faktor-faktor yang mempengaruhi praktik...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH PADA
PETERNAK PEMASOK SUSU SEGAR INDUSTRI KEJU DI KABUPATEN SUKABUMI
ISNA LAILATUR ROHMAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah pada Peternak Pemasok Susu Segar Industri Keju di Kabupaten Sukabumi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Isna Lailatur Rohmah NRP. B04080041
ABSTRACT
ISNA LAILATUR ROHMAH. The Relationship between Maintenance Management Practice with Knowledge and Characteristic of Cheese Industry Supplier Farmers in Sukabumi District. Under direction of ETIH SUDARNIKA and HERWIN PISESTYANI.
This research was aimed to determine the factors that influence the maintenance management practices in farms which supply fresh milk for cheese industry. This research was conducted from June 2011 to January 2012. The respondents were ten fresh milk suppliers. The data was collected by interviewing using questionnaires. The questionnaires contained some question’s about farmer’s characteristic, the maintenance management practices, and farmer’s knowledge about subclinical mastitis and how to control it. The result showed that profile of dairy cattle farmers which most age were between 30 until 50 years old, had educated from elementary school and junior high school, and had farming experience from 1-5 years and >10 years. Half of them had attending the extention program. All of dairy cattle (100%) showed positive reaction of subclinical mastitis with IPB-1 mastitis test. The result of observation showed that respondents with good maintenance management practice were 10%, while respondents with enough and poor maintenance management practices respectively by 30%, and 60%. The significant positive correlation with maintenance management practice (p<0.05) was found between farming experience, and attending the extention program.
Keyword: maintenance management, dairy cattle, subclinical mastitis, cheese
industry.
RINGKASAN
ISNA LAILATUR ROHMAH. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah pada Peternak Pemasok Susu Segar Industri Keju di Kabupaten Sukabumi. Dibawah bimbingan ETIH SUDARNIKA dan HERWIN PISESTYANI.
Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia baru mencapai 5.79 kg/kapita/tahun pada tahun 2001. Tingkat pencapaian ini masih jauh dari standar gizi yang ditentukan yakni 7.2 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi susu yang rendah ini selain disebabkan oleh populasi dan produktivitas sapi perah yang rendah, dapat pula disebabkan oleh tingkat kegemaran masyarakat terhadap susu yang rendah. Pengolahan susu merupakan salah satu upaya untuk membantu konsumen tetap menyukai susu, produksi susu dan produk olahannya saat ini masih tergolong rendah salah satunya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan sapi perah di Indonesia masih kurang dalam hal sanitasi lingkungan, sanitasi peralatan pemerahan dan air, cara pemerahan yang benar, serta manajemen kesehatan mulai dari proses pemeliharaan sampai produksi. Manajemen kesehatan merupakan salah satu aspek manajemen pemeliharaan yang penting, manajemen kesehatan yang tidak baik dapat menyebabkan timbulnya mastitis yang menghambat populasi dan produktivitas ternak sapi perah di Indonesia, serta dapat mempengaruhi kualitas produksi susu dan produk olahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan peralatan, sanitasi kandang, kesehatan ternak, serta cara pemerahan) di beberapa peternak yang merupakan pemasok susu segar untuk industri keju yang dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan Januari 2012 di Kabupaten Sukabumi. Data diperoleh dari survei lapangan, dalam survei ini dilakukan wawancara tatap muka kepada peternak dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner terstruktur. Seluruh peternak pemasok susu segar industri keju diambil sebagai sampel (responden).
Pertanyaan tentang praktik manajemen pemeliharaan terdiri atas 53 pertanyaan, 11 pertanyaan mengenai karakteristik peternak, 10 pertanyaan mengenai sanitasi kandang, 8 pertanyaan mengenai manajemen kesehatan dan pemeliharaan, 9 pertanyaan mengenai sanitasi air dan peralatan, dan 15 pertanyaan mengenai manajemen pemerahan. Tingkat pengetahuan peternak, diukur menggunakan 17 butir pertanyaan dengan jawaban “ya”, “tidak”, dan “tidak tahu”. Uji mastitis subklinis secara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan pereaksi IPB-1 terhadap seluruh sapi laktasi normal.
Hubungan antar variabel berupa karakteristik peternak (pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang didapat), dan pengetahuan dengan praktik manajemen pemeliharaan (mengenai kebersihan kandang, kesehatan ternak, kebersihan peralatan dan air, tatacara pemerahan susu), diuji menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman.
Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data bahwa mayoritas responden berpendidikan SD dan SMP (70%), memiliki pengalaman beternak 1-5 tahun dan >10 tahun (80%), serta berumur 30-50 tahun (80%), namun hanya 50% peternak yang pernah mendapatkan pelatihan dan penyuluhan. Berdasarkan penelitian ini
ditemukan seluruh ternak dari peternak pemasok susu segar industri keju positif menderita mastitis subklinis. Tingkat praktik manajemen pemeliharaan mayoritas responden tergolong “kurang” (60%), sedangkan responden yang memiliki tingkat praktik manajemen pemeliharaan “cukup”, dan “baik” masig-masing sebesar 30%, dan 10%. Praktik manajemen pemeliharaan yang belum terlaksana dengan baik dipengaruhi oleh pengalaman beternak dan penyuluhan yang pernah diperoleh oleh peternak pemasok susu segar industri keju di Kabupaten Sukabumi. Kata kunci: manajemen pemeliharaan, sapi perah, mastitis subklinis, industri keju
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH PADA
PETERNAK PEMASOK SUSU SEGAR INDUSTRI KEJU DI KABUPATEN SUKABUMI
ISNA LAILATUR ROHMAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah pada Peternak Pemasok Susu Segar Industri Keju di Kabupaten Sukabumi. Nama Mahasiswa : Isna Lailatur Rohmah NIM : B04080041
Disetujui
Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si drh. Herwin Pisestyani, M.Si Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
Diketahui
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, AP.Vet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT Rabb semesta alam dan segala isi di dalamnya, Maha Kuasa dalam menentukan apapun sehingga kehidupan ini penuh rasa kasih dan sayang. Shalawat semoga tetap terhatur pada baginda Rasulullah Muhammad SAW, imam dan teladan terbaik bagi kehidupan ini.
Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si dan drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Penghargaan dan terima kasih juga terucap kepada Bapak Dr. drh. Mokhamad Fahrudin, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. drh. Min Rahminiwati, MS dan Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, M.Sc selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih saya ucapkan pula kepada drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku dosen penilai seminar, dan Dr. drh Eko Sugeng Pribadi, MS selaku dosen moderator seminar.
Rasa bangga dan kasih sayang dengan tulus penulis persembahkan untuk Bapak (Basuni, S.Pdi), Ibu (Kasihati), Kakak (Wahid Setia Kurniawan), Adik (Hayatul Amin) dan keluarga tersayang di rumah yang telah mencurahkan dukungan dan doa dalam mendidik penulis hingga saat ini. Salam persaudaraan untuk partner di BEM KATALIS, BEM ADRENALIN, HIMPRO Ruminansia, IMAKAHI FKH IPB, OMDA Lare Blambangan, LSM KOPPAJA (Komunitas Peduli Pendidikan Anak Jalanan) serta keluarga besar Queen Castle dan Wisma Ayu.
Salam kekeluargaan untuk sahabatku AVENZOAR 45 yang telah memberikan banyak goresan pembelajaran dalam lembar kehidupan, sahabatku (Rindang, Jasmine, Afdi, dan Rizal), dan Om zu. Terima kasih kepada Mas M. Anang Zamroni yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama ini. Salam kekeluargaan untuk Iin Nuraeni dan keluarga yang telah membantu saya selama penelitian.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat menerima kritik atau saran yang membangun. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat, karena “jika kita bisa melakukan lebih baik, kenapa kita hanya puas dengan yang baik”. Amin.
Bogor, September 2012
Isna Lailatur Rohmah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Parijatah Kulon, Banyuwangi pada tanggal 26 Oktober 1990 dari pasangan Bapak Basuni, S.Pdi dan Ibunda Kasihati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1994-1996 di TK Dharma Wanita III Parijatah Kulon, Banyuwangi. Pada tahun 1996-2002, penulis melanjutkan pendidikan di SDN 4 Parijatah Kulon, Banyuwangi. Pada tahun 2002-2005, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Srono, Banyuwangi. Sekolah Menengah Umum ditempuh di SMU Negeri I Genteng, Banyuwangi pada tahun 2005-2008. Dilanjutkan di perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengambil jurusan Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008-2012.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya, Organisasi Mahasiswa Daerah LARE BLAMBANGAN 2009-2010, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KATALIS 2009-2010, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ADRENALIN 2010-2011, IMAKAHI Cabang FKH IPB 2009-2010, KSR PMI unit 1 IPB 2008-2009, dan LSM Komunitas Peduli Pendidikan Anak Jalanan (KOPPAJA). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan tahun 2010, serta Mata Kuliah Parasitologi Veteriner: Ektoparasit tahun 2011. Selain itu, penulis juga berkesempatan memperoleh beasiswa BBM IPB 2009-2012.
xi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................... xiv
PENDAHULUAN ............................................................................ 1 Latar Belakang ...................................................................... 1 Tujuan Penelitian .................................................................. 3 Manfaat Penelitian ................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4 Pengetahuan .......................................................................... 4 Tindakan atau Praktik ........................................................... 4 Studi terhadap Pengetahuan dan Tindakan ........................... 5 Peternakan Sapi Perah di Indonesia ...................................... 5
Sapi Friesian Holstein (FH) ......................................... 7 Ciri-ciri Sapi Friesian Holstein (FH) .................. 7 Sifat-sifat Sapi Friesian Holstein (FH) ............... 7
Manajemen Peternakan Sapi Perah ................................................... 8 Manajemen Pemeliharaan ..................................................... 8
Sanitasi ......................................................................... 9 Sanitasi Kandang dan Lingkungan .................... 9 Sanitasi Ternak .................................................. 10 Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air ............... 10
Manajemen Kesehatan Sapi Perah ........................................ 11 Manajemen Kesehatan Pemerahan ....................................... 13
Cara Pemerahan ........................................................... 14 Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Mastitis Subklinis di Indonesia ........................................................................... 15
METODE PENELITIAN ............................................................... 17 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 17 Metode Penelitian ................................................................. 17
Populasi Studi ........................................................... 17 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................ 17 Desain Kuisioner ....................................................... 17
Definisi Operasional ............................................................. 18 Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 21
Pengolahan Data ....................................................... 22 Analisis Data ............................................................. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 24 Karakteristik Peternak ........................................................... 24 Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah ................................... 26
Sanitasi Kandang dan Lingkungan............................ 26 Tata Laksana Pemerahan........................................... 27
xii
Manajemen Kesehatan .............................................. 31 Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air ...................... 32
Tingkat Pengetahuan Responden .......................................... 34 Praktik Manajemen Pemeliharaan......................................... 35 Hasil Uji Mastitis dengan Metode Tidak Langsung IPB-1 Mastitis .................................................................................. 35 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan ......................................................................... 38
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 41 Simpulan ............................................................................... 41 Saran ...................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 42
LAMPIRAN ..................................................................................... 47
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Definisi operasional peubah penelitian ................................................ 18
2 Karakteristik peternak di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju ......................................................................................... 24
3 Kondisi sanitasi kandang dan lingkungan di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju ......................................................... 26
4 Manajemen pemerahan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju ........................................................................ 28
5 Manajemen kesehatan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju ........................................................................ 31
6 Sanitasi peralatan dan air di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju ......................................................................................... 32
7 Pengetahuan responden terhadap penyakit mastitis ............................. 34
8 Praktik manajemen pemeliharaan ........................................................ 35
9 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan 38
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuesioner ............................................................................................. 47
2 Hasil Analisis Uji Korelasi................................................................... 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan merupakan sub sektor pertanian yang sangat penting bagi
pembangunan nasional dan memiliki nilai strategis. Peternakan penting dalam hal
memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertambahan
penduduk, peningkatan pertambahan penduduk, dan penciptaan lapangan kerja
baru. Upaya mencapai peternakan yang dapat memiliki nilai strategis diperlukan
usaha peningkatan populasi dan mutu ternak yang dipelihara oleh peternak. Usaha
ini juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat,
sehingga dapat meningkatkan mutu gizi dan kecerdasan masyarakat Indonesia.
Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung
pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan bergizi tinggi.
Populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2010 menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) (2010) hanya sekitar 495 000 ekor. Secara geografis penyebaran
sapi perah di Indonesia tidak merata. Menurut Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2008), perkembangan populasi sapi perah
di Indonesia didominasi oleh pulau Jawa. Jumlah populasi sapi perah di Indonesia
pada tahun 2002 wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat secara
berturut-turut adalah 131 838, 115 490, dan 89 823 ekor.
Indonesia masih mengimpor hingga 70 persen untuk memenuhi kebutuhan
susu nasional, karena produksi dalam negeri hanyalah 30 persen (Safuan 2011).
Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia baru mencapai 5.79 kg/kapita/tahun
pada tahun 2001. Tingkat pencapaian ini masih jauh dari standar gizi yang
ditentukan yakni 7.2 kg/kapita/tahun. Usaha yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan susu nasional sebanyak 1 167 561 ton/tahun, dengan mengimpor
sekitar 59% atau 687 914 ton/tahun dari luar negeri dalam bentuk bahan baku
maupun bahan jadi seperti susu, mentega, yogurt, whey, dan keju (Nurlina 2004).
Konsumsi susu masyarakat Indonesia yang rendah dapat disebabkan oleh
tingkat kegemaran terhadap susu yang rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan
konsumen kurang menyukai rasa dan bau dari susu segar, atau menderita
intoleransi laktosa. Pengolahan susu merupakan salah satu jalan keluar untuk
2
membantu konsumen tetap menyukai susu, dapat meningkatkan penghasilan
peternak, dan untuk menanggulangi masalah kelebihan produksi susu. Menurut
Usmiati dan Abubakar (2009), produk-produk olahan berbahan baku susu yang
sudah dikenal dalam industri pengolahan susu adalah susu homogenisasi, susu
skim dan krim, mentega, susu kental manis, susu bubuk, yoghurt, kefir, susu
pasteurisasi, susu sterilisasi, es krim, karamel atau kembang gula, dodol susu, tahu
susu, kerupuk susu, dan keju.
Keju merupakan produk olahan susu yang sudah sangat popular dan
digemari oleh masyarakat Indonesia. Menurut Lukman et al. (2009), keju adalah
produk berupa padatan elastis yang diperoleh melalui pengolahan bahan protein
dengan penambahan pengemulsi dan atau tanpa pemanasan dipadatkan dapat
dilanjutkan atau tanpa proses pematangan. Keju mempunyai umur simpan yang
relatif lama sehingga pengolahan ini bisa menjadi pilihan dalam mengatasi
kelebihan produksi susu.
Produksi susu dan produk olahannya yang rendah salah satunya disebabkan
oleh manajemen pemeliharaan sapi perah di Indonesia masih kurang dalam hal
sanitasi lingkungan, sanitasi peralatan pemerahan dan air, tatacara pemerahan
yang benar, serta manajemen kesehatan mulai dari proses pemeliharaan sampai
produksi. Selama ini pemeliharaan sapi perah pada peternakan rakyat masih
bersifat sederhana, artinya peternak masih menggunakan teknologi yang
sederhana dalam pemeliharaan sapi perah (pengetahuan pemeliharaan sapi perah
didapat secara turun-temurun) sehingga mempengaruhi tata laksana manajemen
peternakan.
Manajemen kesehatan yang tidak baik dapat menyebabkan timbulnya
penyakit. Salah satu ancaman penyakit yang menghambat populasi dan
produktivitas ternak sapi perah di Indonesia, serta dapat mempengaruhi kualitas
produksi susu dan produk olahannya adalah mastitis. Mastitis adalah peradangan
jaringan interna ambing atau mamae, mastitis dibagi menjadi subklinis dan klinis,
mastitis subklinis ditandai dengan kenaikan jumlah sel somatis (>400 000/ml)
(Lukman et al. 2009). Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar
bagi peternak yang berupa penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu,
3
kematian sapi, adanya residu antibiotik pada susu, dan meningkatnya biaya
pengobatan dan tenaga kerja.
Susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis akan mengalami perubahan
fisik. Perubahan yang terjadi pada susunan susu tersebut dapat menyebabkan
pecahnya susu saat dipanaskan atau terjadi penyimpangan rasa susu (tidak
normal) (Lukman et al. 2009). Banyak penelitian telah dikembangkan untuk
mengetahui dampak mastitis subklinis terhadap kualitas susu dan produk
olahannya seperti keju. Menurut Klei et al. (1998) diacu dalam Mazal et al.
(2007) hasil keju yang diperoleh dengan susu positif mastitis subklinis menjadi
berkurang kualitasnya.
Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan produktivitas sapi perah
sehingga menghasilkan susu dan produk susu yang berkualitas, maka faktor-faktor
yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan sapi perah di tingkat
peternak pemasok susu segar yang merupakan bahan baku untuk pembuatan keju
menjadi suatu topik yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih dalam.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
praktik manajemen pemeliharaan sapi perah (sanitasi air dan peralatan, sanitasi
kandang, kesehatan ternak, serta cara pemerahan) pada peternak yang merupakan
pemasok susu segar untuk industri keju. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui hubungan pengetahuan, dan karakteristik peternak (pendidikan, lama
beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang didapat) dengan praktik
manajemen pemeliharaan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran
mengenai pentingnya peningkatan usaha ternak melalui peningkatan praktik
manajemen pemeliharaan sapi perah (sanitasi air dan peralatan, sanitasi kandang,
kesehatan hewan, serta pemerahan susu) pada peternak pemasok susu segar untuk
industri keju di Kabupaten Sukabumi.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Maria 2012). Menurut
Badran (1995) pengetahuan adalah kapasitas untuk mendapatkan, menahan, dan
menggunakan informasi; sebuah gabungan dari pemahaman, pengalaman,
ketajaman, dan keterampilan.
Kibler et al. (1981) yang diacu dalam Sauri (2011) merinci pendapatnya
dengan mengelompokkan jenis pengetahuan secara hirarkis ke dalam: (1)
pengetahuan yang bersifat spesifik, (2) pengetahuan mengenai terminologi, (3)
pengetahuan mengenai fakta-fakta tertentu, (4) pengetahuan mengenai cara-cara
tertentu, (5) pengetahuan mengenai kaidah, (6) pengetahuan mengenai arah dan
urutan, (7) pengetahuan mengenai klasifikasi dan kategori, (8) pengetahuan
mengenai kriteria, (9) pengetahuan mengenai metode, (10) pengetahuan mengenai
pola, (11) pengetahuan mengenai prinsip dan generalisasi, dan (12) pengetahuan
mengenai teori dan struktur.
Tindakan atau Praktik
Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat tingkat-tingkat praktik atau tindakan,
yaitu:
a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guided respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah indikator praktik tingkat dua.
5
c. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
d. Adaptasi (adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya tersebut.
Studi terhadap Pengetahuan dan Tindakan
Survei pengetahuan, sikap, dan praktik atau knowledge, attitude, and
practice (KAP) adalah suatu studi representatif dari suatu populasi spesifik untuk
mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui, dipercayai dan dilakukan
terkait dengan suatu topik tertentu. Dalam survei KAP, data dikumpulkan
menggunakan kuisioner yang disusun secara terstruktur dan diisi sendiri oleh
responden. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif atau kuantitatif
tergantung pada tujuan dan disain studi. Survei KAP dapat didisain secara khusus
untuk menjaring informasi tentang topik tertentu. Data hasil survei KAP
bermanfaat untuk membantu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi
suatu kegiatan (WHO 2008).
Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Usaha di bidang persusuan di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan
Belanda, berdasarkan atas kepentingan orang-orang Eropa terutama pegawai
pemerintah Hindia Belanda yang membutuhkan susu segar. Pemerintah Belanda
yang di negerinya mempunyai populasi sapi perah Fries Holland (FH),
mendatangkan sapi FH ke Indonesia. Perkembangan peternakan sapi perah pada
masa tersebut sangat lambat karena pada dasarnya hanya bertujuan untuk
memenuhi permintaan susu segar bagi para karyawan Belanda, dan belum ada
usaha pengelolaan susu (Budi et al. 2006).
6
Menurut Sudono (1999) peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai
sejak awal abad ke-19 yaitu dengan mengimpor sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey,
dan Milking shorthorn, dari Australia. Permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan
mengimpor sapi-sapi Fries-Holand (FH) dari Belanda. Sapi perah yang saat ini
dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi
susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982
tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam
Negeri, usaha tani sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, peternakan sapi
perah rakyat yaitu usaha tani sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha
sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa)
atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran.
Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk
tujuan komersial dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10
ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor
sapi perah campuran (Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA)
2009).
Menurut BAPPENAS (2008), perkembangan populasi sapi perah di
Indonesia didominasi oleh pulau Jawa. Jumlah populasi sapi perah di Indonesia
pada tahun 2002 wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat secara
berturut-turut adalah 131 838, 115 490, dan 89 823 ekor. Usaha peternakan sapi
perah memiliki beberapa keuntungan yaitu peternakan sapi perah termasuk usaha
yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein
hewani dan kalori, jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan
yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan (Budi et al.
2006).
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam beternak sapi perah.
Faktor terpenting untuk sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak
harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan
menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, pemilihan sapi
yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk
tanaman hijauan makanan ternak dan pemasaran yang baik (Sudono 1999).
7
Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein merupakan ras sapi perah yang berasal dari provinsi
Friesland di Holland dan merupakan salah satu ras sapi perah tertua (Tyler &
Ensminger 1993). Sapi ini juga dikenal dengan nama Fries Holland atau sering
disingkat FH. Di Amerika bangsa sapi ini disebut Holstein, dan di negara-negara
lain ada pula yang menyebut Friesien, tetapi di Indonesia sapi ini popular dengan
sebutan FH. Sapi FH menduduki populasi terbesar, bahkan hampir di seluruh
dunia, baik di negara-negara sub-tropis maupun tropis. Bangsa sapi ini mudah
beradaptasi di tempat baru. Di Indonesia populasi bangsa sapi FH ini juga yang
terbesar diantara bangsa-bangsa sapi perah yang lain (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (DITJENNAK) 2012).
Di Indonesia, kecuali menggunakan sapi FH murni sebagai sapi perah,
khususnya di Jawa Timur, banyak pula diternakkan sapi Grati, yakni hasil
persilangan antara Friesian Holstein dan sapi lokal Ongole. DITJENNAK (2012)
menyebutkan ciri-ciri dan sifat-sifat sapi FH seperti tercantum di bawah ini:
Ciri-Ciri Sapi Friesian Holstein:
• Warna belang hitam putih.
• Pada dahinya terdapat hitam putih berbentuk segitiga.
• Dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna berwarna putih.
• Tanduk kecil-pendek menjurus ke depan.
• Berat badan: Sapi jantan mencapai 1 000 kg, sapi betina 650 kg.
Sifat-Sifat Sapi Friesian Holstein
• Tenang, jinak , sehingga mudah dikuasai.
• Sapi tidak tahan panas, namun mudah beradaptasi.
• Lambat menjadi dewasa.
• Produksi susu: 4 500-5 500 liter per satu masa laktasi.
8
Manajemen Peternakan Sapi Perah
Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat bergantung pada
keterpaduan langkah terutama di bidang pembibitan (breeding), pakan (feeding),
dan tata laksana (management). Manajemen peternakan sapi perah terdiri atas
manajemen pemeliharaan, manajemen kandang, manajemen kesehatan,
manajemen pemerahan pasca panen, manajemen reproduksi, dan manajemen
pemasaran (Nurdin 2011).
Setiap usaha peternakan sapi perah harus menyediakan pakan yang cukup
bagi ternaknya baik yang berasal dari pakan hijauan maupun pakan konsentrat.
Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, limbah pertanian dan
dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi
rendah. Kualitas pakan hijauan tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan
ada tidaknya zat toksik (beracun) dan anti nutrisi. Pakan konsentrat diberikan
sesuai standar kebutuhan untuk pedet, sapi dara, sapi bunting, sapi laktasi dan sapi
kering kandang. Pakan konsentrat dapat berupa ransum komersil atau campuran
sendiri, dengan mengupayakan pemanfaatan bahan baku lokal. Pemberian
imbuhan pakan (feed additive) dan pelengkap pakan (feed supplement) harus
memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku (DITJENNAK 2012).
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan
produksi susu adalah aspek reproduksi. Tingkat kesuburan reproduksi yang terlalu
rendah pada suatu peternakan biasanya sering disebabkan oleh terjadinya
kekurangan pakan, waktu inseminasi yang tidak tepat (misalnya pada saat birahi
inseminator tidak datang sehingga sapi tidak diinseminasi), peternak tidak
memiliki sistem pencatatan yang baik, dan peternak tidak mampu mengamati sapi
yang birahi (Nurdin 2011).
Manajemen Pemeliharaan
Pemeliharaan adalah seni dan ilmu pengetahuan yang mengkombinasikan
ide, fasilitas, materi, dan tenaga kerja dalam menghasilkan suatu produk dalam hal
ini adalah susu (Nurdin 2011). Pengelolaan peternakan sapi perah memerlukan
beberapa hal yang harus dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang. Peternak
harus melakukan manajemen secara optimal pada masa produksi, sehingga hasil
yang diperoleh lebih optimal. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan pada
9
masa produksi, karena tahapan produksi ini mempengaruhi tingkat produktivitas,
yakni kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan. Tahapan-tahapan yang
dimaksud meliputi manajemen perkandangan, manajemen pakan (tata laksana
pemberian pakan), manajemen reproduksi (pengaturan perkawinan), manajemen
kesehatan (pengendalian penyakit), dan manajemen pemerahan (Nurdin 2011).
Menurut Sunarko et al. (2009) tata laksana peternakan sapi perah
mempunyai peranan sangat penting, menyangkut perencanaan dan pelaksanaan
pemeliharaan sapi perah sehingga akan dapat dicapai produksi susu dengan
kualitas yang baik. Kunci utama berhasilnya pemeliharaan sapi perah adalah
faktor pemeliharanya. Agar pemeliharaan sapi perah dapat berhasil, maka seorang
pemelihara harus mempunyai kepribadian sebagai berikut:
1. Mempunyai rasa sayang terhadap hewan ternak terutama sapi perah.
2. Mempunyai kemampuan dan ketekunan bekerja yang berhubungan dengan
sapi perah.
3. Mempunyai pengetahuan tentang teknis pemeliharaan sapi perah.
4. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan usaha peternakan sapi
perah.
Sanitasi
Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak
dengan menggunakan tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit.
Sanitasi dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak,
kebersihan lingkungan serta kebersihan peternak itu sendiri (Subronto 1985).
Sanitasi Kandang dan Lingkungan
Kandang merupakan bagian penting yang harus ada dalam suatu peternakan
sapi perah. Kandang adalah bangunan sebagai tempat tinggal ternak, yang
ditujukan untuk melindungi ternak terhadap gangguan dari luar yang merugikan
seperti terik matahari, hujan, angin, gangguan binatang buas, serta memudahkan
dalam pengelolaan (Nurdin 2011).
Kandang dan lingkungannya harus selalu bersih, karena produksi sapi perah
berupa susu mudah menyerap bau dan rusak (Lembar Informasi Pertanian
(LIPTAN) 2000). Untuk itu, upaya menjaga sanitasi kandang dan lingkungan
10
mutlak diperlukan. Menurut DITJENNAK (2012) syarat bangunan kandang
peternakan sapi perah sebagai berikut :
1. Konstruksi kandang harus kuat, terbuat dari bahan yang ekonomis dan
mudah diperoleh, sirkulasi udara dan sinar matahari cukup, drainase dan
saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan.
2. Lantai dengan kemiringan 1-2%, tidak licin, tidak kasar, luas kandang
memenuhi persyaratan daya tampung ternak.
3. Letak kandang harus memenuhi persyaratan yaitu: mudah diakses terhadap
transportasi baik roda dua maupun roda empat, lokasi kandang bukan daerah
genangan air atau banjir, dekat sumber air, atau mudah dicapai aliran air,
kandang isolasi terpisah dari kandang utama, tidak menggangu lingkungan
hidup serta memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pengolahan susu.
Sanitasi Ternak
Sapi perah harus selalu bersih, karena akan berdampak kepada kesehatan
sapi itu tersendiri, caranya yaitu dengan memandikan sapi perah sebelum diperah
susunya. Biasanya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari
(LIPTAN 2000).
Menurut Sunarko et al. (2009) memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap
hari untuk menjaga agar sapi tetap sehat dan bersih sehingga parasit luar tidak
mudah menginfeksi, disamping itu untuk memperlancar proses metabolisme
dalam memproduksi susu yang tetap tinggi dan stabil, serta untuk menjaga agar
susu tetap bersih dari bulu-bulu yang rontok maupun kotoran yang menempel
pada kulit
Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air
Cara beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga
peternak perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air
untuk memperpanjang daya tahan produk susu sekaligus menekan pencemaran
mikroorganisme. Sanitasi peralatan merupakan upaya untuk menerapkan metode
pembersihan peralatan penampung susu dengan benar (Aryana 2011). Sesuai
Peraturan Menteri Pertanian No 55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman
pembibitan sapi perah yang baik, peralatan dalam ternak sapi perah meliputi
11
tempat pakan dan tempat minum, alat pemotong dan pengangkut rumput, alat
pembersih kandang dan pembuatan kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan
pemerahan dan pengolahan susu, peralatan sanitasi kebersihan dan peralatan
pengolahan limbah (Departemen Pertanian (DEPTAN) 2006).
Peralatan pemerahan susu (ember perah, milk can) dan peralatan lainnya
seperti tempat pakan dan tempat minum harus dijaga kebersihannya. Beberapa
tindakan yang dilakukan, antara lain peralatan penampung susu setelah dipakai
harus segera dibersihkan, selanjutnya dibilas dengan air bersih atau dapat
menggunakan deterjen (sabun bubuk) dan dibilas dengan air hangat untuk
melarutkan lemak susu yang masih melekat. Peralatan penampung susu yang
sudah bersih dikeringkan di bawah sinar matahari atau diletakkan terbalik.
Pembersihan peralatan pemerahan susu dapat menggunakan disinfektan (Aryana
2011).
Menurut Gunawan et al. (2011), air sangat dibutuhkan bagi metabolisme
tubuh dan berbagai fungsi biologis, seperti pengaturan suhu tubuh, membantu
proses pencernaan, pengaturan tekanan darah, pertumbuhan fetus, produksi susu
dan pengangkut nutrien, hormon serta zat lain yang diperlukan oleh tubuh. Air
diperlukan bagi ternak sapi perah produksi, karena susu yang dihasilkan 87%
adalah air. Untuk itu, penyediaan air bagi ternak sapi perah sangatlah penting.
Ketersediaan air perlu diperhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha
pemeliharaan sapi dimulai, karena air merupakan suatu kebutuhan mutlak.
Ketersediaan air diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan
kandang atau halaman, serta untuk memandikan sapi. Kebutuhan air minum dapat
berasal dari air minum khusus yang sengaja disediakan pada bak-bak air, baik di
padang penggembalaan maupun di kandang atau pun di halaman pengelolaan.
Oleh karena itu, cara penyediaan, cara pengaliran, maupun cara pemberiannya
memerlukan penataan yang baik. Di Negara-negara maju, pengaliran air sudah
ditata secara mekanis (Santosa 1995).
Manajemen Kesehatan Sapi Perah
Produktivitas sapi perah tergantung juga pada manajemen kesehatan hewan.
Serangan penyakit pada sapi perah sedapat mungkin dicegah. Itulah sebabnya
12
penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta
memberikan pakan yang cukup (Sembada 2012).
Ternak yang sakit membutuhkan pengobatan, akibatnya hal ini akan
mempertinggi biaya produksi. Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah
pencegahan penyakit dan menjalankan program vaksinasi secara teratur, terutama
di daerah-daerah yang sering terjadi penyakit menular seperti TBC, brucellosis,
PMK, hal ini baru dapat dilakukan apabila peternak mengetahui dan paham
terhadap jenis-jenis penyakit penting yang sering terjadi pada sapi perah, mulai
dari gejala awal, tanda-tanda, dan pencegahannya (Nurdin 2011). Manajemen
kesehatan sapi perah menurut DITJENNAK (2012) terdiri atas:
1. Peternak pembibit sapi perah harus melakukan pemeriksaan dan pengujian
laboratorium terhadap penyakit tertentu (Brucellosis, IBR, BVD, TBC,
ParaTB) secara terprogram sesuai ketentuan.
2. Melakukan biosekuriti (semua tindakan yang merupakan pertahanan
pertama untuk mencegah dan mengendalikan wabah melalui semua
kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular) yang ketat.
3. Melakukan pemberian vitamin, obat cacing dan/atau vaksinasi SE dan
Anthrax dll sesuai pertimbangan petugas kesehatan hewan.
4. Kandang dan peralatan harus didisinfeksi, pembersihan dan penyemprotan
pembasmi serangga (insektisida) secara berkala.
5. Setiap terjadi kasus penyakit terutama penyakit menular harus segera
dilaporkan kepada petugas yang berwenang.
6. Setiap dilakukan pemerahan harus dilakukan uji mastitis.
7. Setiap ternak yang sakit harus segera dikeluarkan dari kandang untuk diobati
atau dikeluarkan dari kelompok ternak atau peternakan.
Gangguan dan penyakit dapat terjadi pada ternak setiap saat sehingga untuk
membatasi kerugian ekonomi diperlukan kontrol untuk menjaga kesehatan sapi.
Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah.
Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan
reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta, kawin
berulang, dan endometritis, sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah
gangguan metabolisme (ketosis, milk fever dan hipocalcemia), enteritis, displasia
13
abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang
disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari
kandang atau culling (afkir). Selain itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan di
dalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin
dan peralatan pemerahan yang baik (Anonim 2009).
Manajemen Kesehatan Pemerahan
Pemerahan merupakan suatu kegiatan pengumpulan susu setelah dilakukan
stimulasi yang sesuai dari seekor hewan (sapi) untuk mengeluarkan susu dari
ambing. Pemerahan harus dilakukan secara baik dan benar karena hal ini akan
memberikan keuntungan diantaranya memperoleh sebanyak mungkin susu dalam
satu kali pemerahan, memelihara keadaan dan kesehatan ambing, susu
mengandung sedikit mungkin mikroorganisme dan dapat menstimulir
pembentukan susu secara optimal (Lukman et al. 2009).
Tujuan utama pemerahan adalah menghasilkan produksi susu dalam jumlah
banyak, kualitas susu yang baik, efisiensi tenaga kerja, dan menjaga kualitas susu
tetap tinggi. Teknik pemerahan yang tidak hati-hati dan dilakukan dengan kasar
dapat menyebabkan infeksi ambing (mastitis), kerusakan kelenjar ambing,
penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, dan kerugian. Pencegahan
penyakit mastitis dan dihasilkannya metode pemerahan yang efektif dan efisien
dapat dilakukan dengan memperhatikan persiapan pemerahan (Etgen et al. 1987).
Setiap peternak sapi perah dalam melakukan pemerahan harus berupaya
untuk mendapatkan hasil susu yang bersih dan sehat. Kuantitas dan kualitas hasil
pemerahan tergantung pada tata laksana pemeliharaan dan pemerahan yang
dilakukan (Handayani & Purwanti 2010).
Pada umumnya sapi yang sedang diperah sangat sensitif terhadap keadaan
lingkungan di sekelilingnya yang senantiasa berubah-ubah. Oleh karena itu untuk
menjamin kelangsungan produksi susu tetap stabil maka cara yang sama dan
teratur serta sudah terbiasa dilakukan, hendaknya selalu diikuti dan dikerjakan
secara seksama. Dalam suatu peternakan sapi perah, pelaksanaan pemerahan
merupakan faktor yang sangat penting untuk memperoleh hasil produksi susu
yang diharapkan (Sunarko et al. 2009).
14
Menurut Tyler dan Ensminger (1993) kualitas susu dapat ditentukan oleh
faktor-faktor di bawah ini:
a. Kesehatan sapi perah
Sapi perah harus terbebas dari penyakit yang dapat ditularkan ke manusia.
Bakteri yang berasal dari susu harus dihilangkan.
b. Kebersihan ternak:
Kebersihan flank dan ambing dapat mencegah kuman masuk ke dalam
ambing. Kebersihan alas kandang, dan sistem drainase yang baik akan
membuat sapi menjadi bersih.
c. Kebersihan peralatan
Semua peralatan pemerahan harus dijaga kebersihannya, dan bebas dari
bakteri. Bakteri tumbuh di celah atau tempat kasar pada peralatan jika tidak
dibersihkan.
d. Kamar dingin dan penyimpanan susu
Temperatur penyimpanan susu yang baik adalah -75.6-4.4 °C
e. Kontrol lalat
Kontrol lalat pada peternakan sapi perah sangat penting. Lalat dapat
membawa 1.25 miliar bakteri, yang dapat menjadi sumber penyakit seperti
typoid, disentri, dan penyakit menular lainnya.
f. Menjaga kebersihan gudang susu
Bau pada gudang susu dapat dihilangkan dengan penggunaan ventilasi yang
efektif pada bangunan.
Cara Pemerahan
Menurut Sudono et al. (2003) yang diacu dalam Tristy (2009) pemerahan
yang baik dilakukan dengan cara yang benar dan alat yang bersih. Tahapan-
tahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan
terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya. Tahapan pemerahan
dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:
• Membersihkan kandang dari segala kotoran.
• Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah.
• Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika
dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenang.
15
• Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan
milk can.
• Membersihkan tangan pemerah dengan menggunakan air dan sabun.
• Melakukan pemerahan sampai susu habis (ambing kosong).
• Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang
bersih.
• Membuang pancaran susu pertama dan kedua tanpa ditampung dalam
wadah.
• Melakukan teat dipping setelah pemerahan.
Teat dipping adalah pencelupan puting dengan antiseptik setelah pemerahan.
Setelah selesai memerah, semua puting pada satu ekor sapi harus segera
disucihamakan dengan menggunakan antiseptik. Pencucian ambing dengan
larutan antiseptik sebelum dan sesudah pemerahan dapat menurunkan kejadian
radang ambing (Hidayat 1995 diacu dalam Damayanti 2007).
Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Mastitis Subklinis di Indonesia
Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing atau mamae, mastitis
berdasarkan gejalanya dibedakan menjadi mastitis subklinis dan mastitis klinis.
Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah
mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik (>400 000/ml) dan
ditemukan bakteri patogen serta susu berasal dari kwartir dalam masa laktasi
normal (Lukman et al. 2009).
Tiga bakteri utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli (Wibawan
1998). Disamping faktor–faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis,
jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan
mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor
predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi: bentuk ambing,
misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting
terlalu lebar (Subronto 2003).
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian
mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin
16
mengendur pula sphincter putingnya. Puting dengan spinchter yang kendor
memungkinkan sapi mudah terinfeksi oleh mikroorganisme, karena fungsi
spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme dari luar (lingkungan).
Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang
diperlukan oleh spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003).
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi
terjadinya radang ambing meliputi: pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam
satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi
jelek, mastitis mencapai 87.5%, ventilasi yang baik mencapai 49.39% (Sori et al.
2005 diacu dalam Sharif et al. 2009).
17
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 bertempat di
Kabupaten Sukabumi.
Metode Penelitian
Populasi studi
Populasi studi dalam penelitian ini adalah peternak pemasok susu segar
untuk industri keju, di Kabupaten Sukabumi yaitu sepuluh peternak yang terdiri
dari dua peternak berlokasi di Kecamatan Lembur Situ dan delapan peternak
berlokasi di Kecamatan Nyalindung.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh dari survei lapangan, dalam survei ini dilakukan wawancara
atau teknik face-to-face interview kepada peternak pemasok susu segar industri
keju dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner
terstruktur. Seluruh peternak pemasok susu segar untuk industri keju yang
berjumlah sepuluh diambil sebagai sampel. Kuesioner yang digunakan terdiri atas
53 pertanyaan. Pertanyaan tersebut meliputi identitas responden, praktik
manajemen pemeliharaan (mengenai kebersihan kandang, manajemen kesehatan
ternak, kebersihan peralatan dan air, manajemen pemerahan), serta pengetahuan
peternak mengenai mastitis subklinis dan pengendaliannya. Uji mastitis subklinis
secara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan pereaksi mastitis IPB-1
terhadap seluruh sapi dalam keadaan laktasi normal.
Desain Kuesioner
Kuesioner dirancang merujuk pada literatur mengenai profil masyarakat
peternak sapi perah, profil praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan
peralatan, sanitasi kandang, kesehatan hewan, serta pemerahan), serta tingkat
pengetahuan peternak mengenai mastitis subklinis. Sebelum kuesioner digunakan,
dilakukan pretest terlebih dahulu. Pretest dilakukan pada peternak yang berlokasi
18
di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. Pertanyaan
tentang praktik manajemen peternakan terdiri atas 53 pertanyaan, 11 pertanyaan
mengenai karakteristik peternak, 10 pertanyaan mengenai sanitasi kandang, 8
pertanyaan mengenai manajemen kesehatan ternak, 9 pertanyaan mengenai
sanitasi air dan peralatan, dan 15 pertanyaan mengenai manajemen pemerahan.
Tingkat pengetahuan peternak, diukur menggunakan 17 butir pertanyaan
dengan jawaban “ya”, “tidak”, dan “tidak tahu” di dalam kuesioner. Pertanyaan
tersebut dikategorikan atas empat kategori pertanyaan. Kategori pertama terdiri
atas 3 pertanyaan tentang hal-hal umum mengenai mastitis subklinis, kategori
kedua terdiri atas 2 pertanyaan tentang penyebab mastitis subklinis. Kategori
ketiga terdiri atas 4 pertanyaan mengenai dampak yang ditimbulkan akibat
mastitis subklinis, kategori keempat terdiri atas 8 pertanyaan mengenai cara
pencegahan mastitis subklinis.
Definisi operasional
Pengertian setiap peubah penelitian dijelaskan dengan definisi operasional
seperti yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Definisi operasional peubah penelitian
Peubah Definisi operasional
Alat ukur Cara ukur Skala
Praktik manajemen pemeliharaan
Tingkat praktik manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak, yang terdiri atas sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi peralatan pemerahan dan air, tata laksana pemerahan, dan manajemen kesehatan ternak
Kuesioner Masing-masing kategori jawaban pertanyaan dijumlahkan skornya, kemudian jumlah skor tiap kategori dijumlahkan, sehingga diperoleh total skor. (skor untuk masing-masing pertanyaan terlampir)
Interval
19
Peubah Definisi operasional
Alat ukur Cara ukur Skala
Pendidikan terakhir peternak
Pendidikan yang terakhir kali diikuti oleh peternak
Kuesioner Wawancara Ordinal 1= SD 2= SMP/MTS 3= SMA/ MAN 4= PT
Lama beternak Pengalaman beternak yang telah dijalani oleh peternak dari mulai awal usaha
Kuesioner Wawancara Ordinal 1= <1 tahun 2= 1-5 tahun 3= 5-10 tahun 4= >10 tahun
Mendapat pelatihan
Pelatihan atau penyuluhan tentang manajemen peternakan
Kuesioner Wawancara Ordinal 1= ya 0= tidak
Umur Usia responden saat diwawancarai
Kuesioner Wawancara Rasio
Frekuensi pembersihan alas kandang
Cara yang dilakukan peternak untuk membersihkan alas kandang
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= 1 kali per hari 2= 2 kali per hari 3= 3 kali per hari
Frekuensi pembersihan halaman sekitar kandang
Cara yang dilakukan peternak untuk membersihkan halaman sekitar kandang
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= sebulan sekali 2= seminggu
sekali 3= 2 hari sekali 4= setiap hari
Jarak pembuangan limbah
Jarak pembuangan limbah dari peternakan
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= <15 m dari
kandang 2= >15 m dari
kandang Penanganan kotoran ternak
Cara yang biasa dilakukan oleh peternak dalam membuang kotoran
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= ditimbun di
atas permukaan tanah (open dumping)
2= ditimbun pada lubang tanah
3= disimpan dalam karung tertutup
20
Peubah Definisi operasional
Alat ukur Cara ukur Skala
Periode memandikan sapi
Cara memandikan sapi yang dilakukan oleh peternak
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= 1 kali per hari 2= 2 kali per hari 3= 3 kali per hari
Pembersihan ambing sebelum diperah
Hal yang dilakukan peternak untuk membersihkan ambing sebelum diperah
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak 1= ya
Cara membersihkan ambing
Hal yang dilakukan peternak setelah membersihkan ambing dengan air
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak dilap 1= dilap dengan
kain 2= dilap dengan
tisu Teat dipping Teat dipping
yang dilakukan peternak setelah pemerahan
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak 1= ya
Teknik pemerahan
Teknik yang dilakukan peternak pada saat melakukan pemerahan
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= menggunakan
seluruh jari 2= kombinasi 3= menggunakan
dua jari Pelicin Penggunaan
pelicin oleh peternak pada saat memerah
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak 1= ya
Urutan pemerahan
Urutan pemerahan yang dilakukan
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 1= acak 1= sakit ke sehat 1= dari pinggir
kiri ke pinggir kanan
2= sehat ke sakit Kepadatan ternak
Kepadatan ternak dalam satu kandang
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= padat (sapi
tidak dapat berbaring)
1= baik (sapi dapat berbaring)
21
Peubah Definisi operasional
Alat ukur Cara ukur Skala
Penanganan sapi sakit
Upaya pemisahan yang dilakukan oleh peternak antara sapi sehat dan sapi yang sakit atau menunjukkan gejala sakit
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak (sapi
yang sakit atau menunjukkan gejala sakit tidak dipisahkan dari sapi sehat)
1= ya (sapi yang sakit atau menunjukkan gejala sakit dipisahkan dari sapi sehat)
Tindakan karantina terhadap sapi baru
Upaya pemisahan yang dilakukan oleh peternak terhadap ternak yang baru dibeli dan baru dicampur dengan sapi lama dalam waktu minimal 2 minggu.
Kuesioner Wawancara Ordinal 0= tidak (ternak
baru dan lama tidak dipisahkan dalam waktu minimal 2 minggu)
1= ya (ternak baru dan lama dipisahkan dalam waktu minimal 2 minggu)
Penanganan sapi bunting
Upaya pemisahan yang dilakukan oleh peternak antara sapi sehat dan sapi yang bunting
Kuesioner Wawancara dan observasi
Ordinal 0= tidak (sapi
yang bunting tidak dipisahkan dari sapi yang tidak bunting)
1= ya (sapi yang bunting dipisahkan dari sapi yang tidak bunting)
22
Peubah Definisi operasional
Alat ukur Cara ukur Skala
Pengetahuan peternak
Kemampuan peternak dalam menjawab pertanyaan mengenai mastitis
Kuesioner Wawancara Tingkat pengetahuan peternak diperoleh dengan menjumlahkan jawaban untuk masing-masing pertanyaan. Jawaban benar diberikan skor 1, jawaban salah dan tidak tahu diberikan skor 0, sehingga kisaran nilainya adalah 0-17.
Interval
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
Data primer yang diperoleh diolah dan dianalisis melalui beberapa tahap,
yaitu coding data, tabulasi dan analisis. Data ditabulasi dan dianalisis secara
statistik dengan program Microsoft excel 2007 dan SPSS 13.0 for windows.
Data pengetahuan dan praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan
peralatan, sanitasi kandang, kesehatan hewan, serta pemerahan susu)
dikuantifikasikan berdasarkan skor. Tingkat praktik manajemen pemeliharaan
diperoleh dengan menjumlahkan skor untuk tiap-tiap pertanyaan pada masing-
masing kategori. Tingkat pengetahuan contoh mengenai penyakit mastitis diukur
dengan 17 pertanyaan dengan jawaban “ya”, “tidak”, dan “tidak tahu”. Jawaban
yang diperoleh kemudian diolah dengan pemberian skor pada setiap pertanyaan
dengan skor 1 jika jawaban “ya’’ dan skor 0 jika jawaban “tidak” dan “tidak
tahu”. Jumlah skor pengetahuan mengenai penyakit mastitis subklinis berkisar
antara 0-17. Kategori pengetahuan dibagi menjadi baik (79-100%), sedang (56-
78%), dan kurang (<56%).
23
Dalam mengetahui tingkat pegetahuan digunakan rumus yaitu:
Tingkat pengetahuan= jumlah jawaban benar x100jumlah soal
Analisis Data
Hubungan antar variabel berupa karakteristik peternak (pendidikan, lama
beternak, umur, dan pengalaman penyuluhan yang didapat), dan pengetahuan
dengan praktik manajemen pemeliharaan, diuji menggunakan uji korelasi Pearson
untuk variabel skala rasio dan interval, serta uji korelasi Spearman untuk variabel
skala ordinal.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak pemasok susu segar industri keju yang digambarkan
dalam penelitian ini meliputi pendidikan, lama beternak, umur, dan pengalaman
penyuluhan yang pernah didapatkan (Tabel 2).
Tabel 2 Karakteristik peternak di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%)
Pendidikan terakhir SD 4 40 SMP 3 30 SMA 0 0 PT 3 30
Lama beternak 1-5 tahun 4 40 5-10 tahun 2 20 >10 tahun 4 40
Mendapatkan pelatihan Ya 5 50 Tidak 5 50
Umur <30 tahun 1 10 30-50 tahun 8 80 >50 tahun 1 10
Selama pengambilan kuesioner terdapat 10 peternak sebagai responden.
Hampir sebagian responden (40%) berpendidikan sekolah dasar (SD). Para
peternak yang memiliki tingkat pendidikan rendah kemungkinan besar usaha
peternakan yang dimiliki bersifat turun temurun, dan peternakan sapi perah
merupakan usaha utama yang dimiliki. Pendidikan merupakan hal yang penting
dalam pengelolaan peternakan, karena berperan dalam pola berpikir, kemampuan
belajar, dan taraf intelektual (Juliani 2011). Peternak yang memiliki tingkatan
ilmu lebih tinggi dapat mengajarkan dan memberikan contoh kepada peternak
yang memiliki latar pendidikan yang lebih rendah. Pada umumnya, semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka proporsi tindakan baik dari responden akan
semakin tinggi, namun pendidikan bukan menjadi faktor utama dalam
25
meningkatkan produktivitas sapi perah, karena peternak yang berpendidikan
tinggi belum tentu menggunakan ilmunya dalam hal pemeliharaan ternak.
Pengalaman beternak merupakan lamanya waktu peternak melakukan usaha
peternakan. Hanya sekitar 20% responden beternak selama 5-10 tahun. Peternak
baru (1-5 tahun) merupakan peternak yang melanjutkan usaha peternakan
keluarga. Pengalaman beternak merupakan hal yang sangat penting, karena salah
satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan usaha sapi perah adalah
pengalaman beternak. Pengalaman beternak dapat mempengaruhi kemampuan
kerja seorang peternak. Peternak yang sudah berpengalaman dapat mengatasi
dengan baik masalah-masalah dalam peternakan (Juliani 2011).
Pelatihan dan penyuluhan dalam peningkatan produktivitas sapi perah sangat
bermanfaat. Sebagian besar (50%) peternak tidak pernah mendapatkan
penyuluhan atau pelatihan mengenai manajemen peternakan yang baik dan benar.
Penyuluhan dan pelatihan sangat berpengaruh terhadap kemajuan usaha
peternakan. Peternak yang tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang
memadai dalam memahami permasalahan, memikirkan pemecahannya, atau
memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka,
dapat teratasi dengan mengikuti penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan yang
didapatkan oleh peternak diharapkan dapat menambah ilmu mengenai tata laksana
pemeliharaan yang baik dan benar, dan peran pemerintah sangat diperlukan dalam
hal ini. Menurut Achjadi (1985) kegiatan penyuluhan melalui tatap muka
langsung dengan peternak di lapangan diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
komunikasi yang timbul sehubungan dengan pemeliharaan ternak, kasus penyakit
ternak, sistem informasi dan lain sebagainya.
Rentang umur responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga
kelompok yaitu <30 tahun, 30-50 tahun, dan >50 tahun. Dari hasil pengamatan
dapat dinyatakan bahwa umumnya peternak sapi perah yang diamati memiliki
usia produktif (90%) berada pada usia di bawah 50 tahun. Havighurst (1974) yang
diacu dalam Nurliana (1999) menyatakan bahwa terdapat periode sensitif dari
umur seseorang untuk belajar pada umur tertentu. Hal ini menunjukkan adanya
kaitan antara umur seseorang dengan kemampuan intelektualnya karena umur
seseorang berkaitan erat dengan wawasan yang dimiliki.
26
Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah
Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat bergantung dari
keterpaduan langkah terutama di bidang pembibitan (breeding), pakan (feeding),
dan tata laksana (management). Manajemen peternakan sapi perah terdiri dari
manajemen pemeliharaan, manajemen kandang, manajemen kesehatan,
manajemen pemerahan pasca panen, manajemen reproduksi, dan manajemen
pemasaran (Nurdin 2011). Dalam penelitian ini hanya dibahas mengenai praktik
manajemen pemeliharaan yang terdiri atas sanitasi kandang dan lingkungan,
sanitasi air dan peralatan pemerahan, tata laksana pemerahan, serta manajemen
kesehatan ternak.
Sanitasi Kandang dan Lingkungan
Aspek sanitasi kandang dan lingkungan yang diamati meliputi frekuensi
pembersihan alas kandang, frekuensi pembersihan halaman sekitar kandang, jarak
pembuangan limbah dari kandang, dan penanganan kotoran ternak (Tabel 3).
Tabel 3 Kondisi sanitasi kandang dan lingkungan di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju
Variabel Jumlah (%)
Frekuensi pembersihan alas kandang dua kali per hari 10 100
Frekuensi pembersihan halaman sekitar kandang Setiap hari 1 10 Dua hari sekali 4 40 Satu minggu sekali 1 10 Satu bulan sekali 4 40
Jarak pembuangan limbah dari kandang (<15 meter) 10 100
Penanganan kotoran ternak (open dumping) 10 100
Kondisi sanitasi peternakan dapat mencerminkan manajemen pemeliharaan
dan cara peternak menjaga kebersihan kandang. Pada Tabel 3 dapat diketahui
bahwa seluruh responden (100%) membersihkan alas kandang dua kali sehari.
Mayoritas (40%) peternak membersihkan halaman kandang tiap dua hari sekali
dan satu bulan sekali. Dibanding dengan ternak yang lain, sapi perah memerlukan
tingkat kebersihan dan sanitasi yang lebih tinggi, karena susu mudah sekali
27
menyerap bau. Disamping itu, kandang yang kotor juga merupakan sarana yang
sangat baik untuk perkembangan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit,
mikroorganisme dari kandang yang kotor dapat mengontaminasi susu melalui
udara, dan feses. Alasan tersebut yang mendasari bahwa kandang dan lingkungan
sekitarnya harus selalu bersih agar susu yang diproduksi mempunyai kualitas yang
baik pula (Sunarko et al. 2009). Kandang yang bersih membuat sapi nyaman, dan
peternak betah bekerja di kandang (Budi et al . 2006).
Tempat pembuangan limbah juga berperan terhadap timbulnya penyakit
pada sapi perah, misalnya mastitis. Seluruh responden (100%) membuang limbah
tidak jauh dari kandang peternakannya (<15 meter). Limbah peternakan berupa
kotoran ternak langsung disalurkan ke ladang yang digunakan sebagai pupuk
kandang untuk budidaya rumput gajah, dan terletak tidak jauh dari kandang. Jarak
yang terlalu dekat antara tempat pembuangan limbah dengan kandang akan
menyebabkan lingkungan kandang menjadi kotor, dan dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan. Hal ini akan menyebabkan bakteri tumbuh subur dan
bermigrasi ke kandang sehingga setiap saat dapat menimbulkan kejadian mastitis
subklinis. Tumpukan limbah peternakan akibat kondisi saluran pembuangan yang
tidak baik atau tidak lancar akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan
antara lain berupa bau busuk dan berkembangnya serangga (Sudarwanto 1999
diacu dalam Winata 2011).
Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa seluruh peternak
(100%) membuang kotoran ternak dengan menimbunnya di atas permukaan tanah
atau open dumping. Penanganan kotoran yang buruk dapat meningkatkan
terjadinya mastitis (radang ambing), hal ini disebabkan oleh lingkungan sekitar
kandang menjadi kotor sehingga mikroorganisme-mikroorganisme patogen
tumbuh subur dan dapat bermigrasi ke kandang dan menginfeksi sapi perah.
Menurut Sutarti et al. (2003) dengan tempat pembuangan limbah yang baik, maka
sapi yang terkena mastitis 0.52 kali lebih kecil dibandingkan yang kotor.
Tata Laksana Pemerahan
Tata laksana pemerahan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan
variasi produksi susu. Tata laksana pemerahan yang baik dapat meningkatkan
28
produksi susu yang dihasilkan. Tata laksana pemerahan sapi perah di peternakan
sapi perah pemasok susu segar industri keju tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4 Manajemen pemerahan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju Variabel Jumlah (%)
Periode pemandian sapi sebelum diperah (dua kali sehari)
10 100
Membersihkan ambing sebelum diperah 10 100
Cara membersihkan ambing Tidak dilap 5 50 Kadang-kadang 5 50
Melakukan Teat dipping setelah pemerahan 1 10
Teknik pemerahan Strip hand 3 30 Whole hand 2 20 Kombinasi 5 50
Menggunakan pelicin saat pemerahan 9 90
Urutan pemerahan Acak 8 80 Sehat ke sakit 2 20
Seluruh responden (100%) memandikan sapinya dua kali sehari sebelum
diperah. Kebiasaan memandikan sapi dua kali sehari akan merangsang produksi
susu. Sapi yang dimandikan dua kali sehari akan menghasilkan susu lebih banyak
dari yang dimandikan satu kali atau yang tidak dimandikan sama sekali
(Sudarwanto 1999 diacu dalam Winata 2011). Kotoran-kotoran yang berasal dari
alas kandang, tanah, feses, epitel yang telah gugur, dan kotoran-kotoran lainnya
biasa melekat pada tubuh sapi. Selama proses pemerahan kotoran-kotoran tersebut
dapat jatuh dari perut, ekor, lipat paha, dan ambing sapi ke dalam ember susu.
Kotoran-kotoran semacam ini biasanya mengandung banyak bakteri dan tentu saja
akan mengotori sekaligus mencemari susu. Menurut Hunderson (1971) yang diacu
dalam Hartono (1992) sebaiknya sapi dimandikan sekurang-kurangnya sekali
dalam sehari.
29
Sebanyak 100% peternak membersihkan ambing sebelum diperah, namun
sebagian responden (50%) membersihkan ambing tanpa dilap. Puting sapi yang
dibersihkan sebelum dan setelah diperah akan mencegah kejadian mastitis
subklinis dibandingkan dengan yang tidak dibersihkan. Menurut Hunderson
(1971) yang diacu dalam Hartono (1992) susu yang dihasilkan dari ambing yang
bersih dan puting yang dicuci dengan antiseptik serta dikeringkan akan
menghasilkan mikroorganisme sebesar 2 154 cfu/ml, tetapi bila ambing tidak
dicuci akan ada mikroorganisme sebesar 17 027 cfu/ml. Ambing dapat
dibersihkan menggunakan larutan NaClO dengan konsentrasi 1.5 - 2 ppm dan
pada konsentrasi ini susu tidak terkontaminsasi bau dari larutan.
Umumnya (90%) peternak tidak melakukan teat dipping setelah pemerahan.
Membersihkan ambing sebelum pemerahan, pemeriksaan pancaran sekresi
pertama, membersihkan puting sebelum pemerahan dan melakukan terapi kering
kandang merupakan usaha dalam mengendalikan mastitis subklinis selain dengan
melakukan teat dipping (Sudarwanto 1999 diacu dalam Winata 2011).
Seluruh responden (100%) memerah dengan tangan, sebanyak 20%
peternak menggunakan metode whole hand, 30% peternak menggunakan metode
strip hand, dan 50% peternak menggunakan metode kombinasi antara strip hand
dan whole hand. Teknik pemerahan whole hand dapat menghasilkan susu lebih
banyak, mengurangi pencemaran mikroorganisme, dan mengurangi perlukaan
puting. Perlukaan puting merupakan predisposisi terjadinya mastitis (Sudarwanto
1998).
Menurut Sunarko et al. (2009) ada dua cara pemerahan menggunakan
tangan yang biasa digunakan, tergantung ukuran pada kondisi puting besar atau
puting kecil dan pendek.
1. Pemerahan dengan seluruh jari tangan (whole hand)
Biasanya dilakukan pada ambing yang mempunyai bentuk puting panjang
dan besar. Pemerahan dilakukan dengan cara puting dipegang antara ibu jari
dengan jari telunjuk pada pangkal puting menekan dan meremas pada bagian
atas, sedangkan ketiga jari yang lain meremas bagian tubuh puting secara
berurutan, hingga susu memancar keluar dan dilakukan sampai susu dalam
ambing habis.
30
2. Pemerahan dengan dua jari sambil menarik puting (strip methode)
Cara ini sering dilakukan pada sapi-sapi yang mempunyai bentuk puting
kecil yaitu dilakukan dengan memijat puting oleh ibu jari dan jari telunjuk
pada pangkal puting dan diurutkan ke arah ujung puting sampai susu
memancar keluar.
Berdasarkan kedua metode tersebut, maka pemerahan dengan seluruh jari
tangan adalah yang terbaik. Pemerahan dengan cara ini mudah untuk dilakukan
dan tidak merusak bentuk puting, tidak perlu menggunakan minyak untuk
memperlicin pemerahan. Kebanyakan peternak lebih menyukai teknik strip
methode dengan alasan lebih nyaman dan mudah dalam pengerjaannya, namun
cara ini lebih sering menimbulkan perlukaan ambing yang dapat berdampak
terjadinya mastitis.
Sebanyak 90% responden menggunakan bahan pelicin pada saat memerah,
dan 10% responden tidak menggunakan bahan pelicin pada saat memerah. Hampir
seluruh peternak menggunakan vaselin atau mentega dengan alasan untuk
mempermudah pemerahan. Penggunaan vaselin sebagai alat pelicin dan
digunakan secara bersama-sama untuk semua sapi pada peternakan merupakan
faktor predisposisi munculnya mastitis subklinis, selain itu vaselin atau pelicin
merupakan sumber kontaminasi khususnya cendawan. Hidayat et al. (2002), yang
diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama pemerahan jangan menggunakan
vaselin karena vaselin akan menutupi permukaan puting, bila terus menerus
menggunakan pelicin (vaselin), penularan penyakit sulit dihindari. Delapan puluh
persen (80%) responden melakukan pemerahan susu secara acak, sedangkan 20%
responden memerah susu dari sapi sehat ke sapi yang sakit. Pemerahan yang baik
adalah memerah sapi dari yang sehat ke sakit, agar tidak terjadi infeksi silang dari
sapi sakit ke sehat yang menyebabkan sapi sehat menjadi sakit.
Sebelum pemerahan perlu melakukan pembersihkan kandang, memandikan
sapi, membersihkan ambing dan penyediaan sarana pemerahan. Setelah kegiatan
tersebut dilakukan pemerahan awal yaitu dengan mengeluarkan 1-2 pancaran susu
untuk mengetahui adanya perubahan pada susu dan merangsang pengeluaran susu.
Pemerahan harus dilaksanakan dua kali sehari untuk mencegah mastitis, setelah
selesai memerah puting pada ternak harus langsung disucihamakan dengan
31
menggunakan larutan disinfektan. Kemudian susu disaring dari ember pemerahan
ke milkcan untuk membersihkan susu dari bulu atau kotoran yang masuk kedalam
susu (DITJENNAK 2012).
Manajemen Kesehatan
Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi
perah. Manajemen kesehatan sapi perah di peternakan pemasok susu segar
industri keju tersaji dalam Tabel 5.
Tabel 5 Manajemen kesehatan dan pemeliharaan sapi perah di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju
Variabel Jumlah (%)
Memisahkan sapi yang sedang sakit 2 20
Memisahkan sapi yang sedang bunting 1 10
Memisahkan sapi yang baru datang 1 10
Kepadatan ternak (Baik) 10 100
Manajemen kesehatan sapi perah termasuk faktor yang sangat berkaitan
dengan kejadian penyakit pada peternakan sapi perah. Mayoritas (80%) responden
tidak melakukan pemisahan sapi yang sedang sakit. Sapi yang sedang sakit
biasanya akan diobati oleh paramedis atau dokter hewan, namun kebanyakan
peternak mengobati sendiri dengan ilmu yang telah didapat secara turun-temurun.
Menurut Tim Penyuluh (2000) menyatakan bahwa pengendalian penyakit perlu
dilakukan dengan vaksinasi secarta berkala, pemisahan dan pengobatan bagi sapi
yang sakit, agar sapi yang sehat tidak tertulari mikroorganisme dari sapi yang
sakit.
Sembilan puluh persen (90%) responden tidak memisahkan sapi yang
sedang bunting dengan sapi tidak bunting. Pemisahan sapi yang sedang bunting
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keguguran. Menurut Gunawan et al.
(2011) tindakan pencegahan terhadap keguguran antara lain:
1. Pengelolaan sapi dengan pemisahan kandang per individu.
2. Hindari lantai kandang yang licin.
32
3. Hindari sapi bunting makan pakan beracun atau pakan berkadar estrogen
tinggi.
4. Dilakukan vaksinasi terutama pada sapi berumur 4-6 bulan.
Sapi yang baru datang hendaknya dikarantina pada suatu kandang terpisah,
dengan tujuan untuk memonitor adanya gejala penyakit tertentu yang tidak
diketahui pada saat proses pembelian. Hampir semua (90%) responden tidak
melakukan pemisahan sapi yang baru datang. Hal ini memungkinkan terjadinya
perpindahan penyakit dari sapi baru ke sapi lama atau sebaliknya.
Seluruh responden (100%) kepadatan ternaknya baik. Populasi sapi dalam
satu kandang yang terlalu padat (overcrowding) meningkatkan tingkat
kontaminasi dan mempengaruhi tingkat kebersihan kandang secara umum. Bakteri
koliform sebagai salah satu dari penyebab diare yang paling umum membutuhkan
feses untuk memperpanjang siklus perkembangbiakannya. Kepadatan populasi
sapi dalam satu kandang yang tinggi mempermudah proses infeksi oleh bakteri
koliform (Wibowo 1992).
Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air
Air memegang peranan penting dalam mewujudkan sanitasi peternakan
yaitu untuk minum, mandi, dan mencuci, maka diperlukan air bersih dan sehat
dalam jumlah cukup. Air yang digunakan untuk mencuci peralatan, minum dan
mandi sapi berasal dari sumur bor dan disalurkan melalui pipa paralon ke
kandang. Di kandang, air ditampung pada bak penampung yang terbuat dari
plastik. Gambaran sanitasi peralatan pemerahan dan air tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Sanitasi peralatan dan air di peternakan sapi perah pemasok susu segar industri keju
Variabel Jumlah (%)
Sumber Air (Sumur) 10 100
Kecukupan air Tersedia terus menerus 6 60 Kurang 4 40
Frekuensi pembersihan tempat pakan dan minum Setiap hari 2 20 Dua hari sekali 5 50 Dua kali per hari 3 30
Membersihkan peralatan tanpa sabun 7 70
Membersihkan peralatan tanpa disinfektan 9 90
33
Seratus persen (100%) responden menyatakan bahwa air yang digunakan
untuk pemeliharaan sapi perah berasal dari sumur. Sebanyak 60% responden
memiliki kecukupan air terus menerus, dan 40% responden kecukupan airnya
kurang. Sapi perah yang sedang laktasi memerlukan tingkat kebersihan yang lebih
baik agar susu yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik pula. Terutama
pada waktu akan mengadakan pemerahan, kandang dan peralatan harus
dibersihkan terlebih dahulu sebab susu mudah sekali menyerap bau-bauan dan
terkontaminasi oleh mikroorganisme. Alasan ini yang menyebabkan diperlukan
air yang cukup banyak untuk penyediaan air minum, memandikan sapi,
membersihkan kandang dan peralatan pemerahan (Sunarko et al . 2009).
Sebagian (50%) responden membersihkan tempat pakan dan tempat minum
setiap dua hari sekali. Kebersihan tempat pakan dan minum juga dapat
mempengaruhi tingkat pencemaran mikroorganisme penyebab penyakit pada sapi
perah, hal ini disebabkan oleh mikroorganisme dapat tumbuh subur pada daerah
yang tidak bersih, dan menyebar sangat cepat. Sebaiknya pembersihan tempat
pakan dan minum dilakukan dua kali sehari, untuk mencegah berkembangnya
mikroorganisme patogen.
Seluruh responden (100%) membersihkan peralatan perah setiap hari.
Mayoritas (70%) responden tidak menggunakan sabun dalam membersihkan
peralatan perah. Kebersihan peralatan yang dipakai khususnya ember penampung
hasil perahan sangat mempengaruhi kebersihan dan kesehatan susu. Peralatan
yang kotor akan mencemari susu sehingga mempercepat proses pembusukan, dan
susu menjadi asam atau rusak. Dengan demikian ember untuk menampung susu
harus benar-benar bersih dan higienis (Handayani & Purwanti 2010).
Sebanyak 90% responden tidak menggunakan disinfektan dalam
membersihkan peralatan perah. Peternak di lapangan kebanyakan tidak pernah
menggunakan disinfektan, hal ini disebabkan pemikiran peternak tentang residu
yang dihasilkannya atau bau disinfektan yang akan mencemari susu. Disinfektan
dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati.
34
Tingkat Pengetahuan Responden
Pengetahuan mengenai mastitis subklinis dapat digunakan untuk mengetahui
manajemen pemeliharaan (sanitasi air dan peralatan, sanitasi kandang, kesehatan
dan pemeliharaan hewan, serta pemerahan susu) yang dilakukan oleh peternak,
hal ini disebabkan oleh mastitis subklinis biasanya sangat dipengaruhi oleh
manajemen pemeliharaan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa responden
yang memiliki indeks pengetahuan mastitis subklinis tergolong “baik” (skor 79-
100%), yakni 40%. Sedangkan responden yang memiliki indeks pengetahuan
“cukup” (skor 56-78%), dan “kurang” (skor <56%) masing-masing sebesar 20%,
dan 40% (Tabel 7).
Tabel 7 Pengetahuan responden terhadap mastitis
Indeks pengetahuan Jarak skor
Jumlah (%)
Baik 79-100% 4 40
Cukup 56-78% 2 20
Kurang <56% 4 40
Pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi perah
merupakan bagian yang penting untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi.
Peternak rakyat umumnya memelihara sapi perah berdasarkan pengetahuan dari
orang tuanya, penyuluhan dari dinas terkait dan informasi dari koperasi atau
dengan cara memperhatikan pemeliharaan yang dilakukan oleh sesama peternak.
Pengetahuan, sikap dan praktik seharusnya berjalan sinergis karena
terbentuknya perilaku baru akan dimulai dari pengetahuan yang selanjutnya akan
menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap dan akan dibuktikan dengan
adanya tindakan atau praktik agar hasil dan tujuan menjadi optimal sesuai yang
diharapkan. Akan tetapi, pengetahuan dan sikap tidak selalu akan diikuti oleh
adanya tindakan atau praktik (Notoatmodjo 2007).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui
tentang mastitis, namun tidak semua responden mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan mastitis. Oleh karena itu sangat diperlukan penyuluhan disertai
peragaan tentang faktor-faktor yang menyebabkan mastitis, misalnya cara
35
membersihkan peralatan pemerahan, penanganan susu setelah diperah, dan
pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat veteriner.
Praktik Manajemen Pemeliharaan
Praktik manajemen pemeliharaan yang diamati dalam penelitian kali ini
adalah sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan,
tatalaksana pemerahan, serta manajemen kesehatan. Hasil pengamatan
memperlihatkan bahwa responden yang memiliki praktik manajemen
pemeliharaan tergolong “baik” (skor >49), yakni 10%. Sedangkan responden yang
memiliki praktik manajemen pemeliharaan “cukup” (skor 42-48), dan “kurang”
(skor <41) masing-masing sebesar 30%, dan 60% (Tabel 8).
Tabel 8 Praktik manajemen pemeliharaan
Tingkat praktik Skor Jumlah (%)
Baik >49 1 10
Cukup 42- 48 3 30
Kurang <41 6 60
Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa mayoritas praktik
manajemen pemeliharaan responden tergolong kurang. Hal ini dapat disebabkan
oleh peternak kurang memperhatikan mengenai manajemen pemeliharaan yang
baik dan benar, meliputi sanitasi kandang dan lingkungan, sanitasi air dan
peralatan pemerahan, tata laksana pemerahan, serta manajemen kesehatan.
Hasil Uji Mastitis Subklinis dengan Metode Tidak Langsung IPB-1 Mastitis
Salah satu ancaman penyakit yang menghambat populasi dan produktivitas
ternak sapi di Indonesia adalah mastitis. Mastitis adalah peradangan jaringan
interna ambing atau mamae, mastitis dibagi menjadi subklinis dan klinis, mastitis
subklinis ditandai dengan kenaikan jumlah sel somatis (>400 000/ml) (Lukman et
al. 2009). Kondisi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi
peternak yang berupa penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu,
kematian sapi, adanya residu antibiotik pada susu, dan meningkatnya biaya
pengobatan dan tenaga kerja.
36
Berdasarkan uji mastitis subklinis yang dilakukan seluruh responden (100%)
ternaknya positif terkena mastitis subklinis. Hal ini dapat diakibatkan karena
mayoritas responden praktik manajemen pemeliharaan (sanitasi kandang dan
lingkungan, sanitasi air dan peralatan pemerahan, manajemen kesehatan, serta
manajemen pemerahan) yang dimiliki tergolong buruk. Menurut Winarso (2008)
ada tiga faktor utama penyebab terjadinya mastitis yang dikenal sebagai tiga
biosistem yaitu ternak sapi (bangsa sapi, sifat herediter, kepekaan individu
ternak), lingkungan (pengelolaan oleh manusia, pakan, dan iklim), dan agen
penyebab (misalnya bakteri), serta pemerahan yang tidak tuntas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh peternak melakukan
pembuangan kotoran open dumping, pembuangan limbah yang dilakukan secara
open dumping berisiko menimbulkan mastitis subklinis, karena lingkungan
kandang menjadi kotor sehingga mikroorganisme akan menjadi tumbuh subur dan
dapat bermigrasi ke kandang. Hal tersebut juga memungkinkan terjadinya
kontaminasi pada air yang digunakan untuk membersihkan ambing, sehingga
mikroorganisme penyebab mastitis dapat menyebar ke semua populasi sapi yang
ada di kandang.
Menurut Sutarti et al. (2003) sumber air berasosiasi positif terhadap kejadian
mastitis subklinis, artinya semakin baik kualitas air yang digunakan maka risiko
terkena mastitis subklinis akan semakin kecil. Sumber air yang digunakan oleh
peternak (100%) berasal dari sumur, kandungan mikroorganisme air sumur lebih
sedikit daripada air sungai karena telah melewati proses peresapan oleh tanah
yang dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme. Kejadian mastitis subklinis
yang tinggi kemungkinan disebabkan akibat ketersediaan air yang kurang,
sehingga kebutuhan air untuk memandikan sapi, mencuci ambing, dan mencuci
peralatan pemerahan sangat terbatas.
Kualitas susu yang dihasilkan dipengaruhi oleh kesehatan ternak. Sapi perah
yang menderita penyakit menular dapat memindahkan penyakitnya ke manusia
melalui susu. Oleh karena itu, tata laksana yang baik sangat diperlukan untuk
mencegah hal tersebut. Kasus mastitis subklinis dapat dicegah dengan melakukan
terapi kering kandang, namun dari hasil observasi diperoleh informasi tidak semua
sapi dilakukan terapi kering kandang. Hal ini berarti pada kebuntingan tujuh bulan
37
ke atas sapi tidak diberikan antibiotik atau pengobatan pada masa kering kandang,
dan hal ini sangat berisiko menimbulkan mastitis subklinis. Manajemen
pemerahan yang dilakukan secara tidak benar akan mengakibatkan jumlah susu
yang keluar berkurang, dan bila pemerahan dilakukan tidak sampai habis akan
berakibat ambing mudah mengalami peradangan (mastitis).
Hasil observasi yang dilakukan di lapangan memperlihatkan mayoritas
peternak tidak membersihkan wadah penampung susu dengan disinfektan dan
peralatan susu hanya dibersihkan dengan air. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan kejadian mastitis karena mikroorganisme patogen dapat tumbuh
subur. Penggunaan pelicin juga merupakan predisposisi terjadinya mastitis.
Hidayat et al. (2002), yang diacu dalam Akilah (2008) menjelaskan selama
pemerahan tidak diperbolehkan menggunakan vaselin karena vaselin akan
menutupi permukaan puting, bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin),
penularan penyakit sulit dihindari.
Responden dalam penelitian ini merupakan peternak pemasok susu segar
industri keju, sehingga apabila sapi terkena mastitis subklinis akan menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas susu. Hal ini berdampak terhadap
produksi keju yang dihasilkan. Rendahnya kualitas susu pada umumnya
disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri terutama bakteri patogen. Jumlah
bakteri yang meningkat dapat disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan yang
buruk, peralatan yang kurang bersih, kandang yang kotor, dan higiene pemerahan
yang buruk.
Susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis akan mengalami perubahan
fisik. Perubahan yang terjadi pada susunan susu tersebut dapat menyebabkan
pecahnya susu saat dipanaskan atau rasa susu menyingkir (tidak normal) (Lukman
et al. 2009). Banyak penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui dampak
mastitis subklinis terhadap kualitas susu dan produk olahannya seperti keju.
Menurut Klei et al. (1998) diacu dalam Mazal et al. (2007) hasil keju yang
diperoleh dengan susu positif mastitis subklinis menjadi berkurang kualitasnya.
Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang dapat menentukan secara
tepat berapa jumlah sel somatis yang dapat menyebabkan perubahan pada keju.
Jumlah sel somatis yang tinggi menyebabkan penurunan jumlah kasein yang
38
merupakan bahan utama keju. Jumlah sel somatis yang tinggi juga dapat
menyebabkan penurunan usia susu dan peningkatan kelembaban keju. Setiap
kenaikan 100 000 jumlah sel somatis/ml akan memiliki dampak negatif pada keju
(NMC 1991). Menurut Barbano et al. (1991) peningkatan jumlah sel somatis
dapat menyebabkan peningkatan waktu koagulasi keju dan penurunan tingkat
kekerasan keju. Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa mastitis
subklinis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatis dapat
menyebabkan penurunan kualitas keju.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Manajemen Pemeliharaan
Pada bagian ini akan dibahas kekuatan hubungan atau korelasi antara
karakteristik responden (umur, pendidikan, lama beternak, pengalaman
mendapatkan penyuluhan atau pelatihan) dan pengetahuan mengenai mastitis
subklinis terhadap praktik manajemen pemeliharaan.
Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen pemeliharaan dari
peternak
Peubah Koefisien korelasi
Karakteristik peternak Umur Pendidikan Lama beternak Pengalaman mendapatkan penyuluhan atau pelatihan
Pengetahuan
0.891
0.199
0.731*
0.884*
0.252
Keterangan: *)nyata pada taraf (α<0.05)
Para peternak umumnya kurang memiliki bekal mengenai praktik
manajemen pemeliharaan yang baik dan benar sehingga berpengaruh buruk
terhadap usaha pengembangan ternak. Peternak harus dapat menggabungkan
kemampuan tata laksana yang baik, besarnya peternakan, sapi-sapi yang
berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk
hijauan dan pemasaran yang baik untuk meningkatkan usaha peternakan yang
dimiliki.
39
Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa umur tidak berhubungan dengan praktik
manajemen pemeliharaan. Hasil ini bertentangan dengan pendapat Havighurst
(1974) yang diacu dalam Nurliana (1999) menyatakan bahwa terdapat periode
sensitif dari umur seseorang untuk belajar pada umur tertentu. Hal ini
menunjukkan adanya kaitan antara umur seseorang dengan kemampuan
intelektualnya karena umur seseorang berkaitan erat dengan wawasan yang
dimiliki. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara umur dengan praktik
manajemen pemeliharaan, hal ini disebabkan peternak dengan usia muda yang
seharusnya lebih dapat menerima informasi lebih banyak, namun peternak tidak
pernah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan sehingga informasi tidak
didapatkan, dan lebih berpedoman terhadap pengetahuan yang diberikan secara
turun-temurun. Hal ini menyebabkan kemampuan praktik manajemen
pemeliharaan yang dimiliki masih kurang.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan
dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan kata lain, pendidikan yang
dimiliki oleh peternak sebagai responden bukan merupakan variabel diskriminatif
yang dapat menunjukkan perbedaan praktik manajemen pemeliharaan antara
individu. Menurut Lionberger (1960) diacu dalam Nurliana (1999) hubungan
antara jumlah tahun sekolah dan adopsi praktik peternakan ada secara tidak
langsung, kecuali pada kasus dimana seseorang mempelajari khusus tentang
praktik baru tersebut di sekolah. Pendidikan responden tidak berhubungan nyata
dengan praktik manajemen pemeliharaan karena pendidikan yang dimiliki tidak
berkaitan dengan manajemen pemeliharaan, atau para peternak yang
berpendidikan rendah lebih banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan
mengenai praktik manajemen pemeliharaan yang baik dan benar atau sebaliknya.
Lama beternak responden dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu rendah
(1-5 tahun), sedang (5-10 tahun), dan tinggi (>10 tahun). Hasil penelitian
memperlihatkan terdapat korelasi positif yang signifikan antara lama beternak
responden dengan praktik manajemen pemeliharaan. Dengan demikian, terdapat
kecenderungan bahwa semakin lama responden beternak, maka praktik
manajemen pemeliharaan yang dimiliki oleh peternak akan semakin tinggi pula.
Hal ini seperti yang dikemukakan Mosher (1981) diacu dalam Nurlina dan Alim
40
(2009) bahwa manusia dapat belajar dari pengalamannya, demikian pula peternak
dapat belajar dari pengalaman beternak pada masa yang lalu. Dalam konteks
penelitian ini, pengalaman dapat menjadi media proses pembelajaran yang efektif
dalam menumbuhkan praktik manajemen pemeliharaan.
Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan non formal yang
ditunjukkan dengan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan. Terdapat
korelasi signifikan antara pengalaman mendapatkan penyuluhan dan pelatihan
dengan praktik manajemen pemeliharaan sapi perah dalam penelitian ini. Dengan
kata lain, semakin banyak penyuluhan yang pernah diikuti responden semakin
baik praktik manajemen pemeliharaan sapi perah. Penyuluhan dapat merubah
perilaku (pengetahuan, sikap, dan praktik) seseorang untuk menghadapi
permasalahan yang ada, sehingga dengan adanya penyuluhan dan pelatihan
diharapkan dapat menambah pengetahuan peternak mengenai manajemen
peternakan yang baik dan benar dan menerapkannya dalam kehidupan nyata
untuk meningkatkan produktivitas ternak (Sembada 2012).
Penelitian ini memperoleh data bahwa pengetahuan dan praktik manajemen
pemeliharaan tidak berhubungan nyata. Peternak umumnya memiliki pengetahuan
yang cukup memadai mengenai syarat-syarat pemerahan yang baik, meliputi
pemeriksaan terhadap penyakit, kesehatan ternak, kebersihan sapi yang akan
diperah, namun dalam sehari-hari kebanyakan kegiatan pemerahan tidak sesuai
dengan faktanya. Peternak mengetahui tentang mastitis subklinis dan cara
pengendaliannya, namun dalam kehidupan nyata faktor-faktor yang dapat
menyebabkan mastitis subklinis tidak dihindari sehingga kasus mastitis subklinis
tetap tinggi.
41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data bahwa mayoritas responden
berpendidikan SD dan SMP (70%), memiliki pengalaman beternak 1-5 tahun dan
>10 tahun (80%), serta berumur 30-50 tahun (80%), namun hanya 50% peternak
yang pernah mendapatkan pelatihan dan penyuluhan. Seluruh ternak dari peternak
pemasok susu segar industri keju ditemukan positif menderita mastitis subklinis.
Tingkat praktik manajemen pemeliharaan mayoritas responden tergolong
“kurang” (60%), sedangkan responden yang memiliki tingkat praktik manajemen
pemeliharaan “cukup”, dan “baik” masig-masing sebesar 30%, dan 10%. Praktik
manajemen pemeliharaan yang belum terlaksana dengan baik dipengaruhi oleh
pengalaman beternak dan penyuluhan yang pernah diperoleh oleh peternak
pemasok susu segar industri keju di Kabupaten Sukabumi.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi
praktik manajemen pemeliharaan yang belum diteliti, misalnya pembibitan
(breeding), dan pakan (feeding).
2. Perlu adanya perbaikan tatalaksana pemeliharaan terutama pada aspek
sanitasi kandang, sanitasi air dan peralatan pemerahan, manajemen
kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan. Perbaikan tersebut
diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas sapi perah dalam
menghasilkan susu dan mencegah terjadinya mastitis subklinis.
3. Perlu diadakan pembinaan dan pendampingan mengenai mastitis subklinis
dan pengendaliannya secara khusus dari instansi manapun baik itu
pemerintah, swasta, maupun dari kalangan akademisi.
4. Perlu diadakan pemeriksaan dan pengobatan secara berkala terhadap mastitis
subklinis untuk mencegah dan mengurangi kejadian mastitis subklinis.
42
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2009. Manajemen sapi perah pada peternakan rakyat. [terhubung
berkala]. http://rizqy09.student.umm.ac.id [15 Juni 2012]. Achjadi RK. 1985. Aspek reproduksi sapi perah dan pelayanan kesehatan hewan.
Di dalam: Prosiding Pertemuan Konsultasi Peternakan Sapi Perah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Salabintana, 19 November 1985. Bogor: Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sukabumi dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. hlm 47-59.
Akilah F. 2008. Evaluasi teknis pemeliharaan sapi perah rakyat di Cilumber,
KPSBU Lembang Bandung [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Aryana S. 2011. Kondisi sanitasi peralatan dan air terhadap peningkatan jumlah
total mikroorganisme susu individu- susu kandang- susu tempat pengumpul susu di peternakan Kunak Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2008.
Perkembangan populasi sapi perah. [terhubung berkala]. http:// www. BAPPENAS.go.id [21 Juli 2011].
Badran GI. 1995. Knowledge, attitude and practice the three pillars of excellence
and wisdom: a place in the medical profession. East Mediterr Health J 1:8-16.
Barbano DM, Rasmussen RR, Lynch JM. 1991. Influence of milk somatic cell
count and milk age on cheese yield. J Dairy Sci 74:369-388. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Populasi ternak 2000-2008. [terhubung
berkala]. http://www.bps.go.id [15 Juni 2012]. Budi U et al. 2006. Buku Ajar Dasar Ternak Perah. Sumatera Utara: Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Damayanti L. 2007. Pengaruh teat spray dengan menggunakan jus buah
mengkudu (Morinda citrifolia.L) dalam berbagai konsentrasi terhadap hasil uji CMT dan TPC ada sapi perah [skripsi]. Malang: Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang Baik. [terhubung berkala]. http://www.deptan.go.id [11 Juni 2012].
43
[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman teknis pengembangan budidaya sapi perah pola PMUK. [terhubung berkala]. http://www.ditjennak.deptan.go.id [10 Mei 2012].
Etgen WM, James RE, Reaves PM. 1987. Dairy Cattle Feeding and Management.
Ed ke-7. Virginia:Virginia Polytecnic Institute and State University. Gunawan et al. 2011. Petunjuk Teknis Pemulihan Usaha Tani Sapi Perah Pasca
Erupsi Merapi. Yogyakarta: Aji Kartika. Handayani KS, Purwanti M. 2010. Kesehatan ambing dan higiene pemerahan di
peternakan sapi perah desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. J Penyuluhan Pertanian 5(1):47-54.
Hariyono MB. 2006. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu pada
usaha ternak sapi perah rakyat. J Anim Agric Soc Eco 2(2):78-81. Hartono. 1992. Hubungan nilai sanitasi peternakan terhadap meningkatnya angka
kuman air susu [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
[IASA] Indonesian Agricultural Sciences Association. 2009. Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. [terhubung berkala]. http://www.iasa-pusat.org [27 Juli 2011].
Juliani R. 2011. Evaluasi teknis pemeliharaan sapi perah friesian holstein
peternakan rakyat di desa Cibeureum Cisarua Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Kartasudjana R. 2001. Modul Program Keahlian Budidaya Ternak; Teknik
Kesehatan Ternak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. [LIPTAN] Lembar Informasi Pertanian. 2000. Sanitasi kandang sapi perah.
[terhubung berkala]. http://www.deptan.go.id [20 Juni 2012]. Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2009. Pemerahan dan penanganan susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene Pangan. FKH IPB. Bogor: Kesmavet FKH IPB.
Maria A. 2012. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi seimbang serta hubungannya
dengan status gizi mahasiswa Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Mazal G, Vianna VCB, Santosa MV, Gigante ML. 2007. Effect of somatic cell
count on prato cheese composition. J Dairy Sci 90(2):630-636.
44
[NMC] The National Masitis Council. 1991. Somatic cell count, mastitis, dairy product quality, and cheese yield. [terhubung berkala]. http://www.nmconline.org/articles/sccquality.htm [13 Juli 2012].
Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta. Nurdin E. 2011. Manajemen Sapi Perah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurliana N. 1999. Hubungan antara karakteristik peternak dengan pengetahuan
mereka tentang budidaya ternak sapi perah (studi kasus di Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Nurlina L, Alim S. 2009. Respon peternakan sapi perah anggota KUD terhadap
kegiatan penyuluhan peternakan. [terhubung berkala]. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/12/respon_peternak_sapi_perah_anggota_kud.pdf [12 Juli 2012].
Nurlina L. 2004. Membentuk kepribadian mandiri peternak dalam upaya
mencapai keberhasilan usaha peternakan sapi perah melalui koperasi. [terhubung berkala]. http://www.pustaka.unpad.ac.id [10 Juni 2012].
Sauri S. 2011. Pengetahuan dan sikap mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor terhadap foodborne disease [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Safuan A. 2011. RI impor susu untuk penuhi 70 persen kebutuhan susu nasional.
[terhubung berkala]. http://www.mediaindonesia.com/ webtorial/ tanahair/ ?bar_id=MjMxMjg3 [ 26 Juni 2012].
Santosa U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta: Penebar
Swadaya. Sembada P. 2012. Kondisi pemeliharaan sapi perah di peternakan rakyat Kawasan
Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Sharif A, Umer M, Ghulam M. 2009. Mastitis control in dairy production. J Agric
Soc Sci 5(3):102-105. Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. _________. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Pr. Sudarwanto M. 1979. Pengaruh Keadaan Sanitasi Kandang Terhadap Jumlah
Bakteri dalam Air Susu Awal yang Diperah Secara Steril. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
45
_____________. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai pereaksi alternatif untuk
mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5(1):1-5. Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor: Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Sunarko C et al. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Bibit Sapi Perah. Baturraden:
BBPTU Sapi Perah Baturraden. Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab
mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. J Sain Vet 21 : 43-49.
Tim Penyuluh. 2000. Pembinaan kelompok tani ternak sapi potong dalam
menerapkan zooteknik sapta usaha beternak sapi potong [makalah]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Tristy NH. 2009. Hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu
sapi perah di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tyler DH, Ensminger ME. 1993. Dairy Cattle Science. Ed ke-4. New Jersey:
Pearson Prentice Hall. Usmiati S, Abubakar. 2009. Teknologi Pengolahan Susu. Bogor: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. [WHO] World Health Organization. 2008. A Guide to Developing Knowledge,
Attitude and Practice Surveys. Geneva:WHO. Wibawan IWT. 1998. The possibility of using vaccine to control bovine
subclinical mastitis and human neonatal infection caused by group B Streptococci. Med Vet 5:1-6.
Wibowo I. 1992. Tinjauan mastitis dan beberapa faktor predisposisinya di
Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi: suatu studi kasus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Winarso D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan
prevalensi mastitis sub klinis serta upaya peningkatan kualitas lingkungan di daerah jalur susu Malang sampai Pasuruan [tesis]. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Peternakan, Sekolah PascaSarjana UGM.
Winata F. 2011. Hubungan antara penggunaan metode breed dengan uji mastitis
IPB-1 untuk diagnosa mastitis subklinis [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
47
Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar
KUISIONER PETERNAK SAPI PERAH Wilayah Kabupaten :
Kecamatan :
Tanggal Wawancara :
Nama Enumerator :
I.Identitas Peternak Skor
1. Nama Pemilik :
2. Alamat Lengkap :
3. No. Telp/HP :
4. Umur :
5. Pendidikan terakhir :
a. SD 11
b. SMP/MTS 2
c. SMA/MAN 3
d, Perguruan tinggi (D1/D2/D3/S1) 4
6. Lama berternak :
a. < 1 tahun 1
b. 1-5 tahun 2
c. 5-10 tahun 3
d. > 10 tahun 4
7. Apakah Saudara pernah mendapat pelatihan/ penyuluhan:
a. Iya 1
b. Tidak ( Langsung ke pertanyaan no. 9) 0
8. Jika ”Ya”, siapa yang memberi pelatihan/ penyuluhan:
a. Dinas peternakan 1
b. Petugas KUD/ Paramedis 1
c. Perguruan tinggi/ Dosen 1
9. Jumlah sapi : ekor
a. Jumlah sapi laktasi : ekor
b. Jumlah sapi kering kandang : ekor
c. Jumlah pedet : ekor
d. Jumlah dara : ekor
e. Jumlah jantan : ekor
48
Skor
f. Jumlah sapi yang diambil sampel susunya : ekor
10. Rata-rata produksi susu tiap hari(L) :
11. Apakah terdapat recording(pencatatan) tentang ternak yang terkena mastitis :
a. Iya 1
b. Tidak 0
II. Kebersihan Kandang
1. Cara yang biasa Saudara lakukan untuk menjaga kebersihan halaman/ pekarangan kandang :
a. Membersihkan setiap hari 4
b. Membersihkan setiap 2 hari sekali 3
c. Membersihkan seminggu sekali 2
d. Membersihkan setiap sebulan sekali 1
2. Alas atau lantai kandang terbuat dari:
a. Semen 2
b. Tanah 1
c. Kayu atau bambu 1
d. Karpet 3
3. Cara yang biasa Saudara lakukan untuk menjaga kebersihan alas atau lantai kandang:
a. Membersihkan 1x per hari 1
b. Membersihkan 2 x per hari 2
c. Membersihkan 3 x per hari 3
4. Cara yang biasa Saudara lakukan dalam menangani kotoran ternak :
a. Ditimbun di atas permukaan tanah (open dumping) 1
b. Ditimbun pada lubang tanah (tertutup/ terbuka) 2
c. Disimpan dalam karung tertutup 3
5. Letak tempat pembuangan limbah:
a. Di samping kandang (berjarak < 15 m dari kandang) 1
b. Jauh dari kandang ( berjarak > 15 m dari kandang) 2
6. Apakah dilakukan pengolahan limbah padat ( kotoran dan sisa pakan ):
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.8) 0
7. Jika ”Ya”, bagaimana cara pengolahan limbah padat ( kotoran dan sisa pakan) yang
dilakukan:
a. Kompos 1
b. Biogas 1
49
Skor
8. Apakah dilakukan pengolahan limbah cair ( urine, air mencuci kandang) :
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.10) 0
9. Jika ”Ya”, bagaimana cara pengolahan limbah cair (urine) yang dilakukan :
a. Pupuk cair 1
10. Bagaimana keadaan ventilasi kandang:
a. Terbuka 1
b. Dikelilingi tembok setinggi 0,5 meter 2
c. Dikelilingi tembok setinggi 1,0 meter 3
III. Manajemen kesehatan dan pemeliharaan
1. Apakah sapi yang sedang sakit dipisahkan :
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.3) 0
2. Jika ”Ya”, bagaimana anda memperlakukan sapi yang sakit”
a. Diletakkan pada kandang yang terpisah dan diobati 4
b. Diletakkan pada kandang yang terpisah saja tanpa diobati 3
c. Diobati dan tetap disatukan dengan sapi yang sehat 2
d. Tidak melakukan apa-apa 1
3. Apakah sapi yang sedang bunting dipisahkan:
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.5) 0
4. Jika ”Ya”, bagaimana anda memperlakukan sapi yang sedang bunting:
a. Diletakkan pada kandang yang terpisah 2
b. Diletakkan pada tempat yang sama dengan sapi tidak bunting 1
5.Apakah sapi yang baru datang dipisahkan :
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.7) 0
6. Jika ”Ya”, bagaimana anda memperlakukan sapi yang baru datang:
a. Diletakkan pada kandang yang terpisah 2
b. Diletakkan pada tempat yang sama dengan sapi tidak bunting 1
7.Jika dilakukan pengobatan, siapa yang melakukan pengobatan:
a. Dokter Hewan/ Paramedis 2
b. Petugas dinas 2
c. Diobati sendiri 1
50
Skor
8. Bagaimana kepadatan ternak/kandang:
a. Baik (ada tempat untuk berbaring sapi) 1
b. Padat 0
IV.Kebersihan peralatan dan air
1. Air atau sumber air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari:
a. Sungai 1
b. Sumur (Mata air) 2
c. PAM 3
2. Air atau sumber air yang digunakan untuk memandikan sapi berasal dari:
a. Sungai 1
b. Sumur (Mata air) 2
c. PAM 3
3. Air atau Sumber air yang digunakan untuk mencuci peralatan berasal dari:
a. Sungai 1
b. Sumur (Mata air) 2
c. PAM 3
4. Bagaimana kecukupan air tersebut:
a. Tersedia terus menerus 3
b. Disediakan secara periodik 2
c. Kurang 1
5. Cara yang biasa Saudara lakukan untuk menjaga kebersihan tempat pakan dan tempat
minum ternak :
a. Membersihkan tempat pakan dan tempat minum ternak setiap hari 2
b. Membersihkan tempat pakan dan tempat minum ternak setiap 2 hari sekali 3
c. Membersihkan tempat pakan dan tempat minum ternak seminggu sekali 1
d. Membersihkan tempat pakan dan tempat minum ternak setiap 2 kali sehari 4
6. Cara yang biasa Saudara lakukan untuk menjaga kebersihan peralatan perah ( ember,
milkcan, saringan susu) :
a. Membersihkan 1x per hari 1
b. Membersihkan 2 x per hari 2
c. Membersihkan 3 x per hari 3
7. Apakah Saudara menggunakan sabun atau detergent untuk membersihkan
peralatan perah ( ember, milkcan, saringan susu) :
a. Iya 1
b. Tidak 0
51
Skor
8. Apakah Saudara menggunakan desinfektan untuk membersihkan peralatan perah
( ember, milkcan, saringan susu) :
a. Iya 1
b. Tidak 0
9. Jika ”Ya”, jenis desinfektan apa yang Saudara gunakan:
a. Bayclin 1
b. Sunclin 1
c. Soklin pemutih 1
d. Sanbe 1
V. Manajemen pemerahan susu
1. Cara yang biasa Saudara lakukan untuk menjaga kebersihan sapi:
a. Memandikan 1x per hari 1
b. Memandikan 2 x per hari 2
c. Memandikan 3 x per hari 3
2. Apakah saudara memandikan sapi sebelum memerah susu:
a. Iya 1
b. Tidak 0
3. Apakah Saudara mengikat ekor sapi pada saat pemerahan:
a. Iya 1
b. Tidak 0
4. Cara yang biasa Saudara lakukan dalam memerah susu :
a. Menggunakan tangan 1
b. Menggunakan mesin perah 1
5. Apakah Saudara membersihkan tangan sebelum dan sesudah memerah susu per ekor sapi:
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.7) 0
6. Jika ”Ya” bagaimana cara Saudara membersihkan tangan:
a. Memakai air saja 1
b. Memakai air dan sabun 2
7. Apakah Saudara membersihkan ambing sapi sebelum atau sesudah pemerahan:
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no.9) 0
52
Skor
8. Jika ”Ya” bagaimana cara membersihkan ambing sebelum diperah:
a. Dilap pakai tisu 3
b. Dilap pakai kain 2
c. Tidak dilap 0
d. Kadang-kadang dilap 1
9. Jika pembersihan ambing dilakukan dengan menggunakan lap, bagaimana
penggunaan lap tersebut:
a. Lap digunakan untuk per ekor sapi 3
b. Lap digunakan untuk semua sapi 1
c. 4 lap untuk 10 ekor sapi 2
10. Jika pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan, bagaimana cara
pemerahan yang dilakukan:
a. Menggunakan seluruh jari 1
b. Menggunakan dua jari 3
c. Kombinasi 2
11. Apakah dilakukan teat dipping setelah pemerahan:
a. Iya 1
b. Tidak (Langsung ke pertanyaan no 12) 0
12. Jika ”Ya” apa yang anda gunakan untuk melakukan teat dipping:
a. Iodium 1
b. Klorin 1
c. Natrium klorit 1
. 13. Apakah Saudara menggunakan vaseline pada saat pemerahan:
a. Iya 0
b. Tidak 1
14. Bagaimana urutan pemerahan yang Saudara lakukan:
a. Acak 1
b. Sehat ke sakit 2
c. Sakit ke sehat 1
d. Dari pinggir kiri ke pinggir kanan 1
e. Lain-lain, Sebutkan:..................................
15. Waktu pemerahan:
a. Pagi, pukul :........................
b. Sore, pukul :........................
53
VI. Pengetahuan
No Pernyataan Ya Tidak Tidak
tahu
1 Mastitis adalah penyakit radang ambing yang disebabkan
oleh berbagai macam kuman
2 Mastitis sub klinis adalah peradangan pada ambing tanpa
ditemukan tanda-tanda yang terlihat oleh mata pada ambing
dan susu
3 Mastitis sub klinis hanya dapat diperiksa dengan melakukan uji
laboratorium
4 Saat kering kandang merupakan saat awal kuman penyebab
mastitis menyerang ambing
5 Faktor lingkungan tidak dapat mempengaruhi terjadinya
mastitis sub klinis
6 Mastitis sub klinis banyak menimbulkan kerugian karena
adanya penurunan produksi susu
7 Kerugian akibat mastitis sub klinis lebih kecil daripada kerugian
akibat mastitis klinis
8 Mastitis sub klinis dapat menyebabkan kerugian bagi peternak
karena dapat menyebabkan masa keluarnya air susu menjadi
lebih pendek
9 Dampak negatif lainnya dari mastitis sub klinis adalah
meningkatkan biaya pengobatan dan tenaga kerja
10 Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi tidak
dapat mencegah terjadinya mastitis sub klinis
11 Pencegahan terhadap mastitis sub klinis ditempuh melalui
dipping puting sehabis pemerahan dengan antiseptik
12 Pemberian pakan yang bergizi dan berkualitas tidak dapat
menekan terjadinya mastitis sub klinis
13 Pemberian anitibiotika ke dalam puting pada masa kering
kandang dapat mencegah terjadinya mastitis sub klinis
14 Salah satu metode pencegahan mastitis subklinik adalah
melalui pemeriksaan rutin setiap bulan pada periode laktasi
normal.
15 Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah
pemerahan dengan baik dan benar tidak dapat mencegah
terjadinya mastitis sub klinis
16 Pemberian iodine dapat mengatasi terjadinya mastitis sub klinis
55
Lampiran 2. Hasil Analisis Uji Korelasi Karakteristik Peternak (Umur, Pendidikan, Lama Beternak, serta Pengalaman mendapatkan penyuluhan dan pelatihan) dan Pengetahuan dengan Manajemen Peternakan.
a. Hubungan antara pengetahuan dengan manajemen peternakan
Manajemen peternakan pengetahuan Manajemen peternakan
Pearson Correlation 1.000 .252
Sig. (2-tailed) .483 N 10 10 Pengetahuan Pearson Correlation .252 1.000 Sig. (2-tailed) .483 N 10 10
b. Hubungan antara lama beternak dengan manajemen peternakan
Manajemen Peternakan Lama Beternak
Manajemen Peternakan
Pearson Correlation 1 .731(*)
Sig. (2-tailed) .016 N 10 10 Lama Beternak Pearson Correlation .731(*) 1 Sig. (2-tailed) .016 N 10 10
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
c. Hubungan antara pengalaman mendapatkan penyuluhan dan pelatihan dengan manajemen peternakan
Manajemen Peternakan
MendapatPelatihan
Spearman's rho Manajemen Peternakan
Correlation Coefficient 1.000 .884(**)
Sig. (2-tailed) . .001 N 10 10 Mendapat Pelatihan Correlation Coefficient .884(**) 1.000 Sig. (2-tailed) .001 . N 10 10
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
56
d. Hubungan antara pendidikan dengan manajemen peternakan
Manaajemen Peternakan Pendidikan
Spearman's rho Manajemen Peternakan
Correlation Coefficient 1.000 .199
Sig. (2-tailed) . .582 N 10 10 Pendidikan Correlation Coefficient .199 1.000 Sig. (2-tailed) .582 . N 10 10
e. Hubungan antara umur dengan manajemen peternakan
Manajemen Peternakan Umur
Spearman's rho Manajemen Peternakan
Correlation Coefficient 1 .050
Sig. (2-tailed) . .891 N 10 10 Umur Correlation Coefficient .050 1 Sig. (2-tailed) .891 . N 10 10