gambaran darah merah domba yang … · taekwondo ipb dan organisasi himpro ruminansia fkh ipb,...
TRANSCRIPT
GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG
DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hCG
HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN
YUDI GUNAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul
Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi Sebelum Kawin dan
Disuntik hCG Hari ke-6 Setelah Kawin pada Awal Kebuntingan adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing skripsi dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 27 September 2012
Yudi Gunawan
B04080026
ABSTRACT
YUDI GUNAWAN. Red Blood Cells Profiles of Superovulated Ewes prior to
Mating and hCG Injected Ewes on the 6th
Day after Mating during Early
Pregnancy. Under direction of ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.
PMSG and hCG are hormones that are often used for superovulation.
Superovulated ewes have different conditions from ewes without superovulation.
This research was designed to study red blood cells count, hematocrit values, and
hemoglobin levels of the superovulated sheep. Twenty one ewes weighing between
15 up to 25 kg were divided into 4 groups. The first group was control without
superovulation and without hCG injection. The second group was superovulated
before mating. The third group was given hCG on the 6th
day after mating, and
the fourth group was superovulated before mating and injected with hCG on the
6th
day after mating. Blood samples were drawn from the jugular vein every 3
days during the early pregnancy. The result showed that superovulation prior to
mating and hCG injection after mating did not affect red blood cells count,
hematocit, and hemoglobin concentrations.
Keywords: superovulation, PMSG, hCG, red blood cells counts, hematocrit,
hemoglobin, ewes.
ABSTRAK
YUDI GUNAWAN. Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi
Sebelum Kawin dan Disuntik hCG Hari ke-6 Setelah Kawin pada Awal
Kebuntingan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN MANALU.
Superovulasi sering dilakukan menggunakan sediaan PMSG dan hCG.
Domba yang disuperovulasi memiliki kondisi yang berbeda dengan domba tanpa
superovulasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh superovulasi
sebelum kawin dan penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin terhadap jumlah sel
darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba pada awal
kebuntingan. Sebanyak 21 ekor domba dengan bobot 15-25 kg dibagi menjadi 4
kelompok perlakuan. Kelompok pertama, tidak disuperovulasi dan tidak disuntik
hCG. Kelompok kedua, disuperovulasi sebelum kawin. Kelompok ketiga hanya
disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin. Kelompok keempat, disuperovulasi
sebelum kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin. Pengambilan sampel
darah dilakukan di vena jugularis setiap 3 hari pada awal kebuntingan. Hasil
penelitian ini menunjukkan superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hCG
hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah, nilai
hematokrit, dan kadar hemoglobin.
Kata kunci: superovulasi, PMSG, hCG, jumlah sel darah merah, nilai hematokrit,
kadar hemoglobin, domba.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya
GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG
DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hCG
HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN
YUDI GUNAWAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi
sebelum Kawin dan Disuntik hCG Hari ke-6 setelah
Kawin pada Awal Kebuntingan.
Nama Mahasiswa : Yudi Gunawan
NRP : B04080026
Program Studi : Kedokteran Hewan
Disetujui,
Tanggal lulus:
Pembimbing I
drh. Andriyanto, M.Si
NIP. 19820104 2006040 1 006
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu
NIP. 19571220 198312 1 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
drh. H. Agus Setiyono M.S., Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Gambaran
Darah Merah Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Disuntik
hCG Hari ke-6 setelah Kawin pada Awal Kebuntingan” dilaksanakan di Desa
Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Fisiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Mei sampai Juli
2011.
Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada:
1. Kedua orang tua dan keluarga tercinta atas restu, doa, dan motivasinya
2. drh. Andriyanto, M. Si selaku dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan bimbingan, masukan, dan saran.
3. Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu selaku dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan arahan, kritik, dan saran
4. Dr. drh. Fadjar Satrija MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan
5. Rekan satu bimbingan: Leo S. Soinbala, M. Miftarurohman, Aulia J.
Maharani, Mitha Tumiati, Andi N. Marijuana, Rika S., Vivien K. Wardhani,
serta sahabat-sahabat di Fakultas Kedokteran Hewan khususnya Angkatan 45
(2008) atas motivasi dan sumbangsih tenaga maupun pikiran yang diberikan
selama penelitian ini.
6. Rekan seperjuangan: KMS. Ferri Rahman, A. Fadhli, Arif K. W., Eduwin E.
F., dan Rofindra R., serta saudara-saudara OMDA IKAMUSI lainnya atas
motivasi dan doanya
7. Semua pihak yang telah membantu penelitian dan pembuatan skripsi ini
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan
kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, 27 September 2012
Yudi Gunawan
RIWAYAT PENULIS
Yudi Gunawan. Lahir di Lahat, 7 Januari 1990 dari bapak Kurnawi dan
mamak Siti Aisyah, sebagai putra keenam dari tujuh bersaudara. Penulis
menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Santo Yosef, Lahat dan pada tahun
yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Kedokteran Hewan, Faklutas Kedokteran Hewan. Selama
mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi
pengurus OMDA IKAMUSI Sumatera Selatan, menjadi anggota UKM
Taekwondo IPB dan organisasi Himpro Ruminansia FKH IPB, serta beberapa
kegiatan bermanfaat lainnya.
Pada tahun 2010 mengikuti kegiatan PKM Penelitian yang lolos seleksi
dan mendapat pendanaan DIKTI dengan judul “Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya
sebagai Anthelmintik”. Pada tahun 2011 mengikuti lomba puisi Sepena Pujangga
tingkat nasional dan memperoleh juara II. Penulis mendapatkan beasiswa selama
pendidikan SMA yaitu beasiswa khusus Siswa Berprestasi SMA Santo Yosef,
beasiswa BUMN PT. Kereta Api, dan beasiswa Siswa Berprestasi Kabupaten
Lahat. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa selama 3 tahun berturut-turut di
bangku perkuliahan sejak tahun 2010 hingga 2012 yaitu beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) IPB, beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB,
dan beasiswa Gerakan Kakak Asuh (GKA) FKH IPB.
Penulis telah melakukan penelitian sebagai bahan dalam penyusunan
skripsi yang berjudul “Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi
sebelum Kawin dan Disuntik hCG Hari ke-6 setelah Kawin pada Awal
Kebuntingan”. Penyusunan Skripsi dilakukan dibawah bimbingan drh.
Andriyanto, MSi sebagai dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Wasmen
Manalu sebagai dosen pembimbing kedua.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..… vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. viii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………... ix
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………………... 1
1.2. Tujuan………………………………………………………… 2
1.3. Manfaat Penelitian……………………………………………. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Superovulasi…………………………………………………... 3
2.2. Hematologi Darah…………………………………………...... 5
2.3. Sel Darah Merah……………………………………………… 6
2.4. Hemoglobin…………………………………………………... 9
2.5. Hematokrit……………………………………………………. 10
2.6. Domba…………………………………………………. …….. 10
III. METODE
3.1. Waktu dan Tempat……………………………………………. 13
3.2. Alat dan Bahan……………………………………………….. 13
3.3. Tahap Persiapan………………………………………………. 13
3.3.1. Hewan Percobaan…………………………………………... 13
3.3.2. Aklimatisasi Domba………………………………………… 13
3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum………………………………. 14
3.4. Tahap Pelaksanaan……………………………………………. 14
3.4.1. Rancangan Percobaan………………………………………. 14
3.4.2. Superovulasi dan Penyuntikan hCG……………………….. 14
3.4.3. Pengambilan Sampel………………………………………... 15
3.4.4. Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit,
dan Kadar Hemoglobin……………………………………... 15
3.5. Variabel yang Diamati………………………………………… 16
3.6. Analisis Data…………………………………………………. 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sel Darah Merah……………………………………………... 17
4.2. Hematokrit…………………………………………………… 20
4.3. Hemoglobin………………………………………………….. 23
V. PENUTUP
5.1. Simpulan........………………………………………….......... 26
5.2. Saran........................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 27
LAMPIRAN……………………………………………………………... 31
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Parameter hematologi domba normal………………..…….......... 6
Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/ mm
3) domba yang disuperovulasi
sebelum kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin, pada
awal kebuntingan......................................................................... 17
Tabel 3 Nilai hematokrit (%) domba yang disuperovulasi sebelum
kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin, pada awal
kebuntingan................................................................................. 21
Tabel 4 Kadar hemoglobin (g%) domba yang disuperovulasi sebelum
kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin, pada awal
kebuntingan.................................................................................. 24
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Struktur membran eritrosit…………………………………..... 7
Gambar 2 Domba ekor tipis…………………………………………….. 11
Gambar 3 Domba ekor gemuk………………………………………….. 11
Gambar 4 Domba Priangan……………………………………………... 12
Gambar 5 Grafik jumlah sel darah merah induk domba kontrol (),
disuperovulasi sebelum kawin (■), disuntik hCG hari ke-6
setelah kawin (▲), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik
hCG hari ke-6 setelah kawin (●), pada awal
kebuntingan….…………………………………........................ 18
Gambar 6 Grafik nilai hematokrit induk domba kontrol (),
disuperovulasi sebelum kawin (■), disuntik hCG hari ke-6
setelah kawin (▲), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik
hCG hari ke-6 setelah kawin (●), pada awal
kebuntingan….…………………………………........................ 22
Gambar 7 Grafik kadar hemoglobin induk domba kontrol (),
disuperovulasi sebelum kawin (■), disuntik hCG hari ke-6
setelah kawin (▲), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik
hCG hari ke-6 setelah kawin (●), pada awal
kebuntingan….…………………………………........................ 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara tropis dengan nilai sumber daya alam tinggi.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia berbanding lurus dengan peningkatan
kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki. Kondisi ini merupakan kondisi
alamiah yang menunjukkan ketergantungan manusia pada ketersediaan alam
untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu kebutuhan manusia yang sangat
bergantung pada alam dalam pemenuhannya adalah kebutuhan pangan.
Kualitas sumber daya manusia secara tidak langsung dipengaruhi oleh
pangan, dalam hal ini kualitas pangan yang dikonsumsi. Manusia untuk mampu
menjadi makhluk yang produktif dalam bidang sosial, pendidikan, maupun
ekonomi sehingga menghasilkan kehidupan yang berkualitas membutuhkan
kondisi tubuh yang sehat. Kesehatan tubuh sangat ditentukan oleh pangan yang
dikonsumsi. Protein hewani adalah jenis pangan yang dipercaya meningkatkan
kinerja fisiologis tubuh hingga mencapai optimal.
Sumber protein hewani yang cukup banyak dihasilkan di Indonesia
terutama berasal dari ternak ruminansia. Budidaya domba dan kambing sebagai
ternak ruminan banyak dilakukan oleh masyarakat baik sebagai mata pencaharian
utama maupun sebagai penghasilan tambahan. Permintaan daging ternak
ruminansia dalam negeri selalu meningkat setiap tahunnya, namun peningkatan
permintaan ini belum seimbang dengan peningkatan populasi ternak yang
cenderung lebih lambat. Produksi daging kambing dan domba baru memenuhi
40% kebutuhan dalam negeri, dilain pihak Pemerintah Saudi Arabia
membutuhkan pasokan kambing dan domba 1 juta ekor per tahun (Direktorat
Jenderal Budidaya Peternakan 2002).
Peluang ini mendorong terciptanya berbagai teknologi reproduksi yang
mampu memanipulasi sistem reproduksi ternak sehingga mampu menaikkan
potensi ternak untuk menghasilkan anakan lebih dari satu. Potensi tersebut
mengalami kendala karena ternyata tingkat kematian anak cenderung lebih tinggi
pada jumlah kelahiran lebih dari satu ekor (Sutama et al. 1995). Teknologi
reproduksi yang sedang berkembang dalam beberapa dekade terakhir, salah
satunya adalah superovulasi. Superovulasi mampu meningkatkan jumlah korpus
luteum yang dihasilkan dan meningkatkan jumlah folikel yang berkembang
hingga mengalami ovulasi yang dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare
serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (Dziuk 1992; Kleeman et
al. 1994; Manalu et al. 2000a). Superovulasi meningkatkan jumlah folikel dan
korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon
kebuntingan, pertumbuhan uterus, jumlah embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot
sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada
domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et
al. 2000b).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh superovulasi sebelum
kawin dan penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin terhadap gambaran jumlah
sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba pada awal
kebuntingan yang dibandingkan dengan domba yang tidak disuperovulasi sebagai
kontrol.
1.3. Manfaat
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan ilmiah bagi
masyarakat umum khususnya peternak untuk menggunakan superovulasi sebagai
suatu cara perbaikan kualitas ternak termasuk peningkatan kuantitasnya. Selain
itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi penelitian berikutnya yang
sejenis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Superovulasi
Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah
korpus luteum yang dihasilkan dan peningkatan jumlah folikel yang berkembang
hingga mengalami ovulasi dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare serum
gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG). Jumlah korpus
luteum dan folikel sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon
kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama
kebuntingan (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a).
Peningkatan jumlah folikel, korpus luteum, dan plasenta menyebabkan kenaikan
sekresi dari kelenjar penghasil hormon kebuntingan dan mammogenik.
Hormon kebuntingan dan mammogenik berperan penting dalam
pemeliharaan kebuntingan hingga memasuki periode pasca partus. Penggunaan
PMSG/hCG untuk meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti
dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus,
embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan
kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al.
1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b), sapi (Sudjatmogo et al. 2001),
dan kambing (Adriani et al. 2004a).
Superovulasi yang dilakukan sebelum perkawinan dapat memperbaiki
konsentrasi hormon metabolisme yang tergambar melalui peningkatan sekresi
endogen T3 dan T4. Selain meningkatkan sekresi endogen, superovulasi ternyata
mampu meningkatkan metabolit penting, yaitu trigliserida, protein dan glukosa
darah (Mege et al. 2009). Superovulasi meningkatkan sekresi hormon-hormon
kebuntingan sehingga menyebabkan peningkatan pertumbuhan fetus pada masa
prepartum dan postpartum. Dengan mengabaikan jumlah anak kambing per
kelahiran, superovulasi induk sebelum perkawinan terbukti meningkatkan bobot
lahir anak kambing sebesar 21% dan bobot sapih anak kambing sebesar 37%
(Adriani et al. 2004a).
Perlakuan superovulasi dengan level dosis 600 hingga 1200 IU per ekor
pada babi meningkatkan sekresi progesteron dan estradiol serta pertumbuhan dan
perkembangan uterus dan plasenta pada masa gestasi 15, 35, dan 70 hari. Kondisi
ini membuktikan bahwa superovulasi dengan dosis 600 sampai 1200 IU dapat
meningkatkan reproduksi babi. Superovulasi pada induk akan meningkatkan
hormon kebuntingan progesteron sekaligus juga meningkatkan kapasitas plasenta
yang dimanifestasikan melalui peningkatan bobot basah dan kering, massa sel
aktif, aktivitas sintetik sel (DNA dan RNA), dan sintesis nutrien plasenta hingga
usia 70 hari kebuntingan. Peningkatan kapasitas plasenta juga dipengaruhi oleh
pemeliharaan korpus luteum dan produksi progesteron oleh plasenta (Mege et al.
2005).
Peningkatan volume ambing sebagai efek superovulasi sangat nyata
meningkatkan produksi susu yang dihasilkan dan bekerja sinergis dengan
kombinasi suplementasi seng dalam pakan, terutama pada konsentrasi seng 60
mg/kg bahan kering. Peningkatan volume ambing selama kebuntingan sejalan
dengan peningkatan korpus luteum, estrogen, dan progesteron yang dihasilkan
serta berhubungan erat dengan naiknya produksi susu. Peningkatan produksi susu
akibat superovulasi tidak mempengaruhi kualitas susu dan konsumsi nutrien
pakan (Adriani et al. 2004b).
Sediaan yang juga sering dimanfaatkan untuk perlakuan superovulasi
adalah controlled internal drug release (CIDR) dan folicle stimulating hormone
(FSH). Bentuk CIDR seperti huruf T dengan bahan silikon yang mengandung
hormon progesteron. Perlakuan superovulasi dengan kombinasi CIDR dan FSH
disertai penyuntikan hCG mampu secara nyata meningkatkan respon superovulasi
dan jumlah korpus luteum yang terbentuk pada induk sapi donor Brangus
sehingga meningkatkan jumlah embrio terkoleksi dan jumlah embrio layak
transfer. Jumlah korpus luteum yang dihasilkan pada perlakuan superovulasi
dengan CIDR, FSH, dan hCG meningkat signifikan dibandingkan dengan
kelompok hewan coba yang hanya disuperovulasi dengan CIDR dan FSH (Kaiin
dan Tappa 2006).
Menurut Situmorang (2008), tujuh dari sebelas kerbau memberikan respon
positif terhadap perlakuan superovulasi dengan menggunakan hormon
gonadotropin. Terdapat bukti nyata bahwa konsentrasi progesteron pada masa
inisiasi superovulasi memegang peranan yang penting dan konsentrasi
progesteron yang tinggi menjadi indikasi signifikan dari keberhasilan program
untuk mendapatkan embrio berkualitas baik dengan jumlah yang lebih tinggi.
Adriani et al. (2007), dalam jurnalnya menyatakan bahwa perlakuan superovulasi
dengan dosis 40 mg FSH secara intramuskular pada sapi Simbrah memberikan
hasil terbaik dengan jumlah korpus luteum terbanyak.
2.2. Hematologi Darah
Darah merupakan komponen metabolisme makhluk hidup yang berperan
sebagai media transportasi oksigen dan sari makanan ke dalam jaringan dan
mengangkut sisa metabolisme jaringan dan karbon dioksida untuk selanjutnya
diekskresikan. Selain itu, sistem sirkulasi darah dapat juga berperan sebagai
sarana penyaluran sekresi kelenjar endokrin menuju organ target. Menurut
Dellman dan Brown (1989), volume total darah mamalia berkisar antara 7-8 %
dari bobot badan dengan komposisi plasma sebesar 75-85% dan sisanya
merupakan benda-benda darah sebanyak 25-35 % yang terdiri atas eritrosit (sel
darah merah), leukosit (sel darah putih), dan platelet (keping darah). Sedangkan
plasma darah itu sendiri tersusun atas 91-92% cairan dan 8-9% padatan (Swenson
1984).
Darah juga berfungsi sebagai buffer atau regulator yang mengatur
kestabilan pH pada jaringan untuk metabolisme optimum, salah satunya dengan
ion bikarbonat. Senyawa karbonik anhidrase dalam darah berperan mengkatalis
reaksi antara CO2 dan H2O membentuk ion bikarbonat (H2CO3) dan selanjutnya
CO2 dikeluarkan dari tubuh melalui sistem respirasi. Pengaturan suhu dilakukan
oleh darah melalui mekanisme yang berkaitan dengan kemampuan pembuluh
darah untuk berdilatasi dan berkonstriksi sehingga dapat mengatur pelepasan
panas. Dalam sistem imunologis, darah dapat menjadi target agen infeksius
sehingga di dalam darah terkandung pula faktor-faktor penting pertahanan tubuh
seperti limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil, dan basofil (Frandson 1996 dan
Banks 1993).
Perubahan gambaran darah seperti jumlah sel darah merah, nilai
hematokrit, dan kadar hemoglobin dapat mencerminkan adanya perubahan status
fisiologis. Indeks hematologi domba normal tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Parameter Hematologi Domba Normal
Parameter Nilai kisaran Satuan
RBC (eritrosit) 8-16 106/µl
WBC (leukosit) 4-12 103/µl
Hb 8-16 g%
PCV 24-50 %
MCV 33-48 fl
MCH 8-13 pg
MCHC 27-38 g/dl
(Sumber: Frandson 1996, Banks 1993, dan Kelly 1984)
2.3. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Istilah eritrosit berasal dari bahasa yunani yaitu eritro yang berarti darah
dan sit yang berarti sel. Proses pembentukan sel-sel eritrosit berbeda tergantung
pada tahap perkembangan hewan. Pada masa fetus, sel eritrosit diproduksi oleh
hati dan limpa, sedangkan pada saat hewan dewasa produksi eritrosit diambil alih
fungsinya oleh sumsum tulang merah (Frandson 1996). Domba memiliki eritrosit
berukuran sekitar 4,8 µm dengan bentuk cakram bikonkaf dan pinggiran sirkuler
(Swenson 1984).
Eritrosit domba dapat bertahan aktif dalam sistem sirkulasi selama 146 ±
12,9 hari dilihat melalui uji serologis dan selama 137 hari melalui pengujian
radioaktif (Sherif dan Habel 1976). Secara umum, eritrosit mamalia termasuk
domba, memiliki karakteristik yang tidak berinti dan bersifat nonmotil (Swenson
1984). Produksi eritrosit pada mamalia dipengaruhi oleh stimulasi EPO atau
erythropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia yang
terjadi di jaringan (Guyton and Hall 1997). Penghancuran dan pembuangan sel-sel
darah merah dilakukan oleh makrofag atau sistem rerikuloendotelial, yang terdiri
atas sel-sel khusus dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus. Sel akan
mengalami proses disintegrasi, melepaskan Hb ke dalam sirkulasi, dan menjadi
debris (puing-puing) sel rusak untuk selanjutnya dibuang dari sirkulasi (Frandson
1996).
Pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang. Eritrosit memiliki kadar
air yang lebih rendah dibandingkan sel-sel lain dalam jaringan. Kandungan utama
dalam eritrosit, yaitu hemoglobin, lipid, protein, dan enzim. Hemoglobin
merupakan zat padat yang memberi warna merah pada eritrosit dan berfungsi
mengikat oksigen dalam fungsi respirasi. Lipid yang terdapat dalam eritrosit,
diantaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein dalam eritrosit, yaitu stromatin,
lipoprotein, dan elimin. Karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzim-
enzim dalam sistem glikolisis, merupakan enzim yang terdapat dalam eritrosit.
Bahan organik utama dalam eritrosit adalah ATP dan ADP yang berperan dalam
produksi energi. Bahan organik lain yang terkandung dalam eritrosit, di antaranya
urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa (Schalm 1975). Struktur membran
eritrosit tampak seperti gambar 1 dibawah ini,
Gambar 1. Struktur Membran Eritrosit
Simplified diagram of the RBC membrane structure. (A) Rh complex; (B) protein
4.1 complex; (C) and (D) band 3 macrocomplex ((C) band 3 tetrameric form and
(D) band 3 dimeric form (Oliveira dan Saldanha 2009).
Komposisi elektrolit dan konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan
komposisi dan konsentrasi di dalam eritrosit dan memiliki tekanan osmolaritas
yang isotonis dengan osmosis larutan 0,9% NaCl dalam air. Jumlah eritrosit
antara satu spesies dengan spesies lain berbeda-beda. Umumnya, jumlah normal
eritrosit dalam tubuh berkisar antara 4 juta hingga 5 juta sel dalam tiap 1 mm3.
Jumlah eritrosit dalam tubuh memiliki nilai yang cenderung tetap. Hal ini
menunjukkan adanya kesesuaian kecepatan pembentukan eritrosit baru dengan
kecepatan rusaknya eritrosit lama.
Proses pembentukan darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit, dan platelet
disebut hemopoiesis. Sel darah hewan dewasa berasal dari satu sumber, yaitu sel-
sel batang primordial di dalam sumsum tulang. Eritropoiesis adalah proses
pembentukan eritrosit yang dipengaruhi oleh respon tubuh terhadap kadar oksigen
dalam jaringan. Bila jaringan dan sel mengalami kondisi hipoksia atau kurangnya
kadar oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme optimum, maka renal akan
melepaskan hormon eritropoietin ke plasma darah untuk merangsang
eritropoiesis. Eritropoietin akan berada dalam plasma satu jam setelah mulai
terjadinya hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena rendahnya kadar oksigen dalam
darah yang dapat disebabkan oleh hipoventilasi, maupun karena afinitas
hemoglobin yang rendah terhadap oksigen sehingga suplai oksigen ke jaringan
menurun. Sumsum tulang tidak menunjukkan respon langsung terhadap hipoksia
dan umumnya produksi eritrosit baru akan terjadi tiga hari kemudian hingga
kondisi hipoksia dapat dihilangkan. Setelah kondisi hipoksia berakhir, eritrosit
yang berlebih dalam sirkulasi akan dieliminasi melaui mekanisme atrisi
(pelemahan) dan degenerasi normal setelah kurang lebih bersirkulasi selama 120
hari tanpa pergantian (Frandson 1996).
Kondisi kelainan klinis berupa menurunnya jumlah eritrosit dibawah batas
normal disebut anemia. Anemia dapat terjadi karena infeksi maupun kelainan
kongenital. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai
oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang
secara tidak langsung menggangu metabolisme tubuh. Jumlah eritrosit yang
meningkat hingga diatas ambang normal juga merupakan suatu kondisi kelainan
yang disebut polisitemia (Guyton dan Hall 1997).
Menurut Palazzuoli et al. (2011), anemia adalah tanda klinis penyakit yang
sering dikaitkan dengan kegagalan fungsi jantung dan insufisiensi renal.
Hubungan antara ketiga kondisi kelainan ini disebut sebagai penyakit cardio-
renal-anemia syndrome (CRS). Anemia dapat muncul sebagai hasil dari interaksi
kompleks antara kemampuan jantung, homeostasis sumsum tulang, disfungsi
renal, dan efek samping dari berbagai jenis obat-obatan. Aktivitas neurohormonal
dan antiinflamasi seringkali menjadi kunci awal munculnya penyakit yang bersifat
progresif hingga akhirnya berujung pada anemia. Menurut Silverberg (2011),
penyebab utama anemia pada kondisi gagal jantung kongesti, adalah penyakit
ginjal kronis yang mengakibatkan terjadinya depresi produksi eritropoietin di
ginjal diikuti produksi sitokin yang berlebihan dan berakhir dengan terjadinya
depresi produksi eritropoietin di ginjal maupun di sumsum tulang. Kelebihan
produksi sitokin pada gagal jantung kongesti juga menyebabkan defisiensi besi
karena sitokin akan meningkatkan produksi hepcidin dari hati yang menyebabkan
penurunan absorpsi besi di gastrointestinal dan mengurangi pelepasan besi dari
depositnya di makofag dan hepatosit.
Polisitemia didefinisikan sebagai kenaikan hematokrit dan hemoglobin
berturut-turut. Penyebab utamanya dapat karena penyakit neoplastik seperti
polisitemia vera dengan proliferasi sel klon. Beberapa kondisi polisitemia dapat
terjadi sebagai hasil dari hipoksia kronis. Polisitemia fisiologis dapat ditemukan di
penduduk dataran tinggi dan atlit yang berlatih di daerah tinggi (Kohler dan
Dellweg 2010).
2.4. Hemoglobin
Hemoglobin adalah bahan organik padat yang terdapat dalam eritrosit,
berfungsi mengikat oksigen, dan memberi warna merah pada eritrosit. Kandungan
hemoglobin dalam darah kurang lebih 15 gram per 100 mL darah. Molekul
hemoglobin terdiri atas protein globin dan gugus heme yang mengandung Fe.
Hemoglobin yang berikatan dengan oksigen akan membentuk ikatan
oksihemoglobin. Proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat dihambat oleh
gas karbonmonoksida (CO). Hal ini dikarenakan ikatan antara hemoglobin dengan
CO lebih kuat dibandingkan dengan oksigen dan kondisi ini dapat menyebabkan
terjadinya keracunan CO pada jaringan. Pengikatan oksigen oleh hemoglobin
dilakukan melalui Fe yang terdapat pada gugus heme. Zat besi dalam bentuk Fe2+
yang terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen membentuk
oksihemoglobin. Selanjutnya oksihemoglobin akan melepaskan oksigen ke
jaringan.
Kerusakan eritrosit menyebabkan keluarnya hemoglobin dari sel, sehingga
Fe yang terikat pada gugus heme akan ikut terlepas ke jaringan. Fe yang terlepas
akan ditangkap oleh transferin dan kemudian disimpan untuk dapat digunakan
lagi. Transferin adalah protein dalam plasma yang mampu mengikat Fe secara
reversible. Kadar Fe dalam tubuh dipengaruhi oleh tingkat hemoglobin dan bobot
tubuh. Selain dalam hemoglobin, Fe juga terdapat dalam feritin dan hemosiderin.
Kandungan Fe yang lebih sedikit terdapat dalam mioglobin, plasma, dan cairan
ekstraseluler. Hemoglobin yang rusak menyebabkan terbentuknya bilirubin.
Bilirubin adalah zat warna kuning yang mampu berikatan kompleks dengan
albumin sebelum ditranspor ke hati (Guyton dan Hall 1997).
2.5. Hematokrit (PCV)
Suatu ukuran yang menunjukkan volume total eritrosit dalam setiap 100
mL darah disebut hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV). Nilai
hematokrit dinyatakan dalam persentase. Dalam pengukuran nilai hematokrit,
darah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu eritrosit pada bagian dasar, leukosit dan
trombosit yang berupa lapisan berwarna putih sampai abu-abu (buffy coat), dan
plasma darah pada bagian paling atas (Schalm 1975). Pada kondisi perdarahan,
jumlah eritrosit yang hilang seringkali berbanding lurus dengan plasma darah
sehingga nilai hematokrit tetap. Nilai hematokrit yang rendah dapat menyebabkan
anemia (Duncan dan Prase 1986).
2.6. Domba
Domba tergolong sebagai hewan ruminansia kecil yang didosmetikasi atau
diternakkan sebagai sumber protein hewani dan merupakan kerabat kambing,
sapi, dan kerbau (Mulyono 2005). Domba termasuk dalam Famili Bovidae dan
Genus Ovis. Domba yang diternakkan saat ini, diperkirakan merupakan hasil
domestikasi tiga jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) dari Eropa
Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis
vignei) dari Asia.
Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa, yaitu domba lokal atau
domba ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba Priangan. Domba ekor tipis
memiliki ukuran tubuh dan ekor yang relatif kecil, bulu cenderung berwarna
putih, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak
bertanduk, bobot domba jantan berkisar 30-40 kg dan bobot betina berkisar 15-20
kg (Sarwono 2004). Bangsa domba ekor tipis berasal dari India dan Bangladesh
dengan penamaan yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia, seperti domba
negeri, domba kampung, domba lokal, dan domba kacang. Gambaran domba ekor
tipis tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 2. Domba ekor tipis (Sumber: Anomim1 2012)
Domba ekor gemuk memiliki ukuran badan yang besar, bobot domba
jantan mencapai 50 kg dan bertanduk, sedangkan domba betina mencapai 40 kg
dan tidak bertanduk. Bangsa domba ekor gemuk cenderung berekor panjang
dengan bagian pangkalnya besar dan menimbun banyak lemak. Domba ini banyak
tersebar di Madura, Sulawesi, Lombok, dan Jawa Timur. Gambaran domba ekor
gemuk tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 3. Domba ekor gemuk (Sumber: Anomim2 2012)
Domba Priangan atau domba Garut berasal dari Priangan, Kota Garut,
Jawa Barat. Bobot domba jantan dapat mencapai 80 kg dan betina dapat mencapai
40 kg. Bangsa domba Priangan umumnya berbadan besar dan lebar, memiliki
leher dan tanduk yang kuat sehingga sering dimanfaatkan sebagai domba aduan.
Gambaran domba Priangan tampak seperti gambar dibawah ini,
Gambar 4. Domba Priangan (Sumber: Anomim3 2012)
Tanduk domba Priangan jantan melingkar ke belakang membentuk spiral,
pangkal tanduk kanan dan kiri hampir menyatu. Domba Priangan betina
umumnya tidak bertanduk dengan postur tubuh yang lebih panjang dan bulu halus
(Mulyono 2005).
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga bulan Juli 2011.
Penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu kandang milik MT. Farm di Desa
Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan laboratorium Fisiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu spuit, seperangkat alat
USG, tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip, lap, marker, kertas label,
tabung kapiler, alat penghitung, kamar hitung darah Neubauer, Adam
Mikrohematokrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang,
dan mikroskop cahaya.
Bahan yang digunakan dalam penelitian, diantaranya 21 ekor domba
betina tidak bunting, hormon Prostaglandin PGF2 alpha (dinoprost dan
tromethamin), hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human
Chorionic Gonadotropin (hCG), pengencer Turk, NaCl fisiologis 0,9%,
antikoagulan Ethilen Diamine Tetraasetate (EDTA), selang penanda terdiri atas
empat warna.
3.3. Tahap Persiapan
3.3.1. Hewan Percobaan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 21 ekor domba
betina lokal yang telah dewasa kelamin. Domba-domba tersebut memiliki kisaran
bobot badan antara 15 hingga 25 kg.
3.3.2. Aklimatisasi Domba
Sebelum mendapat perlakuan, domba penelitian dipelihara selama dua
minggu untuk diaklimatisasikan. Tujuan aklimatisasi ialah untuk memberikan
kesempatan agar domba-domba tersebut menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Selama aklimatisasi domba diberikan antibiotik, anthelmintik, dan vitamin B
kompleks agar kondisi domba tetap sehat dan kembali prima.
3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum
Kandang yang digunakan dalam penelitian ialah kandang kelompok
dengan konstruksi kandang panggaung dengan ketinggian 50 cm dari permukaan
tanah. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas hijauan dan ampas tahu.
Hijauan diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari diberikan
ampas tahu. Pemberian air minum dilakukan secara tidak terbatas atau ad libitum.
3.4. Tahap Pelaksanaan
3.4.1. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan, yaitu
Kelompok perlakuan pertama yaitu kontrol yang tidak disuperovulasi dan
tidak disuntik hCG.
Kelompok perlakuan kedua yang hanya disuperovulasi sebelum kawin
dengan kode SO1.
Kelompok perlakuan yang ketiga, hanya disuntik hCG hari ke-6 setelah
kawin dengan kode SO2.
Kelompok perlakuan keempat yang disuperovulasi sebelum kawin dan
disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin dengan kode SO12.
3.4.2. Superovulasi dan Penyuntikan hCG
Perlakuan diawali dengan sinkronisasi estrus terlebih dahulu terhadap
semua domba pada setiap kelompok perlakuan. Sinkronisasi estrus dilakukan
dengan menyuntikkan hormon PGF2α secara intramuskular sebanyak dua kali
dengan rentang waktu 11 hari antara penyuntikan pertama dan kedua. Dosis
PGF2α yang diberikan berkisar 5 hingga 15 mg/kg per ekor. Perlakuan
superovulasi berupa penyuntikan PMSG dan hCG intramuskular dilakukan pada
hari yang sama dengan penyuntikan PGF2α kedua, sesaat setelah penyuntikan
PGF2α.
Kira-kira 24 hingga 36 jam pasca penyuntikan PGF2α kedua, domba
berada dalam kondisi estrus, kemudian semua kelompok domba perlakuan
dikawinkan dengan domba pejantan yang telah dipilih. Perkawinan dilakukan
dengan mencampurkan domba pejantan dan domba betina perlakuan selama 3 hari
dengan membagi 21 ekor domba perlakuan menjadi 4 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri atas 5 hingga 6 ekor domba betina perlakuan ditambah 1
ekor domba jantan. Penyuntikan hCG intramuskular dilakukan 6 hari setelah
perkawinan. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG dilakukan 30 hari
setelah perkawinan.
3.4.3. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan setiap 3 hari pada awal kebuntingan.
Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuit sebanyak
kurang lebih 5 mL kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
telah diisi antikoagulan EDTA sebelumnya. Tabung tersebut kemudian langsung
ditutup menggunakan sumbat dan diberi label sesuai kode perlakuan. Sampel
darah dalam tabung reaksi selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan
dibawa ke laboratorium fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah.
3.4.4. Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin
Penghitungan jumlah sel darah merah (eritrosit) dilakukan secara manual
dengan metode hemositometer. Penghitungan jumlah sel darah merah diawali
dengan menghisap darah menggunakan pipet eritrosit hingga skala 0,5. Kemudian
pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel menggunakan tisu. Setelah itu,
ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer NaCl fisiologis 0,9% dan
menghisap larutan tersebut sampai batas tera 101. Aspirator dilepas, pipet
diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan pangkalnya ditutup dengan jari
tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan memutar pipet
seperti putaran angka 8. Setelah homogen, tetesan pertama dan kedua dibuang,
selanjutnya hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung dengan
menyentuhkan ujung pipet pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung
didiamkan beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar
hitung. Langkah berikutnya, kamar hitung dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung adalah lima kotak, yaitu
pada keempat sudut dan 1 kotak di bagian tengah. Jumlah sel darah merah yang
diperoleh dikalikan dengan 10.000 per mm3.
Penghitungan nilai hematokrit dilakukan menggunakan Adam
Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro
dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan
menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi
ujung tabung mikro membentuk sudut kurang lebih 120º dan bagian ujung tabung
yang lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat dan tabung
mikro tersebut selanjutnya disentrifugasi selama 4-5 menit dengan kecepatan
10.000 rpm. Hasil sentrifugasi dibaca menggunakan Adam Mikrohematocrit
Reader untuk mendapatkan nilai hematokrit.
Penghitungan kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode
Sahli. Metode ini dilakukan dengan menambahkan HCl ke dalam tabung
kemudian ditambahkan dengan sampel darah dan ditambahkan secara perlahan
sejumlah akuades hingga warna yang terbentuk sama dengan kontrol. Kadar
hemoglobin diperoleh dengan membaca skala yang tertera pada tabung Sahli.
3.5. Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu jumlah sel darah merah,
nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin.
3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis One Way
Anova dengan uji lanjutan Duncan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap
variabel.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sel Darah Merah
Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat
beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik.
Pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok
perlakuan sangat fluktuatif jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya
sehingga sulit untuk menentukan ada tidaknya kenaikan secara pasti setiap
harinya. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan jumlah sel darah merah
pada setiap kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol untuk melihat ada
tidaknya kenaikan jumlah sel darah merah secara umum pada awal kebuntingan
yang diindikasikan sebagai pengaruh perlakuan berdasarkan nilai sampel yang
diambil dan dianalisis setiap 3 hari pada awal kebuntingan seperti yang tersaji
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/mm
3) domba yang disuperovulasi sebelum
kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan.
Hari
Perlakuan
Kontrol
n=9
SO1
n=6
SO2
n=3
SO12
n=3
1 10,87±3,06a
11,95±9,97a
10,54±1,74a
14,94±4,30a
3 10,79±3,41a
15,03±3,56a
14,04±4,29a
17,28±9,13a
6 11,14±2,71a
10,18±2,85a
10,41±1,55a
10,04±2,35a
9 8,10±3,66a
10,37±4,96a
6,46±5,22a
11,05±3,40a
12 10,48±1,94a
11,99±2,26a
13,40±3,61a
12,26±5,41a
15 9,75±3,30a
12,28±1,02a
12,37±2,03a
10,14±1,30a
30 10,83±2,19a
10,90±2,33a
8,91±1,39a
13,13±4,13a
Ket: Kontrol: tidak diberi PMSG dan hCG; SO1: disuperovulasi sebelum
kawin; SO2: disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin; SO12: disuperovulasi
sebelum kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin. Huruf
superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai
berbeda nyata (p<0,05).
Hasil yang didapatkan pada tabel 2, menunjukkan bahwa kelompok
perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin (SO1) dan kelompok perlakuan
yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hCG hari ke-6 setelah
kawin (SO12) memiliki jumlah sel darah merah yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol yaitu pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-9
hingga hari ke-30, sedangkan kelompok perlakuan yang disuntik hCG hari ke-6
setelah kawin (SO2) menunjukkan hasil jumlah sel darah merah yang cenderung
lebih rendah dari kelompok kontrol, yaitu pada hari ke-1, hari ke-6, hari ke-9, dan
hari ke-30.
Kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai
penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin (SO12) memiliki jumlah sel darah merah
tertinggi yaitu pada hari ke-3 dengan jumlah sel darah lebih tinggi 60,15%
dibandingkan kelompok kontrol, lalu diikuti oleh kelompok perlakuan yang hanya
disuperovulasi sebelum kawin (SO1) dengan jumlah sel darah merah lebih tinggi
39,30% dibandingkan kelompok kontrol pada hari yang sama. Jumlah sel darah
merah terendah terdapat pada hari ke-9 pada kelompok perlakuan yang hanya
disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin (SO2) dengan jumlah sel darah merah lebih
rendah 20,25% dibandingkan kontrol. Pola kenaikan jumlah sel darah merah
tersaji pada gambar grafik dibawah ini,
Gambar 5 Grafik jumlah sel darah merah domba kontrol (), disuperovulasi
sebelum kawin (∎), disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin (▲), dan
disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin
(●), pada awal kebuntingan.
Superovulasi dengan kombinasi penggunaan PMSG/hCG untuk
meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat
meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, jumlah
embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan
5,00
7,00
9,00
11,00
13,00
15,00
17,00
19,00
1 3 6 9 12 15 30
Jum
lah
sel
dar
ah
mer
ah
(1
06/m
m3)
Waktu (hari)
kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al.
1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b). Hormon tiroid yang merupakan
hormon penting yang berperan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
embrio dan fetus juga meningkat lebih pesat pada perlakuan superovulasi.
Peningkatan konsentrasi hormon tiroid menggambarkan adanya aktivitas
metabolisme yang lebih tinggi sejalan dengan lebih pesatnya pertumbuhan fetus
dan terus meningkat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Konsentrasi
hormon metabolisme menunjukkan pola peningkatan yang sama dengan jumlah
dan pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus yang mengindikasikan
hubungan yang kuat antara peningkatan konsentrasi hormon metabolisme dan
peningkatan jumlah dan bobot embrio (Mege et al. 2009).
Peningkatan jumlah sel darah merah terjadi sebagai kompensasi perubahan
dan adaptasi induk terhadap kondisi kebuntingan. Sistem vaskularisasi dan sel
darah merah berfungsi mengatur regulasi oksigen, karbondioksida, nutrisi, dan
peredaran metabolit penting seperti hormon ke seluruh jaringan tubuh (Dellman
dan Brown 1989) termasuk ke organ reproduksi. Induk domba yang
disuperovulasi memiliki jumlah embrio dan fetus yang lebih banyak dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang lebih pesat
(Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al.
2000b) sehingga memicu peningkatan metabolisme yang lebih tinggi daripada
indukan dengan jumlah embrio dan fetus yang lebih sedikit. Peningkatan
metabolisme juga didukung oleh peningkatan konsentrasi hormon metabolisme
tiroid. Kondisi ini diduga memicu peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih
tinggi untuk mensuplai kebutuhan perkembangan kebuntingan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Girsen (2007) yang menunjukkan hasil bahwa kelompok
perlakuan dengan jumlah fetus yang lebih banyak memiliki konsentrasi
eritropoietin yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan kelompok dengan jumlah
fetus yang lebih sedikit. Jumlah sel darah merah kelompok perlakuan yang hanya
disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin (SO2) lebih sering menunjukkan hasil yang
lebih rendah dibandingkan kontrol sehingga dapat dikatakan perlakuan SO2 tidak
mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah merah.
Berdasarkan perbandingan hasil dari kelompok perlakuan SO1, SO2, dan
SO12 terhadap kontrol menunjukkan bahwa perlakuan superovulasi sebelum
kawin dan penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi secara
langsung kenaikan jumlah sel darah merah pada awal kebuntingan. Namun,
jumlah sel darah merah pada kelompok perlakuan yang didahului superovulasi
memiliki nilai persentase yang cenderung lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Arif (2011) yang menyatakan bahwa kelompok perlakuan superovulasi
memiliki jumlah sel darah merah tidak berbeda nyata secara statistik pada bulan
pertama kebuntingan. Superovulasi mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah
merah secara nyata pada bulan kedua dan bulan ketiga kebuntingan. Hormon hCG
bekerja seperti luteinizing hormone (LH) yang merangsang perkembangan korpus
luteum dan sekresi progesterone untuk memelihara kebuntingan (Andriyanto dan
Manalu 2011). Penyuntikan hCG pada hari ke-6 setelah kawin lebih ditujukan
untuk meningkatkan kualitas kebuntingan dengan tujuan akhir meningkatkan
kualitas bakalan.
4.2. Hematokrit
Kebuntingan secara umum menyebabkan perubahan dinamis parameter
hematologi seperti jumlah sel darah merah, hematokrit, dan hemoglobin pada
domba. Peningkatan hematokrit pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-17,
dan hari ke-34 kebuntingan memiliki rentang perubahan antara 32,44±2,18%
hingga 39,33±2,73% dengan perubahan signifikan pada hari ke-14, hari ke-17,
dan hari ke-34 kebuntingan (Krajnicakova 1995). Hasil penelitian tersebut sejalan
dengan hasil penelitian ini meskipun rata-rata nilai hematokrit masih lebih rendah
dibandingkan nilai hematokrit yang dilaporkan Krajnicakova (1995).
Pola kenaikan nilai hematokrit mengikuti pola kenaikan jumlah sel darah
merah. Penghitungan nilai hematokrit setiap tiga hari sekali pada awal
kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda
seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai hematokrit (%) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan
disuntik hCG pada hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan.
Hari
Perlakuan
Kontrol
n=9
SO1
n=6
SO2
n=3
SO12
n=3
1 21,17±4,02a
20,17±7,02a
20,83±3,62a
25,83±7,51a
3 20,87±6,15a
26,32±3,55a
23,75±3,38a
25,67±5,92a
6 19,56±4,21a
18,83±1,87a
20,67±2,08a
23,67±6,43a
9 21,08±8,07a
21,62±1,72a
16,30±14,13a
19,67±1,42a
12 23,11±3,33a
24,17±2,64a
22,00±1,80a
23,83±3,69a
15 22,69±2,48a
25,83±4,01a
24,33±3,62a
26,50±4,82a
30 24,83±1,44a
26,83±4,36a
19,33±2,31b
25,50±3,50a
Ket: Kontrol: tidak diberi PMSG dan hCG; SO1: disuperovulasi sebelum
kawin; SO2: hCG hari ke-6 setelah kawin; SO12: disuperovulasi sebelum
kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang
berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).
Nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah
merah karena nilai hematokrit merupakan suatu ukuran yang menunjukkan
volume total sel darah merah dalam setiap 100 ml darah. Kelompok perlakuan
yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin
(SO12) memiliki nilai hematokrit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
kontrol pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30.
Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO1) juga
memiliki nilai rata-rata hematokrit cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol
pada hari ke-3, hari ke-9, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30. Nilai hematokrit
tertinggi terdapat pada kelompok SO1 pada hari ke-30 dengan nilai hematokrit
8,05% lebih tinggi daripada kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik
hCG hari ke-6 setelah kawin (SO2) memiliki rata-rata nilai hematokrit cenderung
lebih rendah dibandingkan kontrol. Nilai hematokrit terendah dari semua
kelompok perlakuan terdapat pada hari ke-9 dari kelompok perlakuan SO2 dengan
nilai 22,68% lebih rendah dari kontrol.
Nilai hematokrit yang didapatkan antarkelompok perlakuan menunjukkan
hasil yang beragam meskipun secara statistik tidak berbeda nyata kecuali pada
hari ke-30. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit terlihat pada gambar
grafik dibawah ini,
Gambar 6 Grafik nilai hematokrit induk domba kontrol (), disuperovulasi
sebelum kawin (∎), diberi hCG hari ke-6 setelah kawin (▲), dan
disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin
(●), pada awal kebuntingan.
Semua kelompok perlakuan memiliki nilai hematokrit yang tidak berbeda
nyata secara statistik dari hari ke-1 hingga hari ke-30 kecuali untuk kelompok SO2
sehingga dapat ditarik keterangan bahwa secara umum superovulasi sebelum
kawin dan penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi
kenaikan nilai hematokrit pada awal kebuntingan. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Arif (2011), yang menyatakan superovulasi menaikkan nilai hematokrit
secara nyata mulai bulan kedua hingga keempat kebuntingan dan penurunan pada
akhir masa kebuntingan, sedangkan pada awal kebuntingan tidak mempengaruhi.
Nilai hematokrit semua kelompok perlakuan secara umum lebih rendah
dari nilai hematokrit domba tidak bunting menurut Banks (1993) dan Frandson
(1996) yang berkisar antara 24-50%. Menurut Podymow et al. (2010), secara
fisiologis nilai hematokrit domba bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan
kondisi tidak bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan
kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh. Pada hari ke-30 nilai
hematokrit kelompok SO2 berbeda nyata dari kelompok perlakuan lainnya
dengan nilai lebih rendah. Kelompok SO2 memiliki nilai hematokrit yang dibawah
normal tetapi jumlah sel darah merah tetap normal sehingga diduga hewan coba
15,00
17,00
19,00
21,00
23,00
25,00
27,00
29,00
1 3 6 9 12 15 30
Nila
i he
mat
okr
it (%
)
Waktu (hari)
pada kelompok SO2 mengalami retensi cairan yang berlebihan yang dapat
disebabkan berbagai faktor.
4.3. Hemoglobin
Kadar hemoglobin yang didapatkan beragam antarkelompok perlakuan
meskipun tidak berbeda nyata secara statistik kecuali pada hari ke-30. Pola
kenaikan kadar hemoglobin terlihat dalam gambar grafik dibawah ini,
Gambar 7 Grafik kadar hemoglobin induk domba kontrol (), disuperovulasi
sebelum kawin (∎), diberi hCG hari ke-6 setelah kawin (▲), dan
disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin
(●), pada awal kebuntingan
Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO1) dan
kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan
hCG hari ke-6 setelah kawin (SO12) selalu memiliki kadar hemoglobin rata-rata
yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol mulai dari hari ke-1
hingga ke-30 pada awal kebuntingan. Kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada
hari ke-3 dari kelompok perlakuan SO12 dengan nilai 23,05% lebih tinggi dari
kontrol. Kadar hemoglobin terendah terdapat pada hari ke-1 dari kelompok
kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin
(SO2) memiliki kadar hemoglobin yang tidak terlalu berbeda dari kontrol pada
hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-15 dan lebih rendah pada hari ke-9, hari ke-12,
dan hari ke-30.
7,00
8,00
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
1 3 6 9 12 15 30
Kad
ar h
em
ogl
ob
in (g
%)
Waktu (hari)
Pola kenaikan hemoglobin berbeda dengan pola kenaikan jumlah sel darah
merah. Penghitungan kadar hemoglobin setiap tiga hari sekali pada awal
kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda
seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kadar hemoglobin (g%) induk domba yang disuperovulasi sebelum kawin
dan disuntik hCG pada hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan.
Hari
Perlakuan
Kontrol
n=9
SO1
n=6
SO2
n=3
SO12
n=3
1 8,16±1,43a
9,16±1,67a
9,66±0,95a
10,32±2,70a
3 10,50±3,02a
11,63±1,80a
10,40±0,68a
12,92±2,32a
6 9,11±1,34a
9,83±1,38a
9,21±0,59a
10,38±2,69a
9 9,62±0,93a
10,14±1,36a
9,99±1,25a
10,05±2,82a
12 10,28±0,96a
10,38±1,32a
9,22±1,16a
10,71±2,62a
15 9,01±0,76a
10,09±1,30a
9,05±0,52a
10,35±1,53a
30 10,76±0,41a
11,75±1,58a
9,13±0,39b
11,73±1,48a
Ket: Kontrol: tidak diberi PMSG dan hCG; SO1: disuperovulasi sebelum
kawin; SO2: hCG hari ke-6 setelah kawin; SO12: disuperovulasi sebelum
kawin serta disuntik hCG hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang
berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kadar
hemoglobin antarkelompok perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik mulai
dari hari ke-1 hingga hari ke-30, kecuali untuk kelompok SO2. Hasil ini
menunjukkan bahwa secara umum semua perlakuan baik superovulasi sebelum
kawin maupun penyuntikan hCG hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi
perubahan kadar hemoglobin pada awal kebuntingan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Arif (2011) yang menyatakan bahwa superovulasi menaikkan kadar
hemoglobin secara nyata pada pertengahan dan akhir kebuntingan.
Pada hari ke-30, kelompok perlakuan SO2 yang hanya disuntik hCG hari
ke-6 setelah kawin, memiliki kadar hemoglobin yang berbeda nyata dari
kelompok lainnya dengan nilai lebih rendah. Hormon hCG bekerja seperti
luteinizing hormone (LH) yang merangsang pembentukan korpus luteum dan
meningkatkan sekresi progesterone. Menurut Whittaker (1996), secara umum
konsentrasi hormon hCG tidak memiliki korelasi dengan konsentrasi hemoglobin
dan indeks hematologi lainnya. Rendahnya hemoglobin pada kebuntingan tua
menggambarkan perubahan volume plasma. Penurunan kadar hemoglobin
kelompok SO2 pada hari ke-30 nilainya masih berada pada batas normal kadar
hemoglobin domba menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), yaitu berkisar
antara 8 hingga 16 g%. Penurunan kadar hemoglobin diduga terkait dengan
penurunan nilai hematokrit karena peningkatan volume plasma.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Semua perlakuan dalam penelitian ini tidak mempengaruhi kenaikan
jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin secara nyata pada
awal kebuntingan. Superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hCG hari ke-6
setelah kawin secara umum tidak mempengaruhi perubahan gambaran darah
merah domba pada awal kebuntingan.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai profil biokimiawi darah domba untuk
mendapatkan gambaran hormon dalam serum.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Sudono A, Sutardi T, Sutama IK, Manalu W. 2004a. Pengaruh
Superovulasi dan Suplementasi Seng dalam Ransum pada Induk Kambing
terhadap Pertumbuhan Anaknya. Journal of Indonesian Tropic Animal
Agric. 29(4).
Adriani, Sutama IK, Sudono A, Sutardi T, Manalu W. 2004b. Pengaruh
Superovulasi dan Suplementasi Seng terhadap Produksi Susu Kambing
Peranakan Etawah. Journal of Animal Production Vol. 6, No. 2: 86-94.
Adriani, Depison, Rosadi B, Supriondo Y, Isroli. 2007. Pengaruh Superovulasi
terhadap Jumlah Corpus Luteum pada Sapi Simbrah. Journal of Indonesian
Tropic Animal Agric. 32(3).
Andriyanto, Manalu W. 2011. Potency of ethanol extract Curcuma xanthoriza as
natural growth promotor in pregnant ewes with superovulation.
Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd
International symposium
on Temulawak. The 40th
Meetingof National Working Group on
Indonesian Medical Plant. IICC. Bogor. Hlm:134.
Anomim1. 2012. http://files.myopera. com/jualkambing/blog/domba%20ekor%20
tipis-gembel. jpg. [15 Januari 2012].
Anomim2. 2012. http://ternakonline. files.wordpress.com/2009/09/deg-jatim-2a1.
jpg?w=239&h=164. [15 Januari 2012].
Anomim3. 2012. http://files.saungdogar.webnode.com/200000021-8de9d8ee3c
/dogar%201. jpg. [15 Januari 2012].
Arif R. 2011. Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar
Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi Sebelum Kawin dan
Dicekok Ekstrak Temulawak Plus Selama Kebuntingan. FKH IPB:
Skripsi.
Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas: Mosby, Inc. 142-154
Dellmann HD dan Brown EM. 1989. Text Book of Veterinary Histology. 3rd
edition. Lea and Febiger. Philadelphia. USA.
Direktorat Budidaya Peternakan. 2002. Model Pengembangan Kambing Perah di
Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Duncan JR dan Prasse KW. 1986. Veterinary Laboratory Medicine. 2nd
Ed. USA:
Lowa State University.
Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim. Reprod. Sel. 28
: 299-308.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, edisi keempat. Terjemahan
Srigandono dan K. Praseno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Giersen A, Makikallio K, Hiilesmaa V et al. 2007. The relationship between
human fetal cardiovascular hemodynamics and serum erythropoietin levels
in growth-restricted fetuses. [Am. J. ObstetGynecol] 2007 May; Vol. 196
(5), pp. 467.e1-6.
Guyton AC dan Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. (Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran). Ed ke-7. Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Ken
Ariata Tengadi dan Alex Sentoso. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta.
Kaiin EM dan Tappa B. 2006. Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR,
Hormon FSH, dan hCG pada Induk Sapi Potong. [Media Peternakan Vol.
29 No. 3: 141-146].
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. 3rd
Ed. London: Baillere Tindall.
Kohler D dan Dellweg D. 2010. Polycyhemia. Journal Article: Deutsche
Medizinische Wochenschrift Vol. 135 No. 46.
Kleeman DO, SK. Walker, dan RF. Seamark. 1994. Enhance fetal growth in sheep
administered progesterone during the first three days of pregnancy. J.
Reprod. Fert. 102:411-417.
Krajnicakova M, Bekeova E, Maracek I, dan Hendrichovsky V. 1995. Dynamic
changes in hematologic parameters in the blood of sheep during estrus
synchronozation and in the subsequent early pregnancy. [Vet Med (Praha)]
1995 Juni; Vol. 40 (6), pp. 177-80.
Manalu W dan MY. Sumaryadi. 1998. Maternal serum progesterone concentration
during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese Thin-
Tail Ewes with different litter size. Small Rumin. Res. 30:163-169.
Manalu W, MY. Sumaryadi, Sudjatmogo, dan AS. Satyaningtijas. 1999.
Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated
Javanese Thin-Tail Ewes. Small Rumin. Res. 33:279-284.
Manalu W, MY. Sumaryadi, Sudjatmogo, dan AS. Satyaningtijas. 2000a.
Mammary gland indices at the end of lactation in the superovulated
Javanese Thin-Tail Ewes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 13:440-445.
Manalu W, MY. Sumaryadi, Sudjatmogo, dan AS. Satyaningtijas. 2000b. The
effect of superovulation of Janavese Thin-Tail Ewes prior to mating on
lamb birth weight and preweaning growth. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
13:292-299.
Mege RA, Nasution SH, Kusumorini N, dan Manalu W. 2005. Pertumbuhan dan
Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. [Journal of
Biosciences Vol. 14 No. 1]
Mege RA, Manalu W, Kusumorini N, dan Nasution SH. 2009. Konsentrasi
Hormon Tiroid dan Metabolit Darah Induk Babi Disuperovulasi Sebelum
Perkawinan. [Journal Animal Production 11(2) 88-95].
Mulyono S. 2005. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Oliveira DS dan Saldanha C. 2009. An Overview about Erythrocyte Membrane.
Clinical Hemothology and Microcirculation. IOS Press.
Palazzuoli A, Antonelli G, dan Nuti R. 2011. Anemia in Cardio-Renal Syndrome:
clinical impact and pathophysiologic mechanism. Journal Article: Heart
Failure Rev. Vol. 16 No.6: 603-607.
Podymow T, Phylis A, dan Ayub A. 2010. Management of Renal Disease in
Pregnancy. Obster Gynecol Clin N Am 37: 195-210.
Poedjiadi A. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : UI Press.
Sarwono. 2004. Beternak Domba Prolifik. Jakarta: Penebar Swadaya.
Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology. 2nd edition. Philadelphia : Lea &
Febiger. USA.
Sherif D dan Habel JD. 1976. Sheep Haematology in Diagnosis. Sydney:
University of Sydney.
Silverberg DS. 2011. The Role of Erythropoiesis Stimulating Agents and
Intravenous (IV) Iron in The Cardio Renal Anemia Syndrome. Journal
Article: Heart Failure Review Vol. 16 No. 6: 609-614.
Situmorang P. 2008. A Controlled Intra-Vaginal Device Releasing Hormone for
Superovulation Program in Buffalo. Animal Production Vol. 10 No.1: 5-
11.
Sudjatmogo B, Utomo, Subiharta, Manalu W, dan Ramelan. 2001. Tampilan
produksi susu akibat peningkatan pertumbuhan ambing sapi perah Friesian
Holstein yang disuntik PMSG pada program perkawinannya. J Trop Anim
Dev 26:8-13.
Sutama IK, M. Budiarsana, H. Setiyanto, dan A. Priyani. 1995. Productive and
Reproductive Performances of Young Etawah-cross does. Dalam: Adriani,
Sudono A., Sutardi T., Sutama I.K., Manalu W. 2004a. Pengaruh
Superovulasi dan Suplementasi Seng dalam Ransum pada Induk Kambing
terhadap Pertumbuhan Anaknya. Journal of Indonesian Tropic Animal
Agric. 29(4).
Swenson MJ. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animals. 10th edition. Itacha
and London : Cornell University Press.
Whittaker PG, Macphail S, dan Lind T. 1996. Serial Hematologic Changes and
Pregnancy Outcome. [ObstetGynecol] 1996 Jul; Vol. 88 (1), pp. 33-39