firla andina
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul: “WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT MULTIKULTURAL”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia di kenal sebagai masyarakat multikulturalisme. Istilah multikulturalisme
sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan
cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan.
Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan
kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang
mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar
pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya
memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi
keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai
kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi
kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep
keadilan sosial. Dengan demikian perlu di pahami lebih mendalam bahwa wawasan kebangsaan
bisa menjadi pedoman dalam masyarakat multikulturalisme.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian multikulturalisme?
2. Bagaimana multikulturalisme menurut Al Qur’an?
3. Apa yang di maksud multikulturalisme menurut para tokoh?
4. Bagaimana perjalanan masuknya multikulturalisme ke Indonesia?
5. Bagaimana konsep multikulturalisme di Indonesia?
6. Masalah apa saja yang timbul saat adanya multikulturalisme?
7. Upaya apa saja yang dihadapi di dalam menyikapi sebuah multikulturalisme?
8. Bagaimana mengenal kebudayaaan Yogyakarta?
9. Apa perbedaan kebudayaan Jepang dengan kebudayaan yang ada di Indonesia?
10. Bagaimana peranan norma dan hukum di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulis
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada
pembaca mengenai pengertian multikulturalisme, multikulturalisme menurut islam,
multikulturalisme menurut para tokoh, perjalanan masuknya multikulturalisme ke Indonesia,
konsep multikulturalisme, mengenal kebudayaan Yogyakarta, perbedaan kebudayaan Jepang
dengan kebudayaan di Indonesia dan peranan norma dan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang
menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk
menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,
adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika
manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,
pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian
ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang
dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan
agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari
negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008).
Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep
kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional.
Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural.
Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap
kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi
secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To
Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah
bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks
dan tidak monokultur lagi.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara
individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai
penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan
memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan
serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini
harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan
keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan
Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi
terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan
demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai
dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar
kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah
multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa
atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung
ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral,
dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam
pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman
kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan
multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar
negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang
tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi
norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme
menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat
digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing
homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau
lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta
sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-
speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi
oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di
antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan
Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan
kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa
negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar
peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi,
tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik
tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam
komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa
Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-
an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep
Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi
sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan
mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia
sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin
meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat
tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah
negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban
dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain
mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung
diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang
bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan
politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah
perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah
pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi
perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini
jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar
budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan
Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan
“multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh.
2.1.1 Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui
para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu
mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya,
memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan
rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai
berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. “Tidak
berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka
sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada
orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan
bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya
berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka
mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest
nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang
kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda
untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan
dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan.
Al Qur’an menyebutkan :
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan
yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan
berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan
dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan
universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di
dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari
dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus
mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah
konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan
dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk
melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di
massa lampau.
2.1.2 Multikulturalisme menurut Para Tokoh
1)Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di
Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam
mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa
bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam
mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi
budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya
(Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu,
akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan
bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi
liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di
negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya
dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep
multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada
keanekaragaman budaya yang sejati.
2.1.3 Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia
terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan
persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan
multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang
memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang
mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli
atau tidak asli.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan
demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu.
Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun
dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN,
terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat
Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan
Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan
kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan
kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme
ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum
dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup
semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut.
Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang
terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa
(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di
dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki
bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di
seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang
majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya.
Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang
lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah
yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik
menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan
Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak
kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit
tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik
di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata
karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang
sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh
dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan
yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan
paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan
konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang
mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara
eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa
kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh.
Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan
moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan
untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku,
agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran
akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina
persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi
cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap
dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain
dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme,
perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan
“tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah
multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus
jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila,
yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang
multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka.
Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-
politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis
antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik,
agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan
itu.
2.1.4 Konsep Multikulturalisme di Indonesia
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk
mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan
dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi
ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai
permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan
penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya
sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-
ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya
dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan
mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi
yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan
sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di
dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan
antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai
manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang
ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan
pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan
manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya
dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang
dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika
(ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang
memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika
dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika
itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul
digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan
umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber
daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam
masyarakat. Bangsa Indonesia kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
berkualitas. Akan tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa
yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat korupsinya
paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika
dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-
proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.
Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam
pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi
sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia
adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka
Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada
tingkat lokal dan nasional.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat
multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau
pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi
dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan
dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta
pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan.
Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi
keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat
nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman
etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai
interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya
pemberantasan KKN secara hukum.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional
juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah,
dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam
kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau
menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui
revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama
(kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak
bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga
integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.
Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang
multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset
nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku
bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya
upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan
merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur
Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.
Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan
menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan
(mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak
dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan
mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.
Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood
atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang
pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan
ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk
memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan
ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan
ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat
daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan
akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu
untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama
yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan
agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku
dan kegiatan masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan, saling melengkapi dan
saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat yang multikultural
yang terdapat di Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai
aset negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah
menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat
multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya.
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang
baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan
pendayagunaan yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri
bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa,
memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, misi utamanya adalah
mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta
menjadikannya suatu sinergi nasional.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya
untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran
leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan
untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan
warga negara Indonesia.
Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga
membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan
kebersamaan dan saling bekerjasama.
2.1.5 Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat
terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang
berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya
konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara. Konflik sosial dalam
masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya
bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam
masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan
anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam
masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,
Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan
berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera
diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak
hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah
fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu
dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten.
Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar
yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan
doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak
lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan
etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu
terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang
diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok
masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik
peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat
setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan
agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai
menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik,
apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon,
Poso, Aceh dan lainnya.
2.1.6 Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang
dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme.
Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana
sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-
ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga
budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan
memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat
diperlukan demi terciptanya persatuan.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu
problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural
mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan
kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka
yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat
mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan
merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan
komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang
memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu
berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu
memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka
Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya
dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan
bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural,
hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada
kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus
praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui
sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi
(legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi
ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan
kehidupan kolektif tetap terjaga.
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk
mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan.
Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah
keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;
memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan
struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu
bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan
mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan
menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu
menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat
dihindari.
2.2Kebudayaan Yogyakarta
1. Grebeg Syawal 1941 Jimawal
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa:
Sawal), Kamis (02/10/2008), dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun
1941 Jimawal. Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan
gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap tahun ini
merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.
2. Nyadran Makam Sewu
Nyadran merupakan tradisi melakukan ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan
Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap
tahunnya digelar tradisi Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan
setelah tanggal 20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati
Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.
3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo
Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu
(03/08/2008). Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem
(penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan
Jawa. Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut dan kuku
sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut selatan.
4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro
Grebeg Selarong sebuah tradisi budaya digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di
Desa Guwosari, Pajangan, Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk
keempat kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati pelataran
goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan secara sederhana. Tanpa
prosesi kirab, hanya membawa sebuah gunungan berukuran kecil berhias hasil.
2.3 Perbandingan Kebudayaan Jepang dengan Indonesia
Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap
komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu.
Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan
antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua
budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan
bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang
berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang
disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan
hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya
sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga
nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik,
memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang
mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara
nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.
2.3.1 Tradisi penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus
dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi
dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi
pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya
umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama
keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang
wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun
demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di
Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke,
diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
2.3.2 Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga.
Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku
mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki)
atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko,
Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata.
Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan
nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh
agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik
biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dan sebagainya.
2.3.3 Perbandingan kedua tradisi
a.) Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang
mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di
Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.
b.) Perbedaan antara kedua tradisi sebagai berikut :
1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di
2. Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan
2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama
keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama
keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri.
Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah
(sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan
resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak.
4. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk
mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam
mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dan sebagainya.
a.) Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya
saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua
jenis ojigi : ritsurei dan zarei . Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat
melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan,
sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi
yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei,
keirei, eshaku . Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas
perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan
sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat.
Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa
maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan,
ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat
mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
b.) Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan
keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan
merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada
kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun
berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang
diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari
batin.
c.) Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada
orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya.
Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab.
Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria
terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik
Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada
pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
d.) Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau
sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini
tidak ditemukan di Jepang.
e.) Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain.
Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid
kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan,
atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang
tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan
rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang
maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya
Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan
bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan
sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan
ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
2.4 Norma Sosial dan Norma Hukum
Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola tindakan,
yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap tindak di dalam
kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam pergaulan hidup bersama. Norma-
norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai milik bersama.
Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan norma-norma tersebut
sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam kedudukannya di masyarakat. Selain itu
apabila dilihat dari sudut daya paksa atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat
perbedaan-perbedaan pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau
dikatakan sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang
dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma hukum.
1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah
atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup
manusia yaitu:
a.) aspek hidup pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau
kehidupan beriman.
Ø Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada
kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).
b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan
hidup bersama.
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup
bersama.
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan diagungkan oleh
warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan tatanan sosial terwujud
berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum perundang-undangan tidak dapat mengatur
semua segi kehidupan manusia. Sehingga kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman
hidup yaitu norma-norma sosial lainnya.
2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang
ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman yang mengatur bagaimana manusia dapat
berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku
pantas tersebut adalah dalam ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan.
Mengingat setiap manusia tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan
manusian lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur oleh
suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut dengan kaidah atau
norma.
Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan berkaitan dengan
manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan
berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap
hari adalah hasil dari proses belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya.
Pola hidup dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu
muncul karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut, apabila terjadi
pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial, misalnya dikucilkan,
dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi
maka norma sosial tersebut menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma
sosial adalah hukum apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur
ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh seseorang atau suatu
kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986:
5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat
menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk
menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.
Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang berkaitan dengan
pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai
kedudukan yang penting dalam pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma
sosial lainnya atau norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha
mewujudkan kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.
3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup
yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin membuat
suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan
demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang
memuaskan. (apeldoorn, 1982: 13). Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian
hukum antaralain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana
pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adala sebagai berikut:
1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
2.) Hukum sebagai disiplin,
3.) Hukum sebagai kaidah,
4.) Hukum sebagai tata hukum,
5.) Hukum sebagai petugas (hukum),
6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,
7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)
Sebagai bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari
kebudayaan tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi ius).
Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau masyarakat primitif atau
yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang
menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk
menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,
adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika
manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah,
pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme juga berkaitan dengan kebudayaan misalkan kebudayaan yang ada di
Yogyakarta ada Grebeg Syawal 1941 Jimawal, Nyadran Makam Sewu dan lain-lain. Selain itu
juga berkaitan dengan tradisi di Jepang dengan di ndonesia serta norma sosial dan norma hukum
yang ada di Indonesia.
3.2 Saran
Wawasan nusantara yang berpedoman sebagai masyarakat yang multikulturalisme seharusnnya
menjadi motivasi bagi masyarakat khususnya masyarakat Indonesia.Kita sebagai masyarakat
Indonesia harus melaksanakan bukan malah meninggalkan tradisi serta aturan dan hukum yang
berlaku di Indonesia. Dan seharusnya kita bangga terhadap bangsa kita dengan adanya tradisi di
setiap daerah masing-masing. Oleh karena itu pertahankanlah tradisi-tradisi yang masih ada di
daerah kita.