halaman 2 - · pdf filegrk terdiri dari kurang lebih 30 senyawa di(gas), yang dihasilkan...

16
MEMAHAMI PERDAGANGAN KARBON (Oleh: Kardono) I. Perubahan Iklim Perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu (UNFCCC). Sebab utama fenomena perubahan iklim adalah terus meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. GRK terdiri dari kurang lebih 30 senyawa (gas), yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula kegiatan pertanian, peternakan maupun aktifitas manusia lainnya mengeluarkan GRK dalam jumlah yang bervariasi. Pada level tertentu, keberadaan GRK membuat bumi tetap hangat dan nyaman untuk ditinggali. Namun, sejak revolusi industri 250 tahun yang lalu, konsentrasi GRK di atmosfer telah meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan. Pada masa pra industri, konsentrasi kabon dioksida di atmosfer adalah 278 ppm, meningkat tajam menjadi 379 ppm pada tahun 2005. iklim menyesuaikan diri terhadap selubung GRK yang lebih tebal dengan pemanasan global pada permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. inilah yang meninggalkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan bumi. Protokol Kyoto Upaya masyarakat internasional menghadapi fenomena perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties (COP) pertama di Berlin, Jerman. Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990. Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri. 3 mekanisme tersebut adalah: 1. Clean Development Mechanism (CDM) 2. Joint Implementation (JI) 3. Emission Trading CDM memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Proyek tersebut, untuk dapat “menjual” karbonnya harus mendapat Certified Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk pasar karbon. Joint Inplementation (JI) memberi keleluasaan bagi negara-negara yang ditarget penurunan emisi (negara- negara industri) untuk mendapatkan Emission reduction Unit (ERU) dari proyek penurunan/penyerapan emisi di negara yang ditarget penurunan emisi lainnya. Cara kerja JI sama dengan CDM, hanya negara inang (host country) proyek bukanlah negara berkembang, melainkan sesama negara dalam annex I country. Emission trading pada prinsipnya adalah perdagangan karbon dengan cap-and-trade system di bawah Protokol Kyoto. Negara yang telah dibatasi emisinya diperbolehkan memperdagangkan karbon dengan satuan yang disebut AAUs (Assigned Amount Units). II. Perdagangan karbon Untuk memahami bagaimana karbon diperdagangkan, perlu dipahami komoditi apa yang diperdagangkan dan sistem yang menciptakannya. Ada dua komoditi yang diperdagangkan, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua adalah offset. Allowance terbentuk oleh sistem cap-and-trade. Sedangkan offset terbentuk oleh sistem baseline-and-credit (sering disebut project-based-system). Ilustrasi untuk memudahkan pengertian kita mengenai kedua sistem perdagangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perdagangan “emisi yang tidak dipergunakan” (allowance trading) Negara-negara yang ditarget penurunan emisi (annex I country) mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisinya pada periode komitmen I (2008-2012) sebesar 5% di bawah tingkat emisi pada tahun 1990. Emisi total suatu negara dibatasi (Capped), dari emisi yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances (kelebihan emisi yang tidak dipakai). Allowances inilah yang boleh dijual kepada pihak lain yang tidak dapat menurunkan emisi sesuai targetnya. Misalnya suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target emisi ini kemudian dibagi ke perusahaan- perusahaan yang ada di negara tersebut. misalnya perusahaan A mendapat target emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya mereka mengemisi 110.000 ton CO2. Perusahaan tersebut harus melakukan penurunan emisi sebesar 10.000 ton. Perusahaan A mampu menurunkan emisinya sampai 20.000 ton, sehingga Perusahaan A memiliki “kelebihan emisi” 10.000 ton. Sementara itu perusahaan B (yang memiliki target emisi sebesar 100.000 ton juga, padahal sebelumnya mengemisi 110.000 ton) memilih untuk tidak menurunkan emisinya karena biayanya terlalu besar. Perusahaan B halaman 2

Upload: vuongthu

Post on 23-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MEMAHAMI PERDAGANGAN KARBON (Oleh: Kardono)

I. Perubahan Iklim Perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu (UNFCCC).

Sebab utama fenomena perubahan iklim adalah terus meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. GRK terdiri dari kurang lebih 30 senyawa (gas), yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula kegiatan pertanian, peternakan maupun aktifitas manusia lainnya mengeluarkan GRK dalam jumlah yang bervariasi. Pada level tertentu, keberadaan GRK membuat bumi tetap hangat dan nyaman untuk ditinggali. Namun, sejak revolusi industri 250 tahun yang lalu, konsentrasi GRK di atmosfer telah meningkat dengan laju yang mengkhawatirkan. Pada masa pra industri, konsentrasi kabon dioksida di atmosfer adalah 278 ppm, meningkat tajam menjadi 379 ppm pada tahun 2005. iklim menyesuaikan diri terhadap selubung GRK yang lebih tebal dengan pemanasan global pada permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. inilah yang meninggalkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan bumi.

Protokol Kyoto Upaya masyarakat internasional menghadapi fenomena perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiga tahun setelah itu, diadakan Conference of the Parties (COP) pertama di Berlin, Jerman. Pada COP ke-3 tahun 1997 di Kyoto Jepang, para pihak (terutama negara-negara maju/industri) sepakat menurunkan tingkat emisi mereka pada tahun 2008-2012 sebesar 5 % di bawah tingkat emisi di tahun 1990. Protokol Kyoto mengatur 3 mekanisme penurunan emisi yang fleksibel bagi negara-negara industri. 3 mekanisme tersebut adalah:

1. Clean Development Mechanism (CDM) 2. Joint Implementation (JI) 3. Emission Trading

CDM memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Proyek tersebut, untuk dapat “menjual” karbonnya harus mendapat Certified Emission Reduction (CER), dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Inilah yang membentuk

pasar karbon.

Joint Inplementation (JI) memberi keleluasaan bagi negara-negara yang ditarget penurunan emisi (negara-negara industri) untuk mendapatkan Emission reduction Unit (ERU) dari proyek penurunan/penyerapan emisi di negara yang ditarget penurunan emisi lainnya. Cara kerja JI sama dengan CDM, hanya negara inang (host country) proyek bukanlah negara berkembang, melainkan sesama negara dalam annex I country.

Emission trading pada prinsipnya adalah perdagangan karbon dengan cap-and-trade system di bawah Protokol Kyoto. Negara yang telah dibatasi emisinya diperbolehkan memperdagangkan karbon dengan satuan yang disebut AAUs (Assigned Amount Units).

II. Perdagangan karbon

Untuk memahami bagaimana karbon diperdagangkan, perlu dipahami komoditi apa yang diperdagangkan dan sistem yang menciptakannya. Ada dua komoditi yang diperdagangkan, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua adalah offset. Allowance terbentuk oleh sistem cap-and-trade. Sedangkan offset terbentuk oleh sistem baseline-and-credit (sering disebut project-based-system). Ilustrasi untuk memudahkan pengertian kita mengenai kedua sistem perdagangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perdagangan “emisi yang tidak dipergunakan” (allowance trading)

Negara-negara yang ditarget penurunan emisi (annex I country) mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisinya pada periode komitmen I (2008-2012) sebesar 5% di bawah tingkat emisi pada tahun 1990. Emisi total suatu negara dibatasi (Capped), dari emisi yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances (kelebihan emisi yang tidak dipakai).

Allowances inilah yang boleh dijual kepada pihak lain yang tidak dapat menurunkan emisi sesuai targetnya. Misalnya suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target emisi ini kemudian dibagi ke perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut. misalnya perusahaan A mendapat target emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya mereka mengemisi 110.000 ton CO2. Perusahaan tersebut harus melakukan penurunan emisi sebesar 10.000 ton. Perusahaan A mampu menurunkan emisinya sampai 20.000 ton, sehingga Perusahaan A memiliki “kelebihan emisi” 10.000 ton. Sementara itu perusahaan B (yang memiliki target emisi sebesar 100.000 ton juga, padahal sebelumnya mengemisi 110.000 ton) memilih untuk tidak menurunkan emisinya karena biayanya terlalu besar. Perusahaan B

halaman 2

halaman 2

3. Skema Pengurangan Gas Rumah Kaca New South Wales (New South Wales GHG Abatement Scheme) NSW GHGAS dibentuk tahun 2003 dan bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dari sektor pembangkit tenaga (power sector)

4. Inisiatif Gas Rumah Kaca Regional (Regional Greenhouse Gases Initiative) RGGI adalah program cap-and-trade sektor pembangkit tenaga regional negara-negara bagian di timur laut USA. RGGI akan dimulai pada tahun 2009 dengan tujuan untuk menstabilkan tingkat emisi setara dengan emisi tahun 2002-2004 pada tahun 2015, yang diikuti dengan pengurangan emisi hingga 10% pada 2015-2020

5. Western Climate Initiative WCI adalah kolaborasi antara 5 negara-negara bagian barat USA dan British Clumbia yang diluncurkan pada awal 2007. program ini menargetkan pengurangan emisi sebesar 15% dari tingkat emisi tahun 2005 pada tahun 2020.

b. Based-and-credit dalam Sistem Cap-and-trade: 1. Clean Development Mechanism (CDM) 2. Joint Implementation (JI)

3. The EU-ETS Linking Directive

Voluntary Carbon Market

Pasar voluntary (sukarela) terbentuk karena adanya upaya korporasi dan masyarakat di negara maju untuk mengurangi carbon footprint mereka. Pasar karbon sukarela memungkinkan negara, perusahaan, NGO ataupun orang per orang untuk berperan dalam mengurangi emisi dunia dengan membeli offset karbon (dapat berupa CER melalui proyek CDM ataupun VER/Verified or Voluntary Emissions Reduction dalam pasar sukarela). Tidak ada aturan ataupun regulasi dalam perdagangan karbon sukarela. Sisi positif dari pasar sukarela adalah bahwa pasar ini menyediakan ruang inovasi baik prosedur, metodologi dan teknologi yang dalam pasar wajib dibatasi (diatur). Disamping itu, pasar sukarela dapat menampung proyek-proyek kecil yang kesulitan masuk dalam CDM/pasar wajib lainnya. Sisi negatifnya, lemahnya kontrol kualitas proyek menyebabkan penerbitan VER dari proyek-proyek yang cenderung Bussiness as Usual.

berhak membeli “kelebihan emisi” dari perusahaan A yaitu sebesar 10.000 ton dengan biaya yang lebih rendah. Inilah yang disebut perdagangan emisi (karbon). Perdagangan karbon seperti ini disebut sebagai cap-and-trade system.

2. Perdagangan kredit berbasis proyek (offset trading)

Carbon offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat lain) untuk melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli offset karbon bermaksud mengganti (atau dalam prinsipnya meng”offset”) emisi karbon yang telah mereka lakukan.

Misalnya perusahaan A mengemisi 110.000 ton CO2 pertahun. Pemerintah menginginkan masing-masing perusahaan menurunkan emisinya menjadi 100.000 ton. Kedua perusahaan tersebut diberi alternatif. Apabila mereka tidak mau menurunkan emisinya, mereka dapat mendanai proyek di tempat lain yang dapat mereduksi emisi karbon hingga 10.000 ton. Perdagangan kredit berbasis proyek ini sering disebut juga baseline and credit, atau offset trading. Dalam sistem ini, pembeli hanya dapat mengklaim pengurangan emisinya melalui proyek yang benar-benar dapat dibuktikan bahwa pengurangan emisi terjadi dari proyek tersebut dan bukan business as usual. Inilah yang disebut konsep additionality.

III. Pasar Karbon

Complience market

Pasar karbon wajib (mandatory/compliance market) terbentuk diatur oleh peraturan penurunan emisi karbon baik peraturan yang bersifat nasional, regional, dan internasional. Beberapa complience market berdasarkan sistem perdagangannya adalah sebagai berikut:

a. Sistem Cap-and-Trade: 1. Perdagangan emisi dibawah Protokol Kyoto

Tiap negara target penurunan emisi ditetapan target penurunan emisinya berikut allowances-nya yang disebut Assigned Amount Units (AAUs).

2. Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (European Union Emissions Trading Scheme) EU ETS merupakan konsekuensi dari Protokol Kyoto yang memungkinkan negara-negara Eropa (notabene Annex I Country) membentuk pasar karbon yang sangat besar. EU ETS adalah sistem -Cap-and-Trade berbasis perusahaan yang dibentuk tahun 2005 oleh 15 Negara Uni Eropa.

halaman 3

Volume Pasar

Dibanding dengan pasar wajib, pasar sukarela mengambil porsi yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena permintaan (demand) tergantung dari “niat baik” korporasi/negara untuk mengurangi carbon footprint mereka, sementara dalam pasar wajib, permintaan ditentukan oleh peraturan/regulasi. Karena permintaan rendah, kontrol kualitas juga rendah, ini yang menyebabkan harga karbon di pasar sukarela jauh lebih rendah dibanding misalnya harga karbon dalam mekanisme CDM.

Gambar berikut ini mengilustrasikan market share pasar karbon dunia pada tahun 2007 dan 2008:

III. Perdagangan karbon sektor kehutanan

Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar (McKinsey Company, 2009).

Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM).

Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan (dalam hal ini ditetapkan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan berupa hutan termasuk kategori ini). Namun demikian, proyek-proyek A/R CDM sampai saat ini hanya sebesar 0.29% dari total proyek CDM yang ditransaksikan (data Juli 2009). Pasar CDM didominasi oleh proyek-proyek industri energi 56%, disusul oleh proyek-proyek dibidang penanganan limbah/sampah 17%, fugitive emission of fuels (6%), pertanian (5%), dan industri manufaktur (4,8%). Dalam skema voluntary, prosentase proyek sektor kehutanan lebih besar yaitu sekitar 14.5% dari total nilai

transaksi perdagangan karbon voluntary. Proyek kehutanan dalam skema voluntary diantaranya juga berupa proyek-proyek yang bersifat avoided deforestation. Pasar karbon sektor Kehutanan kemungkinan besar akan bertambah besar terkait dengan isu REDD. Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) yang kemungkinan besar akan diadopsi dalam COP di Kopenhagen Denmark tahun 2012 mendatang, akan memperluas prospek sektor kehutanan dalam perdagangan karbon.

Deforestasi sebagian besar disumbang oleh negara-negara berkembang dan setengahnya dilakukan oleh 2 negara yaitu Brasil dan Indonesia. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan berarti mengurangi emisi. (Disarikan dari berbagai sumber)

halaman 4

2007

EU ETS

76%

JI

1%

CDM

20%

Voluntary

market

2%NSW GHGAS

1%

2008

AAUs

0%

Voluntary

3%

JI

1%

CDM

10%

EU ETS

83%

RGGI

2%

NSW GHGAS

1%

Prosentase pasar karbon dunia (compliance & voluntary) berdasarkan volume yang

ditransaksikan pada tahun 2007 dan tahun 2008 (sumber : Capoor & Ambrosi, 2009)

Extra-Ordinary Meetings of The Conference of The Parties (Ex-COP), Bali 22 – 24 Februari 2010

(Oleh: Prabianto MW.)

Pertemuan luar biasa para pihak Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm (Extra-ordinary Meeting of the Conference of Parties to the Basel, Rotterdam and Stockholm Conventions) diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada tanggal 22 – 24 Februari 2010. Pertemuan dihadiri oleh delegasi dari 140 negara yang meratifikasi ketiga konvensi tersebut. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup, dengan anggota para perwakilan Kementerian terkait seperti: Perdagangan, Perindustrian, Kesehatan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, serta Kehutanan. Delegasi Kehutanan diwakili oleh Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) dan Kepala Bidang Perumusan Standar, Pustanling.

Pada saat ini terdapat tiga konvensi internasional yang sangat penting dalam pengelalolaan lingkungan hidup, yaitu: Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, dan Konvensi Stockholm. Ketiga nama konvensi tersebut menunjukkan tempat atau kota dimana konvensi tersebut dideklarasikan. Konvensi Basel mengatur pengendalian perlintasan dan perpindahan limbah berbahaya (Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal). Konvensi Rotterdam mengatur prosedur perdagangan internasional substansi kimiawi berbahaya dan pestisida (Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemical and Pesticides in International Trade), sedangkan Konvensi Stockholm mengatur polutan organik yang mampu bertahan lama di alam (persistent organic pollutant). Isu-isu yang Berkembang

Pada pertemuan tersebut delegasi Indonesia memperjuangkan beberapa hal, yaitu: proses sinergi harus dapat menjamin legal otonomi masing-masing konvensi, komitmen kesetaraan dalam pelaksanaan masing-masing konvensi, peningkatan pendanaan dan efisiensi, dan efektifitas pengelolaan konvensi. Bagi Indonesia, legal otonomi masing-masing konvensi itu sangat penting, karena sebagai negara berkembang dan kepulauan, Indonesia sangat rentan dari penyelundupan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Efektifitas dan keberadaan konvensi ini perlu dikawal oleh negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga Indonesia

tidak dijadikan tempat pembuangan limbah dari negara-

negara lainnya. Bagi kebanyakan negara berkembang, pemberlakuan Konvensi Basel merupakan satu hal paling hakiki dari ketiga konvensi yang dibahas dalam ExCOP Bali ini. Oleh sebab itu, Indonesia dan negara berkembang ingin agar ketiga konvensi ini tetap diberlakukan secara resmi dan otonom. Jangan sampai, demi alasan efisiensi biaya dan prosedur serta mencegah duplikasi program kerja, maka hanya Konvensi Stockholm dan Konvensi Rotterdam yang diberlakukan secara lebih intensif. Indonesia menginginkan terjadi keseimbangan tanggung jawab dengan porsi berbeda antara negara maju dan negara-negara berkembang (common but different responsibilities).

Hasil Sidang

Pertemuan menyetujui enam butir kesepakatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan ketiga konvensi. Keenam butir kesepakatan itu adalah melaksanakan kegiatan bersama antar ketiga konvensi (joint activities), meningkatkan koordinasi dan fungsi kesekretariatan (joint managerial functions), menyediakan layanan bersama (joint services), sinkronikasi siklus anggaran (budget cycles), audit bersama (joint audits), dan mekanisme untuk melakukan kajian (review) hasil kerja dari ketiga konvensi. Keenam butir kesepakatan tersebut diharapkan akan menjadi acuan dalam pengelolaan konvensi bahan kimia dan limbah ke depan.

Penutup

Berdasarkan hasil pembahasan selama pertemuan Ex-COP, kami berpendapat bahwa pada saat ini sektor kehutanan belum secara langsung terikat dengan ketiga konvesi tersebut. Namun demikian, sektor kehutanan sejak dini perlu mengantisipasi pelaksanaan ketiga konvensi dimaksud. Hal ini dapat dilakukan dengan mewajibkan penggunaan pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan untuk kegiatan HTI dan HTR. Kementerian Kehutanan juga perlu mewaspadai dan mencegah masuknya produk hasil hutan impor yang mengandung senyawa kimia berbahaya, seperti: perekat dan pengawet kayu. (Slamet R. Gadas, dan Prabianto

MW.)

halaman 5

Sidang ISO/TC 89 Wood-Based Panels Shanghai, 24 – 27 Maret 2010

(Oleh: Prabianto MW.)

Pertemuan ISO/TC 89 Wood-based Panels diselenggarakan di Shanghai, Republik Rakyat China pada tanggal 24 – 27 Maret 2010. Pertemuan dihadiri oleh delegasi dari 10 negara anggota ISO/TC 89. Delegasi RI dipimpin oleh Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, dengan anggota Kepala Bidang Perumusan Standar Pustanling dan PT. Mutu Agung Lestari. Pertemuan ISO/TC 89 membahas berbagai perkembangan standar internasional untuk produk panel kayu. Sidang dibagi menjadi 3 kelompok (Sub-Committee) masing-masing adalah:

Sub-Committee 1: Fiberboard

Sub-Committee 2: Particleboard

Sub-Committee 3: Plywood

Selain itu juga dilakukan sidang untuk Working Group 5 (WG5) yang membahas pengembangan standar Metoda Pengujian (Test Methods) untuk panel kayu. Mengingat terbatasnya peserta dari Indonesia, sementara sidang dilakukan secara bersamaan maka delegasi Indonesia lebih banyak mengikuti sidang untuk SC3 Pywood dan WG5 Test Methods. Hasil Sidang

ISO/TC 89 membahas usulan China mengenai konsep standar (working document) untuk produk “Wood-based panels – Decorative veneered plywood” dan “Blockboards and battenboards”. Berdasarkan hasil pembahasan ditemukan banyak kekurangan dan kelemahan aspek teknis dari kedua konsep standar tersebut. Untuk itu China diminta menyempurnakan kembali usulan draft standar dan mengirimkan kembali ke semua negara anggota paling lambat 3 bulan sebelum pertemuan ISO/TC 89 yang akan datang. Sidang ISO/TC 89 menyepakati untuk meningkatkan status konsep standar “Laminated veneer lumber – Bonding quality Part 1: Test Methods” dan “Laminated veneer lumber – Bonding quality Part 2: Requirements” menjadi dokumen akhir (final draft document) untuk segera dilakukan pemungutan suara (vote) diantara semua negara anggota ISO/TC 89 guna ditetapkan sebagai standar internasional (ISO).

Selanjutnya sidang ISO/TC 89 juga memutuskan untuk merivisi standar ISO 1954: 1999 “Plywood – Tolerances on dimensions” dan ISO 1096: 1999 “Plywood – Classification”. Berkaitan dengan hal ini, semua negara anggota diminta memberikan masukan dan tanggapan ke Sekretariat ISO/TC 89. Pada sidang SC1 Fibreboard disepakati ISO/DIS 16892-2.2 mengenai mutu papan serat diterima sebagai final draft, dengan mempertimbangkan apakah metoda pengujiannya akan masuk dalam draft tersebut atau dipisahkan menjadi standar tersendiri.

Kunjungan ke “Shanghai Flooring Expo”

Selama sidang ISO/TC 89 peserta memperoleh kesempatan untuk mengunjungi “Shanghai Flooring Expo”, dimana teknologi dan produk flooring dari seluruh dunia dipamerkan. Teknologi flooring telah berkembang sangat pesat, baik yang berbahan baku kayu, bambu, dan lainnya, berikut mesin pengolah, bahan perekat serta bahan penunjang lainnya. Untuk itu Indonesia perlu mengantisipasi perkembangan teknologi dan permintaan produk flooring dunia yang cenderung terus meningkat. Melihat perkembangan industri wooden flooring dunia saat ini dan untuk mendukung daya saing produk flooring dalam negeri, kami berpendapat bahwa Pustanling dan Pusat Litbang Hasil Hutan harus aktif dalam ISO/TC 218: Timber dengan ruang lingkup antara lain: pengukuran dan pengujian kayu bulat, kayu gergajian, papan lantai, dan produk kayu lainnya. Saat ini Indonesia yang diwakili BSN menjadi anggota ISO/TC 218 dengan status Observer (O-member) dan kurang aktif mengikuti kemajuan perkembangan standar tersebut. (Slamet R. Gadas, dan Prabianto MW.)

halaman 6

Sidang ke-9 ASEAN Working Group on a Pan ASEAN Timber Certification Initiative

Phnom Penh, 6-8 mei 2010 (Oleh: Prabianto MW.)

Pertemuan ke-9 ASEAN Working Group on a Pan ASEAN Timber Certification Initiative (AWG-PATCI) diselenggarakan di Phnom Penh, Cambodia pada tanggal 6 – 8 Mei 2010. Pertemuan dihadiri oleh delegasi negara-negara anggota ASEAN (kecuali Singapore dan Vietnam), ASEAN Secretariat dan perwakilan EU FLEGT Asia Programme. Delegasi RI dipimpin oleh Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, dengan anggota perwakilan dari Badan Litbang Kehutanan, Pusat KLN dan Pustanling.

Sesuai protokol ASEAN, tuan rumah Cambodia dipilih sebagai Chairman Sidang ke-9 AWG PATCI sedangkan Ketua delegasi Indonesia terpilih sebagai Vice-Chairman. Selanjutnya juru bicara (spokes person) delegasi Indonesia dipercayakan kepada Dr. Haryatno Prabowo dari Badan Litbang.

Pertemuan membahas berbagai agenda antara lain: perkembangan pelaksanaan sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan standar legalitas kayu di ASEAN, draft ASEAN CoC Guideline for Legal and Sustainable Timber, dan tukar menukar informasi mengenai perkembangan negosiasi EU VPA di beberapa negara ASEAN. Pada pertemuan ini, delegasi Indonesia menyampaikan proposal dengan judul: “Field Training: Comparative Exercise on ASEAN’s and Indonesia’s TLAS at FMU level”. Hasil Sidang

Mengingat terbatasnya waktu dan kompleksitas materi yang dibahas, sidang ke-9 AWG PATCI belum berhasil menyelesaikan dan mensepakati draft ASEAN CoC Guideline for Legal and Sustainable Timber. Untuk itu pembahasan draft CoC tersebut akan dilanjutkan melalui media email, dimana setiap negara anggota diminta untuk memberikan masukan dan tanggapan ke Malaysia, sebagai Lead Country AWG PATCI, paling lambat tanggal 8 Juni 2010. Setelah semua tanggapan diterima dan disempurnakan oleh Malaysia maka selanjutnya dokumen tersebut akan diedarkan lagi ke masing-masing negara anggota pada tanggal 8 Juli 2010 untuk memperoleh kesepakatan dari semua anggota sebelum nantinya dilaporkan ke ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF).

Delegasi Indonesia (diwakili oleh Ir. Purwoto, MDM.), menyampaikan Country Report mengenai perkembangan pelaksanaan sertifikasi hutan lestari di Indonesia, baik yang diterapkan secara mandatory berdasarkan SK Menhut No. 4795/2002 Jo Permenhut No. 38/2009 maupun voluntary dengan skema LEI dan FSC. Diinformasikan bahwa sampai dengan awal tahun 2010 telah dilakukan audit mandatory terhadap 221 unit pengelolaan hutan produksi alam dengan total luas sekitar 12.2 juta hektar dan 80 unit pengelolaan hutan tanaman dengan luas 3.5 juta hektar. Selain itu, ada sebanyak 6 unit FMUs dengan luas 1.1 juta hektar yang lulus sertifikasi voluntary dengan skema LEI dan FSC. Delegasi Malaysia yang diwakili oleh Dato’ Freezailah B.C. Yeom menyampaikan perkembangan dan pengalaman Malaysia dalam negosiasi EU VPA. Dari laporan tersebut kami mencatat bahwa sampai saat ini penyusunan TLAS Malaysia masih belum selesai. Hambatan utama adalah adanya persyaratan EU dalam proses penyusunan TLAS harus dilakukan melalui multi-stakeholders consultation. TLAS Malaysia dibagi menjadi 3 region yang berbeda, yaitu: TLAS Peninsular, TLAS Sabah dan TLAS Serawak. Beberapa masalah yang masih dinegosiasikan dengan EU adalah: market benefits, legal drafting, administrative and funding arrangements, serta capacity building assistance. Perkembangan dan pengalaman Indonesia dalam negosiasi EU VPA dan Lacey Act disampaikan masing-masing oleh Ir. Laksmi Banowati, MSc. dan Ir. Dian Nugraha dari Pusat KLN. Diinformasikan bahwa TLAS Indonesia disusun melalui proses panjang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan saat ini telah diterapkan di tingkat FMUs. TLAS tersebut disusun sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menjamin legalitas kayu yang diperdagangkan, dan tidak semata-mata bagian dari EU FLEGT VPA. Pada sidang ke-9 AWG PATCI delegasi Indonesia yang diwakili oleh Dr. Prabianto M. Wibowo mempresentasikan proposal dengan judul: “Field Training: Comparative Exercise on ASEAN’s and Indonesia’s TLAS at FMU level”. Usulan tersebut didukung oleh negara-negara ASEAN, dan selanjutnya sidang meminta ASEAN Secretariat untuk mencarikan pendanaan dari sumber-sumber mitra ASEAN guna merealisasikan usulan kegiatan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, ASEAN Secretariat menginformasikan bahwa usulan Indonesia tersebut akan dimasukkan

dalam daftar proyek kerjasama ASEAN dengan Korea

halaman 7

Selatan. Selain itu, pihak EU FLEGT Asia Programme memberikan indikasi bahwa usulan kegiatan tersebut dapat dibiayai untuk anggaran 2011. Sidang ke-10 AWG PATCI akan dilaksanakan di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2011. Untuk mempersiapkan pertemuan tersebut, Pustanling akan berkoordinasi dengan Ditjen BPK, Badan Litbang Kehutanan dan Pusat KLN. (Slamet R. Gadas, dan Prabianto MW.)

Sidang ke-2 ASEAN Expert Group on Forest Products Development

25-26 Juli 2010, Manila, Filipina (Oleh: Prabianto MW.)

Pertemuan ke-2 ASEAN Experts Group on Forest Products Development (AEG-FPD) telah dilaksanakan pada tanggal 25 – 26 Juli 2010 di Manila, Filipina. Pertemuan dihadiri oleh delegasi negara-negara ASEAN, kecuali Singapore, Thailand dan Viet Nam. Delegasi RI terdiri dari dua orang, masing-masing satu orang mewakili Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) dan Pusat Litbang Hasil Hutan. AEG-FPD adalah forum kerjasama ASEAN yang masih relatif baru, sebagai hasil penggabungan dari AEG Research & Development on Forest Products dan ACCSQ Wood-based Products Working Group. Berdasarkan Kerangka Acuan (Term of Reference) dari pembentukan forum kerjasama ini, ruang lingkup kegiatan AEG-FPD mencakup kegiatan penelitian dan pengembangan standar produk hasil hutan. Hasil Sidang

Sidang ke-2 AEG-FPD berhasil menyusun dan menetapkan Plan of Action untuk periode 2010 – 2015 sebagaimana tercantum pada Lampiran. Untuk dapat melaksanakan Rencana Kegiatan tersebut secara efektif maka selanjutnya ditetapkan Koordinator (Lead Country) yang bertugas untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan kegiatan di masing-masing negara ASEAN. Dalam hal ini Indonesia ditetapkan sebagai Koordinator (Lead Country) untuk enam jenis kegiatan, yaitu: a. Establishment of regional knowledge network on

forest products development; b. Sharing information on national technical

regulation of trade in forest products;

c. Regional workshop on implementation of Good Regulatory Practices for forest products sector;

d. Harmonization/alignment of national standards and testing protocols for forest products sector to ISO standard;

e. Update the harmonization/alignment of national standard status for forest products;

f. Exchange of information on the latest edition of ISO and IEC standards for harmonization/alignment.

Dari keenam kegiatan yang harus dikoordinasikan oleh Indonesia di atas, kegiatan nomor a dan b akan dilaksanakan oleh Puslitbang Hasil Hutan. Sedangkan sisanya (kegiatan c sampai f) akan dilaksanakan oleh Pustanling. Pada pertemuan ke-2 AEG-FPD tersebut, Indonesia berkesempatan untuk melaporkan hasil survei yang telah dilakukan sesuai mandat yang diterima dari ACCSQ WG-1 guna mengetahui perkembangan harmonisasi standar produk kayu olahan (wood panels, sawn timber, wooden flooring) di negara-negara ASEAN. Sidang ke-2 AEG FPD sepakat untuk terus melanjutkan survei tersebut dan meminta negara-negara ASEAN yang belum memberikan tanggapan agar segera mengirimkannya ke Indonesia cq. Pustanling paling lambat tanggal 31 Agustus 2010. Penutup Forum AEG-AFP merupakan forum kerjasama regional yang bermanfaat untuk saling tukar menukar informasi dan pengalaman dalam kegiatan penelitian produk hasil hutan dan kegiatan pengembangan standar yang diterapkan di negara-negara ASEAN. Sebagai tindak lanjut dari Rencana Kerja yang disepakati, Pustanling dan Pusat Litbang Hasil Hutan diharapkan agar terus berkoordinasi untuk melaksanakan komitmen yang telah disepakati, khususnya dalam mengembangkan dan mengharmonisasikan standar produk kayu olahan. (Slamet R. Gadas, dan Prabianto MW.)

halaman 8

Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI): Strategi Menghadapi China – ASEAN Free Trade

Area (CAFTA) (Oleh: Prabianto MW.)

Pendahuluan Kesepakatan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara anggota ASEAN atau dalam bahasa Inggris disebut dengan China – ASEAN Free Trade Area (CAFTA) sudah berlaku efektif mulai Januari 2010. Banyak pihak berharap bahwa pemberlakuan CAFTA akan mempercepat integrasi ekonomi negara-negara ASEAN. Hal ini mengingat pertumbuhan ekonomi China yang sangat fantastis dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 10 persen selama satu dekade terakhir. China dengan GDP sebesar US$ 2.2 trilyun dan jumlah penduduk lebih dari satu milyar merupakan pasar ekspor potensial bagi ASEAN. Namun di lain pihak, banyak pula yang meragukan akan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh negara-negara ASEAN dari pelaksanaan CAFTA tersebut. Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi dan perdagangan yang ekspansif dikhawatirkan malah “mengancam” perekonomian negara-negara ASEAN. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat pertumbuhan ekonomi China yang sedemikian pesat sudah barang tentu akan membutuhkan sumber bahan baku dan pasar bagi produk industrinya. Meskipun terdapat potensi komplementaritas, namun dikhawatirkan ASEAN hanya akan menjadi pemasok utama kebutuhan bahan baku dan barang setengah jadi (intermediate goods), sehingga tidak memperoleh nilai tambah dari perdagangan antara kedua belah pihak. Menurut Wen dan Shaolian (2005), nilai impor China untuk komoditi berbasis sumberdaya alam dari ASEAN mencapai lebih dari 25 persen dari total impor negara tersebut. Sebagian besar impor China berupa produk minyak dan gas (11.87 persen). Sebaliknya, ekspor produk manufaktur China ke ASEAN mencapai lebih dari 82 persen. Dalam perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, pada tahun 2005 Indonesia memperoleh surplus perdagangan migas sebesar US$ 1.4 milyar, sedangkan untuk komoditi non-migas Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 0.591 milyar (Departemen Perdagangan, 2006).

Dengan demikian tidak mengherankan apabila saat ini banyak produk non-migas China membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang relatif murah. Akibatnya sebagian besar industri dalam negeri harus menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dengan produk impor dari China. Masalah lain yang dihadapi dalam perdagangan bilateral Indonesia – China adalah pola perdagangan yang lebih banyak bersifat inter-industri, yaitu pertukaran antara beberapa jenis produk yang dihasilkan dari industri yang berbeda. Sedangkan perdagangan intra-industri sektor manufaktur masih relatif kecil. Dengan struktur perdagangan tersebut, Indonesia diperkirakan tidak akan banyak memperoleh keuntungan ekonomi dari pelaksanaan FTA ASEAN – China (Tambunan, 2005). Di samping itu, Indonesia juga akan menghadapi persaingan yang lebih berat dengan China di pasar ekspor negara ketiga, terutama untuk produk manufaktur. Hal ini disebabkan struktur ekspor manufaktur kedua negara hampir sama. Di pasar Amerika Serikat misalnya, produk peralatan listrik, elektronika, tekstil dan pakaian (apparel) dari China memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan produk yang sama dari Indonesia. Standardisasi sebagai Strategii Non-Tarif Kesepakatan CAFTA dilaksanakan melalui skema penurunan tarif impor secara bertahap untuk jenis produk tertentu. Oleh karena skema penurunan tarif sudah disepakati maka salah satu strategi untuk melindungi pasar domestik dari serbuan barang-barang impor dari China adalah dengan menerapkan strategi non-tarif melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Penerapan SNI atas produk yang diperdagangkan tidak menyalahi kesepakatan CAFTA sepanjang mengikuti prosedur dan mekanisme yang berlaku serta dinotifikasikan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO. Penerapan SNI secara wajib (mandatory) memainkan peranan penting dalam menghadapi perdagangan bebas sebab dapat melindungi konsumen dalam negeri dan sekaligus dapat meningkatkan daya saing produk nasional. Penerapan standar wajib sudah banyak dilakukan dalam perdagangan internasional sebagai salah satu instrumen hambatan non-tarif (technical barriers to trade). Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian, sampai dengan bulan Januari 2009 baru 84 produk industri yang menerapkan SNI dari sekitar 4.000 produk manufaktur yang beredar.

halaman 9

Dari 84 SNI tersebut, hanya 39 produk yang diberlakukan wajib dan sudah dinotifikasi ke WTO. Dalam upaya mempercepat penerapan SNI wajib sebagai strategi nasional menghadapi CAFTA, pada awal tahun 2010 Badan Standardisasi Nasional (BSN) melancarkan program Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI). Badan Standardisasi Nasional sebagai lembaga pemerintah non Kementrian yang mempunyai tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan Standardisasi di Indonesia mempunyai tanggungjawab memastikan tersedianya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diperlukan untuk memfasilitasi Indonesia dalam menghadapi CAFTA dan memberikan rekomendasi dalam pengembangan lembaga penilaian kesesuaian (LPK) terutama laboratorium penguji dan lembaga sertifikasi produk yang diperlukan.

Gerakan Nasional Penerapan SNI Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI) adalah "strategi non-tarif" dalam rangka mendukung langkah pemerintah menghadapi pemberlakuan CAFTA. Program GENAP SNI merupakan tindak lanjut hasil rapat tentang penerapan standar dalam rangka pelaksanaan CAFTA di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 11 Februari 2010. GENAP SNI merupakan langkah konkret penerapan standar yang dilakukan untuk menghadapi dampak diberlakukannya CAFTA. Tujuan GENAP SNI salah satunya adalah mengamankan pasar dalam negri dari serbuan produk China melalui penerapan standar. Untuk merealisasikan GENAP SNI maka BSN membuat draft strategi non tarif yang akan digunakan sebagai bahan yang akan didiskusikan dengan para mitra/pemangku kepentingan dan sekaligus menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan. Dalam rangka menyukseskan GENAP SNI, BSN telah menetapkan 11 langkah strategis dan 11 sektor prioritas yang dinilai akan menerima dampak CAFTA paling besar. Ke 11 langkah strategis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis ekspor impor China dan ketersediaan SNI;

2. Menentukan 11 sektor prioritas produk paling terpengaruh;

3. Mengidentifikasi SNI dalam 11 sektor prioritas; 4. Menganalisi peluang membuat national

differences;

5. Menganalisi kemampuan industri dalam 11 sektor prioritas;

6. Menganalisis ketersediaan dan kebutuhan pengembangan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK);

7. Mengefektifkan pemberlakuan Keppres No.80/2003 terkait ketentuan penggunaan SNI dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah;

8. Mendukung instansi teknis dalam memberikan insentif LPK untuk mendukung 11 sektor prioritas;

9. Mendukung instansi teknis dalam memberikan insentif kepada industri untuk 11 sektor prioritas;

10. Memfasilitasi penyusunan regulasi teknis dan pelaksanaan pengawasan pasar terhadap 11 sektor prioritas;

11. Mengedukasi konsumen . Adapun ke sebelas sektor prioritas adalah: (1) Baja, (2) Alumunium, (3) Elektronika dan Kelistrikan, (4) Petrokimia, (5) Mesin dan Perkakas, (6) Hasil Pertanian, (7) Makanan dan Minuman, (8) Tekstil dan Produk Tekstil, (9) Alas kaki, (10) Mainan anak, dan (11) Plastik. GENAP SNI juga merupakan program yang dilakukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai SNI. Edukasi tersebut ditempuh dengan cara meningkatkan kemudahan akses informasi SNI bagi masyarakat, pengembangan media, penerbitan publikasi dan penyelenggaraan berbagai pertemuan dalam rangka mendidik masyarakat untuk menerapkan SNI.

Penutup Penerapan standar memainkan peranan penting dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas CAFTA. Standar wajib telah banyak digunakan sebagai strategi non-tarif dalam perdagangan internasional. Guna mempercepat penerapan SNI, BSN telah mencanangkan program GENAP SNI sebagai salah satu langkah antisipatif yang efektif dalam menghadapi CAFTA. Keberhasilan pelaksanaan program tersebut sudah barang tentu memerlukan dukungan semua pihak baik ddi sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. Meskipun sektor kehutanan tidak termasuk dalam 11 sektor prioritas yang ditetapkan oleh BSN, namun untuk meningkatkan daya saing produk hasil hutan di pasar internasional maka SNI produk dan jasa kehutanan perlu terus dikembangkan dan diupayakan dapat diterapkan secara wajib. (disarikan dari berbagai sumber oleh Prabianto MW.)

halaman 10

STANDAR PERDAGANGAN KARBON (Oleh: Kardono)

Dalam perdagangan diperlukan standar untuk menjaga kualitas barang/jasa yang diperdagangkan. Demikian juga dalam perdagangan karbon diperlukan standar untuk menjaga kualitas proyek pengurangan emisi karbon/offset karbon yang dihasilkan. Standar CDM yang bersifat mandatory telah terbentuk dengan mantap sehingga sering jadi acuan dalam penyusunan standar karbon sukarela. Dalam banyak kasus, pembeli sukarela-karena alasan menghindari resiko-lebih memilih membeli kredit karbon mandatory (Collmus, Zink, dan Polycarp, 2008). Inilah tantangan bagi pengembang standar karbon sukarela. Saat ini terdapat paling tidak 9 standar offset karbon yang dikembangkan oleh berbagai organisasi, yaitu Gold Standard (GS), Voluntary Carbon Standard (VCS), VER+, The Voluntary Offset Standard (VOS), Chicago Climate Exchange (CCX), The Climate, Comunity & Biodiversity Standards (CCBS), Plan vivo system, ISO 16064-2, GHG Protocol for Project Accounting.

Komponen Kunci dalam Offset Karbon

Pada dasarnya standar offset karbon mempunyai 3 komponen kunci, yaitu: standar perhitungan; standar pemantauan, verifikasi dan sertifikasi; dan sistem registrasi dan pelaksanaan. Standar perhitungan digunakan untuk memastikan bahwa offset benar-benar nyata, memenuhi prinsip additionality, dan memenuhi prinsip permanence. Termasuk didalamnya aturan-aturan baku unsur-unsur penting dalam tahap desain dan tahap awal implementasi proyek. Termasuk didalamnya metodologi additionality, baseline, validasi proyek, dll.

Additionality

Additionality merupakan konsep paling fundamental dalam perdagangan offset karbon. Dalam tataran teori, konsep additionality menjawab pertanyaan: apakah aktifitas seperti aktifitas dalam desain proyek akan terjadi, jika proyek offset karbon tidak diimplementasikan. Jika jawabannya YA, maka proyek tersebut tidak memenuhi konsep additionality. Pada dasarnya ada 2 pendekatan untuk menguji additionality yaitu uji additionality basis proyek; dan uji additionality berbasis kinerja.

a. uji additionality basis proyek Metode ini menguji additionality berdasarkan kondisi di

lapangan dan bersifat kasus per kasus, yang mana

dipakai tergantung pada jenis proyek. Beberapa yang sering digunakan adalah sbb: 1. legal and regulatory additional test (regulatory

surplus) Prinsipnya, sebuah proyek apabila dilakukan untuk memenuhi kebijakan, peraturan, atau suatu standar industri, maka proyek tersebut tidak bisa dikatakan additional

2. uji investment Prinsipnya, sebuah proyek dikatakan additional bila menimbulkan tingkat return yang lebih rendah tanpa revenue dari penjualan offset karbon. Dengan kata lain, revenue dari offset karbon merupakan alasan yang paling menentukan dari pelaksanaan proyek.

3. uji barrier Metode ini memperhatikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proyek, seperti resistensi lokal, keterbatasan pemahaman, hambatan kelembagaan, dsb. Jika sebuah proyek berhasil mengatasi hambatan non finansial (yang tidak terjadi apabila busseness as usual), maka proyek tersebut dikatakan additional.

4. uji common practice Apabila proyek menggunakan teknologi yang biasa dilakukan, proyek tidak bisa dikatakan additional.

b. uji additionality berbasis kinerja

Pada prinsipnya, metode ini menggunakan ambang batas (baik dari segi teknologi maupun proses) untuk menentukan suatu proyek additional atau tidak.

Baseline

Konsep baseline menjelaskan skenario apabila sebuah proyek karbon tidak ada. Dengan kata lain, baseline merupakan keadaan busseness as usual. Jumlah kredit karbon yang dihasilkan oleh suatu proyek merupakan selisih antara emisi yang dikeluarkan pada skenario baseline dikurangi dengan emisi yang dikeluarkan oleh proyek. Masalahnya adalah, baseline adalah keadaan hipotetis. Artinya, hal tersebut menggambarkan kenyataan yang berbeda, yaitu apabila proyek karbon tidak ada. Baseline dapat bersifat statis ataupun dinamis. Baseline yang bersifat statis tidak berubah menurut waktu, sedangkan baseline yang bersifat dinamis berubah berdasarkan observasi yang dilakukan secara periodik, dan pengurangan emisi dihitung berdasarkan keadaan baseline terkini.

Project boundary and leakage

Setiap proyek karbon harus menentukan batas-batasnya

halaman 11

baik secara fisik, legal, maupun organisasi. Hal ini penting untuk menentukan pengurangan emisi secara akurat. Leakage (kebocoran) merupakan dampak proyek karbon yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, suatu proyek karbon mungkin mengurangi emisi karbon di tempat tertentu, tetapi meningkatkan emisi karbon di tempat lain. Dalam beberapa standar, leakage secara eksplisit diukur dengan menghitung emisi di luar batas lokasi proyek. Dalam banyak kasus, hampir mustahil untuk melacak setiap dampak yang terjadi dari suatu proyek pengurangan emisi, namun untuk proyek yang bersifat bio-sequestration pengukuran leakage merupakan hal yang sangat penting.

Tipe proyek

a. Biological sequestration

Proyek karbon sektor kehutanan termasuk dalam kelompok ini. proyek pengurangan emisi melalui kegiatan penggunaan lahan disebut Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF). Secara garis besar terdapat 3 kelompok kegiatan LULUCF yaitu: - menghindari pelepasan emisi melalui konservasi stok karbon yang sudah ada, dikenal dengan REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation)

- meningkatkan penyimpanan karbon melalui kegiatan sekuestrasi (kegiatan aforestasi dan reforestasi)

- meningkatkan penyimpanan karbon melalui kegiatan teknik pengolahan tanah

Proyek LULUCF masih sulit masuk dalam pasar CDM, ini terlihat dari proyek yang didaftarkan sampai september 2007 sebanyak 827 proyek, namun hanya 1 proyek yang bersifat LULUCF. Namun, proyek-proyek LULUCF banyak terjadi di pasar voluntary yaitu sekitar 36% (data 2006).

b. Industrial gases

Jenis proyek ini menghancurkan gas buang berbahaya yang dihasilkan kegiatan industri, seperti gas HFC dan N2O. Proyek ini dianggap tidak memberi benefit pada aspek sosial dan lingkungan, serta melibatkan penerapan teknologi tinggi. Kelebihan dari proyek ini adalah dapat menghasilkan offset karbon dalam jumlah besar. Proyek jenis ini mendominasi pasar CDM yaitu sekitar 47% dan diproyeksikan pada 2012 mencapai 50% dari total transaksi CDM.

c. Methane capture

Ada dua tipe Methane capture. Pertama penangkapan dan pembakaran gas metana. Melalui pembakaran, gas

metana diubah menjadi CO2 dan H2O (GWP-nya lebih rendah daripada gas metana). Tipe kedua adalah penangkapan gas metana kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga listrik ataupun air panas.

d. Efisiensi energi

Proyek efisiensi energi menggunakan energi yang lebih rendah dibanding teknologi konvensional dengan pekerjaan yang sama. Uji additionality pada proyek ini harus menunjukkan bahwa revenue dari offset karbon merupakan alasan utama dilakukannya proyek.

e. Renewable energy

Yang termasuk proyek RE adalah pemanfaatan tenaga air, angin dan tenaga surya, pemanfataan tenaga surya untuk air panas, dan pemanfaatan tenaga biomassa. Proyek RE sangat baik bagi adaptasi perubahan iklim karena mengubah perilaku konsumsi bahan bakar fosil ke konsumsi bahan bakar ramah lingkungan.

Lokasi proyek

Proyek CDM hanya bisa dilakukan di Negara-negara non-annex I (Negara yang tidak punya kewajiban penurunan emisi dalam protokol Kyoto). Proyek CDM masih dikuasai China. Sedangkan pada pasar sukarela, 43% VER berasal dari Amerika Utara, 22% dari Asia, 20 dari Amerika Latin, dan sisanya tersebar di Rusia, Afrika dan Australia.

Tanggal mulai dan periode “crediting”

Tanggal mulai

Tanggal mulai adalah parameter yang digunakan untuk menentukan “eligibility” proyek. Misalnya jika proyek dimulai sebelum tahun 2000, maka proyek tersebut tidak additional menurut CDM. Lebih penting lagi, tanggal mulai merupakan titik untuk mengitung pengurangan emisi proyek tersebut. Dalam CDM, tanggal mulai didefinisikan “tanggal dimana implementasi atau konstruksi atau kegiatan nyata proyek mulai dilakukan untuk menghasilkan pengurangan atau pemindahan GRK. Pada standar karbon sukarela, ada yang mengadopsi pengertian dari CDM, namun ada juga yang menambahkan seperti pada standar VCS, tanggal mulai diartikan sebagai “tanggal dimana proyek telah mencapai financial closure”. Periode “crediting”

Periode “crediting” adalah periode dimana proyek menghasilkan CER/VER. Ini bisa dimulai setelah proyek

halaman 12

didaftarkan atau sebelum proyek didaftarkan (retroactive crediting). Dalam CDM tidak boleh ada retroactive, tapi dalam standar karbon sukarela seperti GS dan VER+ ada toleransi bagi proyek-proyek seperti ini. Durasi dan pembaharuan juga harus ditentukan. Pada umumnya hanya dibedakan 2 tipe proyek, yaitu antara tipe LULUCF dengan tipe selain LULUCF. Durasi “crediting” untuk LULUCF antara 20-100 tahun, sedangkan non LULUCF adalah 4-25 tahun.

Co-Benefit

Standar karbon, paling tidak memastikan bahwa suatu proyek karbon adalah benar-benar nyata, tidak terjadi double counting, dan memenuhi prinsip additionality. Standar yang lebih ketat menambahkan syarat bahwa proyek karbon selain memenuhi syarat minimal tersebut, juga mampu memberi keuntungan pada aspek lingkungan maupun sosial. inilah yang disebut Co-benefit atau secondary benefit. Konsep ini dapat dilihat pada CDM, dimana proyek tidak semata-mata menghitung pengurangan emisi, namun juga memperhatikan pembangunan negara-negara berkembang sebagai negara inang (host country). Oleh karena itu ada program-program PBB yang secara khusus mendukung CDM dan fokus pada pemberdayaan masyarakat di negara ketiga, yaitu program seperti Millenium Development Goals carbon facility (MDG carbon facility), dan CD4CDM (capacity building for the CDM). Beberapa standar karbon sukarela yang mensyaratkan co-benefit diantaranya adalah Gold standard, CCBS dan Plan vivo system. GS amat concern pada co-benefit sosial dan lingkungan, demikian juga CCBS namun terfokus pada proyek-proyek bio-sequestration. Sedangkan Plan vivo system mengupayakan pemberdayaan masyarakat pedesaan pada proyek-proyek agroforestry.

Konsultasi parapihak

Konsultasi parapihak amat berguna untuk mencegah dampak negatif dari proyek. Gold standard misalnya membuat aturan untuk memastikan transparansi dan keterlibatan parapihak.

Peran auditor independen

Validasi proyek Proses validasi dilakukan pada saat perencanaan dan implementasi awal proyek, untuk mengkonfirmasi kesesuaian rencana proyek dengan set standar yang digunakan. Dengan demikian hasil dari validasi adalah

konfirmasi bahwa sebuah proyek, jika dijalankan sesuai

halaman 13

desain yang direncanakan maka akan menghasilkan pengurangan emisi, sesuai dengan aturan standar yang digunakan.

Monitoring dan verifikasi independent

Verifikasi bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa proyek telah dilakukan sesuai dengan desain yang telah divalidasi. Standar monitoring dan verifikasi diperlukan untuk memastikan bahwa proyek dilaksanakan seperti yang diharapkan. Dalam sistem CDM terdapat DOE (Designated Operational Entity), yaitu auditor independen yang telah terakreditasi, yang akan mengajukan dokumen proyek kepada EB untuk ditentukan apakah proyek tersebut disetujui atau tidak. Dalam pasar voluntary, masih jarang dilakukan verifikasi oleh pihak ketiga.

Persetujuan proyek

Dalam standar CDM, persetujuan dilakukan oleh Executive Board (CDM EB). Dalam standar sukarela (kecuali GS dan CCX) yang melakukan approval adalah auditor itu sendiri, ini yang menimbulkan konflik kepentingan karena auditor ini dibayar oleh pengembang proyek.

Kontrol kualitas auditor

CDM mempunyai aturan jelas untuk menjaga kualitas dan independensi auditor. CDM EB telah mempunyai sistem untuk melakukan penilikan terhadap kualitas DOE, termasuk penilaian lapangan terhadap DOE paling tidak 3 tahun sekali. Standar sukarela yang ada saat ini tidak mempunyai mekanisme untuk menjaga kualitas auditor independen.

Registry/Pendaftaran

Registry/pendaftaran memperkecil resiko perhitungan ganda/double counting (dua atau lebih pihak mempunyai proyek offset yang sama). Dengan kata lain, suatu kredit dari suatu proyek yang telah dijual dipastikan tidak akan dijual lagi. Dengan demikian, sistem registry juga memastikan kepemilikan suatu proyek.

Double Counting

Apabila terdapat hanya satu sistem registry, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadi double counting. Namun karena saat ini terdapat banyak sistem registry, maka dapat saja terjadi satu proyek yang telah didaftarkan dalam standar offset tertentu didaftarkan lagi pada sistem yang lain. (Disarikan dari berbagai sumber oleh Kardono)

Kerjasama Standardisasi Lingkup Nasional

Pendahuluan

Kegiatan standardisasi sudah ada sejak sebelum perang dunia II, termasuk untuk sektor kehutanan. Waktu itu dilakukan kerjasama antara Bagian Penjualan Kantor Besar Kehutanan dengan Balai Penyelidikan Kehutanan untuk menyusun standar mengenai cara mengukur dan menetapkan isi kayu bundar jati. Mulai tahun 1970-an lebih banyak standar dibuat oleh lembaga teknis, seperti SII (Standar Industri Indonesia), SKI (Standar Kehutanan Indonesia) dan SP (Standar Perdagangan). Pada tahun 1984 dibentuk Dewan Standardisasi Nasional (DSN) dan pada tahun 1992 dibuat Sistem Standardisasi Nasional (SSN) serta mulai 1 April 1994 di Indonesia hanya ada satu standar, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Pada tahun 1997 DSN berubah menjadi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan pada tahun 2001 SSN 1992 disempurnakan menjadi SSN 2001. SSN ini menjadi landasan kegiatan standardisasi di Indonesia termasuk kerjasama lingkup nasional, regional dan internasional.

Penjabaran SSN

Pengertian standar secara bahasa adalah sesuatu yang disepakati. Hal ini berarti kegiatan standardisasi ditangani oleh lebih dari satu lembaga, setidak-tidaknya oleh dua lembaga seperti contoh mengenai standardisasi cara mengukur dan menetapkan isi kayu bundar jati. Bila dihubungkan dengan aspek standar, hal itu sesuai karena standar mempunyai dua aspek, yaitu teknis dan non teknis atau peraturan (regulasi). Aspek teknis bersifat ilmiah sehingga ditangani oleh lembaga penelitian dan aspek non teknis atau peraturan ditangani oleh lembaga pengatur (regulator). Tenaga yang menangani standardisasi disebut tenaga standardisasi yang juga dapat dibedakan berdasarkan dua aspek tersebut, yaitu peneliti dan bukan peneliti. Peneliti menangani standardisasi karena keahliannya sedangkan bukan peneliti karena jabatannya.

Berdasarkan uraian di atas, wajar bila pada SSN 1992 ditegaskan bahwa salah satu asas SSN adalah kebersamaan. Dengan demikian penjabaran dan pelaksanaan SSN merupakan usaha bersama. Penjabaran diperlukan karena SSN bersifat nasional yang berlaku bagi semua sektor, sedangkan setiap sektor mempunyai ciri tertentu. Selain itu pengalaman menunjukkan bahwa penerapan SSN 1992 dan SSN 2001 dirasakan belum sesuai dengan harapan.

Penjabaran SSN berupa jaringan standardisasi dengan langkah pertama menjabarkan SSN menjadi Sistem Standardisasi Sektor (SSS), yang untuk sektor kehutanan berarti Sistem Standardisasi Kehutanan (SSK).

Pada SSS dicatat lembaga mana saja yang berhubungan dengan standardisasi sektor di pusat dan di daerah, baik pemerintah maupun swasta. Beberapa contoh lembaga pemerintah adalah Pusat Standardisasi, Lembaga Penelitian (di pusat dan di daerah), Lembaga Pengujian (di pusat dan di daerah), sedangkan contoh lembaga swasta adalah Lembaga Sertifikasi (di pusat dan di daerah), produsen dan asosiasinya. Sesuai dengan SSN ruang lingkup standardisasi cukup luas, yaitu meliputi kelembagaan, perumusan standar dan pedoman, penerapan, kerjasama dan pemasyarakatan serta penelitian dan pengembangan. Tidak semua lembaga yang termasuk dalam SSS, berhubungan dengan semua ruang lingkup tersebut, sehingga perlu dijelaskan untuk setiap lembaga termasuk dalam ruang lingkup mana. Sebagai contoh adalah lembaga penelitian, selain menangani penelitian dan pengembangan juga menangani kerjasama dan pemasyarakatan.

Berdasarkan SSS kemudian disusun Rencana Kerja Standardisasi Sektor (RKSS) berupa kegiatan apa yang akan dilakukan pada setiap ruang lingkup standardisasi, lembaga mana yang akan melakukannya dan dari mana sumber dananya.

RKSS ini dirinci lebih lanjut menjadi Rencana Kerja Pusat Standardisasi (RKPS) dan Rencana Kerja Lembaga Lain (RKLL). Pada rencana kerja ini disebutkan hubungan antara RKPS dengan RKLL dan hubungan antara kegiatan pusat standardisasi dengan lembaga lain kemudian hasilnya dibahas bersama untuk memperoleh umpan balik bagi RKSS (Gambar 1) sesuai dengan asas kebersamaan. Pembahasan dilakukan setiap tahun bertepatan dengan bulan mutu (hari standardisasi sedunia). Dengan cara ini diharapkan penerapan SSN pada setiap sektor akan lebih baik. Perlu kiranya dikemukakan bahwa penerapan SSN itu tidak selalu harus pada yang berhubungan dengan SNI, tetapi dapat juga diterapkan pada yang berhubungan dengan "standar" lain melalui penyesuaian sejalan dengan semboyan ISO bahwa standar bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tanpa standar bukan berarti apa-apa.

halaman 14

Penutup

Kegiatan standardisasi sudah ada sejak sebelum perang dunia II dan dilakukan melalui kerjasama antara beberapa lembaga. SSN mulai dibuat tahun 1992 yang salah satu hasilnya adalah berlakunya SNI mulai 1 April 1994. SSN ini disempurnakan pada tahun 2001 yang penerapannya masih perlu diperbaiki. Untuk itu perlu dibina jaringan standardisasi, diawali dengan penjabaran SSN menjadi Sistem Standardisasi Sektor (SSS), perincian SSS menjadi Rencana Kerja Standardisasi Sektor (RKSS), perincian RKSS menjadi Rencana Kerja Pusat Standardisasi dan Rencana Kerja Lembaga Lain. Rencana kerja ini dilaksanakan dan hasilnya dibahas bersama setiap tahun agar tahun berikutnya diperoleh hasil yang lebih baik.

Rapat Perumusan Standar di Daerah

Surabaya, 10 – 11 Desember 2009

Rapat Perumusan Standar di Daerah dimaksudkan untuk menjaring seluas mungkin masukan dari para pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan standar nasional Indonesia produk-produk sektor kehutanan. Kali ini, Rapat membahas SNI produk kayu, baik yang berupa usulan judul baru maupun revisi dari SNI yang telah ada. lokasi dipilih di Surabaya karena banyak pelaku usaha perkayuan yang ada di daerah ini.

Rapat Pembahasan

1. RSNI Kayu bundar jati – pengukuran dan tabel isi RSNI ini merupakan usulan revisi bagi SNI yang telah ada dengan judul SNI Pengukuran dan tabel isi kayu bundar jati. Perubahan mendasar adalah kelas diameter untuk AI dan AII yang tadinya kelas diameternya 3 cm berubah menjadi 1 cm (sama dengan kelas diameter pada AIII). Hal ini akan menjadikan perdagangan kayu bundar jati lebih adil, karena selama ini dengan adanya kela diameter 3 cm banyak konsumen yang memilih ukuran AI atau AII pada batas atas kelas diameter.

2. RSNI Kayu bundar – pengukuran dan tabel isi RSNI ini merupakan usulan revisi bagi SNI yang telah ada dengan judul SNI Pengukuran dan tabel isi kayu bundar rimba. Perubahan mendasar adalah dihilangkannya spilasi 10 cm dalam pengukuran. Perubahan mendasar lainnya adalah ditambahkannya metode penetapan isi (volume)

Kayu bundar kecil (KBK) dengan satuan staple meter (sm).

3. RSNI Kayu bentukan (moulding) jati Perum Perhutani yang notabene adalah pengguna dari SNI ini belum bias menerima usulan untuk meng-abolisi SNI ini. Hal ini karena walaupun di dalam SNI memang ada beberapa yang sudah tidak relevan, namun masih ada yang dapat diaplikasikan, oleh karena itu pilihan terbaik adalah revisi yang pembahasan isinya akan dicari waktu yang tepat.

4. RSNI Venir sayat jati RSNI ini merupakan usulan revisi bagi SNI yang telah ada dengan judul yang sama. Dalam rapat disepakati untuk merubah judul venir sayat jati menjadi venir jati karena dengan berkembangnya teknologi ada kemungkinan venir dari kayu jati tidak hanya disayat tapi juga bias dikupas atau dengan tekni menggergaji. Toleransi dimensi venir juga diperketat mengikuti tuntutan pasar.

5. RSNI Kayu lapis indah jati RSNI ini merupakan usulan revisi bagi SNI yang telah ada dengan judul yang sama. Perubahan yang mendasar diantaranya adalah mengenai persyaratan khusus yang pada dasarnya diperketat mengikuti tuntutan pasar saat ini.

Kunjungan Lapangan

Pada hari kedua, peserta rapat mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat proses pembuatan venir jati di Kesatuan Bisnis mandiri Industri kayu Perum perhutani. Di sini, peserta sempat mencoba melakukan pengukuran/pengujian kayu bundar jati sesuai dengan RSNI yang telah dibahas pada hari sebelumnya. Setelah itu peserta rapat diberi kesempatan oleh PT. Sumber Mas Indah Plywood Industry untuk melihat dari dekat proses pengolahan kayu lapis. Kedua pabrik ini berlokasi di Gresik, Jawa Timur.

halaman 15

Pariwisata alam di Taman Nasional ............................................1 Penyusunan SNI HHBK ............................................2 Pengembangan Desa Hijau di Kab.Ciamis ............................................3 Rotan ............................................4 ASEAN

.........................................5

Pariwisata alam di Taman Nasional

Para pembaca budiman, Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan hidayahNya kami dapat menghadirkan kembali Info PUSTANLING Volume 12 No.1 tahun 2010. Pada edisi kali ini kami menyajikan informasi terkini mengenai kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan. Dewasa ini isu perubahan iklim dan perdagangan karbon banyak mendapat perhatian dan didiskusikan dalam berbagai kesempatan. Untuk memahami bagaimana karbon tersebut diperdagangkan, dan standar perdagangan karbon yang berlaku secara sukarela (voluntary) di pasar internasional, kami menurunkan 2 (dua) artikel yang membahas isu tersebut.

Pada bulan April 2010 Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) menempati ruang kantor baru di Blok VII lantai 8 Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Semoga ruang kantor baru ini menambah motivasi dan semangat seluruh jajaran Pustanling untuk terus berprestasi. Pada tahun ini giliran anggota redaksi yang lain harus meninggalkan kita karena menempuh tugas belajar S-2 di UGM, yaitu: Firman Dermawan Yuda, S.Hut. dan Dony Arif Wibowo, S.Hut. Semoga mereka diberi kemudahan dan sukses selalu dalam menyelesaikan studinya.

Akhir kata, segenap anggota Redaksi mengucapkan selamat membaca.

Redaksi

R

e

d

a

k

s

i

Sekapur Sirih

VOL.12 NO 1 , SEPTEMBER

2010

ISSN 1693-6078

info PPUUSSTTAANNLLIINNGG Pusat Standardisasi dan Lingkungan

Kementerian Kehutanan

Pembina:Sekretaris Jenderal Dephut;

Penanggung Jawab: Dr.Ir. Slamet R. Gadas.M.Fr.;

Pemimpin Redaksi : Dr. Ir.Prabianto Mukti Wibowo, MSc

Wakil Pemimpin Redaksi: Ir. Purwoto RH, MDM

Sekretaris Redaksi: Ir. Wasi Pramono

Anggota Redaksi: Dra. Nadjmatun Baroroh; Dian Seri Rejeki, S.Hut. M.Si.; Dony Arif Wibowo, S.Hut.; Nina Herlina S.Hut, Suryani G.,S.Hut.,M.Sc.; Firman Dermawan Yuda, S.Hut..; Kardono, S.Hut.;Bambang Subangkit,S.Hut.; Windyo Laksono,S.Hut;, Reiza Syarini,S.Hut.; Wahyu Widhitya, A.Md.

Keuangan: Edy Dasuki, S.Sos.; Sri Widiastuti;

Pendukung: Enny Saraswati, SH, MM;

Kritik dan Saran dialamatkan ke: Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 7 Jl. Gatot Subroto - Jakarta 10270 Telephone/Facsimile: (021) 5733433 E-mail: [email protected] atau [email protected]

Isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya

Info-Pustanling Diterbitkan oleh

Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan

Daftar informasi

Memahami Perdagangan Karbon

Extra-Ordinary Meetings of The Conference of The Parties (Ex-Cop)

Sidang ISO/TC 89 Wood-Based Panels

Sidang ke-9 ASEAN Working Group on a Pan ASEAN Timber Certification Initiative

Sidang ke-2 ASEAN Expert Group on Forest Product Development

Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI): Strategi Menghadapi CAFTA

Standar Perdagangan Karbon

Rapat Perumusan Standar di daerah

Hal 2

Hal 5 Hal 6

Hal 7

Hal 8

Hal 9

Hal 11

Hal 15

Keterangan gambar: Kegiatan penilaian lapang oleh Panel Pakar di area hutan Unit Manajemen hutan rakyat “Rimba Sari” di Kabupaten Pacitan. UM ini merupakan satu dari enam UM yang mendapat fasilitasi dari Pustanling untuk memperoleh sertifikat PHBML. .

Suasana Rapat Perumusan Standar di Daerah di Surabaya, 10 – 11 Desember 2009.

Para peserta rapat mempraktekkan pengujian kayu bundar jati di KBM IK Perum Perhutani di Gresik, Jawa Timur.

REKAMAN LENSA

Para peserta rapat (diwakili oleh Kapustanling dan Kepala Biro KAGEMI Perum Perhutani Pusat) diterima oleh Pimpinan PT. Sumber Mas Indah Plywood Industry.

Suasana Safari Penyegaran Penguji dan Pengawas Penguji Hasil Hutan di Kendari, Nopember 2009.

Suasana rapat perumusan standar di daerah di Semarang, Juli 2010. Rapat kerja ini memnbahas 2 RSNI baru yaitu pemeriksaan kayu bundar dan kayu gergajian, serta 2

RSNI revisi yaitu pengukuran kayu bundar (rimba dan jati).

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan menyaksikan penyerahan sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) kepada 2 (dua) Unit Manajemen Hutan Rakyat di Lumajang dan Pacitan.

2 UM ini difasilitasi oleh Pustanling dalam memperoleh sertifikat PHL.