layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 sutapa mulja widada, “fenomena golput dalam demokratisasi...
TRANSCRIPT
41
Supremasi Keadilan Substantif dalam Pemilukada Ulang Kabupaten Pati
(Studi Putusan MK No. 82/PHPU.D-IX/2011)
Mulyanto
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected]
ABSTRACT
The results of this research, indicate that the Constitutional Court
Decision No. 82/PHPU.D-IX/2011 has canceled Election Commission decision
Pati on Vote Count and Results Summary of Candidate disqualify the name H.
Sunarwi, SE., MM. and Pramod Tejo in the regional election Pati in 2011 which
was replaced by the would be candidates in the name of, H. Imam Suroso, MM.
and Sujoko, S.Pd., M. Pd. and ordered the regional election re deserves
appreciation. Through such decisions have affirmed the supremacy of substantive
justice rather than procedural justice by extending legal standing would be
candidates to uphold the regional election is unconstitutional. For the organizers
should be more professional and fair in the implementation of regional election in
order to strengthen local democracy.
Keywords: decision, the regional election, substantive justice
ABSTRAK
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan MK Nomor
82/PHPU.D-IX/2011 yang membatalkan Keputusan KPU Kab. Pati tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan mendiskualifikasi Pasangan Calon
atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan Tejo Pramono dalam Pemilukada
Kabupaten Pati Tahun 2011 yang digantikan oleh bakal pasangan calon atas
nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M. Pd.; serta memerintahkan
Pemilukada ulang patut diapresiasi. Melalui putusan tersebut telah menegaskan
supremasi keadilan substantif daripada keadilan procedural dengan ekstensifikasi
legal standing bakal pasangan calon guna menegakan Pemilukada yang
konstitusional. Bagi penyelenggara hendaknya lebih profesional dan fair dalam
pelaksanaan Pemilukada guna memperkuat demokrasi lokal.
Kata kunci: putusan, Pemilukada, keadilan substantif
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
42
PENDAHULUAN
Negara Indonesia menganut paham demokrasi dan nomokrasi. Landasan
yuridis sebagai Negara demokrasi dicantumkan secara eksplisit dalam Konstitusi
khususnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yakni “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Artinya Indonesia
menganut paham kedaulatan rakyat yang merupakan anasir fundamental dalam
demokrasi. Adapun paham nomokrasi dapat dibuktikan dengan merujuk ketentuan
Pasal 1 ayat (3) menegaskan, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Hal
inilah sebagai dasar paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya menganut
prinsip supremasi hukum. Artinya segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara harus merujuk pada hukum yang berlaku.
Prinsip fundamental dalam berdemokrasi yang diterapkan di banyak
Negara yakni Pemilu. Bahkan Pemilu merupakan instrumen demokrasi yang
hampir semua negara di dunia ini, memilih menggunakan mekanisme Pemilu
sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat1. Dalam penelitian sebelumnya,
penulis mendefinisikan Pemilu sebagai suatu instrumen demokrasi, yang
memungkinkan pergantian kepemimpinan dalam jabatan politis dengan
melibatkan langsung segenap rakyat, dalam skala wilayah tertentu, secara
konstitusional2. Artinya konsep Pemilu bukan hanya sekedar Pemilu Legislatif
melainkan juga Pemilu Eksekutif meliputi Pemilu Presiden-Wakil Presiden dan
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilpres dan Pemilulkada).
Dasar fundamental pengaturan Pemilukada dapat ditemukan dalam ranah
Konstitusi. Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 19453 mengatur bahwa
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Artinya secara
konstitusional tidak ada kewajiban Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh
1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Vol 1. No. 1, November (Jakarta: MKRI, 2012), hlm. 54. 2 Mulyanto, “Perkembangan Pemilihan Umum sebagai Implementasi Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia sejak Era Demokrasi Parlementer sampai Era reformasi”, Tesis (Yogyakarta: Program
Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada, 2007), hlm. 34. 3 Perubahan Kedua disahkan 18 Agustus 2000.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
43
rakyat. Istilah “dipilih secara demokratis” dapat diintepretasikan dipilih langsung
oleh rakyat atau dipilih dengan jalan perwakilan. Realitanya sekarang ini, pilihan
politik hukumnya sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah berupa Pemilukada.
Dalam realitanya Pemilukada yang mulai di gelar pada bulan Juni 2005
justru dipenuhi berbagai problematika seperti adanya konflik horizontal dan sikap
tidak mau menerima kekalahan4. Persoalan lainnya mengenai mahalnya biaya
Pemilukada5. Masalah serius yang semestinya menjadi perhatian serius segenap
pihak yakni money politics yang merupakan problem mendasar yang secara
signifikan mengurangi kualitas Pemilukada6. Salah satu daerah yang wajib
melakukan Pemilukada ulang yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi yakni
Kabupaten Mandailing Natal dengan alasan telah terjadi pelanggaran terstruktur,
sistematis, dan massive yang terjadi dihampir seluruh kecamatan di Kabupaten
Mandailing Natal yang berpengaruh terhadap hasil perolehan suara7.
Sengketa Pemilukada yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat
diklasifikasikan berdasarkan pola tertentu. Menurut Miftakhul Huda8 merujuk
praktik Mahkamah Konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara PHPU Kada
yang dilaksanakan sejak 2008 – 2011 dapat dibuat pengklasifikasiannya. Adapun
klasifikasi perkara yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pola dan
sifat pelanggaran, pertimbangan hukum dan amar putusan yang dapat dibagi
menjadi 8 (delapan) model, salah satunya yakni pemungutan suara ulang (Putusan
Akhir). Salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi yang menarik untuk dikaji yakni
Putusan MK No. 82/PHPU.D-IX/2011 yang berisi perintah KPUD untuk
4 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2006) hlm. 247. 5 Ari Pradanawati (Ed.), Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: KOMPIP,
2005), hlm. 13. 6 Moh. Jamin, “Menuju Pilkada Demokratis Suatu Catatan Pengantar”. Dokumentasi Pelaksanaan Pilkada Kota Surakarta 27 Juni 2005, (Surakarta: KPU Surakarta, 2005). 7 Mulyanto, “Money Politics dan Pengulangan Pemilukada dalam Perspektif Hukum Progresif”
Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama dengan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Vol IV. No. 2, November (Jakarta: MKRI, 2011), hlm. 54. 8 Miftakhul Huda, “Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 8, No. 2, April (Jakarta: MKRI, 2010), ISSN 1829-7706, hlm. 119.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
44
menyelenggarakan Pemilukada Ulang Kabupaten Pati9 yang diajukan bakal calon
yang ”gagal” menjadi peserta Pemilukada Pati 2011.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian hukum doktrinal. Menurut Soetandyo
Wignjosoebroto10
penelitian hukum doctrinal adalah penelitian atas hukum yang
dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep
dan/atau sang pengembangnya. Penelitian doktrinal dibagi menjadi 3 (tiga), dalam
penelitian ini digunakan metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan
sebagai keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme hukum11
.
Penelitian ini menggunakan data sekunder terdiri bahan hukum primer (Putusan
MK No. 82/PHPU.D-IX/2011), bahan hukum sekunder berupa penelaahan hasil
literatur seperti buku, makalah, data internet yang berkaitan dengan materi
penelitian12
. Instrumen penelitian menggunakan studi pustaka (library research).
Analisis data secara kualitatif dengan theoritical interpretative.
PEMBAHASAN
1. Keadilan Substantif melalui Ektensifikasi Legal Standing Bakal Pasangan
Calon dalam Sengketa Pemilukada
Sengketa Pemilu maupun Pemilukada menjadi tren tersendiri sejak
bergulirnya reformasi. Sebagai catatan sengketa Pemilu hampir nihil terjadi
sebelum adanya reformasi. Pasca reformasi, sedang didesain lembaga Negara
mana yang paling tepat untuk menangani sengketa Pemilu dan Pemilukada.
Dalam ranah konstitusi sudah tegas menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
yang berwenang menangani sengketa Pemilu (Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden), sedangkan untuk sengketa Pemilukada telah terjadi pelimpahan
kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Wacana yang
9 “Pilkada Pati Diulang”, Suara Merdeka, 23 Agustus 2011. 10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:
Huma, 2002), hlm. 147. 11 Ibid. hlm. 157. 12 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 156.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
45
terakhir berkembang, pemerintah berkeinginan mengembalikan kewenangan
ke Mahkamah Agung13
.
Dalam realitanya sekarang, sengketa hasil Pemilukada menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan
Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada UU No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang merubah
pengertian “pilkada” menjadi Pemilukada. Pemilukada ini dimaknai sebagai
bagian dari kegiatan Pemilihan Umum, sebagaimana diatur pada pasal 1
angka 4 UU No. 22 Tahun 2007, sebagai berikut: “Pemilu Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada
dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka berdasarkan UU No. 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, penanganan hasil Pemilukada dialihkan dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Sepanjang tahun 201014
, Mahkamah Konstitusi lebih konsentrasi
untuk menangani sengketa Pemilukada, sehingga sampai dengan akhir tahun
itu tercatat 230 perkara perselihan hasil Pemilukada. Dari 230 itu tinggal 6
yang belum diputus, artinya 224 yang telah diputus sebanyak 26 dikabulkan
yang pengabulkanya itu bisa mengabulkan seluruhnya, atau sebagian. Pada
tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan Pemilukada, yang terdiri atas
6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah
13 Setelah beberapa tahun masalah sengketa pilkada ditangani oleh MK (Mahkamah Konstitusi)
maka pemerintah berkeinginan untuk di kembalikan ke MA (Mahkamah Agung). Dalam Pasal 31
dan Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Pilkada yang diajukan pemerintah, di mana Pasal 31
Ayat (1) disebutkan, “Calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan dapat mengajukan keberatan
ke MA”. Selengkapnya baca “Mahkamah Agung akan kembali menangani Sengketa Pilkada”,
Kompas, 07 September 2012. 14 Moh. Mahfud MD, “Membangun Demokrasi Substantif, Meneguhkan Integritas Institusi”
Risalah Rekaman Konfrensi Pers Akhir Tahun 2010, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 3 januari 2011).
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
46
tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi,
12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen
pemilukada disengketakan ke Mahkamah Konstitusi15
.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD bahwa
tingginya angka permohonan PHPU kepala daerah, juga dipengaruhi putusan
MK dalam perkara nomor 196-197-198/PHPU.DVIII/2010 berkaitan dengan
PHPU Kepala Daerah Kota Jayapura, yang telah memberikan legal standing
kepada "bakal pasangan calon". Akibatnya, bakal pasangan calon dapat
menjadi pemohon dalam perkara PHPU kepala daerah. Sepanjang tahun 2012
terdapat 13 permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi16
.
Pemilukada Kabupaten Pati digugat Bakal Pasangan Calon yakni H.
Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. yang menganggap Pemilukada
Kabupaten Pati tahun 2011 inkonstitusional. Padahal, secara normatif telah
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah yang menentukan bahwa para pihak berkepentingan perselisihan hasil
Pemilukada adalah Pasangan Calon sebagai Pemohon17
.
Apabila Mahkamah Konstitusi menggunakan logika berfikir hukum
dengan paradigm legalistik (legisme) niscaya gugatan Bakal Pasangan Calon
yakni H. Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. akan ditolak karena
tidak memenuhi anasir normatif PMK No. 15 Tahun 2008. Namun,
beruntungnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pendekatan hukum
progresif dalam menangani sengketa Pilkada Kabupaten Pati sehingga
permohonan Pemohon untuk seluruhnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Hukum dapat dipahami dalam berbagai perspektif, tidak hanya
secara parsial sebagai ketentuan normatif (tertulis), tapi secara komprehensif
hingga aspek realitas berhukum yang harus setia terhadap keadilan dan
15 “Jumlah Gugatan Sengketa Pemilukada di MK turun”, http://nasional.news.viva.co.id/news,
diakses tanggal 11 Januari 2012 16 Ibid. 17 Pasal 3 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 menentukan, “Para pihak yang mempunyai
kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah: (a) Pasangan Calon sebagai
Pemohon; dan (b) b. KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon”.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
47
kemanusiaan. Pada dasarnya, hukum progresif memiliki dua asumsi dasar.
Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Oleh
karena itu, tujuan hukum yang utama adalah membahagiakan manusia
sehingga hukum harus didasarkan pada hati nurani. Kedua, hukum
merupakan institusi yang terus berproses. Hukum bukan hanya berupa bunyi
pasal-pasal yang final, melainkan harus diadaptasikan dengan konteks sosial
yang dinamis. Paradigma hukum progresif tentu tidak boleh dimaknai secara
dangkal. Mahkamah Konstitusi tidak akan mengubah negara hukum
(rechtsstaat) menjadi negara hakim (rechterstaat)18
.
Dengan menggunakan cara berhukum progresif yang mengutamakan
keadilan substantif daripada keadilan prosedural yang diterapkan Mahkamah
Konstitusi, maka Bakal Pasangan Calon yakni H. Imam Suroso, MM dan
Sujoko, S.Pd., M.Pd. dianggap memiliki kedudukan hukum (legal standing)
pemohon perselisihan hasil Pemilukada. Meskipun, berdasarkan Pasal 3 ayat
(1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, pemohon adalah pasangan calon
dalam Pemilukada. Namun, peraturan tersebut dimaknai secara progresif
dengan mengutamakan keadilan diatas peraturan. Selain itu, merujuk pada
Putusan Mahkamah Nomor 196-197-198/PHPU.DVIII/2010, bertanggal 25
November 2010 memberikan pula kedudukan hukum (legalstanding) kepada
bakal pasangan calon tertentu dalam Pemilukada. Artinya dari putusan
tersebut dapat menjadi yurisprudensi.
Berdasarkan rekapitulasi hasil perolehan suara Pemilukada
Kabupaten Pati tahun 201119
, perolehan suara untuk masing-masing Pasangan
Calon sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Suara Kab. Pati 2011
Nomor Pasangan calon Suara
18 Janedjri M Gaffar, “MK dan Hukum Progresif”, Harian Seputar Indonesia, 15 Mei 2012. 19 Vide Keputusan KPU Kabupaten Pati Nomor: 47 Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil
Penghitungan Perolehan Suara tiap-tiap Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun
2011.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
48
Urut Kepala daerah dan wakil kepala daerah
1 H.M SLAMET WARSITO, BE, ST, MT
dan
DR. Hj. SRI MULYANI, Dra, MM
118.059
2 H. Sunarwi, SE, MM
Dan Tedjo Pramono
159.268
3 Ir. H. Sri Merditomo, MM
Dan H. Karsidi, SH
118.625
4 Sri Susahid, SH, MH
Dan Hasan, SH, MM
5.165
5 H. Haryanto, SH, MM
Dan HM. Budiyono
204.606
6 Hj. Kartina Sukawati, SE, MM
Dan H. Supeno
114.635
Jumlah seluruh suara sah 720.387
Artinya H. Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd (pemohon)
tidak memiliki suara pun, karena belum termasuk pasangan calon. Namun,
setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 membatalkan hasil Pemilukada
Kabupaten Pati, dengan Amar Putusan sebagai berikut:
a. Membatalkan: (1) Keputusan KPU Kab. Pati No. 40 Tahun 2011 tentang
Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilukada Tahun
2011, tertanggal 5 Juni 2011 berdasarkan Berita Acara KPU Kab. Pati
Nomor 37/BA/KPU/VI/2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati
dan Wakil Bupati yang Memenuhi Syarat Untuk Mengikuti Pemilukada
Tahun 2011, tertanggal 4 Juni 2011; (2) Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pemilukada oleh KPU Kab. No. 45/BA/KPU/
VII/2011, tertanggal 26 Juli 2011; (3) Keputusan KPU Kab. Pati No. 47
Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tiap-
Tiap Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Peserta Pemilukada tertanggal 26
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
49
Juli 2011; dan (4) Keputusan KPU Kab. Pati No. 48 Tahun 2011 tentang
Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Peserta Pemilukada
Kab. Pati Tahun 2011 Putaran Kedua, tertanggal 27 Juli 2011;
b. Mendiskualifikasi Pasangan Calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan
Tejo Pramono dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011;
c. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati untuk melakukan verifikasi
persyaratan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pati
Tahun 2011 atas nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M. Pd.
untuk menggantikan pasangan calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan
Tejo Pramono sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati menetapkan kembali pasangan
calon dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011;
e. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati untuk melakukan pemungutan
suara ulang dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011;
2. Supremasi Keadilan Substantif melalui Pemilukada Ulang
Salah satu bunyi Amar Putusan Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang
membatalkan hasil Pemilukada Kabupaten Pati, yakni “Memerintahkan
kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pati untuk melakukan
pemungutan suara ulang dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011”. Artinya Pemilukada ulang
menjadi wajib dilakukan oleh KPUD Kabupaten Pati untuk menjalankan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Ide dasar
yang melatarbelakangi dari pelaksanaan pengulangan Pemilukada Pati adalah
kesalahan dari Sunarwi yang menganulir pasangan Imam Suroso untuk maju
dalam pencalonan Pemilukada Pati melalui PDI Perjuangan20
.
Untuk menganalisis putusan Pemilukada ulang di Kabupaten Pati,
maka perlu melihat secara rinci perkembangan kewenangan Mahkamah
20 Masmuah dan Sukresno, “Akibat Hukum Pengulangan Pemilukada Pati Berdasarkan Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 82/Phpu.D-Ix/2011”, Penelitian, (Kudus: Fakultas hukum
Universitas muria kudus, 2012), hlm. V.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
50
Konstitusi dalam menangani sengketa Pemilukada. Mahkamah Konstitusi
dalam menangani sengketa Pemilukada telah memaknai hukum melalui
putusan-putusannya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya
keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku secara harfiah dalam
memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 4
PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah Konstitusi
mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara
sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU
12/200821
dan Pasal 4 PMK 15/200822
.
Dalam mengemban misinya, Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal konstitusi selalu mengutamakan keadilan. Oleh karena itu, dalam
menangani sengketa Pemilukada tidak terbatas hanya menghitung perolehan
suara secara matematis. Sebab jika, dilarang memasuki proses peradilan
dengan fakta hukum yang jelas terbukti menciderai HAM, maka dapat
melanggar prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil sebagai prinsip Pemilukada.
Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur
formal dalam peraturan hukum yang berlaku. Moh Mahfud MD, selaku Ketua
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menegakkan nilai-nilai keadilan
lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal
perundang-undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum.
Tekad Mahkamah Konstitusi “mengawal demokrasi dan menegakkan
keadilan substantif”. Beberapa terobosan hukum yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi yang lebih mengutamakan keadilan substantif
dibanding keadilan formal-prosedural23
.
21
Bunyi selengkapnya, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan
dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon” 22
Bunyi selengkapnya, “Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi: a.penentuan Pasangan Calon yang dapat
mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah”.
23 Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan” Jurnal Hukum
No. 2 Vol. 17 April (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010), hlm. 222.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
51
Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak
hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich,
melainkan meneliti secara mendalam pelanggaran yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Hal
ini sangat sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Mahkamah memutus
sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
45 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus
perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.
Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi terbukti telah
memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan,
sengketa Pemilu atau Pemilukada. Dalam praktik yang sudah menjadi
yurisprudensi dan diterima sebagai solusi itu, Mahkamah dapat menilai
pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif sebagai
penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat
memengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan Pemilukada24
.
Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah Konstitusi yakni
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa
Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan
sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah sebagai
lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan
umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara,
melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga
terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada.
Dalam menilai proses terhadap hasil Pemilukada tersebut Mahkamah
Konstitusi membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori25
.
Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat
24 Vide Putusan Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008 25
Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 hlm 144-145
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
52
ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran
dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau
Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS,
dugaan pidana Pemilu dapat membatalkan hasil Pemilukada sepanjang
berpengaruh secara signifikan. Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan
menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur dapat dijadikan dasar
untuk membatalkan Pemilukada karena tidak memenuhi syarat sejak awal.
Pemilukada ulang di Kabupaten Pati melalui Putusan No.
82/PHPU.D-IX/2011 sebenarnya bukanlah hal yang baru. Jika menilik
sejarah telah ada daerah lain yang lebih dahulu harus mengulang Pemilukada.
Padahal, secara normatif yuridis, dasar hukum pengulangan Pemilukada amat
limitatif. Sejarah baru pertama kali pengulangan Pemilukada terjadi pada
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pilkada Jawa
Timur26
. Mahkamah Konstitusi dengan mengutamakan keadilan substantif
daripada keadilan prosedural berani mencoba keluar dari belenggu undang-
undang untuk mengantarkan pada keadilan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, tidak ada Pemilukada yang bisa
diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula, tidak ada
kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara
ulang maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD
dan Bawaslu. Namun, pada Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah
Konstitusi berani menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-
undang. Hakim harus bisa menjadi penemu hukum. Sehingga tepatlah apa
yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch : “Summum ius summa inuiria”,
bahwa keadilan teringgi itu adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi
hukum secara apa adanya seringkali justru akan merugikan keadilan27
.
Putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang ini menjadi
suatu kontroversi, karena Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara ini
telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
26 Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008. 27 Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum di
Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), hlm. 25.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
53
4 PMK Nomor.15 tahun 2008. Namun, dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran yang luas dalam mengadili
sengketa pemilukada.Artinya, Mahkamah Konstitusi tidak membiarkan
aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan
mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)28
.
Pada Pemilukada ulang di Kabupaten Pati melalui Putusan
No.82/PHPU.D-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menegakkan salah satu
prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa
“tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran
yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo
commodum capere potest de injuria sua propria)29
.
Dalam kasus Pemilukada Pati, Bakal Pasangan Calon yakni H. Imam
Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. selaku pemohon mengajukan
keberatan atas “rekayasa” KPU Kabupaten Pati dalam menetapkan Peserta
Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011. Pemohon menggugat Keputusan KPU
Kabupaten Pati No. 47 Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil Penghitungan
Perolehan Suara Tiap-Tiap Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2011,
dengan alasan Termohon menerima penggantian Pasangan Calon dan
mengizinkan pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Pati atas nama Sunarwi dan Tedjo Pramono yang ditetapkan
dalam Keputusan Termohon Nomor 40 Tahun 2011, tertanggal 4 Juni 2011
tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilukada
Kab. Pati Tahun 2011 yang didaftarkan oleh DPC PDIP Kabupaten Pati30
.
Padahal, DPP PDIP telah merekomendasikan Bakal Pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pati Tahun 2011 atas nama Imam Suroso
dan Sujoko (Pemohon) dengan Nomor 1011/IN/DPP/V/2011. Atas
rekomendasi DPP PDIP tersebut, Pemohon didaftarkan oleh Ketua dan
Sekretaris DPC PDIP (Sunarwi S.E., MM dan Irianto Budi Utomo S.H),
28 Miftakhul Huda, Op.cit. hlm. 119. 29 Ibid. 30
Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011, hlm. 148.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
54
tanggal 5 Mei 2011 di kantor Termohon. Pemohon akan melengkapi
kekurangan syarat-syarat pendaftaran yang diminta sebelum menerbitkan
Surat Termohon Nomor 271/333 perihal Hasil Verifikasi Syarat Pencalonan
dan Syarat Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati, tertanggal 12 Mei 2011.
Hal tersebut benar berdasarkan bukti-bukti surat/tertulis dan 5 orang saksi31
.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, karena pencalonan
Pihak Terkait (Sunarwi dan Tedjo Pramono) tidak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam peraturan PDIP, maka menurut Mahkamah pencalonan
Pihak Terkait menjadi tidak sah, sehingga harus didiskualifikasi sebagai
Pasangan Calon Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011. Konsekuensi logisnya,
Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada KPU Kabupaten Pati untuk
melakukan verifikasi persyaratan bakal pasangan calon atas nama Imam
Suroso dan Sujoko (Pemohon) dan apabila setelah dilakukan verifikasi
ternyata memenuhi syarat sebagai pasangan calon, maka pasangan tersebut
harus diikutsertakan dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011.
Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon terbukti menurut hukum
sehingga pelaksanaan Pemilukada Pati 2011 dinilai inkonstitusional.
Implikasinya, demi Pemilukada Pati yang konstitusional, perlu Pemilukada
Ulang32
. Jadi, tidak satu pun Pasangan Calon Pemilukada yang boleh
diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi
dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan Pemilukada. Berarti Supremasi
keadilan substantif ditegakan melalui Pemilukada Ulang Kabupaten Pati.
KESIMPULAN
Putusan MK Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang membatalkan (1)
Keputusan KPU Kab. Pati No. 40 Tahun 2011; Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara No. 45/BA/KPU/VII/2011; Keputusan Keputusan KPU Kab.
Pati No. 47 Tahun 2011; dan Keputusan KPU Kab. Pati No. 48 Tahun 2011; (2)
Mendiskualifikasi Pasangan Calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan Tejo
Pramono dalam Pemilukada Kabupaten Pati Tahun 2011 dengan diganti oleh
31 Ibid. hlm. 149. 32
Ibid, hlm. 162.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
55
bakal pasangan calon atas nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M.
Pd.; dan (3) Memerintahkan KPU Kab. Pati untuk melakukan pemungutan suara
ulang dalam Pemilukada Kabupaten Pati Tahun 2011 patut diapresiasi. Melalui
putusan tersebut telah menegaskan supremasi keadilan substantif daripada
keadilan procedural dengan ekstensifikasi legal standing bakal pasangan calon
guna menegakan Pemilukada yang konstitusional.
SARAN
Mengingat lemahnya regulasi Pemilukada dengan berbagai hambatan riil
di lapangan, maka dibutuhkan keberanian penegak hukum yang arif dan kreatif
untuk “memandu” penafsiran hukum dengan mengedepankan keadilan substantif
dengan cara berhukum progresif. Hakim harus berani berusaha mencari dan
menemukan keadilan dalam batas dan ditengah keterbatasan kaidah-kaidah
hukum yang ada (keadilan prosedural) yang tak jarang berbenturan dengan rasa
keadilan masyarakat. Khusus bagi KPU Kabupaten Pati hendaknya lebih
profesional dan fair dalam penyelenggaraan Pemilukada guna memperkuat
demokrasi lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Pradanawati (Ed.), 2005. Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal,
Surakarta: KOMPIP.
Bambang Sutiyoso, 2010. “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam
Peradilan” Jurnal Hukum No. 2 Vol. 17 April 2010, Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia.
Http://nasional.news.viva.co.id/news, “Jumlah Gugatan Sengketa Pemilukada di
MK turun”, diakses tanggal 11 Januari 2012
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
…………, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
…………, Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
…………, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah
Janedjri M Gaffar, “MK dan Hukum Progresif”, Harian Seputar Indonesia, 15
Mei 2012.
Jeremies Lemek, 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap
Penegakkan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013
56
Kompas, “Mahkamah Agung akan kembali menangani Sengketa Pilkada”, 07
September 2012.
Masmuah dan Sukresno, 2012. “Akibat Hukum Pengulangan Pemilukada Pati
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-
IX/2011”, Penelitian, Kudus: Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus
Miftakhul Huda, 2010 “Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan
Substantif”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 2, April 2010, ISSN 1829-770,
Jakarta: MKRI.
Moh. Jamin, 2005. “Menuju Pilkada Demokratis Suatu Catatan Pengantar”.
Dokumentasi Pelaksanaan Pilkada Kota Surakarta 27 Juni 2005,
Surakarta: KPU Surakarta.
Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi,
Jakarta: Pustaka LP3ES.
……..…, 2011. “Membangun Demokrasi Substantif, Meneguhkan Integritas
Institusi” Risalah Rekaman Konfrensi Pers Akhir Tahun 2010, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2010. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyanto, 2007, “Perkembangan Pemilihan Umum sebagai Implementasi
Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia sejak Era Demokrasi Parlementer
sampai Era reformasi”, Tesis, Yogyakarta: Program Magister Hukum
Kenegaraan Universitas Gadjah Mada.
……….., 2011. “Money Politics dan Pengulangan Pemilukada dalam Perspektif
Hukum Progresif” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas
Maret kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol
IV. No. 2, November 2011, Jakarta: MKRI.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: Huma.
Suara Merdeka, “Pilkada Pati Diulang” , 23 Agustus 2011.
Sutapa Mulja Widada, 2012. “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di
Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret
kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol 1. No.
1, November 2012, Jakarta: MKRI.
JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013