber daya dan teknologi yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memperkuat industri kehutanan Indonesia berkiprah di pasar global. (*)