layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 sutapa mulja widada, “fenomena golput dalam demokratisasi...

20

Upload: others

Post on 06-Dec-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama
Page 2: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama
Page 3: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama
Page 4: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama
Page 5: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

41

Supremasi Keadilan Substantif dalam Pemilukada Ulang Kabupaten Pati

(Studi Putusan MK No. 82/PHPU.D-IX/2011)

Mulyanto

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Email: [email protected]

ABSTRACT

The results of this research, indicate that the Constitutional Court

Decision No. 82/PHPU.D-IX/2011 has canceled Election Commission decision

Pati on Vote Count and Results Summary of Candidate disqualify the name H.

Sunarwi, SE., MM. and Pramod Tejo in the regional election Pati in 2011 which

was replaced by the would be candidates in the name of, H. Imam Suroso, MM.

and Sujoko, S.Pd., M. Pd. and ordered the regional election re deserves

appreciation. Through such decisions have affirmed the supremacy of substantive

justice rather than procedural justice by extending legal standing would be

candidates to uphold the regional election is unconstitutional. For the organizers

should be more professional and fair in the implementation of regional election in

order to strengthen local democracy.

Keywords: decision, the regional election, substantive justice

ABSTRAK

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan MK Nomor

82/PHPU.D-IX/2011 yang membatalkan Keputusan KPU Kab. Pati tentang

Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan mendiskualifikasi Pasangan Calon

atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan Tejo Pramono dalam Pemilukada

Kabupaten Pati Tahun 2011 yang digantikan oleh bakal pasangan calon atas

nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M. Pd.; serta memerintahkan

Pemilukada ulang patut diapresiasi. Melalui putusan tersebut telah menegaskan

supremasi keadilan substantif daripada keadilan procedural dengan ekstensifikasi

legal standing bakal pasangan calon guna menegakan Pemilukada yang

konstitusional. Bagi penyelenggara hendaknya lebih profesional dan fair dalam

pelaksanaan Pemilukada guna memperkuat demokrasi lokal.

Kata kunci: putusan, Pemilukada, keadilan substantif

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 6: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

42

PENDAHULUAN

Negara Indonesia menganut paham demokrasi dan nomokrasi. Landasan

yuridis sebagai Negara demokrasi dicantumkan secara eksplisit dalam Konstitusi

khususnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yakni “Kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Artinya Indonesia

menganut paham kedaulatan rakyat yang merupakan anasir fundamental dalam

demokrasi. Adapun paham nomokrasi dapat dibuktikan dengan merujuk ketentuan

Pasal 1 ayat (3) menegaskan, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Hal

inilah sebagai dasar paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya menganut

prinsip supremasi hukum. Artinya segala aspek kehidupan berbangsa dan

bernegara harus merujuk pada hukum yang berlaku.

Prinsip fundamental dalam berdemokrasi yang diterapkan di banyak

Negara yakni Pemilu. Bahkan Pemilu merupakan instrumen demokrasi yang

hampir semua negara di dunia ini, memilih menggunakan mekanisme Pemilu

sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat1. Dalam penelitian sebelumnya,

penulis mendefinisikan Pemilu sebagai suatu instrumen demokrasi, yang

memungkinkan pergantian kepemimpinan dalam jabatan politis dengan

melibatkan langsung segenap rakyat, dalam skala wilayah tertentu, secara

konstitusional2. Artinya konsep Pemilu bukan hanya sekedar Pemilu Legislatif

melainkan juga Pemilu Eksekutif meliputi Pemilu Presiden-Wakil Presiden dan

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilpres dan Pemilulkada).

Dasar fundamental pengaturan Pemilukada dapat ditemukan dalam ranah

Konstitusi. Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 19453 mengatur bahwa

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Artinya secara

konstitusional tidak ada kewajiban Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh

1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Vol 1. No. 1, November (Jakarta: MKRI, 2012), hlm. 54. 2 Mulyanto, “Perkembangan Pemilihan Umum sebagai Implementasi Demokrasi dan Konstitusi di

Indonesia sejak Era Demokrasi Parlementer sampai Era reformasi”, Tesis (Yogyakarta: Program

Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada, 2007), hlm. 34. 3 Perubahan Kedua disahkan 18 Agustus 2000.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 7: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

43

rakyat. Istilah “dipilih secara demokratis” dapat diintepretasikan dipilih langsung

oleh rakyat atau dipilih dengan jalan perwakilan. Realitanya sekarang ini, pilihan

politik hukumnya sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah berupa Pemilukada.

Dalam realitanya Pemilukada yang mulai di gelar pada bulan Juni 2005

justru dipenuhi berbagai problematika seperti adanya konflik horizontal dan sikap

tidak mau menerima kekalahan4. Persoalan lainnya mengenai mahalnya biaya

Pemilukada5. Masalah serius yang semestinya menjadi perhatian serius segenap

pihak yakni money politics yang merupakan problem mendasar yang secara

signifikan mengurangi kualitas Pemilukada6. Salah satu daerah yang wajib

melakukan Pemilukada ulang yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi yakni

Kabupaten Mandailing Natal dengan alasan telah terjadi pelanggaran terstruktur,

sistematis, dan massive yang terjadi dihampir seluruh kecamatan di Kabupaten

Mandailing Natal yang berpengaruh terhadap hasil perolehan suara7.

Sengketa Pemilukada yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat

diklasifikasikan berdasarkan pola tertentu. Menurut Miftakhul Huda8 merujuk

praktik Mahkamah Konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara PHPU Kada

yang dilaksanakan sejak 2008 – 2011 dapat dibuat pengklasifikasiannya. Adapun

klasifikasi perkara yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pola dan

sifat pelanggaran, pertimbangan hukum dan amar putusan yang dapat dibagi

menjadi 8 (delapan) model, salah satunya yakni pemungutan suara ulang (Putusan

Akhir). Salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi yang menarik untuk dikaji yakni

Putusan MK No. 82/PHPU.D-IX/2011 yang berisi perintah KPUD untuk

4 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, (Jakarta: Pustaka

LP3ES, 2006) hlm. 247. 5 Ari Pradanawati (Ed.), Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: KOMPIP,

2005), hlm. 13. 6 Moh. Jamin, “Menuju Pilkada Demokratis Suatu Catatan Pengantar”. Dokumentasi Pelaksanaan Pilkada Kota Surakarta 27 Juni 2005, (Surakarta: KPU Surakarta, 2005). 7 Mulyanto, “Money Politics dan Pengulangan Pemilukada dalam Perspektif Hukum Progresif”

Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama dengan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, Vol IV. No. 2, November (Jakarta: MKRI, 2011), hlm. 54. 8 Miftakhul Huda, “Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif”, Jurnal

Konstitusi, Vol. 8, No. 2, April (Jakarta: MKRI, 2010), ISSN 1829-7706, hlm. 119.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 8: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

44

menyelenggarakan Pemilukada Ulang Kabupaten Pati9 yang diajukan bakal calon

yang ”gagal” menjadi peserta Pemilukada Pati 2011.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian hukum doktrinal. Menurut Soetandyo

Wignjosoebroto10

penelitian hukum doctrinal adalah penelitian atas hukum yang

dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep

dan/atau sang pengembangnya. Penelitian doktrinal dibagi menjadi 3 (tiga), dalam

penelitian ini digunakan metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan

sebagai keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme hukum11

.

Penelitian ini menggunakan data sekunder terdiri bahan hukum primer (Putusan

MK No. 82/PHPU.D-IX/2011), bahan hukum sekunder berupa penelaahan hasil

literatur seperti buku, makalah, data internet yang berkaitan dengan materi

penelitian12

. Instrumen penelitian menggunakan studi pustaka (library research).

Analisis data secara kualitatif dengan theoritical interpretative.

PEMBAHASAN

1. Keadilan Substantif melalui Ektensifikasi Legal Standing Bakal Pasangan

Calon dalam Sengketa Pemilukada

Sengketa Pemilu maupun Pemilukada menjadi tren tersendiri sejak

bergulirnya reformasi. Sebagai catatan sengketa Pemilu hampir nihil terjadi

sebelum adanya reformasi. Pasca reformasi, sedang didesain lembaga Negara

mana yang paling tepat untuk menangani sengketa Pemilu dan Pemilukada.

Dalam ranah konstitusi sudah tegas menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi

yang berwenang menangani sengketa Pemilu (Pemilu Legislatif dan Pemilu

Presiden), sedangkan untuk sengketa Pemilukada telah terjadi pelimpahan

kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Wacana yang

9 “Pilkada Pati Diulang”, Suara Merdeka, 23 Agustus 2011. 10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:

Huma, 2002), hlm. 147. 11 Ibid. hlm. 157. 12 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 156.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 9: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

45

terakhir berkembang, pemerintah berkeinginan mengembalikan kewenangan

ke Mahkamah Agung13

.

Dalam realitanya sekarang, sengketa hasil Pemilukada menjadi

wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan

Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada UU No. 22

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang merubah

pengertian “pilkada” menjadi Pemilukada. Pemilukada ini dimaknai sebagai

bagian dari kegiatan Pemilihan Umum, sebagaimana diatur pada pasal 1

angka 4 UU No. 22 Tahun 2007, sebagai berikut: “Pemilu Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan

wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada

dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka berdasarkan UU No. 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, penanganan hasil Pemilukada dialihkan dari

Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Sepanjang tahun 201014

, Mahkamah Konstitusi lebih konsentrasi

untuk menangani sengketa Pemilukada, sehingga sampai dengan akhir tahun

itu tercatat 230 perkara perselihan hasil Pemilukada. Dari 230 itu tinggal 6

yang belum diputus, artinya 224 yang telah diputus sebanyak 26 dikabulkan

yang pengabulkanya itu bisa mengabulkan seluruhnya, atau sebagian. Pada

tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan Pemilukada, yang terdiri atas

6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah

13 Setelah beberapa tahun masalah sengketa pilkada ditangani oleh MK (Mahkamah Konstitusi)

maka pemerintah berkeinginan untuk di kembalikan ke MA (Mahkamah Agung). Dalam Pasal 31

dan Pasal 127 Rancangan Undang-Undang Pilkada yang diajukan pemerintah, di mana Pasal 31

Ayat (1) disebutkan, “Calon gubernur yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan dapat mengajukan keberatan

ke MA”. Selengkapnya baca “Mahkamah Agung akan kembali menangani Sengketa Pilkada”,

Kompas, 07 September 2012. 14 Moh. Mahfud MD, “Membangun Demokrasi Substantif, Meneguhkan Integritas Institusi”

Risalah Rekaman Konfrensi Pers Akhir Tahun 2010, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, 3 januari 2011).

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 10: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

46

tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi,

12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen

pemilukada disengketakan ke Mahkamah Konstitusi15

.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD bahwa

tingginya angka permohonan PHPU kepala daerah, juga dipengaruhi putusan

MK dalam perkara nomor 196-197-198/PHPU.DVIII/2010 berkaitan dengan

PHPU Kepala Daerah Kota Jayapura, yang telah memberikan legal standing

kepada "bakal pasangan calon". Akibatnya, bakal pasangan calon dapat

menjadi pemohon dalam perkara PHPU kepala daerah. Sepanjang tahun 2012

terdapat 13 permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi16

.

Pemilukada Kabupaten Pati digugat Bakal Pasangan Calon yakni H.

Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. yang menganggap Pemilukada

Kabupaten Pati tahun 2011 inkonstitusional. Padahal, secara normatif telah

diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala

Daerah yang menentukan bahwa para pihak berkepentingan perselisihan hasil

Pemilukada adalah Pasangan Calon sebagai Pemohon17

.

Apabila Mahkamah Konstitusi menggunakan logika berfikir hukum

dengan paradigm legalistik (legisme) niscaya gugatan Bakal Pasangan Calon

yakni H. Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. akan ditolak karena

tidak memenuhi anasir normatif PMK No. 15 Tahun 2008. Namun,

beruntungnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pendekatan hukum

progresif dalam menangani sengketa Pilkada Kabupaten Pati sehingga

permohonan Pemohon untuk seluruhnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Hukum dapat dipahami dalam berbagai perspektif, tidak hanya

secara parsial sebagai ketentuan normatif (tertulis), tapi secara komprehensif

hingga aspek realitas berhukum yang harus setia terhadap keadilan dan

15 “Jumlah Gugatan Sengketa Pemilukada di MK turun”, http://nasional.news.viva.co.id/news,

diakses tanggal 11 Januari 2012 16 Ibid. 17 Pasal 3 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 menentukan, “Para pihak yang mempunyai

kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah: (a) Pasangan Calon sebagai

Pemohon; dan (b) b. KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon”.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 11: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

47

kemanusiaan. Pada dasarnya, hukum progresif memiliki dua asumsi dasar.

Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Oleh

karena itu, tujuan hukum yang utama adalah membahagiakan manusia

sehingga hukum harus didasarkan pada hati nurani. Kedua, hukum

merupakan institusi yang terus berproses. Hukum bukan hanya berupa bunyi

pasal-pasal yang final, melainkan harus diadaptasikan dengan konteks sosial

yang dinamis. Paradigma hukum progresif tentu tidak boleh dimaknai secara

dangkal. Mahkamah Konstitusi tidak akan mengubah negara hukum

(rechtsstaat) menjadi negara hakim (rechterstaat)18

.

Dengan menggunakan cara berhukum progresif yang mengutamakan

keadilan substantif daripada keadilan prosedural yang diterapkan Mahkamah

Konstitusi, maka Bakal Pasangan Calon yakni H. Imam Suroso, MM dan

Sujoko, S.Pd., M.Pd. dianggap memiliki kedudukan hukum (legal standing)

pemohon perselisihan hasil Pemilukada. Meskipun, berdasarkan Pasal 3 ayat

(1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan

Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, pemohon adalah pasangan calon

dalam Pemilukada. Namun, peraturan tersebut dimaknai secara progresif

dengan mengutamakan keadilan diatas peraturan. Selain itu, merujuk pada

Putusan Mahkamah Nomor 196-197-198/PHPU.DVIII/2010, bertanggal 25

November 2010 memberikan pula kedudukan hukum (legalstanding) kepada

bakal pasangan calon tertentu dalam Pemilukada. Artinya dari putusan

tersebut dapat menjadi yurisprudensi.

Berdasarkan rekapitulasi hasil perolehan suara Pemilukada

Kabupaten Pati tahun 201119

, perolehan suara untuk masing-masing Pasangan

Calon sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Rekapitulasi Suara Kab. Pati 2011

Nomor Pasangan calon Suara

18 Janedjri M Gaffar, “MK dan Hukum Progresif”, Harian Seputar Indonesia, 15 Mei 2012. 19 Vide Keputusan KPU Kabupaten Pati Nomor: 47 Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil

Penghitungan Perolehan Suara tiap-tiap Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun

2011.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 12: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

48

Urut Kepala daerah dan wakil kepala daerah

1 H.M SLAMET WARSITO, BE, ST, MT

dan

DR. Hj. SRI MULYANI, Dra, MM

118.059

2 H. Sunarwi, SE, MM

Dan Tedjo Pramono

159.268

3 Ir. H. Sri Merditomo, MM

Dan H. Karsidi, SH

118.625

4 Sri Susahid, SH, MH

Dan Hasan, SH, MM

5.165

5 H. Haryanto, SH, MM

Dan HM. Budiyono

204.606

6 Hj. Kartina Sukawati, SE, MM

Dan H. Supeno

114.635

Jumlah seluruh suara sah 720.387

Artinya H. Imam Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd (pemohon)

tidak memiliki suara pun, karena belum termasuk pasangan calon. Namun,

setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui

Putusan Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 membatalkan hasil Pemilukada

Kabupaten Pati, dengan Amar Putusan sebagai berikut:

a. Membatalkan: (1) Keputusan KPU Kab. Pati No. 40 Tahun 2011 tentang

Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilukada Tahun

2011, tertanggal 5 Juni 2011 berdasarkan Berita Acara KPU Kab. Pati

Nomor 37/BA/KPU/VI/2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati

dan Wakil Bupati yang Memenuhi Syarat Untuk Mengikuti Pemilukada

Tahun 2011, tertanggal 4 Juni 2011; (2) Berita Acara Rekapitulasi Hasil

Penghitungan Suara Pemilukada oleh KPU Kab. No. 45/BA/KPU/

VII/2011, tertanggal 26 Juli 2011; (3) Keputusan KPU Kab. Pati No. 47

Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tiap-

Tiap Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Peserta Pemilukada tertanggal 26

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 13: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

49

Juli 2011; dan (4) Keputusan KPU Kab. Pati No. 48 Tahun 2011 tentang

Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Peserta Pemilukada

Kab. Pati Tahun 2011 Putaran Kedua, tertanggal 27 Juli 2011;

b. Mendiskualifikasi Pasangan Calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan

Tejo Pramono dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011;

c. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati untuk melakukan verifikasi

persyaratan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pati

Tahun 2011 atas nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M. Pd.

untuk menggantikan pasangan calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan

Tejo Pramono sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati menetapkan kembali pasangan

calon dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011;

e. Memerintahkan kepada KPU Kab. Pati untuk melakukan pemungutan

suara ulang dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011;

2. Supremasi Keadilan Substantif melalui Pemilukada Ulang

Salah satu bunyi Amar Putusan Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang

membatalkan hasil Pemilukada Kabupaten Pati, yakni “Memerintahkan

kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pati untuk melakukan

pemungutan suara ulang dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011”. Artinya Pemilukada ulang

menjadi wajib dilakukan oleh KPUD Kabupaten Pati untuk menjalankan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Ide dasar

yang melatarbelakangi dari pelaksanaan pengulangan Pemilukada Pati adalah

kesalahan dari Sunarwi yang menganulir pasangan Imam Suroso untuk maju

dalam pencalonan Pemilukada Pati melalui PDI Perjuangan20

.

Untuk menganalisis putusan Pemilukada ulang di Kabupaten Pati,

maka perlu melihat secara rinci perkembangan kewenangan Mahkamah

20 Masmuah dan Sukresno, “Akibat Hukum Pengulangan Pemilukada Pati Berdasarkan Keputusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 82/Phpu.D-Ix/2011”, Penelitian, (Kudus: Fakultas hukum

Universitas muria kudus, 2012), hlm. V.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 14: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

50

Konstitusi dalam menangani sengketa Pemilukada. Mahkamah Konstitusi

dalam menangani sengketa Pemilukada telah memaknai hukum melalui

putusan-putusannya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya

keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku secara harfiah dalam

memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 4

PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah Konstitusi

mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara

sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU

12/200821

dan Pasal 4 PMK 15/200822

.

Dalam mengemban misinya, Mahkamah Konstitusi sebagai

pengawal konstitusi selalu mengutamakan keadilan. Oleh karena itu, dalam

menangani sengketa Pemilukada tidak terbatas hanya menghitung perolehan

suara secara matematis. Sebab jika, dilarang memasuki proses peradilan

dengan fakta hukum yang jelas terbukti menciderai HAM, maka dapat

melanggar prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil sebagai prinsip Pemilukada.

Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur

formal dalam peraturan hukum yang berlaku. Moh Mahfud MD, selaku Ketua

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menegakkan nilai-nilai keadilan

lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal

perundang-undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum.

Tekad Mahkamah Konstitusi “mengawal demokrasi dan menegakkan

keadilan substantif”. Beberapa terobosan hukum yang dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi yang lebih mengutamakan keadilan substantif

dibanding keadilan formal-prosedural23

.

21

Bunyi selengkapnya, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan

dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon” 22

Bunyi selengkapnya, “Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang

ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi: a.penentuan Pasangan Calon yang dapat

mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah

dan wakil kepala daerah”.

23 Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan” Jurnal Hukum

No. 2 Vol. 17 April (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010), hlm. 222.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 15: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

51

Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak

hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich,

melainkan meneliti secara mendalam pelanggaran yang bersifat terstruktur,

sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Hal

ini sangat sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Mahkamah memutus

sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal

45 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus

perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.

Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi terbukti telah

memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan,

sengketa Pemilu atau Pemilukada. Dalam praktik yang sudah menjadi

yurisprudensi dan diterima sebagai solusi itu, Mahkamah dapat menilai

pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif sebagai

penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat

memengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan Pemilukada24

.

Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah Konstitusi yakni

ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa

Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan

sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah sebagai

lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan

umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara,

melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga

terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada.

Dalam menilai proses terhadap hasil Pemilukada tersebut Mahkamah

Konstitusi membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori25

.

Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat

24 Vide Putusan Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008 25

Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 hlm 144-145

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 16: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

52

ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran

dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau

Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS,

dugaan pidana Pemilu dapat membatalkan hasil Pemilukada sepanjang

berpengaruh secara signifikan. Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan

menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur dapat dijadikan dasar

untuk membatalkan Pemilukada karena tidak memenuhi syarat sejak awal.

Pemilukada ulang di Kabupaten Pati melalui Putusan No.

82/PHPU.D-IX/2011 sebenarnya bukanlah hal yang baru. Jika menilik

sejarah telah ada daerah lain yang lebih dahulu harus mengulang Pemilukada.

Padahal, secara normatif yuridis, dasar hukum pengulangan Pemilukada amat

limitatif. Sejarah baru pertama kali pengulangan Pemilukada terjadi pada

putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pilkada Jawa

Timur26

. Mahkamah Konstitusi dengan mengutamakan keadilan substantif

daripada keadilan prosedural berani mencoba keluar dari belenggu undang-

undang untuk mengantarkan pada keadilan.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, tidak ada Pemilukada yang bisa

diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula, tidak ada

kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara

ulang maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD

dan Bawaslu. Namun, pada Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah

Konstitusi berani menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-

undang. Hakim harus bisa menjadi penemu hukum. Sehingga tepatlah apa

yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch : “Summum ius summa inuiria”,

bahwa keadilan teringgi itu adalah hati nurani. Orang yang terlalu mematuhi

hukum secara apa adanya seringkali justru akan merugikan keadilan27

.

Putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang ini menjadi

suatu kontroversi, karena Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara ini

telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal

26 Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008. 27 Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan Hukum di

Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), hlm. 25.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 17: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

53

4 PMK Nomor.15 tahun 2008. Namun, dalam pertimbangan hukumnya

Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran yang luas dalam mengadili

sengketa pemilukada.Artinya, Mahkamah Konstitusi tidak membiarkan

aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan

mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)28

.

Pada Pemilukada ulang di Kabupaten Pati melalui Putusan

No.82/PHPU.D-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menegakkan salah satu

prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa

“tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran

yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh

penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo

commodum capere potest de injuria sua propria)29

.

Dalam kasus Pemilukada Pati, Bakal Pasangan Calon yakni H. Imam

Suroso, MM dan Sujoko, S.Pd., M.Pd. selaku pemohon mengajukan

keberatan atas “rekayasa” KPU Kabupaten Pati dalam menetapkan Peserta

Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011. Pemohon menggugat Keputusan KPU

Kabupaten Pati No. 47 Tahun 2011 tentang Penetapan Hasil Penghitungan

Perolehan Suara Tiap-Tiap Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2011,

dengan alasan Termohon menerima penggantian Pasangan Calon dan

mengizinkan pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati

Kabupaten Pati atas nama Sunarwi dan Tedjo Pramono yang ditetapkan

dalam Keputusan Termohon Nomor 40 Tahun 2011, tertanggal 4 Juni 2011

tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilukada

Kab. Pati Tahun 2011 yang didaftarkan oleh DPC PDIP Kabupaten Pati30

.

Padahal, DPP PDIP telah merekomendasikan Bakal Pasangan Calon

Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pati Tahun 2011 atas nama Imam Suroso

dan Sujoko (Pemohon) dengan Nomor 1011/IN/DPP/V/2011. Atas

rekomendasi DPP PDIP tersebut, Pemohon didaftarkan oleh Ketua dan

Sekretaris DPC PDIP (Sunarwi S.E., MM dan Irianto Budi Utomo S.H),

28 Miftakhul Huda, Op.cit. hlm. 119. 29 Ibid. 30

Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011, hlm. 148.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 18: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

54

tanggal 5 Mei 2011 di kantor Termohon. Pemohon akan melengkapi

kekurangan syarat-syarat pendaftaran yang diminta sebelum menerbitkan

Surat Termohon Nomor 271/333 perihal Hasil Verifikasi Syarat Pencalonan

dan Syarat Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati, tertanggal 12 Mei 2011.

Hal tersebut benar berdasarkan bukti-bukti surat/tertulis dan 5 orang saksi31

.

Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi, karena pencalonan

Pihak Terkait (Sunarwi dan Tedjo Pramono) tidak sesuai dengan ketentuan

yang diatur dalam peraturan PDIP, maka menurut Mahkamah pencalonan

Pihak Terkait menjadi tidak sah, sehingga harus didiskualifikasi sebagai

Pasangan Calon Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011. Konsekuensi logisnya,

Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada KPU Kabupaten Pati untuk

melakukan verifikasi persyaratan bakal pasangan calon atas nama Imam

Suroso dan Sujoko (Pemohon) dan apabila setelah dilakukan verifikasi

ternyata memenuhi syarat sebagai pasangan calon, maka pasangan tersebut

harus diikutsertakan dalam Pemilukada Kab. Pati Tahun 2011.

Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon terbukti menurut hukum

sehingga pelaksanaan Pemilukada Pati 2011 dinilai inkonstitusional.

Implikasinya, demi Pemilukada Pati yang konstitusional, perlu Pemilukada

Ulang32

. Jadi, tidak satu pun Pasangan Calon Pemilukada yang boleh

diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi

dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan Pemilukada. Berarti Supremasi

keadilan substantif ditegakan melalui Pemilukada Ulang Kabupaten Pati.

KESIMPULAN

Putusan MK Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang membatalkan (1)

Keputusan KPU Kab. Pati No. 40 Tahun 2011; Berita Acara Rekapitulasi Hasil

Penghitungan Suara No. 45/BA/KPU/VII/2011; Keputusan Keputusan KPU Kab.

Pati No. 47 Tahun 2011; dan Keputusan KPU Kab. Pati No. 48 Tahun 2011; (2)

Mendiskualifikasi Pasangan Calon atas nama H. Sunarwi, SE., MM. dan Tejo

Pramono dalam Pemilukada Kabupaten Pati Tahun 2011 dengan diganti oleh

31 Ibid. hlm. 149. 32

Ibid, hlm. 162.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 19: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

55

bakal pasangan calon atas nama, H. Imam Suroso, MM. dan Sujoko, S.Pd., M.

Pd.; dan (3) Memerintahkan KPU Kab. Pati untuk melakukan pemungutan suara

ulang dalam Pemilukada Kabupaten Pati Tahun 2011 patut diapresiasi. Melalui

putusan tersebut telah menegaskan supremasi keadilan substantif daripada

keadilan procedural dengan ekstensifikasi legal standing bakal pasangan calon

guna menegakan Pemilukada yang konstitusional.

SARAN

Mengingat lemahnya regulasi Pemilukada dengan berbagai hambatan riil

di lapangan, maka dibutuhkan keberanian penegak hukum yang arif dan kreatif

untuk “memandu” penafsiran hukum dengan mengedepankan keadilan substantif

dengan cara berhukum progresif. Hakim harus berani berusaha mencari dan

menemukan keadilan dalam batas dan ditengah keterbatasan kaidah-kaidah

hukum yang ada (keadilan prosedural) yang tak jarang berbenturan dengan rasa

keadilan masyarakat. Khusus bagi KPU Kabupaten Pati hendaknya lebih

profesional dan fair dalam penyelenggaraan Pemilukada guna memperkuat

demokrasi lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Pradanawati (Ed.), 2005. Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal,

Surakarta: KOMPIP.

Bambang Sutiyoso, 2010. “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam

Peradilan” Jurnal Hukum No. 2 Vol. 17 April 2010, Yogyakarta: Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia.

Http://nasional.news.viva.co.id/news, “Jumlah Gugatan Sengketa Pemilukada di

MK turun”, diakses tanggal 11 Januari 2012

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

…………, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

…………, Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan,

Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah.

…………, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala

Daerah

Janedjri M Gaffar, “MK dan Hukum Progresif”, Harian Seputar Indonesia, 15

Mei 2012.

Jeremies Lemek, 2007. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap

Penegakkan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013

Page 20: layanan.hukum.uns.ac.id file... · 1 Sutapa Mulja Widada, “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret kerjasama

56

Kompas, “Mahkamah Agung akan kembali menangani Sengketa Pilkada”, 07

September 2012.

Masmuah dan Sukresno, 2012. “Akibat Hukum Pengulangan Pemilukada Pati

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-

IX/2011”, Penelitian, Kudus: Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus

Miftakhul Huda, 2010 “Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan

Substantif”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 2, April 2010, ISSN 1829-770,

Jakarta: MKRI.

Moh. Jamin, 2005. “Menuju Pilkada Demokratis Suatu Catatan Pengantar”.

Dokumentasi Pelaksanaan Pilkada Kota Surakarta 27 Juni 2005,

Surakarta: KPU Surakarta.

Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi,

Jakarta: Pustaka LP3ES.

……..…, 2011. “Membangun Demokrasi Substantif, Meneguhkan Integritas

Institusi” Risalah Rekaman Konfrensi Pers Akhir Tahun 2010, Jakarta:

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, 2010. Dualisme Penelitian

Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyanto, 2007, “Perkembangan Pemilihan Umum sebagai Implementasi

Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia sejak Era Demokrasi Parlementer

sampai Era reformasi”, Tesis, Yogyakarta: Program Magister Hukum

Kenegaraan Universitas Gadjah Mada.

……….., 2011. “Money Politics dan Pengulangan Pemilukada dalam Perspektif

Hukum Progresif” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas

Maret kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol

IV. No. 2, November 2011, Jakarta: MKRI.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PHPU.D-IX/2011.

Soetandyo Wignjosoebroto, 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, Jakarta: Huma.

Suara Merdeka, “Pilkada Pati Diulang” , 23 Agustus 2011.

Sutapa Mulja Widada, 2012. “Fenomena Golput dalam Demokratisasi Pemilu di

Indonesia” Jurnal Konstitusi P3KHAM LPPM Universitas Sebelas Maret

kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol 1. No.

1, November 2012, Jakarta: MKRI.

JURNAL KONSTITUSI Vol. II, No. 1, September 2013