evaluasi kinerja keuangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat
TRANSCRIPT
TESIS
EVALUASI KINERJA KEUANGANDAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
GREGORIUS GEHI BATAFOR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
TESIS
EVALUASI KINERJA KEUANGANDAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
GREGORIUS GEHI BATAFORN I M : 0990661048
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
EVALUASI KINERJA KEUANGANDAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
Tesis untuk Memperoleh Gelar MagisterPada Program Magister, Program Studi Manajemen
Program Pascasarjana Universitas Udayana
GREGORIUS GEHI BATAFORNIM : 0990661048
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUIPADA TANGGAL 25 JANUARI 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM Drs. I Ketut Mustanda, MMNIP. 19620922 198702 1 002 NIP. 19560107 198303 1 008
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister DirekturProgram Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana Universitas Udayana
Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 19620922 198702 1 002 NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji padaTanggal 30 Desember 2011
Panitia Penguji Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,No : 2099/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 29 Desember 2011
Ketua : Dr. I B Anom Purbawangsa, SE.,MMSekretaris : Drs. I Ketut Mustanda, MMAnggota : Prof. Dr. IG. B. Wiksuana, SE.,MS
: Prof. Dr. L.P. Wiagustini, SE.,M.Si: Drs. Putu Yadnya, MM
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : GREGORIUS GEHI BATAFOR, SE
NIM : 0990661048
PROGRAM STUDI : MAGISTER MANAJEMEN
JUDUL TESIS :
EVALUASI KINERJA KEUANGAN DANTINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKATKABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 08 Desember 2011
(GREGORIUS GEHI BATAFOR, SE)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapanTuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karuniah-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yangsebesar-besarnya kepada Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM, sebagaipembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan,semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program MagisterManajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnyapula penulis sampaikan kepada Drs. I Ketut Mustanda, MM, sebagai pembimbingpendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikanbimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana ataskesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti danmenyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayanayang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yangdiberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada ProgramPascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasihkepada Prof. Dr. I Wayan Ramanta, SE., MM., Ak., sebagai Dekan Fakultas EkonomiUniversitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikutipendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasaterima kasih kepada Dr. I. B. Anom Purbawangsa, SE, MM sebagai Ketua ProgramMM Unud. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis,Prof. Dr. IG. B. Wiksuana, SE.,MS, Prof. Dr. LP Wiagustini, SE.,M.Si danDrs. I Putu Yadnya, MM, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dankoreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulusdisertai penghargaan kepada seluruh guru yang telah membimbing penulis, mulai darisekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepadaAyah dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untukberkembangnya kreativitas.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadasemua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini sertakepada penulis sekeluarga.
ABSTRAK
EVALUASI KINERJA KEUANGAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAANMASYARAKAT KABUPATEN LEMBATA - PROVINSI NTT
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya merupakan salah satuinstrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dankesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas danbertanggung jawab. Mengingat pentingnya peranan anggaran dalam pembangunan dan di lainsisi masih terbatasnya kemampuan daerah untuk menyediakan anggaran dimaksud, makadalam pemanfaatannya daerah perlu mengetahui kemampuan keuangannya, menentukanskala prioritas, efisein, efektif, dan serasi sehingga pembangunan daerah dapat dilaksanakansecara berdayaguna, berhasilguna, berkesinambungan dan berdampak pada peningkatan tarafhidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) signifikansi perbedaan rata-rata kinerjakeuangan Pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II, dan 2) signifikansiperbedaan rata-rata kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I danperiode II. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lembata, dengan menggunakan datasekunder, teknik analisis yang dipergunakan adalah teknik analisis uji beda dua rata-rataterhadap variabel kinerja keuangan daerah meliputi : a. rasio kemandirian, b. rasio efektivitas,c. rasio efisiensi dan d. rasio keserasian belanja, dan variabel kesejahteraan masyarakatmeliputi indikator a. pendapatan perkapita, b. tingkat pendidikan dan c. usia harapan hidupmasyarakat antara periode I dan periode II.
Hasil penelitian terhadap variabel kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa : 1)tingkat kemandirian keuangan daerah di periode II semakin meningkat dibanding padaperiode I, tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerjakeuangan daerah antara periode I dan periode II. 2) tingkat efektivitas keuangan daerah diperiode II mengalami peningkatan dibanding pada periode I, namun perbedaan peningkatantersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan daerah antara periode I danperiode II. 3) tingkat efisiensi pengelolaan keuangan daerah pada periode I lebih efisiendibandingkan dengan tingkat efisiensi pengelolaan keuangan di periode II, namun perbedaanpenurunan tingkat efisiensi tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangandaerah antara periode I dan periode II, dan 4) tingkat keserasian belanja daerah pada periodeII mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat keserasian belanja daerah pada periodeI, tetapi perbedaan penurunan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangandaerah antara periode I dan periode II. Sedangkan hasil penelitian terhadap variabelkesejahteraan masyarakat menunjukkan bahwa : 1) tingkat pendapatan perkapita masyarakatsemakin meningkat di periode II dibandingkan pada periode I dan peningkatan tersebutbermakna terhadap perbedaan kesejahteraan masyarakat antara periode I dan periode II. 2)Jumlah masyarakat yang telah mengenyam dunia pendidikan semakin meningkat padaperiode II dibandingkan pada periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaanpeningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pada periode I dan periode II,dan 3) tingkat usia harapan hidup masyarakat semakin bertambah pada periode IIdibandingkan pada periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatanyang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat pada periode I dan periode II.
Kata Kunci : Kemandirian Keuangan, Efektivitas, Efisiensi, Keserasian Belanja, PendapatanPerkapita, Tingkat Pendidikan dan Usia Harapan Hidup.
ABSTRACT
FINANCIAL PERFORMANCE EVALUATION AND THE DISTRICT LEVELCOMMUNITY WELFARE LEMBATA DISTRICT - PROVINCE NTT
Revenue and Expenditure Budget essentially one policy instrument that is used as atool to improve public services and welfare in the area in accordance with the broadobjectives of regional autonomy and responsibility. Given the important role in thedevelopment budget and on the other side of the area is still limited ability to provide thebudget in question, then the utilization of the area need to know the financial ability,determine priorities, efisein, effective, and harmonious regional development can be carriedout so fruitfully, berhasilguna, sustainable and impact on improving living standards andwelfare of the people in the area.
This study aims to determine 1) the significance of differences in the averagefinancial performance of the District Government of Lembata in period I and period II, and 2)the significance of differences in the average well-being of communities in the District ofLembata in period I and period II. The research was conducted in the District Lembata, usingsecondary data, the analytical techniques used are two different test analysis techniques theaverage of the variable regions of financial performance include: a. self-sufficiency ratio, b.effectiveness ratio, c. efficiency ratio and d. the ratio of expenditure harmony, and welfare ofthe community include an indicator variable a. income per capita, b. levels of education andc. public life expectancy between periods I and II periods.
The results of the financial performance of the variable regions showed that: 1) thelevel of financial independence II regions in the period increased compared to the first period,but the difference was not significant improvement of regional differences in financialperformance between periods I and II periods. 2) the effectiveness of local finance in thesecond period has increased compared to the first period, but the difference was notsignificant improvement of regional differences in financial performance between periods Iand II periods. 3) the level of efficiency of local financial management in the period I is moreefficient compared with the level of efficiency of financial management in the second period,but the difference decreased levels of efficiency are not significant to the regional differencesin financial performance between periods I and II periods, and 4) the level of harmony at thelocal shopping II period decreased compared with the level of harmony in regional spendingin the period I, but the difference was not significant reduction of regional differences infinancial performance between periods I and II periods. While the results of research onwelfare variables show that: 1) the level of per capita income of people is increasing in periodII than in period I and the increase was significant to the welfare difference between period Iand period II. 2) The number of people who had received his education increased in theperiod II than in period I, and it can be concluded that there is a significant difference inimprovement of public welfare in the period I and period II, and 3) the level of public lifeexpectancy is increasing in the period II than in period I, and it can be concluded that there isa significant difference in improvement of public welfare in the period I and period II.
Keywords: Financial Independence, Effectiveness, Efficiency, Harmony Shopping, PerkapitIncome, Level of Education and Life Expectancy.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM …………………………………………………… iPRASYARAT GELAR …………………………………………… iiLEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………… iiiPENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………. ivPERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ………………………… vUCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………… viABSTRAK ………………………………………………………………… viiABSTRACT ……………………………………………………………… viiiDAFTAR ISI .............................................................................................. ixDAFTAR TABEL ………………………………………………………… xiDAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiiDAFTAR ISTILAH ……………………………………………………… xiiDAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xiv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... 11.1 Latar Belakang ……………………………………………… 11.2 Rumusan Masalah ………………………………………….. 151.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 151.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……………………………………….. 172.1. Keuangan Daerah ................................................................. 172.2 Laporan Keuangan Daerah .................................................. 182.3 Kinerja Keuangan Daerah .................................................... 212.4 Analisis Rasio Keuangan Daerah …………………………. 262.4.1 Rasio Kemandirian ………………………………………….. 272.4.2 Rasio Efektivitas …………………………………………….. 292.4.3 Rasio Efisiensi ……………………………………………… 302.4.4 Rasio Keserasian Belanja …………………………………… 312.5 Kesejahteraan Masyarakat …………………………………… 322.5.1 Pengertian Kesejahteraan Masyarakat ……………………… 322.5.2 Konsep Value for Money Sektor Publik …………………… 362.5.3 Indikator Kesejahteraan Masyarakat ………………………… 37
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUALDAN HIPOTESIS PENELITIAN ………………………….... 40
3.1 Kerangka Berpikir ..................................................................... 403.2 Kerangka Konseptual ………………………………………….. 413.3 Hipotesis Penelitian .................................................................. 42
BAB IV METODE PENELITIAN …………………………………….. 434.1 Rancangan dan Ruang LingkupPenelitian .............................. 434.2 Variabel Penelitian .................................................................. 434.2.1 Identifikasi Variabel ............................................................... 434.2.2 Definisi Operasional Variabel ................................................ 44
4.3 Prosedur Pengumpulan Data .................................................. 454.4 Metode Analisis Data ............................................................... 46
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………… 485.1 Hasil Penelitian ……………………………………………… 485.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lembata …………………… 485.1.2 Deskripsi Variabel Penelitian ……………………………… 515.1.3 Pengujian Hipotesis …………………………………………. 605.2 Pembahasan ………………………………………………….. 625.2.1 Variabel Kinerja Keuangan …………………………………. 635.2.2 Variabel Kesejahteraan Masyarakat ……………………….. 705.3 Implikasi Penelitian ……………………………………………73
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 776.1 Simpulan ……………………………………………………… 776.2 Saran …………………………………………………………..80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 82LAMPIRAN ………………………………………………......... 86
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
1.1 Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Penilaian Kinerja Keuangandi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 ………………………… 11
1.2 Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Indeks PembangunanManusia (IPM) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 ………. 11
1.3 Perkembangan Total Belanja Publik dan Total Belanja Daerah KabupatenLembata Periode I dan II ………………………………………………. 14
2.1 Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah 28
2.2 Efektivitas Keuangan Daerah ………………………………………...... 29
2.3 Efisiensi Keuangan Daerah ……………………………………………. 30
2.4 Keserasian Belanja Keuangan Daerah ………………………………… 32
5.1 Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten
Lembata Periode I dan II ………………………………………............ 52
5.2 Hasil Perhitungan Rasio Efektivitas Pemerintah Kabupaten
Lembata Periode I dan II ………………………………………………. 53
5.3 Hasil Perhitungan Rasio Efisiensi Pemerintah Kabupaten
Lembata Periode I dan II ………………………………………………. 54
5.4 Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Belanja Pemerintah
Kabupaten Lembata Periode I dan II ………………………………….. 56
5.5 Pendapatan Perkapita Masyarakat Atas Dasar Harga Berlaku diKabupaten Lembata Periode I dan II…………………………………… 57
5.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II 58
5.7 Usia Harapan Hidup Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II 59
5.8 Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian ..…………………………………... 61
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………………….. 40
3.2 Kerangka Konseptual ……………………………………………. 41
DAFTAR ISTILAH
PAD : Pendapatan Asli Daerah
DOF : Derajat Otonomi Fiskal
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
IKB : Indeks Keserasian Belanja
HDI : Human Development Index
SDM : Sumber Daya Manusia
SAP : Standar Akuntansi Pemerintah
UNDP : United National Development Program
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2009 ………………………………………… 93
2. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2008 ………………………………………… 94
3. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2007 ………………………………………… 95
4. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2006 ………………………………………… 96
5. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2005 ………………………………………… 97
6. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2004 ………………………………………… 98
7. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2003 ………………………………………… 99
8. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenLembata Tahun Anggaran 2002 ………………………………………… 100
9. Hasil Perhitungan Rasio-rasio Kinerja Keuangan Daerah ……………… 101
10. Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Kemandirian Keuangan Pemerintah DaerahKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 108
11. Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Efektivitas Keuangan Pemerintah DaerahKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 109
12. Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Efisiensi Keuangan Pemerintah DaerahKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 110
13. Hasil Pengujian Hipotesis Rasio Keserasian Belanja Pemerintah DaerahKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 111
14. Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Pendapatan Perkapita MasyarakatKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 112
15. Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Tingkat Pendidikan MasyarakatKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 113
16. Hasil Pengujian Hipotesis Indikator Usia Harapan Hidup MasyarakatKabupaten Lembata Periode I dan Periode II …………………………… 114
17. PDRB, Pendapatan Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku dan JumlahPenduduk Kabupaten Lembata ………………………………………….. 115
18. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Lembata ……………….. 116
19. Usia Harapan Hidup Masyarakat di Kabupaten Lembata ………………. 117
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memasuki masa otonomi daerah dengan diterapkannya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi UU No.32 Tahun 2004)
tentang pemerintahan daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
(kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004) tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Penerapan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia tercermin dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik juga didasarkan atas azas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Salah satu perwujudan
pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi, dimana Kepada
Daerah diserahkan urusan, tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan tetap
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain
itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang
sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
Harapan dilaksanakannya otonomi daerah atau disentralisasi adalah
pemerintah daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya,
karena dengan otonomi daerah pemerintah akan lebih dekat dengan
masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi
oleh pemerintah. Dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu penting
yang paling mungkin setiap daerah mendinamisir kegiatan pembangunan melalui
alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan kebijakan
yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah (Yustika 2007: 242).
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi
daerah diharapkan dapat : menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya daerah, meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam proses pembangunan. (Mardiasmo, 2002)
Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategi
yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan
daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun
2004, Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.
Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar
pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif
dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.
Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah menegaskan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka
negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah secara proporsinal, demokratis, adil dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban
dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut
termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan
memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena
disanalah akan terlihat dengan jelas peran Kepala Daerah dalam
mengkoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu
daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila Bupati/Walikota tidak
mengetahui bagaimana mengelolanya. Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dilaksanakan oleh masing-masing Kepala Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan
oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
Sistem dan prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan
pertanggungjawaban keuangan daerah mengalami perubahan sejak pemerintah
menerapkan PP No. 41 Tahun 2006 dan Permendagri No. 13 tahun 2006, sebagai
pengganti PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang
pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Melalui Surat Edaran Mendagri Nomor S.900/316/BAKD tentang pedoman
sistem dan prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan
pertanggungjawaban keuangan daerah, diatur mengenai berbagai sistem dan
prosedur dalam pengelolaan keuangan daerah, mulai dari sistem dan prosedur
penerimaan, pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran, hingga sistem dan
prosedur akuntansi dan laporan keuangan. Sistem dan prosedur ini memberikan
rincian teknis terhadap alur pengelolaan keuangan daerah yang tertuang dalam
Permendagri No. 13 Tahun 2006.
Dampak dari diterbitkannya Surat Edaran Mendagri Nomor
S.900/316/BAKD tentang pedoman sistem dan prosedur penatausahaan dan
akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu terjadi
penggabungan antara Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) menjadi Dinas Pendapatan, Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) untuk seluruh pemerintahan daerah di
Indonesia. Dengan diterapkannya PP No. 41 Tahun 2006 dan Permendagri No. 13
tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat
lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, prosedur penatausahaan dan
akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Hakikat otonomi daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam
pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk
mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan
potensi daerah sendiri. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa
konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Oleh karena
itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka
mengelola dana APBD secara transparan, efisien, efektif dan akuntabel.
Dalam perkembangannya, telah muncul berbagai metodelogi dan
instrumen yang dimanfaatkan untuk mengukur kinerja suatu organisasi termasuk
di sektor publik, seperti Balanced Scorecard, Total Performance Scorecard, Total
Quality Management, dan lain sebagainya. Ragamnya metode pengukuran kinerja
tersebut menunjukkan kecendrungan perhatian yang tinggi terhadap peningkatan
kualitas kinerja instansi pemerintah, khususnya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Meskipun demikian penerapan metode-metode tersebut harus
mengakomodasikan lingkungan pemerintah daerah, agar mendapatkan hasil yang
memiliki validitas tinggi dan tidak terjadi kesalahan pengukuran kinerja.
Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja
pemerintah kabupaten dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan
analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan
(Halim, 2007: 231).
Berkaitan dengan hal itu, analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan
dalam pengelolaan keuangan daerah dan menilai apakah pemerintah kabupaten
berhasil mengelola keuangannya dengan baik, serta memberikan dampak yang
positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Analisis kinerja keuangan pada APBD
dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan
yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara menganalisis rasio-rasio
keuangan. Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah
akan sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan
bagi masyarakat dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial,
sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah kabupaten masih sangat
terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai
nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah
yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis
rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan
(Mardiasmo, 2002: 169).
Kajian empiris mengenai kinerja keuangan daerah di Indonesia selama ini
telah banyak dilakukan, di antaranya dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja
keuangan pemerintah kabupaten. Hal ini menunjukkan kecendrungan perhatian
yang tinggi terhadap peningkatan kualitas kinerja instansi pemerintah, khususnya
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Seperti yang dilakukan oleh Matheus Dacosta (2002: 108) dalam
penelitian tentang tingkat kemandirian Kota Kupang ditinjau dari aspek
keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah tahun 1997/1998 – 2001. Hasil
penelitian antara lain derajat otonomi fiskal yang menerangkan rasio PAD
terhadap total belanja daerah, berguna untuk menerangkan sampai sejauh mana
PAD Kota Kupang mampu memberikan kontribusi terhadap realisasi
pembelanjaan daerahnya setiap tahun berdasarkan sumber-sumber keuangan
yang asli. Secara rata-rata derajat otonomi fiskal (DOF) Kota Kupang adalah
7,71% selama tahun 1997/1998 – 2001. Rasio ini dikategorikan sangat kurang
karena berada di bawah rasio 25%. Hal ini berarti kemampuan keuangan Kota
Kupang yang berasal dari PAD rendah sekali.
Hasil analisis indeks keserasian belanja atau rasio belanja publik terhadap
total belanja daerah untuk mengetahui sebarapa besar proporsi alokasi dana
APBD terhadap pelayanan publik dari total belanja daerah selama satu tahun
anggaran dapat dilihat dari indeks keserasian belanjanya. Rata-rata IKB selama
1997/1998 – 2001 adalah sebesar 23,03%, hal ini berarti pemerintah kabupaten
rata-rata hanya mangalokasikan dana sebesar 23,03% untuk belanja publik dari
total belanja daerah dan dapat dikategorikan kurang serasi.
Dalam analisis efisiensi dan efektivitas diketahui bahwa tingkat efisiensi
pengelolaan keuangan daerah Kota Kupang selama tahun 1997/1998 – 2001
menunjukkan perkembangan yang cukup fluktuatif dengan rata-rata tingkat
efisiensi sebesar 17,58%, dan tingkat efektivitas pemungutan sumber-sumber
pendapatan selama tahun anggaran 1997/1998 – 2001 telah mencapai sasaran
yang telah ditetapkan yakni sebesar 103,77% dan dikategorikan sangat efektif.
Selain itu, Dasilva Petrus (2001: 78) juga melakukan penelitian tentang
evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Sikka provinsi
Nusa Tenggara Timur. Dalam mengevaluasi anggaran daerah Kabupaten Sikka
dalam penelitiannya, digunakan pembanding dua kabupaten lain dalam provinsi
yang sama, yang menurut pengamatan sementara digunakan, mengingat terdapat
kabupaten lain yang mungkin lebih baik dari kabupaten Sikka. Dua kabupaten
pembanding adalah Kabupaten Ende dan Kabupaten Manggarai.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat efektivitas pengelolaan APBD
yang dicapai Kabupaten Manggarai adalah sebesar 102,98% dengan predikat
sangat efektif, sementara Kabupaten Ende adalah 94,70% dengan kategori
efektif. Jika dibanding dengan Kabupaten Sikka tingkat efektivitas tidak jauh
berbeda, dengan nilai 91,33% dikategorikan efektif.
Dengan menggunakan analisis efisiensi diketahui bahwa secara umum
untuk ketiga kabupaten yang diamati dapat disimpulkan bahwa terdapat
kecenderungan yang sama yakni selau ingin menghabiskan anggaran yang telah
dialokasikan dalam APBD. Terbukti dengan tingkat efisiensi ketiga kabupaten
tersebut berkisar antara 95,94% - 97,39%, berarti kurang efisien dan terkesan
adanya pemborosan dengan tidak mengindahkan azas penghematan dan efisiensi
anggaran.
Dari beberapa kajian empirik yang telah dilakukan sebelumnya, maka
dapat diambil beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur
akuntabilitas pemerintah kabupaten (Halim, 2007: 233) antara lain rasio
kemandirian, rasio efektivitas terhadap pendapatan asli daerah, rasio efisiensi
keuangan daerah dan rasio keserasian belanja.
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah kabupaten dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio kemandirian dihitung
dengan membagi total PAD dengan total belanja daerah dalam satuan persen
(Suyana Utama, 2008:33).
Rasio efektivitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas
dalam merealisasikan pendapatan daerah. Rasio efektivitas merupakan tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah
kabupaten yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan
anggaran pendapatan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:27).
Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan
atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah kabupaten yang diukur dengan
membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan,
dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:30).
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah kabupaten
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan
publik secara optimal. Dalam penelitian ini digunakan proprosi belanja publik
karena belanja publik secara langsung dimaksudkan untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat. Rasio keserasian diukur dengan membandingkan
realisasi total belanja publik dengan total belanja daerah dalam satuan persen
(Suyana Utama, 2008:36).
Dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melalui terbitan serialnya
sejak awal tahun 1990-an mengukur kesejahteraan masyarakat secara lebih
komprehensif dengan menggunakan tingkat pendapatan perkapita, usia harapan
hidup dan tingkat pendidikan yang dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan
Manusia atau Human Development Index = HDI.
Pendapatan perkapita masyarakat adalah pendapatan domestik regional
bruto berdasarkan harga yang berlaku di masyarakat terhadap total penduduk pada
pertengahan tahun pada tahun-tahun penelitian, dalam ribuan rupiah. Tingkat
pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku
pendidikan formal terhadap total penduduk di kabupaten/kota selama tahun-tahun
penelitian, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata umur
masyarakat yang dicapai pada kabupaten/kota selama tahun-tahun yang diteliti,
dalam satuan tahun.
Sejak bergulirnya era otonomi daerah pada tahun 1999, Provinsi Nusa
Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang telah banyak melakukan
pemekaran wilayah tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Sebelumnya sudah
terdapat tiga belas kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang,
Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Kabupaten Alor, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Ngada, Kabupaten
Ende, Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Sumba Timur, dan
Kabupaten Sumba Barat.
Sedangkan ke delapan pemerintahan kabupaten yang baru terbentuk di era
otonomi daerah sejak tahun 1999 yaitu antara lain, Kabupaten Lembata di tahun
1999, Kabupaten Rote Ndao di tahun 2001, Kabupaten Sumba Tengah di tahun
2004, Kabupaten Sumba Barat Daya di tahun 2006, Kabupaten Nagekeo dan
Kabupaten Sabu Raijua di tahun 2007 dan Kabupaten Manggarai Timur dan
Kabupaten Manggarai Barat di tahun 2008.
Sebagai bahan pembanding dalam melihat sejauh mana keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah dan kemampuan pemerintah kabupaten dalam
mengatur urusan rumah tangganya sendiri, dan berkaitan dengan kinerja keuangan
pemerintah kabupaten dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah
masing-masing kabupaten/kota di provinsi Nusa Tenggara Timur, maka berikut
akan disajikan data pemeringkatan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang
dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2009, seperti pada Tabel berikut ini :
Table 1.1Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan Penilaian
Kinerja Keuangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009Nama Kabupaten Peringkat Nama Kabupaten Peringkat
Kota Kupang 1 Rote Ndao 11Ngada 2 Kupang 12Alor 3 Nagekeo 13Manggarai 4 Belu 14Flores Timur 5 Sabu Raijua 15Sikka dan Ende 6 Sumba Tengah 16Manggarai Timur 7 Sumba Barat 17Manggarai Barat 8 Sumba Timur 18Timor Tengah Utara 9 Sumba Barat Daya 19Timor Tengah Selatan 10 Lembata 20
Sumber : www.bpkp.go.id/ntt.bpkp.go.id
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dijelaskan bahwa Kota Madya
Kupang menempati urutan pertama sebagai kabupaten/kota yang memiliki kinerja
keuangan tertinggi, kemudian diikuti oleh Ngada, Alor, Manggarai, Flores Timur,
Sikka dan Ende, Manggarai Timur, Manggarai Barat, TTU, TTS, Rote Ndao,
Kupang, Nagekeo, Belu, Sabu Raijua, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba
Timur, Sumba Barat Daya dan Lembata pada urutan terakhir.
Sedangkan data pembanding tentang kesejahteraan masyarakat di provinsi
NTT, Badan Pusat Statistik Provinsi NTT melakukan penilaian terhadap indeks
pembangunan manusia di tahun 2009, seperti pada Tabel berikut ini :
Table 1.2Perangkingan Kabupaten/Kota Berdasarkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009
No Kabupaten IPM No Kabupaten IPM1 Kota Kupang 74,5 12 Rote Ndao 62,12 Ngada 66,0 13 Kupang 62,03 Alor 65,4 14 Nagekeo 61,64 Manggarai 65,2 15 Belu 61,25 Flores Timur 64,7 16 Sabu Raijua 60,16 Sikka 64,6 17 Sumba Tengah 59,97 Ende 64,4 18 Sumba Barat 59,88 Manggarai Timur 63,4 19 Sumba Timur 59,79 Manggarai Barat 63,2 20 Lembata 59,610 Timor Tengah Utara 63,1 21 Sumba Barat Daya 59,511 Timor Tengah Selatan 62,7
Sumber : www.bps.go.id/ntt.bps.go.id
Berdasarkan Tabel 1.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa Kota Madya
Kupang menempati urutan pertama sebagai kabupaten/kota dengan indeks
pembangunan manusia tertinggi, kemudian diikuti oleh Ngada, Alor, Manggarai,
Flores Timur, Sikka dan Ende, Manggarai Timur, Manggarai Barat, TTU, TTS,
Rote Ndao, Kupang, Nagekeo, Belu, Sabu Raijua, Sumba Tengah, Sumba Barat,
Sumba Timur, Lembata dan Sumba Barat Daya pada urutan terakhir.
Dalam penelitian ini, penulis memilih Kabupaten Lembata sebagai obyek
penelitian dengan melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten dan tingkat kesejahteraan masyarakat, selain sebagai ‘putera daerah’
penulis juga ingin memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan
daerah Lembata dengan mengkaji kinerja pemerintah kabupaten dan
kesejahteraan masyarakat sehingga dapat memberikan masukan dan saran-saran
demi perbaikan kinerja pemerintah kabupaten dan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Lembata ke arah yang lebih baik.
Dari data pembanding antar-seluruh kabupaten/kota di NTT, diketahui
bahwa Lembata merupakan kabupaten dengan kinerja keuangan pemerintah
kabupaten terendah dibanding kabupaten-kabupaten lainnya, terutama terhadap
kabupaten yang sama-sama sebagai daerah otonomi baru. Sedangkan dari data
pembanding mengenai indeks pembangunan manusia di seluruh kabupaten/kota di
provinsi NTT, Kabupaten Lembata juga memiliki angka IPM kedua terendah
dibanding kabupaten-kabupaten lainnya.
Sedangkan tahun-tahun penelitian dibagi ke dalam dua periode, yaitu
mengacu kepada masa pemerintahan seorang Kepala Daerah selama dua periode,
yaitu periode I dari tahun 2001 – 2005 dan kemudian terpilih kembali untuk
periode 2006 – 2010. Selain itu, pembagian periode penelitian juga mengacu
kepada penetapan PP No. 41 Tahun 2006 dan diimplementasikan melalui
Permendagri No. 13 tahun 2006, sehingga dapat dibagi menjadi periode I yaitu
periode diberlakukannya PP No. 105 Tahun 2000 dan Permendagri No. 29 Tahun
2002 dan periode II yaitu periode diberlakukannya PP No. 41 Tahun 2006 dan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang sistem, prosedur penatausahaan dan
akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Sejak awal dibentuknya Kabupaten Lembata tahun 1999, pemerintah
kabupaten selalu memiliki komitmen yang tinggi untuk terus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Sistem pemilihan Kepala Daerah secara
langsung oleh masyarakat setempat diharapkan mampu mendukung komitmen
untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata,
karena bagaimanapun masyarakat tentu memilih seorang pemimpin yang selalu
mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin melalui
program-program kerjanya.
Untuk melihat keseriusan pemerintah Kabupaten Lembata terhadap upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, secara sederhana dapat dilihat dengan
membandingkan besarnya realisasi belanja publik yang diperuntukkan bagi
pembelanjaan, pemeliharaan fasilitas umum dan pelayanan kepada masyarakat
terhadap total belanja daerah (Medi, 1966 dalam Budiarto, 2007).
Pada Tabel 1.3 berikut ini akan disajikan perkembangan besaran realisasi
belanja publik yang diperuntukkan bagi pembelanjaan, pemeliharaan fasilitas
umum dan pelayanan kepada masyarakat umum dan realisasi total belanja daerah
dari laporan realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah di Kabupaten
Lembata seperti pada Tabel berikut ini :
Tabel 1.3Perkembangan Total Belanja Publik dan
Total Belanja Daerah Kabupaten Lembata Peride I dan IIPeriode Tahun Pelayanan Publik Total Belanja Daerah
I 2002 84.277.561.367,00 131.273.256.598,00
2003 86.262.275.163,00 133.828.892.855,00
2004 69.204.723.229,00 144.807.407.074,00
2005 105.570.915.429,00 168.252.170.345,00
Rata-rata Periode I 86.328.868.797,00 144.540.431.718,00
II 2006 131.765.135.636,00 201.787.768.608,00
2007 45.702.185.703,00 232.605.539.452,92
2008 140.816.766.247,23 352.148.244.453,62
2009 174.888.523.065,56 333.633.532.350,87
Rata-rata Periode II 123.293.152.662,19 280.043.771.216,10
Sumber: Laporan APBD Kabupaten Lembata
Dari Tabel 1.3 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemerintah Kabupaten
Lembata memiliki komitmen yang kuat untuk terus berupaya meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakatnya, hal tersebut terbukti dengan
meningkatkan alokasi dana dalam APBD untuk belanja pelayanan publik yang
langsung dirasakan seluruh masyarakatnya.
Komitmen pemerintah kabupaten untuk tetap fokus pada upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode
kedua terbukti dengan semakin meningkatnya alokasi dana dalam APBD untuk
belanja pelayanan publik dari total belanja daerah dibanding pada periode
pertama, dan diharapkan dapat langsung dirasakan seluruh masyarakatnya.
Pemerintah kabupaten melalui rencana kerja yang dirumuskan dalam “Panca
Program” pemerintah kabupaten, salah satu di antaranya adalah fokus pada upaya
pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh
aspek kehidupan.
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Lembata yang
semakin transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka
penulis memandang perlu untuk mengevaluasi kinerja keuangan pemerintah
kabupaten selama ini sehingga dapat menjadi suatu informasi yang penting
terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
menilai apakah pemerintah Kabupaten Lembata mampu dan telah berhasil
mengelola keuangannya dengan baik, serta memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan masyarakatnya, atau malah sebaliknya menyebabkan
rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan tidak mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Apakah terdapat perbedaan signifikan rata-rata kinerja keuangan pemerintah
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II?
b. Apakah terdapat perbedaan signifikan rata-rata kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata kinerja keuangan
pemerintah Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II.
b. Untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan
teoritis di antaranya adalah :
a. Manfaat praktis, menilai kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan tingkat
kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata Provinsi NTT, sehingga dapat
memberi masukan dan saran bagi pemerintah kabupaten dalam pengambilan
keputusan berkaitan dengan penyusunan dan realisasi APBD di masa-masa
mendatang.
b. Manfaat teoritis, dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutnya yang akan mengadakan penelitian di bidang keuangan daerah dan
secara umum bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan
dengan keuangan daerah di Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keuangan Daerah
Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan
daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh
pemerintah daerah. Usman (1998: 63), mengatakan salah satu kriteria penting
untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah
tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan.
Halim (2007: 230), mengungkapkan bahwa kemampuan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung
mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat.
Selanjutnya untuk mengukur kemampuan keuangan pemerintah daerah adalah
dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan
dan dilaksanakannya.
Keuangan daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang
belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-
pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku
(Mamesah, 1995: 16).
Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan
daerah terdapat dua unsur penting yaitu : pertama, semua hak dimaksudkan
sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi daerah dan/atau penerimaan
dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan
daerah sehingga menambah kekayaan daerah, dan kedua, kewajiban daerah dapat
berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan adanya tagihan kepada
daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas
umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.
Pemerintah daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk
membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap
barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanannya.
Menurut Kunarjo (1996: 181) bahwa untuk melaksanakan pembangunan
prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli
daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah. Karena kecilnya pendapatan
asli daerah dibanding dengan kebutuhan pembangunan maka dalam beberapa hal
pemerintah daerah memerlukan pinjaman untuk digunakan pada proyek-proyek
yang dapat menghasilkan pendapatan.
2.2 Laporan Keuangan Daerah
Laporan keuangan pemerintah daerah sebagai bentuk pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBD harus disusun/dihasilkan dari sebuah sistem
akuntansi pemerintah daerah yang handal, yang bisa dikerjakan secara manual
ataupun menggunakan aplikasi komputer. Namun, mengingat SDM daerah yang
masih sangat minim yang berspesialis di bidang akuntansi khususnya akuntansi
keuangan sektor publik, maka akan lebih tepat kalau menggunakan sistem
aplikasi komputer yang komprehensif dan sudah teruji. Hal ini akan dapat
meminimalkan kesalahan proses akuntansi dan meningkatkan kualitas laporan
keuangan yang dihasilkan. Adapun ciri-ciri kualitas laporan keuangan yang bagus
meliputi relevan, handal (reliable), lengkap dan komprehensif (complete), serta
dapat diperbandingkan (comparable).
Sebagai upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara/daerah adalah penyampaian laporan pertanggung-
jawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan dapat
diandalkan (reliable) serta disusun dengan mengikuti standar akuntansi
pemerintahan (SAP) yang telah diterima secara umum. Hal ini diatur dalam UU
No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, PP No. 58/2005 dan Permendagri
No. 13/2006. Semua peraturan ini mensyaratkan bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai
dengan SAP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan
mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas
pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan
untuk membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan
dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan
ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.
Adapun peranan laporan keuangan pemerintah meliputi :
1. Akuntabilitas. Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta
pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.
2. Manajemen. Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan
kegiatan entitas pelaporan dalam periode pelaporan sehingga memudahkan
fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset,
kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah untuk kepentingan masyarakat.
3. Transparansi. Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada
masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk
mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung-jawaban
pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya
dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
4. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity). Membantu para
pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah pada periode
pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan
apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban
pengeluaran tersebut.
Tujuan penyajian laporan keuangan sektor publik menurut Governmental
Accounting Standard Board (GASB, 1998 dalam Budi Mulyana, 2006) adalah
untuk membantu memenuhi kewajiban Pemerintah untuk menjadi akuntabel
secara publik; dan untuk membantu memenuhi kebutuhan para pengguna laporan
yang mempunyai keterbatasan kewenangan, keterbatasan kemampuan atau
sumber daya untuk memperoleh informasi dan oleh sebab itu mereka
menyandarkan pada laporan sebagai sumber informasi penting. Untuk tujuan
tersebut, pelaporan keuangan harus mempertimbangkan kebutuhan para pengguna
dan keputusan yang mereka buat.
Sementara itu, bila dilihat dari jenis laporan keuangan yang disusun
pemerintah daerah sampai saat ini telah mengalami dua perkembangan.
Perkembangan pertama, di dalam PP No. 105 tahun 2000 (Pasal 38) sebagaimana
ditindaklanjuti dengan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 (Pasal 81) laporan
keuangan yang harus disajikan secara lengkap pada akhir tahun oleh Kepala
Daerah terdiri dari :
1. Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
2. Nota Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. Laporan Aliran Kas; dan
4. Neraca Daerah.
Dalam perkembangan berikutnya, dengan terbitnya UU No. 17 tahun
2003, pada Pasal 31 dinyatakan bahwa laporan keuangan yang harus disajikan
oleh Kepala Daerah setidak-tidaknya meliputi:
1. Laporan Realisasi APBD;
2. Neraca;
3. Laporan Arus Kas; dan
4. Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan Laporan Keuangan
Perusahaan Daerah.
2.3 Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh
pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan,
maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian
melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat baik.
Begitupun sebaliknya apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya dapat
dikatakan sangat buruk.
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan
indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan untuk
menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga
diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi
kinerja yang akan berlanjut.
Mengapa pengukuran kinerja diperlukan? Pengukuran kinerja dan
indikator merupakan bagian dari proses manajemen strategis (Jackson dan
Palmer, 1992). Oleh karena itu, sebagai suatu elemen manajerial, kinerja
merupakan kunci sukses. Keputusan strategis disusun melalui kebijakan untuk
mencapai sasaran dan target yang diinginkan. Pencapaian sasaran dan target
membutuhkan informasi tentang aktual kinerja yang diharapkan dengan
membandingkan kebijakan yang ditetapkan (setting objectives). Informasi yang
diharapkan harus tersusun, dan merupakan desain pengukuran kinerja dan
indikator yang terurai dan jelas.
Ada beberapa pemikiran untuk membangun organisasi pemerintah daerah
melalui pengukuran kinerja setiap aktifitas kegiatannya baik rutin dan
pembangunan, dari sektor sampai dengan proyek. Pengukuran kinerja merupakan
suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan
pengambilan keputusan; sebagai alat untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi (Withaker : 1993). Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan
adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan
yang tersedia.
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah
untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam
memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak
tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di
dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam
batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi,1986: 199).
Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang bertujuan
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya,
misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum,
transportasi dan sebagainya. Pelayanan publik diberikan karena masyarakat
merupakan salah satu stakeholder organisasi sektor publik. Sehingga pemerintah
daerah tidak hanya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
pemerintah pusat saja, tetapi juga kepada masyarakat luas.
Oleh karena itulah diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan
untuk membantu manajer publik untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui
alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan
sebagai alat pengendalian organisasi.
Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk
memenuhi tiga tujuan (Mardiasmo, 2002: 121) yaitu memperbaiki kinerja
pemerintah, membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan
dan mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan. Pelaksanaan otonomi daerah tentunya tidak mudah, karena
menyangkut masalah kemampuan daerah itu sendiri dalam membiayai
penyelenggaraan urusan pemerintahan beserta pelaksanaan pembangunan dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah kemampuan daerah berarti
menyangkut masalah bagaimana daerah dapat memperoleh dan meningkatkan
sumber-sumber pendapatan daerah untuk menjalankan kegiatan
pemerintahannya.
Menurut Prabowo (1999: 149) sesuai dengan konsep asas desentralisasi
dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah sangat dibutuhkan
dana dan sumber-sumber pembiayaan yang cukup memadai, karena kalau daerah
tidak mempunyai sumber keuangan yang cukup akibatnya tergantung terus
kepada pemerintah pusat.
Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin besar
pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh pemerintah daerah,
kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang
bersumber dari pemerintah daerah sendiri (Hirawan, 1990: 96).
Dengan demikian maka perlu mengetahui apakah suatu daerah itu mampu
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kita harus
mengetahui keadaan kemampuan keuangan daerah.
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui
kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri
(Syamsi, 1986: 99).
1. Kemampuan struktural organisasinya.
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala
aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah
unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian
tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin
dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh
daerah.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan
serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan
pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah
harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan.
Selain faktor alam, tenaga kerja, dan teknologi, maka salah satu faktor
utama lainnya adalah faktor kapital, yang biasa disebut sumber daya modal
(capital resources). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerimaan daerah merupakan sumber modal, yang dihimpun dan dimanfaatkan
untuk membiayai berbagai kegiatan pelaksanaan pembangunan daerah
(Soediyono, 1992: 137).
Selanjutnya Davey (1988: 258) mengungkapkan bahwa otonomi daerah
menuntut adanya kemampuan pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber
penerimaan yang tidak tergantung kepada pemerintah pusat dan mempunyai
keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat
daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
2.4 Analisis Rasio Keuangan Daerah
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan
pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja
keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007: 231).
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial,
sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat
terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai
nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah
yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis
rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan
(Mardiasmo, 2002: 169).
Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur
akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2007: 233) yaitu rasio kemandirian, rasio
efektivitas, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian belanja.
Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan
pemerintah daerah (Halim,2007: 232) adalah :
1. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya.
2. Pemerintah pusat/provinsi sebagai masukan dalam membina pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah.
3. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham
pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman maupun membeli obligasi.
Dengan demikian dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja
keuangan ada beberapa ukuran kinerja yang dapat digunakan seperti rasio
kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio keserasian belanja. Untuk
itu, penjelasan terkait dengan rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi
dan rasio keserasian belanja.
2.4.1 Rasio kemandirian keuangan daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio kemandirian
dihitung dengan membagi total PAD dengan total belanja daerah dalam
satuan persen (Suyana Utama, 2008:33).
Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak pemerintah pusat dan provinsi semakin rendah,
demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak
dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.
Secara sederhana rasio kemandirian dapat diformulasikan sebagai
berikut (Mahsun dalam Suyana Utama, 2008: 33) :
Pendapatan Asli DaerahRasio Kemandirian = -------------------------------- x 100% …..… (2.1)
Total Belanja Daerah
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168)
mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu
sebagai berikut.
1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih
dominan daripada kemandirian pemerintah daerah.
2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi.
3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola di mana peranan pemerintah
pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah
otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan
otonomi.
4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri
dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat
kemandirian dan kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam
matriks seperti tampak pada Tabel 2.1 berikut ini (Mahsun, 2006: 187).
Tabel 2.1Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubunggan
Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif
Rendah > 25 – 50 Konsultatif
Sedang > 50 – 75 Partisipatif
Tinggi > 75 – 100 Delegatif
Sumber : Mahsun Moh, 2006
Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut
sebagai otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini juga
menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana
eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah
terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya.
2.4.2 Rasio efektivitas keuangan daerah
Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan
suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif
jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan
menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Rasio efektivitas merupakan tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah
daerah yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan
anggaran pendapatan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:27).
Rasio efektivitas diukur dengan : (Suyana Utama, 2008: 33):
Realisasi PendapatanRasio Efektivitas = ------------------------------ x 100% …..…… (2.2)
Anggaran Pendapatan
Nilai efektivitas diperoleh dari perbandingan sebagaimana tersebut
diatas, diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan (Mahsun, 2006:
187).
Tabel 2.2Efektivitas Keuangan Daerah
Efektivitas Keuangan Daerah Otonom danKemampuan Keuangan
Rasio Efektivitas (%)
Sangat Efektif >100Efektif >90 – 100
Cukup Efektif >80 – 90Kurang Efektif >60 – 80Tidak Efektif ≤60
Sumber : Mahsun Moh, 2006.
2.4.3 Rasio efisiensi keuangan daerah
Rasio efisiensi merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah daerah yang diukur
dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang
telah ditetapkan, dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:30). Semakin
kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Pada sektor
pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik
dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah
dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah
mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan
biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan (Mahsun, 2006: 187).
Rasio efisiensi diukur dengan (Suyana Utama, 2008: 33) :
Realisasi Belanja DaerahRasio Efisiensi = ---------------------------------- x 100% …....…. (2.3)
Anggaran Belanja Daerah
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi belanja dan
anggaran belanja daerah dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut,
maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan (Mahsun, 2006: 187).
Tabel 2.3Efisiensi Keuangan Daerah
Efisiensi Keuangan Daerah Otonom danKemampuan Keuangan
Rasio Efisiensi (%)
Sangat Efisien ≤60Efisien >60 – 80Cukup Efisien >80 – 90Kurang Efisien >90 – 100Tidak Efisien ≥100
Sumber : Mahsun Moh, 2006
Faktor penentu efisiensi dan efektivitas sebagai berikut (Budiarto, 2007) :
a. faktor sumber daya, baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja,
kemampuan kerja maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja,
tempat bekerja serta dana keuangan;
b. faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil dari jabatan-
jabatan, baik itu struktural maupun fungsional;
c. faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan;
d. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya, baik pimpinan
maupun masyarakat;
e. faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan
keempat faktor tersebut kedalam suatu usaha yang berdaya guna dan
berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
2.4.4 Rasio Keserasian Belanja
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja
pelayanan publik secara optimal. Dalam penelitian ini digunakan proprosi
belanja publik karena belanja publik secara langsung dimaksudkan untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Rasio keserasian
diukur dengan membandingkan realisasi total belanja publik dengan total
belanja daerah dalam satuan persen (Suyana Utama, 2008:36).
Secara sedarhana rasio keserasian belanja dapat diformulasikan
sebagai berikut (Suyana Utama, 2008) :
Belanja Pelayanan PublikRasio Keserasian Belanja = -------------------------------- x 100% ….(2.4)
Total Belanja Daerah
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi belanja dan
anggaran belanja daerah dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut,
maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan sebagai berikut
(Mahsun, 2006) :
Tabel 2.4Keserasian Belanja Keuangan Daerah
Keserasian BelanjaKeuangan Daerah Otonom
Rasio Keserasian Belanja (%)
Tidak Serasi 0 – 20Kurang Serasi > 20 – 40Cukup Serasi > 40 – 60
Serasi > 60 – 80Sangat Serasi > 80 – 100
Sumber : Mahsun Moh, 2006
2.5 Kesejahteraan Masyarakat
2.5.1 Pengertian Kesejahteraan Masyarakat
Upaya penciptaan kesejahteraan di masyarakat dapat diartikan pula
sebagai upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Kemiskinan memang tidak dapat dihilangkan namun kemiskinan dapat
dikurangi, hal inilah yang terus diupayakan oleh pemerintah. Social
security dimaksudkan untuk mengurangi jumlah kemiskinan bukan untuk
menghilangkan kemiskinan melalui program-programnya.
Berbicara mengenai kemiskinan tentunya kita tidak dapat
melepaskan diri dari mendefinisikan kemiskinan (poverty), yang pada
dasarnya merupakan aktifitas politik, konflik politik terhadap kemiskinan
akan mengarah pada kemiskinan itu sendiri. Dimensi yang berkaitan
dengan kemiskinan meliputi tiga hal yaitu kegunaan (utility), penghasilan
(income), dan kemampuan (capabilities). Utility tidak hanya mengacu
pada preferensi secara individu, tetapi juga dasar tujuan dari kebijakan
dengan memperhatikan preferensi individu bersangkutan (Sen, 1979).
Income kadang diintepretasikan dengan “ukuran uang” yang menekankan
pada pendapatan perkapita sebagai ukuran pembangunan. Capabilities
berkaitan dengan kekurangan kebutuhan dasar, termasuk di dalamnya
menghindari kemiskinan dan buta huruf (Sen, 1985).
Sedangkan Social Security Administration (SSA, 1987)
mendefinisikan kemiskinan hanya memasukkan penghasilan yang berupa
kas, dan tidak memperhitungkan perawatan yang diperoleh secara gratis,
food stamps, sekolah dengan gratis dan penyelenggaraan perumahan
rakyat (Danzinger dan Haveman, 1981). Berbicara mengenai pengurangan
atau penghapusan kemiskinan sama artinya kita berbicara mengenai
perubahan dalam pendistribusian pendapatan (Levine, 1970).
Menurut Whyte dalam Ahluwalia (1976) kemiskinan merupakan
fenomena relative deprivation. Ada dua macam kemiskinan menurut
beliau, yakni kemiskinan yang bersifat relatif dan kemiskinan yang
bersifat absolut (relative and absolute poverty). Kemiskinan absolut
adalah ukuran kemiskinan yang menggunakan indikator-indikator empiris
seperti tingkat kelaparan, malnutrisi, buta huruf, perkampungan kumuh,
buruknya tingkat kesehatan, dan lain-lain. Kemiskinan relatif adalah
kemiskinan diukur relatif antarkelompok pendapatan, oleh karenanya
selalu dinamis. Hakikat kemiskinan ini tidak dilihat dari indikator-
indikator ekonomi, namun menyangkut aneka dimensi social. Landasan
utamanya adalah psikologis, yakni suatu perasaan dari individu-individu
masyarakat yang selalu membandingkan dirinya dengan individu lain
dalam suatu masyarakat (reference group), di mana ia menjadi bagian.
Karena itu kemiskinan terjadi di mana saja, termasuk di negara-
negara maju yang secara absolut masyarakatnya telah jauh di atas garis
kemiskinan. Jepang sebagai negara post-industry, rata-rata pendapatannya
telah jauh melampaui garis kemiskinan absolut, tetapi masih banyak pula
orang Jepang yang merasa dirinya miskin. Ini terjadi karena perasaan
relatif (Winarni, 1994).
Di Indonesia sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) telah
menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin yaitu penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan
dilakukan dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) modul konsumsi yang dilakukan setiap 3 tahun sekali.
Garis kemiskinan, yang merupakan dasar penghitungan jumlah penduduk
miskin, dihitung dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar adalah besarnya rupiah yang dibutuhkan untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan, atau
lebih dikenal dengan garis kemiskinan makanan dan non makanan. Garis
kemiskinan makanan yaitu pengeluaran konsumsi perkapita per bulan
yang setara 2.100 kalori perkapita per hari. Sementara garis kemiskinan
non makanan adalah besarnya rupiah untuk memenuhi kebutuhan
minimum non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,
angkutan, pakaian, dan barang/jasa lainnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa penduduk yang miskin adalah yang berada di bawah garis
kemiskinan, dan yang berada di atas garis kemiskinan adalah penduduk
yang telah sejahtera/tidak miskin (Winarni, 1994).
Langkah utama yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki
distribusi outcomes (World Bank, 1999). Di sisi lain pemerintah harus
menginvestasikan dan mengalokasikan kembali (reallocate) anggaran
berdasar pelayanan yang diberikan. Termasuk juga pendidikan dasar dan
perawatan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga.
Kebijakan yang ada akan berusaha untuk mengidentifikasikan kemiskinan
dan target yang ingin dicapai untuk memberikan pelayanan dengan
pendistribusian kembali kebutuhan yang urgent dan penggunaan jaring
pengaman sosial dalam ekonomi pasar (World Bank, 1990; Lipton dan
Ravallion, 1994). Target yang optimal dan program secara keseluruhan
dalam memerangi kemiskinan tergantung pada banyak faktor, termasuk
karakteristik the poor (siapakah orang miskin, berapa banyak mereka, dan
mengapa mereka miskin) dan kondisi spesifik yang melingkupinya
(kondisi, pembangunan infrastruktur, dan kemampuan administratif).
Murray (1994) membandingkan tiga ukuran kemiskinan yaitu official
poverty, net poverty, dan latent poverty. Official poverty adalah jumlah
kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah US dengan mendasarkan
pada indeks kemiskinan. Net poverty adalah official poverty dikurangi
nilai keuntungan (the value of in-kind benefits). Laten poverty adalah lebih
mengacu pada jumlah orang-orang yang akan miskin jika mereka tidak
menerima bantuan sosial dan public assistance payment.
Di Indonesia, bantuan sosial (social assistance) merupakan
program langsung pemerintah melalui APBN atau APBD yang
menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, sandang, kesehatan,
dan pendidikan untuk masyarakat miskin dan sangat miskin. Elemen
kedua adalah jaminan sosial (social insurance) (Barr and Whynes, 1993),
yakni program partisipasi masyarakat, sementara pemerintah sebagai
regulator dan fasilitator. Bentuknya berupa penyediaan jaminan sosial
dasar seperti dana pensiun, dan tenaga kerja. Ketiga yakni jaminan pribadi
(individual insurance) yang merupakan partisipasi individu dan
pemerintah sebagai regulator.
2.5.2 Konsep Value for Money Sektor Publik
Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah
terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social
welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju,
keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila
lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for
money.
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses
penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan
dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan
kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan
output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa
penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan
kepentingan publik.
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan
jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good
governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung
dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan
konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila
pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik (Mardiasmo,
2002:17).
2.5.3 Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Menurut United Nations Development Programme (UNDP),
pembangunan manusia merupakan suatu model pembangunan yang
ditujukan untuk memperluas pilihan bagi penduduk yang dapat
ditumbuhkan melalui upaya pemberdayaan penduduk. Hal ini dapat
dicapai melalui program pembangunan yang menitik-beratkan pada
peningkatan kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya derajat
kesehatan, berupa umur panjang dan hidup sehat, mempunyai pengetahuan
dan keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk
mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif serta
mendapat penghasilan yang mencukupi dengan daya beli yang layak.
Seperti halnya pembangunan ekonomi, pembangunan manusia
memerlukan ketersediaan analisis data guna perencanaan dan pengambilan
kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi sejauh mana
pembangunan yang dilaksanakan mampu meningkatkan kualitas hidup
manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukur
yang lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Walaupun tidak semua aspek pembangunan manusia dapat diukur melalui
penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi pembangunan
manusia, tetapi paling tidak IPM dapat menggambarkan hasil pelaksanaan
pembangunan manusia menurut tiga komponen indikator kemampuan
manusia yang sangat mendasar yaitu; derajat kesehatan, kualitas
pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa pemerataan
tingkat daya beli masyarakat.
Dalam mengukur kesejahteraan masyarakat, program
pembangunan PBB (UNDP) melalui terbitan serialnya sejak awal tahun
1990-an mengukur kesejahteraan masyarakat secara lebih komprehensif
dengan menggunakan tingkat pendapatan perkapita, tingkat pendidikan
dan usia harapan hidup yang dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan
Manusia atau Human Development Index = HDI.
Alat ukur ini telah digunakan baik pada tingkat nasional maupun
internasional dalam melihat hasil-hasil pembangunan masing-masing
propinsi atau negara. Selanjutnya alat ukur ini diperluas kegunaannya pada
tingkat yang lebih rendah yaitu pada level kabupaten/kota.
Pada tahun 1990 United Nation Development Program (UNDP)
memperkenalkan ”Human Development Index” (HDI) atau Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Pembangunan manusia, menurut definisi
UNDP, adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (people’s
choice). Dari sekian banyak pilihan, ada tiga pilihan yang dianggap paling
penting, yaitu: panjang umur dan sehat, berpendidikan, dan akses ke
sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Pilihan lain
yang dianggap mendukung tiga pilihan di atas adalah kebebasan politik,
hak asasi manusia, dan penghormatan hak pribadi. Dengan demikian,
pembangunan manusia lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, lebih
dari sekedar peningkatan pendapatan dan lebih dari sekedar proses
produksi komoditas serta akumulasi modal. Demi memacu pertumbuhan
ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia. Dibutuhkan
kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan kualitas SDM.
Pendapatan perkapita adalah PDRB berdasarkan harga yang
berlaku di masyarakat dibagi dengan total penduduk pada pertengahan
tahun, dalam ribuan rupiah. PDRB adalah total nilai tambah yang
dihasilkan oleh sektor-sektor perekonomian dalam kurun waktu satu
tahun. Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang
menamatkan bangku pendidikan formal terhadap total penduduk di suatu
wilayah tertentu, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata
umur masyarakat yang dicapai pada suatu wilayah tertentu, dalam satuan
tahun.
BAB IIIKERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEPTUAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta mengacu kepada latar
belakang masalah, rumusan dan tujuan penelitian maka dapat dibuat suatu
bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut :
Gambar 3.1 KerangkaBerpikir
Dari Gambar 3.1 di atas, dapat dijelaskan bahwa kerangka berpikir yang
akan dikembangkan oleh peneliti dalam penelitian mengenai “Evaluasi Kinerja
Keuangan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Lembata – Provinsi
NTT” ini adalah berdasarkan latar belakang permasalahan yaitu rendahnya
kinerja keuangan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata
selama dua periode pemerintahan Bupati, yaitu periode I dari tahun 2002 – 2005
dan di periode II dari tahun 2006 – 2009. Kemudian dirumuskanlah beberapa
permasalahan penelitian yaitu apakah terdapat perbedaan yang siqnifikan pada
kinerja keuangan pemerintah kabupaten antara
periode I dan periode II, dan apakah terdapat perbedaan yang siqnifikan pada
kesejahteraan masyarakat antara periode I dan Periode II. Tujuan penelitian ini
diarahkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas dan
diharapkan dapat memberi manfaat praktis dan teoritis.
Berdasarkan tujuan dan manfaat penelitian ini maka kemudian akan
dilakukan analisis data-data kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan data-
data kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lembata. Hasil analisis data-data
tersebut kemudian akan dibahas dan diuraikan sedemikian sehinggga dapat
ditarik kesimpulan yang dapat memberikan jawaban atas rumusan permasalahan
dan tujuan awal dari penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan ini pula maka akan
dikemukakan beberapa saran yang bisa memberikan manfaat baik yang bersifat
praktis maupun yang bersifat teoritis bagi para pembaca.
3.2 Kerangka Konseptual
Adapun konsep penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3.2Kerangka Konseptual
Dari Gambar 3.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini
akan dilakukan analisis rasio-rasio kinerja keuangan pemerintah kabupaten
antara lain rasio kemandirian daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio
keserasian belanja. Selain itu, dilakukan juga analisis terhadap indikator-
indikator kesejahteraan masyarakat antara lain indikator pendapatan perkapita,
indikator tingkat pendidikan dan indikator usia harapan hidup.
Selanjutnya akan dilakukan perbandingan variabel kinerja keuangan
pemerintah kabupaten dan variabel kesejahteraan masyarakat yang dibagi dalam
dua periode yaitu periode I dan di periode II, apakah mengalami peningkatan
atau sebaliknya semakin menurun. Setelah diketahui hasil perhitungan masing-
masing indikator baik yang menjadi bagian dalam variabel kinerja keuangan
maupun variabel kesejahteraan masyarakat, ditabulasikan ke dalam tabel kriteria
kinerja keuangan untuk mengetahui kategori nilai yang dicapai.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penelitian terdahulu dan kerangka pikir di atas maka
hipotesis pada penelitian ini adalah :
H1 : “Terdapat perbedaan signifikan rata-rata kinerja keuangan pemerintah
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II”.
H2: “Terdapat perbedaan signifikan rata-rata kesejahteraan masyarakat
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II”.
BAB IVMETODE PENELITIAN
4.1 Rancangan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai pengelolaan keuangan
daerah yaitu dengan menganalisis kinerja keuangan pemerintah kabupaten
dengan menggunakan indikator rasio kemandirian, efektivitas, efisiensi dan
keserasian belanja, dan analisis tingkat kesejahteraan masyarakat dengan
indikator pendapatan perkapita, tingkat pendidikan dan usia harapan hidup
masyarakat Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II. Seluruh data hasil
perhitungan, akan dianalisis dengan menggunakan analisis uji beda dua rata-rata
rata untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara periode
I dan periode II untuk masing-masing variabel penelitian.
Penelitian ini mempunyai ruang lingkup di wilayah Kabupaten Lembata
yang secara administratif masuk dalam wilayah pemerintahan Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
4.2 Variabel Penelitian
4.2.1 Identifikasi Variabel
Variabel yang akan dianalisis terdiri dari dua variabel yaitu
pertama, variabel kinerja keuangan dengan menggunakan rasio
kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi dan rasio
keserasian belanja. Sedangkan variabel kedua yaitu variabel kesejahteraan
masyarakat dengan menggunakan indikator pendapatan perkapita,
indikator tingkat pendidikan dan indikator usia harapan hidup.
4.2.2 Definisi Operasional Variabel
Analisis kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada
dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja pemerintah kabupaten di masa
lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi
keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja secara
berkesinambungan.
Rasio kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata
menunjukkan kemampuan pemerintah kabupaten dalam membiayai
sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang dihitung dengan membagi total PAD dengan total
belanja daerah dalam satuan persen.
Rasio efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata adalah
rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas dalam merealisasikan
pendapatan daerah Kabupaten Lembata dan merupakan tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah
kabupaten yang diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan
dengan anggaran pendapatan, dalam satuan persen.
Rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata
merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi
yang dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata yang diukur dengan
membandingkan realisasi belanja dengan anggaran belanja yang telah
ditetapkan, dalam satuan persen.
Rasio keserasian belanja menggambarkan bagaimana pemerintah
Kabupaten Lembata memprioritaskan alokasi dananya
pada belanja pelayanan publik secara optimal yang diukur dengan
membandingkan realisasi total belanja publik dengan total belanja daerah
dalam satuan persen.
Dalam mengukur kesejahteraan masyarakat menggunakan tingkat
pendapatan perkapita, usia harapan hidup dan tingkat pendidikan yang
dikonstruksi menjadi Indeks Pembangunan Manusia atau Human
Development Index = HDI.
Pendapatan perkapita di masyarakat Kabupaten Lembata adalah
PDRB dibagi dengan total penduduk pada pertengan tahun pada tahun-
tahun penelitian, dalam ribuan rupiah. Tingkat pendidikan masyarakat
diukur dari jumlah penduduk yang menamatkan bangku pendidikan formal
terhadap total penduduk di Kabupaten Lembata selama tahun-tahun yang
diteliti, dalam satuan persen. Usia harapan hidup adalah rata-rata umur
masyarakat yang dicapai di Kabupaten Lembata selama tahun-tahun yang
diteliti, dalam satuan tahun.
4.3 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini tidak diperlukan sampel karena menggunakan data
sekunder yang terbatas pada laporan realisasi APBD. Data yang digunakan
terbatas pada data berapa jumlah realisasi APBD yang akan digunakan untuk
menganalisis kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan tingkat kesejahteraan
masyarakat Kabupaten Lembata. Sedangkan faktor-faktor lain non finansial yang
berpengaruh terhadap laporan realisasi APBD Kabupaten Lembata dianggap
konstan.
Data yang akan dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini adalah
data sekunder berupa laporan perhitungan APBD yang dikumpulkan dari Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan data PDRB serta
jumlah penduduk yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata.
Data sekunder yang akan dipergunakan tersebut bersifat runtut waktu (time
series) delapan tahun dari tahun anggaran 2002 sampai dengan tahun anggaran
2009. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan metode observasi non perilaku
yaitu dilakukan dengan mengamati secara langsung dokumen APBD Kabupaten
Lembata.
4.4 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis uji
beda dua rata-rata untuk mengetahui perkembangan variabel yang dianalisis pada
periode I dan periode II.
Uji beda dua rata-rata merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
apakah suatu variabel memiliki nilai yang sama atau tidak sama, lebih tinggi atau
tidak lebih tinggi, lebih rendah atau tidak lebih rendah dan sebagainya. Jika
analisis data dalam sebuah penelitian dilakukan dengan cara membandingkan
data antar-waktu dari satu kelompok sampel, maka dilakukan pengujian hipotesis
dengan uji-t sebagai berikut :
Langkah-langkah pengujian hipotesis :
a. Menyusun H1 dan H2
H1 : µII ≠ µI
H2 : yII ≠ yI
µ merupakan rerata data kinerja keuangan di periode I dan periode II
y merupakan rerata data kesejahteraan masyarakat di periode I danperiode II
b. Menghitung statistik yaitu :
Mdt = ………………… (4.1)
∑Xd2
n(n-1)dengan :
di = selisih skor periode I dan II dari setiap subjek (i)
Md = rerata dari gain (d)
Xd = deviasi skor gain terhadap reratanya (Xd = di – Md)
Xd2 = kuadrat deviasi skor gain terhadap reratanya
n = banyaknya subjek penelitian
c. Menentukan level of significance (aơ)
Untuk pengujian hipotesis, selanjutnya nilai t hitung di atas dibandingkan
dengan nilai dari tabel distribusi t (t tabel). Cara penentuan nilai t tabel
didasarkan pada taraf signifikansi (misal a = 0,05) dan dk = n – 1.
d. Kriteria pengujian hipotesis
H0 ditolak apabila t hitung < t tabel, atau
H0 diterima apabila t hitung > t tabel
e. Buat kesimpulan dengan membandingkan antara nilai t hitung dengan kriteria
hitungnya.
BAB VHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lembata
Kabupaten Lembata dengan ibukota kabupaten Lewoleba
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak di sebelah timur dari pulau Flores. Kabupaten Lembata sangat
potensial dalam bidang pertanian, khususnya sektor kelautan dan
perikanan, karena Kabupaten Lembata dikelilingi oleh laut, serta potensi
pertambangan yang tersebar di beberapa kecamatan. Sedangkan
permasalahan yang sering timbul adalah penyediaan masalah prasarana
dan sarana serta sumber daya manusia yang belum memadai.
Secara administratif wilayah Kabupaten Lembata berbatasan
dengan : sebelah utara : laut Flores, sebelah timur : selat Alor, sebelah
selatan : laut Sawu dan sebelah barat : selat Boleng dan Lamalera. Secara
administratif, sejak tahun 1958 Lembata merupakan bagian dari
Kabupaten Flores Timur dengan ibukota Larantuka, namun berdasarkan
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1999 sejak 12 Oktober 1999, pulau
Lembata resmi berdiri sendiri menjadi Kabupaten Lembata dengan
ibukota Lewoleba yang memiliki luas wilayah 1.266,48 km² atau 126.648
ha. Kabupaten Lembata terdiri dari 8 (delapan) kecamatan yang meliputi
112 desa, 5 kelurahan dan 372 dusun, dan mempunyai luas wilayah
daratan 1.266,48 Km2 dan luas wilayah lautan 3.353,995 Km2. Pembagian
wilayah administratif kecamatan di Kabupaten Lembata yaitu :
Nagawutung dengan ibukota Loang, Atadei dengan ibukota Kalikasa, Ile
Ape dengan ibukota Waipukang, Lebatukan dengan ibukota Hadakewa,
Nubatukan dengan ibukota Lewoleba, Omesuri dengan ibukota Balauring,
Buyasuri dengan ibukota Wairiang dan Wulandoni dengan ibukota
Wulandoni.
Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB yang dicapai
Kabupaten Lembata ini pada tahun 2005 sebesar 176.214.210.534 (dalam
ribuan rupiah), dengan konstribusi terbesar datang dari sektor pertanian
sebesar 80.968.371.893, sektor jasa sebesar 50.429.854.694 dan sektor
perdagangan, hotel, restoran sebesar 44.815.983.947. Meskipun
Kabupaten Lembata dikenal sebagai daerah yang tandus dan gersang,
pertanian tetap menjadi tumpuan kegiatan ekonomi kabupaten dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2002 dari total nilai ekonomi Kabupaten Lembata
sebesar Rp.88,7 milyar, pertanian menyumbang hingga 64%. Produksi
hasil pertanian belum mampu mencukupi kebutuhan lokal, padi misalnya
untuk memenuhi kebutuhan sebagian kecil penduduknya , beras masih
didatangkan dari Makasar dan Surabaya. Kecilnya produksi dikarenakan
sebagian besar padi yang dihasilkan melalui padi ladang, kecamatan
Atadei menjadi penghasil padi ladang terbesar, beruntung masyarakat
Lembata bisa melakukan subtitusi yaitu dengan lebih memilih jagung dari
pada beras sebagai makanan pokok. Selain pertanian, perekonomian
Kabupaten Lembata ini juga didukung oleh peternakan dan perikanan.
Ternak sapi, kambing, dan babi masih dapat dikembangkan, mengingat
terdapatnya padang rumput yang luas. Perikanan juga masih menyimpan
potensi yang besar karena sebagian 73% wilayah Lembata adalah perairan,
SDA terbesar ini belum tergarap profesional. Pemerintah kabupaten lewat
dinas perikanan dan kelautan sedang mensurvei potensi kelautan, dengan
data yang akurat dalam bentuk pemetaan potensi kelautan ini diharapkan
sumber daya laut dapat dikelola dan dikembangkan menjadi produk
unnggulan daerah.
Sebagai kabupaten baru, ada sejumlah persoalan daerah yang
menuntut perhatian serius pemerintah bersama masyarakatnya. Meski
belum cukup menonjol, Lembata memiliki bebarapa kawasan yang
diketahui kantung produksinya. Kawasan itu seperti di Kecamatan
Nagawuntung, Atadei, omesuri, dan Buyasuri yang dikenal sebagai
penghasil kemiri, kopra, jambu mete, dan juga kopi. Bumi Lembata
dilaporkan juga menyimpan potensi pertambangan. Penelitian LPPGI
bekerjasama dengan GSJ beberapa waktu lalu, pernah melaporkan
Lembata menyimpan kandungan emas sekitar 600 gram per ton batuan.
Sesuai dengan UU Nomor 22 jo UU Nomor 44 tahun 2001
tentang pemerintah daerah, menjadikan Kabupaten Lembata sebagai
sebuah pemerintah yang otonom. Dengan tuntutan otonmi daerah yang
mengisyaratkan bahwa pemerintah Kabupaten Lembata harus
meningkatkan kinerja keuangan, maka Kabupaten Lembata wajib
mengoptimalkan pengelolaan APBD nya.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah maka perlu
dibentuk suatu badan khusus mengelola tentang penerimaan pendapatan
dan pengeluaran belanja daerahnya sehingga dibentuklah Badan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sesuai dengan Perda Kabupaten
Lembata Nomor 2 tahun 2004 dan Surat Keputusan Bupati Lembata
Nomor 1616 tentang Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Lembata. Sedangkan dengan dikeluarkannya Perda Nomor 7 tahun 2006
dan Peraturan Bupati Nomor 35 tahun 2006, BPKAD dirubah menjadi
Bagian Keuangan dan Bagian Aset dan Perlengkapan.
Bagian keuangan Kabupaten Lembata dipimpin oleh seorang
Kepala Bagian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Sekretaris Daerah melalui Asisten Administrasi Umum, dan terdiri dari
Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian Perbendaharaan dan Sub Bagian
Verifikasi dan Pembukuan.
5.1.2 Deskripsi Variabel Penelitian
5.1.2.1 Variabel kinerja keuangan
Analisis terhadap variabel kinerja keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata pada dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja pemerintah
kabupaten di masa lalu. Dalam penelitian ini, variabel kinerja keuangan
pemerintah Kabupaten Lembata diukur dengan menggunakan analisis
rasio keuangan daerah antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut :
5.1.2.1.1 Rasio kemandirian
Hasil perhitungan rasio kemandirian pemerintah Kabupaten
Lembata dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini :
Tabel 5.1Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian
Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan IIPeriode I Periode II
Tahun Nilai(%) Tahun Nilai(%)
2002 4,37 2006 4,51
2003 3,97 2007 4,18
2004 3,49 2008 3,63
2005 2,73 2009 4,80
Rata-rata 3,64 Rata-rata 4,28
Sumber : Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.1, diketahui bahwa pada periode I, rasio
kemandirian pemerintah Kabupaten Lembata tertinggi dicapai pada tahun 2002
yaitu sebesar 4,37%, namun di tahun-tahun berikutnya terus mengalami
penurunan, yaitu di tahun 2003 sebesar 3,97%, tahun 2004 sebesar 3,49% dan
mencapai tingkat terendah di tahun 2005 yaitu menjadi 2,73%. Demikian pula
di periode II, rasio kemandirian pada tahun 2006 sebesar 4,51%, kemudian
turun di tahun 2007 menjadi 4,18%, dan kemudian mencapai tingkat terendah
pada tahun 2008 yang hanya mencapai 3,63%, tetapi kemudian mengalami
peningkatan pada angka tertinggi di tahun 2009 menjadi 4,80%.
Secara rata-rata hasil perhitungan rasio kemandirian pada periode I
sebesar 3,64% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.1 kriteria pola hubungan
dengan pemerintah pusat dan provinsi yaitu mengaju kepada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mahsun (2006) dalam Suyana Utama (2008), maka
persentasenya terletak antara 0 – 25%, dengan demikian rasio kemandirian pada
periode I tergolong dalam kategori kemandirian rendah sekali dengan pola
hubungan yang instruktif. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio
kemandirian pada periode II mengalami peningkatan menjadi 4,28%, dan
persentasenya juga terletak antara 0 – 25%, maka rasio kemandirian di periode
II juga dikategorikan rendah sekali dengan pola hubungan instruktif.
5.1.2.1.2 Rasio efektivitas
Hasil perhitungan rasio efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini :
Tabel 5.2Hasil Perhitungan Rasio Efektivitas
Keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II
Periode I Periode II
Tahun Nilai(%) Tahun Nilai(%)
2002 102,87 2006 99,78
2003 101,87 2007 103,89
2004 99,81 2008 102,42
2005 98,74 2009 102,13
Rata-rata 100,82 Rata-rata 102,05
Sumber : Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.2, diketahui bahwa pada periode I, rasio efektivitas
keuangan pemerintah Kabupaten Lembata tertinggi dicapai pada tahun 2002
yaitu sebesar 102,87% namun di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan
yakni di tahun 2003 menjadi 101,87%, tahun 2004 menjadi 99,81% dan
mencapai tingkat terendah di tahun 2005 yaitu menjadi 98,74%. Demikian pula
di periode II, rasio efektivitas mencapai tingkat efektivitas terendah di tahun
2006 yaitu sebesar 99,78%, kemudian meningkat di tahun 2007 mencapai
103,89%, di tahun 2008 menjadi 102,42% dan di tahun 2009 menjadi 102,13%.
Secara rata-rata hasil perhitungan rasio efektivitas pada periode I sebesar
100,82% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.2 kriteria efektivitas keuangan
daerah otonom dan kemampuan keuangan yaitu mengaju kepada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Mahsun (2006) dalam Suyana Utama (2008), menunjukkan
bahwa persentasenya berada pada tingkat >100, maka rasio efektivitas keuangan
daerah tergolong dalam kategori sangat efektif. Sedangkan rata-rata hasil
perhitungan rasio efektivitas pada periode II mengalami peningkatan menjadi
102,05%, dan persentasenya juga berada pada tingkat >100, maka rasio
efektivitas keuangan daerah di periode II juga dikategorikan sangat efektif.
5.1.2.1.3 Rasio efisiensi
Hasil perhitungan rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata dapat disajikan pada Tabel 5.3 berikut ini :
Tabel 5.3Hasil Perhitungan Rasio Efisiensi
Keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II
Periode I Periode II
Tahun Nilai(%) Tahun Nilai(%)
2002 90,08 2006 88,11
2003 89,31 2007 81,53
2004 87,98 2008 114,11
2005 93,01 2009 94,30
Rata-rata 90,09 Rata-rata 94,51
Sumber : Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa pada periode I, rasio efisiensi
keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2002 yaitu sebesar
90,08%, di tahun 2003 sebesar 89,31% dan pada tahun 2004 mencapai tingkat
efisiensi tertinggi sebesar 87,98%, namun pada tahun 2005 kembali mengalami
penurunan menjadi tingkat terendah sebesar 93,01%. Sedangkan di periode II,
rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2006
yaitu sebesar 88,11%, dan pada tahun 2007 mencapai tingkat efisiensi tertinggi
yaitu sebesar 81,53% namun kemudian di tahun 2008 mencapai tingkat efisiensi
terendah yaitu mencapai 114,11%, dan kemudian pada tahun 2009 meningkat
menjadi 94,30%.
Secara rata-rata hasil perhitungan rasio efisiensi pada periode I sebesar
90,09% dan bila dihubungkan dengan Tabel 2.2 kriteria efisiensi keuangan
daerah yaitu mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsun
(2006) dalam Suyana Utama (2008), maka persentasenya antara >90 – 100%,
dengan demikian rasio efisiensi keuangan pemerintah kabupaten Lembata di
periode I tergolong dalam kategori kurang efisien. Sedangkan rata-rata hasil
perhitungan rasio efisiensi pada periode II mengalami penurunan menjadi
94,51% namun persentasenya masih berada di antara >90 – 100%, dengan
demikian rasio efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II
juga tergolong dalam kategori kurang efisien.
5.1.2.1.4 Rasio keserasian belanja
Hasil perhitungan rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten
Lembata dapat disajikan pada Tabel 5.4 berikut ini :
Tabel 5.4Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Belanja
Pemerintah Kabupaten Lembata Periode I dan II
Periode I Periode II
Tahun Nilai(%) Tahun Nilai(%)
2002 64,20 2006 65,30
2003 64,46 2007 19,65
2004 47,79 2008 39,99
2005 62,75 2009 52,42
Rata-rata 59,80 Rata-rata 44,34
Sumber : Lampiran 9
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa pada periode I, rasio keserasian
belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2002 yaitu sebesar 64,20%,
pada tahun 2003 mencapai tingkat keserasian tertinggi yaitu sebesar 64,46%,
pada tahun 2004 mencapai tingkat keserasian terendah yaitu sebesar 47,79%
dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 62,75%. Sedangkan di periode II, rasio
keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada tahun 2006 mencapai
tingkat keserasian tertinggi yaitu sebesar 65,30%, pada tahun 2007 mencapai
tingkat keserasian terendah yaitu hanya mencapai 19,65%, pada tahun 2008
meningkat menjadi 39,99%, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 52,42%.
Secara rata-rata hasil perhitungan rasio keserasian belanja pada periode I
sebesar 59,80%, bila dihubungkan dengan Tabel 2.4 kriteria keserasian belanja
keuangan daerah otonom dan mengaju kepada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mahsun (2006) maka rasio keserasian belanja pemerintah Kabupaten
Lembata di periode I dikategorikan cukup serasi kerena persentasenya antara
>40 – 60%. Sedangkan rata-rata hasil perhitungan rasio keserasian belanja pada
periode II mengalami penurunan menjadi 44,34% dan persentasenya berada
antara >40 – 60%, maka dapat dikategorikan menjadi predikat cukup serasi.
5.1.2.2 Variabel kesejahteraan masyarakat
Dalam mengukur variabel kesejahteraan masyarakat digunakan indikator
pendapatan perkapita, indikator tingkat pendidikan dan usia harapan hidup
masyarakat.
5.1.2.2.1 Indikator pendapatan perkapita
Pada Tabel berikut akan disajikan tabel pendapatan perkapita
atas dasar harga berlaku di Kabupaten Lembata periode I dan II.
Tabel 5.5Pendapatan Perkapita Masyarakat
Atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Lembata Periode I dan II
Periode Tahun Pendapatan Perkapita (Rp)atas dasar harga yang berlaku
Periode I 2002 1.337.7982003 1.465.9852004 1.619.0882005 1.786.329
Rata- Rata 1.552.300Periode II 2006 2.058.541
2007 2.226.5062008 2.843.3942009 3.152.350
Rata- Rata 2.570.198Sumber : Lampiran 17
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa pada periode I,
indikator pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata
pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp.1.337.798, pada tahun 2003
meningkat menjadi Rp.1.465.985, pada tahun 2004 menjadi
Rp.1.619.088 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
Rp.1.786.329. Sedangkan di periode II, tingkat pendapatan perkapita
masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2006 yaitu sebesar
Rp.2.058.541, pada tahun 2007 menjadi Rp.2.226.506, pada tahun
2008 menjadi Rp.2.843.394, dan kemudian pada tahun 2009
meningkat menjadi Rp.3.152.350.
Apabila dilihat secara rata-rata indikator pendapatan
perkapita masyarakat di kabupaten Lembata pada periode I adalah
sebesar Rp. 1.552.300, sedangkan rata-rata indikator pendapatan
perkapita masyarakat di kabupaten Lembata pada periode II
mengalami peningkatan menjadi Rp. 2.570.198.
5.1.2.2.2 Indikator tingkat pendidikan
Pada Tabel berikut akan disajikan indikator tingkat
pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan II.
Tabel 5.6Tingkat Pendidikan
Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II
PeriodePENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN
TotalSD SLTP SLTA DI DII/DIII DIV/S1/S2/S3
I 2002 42,24 5,27 8,01 0,15 0,46 1,25 57,382003 41,28 7,01 8,09 0,49 0,57 1,09 58,532004 38,46 12,88 8,91 0,72 0,65 0,69 62,312005 40,44 10,40 8,30 0,71 0,61 0,87 61,33
Rata-rata Periode I 59,88II 2006 35,91 11,83 12,41 0,68 0,62 1,20 62,65
2007 41,46 10,78 8,79 0,38 1,12 1,31 63,842008 42,10 12,26 11,58 0,75 0,98 1,70 69,372009 41,83 10,58 10,42 0,66 0,47 1,69 65,65
Rata-rata Periode II 65,37Sumber : Lampiran 18
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa pada periode I, tingkat
pendidikan masyarakat atau persentase jumlah masyarakat yang
mengenyam bangku pendidikan di Kabupaten Lembata pada tahun 2002
mencapai 57,38%, pada tahun 2003 mencapai 58,53%, pada tahun 2004
mencapai 62,31% dan pada tahun 2005 turun menjadi 61,33%. Sedangkan
di periode II, tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada
tahun 2006 mencapai 62,65%, pada tahun 2007 mencapai 63,84%, pada
tahun 2008 mencapai 69,37%, tetapi kemudian pada tahun 2009 turun
menjadi 65,65%.
Apabila dilihat secara rata-rata indikator tingkat pendidikan pada
periode I adalah sebesar 59,88%, sedangkan rata-rata indikator tingkat
pendidikan pada periode II mengalami peningkatan menjadi 65,37%.
5.1.2.2.3 Indikator usia harapan hidup
Berikut akan disajikan Tabel indikator usia harapan hidup
masyarakat di Kabupaten Lembata periode I dan II.
Tabel 5.7Usia Harapan Hidup
Masyarakat di Kabupaten Lembata Periode I dan II
Periode Angka Harapan Hidup (Tahun)I 2002 64,80
2003 65,152004 65,302005 65,80
Rata-rata 65,26II 2006 66,10
2007 66,232008 66,342009 66,46
Rata-rata 66,28Sumber : Lampiran 19
Berdasarakan Tabel 5.7 diketahui bahwa pada periode I, usia
harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata pada tahun 2002
mencapai 64,80 tahun, pada tahun 2003 mencapai 65,15 tahun, pada tahun
2004 mencapai 65,30 tahun dan pada tahun 2005 menjadi 65,80 tahun.
Sedangkan di periode II, usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten
Lembata pada tahun 2006 mencapai 66,10 tahun, pada tahun 2007
mencapai 66,23 tahun, pada tahun 2008 mencapai 66,34 tahun, dan pada
tahun 2009 menjadi 66,46 tahun.
Apabila dilihat secara rata-rata indikator usia harapan hidup pada
periode I adalah sebesar 65,26%, sedangkan rata-rata indikator usia
harapan hidup pada periode I mengalami peningkatan menjadi 66,28%
5.1.3 Pengujian hipotesis
Berikut ini akan disajikan hasil pengolahan data yang menjadi
dasar deskripsi hasil penelitian atas variabel kinerja keuangan dan variabel
kesejahteraan masyarakat. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian
diolah menggunakan teknik statistik hipotesis uji beda dua rata-rata
dengan cara membandingkan antara rata-rata masing-masing variabel
penelitian pada periode I dan periode II.
Penelitian ini menggunakan uji beda dua rata-rata (t-test) dengan
bantuan program SPSS 16.00 for Windows, membandingkan variabel
kinerja keuangan dan variabel kesejahteraan masyarakat pada periode I
dan periode II di lingkungan pemerintah Kabupaten Lembata dengan
menggunakan nilai signifikansi () sebesar 5%, seperti pada tabel berikut
ini :
Tabel 5.8Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian
Alat Ukur Nilai sig.(tailed)
Nilai t(t0,05:3)
Hipotesis(H1)
Alat Ukur Nilai sig.(tailed)
Nilai t(t0,05:3)
Hipotesis(H2)
Kemandirian 1,479 2,353 Ditolak Pendapatan perkapita 4,837 2,353 Diterima
Efektivitas 0,971 2,353 Ditolak Tingkat pendidikan 3,932 2,353 Diterima
Efisiensi 0,621 2,353 Ditolak Usia harapan hidup 4,609 2,353 Diterima
Keserasian 1,470 2,353 Ditolak
Sumber : Lampiran 10 – 16
Dari Tabel 5.8 di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengujian hipotesis penelitian
terhadap variabel kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dengan menggunakan
rasio kemandirian menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji
statistik (t0) yang diperoleh adalah 1,479 di mana angka tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 10).
Dengan menggunakan rasio efektivitas, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan
bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah
0,971 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu
sebesar 2,353 (Lampiran 11).
Dengan menggunakan rasio efisiensi, hasil pengujian hipotesis menyimpulkan
bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah
0,621 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu
sebesar 2,353 (Lampiran 12).
Dengan menggunakan rasio keserasian belanja, hasil pengujian hipotesis
menyimpulkan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak karena nilai uji statistik (t0) yang
diperoleh adalah 1,470 di mana angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai
t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 13).
Sedangkan hasil pengujian hipotesis terhadap variabel kesejahteraan masyarakat
dengan menggunakan indikator pendapatan perkapita menyimpulkan bahwa hipotesis
kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang diperoleh adalah 4,837 di mana
angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t0,05;3 yaitu sebesar 2,353
(Lampiran 14).
Dengan menggunakan indikator tingkat pendidikan, hasil pengujian hipotesis
menyimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang
diperoleh adalah 3,932 di mana angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 15).
Dengan menggunakan indikator usia harapan hidup, hasil pengujian hipotesis
menyimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) diterima karena nilai uji statistik (t0) yang
diperoleh adalah 4,609 di mana angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
t0,05;3 yaitu sebesar 2,353 (Lampiran 16).
5.2 Pembahasan
Berdasarkan, hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dan dikaitkan
dengan teori dan penelitian sebelumnya, maka berikut ini akan diuraikan pembahasan
hasil penelitian mengenai “Evaluasi Kinerja Keuangan dan Kesejahteraan Masyarakat
di Kabupaten Lembata Provinsi NTT”.
5.2.1 Kinerja keuangan
5.2.1.1 Tingkat kemandirian
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
Kabupaten Lembata dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya.
Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh perbandingan antara PAD
dengan total pendapatan daerah atau yang sering disebut dengan derajat
desentralisasi fiskal.
PAD memegang peranan yang sangat penting, oleh karena itu PAD
diharapkan dapat menjadi bagian terbesar dari seluruh penerimaan daerah
dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah kabupaten, karena
faktor penting dalam kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari PAD,
sehingga tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan provinsi dapat
dikurangi.
Analisis tingkat kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata periode I dan II bertujuan untuk mengetahui pola hubungan aantara
pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten yang bisa memperlihatkan tingkat
kemandirian pemerintah Kabupaten Lembata dalam melaksanakan otonomi
daerah dan menilai kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lembata dalam
melaksanakan kinerja keuangannnya sesuai dengan pola hubungan dan tingkat
kemampuan daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian keuangan
pemerintah Kabupaten Lembata di periode II semakin meningkat
dibandingkan dengan periode I, tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak
bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan antara periode I dan periode
II. Peningkatan kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di
periode II menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah berupaya untuk
terus meningkatkan pendapatan asli daerah yang dimiliki dibandingkan pada
periode sebelumnya, terbukti dari laporan perhitungan APBD Kabupaten
Lembata di periode II, rata-rata pendapatan asli daerah terus mengalami
peningkatan seperti pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, pembagian
laba lembaga keuangan bank yang ada, sumbangan pihak ketiga (investor
yang menanamkan modalnya) atau yang berasal dari lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola hubungan antara
pemerintah Kabupaten Lembata dengan pemerintah pusat dan pemerintah
provinsi selama periode I maupun di periode II dapat digolongkan menjadi
pola hubungan yang instruktif, hal ini berarti bahwa pemerintah Kabupaten
Lembata hanya menjalankan amanat dan kebijakan yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah pusat dan provinsi sehinggga belum mampu mengatur rumah
tangganya sendiri. Tetapi dengan adanya upaya pemerintah Kabupaten
Lembata untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah, maka akan
mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber pendanaan yang berasal
dari pemerintah pusat dan provinsi dan mampu menjalankan fungsi otonomi
daerah dengan baik.
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa PAD berperan
penting dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Hal ini
sependapat dengan Dwirandra (2008), dalam kaitannya dengan pemberian
otonomi kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan
menggunakan keuangan daerah sesuai dengn kondisi daerah. PAD dapat
dipandang sebagai salah satu indikator untuk mengurangi ketergantungan
pemerintah kabupaten kepada pusat yang pada prinsipnya semakin besar PAD
dalam APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada
pemerintah pusat dan provinsi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dacosta (2002) yang
meneliti tingkat kemandirian Kota Kupang, menyatakan bahwa secara rata-
rata derajat otonomi fiskal Kota Kupang selama tahun 1997 – 2001
dikategorikan sangat kurang karena berada di bawah 25%.
Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dwirandra (2008) yang menyatakan bahwa terdapat tujuh kabupaten di
Provinsi Bali yang memiliki tingkat kemandirian yang sangat rendah (rasio
KKD 0% sampai dengan 25%) sedangkan satu kabupaten tergolong memiliki
tingkat kemandirian sedang (rasio KKD lebih dari 50% sampai dengan 75%).
5.2.1.2 Tingkat efektivitas
Tingkat efektivitas keuangan daerah digunakan untuk mengukur
efektivitas dalam merealisasikan pendapatan pemerintah kabupaten dan
merupakan tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau prestasi yang
dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode
II mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode I, namun perbedaan
peningkatan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan
antara periode I dan periode II. Dengan peningkatan efektivitas di periode II,
maka hal ini berarti bahwa pada periode II, pemerintah Kabupaten Lembata
telah berhasil merealisasikan pendapatan asli daerah dan pendapatan non asli
daerah seperti dana perimbangan pemerintah pusat dan provinsi melalui dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bantuan keuangan lainnya. Realisasi
pendapatan tersebut melebihi jumlah yang sudah dianggarkan oleh pemerintah
kabupaten untuk memperoleh pendapatan.
Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa efektivitas realisasi
pendapatan pemerintah Kabupaten Lembata hanya berlaku terhadap realisasi
pendapatan non pendapatan asli daerah. Dari laporan perhitungan APBD baik
pada periode I maupun di periode II, jumlah realisasi pendapatan asli daerah
jauh lebih sedikit atau tidak proporsional dibanding dengan jumlah
pendapatan non PAD yang terealisasi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pemerintah Kabupaten Lembata lebih cenderung mengharapkan
pendanaan dari pihak luar dibanding memanfaatkan sumber-sumber
pendapatan asli yang ada di Kabupaten Lembata sendiri.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Samson (2001) yang
meneliti tentang indikator-indikator keberhasilan pengelolaan keuangan
pemerintah Kabupaten Barito Kuala, menyatakan bahwa secara rata-rata
pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala selama tahun
1995 – 2000 dikategorikan sangat efektif dengan rasio efektivitas 104%.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dwirandra (2008) yang menyatakan bahwa daerah otonom kabupaten/kota di
Provinsi Bali pada periode 2002 – 2006 masuk dalam kategori keuangan yang
cukup efektif, efektif dan sangat efektif serta tidak ada yang kurang dan tidak
efektif atau dengan rasio efektivitas keuangan berkisar dari 75,01% sampai
dengan di atas 100%.
Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Dasilva
(2001) yang meneliti tentang evaluasi anggaran pendapatan dan belanja
daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun
1993 – 1998, dengan menggunakan Kabupaten Ende dan Kabupaten
Manggarai sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
rata-rata tingkat efektivitas pengelolaan APBD Kabupaten Manggarai adalah
sebesar 102,98% dengan predikat sangat efektif, sementara Kabupaten Ende
adalah 94,70% dengan kategori efektif. Sedangkan Kabupaten Sikka dengan
rasio efektivitas 91,33% dan dikategorikan efektif.
5.2.1.3 Tingkat efisiensi
Tingkat efisiensi dimaksudkan untuk menilai pencapaian pelaksanaan
suatu kegiatan atau prestasi yang dicapai oleh pemerintah Kabupaten Lembata
yang diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan anggaran
belanja yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa tingkat efisiensi pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Lembata
pada periode I lebih efisien dibandingkan dengan tingkat efisiensi pengelolaan
keuangan di periode II, namun perbedaan penurunan tingkat efisiensi tersebut
tidak bermakna terhadap perbedaan kinerja keuangan antara periode I dan
periode II. Penurunan tingkat efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata di periode II terjadi karena realisasi anggaran belanja pemerintah
Kabupaten Lembata meningkat siqnifikan terhadap total anggaran belanja
daerah yang telah ditetapkan, dengan kata lain, pemerintah kabupaten
Lembata cenderung menggunakan seluruh anggaran belanja yang ada.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkat efisiensi
pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Lembata masih sangat kurang
dan terkesan adanya pemborosan dengan tidak mengindahkan azas
penghematan dan efisiensi anggaran belanja daerah. Selain itu pemerintah
Kabupaten Lembata juga memiliki kecenderungan selalu ingin menghabiskan
anggaran yang telah dialokasikan dalam APBD.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Dasilva (2001) yang
meneliti tentang evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten
Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur selama tahun 1993 – 1998, dengan
menggunakan Kabupaten Ende dan Kabupaten Manggarai sebagai
pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat
efisiensi pengelolaan APBD Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan
Kabupaten Manggarai dikategorikan kurang efisien terbukti dengan rasio
efisiensi ketiga kabupaten tersebut berkisar antara 95,94 – 97,39 persen.
Namun hasil penelitian ini justru bertolak belakang dengan penelitian
Samson (2001) yang meneliti tentang indikator-indikator keberhasilan
pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito Kuala, menyatakan
bahwa secara rata-rata pengelolaan keuangan pemerintah Kabupaten Barito
Kuala selama tahun 1995 – 2000 dikategorikan sangat efisien dengan rasio
efisiensi 51 persen.
5.2.1.4 Tingkat keserasian belanja
Tingkat keserasian belanja menggambarkan bagaimana pemerintah
Kabupaten Lembata memprioritaskan alokasi dananya pada belanja pelayanan
publik secara optimal sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan langsung
oleh seluruh masyarakatnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat
keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata pada periode II mengalami
penurunan dibandingkan dengan tingkat keserasian belanja pada periode I,
tetapi perbedaan penurunan tersebut tidak bermakna terhadap perbedaan
kinerja keuangan antara periode I dan periode II.
Penurunan tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata
pada periode II disebabkan oleh tingginya realisasi belanja daerah secara
keseluruhan seperti belanja aparatur daerah, belanja administrasi umum dan
belanja operasi dan pemeliharaan yang jumlahnya tidak signifikan dan jauh
lebih besar dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Pemerintah
Kabupaten Lembata memang sejak awal telah memiliki komitmen yang tinggi
untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terbukti dengan
semakin meningkatnya alokasi dana melalui APBD untuk belanja pelayanan
publik. Tetapi realita yang terjadi adalah peningkatan alokasi dana belanja
pelayanan publik tidak signifikan dengan alokasi dana pada pos-pos belanja
langsung, yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat
tertentu saja.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dacosta (2002) yang
meneliti tentang tingkat kemandirian Kota Kupang ditinjau dari aspek
keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah tahun 1997 - 2001,
menyatakan bahwa secara rata-rata indeks kemampuan rutin Kota Kupang
selama tahun 1997 – 2001 adalah sebesar 23,03% dan dapat dikategorikan
menjadi kurang serasi.
5.2.2 Kesejahteraan masyarakat
5.2.2.1 Pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita masyarakat merupakan perolehan pendapatan
domestik regional bruto dibagi dengan total penduduk di Kabupaten Lembata.
Apabila dihitung secara rata-rata tingkat pendapatan perkapita masyarakat di
Kabupaten Lembata maka pada periode I sebesar Rp.1.552.300 sedangkan
pada peroide II sebesar Rp.2.570.198. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata semakin
meningkat di periode II dibandingkan dengan periode I. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II
dibandingkan dengan periode I, dan dapat disimpulkan bahwa peningkatan
tersebut bermakna terhadap perbedaan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Lembata antara periode I dan periode II. Peningkatan pendapatan
perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata jelas dipengaruhi oleh
pendapatan domestik regional bruto yang berasal dari sektor-sektor
perekonomian produktif yang ada, seperti kegiatan perdagangan dan jual beli
barang, usaha pertanian misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, berternak dan
budi daya hasil laut yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat.
Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata juga
menjelaskan bahwa setiap masyarakat dapat memiliki akses terhadap
sumber-sumber daya ekonomi berupa pemerataan pendapatan dan tingkat
daya beli dan adanya partisipasi masyarakat di dalam kegiatan ekonomi
produktif sehingga masyarakat bisa memperoleh penghasilan yang mencukupi
dengan daya beli yang layak.
Hasil penelitian ini memperkuat temuan Yamin (2000) yang menguji
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keuangan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Irian Jaya, yang menyatakan bahwa pendapatan
perkapita mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap kesejahteraan
masyarakat.
5.2.2.2 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat diukur dari jumlah penduduk yang
menamatkan bangku pendidikan formal. Dengan kata lain tingkat pendidikan
memberikan gambaran mengenai jumlah penduduk di Kabupaten Lembata
yang dapat mengenyam dunia pendidikan sehingga dampaknya adalah mereka
dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa
jumlah masyarakat yang telah mengenyam dunia pendidikan semakin
meningkat pada periode II dibandingkan dengan periode I, dan dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode I dan periode
II. Hal ini berarti jumlah masyarakat yang memperoleh pendidikan di bangku
sekolah semakin meningkat di periode II dibandingkan dengan periode
sebelumnya.
Dengan memperoleh pendidikan yang memadai, maka akan
mempengaruhi peningkatan kemampuan dasar manusia seperti memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk
mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, sosial politik
dan aspek kehidupan lainnya, serta mampu meningkatkan kualitas hidup
manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan
kebijakan pemerintah Kabupaten Lembata yang dapat mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia di Lembata.
5.2.2.3 Usia harapan hidup
Usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata dapat
diartikan sebagai rata-rata umur masyarakat yang dicapai selama tahun-tahun
yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia harapan hidup
masyarakat di Kabupaten Lembata semakin bertambah pada periode II
dibandingkan dengan periode I, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan peningkatan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Lembata pada periode I dan periode II.
Usia harapan hidup identik dengan derajat kesehatan warga
masyarakat yang tercermin lewat umur panjang dan hidup sehat. Tantangan
pembangunan manusia di Kabupaten Lembata saat ini adalah bagaimana
mengurangi angka kemiskinan, investasi di bidang pendidikan dan kesehatan.
Langkah ini akan lebih berarti bagi masyarakat di Kabupaten Lembata, karena
dengan adanya kesehatan murah dan fasilitas pendidikan akan sangat
membantu untuk meningkatkan produktivitas, dan pada gilirannya
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera.
5.3 Implikasi penelitian
5.3.1 Kinerja keuangan
Implikasi hasil penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata dengan menggunakan tingkat kemandirian, tingkat efektivitas, tingkat
efisiensi dan tingkat keserasian belanja dapat dijelaskan sebagai berikut :
5.3.1.1 Tingkat kemandirian
Peningkatan kemandirian keuangan pemerintah Kabupaten Lembata
di periode II menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah berupaya untuk
terus meningkatkan pendapatan asli daerah yang dimiliki dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Rata-rata pendapatan asli daerah terus
mengalami peningkatan seperti pemungutan pajak daerah, retribusi daerah,
pembagian laba lembaga keuangan bank yang ada, sumbangan pihak ketiga
yang menanamkan modalnya.
Pola hubungan antara pemerintah Kabupaten Lembata dengan
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi yang instruktif menunjukkan bahwa
pemerintah Kabupaten Lembata hanya menjalankan amanat dan kebijakan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi sehinggga belum
mampu mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan adanya upaya pemerintah
Kabupaten Lembata untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerah, maka
akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap sumber pendanaan yang
berasal dari pemerintah pusat dan provinsi dan mampu menjalankan fungsi
otonomi daerah dengan baik.
5.3.1.2 Tingkat efektivitas
Dengan peningkatan efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata di periode II, maka hal ini berarti bahwa pada periode II, pemerintah
kabupaten telah berhasil merealisasikan pendapatan asli daerah dan
pendapatan non asli daerah seperti dana perimbangan pemerintah pusat dan
provinsi melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bantuan
keuangan lainnya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah efektivitas
realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten Lembata hanya berlaku terhadap
realisasi pendapatan non pendapatan asli daerah karena pemerintah Kabupaten
Lembata lebih cenderung mengharapkan pendanaan dari pihak luar dibanding
memanfaatkan sumber-sumber pendapatan asli yang ada di Kabupaten
Lembata sendiri.
5.3.1.3 Tingkat efisiensi
Penurunan tingkat efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten Lembata
di periode II terjadi karena realisasi anggaran belanja pemerintah Kabupaten
Lembata meningkat siqnifikan terhadap total anggaran belanja daerah yang
telah ditetapkan, dengan kata lain, pemerintah kabupaten cenderung
menggunakan seluruh anggaran belanja yang ada. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemerintah Kabupaten Lembata terkesan melakukan pemborosan
dengan tidak mengindahkan azas penghematan dan efisiensi anggaran belanja
serta memiliki kecenderungan selalu ingin menghabiskan anggaran yang telah
dialokasikan dalam APBD.
5.3.1.4 Tingkat keserasian belanja
Penurunan tingkat keserasian belanja pemerintah Kabupaten Lembata
pada periode II disebabkan oleh tingginya realisasi belanja daerah secara
keseluruhan seperti belanja aparatur daerah, belanja administrasi umum dan
belanja operasi dan pemeliharaan yang jumlahnya tidak signifikan dan jauh
lebih besar dibandingkan dengan belanja pelayanan publik. Realita yang
terjadi adalah peningkatan alokasi dana belanja pelayanan publik tidak
signifikan dengan alokasi dana pada pos-pos belanja langsung, yang
manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu.
5.3.2 Kesejahteraan masyarakat
Implikasi hasil penelitian terhadap kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Lembata dengan menggunakan pendapatan perkapita, tingkat
pendidikan dan usia harapan hidup dapat dijelaskan sebagai berikut :
Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata
jelas dipengaruhi oleh pendapatan domestik regional bruto yang berasal dari
sektor-sektor perekonomian produktif yang ada, seperti kegiatan perdagangan
dan jual beli barang, usaha pertanian misalnya sayur-sayuran, buah-buahan,
berternak dan budi daya hasil laut yang dapat mendatangkan penghasilan bagi
masyarakat. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten
Lembata juga menjelaskan bahwa setiap masyarakat dapat memiliki akses
terhadap sumber-sumber daya ekonomi berupa pemerataan pendapatan dan
tingkat daya beli dan adanya partisipasi masyarakat di dalam kegiatan
ekonomi produktif sehingga masyarakat bisa memperoleh penghasilan yang
mencukupi dengan daya beli yang layak.
Tingkat pendidikan memberikan gambaran mengenai jumlah
penduduk di Kabupaten Lembata yang dapat mengenyam dunia pendidikan
sehingga dampaknya adalah mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak
dan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan
memperoleh pendidikan yang memadai, maka akan mempengaruhi
peningkatan kemampuan dasar manusia seperti memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk mempertinggi
partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif, sosial politik dan aspek
kehidupan lainnya, serta mampu meningkatkan kualitas hidup manusia
(penduduk) sebagai obyek pembangunan. Oleh karena itu dibutuhkan
kebijakan pemerintah Kabupaten Lembata yang dapat mendorong
peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah ini.
Peningkatan usia harapan hidup masyarakat di Kabupaten Lembata di
periode II mengindikasikan bahwa derajat kesehatan warga masyarakat yang
tercermin lewat umur panjang dan akses mendapatkan hidup yang sehat
semakin lebih baik dari periode sebelumnya. Tantangan pembangunan
manusia di Kabupaten Lembata saat ini adalah bagaimana mengurangi angka
kemiskinan, investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Langkah ini akan
lebih berarti bagi masyarakat di Kabupaten Lembata, karena dengan adanya
kesehatan murah dan fasilitas pendidikan akan sangat membantu untuk
meningkatkan produktivitas, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan
dan taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera.
BAB VISIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan
pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
6.1.1 Kinerja keuangan
Hasil penelitian terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata dengan menggunakan tingkat kemandirian, tingkat efektivitas,
tingkat efisiensi dan tingkat keserasian belanja dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a) Tingkat kemandirian
Ditinjau dari aspek kemandirian keuangan pemerintah
Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di
periode I tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di
periode II. Meskipun hasil perhitungan rata-rata tingkat kemandirian
keuangan pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan
adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
b) Tingkat efektivitas
Ditinjau dari aspek efektivitas keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I
tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode
II. Meskipun hasil perhitungan rata-rata tingkat efektivitas keuangan
pemerintah Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya
peningkatan dibandingkan dengan periode I.
c) Tingkat efisiensi
Ditinjau dari aspek efisiensi keuangan pemerintah Kabupaten
Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I
tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode
II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat efisiensi keuangan pemerintah
Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya penurunan
dibandingkan dengan periode I.
d) Tingkat keserasian belanja
Ditinjau dari aspek keserasian belanja pemerintah Kabupaten
Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kinerja keuangan di periode I
tidak berbeda signifikan terhadap rata-rata kinerja keuangan di periode
II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat keserasian belanja pemerintah
Kabupaten Lembata di periode II menunjukkan adanya penurunan
dibandingkan dengan periode I.
6.1.2 Kesejahteraan masyarakat
Hasil penelitian terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupaten
Lembata dengan menggunakan pendapatan perkapita, tingkat pendidikan
dan usia harapan hidup dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Pendapatan perkapita
Dilihat dari aspek pendapatan perkapita masyarakat
Kabupaten Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan
masyarakat di periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata
kesejahteraan masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata
pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode
II menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
b) Tingkat pendidikan
Dilihat dari aspek tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten
Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan masyarakat di
periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata kesejahteraan
masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata tingkat
pendidikan masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II
menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
c) Usia harapan hidup
Dilihat dari aspek usia harapan hidup masyarakat Kabupaten
Lembata, disimpulkan bahwa rata-rata kesejahteraan masyarakat di
periode I berbeda signifikan terhadap rata-rata kesejahteraan
masyarakat di periode II. Hasil perhitungan rata-rata usia harapan
hidup masyarakat di Kabupaten Lembata pada periode II menunjukkan
adanya peningkatan dibandingkan dengan periode I.
6.1 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat disampaikan oleh peneliti antara lain
sebagai berikut :
1) Pemerintah Kabupaten Lembata diharapkan untuk lebih memperhatikan,
mengakomodir, memanfaatkan dan memberdayakan sumber-sumber PAD
yang dimiliki daerah ketika menyusun anggaran pendapatan seperti
pemanfaatan sumber-sumber retribusi, pengembangan potensi-potensi alam
di sektor pertambangan dan pertanian sehingga mampu mendorong
pencapaian realisasi pendapatan asli daerah yang optimal dan meningkatkan
PAD guna mengurangi ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah
pusat dan provinsi.
2) Pemerintah Kabupaten Lembata hendaknya tidak selalu mengandalkan
sumber-sumber pendapatan non PAD, seperti yang selama ini terjadi untuk
mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pihak luar. Oleh karena itu,
upaya menciptakan sumber-sumber baru pendapatan asli daerah perlu
mendapat perhatian dan keseriusan di masa mendatang.
3) Pemerintah Kabupaten Lembata diharapkan agar mampu meniru dan
menerapkan prinsip manajemen berbasis kinerja, guna menekan jumlah
pengeluaran belanja daerah yang dinilai sangat tidak efisien dan terkesan
terjadi pemborosan anggaran belanja.
4) Proporsi alokasi anggaran untuk belanja publik dalam APBD perlu lebih
ditingkatkan dan diupayakan agar jumlahnya signifikan dengan pos-pos
belanja daerah lainnya, dalam upaya meningkatkan akuntabilitas dan
pelayanan publik secara maksimal sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
ditingkatkan lagi.
5) Diharapkan agar penyusunan dan realisasi anggaran pendapatan dan belanja
daerah pada periode-periode mendatang, pemerintah Kabupaten Lembata
lebih memperhatikan rasio-rasio keuangan daerah yang umum digunakan,
sehingga dapat lebih meningkatkan kinerja keuangannya.
6) Diharapkan agar para peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap kinerja keuangan maupun tingkat kesejahteraan
masyarakat Kabupaten Lembata, hendaknya juga melakukan perbandingan
untuk keseluruhan kabupaten/kota di Provinsi NTT, sehingga dapat diketahui
lebih jelas mengenai gambaran kinerja keuangan dan tingkat kesejahteraan
masyarakat Kabupaten Lembata.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari dan Setiaji, Wirawan. 2007. Peta Kemampuan Keuangan DaerahSesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran? (Studi PadaKabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi X.
Budiarto, Bambang. 2007. Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Daerah.Seminar Ekonomi Daerah. Surabaya.
Dasilva Petrus 2001, Evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah KabupatenSikka “Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah MadaYogyakarta” (tidak dipublikasikan).
Devas Nick, Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Roy Kelly. 1999, KeuanganPemerintah Daerah di Indonesia (Terjemahan Masri Maris) UI – Press,Jakarta.
Diana, Heny F. 2008. Analisis Kinerja Atas Laporan Keuangan Pemerintah PropinsiSumatera Selatan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 14 No. 8 Hal. 193 –229.
Dwirandra, A.A.N.B. 2008. Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah OtonomKabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2002 – 2006. Simposium NasionalAkuntansi X.
Halim, Abdul. 2002. Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit UPP AkademiManajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. SalembaEmpat. Jakarta.
Hamzah, Ardi, 2007. analisa kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi,pengangguran dan kemiskinan : pendekatan analisis jalur (studi pada 29kabupaten dan 9 kota di provinsi Jawa Timur. Simposium NasionalAkuntansi X.
Hamzah, Muhammad Zilal. 2005. Does Block Grant Generates Economic Growth onProvince-Level in Indonesia After The Implementation of FiscalDecentralization Policy? Simposium Riset Ekonomi II. Surabaya.
Hidayat, Paidi, Pratomo, Ario W. dan Harjito, Agus D. 2007, Evaluasi APBDKabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara Dengan MenggunakanIndikator Efektifitas, Efisiensi, Perkembangan APBD dan KemampuanKeuangan Daerah, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 3 Hal. 213 –222.
Hirawan, Susiati B, 1990, ”Keleluasaan daerah atau kontrol pusat?”, dalam ArsyadAnwar dan Iwan Jaya Azis (Editor), Bunga Rampai Ekonomi, FE UI,Jakarta.
Kaho, Yosef Riwu, 1998, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,PT. Bina Aksara, Jakarta.
Kunarjo, Bambang. 1996. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan EkonomiDaerah. Edisi Pertama. Penerbit BPFE. Yogyakarta.
Lindawati,Tita, 2001, Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah DKI Jakarta dalamMelakukan Pinjaman. Tesis S2 Pasca Sarjana UGM (Tidakdipublikasikan).
Luke, Belinda G. 2008. “Financial returns from new public management: A NewZealand perspective - Pacific Accounting Review 20(1):pp. 29-48.” QUTDigital Repository: http://eprints.qut.edu.au. Queensland University ofTechnology, Brisbane, Australia.
Mahmudi, 2007, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah: Panduan BagiEksekutif, DPRD dan Masyarakat dalam Pengambilan KeputusanEkonomi, Sosial dan Politik, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,Yogyakarta.
Mahsun, Mohamad. 2006, dalam Suyana, Utama M. 2007. Pengaruh KinerjaKeuangan Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat PadaKabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2001 – 2006. Studi Kasus Pada 9Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. (tidak dipublikasikan).
Mamesah, D. J., 1995, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT. Gramedia PustakaUtama, Jakarta.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi, Yogyakarta.
Matheus A.B.H. Dacosta 2002, Kemandirian Kota Kupang Ditinjau dari AspekKeuangan Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah. “Tesis S2 ProgramPascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta” (tidakdipublikasikan).
Noviyanto, Hery, 2005. Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan PinjamanDaerah di Kabupaten dan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (Suatu KajianEmpiris di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Simposium NasionalAkuntansi 5. Semarang.
Pasrah, Rudi, 2007, Analisis Kinerja dan Kemandirian Keuangan Daerah sertaPengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan,Kajian Ekonomi, Vol 6 No.2, 198-221.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29, Tahun 2002 jo Peraturan Menteri DalamNegeri Nomor 13, Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan KeuanganDaerah. 2006. Depdagri RI.
Peraturan Pemerintah Nomor 105, Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 41,Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, 2006.Depdagri RI.
Pilcher, Robyn, 2005. “Local government financial key performance indicators – notso relevant, reliable and accountable”. International Journal of Productivityand Performance Management Vol. 54 No. 5/6, 2005 pp. 451-467.www.emeraldinsight.com/1741-0401.htm. Charles Sturt University, Bathurst,New South Wales, Australia.
Roberto Di Pietra dan Faraci, Rosario. 2010. “Antecedents of EntrepreneurialGovernance Within Firms: The Italian Contribution to StrategicManagement”. Journal of Management & Governance. Springer Science& Business Media, LLC. 10.1007/s10997-010-9150-5
Samson, A.K. 2001. Indikator-indikator Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Daerahdi Kabupaten Barito Kuala 1995/1996 – 1999/2000. Jurnal RisetAkuntansi, Manajemen, dan Ekonomi. Vol. 1 No. 1.
Setiyawati, Anis dan Hamzah, Ardi. 2007. Analisa PAD, DAU, DAK, dan BelanjaPembangunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, danPengangguran. The 1st Accounting Conference. Jakarta.
Suharjo, Bambang, 2008. Analisis Regresi Terapan dengan SPSS. Penerbit GrahaIlmu. Yogyakarta.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor S.900/316/BAKD tentang Pedoman,Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi Pelaporan danPertanggungjawaban Keuangan Daerah. 2006. Depdagri RI.
Susantih, Heny dan Saftiana, Yulia, 2008. Perbandingan Indikator Efisiensi danEfektivitas Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah ProvinsiSumatera Selatan. “Tesis S2 Program Pascasarjana UniversitasSriwijaya” (tidak dipublikasikan).
Susilo, Gideon Tri Budi dan Adi, Priyo Hari. 2007. Analisis Kinerja KeuanganDaerah Sebelum dan Sesudah Otonomi. Konferensi Penelitian Akuntansidan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya.
Tjerk, Budding. 2008. “Decentralization, Performance Evaluation and GovernmentPerformance”. De VU Public Controlling reeks is een uitgave van depostgraduate opleiding tot controller in de publieke en non-profit sectorvan de Vrije Universiteit Amsterdam, kamer 2A19, De Boelelaan 1105,1081 HV Amsterdam.
Undang-undang Nomor 22, Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 32, Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah, 2004. Depdagri RI.
Undang-undang Nomor 25, Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 33, Tahun 2004tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, 2004.Depdagri RI.
Yamin, Mohamad, 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan KeuanganDaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Irian Jaya, Simposium NasionalAkuntansi X. Makassar.
Yustika, Abdul S, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga. Jakarta.
Riphat Singgih dan Parluhutan Hutahaean. 1997, Strategi Pemantapan KeuanganDaerah dan Kebijakan Desentralisasi : Suatu Analisis tentang PinjamanDaerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan, Jurnal Keuangandan Moneter, Vol. 4 No. 2, 7- 41.
Word Bank dalam Lipton dan Ravallion, 1994, Public Finance in The Theory andPractice ( Alih Bahasa oleh Alfonsus Sirait), MC-Graw Hill Kogakusha,(Ltd Tokyo).
Lampiran 9Hasil Perhitungan Rasio-rasio Kinerja Keuangan Daerah
a. Rasio Kemandirian
Formula :
Pendapatan Asli DaerahRasio Kemandirian = -------------------------------- x 100%
Total Belanja Daerah1. Tahun 2002
5.735.598.950,00Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%
131.273.256.598,00= 4,37%
2. Tahun 20035.311.534.626,00
Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%133.828.892.855,00
= 3,97%3. Tahun 2004
5.054.757.817,00Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%
144.807.407.074,00= 3,49%
4. Tahun 20054.594.788.501,53
Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%168.252.170.345,00
= 2,73%5. Tahun 2006
9.099.082.373,83Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%
201.787.768.608,00= 4,51%
6. Tahun 20079.732.761.922,20
Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%232.605.539.452,92
= 4,18%7. Tahun 2008
12.767.597.336,34Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%
352.148.244.453,62= 3,63%
8. Tahun 200916.014.568.858,80
Rasio Kemandirian = --------------------------- x 100%333.633.532.350,87
= 4,80%
b. Rasio Efektivitas
Formula :
Realisasi PendapatanRasio Efektivitas = ------------------------------- x 100%
Anggaran Pendapatan
1. Tahun 2002
136.257.798.950,00Rasio Efektivitas = -------------------------- x 100%
132.455.675.259,00
= 102,87%2. Tahun 2003
139.375.480.308,26Rasio Efektivitas = -------------------------- x 100%
136.822.375.213,00= 101,87%
3. Tahun 2004151.114.716.882,00
Rasio Efektivitas = --------------------------- x 100%151.396.905.466,00
= 99,81%4. Tahun 2005
162.140.791.314,53Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100%
164.209.624.401,00= 98,74%
5. Tahun 2006216.104.981.284,83
Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100%216.575.430.457,00
= 99,78%6. Tahun 2007
282.401.817.608,20Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100%
271.832.952.787,00
= 103,89%7. Tahun 2008
305.795.773.509,34Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100%
298.574.180.533,00= 102,42%
8. Tahun 2009321.629.838.338,82
Rasio Efektivitas = ----------------------------- x 100%314.926.982.418,33
= 102,13%
c. Rasio Efisiensi
Formula :Realisasi Belanja Daerah
Rasio Efisiensi = ---------------------------------- x 100%Anggaran Belanja Daerah
1. Tahun 2002131.273.256.598,00
Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100%145.725.698.925,00
= 90,08%2. Tahun 2003
133.828.892.855,00Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100%
149.843.779.529,00= 89,31%
3. Tahun 2004144.807.407.074,00
Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100%164.596.468.460,26
= 87,98%4. Tahun 2005
168.252.170.345,00Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100%
180.896.699.009,26= 93,01%
5. Tahun 2006201.787.768.608,00
Rasio Efisiensi = ----------------------------- x 100%229.006.922.682,50
= 88,11%
6. Tahun 2007232.605.539.452,92
Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100%285.300.989.724,00
= 81,53%7. Tahun 2008
352.148.244.453,62Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100%
308.602.280.900,30= 114,11%
8. Tahun 2009333.633.532.350,87
Rasio Efisiensi = ---------------------------- x 100%353.791.360.054,10
= 94,30%d. Rasio Keserasian Belanja
Formula :Belanja Pelayanan Publik
Rasio Keserasian Belanja = --------------------------------- x 100%Total Belanja Daerah
1. Tahun 200284.277.561.367,00
Rasio Keserasian Belanja = --------------------------- x 100%131.273.256.598,00
= 64,20%2. Tahun 2003
86.262.275.163,00Rasio Keserasian Belanja = --------------------------- x 100%
133.828.892.855,00= 64,46%
3. Tahun 200469.204.723.229,00
Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%144.807.407.074,00
= 47,79%4. Tahun 2005
105.570.915.429,00Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%
168.252.170.345,00= 62,75%
5. Tahun 2006131.765.135.636,00
Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%201.787.768.608,00
= 65,30%6. Tahun 2007
45.702.185.703,00Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%
232.605.539.452,92= 19,65%
7. Tahun 2008140.816.766.247,23
Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%352.148.244.453,62
= 39,99%8. Tahun 2009
174.888.523.065,56Rasio Keserasian Belanja = ---------------------------- x 100%
333.633.532.350,87= 52,42%