faktor risiko lingkungan fisik kerja terhadap …
TRANSCRIPT
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN FISIK KERJA TERHADAP
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN (ISPA) PADA
PEKERJA BAGIAN MATERIAL, CUTTING DAN SEWING INDUSTRI
GARMEN P.T. X TAHUN 2013
Nurussakinah
1*), Ririn Arminsih Wulandari
2)
1)
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok 16424, Indonesia. 2)
Departemen Kesehatan Lingkungan, Gedung C Lt.2 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia.
*[email protected]/[email protected]
ABSTRAK
Industri garmen P.T. X merupakan jenis industri yang bergerak di bidang pembuatan pakaian jadi untuk
keperluan ekspor. Proses produksi industri garmen melibatkan penggunaan kapas dan bahan baku tekstil dalam
pembuatannya. Berdasarkan data Poliklinik, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
tertinggi pada tahun 2010-2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko lingkungan fisik
terhadap kejadian ISPA pada pekerja bagian material, cutting dan sewing industri garmen P.T. X. Penelitian ini
menggunakan desain studi cross sectional atau potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 102 pekerja.
Jumlah pekerja yang menderita ISPA sebanyak 39 (38,2%) dan besar rata-rata suhu, kelembaban dan
pencahayaan di area kerja sebesar 29,7o C, 69% dan 231 lux. Faktor lingkungan fisik kerja, karakteristik dan
perilaku tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada pekerja garmen. Himbauan
penggunaan APD perlu diterapkan pada pekerja garmen.
Kata kunci: Industri Garmen; Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA); Lingkungan Fisik
PHYSICAL WORKING ENVIRONMENT RISK FACTOR TOWARD ACUTE
RESPIRATORY INFECTION (ARI) TO MATERIAL, CUTTING AND SEWING
WORKERS OF P.T. X GARMENT INDUSTRY IN 2013
ABSTRACT
Garment Industry of P.T. X is an industry leading on making clothes for export. Garment Industry production
process involves cotton and textile raw materials usage. According to Policlinic Data, Acute Respiratory
Infection is a number one disease in 2010-2012. This research aims to determine physical working environment
risk factor toward acute respiratory infection to material, cutting and sewing workers of P.T. X Garment Industry.
The research uses cross sectional study design with 100 samples of workers. Number of workers infected acute
respiratory infection is 39 workers (38,2%) and average temperature, humidity, lightning at working area are
29,7o C, 69% and 231 lux. Working environment factor, characteristic and behavior are not significantly related
to acute respiratory infection case to material workers. PPE usage’s call has to be applied by garment workers.
Keywords : Acute Respiratory Infection (ARI); Garment Industry; Physical Environment
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
PENDAHULUAN
Saat ini, penyakit akibat kerja merupakan isu kompleks dimana peningkatan bahaya
kimia, fisika, biologi dan psikososial berpengaruh terhadap kesehatan pekerja. Penyakit akibat
kerja merpakan penyakit yang terjadi pada populasi yang terpajan oleh faktor-faktor risiko
dari aktivitas kerja. Berdasarkan data ILO, ada 160 juta pekerja menderita penyakit akibat
kerja di seluruh dunia tiap tahunnya. Penyakit akibat pajanan debu, khususnya debu silika,
menyebabkan kesakitan pada 10 juta pekerja di seluruh dunia (ILO, 2006).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Wang, dkk (2003) pada 429 pekerja tekstil
kapas dan 449 pekerja tekstil sutra di China tahun 1981-1996 didapatkan data cumulative
incident bissinosis dan gejala sesak napas masing-masing 24% dan 23%. Status merokok
merupakan faktor yang berubungan signifikan dengan insiden kedua masalah saluran
pernapasan tersebut. Studi cross sectional yang dilakukan oleh Joseph Mberikunashe dan
timnya pada 194 pekerja tekstil di Zimbabwe pada tahun 2006 menyebutkan prevalensi
gangguan pernapasan serius pada pekerja tersebut mencapai 27,8%, gangguan fungsi paru
mencapai 44,4% dan mengi atau wheezing mencapai 40%. Faktor yang berisiko terhadap
penyakit pernapasan akibat kerja tersebut adalah usia dan masa kerja atau rentang waktu
terpapar debu kapas dengan p<0,01, sedangkan kebiasaan merokok tidak berhubungan
signifikan dalam penelitian ini (Mberikunashe, 2010).
Mengenai dampak debu atau serat dengan penyakit pernapasan di industri garmen,
penelitian yang pernah dilakukan oleh Lu (2010) menyatakan bahwa masalah kesehatan yang
paling banyak dilaporkan adalah infeksi akibat debu dalam pabrik garmen (BWC, 2009 dalam
Lu, 2010). Senada dengan penelitian Lu (2010), hasil penelitian pada pekerja garmen di
Filiphina menyebutkan ada 70% pekerja yang pernah menderita masalah pernapasan saat
bekerja, 43% menghirup debu/serat dari benang atau bahan pakaian, 50% pekerja merasa
kesulitan bernapas karena kondisi suhu ruang kerja yang panas, 43% iritasi dari pajanan
bahan kimia, 42% pernah menderita infeksi saluran urin dan 17% penah menderita alergi
kulit (Ofreneo, 2007). Penelitian di pabrik garmen di Dhaka, Bangladesh menyebutkan dari
522 pekerja di industri garmen, 29% diantaranya menderita batuk, 28% mengaku kesulitan
bernapas, 22,5% menderita flu dan 15,1% menderita infeksi saluran pernapasan (Rahman,
2013).
P.T. X merupakan salah satu perusahaan garmen milik investor asing yang beroperasi
di wilayah Tangerang. Berdasarkan data poliklinik P.T. X tahun 2010-2012, ISPA merupakan
keluhan yang selalu menempati posisi tertinggi tiap bulannya. Tren kasus ISPA di P.T. X
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
cenderung mengalami peningkatan dari 2.104 kasus pada tahun 2010, kemudian menajdi
2.056 kasus pada tahun 2011 dan meningkat tajam hingga 2.666 kasus pada tahun 2012.
Meningkatnya kasus ISPA dari tahun ke tahun perlu mendapat perhatian serius, terutama dari
pihak manajemen perusahaan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada bagian produksi P.T. X, bagian material
atau gudang, cutting dan sewing merupakan jenis pekerjaan yang lebih berisiko terhadap
pajanan debu serat dari bahan baku kain dibandingkan dengan divisi atau bagian produksi
lainnya. Ketiga bagian pekerjaan tersebut mengharuskan pekerja kontak dengan debu serat,
baik dari debu serat potongan kain, serat benang maupun debu lainnya. Oleh karena itu, kasus
ISPA menjadi masalah yang perlu diteliti untuk mengetahui gambaran atau besaran masalah
ISPA pada pekerja di ketiga bagian tersebut dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara
faktor risiko lingkungan fisik kerja terhadap kejadian ISPA pada pekerja bagian material,
cutting dan sewing industri garmen P.T. X Tahun 2013.
TINJAUAN TEORITIS
Sistem pernapasan manusia terdiri atas hidung, laring/tenggorok, trakea, bronkus,paru-
paru dan pleura. Fungsi utama sistem pernapasan manusia adalah pertukaran oksigen (O2) dan
karbondioksida (CO2) antara alveolus, kantong udara kecil dalam paru dan sistem darah
(WHO, 2000).
Udara yang masuk melalui hidung akan disaring terlebih dahulu oleh silia di area
hidung untuk kemudian diteruskan ke tenggorokan. Setelah melewati tenggorokan, udara
masuk menuju trakea kemudian melewati bronkus kanan dan kiri, hingga akhirnya masuk ke
paru-paru. Begitu memasuki paru-paru, oksigen dalam udara yang kita hirup akan menuju
bronkiolus, dimana di lokasi tersebut terdapat kantong-kantong udara kecil atau alveolus.
Alveolus merupakan tempat berlangsungnya pertukaran udara dan gas lain dalam darah yang
mengalir melalui dinding alveolus. Oksigen diabsorbsi oleh sel darah merah dalam pembuluh
darah yang berada di dinding alveolus, untuk kemudian didistribusikan melewati jantung ke
seluruh tubuh. Darah yang berasal dari pembuluh vena merupakan darah yang kadar CO2 nya
tinggi namun O2 nya rendah. Darah kotor tersebut kembali melalui pembuluh darah paru
melewati dinding alveolus untuk mengeluarkan CO2 bersama dengan udara yang
dihembuskan oleh manusia pada saat bernapas. Untuk melindungi sistem pernapasan, semua
alur pernapasan memiliki mekanisme pertahanan sendiri. Sistem pernapasan mulai dari
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
hidung sampai bronkiolus memiliki mekanisme pertahanan berupa lapisan lendir atau mukus.
Lapisan lendir tersebut berguna untuk menjaga agar permukaan sistem penapasan manusia
tetap lembab dan juga untuk menangkap partikel-partikel di udara agar tidak mencapai
alveolus (WHO, 2000).
Debu di tempat kerja didefinisikan sebagai partikulat padat yang berada di tempat
kerja dengan diameter berukuran 0.1–25 µm (Lestari, 2009). Jika debu tersebut berada di
udara, maka disebut dengan suspended particulate matter (SPM). Ukuran partikel sangat
menentukan sejauh mana partikel tersebut dapat memasuki sistem pernapasan dan
menimbulkan efek pada paru-paru. Ukuran partikel erat kaitannya dengan massa partikel
tersebut. Semakin kecil ukuran partikelnya, tentu semakin kecil pula massanya. Efek partikel
pada kesehatan manusia bergantung pada lokasi dimana partikel tersebut mengendap dan pada
toksisitas dan reaktivitas agen kimia yang terkandung didalamnya. Semakin besar ukuran
partikel, semakin banyak substansi yang dibawanya (WHO, 2000).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau
bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan,
tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Pedoman
WHO mendefinisikan ISPA sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia, dimana timbulnya gejala
berlangsung cepat, yaitu dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi
demam, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, sesak napas dan mengi atau kesulitan bernapas
(WHO, 2007).
Bakteri merupakan penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan bakteri
jenis Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat
dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Patogen yang paling sering menyebabkan
ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri (WHO, 2007 dan Lubis, 1986).
Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor (WHO, 2007) yaitu:
1. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan kondisi lingkungan (misalnya, polutan
udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur);
2. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk
mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan,
kapasitas ruang isolasi);
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
3. Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi,
status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan
oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum; dan
4. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi, dan jumlah atau
dosis mikroba (ukuran inokulum).
Faktor risiko ISPA terdiri atas faktor karakteristik pekerja, lingkungan fisik kerja dan
lingkungan fisik rumah. Karakteristik pekerja terdiri dari usia kerja, jenjang pendidikan, status
gizi, lama kerja, jenis pekerjaan, penggunaan APD dan kebiasaan merokok. Faktor
lingkungan fisik kerja terdiri atas variabel suhu, kelembaban dan pencahayaan. Ketiga
komponen tersebut dapat mempengaruhi faktor risiko ISPA lainnya (agent kimia dan biologi),
sedangkan faktor lingkungan fisik rumah dapat berupa jenis atap, lantai dan dinding rumah
serta keberadaan asap rokok dalam rumah.
Berdasarkan dokumen UPL-UKL P.T. X tahun 2008, Industri garmen merupakan jenis
industri yang melakukan kegiatan pengolahan dari bahan mentah menjadi produk jadi yang
siap digunakan konsumen (ready to wear). Proses produksi garmen dimulai dari diterimanya
order dari buyer yang dilanjutkan dengan pembuatan disain serta pembelian bahan baku.
Proses produksi pakaian garmen dimulai dari pemilihan bahan, kemudian pemotongan bahan
(cutting), penjahitan bahan (sewing), pemasangan aksesoris atau pelengkap pakaian
(finishing), penyetrikaan (ironing) dan pengemasan (packaging).
Hazard fisik pada industri garmen berupa suhu, kelembaban dan pencahayaan. Zona
suhu yang dapat diterima dan nyaman bagi pekerja berdasarkan Kepmenkes No.1405 Tahun
2002 berkisar antara 18oC hingga 30
o C. Kadar kelembaban yang diperbolehkan pemerintah
pada lingkungan industri berkisar antara 65%-95%, sedangkan persyaratan intensitas
pencahayaan bergantung pada jenis pekerjaan tertentu. Material atau gudang harus dilengkapi
dengan pencahayaan minimal 100 lux, sedangkan pekerjaan cutting yang melibatkan mesin
dan pekerjaannya dilakukan terus menerus intensitas cahaya ruangan tersebut minimal 200
lux. Pekerjaan menjahit atau sewing yang menuntut ketelitian tinggi bagi pekerjanya
membutuhkan intensitas cahaya minimal 500 lux.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional. Desain studi cross-sectional
adalah desain studi yang bertujuan untuk menilai besaran masalah atau prevalensi suatu
outcome atau efek dan menguji hubungan antara outcome tersebut dengan faktor risikonya
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu yang
bersamaan (Friis, 2012 dan Notoadmojo, 2010).
Peneliti melakukan penelitian di industri garmen P.T. X di daerah Tangerang.
Penelitian dilakukan selama 2 minggu pada bulan Juni 2013 pada hari kerja senin-jumat pukul
09.00-16.00 WIB dan hari sabtu pukul 09.00-15.00 WIB.
Jumlah seluruh karyawan atau pekerja yang bekerja di industri garmen P.T. X ada
1.394 orang. Namun, populasi dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pekerja yang bekerja
dibagian material atau gudang, cutting dan sewing. Ketiga bagian itu dipilih karena ketiganya
sama-sama memiliki risiko lebih tinggi terhadap pajanan debu serat kain dibandingkan bidang
lainnya. Total pekerja yang bekerja diketiga bagian tersebut ada 811 orang. Berdasarkah hasil
perhitungan proporsi masing-masing jenis pekerjaan, maka jumlah sampel minimal yang
diperlukan dari divisi material sebanyak 2 orang, cutting sebanyak 9 orang dan sewing
sebanyak 89 orang. Jumlah sampel yang didapat di lapangan sebanyak 102 orang, terdiri dari
3 orang divisi material, 10 orang divisi cutting dan 89 orang divisi sewing.
Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan alat
thermohygrometer digital, pengukuran pencahayaan dengan menggunakan alat luxmeter
digital tipe AR832, penegakan diagnosa ISPA dengan pemeriksaan kesehatan oleh tenaga
kesehatan poliklinik P.T. X dan faktor risiko lainnya dengan menggunakan instrumen
kuesioner. Penentuan titik atau lokasi pengukuran suhu, kelembaban dan pencahayaan
mengacu pada ketentuan SNI 16-7062-2004 tentang pengukuran intensitas pencahayaan di
tempat kerja. Area kerja industri garmen P.T. X yang akan diukur adalah area material atau
gudang, cutting dan sewing. Luas area kerja bagian material adalah 294 m2, bagian cutting
seluas 724 m2 dan bagian sewing seluas 2.160 m
2. Berdasarkan perhitungan, jumlah titik
pengukuran di area material sebanyak 8 titik, area cutting sebanyak 20 titik dan sewing
sebanyak 60 titik. Berikut denah pengambilan sampel di P.T. X.
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
Gambar 1. Denah Lokasi Pengukuran Lingkungan Fisik Area Kerja Industri Garmen P.T. X (SNI 16-7062-2004)
Sumber: Dokumen UPL-UKL Industri Garmen P.T. X Tahun 2008
HASIL PENELITIAN
Hasil pemeriksaan kesehatan pada pekerja di industri garmen P.T. X menunjukkan
sebanyak 63 orang pekerja tidak menderita ISPA (61,8%) sedangkan sisanya 39 orang
(38,2%) menderita ISPA (Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Kesehatan Pekerja Bagian Material, Cutting dan
Sewing Industri Garmen P.T. X Tahun 2013
Hasil Pemeriksaan Kesehatan Jumlah (N) Persentase (%)
ISPA 39 38,2
Tidak ISPA 63 61,8
Total 102 100,0
Berdasarkan hasil pengukuran suhu, kelembaban dan pencahayaan di ruang kerja
material, cutting dan sewing, rata-rata suhu tertinggi ada di area kerja sewing (29,9o C). Ruang
kerja cutting memiliki kadar kelembaban tertinggi sebesar 74%, sedangkan intensitas
pencahayaan tertinggi ada di ruang kerja sewing sebesar 231 lux. Besar rata-rata suhu ruang
kerja secara keseluruhan sebesar 29,7o C, sedangkan kadar kelembaban dan pencahayaan
masing-masing sebesar 69% dan 219 lux (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil Pengukuran Rata-rata Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan di Ruang Kerja Bagian
Material, Cutting dan Sewing Industri Garmen P.T. X Tahun 2013
Lokasi Pengukuran Suhu (o C) Kelembaban (%) Pencahayaan (lux)
Bagian Material 28,6 73 46
Bagian Cutting 29,0 74 155
Bagian Sewing 29,9 69 231
Rata-rata 29,7 69 219
Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada karakteristik pekerja, distribusi berdasarkan
kelompok usia menunjukkan bahwa pekerja yang termasuk kategori kelompok usia kerja
dewasa atau minimal 25 tahun keatas (≥25 tahun) ada 90 orang (88,2%), sedangkan usia kerja
remaja atau pekerja yang berusia kurang dari 25 tahun (<25 tahun) ada 12 orang (11,2%).
Kemudian, dari total 102 responden yang diwawancara, mayoritas pekerja berjenis kelamin
perempuan, yaitu sebanyak 97 orang (95,1%) sedangkan pekerja yang berjenis kelamin laki-
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
laki hanya 5 pekerja (4,9%). Untuk jenjang pendidikan, ada 24 pekerja (23,5%) yang tidak
menamatkan jenjang pendidikan SMP, sedangkan sisanya 78 orang (76,5%) sudah
menamatkan SMP. Kondisi status gizi pekerja industri garmen yang tidak normal, ada 65
pekerja (63,7%), sedangkan pekerja dengan status gizi normal hanya ada 37 orang (36,3%).
Mengenai lama kerja di P.T. X, pekerja yang sudah bekerja di industri garmen P.T. X
minimal 113 bulan atau 9,4 tahun ada 48 orang (47,1%), sedangkan sisanya bekerja kurang
dari 113 bulan atau 9,4 tahun ada 54 orang (52,9%). Berdasarkan jenis pekerjaan yang
dilakukan di industri garmen tersebut, responden yang bekerja di bagian sewing ada 89 orang
(87,3%), bagian non-sewing ada 13 orang (12,7%). Mengenai perilaku penggunaan APD saat
bekerja, ada 58 pekerja yang menggunakan APD (56,9%), sedangkan 44 pekerja lainnya
(43,1%) tidak menggunakan APD. Mengenai kebiasaan merokok pada pekerja, ada 98 orang
atau 96,1% dari total responden mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok, sedangkan
sisanya hanya 4 orang (3,9%) memiliki kebiasaan merokok (Tabel 3).
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja Bagian Material, Cutting dan Sewing Industri
Garmen P.T. X Tahun 2013
Karakteristik Pekerja Jumlah (N) Persentase (%)
Usia
≥ 25 tahun 90 88,2
< 25 tahun 12 11,8
Jenis Kelamin
Perempuan 97 95,1
Laki-laki 5 4,9
Pendidikan Dasar
Tidak tamat SMP 24 23,5
Tamat SMP 78 76,5
Status Gizi
Tidak normal 65 63,7
Normal 37 36,3
Lama Bekerja
≥ 9,4 tahun 48 47,1
< 9,4 tahun 54 52,9
Jenis Pekerjaan
Sewing 89 87,3
Non-sewing 13 12,7
Penggunaan APD Masker
Ya 58 56,9
Tidak 44 43,1
Kebiasaan Merokok
Ya 4 3,9
Tidak 98 96,1
Hasil uji statistik menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata
suhu, kelembaban dan pencahayaan di ruang kerja pada penderita yang menderita ISPA
dengan pekerja yang tidak menderita ISPA (p>0,05). Pekerja yang menderita ISPA bekerja di
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
ruang kerja dengan rata-rata suhu sebesar 29,73o C, kadar kelembaban sebesar 69,28% dan
tingkat pencahayaan sebesar 222,67 lux. Pekerja yang tidak menderita ISPA bekerja di ruang
dengan rata-rata suhu 29,66o C, kadar kelembaban sebesar 69,21% dan tingkat pencahayaan
sebesar 216,22 lux (Tabel 4).
Tabel 4 Hubungan Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan di Ruang Kerja dengan Kejadian ISPA pada
Pekerja Industri Garmen P.T. X Tahun 2013
Variabel Jumlah (N) Suhu (oC)* Kelembaban (%)** Pencahayaan (lux)***
ISPA
- Ya 39 29,73 69,28 222,67
- Tidak 63 29,66 69,21 216,22
*nilai p=0,739 **nilai p=0,855 ***nilai p=0,525
Selain faktor lingkungan fisik, faktor sosiodemografi dan perilaku pekerja juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada pekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara faktor karakteristik pekerja dengan kejadian ISPA pada
pekerja industri garmen. Usia kerja dan jenjang pendidikan terbukti tidak berhubungan
dengan kejadian ISPA secara statistik (p=0,204; p=1,000). Status gizi juga tidak berhubungan
secara signifikan (p=0,403), begitupula dengan lama kerja dan jenis pekerjaan (p=0,840;
p=0,762). Variabel penggunaan APD masker dan kebiasaan merokok juga terbukti tidak
berhubungan secara statistik terhadap kejadian ISPA (p=0,838; p=0,295), kedua varibel
tersebut merepresentasikan faktor perilaku pada pekerja industri garmen tersebut 9Tabel 5).
Persentase pekerja remaja berusia kurang dari 25 tahun yang menderita ISPA lebih
banyak (58,3%) dibandingkan dengan pekerja dewasa (35,6%), sedangkan berdasarkan
jenjang pendidikannya, penderita ISPA yang sudah menamatkan pendidikan setingkat SMP
sederajat lebih banyak (38,5%) dibandingkan dengan pekerja yang tidak menamatkan SMP
(37,5%). Berdasarkan status gizi, pekerja dengan status gizi tidak normal lebih banyak yang
menderita ISPA (41,5%) dibandingkan dengan pekerja berstatus gizi normal yang hanya
mencapai 32,4% dari total responden (Tabel 5).
Mengenai faktor risiko terkait pekerjaan, sebagian besar pekerja yang menderita ISPA
sudah bekerja di P.T. X minimal 9,4 tahun (39,6%) sedangkan pekerja yang lama kerja
kurang dari 9,4 tahun yang menderita ISPA sebanyak 37%. Berdasarkan perilaku penggunaan
APD masker, pekerja yang menggunakan APD masker lebih banyak yang menderita ISPA
(39,7%) dibandingkan dengan pekerja yang tidak menggunakan masker (36,4%). Tidak ada
perokok yang menderita ISPA dalam penelitian ini, sedangkan pekerja yang tidak merokok
dan menderita ISPA ada 38,2% (Tabel 5).
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
Tabel 5 Hubungan Karakteristik Pekerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Industri Garmen P.T. X
Tahun 2013.
Variabel
ISPA Jumlah OR
(95% CI)
Nilai
p Ya Tidak
N % N % N %
Usia Kerja
- ≥ 25 tahun 32 35,6 58 64,4 90 100,0 0,394 0,204
- < 25 tahun 7 58,3 5 41,7 12 100,0 (0,116-1,343) - Pendidikan Dasar
- Tidak tamat SMP 9 37,5 15 62,5 24 100,0 0,960 1,000
- Tamat SMP 30 38,5 48 61,5 78 100,0 (0,374-2,467) -
Status Gizi
- Tidak normal 27 41,5 38 58,5 65 100,0 1,480 0,403
- Normal 12 32,4 25 67,6 37 100,0 (0,635-3,452) -
Lama Kerja
- ≥ 9,4 tahun 19 39,6 29 60,4 48 100,0 1,114 0,840
- < 9,4 tahun 20 37,0 34 63,0 54 100,0 (0,501-2,478) -
Jenis Pekerjaan
- Sewing 35 39,3 54 60,7 89 100,0 1,458 0,762
- Non-sewing 4 30,8 9 69,2 13 100,0 (0,417-5,101) -
Penggunaan APD Masker
- Tidak 16 36,4 28 63,6 44 100,0 0,870 0,838
- Ya 23 39,7 35 60,3 58 100,0 (0,387-1,952) -
Kebiasaan Merokok
- Ya 0 0 4 100,0 6 100,0 1,661 0,295
- Tidak 39 38,2 59 61,8 98 100,0 (1,414-1,951) -
PEMBAHASAN
Penelitian ini memiliki beberapa hal yang menjadi keterbatasan selama penelitian ini
berlangsung, diantaranya faktor pemilihan desain studi, perizinan dan kondisi cuaca.
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional, sehingga tidak dapat
menggambarkan hubungan sebab-akibat atau kausalitas antara faktor risiko dengan kejadian
penyakit (outcome) dan tidak dapat menggambarkan dan meramalkan tren atau kecendrungan
suatu penyakit secara akurat. Selain itu, kendala perizinan dari pihak perusahaan dan kondisi
cuaca saat pengukuran juga berpotensi menyebabkan bias terhadap hasil penelitian ini.
Lingkungan Fisik Kerja
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/Men/1999 tentang nilai
ambang batas faktor fisika di tempat kerja, nilai ambang batas atau NAB adalah standar faktor
tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu kerja tidak melebih 8 jam sehari atau 40
jam seminggu. Berdasarkan Kepmenkes No.1405 Tahun 2002 mengenai persyaratan ksehatan
lingkungan industri, nilai ambang batas atau NAB pada iklim kerja berada pada rentang suhu
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
yang diperbolehkan untuk area industri, yaitu 18o-30
o C, sedangkan kadar kelembaban yang
diperbolehkan antara 65%-95%.
Hasil pengukuran lingkungan iklim kerja di 4 lokasi kerja di bagian material atau
gudang menunjukkan rata-rata suhu sebesar 28,6o C, kadar kelembaban sebesar 73% dan
tingkat pencahayaan sebesar 46 lux. Variabel suhu dan kelembaban di bagian material masih
memenuhi persyaratan dari Kepmenkes No.1405 Tahun 2002, sedangkan variabel
pencahayaan masih sangat jauh dari batas minimal yang ditentukan, yaitu 100 lux.
Berdasarkan wawancara dengan pekerja di bagian material, minimnya pencahayaan di ruang
material dikarenakan kebijakan perusahaan P.T. X dalam menghemat biaya pengeluaran
perusahaan. Rata-rata suhu dan intensitas pencahayaan di area material paling rendah
dibandingkan dengan area kerja lainnya. Rata-rata suhu di area kerja bagian cutting mencapai
29o C, kadar kelembaban sebesar 74% dan tingkat pencahayaan 155 lux. Suhu dan kadar
kelembaban di area kerja cutting masih memenuhi persyaratan, sedangkan tingkat
pencahayaan belum memenuhi persyaratan minimal. Berdasarkan hasil pengukuran di area
kerja sewing, suhu di ruang kerja tersebut mencapai 29,9oC, kadar kelembaban 69% dan
tingkat pencahayaan 231 lux. Variabel suhu belum melebihi ambang batas, namun sudah
berada pada ambang batas maksimal yang ditentukan pemerintah, yaitu 30oC. Kadar
kelembaban di area ini termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan area kerja lainnya.
Rendahnya kadar kelembaban di area kerja ini terkait dengan tingginya suhu ruang dan
tingkat pencahayaan di area kerja sewing.
Berdasarkan area kerja, rata-rata suhu di area kerja sewing menempati posisi tertinggi
dibandingkan dengan area kerja lainnya, yaitu sebesar 29,90
C Jika dikaitkan dengan ISPA,
persentase pekerja yang menderita ISPA di area kerja sewing juga menempati posisi paling
tinggi dibandingkan dengan area kerja lainnya, yaitu sebesar 39,3% (tabel tidak ditampilkan).
Pada kondisi rata-rata suhu mencapai 28,6oC, persentase pekerja yang menderita ISPA di area
kerja material mencapai 33,3%, sedangkan pada rata-rata suhu 29oC persentase pekerja yang
menderita ISPA di area kerja cutting mencapai 30%. Meski tidak ada hubungan yang
signifikan antara suhu dengan ISPA pada penelitian ini, namun ada kecenderungan
peningkatan suhu berbanding lurus dengan kejadian ISPA. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa area kerja sewing merupakan area kerja yang paling
berisiko terhadap kejadian ISPA.
Kelembaban tidak berhubungan signifikan dengan ISPA karena variabel kelembaban
tidak dapat lepas dari variabel lainnya seperti suhu dan juga pengaruh kondisi cuaca yang
mendung dan hujan pada saat pengukuran berlangsung. Kadar kelembaban udara yang rendah
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
dapat meningkatkan kadar partikulat atau debu di udara, sedangkan kadar kelembaban udara
yang tinggi dapat mengurangi kadar partikulat di udara. Kandungan uap air yang terkandung
dalam udara akan berikatan dengan partikulat, sehingga ukuran partikulat bertambah besar
dan akan mengendap di dasar lantai akibat gaya tarik bumi. Kadar kelembaban berbanding
lurus dengan suhu dan konsentrasi partikulat di udara (Freitas, 2009). Area kerja sewing
merupakan area kerja yang kadar kelembabannya paling tinggi, sehingga konsentrasi uap air
di udara lebih rendah dibandingkan area kerja lainnya. Rendahnya konsentrasi uap air
mempengaruhi konsentrasi partikulat di udara, karena semakin rendah konsentrasi uap air,
maka konsentrasi partikulat yang berikatan dengan uap air semakin sedikit, sehingga
konsentrasi partikulat di udara meningkat. Proporsi penderita ISPA di area kerja sewing
sebesar 39,3% dan menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan area kerja lainnya,
sedangkan kadar kelembabannya menempati posisi terendah yaitu hanya 69%. Berdasarkan
kadar kelembaban, area kerja selanjutnya yang kadar kelembabannya rendah setelah area
sewing adalah area material sebesar 73%, sedangkan area cutting memiliki kadar kelembaban
paling tinggi yaitu sebesar 74%. Proporsi penderita ISPA pada area material juga lebih tinggi
(33,3%) dibandingkan dengan area kerja cutting (30%). Berdasarkan hasil analisis tersebut,
dapat dilihat adanya hubungan negatif antara kadar kelembaban dengan kejadian ISPA,
semakin rendah kadar kelembaban suatu ruangan, semakin tinggi proporsi pekerja yang
menderita ISPA di area kerja tersebut, meskipun tidak ada hubungan yang signifikan antara
kelembaban dengan kejadian ISPA pada penelitian ini.
Area sewing merupakan area kerja dengan jumlah pekerja dan jumlah lampu paling
banyak dibandingkan area kerja lainnya. Jarak lampu dengan dasar lantai adalah 2,76 meter,
sedangkan jarak antara lampu dengan mesin jahit sebesar ± 1,5 meter. Lokasi kerja yang
berdekatan antar pekerja bagian sewing dan banyaknya jumlah lampu di area kerja tersebut
dapat memicu peningkatan suhu tubuh pekerja, sehingga dapat mempengaruhi terjadinya
peningkatan suhu di area kerja. Semakin tinggi intensitas pencahayaan, maka suhu di sekitar
area tersebut juga akan semakin tinggi dan berdampak pada meningkatnya konsentrasi
partikulat atau debu di udara. Rata-rata intensitas pencahayaan di area sewing sebesar 231 lux
dan merupakan hasil pengukuran yang tertinggi dibandingkan dengan area kerja lainnya,
begitupula dengan proporsi penderita ISPA di area ini juga menempati posisi tertinggi.
Tingkat pencahayaan paling rendah berada pada area material atau gudang, yaitu
hanya 46 lux, padahal persyaratan minimal yang harus diterapkan adalah 100 lux.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan poliklinik dan responden dari
material atau gudang, rendahnya pencahayaan di area kerja material dikarenakan perusahaan
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
sedang melakukan penghematan melalui pengurangan penggunaan energi lampu. Jumlah
lampu yang masih menyala dengan baik di area material atau gudang hanya di bagian sortir.
Bagian pengangkutan dan penyimpanan bahan baku tidak terdapat lampu yang dinyalakan
karena penghematan biaya perusahaan. Pencahayaan yang kurang di area kerja material
menyebabkan kondisi lingkungan lembab dan pengap.
Berdasarkan ketentuan Kepmenkes No.1405 Tahun 2002, rata-rata intensitas
pencahayaan di area kerja industri garmen P.T. X ini belum memenuhi persyaratan minimal
yang ditentukan untuk industri, khususnya di area kerja yang membutuhkan ketelitian tinggi
dalam proses pelaksanaan pekerjaannya, seperti cutting dan sewing. Oleh karena itu,
penggunaan lampu dengan daya yang tinggi sangat diperlukan agar dapat menghasilkan
intensitas cahaya yang lebih besar untuk memberikan efek visual yang sesuai dengan jenis
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut.
Faktor Karakteristik Pekerja
ILO menyatakan bahwa pekerja dewasa muda lebih rentan terhadap kecelakaan dan
penyakit akibat kerja karena sistem imun tubuh mereka yang belum pernah terpajan agen
penyakit di lingkungan kerja, sedangkan pada pekerja usia dewasa, sistem imun mereka telah
“berpengalaman” dalam menghadapi dan mengatasi masuknya agen-agen penyebab penyakit
(ILO, 2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori tersebut, karena proporsi penderita ISPA
lebih besar pada kelompok usia remaja atau <25 tahun (58.3%) dibandingkan dengan proporsi
penderita ISPA pada kelompok usia dewasa atau ≥25 tahun (35.6%), meski secara statistik
tidak ada hubungan yang signifikan antara usia kerja dengan kejadian ISPA.
Selain faktor usia, peran pendidikan dasar sangat penting dalam meningkatkan
pengetahuan seseorang mengenai suatu penyakit dan pencegahannya. Pengetahuan tidak
cukup untuk membuat seseorang terhindar dari risiko penyakit. Jenjang pendidikan bukan
satu-satunya faktor risiko terhadap suatu penyakit, namun ada kemungkinan faktor-faktor lain
yang ikut menentukan seseorang dalam upaya pencegahan penyakit, seperti kesadaran dan
perilaku pekerja dalam menerapkan menjaga kesehatannya.
Status gizi dapat menjadi faktor penyebab mudahnya seseorang terinfeksi suatu
penyakit akibat penurunan daya tahan tubuh. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa status gizi merupakan salah satu masalah kesehatan lain selain ISPA yang
terjadi pada pekerja garmen. Sebagian besar pekerja dengan status gizi tidak normal
dikarenakan nilai IMT>25 atau status gizi berlebih. Untuk mencegah dampak akibat gizi
berlebih seperti penyakit kardiovaskular, sebaiknya pihak manejemen dan poliklinik membuat
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
program penyuluhan terkait gizi seimbang dan mengadakan kegiatan olahraga bersama secara
rutin. Pekerja harus menerapkan pola hidup sehat dan konsumsi gizi seimbang agar status gizi
mencapai normal, terutama pekerja dengan status gizi berlebih sebaiknya mengurangi
konsumsi makanan tinggi lemak dan melakukan kegiatan olahraga secara rutin.
Lama kerja tidak berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA pada pekerja, namun,
persentase pekerja yang menderita ISPA lebih banyak pada kelompok pekerja yang sudah
bekerja di P.T. X minimal 9,4 tahun dibandingkan dengan pekerja yang lama kerjanya kurang
dari 9,4 tahun. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Yusnabeti (2010) yang
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan ISPA pada pekerja.
Lama kerja tidak berhubungan dengan kejadian ISPA karena ISPA merupakan jenis penyakit
akut yang masa inkubasinya pendek, selain itu agen penyebab ISPA bukan hanya berada di
lingkungan kerja saja, tetapi juga banyak berasal dari lingkungan tempat tinggal pekerja.
Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan (sewing dan non-
sewing) dengan kejadian ISPA pada pekerja garmen. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ganyarut (2010) pada industri garmen di Thailand. Pekerja yang
menjahit berbahan baku jenis kain katun berhubungan signifikan dengan gejala ISPA. Tidak
adanya hubungan signifikan antara jenis pekerjaan dengan ISPA kemungkinan disebabkan
kesadaran pekerja di bagian sewing yang menggunakan APD masker cukup tinggi (57,3%)
dibandingkan dengan pekerja yang tidak menggunakan APD masker (42,7%). Selain faktor
penggunaan APD masker, kemungkinan tidak adanya hubungan antara jenis pekerjaan dengan
ISPA dikarenakan konsentrasi kadar partikulat di area kerja pabrik tersebut masih dalam
jumlah yang aman untuk ditolerir oleh tubuh pekerja. Pengukuran kadar partikel atau PM10
perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi kualitas udara pabrik dan gambaran tingkat risiko
pada kesehatan pekerja.
Penggunaan APD masker pada pekerja garmen tidak berpengaruh secara signifikan
dengan kejadian ISPA. Kesadaran penggunaan APD masker pada pekerja garmen sudah
cukup baik dilihat dari jumlah pekerja yang menggunakan APD masker saat bekerja, namun,
jumlah penderita ISPA yang menggunakan APD masker saat bekerja justru lebih banyak
(39,7%) daripada penderita ISPA yang tidak menggunakan masker (36,4%). Penggunaan
APD yang kurang tepat, seperti tidak menutupi seluruh area hidung dan mulut, dan bahan
dasar APD yang terbuat dari sisa potongan bahan atau kain tekstil kemungkinan
mempengaruhi tingginya populasi pekerja pengguna APD yang terkena ISPA. Sisa bahan atau
kain tekstil dapat menjadi sumber risiko ISPA karena sisa bahan tersebut mengandung debu-
debu kapas ataupun serat-serat kain yang berterbangan selama proses produksi. Debu kapas
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
atau serat kain tersebut akan dengan mudah memasuki tubuh pekerja melalui inhalasi jika
pekerja menggunakan sisa kain tersebut sebagai masker. Untuk mengurangi faktor risiko
ISPA akibat penggunaan masker dari sisa kain jahitan, sebaiknya perusahaan kembali
menyediakan masker gratis bagi pekerja agar kejadian ISPA pada pekerja dapat ditekan.
Masker yang sebaiknya digunakan atau diberikan kepada pekerja sebaiknya masker yang
dapat mencegah terhirupnya debu kapas atau serat kain. Ukuran debu kapas bervariasi
bergantung pada hasil pengolahannya, namun, umumnya debu kapas berukuran <7-15 µm.
Berdasarkan informasi tersebut, maka sebaiknya pihak perusahaan menyediakan jenis masker
yang ukuran kerapatannya minimal 7 µm untuk mencegah debu kapas terhirup oleh pekerja,
serta terbuat dari bahan yang menyesuaikan dengan jenis pekerjaan di industri tersebut.
Merokok bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA pada pekerja garmen
P.T. X karena populasi pekerja garmen didominasi oleh pekerja perempuan. Berdasarkan
hasil penelitian, jumlah pekerja yang merokok hanya 4 orang dan tidak ada seorangpun yang
menderita ISPA. Keempat perokok tersebut mengkonsumsi rata-rata 8 batang rokok per hari
dan semuanya mengkonsumsi rokok filter. Faktor risiko ISPA tidak hanya disebabkan
kebiasaan merokok saja, tetapi juga sumber rokok di lingkungan rumah. Berdasarkan hasil
analisis mengenai adanya anggota keluarga yang merokok di rumah responden (tabel tidak
ditampilkan), ada 71 pekerja (69,6%) yang tinggal bersama anggota keluarga yang merokok
di rumah, sedangkan sisanya 31 orang (30,4%) tidak tinggal bersama anggota keluarga yang
merokok. Uji statistik menunjukkan tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan ISPA, namun, proporsi responden
yang tinggal serumah dengan perokok dan menderita ISPA lebih besar (43,7%) dibandingkan
dengan proporsi pekerja yang tidak tinggal dengan perokok yang juga menderita ISPA
(25,8%).
Faktor Lingkungan Fisik Rumah
Selain kebiasaan merokok, kondisi fisik rumah seseorang juga merupakan faktor risiko
ISPA bagi pekerja garmen P.T. X. Konstruksi rumah yang baik dapat mencegah dan
mengurangi dan mencegah kontaminasi manusia dengan agen fisik, kimia dan biologi.
Pemilihan jenis atap, lantai dan dinding rumah dapat berpengaruh pada kualitas udara dalam
ruang. Berdasarkan ketentuan PMK No.1077 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah, penggunaan atap berbahan asbes berisiko memicu kanker dan asbestosis atau
kerusakan paru permanen akibat terpajan debu asbes. Sebanyak 70 pekerja (68,6%) mengaku
atap rumah mereka berupa genteng dari tanah liat dan hanya 32 pekerja (31,4%) yang
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
menggunakan atap dari asbes. Hasil analisis menunjukkan proporsi pekerja yang atap
rumahnya terbuat dari asbes dan menderita ISPA lebih banyak (40,6%) dibandingkan dengan
penderita ISPA yang atapnya tidak terbuat dari asbes (37,1%). Pemasangan plafon atau langit-
langit juga dapat mengurangi risiko debu dari atap yang jatuh melalui sela-sela genteng.
Sebanyak 76 pekerja (74,5%) sudah menggunakan plafon pada konstruksi rumahnya,
sedangkan 26 lainnya (25,5%) tidak memasang plafon. Jenis lantai yang baik adalah lantai
yang kedap air, tidak berdebu dan bersifat permanen, seperti keramik. Sebanyak 90 pekerja
(88,2%) sudah memasang keramik pada lantai rumahnya, sedangkan 8 orang (7,8%) mengaku
lantainya masih semen dan 4 orang lainnya (3,9%) jenis lantai di rumahnya masih berupa
tanah langsung. Pekerja yang atap rumahnya terbuat dari asbes, sebaiknya memasang plafon
atau langit-langit untuk menghindari kontaminasi debu asbes pada udara dalam rumah (tabel
tidak ditampilkan).
Faktor risiko ISPA di rumah tidak hanya kondisi fisik rumah, namun juga penggunaan
bahan bakar untuk memasak dan penggunaan obat nyamuk. Berdasarkan hasil penelitian,
mayoritas pekerja (91,2%) sudah menggunakan bahan bakar gas, sedangkan sisanya masih
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Responden yang masih menggunakan kayu
bakar sebagai bahan bakar untuk memasak umumnya adalah responden yang tinggal bersama
orangtuanya. Penggunaan kayu bakar pada saat memasak dikarenakan orangtua responden
takut menggunakan kompor gas dan memang sudah terbiasa menggunakan kayu bakar (tabel
tidak ditampilkan).
Persentase penggunaan obat nyamuk pada pekerja mencapai 55,9%, sedangkan
persentase pekerja yang tidak menggunakan obat nyamuk sebesar 44,1%. Berdasarkan
analisis, proporsi pekerja yang menggunakan obat nyamuk di rumah dan menderita ISPA
lebih tinggi (38,6%) dibandingkan dengan pekerja yang tidak menggunakan obat nyamuk dan
terkena ISPA (37,8%), namun, berdasarkan uji statistik tidak ada hubungan signifikan antara
penggunaan obat nyamuk dengan kejadian ISPA. Penggunaan obat nyamuk, baik bakar
maupun semprot dapat menjadi sumber pencemar udara dalam ruang, sehingga pekerja yang
biasa menggunakan obat nyamuk lebih banyak yang menderita ISPA dibandingkan dengan
yang tidak menggunakan obat nyamuk. Jenis obat nyamuk yang digunakan responden adalah
obat nyamuk bakar sebanyak 20 orang (19,6%), obat nyamuk semprot ada 16 orang (15,7%),
obat nyamuk elektrik ada 6 orang (5,9%) dan sisanya 15 orang (14,7%) menggunakan obat
nyamuk jenis lotion (tabel tidak ditampilkan).
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, ada 39 pekerja yang menderita ISPA
(38,2%) pada pekerja bagian material, cutting dan sewing di industri garmen P.T. X. Besar
rata-rata suhu dan kadar kelembaban P.T. X masih memenuhi persyaratan Kepmenkes
No.1405 Tahun 2002, yaitu 29,7oC dan 69%, sedangkan intensitas pencahayaan sebesar 219
lux masih jauh di bawah persyaratan. Berdasarkan uji statistik, tidak ada hubungan yang
signifikan antara faktor lingkungan fisik kerja dan karakteristik pekerja dengan kejadian ISPA
pada pekerja di ketiga area kerja tersebut.
SARAN
Saran yang dapat diberikan kepada pemilik industri garmen P.T. X berdasarkan hasil
penelitian ini, antara lain melakukan pengukuran kadar debu atau PM10 secara berkala,
memasang exhaust fan di ruang kerja, menambah jumlah lampu di area material dan
mengganti lampu di area cutting dan sewing dengan lampu berdaya tinggi, memberikan
penyuluhan mengenai pola hidup sehat dan gizi seimbang serta dampak gizi berlebih pada
pekerja, serta melarang penggunaan sisa bahan atau kain tekstil sebagai masker dan
melanjutkan program pemberian masker (masker bedah) secara gratis pada pekerja. Saran
untuk pekerja industri garmen P.T. X antara lain menerapkan pola hidup sehat dan asupan gizi
seimbang, menggunakan masker yang ukuran kerapatan dan jenis bahannya sesuai untuk
melindungi saluran pernapasan dari pajanan debu di area kerja industri garmen, memasang
plafon pada atap rumah, khususnya bagi pekerja yang atap rumahnya menggunakan bahan
asbes, dan melarang anggota keluarga lain merokok di dalam rumah agar tidak mencemari
udara dalam rumah. Sedangkan saran untuk instansi terkait (BLHD, Disnaker dan Depkes)
adalah melakukan pengawasan atau monitoring terhadap status kesehatan pekerja industri
formal secara berkala, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap industri formal untuk
melakukan pengukuran dan pengendalian kualitas udara dalam ruang, serta melakukan
pengecekan dan penilaian terhadap dokumen UKL-UPL terbaru dari tiap industri formal yang
berada di wilayah kerjanya.
DAFTAR REFERENSI
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL)
P.T. X Tahun 2008.
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
Freitas, M.C., Pacheco A.M.G., Veburg T.G. dan Wolterbeek H.T. (2009). Effects of
Particulate Matter, Atmospheric Gases, Temperature and Humidity on Respiratory and
Circulatory Disease’s Trends in Lisbon, Portugal. Environ Monit Assess 162: 113-121.
July 14, 2013. http://repository.tudelft.nl/assets/uuid:7291152e-9a60-4647-b664-
bf330e0c275d/freitas.pdf
Friis, Robert H. (2012). Essentials of Environmental Health (2nd
ed). Editor: Richard
Riegelman. Burlington: Jones & Bartlett.
Ganyarut, Miss Wanliya. (2010). Working Environment and Respiratory Problems among
Employees in 2 Garment Factories in Ubon Ratchathani Province. [Thesis]. College of
Public Health Sciences Chulalongkorn University. April 28, 2013.
http://cphs.healthrepository.org/bitstream/123456789/1516/1/Thesis_2010_Wanliya.pdf
International Labour Organization. (2006). Facts on Safety at Work. July 10, 2013.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---
dcomm/documents/publication/wcms_067574.pdf
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas
Faktor Fisika di Tempat Kerja.
Lestari, Fatma. (2009). Bahaya Kimia: Sampling dan Pengukuran Kontaminan Kimia di
Udara. Jakarta: EGC.
Lu, Jinkie Leilanie. (2010). Occupational Health and Safety of Women Workers: Viewed in
the Light of Labor Regulation. Journal of International Women’s Studies, Vol.12:1.
Mberikunashe, Joseph, et. al. (2010). Prevalence and Risk Factors for Obstructive
Respiratory Conditions among Textile Industry Workers in Zimbabwe, 2006. Pan
African Medical Journal, (6): 1-8. June 5, 2013. http://www.panafrican-med-
journal.com/content/article/DownloadPdf.php?vol=6&issue=1
Noor, Nur Nasry. (2008). Epidemiologi (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Notoadmojo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ofreneo, Rosalinda Pineda. (2007). Women Garments Workers in Selected Philippine
Economic Zones: Towards an Organising and Advocacy Agenda in the Next Context of
Trade Liberalisation. Committee on Asian Women (CAW)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011.
Rahman, Atiqur dan Mahfuzar Rahman. (2013). Sickness and Treatment: A Situation Analysis
among the Garment Workers. Anwer Khan Modern Medical College Journal 2013: 4(1):
10-14. June 2, 2013.
http://www.banglajol.info/index.php/AKMMCJ/article/download/13678/9832
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2004). SNI 16-7062-2004: Pengukuran Intensitas
Penerangan di Tempat Kerja.
Wang, XR, et al. (2003). Respiratory Symptoms and Cotton Dust Exposure: Results of a 15
Year Follow up Observation. Occupational Environment Medicine, December, 60 (12):
935-941. June 6, 2013. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14634185
WHO. (2000). Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan (Palupi
Widyatusti, penerjemah). Jakarta: EGC.
WHO. (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang
Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Pedoman
Interim WHO. June 4, 2013.
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf
Faktor risiko..., Nurussakinah, FKM UI, 2013