hadanah 2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Penikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang
terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah.
Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik dan serta
yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia.
Namun, tidak sedikit ternyata harapan dan cita-cita perkawinan kandas
ditengah jalan. Padahal “ Perkara halal sangat dibenci oleh Allah adalah talaq “.
Begitulah hadist rasul. Kendati demikian walau ada ungkapan seperti itu ternyata
banyak juga kehidupan berkeluarga yang mengalami perceraian. Suami yang
menjatuhkan talaq pada istrinya berarti telah melakukan perkara yang sangat
dibenci Allah Swt, meskipun hal itu boleh dilakukan karena alasan tertentu.
Sebaliknya, seorang istri yang minta talaq kepada suaminya sangat dikecam oleh
islam. Rosululloh bersabda “ Siapa saja perempuan yang minta ditalaq oleh
suaminya tanpa sebab maka haramlah perempuan itu mencium wewangian
surga”.
Ketika perceraian terjadi dalam sebuah hubungan pernikahan, yang
sebenarnya terjadi adalah perceraian tersebut tidak akan menyelesaikan segala
bentuk masalah yang terjadi, akan tetapi dengan perceraian itu akan lahir masalah-
masalah baru, diantaranya hak asuh anak ( hadhanah), iddah, pembagian harta
gono gini, putusnya hubungan silaturahmi dan sebagainya.
Untuk itu kami mengangkat tema dengan bahasan Hadhanah akibat
perceraian yang mana seorang isteri maupun suami masih mempunyai kewajiban
untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga anak hasil
perkawinan mereka terpelihara dengan baik. Hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan
ataupun sudah besar namun belum mumayyiz, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya sehingga mampu berdiri sendirib menghadapi hidup
dan memikul tanggung jawab. Selain hadhanah masalah yang akan kami bahas
dalam makalah ini adalah tentang Iddah. Iddah ialah satu masa dimana
perempuan yang telah di ceraikan, baik cerai hidup maupun cerai mati, harus
menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya kosong atau berisi kandungan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADHANAH
1. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata
Hadhanah atl-thaairu baidhahu ‘burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’.
Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya. karma ibu
menyusukan anaknya dipangkuanya, seakan-akan ibu melindungi dan memelihara
anaknya, sehingga hadhanah di jadikan istilah yang dimaksud.
Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa
berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu
waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan
ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah”
dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari
lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh
kerabat anak itu”.1
Para ulama’ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau
yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya.2
1Ghazaly Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal. 175
2Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: cv Pustaka Setia. Hal. 17
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya
adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan
pakaian dan bersuci dan sebagainya.
2. Status Hukum Dan Dasar Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak
dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233:
اع�ة� ض� الر� ي ت�م� نأ� اد� ر�
أ� ل�م�ن� ل�ي�ن� ك�ام� ل�ي�ن� و� ح� و�ال�د�ه ن�أ� ع�ن� ض� ي ر� ال�د�ات ال�و� و�
ا ع�ه� و س� إ�ال� ن�ف�س% ت ك�ل�ف ال� وف� ع�ر ب�ال�م� ن� ت ه و� و�ك�س� ن� ه ق ر�ز� ل�ه ل ود� و� ال�م� و�ع�ل�ى
اد�ا ر�أ� إ�ن� ف� ذ�ل�ك� ث�ل م� ال�و�ار�ث� و�ع�ل�ى ل�د�ه� ب�و� ل�ه ل ود و� م� و�ال� ا ل�د�ه� ب�و� ال�د�ة و� آر� ت ض� ال�
أ�ن د�ت م� ر�أ� إ�ن� و� ا م� ع�ل�ي�ه� ن�اح� ج ال� ف� Bر او ت�ش� و� ا م� ن�ه Dم Bاض ت�ر� ع�ن Fاال ف�ص�
وف� ع�ر ب�ال�م� آء�ات�ي�ت م م� ت م ل�م� س� إ�ذ�ا ع�ل�ي�ك م� ن�اح� ج ال� ف� و�ال�د�ك م�أ� ع وا ض� ت�ر� ت�س�
{ ير ب�ص� ل ون� ت�ع�م� ا ب�م� الله� ن�أ� و�اع�ل�م وا الله� وا ات�ق {233و�
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).
Begitu juga dalam Al-Qur’an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:
نـاراوقودهـاالـناسوأهـليكمآمـنواقـواأنـفسكميـاأيهاالـذين
(التحريم (6والحجارة
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….. ”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut
setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan.3
Nabi Muhammad bersabda:
القيامة يوم أحبته بين و بينه الله فرق وولدهـا والدة بين فرق من
ماجه) ( ابن و الترمذي أخرجه
“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah
akan memisahkan antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut
hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat
yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan
perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk memelihara anak
hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus
berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-
sendiiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan
tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
3Syarifiddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: hal. 328
3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,
karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang
bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar
dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq
yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya
rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang
masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang
yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhan siapapun.
3. Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha’.
Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada
ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah
disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya. Sedangkan
para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun
mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara
anaknya?
a. Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya
hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan
sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu.
Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak
perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak
diberi pilihan.
b. Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan
hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak
laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah
hingga anak itu dewasa.
c. Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-
laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak
tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak
pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
d. Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih
berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia
boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan
untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap
bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya
Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar
dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan,
minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih
berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak
memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.4
4. Masa Hadhanah
Didalam Al-qur’an serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masa
hadhanah, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut.
Oleh karena itu hanya saja para ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya
mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia
tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus kepentingan pribadinya,
sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya. Sedangkan pendapat para
mazhab Imam Syafi’i, hadhanah itu berkhir ketika sianak telah mumayyiz atau
berumur lima ataupun enam tahun, dengan dasar hadits sbb :
Muhammad bin Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung: hal. 416
“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya
sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara
bapak dan ibunya”5.
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya
kepada siapa dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya
adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98
KHI). Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh
anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada
bapak.
5. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih
menjadi istri dari anak itu, atau masih dalam masa iddahnya. Karena dalam
keadaan tersebut ia masih dalam keadaan dinafkahi, firman Allah S.W.T. yang
artinnya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selam dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan kewajiban ayah
memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu dengan cara yang makruf.
6. Hadhanah Dalam Perspektif KHI
Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua
periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:
a. Periode Sebelum Mummayiz
Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam
perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz
atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya
bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mummayiz.
5Abdurahman Ghodzali Fiqih munhakat, hal 186
KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98
menjelaskan bahwa “ batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah
sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan ”. Pada pasal
105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi
dalam pasal 156. 6
b. Periode Mummayiz
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu
membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya.
Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri
apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia diberi hak pilih
menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b)
bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang
menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau
ayat.7
B. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa
haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu
masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa
bulan yang sudah ditentukan.
6Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama.7ibid.
2. Dasar Hukum Iddah
Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian
landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Firman allah SWT :
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. ( Q:S Albaqarah 228) 8
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari.
8Al-Quran dan terjemahan Depag RI, 2005 QS. (al-Baqoroh [2]: 228
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q:S al baqarah 234). 9
NAbi Muhammad bersabda kepada Fatimah binti Qais:
مكتوم أم ابن بيت في إعتدي
Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum”…
3. Macam – Macam Iddah
a. Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada
dalam iddah talak antara lain:
1) Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid.
Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’). (Q:S al baqarah 228).
2) Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig
atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan
menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.
(Q:S At talak 4).
3) Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan
ini, tidak ada iddahnya. (Q:S al ahzab 49).
b. Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang
diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan.(Q:S At talak4)
c. Iddah Mati
Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di
tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. (Q:S Al Baqarah
234)
d. Iddah wanita yang kehilangan suami.
Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui
keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di
9Al-Quran dan terjemahan Depag RI, 2005 QS(Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)
menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah bulan
10 hari.
e. Iddah perempuan yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus
menjalani iddah atau tidak. Bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi
kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’
yang lebih memperhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.
4. Tujuan Disyariatkan 'Iddah
a. Tujuan Islam mensyariatkan 'iddah ke atas kaum wanita ialah untuk
memastikan rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia
diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil daripada lelaki yang
menyetubuhinya sebagai langkah mencegah percampuran nasab dan
keturunan.
b. Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang boleh dirujuk, ini
memberikan peluang kepada suaminya untuk memikirkan kembali saat-
saat manis ketika mereka bersama dan kembali rujuk kepada isterinya
setelah fikirannya kembali tenang.
c. Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada
pasangan suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing
dan mencari punca perselisihan antara mereka dan semoga itu mereka
dapat bersatu semula.
d. Tujuan 'iddah juga supaya ikatan sesuatu perkahwinan itu dapatlah
dipanjangkan waktunya dan pada tempoh itu adalah diharapkan kewarasan
dan kematangan fikiran pasangan suami isteri yang berselisih dapat
dipulihkan dan menghubungkan kembali persefahaman dan kasih sayang
mereka.
e. Sewaktu melalui proses 'iddah banyak peluang yang boleh direbut oleh
wakil dari kedua-dua belah pihak suami isteri bagi mencari jalan keluar
dan perdamaian antara mereka dari perselisihan dan semoga dengan cara
ini diharapkan dapatlah mempersatukan mereka semula serta menjauhi
dari berlakunya perceraian.
f. Agama Islam meletakkan institusi kekeluargaan adalah sesuatu yang tinggi
dan mulia terutama bagi pasangan suami isteri dimana hubungan kelamin
bagi pasangan suami isteri tetap mendapat ganjaran pahala yang besar di
sisi Tuhan. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan
institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak
lagi permasalahan sosial.
g. Bagi perceraian yang berlaku kerana kematian suami, tujuan 'iddah ialah
untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan
perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas
suami serta menjaga ama baik dan maruah diri dan keluarga agar tidak
diperkatakan oleh orang lain.
h. 'Iddah adalah anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan
kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan
institusi kekeluargaan dalam Islam.
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Masa Iddah
Fuqoha’ telah sepakat dalam masa iddah tala’ roj’I berhak mendapat
nafkah dan tempat tinggal. Istri-istri yang di talak dalam keadaan hamil masih
berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal.
Firman Allah SWT:
وه�ن� �ض�ار� ت و�ال ��م و�ج�د ك �م ن ��م �ت �ن ك س� �ث� ح�ي �م ن �وه�ن� ك ن �س� أ
ح�ت�ى �ه ن� �ي ع�ل �ف ق�وا �ن ف�أ ح�م�ل- �والت أ �ن� ك �و�إ ن �ه ن� �ي ع�ل 2ق�وا �ض�ي ل ت
الطالق ( : �ه�ن� ح�م�ل �ض�ع�ن� )6ي
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin” (Q.S. At-Thalaq :6)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadhanah adalah memelihara atau merawat dan membekali anak secara
material maupun spritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri
dalam mengahadapi kehidupannya sebagai seorang muslim yang dewasa.
Hadahanah mencakup aspek pendidikan, penncukupan kebutuhan, usia.
Untuk menjadi seorang hadhanah harus mempunyai syarat-syarat yakni :
1. Berakal
2. Merdeka
3. Menjalankan Agama
4. Dapat menjaga Kehormatan dirinya
5. Orang yang dipercaya
6. Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya
7. Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali bersuami denga keluarga dari
anak yang memang berhak pula yang untuk mendidik anak itu, maka
haknya tetap
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.
Iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita
menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya
atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau
berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah
ditentukan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian
landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Ada beberapa macam iddah, yaitu :
1. Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid.
Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
2. Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig
atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan
menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.
3. Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan
ini, tidak ada iddahnya.
4. Iddah wanita hamil Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-
perempuan yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai
melahirkan.
5. Iddah wanita yang ditinggal mati Adalah: Iddah yang terjadi apabila
seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan
10 hari. (Q:S Al Baqarah 234)
6. Iddah wanita yang kehilangan suami. Seseorang perempuan yang
kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah
mati atau hidup) maka wajiblah di
7. Iddah wanita yang di ila’.
Salah satu tujuan disyareatkannya iddah dalam islam yaitu ,'Iddah
merupakan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih
sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi
kekeluargaan dalam Islam. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan
keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih
banyak lagi permasalahan sosial. Kemudian bagi perceraian yang berlaku karena
kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum
kerabat, menzahirkan perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya
kepada bekas suami.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.
Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama.
Muhammad , Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung.
Nienda. 2011.Hak Asuh Anak Akibat Perceraian.(online)( http:// nindyaprisca.
wordpress.com/) diakses pada 31 desember 2011.
Rahman Ghozali Abdul,MA .2008. Fiqih Munhakhat. Jakarta: Kencana.
Rasyd Sulaiman, H, .1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru Algensindo.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.