fartok

24
Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Farmasi Program Studi Farmasi F-MIPA Universitas Lambung Mangkurat ANALGETIKA PERCOBAAN III Disusun Oleh: Nienies Nurika Setyani J1E110010 Kelompok VII

Upload: nienies-nurika

Post on 03-Aug-2015

395 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: fartok

Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Farmasi

Program Studi Farmasi F-MIPA

Universitas Lambung Mangkurat

ANALGETIKA

PERCOBAAN III

Disusun Oleh:

Nienies Nurika Setyani

J1E110010

Kelompok VII

PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU

2012

Page 2: fartok

ANALGETIKA

PERCOBAAN III

Disusun Oleh :

Nienies Nurika Setyani

J1E110010

Kelompok 7

Tanggal Praktikum : 25 Oktober 2011 Diketahui,

Dikumpul Tanggal : 18 Oktober 2011

Nilai :

Yulia Yudha Irianti

PROGRAM STUDI FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU

2011

Page 3: fartok

ANALGETIKA

I. PENDAHULUAN

I.1 TUJUAN

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengenal,

mempraktekkan dan membandingkan metode uji daya analgetik pada

hewan percobaan dan obat analgetik.

1.2 DASAR TEORI

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang

mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,

berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat

mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala)

atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi

rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan

ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri

didefinisikan sebagai tingkat dimana nyeri dirasakan untuk pertama

kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat

seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya konstan.

Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay &

Rahardja, 2007).

Penggunaan analgetika perifer mampu meringankan atau

menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan

kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan juga berdaya

antipiretis dan atau anti radang. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika

sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi. Lagi pula efek

sampingnya, yang masing-masing terletak di bidang berlawanan,

berkurang, karena dosisnya masing-masing dapat diturunkan. Secara

kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni :

1. Parasetamol.

2. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat.

3. Penghambat prostaglandin : ibuprofen.

Page 4: fartok

4. Derivat-derivat antralinat : mefenaminat, asam niflumat glafenin,

floktafenin.

5. Derivat-derivat pirazolinon : aminofenazon, isopropilfenazon.

6. Lainnya : benzidamin

(Tjay & Rahardja, 2007)

Analgetika narkotik disebut juga opioida (mirip opiat), adalah zat

yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri

dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Atas dasar cara

kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:

1. Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:

- Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nicomorfin.

- Zat-zat sintetis: metadon dan derivat-derivatnya (dekstromoramida,

propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil,

sufentanil), dan tramadol.

2. Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan

nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki

salah satu reseptor.

3. Kombinasi. Zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak

mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.

(Tjay & Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala

yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di

jaringan, seperti peradangan (rema, encok), infeksi jasad renik atau kejang

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis

(kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan

tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri,

antara lain histamin, bradikin, leukotrien, dan prostaglandin (Tjay &

Rahardja, 2007).

Nyeri yang berat dan menetap biasanya dihilangkan dengan

opioid yang efikasinya lebih tinggi, namun nyeri yang tajam dan

intermiten tampaknya tidak dapat dihilangkan dengan mudah. Harus

diusahakan untuk menentukan kualitas nyeri, dan informasi ini harus

Page 5: fartok

digunakan untuk memilih obat yang layak dan dimonitor efeknya. Dalam

evaluasi dan proses pemilihan ini perlu dipertimbangkan cara pemberian

(pemberian oral atau parenteral), masa kerjanya, ceiling efek (efikasi

maksimal), lama terapi, dan pengalaman masa lalu dengan opioid jelas

merupakan hal yang penting (Katzung, 2001).

Parasetamol merupakan derivat asetanilida yaitu metabolit dari

fenasetin yang dulu banyak digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada

tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya

(nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetik dan antipiretik,

tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat

antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan

mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kodein dan kofein dengan kira-

kira 50 %. Efek sampingnya tak jarang terjadi, antara lain reaksi

hipersensitivitas dan kelainan darah (Tjay & Rahardja, 2007).

Asam mefenamat merupakan derivat antranilat juga dengan

khasiat analgetik, antipiretik, dan antiradang yang cukup baik. Obat ini

banyak sekali digunakan sebagai obat nyeri dan rema. Efek samping yang

paling sering terjadi adalah gangguan lambung-usus (Tjay & Rahardja,

2007).

Ibuprofen merupakan obat pertama dari kelompok propionate

(1969) ini adalah NSAID yang paling banyak digunakan, berkat efek

sampingnya yang relatif ringan dan status OTCnya dikebanyakan negara.

Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk dextro yang aktif.

Daya analgetik dan antiradangnya cukup baik dan sudah banyak mendesak

salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu hebat dan

gangguan gerak (Tjay & Rahardja, 2007).

Kandungan dalam antalgin adalah metamizol yang adalah derivat

sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air berkhasiat analgetik,

antipiretik, dan antiradang (1946). Khasiat dan efek sampingnya sama.

Obat ini sering dikombinasikan dengan obat-obat lain, antara lain dengan

aminofenazon. Obat ini dapat secara mendadak dan tak terduga

menimbulkan kelainan darah yang adakalanya fatal. Karena bahaya

Page 6: fartok

agranulositosis, obat ini sudah lama dilarang peredarannya dibanyak

Negara, antara lain AS, Swedia, Inggris dan Belanda (Tjay & Rahardja,

2007).

Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping

analgetika dibedakan dalam dua kelompok.

a. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika,

kelompok opiat).

b. Analgetik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama

pada perifer dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai

sifat antiinflamasi dan antireumatik.

(Mutschler, 2001)

Penggunaan analgesik yang terbaik adalah dipandang hanya

sebagai salah satu cara dari mengangkat ambang nyeri pasien. Analgesik,

termasuk narkotika, biasanya tidak menghilangkan rasa sakit yang

disebabkanoleh kerusakan saraf degeneratif (dysaesthetic dan

menusuk nyeri). Analgesik harus diberikan secara teratur, dan profilaksis.

Tujuannya adalah untuk titrasi dosis analgesik terhadap nyeri pasien,

secara bertahap meningkatkan dosis sampai pasien bebas rasa sakit.

Jika analgesik kuat lainnya dari morfin yang digunakan, dokter harus tahu

dengan farmakologi nya. Sebagai contoh, petidin (meperidin) efektif

selama rata-rata 2-3 jam. Namun umumnya ditentukan setiap 4 atau 6 jam

(Twicross, 1984).

II. CARA PERCOBAAN

2.1 ALAT DAN BAHAN

2.1.1. Alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah

1. Baskom

2. Gelas beker

3. Hot plate untuk mencit

4. Labu ukur 10 mL

5. Pipet tetes

Page 7: fartok

6. Stopwatch

7. Spuit injeksi

8. Timbangan analitik

2.1.2. Bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah

1. Aquadest

2. Alkohol

3. Antalgin

4. Asam asetat 3 %

5. Asam mefenamat

6. Ibuprofen

7. Kapas

8. Na-CMC 0,5%

9. Na-Diklofenak

10. Parasetamol

2.1.3. Hewan coba

Hewan uji yang digunakan adalah mencit albino jantan,

bobot badan 20-30 g untuk metode Jansen & Jaqeneau. Mencit

jantan dengan bobot badan 18-22 g untuk metode Witkin et al.

Page 8: fartok

Mencit

disiapkan 3 ekor untuk masing-masing kelompokditimbang

Larutan stok

dibuat dengan berbagai bahan obat untuk masing-masing kelompok mencit

Na-Diklofenak Ibuprofen Parasetamol As. mefenamat Antalgin

Na-CMC 0,5 % (kontrol negatif)diberikan obat secara i.p diamkan selama 15 menit

Mencit

dimasukkan ke gelas beker pada hot plate (pemanas)diamati setiap 15 detik selama 5x15 detikyang diamati : grooming & meloncat

Hasil

2.2. CARA KERJA

2.2.1 Metode Jansen & Jaqeneau

Page 9: fartok

Mencit

disiapkan 3 ekor untuk masing-masing kelompokditimbang

Larutan stok

dibuat dengan berbagai bahan obat untuk masing-masing kelompok mencit

Na-Diklofenak Ibuprofen Parasetamol As. mefenamat Antalgin

Na-CMC 0,5 % (kontrol negatif)diberikan obat secara i.pdiamkan selama 15 menit

Mencit

diinduksi dengan larutan asam asetat 3% secara i.mdiamati jumlah geliat selama 20 menitditentukan onset of action dari obat

Hasil

2.2.2 Metode Witkin et al

Page 10: fartok

III. PEMBAHASAN

Percobaan kali ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan dan

membandingkan metode uji daya analgetik pada hewan percobaan dan obat

analgetik. Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk

mengurangi rasa sakit atau nyeri. Analgetika secara umum terbagi menjadi

dua golongan yaitu analgetika non-narkotika dan analgetika narkotika. Pada

percobaan kali ini digunakan analgetika golongan non-narkotika yaitu

ibuprofen, parasetamol, asam mefenamat, dan antalgin. Selain itu digunakan

juga asam asetat 3 %, Na-CMC, dan Na-Diklofenak.

Parasetamol atau asetaminofen merupakan derivat asetanilida yaitu

metabolit dari fenasetin. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat

antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).

Asam mefenamat merupakan derivat antranilat juga dengan khasiat analgetik,

antipiretik, dan antiradang yang cukup baik. Obat ini banyak sekali digunakan

sebagai obat nyeri dan rema. Ibuprofen merupakan obat pertama dari

kelompok propionate. Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk

dextro yang aktif. Daya analgetik dan antiradangnya cukup baik dan sudah

banyak mendesak salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu

hebat dan gangguan gerak. Kandungan dalam antalgin adalah metamizol yang

adalah derivat sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air berkhasiat

analgetik, antipiretik, dan antiradang. Natrium diklofenak atau diklofenak

sodium, dan merupakan salah satu OAINS tradisional yang banyak digunakan

untuk mengobati nyeri dan inflamasi muskuloskeletal. Sedangkan Na-CMC

digunakan sebagai kontrol negatif yaitu berfungsi sebagai pembanding yang

menunjukkan reaksi hasil negatif atau tidak adanya efek obat analgetik. Asam

asetat 3 % digunakan sebagai penginduksi rasa nyeri. Asam asetat sendiri

pada manusia tidak akan menimbulkan apa-apa atau tidak akan memberikan

efek nyeri, oleh karena asam asetat ini akan terurai, sedang pada mencit

organ-organnya lebih kecil, sehingga akan berefek. Alkohol digunakan

sebagai antiseptik, selain itu digunakan untuk membasahi daerah yang akan

disuntik agar terlihat bagian yang akan disuntikkan.

Page 11: fartok

Metode yang dilakukan pada uji daya analgetika ada 2 macam, yaitu

metode Jansen & Jaqeneau, dan metode Witkin et al. Prinsip percobaan untuk

metode Jansen & Jaqeneau adalah hewan diberi stimulus nyeri panas 55-

55,5°C. Sebagai parameter uji adalah jarak waktu saat hewan diletakkan pada

plat panas hingga terjadi respon pertama kali menjilat kaki depan atau

meloncat. Sedangkan untuk metode Metode Witkin et al, hewan uji diberikan

penginduksi nyeri asam asetat 3% secara i.m. Sebagai parameter uji adalah

jumlah geliat dalam durasi 20 menit setelah diberi penginduksi nyeri. Di

antara kedua metode tersebut terdapat perbedaan dalam hal rangsang nyeri

yang digunakan. Untuk metode Jansen & Jaqeneau digunakan rangsang

secara fisik dengan menggunakan stimulus nyeri panas, sedangkan pada

metode Witkin et al digunakan rangsang secara kimia berupa penginduksi

nyeri asam asetat 3%.

Perlakuannya adalah pertama-tama diberikan Na-CMC yang

digunakan sebagai control tanpa adanya obat analgetik. Selanjutnya mencit

yang lain diberikan perlakuan berupa injeksi di bagian intraperitonial dengan

volume yang telah ditentukan. Pemberian ini dilakukan secara intraperitonial

karena menghindari terjadinya peruraian oleh asam-asam lambung dan agar

pengamatan lebih cepat dilakukan. Selain itu juga perlu diingat bahwa

volume maksimal injeksi melalui intraperitonial yaitu 1 mL. Sedangkan

penginduksi nyeri yaitu asam asetat diberikan secara intramuskular, dengan

cara menyuntikkan daerah otot paha menimbulkan efek yang perlahan-lahan

sehingga dapat diketahui efek obat yang diberikan untuk mengatasi rasa nyeri

yang diakibatkan induksi asam asetat tersebut.

Adapun volume pemberian obat untuk masing-masing metode yaitu :

untuk metode Jansen & Jaqeneau; Na-CMC 0,5 % sebagai kontrol negatif

diberikan dengan volume pemberian 0,5 mL; volume pemberian untuk

ibuprofen yaitu 0,28 mL dan 0,24 mL; volume pemberian untuk parasetamol

yaitu 0,27 mL dan 0,3 mL; volume pemberian untuk asam mefenamat yaitu

0,15 mL dan 0,18 mL; volume pemberian untuk antalgin yaitu 0,49 dan 0,46

mL; dan Na-Diklofenak yaitu 0,16 mL dan 0,17 mL. Untuk metode Witkin et

al; Na-CMC 0,5% sebagai kontrol negatif diberikan dengan volume

Page 12: fartok

pemberian 0,0243 mL dan 0,0223 mL; volume pemberian untuk ibuprofen

yaitu 0,246 mL dan 0,293 mL; volume pemberian untuk parasetamol yaitu

0,27 mL dan 0,39 mL; volume pemberian untuk asam mefenamat yaitu 0,16

mL dan 0,21 mL; volume pemberian untuk antalgin yaitu 0,46 mL dan 0,48

mL; dan volume pemberian untuk Na-Diklofenak yaitu 0,126 mL dan 0,179

mL.

Respon yang terjadi pada metode Jansen & Jaqeneau yaitu mencit

akan meloncat dan menjilati kakinya akibat nyeri yang dirasakannya karena

rangsangan panas. Sedangkan pada metode Witkin et al respon yang dapat

dilihat adalah geliat dari mencit akibat kejang perut yang dialaminya sebagai

rangsangan dari pemberian induksi nyeri. Berdasarkan hasil pengamatan pada

metode Jansen dan Jaqeneau, Na-Diklofenak memiliki onset tercepat yaitu

2,40 detik pada mencit 1 dan 2,23 detik pada mencit 2 diikuti oleh antalgin

yaitu 3 detik pada mencit 1 dan 6 detik pada mencit 2, asam mefenamat yaitu

7,5 detik pada mencit 1 dan 4,41 detik pada mencit 2, selanjutnya parasetamol

yaitu 9 detik pada mencit 1 dan 5 detik pada mencit 2, dan terakhir ibuprofen

yaitu 5 detik pada mencit 1 dan 10 detik pada mencit 2. Daya analgetik dari

masing-masing obat berbeda-beda, tergantung dari spesifikasi obat tersebut

digunakan untuk efek terapi tertentu.

Hasil pengamatan pada metode Witkin et al diperoleh rata-rata % daya

analgetik dari pemberian Na-CMC sebagai kontrol negatif untuk keduanya 0

%. Pemberian ibuprofen pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya analgetiknya

51,665%. Pemberian parasetamol pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya

analgetiknya 76,665 %. Pemberian asam mefenamat pada mencit 1 dan 2,

rata-rata % daya analgetiknya 23,335%. Pemberian antalgin pada mencit 1

dan 2, rata-rata % daya analgetiknya 83,335%. Pemberian Na-Diklofenak

pada mencit 1 dan 2, rata-rata % daya analgetiknya 61,665%. Nilai persen

daya analgetika akan semakin besar jika jumlah geliat yang dilakukan oleh

mencit semakin kecil. Hal itu menunjukkan bahwa suatu obat mempunyai

kekuatan yang besar dalam menghalau rasa nyeri yang ditimbulkan oleh

penginduksi nyeri asam asetat. Karena kekuatan suatu obat analgetika

berbanding terbalik dengan jumlah geliat yang dilakukan oleh mencit.

Page 13: fartok

Semakin sedikit geliat yang dilakukan oleh mencit, berarti analgetika tersebut

efeknya semakin kuat, dan sebaliknya jika jumlah geliat yang dilakukan oleh

mencit semakin banyak, maka efek yang ditimbulkan oleh obat analgetika

tersebut akan semakin rendah. Berdasarkan jumlah geliat dan besarnya nilai

% daya analgetika, maka dapat dibandingkan daya analgetika dari kelima

obat yang digunakan. Obat dengan nilai persen daya analgetika terbesar

menunjukkan bahwa obat tersebut memiliki daya analgetika yang paling kuat

diantara obat yang lain. Daya terkuat dimiliki oleh antalgin, selanjutnya

parasetamol, Na-Diklofenak, ibuprofen dan asam mefenamat.

Data analisis ANOVA untuk metode Jansen & Jaqeneau menunjukkan

kekuatan yang dihasilkan oleh masing-masing obat sangat beragam. Obat

yang memiliki daya analgetik paling kuat ditunjukkan oleh Na-Diklofenak,

selanjutnya antalgin, asam mefenamat, parasetamol dan ibuprofen.

Berdasarkan analisis dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh hasil signifikan

> 0,05 yaitu sebesar 0,272 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho diterima

atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelima jenis obat analgetik

yang telah diuji pada percobaan ini.

Hasil analisis dengan taraf kepercayaan 95% pada metode Witkin et

al, didapatkan nilai signifikan untuk jumlah geliat > 0,05 yaitu sebesar 0,061

yang diartikan Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara

kelima jenis obat yang digunakan terhadap jumlah geliat yang dihasilkan.

Sedangkan untuk % daya analgetika < 0,05 yaitu sebesar 0,027 yang diartikan

Ho ditolak atau ada perbedaan yang signifikan antara kelima jenis obat

analgetik.

Hasil yang diperoleh dengan metode Jansen & Jaqeneau dan Witkin et

al mengalami perbedaan karena respon yang diamati pada kedua metode

tersebut mengalami perbedaan. Pada metode Jansen & Jaqeneau diamati

mencit yang meloncat dan menjilati kakinya akibat nyeri yang dirasakannya

karena rangsangan fisika berupa panas yang diberikan. Sedangkan pada

metode Witkin et al diamati jumlah geliat dari mencit akibat rangsangan

kimia berupa stimulus nyeri yang diberikan.

Page 14: fartok

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini, yaitu:

1. Pada metode Jansen & Jaqeneau, obat yang memiliki daya analgetik paling

kuat ditunjukkan oleh Na-Diklofenak selanjutnya antalgin, asam

mefenamat, parasetamol dan ibuprofen. Sedangkan pada metode Witkin et

al, daya terkuat dimiliki oleh antalgin, selanjutnya parasetamol, Na-

Diklofenak, ibuprofen dan asam mefenamat.

2. Berdasarkan hasil analisis metode Jansen & Jaqeneau dengan taraf

kepercayaan 95% didapatkan jika nilai signifikan > 0,05 yaitu sebesar

0,272 maka Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara

kelima jenis obat analgetik.

3. Berdasarkan hasil analisis metode Witkin et al dengan taraf kepercayaan

95%, didapatkan nilai signifikan untuk jumlah geliat > 0,05 yaitu sebesar

0,061 yang diartikan Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang signifikan

antara kelima jenis obat yang digunakan terhadap jumlah geliat yang

dihasilkan. Sedangkan untuk % daya analgetika < 0,05 yaitu sebesar 0,027

yang diartikan Ho ditolak atau ada perbedaan yang signifikan antara

kelima jenis obat analgetik.

Page 15: fartok

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika, Jakarta.

Mutschler, E. 2001. Dinamika Obat. Penerbit ITB, Bandung.

Tjay, T. H. & K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Twicross, G. R. Analgesics. 1984. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2418085/pdf/postmedj00130-0048.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2011.

Page 16: fartok

LAMPIRAN

1. Apakah analgetika itu?

Jawab :

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau

menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

2. Mengapa analgetika kadang-kadang perlu diberikan kepada penderita?

Jawab:

Analgetika kadang-kadang perlu diberikan karena untuk mengurangi rasa

nyeri pada penderita yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis,

kimia, dan fisis.

3. Bagaimana terjadinya rasa nyeri?

Jawab:

Rasa nyeri terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya

bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian

merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari

tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di

korteks cerebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan

talamus.

4. Bagaimana daya analgetika opioid dan non opioid?

Jawab:

Analgetika opioid mempunyai daya analgetik yang kuat, biasanya digunakan

untuk mengatasi nyeri yang hebat. Analgetika golongan opioid bekerja

dengan mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP) dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Sedangkan analgetika non opioid mempunyai daya

analgetika yang lebih lemah dari golongan opioid. Analgetika golongan ini

tidak mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP), karena titik kerjanya di

susunan saraf perifer dan obat ini tidak menimbulkan ketergantungan.