fartok
TRANSCRIPT
Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Farmasi
Program Studi Farmasi F-MIPA
Universitas Lambung Mangkurat
ANALGETIKA
PERCOBAAN III
Disusun Oleh:
Nienies Nurika Setyani
J1E110010
Kelompok VII
PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU
2012
ANALGETIKA
PERCOBAAN III
Disusun Oleh :
Nienies Nurika Setyani
J1E110010
Kelompok 7
Tanggal Praktikum : 25 Oktober 2011 Diketahui,
Dikumpul Tanggal : 18 Oktober 2011
Nilai :
Yulia Yudha Irianti
PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU
2011
ANALGETIKA
I. PENDAHULUAN
I.1 TUJUAN
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengenal,
mempraktekkan dan membandingkan metode uji daya analgetik pada
hewan percobaan dan obat analgetik.
1.2 DASAR TEORI
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat
mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala)
atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi
rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan
ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri
didefinisikan sebagai tingkat dimana nyeri dirasakan untuk pertama
kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat
seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan.
Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay &
Rahardja, 2007).
Penggunaan analgetika perifer mampu meringankan atau
menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan
kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan juga berdaya
antipiretis dan atau anti radang. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika
sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi. Lagi pula efek
sampingnya, yang masing-masing terletak di bidang berlawanan,
berkurang, karena dosisnya masing-masing dapat diturunkan. Secara
kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni :
1. Parasetamol.
2. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat.
3. Penghambat prostaglandin : ibuprofen.
4. Derivat-derivat antralinat : mefenaminat, asam niflumat glafenin,
floktafenin.
5. Derivat-derivat pirazolinon : aminofenazon, isopropilfenazon.
6. Lainnya : benzidamin
(Tjay & Rahardja, 2007)
Analgetika narkotik disebut juga opioida (mirip opiat), adalah zat
yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri
dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Atas dasar cara
kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:
1. Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:
- Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
- Zat-zat sintetis: metadon dan derivat-derivatnya (dekstromoramida,
propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil,
sufentanil), dan tramadol.
2. Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan
nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki
salah satu reseptor.
3. Kombinasi. Zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak
mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.
(Tjay & Rahardja, 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala
yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di
jaringan, seperti peradangan (rema, encok), infeksi jasad renik atau kejang
otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis
(kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan
tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri,
antara lain histamin, bradikin, leukotrien, dan prostaglandin (Tjay &
Rahardja, 2007).
Nyeri yang berat dan menetap biasanya dihilangkan dengan
opioid yang efikasinya lebih tinggi, namun nyeri yang tajam dan
intermiten tampaknya tidak dapat dihilangkan dengan mudah. Harus
diusahakan untuk menentukan kualitas nyeri, dan informasi ini harus
digunakan untuk memilih obat yang layak dan dimonitor efeknya. Dalam
evaluasi dan proses pemilihan ini perlu dipertimbangkan cara pemberian
(pemberian oral atau parenteral), masa kerjanya, ceiling efek (efikasi
maksimal), lama terapi, dan pengalaman masa lalu dengan opioid jelas
merupakan hal yang penting (Katzung, 2001).
Parasetamol merupakan derivat asetanilida yaitu metabolit dari
fenasetin yang dulu banyak digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada
tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya
(nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetik dan antipiretik,
tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan
mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kodein dan kofein dengan kira-
kira 50 %. Efek sampingnya tak jarang terjadi, antara lain reaksi
hipersensitivitas dan kelainan darah (Tjay & Rahardja, 2007).
Asam mefenamat merupakan derivat antranilat juga dengan
khasiat analgetik, antipiretik, dan antiradang yang cukup baik. Obat ini
banyak sekali digunakan sebagai obat nyeri dan rema. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah gangguan lambung-usus (Tjay & Rahardja,
2007).
Ibuprofen merupakan obat pertama dari kelompok propionate
(1969) ini adalah NSAID yang paling banyak digunakan, berkat efek
sampingnya yang relatif ringan dan status OTCnya dikebanyakan negara.
Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk dextro yang aktif.
Daya analgetik dan antiradangnya cukup baik dan sudah banyak mendesak
salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu hebat dan
gangguan gerak (Tjay & Rahardja, 2007).
Kandungan dalam antalgin adalah metamizol yang adalah derivat
sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air berkhasiat analgetik,
antipiretik, dan antiradang (1946). Khasiat dan efek sampingnya sama.
Obat ini sering dikombinasikan dengan obat-obat lain, antara lain dengan
aminofenazon. Obat ini dapat secara mendadak dan tak terduga
menimbulkan kelainan darah yang adakalanya fatal. Karena bahaya
agranulositosis, obat ini sudah lama dilarang peredarannya dibanyak
Negara, antara lain AS, Swedia, Inggris dan Belanda (Tjay & Rahardja,
2007).
Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping
analgetika dibedakan dalam dua kelompok.
a. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika,
kelompok opiat).
b. Analgetik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama
pada perifer dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai
sifat antiinflamasi dan antireumatik.
(Mutschler, 2001)
Penggunaan analgesik yang terbaik adalah dipandang hanya
sebagai salah satu cara dari mengangkat ambang nyeri pasien. Analgesik,
termasuk narkotika, biasanya tidak menghilangkan rasa sakit yang
disebabkanoleh kerusakan saraf degeneratif (dysaesthetic dan
menusuk nyeri). Analgesik harus diberikan secara teratur, dan profilaksis.
Tujuannya adalah untuk titrasi dosis analgesik terhadap nyeri pasien,
secara bertahap meningkatkan dosis sampai pasien bebas rasa sakit.
Jika analgesik kuat lainnya dari morfin yang digunakan, dokter harus tahu
dengan farmakologi nya. Sebagai contoh, petidin (meperidin) efektif
selama rata-rata 2-3 jam. Namun umumnya ditentukan setiap 4 atau 6 jam
(Twicross, 1984).
II. CARA PERCOBAAN
2.1 ALAT DAN BAHAN
2.1.1. Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah
1. Baskom
2. Gelas beker
3. Hot plate untuk mencit
4. Labu ukur 10 mL
5. Pipet tetes
6. Stopwatch
7. Spuit injeksi
8. Timbangan analitik
2.1.2. Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah
1. Aquadest
2. Alkohol
3. Antalgin
4. Asam asetat 3 %
5. Asam mefenamat
6. Ibuprofen
7. Kapas
8. Na-CMC 0,5%
9. Na-Diklofenak
10. Parasetamol
2.1.3. Hewan coba
Hewan uji yang digunakan adalah mencit albino jantan,
bobot badan 20-30 g untuk metode Jansen & Jaqeneau. Mencit
jantan dengan bobot badan 18-22 g untuk metode Witkin et al.
Mencit
disiapkan 3 ekor untuk masing-masing kelompokditimbang
Larutan stok
dibuat dengan berbagai bahan obat untuk masing-masing kelompok mencit
Na-Diklofenak Ibuprofen Parasetamol As. mefenamat Antalgin
Na-CMC 0,5 % (kontrol negatif)diberikan obat secara i.p diamkan selama 15 menit
Mencit
dimasukkan ke gelas beker pada hot plate (pemanas)diamati setiap 15 detik selama 5x15 detikyang diamati : grooming & meloncat
Hasil
2.2. CARA KERJA
2.2.1 Metode Jansen & Jaqeneau
Mencit
disiapkan 3 ekor untuk masing-masing kelompokditimbang
Larutan stok
dibuat dengan berbagai bahan obat untuk masing-masing kelompok mencit
Na-Diklofenak Ibuprofen Parasetamol As. mefenamat Antalgin
Na-CMC 0,5 % (kontrol negatif)diberikan obat secara i.pdiamkan selama 15 menit
Mencit
diinduksi dengan larutan asam asetat 3% secara i.mdiamati jumlah geliat selama 20 menitditentukan onset of action dari obat
Hasil
2.2.2 Metode Witkin et al
III. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan dan
membandingkan metode uji daya analgetik pada hewan percobaan dan obat
analgetik. Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk
mengurangi rasa sakit atau nyeri. Analgetika secara umum terbagi menjadi
dua golongan yaitu analgetika non-narkotika dan analgetika narkotika. Pada
percobaan kali ini digunakan analgetika golongan non-narkotika yaitu
ibuprofen, parasetamol, asam mefenamat, dan antalgin. Selain itu digunakan
juga asam asetat 3 %, Na-CMC, dan Na-Diklofenak.
Parasetamol atau asetaminofen merupakan derivat asetanilida yaitu
metabolit dari fenasetin. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat
antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).
Asam mefenamat merupakan derivat antranilat juga dengan khasiat analgetik,
antipiretik, dan antiradang yang cukup baik. Obat ini banyak sekali digunakan
sebagai obat nyeri dan rema. Ibuprofen merupakan obat pertama dari
kelompok propionate. Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk
dextro yang aktif. Daya analgetik dan antiradangnya cukup baik dan sudah
banyak mendesak salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu
hebat dan gangguan gerak. Kandungan dalam antalgin adalah metamizol yang
adalah derivat sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air berkhasiat
analgetik, antipiretik, dan antiradang. Natrium diklofenak atau diklofenak
sodium, dan merupakan salah satu OAINS tradisional yang banyak digunakan
untuk mengobati nyeri dan inflamasi muskuloskeletal. Sedangkan Na-CMC
digunakan sebagai kontrol negatif yaitu berfungsi sebagai pembanding yang
menunjukkan reaksi hasil negatif atau tidak adanya efek obat analgetik. Asam
asetat 3 % digunakan sebagai penginduksi rasa nyeri. Asam asetat sendiri
pada manusia tidak akan menimbulkan apa-apa atau tidak akan memberikan
efek nyeri, oleh karena asam asetat ini akan terurai, sedang pada mencit
organ-organnya lebih kecil, sehingga akan berefek. Alkohol digunakan
sebagai antiseptik, selain itu digunakan untuk membasahi daerah yang akan
disuntik agar terlihat bagian yang akan disuntikkan.
Metode yang dilakukan pada uji daya analgetika ada 2 macam, yaitu
metode Jansen & Jaqeneau, dan metode Witkin et al. Prinsip percobaan untuk
metode Jansen & Jaqeneau adalah hewan diberi stimulus nyeri panas 55-
55,5°C. Sebagai parameter uji adalah jarak waktu saat hewan diletakkan pada
plat panas hingga terjadi respon pertama kali menjilat kaki depan atau
meloncat. Sedangkan untuk metode Metode Witkin et al, hewan uji diberikan
penginduksi nyeri asam asetat 3% secara i.m. Sebagai parameter uji adalah
jumlah geliat dalam durasi 20 menit setelah diberi penginduksi nyeri. Di
antara kedua metode tersebut terdapat perbedaan dalam hal rangsang nyeri
yang digunakan. Untuk metode Jansen & Jaqeneau digunakan rangsang
secara fisik dengan menggunakan stimulus nyeri panas, sedangkan pada
metode Witkin et al digunakan rangsang secara kimia berupa penginduksi
nyeri asam asetat 3%.
Perlakuannya adalah pertama-tama diberikan Na-CMC yang
digunakan sebagai control tanpa adanya obat analgetik. Selanjutnya mencit
yang lain diberikan perlakuan berupa injeksi di bagian intraperitonial dengan
volume yang telah ditentukan. Pemberian ini dilakukan secara intraperitonial
karena menghindari terjadinya peruraian oleh asam-asam lambung dan agar
pengamatan lebih cepat dilakukan. Selain itu juga perlu diingat bahwa
volume maksimal injeksi melalui intraperitonial yaitu 1 mL. Sedangkan
penginduksi nyeri yaitu asam asetat diberikan secara intramuskular, dengan
cara menyuntikkan daerah otot paha menimbulkan efek yang perlahan-lahan
sehingga dapat diketahui efek obat yang diberikan untuk mengatasi rasa nyeri
yang diakibatkan induksi asam asetat tersebut.
Adapun volume pemberian obat untuk masing-masing metode yaitu :
untuk metode Jansen & Jaqeneau; Na-CMC 0,5 % sebagai kontrol negatif
diberikan dengan volume pemberian 0,5 mL; volume pemberian untuk
ibuprofen yaitu 0,28 mL dan 0,24 mL; volume pemberian untuk parasetamol
yaitu 0,27 mL dan 0,3 mL; volume pemberian untuk asam mefenamat yaitu
0,15 mL dan 0,18 mL; volume pemberian untuk antalgin yaitu 0,49 dan 0,46
mL; dan Na-Diklofenak yaitu 0,16 mL dan 0,17 mL. Untuk metode Witkin et
al; Na-CMC 0,5% sebagai kontrol negatif diberikan dengan volume
pemberian 0,0243 mL dan 0,0223 mL; volume pemberian untuk ibuprofen
yaitu 0,246 mL dan 0,293 mL; volume pemberian untuk parasetamol yaitu
0,27 mL dan 0,39 mL; volume pemberian untuk asam mefenamat yaitu 0,16
mL dan 0,21 mL; volume pemberian untuk antalgin yaitu 0,46 mL dan 0,48
mL; dan volume pemberian untuk Na-Diklofenak yaitu 0,126 mL dan 0,179
mL.
Respon yang terjadi pada metode Jansen & Jaqeneau yaitu mencit
akan meloncat dan menjilati kakinya akibat nyeri yang dirasakannya karena
rangsangan panas. Sedangkan pada metode Witkin et al respon yang dapat
dilihat adalah geliat dari mencit akibat kejang perut yang dialaminya sebagai
rangsangan dari pemberian induksi nyeri. Berdasarkan hasil pengamatan pada
metode Jansen dan Jaqeneau, Na-Diklofenak memiliki onset tercepat yaitu
2,40 detik pada mencit 1 dan 2,23 detik pada mencit 2 diikuti oleh antalgin
yaitu 3 detik pada mencit 1 dan 6 detik pada mencit 2, asam mefenamat yaitu
7,5 detik pada mencit 1 dan 4,41 detik pada mencit 2, selanjutnya parasetamol
yaitu 9 detik pada mencit 1 dan 5 detik pada mencit 2, dan terakhir ibuprofen
yaitu 5 detik pada mencit 1 dan 10 detik pada mencit 2. Daya analgetik dari
masing-masing obat berbeda-beda, tergantung dari spesifikasi obat tersebut
digunakan untuk efek terapi tertentu.
Hasil pengamatan pada metode Witkin et al diperoleh rata-rata % daya
analgetik dari pemberian Na-CMC sebagai kontrol negatif untuk keduanya 0
%. Pemberian ibuprofen pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya analgetiknya
51,665%. Pemberian parasetamol pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya
analgetiknya 76,665 %. Pemberian asam mefenamat pada mencit 1 dan 2,
rata-rata % daya analgetiknya 23,335%. Pemberian antalgin pada mencit 1
dan 2, rata-rata % daya analgetiknya 83,335%. Pemberian Na-Diklofenak
pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya analgetiknya 61,665%. Nilai persen
daya analgetika akan semakin besar jika jumlah geliat yang dilakukan oleh
mencit semakin kecil. Hal itu menunjukkan bahwa suatu obat mempunyai
kekuatan yang besar dalam menghalau rasa nyeri yang ditimbulkan oleh
penginduksi nyeri asam asetat. Karena kekuatan suatu obat analgetika
berbanding terbalik dengan jumlah geliat yang dilakukan oleh mencit.
Semakin sedikit geliat yang dilakukan oleh mencit, berarti analgetika tersebut
efeknya semakin kuat, dan sebaliknya jika jumlah geliat yang dilakukan oleh
mencit semakin banyak, maka efek yang ditimbulkan oleh obat analgetika
tersebut akan semakin rendah. Berdasarkan jumlah geliat dan besarnya nilai
% daya analgetika, maka dapat dibandingkan daya analgetika dari kelima
obat yang digunakan. Obat dengan nilai persen daya analgetika terbesar
menunjukkan bahwa obat tersebut memiliki daya analgetika yang paling kuat
diantara obat yang lain. Daya terkuat dimiliki oleh antalgin, selanjutnya
parasetamol, Na-Diklofenak, ibuprofen dan asam mefenamat.
Data analisis ANOVA untuk metode Jansen & Jaqeneau menunjukkan
kekuatan yang dihasilkan oleh masing-masing obat sangat beragam. Obat
yang memiliki daya analgetik paling kuat ditunjukkan oleh Na-Diklofenak,
selanjutnya antalgin, asam mefenamat, parasetamol dan ibuprofen.
Berdasarkan analisis dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh hasil signifikan
> 0,05 yaitu sebesar 0,272 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho diterima
atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelima jenis obat analgetik
yang telah diuji pada percobaan ini.
Hasil analisis dengan taraf kepercayaan 95% pada metode Witkin et
al, didapatkan nilai signifikan untuk jumlah geliat > 0,05 yaitu sebesar 0,061
yang diartikan Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelima jenis obat yang digunakan terhadap jumlah geliat yang dihasilkan.
Sedangkan untuk % daya analgetika < 0,05 yaitu sebesar 0,027 yang diartikan
Ho ditolak atau ada perbedaan yang signifikan antara kelima jenis obat
analgetik.
Hasil yang diperoleh dengan metode Jansen & Jaqeneau dan Witkin et
al mengalami perbedaan karena respon yang diamati pada kedua metode
tersebut mengalami perbedaan. Pada metode Jansen & Jaqeneau diamati
mencit yang meloncat dan menjilati kakinya akibat nyeri yang dirasakannya
karena rangsangan fisika berupa panas yang diberikan. Sedangkan pada
metode Witkin et al diamati jumlah geliat dari mencit akibat rangsangan
kimia berupa stimulus nyeri yang diberikan.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini, yaitu:
1. Pada metode Jansen & Jaqeneau, obat yang memiliki daya analgetik paling
kuat ditunjukkan oleh Na-Diklofenak selanjutnya antalgin, asam
mefenamat, parasetamol dan ibuprofen. Sedangkan pada metode Witkin et
al, daya terkuat dimiliki oleh antalgin, selanjutnya parasetamol, Na-
Diklofenak, ibuprofen dan asam mefenamat.
2. Berdasarkan hasil analisis metode Jansen & Jaqeneau dengan taraf
kepercayaan 95% didapatkan jika nilai signifikan > 0,05 yaitu sebesar
0,272 maka Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelima jenis obat analgetik.
3. Berdasarkan hasil analisis metode Witkin et al dengan taraf kepercayaan
95%, didapatkan nilai signifikan untuk jumlah geliat > 0,05 yaitu sebesar
0,061 yang diartikan Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelima jenis obat yang digunakan terhadap jumlah geliat yang
dihasilkan. Sedangkan untuk % daya analgetika < 0,05 yaitu sebesar 0,027
yang diartikan Ho ditolak atau ada perbedaan yang signifikan antara
kelima jenis obat analgetik.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika, Jakarta.
Mutschler, E. 2001. Dinamika Obat. Penerbit ITB, Bandung.
Tjay, T. H. & K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Twicross, G. R. Analgesics. 1984. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2418085/pdf/postmedj00130-0048.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2011.
LAMPIRAN
1. Apakah analgetika itu?
Jawab :
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
2. Mengapa analgetika kadang-kadang perlu diberikan kepada penderita?
Jawab:
Analgetika kadang-kadang perlu diberikan karena untuk mengurangi rasa
nyeri pada penderita yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis,
kimia, dan fisis.
3. Bagaimana terjadinya rasa nyeri?
Jawab:
Rasa nyeri terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya
bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari
tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di
korteks cerebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan
talamus.
4. Bagaimana daya analgetika opioid dan non opioid?
Jawab:
Analgetika opioid mempunyai daya analgetik yang kuat, biasanya digunakan
untuk mengatasi nyeri yang hebat. Analgetika golongan opioid bekerja
dengan mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP) dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Sedangkan analgetika non opioid mempunyai daya
analgetika yang lebih lemah dari golongan opioid. Analgetika golongan ini
tidak mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP), karena titik kerjanya di
susunan saraf perifer dan obat ini tidak menimbulkan ketergantungan.