gaya bahasa kumpulan puisi hujan bulan juni...
TRANSCRIPT
GAYA BAHASA KUMPULAN PUISI HUJAN BULAN JUNI
KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Tri Windusari NIM 1811013000015
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
GAYA BAHASA KUMPULAN PUISI HUJAN BUL, N JANIKARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRADI SEKOLAII MENENGAH PERTAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruanuntuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarj ana Pendidikan
Oleh
Tri WindusariNIM 1811013000015
NIP. 197601 18200912 1002
JURUSAN PENDIDIKAI\ BAIIASA DAN SASTRA INDOI\'ESIAF'AKULTAS ILMU TARBIYAH DAII KEGURUAI\
UNTVERSTTAS rSLAM r\-EGERT (UrN)SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA2014
bimbinsan
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Gaya Bahasa Kumpulan Pruisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi
Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menengah Pertama disusun oleh Tri Windusari, NIM 1811013000015, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan
dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang
munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, Desember 2014
Yang mengesahkan.
NIP. 197601 182009121002
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Huian Bulan tluni Karya Sapardi
Djoi<o Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolalt
Nienengah Pertama disusun oleh Tri Windusari, NIM 1811013000015, diajukan
kepadaTurusan Peldidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ihnu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan
lulus dalam ujian munaqosah pada tanggal 29 Desember 2014 di hadapan dewan
penguji. Oleh sebab itu penulis berhak memperoleh gelar sa{ana Sl (S'Pd) dalam
bidang pendidikan bahasa Indonesia
Iakarta,5 Januari 2015
Panitia Uj ian Munaqosah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal
Dra. Hindun. M.Pd.NIP 1 970 1 2 152009122001
Sekretaris ( Sekretaris JurusarVProgram Studi)
Dona Aii Karunia Putra. M.A.NIP 19840409201101101
Penguji I
Dra. Hindun. M.Pd.NrP 1 970 12 152009122001
Penguji II
Dra. Mahmudah FitriYah ZA.. M.Pd.NrP 1 96402121997 032001
n. 1anu,rfl zDt!
20t5
/2-/-a)K
Mengetahui,Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Nurlena Rifa/(, M.A-- Ih.D.NIP 1 959 [020] 986032001
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini.
Nama
Tempat/Tanggal lahir
NIM
Jurusan/Prod i
Judul Skripsi
Tri S/indusari
Jakafta, 2l September 1978
l8t 1013000015
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Ga1'a Bahasa Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menengah Pertama.
Ahmad Bahtiar. NI.Hurn.Dosen Pembimbing
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karyasendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya turis.Pernl'ataan ini dibuat sebagai sarah satu syarat menempuh ujian munaqosah.
Jakarta, Desember 2014
Tri Windusari181r01300001s
DALAM DIRIKU
Because the sky is blue
It makes me cry
(The Beatles)
dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya
1980
(Dalam Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono-)
i
ABSTRAK
TRI WINDUSARI, 1811013000015, “Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Hujan Bulan
Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra
di Sekolah Menengah Pertama”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum., Desember 2014.
Tujuan penelitian adalah untuk; 1) menganalisis gaya bahasa dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono; 2) mendeskripsikan
implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan
Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di sekolah
menengah pertama.
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis melalui
pendekatan stilistika. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
teknik observasi dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah model
analisis data mengalir.
Hasil penelitian menunjukkan gaya bahasa yang sering muncul dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono adalah gaya bahasa
perbandingan yang mencakup gaya bahasa personifikasi, metafora, dan alegori. Efek
yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa tersebut adalah membuat gagasan
dan emosi lebih nyata. Selanjutnya, gaya bahasa perulangan juga banyak ditemukan
yang meliputi gaya bahasa aliterasi, mesodiplosis, dan anafora. Secara keseluruhan
gaya bahasa yang digunakan sebanyak sembilan belas gaya bahasa, yaitu metafora,
personifikasi, alegori, hiperbola, litotes, paradoks, klimaks, antiklimaks, hipalase,
erotesis, elipsis, sinekdoke, aliterasi, asonansi, epizeukis, anafora, mesodiplosis, dan
epanalepsis. Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah adalah membantu
siswa untuk mengerti dan memahami penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam
karya sastra khususnya puisi sehingga dapat memudahkan siswa untuk mampu
menganalisis struktur fisik maupun batin puisi dan mampu menulis puisi dengan
menggunakan pilihan kata yang tepat.
Kata Kunci: Hujan Bulan Juni, gaya bahasa, pembelajaran sastra
ii
ABSTRACT
TRI WINDUSARI, 1811013000015, "Language Style set of rains in June Poetry
Works Sapardi Djoko Damono and Its Implications Of Learning Literature in
Secondary Schools", Education Department of Indonesian Language and
Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, State Islamic University Syarif
Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum., December 2014 .
The purpose of the study is to; 1) analyze the language style of poetry Rain
In June works Sapardi Djoko Damono; 2) describe the implications of the use of a
style that is contained in a collection of poetry Rain In June Sapardi Djoko
Damono work towards learning literature in secondary schools.
Methods This study used a descriptive method of analysis through stilistika
approach. Data collection techniques in this study using observation and
documentation. Analysis of the data used is a model of data flow analysis.
The results showed a style that often appears in a collection of poetry Rain
In June works Sapardi Djoko Damono comparison is a style that includes style
personification , metaphors , and allegories. The effects of the use of the language
style is made more real ideas and emotions. Furthermore, looping style is also
found that the style of language includes alliteration, mesodiplosis , and anaphora.
Overall the style of language used as language style nineteen, namely metaphor,
personification, allegory, hyperbole, litotes, paradox, climax, anticlimax, hipalase,
erotesis, ellipsis, sinekdoke, alliteration, assonance, epizeukis, anaphora,
mesodiplosis, and epanalepsis. Implications for the learning of literature in school
is to help students to understand the language and understand the use of force
contained in the literature, especially poetry so as to facilitate the students to be
able to analyze the physical structure and inner poetry and be able to write poetry
with right diction .
Keywords : Rain In June , the style of language , learning literature
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
rahmatnya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
menjauhkan kita dari zaman kebodohan.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana
pendidikan pada program Dual Mode System Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tanpa bantuan dan peran
dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terwujud. Apresiasi dan terimakasih
penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyusunan skripsi ini. Secara khusus, apresiasi dan terimakasih tersebut, penulis
sampaikan kepada,
1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan sehingga
memperlancar penyelesaian skripsi ini;
2. Dra. Hindun, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan perhatian, dan
dukungan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini;
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang sangat berpengaruh
dalam penyelesaian skripsi ini serta telah mengenalkan dan menumbuhkan
kecintaan penulis terhadap dunia sastra;
4. Dona Aji Karunia Putra, M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
bantuan sehingga penulis mendapat kemudahan untuk menyelesaikan skripsi
ini;
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu
pengetahuan;
iv
6. Yayasan Pendidikan Islam Ar-Rasyidiyyah yang telah mendukung penulis
untuk dapat melanjutkan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
7. Seluruh keluarga untuk cinta dan kasih yang diberikan kepada penulis sehingga
penulis terus semangat untuk menyelesaikan skripsi ini;
8. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program Dual Mode System Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama dan
saling menguatkan selama belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga Allah merahmati dan mencatat semua bentuk bantuan yang diberikan
kepada penulis sebagai amal kebaikan. Aamiin.
Jakarta, Desember 2014
Tri Windusari
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................……..v
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
B. Identifikasi Masalah...........................................................................................5
C. Pembatasan Masalah .........................................................................................5
D. Perumusan Masalah............................................................................................6
E. Tujuan Penelitian ...............................................................................................6
F. Manfaat Penelitian .............................................................................................6
BAB II KAJIAN TEORETIS..............................................................................7
A. Acuan Teori .......................................................................................................7
1. Hakikat Puisi ..................................................................…....……………...7
a. Pengertian Puisi..........................................................................................7
b. Jenis-jenis Puisi..........................................................................................8
2. Hakikat Gaya Bahasa...................................................................................16
a. Pengertian Gaya Bahasa...........................................................................16
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa………………………………....………….......18
c. Manfaat Gaya Bahasa………………………………...................….…...25
3. Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah…………...……….......……..….....26
B. Hasil Penelitian yang Relevan..........................................................................32
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................34
A. Metode Penelitian ........................................................................................... 34
vi
B. Sumber Data ....................................................................................................35
C. Teknik Pengambilan Sampel............................................................................36
D. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................................39
E. Teknik Analisis Data........................................................................................40
BAB IV PEMBAHASAN
A. Deskripsi Temuan Penelitian...........................................................................43
B. Hasil Analisis Data...........................................................................................55
C. Penafsiran dan Uraian Penelitian.....................................................................56
D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah........................................64
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ..........................................................................................................67
B. Saran.................................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR UJI REFERENSI
LAMPIRAN
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
2. Lembar kerja siswa (LKS)
3. Surat bimbingan skripsi
4. Sampul buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
5. 25 naskah puisi Hujan Bulan Juni
6. Riwayat hidup penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra di sekolah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi
dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Banyak manfaat yang dipetik dengan
mempelajari sastra, seperti yang dikatakan oleh Horatius ‘Dulce et Utile’.
Ungkapan yang berarti menyenangkan dan bermanfaat ini, berkaitan dengan
segala aspek hiburan yang diberikan dan segala pengalaman hidup yang
ditawarkan oleh sastra.
Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan–tangan kreatif yang merupakan
penjabaran kehidupan yang terjadi di muka bumi ini baik masa lalu maupun kini.
Karya sastra pada dasarnya adalah hasil renungan sastrawan untuk
mengungkapkan apa yang dilihat, dirasa, dipikirkan, didengar, disentuh ataupun
yang dicium secara imajinatif dengan menggunakan medium bahasa. Dalam
konteks ini sastra adalah hasil imajinatif kreatif yang tidak terlepas dari
kenyataan empirik pengarangnya.1
Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam
segi kehidupannya tidak saja merupakan suatu media untuk menampung dan
menyampaikan ide, teori atau sistem berpikir, tetapi juga harus mampu
melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan
keindahan manusia. Di samping itu, sastra harus pula mampu menjadi wadah
penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang
kehidupan umat manusia.2
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahasa adalah media sastra.
Sebagai media, fungsi bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya
yaitu fungsi komunikasi. Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat
dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana yang diolah
untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada bahasa,
1Ahmad Bahtiar, Metode Penelitian Sastra, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2011), h. 35.
2M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 8.
2
deretan kata, namun unsur “kelebihan”nya itu pun hanya dapat diungkap dan
ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu,
mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat
sarana bahasa.3
Dasar penggunaan bahasa dalam sastra bukan sekedar paham, tetapi yang
lebih penting adalah keberdayaan pilihan kata itu mengusik dan meninggalkan
kesan kepada sensitifitas pembaca.4 Salah satu genre sastra yang sangat
menitikberatkan pada persoalan pilihan kata adalah puisi. Karya sastra puisi
merupakan ungkapan perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata
yang cermat dan tepat sehingga bernilai estetis. Para penyair memilih kata-kata
yang bermakna kias atau menggunakan makna lambang. Kata-kata diberi makna
baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair karena
itulah kata-kata dalam puisi seringkali mengandung makna lain dari makna
sebenarnya.
Dalam menulis puisi, penyair sangat cermat ketika memilih kata-kata sebab
kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam
rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan
kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.5 Oleh sebab itu, di samping memilih
kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan kata dan kekuatan yang
ditimbulkannya. Cara menyusun urutan kata-kata itu bersifat khas karena penyair
yang satu berbeda caranya dengan penyair yang lain. Kekhasan tersebut sangat
penting untuk kekuatan ekspresi juga menunjukkan ciri khas.
Masalah pemilihan kata dalam puisi tidak terlepas dari struktur kebahasaan
puisi yang memanfaatkan gaya bahasa untuk memperjelas apa yang ingin
dikemukakan. Penggunaan stile, (style, gaya bahasa, majas) dalam puisi akan
memengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya tersebut. Majas secara tradisional
dapat disamakan dengan gaya bahasa. Sebaliknya, menurut teori sastra
3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2005), h. 272.
4Semi, op. cit., h. 13.
5Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 72.
3
kontemporer majas hanyalah sebagian kecil dari gaya bahasa.6 Dengan kalimat
lain dapat dikatakan bahwa gaya bahasa lebih luas dari majas. Penggunaan gaya
bahasa menyebabkan puisi menjadi prismatis yang artinya memancarkan banyak
makna. Selain itu, gaya bahasa juga digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa sehingga akan memberikan kesan kemurnian,
kelembutan, keindahan, kadang-kadang bahkan mengejutkan. Kesan yang
demikian, misalnya dapat kita rasakan ketika membaca kumpulan puisi Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo, tahun 1994, berisi
sepilihan sajak yang ditulis pada rentang waktu tahun 1964 sampai 1994. Sajak-
sajak itu berasal dari beberapa buku puisi, yakni Duka-Mu Abadi (1969), Mata
Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Di samping itu ada
sejumlah sajak yang belum pernah dimuat dalam buku puisi Sapardi sebelumnya.
Hujan Bulan Juni sudah dicetak ulang beberapa kali, dan setiap kali cetak ulang
ada sedikit perubahan yang berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak.
Buku cetakan kedua terbitan PT Gramedia ini pun mengalami perubahan,
terutama yang menyangkut jumlah dan waktu penulisannya. Secara keseluruhan,
kumpulan puisi ini berisi 102 judul puisi.
Membaca Hujan Bulan Juni tentu tidak terlepas dari pengarangnya, yaitu
Sapardi Djoko Damon. Sapardi dilahirkan di Solo sebagai anak pertama dari
pasangan Sadyoko dan Sapariah, 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kira-
kira 500 meter dari rumah Rendra.7 Pendidikan yang dijalaninya adalah SR
Kraton “Kasatriyan”, Baluwarti, Solo. Setelah tamat SR, Sapardi melanjutkan ke
SMPN II Solo. Kemudian lanjut ke SMA dan kuliah di Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, UGM, Jurusan Sastra Inggris. Dia juga pernah memperdalam
pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii tahun 1970-1971.8
6Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), h. 164.
7 Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo,
2006), h. 1.
8 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 225.
4
Sapardi menulis puisi sejak tahun 1957 ketika masih menjadi murid SMA
tetapi baru menerbitkan buku puisi pertama, Duka-Mu Abadi, tahun 1969.
Beberapa buku puisinya yang kemudian terbit adalah Mata Pisau, Akuarium,
Perahu Kertas, Sihir Hujan, hujan Bulan Juni, Arloji, Ayat-ayat Api, Mata
Jendela, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Kolam, Namaku Sita, dan
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita.
Buku fiksi yang telah dibukukan adalah Pengarang Telah Mati, Pengarang
Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati; ketiga cerita itu kemudian
disatukan dalam Trilogi Soekram. Sejak tahun 1978 Sapardi telah menerbitkan
sejumlah buku nonfiksi. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa. Sejumlah sajak dan esainya dibukukan dalam bahasa Jepang di Tokyo
tahun 1986. Pada 1998 sampai dengan 2012 terjemahan sejumlah sajaknya dalam
bahasa Inggris terbit.9 Sapardi juga menerjemahkan karya sastra dunia. Sejumlah
penghargaan telah diterima Sapardi, salah satunya adalah penghargaan dari
Akademi Jakarta untuk pencapaiannya di bidang kebudayaan pada tahun 2012.
Sapardi dikenal sebagai tokoh imajis dengan puisi-puisi naratif. Puisinya
menskemakan imaji-imaji manusia secara simbolis atau alegoris.10
Menikmati
puisi Sapardi akan membawa pembaca kepada pengalaman bertualang di dalam
jagat kata yang sulit dicarikan tandingannya.11
Terkait dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah
memahami gaya bahasa tidak hanya membuat siswa terampil berbahasa tetapi
juga dapat memudahkan siswa untuk memahami dan menghayati karya sastra,
khususnya puisi. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mengenal,
memeroleh kenikmatan menggauli puisi, bahkan memeroleh kesadaran yang
lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain, serta kehidupan sebagai upaya
pembentukan watak baik. Namun kenyataannya, pembelajaran mengenai gaya
bahasa ini masih kurang mendapat perhatian, guru biasanya hanya menyisipkan
9 Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.
119.
10
Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (ed.). Membaca Sapardi, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 56.
11
Soemanto, op. cit., h.96.
5
dan mengenalkan materi ini sekedarnya, tidak menjadikan pembelajaran ini
sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa, sementara itu dalam
kurikulum pembelajaran apresiasi puisi, siswa diminta untuk dapat menulis puisi
dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai dan dengan memerhatikan unsur
persajakan, mampu mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi,
mampu menganalisis unsur-unsur syair dan mampu menjawab soal ujian nasional
yang terkait dengan gaya bahasa. Hasilnya, ketercapaian mereka dalam
pembelajaran apresiasi puisi kurang memuaskan karena kurangnya pengetahuan
dan pemahaman siswa tentang gaya bahasa.
Berdasarkan latar belakang itulah, penulis ingin mendeskripsikan gaya
bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah dituliskan, maka masalah penelitian
yang muncul sebagai berikut.
1. Lemahnya pengajaran puisi di sekolah terkait dengan gaya bahasa.
2. Kurangnya pengetahuan siswa tentang macam-macam gaya bahasa.
3. Kurangnya pemahaman siswa tentang gaya bahasa dalam puisi.
C. Pembatasan Masalah
Setelah mengidentifikasi masalah, penulis akan membatasi permasalahan
pada dua hal berikut.
1. Penelitian ini akan mendeskripsikan gaya bahasa yang terdapat dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
2. Penelitian ini akan mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa
yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di SMP.
6
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut.
1. Bagaimana deskripsi gaya bahasa dalam kumpulan puisi Hujan Bulan
Juni karya Sapardi Djoko Damono?
2. Bagaimana implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap
pembelajaran sastra di SMP?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan gaya bahasa dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono.
2. Mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap
pembelajaran sastra di SMP.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu
pengetahuan bidang bahasa dan sastra Indonesia sehingga dapat menjadi
acuan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk pembentukan karakter.
2. Manfaat praktis
Hasil analisis ini diharapkan berguna bagi.
a. Guru, sebagai bahan pengajaran puisi dan gaya bahasa.
b. Penulis, untuk menambah khasanah pengetahuan tentang puisi karya
Sapardi Djoko Damono dan gaya bahasa yang digunakannya.
7
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Acuan Teori
1. Hakikat Puisi
a. Pengertian puisi
Poerwadarminta mengartikan puisi sebagai karangan kesusastraan
yang berbentuk sajak (syair, pantun, dsb).1 Damono dalam Soemanto
memberikan pandangan tentang puisi, yaitu “Puisi, bagi saya adalah hasil
upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan sepele dalam kata, yang
bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati
dunia yang lebih besar dan lebih dalam.”2
Mulyana dalam Semi menyatakan bahwa puisi adalah sintesis dari
pelbagai peristiwa bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan
pelbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun
dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk.3 Lain halnya dengan
Reeves dalam Waluyo memberikan batasan yang berhubungan dengan
struktur fisik puisi dengan menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa
yang kaya dan penuh pikat.4
Tarigan dalam Djojosuroto memberikan definisi lain tentang puisi,
menurutnya puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun
menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dari kata-
kata.5 Kemudian dalam buku yang sama Dickenson mengatakan kalau aku
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.
105.
2Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h. 50.
3M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 93.
4Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 72.
5Kinayati Djojosuroto dan Noldy Pelenkahu, Teori dan Pemahaman Apresiasi Puisi,
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), h. 21.
8
membaca sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk, sehingga tiada
api yang bisa memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi.6
Pendapat lain dari Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa puisi
merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk
menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan yang
menyebabkannya ada.7
Dari beberapa pengertian tersebut maka interpretasi penulis tentang
puisi adalah salah satu hasil seni sastra yang merupakan ekspresi jiwa
pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang indah.
b. Jenis-jenis puisi
1) Berdasarkan periodisasi puisi, yaitu.8
a) Puisi Lama
Jenis-jenis puisi lama antara lain.
(1) Mantra
Mantra merupakan puisi tertua di Indonesia yang kata-
katanya mengandung kekuatan gaib. Hal ini dianggap dapat
mempermudah untuk berhubungan dengan Tuhan, dewa-dewi
ataupun penguasa alam. Mantra hanya boleh diucapkan oleh
orang tertentu, pada waktu dan tempat yang tertentu pula karena
mantra sering dianggap sakral.
Contoh.
Mantra yang diucapkan pada masa menabur benih.
Sri Dongamala, Sri Dongamala
Hendak kirim anak sembilan bulan,
Segala inang, segala pengasuh,
Jangan beri sakit, jangan beri demam,
Jangan beri ngilu dan pening
Kecil menjadi besar,
Tua menjadi muda
Yang tak kejap diperkejap
Yang tak sama dipersama
Yang tak hijau diperhijau
6Ibid., h. 22.
7Ibid.
8Ibid., h. 153.
9
Yang tak tinggi dipertinggi,
Hijau seperti air laut,
Tinggi seperti bukit kap
(2) Bidal
Bidal adalah susunan kalimat puisi singkat yang
mengandung kiasan. Dipergunakan untuk menyatakan sesuatu
tidak secara berterus terang, melainkan melalui sindiran ataupun
perlambang. Jenis bidal mencakup peribahasa, pepatah, tamsil,
perumpamaan, ibarat, serta pemeo. Seluruh jenis tersebut
dinyatakan dalam kalimat-kalimat singkat.
Contoh bidal yang termasuk jenis tamsil.
Ada ubi ada talas, ada budi ada balas
(3) Pantun dan Karmina
Pantun memiliki syarat-syarat sebagai berikut, terdiri atas
8-12 suku kata, tiap bait terdiri atas 4 larik, 2 larik pertama
merupakan sampiran, sedangkan 2 larik berikutnya merupakan isi,
dan bersajak sengkelang a-b-a-b.
Contoh.
Lihatlah semut sedang berbaris
Mengangkat nasi bergotong-royong
Marilah adik jangan menangis
Mendekat sini abang’kan tolong
(4) Talibun
Talibun termasuk jenis pantun yang jumlah lariknya selalu
genap, dengan jumlah minimal 6 larik dalam 1 bait. Seperti
layaknya pantun, talibun juga terdiri atas sampiran dan isi yang
masing-masing setengah bagian. Apabila sebuah talibun terdiri
atas 6 larik, maka 3 larik pertama merupakan sampiran. Talibun
bersajak selang a-b-c-a-b-c atau a-b-c-d-a-b-c-d.
10
Contoh.
Di kala katak tersepak pelita
Menarilah kuda di batu akik
Dikejar teledu terkena pahat
Jika hendak anak sempurna
Carilah di guru cerdik
Mengajar ilmu dunia akhirat
(5) Seloka
Seloka adalah puisi yang susunan kalimatnya berisi nasihat,
sindiran ataupun seloroh. Tiap bait seloka terdiri atas 4 larik.
Perbedaannya dengan pantun adalah seloka bersajak akhir sama a-
a-a-a. Ada sebagian pakar yang berpendapat bahwa seloka
merupakan pantun berkait.
Contoh.
Taman melatih di rumah-rumah
Ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua
Ubur-ubur sampingan dua
Taman melatih bersusun tangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh bersusun bangkai
(6) Gurindam
Gurindam adalah susunan kalimat yang berisi nasihat atau
petuah, yang setiap baitnya terdiri dari 2 larik. Larik pertama
merupakan sebab, sedangkan larik kedua merupakan akibat.
Biasanya gurindam terdiri dari kalimat majemuk yang kemudian
dibagi menjadi 2 larik bersajak induk kalimat dan anak kalimat.
Kebanyakan gurindam bersajak sempurna a-a, namun ada
pula yang bersajak paruh a-b. Penyair gurindam yang sangat
terkenal adalah Raja Ali Haji, dengan karyanya yang berjudul
Gurindam XII.
11
Contoh.
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
(7) Syair
Syair adalah susunan kalimat yang dipergunakan untuk
melukiskan atau menceritakan sesuatu yang mengandung unsur
mitos ataupun sejarah. Ciri sebuah syair terdiri atas 4 larik, yang
setiap lariknya terdiri atas 8-12 suku kata. Bersajak sama a-a-a-a,
serta tidak memiliki sampiran. Keempat larik syair merupakan
suatu rangkaian cerita yang utuh yang menggambarkan isi.
Biasanya syair tidak hanya terdiri atas 1 bait karena syair
berbentuk cerita. Penggubah syair yang terkenal di Indonesia
diantaranya bernama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dengan
Syair Perihal Singapura Dimakan Api dan Hamzah Fansuri dengan
Syair Perahu, dan Syair si Burung Pingai.
b) Puisi Baru
(1) Berdasarkan bentuk ada 8 jenis, yaitu.9
(a) Distichon, puisi yang terdiri atas 2 larik dalam 1 bait
atau sajak 2 seuntai.
Contoh.
Hang Tuah
Bay berpuput alun digulung
Banyu direbut buih dibubung
Selat Malaka ombaknya memecah
Pukul-pukul belah membelah
Dan seterusnya (Amir Hamzah)
9Ibid., h. 170.
12
(b) Terzina, sajak 3 seuntai.
Contoh.
Di mana tempat cinta sejati....?
Bukan di rimba lebat dan sunyi
Bukan di puncak bukit yang tinggi
Bukan di pinggir samudera yang sepi
Jangan dicari di tempat memuja
Di kuil tempat membakar dupa
Di dalam gua tempat bertapa
(c) Quatrain, sajak 4 seuntai.
Contoh.
Kemuning
Kubuka jendela kutinjau ke luar
Hawa sejuk masuk ke dalam
Lega hatiku sukmaku segar
Menghirup udara merenung alam
Pohon kemuning sedang berkembang
Memutih bunganya bergerak di tanah,
Ada yang rontok ada yang kembang
Semerbak wangi mengharum tanah
Dan seterusnya (Karim Halim)
(d) Quint, sajak 5 seuntai.
Contoh.
Hanya Kepada Tuan
Satu-satunya perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakana
Kepada Tuan
Yang pernah merasakan
Satu-satunya kegelisahan
Yang saya resahkan
Hanya dapat saya kisahkan Kepada Tuan,
Yang pernah diresah kegelisahan
Dan seterusnya (Omar Mandank)
13
(e) Sextet, sajak 6 seuntai.
Contoh.
Tanah Air
Tersenyumlah Tuan tanah airku
Fajar tersingit di tepi langit
Alamat surya terang cuaca
Inilah kami bersusun bahu
Rela berjuang menempuh sulit
Menjunjung Tuan ke puncak jaya
(M.Moh. Yamin)
(f) Septima, sajak 7 seuntai.
Contoh.
Langit
Terang cuaca langit lazuardi
Biru jernih bagai tak berisi
Meninggi jauh, menurun dalam
Melawas melingkungi alam
Meskipun tak tampak, tahulah kita
Langit menyimpan bintang berjuta
Bergerak dinamis, getar senantiasa
(Intojo)
(g) Stanza, sajak 8 seuntai.
Contoh.
Pertanyaan anak kecil
Hai kayu-kayuan dan daun-daunan!
Mengapakah kamu bersenang-senang?
Tertawa-tawa bersuka-sukaan
Oleh angin dan terbang, senang
Adakah angin tertawa dengan kamu?
Bercerita bagus menyenangkan hati?
Aku tidak mengerti kesukaan kamu
Mengapa kamu tertawa-tawa?
(M.R. Dajoh)
14
(h) Soneta, sajak 14 larik yang biasanya dibagi menjadi 4
bait.
Contoh.
Menyesal
Pagiku hilang sudah melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa gunanya kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan dihari pagi
Menuju ke arah padang baktil
(Ali Hasymi)
(2) Berdasarkan ekspresi, antara lain.
(a) Puisi Naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau
penjelasan penyair.
(b) Puisi Lirik adalah puisi yang mengandung curahan rasa
dan suasana hati, sebagai cetusan isi hati penyairnya.
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono termasuk ke dalam
jenis puisi lirik.
(c) Puisi Deskriptif adalah puisi yang memaparkan suatu
keadaan atau peristiwa yang menarik minat penyair.
(d) Puisi Kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian di
dalam kama r.
(e) Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok dibaca di
pentas, memerlukan banyak orang pendengar.
(f) Puisi Epik adalah puisi yang mengandung unsur-unsur
epik, cerita kepahlawanan, legenda, dan sejarah.
15
(3) Berdasarkan isi, antara lain.
(a) Balada adalah puisi cerita yang berakhir dengan
kesedihan.
(b) Romans adalah puisi romantik, percintaan.
(c) Elegi adalah puisi ratapan.
(d) Himne adalah puisi pujian untuk menghormati dewa,
Tuhan, pahlawan atau almamater.
(e) Ode adalah puisi yang mengandung pujian terhadap
seseorang atau sesuatu yang dianggap luhur.
(f) Satire adalah puisi yang mengandung sindiran tajam
terhadap situasi masyarakat.
(g) Serenada adalah puisi percintaan yang bisa
dinyanyikan.
(4) Puisi Kontemporer, yaitu.
(a) Puisi Mantra adalah puisi yang menggunakan unsur-
unsur pokok kekuatan mantra.. Puisi mantra bukanlah
mantra, namun puisi kontemporer yang mengambil
sifat-sifat mantra seperti pada puisi Sutardji Calzoum
Bachri.
(b) Puisi Mbeling adalah puisi yang berciri utama kelakar.
Tipografi sangat dimanfaatkan untuk mencapai suatu
efek yang diharapkan. Kebanyakan puisi mbeling
sekedar mengajak pembaca berkelakar. Ada pula yang
berisi kritik terhadap kehidupan masyarakat, tetapi
disampaikan dengan cara berkelakar pula.
(c) Puisi Konkret dinamai pula puisi gambar. Puisi
konkret menggunakan komunikasi nonverbal, tanpa
adanya usaha penyair agar pembaca atau penikmat
mampu memahaminya.
16
2) Berdasarkan gaya penulisan, yaitu.
a) Puisi Diafan adalah puisi yang mudah ditangkap, mudah dicerna
maknanya.
b) Puisi Prismatis adalah puisi yang kelihatannya sulit dipahami
tapi setelah dibaca berulang-ulang, akhirnya bisa ditangkap
maknanya.
c) Puisi Hernetis adalah puisi yang sulit dipahami maknanya.
2. Hakikat Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan
efek dengan jalan memperkenalkan atau membandingkan suatu benda atau
hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.10
Gaya bahasa
dalam sastra dapat disebut dengan istilah stilistika.11
Secara etimologis
stylistics berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistics
dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya.12
Stilistika adalah ilmu
pemanfaatan bahasa dalam karya sastra.13
Gaya bahasa menurut Enkvist
dalam Endaswara memiliki enam pengertian, yaitu:
(a) Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan
yang telah ada sebelumnya, (b) pilihan di antara beragam pernyataan
yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif, (d) penyimpangan norma
atau kaidah, (e) sekumpulan cirri pribadi, dan (f) hubungan antara
satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada
kalimat. Yang penting harus dipahami, gaya bahasa adalah sebuah
style as choise, style as meaning, and style as tension between meaning
and form.14
Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan
gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam
kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan
10Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 4.
11
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 93.
12
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi,
(Yogyakarta: MedPress, 2008), h. 71.
13
Ibid.
14
Ibid.
17
makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun
pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya.15
Hal senada
diungkapkan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro bahwa stile, (style, gaya
bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.16
Secara ringkas Sukada dalam Djojosuroto telah merangkum sejumlah
pendapat dalam kaitannya dengan gaya bahasa. Di bawah ini dikemukakan
beberapa pendapat yang secara khas berkaitan dengan Stilistika.
Stilistika, dari stilus (Latin), secara leksikal berarti: a) suatu alat
berujung runcing untuk menulis di atas bidang atau kertas yang
berlapis lilin, b) hal-hal yang berkaitan dengan karang-mengarang, c)
karya sastra, d) gaya bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya,
sebagai style, lebih banyak mengacu pada gaya sebagaimana
dimaksudkan dalam bidang linguistik, sedangkan stilistika diartikan
sebagai ilmu tentang gaya bahasa, yang secara khusus dikaitkan
dengan karya sastra. Melalui etimologi di atas timbul beberapa
definisi stilistika, yaitu: a) ilmu tentang gaya bahasa, b) ilmu
interdispliner antara linguistik dan kesusatraan, c) penerapan kaidah-
kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, d) ilmu yang
menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dan e) ilmu yang
menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan
mempertimbangkan aspek keindahannya. Dalam pembicaraan ini
pengertian dan definisi terakhirlah yang dianggap relevan sebab gaya
bahasa terutama dikaitkan dengan aspek keindahan yang terkandung
dalam karya sastra.17
Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa gaya bahasa adalah
bahasa indah yang berjiwa yang digunakan pengarang untuk
mengungkapkan sesuatu dalam karyanya baik itu dalam prosa maupun
puisi dengan membandingkan sesuatu hal dengan sesuatu yang lain
sehingga menimbulkan atau meningkatkan efek tertentu.
15
Aminuddin, Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, (Semarang: IKIP
Semarang Press, 1995), h. v.
16
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2005), h. 276.
17
Djojosuroto. op. cit., h. 310.
18
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Lain penulis
lain pula klasifikasi yang dibuatnya. Tarigan membagi ragam gaya bahasa
menjadi empat kelompok yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan,
pertautan, dan perulangan.18
Lain lagi dengan Fananie yang membagi gaya
bahasa dengan berdasarkan struktur kalimat, retoris, dan kiasan atau
perbandingan.19
Berikut adalah klasifikasi berdasarkan Tarigan.
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Yang termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan antara lain.
a) Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada
hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama.
Contoh: Seperti air di daun keladi.
b) Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan
persamaan atau perbandingan. Dalam metafora tidak dipakai
kata-kata seperti, bagai, dan laksana.
Contoh: Gadis itu adalah bunga yang sedang mekar.
c) Personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat
insan kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak.
Contoh: Pepohonan tersenyum riang.
d) Depersonifikasi adalah gaya bahasa yang membendakan manusia
dan biasanya terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara
eksplisit memanfaatkan kata kalau dan sejenisnya sebagai
penjelas gagasan.
Contoh: Kalau dikau samudra, daku bahtera.
e) Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang;
merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan.
Fabel dan parabel merupakan alegori-alegori singkat.
Contoh: Kancil dengan kura-kura dan cerita Yusuf.
18Tarigan, op. cit., h. 6.
19Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 29.
19
f) Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan komparasi antara
dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik
yang bertentangan.
Contoh: Kecantikannyalah yang mencelakakannya.
g) Pleonasme atau Tautologi adalah pemakaian kata yang mubazir,
yang sebenarnya tidak perlu.
Contoh: Mereka mendengar fitnahan itu dengan telinga
mereka sendiri.
h) Koreksi atau Epanortosis adalah gaya bahasa yang berupa
penegasan sesuatu tapi kemudian diperbaiki atau dikoreksi.
Contoh: Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara,
maaf bukan, dari Sumatera Utara.
2) Gaya Bahasa Pertentangan
a) Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya
dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau
situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan
pengaruhnya.
Contoh: Sempurna sekali, tiada kekurangan sesuatu apa pun buat
pengganti baik atau cantik.
b) Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang
dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk
merendahkan diri.
Contoh: Anak itu sama sekali tidak bodoh.
c) Ironi adalah gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang
nyata yang berbeda, bahkan seringkali yang bertentangan dengan
yang sebenarnya.
Contoh: Bagusnya rapot si Andi ini, banyak benar angka
merahnya.
d) Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata
yang berbunyi sama tetapi bermakna lain.
20
Contoh: Oh adinda sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai
tanjung hatimu.
e) Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Contoh: Fridolin Ukur “ cerita kosong”
f) Paradox adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh: Dia kedinginan di tengah kota Jakarta yang panas.
g) Klimaks adalah urutan pikiran yang semakin lama semakin
mengandung penekanan.
Contoh: Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui,
memahami, serta menguasai bahan yang diajarkannya.
h) Antiklimaks adalah gaya bahasa yang berisi gagasan-gagasan yang
diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang
kurang penting.
Contoh: Dia memang raja uang di daerah ini, seorang budak hawa
nafsu dan keserakahan.
i) Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan
dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Contoh: Dia membaca cerita itu dengan cepat dengan cara
mengejanya kata demi kata.
j) Hipalase adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu
hubungan alamiah antara dua komponen gagasan.
Contoh: Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah (yang gelisah
adalah ia, bukan bangku).
k) Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati.
Contoh: Tidak dapat disangkal lagi bahwa bapaklah orangnya,
sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes
bersamamu.
l) Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau
21
sindiran pedas dan menyakiti hati.
Contoh: Mulutmu harimaumu.
3) Gaya Bahasa Pertautan
a) Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau
nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal
sebagai penggantinya.
Contoh: Dalam pertandingan kemarin saya hanya mendapat
perunggu sedangkan teman saya emas.
b) Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian
sebagai pengganti nama keseluruhan, hal ini disebut pars prototo,
atau menggunakan keseluruhan untuk sebagian, yang disebut
totem pro parte.
Contoh: Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi
makan di tanah air kita ini.
c) Eufimisme adalah gaya bahasa yang mengandung nama
seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu
sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.
Contoh: Tuna aksara pengganti buta huruf.
d) Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang
yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga
nama dipakai untuk menyatakan sifat itu.
Contoh: Hercules menyatakan kekuatan.
e) Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung haluan yang
menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau suatu hal.
Contoh: Lonceng pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini
menyongsong mentari bersinar menerangi alam. (lonceng pagi =
ayam jantan).
f) Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi
atau jabatan sebagai pengganti nama diri.
Contoh: Rakyat mengharapkan agar Yang Mulia dapat menghadiri
upacara itu.
22
g) Erotesis adalah gaya yang berupa pertanyaan yang dipergunakan
dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek
yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali
tidak menuntun suatu jawaban.
Contoh: Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu
ditimpakan seluruhnya kepada guru.
h) Paralelism adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai dalam
pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang
sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
Contoh: Baik kaum pria maupun wanita mempunyai kewajiban
dan hak yang sama secara hukum.
i) Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terjadi penghilangan
salah satu atau beberapa unsur penting dalam kontruksi sintaksis
yang lengkap.
Contoh: Mereka ke Jakarta minggu yang lalu (penghilangan
predikat: pergi atau berangkat).
j) Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian
atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara
sintaksis mempunyai suatu atau beberapa ciri semantik secara
umum dan yang diantaranya paling sedkit satu cari diulang-ulang
dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantiatif.
Contoh: Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju
dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik; baik secara
jasmani dan rohani; jasmani dan rohani yang diridhoi oleh Tuhan
Yang Maha Pengasih.
k) Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan dimana
beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan
dengan kata sambung.
23
Contoh: Hasil utama tanah karo adalah jeruk, nanas, kentang, kol,
tomat, bawang, sayur putih, jagung, padi. (seharusnya ada kata
dan sebelum kata padi).
l) Polisindeton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari
asindeton yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau
klausa yang berurutan dihubungkan sama lain dengan kata-kata
sambung.
Contoh: Harga padi dan jagung dan sayur-mayur sangat
menggembirakan para petani tahun lalu.
4) Gaya Bahasa Perulangan
a) Aliterasi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan
konsonan yang sama.
Contoh: Dara damba daku dan duka dua duka.
b) Asonansi adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berwujud
perulangan bunyi vokal yang sama.
Contoh: Tiada siaga tiada biasa.
c) Antanaklasis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud
perulangan kata yang sama bunyi dengan makna yang berbeda.
Contoh: Karena buah penanya itu dia pun menjadi buah bibir
masyarakat.
d) Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan
sekaligus merupakan inverse antara dua kata dalam satu kalimat.
Contoh: Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang
miskin justru merasa dirinya kaya.
e) Epizeukis adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa
perulangan langsung atas kata yang dipentingkan beberapa kali
berturut-turut.
Contoh: Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat
agar dosa-dosamu diampuni oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan
Maha Pengasih.
24
f) Tantoes adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas
sebuah kata dalam sebuah kontruksi.
Contoh: Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu
saling menuduh, kamu dan aku berseteru.
g) Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata
pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
Contoh:
Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah terperosok
kedalam jurang kenistaan. Tanpa iman yang teguh engkau akan
mudah tergoda wanita cantik di sekelilingmu. Tanpa iman yang
teguh engkau akan mudah tergoda oleh uang dan harta. Tanpa
iman yang teguh hidupmu tidak akan tentram dan damai lahir
batin.
h) Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa
perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat
berurutan.
Contoh:
Kemarin adalah hari ini
Besok adalah hari ini
Hidup adalah hari ini
Segala sesuatu buat hari ini
i) Simploke adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa
perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat
berurut urut.
Contoh: Kau katakan aku wanita pelacur. Aku katakan biarlah.
Kau katakan aku wanita mesum. Aku katakan biarlah Kau
katakan aku penuh dosa. Aku katakan biarlah.
j) Mesodilopsis adalah sejenis gaya bahasa repetesi yang berwujud
perulangan kata atau frase di tengah baris atau beberapa kalimat
beruntun.
25
Contoh:
Para pendidik harus menigkatkan kecerdasan bangsa
Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat
Para petani harus meningkatkan hasil sawah lading
Polisi R.1 harus meningkatkan keamanan umum
Seluruh rakyat harus meningkatkan pembangunan di segala bidang
k) Epanalepsis adalah semacam gaya bahasa repitisi yang berupa
perulangan kata pertama menjadi terakhir dalam kluasa atau
kalimat.
Contoh: Saya akan tetap berusaha mencapai cita-cita saya.
l) Anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa repitisi dimana kata atau
frase terakhir dari suatu kluasa atau kalimat menjadi frase pertama
dari kluasa atau kalimat berikutnya.
Contoh:
Dalam raga ada darah
Dalam darah ada tenaga
Dalam tenaga ada daya
Dalam daya ada segala
c. Manfaat Gaya Bahasa
Manfaat penggunaan bahasa figuratif (majas, gaya bahasa) dalam
puisi, antara lain.
(1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; (2)
bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan
dalam puisi; (3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas
perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair;
(4) bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna
yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang
banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.20
20Waluyo, op. cit., h. 83.
26
3. Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah
Apresiasi melibatkan 3 aspek, yaitu: (1) aspek kognitif, (2) aspek
emotif, serta (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan
keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur
sastra yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan
unsur emosi pembaca, dalam upaya memahami unsur-unsur keindahan
dalam teks sastra yang dibacanya, serta berperan memahami unsur-unsur
yang bersifat subjektif. Aspek evaluatif berkaitan dengan kegiatan
memberikan penilaian terhadap indah-tidak indah, baik-buruk, karya sastra
yang dibaca.21
Pada tingkat awal apresiasi puisi barulah berupa penikmatan, yang
hanya akan menghasilkan rasa senang. Misalnya, siswa baru mulai
menyenangi menonton atau mendengarkan pembacaan puisi. Itu sebabnya
kegiatan berpuisi di kelas VII diawali dengan mendengarkan pembacaan
puisi, kemudian siswa diminta untuk memahami puisi melalui identifikasi
unsur-unsur bentuk puisi dan mengungkapkan isi puisi yang didengarnya.
Berikut akan dibahas mengenai pengajaran apresiasi puisi di sekolah
mulai dari materi, proses sampai pada penilaian.
a. Materi
Cakupan materi atau kegiatan apresiasi puisi meliputi 3 kegiatan yaitu.
1) Kegiatan langsung, yang terdiri dari: menanggapi cara pembacaan
puisi (KD. 13.1), merefleksi isi puisi yang dibacakan (KD. 13.2),
membaca indah puisi (KD. 15.1), mengenali ciri-ciri umum puisi
dari buku antologi puisi (KD. 15. 2), dan menganalisis unsur-unsur
syair yang diperdengarkan (KD. 5.1)
2) Kegiatan yang tak langsung yaitu dengan mempelajari teori sastra.
3) Kegiatan kreatif meliputi: menulis pantun (KD. 8.1), puisi (KD.16.1)
dan musikalisasi puisi (KD. 6.2).
21 Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia UNJ, Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru
Rayon 9 UNJ, (Jakarta: UNJ, 2011), h. 281.
27
b. Proses Apresiasi Puisi
1) Kegiatan ekspresi lisan
a) Membaca puisi
Proses apresiasi diawali dengan membaca puisi. Pembacaan yang
dilakukan berulang kali, bertujuan agar dapat memahami isi puisi,
memang tidak semua puisi mudah dipahami. Dalam prosesnya di kelas
bila siswa mendapat kesulitan menangkap isi puisi, biasanya guru akan
memberi contoh pemaknaan dengan menerapkan parafrase pada puisi
tersebut. Parafrase adalah menyisipkan kata atau kelompok kata diantara
kata-kata yang telah ada, dengan tujuan mempermudah pemaknaan dan
untuk membedakan puisi asli dengan parafrase, maka parafrase
ditempatkan di dalam kurung, seperti contoh berikut.
Kemanakah (aku harus) pergi
(untuk) mencari (sirna) matahari
Ketika salju (mulai) turun
(sehingga) pepohonan (seperti) kehilangan daun (-daun)
Pendekatan parafrase ini memang merupakan cara termudah,
sehingga sering dipergunakan oleh guru sebagai alat bantu memahami
puisi. Cara lain untuk dapat memahami puisi dapat dijelaskan sebagai
berikut.
(1) Perhatikan judul puisi, pada banyak puisi, judul merupakan tema
sentral yang menggambarkan keseluruhan makna puisi tersebut.
Contohnya puisi PadaMu Jua karya Amir Hamzah, Dari Seorang
Guru kepada Murid-muridnya karya Hartoyo Andang Jaya, dan
Doa karya Chairil Anwar.
(2) Perhatikan kata yang berulang kali di munculkan pada puisi itu,
karena dapat membantu menggambarkan isi puisi.
(3) Berusaha mengetahui siapa akulirik dalam puisi tersebut.
(4) Berusaha mengetahui siapa yang dimaksud dengan kata ganti
orang yang ada di dalamnya.
28
(5) Jangan memulai penafsiran isi puisi secara terpenggal-penggal
dahulu misalnya kata demi kata, larik demi larik, tetapi bacalah
secara utuh dan di tafsirkan, baru kemudian memahami perbait,
larik, bahkan mungkin kata demi kata.
(6) Mengetahui latar belakang kehidupan penyair sangat membantu
memahami puisi.
Untuk lebih memahami sebuah puisi agar dapat dibaca dengan
penuh penjiwaaan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan antara
lain.
(1) Bacalah puisi berulang kali dengan bersuara. Pembacaan puisi
untuk dibacakan tentu berbeda dengan jika hanya untuk ditelaah.
(2) Berlatih membaca puisi tanpa suara atau membacanya dalam hati,
merupakan pekerjaan yang salah. Jika tempat dan situasi tidak
memungkinkan bersuara keras, bacalah minimal dengan
menggunakan bibir.
(3) Gunakan kamus untuk memahami kata sulit yang terdapat dalam
puisi.
(4) Lakukan pembacaan puisi pertama kali dengan nada mendatar,
tanpa tekanan, tanpa emosi. Sambil membaca dengarkan suara
anda sendiri, perhatikan sesuatu yang ingin disampaikan puisi
tersebut.
(5) Kenali peran pembaca dalam puisi tersebut.
(6) Bacalah kembali puisi dengan penuh perasaan dan takaran emosi
yang tepat. Puisi dibaca kata demi kata dengan perlahan agar dapat
melahirkan makna yang sarat.
Perlu diingat, tidak semua puisi dicipta untuk dibacakan. Puisi
kontemporer, terutama yang berbentuk puisi konkret, diciptakan untuk
dihayati pembaca bukan dibacakan di depan umum. Pada pembacaan
puisi kontemporer hendaknya dapat melihat sesuatu yang mengesankan,
mendengar suatu yang menarik, dan merasakan sesuatu ynag
menggelitik dalam proses membaca puisi tersebut.
29
b) Berbalas Pantun
Kegiatan berpantun dapat dilakukan oleh satu orang saja atapun
oleh kelompok berupa berbalas pantun. Kegiatan berpantun yang
dilakukan secara perseorangan biasanya berupa pantun nasihat, pantun
adat, pantun agama, serta pantun dagang. Untuk kegiatan berbalas
pantun dapat menggunakan jenis pantun teka-teki, pantun muda-mudi,
dan lain-lain. Agar kreavitas siswa semakin tinggi, siswa dilatih untuk
sering berpantun secara spontanis. Yang harus mendapat perhatian
ialah perbedaan intonasi pada waktu membaca puisi dengan pada saat
berpantun
c) Musikalisasi Puisi
Untuk menjadi penikmat puisi, dapat dilakukan berbagai bentuk
ekspresi lisan misalnya: membacakan puisi, mendengar pembacaan
puisi, dramatisasi puisi, atau musikalisasi puisi. Musikalisasi
merupakan apresiasi sastra yang berawal dari puisi sebagai ekspresi
tulis, kemudian dibawakan dalam bentuk ekspresi lisan, berlagu pada
seluruh puisi atau hanya sebagian dari puisi tersebut yang dilagukan.
Faktor yang sangat berperan dalam memperindah penyampaian antara
seni musik dengan seni sastra, dalam hal ini puisi. Kelompok
musikalisasi puisi cenderung menggunakan alat musik petik dan
perkusi.
Kerja musikalisasi puisi berawal dari teks puisi, yang dicipta oleh
seorang penyair. Teks puisi tersebut berusaha dipahami hakikatnya,
yang terdiri dari tema, amanat, nada dan perasaan penyair. Setelah itu
barulah unsur musik dimasukkan dan dipadukan dengan puisi, agar
menimbulkan harmoni yang selaras. Unsur musik harus seperti ini
jangan dibalik, dengan lebih dahulu menciptakan nada dan irama
musik kemudian menggabungkannya dengan puisi. Musikalisasi puisi
merupakan kerja kolektif yang menghimpun banyak orang, terdiri dari
seorang atau beberaspa penyanyi, penggubah, pemusik, dan lain-lain.
30
2) Kegiatan ekspresi tulis
Merupakan kegiatan mencipta ataupun berkreasi menghasilkan
sebuah karya kreatif berupa puisi, pantun ataupun syair.
a) Cipta pantun
Dalam mencipta pantun siswa diminta untuk menulis pantun
sesuai dengan syarat-syarat terbentuknya sebuah pantun. Pantun dibuat
berbait-bait yang setiap baitnya terdiri atas 4 larik. Setiap larik terdiri
atas 8 sampai 12 suku kata. Rima akhir sebait pantun berumus a-b-a-b
disebut bersajak sengekelang/sajak selang. Selain itu perlu
diperhatikan kedua larik pertama merupakan sampiran, sedangkan
kedua larik terakhir yaitu hari ke-3 dan ke-4 merupakan isi pantun.
Nah, syarat-syarat ini haruslah mendapat perhatian utama bagi
pencipta pantun.
Dalam pantun bagian sampiran dengan isi ada yang berhubungan
namun ada pula yang tidak berhubungan sama sekali. Yang
menghubungkan keempat larik tersebut justru terletak pada rima
akhirnya. Sampiran dibuat berdasarkan pengamatan pencipta pantun
terhadap kehidupan maupun keajaiban-keajaiban yang dilihat,
dirasakan, atau yang dihayatinya. Misalnya dalam kehidupan sehari-
hari siswa sering melihat barisan semut mengangkut sisa-sisa makanan
atau remah-remah yang mereka temukan, lalu siswa dapat menetapkan
objek sampiran ialah semut. Ciptakanlah larik pantun mulai dengan
sampiran, berdasarkan fenomena yang dilihat itu, misalnya sebagai
berikut:
Lihatlah semut sedang berbaris
Mengangkat nasi bergotong royong
Atau boleh juga dalam bentuk lain, seperti:
Barisan semut Nampak menjulur
Sedari pagi membawa remah
Kedua pantun yang masing-masing terdiri atas 2 larik merupakan
sampiran, sekarang siswa harus membuat 2 larik yang merupakan isi
pantun yang sesuai dengan jenis pantun yang akan dibuat.
31
b) Cipta puisi
Pelajaran pertama untuk mencipta puisi adalah siswa diminta untuk
mengamati objek dan mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis
puisi dari gambar peristiwa atau berdasarkan peristiwa yang pernah
dialaminya sendiri. Kemudian siswa mendeskripsikan objek dalam larik-
larik yang bersifat puitis dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.
Selanjutnya siswa diminta untuk menyunting sendiri puisi yang telah
dibuatnya.
c) Cipta Musikalisasi Puisi
Penciptaan musikalisasi puisi harus berawal dari puisi. tidak sama
halnya dengan lagu, yang dapat diciptakan musiknya dahulu baru kemudian
diisi dengan syairnya. Mencipta musikalisasi puisi dapat mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Tentukan puisi yang hendak dimusikalisasi.
(2) Bacalah puisi tersebut berulang kali, sebagai upaya memahami hakikat
dan makna puisi.
(3) Tafsirkan makna puisi tersebut secara utuh dahulu, jangan terpenggal-
penggal.
(4) Jangan ragu untuk membacanya berulang kali.
(5) Tentukan di mana puncak puisi, klimaks-klimaks kecil, klimaks puisi,
bagian yang hendak dibaca, serta bagian yang hendak dilagukan. Jika
ada yang perlu diperjelas atau ditekankan dapat dilakukan
pengulangan-pengulangan atau mengambil nada tinggi.
(6) Mulailah menetapkan irama atau notasi pada puisi.
(7) Lakukan pengisian vokal, bunyi, dan penyelarasan atau harmoni ke
semua bunyi tersebut.
c. Penilaian
Penilaian terhadap ekspresi lisan puisi mencakup penilaian terhadap
kegiatan membaca puisi, berbalas pantun, dan musikalisasi puisi. Beberapa
aspek yang dapat dijadikan pedoman bagi penilaian ketiga ekspresi lisan puisi
tersebut yakni sebagai berikut.
32
1) Baca puisi
Upaya pembaca untuk memahami puisi serta menguasai teknik
pembacaannya harus terlebih dahulu dilakukan. Jika pembaca telah mengenal,
mengetahui, kemudian memahami makna puisi yang akan dibacanya, maka
dapat diharapkan pada saat pembacaan ia akan menjiwai isi puisi. Penilaian
terhadap baca puisi, memberi bobot yang besar pada unsur penjiwaan. Unsur
lain yang juga dapat dinilai yaitu vokal serta gerak penunjang.
2) Berbalas Pantun
Penilaian dalam berbalas pantun harus memperhitungkan aspek adanya
hubungan yang logis antara pantun yang dilemparkan oleh satu kelompok
dengan kelompok yang lain, ketangkasan dalam menjawab pantun, dan
adanya kerjasama kelompok.
3) Musikalisasi Puisi
Aspek yang dinilai mencakup: pemahaman isi puisi, penghayatan yang
menilai tentang penghayatan gerak dan ekspresi, penampilan, dan harmoni
yang mencakup keselarasan musik dan bunyi.
4) Cipta Puisi
Penilaian cipta puisi meliputi: kesesuaian tema dengan isi puisi,
kedalaman isi, ketepatan diksi, serta kesesuaian tipografi.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan topik yang penulis teliti antara lain
ditulis oleh beberapa orang sebagai berikut. Pertama, buku yang berjudul Sapardi
Djoko Damono Karya dan Dunianya yang ditulis oleh Bakdi Soemanto. Buku
tersebut berisi tentang fase perkembangan kepenyairan Sapardi, juga tentang
bagaimana cara menikmati karya-karyanya termasuk di dalamnya ada beberapa
penjelasan mengenai gaya bahasa yang digunakan oleh Sapardi dalam beberapa
karyanya. Di samping itu juga menjelaskan bahwa kekuatan kepenyairan Sapardi
adalah pada kepiawaiannya memainkan kata dan makna sehingga menjadi suatu
ungkapan yang-meminjam istilah Rendra-otentik, yakni khas Sapardi.
Kedua, penelitian yang berjudul Kajian Unsur Intrinsik Puisi dalam Antologi
Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono untuk dijadikan Bahan
33
Musikalisasi Puisi yang ditulis oleh Usman Nurdiansyah. Penelitian tersebut
menganalisis puisi-puisi yang sudah dimusikalisasi. Kesimpulan yang bisa
diambil mengenai gaya bahasa yang banyak digunakan pada puisi Hujan Bulan
Juni adalah anafora. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian penulis
yaitu menggunakan sumber data primer yang sama yaitu kumpulan puisi Hujan
Bulan Juni dan juga mendeskripsikan gaya bahasa namun memiliki perbedaan
sampel dan tujuan.
Ketiga, skripsi yang berjudul Peristiwa Pembakaran 13-15 Mei 1998 dalam
Sajak Ayat-ayat Api Karya Sapardi Djoko Damono (Sebuah Pendekatan Semiotik)
yang ditulis oleh Tri Darmanto. Hasil penelitian sajak Ayat-ayat Api diperoleh
kesimpulan bahwa pembacaan semiotik terhadap sajak Ayat-ayat Api
menghasilkan tema mengenai peristiwa pembakaran pada tanggal 13-15 Mei 1998
terhadap kota Jakarta dan Surakarta. Adapun amanatnya adalah menjadi penguasa
harus amanah dan bermoral, menyelesaikan permasalahan dengan kejahatan
(membakar) tidak memberikan solusi agar masyarakat Indonesia memiliki
pendirian kuat dan tidak mudah terhasut dan segera mungkin bangkit untuk
memperbaiki semua yang hancur. Persamaan dengan penelitian penulis yaitu
terletak pada penyairnya saja, sedangkan perbedaan ada pada objek dan
pendekatan yang digunakan.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan.1
Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein
(‘ana’=atas, ‘lyein’=lepas,urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata
menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan
secukupnya.2
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
stilistika dengan fokus hanya pada bahasa figuratif (gaya bahasa). Pada umumnya
pendekatan itu sendiri, disamakan dengan metode.3 Dalam pembicaraan ini
pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, pendekatan lebih
dekat dengan bidang studi tertentu, sedangkan metode adalah cara-cara
mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data.4 Metode digunakan untuk
efisiensi, dengan cara menyederhanakan sedangkan tujuan pendekatan adalah
pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.5
Pendekatan stilistika bertumpu dari asumsi dasar bahwa fungsi bahasa
berperan utama dalam mewujudkan keberadaan sebuah teks sastra. Sebagai media
utama, keberadaan bahasa tidak dapat direnggut dari teks sastra. Bahasa sastra
memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan
bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra juga sekaligus akan
1Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 53.
2Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi,
(Yogyakarta: MedPress, 2008), h. 71.
3Ratna, op.cit., h.53.
4Ibid., h. 53-54.
5Ibid.
35
memberikan bobot karya tersebut. Bahkan menurut Pradopo dalam Endaswara
bahwa nilai sastra ditentukan oleh gaya bahasanya.6
Berikut ini merupakan cakupan kriteria pendekatan stilistika.7
1. Pendekatan stilistika berpatokan bahwa kedigdayaan sastrawan
mengekspresikan pengolahan bahasa adalah sebuah prestasi kreativitas
yang agung. Oleh sebab itu, apresiasi yang paling mulia disandang
sastrawan yang mampu mengeksplorasi bahasa dengan gaya yang
memukau dan mencengangkan;
2. Dengan penitikberatan pada penelaahan aneka variasi penggunaan
bahasa dan gayanya dalam teks sastra;
3. Berbeda dengan penelaahan pendekatan struktural, pengkajian bahasa
lebih fokus dan mendalam sehingga mampu mengungkapkan simbol-
simbol, dasar-dasar pilihan kata, dan pencapaian kemungkinan aneka
penafsiran;
4. Juga penelaahan berfokus ke arah pembukaan tabir keabstrakan makna
yang tampak dalam teks sastra yang kabur, absurd, dan eksperimental.
Hal ini tentu saja akan memberikan manfaat yang besar untuk
membantu para pembaca dalam mengapresiasikan secara tepat teks
sastra;
5. Penelaahan dapat pula mengarah pada gaya khas bersifat individual
sastrawan berupa gaya bahasa yang betul-betul mencerminkan
keberadaan dirinya sendiri;
6. Penelaahan gaya bahasa pengarang tidak hanya menyangkut individual
pengarang, melainkan dapat juga penelaahan gaya kelompok
pengarang yang umum berlaku dalam periode tertentu seperti gaya
bahasa khas pada sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Penelaahan
dapat pula mengacu kepada gejala pergeseran gaya bahasa yang terjadi
pada sosok pengarang tertentu karena proses pematangan diri atau
perubahan aliran sastra yang dianut;
7. Penelaahan juga dapat mengarah pada variasi penggunaan kata dalam
struktur kalimat, kalimat dalam paragraf, dan paragraf dalam wacana
yang semuanya itu terjalin dengan utuh sehingga mampu menggugah
dan memukau, dan;
8. Penelaahan stilistika dapat juga mengacu pada pemahaman para
pembaca terhadap teks sastra.
B. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.8 Penelitian ini
6Endaswara, op.cit., h. 72.
7Zulfa Hanum, Metode Penelitian Kesusastraan, (Tangerang: PT Pustaka Mandiri, 2012), h.
95-97.
36
menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber
data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau
dokumen.9 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku kumpulan puisi
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono cetakan kedua Oktober 2013
terbitan PT Gramedia. Adapun sumber data sekunder diperoleh dari buku
referensi, karya ilmiah, dan situs internet yang berkaitan dengan objek yang
diteliti.
Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo, tahun 1994, berisi
sepilihan sajak yang ditulis pada rentang waktu tahun 1964 sampai 1994. Sajak-
sajak itu berasal dari beberapa buku puisi, yakni Duka-Mu Abadi (1969), Mata
Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Di samping itu ada
sejumlah sajak yang belum pernah dimuat dalam buku puisi Sapardi sebelumnya.
Hujan Bulan Juni sudah dicetak ulang beberapa kali, dan setiap kali cetak ulang
ada sedikit perubahan yang berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak.
Buku cetakan kedua terbitan PT Gramedia ini pun mengalami perubahan,
terutama yang menyangkut jumlah dan waktu penulisannya. Secara keseluruhan,
kumpulan puisi ini berisi 102 judul puisi.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Masalah pemilihan sampel dalam penelitian sastra dengan metode kualitatif
cenderung menggunakan istilah “theoritical sampling”. Karakteristik utama dalam
pengambilan sampel teoretis ini dikendalikan oleh pemahaman-pemahaman
teoretis yang muncul dan berkembang sejalan dengan pengambilan data itu
sendiri.10
Jumlah sampel dalam penelitian ini pun tidak dapat ditentukan secara
tegas sejak awal penelitian. Berikut adalah prosedur pengambilan sampel
menurut Sarantokos dalam Hanum.
8Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 157.
9Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
225.
10
Hanum, op.cit., h. 49.
37
1. Tidak mengacu pada jumlah sampel yang banyak, melainkan
mengarahkan kepada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan
masalah penelitian;
2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi tergantung pada jumlah
dan karakteristik sampel sesuai dengan pemahaman konseptual
berkembang dalam penelitian; dan
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan, melainkan pada kecocokan
konteks.11
Selain, menggunakan prosedur pengambilan sampel, penulis juga
menggunakan panduan teknik pengambilan sampel seperti berikut ini.
1. Pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Teknik ini
memfokuskan pada kasus-kasus yang banyak mengandung informasi
berdasarkan keunikan dan penampilan karakteristik yang khas dalam
aspek-aspek tertentu.
2. Pengambilan sampel berfokus pada intensitas. Logika yang digunakan
dalam teknik ini sama dengan pengambilan sampel ekstrim, berupa data
yang berintensitas penuh dengan informasi yang berfokus pada
intensitas masalah penelitian.
3. Pengambilan sampel dengan variasi maksimum. Teknik ini berorientasi
pada sasaran penelitian yang menampilkan penuh aneka variasi dengan
tujuan untuk mengungkap tema sentral yang terungkap sebagai akibat
keluasan cakupan partisipan.
4. Pengambilan sampel homogen. Teknik ini mengacu kepada kasus yang
memiliki kesamaan fenomena.
5. Pengambilan sampel kasus tipikal. Teknik ini mengacu kepada kasus
yang mewakili individu/kelompok.
6. Pengambilan sampel yang terstratafikasi. Teknik ini mengacu kepada
kasus-kasus yang mampu mengungkap kondisi rata-rata sehingga
mampu membeberkan kondisi di atas atau di bawah rata-rata dari suatu
fenomena.
7. Pengambilan sampel secara kritikal. Teknik ini mengarah kepada
penyeleksian suatu individu/kelompok kritis yang mampu menjamin
pemerolehan data yang sesuai dengan topik penelitian.
8. Pengambilan sampel secara “snowball” atau berantai.Teknik ini
menggali informasi dari satu responden dan perolehan informasi itu
akan mengacu kepada responden lain serta berlanjut kepada responden
berikutnya sehingga mata rantainya semakin lama semakin panjang
bagaikan bola salju.
9. Pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Logika dasar yang
mendasari teknik ini adalah peneliti meninjau kembali dan mengkaji
ulang semua kasus yang memenuhi kriteria tertentu berdasarkan
penetapan sebelumnya.
11Ibid., h. 50.
38
10. Pengambilan sampel berdasarkan “theory-based/operational construct
sampling”. Teknik ini mengacu kepada teori sesuai dengan penelitian
yang berlangsung sebelumnya.12
Dalam penelitian ini, penulis mengambil sampel dengan prosedur mengacu
kepada kasus yang memiliki kesamaan fenomena juga berdasarkan kriteria
tertentu. Berdasarkan sumber data yang diperoleh, penulis menemukan ada
beberapa kesamaan fenomena dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
terbitan PT Gramedia, di antaranya adalah hujan, matahari, pewayangan, cermin,
malam, bunga, dan lain-lain. Dari kesamaan fenomena tersebut kemudian penulis
menggunakan kriteria tertentu untuk menetapkan sampel. Dalam hal ini, kriteria
yang diambil adalah yang paling dominan, yaitu hujan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Aspahani, dalam buku Membaca Sapardi, Aspahani mengatakan bahwa
Sapardi banyak menggunakan hujan sebagai objek puisinya. Berikut kutipannya.
Sapardi, bagi penikmat sajak dianggap sebagai “hantu” penggemar hujan.
Dalam buku pertamanya hanya ada lima sajak yang kebanyakan
menampilkan hujan hanya sebagai latar. Di buku keduanya, sebagaimana
kecenderungan sikapnya terhadap objek sajaknya, hujan digarap lebih
detail.13
Aspahani menghitung ada sepuluh sajak yang basah kuyup
kehujanan, di mana di sajak ini, hujan tak lagi hanya menjadi latar, tetapi
menjadi objek sajak, menjadi metafor utama.14
Dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni terbitan PT Gramedia, penulis
menghitung ada 25 puisi yang menjadikan hujan sebagai objek dan latar, yaitu
Sajak Desember; Sehabis Mengantar Jenazah; Hujan Turun Sepanjang Jalan;
Dalam Doa: I; Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang; Kupandang Kelam yang
Merapat Ke Sisi Kita; Pertemuan; Hujan dalam Komposisi, 1; Hujan dalam
komposisi, 2; Hujan dalam Komposisi, 3; Di Beranda Waktu Hujan; Kartu Pos
Bergambar: Jembatan Golden Gate, San Fransisco; Cahaya Bulan Tengah
Malam; Catatan Masa Kecil 2; Sajak, I; Percakapan Malam Hujan; Kuhentikan
Hujan; Sihir Hujan; Hujan Bulan Juni; Sepasang Sepatu Tua; Pada Suatu Pagi
12Ibid., h. 52.
13
Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, Membaca sapardi, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010), h. 254-255.
14
Ibid.
39
Hari: Puisi Cat Air untuk Rizki; Lirik untuk Lagu Pop; Dalam Doaku; Hujan,
Jalak, dan Daun Jambu.
Dengan demikian sampel penelitian ini difokuskan pada analisis gaya bahasa
yang terdapat pada 25 puisi tersebut.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi standar data yang ditetapkan.15
Dalam penelitian kualitatif,
pengambilan data dan analisis data berdekatan satu dengan yang lainnya dan
bahkan saling bertumpuk atau mungkin saja berawal dari pengambilan data yang
sedang berlangsung dan disaat yang sama juga dilakukan analisis data, bahkan
mungkin juga terjadi pengambilan data lainnya.16
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, interview,
dokumentasi, dan triangulasi. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan
dengan mengamati dan mencatat fenomena yang ada pada buku kumpulan puisi
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang merupakan data primer
dalam penelitian ini. Dokumentasi digunakan karena data yang diperoleh berupa
teks atau karya seseorang. Teknik ini dilakukan dengan cara menelusuri
otobiografi, majalah, dan data-data lain yang mendukung penelitian.Berikut
adalah langkah-langkah dalam pengumpulan data.
1. Membaca buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono secara berulang.
2. Mempelajari kata-kata kunci dan berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari data. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah puisi-puisi
yang bicara tentang hujan.
15Sugiyono, op.cit., h. 224.
16
Hanum, loc.cit.
40
3. Menganalisa data yang terdapat dalam tiap puisi dengan menerapkan
pendekatan stilistika.
4. Mencatat larik-larik yang menyatakan penggunaan gaya bahasa.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan
cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh
diri sendiri maupun oranglain.17
Nasution menyatakan bahwa analisis data dalam
penelitian kualitatif telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah,
sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil
penelitian.18
Adapun proses analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah model analisis data mengalir.19
Sejumlah langkah analisis terdapat dalam
model ini, yakni.
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan.20
Pengumpulan data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Data tersebut
kemudian dibaca, dipelajari, dicatat dan ditelaah.
2. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.21
Reduksi data dilakukan selama
penelitian berlangsung, bahkan dilakukan sebelum data benar-benar
17Sugiyono, op.cit., h. 244.
18
Ibid., h. 245.
19FITK UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2013), h. 69.
20
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 21.
21
Sugiyono, op.cit., h. 247.
41
dikumpulkan. Dalam reduksi data ini, data-data yang dipilih adalah hanya data
yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu gaya bahasa yang
terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
yang kata kuncinya adalah hujan.
3. Penyajian Data
Penyajian data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya.22
Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian adalah dengan teks yang bersifat naratif.23
Namun, untuk teks naratif
tertentu ada yang dialihkan menjadi bentuk gambar, bagan, dan tabel guna
memperkuat data deskriptif dan mempermudah pembaca dalam memahami isi
penelitian. Dengan penyajian data akan memudahkan untuk memahami apa
yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menyajikan data dalam bentuk teks yang
bersifat naratif. Setiap puisi yang dipilih sebagai sampel akan dianalisis gaya
bahasa yang terdapat di dalamnya.
4. Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam menganalisis data adalah menarik kesimpulan atau
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung
pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.24
22Ibid., h. 249.
23
Ibid.
24
Ibid., h. 252.
42
Apabila dikaitkan dengan penelitian stilistika, langkah-langkah analisis yang
perlu dilakukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pertama, bisa menetapkan unit analisis,misalkan berupa bunyi, kata,
frase, kalimat, bait, dan sebagainya.
2. Dalam puisi memang analisis dapat berhubungan dengan pemakaian
aliterasi, asonansi, rima,dan variasi bunyi yang digunakan untuk
mencapai efek estetika.
3. Analisis diksi memang sangat penting karena ini tergolong wilayah
kesastraan yang sangat mendukung makna dan keindahan bahasa. Kata
dalam pandangan simbolis tentu akan memuat lapis-lapis makna. Kata
akan memberikan efek tertentu dan menggerakkan pembaca.
4. Analisis kalimat ditekankan pada variasi pemakaian kalimat dalam
setiap kondisi.
5. Kajian makna gaya bahasa juga perlu mendapat tekanan tersendiri.
Kajian makna hendaknya sampai pada tingkat majas, yaitu sebuah
figuratif language yang memiliki makna bermacam-macam.25
25Endaswara, op.cit., h. 75.
43
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Temuan Penelitian
Pada 25 puisi yang dipilih sebagai objek penelitian ini, ditemukan
penggunaan beberapa macam gaya bahasa. Berikut adalah temuan penelitian yang
penulis peroleh.
1. Gaya Bahasa Perbandingan
a. Perumpamaan
1) sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak
pernah kaulihat, yang menjelmasemacam nyanyian,/ semacam
keheningan) terbang; ke mana pula suit daun yang berayun jatuh
dalam setiap impian?”//1
2) lembut bagai bianglala//2
3) Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu
tidur//3
Larik-larik tersebut termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan
karena membandingkan dua hal yang padahakikatnya berlainan tapi
dianggap sama. Kata yang digunakan untuk membandingkan dalam
larik-larik tersebut adalah kata semacam yang memiliki kesamaan arti
dengan seperti atau bagaikan.
b.Metafora
1) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke
kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas
bantal/4
2) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/
3) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/5
1Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 47.
2Ibid., h. 32.
3Ibid., h. 36.
4Ibid., h. 32.
5Ibid., h. 30.
44
4) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/6
5) yang pelahan mengendap di udara) kausebut
cintamu/penghujanpanjang, yang tak habis-habisnya/7
6) bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut/hidupmu sore hari(dan
bukan siang/8
7) ada yang berdenyut//dalam diriku:/menembus tanah basah,/9
8) “Dimanakah sorgaku itu: nyanyian/10
9) Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga/11
10) Terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu
dingin/dan fana/12
11) Pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/mawar
(begitu nyaring?”); swaramu adalah kertap bulu/burung yang
gugur (begitu hening?)//13
12) Berkilauan serbuk dalam kabut-nafasmu adalah goyang
anggrek/hutan yang mengelopak (begitu tajam?)14
13) dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman/15
14) doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau/16
15) dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang/17
16) magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat/18
17) dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang/19
6Ibid., h. 47.
7Ibid.
8Ibid., h.47-48.
9Ibid., h. 91.
10Ibid., h. 47.
11Ibid., h. 59.
12Ibid., h. 56.
13Ibid., h. 47.
14Ibid., h. 80.
15Ibid.
16Ibid., h. 109.
17Ibid.
18Ibid.
19Ibid..
45
18) Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga-
bunga//20
Larik-larik tersebut dikategorikan ke dalam gaya bahasa metafora
karena menggunakan kata-kata yang bukan arti sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
c. Personifikasi
1) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/
di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja//21
2) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang
akan menerima kita/22
3) “Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dari daun-daun
bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?23
4) “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu
memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,
memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir
dari daun dekat jendela itu.Atau memimpikan semacam suku
kata yang akan mengantarmu tidur.24
5) Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara
tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;
kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan
menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan
kembali ke bumi.25
6) Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang
panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil,
20
Ibid., h. 91. 21
Ibid., h. 16. 22
Ibid. 23
Ibid., h. 36 24
Ibid. 25
Ibid., h. 37.
46
mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.26
7) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
yangmenerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni
bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki,
yang senantiasa berulang27
8) (Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang pelahan
mengendap di udara) kausebutcintamupenghujan panjang, yang
tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di
halaman.28
9) hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan//29
10) hidupmu sore hari (dan bukan siang yang bernafas dengan
sengit/30
11) matahari menggeliat/berpusing dipedih lautan//31
12) Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi
pelahan/dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya
matahari.//32
13) Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan
bisa/menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan
angin/33
14) Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya
menyentuhsekuntum/bunga lalu tersangkut pada angin dan
terbawasampai/
15) Hujan, yang mengenakan mantel,sepatu panjang, dan lampu
jalan,/“Tutup matamu dan tidurlah.//Biar kujagamalam.”//34
26
Ibid. 27
Ibid., h. 47. 28
Ibid. 29
Ibid., h. 18. 30
Ibid., h. 48. 31
Ibid., h. 52. 32
Ibid., h.91. 33
Ibid., h. 59. 34
Ibid., h. 65.
47
16) “Kau hujan memang sukaserba kelamserbagaib serba suara
desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah,/janganmenggodaku tidur./Aku sahabat
manusia./35
17) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta
kepada sepasang telapak kaki itu//yang kiri menerka
mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar
bersama seberkas surat cinta,/sepasang sepatu tua saling
membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami
berdua//36
18) angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon
itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu?”//37
19) kabel telpon memperingatkan anginyang sedang memungut
daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan brisik,
mengganggu hujan?”//38
20) hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan
tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu?”//39
21) Hujan mengenal baik pohon,/Hujan, yang tahu benar
membeda-bedakan,/menyihirmu/40
22) tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan juni/dirahasiakan
rintik rindunya/41
23) tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya
jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu//42
35
Ibid. 36
Ibid., h.70. 37
Ibid., h.79. 38
Ibid. 39
Ibid. 40
Ibid., h.97. 41
Ibid., h. 104. 42
Ibid.
48
24) tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan juni/dibiarkannya
yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu//43
25) Hujan turun semalaman.Paginya/ jalak berkicau dan daun jambu
bersemi;/mereka tidak mengenal gurindam/dan peribahasa,tapi
menghayati/adat kita yang purba,/ tahu kapan harus berbuat
sesuatu. Mereka/tidak pernah bisa menguraikan/hakikat kata-
kata mutiara,tapi tahu/kapan harus berbuat sesuatu,agar kita/44
26) terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara//45
27) kemudian daun bertahan pada tangkainya//46
28) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/
29) kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi/terbata-bata
menghardik berulang kali)47
30) nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan/
menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu
mengunci/pintu kamar ini?”//48
Larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa personifikasi karena
menyamakan benda-benda tak bernyawa dengan manusia. Benda mati
seolah-olah mempunyai kegiatan, maksud dan nafsu seperti manusia.
Personifikasi memberikan kejelasan gambaran atau memberikan
bayangan agar konkrit sehingga membuat puisi lebih hidup.
d. Alegori
1) membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan,/membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang
berulang.//49
2) Apakah yang kita harapkan dari hujan?50
43
Ibid 44
Ibid., h.116. 45
Ibid., h. 24. 46
Ibid 47
Ibid. 48
Ibid., h. 62. 49
Ibid., h.36. 50
Ibid., h. 37.
49
3) dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya/terpisah dari
hujan//51
4) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta
kepada sepasang telapak kaki itu52
5) Kuhentikan hujan53
6) Hujan bulan juni54
7) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke
kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas
bantal/lembut bagai bianglala//55
8) lelaki tak pernah menoleh/dan di setiap jejaknya: melebat hutan-
hutan,/hibuk pelabuhan-pelabuhan;/di pelupuknya sepasang
matahari/keras dan fana//56
9) dan serbuk-serbuk hujan/tiba dari arah mana saja (cadar/bagi
rahim yang terbuka, udara yang jenuh)/ketika mereka berjumpa.
Di ranjang ini//57
Larik-larik di atas mengandung metafora yang diperluas atau
dapat juga disebut sebagai alegori karena menggunakan simbol-simbol
atau lambang.
2. Gaya Bahasa Pertentangan
a. Hiperbola
1) itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-
rahang/bunga terkam-menerkam.58
2) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak
mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur.59
51
Ibid., h. 38. 52
Ibid., h. 70. 53
Ibid., h. 91. 54
Ibid., h. 104. 55
Ibid., h. 32. 56
Ibid. 57
Ibid. 58
Ibid., h. 59.
50
Dalam larik tersebut mengandung gaya bahasa hiperbola karena
menyatakan sesuatu yang berlebihan.
b. Litotes
1) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan
selembar baju/60
Larik di atas melukiskan sesuatu secara berlawanan dengan
maksud untuk memperhalus.
c. Paradox
1) Hujan bulan juni
2) Kuhentikan hujan. Kini matahari/
3) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan
selembar baju/
4) Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga-
bunga//61
5) tiada apa pun di antara Kita: dingin/semakin membara sewaktu
berhembus angin/62
Gaya bahasa paradoks terdapat dalam larik-larik tersebut karena
mengandung suatu pernyataan yang bertentangan.
d. Klimaks
1) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak
mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya
ingin/
Kedua larik tersebut memberikan gambaran urutan pikiran yang
semakin lama semakin memberikan penekanan yang disebut sebagai
gaya bahasa klimaks.
e. Antiklimaks
1) Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambilberjalan/ tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu
59
Ibid., h. 75. 60
Ibid., h. 2. 61
Ibid., h.91. 62
Ibid.,h. 24.
51
hujan turun/ rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan
sendiri saja/ sambil menangis dan tak ada orang bertanya
kenapa.//
Larik-larik tersebut disebut antiklimaks karena berisi gagasan-
gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan
yang kurang penting.
f. Hipalase
l) hidupmu sore hari (dan bukan siang/ yang bernafas dengan
sengit/
Pada larik di atas menggunakan gaya bahasa yang merupakan
kebalikan darisuatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan.
Larik tersebut menjelaskan bahwa yang bernafas dengan sengit adalah
“hidupmu” bukan “sore hari (dan bukan siang”. Inilah yang disebut
sebagai gaya bahasa hipalase. Selain itu, larik ini juga mengandung
gaya bahasa personifikasi.
3. Gaya Bahasa Pertautan
a. Sinekdoke totum pro parte
1) sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/
Larik tersebut adalah bagian dari puisi yang berjudul Sehabis
Mengantar jenazah, “dunia” yang dimaksud dalam larik tersebut
adalah jenazah yang telah dikubur, artinya “dunia”menyebut
keseluruhan untuk menegaskan sebagian, yang dalam hal ini
jenazah.Dalam stilistika ini disebut sinekdoke totum pro parte.
Sinekdoke pars prototo
1) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
berdebuyang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan
teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh
cinta kepada sepasang telapak kaki itu//
Larik tersebut merupakan bagian dari puisi yang berjudul
“Sepasang Sepatu Tua” yang menjelaskan bahwa telah “jatuh cinta
52
kepada sepasang telapak kaki” telapak kaki dalam larik tersebut
menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan.
b. Erotesis
l) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang
kitaharapkan?/Apakah?//
2) sendiri, Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak
pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam
keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh
dalam setiap impian?”//
3) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar
dari pandangku; di mana pula/(ah, tidak!) rinduku yang
dahulu?”
Gaya bahasa yang terkandung dalam larik-larik tersebut adalah
erotesis karena berupa pertanyaan-pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban dan bertujuan untuk mencapai efek yang lebih
mendalam dan penekanan yang wajar.
d. Elipsis
1) masih adakah?
2) Apakah yang kita harapkan?/Apakah?//
3) dan menyesakkan udara dan ...”// 63
Larik-larik tersebut memiliki kontruksi sintaksis yang tidak
lengkap sehingga masuk ke dalam kategori elipsis.
4. Gaya Bahasa Perulangan
a. Aliterasi
1) kabut yang likat dan kabut yang pupur/64
2) pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/65
3) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan
matahari/yangmenerbitkan debu jalanan, yangmenajamkan/
63
Ibid., h. 62. 64
Ibid., h. 52. 65
Ibid., h. 80.
53
Larik-larik tersebut mengulang wujud konsonan yang sama
sehingga disebut sebagai gaya bahasa aliterasi.
b. Asonansi
1) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita/
2) aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari/66
Larik-larik tersebut mengulang wujud vokal yang sama sehingga
disebut sebagai gaya bahasa asonansi.
c. Epizeukis
1) alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/seluruhnya,
seluruhnya kecuali kenangan/
Larik tersebut termasuk ke dalam epizeukis karena mengulang
langsung kata yang dianggap penting secara berturut-turut.
d. Anafora
1) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita
harapkan?/Apakah?//
2) seperti engkau berbicara diujung jalan/seperti engkau
memanggil-manggil di kelokan itu/seperti engkau yang memberi
tanda tanpa lampu-lampu,/67
3) tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang
merasa diburu-buru.68
4) Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah
kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam
keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh
dalam setiap impian?”
5) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar
dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang
dahulu?”69
66
Ibid., h. 56 . 67
Ibid., h. 29. 68
Ibid., h. 18. 69
Ibid., h. 47.
54
6) yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah
matahari) yang basah/yang meleleh dalam senandung hujan/yang
larut./70
7) kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang
semesta/71
Dalam setiap larik tersebut mengulang kata pertama pada setiap
barisnya.
e. Mesodilopsis
1) tak ada yang menolaknya./tat kala angin basah tak ada bermuat
debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru//72
2) yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/ warna-warni
bunga yang dirangkaikan)yang menghapus/jejak-jejak kaki,yang
senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda,/73
3) Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik/pintu
memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir
hujan,/memimpikan bisik yang membersit dari titik air
menggelincir dari/daun dekat jendela itu./Atau memimpikan
semacam suku kata/ yang akan mengantarmu tidur.”//
4) Kau hujan memang suka serba kelamserbagaib serba suara
desis;/74
5) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang
akan menerima kita/
6) (malam berkabut seketika); barangkali menjemputku/barangkali
berkabar penghujan itu//75
Larik-larik tersebut mengulang kata atau frase di tengah baris atau
beberapa kalimat beruntun sehingga disebut gaya bahasa
mesodiplosis.
70
Ibid., h. 48. 71
Ibid., h. 24. 72
Ibid., h. 18. 73
Ibid., h. 47. 74
Ibid.,h. 65. 75
Ibid., h. 30.
55
f. Epanalepsis
1) dan menyesakkan udara dan ...”/
2) jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang
gerimis-/pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari
duri/…/jangan pejamkan matamu://76
Kata pertama larik-larik tersebut juga menjadi kata terakhir, ini
berarti larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa epanalepsis.
B. Hasil Analisis Data
Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil sebagai berikut.
1. Gaya bahasa perbandingan yang ditemukan dalam objek penelitian ini
sebanyak 60 gaya bahasa atau 60% dari jumlah keseluruhan sebanyak 100
gaya bahasa, dengan rincian: 3 gaya bahasa perumpamaan, 18 gaya bahasa
metafora, 30 gaya bahasa personifikasi, dan 9 gaya bahasa alegori.
2. Gaya bahasa pertentangan ditemukan sebanyak 11 gaya bahasa atau 11%
dari jumlah keseluruhan dengan rincian: 2 gaya bahasa hiperbola, 1 gaya
bahasa litotes, 5 gaya bahasa paradoks, 1 gaya bahasa klimaks, 1 gaya
bahasa antiklimaks,dan 1 gaya bahasa hipalase.
3. Gaya bahasa pertautan ditemukan sebanyak 8 gaya bahasa atau 8% dari
jumlah keseluruhan dengan rincian: 3 gaya bahasa erotesis, 1 gaya bahasa
sinekdoke totem pro parte,1 gaya bahasa sinekdoke pars prototo dan 3
gaya bahasa ellipsis.
4. Gaya bahasa perulangan ditemukan sebanyak 21 gaya bahasa atau 21%
dari jumlah keseluruhan dengan rincian: 3 gaya bahasa aliterasi, 2 gaya
bahasa asonansi, 1 gaya bahasa epizeukis, 7 gaya bahasa anafora, 6 gaya
bahasa mesodiplosis, dan 2 gaya bahasa epanalepsis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang paling sering
muncul dalam objek penelitian ini adalah gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa
tersebut didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan metafora. Selanjutnya,
gaya bahasa perulangan juga banyak ditemukan dari pada gaya bahasa
pertentangan dan pertautan.
76
Ibid., h.80.
56
C. Penafsiran dan Uraian Penelitian
Objek penelitian ini memiliki kecenderungan menggunakan gaya bahasa
perbandingan dengan persentase sebanyak 60%, yang didominasi oleh gaya
bahasa personifikasi, metafora, dan alegori. Gaya bahasa perbandingan atau
Fananie menyebutnya sebagai gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang
digunakan untuk menyatakan ungkapan yang berisi perbandingan atau
persamaan.77
Perbandingan dan persamaan tersebut umumya didasarkan pada ciri-
ciri yang dipunyai oleh sesuatu yang dibandingkan atau disamakan. Perbandingan
itu sendiri merupakan salah satu cara dalam memahami sekaligus menampilkan
aspek-aspek kehidupan secara berbeda. Selain itu juga dapat menjadikan puisi
memiliki rasa bahasa yang kuat dan lebih hidup.
Sajak-sajak Sapardi merupakan sajak yang lembut dan sederhana.
Kekuatannya terletak dalam kesederhanaan liris dalam menyajikan masalah
manusia yang universal. Kata-kata biasa, sehari-hari, ditangan Sapardi
menghasilkan metafor baru, juga imaji lembut dan indah. Inilah yang menjadi
kekhasan Sapardi, dengan gaya bahasa yang digunakannya Sapardi mampu
menyajikan adegan-adegan dramatis karena benda-benda yang biasa kita pandang
sebagai benda mati bisa melakukan dialog dan tindakan. Seperti yang terdapat
dalam puisinya yang berjudul Percakapan Malam Hujan. Gaya bahasa
personifikasi yang digunakan dalam puisi ini sangat menarik. Hal ini senada
dengan apa yang ditulis oleh Soemanto, yaitu.
Puisi lain yang menarik itu, antara lain, berjudul Percakapan Malam
Hujan.Larik pertama sajak ini sangat menarik: “Hujan, yang mengenakan
mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik”.
Tampak sekali di sini Sapardi bermain-main dengan makna, yang
menjadikan puisi ini tidak masuk akal”.Bagaimana mungkin hujan
mengenakan mantel, sepatu, dan bahkan, membawa payung.Bukankah
barang-barang itu seharusnya digunakan oleh manusia untuk menghadapi
hujan dan bukan hujan yang malah memakainya?Gaya personifikasi ini
aneh dan tidak biasa.Akan tetapi, justru di sini letak daya pikat dan
kekuatan puisi ini.Ini yang menempatkan Sapardi dipandang sebagai
penyair terkemuka papan atas. Dengan kata lain, puisi-puisi dengan
77
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 37.
57
gayabahasa aneh seperti ini menjadikannya suatu dunia tersendiri, yang
memberikan pengalaman batin secara unik kepada pembacanya.78
Gaya bahasa personifikasi yang menimbulkan efek lebih hidup juga terdapat
dalam puisi yang berjudul Puisi Cat Air untuk Rizki. Secara keseluruhan larik
yang terdapat dalam puisi ini menggunakan gaya bahasa personifikasi yangsangat
menarik dan memberikan efek emotif. Pada larik pertama dikatakan “angin
berbisik kepada daun jatuh” kemudian “kabel telepon yang memperingatkan angin
yang sedang memungut/daun itu dengan jari-jarinya gemas,”Jangan brisik
mengganggu hujan!’’ dan diakhiri dengan larik “ hujan meludah di ujung gang
lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!”
Hujan Bulan Juni merupakan kumpulan puisi yang banyak mengolah hujan.
Bagi Sapardi, hujan merupakan fenomena alam yang luar biasa. Aspahani
mengatakan bahwa bagi para penikmat sajak harus mengakui bahwa Sapardi
adalah “hantu” penggemar hujan.79
Hujan kerap dijadikan metafor utama dalam
sajak-sajaknya. Dalam menciptakan metafora, penyair dipengaruhi oleh
lingkungannya karena persepsi penyair terhadap gejala alam dan gejala sosial
tidak dapat lepas dari lingkungannya juga. Berikut adalah beberapa judul puisi
yang menjadikan hujan sebagai metafor utama, yaitu: Hujan Dalam Komposisi,1,
Hujan Dalam Komposisi, 2, Hujan Dalam Komposisi, 3, Percakapan Malam
Hujan, dan Puisi Cat Air untuk Rizki.
Hujan Dalam Komposisi,1, Hujan Dalam Komposisi, 2, dan Hujan Dalam
Komposisi,3 merupakan puisi-puisi yang menggunakan gaya bahasa perbandingan
seperti alegori, metafora, dan personifikasi. Metafora yang digunakan dalam
ketiga puisi tersebut adalah metafora yang diperluas sehingga menjadi bentuk
alegori. Hujan digunakan sebagai simbol atau lambang untuk mendeskripsikan
sebuah proses atau siklus kehidupan. Secara denotatif puisi-puisi tersebut
membicarakan tentang hujan itu sendiri akan tetapi hujan ini juga memiliki makna
konotatif yang menjadikannya terasa sangat dalam.
78
Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2006),
h.120. 79
Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, Membaca sapardi, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010), h. 255.
58
Berikut adalah interpretasi penulis untuk puisi Hujan Dalam Komposisi,1.
Hujan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai titik-titik air yang
berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Dengan begitu dapat dikatakan
bahwa hujan adalah sebuah proses atau dalam ilmu pengetahuan alam hujan
dijelaskan sebagai sebuah siklus. Penulis mencoba menerjemahkan puisi ini
dengan menghubungkan makna dari hujan yang berarti siklus dengan sebuah
siklus yang lain yang memiliki kesamaan esensi. Kalau hujan adalah sebuah siklus
yang diawali dari proses penguapan di bumi akibat panas matahari, sehingga uap
terkumpul di udara lalu mengalami pemadatan kemudian membentuk awan lalu
bergerak akibat hembusan angin dan selanjutnya membeku hingga pada akhirnya
mengalami presipitasi yang disebut jatuhnya air ke bumi dan terjadi hujan. Maka
penulis menghubungkan siklus tersebut dengan siklus kehidupan yang seperti roda
berputar.Kadang posisinya di atas kadang di bawah.Sama halnya dengan hujan
yang berawal dari bumi kemudian mengudara dan kembali lagi ke bumi.Jadi
pokok persoalan dari puisi ini sebenarnya adalah hujan itu sendiri yang kemudian
penulis hubungkan dengan kehidupan atau dengan kata lain hujan di sini adalah
simbol dari kehidupan.
Kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan yang teratur atau mapan
seperti yang tersirat dalam larik yang berbunyi “daun-daun bugenvil basah yang
teratur mengetuk jendela.”Larik selanjutnya yang berbunyi “Apakah yang kau
tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?” mengandung makna
lapisan masyarakat karena tanah itu sendiri dalam KBBI berarti permukaan bumi
atau lapisan bumi yang di atas sekali maka boleh jadi tanah di sini berarti lapisan
masyarakat.ricik air yang turun di selokan melambangkan sebuah keadaan yang
mengalir mungkin maksudnya adalah aliran kehidupan yang awalnya berada di
atas namun karena sesuatu hal air/hujan (kehidupan) tersebut mengalir sampai ke
selokan atau jatuh sampai pada tempat yang paling rendah.
“Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan
rahasia daun basah serta ketukan yang berulang” maksud dari larik tersebut adalah
“ia” membayangkan atau memikirkan tentang adanya campur tangan dari yang
gaib (Tuhan) terhadap kehidupan manusia baik susah ataupun senang.”Ia” juga
59
membayangkan sebuah kehidupan yang teratur. “Tak ada. Kecuali bayang-
bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari
daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan
mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak
lagi mengenalnya. Larik tersebut bermakna bahwa sebenarnya “ia yang memiliki
harapan-harapan dalam hidupnya.Berharap hidup yang teratur dan berharap
adanya petunjuk atau semacam nasihat yang dapat menguatkan agar “ia” bisa
tenang dan terus berharap. Tapi pada akhirnya “ia” merasa lelah dengan harapan-
harapan tersebut karena keadaan yang juga tak kunjung berubah.
Demikian hujan diolah dan dijadikan simbol oleh Sapardi dalam puisi-
puisinya. Simbol menurut kamus Webster adalah “sesuatu yang berarti atau
mengacu pada sesuatu yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi,
kebetulan ada kemiripan... tanda yang dapat dilihat dari sesuatu yang tak terlihat.80
Simbol digunakan untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata.
Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan
untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca.81
Bentuk gaya
bahasa perbandingan lainnya yang juga menggunakan simbol dapat ditemukan
dalam puisi-puisi yang berjudul Sehabis Mengantar Jenazah, Hujan Turun
Sepanjang Jalan, Sepasang Sepatu Tua, Kuhentikan Hujan, danKupandang
Kelam yang Merapat Kesisi Kita. Dalam “Kupandang Kelam yang Merapat ke
Sisi Kita” “kelam” dipersonifikasi hingga mengemukakan suatu gagasan metafor.
Bait pertama puisi tersebut berbunyi “kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba/(malam berkabut seketika); barangkali
menjemputku/ barangkali berjabar penghujan itu//.” “Kelam” di sini merujuk pada
maksud kematian. Kematian yang disambut dengan ketenangan atau kepasrahan
seperti yang dijelaskan pada bait berikutnya, “bayang-bayangnya pun hampir
sampai di sini; jangan/ ucapkan selamat malam; undurlah pelahan/ (pastilah sudah
gugur hujan/ di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku//.”
80
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), h. 54. 81
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 64.
60
Begitu pula dengan “Sepasang Sepatu Tua”, larik-lariknya banyak
mengandung personifikasi, seperti “sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah
gudang, berdebu/ yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan/ berlumpur sehabis hujan---keduanya telah jatuh cinta/ kepada sepasang
telapak kaki itu//yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
sampah dibakar bersama seberkas surat cinta,/sepasang sepatu tua saling
membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//”.Selain itu,
“Sepasang Sepatu Tua” juga mengandung alegori. Simbol untuk sepasang kekasih
yang menua bersama. Mereka melalui pahit manisnya hidup dengan rasa syukur
bukan dengan keluhan. Keduanya teringat akan masa lalunya yang penuh
perjuangan dan kegetiran seperti yang terdapat dalam larik-larik “yang kiri
terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan/ berlumpur sehabis
hujan” sepasang sepatu tua juga telah jatuh cinta kepada “sepasang telapak
kaki”yang telah menjadikannya bermakna. “sepasang telapak kaki” ini
mengandung gaya bahasa sinekdoke pars prototo yang menyebutkan nama bagian
sebagai pengganti nama keseluruhan. Telapak kaki adalah bagian dari anggota
tubuh manusia. Manusia di sini dimetaforkan sebagai kehidupan yang telah
memberikan hidup kepada sepasang sepatu sampai tua.
Di masa tuanya “Sepasang Sepatu Tua” berserah diri kepada “sepasang
telapak kaki” mereka mencoba menerka nasib, akan berujung seperti apakah nasib
mereka nanti, apakah akan berakhir dengan kematian yang begitu cepat dengan
membawa amal kebaikan yang dimetaforkan sebagai “surat cinta” atau berakhir
dengan kematian yang pelahan dan keduanya saling menguatkan dengan saling
berbisik seperti yang terdapat dalam larik “yang kiri menerka mungkin besok
mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang
kanan/mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu/dibuang dan
dibiarkan membusuk bersama makanan sisa/ sepasang sepatu tua saling
membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//.”
Selain gaya bahasa perbandingan, pemakaian gaya bahasa repetisi dalam puisi
Sapardi juga menduduki persentase yang tinggi dibanding dengan yang lainnya.
Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 21% penggunaan gaya bahasa repetisi.
61
Perulangan atau repetisi adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi,
suku kata, kata atau frase, ataupun bagian kalimat yang dianggap penting untuk
memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.82
Berikut adalah beberapa
puisi yang menggunakan gaya bahasa repetisi, yaitu: Kartu Pos Bergambar:
Jembatan Golden Gate, San Fransisco; Di Beranda Waktu Hujan; Hujan dalam
Komposisi, 1; Hujan dalam komposisi, 2; Percakapan Malam Hujan; dan Lirik
untuk Lagu Pop.
Aliterasi ditemukan dalam larik-larik berikut “kabut yang likat dan kabut
yang pupur/”, “pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/” dan
“Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/yang menerbitkan debu
jalanan, yang menajamkan”.Gaya bahasa repetisi lain yang dominan yaitu anafora
dan mesodiplosis. Anafora ditemukan dalam larik-larik berikut “Apakahyang kita
harapkan dari hujan?/Apakah yang kita harapkan?/Apakah?//”, “seperti engkau
berbicara di ujung jalan/seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu/seperti
engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu,/”, “tat kala angin basah tak ada
bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru.//”, “Ke mana pula
burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam
nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun
jatuh dalam setiap impian?”, “sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu
itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”,
“yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang
basah/yang meleleh dalam senandung hujan/yang larut./”, “kupandang ke sana:
Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang semesta/”.
Mesodiplosis terdapat dalam larik-larik “tak ada yang menolaknya./tat kala
angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru//”,
“yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/ warna-warni bunga yang
dirangkaikan)yang menghapus/jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam
hujan. Kau di beranda,/” “Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik/pintu
memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,/ memimpikan bisik
yang membersit dari titik air menggelincir dari/daun dekat jendela itu./Atau
82
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h.175.l
62
memimpikan semacam suku kata/ yang akan mengantarmu tidur.”//” “Kau hujan
memang suka serba kelam serba gaib serba suara desis;/” “Alangkah angkuhnya
langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/” “(malam berkabut
seketika); barangkali menjemputku/barangkali berkabar penghujan itu//”
Gaya bahasa pertentangan juga digunakan oleh Sapardi, meskipun jumlahnya
tidak banyak. Dalam penelitian ini, penulis menemukan 11% penggunaan gaya
bahasa pertentangan. Adapun efek yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa
ini adalah memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk
memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Seperti yang terdapat dalam
puisi yang berjudul Pada Suatu Pagi Hari, dalam lariknya yang kelima dan
keenam dikatakan “Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak
mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur.../. Begitu pula yang
terdapat dalam puisi Hujan Bulan Juni yang juga menjadi judul dari kumpulan
puisi ini.
Hujan Bulan Juni dapat dipandang sebagai isyarat bahwa pertentangan atau
paradoks bagi Sapardi Djoko Damono juga menjadi kekuatannya yang khas. Hal
ini tercermin dari pemakaian kata-katanya yang begitu sederhana, namun
menyimpan makna yang begitu mendalam. Dalam puisi ini, makna denotatif dan
konotatif mempunyai kualitas sejajar dengan peranan yang sama pentingnya.
Hujan Bulan Juni adalah sebuah paradoks. Mengapa demikian? Berikut adalah
tafsiran sederhana makna denotatifnya. Secara tekstual hujan bulan Juni adalah
hujan yang turun di bulan Juni. Di Indonesia, bulan Juni adalah bukan musim
penghujan, melainkan musim kemarau (meskipun untuk saat ini, hal ini bisa saja
terjadi karena adanya efek global warming), tapi mengapa bulan yang tidak
produktif dengan hujan malah disebut Hujan Bulan Juni? Inilah letak paradoks
itu, di mana terdapat pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Secara konotatif, Hujan Bulan Juni adalah simbol, penggunaan gaya bahasa
semacam itu dalam stilistika disebut sebagai alegori. Alegori yaitu gambaran
secara kias tentang satu pengertian atau dapat juga dikatakan semacam metafora
tetapi ungkapannya hanya sebagai simbol. Hujan Bulan Juni dapat ditafsirkan
63
sebagai sebuah kerinduan seseorang terhadap seseorang atau sesuatu. Mengenai
hal ini Mahayana menerjemahkannya sebagai berikut.
“Hujan Bulan Juni,” “rintik rindu,” “pohon berbunga,” adalah kata-
kata simbolik. Di dalamnya, mendekam sejumlah makna. Kini, coba
bayangkanlah, ketika kita dilanda perasaan cinta atau rindu atau perasaan
lain yang ingin ditumpahkan. Dengan segala kesabaran (tabah), kita
menunggu saat yang tepat untuk menumpahkannya.Ternyata, seringkali
kita merasakannya tidaklah mudah sebagaimana yang dibayangkan. Selalu
ada perasaan lain yang mengganggu: cemas, takut, khawatir, was-was, dan
entah perasaan apalagi.
Begitulah, ketika kita menyentuh makna konotatif, ternyata puisi itu
tidaklah sederhana, bahkan sangat problematik dan melibatkan persoalan
psikologis yang rumit dan kompleks. Kerinduan hujan sesungguhnya
merupakan problem kita, problem kemanusiaan yang paling
fundamental.Maka rindu hujan pada pohon, boleh dimaknai dengan
berbagai penafsiran.Boleh jadi itu simbolisasi perasaan cinta antar-dua
manusia, rindu pada masa lalu, atau rindu pada negeri leluhur ketika kita
berada entah di mana, jauh dari sanak keluarga.83
Paradoks lain ditemukan dalam puisi “Sajak Desember” yang terdapat dalam
larik “masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar
baju/’’ larik tersebut juga menunjukkan gaya bahasa litotes karena
mempertentangkan sesuatu dengan tujuan untuk memperhalus. Larik “tiada apa
pun di antara Kita: dingin/semakin membara sewaktu berhembus angin/” dalam
puisi “Dalam Doa”. Larik “Kuhentikan hujan. Kini matahari/” dan “Tak bisa
kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga-bunga/” dalam “Kuhentikan
Hujan”. Di samping paradoks juga terdapat gaya bahasa hipalase yang terkandung
dalam larik “hidupmu sore hari (dan bukan siang/ yang bernafas dengan sengit/”.
Larik tersebut menjelaskan bahwa yang bernafas dengan sengit adalah “hidupmu”
bukan “sore hari (dan bukan siang”.
Gaya bahasa pertautan juga penulis temukan dalam penelitian ini, yaitu
sebanyak 8%. Gaya bahasa tersebut terdapat dalam puisi Sehabis Mengantar
Jenazah,Hujan Dalam Komposisi, 2, dan Di Beranda Waktu Hujan. Gaya bahasa
yang sering muncul adalah erotesis. Ada pula penggunaan gaya bahasa sinekdoke
totem pro parte seperti yang terdapat dalam bait pertama puisi yang berjudul
83
Sarumpaet, op. cit., h. 160-161.
64
Sehabis Mengantar Jenazah. Pada larik kedua bait pertama disebut “Hujan pun
sudah selesai”. Hujan, yang merupakan fenomena alam yang sangat berpengaruh
pada hidup kepenyairan Sapardi, telah berhenti persis saat penguburan itu
rampung. Pada bait ini, jenazah, yang disebut pada judul sajak tidak lagi disebut
pada larik ketiga, tetapi diganti dengan “dunia yang tak habisnya/bercakap.” Cara
pengucapan demikian ini dalam stilistika disebut sebagai sinekdoke totem pro
parte. Maksudnya menyebut keseluruhan, dalam hal ini dunia, untuk menegaskan
sebagian, yang dalam hal ini jenazah. Secara tidak langsung ini juga menunjukkan
gejala penggunaan gaya bahasa metafora karena kata “jenazah” disamakan artinya
dengan “dunia”. Interpretasi lebih luas dijelaskan oleh Soemanto sebagai berikut.
Gaya bahasa sinekdoke tampaknya cocok untuk Sapardi yang
memandang puisi sebagai alat ucap kecil dalam rangka meraih penyajian
pengalaman yang lebih besar. Sebaliknya, dalam puisi juga bisa dihadirkan
gambaran besar untuk menegaskan yang kecil. Dengan kata lain, jenazah
tidak hanya bisa kita pandang sebagai jenazah seseorang, tetapi merupakan
wakil dari suatu kehidupan yang berangkat tua dan mati. Pada bait kedua,
si aku diminta untuk pulang “dengan payung di tangan, tertutup’. Anak-
anak pun beriang-ria, “bermain di jalanan basah”, suatu pertanda bahwa
hidup kembali normal. Bahkan, seperti dikatakan Teeuw, gairah hidup pun
mulai tumbuh setelah terdengar “kuda-kuda meringkik di bukit-bukit yang
jauh”. Dalam situasi yang demikian ini, “tak perlu tua dalam tanda tanya”.
Namun, seperti diungkapkan pada bait ketiga, pertanyaan-pertanyaan
itu terus saja bermunculan pertanyaan “masih adakah?” Hal ini sesuai
dengan salah satu konsep puisi seperti yang dikatakan oleh Sapardisendiri,
yakni bahwa sajak merupakan pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan
pula. Pertanyaan itu muncul karena hidup ternyata berhadapan dengan
“Alangkah angkuhnya langit/ angkuhnya pintu yang akan menerima kita/
seluruhnya, seluruhnya...”, yakni bahwa maut, ternyata tidak terlalu akrab.
Di samping itu, seperti ditegaskan pada baris terakhir bait ketiga itu,
akhirnya manusia mengalami kesendirian lagi: “pada sebuah gua yang
menjadi sepi tiba-tiba”.84
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra
Pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa
memliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong
dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan siswa
memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal
84
Soemanto, op. cit., h. 105- 106.
65
nilai-nilai, dan mendapatkan ide-ide baru. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tujuan pokok pengajaran sastra adalah untuk memcapai kemampuan
apresiasi kreatif. Apresiasi kreatif menurut J.Grace adalah berupa respon
sastra.85
Respon ini menyangkut aspek kejiwaan, terutama berupa perasaan,
imajinasi, dan daya kritis. Dengan memiliki respon sastra, siswa diharapkan
mempunyai bekal untuk mampu merespon kehidupan ini secara artistik imajinatif,
karena sastra itu sendiri muncul dari pengolahan tentang kehidupan ini secara
artistik dan imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Dalam pembelajaran sastra di sekolah khususnya puisi, siswa diminta untuk
dapat mengapresiasi puisi. Mengapresiasi puisi berarti kesanggupan dalam
mengenal, memahami, menghargai, menilai, dan memberi makna terhadap puisi
yang dibaca. Mengenai tingkatan apresiasi puisi Djojosuroto membaginya dalam
lima tingkatan yaitu: penikmatan, penghargaan, pamahaman, panghayatan, dan
aplikasi.86
Pada tingkatan awal apresiasi puisi di sekolah, barulah berupa
pengenalan dengan mendengarkan pembacaan puisi. Misalnya, siswa diminta
untuk mendengarkan pembacaan puisi baik itu dibacakan langsung oleh guru
maupun penyair melalui tayangan video. Hal ini ditujukan agar siswa mengenal,
senang dan tertarik untuk dapat menikmati puisi. Pada tingkatan kedua siswa
diminta untuk menanggapi pembacaan puisi (KD. 13.1). Tingkatan ini disebut
sebagai tingkat penghargaan. Selanjutnya untuk sampai ditingkat pemahaman
siswa diminta untuk memahami puisi melalui identifikasi unsur-unsur bentuk
puisi, baik fisik maupun batin (KD. 5.1 dan KD. 15.2). Setelah itu, berlanjut pada
tingkat penghayatan, pada tahap ini siswa diminta untuk merefleksikan isi puisi
(KD. 13.2). Kemudian sebagai tingkatan akhir, yaitu tingkat aplikasi siswa
diharapkan mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dan juga
memperhatikan unsur persajakan (KD.16.1).
85
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1989),
h.152- 153. 86
Kinayati Djojosuroto dan Noldy Pelenkahu, Teori dan Pemahaman Apresiasi Puisi,
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), h. 102.
66
Setiap tingkatan dalam apresiasi puisi tersebut hanya dapat dicapai bila guru
yang mengajarkan dapat menumbuhkan kecintaan siswa kepada karya sastra
khususnya puisi. Untuk menumbuhkan kecintaan tersebut guru harus mampu
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan menarik. Selain itu,
penguasaan guru terhadap materi yang diajarkan juga mutlak diperlukan. Hal ini
tentu tidak terlepas dari pemilihan bahan ajar yang tepat untuk digunakan dalam
proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono, guru dapat menjadikan buku ini sebagai bahan ajar.
Puisi-puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi ini kaya akan penggunaan gaya
bahasa. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengerti dan memahami
penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra khususnya puisi
sehingga dapat memudahkan siswa untuk bisa sampai pada tingkatan apresiasi
yang berupa aplikasi seperti mampu menulis puisi bebas dengan menggunakan
pilihan kata yang sesuai (KD. 16.1) dan menganalisis struktur fisik maupun batin
puisi pada materi mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi (KD.
15.2).
67
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis penggunaan gaya bahasa pada 25 puisi yang
terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, dapat diambil simpulan sebagai
berikut.
1. Gaya bahasa yang sering muncul dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono adalah gaya bahasa perbandingan. Gaya
bahasa tersebut didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan metafora.
Efek yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa tersebut adalah
membuat gagasan dan emosi lebih nyata. Selanjutnya, gaya bahasa
perulangan juga banyak ditemukan dari pada gaya bahasa pertentangan
dan pertautan. Secara keseluruhan gaya bahasa yang digunakan sebanyak
sembilan belas gaya bahasa, yaitu metafora, personifikasi, alegori,
hiperbola, litotes, paradoks, klimaks, antiklimaks, hipalase, erotesis,
elipsis, sinekdoke, aliterasi, asonansi, epizeukis, anafora, mesodiplosis,
dan epanalepsis.
2. Gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya
Sapardi Djoko Damono memiliki implikasi terhadap pembelajaran sastra.
Kumpulan puisi ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi
pembelajaran apresiasi puisi di sekolah karena kaya akan penggunaan gaya
bahasa. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengerti dan
memahami penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra
khususnya puisi sehingga dapat memudahkan siswa untuk bisa sampai
pada tingkatan apresiasi yang berupa aplikasi seperti mampu menulis puisi
bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai (KD.16.1) dan
menganalisis struktur fisik maupun batin puisi pada materi mengenali ciri-
ciri umum puisi dari buku antologi puisi (KD. 15.2)
68
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah dijelaskan, maka saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi di
sekolah.
2. Guru sebaiknya memberikan materi khusus mengenai gaya bahasa dengan
menambahkan indikator pada salah satu kompetensi dasar. Indikator dapat
berupa ketercapaian siswa untuk mampu mengerti dan memahami tentang
berbagai macam gaya bahasa dan penggunaanya dalam pembelajaran
maupun kehidupan sehari-hari.
3. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini
hendaknya menjadi salah satu buku yang harus ada di perpustakaan
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press. 1995.
Atmazaki. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990.
Bahtiar, Ahmad. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Pustaka Mandiri. 2011.
Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2013.
Djojosuroto, Kinayati dan Noldy Pelenkahu. Teori Pemahaman dan Apresiasi
Puisi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2009.
________ dan M.L.A. Sumaryati. Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan
Sastra. Bandung: Nuansa. 2010
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. 2008.
Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
2002.
FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. 2013.
Hanum, Zulfa. Metode Penelitian Kesusastraan. Tangerang: PT Pustaka Mandiri.
2012.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2010.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2005.
Poerwadarminta, W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 1995.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Sastra Indonesia
Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
_______, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2009.
Sarumpaet, Riris K. Toha dan Melani Budianta (ed.). Membaca Sapardi. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1998.
Skripsi. Fakultas Sastra UNS Surakarta. 2004.
Soemanto, Bakdi. Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya. Jakarta: PT
Grasindo. 2006.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
2009.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
2009.
Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1995.
Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia UNJ, Modul Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru Rayon 9 UNJ, Jakarta: UNJ. 2011.
Nama
NIM
Jurusan
Fakultas
Judul Skripsi
LEMBAR UJI REFERENSI
: TRI WINDUSARI
:1811013000015
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
: Ilmu Keguruan dan TarbiYah
'. "Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya
Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama'"
' Memahami Bahasa dalam
Karya Sastra. Semarang: IKIP SemarangPress' 1995'
aon TeraPan' Padang: Angkasa
Raya. 1990.
Penelitian Sastra' Jakarta:
Pujangga Rabani Press. 2012.
an Bulan Juni, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2013
@aun Noldy pelenkahu. Teori
Pemahaman dan Apresiasi Puisi' Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.2009
D--tojosoroto, rinuyuti dan M'L.A. Sumaryati' Prinsip-
Bandung:prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra'
Nuansa. 2010.
Endaswara, Suwardi.
Epistemologi, Model,
MedPress.2008.
Metodologi Penelitian Sastra
Teori, dan Aplikasi. YogYakarta:
8. Fananie, Zanuddin. Telaah Sastra. Surakarta:
Muhammadiyah University Press. 2002. 39. FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Slvipsi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah- 2013. x10. Hanum, Zulfa. Metode Penelitian Kesusqstraqn Tangerang:
PT Pustaka Mandiri. 2012.
a")
4ll Minderop, Albertine. Metode Karalderisasi Telaah Fil$i.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.9-,/)
t2. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi
Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.2010.?/)
13. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia lndonesia.
1988. 314. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2005. x15. Poerwadarminta" W-J-S.. Kamus Umum Bahasa Indonesiq-
Jakarta: Balai Pustaka. 1995. 416. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi
Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.2AD9.&
17. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra dari Struhuralisme Hingga
Postrukturalisme Perspeloif Wacano Naratif, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2009.
L18. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastrq, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. 419. Sarumpaet, Riris K. Toha dan Melani Budianta. Membaca
Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010. E20. Semi, M. Atar. Anqtomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
1998. \27. Skipsi. Fakultas Sastra IINS Surakarta.2004. 4
22. Soemanto, Bakdi. Sapardi Djoko Damono Karya dan
Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2006. /123. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007. fr24. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitotif Kualitatd dan
R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. E25. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung:
Angkasa Bandung. 2009. A26. Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia IJNJ, Modul
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 9 UNJ, Jakarta:
uNJ.201l. \27. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga. 1995. \
Mengetahui,Pembimbing skripsi
NrP. 1 9760 1182009121002
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nama sekolah : MTs.Ar-Rasyidiyyah
Mata pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : VIII (Delapan)
Semester : 1I (Dua)
Aspek : Menulis
A. STANDAR KOMPETENSI
16. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas.
B. KOMPETENSI DASAR
16.1 Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.
C. INDIKATOR
1. Kognitif
a. Produk: menulis puisi
b. Proses:
1) Mengamati gambar atau objek, kemudian mendaftar topik/objek yang
akan diangkat sebagai puisi.
2) Mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis.
3) Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.
4) Menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa.
5) Menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam puisi yang
ditulis agar bersifat puitis.
2. Psikomotor
1) Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai
berdasarkan objek yang didata.
2) Menulis puisi dengan gaya bahasa.
3) Menyunting pilihan kata puisi yang ditulis.
3. Afektif
a. Perilaku berkarakter
1) Rasa hormat dan perhatian
2) Tekun
3) Mandiri
b. Keterampilan sosial
1) Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar.
2) Menyumbang ide
3) Membantu teman yang mengalami kesulitan
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kognitif
a. Produk
Siswa dapat menulis puisi
b. Proses:
1) Siswa dapat mengamati objek dan mendata objek yang akan
dijadikan bahan menulis puisi dari gambar atau pengamatan
langsung.
2) Siswa dapat mendaftar topik/objek yang akan diangkat sebagai puisi.
3) Siswa dapat mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat
puitis dari puisi yang ditulis.
4) Siswa dapat menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam
puisi yang ditulis agar bersifat puitis.
5) Siswa dapat mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat
puitis.
6) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang
sesuai.
7) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa.
8) Siswa dapat menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam
puisi yang ditulis agar bersifat puitis.
2. Psikomotor
1) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang
sesuai berdasarkan objek yang didata.
2) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa.
3) Siswa dapat menyunting pilihan kata puisi yang ditulis.
4) Siswa dapat memberikan tanggapan atau penilaian dari puisi yang
ditulis teman
3. Afektif
a. Perilaku berkarakter
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperhatikan
kemajuan dan berperilaku seperti,
1) Rasa hormat dan perhatian
2) Tekun
3) Mandiri
b. Keterampilan sosial
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memerhatikan kemajuan
seperti,
1) Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar.
2) Menyumbang ide.
3) Membantu teman yang mengalami kesulitan.
E. MATERI PEMBELAJARAN
a. Gambar peristiwa
b. Unsur intrinsik puisi
c. contoh-contoh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan
Juni
F. ALOKASI WAKTU : 2 X 40 menit
G. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN
a. Pendekatan : CTL
b. Model pembelajaran : Pemodelan dan koperatif
c. Metode pembelajaran : Diskusi, penugasan, ceramah
H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
1. Kegiatan awal (10 menit)
a. Mempersiapkan siswa belajar.
b. Guru melakukan apersepsi dengan meminta siswa untuk melihat
gambar peristiwa/tayangan yang mengharukan.
c. Guru dan siswa bertanya jawab tentang proses penyusunan puisi yang
pernah dialami atau dikenal siswa.
d. Menyampaikan tujuan pembeljaran yang akan dicapai.
e. Memotivasi siswa bahwa menulis puisi itu mudah dan dapat dilakukan
oleh siapapun.
f. Memberikan keterangan tentang pilihan kata yang sesuai pada puisi.
2. Kegiatan inti (60 menit)
a. Guru dan siswa bertanya jawab tentang pengalaman siswa menulis
puisi. (eksplorasi)
b. Guru memfasilitasi siswa mengamati berbagai penulisan puisi
berdasarkan pada gambar atau yang dilihat berdasarkan pilihan kata
yang tepat. (eksplorasi)
c. Guru melibatkan siswa mencari informasi yang luas dan dalam
tentang topik/tema materi yang akan dipelajari. (eksplorasi)
d. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antara siswa serta antara
siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
e. Siswa berkelompok menjadi dua kelompok, kelompok satu menyusun
puisi dari gambar, kelompok menyusun puisi dengan pengamatan
lingkungan sekolah. (elaborasi)
f. Setiap kelompok menyajikan puisinya di papan tulis. Kelompok yang
lain mengomentari puisis dari segi kesesuaian dengan gambar/obyek
yang diamati. (elaborasi)
g. Guru memberikan format penilaian kinerja, siswa mengacu format
asesmen kinerja pada LP 2 untuk digunakan membahas hasil kerja
kelompok.
h. Beberapa orang siswa dari perwakilan kelompok membahas hasil kerja
kelompok. (konfirmasi)
i. Siswa membahas hasil kerja kelompok melalui kegiatan tanya jawab
dengna menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika ada
anggota kelompok sedang mempresentasikan hasil kerja kelompok,
siswa lain mendengarkan dengan penuh apresiasi. (konfirmasi)
j. Siswa lain menanggapi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar selanjutnya mereka saling bertukar saran dengan bahasa
yang santun (konfirmasi)
k. Secara individual siswa menulis puisi dengan mengamati gambar atau
lingkungan sekolah dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai
dalam lembar kerja siswa yang dapat dijadikan penilaian akhir
kemampuan siswa. (elaborasi).
l. Siswa menampilkan hasilnya di papan tulis/ dinding kelas. (elaborasi)
m. Siswa lain memberikan komentar.
n. Siswa mengambil hasil karya yang ditempelkan di papan tulis/dinding
kelas dan menyunting puisi berdasarkan komentar yang diterimanya.
(elaborasi)
o. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk
lisan, tulisan, isyarat maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa.
(konfirmasi)
3. Kegiatan akhir (10 menit)
a. Siswa membuat rumusan simpulan terhadap butir-butir pembelajaran
yang sudah diikutinya.
b. Siswa menyampaikan kesan dengan menggunakan bahasa yang baik
dan benar terhadap pembelajaran yang dilaksanakan secara konsisten
sebagai kegiatan refleksi.
c. Guru memberikan penguatan terhadap simpulan oleh para siswa untuk
menumbuhkan kebanggaan oleh rasa percaya diri siswa.
d. Guru memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
I. MEDIA/ ALAT/ BAHAN/ SUMBER BELAJAR
1. Laptop, LCD
2. Lembar kerja siswa
3. Gambar
4. Contoh-contoh puisi dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni
5. Buku bahasa Indonesia untuk SMP/MTs kelas VIII, penerbit Erlangga
6. Pengajaran gaya bahasa Henry Guntur Tarigan
J. PENILAIAN
1. Lembar Penilaian 1 (LP 1) = Kognitif (penilaian produk)
2. Lembar Penilaian 2 (LP 2) = Kognitif (penilaian proses)
3. Lembar Penilaian 3 (LP 3) = Psikomotor
4. Lembar Penilaian 4 (LP 4) = Afektif (penilaian perilaku berkarakter)
5. Lembar Penilaian 5 (LP 5) = Afektif (penilaian perlaku sosial)
Jenis tagihan:
1. Tugas individu : menggunakan LP 1, LP 4, dan LP 5
2. Tugas kelompok : menggunakan LP 2, dan LP 3
Bentuk instrumen
1. Uraian bebas
2. Jawaban singkat
3. Lembar pengamatan
Mengetahui, Jakarta, Desember 2014
Kepala sekolah Guru mata pelajaran bahasa Indonesia
H. Achmad Habibi HR., S.Pd. Tri windusari, S.Pd
Lembar Penilaian 1
Tulislah beberapa obyek yang kalian amati dari gambar yang disediakan !
Lembar Penilaian 2
Tulislah sebuah puisi berdasarkan obyek yang telah ditulis dengan
menggunakan pilihan kata yang sesuai!
Rubrik penilaian:
No. Aspek Skor Nilai
1.
2.
3.
4.
Keunikan puisi
Keindahan kata
Gaya bahasa
Kesesuaian isi puisi
2
3
2
3
Jumlah skor maksimum 10
Hari/ tanggal :
Siswa, Paraf guru,
Lembar Penilaian 3
1. Suntinglah puisi kalian agar menjadi lebih puitis!
2. Cermatilah komentar gurumu atau temanmu untuk perbaikan puisi
yang kamu hasilkan!
Rubrik penilaian:
No. Aspek Skor Nilai
1.
2.
3.
4.
Keunikan puisi
Keindahan kata
Gaya bahasa
Kesesuaian isi puisi
2
3
2
3
Jumlah skor maksimum 10
Hari/ tanggal :
Siswa, Paraf guru,
Lembar penilaian 4
Petunjuk:
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa dengan
menggunakan skala berikut:
A= sangat baik
B= memuaskan
C= menunjukkan kemajuan
D= memerlukan perbaikan
Format pengamatan perilaku berkarakter
No. Rincian
Tugas
Kinerja
(RTK)
Memerlukan
perbaikan
(D)
Menunjukkan
kemajuan
(C)
Memuaskan
(B)
Sangat
Baik
(A)
1.
Cermat
2. Sungguh-
sungguh
3. Mandiri
Hari/ tanggal :
Siswa, Paraf guru,
Lembar Penilaian 5
Petunjuk:
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa dengan
menggunakan skala berikut:
A= sangat baik
B= memuaskan
C= menunjukkan kemajuan
D= memerlukan perbaikan
Format pengamatan keterampilan sosial
No. Rincian Tugas
Kinerja
(RTK)
Memerlukan
perbaikan
(D)
Menunjukkan
kemajuan
(C)
Memuaskan
(B)
Sangat
Baik
(A)
1.
Menyumbang
kan ide
2. Menggunakan
bahasa
Indonesia
yang baik dan
benar
3. Membantu
teman yang
mengalami
kesulitan
Hari/ tanggal :
Siswa, Paraf guru,
LEMBAR KERJA SISWA
Nama siswa :……………………………………………………………..
Kelas :……………………………………………………………..
A. Standar Kompetensi : Menulis
16. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas.
B. Kompetensi Dasar
16.2 Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa dapat mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi.
2. Siswa dapat menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang
sesuai.
3. Siswa dapat menulis puisi bebas dengan menggunakan gaya bahasa.
4. Siswa dapat menyunting sendiri puisi yang ditulisnya
BERPUISI YUK!
Pada pembelajaran sebelumnya kalian sudah memelajari karya sastra
berbentuk puisi. Tentunya kalian sudah mengenali ciri-ciri umum sebuah
puisi. Sekarang, mari kita berlatih menulis sebuah puisi dengan terlebih
dahulu mendata dan memilih/menentukan objek yang akan kalian jadikan
bahan menulis puisi bebas!
1. Lakukan pengamatan terhadap suatu objek yang menarik di lingkungan
sekolahmu, hasil pengamatan dapat ditulis dalam kolom seperti contoh
berikut:
Objek pengamatan Pembatasan waktu Fokus pengamatan
Kantin sekolah Pagi hari Suasana kantin di sekolah
waktu jam istirahat pagi
hari
2. Daftarlah beberapa objek yang menarik di lingkungan sekolah kalian yang
dapat dipilih sebagai objek penulisan puisi!
3. Amatilah salah satu objek yang sudah disepakati oleh semua siswa dan
tetapkan fokus pengamatan kalian!
4. Tulislah kalimat-kalimat puitis berdasarkan objek yang kalian amati!
5. Susunlah kalimat-kalimat yang puitis tersebut menjadi puisi dengan
memerhatikan pilihan kata yang sesuai dan menggunakan gaya bahasa!
6. Suntinglah sendiri pilihna kata yang kurang tepat dan kurang puitis dalam
puisi yang ditulis tersebut!
7. Tukarkan puisimu dengan hasil puisi temanmu dan berikan penilaian
dengan format berikut!
Rubrik penilaian
No. Aspek penilaian indikator skor Nilai
1. Pengembangan pilihan kata dan
gaya bahasa
Kekreativitasan
pengembangan dari
kata ke kata yang
dipilih:
Kreatif
Kurang kreatif
Tidak kreatif
5
4
3
2. Keutuhan makna puisi dengan
memerhatikan pilihan kata
yang sesuai
Kesinambungan
antar bait atau lirik:
Semua
berkesinambungan
Sebagian ada yang
tidak
berkesinambungan
Banyak yang tidak
berkesinambungan
5
4
3
Jumlah skor 10
8. Perbaikilah puisi kalian, tulis kembali atau ketik dengan rapi, kemudian
tempelkan di dinding kelas!
D. Tanggapan pengajar
..………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Hari/ tanggal :
Skor Paraf guru, Paraf orang tua,
MATERI PUISI
Puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-
syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dari kata-kata. Keindahan puisi
terlihat dari pilihan kata-kata yang sarat makna. Sebelum memahami sebuah
puisi, kita harus mengenal dahulu unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi.
Unsur-unsur tersebut meliputi:
1. Tema
Merupakan gagasan pikiran yang dikemukakan oleh penyair.
2. Suasana
Merupakan ungkapan perasaan dan pemikiran penyair terhadap suatu hal atau
masalah.
3. Nada
Merupakan cara penyair mengungkapkan puisinya baik dengan cara
menyindir, memuja, merayu, dan sebagainya.
4. Amanat
Merupakan pesan yang disampaikan penyair melalui puisinya baik secara
tersirat atau tersurat yang dapat dipetik oleh pembaca.
5. Diksi
Merupakan pilihan kata untuk menyampaikan gagasan, situasi, dan perasaan
penyair secara tepat yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dapat
menimbulkan efek keindahan dan menghidupkan imajinasi pembaca.
6. Citraan
Merupakan gambaran angan yang muncul di benak pembaca puisi. Wujud
gambaran atau citraan terdiri atas:
a. Citraan penglihatan
b. Citraan pendengaran
c. Citraan penciuman
7. Gaya bahasa
Gaya bahasa digunakan untuk menghasilkan puisi yang indah, hidup, dan
bernilai seni. Macam-macam gaya bahasa antara lain: perbandingan,
pertentangan, pertautan, perulangan. Jenis-jenis dari macam-macam gaya
bahasa tersebut dapat dilihat dibuku Henry Guntur Tarigan.
8. Irama
Irama dalam puisi tergantung dari banyaknya bunyi suku kata, baik pada kata,
frasa maupun kalimat dalam tiap baris.
Contoh-contoh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan
gaya bahasa yang digunakannya.
Puisi I
HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara
tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;
kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan
menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah,
dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang
panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan
kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik
sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan.
Selamat tidur.
(1969)
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut antara lain.
a. Personifikasi
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi,
ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu,
tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di
pekarangan rumah dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang,
menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,
menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap
ini, bercakap tentang lautan.
b. Erotesis, terdapat dalam larik.
Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita
harapkan?/Apakah?//
Puisi II
SEPASANG SEPATU TUA
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan
berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta
kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan
mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu
dibuang dan dibiarkan bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa
mereka pahami berdua
Puisi III
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon
itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!"
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut
daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan brisik,
mengganggu hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan
tajam, hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
SAJAK DESEMBER
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu
(1961)
SEHABIS MENGANTAR JENAZAH
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? hujan pun sudah selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap
di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja
pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya
masih adakah? alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba.
(1967)
HUJAN TURUN SEPANJANG JALAN
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. Kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tat kala angin basah tak ada bermuat debu
tat kala tak ada yang merasa diburu-buru
(1967)
DALAM DOA: 1
kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya
kupandang semesta
ketika Engkau seketika memijar dalam Kata
terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara
kemudian daun bertahan pada tangkainya
ketika hujan tiba. Kudengar bumi sediakala
tiada apa pun di antara Kita: dingin
semakin membara sewaktu berhembus angin
(1968)
GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA MALANG
seperti engkau berbicara diujung jalan
(waktu dingin, sepigrimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu
untuk kembali berduka)
untuk kembali kepada rindu
panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
supaya menyahutmu, Mu
(1968)
KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT
KE SISI KITA
kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika); barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu
kita terdiam saja di pintu, menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;
kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)
bayang-bayangnya pun hampir sampai di sini; jangan
ucapkan selamat malam; undurlah pelahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku
kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)
(1968)
PERTEMUAN
perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal
lembut bagai bianglala
lelaki tak pernah menoleh
dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari
keras dan fana
dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar
bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)
ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini
(1968)
HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1
“Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun
bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang
kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?”
“Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,
membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik
pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,
memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari
daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata
yang akan mengantarmu tidur.”
“Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi
mengenalnya.
(1969)
HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara
tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;
kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan
menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah,
dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang
panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan
kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik
sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan.
Selamat tidur.
(1969)
HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan
(1969)
DI BERANDA WAKTU HUJAN
Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan
warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus
jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang
dalam hujan. Kau di beranda,
sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan
tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,
semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun
yang berayun jatuh dalam setiap impian?”
(Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,
yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamu
penghujan panjang, yang tak habis-habisnya
membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.
Di beranda kau duduk,
Sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,
menghindar dari pandangku; di mana pula
(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”
Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar
kepada hujan, sendiri,
“Di manakah sorga itu: nyanyian
yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu
kata demi kata yang pernah kuhafal
bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut
hidupmu sore hari (dan bukan siang
yang bernafas dengan sengit
yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah,
yang meleleh dalam senandung hujan,
yang larut.
Amin.
(1970)
KARTU POS BERGAMBAR:
JEMBATAN GOLDEN GATE, SAN FRANCISCO
kabut yang likat dan kabut yang pupur
lekat dan grimis pada tiang-tiang jembatan
matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit! Berpusing di pedih lautan
(1971)
CAHAYA BULAN TENGAH MALAM
aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari
genting kaca
adakah hujan sudah reda sejak lama?
masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubaca
terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin
dan fana
(1971)
CATATAN MASA KECIL 2
Ia mengambil jalan lintas dan jarum-jarum rumput
berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga.
ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga
lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara
itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang
bunga terkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin
begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa
menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin
dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di
balik semak. Ia tak mendengarnya.
Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum
bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai
ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan i a membayangkan
rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di
tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata
tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting
yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya
ke seberang sungai belum jug a tiba lalu menyaksikan butir-butir
hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan
lingkaran-lingkaranitu melebar dan ia membayangkan mereka
tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.
Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia
tak melihatnya. Ada.
(1971)
SAJAK, 1
Begitulah, kami bercakap sepanjang malam; berdiang pada suku
kata yang gosos-menggosok dan membara. “Jangan diam,
nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan
menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci
pintu kamar ini”
Baiklah kami pun bercakapa sepanjang malam: “Tetapi begitu
cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan
dan menyesakkan udara dan...”
(1973)
PERCAKAPAN MALAM HUJAN
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,
berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan,
“Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah;
asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”
(1973)
SEPASANG SEPATU TUA
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan
berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta
kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan
mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu
dibuang dan dibiarkan bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa
mereka pahami berdua
(1973)
PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan
tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun
rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-
rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
(1973)
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon
itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!"
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut
daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan brisik,
mengganggu hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan
tajam, hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
(1975)
LIRIK UNTUK LAGU POP
jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis---
pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri
mawar (begitu nyaring); swaramu adalah kertap bulu
burung yang gugur (begitu hening)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan;
berkilauan serbuk dalam kabut--- nafasmu adalah goyang anggrek
hutan yang mengelopak (begitu tajam)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam
kertap bulu burung dalam goyang anggrek---ketika hutan
mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:
(1975)
KUHENTIKAN HUJAN
Kuhentikan hujan. Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan
ada yang berdenyut
dalam diriku:
menembus tanah basah,
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari.
Tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.
(1980)
SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon,jalan,
dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu.
Hujan yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan –
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan.
(1981)
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
HUJAN, JALAK, DAN DAUN JAMBU
Hujan turun semalaman. Paginya
jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita manusia, merasa bahagia. Mereka
tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita
merasa tidak sepenuhnya sia-sia.
(1992)
DALAM DOAKU
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening siap
menerima cahaya pertama, yang melengkung heningkarena
akan menerima suara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau
senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan
muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga
itu
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup dicelah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-
nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bu
lu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
(1989)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis lahir di Jakarta, 21 September
1978 dengan nama lengkap Tri Windusari,
mengawali pendidikan formal di TK Aisiyah
kemudian melanjutkan studi di SDN 24
petang, lalu SMPN 23I, dan menamatkan
pendidikan di SMAN 83 Jakarta Utara pada
tahun 1996. Ibu dari dua anak perempuan
yang bernama Salma Mernissie dan Naialya
Khanza Batuta ini sangat menyukai senja,
petualangan, dan juga mencintai dunia yang
ditekuni saat ini yakni menjadi seorang guru.
Bagi penulis menjadi guru adalah panggilan
jiwa dan merupakan cita-cita sejak kecil.
Profesi tersebut ditekuni sejak tahun 2006. Saat itu, penulis mendapatkan
kesempatan untuk menjadi guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia.
Inilah yang menjadi awal kecintaan penulis kepada dunia bahasa dan sastra,
hingga akhirnya tertarik untuk mendalaminya. Seperti peribahasa hendak ulam
pucuk menjulai, pada tahun 2011 penulis mendapat beasiswa dari kantor
Kementrian Agama untuk mengikuti pendidikan di UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan.
Menapaki dunia yang baru ini membuat penulis merasa tersesat di jalan
yang benar. Meskipun mangalami kendala, namun tetap bersyukur karena bisa
mengenal sastra lebih jauh dan menganggap ini adalah sebuah keberuntungan.
Bagi penulis mengenal sastra memberikan banyak manfaat, tidak hanya
menghibur tetapi juga membuatnya merasa lebih dekat dengan Tuhan.
Salah satu keinginan penulis saat ini adalah ingin menjadi guru yang
professional dan berharap bisa menginspirasi anak didik serta menularkan
kegemaran membaca karya sastra karena di dalam karya sastra banyak terkandung
nilai kemanusiaan yang sangat penting diketahui oleh peserta didik sebagai upaya
pembentukan watak baik.