fakultas syari’ah universitas islam negeri (uin)...

153
i POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh Nur Qomari NIM 03210092 FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008

Upload: vuongtram

Post on 13-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

i

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS

MUHAMMAD SYAHRUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

Nur Qomari NIM 03210092

FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MALANG 2008

Page 2: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

ii

MOTTO

ÉΟó¡ Î0 «! $# Ç≈uΗ÷q §�9$# ÉΟŠÏm§�9 $#

s9 uρ (# þθ ãè‹ÏÜ tF ó¡n@ βr& (#θä9 ω÷ès? t÷ t/ Ï !$ |¡ ÏiΨ9 $# öθ s9 uρ öΝçF ô¹t� ym ( Ÿξ sù (#θ è=ŠÏϑs? ¨≅à2 È≅ øŠyϑø9 $#

$ yδρâ‘x‹tGsù Ïπs)‾=yè ßϑø9 $$ x. 4 βÎ)uρ (#θ ßsÎ=óÁ è? (#θ à)−Gs?uρ �χÎ* sù ©!$# tβ% x. # Y‘θ à�xî $ VϑŠÏm §‘ ∩⊇⊄∪

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-

katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Surat an-Nisa’:129)

Page 3: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bismillahirrohmanirrohiim… Dengan iringan do'a & ketulusan hati Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Ibu & Bapak Tercinta

(Nakiyatun & Ahmad Nafik) Yang telah percikkan kasih Dan do'anya selalu mengalir tulus tiada henti-hentinya

Ka2' & Ade'q Tersayang (Makhfud, Nurul Hasana & Izam, Izal) Yang Selalu Menghiburku dan Membuatku tersenyum

The Best Friend (Anak kos-kosan 60B) Yang ta' pernah surut memberikan sumbangan dorongan & Motivasi yang telah membuatku mengerti akan makna persahabatan

Teman2ku Syari’ah "03

Sahabat-sahabatiku PMII Rayon Al-Faruq Thank's All

Tanpa bantuan & kerjasama kalian, Karya ini mungkin belum selesai

Page 4: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Demi Allah,

Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,

penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

POLIGINI DALAM PERSFEKTIF TEORI BATAS

MUHAMMAD SYAHRUR

benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau

memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada

kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka

skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi

hukum.

Malang, 07 Juni 2008

Penulis,

Nur Qomari

NIM 03210092

Page 5: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

v

HALAMAN PERSETUJUAN

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS

MUHAMMAD SYAHRUR

SKRIPSI

oleh:

Nur Qomari NIM: 03210092

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan, Oleh Dosen Pembimbing:

Drs.H. Isroqunnajah, M.Ag

NIP. 150 278 262

Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah

Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag

NIP. 150 216 425

Page 6: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

vi

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa

Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca,

mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka

skripsi yang bersangkutan dengan judul:

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS

MUHAMMAD SYAHRUR

telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada

majelis dewan penguji.

Malang, 07 Juni 2008

Pembimbing,

H.ISROQUNNAJAH, M.Ag

NIP. 150 278 262

Page 7: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

vii

PENGESAHAN SKRIPSI

Dewan penguji skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa Fakultas

Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS

MUHAMMAD SYAHRUR

Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam

(S.HI)

Dengan Penguji:

1. Noer Yasin, M.Hi (...………………..............)

NIP. 150 320 234 Ketua Penguji

2. Drs.H.Isroqunnajah, M.Ag (...............………………..) NIP. 150 278 262 Sekretaris

3. Dra. Hj.Tutik Hamidah M.Ag (……...................………..) NIP :150 224 886 Penguji Utama

Malang, 07 Juni 2008

Dekan,

Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag

NIP : 150 216 425

Page 8: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil'alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar

Muhammad SAW. beserta keluarga serta sahabatnya. Semoga kita termasuk umat

yang mendapatkan syafa'at beliau di akhirat kelak. Amiin.

Skripsi yang membahas tentang "Poligini dalam Persfektif Teori Batas

Muhammad Syahrur" ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi,

dengan mencurahkan segala usaha yang ada serta dengan dukungan dari berbagai

pihak skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, ungkapan

terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)

Malang.

2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri

(UIN) Malang.

3. H.Isroqunnajah, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa

meluangkan waktu dan tidak pernah lelah dalam memberikan arahan serta

bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini.

4. Drs. Badrudin, M.Ag, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas

Syari’ah UIN Malang.

Page 9: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

ix

5. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang

telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami.

6. Semua keluargaku, kedua orang tua tercinta (Bapak Ahmad Nafik dan Ibu

Nakiyatun) yang telah banyak memberikan motivasi dan juga do’anya yang

selalu mengiringi dalam setiap aktifitasku, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan

dengan baik. Terutama kakakku dan adikku yang telah memberikan motifasi.

7. Teman-teman karib penulis di Jl. Joyosuko yang telah memberikan semangatnya

selalu.

8. Teman-teman Fakultas Syari'ah angkatan 2003.

9. Teman-teman PKLI tahun 2006 Fakultas Syari'ah khususnya PKLI Blitar.

10. Sahabat-sahabatiku PMII khususnya Rayon Radikal Al Faruq.

Semoga bantuan dan jerih payah tersebut dapat menjadi tabungan amal saleh,

dan hanya Allah SWT sajalah yang dapat membalas kebaikan semuanya.

Akhirnya semoga skripsi ini, dapat bermanfaat bagi kami khususnya serta

memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi para pembaca umumnya.

Malang, 07 Juni 2008

Penulis

Page 10: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

x

TRANSLITERASI

Di dalam naskah ini banyak di jumpai nama dan istilah teknis yang berasal dari

bahasa Arab dengan huruf Latin. Pedoman yang digunakan untuk penulisan tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Konsonan

Arab Latin Arab Latin

Th ط Tidak dilambangkan ا

Dh ظ B ب

(koma terbalik) ‘ ع T ت

Gh غ Ts ث

F ف J ج

Q ق H ح

K ك Kh خ

L ل D د

M م Dz ذ

N ن R ر

W و Z ز

H ه S س

Y ي Sy ش

,t (bila ditengah kalimat) ة Sh صh (bila diakhir kalimat)

Dl ض

Apabila terletak diawal mengikuti vokal, tapi apabila terletak ditengah = ا/ ء

atau diakhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (’ ),

berbalik dengan koma (‘ ) pengganti lambang “ع”.

Page 11: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

xi

2. Vokal, Panjang Dan Diftong

Vokal Panjang Diftong (misal)

a

i

u

= Fathah

= Kasrah

= Dlommah

â

î

û

= a panjang

= i panjang

= u panjang

ــ�

ــ�ــ

= aw

= ay

Page 12: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... vii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

TRANSLITERASI .................................................................................................. x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii

ABSTRAK ............................................................................................................ xv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 11

C. Batasan Masalah .......................................................................................... 12

D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 12

E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 12

F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12

G. Metodologi Penelitian ................................................................................. 13

H. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 19

I. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 22

Page 13: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

xiii

BAB II : KAJIAN TEORI

A. Pengertian Poligini ..................................................................................... 23

a. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad ............................ 25

b. Hikmah Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad....................... 27

B. Hukum Poligini ........................................................................................... 35

C. Syarat-syarat Poligini .................................................................................. 42

a. Pengertian Adil dalam Poligini .......................................................... 43

b. Alasan Poligini dibatasi hanya Empat Istri ....................................... 45

c. Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat .................................... 46

d. Dampak Poligini ................................................................................ 47

e. Monogami:Asas Perkawinan Islam ................................................... 50

D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushul Fiqih .......................................... 53

BAB III: BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRUR

A. Sketsa Historis ............................................................................................. 61

1. Biografi Intelektual ......................................................................... 61

2. Latar Belakang Intelektual .............................................................. 63

3. Latar Belakang Keagamaan .......................................................... 64

B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrur ............................ 73

C. Kontruksi Metodologi Muhammad Syahrur ............................................... 75

1. Turats, Modernitas dan Realitas Masyarakat Umat Islam ............... 80

2. Dialektika Tradisi dan Modernisme................................................. 85

D. Model Penafsiran Muhammad Syahrur ...................................................... 86

1. Pendekatan Linguistik...................................................................... 87

2. Pendekatan Scientifik....................................................................... 91

Page 14: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

xiv

E. Terma-terma dalam al-Kitab wa al-Qur’an dan Kategorisasi Al-Qur’an ... 92

BAB IV: TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR

A. Pengertian Teori Batas dan historisitasnya .................................................. 95

1. Batas Minimum Ketika Berdiri Sendiri ......................................... 102

2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri ............................................... 103

3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan.................................. 105

4. Perpaduan antara Batas Minimum dan Batas Maksimum ............ 106

5. Posisi Batas Maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa

persentuhan .................................................................................... 107

6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan

batas minimum pada daerah negatif............................................... 108

B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Masalah Poligini.... 112

1. Batas-batas dalam sisi Hadd fi al-Kamm (Kuantitas) .................... 115

2. Batas-batas dalam sisi Hadd al Kaif (Kualitas) ............................ 117

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 131

B. Saran-saran ................................................................................................ 133

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 15: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

xv

Abstrak Nur Qomari. 2008. Poligini dalam Perspektif Teori Batas Muhammad Syahrur, Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Drs.H.Israqunnajah M.Ag

Kata Kunci: Poligini, Teori Batas, Muhammad Syahrur

Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah

Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan baru dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât dalam al-Qur’an. Teori batas yang digunakan mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh di langgar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.” Selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Syahrûr membangun teori batas, yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrur kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi. Bagaimana penerapan teori batas pada poligini yang terjadi pada masa sekarang.

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendeskripsikan teori batas. Penggunaan teori batas dalam Poligini. Dari kedua pokok permasalahan tersebut, peneliti mencoba memaparkan historisitas teori batas dan penggunaanya dalam poligini.

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini juga termasuk historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun data penelitian ini di kumpulkan melalui studi dokumen atau dokumentasi. Sedangkan analisis datanya menggunakan Content Analysis atau analisis isi buku.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Muhammad Syahrur menerapkan teori batas dalam poligini dengan persyaratan esensial, agar poligini yang dilakukan oleh umat Islam dapat bermanfaat secara sosial bagi pelaku poligini dan orang yang di poligini, maka syarat pertama adalah melibatkan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim dari janda yang dinikahi berikutnya. Kalau tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka perintah poligini akan menjadi gugur. Karena dalam poligini tersebut akan memberikan kemahdharatan dibandingkan dengan kemaslakhatan.

Dilihat dari persyaratan tersebut, ada perbedaan pemikiran antara Syahrur dengan ulama’-ulama’ lainnya yaitu istri kedua sampai keempat harus janda yang memiliki anak. Sedangkan ulama’-ulama lain hanya mempersyaratkan harus bersikap adil terhadap istri, sedangkan menurut Syahrur adil kepada istri tidak wajib. Namun yang wajib berlaku adil adalah ditujukan kepada anak-anak dari istri yang kedua sampai keempat. Karena manusia tidak akan sanggup berbuat adil terhadap semua istri, pasti ada sedikit condong pada salah satu istri.

Page 16: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pemikiran ke Islaman sepanjang sejarah telah menunjukkan

adanya varian-varian. Varian itu berupa metodologi, kerangka berfikir dan orientasi

yang berbeda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Fenomena seperti ini

pada dasarnya muncul sejak zaman Rasul dan al-Khulafa al-Rasyidun. Pada masa itu

sudah ada kecenderungan pemikiran, jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst

di satu sisi dan madrasah ra’yî pada sisi lain.1

Menurut Harun Nasution situasi keberagamaan umat Islam pada masa

sekarang cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik-formalistik.

1Anjar Nugraha, “Pemetaan dan Diskusi Pemikiran Islam Timur Tengah Era Modern”,http//www. pemikiranislam.wordpress.com com2007073156 - 73k, (diakses pada 22 Mei 2007),1.

1

Page 17: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

2

Agama harus dimanifestasikan kedalam bentuk ritual formal, sehingga muncul

formalisme keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Kondisi

semacam ini menyebabkan agama kurang dipahami sebagai perangkat paradigma

moral dan etika yang membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan

kemiskinan.

Di kala dunia Islam dari abad VII sampai abad ke XIII berada dalam zaman

keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu

pengetahuan di dunia Islam terutama di Andalusia dan Sisilia. Kegiatan yang

sebagian besar stimulasinya dari kontak dengan dunia Islam, ternyata menjadi jalan

bagi kebangkitan kembali (renaissance) dan selanjutnya menghantarkan Eropa Barat

kepada priode sejarah umat manusia yang baru yaitu abad modern.2

Di saat Eropa memasuki zaman renaissance yang membawa ke zaman

modern, justru umat Islam mulai menurun dan terjerembab ke zaman kemunduran.

Tetapi pada perkembangan selanjutnya di Eropa, timbul persoalan mendasar, yaitu

terjadi pertentangan antara ilmuwan dan agamawan. Ilmuwan beranggapan bahwa

ilmu pengetahuan dan filsafat bertentangan dengan doktrin agama. Ilmu pengetahuan

berkembang diluar agama, sehingga timbullah sikap sekuler di dunia ilmu

pengetahuan dan teknologi.3

Kemunduran yang terjadi pada umat Islam terdapat dua sebab yaitu secara

eksternal dan internal. Faktor eksternal ini dimulai sejak runtuhnya kekhalifahan

Turki Usmani diakibatkan oleh kolonialisme Barat, yang telah mengekang dan

membatasi perkembangan pemikiran umat Islam, namun dengan pengekangan

2Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994),1. 3Ibid.

Page 18: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

3

terhadap pemikiran tersebut, maka umat Islam berusaha untuk bangkit dari

keterpurukan dalam pemikiran sehingga tampil lebih variatif. Kolonialisme cukup

lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan negara-negara Islam, termasuk

kehidupan intelektualisme. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan

(mustadh’âf) di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan

cara berfikir dan merajalelanya tradisi taqlid. Kondisi ini mendorong lahirnya

pembaharuan pemikiran yang masing-masing menawarkan diri sebagai gerakan

pemikiran alternatif.4

Kebekuan pemikiran Islam dari faktor internal, jika ditelusuri kebelakang

sampai penggalan sejarah Islam zaman pertengahan. Dimana pemikiran Islam kritis

dan rasional-pasca Ibnu Rusyd-terasa mati karena pandangan bahwa pintu ijtihad

telah ditutup dan rasionalisme dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif. Ketika

itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan, bahkan pemikirnya di hukum mati

dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang

bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah al-

Ghozali (1058-1111M) menggugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam

bukunya, Tahafut al-Falasifah (kerancuan atas para Filosof).5 Sehingga fenomena

saling hujat antar sesama pemikir muslim tidak bisa dihindari lagi.

Setelah umat Islam sadar akan kemunduran yang dialami oleh generasi-

generasi penerusnya, maka munculla gelombang kesadaran umat Islam untuk

mendobrak pintu kemunduran. Pada gilirannya lahirlah pemikiran-pemikiran

alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik,

4Ibid,3. 5Harun Nasution, Filsafat Ilmu dan Misticisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),34 -36.

Page 19: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

4

perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati atas ahlu al-hadîs dan ahlu

ar-ra’yî, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan

beraneka macam varian baru. Pada dasarnya gerakan pemikiran alternatif ingin

tampil sebagai gerakan pemikiran pembaharu dalam menghadapi perkembangan

dunia modern. Namun pada kenyataannya muncul perdebatan yang tidak sebatas

perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergeseran dalam ranah politik (clash of

politic).6

Gerakan-gerakan pemikiran umat Islam khususnya di Timur Tengah muncul

dan berkembang dari latar belakang situasi sosio-politik seperti tergambar di atas.

Gerakan-gerakan itu dalam tataran idealisme, berada dalam persepsional yang sama

antara gerakan pemikiran satu dengan yang lain, tetapi dalam tataran corak atau

aksentuasi intelektualitas dan orientasi mereka berbeda, bahkan dalam banyak kasus

bertolak belakang.

Walaupun banyak perbedaan antara satu pemikir dengan pemikir lainya tetapi

mereka semua punya tujuan yang sama yaitu ingin memberikan wacana baru dalam

pemikiran ke islaman. Perubahan yang terjadi dalam pemikiran ilmu-ilmu agama dan

kajian keislaman yang dilakukan oleh pembaharu tidak serta merta menghapus

tradisi keilmuan lama yang telah ada sebelumnya. Karena masih ada kesinambungan

berkelanjutan antara tradisi keilmuan lama dengan paradigma baru.7

Fenomena pemikiran keislaman ini ternyata tidak hanya muncul dari sarjana-

sarjana agama yang senantiasa bergelut dengan turats dan pemikiran keislaman,

tetapi juga muncul dari kalangan saintifik yang peduli terhadap Islam dan

6Ibid,3. 7Amin Abdullah, “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama; Meneropong Kegelisahan Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer,” www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K, (diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),1.

Page 20: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

5

kedinamisannya. Salah satu pemikir tersebut adalah Muhammad Syahrûr yang

selanjutnya disebut Syahrûr.

Pemikiran Syahrûr muncul sebagai tanggapan atas kegelisahan dalam melihat

fenomena pemikiran Islam yang menetapkan hukum lama yang diterapkan

dikehidupan sekarang dengan menggunakan alat yang dipakai pada zaman lampau

tanpa mengetahui dasar dan metode ijtihatnya. Hal ini menimbulkan kesan seolah-

olah Islam tidak sholihun likulli zamanin wa makanin, tetapi hanya sesuai dengan

masyarakat Arab pada zaman Rasul dan Sahabat. Oleh karena itu, menurut Syahrûr

perlu adanya reinterpretasi terhadap nash, agar nash tersebut sholihun likuli zamanin

wa makanin.8

Kegelisahan tersebut dapat diilustrasikan lewat teori sosial greed tradision

dan litle tradision. Bahwa perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan

hukum ketika berinteraksi dengan dunia internasional selalu melibatkan proses

dialektika yang intensif antara konsep, ide, keyakinan dalam wilayah kehidupan

konkrit pada penggalan sejarah tertentu. Perubahan akan terjadi ketika tradisi baru

yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong lebih besar dibandingkan dengan

keilmuan yang ada dan mapan sebelumnya.9

Berawal dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an sholihun likuli

zamanin wa makanin, maka umat Islam harus selalu mendialogkan antara al-Qur’an

sebagai teks, dengan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam sebagai

8Yusuf Qardhawi, Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan (Jakarta: al-Islahy Press, 1993),19. 9Ibid,2.

Page 21: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

6

konteks yang tidak terbatas. Dengan kata lain, umat Islam dituntut untuk selalu

menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan konteks sosio-historis yang selalu berubah.10

Sejarah mencatat bahwa al-Quran berpengaruh besar dalam melahirkan

sebuah peradaban yang oleh Nasr Hamid Abu Zaid di klaim sebagai “peradaban

teks”.11 Sebagai teks, al-Quran adalah korpus terbuka yang sangat potensial untuk

menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan,

penafsiran hingga menjadi sebuah sumber rujukan.

Kehadiran teks al-Quran ditengah umat Islam telah melahirkan pusat wacana

keislaman yang tidak pernah berhenti dan menjadi inspirasi bagi manusia untuk

melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka dapat di

katakan, bahwa al-Quran hingga kini masih menjadi inti dalam peradaban umat

manusia.12

Berbagai isu yang paling representatif dalam mengkaji al-Qur’an dengan

munculnya buku Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah. Buku ini fenomenal,

sebab satu sisi dinyatakan sebagai the best seller book di Timur Tengah, dan di sisi

lain, buku ini memiliki watak kontroversial yang melahirkan sikap pro dan kontra.

Nama-nama seperti Wahbah al-Zuhaili, Salim al-Jabi, Thahir al-Syawwaf, dan

Khalid al-`Akk adalah di antara mereka yang kontra terhadap buku itu. Sebaliknya,

Wael B.Hallaq, Dale F.Eickelman dan Halah al-Quri adalah di antara mereka yang

pro dan menunjukan kekaguman terhadapnya.13

10Dwi Rina Khusniwati, “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang Humanis dan Progresif,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),353. 11Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash:Dirasah fi ulumil al-Quran (Bairut: Markaz as-Saqafi al-Arabi, 1994),9. 12Ibid. 13Ibid.

Page 22: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

7

Dualisme penilaian ini ternyata tidak hanya bergema ditingkat individual,

tetapi membawa implikasi di tingkat kenegaraan. Pemerintah-pemerintah seperti

Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab, secara keras melarang peredaran

buku itu kenegaranya. Tetapi di pihak lain, Sultan Qaboos di Oman, malah

memberikan penilaian yang positif, sampai ia membagi-bagikan buku itu kepada

para menterinya, dan merekomendasikan mereka untuk membacanya.14

Syahrûr menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan

baru dalam berijtihad, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-

ayat berisi tentang pesan hukum). Terma limit yang digunakan Syahrûr mengacu

pada pengertian (batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi di

dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel dan elastis).

Teori batas Syahrûr juga mempertanyakan akurasi analisis dan kerangka

keilmuan klasik jika harus diterapkan seluruhnya di era kontemporer, kesemuanya ini

hanyalah dimaksudkan untuk pengembangan dan pengayaan wacana analisis

keilmuan dan penelitian dirasat islamiyyah.15

Al-Qur’an, dalam pengertian khas Syahrûr berarti bagian tertentu dari kitab

suci yang bertemakan pengetahuan objektif. Al-Qur’an dibaca dan di pahami bukan

melalui prisma abad-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah Rasulallah baru saja

wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut. Ini pada gilirannya

mendekontruksi sekaligus merekontruksi terhadap berbagai konsep, teori dan

paradigma yang telah mapan menjadi mainstrim pemahaman, pemikiran, bahkan

keyakinan mayoritas umat Islam.

14Ibid. 15Irwan Masduki, Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana Kontemporer, Op.Cit,5.

Page 23: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

8

Syahrûr dengan kacamata linguistik, menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai

kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan: (al-I’jaz al-

Balaghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif signifikansi dan ilmiah (al-I’jaz

al-Ilmi) yang digunakan dengan menggunakan pendekatan historis ilmiah.16

Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisa sastra (balagha)

dan analisa gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu tersebut biasanya sebagai alat

bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan

kedua adalah penolakkan terhadap fenomena sinonimitas dalam bahasa dan menuntut

studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim. Lebih

jauh, Syahrûr juga menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia,

diturunkan untuk dapat di pahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan

petunjuk kepada manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa

metode untuk memahami al-Qur’an yang oleh Syahrûr disebut dengan istilah,

manhaj al-tartil, yang dapat diidentikan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya

Syahrûr meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika

al-Qur’an yang diistilahkannya dengan al-takwil.

Takwil menurut ahli ushul fiqih memiliki makna yang beragam. Ibnu

Qudama berpendapat bahwa takwil adalah kemungkinan yang diperkuat oleh dalil

sehingga dengan itu menjadi sangat mungkin dari makna yang ditunjukan oleh

dzahirnya, atau bisa juga disebut serupa dengan pengalihan lafadz dari makna

sebenarnya kepada makna metafora (majâz). Dapat diambil satu kesimpulan

berdasarkan pendapat ini bahwa takwil dan majaz bertemu dalam satu titik

bersamaan, yaitu pengalihan makna lahiriyah ke “makna dalam” sesuai konteks.

16 Ibid.

Page 24: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

9

Takwil adalah ilmu untuk menyingkap makna nash yang berdasarkan pada

pengetahuan (dirayah) penakwil. Takwil lebih berkaitan pada pengambilan

kesimpulan, sedangkan tafsir lebih cenderung pada nash dan riwayat.17

Setelah berbicara al-Qur’an Syahrûr berpendapat bahwa sunnah Nabi adalah

cermin kebenaran pertama (mir’ah al-shadiqah al-ula) yang mengilustrasikan

interaksi antara al-Qur’an dan realitas objektif yang muncul saat diturunkanya

wahyu, Muhammad dipandang sebagai mujtahid pertama yang merelatifkan ajaran

absolut Ilahi melalui sunnahnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan situasi saat

itu.18

Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Syahrûr menggagas teori batas yang

dapat disebut sebagai pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan

jika dikatakan bahwa Syahrûr sedang meletakkan dasar-dasar metodologi baru

pembacaan teks keagamaan khususnya al-Qur’an.19

Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan

pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap

ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan melakukan penafsiran ulang sesuai dengan

perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan

eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah.20

Penerapan teori batas dalam kasus poligini cukup menarik dan solutif, di

tengah-tengah perdebatan umat tentang ketentuan poligini. Syahrûr berpendapat

17Abdul Azis, “ Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),185. 18Ibid,4. 19Ibid,13. 20Mukhtar Sadili, Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01_archive.html-57k (diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),2.

Page 25: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

10

bahwa poligini tetap sebagai praktik perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, tetapi

ada persyaratan-persyaratan khusus bagi yang ingin mengamalkannya.

Ketentuan Islam tentang poligini yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di

pahami sebagian umat Islam sebagai legitimasi untuk melakukan praktik poligini.

Bahkan ada kalangan yang mengatakan bahwa poligini adalah sunah, yang baik dan

perlu untuk dikerjakan asal syaratnya adil. Surat an-Nisa’ ayat 3 yang menjadi satu-

satunya dasar poligini menurut Syahrûr sebenarnya ayat itu tidak berbicara dalam

konteks poligini, ayat ini meletakkan poligini pada konteks perlindungan terhadap

anak yatim dan janda korban perang.21

Syahrûr menilai, bahwa poligini adalah permasalahan yang unik, khususnya

bagi perempuan, serta menjadi permasalahan (qadhiyah) yang tidak kunjung selesai

dibicarakan oleh masyarakat dunia. Jika ayat poligini ditinjau dari perpektif teori

batas Syahrûr, maka akan terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang

erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Karena batasan yang telah

digariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, disamping juga

memiliki hikmah bagi kehidupan manusia.

Signifikansi penelitian ini adalah jika dilihat dari segi tingkatan kebudayaan,

agama merupakan universal kultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan

bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena

sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya. Oleh

karena itu, secara umum penelitian ini menjadi penting karena penelitian yang

21Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,(Yogyakarta: Penerbit eL-SAQ Press, 2004),426.

Page 26: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

11

berkaitan dengan sebuah pemikiran, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran

dan fungsi di masyarakat terutama dalam masalah poligini.

Atas dasar pemikiran itulah yang menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti

pemikiran Syahrûr tentang poligini, karena pendapat Syahrûr berbedah dengan

ulama’-ulama’ tafsir lain yang memberikan syarat harus dapat berbuat adil terhadap

istri-istrinya, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini berjudul: POLIGINI

DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya adalah:

1. Apa maksud dari Teori Batas Muhammad Syahrûr?

2. Bagaimana penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap masalah

poligini?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai:

1. Untuk mengetahui maksud teori batas Muhammad Syahrûr.

2. Untuk mengetahui penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap

masalah poligini.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

Manfaat secara teoritis:

a. Sebagai wahana pengkajian ilmu dan wawasan yang baru bagi

pengembangan hukum poligini, terutama di kalangan akademisi

sebagai barometer tingkat pendidikan.

Page 27: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

12

b. Sebagaai landasan dan acuan untuk penelitian poligini yang marak

dikalangan masyarakat.

c. Bagi penulis pribadi sebagai aplikasi keilmuan yang selama ini

didapat dan sumbangsih pemikiran.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research),

yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) primer, sehingga lebih

sebagai penelitian dokumenter (dokumentary research). Penelitian ini juga termasuk

dalam kategori historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.

Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris. Penelitian ini

berusaha memaparkan bangunan pemikiran ulama’ tentang ayat poligini sebelum

akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti, yaitu

pemikiran Muhammad Syahrûr dengan teori batasnya yang kemudian di terapkan

dalam ayat poligini. Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi tentang

substansi tokoh itu dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Pada

akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik

pemikiran dalam memaknai poligini padahal ayat yang di jadikan rujukan adalah dua

ayat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dan 129. Sebelum masuk secara detail dalam

pemikiran Syahrûr sekaligus mencari titik temu pemikiran mereka ke arah

rekontruksi fiqih yang berkeadilan pada perempuan.

Untuk memperoleh data tentang pemikiran Syahrûr peneliti menggunakan

sumber-sumber primer berupa buku-buku Syahrûr yang ada relevansinya dengan

penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitab-

kitab, jurnal-jurnal yang terkait.

Page 28: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

13

Data-data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen

analisis deduktif. Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara

menerangkan beberapa data yang bersifat khusus untuk membentuk sebuah

generalisasi

Menggunakan deskriptif analitis juga bisa dengan pendekatan Content Analisis

yakni menggambarkan secara umum objek yang akan di teliti.22 Penelitian

kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku literatur

dengan cara mempelajari dan meneliti permasalahan yang terkait dengan penelitian.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang tidak

berbentuk angka atau tidak dapat diangkakan, sebab dalam menganalisis data

menggunakan kata-kata.23 Dalam hal ini meneliti kehidupan, latar belakang sosial

Muhammad Syahrûr tentang munculnya teori batas terutama penerapannya dalam

masalah poligini.

2. Metode Pengumpulan Data

a. Sumber Data

Sumber data ialah sumber darimana data itu diperoleh. Sebuah penelitian

terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data

skunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara

langsung dari sumber pertama. Baik berupa bahan pustaka yang berisikan

22Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIPres, 1984),48. 23Sapari Imam Asyari, Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),31.

Page 29: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

14

pengetahuan ilmiah yang baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang

diketahui ataupun gagasan.24

Dalam mengumpulkan data, peneliti mengambil dari buku-buku,

artikel-artikel dan kitab-kitab klasik yang ada hubungannya dengan objek

yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini sumber data primer yang digunakan adalah:

1. Muhammad Syahrûr (1990) Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah

Muashirah Kairo: Sina Publisher, Cet I, ( اءة �����ة�ا ���ب وأا ��ان

(ا �آ��ر ا ����س ���� ���ور

2. Muhammad Syahrûr, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al-Daulah

wa al-Mujtama’ “al-Ta’liq ala al-Rudud wa al-Muqalad allati

sudirat haula al-Kitab wa al-Quran, Damaskus: Ahali, 1994

3. Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam,

Damaskus: Ahali, 1996.

4. Muhammad Syahrûr, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah Nahwa Ushuly

Jadidah Lil Fiqih Islamy, Damaskus: Ahali, 2000.

5. Muhammad Syahrûr, �� ا ���د!� ا و�

Sumber data skunder ialah bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang sumber data primer. Data Skunder juga bisa diartikan sebagai data

yang diambil tidak dari sumber langsung melainkan sudah dikumpulkan

oleh pihak lain dan sudah diolah. Data-data skunder merupakan pelengkap

yang nantinya di korelasikan dengan data primer:25

24Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),29. 25Ibid, 29.

Page 30: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

15

1. Ahmad Zaki Mubarok. 2007. Pendekatan Strukturalisme

Linguistik (dalam Tafsir al-Quran Kontemporer

“ala”M.Syahrûr). Yogyakarta: Penerbit, el-SAQ Press.

2. Abdul Majid Abdussalam al-Nuhtasib.1997. Visi dan Paradigma

Tafsir al-Quran Kontemporer. Bangil: Penerbit al-Izzah.

3. A.Rahman I. Doi. 2002. Penjelasan Hukum-Hukum Allah

(Syari’ah). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

4. A.Khudori Soleh dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer.

Yogyakarta: Penerbit Jendela.

5. Muhammad Bagir Al-Habsyi. 2002. Fiqih Praktis Menurut Al-

Quran, As-Sunnah, Pendapat Para Ulama’. Bandung: Penerbit

Mizan.

6. Shahiron Syamsuddin, 2004. Metodologi Fiqih Islam

Kontemporer. Yogyakarta: el-SAQ Press.

7. Shahiron Syamsuddin, 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika

Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit el-SAQ Press.

8. Shahiron Syamsuddin. 2003. Hermeneutika al-Quran Madzhab

Yogya. Yogyakarta: Penerbit Islamika.

b. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data ialah proses yang sistematis dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan.26 Sedangkan pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah metode dokumentasi atau telaah dokumen, yaitu

menelaah teori batas terhadap masalah poligini.

26Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 24.

Page 31: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

16

c. Teknik pengolahan data

Pengolahan data adalah mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan

tertulis dan dimaksudkan dalam penelitian ini ialah:27

a. Editing

Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah

diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian

serta relevansinya dengan data lain, dengan tujuan apakah data-data

tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang

diteliti dan meminimalisir kesalahan dan kekurangan data dalam

penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.

b. Classifaying

Tahapan ini adalah mereduksi data dengan cara menyusun dan

mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu untuk

mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan

penelitian.

c. Verifiying

Pada tahapan ini adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin

validitas data yang telah terkumpul. Di samping itu, untuk sebagian

data peneliti memverifikasi dengan cara trianggulasi, yaitu

mencocokkan antara hasil dari data satu dengan data yang lainnya

sehingga dapat disimpulkan secara proporsional.28

27Ibid, 409-410. 28M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006), 223.

Page 32: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

17

d. Analising

Analisis terhadap data penelitian dengan tujuan agar data yang telah

diperoleh tersebut bisa untuk mudah dipahami. Analisis ini

menggunakan teori-teori yang relevan, artinya teori yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti. Teori yang digunakan adalah

analisis apresiatif kritis artinya peneliti menghargai sekaligus

menggunakan daya kritis terhadap poligini dalam perspektif teori

batas.

e. Concluding

Pada tahapan ini adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang

telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban. Peneliti membuat

kesimpulan atau menarik poin-poin penting yang kemudian

menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah di pahami

tentang poligini dalam perspektif teori batas.

d. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka data dianalisis untuk mendapatkan konklusi.

Analisis data ialah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang

mudah dibaca dan diinterpretasikan. Adapun metode yang penulis gunakan

untuk menganalisis data adalah:

1) Metode Kajian isi (content analysis)

Sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka teknik

analisis data yang digunakan adalah content analysis seperti yang

diungkapkan oleh Holsti, yang dikutip oleh Lexi J. Moleong content

analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik pesan dan

Page 33: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

18

dilakukan secara obyektif dan sistematis.29 Tenik ini digunakan untuk

menarik pesan maupun beberapa pendapat yang ada dalam buku-buku

poligini.

2) Metode Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan

menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis data tersebut.

F. Penelitian Terdahulu

Judul dalam penelitian ini adalah: Poligini dalam Perspektif “Teori Batas”

Muhammad Syahrûr mengandung variabel yang menarik untuk di teliti. Untuk

mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, maka penting untuk mengkaji terlebih

dahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, baik secara teori maupun kontribusi

keilmuan.

Dari hasil pencarian data, memang tidak ditemukan judul yang sama dengan

judul yang peneliti angkat sekarang. Namun ada beberapa judul skipsi yang memiliki

tema yang tidak jauh berbeda ketika melihat judul yang peneliti teliti. Berikut

paparan beberapa hasil penelitian yang berkorelasi dengan judul diatas:

1. Syamsud Dhuha, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004,

dengan judul: Pemikiran Syahrûr Tentang Hukum Waris Islam (Kajian deskriptif dan

analitis). Dalam penelitian ini Syamsud Dhuha menekankan pada hukum waris yang

terdapat dalam tanjil hakim di tetapkan pada kondisi di pertemuannya dua jenis

kelamin, laki-laki dan perempuan. Adapun pada kondisi waris sejenis, seperti halnya

pewaris yang meninggalkan anak laki-laki tanpa anak perempuan, atau anak

29Lexy, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 163.

Page 34: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

19

perempuan tanpa anak laki-laki. Maka dalam kondisi seperti ini waris dapat

dilakukan dengan merata, tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.

Hukum waris adalah aturan tertutup, bahwa pihak yang berhak menerima adalah

mereka yang hanya disebut secara eksplisit sebagai pewaris dalam ayat waris.

Dengan demikian orang yang tidak di sebut dalam ayat waris, maka tidak berhak

menerima waris.

2. Ahmad Salikin, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004

dengan judul: Konsep Keadilan dalam Poligami menurut Muhammad Abduh. Dalam

penelitian ini Salikhin lebih menekankan pada aspek keadilan dalam poligini.

Peneliti juga memaparkan biografi Muhammad Abduh, yang peneliti jadikan sebagai

bahan penelitian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad

Abduh atas poligami. Dari hasil penelitian Salikin, dia menyimpulkan secara

menyeluruh tentang konsep keadilan dalam berpoligami. Menurut Salikin

Muhammad Abduh dalam menjelaskan kedilan ada dua konsep dalam poligami:

a. Penjelasan keadilan dalam poligami di lihat dari segi filosofil epistimologi

surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129 menurut penafsiran Muhammad Abduh

adalah untuk menghindari dari perbuatan yang di larang agama dan di

harapkan menjadikan umat sejahtera.

b. Konsep keadilan dalam poligami secara sosiologis, menurut Muhammad

Abduh adalah memperlakukan istri-istrinya hingga anak-anaknya dengan

adil, baik dalam hal materi maupun dalam hal moril dan hal itu menjadi

syarat yang utama bagi seseorang yang akan melakukan poligami. Karena

dengan adanya poligami tersebut akan menjadikan kemajuan pada

masyarakat bahkan menentukan kesejahteraan pada suatu bangsa.

Page 35: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

20

3. Ahmadiono: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Tahun

2000 dengan judul: Kontrofersi Poligami di Kalangan Pemikir Muslim (Studi Atas

Pemikiran Hukum Islam Syafi’i dan Fazlurahman) di dalam penelitiannya

Ahmadiono mencoba mengkomparasikan antara pemikiran imam Syafi’i dengan

Fazlurahman tentang poligami, baik dari segi dasar-dasar hukumnya, cara ijtihad

keduanya serta di bolehkannya poligami. Dari hasil penelitiannya Ahmadiono

menyimpulkan pemikiran keduannya tentang poligami:

a. Ada tiga faktor yang menyebabkan keduanya berbedah dalam hal hukum

kebolehan poligami; 1) perbedaan pendekatan dalam memahami ayat

poligami; 2) perbedaan dalam menafsirkan keadilan sebagai syarat di

perbolehkannya poligami. Imam Syafi’i menafsirkan sebagai perilaku

lahiriah, seperti pembagian waktu bergilir dan meratanya pemberian nafkah.

Sedangkan Fazlurahman menekankan pada makna keadilan sebagai

meratanya rasa bathiniah seperti rasa cinta dan kasih sayang di samping

keadilan dalam hal haliriyah; 3) perbedaan kondisi sosial kultur masyarakat

di mana keduanya berada juga mempengaruhi polapikir keduanya.

b. Kondisi sosio kultur masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi pada

perbedaan pola pikir imam Syafi’i dan Fazlurahman. Kehidupan imam

Syafi’i yang banyak di pengaruhi oleh pemikiran masyarakat pra Islam, yang

salah satunya adalah adanya lembaga poligami. Sedangkan Fazlurahman

yang hidup dalam masyarakat modern yang sudah memiliki pemikiran

adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Darisini Fazlurahman

berpendapat bahwa lembaga poligami itu hanya bersifat situasional dan di

Page 36: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

21

peruntukkan pada orang yang sudah dalam kondisi darurat, bukan di

peruntukkan bagi orang yang dalam kondisi normal.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penyusunan skripsi ini terarah, sistematis dan saling berhubungan satu

bab dengan bab yang lain, maka peneliti secara umum dapat menggambarkan

susunannya sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang mencakup: latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, maksud dan

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, paradigma

penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan teknik pengupulan data,

sistematika pembahasan. Penulisan bab ini untuk memfokuskan

permasalahan agar penelitian ini tidak melebar serta, untuk menegaskan

tujuan dari pada penelitian. Pada bab ini juga menjelaskan metode

penelitian yang digunakan peneliti. Metode penelitian ini merupakan suatu

cara atau teknis yang akan dilakukan dalam proses penelitian, agar

penelitian ini terarah dan sesuai dengan yang diinginkan.

BAB II : Dalam bab dua berisikan kajian teori terdiri dari: deskritif poligini,

Pendekatan geografis dan historiografi poligini Nabi Muhammad, hukum

poligini, syarat-syarat poligini, pengertian adil dalam poligini, alasan

poligini di batasi hanya empat istri, poligini sebagai solusi dan pilihan

bersyarat, dampak poligini, monogami prinsip perkawinan dalam Islam,

sekilas tentang ushul fikih, fungsi ushul fikih dalam memahami ayat-ayat

hukum, pembacaan ayat-ayat dengan menggunakan metode ushul fikih.

Page 37: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

22

Penyajian dalam bab II ini di maksudkan untuk memberi penjelasan

secara teoritik terhadap masalah yang di sajikan.

BAB III Dalam bab tiga berisikan tentang biografi Muhammad Syahrûr, sketsa

historis, latar belakang inteletual, latar belakang keagamaan, dialektika

turas dan modernitas, kegiatan dan karir Muhammad Syahrûr. Model-

model penafsiran Muhammad Syahrûr, asumsi-asumsi metodologis,

pendekatan linguistik, pendekatan scientific, terma-terma yang terdapat

dalam al-kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah, pembacaan kontemporer

al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Tujuan penulisan bab ini

adalah untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi pemikiran

Muhammad Syahrûr sehingga memunculkan teori baru yaitu teori batas.

Bab IV Mencakup paparan dan analisis data pembahasan meliputi: munculnya

pemikiran Syahrûr tentang teori batas, pemikiran Muhammad Syahrûr

tentang teori batas dalam masalah poligini. Pada Bab ini akan menganalisis

pemikiran Muhammad Syahrûr dalam menerapkan teori batas terhadap

masalah poligini. Penulisan bab ini merupakan paparan dari hasil

penelitian, yang diperoleh dari berbagai sumber untuk mencari data yang

selengkapnya untuk membuktikan kebenaran penelitian.

Bab V Bab ini akan mengakhiri penyusunan penelitian ini yang nantinya akan

berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran, kesimpulan dikembangkan

berdasarkan seluruh hasil kajian sedangkan saran dikembangakan

berdasarkan temuan dan simpulan dari penelitian.

Lampiran -lampiran

Daftar Pustaka

Page 38: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

23

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Poligini

Poligini berasal dari bahasa Yunani poli artinya banyak dan gini artinya

perempuan. Poligini secara terminologi ialah istilah yang dikenakan bagi seorang

laki-laki yang melakukan praktik banyak nikah dan banyak perempuan. Ada juga

yang berpendapat bahwa poligini sama dengan poligami. Poligami berasal dari

bahasa Yunani poly artinya banyak dan gami artinya istri.30 Jadi poligami secara

terminologi ialah seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu dan bukan

sebaliknya.31 Soemiyati berpendapat bahwa poligami ialah perkawinan seorang laki-

laki lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama.32

30Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Kencana Media, 2003), 129. 31Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ictiyar Baru Van Hoeve, 2002),32. 32Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1999),35.

23

Page 39: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

24

Sejarah mencatat bahwa poligini juga banyak dipraktikkan oleh laki-laki

terpandang, seperti para raja, tokoh, bangsawan, termasuk para Nabi dan Rasul.

Misalnya, Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai

sangat banyak istri. Nabi Muhammad memiliki sembilan istri. Begitu pula para

sahabat, seperti Abu Bakar pernah memiliki istri empat orang, Umar ibn Khatthab

memiliki istri tujuh orang.33

Pembahasan tentang poligini selalu ramai dalam berbagai bentuk, baik

ceramah, diskusi, seminar, wacana, maupun talk shaw, pembahasan tersebut sering

berakhir dengan pro dan kontra.

Surat an-Nisa’ ayat 3 sering dianggap sebagai landasan kebolehan poligini,

bahkan ada yang memahami bahwa ajaran Islam telah menganjurkan poligini.

Pendapat demikian, memperkuat anggapan dengan kenyataan bahwa Nabi

Muhammad dan para Sahabat adalah pelaku poligini. Oleh karena itu, anggapan

bahwa melakukan poligini adalah sunnah Rasul.

Adapula yang memahami bahwa ayat tersebut adalah ayat yang justru

membatasi poligini. Karena tradisi poligini yang dipraktekan masyarakat sebelum

Islam tidak terbatas dan sesuka hati pelakunya. Kemudian ayat tersebut turun untuk

membatasi laki-laki berpoligini sampai empat orang istri dengan persyaratan ketat,

yakni kesanggupan berlaku adil.

Sesunggunya, perbedaan antara poligini, poliandri dan poligami belum jelas

terlihat di dalam sejumlah literatur tokoh Islam Indonesia yang mengurai hal ihwal

33Abu Salman al-Atsari, “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat Sunnah dan Syari’at Poligami,”, http//www.dearto Abu Salma, (diakses pada 4 Juni 2007),9.

Page 40: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

25

pernikahan Nabi. Bahkan masyarakat cenderung mengartikan poligini dengan

poligami yaitu satu suami memiliki banyak istri.

Menengarai hal ini bahwa di dalam khasanah bahasa Yunani terdapat

pembagian yang terkait dengan praktik perkawinan:

1. Poligami (poly: banyak dan gami: nikah) artinya banyak nikah. Istilah ini di

kenakan bagi kegiatan manusia yang melakukan banyak nikah.

2. Poliandri (poly: banyak dan andri: pria) istilah ini di kenakan bagi perempuan

yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak pria.

3. Poligini (poly: banyak dan gini: perempuan) istilah ini di kenakan bagi

seorang pria yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak

perempuan.

4. Eksogami (ekso: keluar (dari), bukan dan mantan dan gami nikah) artinya

nikah dengan orang luar klan. Istilah ini di kenakan bagi seorang pria yang

mencari istri diluar warganya sendiri.

5. Endogami (endo:dalam dan gami:nikah) artinya nikah dengan warga sendiri

menurut penentuan adat.

Untuk memahami poligini lebih mendalam, maka harus mengetahui poligini

yang dilakukan oleh Rasul, untuk mengetahui hal tersebut, maka terlebih dahulu

harus memahami kondisi geografis dan historiografis pada masa itu.

1. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad

Pendekatan ini mengungkapkan beberapa aspek yang terkandung dalam

poligini Nabi Muhammad. Aspek-aspek tersebut seringkali terabaikan ketika

membaca dan memahaminya.

Page 41: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

26

Historiografi yang dimaksud adalah mengacu kepada ulasan Azumadi Azra

tentang sejarah total. Sejarah total ialah suatu sejarah tentang seluruh aspek

kehidupan masyarakat; tidak hanya berkisar pada hal-hal yang dianggap paling

penting.34

Membaca kisah poligini Nabi Muhammad dengan pendekatan historiografi

mengungkapkan adanya dua aspek yang terkandung di dalamnya, pertama ialah

faktor historis dan kedua faktor religius.

Faktor historis yang terdapat pada poligini Nabi pertama ialah tindakan

poligini Nabi tersebut dilakukan di dalam suatu ruang (sosial-kultural-religius) dan

waktu (menyejarah), dan kedua tindakan tersebut melibatkan keutuhan pribadi Nabi

(status kemanusiaan dan kenabiaan Muhammad). Sementara faktor religius yang

terdapat dalam poligini Nabi ialah adanya suatu keyakinan di dalam diri Nabi bahwa

Allah akan menolong dikalah mendapat kesusahan.35

Dengan menggunakan pendekatan historiografi tersebut ada beberapa pokok

pikiran yang penting: pertama setelah diterimanya wahyu pertama oleh Nabi

Muhammad bahwa Allah senantiasa bersama dirinya ditengah pergumulan kenabian

beliau. Kedua keyakinan Nabi Muhammad dengan relasi antara dirinya dengan Allah

dari waktu kewaktu semakin menguat. Ketiga wahyu yang turun ditengah

pergumulan beliau atas persoalan Zainab adalah tanda dari keyakinan Nabi

Muhammad atas penyertaan Allah. Keempat, sosok Nabi Muhammad tidak lepas dari

dasariah kemanusiaannya meskipun dia di percaya Allah menjadi Nabi.

34Azyumardi Azrah, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),11. 35Ibid.

Page 42: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

27

Terkait dengan posisi dan status Nabi terdapat hal menyejarah dalam

kehidupannya yang terkait dengan poligini yaitu mengenai periode kesedihan. Di

antara alasannya adalah: pertama pernikahan setelah meninggalnya Khadijah dengan

Saudah yang bertempat di Mekkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu

tekanan yang cukup berat dari musuh-musuh Nabi sehingga memaksa Nabi dan

sahabat-sahabatnya pindah ke Madinah. Ketiga, ditengah peristiwa itu terjadi

peristiwa isra’ mi’raj.

Semua bentuk praktik pernikahan pra Islam tersebut terkait dengan situasi

antropologis historis masyarakat. Artinya hal tersebut ada dan terjadi di tengah nilai-

nilai yang berlaku. Di dalam poligini saat itu, maskulinisme sangat mendominasi dan

membawa implikasi serius bagi perempuan.

Praktik poligini Nabi sering dijadikan titik tolak pembahasan aktivitas

poligini dalam komunitas Islam. Misalnya al-Ghozali menyatakan bahwa al-Quran

ingin menyatakan solusi secara gradual atas praktik poligini saat itu. Ashghar Ali

Engineer menyatakan prinsip nomogami berdasarkan wahyu poligini yang terdapat

dalam al-Quran. Kedua tokoh diatas ingin menghilangkan praktik poligini menjadi

monogami secara bertahap.

2. Hikma poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad

Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad memiliki beberapa hikma:

1. Hikma Dakwa dalam Pernikahan Rasul

a. Pernikahan Nabi dengan Siti Khadijah binti Khuwailid.36

Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan Quraisy,

memiliki nasab yang baik dan kaya raya. Di masa Jahiliyah telah menikah

36 Khozin Abu Fakih, Poligami Solusi atau Masalah (Jakarta: al-Ikhtishom, 2007),144.

Page 43: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

28

dengan Abu Hallah (Hind bin Nabbasy at-Taimy), setelah suamiya yang

pertama meninggal, ia menikah dengan Atiq bin Abid al-Makhzumi.

Setelah suami keduanya meninggal, tokoh-tokoh Quraisy berlombah-

lombah untuk melamarnya. Tetapi ia menolak lamaran mereka semua.

Karena mereka rata-rata hanya mengincar kekayaannya. Ketika ia

mendengar sifat amanah Muhammad, maka ia memilihnya sebagai

menejer yang mengelolah perdagangannya ke Syam. Ternyata ia sukses

besar dan memberikan keuntungan berlipat bagi Khadijah.

Beliau menikah dengan Khadijah dan tidak menikah dengan siapapun,

sehingga Khadijah wafat dan usia beliau sudah mencapai 50 tahun lebih.

b. Pernikahan dengan Saudah binti Zam’ah

Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr bin Abdi Syam.

Keduanya masuk Islam di Mekah, kemudian hijrah ke Habsyah pada

priode kedua. Sepulang dari Habasyah, suaminya wafat sehingga ia

menjadi janda. Setelah masa iddahnya habis, Rasul melamar dan

menikahinya. Kemudian ia hijrah ke Madinah.37

Pernikahan beliau dengan Saudah adalah untuk mengganti suaminya

yang wafat sepulang dari hijrah Habasyah kedua, untuk merawat putra-

putranya, dan memuliakannya. Disamping itu setelah suaminya

meninggal, ia pun harus kembali kepada keluarga dan kaumnya. Padahal

mereka memusuhi Islam. Saudah adalah wanita yang telah lanjut usia,

karena itu setelah beberapa bulan menikah dengan Rasul dan Rasul

37Ibid,145.

Page 44: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

29

menikah dengan A’isyah, ia memberikan hak bermalamnya dengan Rasul

kepada A’isyah.

Dengan demikian, pernikahan beliau dengan Saudah adalah tidak

terlepas dari strategi ri’ayah tarbaiyah dan da’wiyah, pemeliharaan dakwa

dan tarbiyah yang telah dibangun dengan berbagai pengorbanan.

c. Pernikahan dengan Zainab binti Khuzaimah

Di masa jailiah ia mendapat julukan ummul masakin. Sebab ia adalah

wanita yang menyayangi dan mengasihi orang-orang yang tidak mampu.

Ia adalah mantan istri paman beliau Ubaidah bin Harits bin Abdul

Muthalib bin Abdil Manaf yang sahid dalam Perang Badr. Beliau

menikahinya dan menanggung beban keluarganya, namun beberapa bulan

setelah pernikahan ia meninggal dunia.

d. Pernikahan dengan Ummu Salamah

Nama aslinya adalah Hindun binti Suhail bin Mughirah al-

Makhzuiyah. Suaminya adalah Abu Salamah yang terluka pada Perang

Uhud, setelah sembu mengikuti ekspansi selama satu bulan, saat itu ia

mendapati luka sangat parah, hingga syahid dan meninggalkan banyak

anak. Maka setelah habis masa iddahnya, Nabi melamarnya, ia memintah

maaf karena usianya sudah tua, mempunyai anak banyak.38

2. Hikmah Pendidikan

Pernikahan dengan A’isyah

A’isyah adalah istri beliau yang ketiga, ia adalah putri Abu Bakar yang

sangat berjasa dalam membangun dakwah, dan yang selalu setia menemani

38Ibid,146.

Page 45: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

30

beliau dalam keadaan suka dan duka. Bahkan telah mengorbankan apa saja

yang dimiliki demi mendapat ridhal Allah dan RasulNya. Dengan poligini,

Rasul banyak mengeluarkan wanita alim yang dapat memberikan pelajaran

pada wanita lainnya. Isteri-isteri Rasul itulah yang mengajarkan agama

kepada wanita muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat

feminisme (kewanitaan). Karena sering sekali Rasul malu dalam menjawab

persoalan itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitif”

Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor datang kepada Rasul bertanya tentang cara membersihkan haid. Lalu Rasul mengajarkannya. Beliau berkata: “Ambillah kapas yang ada wewangiannya, lalu bersihkanlah dengannya”. Wanita itu berkata: “Bagaimana membersihkannya? ”Rasul menjawab: “Bersihkanlah dengannya” Ia bertanya lagi: “Bagaimana membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Subhanallah! bersihkan saja dengannya”. Mendengar hal ini, Aisyah ra langsung menarik tangan wanita tersebut lalu berkata: “Letakkanlah kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra berkata: “Aku jelaskan tempat yang mesti diletakkan kapas”.39

3. Hikmah Tasyri” (perundang-undangan)

Hikmah ini dapat kita saksikan ketika terjadi perkawinan Rasul dengan

Zainab binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan menganggap anak

angkat (adopsi) seperti anak nasab, menyamakan hukumnya dalam hal waris,

perkawinan dan lain sebagainya.

Pada saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasul yang

bernama Zaid bin Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini

dimaklumi, karena kebiasaan itu sudah mengakar di tengah-tengah

masyarakat Jahiliyyah. Oleh karena itu demi menghapus kebiasaan ini, Rasul

mengawini Zainab yang sebelumnya telah dikawini oleh Zaid bin Haristah.

39Ibid,147.

Page 46: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

31

Sebagai manusia, Rasul takut bila orang munafik dan orang yang benci. Tapi

kekhawatiran itu sirna setelah turun firman Allah:

øŒ Î)uρ ãΑθ à)s? ü“Ï%©#Ï9 zΝyè ÷Ρr& ª! $# ϵø‹ n=tã |Môϑyè ÷Ρr& uρ ϵ ø‹n=tã ô7 Å¡øΒ r& y7 ø‹n=tã y7 y_ ÷ρy— È, ¨?$#uρ ©!$#

’Å∀øƒéBuρ ’Îû š�Å¡ø�tΡ $ tΒ ª!$# ϵƒÏ‰ö7 ãΒ y øƒrBuρ } $ ¨Ζ9 $# ª!$#uρ ‘, ym r& βr& çµ9t± øƒrB ( $ £ϑn=sù

4 |Ós% Ó‰÷ƒ y— $ pκ÷]ÏiΒ # \�sÛuρ $ yγ s3≈ oΨô_ ¨ρy— ö’ s5Ï9 Ÿω tβθ ä3tƒ ’ n?tã tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# Ól t� ym þ’ Îû Æl≡uρø— r&

öΝÎγ Í←!$ u‹Ïã÷Š r& #sŒ Î) (# öθŸÒ s% £ åκ÷]ÏΒ # \� sÛuρ 4 šχ% x.uρ ã� øΒr& «!$# Zωθ ãè ø�tΒ ∩⊂∠∪

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah

telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

4. Hikmah Secara Sosial

Hikmah ini terlihat pada perkawinan beliau dengan puteri Abu Bakar;

Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah.40 Perkawinan Rasul ini sebagai

penghargaan yang sangat besar yang pernah dirasakan kedua sahabat beliau.

Dan Rasul pun layak memberikan penghargaan yang besar ini. Sebab

perjuangan dan jerih payah yang pernah dirasakan kedua sahabat terhadap

Islam begitu besar. Maka suatu penghargaan besar bila

Rasul mengawini puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasul dan mereka

begitu kuat.

40Ibid,148.

Page 47: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

32

Disamping itu, Khafshah adalah janda dari Khunais bin Khudzafah as-

Sahmi yang wafat di Madina akibat luka parah yang menimpahnya dalam

Perang Uhud.

Secara fisik Hafshah bukanlah wanita yang berwajah cantik, namun ia

adalah wanita yang rajin berpuasa, terbiasa shalat malam, serta sangat cinta

kepada Allah dan Rasulnya.

5. Hikmah Secara Politis

Perkawinan Rasul dengan beberapa wanita mengakibatkan bersatunya

pengikut kabilah-kabilah yang berbeda, karena sebagaimana kita ketahui

bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan anggota suku lain, maka ia akan

menjadi bagian dari suku itu, begitu pula sebaliknya.

Hikmah perkawinan Rasul secara politis itu dilakukan ketika Rasul nikah

dengan beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara lain:

a. Pernikahan dengan Ummu Habibah41

Nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb, istri dari

Ubaidillah bin Jahsyi bin Huzaimah. Mereka berdua melakukan

perjalanan hijrah ke Habsyah pada kali yang kedua. Sampai di Habsyah

suaminya terfitnah hingga murtad dari Islam. Meskipun demikian Ummu

Habibah tetap tegar dalam keimanannya. Juga tidak mungkin pulang ke

Mekah karena ayahnya adalah tokoh Quraisy yang saat itu sangat

memusuhi orang-orang Islam dan menindas orang beriman.

Sungguh, wanita tegar ini patut mendapatkan penghargaan,

penghormatan dan perlindungan. Maka Rasul mengutus Jabir al-

41Ibid,151.

Page 48: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

33

Mukhsuraaka Rasul mengutus Jabir al-Makhsurain dan Mukhnis al-

Mutawahisyain untuk menghadap Raja Najasyi yang telah masuk Islam,

agar ia berkenan menikahkan Rasul dengan Ummu Habibah.

b. Juwairiyah bin Al Harits

Ia adalah putri dari perempuan Bani Musthaliq. Ketika terjadi

peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika

dihadapkan kepada Rasul, beliau menawarkan kepadanya apakah ia ingin

bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasul dan

menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah Rasul

menikahinya, kaum muslimin pun merasa sungkan bila masih menawan

tahanan dari kaum anak pemimpin Bani Musthaliq yang kini menjadi

isteri Rasul itu. Mereka berkata: “Pantaskah kita menawan para besan

Rasul?”. Akhirnya para tawaran dari Bani Musthaliq pun dibebaskan.

Akibat dari kemurahan kaum muslimin ini mereka (Bani Musthaliq)

berbondong-bondong masuk Islam.42

c. Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab

Ia adalah termasuk pembesar dari Bani Quraidhoh. Suaminya

telah tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia menjadi tawanan, salah

seorang pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya wanita ini

diserahkan kepada Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi,

beliau menawarkan dua hal; apakah dibebaskan dan menjadi isteri

Rasulullah SAW atau dibebaskan hingga bertemu keluarganya?. Atas dua

42Ibid,156.

Page 49: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

34

pilihan ini, Sofiyah memilih yang pertama karena ia melihat kewibawaan

Nabi. Ia pun masuk Islam yang kemudian diikuti oleh kaumnya.

d. Romlah binti Abu Sofyan

Ia adalah puteri Abu Sufyan, salah seorang tokoh Quraisy di

Makkah yang sangat memusuhi Nabi dan kaum muslimin.

Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah

dengan suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah,

maka tinggallah ia sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW

mengetahui hal itu, beliau mengirim surat kepada raja Najasyi untuk

disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi ingin menikahinya. Mendengar

berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak mungkin baginya untuk

kembali kepada ayahnya.

Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan, ia pun seperti

menyetujuinya, lalu membanggakan Nabi yang telah menjadi suami

puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan dan kaum Quraisy

berubah menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih berada di

Makkah yang sebelumnya sangat mengganggu.43

e. Pernikahan dengan Juwairiyah

Alasan pernikahan beliau dengan Juwairiyah hampir sama dengan

Syafiyah. Ia adalah putri pemimpin Bani Mustaliq. Ayahnya Harits bin

Dlilar memusuhi kaum muslimin. Namun ia dan kaumnya terkalahkan,

sehingga kabilahnya hampir punah dan ratusan dari mereka menjadi

tawanan, termasuk Juwairiyah. Kebetulan ia menjadi bagiannya Tsabit

43Ibid.

Page 50: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

35

bin Qais dan ia akan dibebaskan dengan syarat membayar sembilan

uqiyah (171 gram emas). Ia meminta bantuan kepada Rasul, agar beliau

membantu pembayaran yang disepakati dengan tsabit untuk

membebaskanya dari tawanan.44

f. Pernikahan dengan Maimunah

Dia adalah putri Harts bin Hazan bin Bujair, keluarga dekat

Zainab binti Huzaimah. Ia adalah mantan istri Ruhm bin Abdil Uzza.

Beliau menikahinya saat umrah di Mekah, untuk mempererat

kekeluargaannya. Sebab saudarinya, Ummul Fadl menjadi istri paman

beliau. Nabi menikahinya setelah ditinggal mati suaminya yang belum

masuk Islam untuk mengokohkan keislamannya dan mempererat jalinan

kekeluargaan.

Dari pemaparan istri Nabi, maka istri yang bikr hanya ada dua yaitu

A’isyah dan Juairiyah, sedangkan yang lainnya adalah janda. Sedangkan

istri Rasul yang mempunyai keturunan adalah Khadijah, Saudah binti

Zam’ah, dan Ummu Salamah.

B. Hukum Poligini

Poligini telah ada sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad dan telah di

laksanakan dikalangan Arab dan yang lainnya. Kemudian datanglah Islam untuk

menegaskan syari’at tersebut, meluruskan, membatasi dan menetapkan syarat-syarat

kebolehannya. Di antara dalil yang membolehkan poligini adalah dalam surat an-

Nisa’ ayat 3:

44Ibid,156.

Page 51: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

36

�0�� /�.���ا ��,�ب �* �() ا �'&$ءو /<ن 56�* 0� و =ـ>; و ر:8�9 إن 56ـ�* أ3' 2�&�1ا/0 ا )3: ا �&�ء ( أ3' 2�� �ا /C��ة أو ���>A� أ!���* ذ ? أد.0 أ3' 2�>�ا

Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisa: 3).

1. Makna Mufradat

Jika kamu takut; memiliki dugaan kuat ada kekhawatiran yang dapat : وإن �ـ��

diketahui sebelum nikah, dan ���ـ����� /�ن dapat di artikan dengan وإن

.Tidak dapat berlaku adil : أ�� �����ا

Tidak dapat berlaku adil : أ�� �����ا

����� ا�� : Terhadap anak yatim.

.Maka kawinilah; nikahilah : �#"! �ا

(#+#ب �!� ()' ا�&��%ء : Perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; apa yang kamu

senangi dari perempuan-perempuan (lain).

� و 0ـ�/ و ر-, &1) : Dua, tiga, dan empat, bukan dua tambah tiga tambah empat.

Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya; tidak menyimpang dari : أد"� أ�� ����ا

keadilan.

2. Asbâb al-Nuzûl

Asbâb al-nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat yang memberikan

informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masyfuk Zuhdi,

mendefinisikan Asbâb al-nuzûl dengan: semua yang disebabkan olehnya diturunkan

suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban

terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa.45

45Masyfuq Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990),37.

Page 52: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

37

Manfaat mengetahui Asbâb al-nuzûl adalah untuk mengetahui hikmah di

syariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum.46 Dengan mengetahui

sebab turunnya suatu ayat, kita dapat mengetahui kaitan sebuah ayat dengan suatu

peristiwa. Berdasarkan mengetahui peristiwa tersebut, kita dapat memperkirakan

dengan dugaan kuat tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah. Oleh sebab itu,

mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-nuzûl adalah suatu keharusan dalam

mengkaji al-Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna

sehingga terhindar dari kekeliruan.

Sebelum Islam di bawa Muhammad, orang Arab memiliki tradisi memelihara

anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi

perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi mereka tanpa

mahar atau dengan mahar yang lebih kecil di bandingkan dengan mahar yang lazim,

dan kemudian menguasai harta anak-anak yatim tersebut. Anak-anak yatim itu di

kuasai, diremehkan, dan di berlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan,

atau tidak merasa nyaman dengan anak-anak yatim tersebut, mereka di usir atau di

tinggalkan begitu saja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi demikianlah ayat 3 surat

al-Nisa tersebut diturunkan oleh Allah.

Sebab turun ayat 3 surat al-Nisa itu dapat di baca dalam Tafsîr Ibnu Katsîr

bahwa Urwah ibn Zubair, anak Asma kakak Aisyah, bertanya kepada Aisyah,

tentang ayat: ���وإن �ـ�� أ�� �����ا �� ا� , Aisyah menjawab:

“hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh oleh seorang wali, dia menggabungkan harta anak yatim dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan diri dan harta anak yatim itu. Oleh karena itu, ia mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak atau di bawah mahar standar. Wali yang

46Syaikh Muhammad Ali As-Sabuni, ali bahasa Muhammad, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta, Pustaka Amani, 1390 H),29.

Page 53: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

38

demikian itu dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mahar atau mas kawin yang pantas. (Ketika hal ini tidak dapat dilakukannya), wali tersebut dianjurkan untuk mengawini perempuan lain saja”.47

Sehubungan dengan itu, Allah menurunkan ayat ke 3 ini sebagai teguran dan

peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim.

Kisah tersebut tertera dalam hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari dari

Ibrahim dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari

Aisyah. Dari asbâb al-nuzûl ayat tersebut dapat di ketahui secara jelas bahwa

maksud utama ayat tersebut adalah harus ada perlindungan terhadap manusia lemah,

yaitu anak yatim dan bukan berkenaan dengan anjuran poligini.

Berdasarkan pada asbâb al-nuzûl diatas, kurang tepat bila dengan serta merta

ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau

di sebut langsung sebagai ayat poligini. Anggapan bahwa ayat tersebut adalah ayat

yang membolehkan atau langsung menyebutnya sebagai ayat poligini, bisa jadi

melakukan kesengajaan untuk kepentingan tertentu, mencari pembenaran untuk

mempraktekkan poligini dengan tidak melihat asbâb al-nuzûl, atau membaca ayat

tersebut tidak secara utuh, awal ayat dan akhir ayat tidak dibaca, yang dibaca hanya

padahal, jika ayat tersebut dibaca ,�#"! �ا (#+#ب �!� ()' ا�&��%ء (1&� و 0ـ�/ و ر-,

secara utuh, maka akan di pahami bahwa ayat tersebut berkaitan dengan

larangan mengawini anak yatim apabila tidak sanggup berlaku adil terhadapnya.

Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan surat an-Nisa: 127:

bahwa para wali atau yang menguasai anak yatim dilarang mengawini anak-anak

yatim hanya karena harta dan kecantikannya. Ayat tersebut bukan membuat

47Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Kairo, Dar al-Hadis, 2005),233.

Page 54: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

39

peraturan untuk berpoligini karena poligini telah dianut dan dilaksanakan sebelum

ayat ini turun.

Poligini yang di pahami masyarakat Indonesia selama ini dan pengertian yang

sama juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu seorang laki-laki

beristeri lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Istilah yang tepat menurut

Antropologi adalah poliginy bukan poligamy karena istilah poligamy bisa di

pergunakan kepada laki-laki yang beristeri lebih dari satu atau perempuan bersuami

lebih dari satu. Sedangkan poliginy hanya dipergunakan untuk seorang laki-laki yang

memiliki banyak isteri dan poliandry adalah istilah yang hanya dipergunakan untuk

seorang perempuan memiliki banyak suami dalam waktu bersamaan.

Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligini

dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang sudah terlanjur

beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya sehingga jumlah istri yang

terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang.

Redaksi ayat dan beberapa riwayat yang terkait dengan ayat ini menegaskan

bahwa syari’at poligini ini erat kaitannya dengan penyelesaian anak yatim dan

menghindari kedzaliman.48

Wahyu poligini yang terdapat dalam al-Quran an-Nisa’ ayat 3 merupakan

ayat yang berkaitan dengan penyelamatan bagi kalangan janda ataupun anak yatim.

Pada masa itu diharapkan ada seorang yang dapat berbuat adil dan memungkinkan

untuk menikahi para janda ataupun anak yatim tersebut dan tindakan itu merupakan

tindakan menyelamatkan kehidupan mereka dari ganasnya situasi hidup ataupun

48Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Jakarta: Penerbit eL-SAQ Press, 2004), 426.

Page 55: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

40

orang-orang yang ingin memanfaatkan mereka. Namun demikian, teks itu

mengingatkan agar apabila tidak mampu berbuat adil, maka tidak diperkenankan

menikahi mereka.

Lebih lanjut KH. Husain Muhammad menyatakan poligini dan perbudakan

merupakan suatu rangkaian yang menjadi objek transformasi oleh Nabi Muhammad

yang akan di hapuskan. Jadi teks-teks tersebut termasuk ke dalam teks yang (di

dalam proses) dihapuskan keberadaannya. Karena itu, tafsir yang membolehkan

poligini dikalangan komunitas muslim di Indonesia justru bertentangan dengan nilai

transformasi yang dibawahkan oleh Nabi Muhammad.49

Dalam surat an-Nisa’ ayat: 3 Allah membolehkan menikahi perempuan lebih

dari satu dengan syarat tidak boleh lebih dari empat dan dapat berbuat adil terhadap

istri-istrinya. Dengan demikian, maka prinsip kemanusiaan dan keadilan akan

tercapai. Namun, apabila seorang laki-laki tidak mampu berbuat adil atau tidak

memiliki harta untuk membiayahi istri-istrinya, maka ia harus menahan dengan

menikahi satu istri saja. Sangat penting bagi suami yang mempunyai istri lebih dari

satu untuk berlaku adil seadil mungkin terhadap istrinya.50

Keadilan dalam ayat diatas hanya berhubungan dengan usaha yang

dimungkinkan secara kemanusiaan. Dalam hal kasih sayang seorang berusaha

semampunya, karena manusia tidak akan mampu berbuat seadil-adilnya, manusia

mempunyai keterbatasan sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ ayat 129:

49Ibid,51. 50A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),191.

Page 56: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

41

s9 uρ (# þθ ãè‹ÏÜ tF ó¡n@ βr& (#θä9 ω÷ès? t÷ t/ Ï !$ |¡ ÏiΨ9$# öθ s9 uρ öΝçF ô¹t� ym ( Ÿξ sù (#θè=ŠÏϑs? ¨≅ à2 È≅ øŠyϑø9 $#

$ yδρâ‘x‹tGsù Ïπs)‾=yè ßϑø9 $$ x. 4 βÎ)uρ (#θ ßsÎ=óÁ è? (#θ à)−Gs?uρ �χÎ* sù ©!$# tβ% x. # Y‘θ à�xî $ VϑŠÏm §‘ ∩⊇⊄∪

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menegaskan bahwa adil secara sempurna dan mutlak tidak dapat

dilakukan oleh manusia. Maka ayat ini melarang kedzaliman dan kesewenang-

wenangan yang jelas yaitu kecenderungan penuh.

Menurut Ibnu Katsir ayat diatas menjelaskan bahwa manusia tidak akan

sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian

malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada rasa perbedaan dalam

rasa cinta, syahwat, dan jima’.

Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan

cinta di antara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat di

kuasai. A’isyah merupakan istri yang paling di cintai Rasul. Dari sini dapat diambil

pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’

karena jima’ terjadi sebab adanya cinta dan kecondongan. Jika suami meninggalkan

jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut di maafkan.

C. Syarat-syarat Poligini

Islam membolehkan kaum laki-laki nikah lebih dari satu. Akan tetapi

kebolehan ini dibatasi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak

Page 57: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

42

terpenuhi, maka pelakunya berdosa dan nikahnya tidak sah.51 Syarat-syarat tersebut

adalah:

1. Yakin mampu berlaku adil terhadap para istri dalam hal pembagian bermalam

dan nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ayat: 3.52

2. Memiliki kemampuan finansial yakni mampu memberi nafkah secara adil

kepada istri. Sebab apabila seseorang tidak memiliki kemampuan

memberikan nafkah, maka ia hanya menelantarkan hak-hak orang lain. Hal

ini sesuai dengan surat an-Nur ayat 33:

É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ%©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % �n%s3ÏΡ 4 ®L ym ãΝåκu� ÏΖøó ムª! $# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ

tβθ äótGö6 tƒ |=≈ tGÅ3ø9 $# $£ϑÏΒ ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö�yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï%©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ (#θèδ Ì� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’ n?tã Ï!$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r&

$ YΨ÷ÁptrB (#θ äótGö;tGÏj9 uÚ t� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒuρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù ©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î)

Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪

Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

51Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah, (Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2007),104. 52Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),172.

Page 58: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

43

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang hendak nikah harus berpikir

panjang dan mendalam, hingga mendapatkan harta yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga.

Menurut Imam Nawawi menjelaskan bahwa perintah untuk menikah

bagi orang yang mampu dan mempunyai keinginan untuk menikah. Jika

syarat ini tidak terpenuhi, maka seorang laki-laki tidak boleh menikah lagi

dengan wanita lain. Bahkan laki-laki yang belum beristripun tidak boleh

menikah, sebab hal itu akan mengantarkan berbuat dzalim kepada wanita.53

Selain itu syarat itu juga dilandasi oleh beberapa alasan:

1. Kemampuan memberi nafkah merupakan konsekwensi terhadap

perintah mempergauli secara ma’ruf, sebab bagaimana akan

mempergauli dengan ma’ruf kalau tidak memenuhi kebutuhan

dasarnya.

2. Terdapat banyak teks yang memerintahkan para suami untuk memberi

nafkah istrinya dan ancaman bagi yang menelantarkan keluarganya.

3. Hak-hak istri menegaskan kewajiban suami untuk mempunyai

kemampuan memberi nafkah istrinya.

1) Pengertian Adil dalam Poligini

Syarat di bolehkannya poligini adalah tidak adanya kehawatiran berbuat

dzalim, atau ada keyakinan bisa berlaku adil, sebagaimana yang telah ditegaskan

dalam ayat pertama. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa adil tidak dapat

dilakukan oleh manusia, betapapun ia mengungkapkannya. Jadi jika adil tidak

53Ibid, 106.

Page 59: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

44

terpenuhi, maka poligini tidak boleh. Ketika adil tidak terpenuhi, maka poligini

haram.

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan di dalam menjawab pertanyaan

diatas:

1. Adil yang di firmankan oleh Allah bahwa tidak mungkin dapat dilakukan

manusia adalah keadilan yang sempurna dalam berbagai hal materi dan

maknawi, nafkah dan perlakuan lahir, serta cinta dan kecenderungan hati.

Keadilan seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia, siapapun

dia. Bahkan Rasulallah sendiripun tidak dapat melakukan keadilan seperti ini,

sebagaimana pernyataan beliau:

��# أ(�4 ����3&� ���# ���4 و� أ(�4 ا���9 ه���5 67� � Ya Allah inilah pembagian yang aku mampui, maka jangan mencela aku

yang engkau mampui dan tidak aku mampui.

2. Andai adil tidak dapat dilakukan secara muthlak, tentu Rasulallah dan para

sahabat adalah orang-orang dzalim. Tetapi tidak ada satu ayatpun yang

menyatakan mereka dzalim. Bahkan ayat dan hadis mewajibkan kita

mengikuti mereka.

ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’Îû ÉΑθß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×πuΖ|¡ym yϑÏj9 tβ% x. (#θ ã_ ö�tƒ ©! $# tΠ öθ u‹ø9 $#uρ

t� ÅzFψ$# t�x.sŒ uρ ©!$# # Z��ÏVx. ∩⊄⊇∪

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Page 60: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

45

3. Jika adil tidak mungkin dilakukan, maka bertentangan dengan melakukan ijin

poligini dan tidak mungkin Allah memberikan syari’at yang tidak mungkin

tidak dapat dilaksanakan.

Ÿω ß# Ïk=s3ムª!$# $ ²¡ ø�tΡ āω Î) $ yγ yè ó™ãρ 4 $ yγ s9 $ tΒ ôMt6 |¡x. $ pκö� n=tãuρ $tΒ ôM t6 |¡tF ø.$# 3 $ oΨ−/u‘ Ÿω

!$ tΡõ‹Ï{#xσè? βÎ) !$ uΖŠÅ¡ ®Σ ÷ρr& $tΡù' sÜ ÷zr& 4 $ oΨ−/u‘ Ÿωuρ ö≅Ïϑós s? !$ uΖøŠn=tã # \� ô¹Î) $ yϑx. …çµ tF ù=yϑym ’ n? tã

šÏ% ©!$# ÏΒ $ uΖÎ=ö6 s% 4 $ uΖ−/u‘ Ÿωuρ $oΨù=Ïdϑys è? $ tΒ Ÿω sπ s%$ sÛ $ oΨs9 ϵ Î/ ( ß# ôã$#uρ $ ¨Ψtã ö�Ï�øî$#uρ $ oΨs9

!$ uΖôϑym ö‘ $#uρ 4 |MΡr& $ uΖ9s9 öθ tΒ $ tΡö� ÝÁΡ$$sù ’n? tã ÏΘ öθ s)ø9 $# š Í�Ï�≈ x6ø9 $# ∩⊄∇∉∪

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

4. Bersikap adil juga diperintahkan Allah kepada anak-anak. Adil secara

sempurna terhadap anak-anak adalah mustahil. Jika demikian, maka tidak

boleh memiliki keturunan lebih dari satu. Sebab tidak mungkin dapat berbuat

adil dalam ketertarikan hati, kecintaan dan perasaan hati.

2) Poligini dibatasi Hanya Empat Istri

Poligini sebelum datangnya syariat Islam tanpa batas sehingga pada umat

dulu ada yang mempunyai istri seratus bahkan ada yang lebih dari itu. Kemudian

Islam datang dan memberi batasan hanya empat istri.

Page 61: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

46

Di samping itu ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa batas

maksimal adalah empat antara lain:

1. Sabda Rasul kepada salah seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang masuk

Islam dan memiliki sepuluh orang istri.

أ(�4 (&9' أر-�# و�#رق >#;:ه'

Tahanlah empat dari mereka dan ceraikan sisanya

2. Sabda Rasul kepada Harits bin Qais ketika ia masuk Islam dan memiliki

delapan istri;

#� إ�: (&9' أر-

Pilihlah empat dari mereka

3. Sabda Rasul kepada Nufail bin Mu’awiyah ketika beliau menanykan kelima

istrinya saat ia masuk Islam:

�#رق وا?�ة وأ(�4 أر-,

Ceraikanlah satu dan pertahankan yang empat.

3) Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus

dari Allah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya dalam al-Qur’an

kalamullah pada ayat 3 surat al-Nisa’.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa kebolehan berpoligami pada

ayat di atas sifatnya kasuistis, yakni sangat terkait dengan kekhawatiran berlaku

aniaya atau tidak berlaku adil terhadap perempuan yatim. Agar tidak berlaku aniaya

atau tidak adil terhadap seorang perempuan yatim yang dikawini, maka Allah

memberikan solusi pada kasus tersebut dengan membolehkan laki-laki yang

bersangkutan melakukan poligami dengan perempuan-perempuan lain, yang bukan

Page 62: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

47

yatim dua, tiga, sampai empat orang. Itupun, harus memenuhi syarat mampu berlaku

adil kepada keempat istri tersebut. Jika tidak sanggup berlaku adil terhadap keempat

istri itu maka solusinya kawin dengan seorang perempuan saja, yakni menikah secara

monogami.

Quraisy Shihab memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu

percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain anak yatim itu,

maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari

perempuan-perempuan lain itu. Bahkan kamu dapat melakukan poligini sampai batas

empat orang perempuan sebagai isteri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak

akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, dan baik lahir

maupun batin maka kawini seorang perempuan saja (nikah secara monogami) atau

kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain

perempuan yatim (berpoligini dengan perempuan lain) yang mengakibatkan

ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang isteri (monogami) adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap isteri-isrti yang

dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah dan tertera dengan tegas

dalam ayat tersebut.

4) Dampak Poligini

Perempuan-perempuan yang dimadu harus berbagi segala-galanya, baik

materi maupun non materi sesama istri. Begitu juga sesama anak yang ayahnya

berpoligini. Tidak terjadi masalah selama mereka bisa menerimanya dengan ikhlas,

dan suami atau ayah mereka bersikap adil kepada mereka. Berlaku adil dalam

berpoligini sangat sulit terwujud. Allah telah mengingatkan dan menyatakan pada

Page 63: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

48

surat yang sama ayat 129 bahwa suami yang berpoligini itu tidak akan sanggup

berlaku adil.

Jika tidak ada keadilan dan masing-masing merasa di rugikan, maka isteri-

isteri dan anak-anak akan saling salah paham, curiga dan cemburu. Ini, akan menjadi

malapetaka antar sesama istri, menjadi konflik dan bisa menjadi konflik terbuka,

perpecahan, dan tindakan kekerasan fisik.

Suami yang berpoligini harus betul-betul adil dan bijaksana, siap secara fisik,

mental, dan finansial supaya tidak menemukan kesulitan yang berat karena beban

atau kewajiban nafkah tentu lebih besar daripada bermonogami. Rasul juga

mencontohkan “menggilir” isteri-isterinya secara adil dan merata. Kewajiban materi

mungkin dapat di bagi secara adil karena dapat di hitung dan di perkirakan, tetapi

non materi tidak mungkin dibagi secara adil karena standarnya tidak jelas.

Sedangkan setiap manusia memiliki kebutuhan jasmani dan rohani atau materi dan

inmateri yang harus terpenuhi.

Dalam poligini ada manfaat dan mafsadat. Dengan memperhatikan firman

Allah surat al-Nisa’ ayat 129, kesulitan dan beratnya beban atau tanggungjawab yang

di pikul laki-laki yang berpoligini, dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,

maka berpoligini lebih besar mafsadat atau mudharatnya dari pada maslahat atau

manfaatnya.

Jika memperhatikan hadits Rasul yang melarang Ali berpoligini atau memadu

Fatimah, dapat di pahami bahwa poligami cenderung menyakiti perempuan karena

Rasul menyatakan bahwa sakitnya Fatimah sakitnya aku. Dengan demikian dalam

perkawinan secara poligini terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan

terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Page 64: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

49

Surat an-Nisa’ ayat 3 melarang menghimpun (memadu) dua perempuan

bersaudara, dan hadits juga melarang memadu perempuan yang berhubungan bibi

dan ponakan. Kedua sumber ini mengisyaratkan yang dapat di pahami bahwa antara

sesama perempuan yang dimadu tersebut terdapat hubungan tidak sehat, seperti

saling cemburu, berkompetisi dan berebut, bermusuhan yang dapat menimbulkan

konflik, baik tertutup maupun terbuka. Oleh karena itu, poligini yang demikian itu di

larang dengan tegas dalam Islam karena akan merusak hubungan antara perempuan-

perempuan bersaudara.

Kenyataan dampak buruk poligini sering di temukan dalam masyarakat.

Poligini mengandung banyak kebohongan, ketidakadilan dan penderitaan terhadap

banyak pihak, terutama terhadap isteri dan anak-anak. Poligini sering memicu

tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri dan anak-anak, seperti

kekerasan psikis, ekonomi, dan pisik, baik yang di beritakan maupun yang tidak di

beritakan dimedia masa tetapi dapat dirasakan oleh semua orang. Bentuk-bentuk

kekerasan tersebut berupa tekanan psikis, fisik, penelantaran dan pengabaian,

ancaman dan terror. Bahkan ada anak memukul ayahnya yang berpoligini. Kekerasan

adalah mudharat, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, dan mafsadat yang tidak

diinginkan. Kaidah fiqhiyah mengingatkan kita supaya ا لAB ر:Cا�, kemudaratan

harus di lenyapkan. Jika dalam suatu hal ada maslahat dan mudharat, maka kita harus

menentukan sikap sebagaimana diajarkan kaidah D�#Eا�� F�G � ,درء ا���#>� (��م ��

menolak mafsadat harus di dahulukan daripada menarik kemaslahatan atau manfaat.

Kemudharatan akibat poligini dapat di prediksi, dan dalam kenyataanpun

sudah terbukti bahwa poligini lebih banyak membawa mudharat untuk konteks

Page 65: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

50

sekarang. Dengan demikian, poligini untuk kasus yang demikian bisa di masukkan

ke dalam kategori haram li ghairih. Poligini itu asalnya di bolehkan, tetapi karena di

barengi sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat, maka perbuatan itu menjadi

haram li ghairihi.

Hal ini, berdasarkan kepada pendapat ahli Ushûl al-fiqh yang menyatakan

bahwa haram li ghairih adalah perbuatan yang pada awalnya di bolehkan

melakukannya, tetapi karena di barengi oleh sesuatu yang bersifat mudharat atau

mafsadat dalam pandangan syara’, maka perbuatan itu menjadi haram.54

5) Monogami: Prinsip Perkawinan Islam

Surat al-Nisa’ ayat:3 tersebut diakhiri dengan dzâlika adnâ allâ ta`ûlû, “Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pemahaman

Faqihuddin Abdul Kodir mengenai akhir ayat tersebut adalah bahwa pilihan

perkawinan monogami akan mendekatkan seseorang untuk tidak berlaku zalim atau

aniaya.55 Perkawinan poligini memang rentan terhadap prilaku tidak adil dan

tindakan kezaliman terhadap perempuan (istri) dan anak-anak. Pemahaman tersebut

di perkuat dengan firman Allah yang terdapat dalam surat yang lain:

�!&) ��BIوا"! �ا ا...

Kawinkanlah orang-orang yang sendirian (Al-Nur, 24:32)

Lafaz al-ayyâmâ berarti orang yang belum memiliki pasangan. Ayat tersebut

menganjurkan seseorang untuk menikah dengan, atau menikahkan orang yang belum

memiliki pasangan (laki-laki atau perempuan). Oleh karena itu, ayat al-Qur’an itu

54Rahmat Syafi’ie, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 308. 55Fakihudin Abdul Kodir, Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadits Nabi, (Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2005),100.

Page 66: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

51

justru menganjurkan perkawinan monogami.56 Sejalan dengan itu, dalam al-Qur’an

dan Terjemahnya, kata وا"! �ا diartikan dengan “kawinkanlah”. Selanjutnya

dijelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah supaya laki-laki yang belum

kawin atau perempuan yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.57

Pada surat al-Nisa’:129 Allah menegaskan bahwa para suami yang

berpoligami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun sudah

berusaha untuk melakukannya.

Monogami adalah bentuk perkawinan yang paling umum, alami, dan

manusiawi.58 Ungkapan tersebut sangat tepat karena semua perempuan yang normal

tidak ada yang mau dimadu. Bahkan, laki-laki pun tidak rela jika ibunya, atau anak

perempuannya, atau saudara perempuannya dimadu.

Muhammad Rasulullah, pelaku poligamipun melarang Ali bin Abu Thalib

(menantunya) memadu Siti Fatimah (puteri Rasul). Berkaitan dengan perkawinan

monogami dan larangan keras terhadap Ali ini, ada hadits yang menyatakan bahwa

ketika Rasul SAW mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib dilamar oleh Bani Hisyam

bin Mughirah, beliau langsung berkhutbah di atas mimbar yang isinya bahwa beliau

sangat tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib (sampai tiga kali), menantunya,

memadu anaknya Fatimah binti Muhammad.59 Khutbah tersebut di dalam hadits

tertera sebagai berikut:

56Ibid,101. 57Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press,1991),549. 58Murtadha Muthahhari, terjmh. M.Hashem, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera Basritama, 1995),206. 59Syayid Sabiq, alih Bahasa Moh.Thalib, Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), 146.

Page 67: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

52

F/ G ��ة إI�Jذ.�ا أن !����ا إ:���* �) H>0 :) أ:0 ,� K� أذن إن :�0 ه�Mم :) ا G أن !Q<1 إ:��P و!��O إ:���*�, P:ان !�!� ا:) ا R3 اذن =* 3 اذن إ *= *�

� ��P�T!�! P �� ارا :�� و!Sذ.P �� اذاه� /<.���U: P��:إ

Artinya: Sesunguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak perempuannya dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi aku tidak mau mengizinkan, lalu aku tidak mau mengizinkan, dan kemudian aku tidak mau mengizinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib lebih dahulu menceraikan anak perempuanku, lalu kawin dengan anak perempuan mereka. Sebab anak perempuanku adalah darah dagingku. Kalau ia dibuat tidak senang berarti aku pun dibuat tidak senang, dan kalau ia disakiti berarti aku disakiti. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Pernyataan Rasul melarang Ali memadu Fatimah itu merupakan gambaran

bahwa perempuan yang dimadu itu tidak senang dan cenderung di sakiti serta tidak

seorang pun dari orang tua yang rela jika puterinya dimadu termasuk Rasul sendiri.

Hadits tersebut terdapat di dalam beberapa kitab Hadits, kitâbu al-sittah,

yakni Shahih Bukhari dalam bab nikah, yakni hadits ke 4829; Shahih Muslim bab

Fadhail Ashhabah, yakni hadits ke 4482: Sunan Abu Dawud dalam bab al-Nikah,

yakni hadits ke 1773 dan Sunan Ibn. Majah dalam bab nikah, yakni hadits ke 1988;

Sunan Atturmizi, dalam bab Al-Manakib, yakni hadits ke 3804, dan Musnad Ahmad

bin Hanbal, yakni hadits ke 18164.

Hadits yang melarang Ali berpoligini itu di pahami sebagai isyarat bagi

orang yang menolak poligini bahwa Rasul melakukan poligini tidak perlu ditiru oleh

umatnya. Amalan Rasul berpoligini itu adalah khusus untuk Rasul dan sunnah yang

tidak mengandung unsur syari’ah atau tidak bisa di jadikan dasar hukum. Oleh sebab

itu, tidak perlu diikuti oleh umatnya.

Page 68: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

53

D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushûl al-fiqh

Ayat al-Qur’an menurut kajian ushûl al-fiqh merupakan sumber dalil dalam

urutan pertama dan utama karena ayat tersebut adalah firman atau kalam Allah.

Keberadaannya adalah qath`iy al-wurûd, yakni betul-betul pasti berasal dari Allah.

Firman Allah dalam al-Nisa: 3 membicarakan tentang nikah. Dengan demikian,

syari’at atau perintah menikah adalah qath`iy, yakni berasal dari Allah secara pasti

dan tidak di ragukan sedikitpun.

Lafaz ا"! �ا pada ا� !"#� dalam ayat itu terdiri dari ف = maka, ا "!#ح dan وا.

Lafaz ح#!" adalah akad, berarti perbuatan fisik dan dapat di tangkap oleh

pancaindera. Termasuk ahkâm `amaliyah, mu’âmalah atau furu`iyah bukan

i`tiqadiyah (keyakinan). Dalam kajian Ushûl al-fiqh, semua akad (meliputi akad

nikah) termasuk3ت)#� yaitu hubungan sesama manusia. Berdasarkan , ا?!#م ا��

kepada hadits Nabi آ�#� kaidah fiqhiyah yang di pergunakan untuk , ا"�� ا��� -#(�رد"

urusan muamalah adalah O?#-ء ا�#�Pا� Q� RSا� , hukum asal sesuatu itu adalah

boleh.

Oleh sebab itu, hukum asal dari nikah adalah boleh. Apabila susunan ayat 3

surat al-Nisa’ tersebut di cermati secara utuh, maka hukum asal kawin adalah boleh

bukan wajib. Menurut Asyathibi, mubah bisa di haramkan jika dilihat dari segi kulli.

Hukum mubah bisa berubah menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan

membawa kemudharatan.60 Contohnya kawin itu hukumnya haram, jika sipelaku

yakin akan berbuat zalim kepada pasangannya, baik suami kepada istri maupun

60Rahmat Syafi’e, Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 311.

Page 69: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

54

sebaliknya isteri kepada suami. Jika ia khawatir akan menganiaya pasangannya,

maka hukumnya makruh tahrim.61

Lafaz ا� !"#� fankihû pada ayat tersebut adalah fi`il amr :)ا R��, yang

menurut kaidah fiqhiyah ب�G��� :)ا� Q� RSا� , lafaz ا"! �ا pada !"#�ا� dalam

ayat itu sebagai :)ا R�� , seharusnya mengandung perintah untuk wajib. Akan tetapi,

pada ayat tersebut, ا� !"#� di pahami bukan perintah untuk wajib karena pada ayat

tersebut tersusun dari kalimat yang diawali dengan �ـ��وإن أ�� �����ا dan أ�� ���إن

����ا � Kedua kalimat ini adalah qarinah yang menunjukkan bahwa أ�� �����ا dan أ��

����ا� menjadi syarat dan juga menjadi penghalang, maka hukum asal menikah (baik

monogami maupun poligini) bukan wajib. Jadi, pada susunan ayat tersebut berlaku

kaidah O?#- 3�:)ا� Q� RSا�, bukan kaidah ب�G��� :)ا� Q� RSا�.

adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya وا

orang mukallaf sebagai subyek hukum.

Apabila di tinjau dari aspek dalil, maka ayat tersebut dalilnya menunjukkan

dzanniy Oا���� Q&T. Berarti hukum menikah asalnya adalah dzanni (dugaan), yaitu

tergantung pada niat, situasi, dan kondisi orang yang akan menikah.

Lafaz أ�� �����ا menjadi penghalang bagi laki-laki menikahi anak yatim dan

solusinya menikahi perempuan lain secara poligini. Lafaz ���ا� menjadi أ�� �

penghalang bagi laki-laki menikahi perempuan lain itu secara poligini dan solusinya

kawin secara monogami. Dengan demikian, ayat tersebut dapat di pahami bahwa jika

hendak menikahi perempuan yatim harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu,

61Ibid,179.

Page 70: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

55

yakni berlaku adil terhadap perempuan yatim itu. Jika khawatir tidak bisa berlaku

adil, maka solusinya kawin dengan perempuan lain (selain anak yatim) meskipun

berpoligami, tetapi dibatasi sampai empat orang istri. Kawin dengan perempuan lain

secara poliginipun harus memenuhi syarat, yakni berlaku adil terhadap istri-istri yang

tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, solusinya kawin dengan perempuan lain itu

secara monogami, yaitu seorang saja.

Karena pada ayat itu terdapat sebab, penghalang, dan atau syarat, ayat

tersebut mengandung hukum ��U ا�� (wadh`î). Menurut Rachmat Syafe`i, hukum

wadh`î adalah firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,

syarat, atau penghalang.62 Khallaf membagi hukum wadh`î menjadi lima bagian,

yaitu FVا�� sebab, ط:Xا� syarat, ,"#ا�� penghalang, OEوا��O�BA, ا�: keringanan dan

`azimah, dan 3ن�Vوا� O Eا� keshahihan dan kebatalan.63

Hukum wadh`î yang terdapat pada ayat tersebut adalah FVا�� sebab, ط:Xا�

syarat, dan ,"#ا�� penghalang. Ketentuan dalam hukum wadh`î adalah ada syarat ada

hukum, tidak ada syarat tidak ada hukum. Penerapan hukum ��U ا�� (wadh`î) pada

ayat itu, berarti tidak terpenuhi syarat berlaku adil, maka tidak ada perkawinan

dengan anak yatim dan tidak ada perkawinan secara poligini. Sedangkan penghalang

adalah sesuatu yang dengan keberadaanya menyebabkan tidak ada hukum atau

membatalkan sebab. Pada ayat tersebut, berarti terdapat kekhawatiran tidak akan

berlaku adil pada laki-laki, menyebabkan tidak ada atau ia tidak boleh melakukan

62Ibid, 312. 63 Ibid, 117.

Page 71: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

56

perkawinan dengan anak yatim dan tidak boleh pula melakukan perkawinan secara

poligini.

Ibnu Arabi dalam tafsir ayat ahkam mengatakan bahwa �ـ�� أ�� �����ا وإن

menurut mayoritas ulama’ tafsir berpendapat bahwa artinya adalah; apakah kamu

yakin dan mengetahui secara pasti. Kata khauf (ف�) walaupun menurut bahasa

memiliki arti dugaan yang cenderung mengetahui keberadaannya dibanding tidak

adanya, akan tetapi terkadang memiliki arti yakin dan mengetahui.

Abu Ja’far ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa pendapat yang lebih

utama dari sekian banyak pendapat yang menafsirkan ayat ...........�ـ�� أ�� �����ا وإن

adalah demikian juga, takutla kamu dalam urusan perempuan. Maka janganlah kamu

menikahi perempuan, kecuali kamu tidak merasa khawatir berbuat tidak adil kepada

mereka.64

Menikahi perempuan dari satu sampai empat boleh, namun jika kamu

khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap satu perempuan, maka jangan

menikahinya.

Surat al-Nisa’ ayat: 3 umumnya di pahami melalui pendekatan al-syarth dan

jawab al-syarth. �ـ�� أ�� �����ا adalah sebagai syarth. Sedangkan jawab al-syrth وإن

adalah ,-و 0ـ�/ و ر � Melalui pendekatan tersebut .�#"! �ا (#+#ب �!� ()' ا�&��%ء (1&

diperoleh dua pemahaman dari ayat. Pertama, jika kamu takut akan menzalimi anak

yatim manakala kamu menikahi ibu mereka, maka nikahilah orang lain saja, dua,

64Imam Zaki al-Barudi, Tafsir al-Qur’an Wanita (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004),311.

Page 72: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

57

tiga, dan empat. Kedua, jika kamu takut menzalimi anak yatim, maka menikahlah

dengan perempuan lain saja dua, tiga atau sampai empat.65

Ayat 3 tersebut dapat juga di pahami melalui pendekatan shifat maushuf

seperti diijtihadkan oleh Muhammad Salman Ghanim bahwa ,-و 0ـ�/ و ر �&1)

adalah shifat. Lafaz ا�&��%ء pada ayat itu adalah maushufnya. Dengan pendekatan

shifat maushuf ini, diperoleh pemahaman bahwa jika kamu takut menzalimi atau

tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim, maka kawinilah perempuan-permpuan

(ibu-ibu) yang mempunyai anak yatim. Makna ini di dukung dan di kuatkan lagi

dengan ayat lain dalam al-Qur’an sebagai realisasi pemahaman integral atas al-

Qur’an.66

Menurut Ibnu Arabi dalam Tafsirnya berpendapat bahwa kata و 0ـ�/ و �&1)

-,ر terkadang di salah artikan oleh orang-orang yang tidak tahu. Berdasarkan ayat

tersebut mereka membolehkan menikahi perempuan hingga sembilan. Mereka tidak

tahu bahwa kata matsna dalam bahasa arab memiliki arti dua dan dua kali.

Sedangkan tsulatsa memiliki arti tiga dua kali. Kata ruba’a ungkapan dari empat dua

kali. Sehingga ketika ketika yang diambil dari ayat tersebut makna yang tersurat,

kemudian di masukkan kedalam makna secara bahasa, terciptala pendapat yang

menyatakan bahwa seorang laki-laki di perbolehkan menikah dengan delapan belas

perempuan.

adalah perbuatan fisik dan dapat di ا "!#ح . وا dan ا "!#ح terdiri dari ا"! �ا

tangkap oleh pancaindera, ia termasuk kajian fiqh amaliyah atau furu`iyah bukan

65Muhammad Salman Ghonim, Terj. Kamran Asad Irsyadi, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 89. 66Ibid,190.

Page 73: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

58

i`tiqadiyah. وا adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian,

maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum.

Alasan kenapa dalam ا (#+#ب �!� ()' ا�&��%ء� !"#� kata ‘ma’ thaba lakun bukan

‘man’ thaba, karena ‘ma’ biasanya di pakai untuk selain manusia. Ada sebagian

pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya bukan seperti termaktub dalam kata

tersebu, tetapi maksudnya adalah nikahila dengan nikah yang baik. Oleh karena itu

arti dari ا (#+#ب �!� ()' ا�&��%ء� !"#� adalah perbuatan, bukan menerangkan

perempuan tertentu. Karenanya firman diatas menggunakan kata ‘ma’ dan bukan

man.

Menurut Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat......... ا (#+#ب �!� ()' ا�&��%ء� !"#�

nikahilah perempuan yang kamu senangi, selain perempuan yatim. Sedangkan Ibnu

Abas dan ulama’ tafsir lainnya berpendapat bahwa ayat di atas hanya menunjukkan

kebolehan mengambil istri satu sampai empat. Imam Syafi’i berkata: sabda Rsul

adalah sebagai penjelas firman Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi

siapapun, selain Rasul untuk mengambil istri lebih dari empat.

A’isyah meriwayatkan dari Nabi bahwa makna ��ا�� adalah agar kalian tidak

berbuat jahat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa makna dari kata tersebut adalah

janganlah kalian condong pada salah satu istri kalian pendapat ini merupakan

pendapat Ibnu Abbas, Hasan, Qotadah, Rabi’, Sadi, Ibnu Qutataibah.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

Pokok pembahasan ayat 3 surat al-Nisa’ itu adalah masalah di sekitar anak

yatim. Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat

Page 74: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

59

dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam

keadaan menjanda. Oleh karena itu kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut

dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau langsung

disebut sebagai ayat poligini.

Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 3, dipahami bahwa menikah secara

poligini terbatas adalah solusi daripada menikahi perempuan yatim yang tidak

dibarengi dengan berlaku adil.

Selain sebagai solusi, nikah secara poligini adalah pilihan bersyarat.

Syaratnya berat dan sulit, yakni adil lahir dan batin, bukan karena isteri sakit, cacat,

atau mandul. Perlakuan yang tidak adil menjadi penghalang sahnya berpoligini.

Latar belakang Sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan

prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan

manusiawi.

Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan

poligini dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-

istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika

kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja”.

Kebolehan poligini ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam

kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi

syarat tertentu.

Makna keadilan sebagai syarat poligini bukan pada keadilan makna batin

(seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material

dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar

belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’).

Page 75: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

60

Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan

kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab

turun ayat poligini (ayat 3 al-Nisa’) dan praktek poligini Rasulullah Saw. Bukan

hanya pada motivasi seks dan kenikmatan biologis.

Page 76: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

61

BAB III

BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRÛR

A. Sketsa Historis

1. Biografi Intelektual

Muhammad Syahrûr yang selanjutnya disebut Syahrûr merupakan seorang

insinyur berkebangsaan Syiria, lahir tanggal 11 April 1938.67 Sebagai buah

perkawinan dari Deib ibn Deib Syahrûr dan Siddiqah bint Salih Filyun.68

Syiria berada sekitar 80 km dekat Mediterania berada pada daratan tinggi 680

m diatas permukaan laut. Syiria seperti negara-negara Timur Tengah, tercatat sebagai

negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kanca pemikiran dunia Islam, baik

67Muhammad Syahrûr, Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1 (Damaskus al-Ahali li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1990), 654. 68Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali, 1996), halaman persembahan.

61

Page 77: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

62

sosial, politik, budaya dan intelektual serta perna mengalami modernitas, khususnya

benturan keagamaan dengan gerakan modenitas Barat.69

Dampak dari modernisasi Turki, Syiria perna menjadi region dari dinasti

Umayah, terbukti melahirkan banyak figur pemikir dari berbagai ragam disiplin ilmu

pengetahuan termasuk yang paling mutakhir adalah Jamal al-Din al-Qasimi (1866-

1914) dan Thahir al-Jaza’iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi

keagamaan di Syiria.70

Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza’iri beserta

teman-temannya, dan gagasannya lebih mengarah pada upaya pemajuan dalam

bidang pendidikan. Dari situ kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di

Syiria setingkat lebih maju di bandingkan negara-negara muslim Arab lainnya yang

masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal kebebasan

berekspresi. Kondisi demikian menjadikan orang-orang liberalis seperti Syahrûr

dapat dengan leluasa menelorkan ide-ide kreatifnya.71

Salah satu persoalan terbesar dan terus-menerus menjadi agenda dalam

pembaharuan Islam dan kehidupan muslim adalah bagaimana memandang hubungan

antara tradisi dan modernitas. Sikap apapun, baik menolak atau menerima

rekontruksi keduanya dalam kehidupan kaum muslim, tentunya sangat

mempengaruhi corak pembaharuan yang hendak diadvokasikan.72

69Damaskus, sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur. (diakses pada tanggal 10 Februari, 2008),1. 70Nugraha Dewanto, “Biografi Muhammad Syahrûr,”, www.mail-archive.comppiindia@yahoogroups. com msg60918.html - 23k – (diakses pada: 10 Februari 2008),3. 71Ibid. 72Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002),1.

Page 78: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

63

Montgomery Watt dalam bukunya Islamis Fundamentalism and Modernity

menjelaskan bahwa pergulatan pemikiran Islam tidak lain adalah bagaimana Islam

harus membangun citra dirinya (self image of Islam) di tengah realitas dunia yang

senantiasa berubah dan berkembang. Pemikiran Islam modern tidak lepas dari

mainstream agenda besarnya sebagaimana Islam harus berkiprah di tengah gempuran

modernitas. Hal ini kemudian menjadi pekerjaan besar para pemikir Islam untuk

merumuskan dan memberi solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut.

Realitas dari solusi tersebut kemudian membawa berbagai aliran pemikiran Islam

seperti modernitas, tradisionalis, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jabiri.73

2. Latar Belakang Intelektual

Syahrûr mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah

di tanah kelahirannya, tepatnya dilembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi,

Damaskus. Pendidikan menengahnya ia selesaikan pada tahun 1957, dan setelah

menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrûr melanjutkan pendidikannya di

Moskow untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa

pemerintah setempat.74 Moskow merupakan tempat Syahrûr mulai berkenalan dan

terkesan serta tertantang dengan teori dan praktik Marxis yang terkenal dengan teori

dialektika Materealisme dan Materealisme Historis. Namun demikian, sebagaimana

dikemukakan sendiri pada Peter Clark, ia banyak berhutang budi pada sosok Hegel

dan Alfred North Whitehead. Pada masa itu pula Syahrûr mulai berkenalan dan akrab

dengan tradisi formalisme Rusia, akar tradisinya diadopsi dari struktualisme

73M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000),186. 74M.Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’an:Tinjauhan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2001),237.

Page 79: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

64

linguistik yang digagas oleh Ferdinal De Saussure. Gelar diploma dalam bidang

tersebut, di raih pada tahun 1964.75

Setelah meraih gelar diploma, Syahrûr kembali ke Syiria untuk mengabdikan

diri sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Syahrûr melanjutkan

studinya di Irlandia, tepatnya di University College. Pada bulan juni tahun itu, terjadi

perang antara Inggris dan Syiria yang mengakibatkan renggangnya hubungan

diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal itu tidak menghambat untuk

segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia kembali lagi berangkat ke Dublin untuk

menyelesaikan program master dan doktornya dibidang mekanika pertanahan (soil

mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering), gelar doktor ia peroleh

pada tahun 1972.76

Selain sebagai dosen, pada tahun 1982-1983 M, Syahrûr dikirim kembali oleh

pihak Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sa’ud Consult Arab

Saudi bersama beberapa rekannya di Fakultas Teknik membuka biro konsultasi

teknik dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah di Damaskus.77

3. Latar Belakang Keagamaan

Pada dasarnya setiap produk pemikiran, intelektual tidak bisa lepas dari

peristiwa atau situasi sosial budaya (historisitas) yang melingkupinya. Dengan kata

lain, suatu kegiatan intelektual atau kontruksi pemikiran yang muncul memiliki relasi

positif dan signifikan antara realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran

dengan berbagai fenomena yang berkembang dimasyarakat.78 Demikian juga Syahrûr

75Ahmad Fawa’id Sjadzali, “M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria,” hppt: www.islamlib.com enpage.phppage=article&id=693 (diakses pada 10 Februari 2008), 2. 76Ibid. 77Ibid. 78Muhammad Syahrûr, Op Cit, 35.

Page 80: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

65

yang telah menghasilkan pemikiran tidak dapat dipisahkan dari fenomena

masyarakat muslim yang sedang dalam situasi kebekuan pemikiran dan merebaknya

praktik taqlid dalam menyikapi teks-teks keagamaan. Sebagaimana umumnya

kondisi umat Islam di Timur Tengah khususnya Syiria tempat Syahrûr lahir.

Dengan menggunakan metode linguistik, Syahrûr kemudian membangun

teori batas, yang didasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan

al-istiqâmah. Menurut Syahrûr, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang dalam

bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk

orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang

bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal dari kata qaum yang

memiliki dua arti: (1) berdiri tegak (al-intishâb) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari

kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari

melengkung (al-inhirâf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm

(agama yang kuat dalam kekuasaannya).79

Analisa-analisa linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah

inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. 6: 161, yang

memaparkan tiga term pokok: al-dân al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, yang

nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya

kontradiktif.80

79Ibid,447. 80Redaksi ayat 6: 161 itu selengkapnya berbunyi: Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (shirât mustaqîm), (yaitu) agama yang benar (dînan qiyaman); agama Ibrahim yang lurus (millata Ibrâhîm hanîfan); dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik."

Page 81: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

66

Setelah menganalisa Q.S. 6: 79, Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa al-

hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.81 Langit, bumi, dan bahan elektron yang

sekecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis lengkung. Tidak

ada dari tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan

tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan demikian adalah

agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan pembawaan yang

bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat

perbawaan fitriah ini.

Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas

masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial,

kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah sebuah

keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan

demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam

menentukan hukum.

Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrûr kemudian merumuskan

teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas. Syahrûr

menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva

dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan

zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang

ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak

sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang

telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva

81Redaksi ayat 6: 79 berbunyi: "Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Page 82: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

67

dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik yang tetap dan yang berubah

senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukan bahwa

hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu. Syahrûr kemudian menganalkan apa

yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan

konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah, dan

manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-hanafiyah (curvature).82

Komarudin Hidayat dalam bukunya Atang dan Jaih Mubarok metologi

penelitian agama Islam menjelaskan tipologi sikap keberagaan umat Islam terdiri

dari: eksklusivisme, inklusivisme, pruralisme, ekletikvitisme, dan universalisme.

Kelima tipologi ini masing-masing tidak terlepas dari yang lain, dan tidak pula

bersifat permanen; tetapi lebih tepat dikatakan sebagai kecenderungan.

1. Eksklusivisme berpandangan bahwa ajaran yang paling benar adalah agama

yang dipeluknya. Agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya di

konvensi, karena baik agama atau pemeluknya dinilai terkutuk dalam

pandangan Tuhan.

2. Inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang di peluknya, juga

terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang di

anutnya.

3. Pruralisme berpandangan bahwa secara teologis pruralisme agama di

pandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar

sehingga semangat misionaris atau dakwa tidak dianggap relevan.

4. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan

mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok

82Ibid,450-452.

Page 83: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

68

untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam

mozaik yang bersifat elektik.

5. Universalisme berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu

dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil

dalam format prural.83

Pandangan para pemikir Arab kontemporer (pasca '67) tentang tradisi dan

modernitas, secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana

pemikiran Arab kontemporer:

Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab

yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari

budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka

menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan

nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi

dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini

diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli

Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan oleh

pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib

Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, di samping pemikir-pemikir liberal

lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil Daher dan

Qunstantine Zurayq.84

Kedua adalah tipologi reformistik. Jika pada kelompok pertama metode yang

diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini adalah reformasi dengan

83Atang 84Ibid.

Page 84: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

69

penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman.

Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan.

Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu,

melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi

suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka harus dibangun

kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan

prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih

memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement, reiteration) atas tradisi

masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya

pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang

hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu

mereka.

Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh,

kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti al-Afghani,

'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai

pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad Imarah,

Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.85

Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan

metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk

pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir

Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh

post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida

dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan

85Ibid.

Page 85: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

70

Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah

M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh.

Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan

cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah

mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal,

para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh

kepada turâts. Tradisi atau turâts menurut mereka tetap relevan untuk era modern

selama ia dibaca, diinterpretasi dan di pahami dengan standar modernitas.

Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran ideal-totalistik.Ciri utama dari

tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat

totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam.

Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam

sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang

datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik

dan ekonomi.86

Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada

metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (al-

ashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya.

Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada

metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam menurut

mereka adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an

dan al-Hadits.87

86Ibid. 87Ibid.

Page 86: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

71

Dalam banyak hal, metode, pendekatan mereka kepada turâts dapat

disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak

pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan

teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era

kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik

adalah para pemikir-ulama seperti M.Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi,

Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi

pada gerakan Islam politik.

Berdasarkan pemaparan tipologi pemikiran para tokoh diatas, maka menurut

Peter Clak dalam tulisanya The Shahrur Phenomenon:A Liberal Islamic Voice from

Syria Syahrûr termasuk kedalam tipologi transformatik hal ini di dasarkan

pengakuanya kepada Peter bahwa ia berhutang terhadap pemikirannya Hegel.88

Dialektika yang ditawarkan oleh Syahrûr jika dilacak lebih jauh ternyata

bukan barang baru dan juga bukan pemikiran murni Syahrûr. Istilah ini telah dikenal

sebelumnya digunakan dan dalam konteks dan pengertian yang berbeda-beda dalam

setiap tokoh. Dalam sejarah pemikiran manusia, orang pertama yang menggunakan

istilah ini adalah Sokrates, seorang filusuf Yunani sebelum Plato. Dalam pemaknaan

klasik ala Sukrates, dialektika diartikan sebagai sebuah metode untuk menemukan

kebenaran dengan dialog. Ini sesuai dengan asal kata dari dialektika ini, yaitu dari

bahasa Yunani dealegistasi yang artinya adalah bercakap-cakap atau berdialog.

Metode ini adalah dengan membenturkan sebuah ide melalui proses dialog antara

dua pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

88Peter Clack, “The Shahrur Phenomenon: ALiberal Islamic Voice from Syria” www.wluml.Orgeng lishpubsfulltxt. shtmlcmd%5B87%5D=i-87-2663-32k–(diakses pada: 22 Maret 2008),2.

Page 87: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

72

Kemudian pada tahapan selanjutnya dialektika ini digunakan oleh Hegel dan

dijadikan sebagai teori untuk menjelaskan sejarah. Dialektika yang dikembangkan

Hegel bercorak idealis dengan mengadakan gerak sejarah sebagai perkembangan ide

dan pikiran. Ditangan Hegel dialektika ini di jadikan sebagai metode untuk

menggambarkan pola perkembangan ide dan pikiran yang terus menerus akan

mengarah kepada bentuk yang lebih sempurna.89

Menurut Hegel, proses perkembangan pemikiran melalui pola dialektika yang

secara praktis melalui tahapan tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis adalah ide pertama

yang menjadi preposisi pertama yang dari tesis ini kemudian memunculkan sesuatu

yang menjadi lawannya, yaitu anti tesis. Dua yang berlawanan ini (tesis dan antitesis)

kemudian menjadi proses interaksi secara terus menerus yang kemudian

memunculkan apa yang istilahkan oleh Hegel dengan sintesis. Sintesis ini adalah

tesis lain yang muncul setelah terjadinya konflik antara dua yang berlawanan yang

kemudian menghasilkan sebuah kompromi antara keduanya. Namun sintesis ini pada

tahapan selanjutnya muncul sebagai tesis baru yang memunculkan antitesis yang

lebih tinggi dari dua yang pertama. Dari keduanya juga muncul sintesa baru yang

lebih tinggi dari yang sebelumnya, demikian seterusnya.

Pada abad ke 17 Karl Marxs mengambil dialektika Hegel sebagai landasan

untuk merumuskan filsafat materialismenya. Marxs mengadakan modifikasi terhadap

dialektika Hegel yang bersifat ideal, untuk menjelaskan bagaimana sejarah manusia

merupakan proses yang bertumpu pada persaingan ekonomi dan pertarungan kelas.

Menurut Marx, sejarah tidak bisa digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat ideal

89Ibid.

Page 88: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

73

sebagaimana dalam pandangan Hegel, akan tetapi sejarah digerakkan oleh kekuatan

ekonomi dalam masyarakat.

B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrûr

Pada tahun 1972 Syahrûr secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas

Damaskus. Meski disiplin utama ilmunya pada bidang teknik, namun tidak

menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain seperti filsafat.

Sebagaimana diakuinya, buku yang di tulisnya di susun kurang lebih dua

puluh tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990. Dalam pengantar bukunya, Syahrûr

menjelaskan proses penyusunan buku tersebut pada tiga tahapan, yakni:

Tahapan pertama: tahun 1970-1980, masa ini diawali ketika berada di

Universitas Dublin Irlandia. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’at) serta

peletakan dasar awal metodologi pemahaman al-Dzikir, al-Kitab, al-Risalah, al-

Nubuwwah baik metodologi, istilah-istilah pokok maupun tentang risalah dan

kenabian. Kajian selama sepuluh tahun ini kemudian membawanya pada realitas

asasiyyah bahwa Islam tidak seperti kajian awal yang hanya bersifat taqlidi, karena

tidak dapat menghadirkan produk pemikiran masa lalu kepada masa kini dengan

segala problematikanya. Karena itu, ia menegaskan perlunya umat Islam

membebaskan diri dari bingkai pemikiran yang taqlidi.90

Tahapan kedua:1980-1986, masa ini merupakan masa yang penting dalam

pembentukan “kesadaran linguistik”nya untuk membaca kitab suci. Pada masa ini ia

dan Ja’far yang lulus gelar doktornya dalam bidang bahasa (al-lisaniyyah) tahun

1973 di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrûr banyak di perkenalkan

pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali al-Farisi dan Ibnu Jinny, serta al-

90Muhammad Syahrûr, Op Cit. 46.

Page 89: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

74

Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Syahrûr memperoleh tesis tentang “tidak

adanya sinonimitas (adamu al-taraduf) dalam bahasa”. Sejak tahun 1984, Syahrûr

mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang

dalam kitab suci. Melalui diskusi dengan Ja’far, Syahrûr berhasil mengumpulkan

pemikirannya yang masih terpisah-pisah. Tahun 1984-1986, ia mengkaji pemikiran-

pemikiran pokok yang terkait dengan al-Quran bersama Ja’far.91

Tahap ketiga: 1986-1990, Syahrûr mulai mengumpulkan hasil pemikirannya

yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrûr telah berhasil merampungkan

bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Setelah itu, bersama Ja’far,

Syahrûr berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua

buku tersebut.

Pada tahun 1994, al-Ahali Publishing House kembali menerbitkan karya

kedua Syahrûr yaitu Dirasat al-Islamiyat al-Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-

Mujtama’. Buku ini secara spesifik menguraikan tema-tema sosial politik yang

terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara

konsisten, Syahrûr menguraikan tema-tema tersebut dengan senantiasa terikat pada

tawaran rumusan teoritis sebagaimana termaktub dalam buku pertamanya.

Selain itu pada tahun 1995, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk

Qira’ah Mu’ashirah al-Qur’an fil Mizan, yang dicetak oleh penerbit: Darunafais

Bairut: Libanon, pada tahun 1996, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk

Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam dengan penerbit yang sama. Buku ini

mencoba mendekontruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar Islam

91Ibid, 47.

Page 90: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

75

dan Iman. Kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang

termaktub dalam kitab suci dengan rumusan teoritis yang ia bangun.

Selain karyanya yang berbentuk buku Syahrûr juga banyak menulis artikel

yang lebih pendek dibeberapa majalah dan jurnal, seperti: Islam and the 1995 Beijing

World Conference on Women, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian diterbitkan

dalam buku liberal Islam: a Sourcebook (1998), The Devine Texs and Pluralism in

Muslim Societies, dalam Muslim Politic Report, selanjutnya “Mitsaq al-Amal al-

Islamy” (1999) yang diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House, dalam bahasa

Inggris diterjemahkan oleh Dale F.Eickelman dan Islamil S. Abu Shehadeh dengan

judul “Proposal for an Islamic Covenant” (2000). Selain itu, ia sering

mempresentasikan pokok-pokok pikirannya tentang al-Quran kaitannya dengan

masalah-masalah sosial politik, seperti hak-hak wanita, pluralisme dalam konferensi

internasional.92

C. Konstruksi Metodologi Muhammad Syahrûr

Metodologi dipahami sebagai bagian dari epistimologi yang mengkaji

serangkaian langkah-langkah yang ditempuh guna memperoleh pengetahuan yang

bersifat ilmiah. Pembahasan mengenai metodologi tidak bisa dilepaskan dari asumsi-

asumsi yang memasuki wilayah apriori, dugaan mendahului pengalaman. Karenanya

metode sangat terkait dengan epistimologi dan tidak dimaksudkan sebagai langkah-

langkah metodis.93

Kontruksi metodologi yang ditawarkan Syahrûr dalam membaca al-Kitab

adalah metode ilmiah (science). Untuk mengetahui metodologi yang digunakan

92Sahiron Samsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrûr dalam Penafsiran al-Quran dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed), Studi al-Quran Kontemporer (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana, 2002),132. 93Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),107.

Page 91: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

76

Syahrûr dalam ‘membaca ulang’ al-Qur’an, penting untuk melihat terlebih dahulu

basis epistemologis apa yang dikemukakannya dalam bagian pendahuluan dari

karyanya al-Kitâb wa al-Qur’ân.

Pertama, permasalahan mendasar dalam filsafat adalah persoalan hubungan

antara kesadaran akal (ide) dan materi (wujud konkrit). Menurutnya sumber

pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar diri manusia. Ini berarti

pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata bentuk pikiran, akan tetapi

sesuatu yang terdapat padanannya di dalam realitas empiris (konkrit). Bertolak dari

asumsi ini, Syahrûr menolak aliran idealisme yang mengklaim pengetahuan manusia

sekedar pengulangan-pengulangan pikiran-pikiran yang ada dalam dunia ide.

Keyakinan ini didasarkan atas Q.S. an- Nahl: 78 yang menunjukkan bahwa Allah

telah mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak tahu, kemudian

Dia berikan kepadanya pendengaran, penglihatan, dan akal.94

Kedua, bertolak dari pandangan bahwa pengetahuan manusia berasal dari

luar dirinya tersebut, ia menawarkan filsafat Islam modern yang didasarkan atas

pengetahuan yang bertolak dari hal-hal yang konkrit yang dapat dicapai oleh indera

manusia terutama pendengaran dan penglihatan untuk mencapai pengetahuan teoritis

yang murni (benar). Ia menyerukan penolakan terhadap pengetahuan yang

didasarkan atas ilham (al isyrâqiyyah al ilâhiyyah) yang hanya dimiliki oleh ahl

kasyf atau ahl Allah.95

Ketiga, bahwa manusia dengan kemampuan akalnya mampu menyingkap

seluruh misteri alam, hanya saja membutuhkan tahapan-tahapan tertentu. Karena

94M.Zainal Abidin, “Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil Hakim dalam Perspektif Muhammad Syahrûr,” Jurnal Millah Vol. III No. 1 Agustus, 2001),7. 95Ibid.

Page 92: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

77

keseluruhan alam bersifat empirik-materialis termasuk yang selama ini dianggap

sebagai ruang hampa. Karena kehampaan atau kekosongan tidak lain merupakan

salah satu bentuk dari materi itu sendiri.96

Keempat, bahwa pemikiran manusia mula-mula berupa pemikiran yang

terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh pendengaran dan penglihatan saja,

kemudian meningkat hingga mencapai pemikiran murni yang bersifat umum. Oleh

karena itu, alam nyata merupakan permulaan bagi alam materi yang dapat dikenal

oleh indera manusia. Pengetahuan manusia akan terus bertambah hingga mencapai

hal-hal yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Menurut Syahrûr alam nyata dan alam

gaib sama-sama merupakan materi. Perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini

baru mencapai hal-hal yang konkrit di alam nyata, ia akan terus berkembang hingga

mencapai hal-hal yang berada dalam wilayah gaib. Hanya saja sampai saat ini hal itu

belum terwujud.97

Kelima, tidak ada pertentangan antara al-Qur’ân dan filsafat yang merupakan

induk ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam kerangka ini proses penta’wilan al-

Qur’ân tepat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan (al-

râsikhûna fî al-‘ilm), sebab kemampuan mereka dalam mengajukan argumentasi dan

data-data ilmiah.98

Keenam, bahwa alam diciptakan dari materi, bukan dari ketiadaan. Hanya

saja sifat materi tersebut berbeda dengan yang ada sekarang dan nantipun akan

96Ibid,43. 97Ibid. 98Ibid.

Page 93: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

78

diganti dengan materi yang berbeda pula, yakni alam lain yang dikenal sebagai alam

akherat.99

Berangkat dari dasar-dasar epistemologis yang dibangunnya di atas, Syahrûr

kemudian menawarkan satu model pembacaan yang menurutnya baru terhadap al-

Kitâb, yaitu suatu pembacaan yang dilandasi dengan prinsip-prinsip metodologis

sebagai berikut:

Pertama, kajian menyeluruh dan mendalam terhadap bahasa Arab (al-lisân

al-‘arabi) dengan berlandaskan kepada metode linguistik Abu Ali al-Farisi yang

tercermin dalam pandangan dua tokohnya, yaitu Ibn Jinni dan Abd al-Qâhir al-

Jurjânî, disamping menyandarkan kepada syair-syair jahili.100

Kedua, memperhatikan temuan-temuan baru dalam wacana linguistik

kontemporer yang pada prinsipnya menolak adanya sinonimitas dalam bahasa, tetapi

tidak sebaliknya. Artinya, dalam perkembangannya, satu kata bisa saja hilang atau

bahkan membawa makna baru. Syahrûr melihat kecenderungan ini tampak dengan

jelas dalam bahasa Arab. Selanjutnya, Syahrûr menganggap mu’jam Maqâyis al-

Lughâh karya al-Farisi sebagai pilihan paling tepat untuk dijadikan rujukan, karena

al-Farisi menolak adanya kata-kata sinonim di dalam bahasa.101

Ketiga, dengan asumsi bahwa al-Qur’an senantiasa relevan pada setiap waktu

dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân), maka dalam generasi penerus harus

memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan dan

dengan asumsi bahwa seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat. Sikap seperti ini

akan mengarahkan pemahaman umat Islam terhadap al-Kitâb selalu kontekstual

99Ibid. 100Ibid, 44. 101Ibid.

Page 94: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

79

relevan dalam segala situasi dan kondisi apapun. Sejalan dengan sikap ini, umat

Islam harus melakukan desakralisasi terhadap semua produk tafsir yang telah

dihasilkan oleh ulama terdahulu, karena pada hakikatnya yang sakral hanyalah teks

kitab suci itu sendiri.102

Keempat, Allah tidak punya kepentingan untuk mendapatkan petunjuk dan

mengenal diri-Nya sendiri, maka itu Al-Kitâb adalah wahyu Allah yang hanya

diperuntukan bagi umat manusia, yang sudah pasti bisa dipahami oleh manusia

sesuai kemampuan akalnya. Selama al-Kitâb menggunakan bahasa sebagai media

pengungkap, maka tidak terdapat satu ayatpun yang tidak bisa dipahami oleh

manusia. Karena antara bahasa dan pikiran tidak terjadi keterputusan.103

Kelima, dalam beberapa ayat, Allah mengagungkan peran akal manusia,

sehingga bisa dipastikan tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, juga tidak

ada pertentangan antara wahyu dan realitas.104

Keenam, penghormatan terhadap akal manusia harus lebih diutamakan dari

pada penghormatan terhadap perasaannya. Dengan kata lain, ijtihad-ijtihad Syahrûr

lebih berorientasi pada ketajaman nalar ketimbang sensitivitas perasaan orang.105

Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa latar pendidikan dalam bidang sains

yang dimiliki Syahrûr ternyata memiliki pengaruh kuat, yang membuatnya

senantiasa mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional, dan ilmiah. Secara sederhana

bisa dijelaskan bahwa metode yang digunakan Syahrûr adalah analisis kebahasaan

(linguistic analysis) yang mencakup kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa,

yang disebutnya metode historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-târîkhy al-ilmy fi

102Ibid. 103Ibid, 45. 104Ibid. 105Ibid.

Page 95: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

80

al-dirâsah al-lughâwiyyah). Bahwa makna kata dicari dengan menganalisis kaitan

atau relasi suatu kata dengan kata lain yang berdekatan atau berlawanan. Kata tidak

mempunyai sinonim (murâdif). Setiap kata memiliki kekhususan makna, bahkan bisa

memiliki lebih dari satu makna. Penentuan makna yang tepat sangat bergantung pada

konteks logis kata tersebut dalam suatu kalimat (shiyâgh al-kalâm). Dengan kata

lain, makna kata senantiasa dipengaruhi oleh hubungan secara linear dengan kata-

kata yang ada di sekelilingnya.106

Dengan bahasa yang berbeda bisa dikatakan bahwa Syahrûr dalam mengkaji

ayat-ayat al-Qur’ân menggunakan pendekatan filsafat bahasa, dengan meneliti secara

mendalam kata-kata kunci yang terdapat pada setiap topik bahasan, baik melalui

pendekatan sintagmatis maupun paradigmatik. Pendekatan sintagmatis memandang

makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelum dan sesudahnya yang

terdapat dalam satu rangkaian ujaran. Dengan pendekatan ini, suatu konsep terma

keagamaan tertentu bisa dideteksi dengan memahami kata-kata disekeliling terma

tersebut. Adapun pendekatan paradigmatik memandang bahwa suatu konsep terma

tertentu tidak bisa dipahami secara komprehensif, kecuali apabila konsep tersebut

dihubungkan dengan konsep terma-terma lain, baik yang antonim maupun yang

berdekatan maknanya.107

1. Turâts, Moderitas dan Realitas Masyarakat Islam

Persoalan mendasar yang mendorong Syahrûr untuk melakukan kajian

keislaman, secara global dapat dibedahkan dalam dua dimensi yang saling terkait:

pertama realitas masyarakat Islam kotemporer, kedua realitas doktrin dan turâts

106Ibid, 196. 107Sahiran Syamsudin, “book revew al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah,”Jurnal Al-Jami’ah, (1998), 220-221.

Page 96: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

81

dalam Islam.108 Syahrûr melihat bahwa masyarakat kontemporer telah terpolarisasi

ke dalam dua blok:

Pertama aliran Skripturalis-Literalis adalah mereka berpegang secara ketat

pada arti literal dan tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut

menyimpan kebenaran absolut. Apa yang cocok dengan komunitas pertama zaman

Nabi cocok pada semua orang beriman di zaman apa pun. Kepercayaan ini menjadi

final dan absolut.

Kedua, mereka yang cenderung menyeruhkan sekularitas dan modernitas,

menolak semua warisan termasuk al-Quran sebagai bagian tradisi yang diwarisi,

yang hanya menjadi pengaruh pada pendapat umum. Bagi mereka ritual merupakan

gambaran dari ketidakjelasan. Pemimpin kelompok ini adalah kaum Marxis, komunis

dan beberapa kaum nasionalis Arab.109

Menurut Syahrûr, semua kelompok tersebut telah gagal memenuhi janji untuk

menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan kedua kelompok ini

memunculkan kelompok ketiga, dimana Syahrûr mengklaim dirinya berdiri di

kelompok ini, yaitu mereka yang menyerukan kembali kepada at-Tanzil, teks asli

yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dalam paradigma baru.110

Hal itu juga dilakukan oleh Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik

oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok

tradisionalis melihat turâts secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah

menganggap turâts sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala

108M. In’am Esha, M. Syahrûr: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 299. 109Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, (Yogyakarta: Islamika dan Forstudia,2003), 255-267. 110Ibid.

Page 97: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

82

kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga

kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang

memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat, budaya orang lain. Sikap

seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan

bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut

Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah

dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai

model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat)

sebagai model yang lain. Kedua-duanya-mengambil masa lalu atau mengambil orang

lain-adalah tindakan yang tidak kreatif.111

Salah satu konsep dasar modernisme adalah suatu pemikiran terkait pada

tempat atau kondisi dimana pemikiran itu berkembang, dan berkaitan pula dengan

zaman atau waktu ketika pemikiran itu muncul. Bertitik tolak dari konsep tersebut,

modernisme menganggap bahwa pemikiran keagamaan lampau adalah kondisional,

sehingga harus dikembangkan dan dijadikan modern. Alasan pokok yang

dikemukakan oleh modernisme adalah pemikiran klasik berkembang pada zaman

yang telah lampau, sehingga tidak sejalan dengan orientasi-orientasi modern.112

Realitas historis menunjukkan bahwa setiap generasi memberikan interpretasi

pada al-Qur’an sesuai dengan realitas dan tujuan modern yang melingkupinya.

Karena al-Qur’an adalah dokumen dari Tuhan untuk umat manusia, di dalamnya

terdapat untaian kalimat yang mengandung nilai-nilai hudan (petunjuk). Keabadian

al-Quran bukan terletak pada ketentuan harfiyahnya, namun terletak pada jiwa yang

111Ibid. 112Bustani Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaharuan Agama antara Modernismr dan Tajdiddudin, (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995),233.

Page 98: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

83

melandasinya.113 Konsekuensinya, hasil interpretasi al-Quran generasi awal,

tradisional, tidak lagi mengikat masyarakat muslim modern. Lebih jauh, Syahrûr

mengatakan bahwa muslim modern karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan,

mempunyai perangkat pemahaman dalam memaknai al-Quran yang lebih baik di

bandingkan dengan muslim pendahulu pada masa klasik dan tengah.

Menurut Syahrûr, realitas historis tindakan manusia pada abad ke 7, ketika al-

Kitab tersebut turun, merupakan salah satu bentuk respon yang bersifat final. Semua

tindakan tersebut mengandung nilai turâts kecuali aspek ibadah, hudud, dan as-sirat

al-mustaqim yang tidak terikat ruang dan waktu. Begitu juga yang dilakukan oleh

Nabi tidak lain adalah salah satu bentuk model dari penafsiran al-Kitab yang sesuai

dengan konteks space dan time beliau.

Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar

dari suatu kegelisahan tidak dapat di pisahkan dari problematika sosial yang

melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki

relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran

dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrûr dalam

memunculkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas

dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan

dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer.114

Beberapa permasalahan yang menggelisahkan dalam kaitannya dengan

doktrin dan turâts Islam secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

113Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), 91. 114Ibid, 300.

Page 99: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

84

1. Adanya pengeksporan produk masa lalu untuk menghukumi persoalan-

persoalan kekinian, contoh: dalam kasus perempuan, banyak pemikiran-

pemikiran yang muncul hanya pengekoran terhadap pemikiran-pemikiran

masa lalu dan hal itu diklaim sebagai suatu yang ilmiah. Kajian-kajian itu

tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melaikan memperkuat asumsi yang

dianutnya. Kaitannya dengan fiqih, Syahrûr memberikan kritik bahwa sudah

waktunya di tawarkan fiqih Islam dengan menggunakan metode baru

sehingga kita tidak terkebiri hanya kedalam paradigma al-fuqoha’ al

khomsah.

2. Tidak adanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik

terutama kaitannya dengan teks suci keagamaan seperti ayat-ayat yang di

wahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Ini bisa di pahami bahwa

kecenderungan yang muncul di kalangan muslim adalah perasaan ragu-ragu

dan takut ketika berhadapan dengan pengkajian teks suci. Padahal syarat

utama dalam pembahasan ilmiah adalah memandang sesuatu secara objektif,

tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan serta menjauhkan dari sikap ragu.

3. Tidak adanya pemahaman sekaligus interaksi terhadap filsafat humanisme

yang notabene dianggap tidak Islami. Hal ini disebabkan karena orang Islam

masih terjangkit “penyakit” dualisme pengetahuan, antara Islam dan non

Islam. Padahal yang terpenting adalah bagaimana umat itu secara selektif

mampu mengambil dan berinteraksi terhadap produk-produk dan pemikiran

humaniora non agama tersebut. Inilah menurut Syahrûr yang menyebabkan

kemandulan pemikiran umat Islam. Mereka hanya bangga terhadap pemikiran

Page 100: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

85

masa lalu dan yang lebih para lagi adalah tidak bisa lepas lagi dari

kecenderungan fanatisme sempit.

4. Adanya krisis ilmu fiqih di kalangan umat muslimin disebabkan adanya

tuntutan moderitas, dalam artian bahwa berbagai produk fiqih yang ada

sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas, yang di

perlukan adalah formulasi fiqih baru, kegelisahan seperti ini sebenarnya

sudah muncul dari para kritikus, tapi pada umumnya hanya berhenti pada

kritik tanpa menawarkan alternatif baru.115

2. Dialektika Tradisi dan Modernisme

Syahrûr dalam konstruksi pemikirannya tidak lepas dari paradigma yang

dianutnya terutama dengan tradisi dan modernisme. Turâts di maknai sebagai

produk-produk yang ditinggalkan generasi salaf untuk generasi khalaf yang

memberikan landasan di dalam pembangunan kepribadian generasi khalaf, berupa

cara berfikir maupun cara hidup.116 Dari pemahaman ini Syahrûr menyatakan bahwa

turâts tidak lain adalah buatan manusia dan produk kesungguhannya dalam realitas

perjalanan sejarahnya sendiri.117

Al-Mu’ashirah merupakan interaksi manusia dengan produk pemikiran

kontemporer yang juga merupakan hasil dari manusia. Umat Islam dalam hal ini

harus dapat mengadopsi perkembangan-perkembangan pengetahuan kontemporer

sehingga tidak terjebak pada pengunggulan pengetahuan masa lalu. Interaksi dengan

pengetahuan kontemporer ini akan memungkingkan adanya pengayaan perangkat

115Ibid, 30-32. 116Ibid. 117Ahmad Zaki Mubarok, Op.Cit, 145.

Page 101: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

86

metodologi dalam pengembangan pengetahuan keagamaan yang sejalan dengan

fenomena kekinian.118

Berdasar pengetahuannya tentang turâts dan al-mu’ashirah tersebut, Syahrûr

kemudian menariknya pada fenomena al-Kitab, apakah termasuk turâts atau bukan?

Syahrûr melihat ini secara sekilas adalah dilematis. Al-Qur’an apabila dimasukan

sebagai turâts berarti merupakan ciptaan Muhammad dan bersifat partikular terkait

dengan konteks Arab dan masa abad ke tujuh saja, sehingga tidak akan lagi sesuai

dengan situasi dan kondisi sekarang. Padahal al-Quran sendiri adalah kitab yang

bersifat universal dan dipelihara oleh Allah sehingga selalu bersifat salikhu li kuli

zaman wa makan.

Berdasarkan teori ini, Syahrûr memahami bahwa al-Quran memiliki dimensi

kemuthlakan transenden sekaligus kenisbian profan. Dimensi kemuthlakan

transenden menjadikan al-Quran bersifat salik likuli zaman wa makan dan tidak

berubah, sedangkan dialektika pemaknaan dan penafsiran manusia setiap kurun dan

waktu tertentu terhadapnya merupakan dimensi nisbi profannya.

D. Model Penafsiran Muhammad Syahrûr

Syahrûr menegaskan bahwa harus dibedahkan antara aktifitas qira’ah dan

aktivitas tilawah. Kata qira’ah berasal dari kata qara’a yang makna dasarnya adalah

menghimpun dan mengumpulkan. Ketika di kaitkan dengan objek tertentu untuk di

pahami lahirla makna membaca, karena membaca juga berarti menghimpun berbagai

objek menjadi kesatuan utuh yang dapat di pahami. Jika yang di baca berupa objek

118Muhammad In’am Esha, Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M.Syahrûr.jurnal al-Huda Vol.2 No.4, 2001, 128.

Page 102: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

87

tekstual, yang di himpun adalah simbul-simbul huruf yang membentuk kata-kata,

selanjutnya kalimat terangkai dan munculah makna.

Dalam al-Quran ada istilah lain yang memiliki kedekatan makna dengan

qira’ah, tetapi sering di pahami secara tumpang tindih, yaitu kata tilawah. Kata ini

berasal dari kata tala-yatlu yang berarti selantunkan bacaan. Dengan demikian,

perbedaan antara tilawa dan qira’ah bahwa yang pertama adalah aktifitas membaca

tanpa penjelasan atau uraian tambahan yang bertujuan untuk mendalami dan

memahami kandungan teks yang di baca, sedangkan yang kedua adalah aktivitas

membaca yang diiringi dengan usaha memahami, menjelaskan, manganalisis dan

menguraikan objek tekstual yang dibaca.119

Qira’ah Mu’ashirah merupakan metode Syahrûr dalam rangka memahami al-

Quran. Hermeneutika al-Quran kontemporer yang diusung oleh Syahrûr sebenarnya

memiliki tujuan ganda, yaitu: membebaskan diri dari hegemoni masa lalu yang

begitu menggurita dan pada saat yang sama berusaha menjembatani jarak waktu

antara masa al-Quran diturunkan dan kondisi objektif pesan kitab suci yang hidup

dalam ruang dan waktu yang berlainan. Asumsi dasar metode Syahrûr adalah

juktaposisi antara akal, wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan

adalah perpaduan antara pendekatan filusufis, linguistik dan scientifik.120

1. Pendekatan Linguistik

Walter H. Capps dalam bukunya Religius Studies The Making of a Discipline,

menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian, atau kajian seorang meniscayakan

suatu titik pijakan yang akan bermanfaat dalam mengarahkan dan menempatkan

119Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, (Damaskus, al-Ahali, 2000), 117. 120Ibid.

Page 103: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

88

secara pasti objek kajian (vantage point). Titik pijakan ini disebut dengan pendekatan

(approach). Pendekatan adalah bagaikan perspektif, horison, dan tempat berpijak

dimana kita bisa melihat secara leluasa terhadap keluasan horison tersebut 121

Untuk memasuki pemikiran Syahrûr peneliti berusaha masuk dari prinsip-

prinsip metodologis dan pendekatan linguistik Muhammad Syahrûr yang di paparkan

dalam pembukaan bukunya al-Kitab wa al-Quran. Pemaparan mengenai metodologi

dan pendekatan ini menjadi penting karena secara garis besar bisa di katakan bahwa

dalam mengkaji ayat-ayat al-Quran Syahrûr sangat dominan dalam menggunakan

pendekatan bahasa, khususnya analisis sintagmatis dan paradigmatis. Dalam hal ini

Syahrûr mengembangkan teori linguistik Abu Ali al-Farisi yang berpandangan

bahwa setiap kata memiliki nuansa makna yang spesifik, dan karenanya tidak ada

sinonim dalam bahasa.

Untuk mengungkap asumsi metodologis dari pendekatan linguistik tersebut,

Jakfar Dakk menyatakan bahwa dasar-dasar pendekatan historis ilmiah tersebut

diambil dari prinsip-prinsip aliran linguistik Abu Ali al-Farisi. Pada saat yang sama,

karakter umum pendekatan ini merupakan perpaduan antara teori Ibn Jinni dan imam

al-Jurjani.

Pendekatan inilah yang akan mengarahkan daya persepsi seseorang. Tempat

dimana seseorang berdiri akan menentukan apa yang di lihat dan seberapa yang ia

lihat dan ia pelajari tergantung tempatnya berpijak atau berdiri.122

Secara global ada dua kandungan jiwa atau makna strategis dalam al-Quran,

yaitu makna intrinsik dan makna instrumental. Makna istrinsik berupa komitmen

121M. In’am Esha, M.Syahrûr dan Teori Batas, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 303. 122 M. In’am Esha, Op. Cit,303

Page 104: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

89

pribadi antara seorang hambah dengan Tuhannya. Tujuannya adalah membersikan

jiwa, mengangkat kekelaman batin dan menyinarinya dengan sinar-sinar malakuti

(ketuhanan), menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkannya untuk menerima

rangkaian pengejawantahan sifat-sifat Tuhan. Makna intrisik ini merupakan ajaran

spiritual al-Quran.

Sementara makna instrumental bermakna sebagai sarana pendidikan ke arah

nilai-nilai luhur, mulia dan kesejatian dalam hubungan horisontal antar hamba.

Dalam beberapa kata kunci ia bisa disebut sebagai memanusiakan manusia.123

Syahrûr dalam mengkontruksi pemikiran keislamannya menggunakan

pendekatan lingustik karena yang di kajinya adalah teks-teks al-Quran. Namun,

sebagai seorang saintis, tipikal keilmuan yang mengedepankan sifat empiris, rasional

dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologis pemikirannya, dan inilah

sebagaimana di katakannya yang memberikan hasil berbeda dari produk-produk

pemikiran sebelumnya. Pendekatan Syahrûr dengan demikian, bisa disebut sebagai

pendekatan linguistik rasional (ilmiah).

Adapun metode yang digunakan adalah analisa kebahasaan yang mencakup

kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa. Metode ini dalam bahasa Syahrûr

disebut sebagai “metode historis ilmia studi bahasa”. Pada prinsipnya aplikasi

metode ini adalah bahwa makna kata di cari dengan menganalisis kaitan atau

hubungan suatu kata dengan kata yang berdekatan atau yang berlainan (cross

examenition). Sebab menurut Syahrûr kata itu tidak mempunyai sinonim, setiap kata

memiliki kekhususan makna, bahkan satu kata dapat memiliki beberapa makna.

Karena itu, untuk menentukan makna yang tepat tergantung konteks logis kata dalam

123Ibid, 92.

Page 105: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

90

kalimat tersebut atau bahwa makna teks di pengaruhi oleh hubungan secara linier

dengan kata-kata sekelilingnya (strukturnya).

Metode yang digunakan Syahrûr tersebut, dalam konteks paradigma

hermeneutik, disebut dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis. Analisis

paradigmatis adalah memahami makna teks dengan mengaitkannya pada konsep-

konsep lain yang berdekatan atau yang berlawanan, sedang analisis sintagmatis

adalah memahami makna teks dalam kaitannya hubungan linier dengan kata-kata di

sekelilingnya.

Metode Syahrûr tersebut, sebagaimana di nyatakan sendiri, di pengaruhi oleh

pemikiran Ibnu Faris yang tampak pada pedoman metodologis dalam analisis bahasa

di antaranya adalah:

1. Bahwa bahasa itu adalah beraturan.

2. Bahasa muncul bersamaan dan struktur bahasanya terkait dengan jabatannya

dalam bahasa.

3. Terdapat kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.

Karena aturan bahasa terus berkembang, peniscayaan adanya metode sejarah

ilmiah dalam analisis kebahasaan. Berkaitan dengan itu, dengan mengutip ibnu Janni

al-Jurjani, Syahrûr menjelaskan pokok pemikirannya di antaranya:

1. Terdapat kesesuaian antara ungkapan dan pemikiran manusia. Peran bahasa

sebagai alat penyampai telah terjadi sejak munculnya percakapan manusia.

2. Pemikiran manusia tentang aturan kebahasaan tidak berkembang sempurna

dalam satu waktu sekaligus tetapi tumbuh dan sempurna sejalan dengan

problematika yang dihadapi pemikiran manusia.

3. Tidak ada sinonim dalam bahasa Arab.

Page 106: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

91

Penjelasan terhadap metodologi kajian Syahrûr merupakan pandangan umum

bahwa perangkat kerja penelitiannya berangkat dari analisis teks kebahasaan.

Syahrûr juga menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan.

Mengumpulkan sejumlah ayat, misalnya tentang at-takwil kemudian secara intrateks

ayat-ayat tersebut dianalisis dengan metode analisis di atas.

2. Pendekatan Scientifik

Syahrûr menegaskan bahwa ia juga memanfaatkan perkembangan ilmu

pengetahuan abad 20 sebagai parameter untuk memahami teks al-Quran.124 Dengan

kata lain, Syahrûr menandaskan perlunya pemanfaatan perspektif pengetahuan ilmiah

yang menggunakan metode penelitian objektif sebagai sarana memahami pesan

Tuhan dalam kitab suci-Nya. Asumsinya adalah bahwa tidak ada pertentangan antara

realitas, akal dan wahyu. Sintesa antara logika scientifik dan linguistik modern ini

bisa di pahami dengan melihat latar belakang intelektual Syahrûr yang berasal dari

dunia teknik dan kemudian mendalami filsafat bahasa.

Proses kajian semacam inilah yang dilakukan Syahrûr, ia mengklaim bahwa

untuk memahami teks Tuhan, teks tersebut dilakukan selayaknya “data-data ilmiah”

yang selalu relevan dengan realitas empiris yang dalam hal ini diawali oleh ilmu

pengetahuan abad 20. Ketika dunia ilmu pengetahuan kontemporer menuntut

ketelitian dalam setiap penyajian data, maka demikian juga perlakuan terhadap teks

Tuhan. Karena teks bermediumkan bahasa, maka teori yang mendukung ini adalah

penolakan sinonimitas dalam bahasa.

124 Ibid, 308

Page 107: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

92

E. Terma-terma dalam Al-Kitab wa Al-Quran dan Kategorisasi Al-Qur’an

Berdasarkan metode historis-ilmiah sebagai landasan analisis linguistik

khususnya tentang tidak adanya sinonimitas dalam bahasa al-Quran dalam kajiannya

terhadap teks kitab suci, Syahrûr memulai analisisnya terhadap beberapa kata

penting dalam kitab suci dimana selama ini kata-kata atau istilah-istilah tersebut

dianggap sinonim sehingga terjadi pemahaman yang tidak sesuai dengan tujuan

teks.125

Disamping asumsi tentang tidak adanya sinonim dalam bahasa, Syahrûr

menganalisis beberapa kata penting itu dengan teknik interteks (tartil) dengan artian

menggabungkan semua ayat yang mempunyai tema sama kemudian mensintesakan

antara berbagai ayat yang mempunyai pesan serupa tersebut hingga menghasilkan

pemahaman yang holistik.126

Kajian semantik Syahrûr terhadap beberapa kata penting dalam kitab suci ini

merupakan suatu hal yang sangat penting karena dengan demikian ia bisa melakukan

dekontruksi sekaligus rekontruksi terhadap pembacaan teks suci yang selama ini

dianggap establis dan final.

Al-Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai

Nabi dan Rasul sekaligus, jelas mempunyai posisi yang sesuai dengan posisi

kerasulan dan kenabian tersebut, hingga al-kitab menjadi dua bagian besar: yaitu

kitab an-Nubuwah dan kitab ar-Risalah. Dalam konteks ini an-Nubuwah dapat

dipahami sebagai akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad

yang kemudian memposisikannya menjadi Nabi. Konsep an-Nubuwah mencakup

125Abd. Muqsid Ghozali, “Muhammad Syahrûr,” http://www.google.co.id/search?q=Muhammad+ Syahrûr&hl=id&start=20&sa=N (diakses pada: 29 Juli 2007) , 9. 126Ibid, 197-198.

Page 108: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

93

seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang tertera dalam al-Kitab, sekaligus

berfungsi sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil atau antara kebenaran

realitas (al-haqiqah) dan praduga sementara.127

An-Nubuwah identik dengan ilmu pengetahuan sedangkan ar-Risalah

merupakan kumpulan penetapan hukum yang disampaikan kepada Muhammad

sebagai pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan dan identik dengan

hukum. Ar-Risalah ini yang kemudian memposisikan sebagai Rasul.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa teori tentang eksistensi alam

semesta, manusia, dan tafsir sejarah merupakan bagian dari an-Nubuwah dan

merupakan bagian dari ayat-ayat mutasyabihat. Adapun penetapan hukum yang

terdiri dari masalah waris dan ibadah, moralitas universal, mu’amalah, hukum-

hukum perdata dan larangan-larangan merupakan katagori al-Risalah dan semua itu

adalah ayat-ayat muhkamat.

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Syahrûr mengklasifikasikan ayat

dalam al-kitab kedalam tiga kategori, yaitu: ayat muhkamat, ayat mutasyabihat, dan

ayat bukan muhkamat dan bukan mutasyabihat. Kategorisasi ini merujuk kepada ayat

ketujuh dari surat al-Imran, yang memang secara eksplisit menyebut kategori

muhkamat dan mutasyabihat.128

Adapun kategori ketiga tafsil al-kitab Syahrûr merujuk pada surat Yunus ayat

37. Argumentasi Syahrûr memunculkan kategori ketiga adalah isyarat yang muncul

pada penggalan ayat “wa ukharu mutasyabihat”. Kata ukharu karena berbentuk

nakirah, harus dipahami bermakna sebagian yang lain, bukan keseluruhan. Maka,

127Ibid. 128Ibid.

Page 109: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

94

konsekwensi logisnya akan timbul pertanyaan, jika bagian pertama adalah muhkamat

dan bagian (dari bagian kedua) adalah mutasyabihat, lalu bagian yang lain dari

keduanya adalah tidak muhkam dan tidak mutasyabih, inilah yang kemudian oleh

surat Yunus sebagai ayat tafsil kitab.

Page 110: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

95

BAB IV

TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR

A. Pengertian Teori Batas dan Historisitasnya

Teori batas dapat diartikan sebagai perintah Tuhan yang diungkapkan dalam

al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur ketentuan-ketentuan berupa batas terendah

dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili

ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batasan tertinggi

mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari

batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batasan-batasan ini di

jadikan sebagai panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran

kesalahan yang dilakukan.129

129Ibid.

95

Page 111: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

96

Tipikal Syahrûr sebagai ilmuwan berpengaruh terhadap produk

pemikirannya. Ini tampak jelas terhadap teori yang dikenalkannya, yang disebut

dengan teori batas (the teory of limit).130

Syahrûr merumuskan teori batasnya berangkat dari Qs. An-Nisa’ ayat 13-14,

yang terkait dengan pembagian waris:

š�ù=Ï? ߊρ߉ãm «!$# 4 ∅tΒ uρ ÆìÏÜ ãƒ ©!$# …ã& s!θ ß™u‘uρ ã&ù#Åzô‰ãƒ ;M≈ ¨Ζy_ ”Ì� ôfs? ÏΒ $ yγ ÏFós s?

ã�≈ yγ÷ΡF{ $# šÏ$ Î#≈ yz $yγŠÏù 4 š�Ï9≡ sŒ uρ ã— öθx�ø9 $# ÞΟŠÏàyè ø9 $# ∩⊇⊂∪

Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.

Surat an-Nisa’:14

∅tΒ uρ ÄÈ ÷ètƒ ©!$# …ã& s!θ ß™u‘uρ £‰yètGtƒ uρ …çνyŠρ߉ãn ã&ù#Åzô‰ãƒ #�‘$ tΡ # V$Î#≈ yz $ yγ‹ Ïù … ã& s!uρ ÑU#x‹tã

ÑÎγ •Β ∩⊇⊆∪

Artinya: Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan

melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api

neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Pada ayat 13 terdapat kalimat Z4 ?�ود ا�� dan pada ayat 14 terdapat kalimat

�� ?�ود6�Bو kata hudud disini berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufradatnya hadd

yang artinya batas (limit).131

Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa batas (hadd) yang

ditentukan Allah berjumlah banyak dan menusia memiliki keleluasaan untuk

memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang

130Ibid. 131Ibid.

Page 112: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

97

melingkupinya. Pelanggaran hukum Tuhan itu akan terjadi jika manusia melampaui

batasan-batasan tersebut.132

Menurut Syahrûr, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah

pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan hukum yang

ditentukan Allah. Redaksi Z4 ?�ود ا�� merujuk pada penjelasan ayat 11-12, dan pada

saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang dimaksud berasal dari

Allah.133

Pada ayat 14, kalimat 6ود�? ���Bو berarti melanggar batas-batas (hukum) Nya.

Penggunaan terma hudud disini dinisbatkan pada dhamir mufradat (kata ganti

tunggal) hu yang merujuk pada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat

sebelumnya yang redaksinya wa man ya’si Allah wa rasulahu wa yata’adda

hududahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat dapat dilakukan terhadap Allah dan

Rasul-Nya, tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena

penentuan hukum syari’at yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik

Allah. Otoritas ini tidak perna diberikan kepada yang lain, bahkan kepada Nabi

Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad memiliki hak penentuan otoritas

hukum, niscaya ayat tersebut redaksinya akan seperti ini: wa man ya’si Allah wa

rasulahu wa yata’adda hududdahuma dengan menggunakan kata ganti untuk dua

orang (huma), tetapi tidak demikian.134

132Muhammad Syahrûr, “Dirasah Islamiyah Mu’ashirah; Nahwi Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami,” diterjemahkan oleh Syahiron Syahsudin dan Buhranudin, Metodologi Islam Kontemporer, (Cet II; Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004),317. 133Asjmuni Abdurahman, “Muhammad Syahrûr dan Al-Kitab,” www.suaramuhammadiyah.or.id documentsmanhaj.htm-17k (diakses pada: 29 Juli 2007), 4. 134Ibid.

Page 113: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

98

Dengan demikian, semua syari’ah (ketentuan hukum) yang berasal dari Nabi

bersifat temporal dan tidak ada keharusan memberlakukannya hingga akhir zaman

kecuali yang bersifat ibadah mahdho. Pada dataran ini, tersembunyi rahasia dan

hikmah adanya Sunnah untuk diikuti pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain adanya

posisi Nabi sebagai teladan untuk berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah

yang disesuaikan dengan kondisi objektif yang hidup dalam sejarah manusia.135

Mensikapi pemikiran Muhammad Syahrur dengan fokus pada aspek

metodologi penafsirannya atau yang disebut dengan Qira’ah Muashirah, dengan

menggunakan teori batas sebagai kerangka teoritis, maka diperoleh beberapa poin

yang penting yang menggambarkan bagaimana teori batas mengisi diberbagai ruang

dalam qira’ah mu’ashirah.

Menurut Syahrûr ibadah dalam pengertian relasi (as-sillah) antara manusia

dan Tuhan yang bersifat tauqifiyyah, terdiri dari empat kategori saja, yaitu shalat,

puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Relasi ini bermula dalam bentuk indrawi

(musyakhas) berupa persembahan (qarabin) dan penyembelihan binatang (al-

udhiyyah), ritual semacam ini di jumpai hampir di seluruh agama dan kepercayaan

yang diawali dari asumsi dasar pengabdian manusia kepada Tuhan melalui media

fisik dan indra sebagai jalan untuk mendekatkan kepada-Nya. Syahrûr menyebut

ibadah seperti ini dengan istilah ibadah fu’adiyyah. Salah satu jejaknya terlihat

dalam ibadah haji dengan adanya simbol tawaf di Ka’bah, sa’i antara Safah dan

Marwa, serta penyembelihan hewan kurban. Haji dapat di pahami sebagai bentuk

final dari ibadah fu’adiyyah yang telah di sempurnakan oleh Islam.136

135Ibid. 136Ibid.

Page 114: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

99

Asumsi dasar (fundamental fhilosofhy) metodologi Syahrûr adalah akal,

wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan adalah perpaduan antara

linguistik, saintifik dan filosofis. Pada aspek linguistik metodologi Syahrûr bertumpu

pada berbagai asumsi tentang hakekat bahasa, kajian singkronis dan diakronis secara

sinergi serta penolakan terhadap sinonimitas sebagai konsekuensi pilihan perspektif

dan ansumtif yang mendasari kajian al-Qur’an yang memiliki karakter ilmiah.

Metode linguistik digunakan Syahrûr untuk membangun teori batas, yang di

dasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Kata

al-hanîf berasal dari kata hanafa dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung

(hanafa) atau bisa dikatakan untuk orang yang berjalan diatas dua kakinya (ahnafa)

atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal

dari kata qaum yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki, dan (2)

berdiri tegak (al-intishâb) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intishâb ini muncul kata

al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf), sedangkan dari

al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaan).137

Analisis linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang

akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam surat al-An’am: 161, memaparkan

tiga term pokok: al-din al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, nampak sekilas

bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiksi.138

Setelah menganalisis surat al-An’am: 79 Syahrûr memperoleh pemahaman

bahwa al-hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.139 Langit, bumi, dan bahan

137Syahrûr, Op. Cit,447. 138Ibid,3 139Redaksi ayat 6:79 berbunyi:"Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Page 115: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

100

elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis

lengkung. Tidak ada dari tata alam yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah

yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan

demikian adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan

pembawaan yang bersifat fitrah.

Realitas masyarakat yang senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah

tradisi sosial, kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah

sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan

demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam

menentukan hukum.

Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah,

bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X

menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-

undang yang ditetapkan Allah. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika,

bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan

hukum yang telah di tentukan Allah (sumbu Y) dan awal sejarah hijriyah (sumbu O).

Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat

dialektik tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah

kemestian untuk menunjukan bahwa hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu.

Syahrûr kemudian mengenalkan apa yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan

bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang

Page 116: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

101

minimum, al-istiqamah, dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-

hanafiyah (curvature).140

Terkait dengan metode pembacaan Syahrûr menawarkan dua mekanisme

pembacaan yaitu takwil dan ijtihad. Takwil merupakan metode pembacaan terhadap

ayat-ayat yang termasuk dalam katagori nubuwah yang mempunyai karakter dasar

objektif, sedangkan ijtihad adalah metode pembacaan untuk ayat-ayat termasuk

dalam kategori risalah yang memiliki karakter subjektif. Terkait dengan hal ini

terlebih dahulu lebih dipahami bahwa Syahrûr membagi kitab suci menjadi tiga

bagian besar, kategori ayat muhkamat, ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat la muhkam

wa lamutasyabihat. Kategorisasi ini merupakan identifikasi objek kajian secara detil.

Dari aspek ini Syahrûr berusaha konsisten dengan prosedur ilmiah, yaitu menentukan

objek kajian, batasan wilayah dan karakternya masing-masing. Karena dengan

teridentifikasinya objek kajian secara jelas dan rigit, maka penentuan pendekatan dan

metode analisis dalam penelitian dapat dilakukan.

Syahrûr menegaskan untuk memahami ayat-ayat muhkamat, mekanisme yang

digunakan adalah ijtihad dengan kerangka teori batas. Aktifitas seperti ini disebut

tafsir. Sedangkan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, khususnya al-Qur’an,

mekanisme yang digunakan adalah takwil. Kategorisasi ini ditentukan berdasarkan

tema yang terkandung dalam masing-masing ayat, muhkamat untuk tema-tema

hukum yang berada pada wilayah risalah, dan bersifat objektif, sedangkan

mutasyabihat adalah untuk tema-tema ilmiah yang berada pada wilayah nubuwah

dan bersifat objektif.

140Ibid,450-452.

Page 117: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

102

Dari sisi ini, kajian Syahrûr dapat dipandang sebagai kajian hermeneutik yang

berorientasi pada metodologi pemahaman daripada kajian eksegesis yang

berorientasi pada aktualisasi pada pemahaman itu sendiri. Berdasarkan analisis

kepadanya, tanpak Syahrûr berusaha membangun pendekatan baru atau lebih

tepatnya perspektif baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Syahrûr

mengagendakan proyek ini dengan nama Qira’ah Mu’ashirah atau pembacaan

kontemporer. Dari kajian hermeneutisnya tersebut, kemudian dapat dilihat posisi

Syahrûr dalam konstelasi hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Adapun aliran mana

yang cenderung diikutinya objektif atau subjektif? Sejauh penelitian peneliti,

pembacaan kontemporer Syahrûr mengaplikasikan pendekatan yang objektif pada

satu sisi dan sekaligus subjektif pada sisi yang lain. Objek teks yang berbeda, oleh

Syahrûr didekati dengan metodologi yang berbeda pula. Dalam hal ini Syahrûr

memegang aksioma bahwa objeklah yang menentukan pilihan terhadap metode

bukan sebaliknya.

Syahrûr membedahkan enam bentuk batasan-batasan:

1. Batasan Minimum ketika Berdiri Sendiri

Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para

perempuan yang disebut dalam surat an-Nisa’ ayat 23:

ôM tΒÌh� ãm öΝà6ø‹ n=tã öΝä3çG≈ yγ ¨Β é& öΝä3è?$ oΨt/uρ öΝà6 è?≡ uθ yzr& uρ öΝä3çG≈ £ϑtãuρ öΝä3çG≈ n=≈ yzuρ

ßN$ oΨt/uρ Ë F{ $# ßN$ oΨt/uρ ÏM ÷zW{$# ãΝà6çF≈ yγ ¨Β é&uρ ûÉL≈ ©9 $# öΝä3oΨ÷è|Ê ö‘r& Νà6è?≡ uθ yzr& uρ

š∅ÏiΒ Ïπyè≈ |Ê §�9$# àM≈yγ ¨Β é&uρ öΝä3Í←!$ |¡ ÎΣ ãΝà6 ç6 Í×‾≈ t/u‘uρ ÉL≈ ©9 $# ’Îû Νà2Í‘θàf ãm ÏiΒ

ãΝä3Í←!$ |¡ ÎpΣ ÉL≈©9 $# Ο çFù=yzyŠ £ Îγ Î/ βÎ* sù öΝ©9 (#θ çΡθ ä3s? Ο çF ù=yzyŠ �∅Îγ Î/ Ÿξ sù yy$ oΨã_

Page 118: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

103

öΝà6 ø‹n=tæ ã≅ Í×‾≈ n=ym uρ ãΝà6Í←!$ oΨö/r& tÉ‹©9 $# ôÏΒ öΝà6 Î7≈n=ô¹r& βr& uρ (#θ ãèyϑôf s? š÷t/

È ÷tG÷zW{ $# āω Î) $tΒ ô‰s% y# n=y™ 3 āχÎ) ©! $# tβ% x. # Y‘θà�xî $ VϑŠÏm §‘ ∩⊄⊂∪

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk katagori hubungan

darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat

lain diluar anggota ikatan darah yang disebutkan.

Allah telah menetapkan batas minimal dalam pengharaman

perempuan-perempuan untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga dekat

sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 23. Dalam

kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini

meskipun didasarkan pada ijtihad. Kebolehan ijtihad hanya pada usaha

memperluas pihak yang diharamkan. Sebagai contoh apabila ilmu

kedokteran telah mampu membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat

dekat, seperti anak perempuan, saudara bapak atau ibu, akan memberikan

pengaruh negatif pada keturunan dan juga pada proses pembagian harta

Page 119: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

104

kekayaan, maka ijtihad boleh dilakukan dalam bentuk penetapan

peraturan yang melarang pernikahan keluarga dekat tersebut.141

2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri

Contoh batasan ini terdapat di dalam surat al-Ma’dah ayat 8:

ä−Í‘$ ¡¡9 $#uρ èπs%Í‘$ ¡¡9 $#uρ (#þθ ãèsÜ ø%$$ sù $ yϑßγ tƒ ω÷ƒ r& L !#t“y_ $ yϑÎ/ $ t7 |¡x. Wξ≈ s3tΡ z ÏiΒ «!$# 3 ª!$#uρ

 Í•tã ÒΟŠÅ3ym ∩⊂∇∪

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Disini ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh di

lampaui. Dalam kasus ini hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-

kondisi objektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.142

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batasan maksimal hukuman

bagi pencuri yakni potong tangan. Tidak diperkenankan menjatuhkan

hukuman bagi pencuri lebih berat dari potong tangan, tetapi tidak

menutup kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.143

Para pembaharu hukum Islam berkewajiban untuk menetapkan

definisi yang pasti terhadap subjek pencuri berdasarkan fakta dan latar

belakang objektif yang melingkupinya.

Dalam surat al-Isra’ ayat 33 Allah berfirman:

141Ibid, 153. 142Ibid,455. 143Ibid,455-457

Page 120: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

105

Ÿωuρ (#θ è=çF ø)s? }§ø�Ζ9 $# ÉL©9 $# tΠ §� ym ª!$# āω Î) Èd, ysø9 $$ Î/ 3 tΒuρ Ÿ≅ÏF è% $ YΒθè=ôà tΒ ô‰s)sù

$ uΖù=yèy_ ϵÍh‹ Ï9 uθÏ9 $ YΖ≈ sÜ ù=ß™ Ÿξ sù ’ Ì�ó¡ ç„ ’Îpû È≅ ÷Fs)ø9 $# ( … çµ‾ΡÎ) tβ% x. # Y‘θÝÁΖtΒ ∩⊂⊂∪

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Dalam konteks ini, mujtahid berkewajiban menetapkan kriteria

tindakan pembunuhan yang pantas menerima hukuman maksimal, yaitu

hukuman mati. Salah satu tindak pidana yang demikian adalah

pembunuhan berencana. Tetapi ada juga kasus pembunuhan yang tidak

perlu di jatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan tidak di sengaja atau

pembunuhan untuk membela diri. Selain itu masih ada kesempatan

pemberian maaf dari keluarga korban pembunuhan.144

3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan

Gambaran dari tipe ini di sebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang

berhubungan dengan warisan:145

ÞΟä3ŠÏ¹θ ムª!$# þ’ Îû öΝà2ω≈ s9 ÷ρr& ( Ì�x.©%#Ï9 ã≅ ÷VÏΒ Åeáym È ÷u‹ sVΡW{ $# 4 βÎ* sù £ ä. [ !$ |¡ ÎΣ s−öθ sù

È ÷tGt⊥ øO$# £ ßγ n=sù $ sVè=èO $ tΒ x8t� s? ( βÎ)uρ ôM tΡ% x. Zοy‰Ïm≡ uρ $ yγ n=sù ß#óÁ ÏiΖ9 $# 4 ϵ÷ƒ uθ t/L{ uρ Èe≅ ä3Ï9

7‰Ïn≡ uρ $ yϑåκ÷]ÏiΒ â ߉�¡9 $# $ £ϑÏΒ x8t� s? βÎ) tβ% x. … çµs9 Ó$s!uρ 4 βÎ* sù óΟ©9 ä3tƒ … ã& ©! Ó$s!uρ

ÿ…çµ rOÍ‘uρuρ çν#uθ t/r& ϵÏiΒ T|sù ß]è=›W9 $# 4 βÎ* sù tβ% x. ÿ…ã& s! ×οuθ ÷zÎ) ϵ ÏiΒ T|sù â ߉�¡9 $# 4 .ÏΒ Ï‰÷èt/

144 Ibid. 145 Ibid, 457-462.

Page 121: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

106

7π§‹ Ï¹uρ Å»θム!$ pκÍ5 ÷ρr& Aø yŠ 3 öΝä.äτ !$t/# u öΝä.äτ!$ oΨö/r& uρ Ÿω tβρâ‘ ô‰s? öΝßγ •ƒ r& Ü>t�ø%r& ö/ ä3s9 $ Yèø�tΡ

4 Zπ ŸÒƒÌ� sù š∅ÏiΒ «!$# 3 ¨βÎ) ©!$# tβ% x. $ ¸ϑŠÎ=tã $ VϑŠÅ3ym ∩⊇⊇∪

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Syahrûr berargumen sebuah penetapan batasan maksimum untuk anak

laki-laki dan batasan minimum untuk anak perempuan. Terlepas dari

apakah wanita sebagai pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak

perna kurang dari 33,3 %, sementara bagian laki-laki tidak perna lebih

dari 66,6 % dari harta warisan. Jika laki-laki diberi 60% sementara wanita

diberi 40%, pembagian seperti ini tidak dikatagorikan sebagai

pelanggaran terhadap batasan maksimum dan minimum. Alokasi

presentase dari tiap-tiap pihak ditentukan berdasarkan kondisi objektif

yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu.146

Menurut Syahrûr contoh ini menjelaskan kebebasan bergerak dalam

batasan-batasan yang telah ditentukan oleh hukum. Batasan-batasan

146 Ibid.

Page 122: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

107

tersebut telah ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Syahrûr hukum tidak harus diberlakukan sesuai dengan teks-teks

yang sudah diturunkan berabad-abad lalu pada dunia modern.

4. Perpaduan Antara Batas Minimum dan Batas Maksimum

Hanya ada satu ayat dalam tipe ini yakni surat al-Nur ayat 2:147

’ÎΤ# ¨“9 $# Ÿω ßxÅ3Ζtƒ āω Î) ºπ uŠÏΡ#y— ÷ρr& Zπx.Î�ô³ãΒ èπu‹ ÏΡ# ¨“9 $#uρ Ÿω !$yγ ßs Å3Ζtƒ āω Î) Aβ#y— ÷ρr& Ô8Î�ô³ãΒ 4 tΠ Ìh� ãmuρ y7Ï9≡ sŒ ’ n?tã t ÏΖÏΒ÷σßϑø9 $# ∩⊂∪

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

Disini batasan minimum dan maksimum berpadu dalam satu hukuman

yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina

seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang

seharusnya di timpakan. Hukuman pezina adalah tidak lebih dari seratus

deraan.148

Penjelaskan syarat-syarat kondisional harus dipennuhi pada penerapan

batasan hukum zina itu dan disebut sebagai ayat-ayat mubayinat. Batasan

zina inilah yang menjelaskan syarat-syarat tertentu harus dipenuhi untuk

menerapkan hukum ini, karena merupakan batas maksimal pada saat yang

sama menempati batas minimal.

5. Posisi Batas maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa

persentuhan.

147 Ibid, 463. 148 Ibid, 463.

Page 123: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

108

Hal itu tertera dalam surat al-Isra’ ayat: 32

Ÿωuρ (#θ ç/t� ø)s? #’oΤ Ìh“9 $# ( …çµ ‾ΡÎ) tβ% x. Zπt± Ås≈ sù u !$ y™uρ Wξ‹Î6 y™ ∩⊂⊄∪

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Contoh batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan

perempuan. Dimulai dari titik diatas batas minimum dimana keduanya

sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung bergerak keatas searah

dengan batas maksimum dimana mereka hampir melakukan perzinaan,

tetapi tidak sampai terjadi.149

6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan

batas minimum pada daerah negatif.

Contoh tipe ini adalah transaksi keuangan. Batas tertinggi di

gambarkan sebagai pajak bunga dan batas terenda adalah pembayaran

zakat. Ketika batasan-batasan ini dalam posisi positif dan negatif, maka

ada sebuah tingkatan berada tepat di antara yang nilainya sama dengan

nol.150

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat di jelaskan:

1. Pada satu sisi, Islam bersifat lurus dan pasti dalam hal batas-batas

hukum dan pilar-pilar moral. Pada sisi lain Islam bersifat lentur

dengan memberikan ruang gerak ijtihad di antara batasan-batasan

hukum Allah. Dalam ketentuan batas-batas hukum, Islam bersifat

149 Ibid, 464. 150 Ibid,468.

Page 124: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

109

pasti, tetapi dalam gerak ijtihad di antara batas-batas tersebut, Islam

bersifat lentur dan dinamis.

2. Allah menganugrahkan ketetapan hukum yang sudah jadi dan sudah

pasti bagi Isa dan Musa dalam al-Kitab, karena model tasyri’ tersebut

disesuaikan dengan tingkat peradaban bangsa yang hidup pada masa

tersebut. Oleh karenanya, ketetapan hukum bagi Isa dan Musa disebut

sebagai al-Kitab. Ketetapan hukum ini tidak universal, tetapi bersifat

lokal dan temporal. Dengan ungkapan lain, ketetapan hukum itu tidak

didasarkan pada konsep batas-batas hukum. Oleh karena ketetapan

hukum bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas sehingga mudah

untuk di lampaui atau dilanggar. Pada saat yang sama, para pengikut

Musa dan Isa memisahkan antar hukum agama dan negara.

3. Risalah Muhammad disebut sebagai umm kitab dan berlaku universal

karena memiliki kelenturan yang dibangun oleh teori batas-batas

hukum. Dari risalah ini sangat dimungkinkan tersusun jutaan alternatif

ketentuan hukum baru yang sangat sulit untuk di langgar kecuali oleh

orang-orang tidak terpelajar.

4. Dengan memperhatikan bahwa batas-batas hukum ini di sebut sebagai

batas-batas hukum Allah, maka yang berhak menentukan batasannya

adalah Allah. Tidak seorangpun diperkenankan menetapkan batasan

hukum tersebut dan kemudian mengaku bahwa batasan-batasan

hukum tersebut adalah batasan hukum Allah.

5. Secara umum, batas-batas hukum yang telah di tetapkan Allah sama

sekali tidak boleh di langgar. Bagi setiap pelanggar sesuai dengan

Page 125: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

110

ancaman Allah balasannya adalah neraka jahanam. Contoh batas-

batas hukum yang bersifat mutlak adalah hukum waris, pencurian,

pembunuhan, larangan menikahi wanita mahram. Tetapi terdapat

batasan hukum yang dalam kondisi tertentu Allah memperbolehkan

untuk melampauinya. Sebagai contoh memakan bangkai dalam

keadaan darurat.151

Persoalan inilah yang menjadi salah satu kegelisahan Muhammad Syahrûr

ketika melihat stagnasi pemikiran dunia Islam. Syahrûr menegaskan perlunya para

ahli hukum selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai dengan

latar belakang sosio-kultural dan pengetahuan ilmiah obyektif masa kontemporer.

Beberapa istilah kunci yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum

membedah artikulasi teoritik pemikiran Syahrûr dalam hukum Islam antara lain:

hudud, ar-risalah, an-nubuwah, al-istiqamah, al-hanafiyyah.152

Teori limit yang ditawarkan oleh Syahrûr itu memberikan empat kontribusi

signifikan dalam pengayaan bidang fiqih:

Pertama, dengan teori limit Syahrûr telah berhasil melakukan pergeseran

paradigma yang sangat fundamental di dalam bidang fiqih. Selama ini pengertian

hudan dipahami para ahli fiqih secara rigit sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang

berisi sanksi hukum yang tidak boleh di tambah atau di kurangi dari ketentuan yang

termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku

zina belum bekeluarga. Berbedah dengan itu, teori limit yang di tawarkan oleh

Syahrûr cenderung bersifat di namis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut

151 Ibid. 152M.In’am Esha, Muhammad Syahrûr:Teori Batas, dalam bukum Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 308.

Page 126: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

111

masalah sanksi hukum. Teori limit Syahrûr juga menyangkut aturan-aturan hukum

lainnya, seperti pakaian perempuan, poligini, pembagian warisan, soal riba dan lain

sebagainya.153

Kedua, teori limit Syahrûr menawarkan ketentuan batas minimum dan batas

maksimum dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah

di posisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimal dan batas

maksimal yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, berada di antara batas

ninimum dan maksimum.

Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrûr telah melakukan dekontruksi dan

rekontruksi terhadap motodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat yang di

klaim sebagai ayat-ayat muhkam. Juga dapat di pahami secara dinamis dan memiliki

alternatif penafsiran, sebab al-Quran di turunkan untuk merespon persoalan manusia

dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat al-Quran tidak saja dapat di pahami,

bahkan bagi Syahrûr dapat di pahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat

dapat berkembang tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu

turun.154

Keempat, dengan teori limit, Syahrûr ingin membuktikan bahwa ajaran Islam

benar-benar ajaran yang relevan untuk setiap ruang dan waktu. Syahrûr berasumsi,

kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terdapat dua aspek gerak, yaitu

gerak konstan serta gerak dinamis dan lentur. Sifat kelenturan Islam ini berada dalam

bingkai teori limit yang oleh Syahrûr di pahami sebagai the bounds or restriction that

God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan

153Ibid. 154Ibid.

Page 127: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

112

pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua

karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur) akan membuat Islam

tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian

melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-

ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi

hukum Islam, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan

sistem hukum Islam secara terus-menerus.

B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrûr dalam Masalah Poligini

Poligini adalah salah satu masalah besar yang di hadapi oleh perempuan Arab

Islam secara khusus, dan di hadapi oleh umat Islam secara umum. Jika ayat poligini

di pahami dari Umm al-Kitab dari perspektif teori batas, maka akan mendapatkan

pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ayat tersebut mencakup setiap periode

sejarah perkembangan manusia dan meliputi seluruh sisi kemuliaan manusia, baik

masa lampau maupun masa kontemporer.155

Ayat-ayat hudud dalam masalah poligini adalah sebagai berikut:

�0�� /�.���ا ��,�ب �* �() ا �'&$ءو /<ن 56�* 0�8� و =ـ>; و ر:9 إن 56ـ�* أ3' 2�&�1ا/0 ا )3: ا �&�ء ( أ3' 2�� �ا /C��ة أو ���>A� أ!���* ذ ? أد.0 أ3' 2�>�ا

Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisa: 3).

155Ibid.

Page 128: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

113

Pertama dalam surat an-Nisa’ ayat 3 ada dua terma dasar yaitu:156 qasatha dan ‘adala. Dalam bahasa Arab qasatha adalah terma dasar satu tetapi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Arti pertamanya adalah “keadilan dan pertolongan” seperti dalam firman Allah dalah surat al-Ma’idah: 42:

šχθãè≈ £ϑy™ É>É‹s3ù=Ï9 tβθè=≈ ā2r& ÏMós �¡=Ï9 4 βÎ* sù x8ρâ !$ y_ Νä3÷n $$ sù öΝæηuΖ÷�t/ ÷ρr& óÚÍ�ôãr& öΝåκ÷]tã ( βÎ)uρ óÚÌ� ÷è è? óΟßγ ÷Ψtã n=sù x8ρ•�ÛØ o„ $\↔ø‹ x© ( ÷βÎ)uρ |Môϑs3ym Νä3÷n $$sù ΝæηuΖ÷�t/ ÅÝó¡ É)ø9 $$ Î/ 4 ¨βÎ) ©! $#

�=Ïtä† tÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩⊆⊄∪

Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita

bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

Al-Hujarat ayat: 9

βÎ)uρ Èβ$ tGx�Í←!$ sÛ z ÏΒ tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# (#θ è=tGtGø%$# (#θßs Î=ô¹r' sù $ yϑåκs]÷�t/ ( .βÎ* sù ôM tót/ $yϑßγ1 y‰÷n Î) ’n? tã

3“t� ÷zW{$# (#θ è=ÏG≈ s)sù ÉL ©9 $# Èöö7 s? 4 ®Lym u þ’Å∀s? #’n<Î) Ì�øΒ r& «!$# 4 βÎ* sù ôNu !$ sù (#θ ßsÎ=ô¹r' sù $ yϑåκs]÷�t/

ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ (# þθäÜ Å¡ ø%r&uρ ( ¨βÎ) ©!$# �=Ïtä† šÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩∪

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.

Al-Mumtahanah: 8

156Ibid.

Page 129: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

114

āω â/ ä38yγ ÷Ψtƒ ª! $# Ç tã tÏ% ©!$# öΝs9 öΝä.θ è=ÏG≈ s)ム’ Îû ÈÏd‰9 $# óΟ s9 uρ /ä.θ ã_ Ì� øƒä† ÏiΒ öΝä.Ì�≈tƒ ÏŠ βr& óΟèδρ•�y9 s?

(# þθ äÜÅ¡ ø)è?uρ öΝÍκö� s9 Î) 4 ¨βÎ) ©! $# �=Ïtä† tÏÜ Å¡ ø)ßϑø9 $# ∩∇∪

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

Arti keduanya adalah kezaliman dan penindasan (al-jur), seperti dalam

firman-Nya:

$ ‾Ρr& uρ $ΖÏΒ tβθ ßϑÎ=ó¡ ßϑø9 $# $ ¨ΖÏΒ uρ tβθ äÜÅ¡≈ s)ø9 $# ( ôyϑsù zΝn=ó™r& y7 Í×‾≈ s9 'ρé' sù (# ÷ρ§� ptrB # Y‰x© u‘ ∩⊇⊆∪

Artinya: Dan Sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang taat dan

ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang yang

taat, Maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.(Al-Jin:14).

Terma ‘adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan. Arti

pertamanya adalah: kelurusan atau kesejajaran, sedangkan arti keduanya adalah

kebengkokan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan nuansa makna antara al-qisth

dan ‘adala. Terma qisth mengisaratkan hubungan dari satu pihak saja, sedangkan

‘adala mengisyaratkan hubungan persamaan antara dua pihak. Dari pengertian ini

munculah terma mu’adalah, yaitu kesejajaran dua pihak yang berbeda, seperti yang

di rumuskan dalam matematika A=B (baca A sama dengan B). Dari dua potensi

makna bagi kedua lafad tersebut, potensi makna yang dimaksud dalam surat an-Nisa’

ayat 3 ialah makna yang pertama, yakni berbuat baik dan berbuat adil.

Meskipun demikian, Syahrûr tidak memandang bahwa kata qasatha

merupakan sinonim dari kata ‘adala. Keduanya, meskipun memiliki persinggungan

makna, tetapi memiliki perbedaan konotasi. Dalam arti, bahwa makna keadilan

dalam kata qasatha di pandang dari satu arah atau tanpa adanya perbandingan.

Page 130: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

115

Sementara berbuat adil yang dimaksud oleh kata ‘adala ialah bersikap adil antara

dua pihak yang berbeda” (musa wah bayn tharafayn muktalifayn).157

Dengan demikian, ungkapan 9:ء 0�8� و =ـ>; و ر$&'� /�.���ا ��,�ب �* �() ا

harus di pahami atau di terjemahkan ‘dan jika kalian khawatir tidak dapat berbuat

baik (atau tidak dapat memperhatikan) kepada anak-anak yatim, maka nikahilah ibu-

ibu mereka yang kalian sukai, dua tiga atau empat’. Dengan kata lain, Syahrûr ingin

menegaskan bahwa istri kedua dan seterusnya harus wanita-wanita janda (karena

suaminya meninggal dunia) dan memiliki anak-anak yatim. Untuk memperkuat

pandangan ini, Syahrûr kemudian menganalisis struktur gramatika bahasa ayat diatas

dengan mengaitkan penetapan praktik poligini pada ungkapan........ *� /�.���ا ��,�ب

sebagai struktur jawab al-syarat dengan ungkapan: wa in khiftum alla tuqsithu fi al-

yatama sebagai struktur syarat (kondisional).158

Ayat poligini ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat sebelumnya

karena ada redaksi wa in yang menghubungkan keduanya, sementara ayat-ayat

sebelumnya membicarakan hak-hak anak yatim. Allah berfirman:

(#θ è?#u uρ #’yϑ≈ tF u‹ ø9 $# öΝæηs9≡ uθ øΒ r& ( Ÿωuρ (#θ ä9 £‰t7 oKs? y]ŠÎ7 sƒø: $# É=Íh‹ ©Ü9$$ Î/ ( Ÿωuρ (# þθ è=ä.ù' s? öΝçλ m;≡uθ øΒ r& #’ n<Î)

öΝä3Ï9≡ uθ øΒr& 4 … çµ‾ΡÎ) tβ% x. $ \/θ ãm # Z�� Î6 x. ∩⊄∪

Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta

mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

157 Ibid, 589. 158Ibid.

Page 131: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

116

Dalam pembahasan wasiat Syahrûr mendefinisikan bahwa yang dimaksud

anak yatim adalah anak yang tidak memiliki bapak dan masih di bawah umur atau

belum dewasa. Sedangkan ibunya masih hidup dan masih berada pada usia produktif.

Ayat-ayat poligini yang termasuk kedalam teori batas ini memiliki batasan minimal

dan batas maksimal, baik dari sisi kualitas dan kuantitas.

Jika teori batas di terapkan dalam menganalisis ayat itu, maka akan

memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan

hadd fi al-kayf (secara kualitas).159

1. Batas-batas dalam sisi hadd fi al-kamm (kuantitas)

Ayat ini mebicarakan pernikahan dengan redaksi “fankihu” yang kemudian

mengawali jumlah istri dengan angka ‘dua’ (masna). Pada dataran realitas, seorang

laki-laki tidak dapat dikatakan menikahi dirinya sendiri atau menikahi setengah

perempuan, maka batas minimalnya adalah satu orang perempuan, dan batas

maksimalnya adalah empat. Proses peningkatan jumlah ini diawali dari dua, tiga dan

terakhir empat dalam hitungan bilangan bulat karena manusia tidak dapat di hitung

dalam bentuk pecahan. Kesimpulannya batas minimal perempuan yang dinikahi

adalah satu dan batas maksimalnya adalah empat.

Penyebutan satu-persatu dalam redaksi masna, wa sulasa, wa ruba’ harus di

pahami dengan penyebutan bilangan bulat secara berurutan, sehingga tidak dapat di

pahami dua + tiga + empat yang berjumlah sembilan. Dari sisi normatif, tidak ada hal

yang tabu dalam hal ini. Sebaliknya seandainya poligini dibolehkan dan seorang

menikahi empat perempuan, maka masih tetap dalam batas-batas hukum Allah, yaitu

159Muhammad Syahrûr, Op. Cit, 598.

Page 132: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

117

tepat pada batas maksimal sampai empat. Dalam dua kasus ini masih bergerak dalam

lingkup batas-batas hukum Allah dari sisi kuantitas.

Dalam sebagian kasus penerapan batas maksimal dengan menikahi empat

perempuan, dan inilah yang terjadi selama empat belas abad, yaitu memahami ayat

poligini sebagai ayat yang membatasi jumlah istri dari satu hingga empat, tanpa

memperhatikan kualitas perempuan yang di nikahi. Para pelaku poligini memahami

ayat: “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

seorang saja” sebagai perintah keadilan di antara para istri. Oleh karena itu, mereka

membenarkan pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah minimal dalam

pernikahan adalah satu istri dan poligini adalah bentuk jalan keluar dari keadaan

yang memaksa.160

2. Batas-batas dari sisi hadd al kayf (Kualitas)

Maksud dari kualitas adalah apakah istri kedua dan seterusnya adalah

perempuan yang janda atau yang perawan. Jika janda apakah yang memiliki anak

atau tidak? jika di pahami dari sisi kuantitas dan mengabaikan sisi kualitas

penjelasan redaksi yang berbentuk jawaban atas persyaratan yang disebut

sebelumnya? memahami kalimat jawaban as-syarti antara ayat fankihu ma taba

lakum min al-nisa’ .......dengan ayat: wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama? Dalam

konteks ini, ada hubungan antara redaksi syarat dan redaksi jawaban syarat tersebut,

sehingga akan memperoleh pemahaman: ayat ini tidak menyebutkan syarat kualitas

160Ibid.

Page 133: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

118

bagi istri yang pertama, sehingga terbuka kemungkinan apakah perawan, janda

dengan anak atau janda tanpa anak.161

Agar terjadi keserasian antara redaksi jawab syarat “fankihu” dan redaksi

syaratnya yaitu keadilan terhadap anak yatim, ayat ini harus di pahami sebagai ayat

yang membicarakan para ibu janda dari anak-anak yatim, sehingga dapat di

simpulkan bahwa ayat ini memberikan kelonggaran dari segi jumlah hingga empat

istri, tetapi menetapkan persyaratan bagi istri kedua, ketiga, keempat harus seorang

perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak. Konsekuensinya, seorang laki-

laki yang menikahi janda ini harus memelihara anak-anak yatim yang ikut

bersamanya sebagaimana ia memelihara dan mendidik anak-anaknya sendiri.162

Kalau di perhatikan secara cermat firman Allah: ma thaba lakum

(perempuan-perempuan yang kamu senangi). Bahkan berkenaan dengan seorang

janda yang telah memiliki anak-anak yatim yang telah kehilangan pemimpin dan

penopang hidupnya, sehingga dengan sangat terpaksa menerima pinangan yang di

tujukan kepadanya. Allah menggunakan kata-kata halus dan penuh perasaan ketika

menyebutkan seorang janda sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya dan menjaga

perasaannya, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap perkawinan; padahal bagi

Allah dalam keadaan keterpaksaan yang demikian boleh-boleh saja berfirman

demikian: fankihu ma si’tum min an-nisa’i (maka kawinilah wanita-wanita yang

kamu kehendaki). Akan tetapi Allah berfirman: fankihu ma taba lakum min an-nisa’i

(maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi). Disini jelas perbedaan

antara lafad thaba dan sha’a.163

161Ibid. 162Ibid. 163Ibid.

Page 134: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

119

Akan tetapi, perhatian manusiawi terhadap ayat tersebut seringkali

menimbulkan antusiasme yang menggebu-gebu dalam hati seseorang hingga

kelebihan dalam upaya mendapatkan ridha Allah, padahal tidak mempunyai biaya

untuk menghidupi anak-anak dan keluarganya yang pertama, di tambah dengan

tanggungan-tanggungan tambahan dari istri kedua beserta anak-anak yatimnya,

sehingga ia terjatuh dalam belenggu kesulitan. Maka pembagian untuk seseorang

antara (perhatian) terhadap anak-anaknya dan kewajibannya terhadap anak-anak

yatim telah menyebabkan sikap tidak adil di antara mereka. Penjelasan akan hal ini

ada dalam firman Allah: kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka

kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih

efektif mengantisipasi tindak aniaya. Disini datang perintah Allah untuk tidak

poligini dan mencukupkan dengan seorang istri saja ketika dalam keadaan takut akan

terbelit belenggu dan terjatuh pada tindakan tidak adil.164

Syahrûr memahami bahwa Allah bukan hanya sekedar memperbolehkan

poligini, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri

kedua, ketiga dan keempat adalah janda yang memiliki anak yatim kedua, harus

terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Karena batasan

yang telah di gariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, di

samping juga memiliki hikmah bagi kehidupan manusia.165

Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perintah poligini

menjadi gugur.166 Dengan demikian, perintah poligini itu adalah perintah bersyarat,

164Ibid. 165Anjar Nugraha, “Muhammad Syahrûr dan Poligami,” nusyria.netartikel.phpsubaction=show comments&id=1135173494&archive=&start_from=&ucat=1& -45 (diakses pada: 22 mei 2007) 166Ibid, 428.

Page 135: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

120

maka poligini tersebut bukalah ketetapan yang berlaku umum, universal dan bersifat

abadi.

Kebolehan berpoligini sering di manfaatkan sebagai solusi terakhir atau pintu

darurat bagi laki-laki yang memiliki “keistimewaan” dalam kebutuhan biologis yang

berbeda dengan laki-laki lain. Pada kasus seperti itu, barulah pintu darurat di

pergunakan. Jika laki-laki tersebut tidak berpoligini, akan terjerumus ke dalam

perzinaan, sedangkan perempuan yang akan dimadu ada dan bersedia. Sunggupun

demikian berlaku adil kepada istri-istri yang dimadu itu tetap sebagai persyaratan

mutlak yang harus di penuhinya. Berarti poligini disini sebagai solusi akhir, atau

pintu darurat dan sekaligus membek-up monogami. Tetapi jika istri pertamanya tidak

bersedia dimadu, ia harus menerimanya, yaitu bercerai dengan istri pertamanya,

berarti tidak terjadi poligini atau memilih untuk tidak berpoligini.

Berpoligini dengan alasan menghindari zina, diperbolehkan daripada berzina

yang sudah jelas hukumnya haram dan sanksinya berat, yaitu rajam. Bahkan al-

Qur’an melarang mendekati zina dengan �"Aا ا��-:��� (al-Isra’: 32). Apabila alasan

ini di hubungkan dengan poligini yang di praktekan Rasul, maka tidak relefan karena

ternyata alasannya berbeda. Rasul berpoligini dalam rangka membela orang lemah

dan untuk kepentingan dakwa Islam. Rasul berpoligini bukan di dorong oleh

kebutuhan libido seksualnya. Jika atas dasar libido tentu beliau sudah berpoligini

sejak semula, ternyata beliau bermonogami selama 28 tahun, yakni hanya beristrikan

Siti Khadijah saja. Istri-istri beliau ketika berpoliginipun perempuan-perempuan

janda bahkan ada yang sudah usia lanjut, seperti Saudah binti Zam`ah.

Uraian diatas dilengkapi dengan membaca surat an-Nisa’ mulai ayat 2, maka

akan menjadi jelas bahwa pokok pembahasan ayat 3 adalah masalah anak yatim.

Page 136: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

121

Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat dengan

anak-anak yatim yang kehilangan ayah karena peperangan, sementara ibunya masih

hidup dalam keadaan menjanda.167

Jika seseorang mampu menikahi tiga janda yang masing-masing memiliki

anak, hingga ia hidup dengan keluarga besar, tentunya dari sisi finansial kondisi ini

merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Namun, jika ada kehawatiran akan

terjadi ketidak seimbangan dan ketidak adilan dalam keluarga tersebut, maka poligini

dilarang. Dalam kondisi seperti inilah firman Allah “fa-in khiftum alla ta’dilu fa-

wakhidatan” dapat di pahami berlaku adil kepada anak-anaknya sendiri dari istri

pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain. Dalam

ayat ini pengertian ‘adl (bertindak adil antara dua pihak) tanpak dengan jelas, yaitu

tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada anak-

anak yang dari istri yang lainnya.

Sedangkan tindakan qist hanya ditujukan kepada anak-anak yatim saja, yaitu

anak-anak yang di bawah oleh istri kedua, ketiga dan keempat, sebagaimana firman-

Nya: “wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama”. Jika seorang yang sudah beristri

khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun anak-

anak yatim tersebut, maka hendaklah ia menikah dengan satu istri saja.

Kata al-yatim dalam bahasa Arab dan tanzil al-hakim berarti anak yang

belum mencapai umur balig yang telah kehilangan ayahnya, sementara ibunya masih

hidup. Pengertian al-yatim seperti ini ada dalam firman Allah “Dan ujilah (didiklah)

anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” an-Nisa’ ayat 6. Sedangkan

kata al-yatim yang berarti anak yang telah kehilangan ayahnya disebutkan juga

167Ibid.

Page 137: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

122

dengan jelas dalam firman-Nya: Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua

orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi

mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah orang yang saleh (Qs.al-Kahfi:82).

Demikian juga kata yatim di sebutkan secara tersirat dalam firman-Nya: dan

janganlah kamu dekati harta anak-anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih

bermanfaat (al-An’am:152), dan firmannya: dan berikan kepada anak-anak yatim

harta mereka, karena seorang ayah ketika masih hidup secara hukum adalah wali

bagi anaknya, sehingga tidak terdapat hal yang menjastifikasi seruan Allah untuk

memerintahkan kepada manusia agar berbuat adil kepadanya.

Permasalahan anak yatim yang telah kehilangan ayahnya, dimana Allah

menghendaki dan memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dan adil kepada

mereka, serta menjaga dan memelihara harta mereka dan menyerahkan kembali

kepada mereka setelah menginjak usia dewasa.168

Dalam keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada

anak-anak yatim sesuai dengan ayat yang dimaksud (sebagaimana firman Allah: dan

jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim....), maka

ayat diatas memperbolehkan poligini, yakni menikahi ibu-ibu mereka yang menjanda

(Allah berfirman: maka kawinilah perempuan-perempuan yang kalian senangi.......).

Khitab perintah dalam ayat terebut ditujuhkan kepada orang-orang yang telah

menikah dengan seorang wanita dan memiliki anak, karena bukanlah termasuk

poligini bagi laki-laki bujangan menikahi janda yang memiliki anak-anak yatim,

dengan dasar ayat tersebut diawali dengan dua dan diakhiri dengan empat.169

168 Ibid, 428. 169Ibid.

Page 138: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

123

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pihak yang menjadi sasaran

pembicaraan dalam masalah poligini adalah seorang yang sudah memiliki satu istri,

maka dalam ayat dimulai dengan redaksi matsna atau yang kedua. Dengan demikian,

maka yang disebut dengan fawakhidah disini adalah istri kedua, bukan istri pertama.

Dengan ungkapan lain, jika seorang yang sudah menikah merasa mampu untuk

melakukan poligini, khususnya secara finansial, Allah memberikan dorongan

kepadanya untuk menikah lagi paling tidak dengan satu janda yang memiliki anak

sebagai istri keduanya.170

Pengertian ini di pertegas dengan redaksi ayat dibagian akhir “zalika adna

alla ta’ulu ”. Kalimat ta’ulu berasal dari kata awala yang berarti memiliki banyak

keturunan dan melakukan banyak tindakan ketidakadilan. Seorang laki-laki yang

bertanggung jawab atas keluarga besarnya yang mencakup keempat istrinya beserta

anak-anaknya memiliki beban besar berupa tuntutan finansial dan tanggung jawab

mendidik anak-anaknya. Jika tidak mampu mengemban tanggung jawab ini, maka

keluarganya akan tertelantar.

Kalau dilihat dari asbabul nuzul surat an-Nisa’ ayat 3 sebagaimana yang di

riwayatkan oleh A’isyah mengapa ada kaitan antara perintah memelihara anak-anak

yatim perempuan dengan izinan beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Karena

ayat ketiga ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya tentang memelihara anak-

anak yatim. Pada ayat dua itu telah dijelaskan dan di peringatkan jangan sampai ada

aniaya dan curang terhadap anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar. Jika

anak yatim itu sudah dewasa hendaklah hartanya di serahkan kepadanya, karena dia

akan menikah. Tetapi timbul niat dalam hati wali untuk menikahinya, sehingga dia

170Ibid.

Page 139: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

124

tidak keluar lagi dari rumah walinya, kecantikannya bisa di persunting, hartanya bisa

dikuasai, maharnya bisa di “permainkan” atau di bayar murah. Dari pada

melangsungkan niat jahat terhadap anak perempuan yatim yang ada dalam

asuhannya, lebih baik menikah dengan wanita lain, bayar maharnya dengan patut,

biar sampai empat orang.

Hal ini senada dengan pemahaman al-Thabari dalam memahami surat an-

Nisa’ ayat 3 dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam

asuhan walinya dan juga wanita-wanita lain yang menjadi istri mereka. At-Thabari

menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak-anak yatim

dan berlaku adil terhadap wanita-wanita yang di kawini. Lebih lanjut menurut at-

Thabari, apabila laki-laki tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim yang akan di

kawininya, maka ia hendaknya mengawini wanita-wanita lain yang ia sukai dua, tiga

atau empat. Namun jika khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka

nikahilah satu orang istri saja. Jika masih saja khawatir tidak dapat berlaku adil

walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya, yang demikian

itu lebih dekat keselamatan dari dosa, aniaya serta penyelewengan terhadap

wanita.171

Maka sudah menjadi keharusan bagi seorang peneliti yang bermaksud

membahas poligini dalam tanzil al-hakim untuk memperhatikan ayat-ayat dalam al-

Qur’an secara cermat, sekaligus melihat hubungan sebab akibat antara masalah

poligini dan anak yatim sebagaimana telah di sebutkan dalam bingkai redaksi surat

an-Nisa’ ayat 3 dan ayat-ayat yang mendahuluinya.

171Ibid, 577-578

Page 140: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

125

Dalam konsep poligini memiliki tujuan yang sangat manusiawi. Allah

membolehkan poligini selama tidak keluar dari batas-batas hukum-Nya yang tertera

dalam surat an-Nisa’:3. Dengan pemahaman ini dapat mengetahui bagaimana Allah

sangat memperhatikan kepentingan para janda dan anak-anak yatim.

Penentu hukum syari’at memiliki keluasan gerak untuk menyusun sebagai

bentuk syari’at terkait dengan poligini di sesuaikan dengan kondisi objektif yang

melatarinya. Misalnya, jumlah laki-laki banyak berkurang akibat menjadi korban

perang, penentu syariat dapat menentukan kebijakan yang mengizinkan seorang

suami menikah dua sampai empat perempuan janda yang tidak punya anak. Tetapi

harus diingat bahwa selamanya tidak di perbolehkan seorang suami menikahi janda

yang punya anak, namun ia hanya menerima janda tersebut dan menelantarkan atau

menolak mengasuh anak-anak dari janda tersebut.

Allah memberikan keringanan kepada pelaku poligini seperti dengan

pembebasan mahar. Allah berfirman:

y7 tΡθ çGø�tGó¡o„ uρ ’Îû Ï!$ |¡ ÏiΨ9 $# ( È≅è% ª!$# öΝà6‹ÏGø�ム£ ÎγŠÏù $ tΒ uρ 4‘n=÷F ムöΝà6ø‹ n=tæ ’ Îû É=≈tGÅ3ø9 $# ’Îû ‘yϑ≈ tGtƒ Ï !$ |¡ÏiΨ9 $# ÉL≈ ©9 $# Ÿω £ ßγ tΡθ è?÷σè? $ tΒ |=ÏGä. £ßγ s9 tβθç6 xîö� s?uρ βr& £èδθ ßs Å3Ζs?

tÏ�yè ôÒ tF ó¡ ßϑø9 $#uρ š∅ÏΒ Èβ≡ t$ø!Èθ ø9 $# χ r&uρ (#θ ãΒθ à)s? 4’yϑ≈ tF u‹ù=Ï9 ÅÝó¡ É)ø9 $$ Î/ 4 $ tΒ uρ (#θè=yè ø�s? ô ÏΒ 9�ö� yz

¨βÎ* sù ©!$# tβ% x. ϵ Î/ $VϑŠÎ=tã ∩⊇⊄∠∪

Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya. (an-Nisa’:127)

Page 141: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

126

Dalam ayat ini Allah memberikan kelonggaran kepada pihak lelaki untuk

tidak membayar mahar tetapi dengan syarat memelihara anaknya yang yatim. Dalam

pernikahan poligini Allah tidak mewajibkan adil di antara para istrinya karena pada

dasarnya sikap adil ditujukan kepada anak-anak yatim. Seperti yang di firmankan

oleh Allah dalam surat an-Nisa’ 129:

s9 uρ (# þθ ãè‹ÏÜ tFó¡n@ βr& (#θ ä9 ω÷ès? t ÷ t/ Ï!$ |¡ ÏiΨ9 $# öθ s9 uρ öΝçF ô¹t� ym ( Ÿξ sù (#θ è=ŠÏϑs? ¨≅à2 È≅ øŠyϑø9 $#

$ yδρâ‘x‹tGsù Ïπs)‾=yè ßϑø9 $$ x. 4 βÎ)uρ (#θ ßsÎ=óÁ è? (#θ à)−Gs?uρ �χÎ* sù ©!$# tβ% x. # Y‘θ à�xî $ VϑŠÏm §‘ ∩⊇⊄∪

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-

isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam ayat ini seorang suami di tuntut untuk tidak mentelantarkan salah satu

istrinya dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, maka Allah berfirman: “karena itu

janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu

biarkan yang lain terkatung-katung. Seorang suami harus menjaga keharmonisan

keluarga bersama istri-istrinya. Pihak istri juga berhak mengajukan gugatan cerai

tanpa kehilangan hak-haknya. Allah berfirman: jika keduanya bercerai, maka Allah

memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.

Fiqih Islam tradisional menerapkan model poligini seperti ini sejak zaman

Nabi hingga saat ini. Namun, sekarang kondisi sejarah telah berubah dan menuntut

pemberlakuan poligini yang melibatkan sisi kualitas dan kuantitas.

Dalam kitab Ibnu al-Atsir, poligini yang dilakukan Nabi adalah upaya

transformasi sosial. Mekanisme poligini yang di terapkan Nabi merupakan strategi

Page 142: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

127

untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke

VII M. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda semakin rendah sehingga

seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya yang dilakukan

oleh Nabi adalah membatasi poligini, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan

keharusan berlaku adil dalam poligini. Nabi dalam banyak kesempatan justru lebih

menekankan pada prinsip keadilan berpoligini. Seperti dinyatakan dalam sebuah

hadis:

“barang siapa yang mengawini perempuan. Sedangkan dia tidak dapat berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhir nanti, separuh tubuhnya akan lepas dan terputus”.

Sesunggunya perintah berpoligini (berdasarkan dua alasan sebagaimana

tersebut dalam dua ayat di atas) akan menguraikan berbagai kesulitan sosial yang

dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat, antara lain:

1. Adanya seorang laki-laki disisi janda akan mampu memelihara dan

menjaganya agar tidak terjatuh dalam perbuatan keji.

2. Pelipat gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim di

mana mereka tumbuh dan di didik di dalamnya.

3. Keberadaan sang ibu disisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap

bisa mendidik dan menjaga mereka.

Hal tersebut dapat menjaga dan melindungi anak mereka agar tidak menjadi

gelandangan dan terhindar dari kenakalan remaja. Beberapa lembaga penampungan

anak-anak yatim memang telah memenuhi sebagian tempat tinggal bagi mereka,

namun hal itu dapat menjauhkan dan memisahkan mereka dari ibu-ibu kandung

mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak menghilangkan akan pentingnya lembaga

Page 143: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

128

dan yayasan dalam masyarakat penampung anak-anak yatim piatu yang telah

kehilangan kedua orang tuanya, dan disilah letak peran dan tujuan dari adopsi.

Bahwa ketiadaan keturunan (mandul) dapat menjastifikasi seorang laki-laki

untuk kawin dua, tiga, atau empat dan seakan-akan kemandulan adalah bencana yang

datang dari pihak perempuan saja dan tidak menimpa laki-laki. Mereka berpendapat

juga syahwat biologis seorang laki-laki mengizinkannya untuk berpoligini, sementara

mereka melupakan kenyataan bahwa antara laki-laki dan perempuan dalam masalah

ini adalah sama.

Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap anak-anak yatim. Dalam

kaitannya dengan hal itu, Allah memerintahkan poligini dengan syarat tidak khawatir

akan tidak berbuat baik kepada anak-anak yatim. Kemudian Allah kembali

memperingatkan agar waspada terjatuh dalam kelemahan dan kesulitan serta

memerintahkan untuk mencukupkan diri dengan seorang istri saja dalam keadaan

demikian.

Sebagaimana mufasir berpendapat bahwa firmannya: yatama an-nisa’i dalam

surat an-Nisa’; 127 berarti perempuan-perempuan yatim. Pendapat demikian karena

hubungan kebahasaan di antara kata: yatama dan an-nisa’ dalam firman tersebut

adalah hubungan mudhaf dan mudhaf ilayh (sehingga berarti: anak-anak yatim dari

atau milik perempuan), sedangkan hubungan bahasa di antara kedua kata tersebut

dalam pendapat; an-nisa’ al-yatimat adalah hubungan sifat dan mausufnya ‘yang

disifati’, sehingga berarti perempuan-perempuan yang yatim, makna ini berbedah

dengan makna pertama diatas. Kata an-nisa’ adalah bentuk plural dari kata imra’ah,

dan al-mar’ah adalah perempuan yang sudah mencapai usia nikah, dan sifat yatim

Page 144: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

129

secara hukum bersamaan dengan sampainya usia nikah, berdasarkan atas firman

Allah: dan ujila anak yatim itu sampai cukup umur untuk kawin (Qs.an-Nisa’ ayat 6).

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada kata nisa’ yatimat, karena kalau

tidak demikian, maka akan ada juga rijal aytam. Hal ini tidak mungkin menurut

logika. Yang penting dari kesemuahnya adalah bahwa ayat diatas memaafkan untuk

tidak memberi maskawin, mahar dan waris. Sebagian mufasir berpendapat bahwa

firman Allah “ katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepadamu tentang

mereka,......”, yakni Allah memberikan fatwa kepadamu tentang hukum waris bagi

perempuan dalam at-tanzil dan tentang waris dan mahar bagi perempuan-perempuan

yatim, bagaimana mungkin Allah memerintahkan agar berbuat baik dan berlaku adil

kepada anak-anak yatim, kemudian Dia memperbolehkan untuk tidak memberi

mahar (kepada perempuan-perempuan yatim tersebut) ketika kita akan menikahi

mereka.

Sesungguhnya masalah poligini sebagai perintah Tuhan yang ditetapkan

dengan persyaratan-persyaratan sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan

yang mungkin terjadi dan mungkin tidak, berdasarkan firman-Nya: wa in

khiftum.....(dan jika kamu khawatir). Menurut Syahrûr pelaksanaan perintah tersebut

ketika terjadi problem dan sebaliknya kita seharusnya meninggalkannya ketika kita

terjadi problem. Problem itu terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat dan

kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Poligini adalah fenomena umum yang di

terima oleh banyak suku bangsa tanpa adanya batasan dan persyaratan.

Maka at-tanjil hakim datang untuk membatasinya sampai empat, dan

menetapkan persyaratan-persyaratan sebagaimana tersebut dalam ayat diatas, dan

menjadikanya sebagai penyelesai problem yang dialami masyarakat yang tidak

Page 145: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

130

berkaitan sama sekali dengan halal dan haram, dan seakan-akan tanjil al-hakim

menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus

meninggalkannya. Hal ini mirip dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat:101:

#sŒ Î)uρ ÷Λäö/u�ŸÑ ’Îû ÇÚö‘ F{$# }§øŠn=sù ö/ ä3ø‹n=tæ îy$ uΖã_ βr& (#ρç�ÝÇ ø)s? z ÏΒ Íο4θ n=¢Á9 $# ÷βÎ) ÷Λä ø�Åz βr&

ãΝä3uΖÏF ø�tƒ tÏ% ©!$# (# ÿρã�x�x. 4 ¨βÎ) tÍ� Ï�≈ s3ø9 $# (#θçΡ% x. ö/ä3s9 # xρ߉tã $ YΖ�Î7•Β ∩⊇⊃⊇∪

Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Allah memberikan keringanan bagi orang yang bepergian untuk menqasar

shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat dengan adanya syarat, yakni dalam

keadaan khawatir terhadap fitnah dan gangguan-gangguan orang kafir. Dengan

demikian, apabila syarat tersebut tidak terbukti, maka tidak boleh meringkas shalat.

Karena itu, orang yang meringkas shalat ketika bepergian itu adalah benar. Demikian

juga orang yang tidak meringkas shalat juga benar. Karena terbukti atau tidaknya

syarat tersebut di serahkan kepada sang musafir sendiri.

Dari sini bahwa masyarakatlah yang menetapkan pemberlakuan poligini atau

melarangnya, sebab dalam memberlakukannya harus memperhatikan ada tidaknya

syarat-syarat poligini seperti yang di sebutkan dalam tanjil hakim diatas. Akan tetapi

dalam dua keadaan tersebut masyarakat harus tetap berpegang pada statistik dan

pendapat para ahli, lalu menetapkan pertimbangan mereka untuk melakukan poligini

atau tidak.

Page 146: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

131

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual

diatur dalam nash al-Qur’an mapun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh

Rasulullah dan beberapa para sahabat. Tetapi, jika dilihat dari sisi hikmah poligini

pada awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan

yang mengemuka dalam praktek poligini.

Poligini dalam surat an-Nisa’ ayat 3 terkait hubungan sebab akibat dengan

anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam

keadaan menjanda. Oleh karena itu, kurang tepat bila dengan serta merta ayat

tersebut dianggap sebagai ayat pembolehan poligini secara mutlak atau langsung

disebut sebagai ayat poligini.

131

Page 147: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

132

Upaya Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuatnya menarik

suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya al-Qur’an merupakan kumpulan ide-ide yang

menjadi landasan bagi penetapan hukum-hukum syariah. Karena itu, maka perlu

adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi

sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Muncullah

teori limit dalam upaya merealisasikan pandangan Syahrûr tersebut.

Syahrur, salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, menerapkan teori batas

dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an termasuk ayat tentang poligini. Pada

prinsipnya, Syahrur pun mengakui poligami menjadi bagian dari syari’at Islam, akan

tetapi penerapannya dalam praktek harus memperhatikan beberapa persyaratan, agar

poligami itu membawa hikmah.

Persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, pertama pelibatan janda

yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada

keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang

dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi

hukum (hikmah al-tasyri) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi

menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang

tidak cukup dengan satu orang istri.

Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual

diatur dalam nash al-Qur’an maupun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh

Rasulullah dan beberapa sahabat. Tetapi jika dilihat dari sisi hikmah poligini pada

awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan

yang mengemuka dalam praktek poligini.

Page 148: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

133

B. Saran

1. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemikiran Muhammad Shahrur tentang

teori batas, akan tetapi peneliti hanya terfokus pada poligini. Oleh karena

itu perlu di adakan penelitian yang lebih mendalam tentang tenelitian

tersebut oleh peneliti selanjutnya sebagai kelanjutan dan pelengkap dari

penelitian ini.

2. Mahasiswa Fakultas Syari’ah sebagai mahasiswa yang berbasic ke-Islaman

hendaklah mempunyai dedikasi yang mendalam untuk meneliti

perkembangan pemikiran di dalam hukum Islam yang hidup ditengah-

tengah masyarakat agar pemikiran generasi penerus tidak stagnan.

3. Permasalahan dalam poligini merupakan suatu fenomena yang sering

terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Banyak pelaku poligini tidak

mengetahui syarat-syarat bolehnya poligini, sehingga yang terjadi di dalam

keluarga yang berpoligini banyak terjadi permasalahan yang ujung-

ujungnya adalah penelantaran salah satu istri dan dampaknya pada anak-

anaknya.

Dengan demikian penulis mengharapkan agar pembaca khususnya pelaku

poligini mengetahui dan memahami syarat-syarat dan kewajiban orang

yang berpoligini.

Page 149: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin dkk (2006) Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan

Multidisipliner Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Abu Faqih, Khozin (2007) Poligami Solusi atau Masalah, Jakarta: al-I’tishom

Cahaya Umat. Abu Zaid, Nasr Hamid (1994) Mafhum an-Nash: Dirasah fi ulumil al-Quran, Bairut:

Markaz as-Saqafi al-Arabi. Abidin, M. Zainal (2001) Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil

Hakim dalam Perspektif Muhammad Syahrur (Artikel ini perna dimuat dalam Jurnal Millah Vol. III No. 1.

Abdullah, Taufiq (2002) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ictiyar Baru Van

Hoeve. Abdullah, Amin MA (2004) “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama;

Meneropong Kegelisahan Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer”, makalah ini disampaikan dalam pertemuan Rektor IAIN, UIN, dan Ketua STAIN Se-Indonesia, M.Adib dalam Swara Dipertais No.10 Th.II, 15 Juni 2004. Sumber: www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K.

Abdurahman, Asjmuni (2007) Muhammad Syahrur dan Al-Kitab, sumber:

www.suaramuhammadiyah. or.iddocumentsmanhaj.htm - 17k Al-Jabiri, M.Abid Terj. Ahmad Baso (2000) Post Tradisionalisme Islam,

Yogyakarta: LKiS. Asyari, Sapari Imam (1983) Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial,

Surabaya: Usaha Nasional. As-Sabuni, Syaikh Muhammad Ali ali Bahasa Muhammad (1390 H) Ikhtisar Ulumul

Qur’an Praktis, Jakarta, Pustaka Amani. Azis, Abdul (2006) “Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,” Jurnal

Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02. Azrah, Azyumardi (2002) Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. Barlas, Asma (2005) Cara al-Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: PT

Serambi Alam Semesta.

Page 150: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

Burhani, Ahmad Najib (2001) Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Penerbit buku Kompas.

Damaskus (2008) sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur. Departemen Agama (1991) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung:

Humaniora Utama Press. Departemen Agama Republik Indonesia (1983) Pusat Studi dan Pengembangan

Islam (Islamic Centre) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Penerangan Bimbingan dan Da’wah/Khutbah Agama Islam (Pusat).

Dewanto, Nugraha (2008) “ Biografi Muhammad Syahrur”, www.mail-archive.com

ppiindia@yahoogroups .com msg60918.html - 23k-. Djajaprana, Ferri (2008) “Metode Hermeneutika Muhammad Syahrur,” www.ferrydjajaprana.multiply.com journalitem184-25k. Esha, Muhammad In’am (2001) Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M.

Syahrur. Jurnal al-Huda Vol.2 No.4 Esha, M. In’am (2003) M. Syahrur: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer,

Yogyakarta, Penerbit Jendela. Ghonim, Muhammad Salman Terj. Kamran Asad Irsyadi (2004) Kritik Ortodoksi,

Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, Yogyakarta: LKiS. Ghazali, Abdurrahman (2003) Fiqh Munakahat Jakarta: Prenada Kencana Media. Ghozali, Abd. Muqsid (2007) “Muhammad Syahrur”, http://www.google.co.id

/search?q=Muhammad+Syahrur&hl=id&start=20&sa=N diakses pada: 29. Harahap, Syahrin (1994) Al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap

Pemikiran Thaha Husain, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. I. Doi, A. Rahman (2002) Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah)

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kasir, Ibnu (2005) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo, Dar al-Hadis. Khusniwati, Dwi Rina (2006) “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang Humanis dan Progresif,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02. Kodir, Fakihudin Abdul (2005) Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan

Hadits Nabi, Yogyakarta:Pustaka Pesantren.

Page 151: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

Masduki, Irwan (2007) “Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana Kontemporer”, www.nusyria.net artikel. Php subaction=showcomments& id= 1135173494 &archive=&start_from=&ucat=1&-45.

Moleong, Lexy, J (1999) Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Liberty. Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir (2001) Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Mubarok, Ahmad Zaki (2007) Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir

Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, Yogyakarta, eL-SAQ Press. Mulia, Siti Musdah (2004) Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama. Mustaqim, Abdul (2004) Syahrur dan Teori Limit (Koordinator Devisi Kajian

LESPIM, Lembaga Studi Pengembangan Santri dan Masyarakat), Pesantren Krapyak Yogyakarta, Dosen Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga.

Muthahhari, Murtadha terjmh. M.Hashem (1995) Hak-hak Wanita dalam Islam,

Jakarta: Lentera Basritama. Nasution, Harun (1973) Filsafat Ilmu dan Misticisme, Jakarta: Bulan Bintang. Nazir, Moh. (1988) Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Nugraha, Anjar (2007) Muhammad Syahrur dan Poligami, sumber: nusyria.net

artikel.phpsubaction=showcomments&id=1135173494&archive=&start_from=&uc=1&-45.

Qardhawi, Yusuf (1993) Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan,

Jakarta: al-Islahy Press. Rafiq, Ahmad (1996) Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Syayid alih Bahasa Moh.Thalib (1980) Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, Bandung:

al-Ma’arif. Sadili, Mukhtar (2007) Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01

archive.html-57k. Sa’id, Bustani Muhammad (1995) Gerakan Pembaharuan Agama antara

Modernismr dan Tajdiddudin, Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah. Al-Atsari, Abu Salman (2007) “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat

Sunnah dan Syari’at Poligami,”, sumber: http//www.dearto Abu Salma.

Page 152: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

Syah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam al-Qur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur, Dalam Bacaan Kontemporer, Bandun: Mizan.

Syahrur, Muhammad (1990) Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1

Damaskus al-Ahali li al-Thiba’ah wa al-Nasyr. _________ (1996) Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali. _________ (2000) Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, Damaskus, al-Ahali. _________ (2003) Devine Texs and Pruralisme in Musliem Societies, Sahiron

yamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur;an Madzab Yogya, Yogyakarta: Islamika dan Forstudia.

Saenong, Ilham B (2002) Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran

Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Penerbit Teraju. Samsuddin, Sahiron (2002) Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam

Penafsiran al-Quran dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed), Studi al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.

_________ (2003) Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, Yogyakarta: Islamika

dan Forstudia. _________ (2004) Metodologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Fortudia dan eL-

SAQ Press. _________ (2004) Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit eL-

SAQ Press. Shah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-

Qur’an:Tinjauhan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Bacaan Kontemporer, Bandung: Mizan.

Sjadzali, Ahmad Fawa’id (2008) M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria, makalh

dikutip dari: hppt: www. islamlib.comenpage.phppage=article&id=693. Shihab, Quraisy (2000) Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,

Ciputat: Lentera Hati. Syafi’ie, Rahmat (1999) Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, Bandung:

Pustaka Setia. Syafi’e, Rahmat (1999) Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung:

Pustaka Setia.

Page 153: FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4301/1/03210092.pdf · keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan

Soekanto, Soejono (1984) Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UIPres. Soekanto, Soejono dan Sri Mahmudji (2003) Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Khusus, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soemiyati (1999) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Yogyakarta: Liberty. Wilar, Abraham Silo (2006) Poligini Nabi Muhammad (Kajian Kritis Teologis

Terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan Fatimah Mernissi), Yogyakarta: Pustaka Rikhlah.

Zahra, Muhammad Abu Terj. Saeful Ma’sum dkk (1994) Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:

Pustaka Firdaus. Zuhdi, Masyfuq (1990) Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu.