higher order thinking berbasis pemecahan masalah untuk meningkatkan hasil belajar berorientasi...
TRANSCRIPT
KAJIAN PUSTAKA
A. Higher Order Thinking
Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir
kreatif (Presseisen dalam Costa, 1985). Dalam pembentukan sistem konseptual IPA proses berpikir
tingkat tinggi yang sering digunakan adalah berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis sangat
diperlukan pada zaman perkembangan IPTEK sekarang ini. Para peneliti pendidikan menjelaskan
bahwa belajar berpikir kritis tidak langsung seperti belajar tentang materi, tetapi belajar bagaimana
cara mengkaitkan berpikir kritis secara efektif dalam dirinya ( Beyer dalam Costa, 1985).
Maksudnya keterampilan berpikir kritis dalam penggunaanya untuk memecahkan masalah saling
berkaitan satu sama lain.
Newman and Wehlage (2011) menyatakan bahwa ”HOT requires students to manipulate
informations and ideas in ways that transform their meaning and implications, such as when
students combine facts and ideas in order to synthesize, generalize, explain, hypothize, or arrive
at some conclusion or interpretation”. Dengan HOT siswa akan belajar lebih mendalam,
knowledge is thick, siswa akan memahami konsep lebih baik. Hal itu sesuai dengan karakter yang
substantif untuk suatu pelajaran ketika siswa mampu mendemonstrasikan pemahamannya secara
baik dan mendalam. Dengan HOT siswa dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas,
berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkonstruksi penjelasan,
mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas.
Thomas dan Thorne (2011) menyatakan bahwa bahwa HOT dapat dipelajari, HOT dapat
diajarkan pada murid, dengan HOT keterampilan dan karakter siswa dapat ditingkatkan.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada perbedaan hasil pembelajaran yang cenderung hapalan dan
pembelajaran HOT yang menggunakan pemikiran tingkat tinggi.
B. Pemecahan Masalah
Dalam hal pemecahan masalah, Sujak (2005) dan Surya-Dharma (2009) menyatakan
bahwa para pendidik prihatin terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa-siswa Indonesia.
Dari 100 siswa yang dikirim mengikuti lomba tingkat internasional yang diselenggarakan
PISA (Program for International Students Assessment), 73 di antara 100 siswa yang dikirim
berada di bawah level yang paling bawah (level 1). Hal itu menunjukkan bahwa siswasiswa
Indonesia belum mampu memecahkan masalah dengan baik, atau kemampuan pemecahan
masalahnya sangat rendah.
Krulik dan Rudnick (Bismarbasa, 2012) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu
cara yang dilakukan seseorang dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman
untuk memenuhi tuntutan dari situasi yang tidak rutin. Polya (Firdaus, 2009) juga menjelaskan
bahwa pemecahan masalah merupakan usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk
mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Memecahkan masalah dapat dipandang
sebagai proses yang meminta siswa untuk menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah
dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan masalah yang baru.
Menurut Garofalo dan Lester (Suryadi), pemecahan masalah mencakup proses berpikir
tingkat tinggi seperti proses visualisasi, asosiasi, abstraksi, manipulasi, penalaran, analisis, sintesis,
dan generalisasi yang masing-masing perlu dikelola secara terkoordinasi. Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu usaha yang dilakukan
seseorang, yang mencakup kemampuan berpikir tingkat tinggi, untuk menyelesaikan masalah
dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang telah dimilikinya.
Cooney, et.al. (Dhoruri, 2010) menyampaikan bahwa :”.... for a question to be a problem,
it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the
student. Maksudnya adalah ” Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukkan adanya suatu tantangan ( challenge) yang tidak dapat dipecahkan 3 dengan suatu
prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pemecah masalah. Dengan demikian
termuatnya tantangan serta belum diketahuinya prosedur rutin pada suatu pertanyaan yang
diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya suatu pertanyaan menjadi
masalah atau hanylah suatu pertanyaan biasa. Karena dapat terjadi bahwa suatu masalah bagi
seseorang siswa akan menjadi pertanyaan bagi siswa lain karena ia sudah mengetahui prosedur
untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu masalah diperlukan waktu
yang relatif lebih lama dari pada proses pemecahan masalah rutin biasa.
Menurut Dhoruri (2010), keterampilan memecahkan masalah akan dicapai siswa jika dalam
pembelajaran guru mengkondisikan siswa untuk dapat mengkontruksi pengetahuannya dan
memfasilitasi siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang melibatkan pemecahan masalah.
Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual yang menurut Gagné,
dkk (Firdaus, 2009) lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan
intelektual lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan masalah
diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat dicapai
setelah menguasai aturan dan konsep terdefinisi. Demikian pula aturan dan konsep terdefinisi
dapat dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman konsep konkrit. Setelah itu untuk memahami
konsep konkrit diperlukan keterampilan dalam memperbedakan. Keterampilan-keterampilan
intelektual tersebut digolongkan Gagné berdasarkan tingkat kompleksitasnya dan disusun dari
operasi mental yang paling sederhana sampai pada tingkat yang paling kompleks.
Keterampilan-keterampilan intelektual tersebut digambarkan oleh Gagné, dkk secara hierarki
seperti pada skema berikut.
PEMECAHAN MASALAH|
melibatkan pembentukan|
ATURAN-ATURAN TINGKAT TINGGI|
membutuhkan prasyarat|
ATURAN dan KONSEP-KONSEP TERDEFINISI|
membutuhkan prasyarat|
KONSEP-KONSEP KONKRIT|
membutuhkan prasyarat|
MEMPERBEDAKAN
Skema. Tingkat-tingkat Kompleksitas dalam Keterampilan Intelektual
C. Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran kontekstual menurut Blanchard (2001) dapat diterapkan melalui strategi-strategi
berikut : (i) menekankan pada pemecahan masalah; (ii) menyadari kebutuhan akan
pembelajaran yang terjadi dalam konteks, seperti di rumah, masyarakat, dan lingkungan kerja;
(iii) mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajarannya sendiri (menjadi pebelajar
mandiri); (iv) mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda; (v)
mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama; dan (vi) menerapkan
penilaian autentik. Penerapan strategi-strategi pembelajaran kontekstual tersebut di atas (dalam
PBM IPA), memberikan implikasi pada perlunya pemberian bantuan (scaffolding) dalam proses
pembelajaran melalui peer collaboration oleh teman sebaya yang lebih berkompeten (Tudge,
1994). Untuk mewujudkan belajar bersama (belajar dari sesama teman) dalam PBM IPA, maka
perlu diupayakan pengaturan kegiatan kelas dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa
(peer mediated instruction) dari pada bentuk kelas utuh.
Berdasar teori Bruner (Hudojo, 1988), pembelajaran kontekstual cocok dalam
kegiatan pembelajaran karena pada awal pembelajaran dimungkinkan siswa memanipulasi
objek-objek berkaitannya dengan permasalahan kontekstual yang diberikan guru.
Selanjutnya seiring dengan struktur kognitif anak, Bruner dalam hal mengembangkan
teorinya mendasarkan atas dua asumsi dasar yaitu Pertama, bahwa perolehan pengetahuan
merupakan suatu proses interaktif artinya individu belajar untuk memperoleh pengetahuannya
dengan cara berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan pada
diri individu tersebut dan lingkungannya. Kedua, konstruktivis artinya seseorang belajar
dengan cara mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang
masuk/diterima dengan informasi yang telah dimilikinya.
Menurut teori belajar bermakna Ausubel, belajar menerima dan belajar menemukan
keduanya dapat menjadi belajar bermakna apabila konsep baru atau informasi baru
dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Teori
belajar bermakna Ausubel ini sejalan dengan prinsip kontekstual, yaitu siswa
menggunakan cara mereka sendiri dalam memecahkan masalah (penemuan) dan mampu
menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan permasalahan yang dihadapi. Jika
pengetahuan yang telah dimiliki siswa belum dapat digunakan dalam memecahkan
masalah, maka guru perlu membimbing siswa secara terbatas.
Elemen-elemen yang digunakan sebagai strategi dalam menerapkan CTL antara lain
(Masnur Muslich, 2007: 40)::
a) Hidupkanlah kemampuan awal peserta didik (pengetahuan sebelumnya harus
dijadikan pertimbangan dalam membelajarkan materi baru).
b) Perolehan/pencapaian pengetahuan (perolehan tambahan pengetahuan seyogyanya
dilakukan menyeluruh dan tidak secara paket-paket kecil).
c) Pemahaman terhadap pengetahuan (peserta didik perlu menggali dan menguji
semua nuansa pengetahuan baru. Mereka perlu mendiskusikannya dengan
temannya, mendapatkan atau saling mengkritik, membantu temannya memperbaiki
susunan perolehan pengetahuan yang dibelajarkan di dalam kelas).
d) Menggunakan pengetahuan (peserta didik mendapat kesempatan memperluas dan
menyaring pengetahuan dengan cara menggunakannya dalam bentuk pemecahan
masalah).
e) Refleksi pengetahuan yang diperoleh (berikan kesempatan pada siswa untuk
merefleksikan perolehan belajar sesuai dengan kecenderungan bakat mereka).
Menurut Sutiman (dalam Siti Nurochmah, 2004 : 2), Pendekatan kontekstual
merupakan salah satu alternatif usaha pengintegrasian kecakapan hidup (life skill)kedalam
silabus mata pelajaran kimia. Kecakapan hidup (life skill)merupakan kecakapan yang dimiliki
seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi hingga
mampu mengatasinya.
Pendekatan kontekstual melibatkan 7 (tujuh) komponen utama pembelajaran efektif yaitu :
a) Konstruktivisme (Contructivism) yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit)
dan tidak sekonyongkonyong.
b) Bertanya (Questioning)merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan
menilai kemampuan berpikir peserta didik.
c) Menemukan (Inquiry), dimana pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik
diperoleh dari menemukan sendiri bukan dari mengingat seperangkat fakta-fakta.
d) Masyarakat belajar (Learning Community), diharapkan hasil pembelajaran diperoleh
dari kerja sama dengan orang lain.
e) Pemodelan (Modeling), maksudnya dalam pembelajaran keterampilan ada model yang
ditiru.
f) Refleksi (Reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari/berpikir
tentang apa yang kita pelajari dimasa lalu.
g) Penilaian sebenarnya (Authentic Assesment) adalah proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran perkembangan peserta didik.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut :
(1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.
(2) Beragam dan terpadu.
(3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
(4) Releven dengan kebutuhan kehidupan.
(5) Menyeluruh dan berkesinambungan.
(6) Belajar sepanjang hayat.
(7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
D. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Depdiknas (Darusman, 2008: 17) menyatakan bahwa LKS adalah lembaran yang
berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan yang terprogram. Lembaran ini
berisi petunjuk, tuntunan pertanyaan dan pengertian agar siswa dapat memperluas serta
memperdalam pemahamannya terhadap materi yang dipelajari. Manfaat dan tujuan lembar
kerja siswa (LKS) menurut tim instruktur PKG dalam Sudiati (2003: 11-12) antara lain
sebagai alternative guru untuk mengarahkan atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu,
dapat mempercepat atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu, dapat mempercepat proses
belajar mengajar sehingga dapat menghemat waktu mengajar, serta dapat mengoptimalkan
alat bantu pengajaran yang terbatas karena siswa dapat menggunakan alat bantu secara
bergantian. LKS bertujuan untuk melatih siswa berpikir lebih mantab dalam kegiatan belajar
mengajar dan dapat memperbaiki minat siswa untuk belajar (Sudiati, 2003). Dengan media
LKS dapat melatih siswa untuk belajar sendiri baik dalam upaya pengayaan maupun
pendalaman materi, dalam hal ini guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing belajar
atau tutor. Dengan demikian, bakat kemampuan dan keterampilan yang dimiliki siswa akan
dapat berkembang. Disamping itu dalam kegitan belajar, segala potensi yang ada
dimanfaatkan. Belajar dengan menggunakan media memungkinkan siswa belajar dengan
panca inderanya. Menurut Surachman yang dikutip oleh Sumarni (2004: 15-16), LKS
merupakan jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu siswa belajar secara terarah.
Menurut Dhari dan Haryono (1988) yang dimaksud dengan lembar kerja siswa adalah
lembaran yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan yang terprogram. Setiap
LKS berisikan antara lain: uraian singkat materi, tujuan kegiatan, alat/ bahan yang diperlukan
dalam kegiatan, langkah kerja pertanyaan – pertanyaan untuk didiskusikan, kesimpulan hasil
diskusi, dan latihan ulangan.
Peran LKS sangat besar dalam proses pembelajaran karena dapat meningkatkan aktifitas
siswa dalam belajar dan penggunaannya dalam pembelajaran kimia dapat membantu guru
untuk mengarahkan siswanya menemukan konsep-konsep melalui aktifitasnya sendiri.
Disamping itu LKS juga dapat mengembangkan ketrampilan proses, meningkatkan aktifitas
siswa dan dapat mengoptimalkan hasil belajar. Manfaat secara umum adalah sebagai berikut:
a) Membantu guru dalam menyusun rencana pembelajaran
b) Mengaktifkan peserta didik dalam proses belajar mengajar
c) Sebagai pedoman guru dan peserta didik untuk menambah informasi tentang konsep yang
dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistimatis
d) Membantu peserta didik memperoleh catatan tentang materi yang akan dipelajari melalui
kegiatan belajar
e) Membantu peserta didik untuk menambah informasi tentang konsep yang dipelajari
melalui kegiatan belajar secara sistematis.
f) Melatih peserta didik untuk menemukan dan mengembangka keterampilan proses, dan
g) Mengaktifkan peserta didik dalam mengembangkan konsep
Dalam menyiapkan lembar kegiatan siswa dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Analisis kurikulum
Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan
bahan ajar LKS.
b. Menyusun peta kebutuhan LKS
Peta kebutuhan LKS sangat diperlukan guna mengetahui jumlah LKS yang harus ditulis
dan sekuensi atau urutan LKS-nya juga dapat dilihat. Sekuens LKS ini sangat
diperlukan dalam menentukan prioritas penulisan.
c. Menentukan judul-judul LKS
Judul LKS ditentukan atas dasar KD-KD, materi-materi pokok atau pengalaman belajar
yang terdapat dalam kurikulum.
d. Penulisan LKS
Penulisan LKS dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebaga berikut:
oPerumusan KD yang harus dikuasai
oRumusan KD pada suatu LKS langsung diturunkan dari dokumen SI.
oMenentukan alat Penilaian
oPenilaian dilakukan terhadap proses kerja dan hasil kerja peserta didik
sehinggamenggunakan pendekatan Panilaian Acuan Patokan (PAP) atau Criterion
Referenced Assesment.
Penyusunan Materi
Materi LKS sangat tergantung pada KD yang akan dicapai. Materi LKS dapat
berupa informasi pendukung, yaitu gambaran umum atau ruang lingkup substansi
yang akan dipelajari.
Struktur LKS
Struktur LKS secara umum adalah sebagai berikut:
o Judul
o Petunjuk belajar (Petunjuk siswa)
o Kompetensi yang akan dicapai
o Informasi pendukung
o Tugas-tugas dan langkah-langkah kerja
o Penilaian
E. Laju Reaksi
Dalam reaksi kimia yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, jika kita amati secara seksama
dilihat dari waktu berlangsungnya sangatlah beragam yaitu: ada yang berlangsung cepat dan ada
yang berlangsung lambat. Peristiwa tersebut tergantung pada zat yang direaksikannya.
Terlepas dari zat yang direaksikan, kedua peristiwa tersebut menunjukan adanya perubahan atau
pergeseran sifat zat seiring dengan berjalannya waktu jalannya reaksi. Dan dalam reaksi kimia
Perubahan zat pada reaksi kimia dihubungkan dengan waktu berlangsungnya dapat di istilahkan
sebagai Laju reaksi.
Pada reaksi kimia berdasarkan komponennya, maka pengertian laju reaksi dapat didefinisikan
dari zat-zat sebelum reaksi (reaktan) dan zat-zat hasil reaksi (produk). Di mana pada zat peraksi
selama berlangsungnya reaksi mengalami pengurangan jumlah zat dan sebaliknya pada zat-zat
hasil reaksi selama berlangsungnya reaksi mengalami pertambahan jumlah zat.
Jumlah zat dalam ilmu kimia biasanya digunakan satuan mol atau konsentrasi (molaritas
(M)) atau satuan volum (liter), satuan mol biasanya digunakan untuk zat-zat yang berupa zat
murni seperti unsur dan senyawa. Satuan molaritas (M) digunakan untuk zat-zat yang berupa
larutan.Dan satuan volum biasanya untuk zat yang berwujud gas. Maka secara umum pengertian
laju reaksi didefinisikan sebagai berikut:
1. Berkurangnya mol atau konsentrasi (molaritas) dari zat-zat pereaksi dalam satuan waktu.
2. Bertambahnya mol atau konsentrasi (molaritas) dari zat-zat hasil reaksi dalam satuan waktu.
Secara matematika laju reaksi dirumuskan:
Vr=∆ n∆ t
atauVr=∆ M∆ t
Keterangan : Vr = laju reaksi; ∆n = perubahan mol; ∆M = perubahan konsentrasi
∆t = perubahan waktu
Pengertian laju reaksi secara khusus yaitu yang berkenaan langsung dengan reaksi antara zat
maka pengertian laju reaksinya dapat dikaji pada contoh reaksi dari peramaan reaksi berikut:
Zn (s) + H2SO4 (aq) → ZnSO4 (aq) + H2(g)
Maka definisi laju reaksi untuk reaksi adalah sebagai berikut:
1. Berkurangnya mol Zn dalam satuan waktu.
2. Berkurangnya konsentrasi molaritas larutan H2SO4 dalam satuan waktu.
3. Bertambahnya konsentrasi molaritas larutan ZnSO4 dalam satuan waktu.
4. Bertambahnya volume gas H2 dalam satuan waktu.
F. Penelitian yang Relevan
Keefektifan Pembelajaran Kontekstual Berorientasi Penemuan Berbantuan CD Pembelajaran dan
LKS pada Materi Bilangan Bulat di Sekolah Dasar oleh Imam Kusmaryono, M.Pd dari FKIP
Universitas Islam Sultan Agung Semarang adalah salah satu penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui: (1) pengaruh dan seberapa besar pengaruh aktivitas dan motivasi terhadap
hasil belajar pada pembelajaran kontekstual strategi penemuan berbantuan CD pembelajaran
yang didampingi LKS, (3) perbedaan hasil belajar pada pembelajaran kontekstual strategi
penemuan berbantuan CD pembelajaran yang didampingi LKS, pembelajaran kontekstual
strategi penemuan berbantuan alat peraga didampingi LKS, dan pembelajaran ekspositori
berbantuan alat peraga.
Data penelitian diperoleh melalui: (1) observasi, (2) angket, dan (3) tes kemampuan kognitif.
Untuk mengetahui pengaruh aktivitas dan motivasi terhadap hasil belajar digunakan uji
analisis regresi, untuk mengetahui adanya perbedaan hasil belajar digunakan uji banding
(OneWay Anava) diteruskan uji lanjut ANAVA dengan metode Scheffe, dan uji ketuntasan
(KKM) hasil belajar dengan uji One sample T Test. Hasil penelitian menunjukkan: (1) hasil
uji regresi pada kelompok eksperimen pertama (E1) menunjukkan adanya pengaruh aktivitas
dan motivasi terhadap hasil belajar, (2) hasil uji banding (One Way Anava) menunjukkan adanya
perbedaan hasil belajar antara ketiga kelompok, dan (3) hasil uji lanjut ANAVA dengan
metode Scheffe menunjukkan bahwa antara ketiga kelompok berbeda secara signifikan
yakni kelompok (E1)≠(E2), (E1)≠(K), dan (E2)≠(K), Berdasarkan mean hasil belajar
diperoleh bahwa kelompok eksperimen pertama (E1) lebih baik dibanding kelompok
eksperimen kedua(E2) dan kelompok kontrol (K).
Pemecahan Masalah dan Penggunaan Strategi Pemecahan Masalah oleh Janulis P. Purba. Pada
penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa kapabilitas hasil belajar pemecahan masalah
(problem solving) merupakan hasil belajar kognitif tingkat tinggi. Untuk jenjang ketrampilan
intelektual jenjang pemecahan masalah, siswa dituntut menggunakan kaidah-kaidah yang sesuai
untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini siswa mampu mengidentifikasi dan memahami
permasalahan serta terampil dalam memilih, menggunkan,mengorganisasikan kaidah atau aturan
tingkat tinggi untuk memecahkan masalah. Karena itu diperlukan strategi pemecahan masalah
yang langkah-langkahnya dirancang untuk memudahkan siswa untuk menemukan pola
pemecahan masalah yang tepat, yang secara umum strategi yang dimaksud dimulai dari analisa
masalah, rencana pemecahan masalah, pemecahan/penyelesaian masalah sesuai rencana, serta
penilaian atau review.
G.Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian di atas mengenai harapan, fakta, dan masalah. Kemudian ada beberapa kajian
teori dan peneltian yang relevan dengan penelitian ini. Maka, penulis merangkai kerangka
konseptual untuk mendukung menemukan solusi. Dari solusi tersebut dikembangkan menjadi
suatu judul peneltian.
Fakta
1. Sebagian besar buku LKS hanya menyajikan rangkuman materi yang berupa poin-poin penting saja, bukan suatu bacaan yang lengkap.
2. Kemampuan memecahkan masalah siswa SMA masih dirasa kurang
Dalam hal pemecahan masalah, Sujak (2005) dan Surya-Dharma
(2009) menyatakan bahwa para pendidik prihatin terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa-siswa Indonesia. Dari 100
siswa yang dikirim mengikuti lomba tingkat internasional yang
diselenggarakan PISA (Program for International Students
Assessment), 73 di antara 100 siswa yang dikirim berada di
bawah level yang paling bawah (level 1). Hal itu menunjukkan
bahwa siswasiswa Indonesia belum mampu memecahkan masalah
dengan baik, atau kemampuan pemecahan masalahnya sangat
rendah.
Harapan
1. Seiring perkembangan zaman, esensi kehidupan adalah situasi pemecahan masalah. As'ari, dalam seminar dan Loka Karya (Shadiq, 2007), mengutip pendapat NCREL (2003) bahwa pada dasarnya abad ke-21 ini diwarnai oleh beberapa karakteristik berikut: (1) merupakan dunia digital, (2) menuntut pemikiran inventif, (3) menuntut komunikasi efektif, dan (4) menuntut produktifitas tinggi. Sehingga sangat penting untuk mengenalkan dan membiasakan siswa mengasah kemampuan memecahkan masalah, baik masalah routine maupun masalah non-routine.
2. Depdiknas (Darusman, 2008: 17) menyatakan bahwa LKS adalah lembaran yang berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan yang terprogram. Lembaran ini berisi petunjuk, tuntunan pertanyaan dan pengertian agar siswa dapat memperluas serta memperdalam pemahamannya terhadap materi yang dipelajari.
Analisis Perbedaan
Rumusan Masalah
1. LKS yang digunakan di beberapa sekolah kurang bisa mendukung siswa untuk mengasah ketrampilan problem solving.2. Materi Laju Reaksi dianggap sulit bagi siswa kelas XI SMA3. Ketrampilan siswa SMA dalam memecahkan msalah masih belum seperti apa yang diharapkan oleh Standard Proses Pendidikan
TEORI YANG MENDUKUNG
Problem SolvingPemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan
intelektual yang menurut Gagné, dkk (Firdaus, 2009) lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya.
Contextual Teaching and Learning (CTL)Menurut Sutiman (dalam Siti Nurochmah, 2004 : 2), Pendekatan
kontekstual merupakan salah satu alternatif usaha pengintegrasian kecakapan hidup (life skill)kedalam silabus mata pelajaran kimia. Kecakapan hidup (life skill)merupakan kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi hingga mampu mengatasinya.
Lembar Kerja Siswa (LKS)
Depdiknas (Darusman, 2008: 17) menyatakan bahwa LKS adalah lembaran yang berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan yang terprogram.
HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dapat dibuat simpulan sebagai berikut.(1) Penerapan model pembelajaran kontekstual dengan strategi penemuan berbantuan CD pembelajaran didampingi LKS efektif meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar siswa dan efektif dalam pencapaian KKM sebesar 65 pada kompetensi dasar penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. (2) Terdapat pengaruh positif antara aktivitas dan motivasi terhadap hasil belajar siswa pada penerapan pembelajaran kontekstual berstrategi penemuan berbantuan CD pembelajaran yang didampingi LKS dengan model persamaan
2. Pemecahan Masalah dan Penggunaan Strategi Pemecahan Masalah oleh Janulis P. Purba. Pada penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa kapabilitas hasil belajar pemecahan masalah (problem solving) merupakan hasil belajar kognitif tingkat tinggi. Untuk jenjang ketrampilan intelektual jenjang pemecahan masalah, siswa dituntut menggunakan kaidah-kaidah yang sesuai untuk memecahkan masalah.
SOLUSI
Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Beorientasi Contextual Teaching and Learning untuk Melatihkan Ketrampilan Problem Solving
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang mengembangkan
Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berorientasi Contextual Teaching And Learning
Untuk Melatihkan Ketrampilan Problem Solving Pada Materi Pokok Laju Reaksi
2. Sasaran penelitian
Sasaran penelitian ini adalah perangkat pembelajaran yang dikembangkan yaitu LKS
berorientasi Contextual teaching and learning pada materi laju reaksi Kelas XI SMA.
3. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari hasil telaah dan validasi. Telaah dilakukan oleh 1 orang dosen
kimia dan 2 guru kimia sebagai ahli materi serta 1 orang ahli bahasa. Validasi dilakukan oleh
1 orang dosen Kimia dan 2 orang guru kimia sebagai ahli materi dan 1 orang ahli bahasa. Uji
coba terbatas dilakukan terhadap 30 orang siswa kelas XI SMA yang dipilih berdasarkan
tingkat kognitif siswa yaitu 10 siswa dengan katagori tinggi, sedang, dan rendah.
4. Rancangan Penelitian
Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berorientasi Contextual Teaching And Learning
(CTL) pada materi laju reaksi ini mengacu pada model pengembangan 4-D ( four-D model)
yang dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Model pengembangan 4-
D terdiri dari empat tahap yaitu tahap pendefinisian (Define), tahap perencangan (Develop),
dan tahap penyebaran (Disseminate). Pelaksanaan pengembangan pada penelitian ini hanya
sampai pada tahap pengembangan (Develop), karena penelitian ini dilakukan hanya untuk
mengetahui kelayakan yang dikembangkan. Rancangan penelitian ini disajikan diagram alur
berikut.
Analisis Ujung Depan
Analisis Siswa
Analisis TugasAnalisis Konsep
Perumusan Tujuan Pembelajaran
Penyusunan Test
Desain Awal Perangkat
Telaah Bahasa Telaah Materi
Revisi I
Validasi
Ahli Bahasa Ahli Materi
Revisi II
Uji Coba Terbatas
Analisis Data Laporan
(Draft 1)
(Draft 2)
Master
DEFINE
DESIGN
DEVELOP
Gambar. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model 4-D Model (diadaptasi dari Ibrhim,
2001)
1. Tahap-Tahap Pengembangan Perangkat
a. Tahap pendefinisian (define)
Tahap pendefinisian bertujuan untuk menentukan dan mendefinisikan tujuan-tujuan
pembelajaran yang akan dicapai pada suatu materi pembelajaran. Tahap ini terdiri dari lima
langkah, yaitu: analisis kurikulum, analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan
perumusan tujuan pembelajaran.
1. Analisis Kurikulum
Pada tahap ini peneliti menentukan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang terdapat
dalam Kurikulum 2013, selanjutnya dilakukan analisis indikator hasil belajar sehingga
dapat disesuaikan dengan materi dan LKS yang akan dikembangkan. Pada penelitian ini,
peneliti memilih materi reaksi oksidasi-reduksi yang memiliki deskripsi sebagai berikut:
a.Kompetensi Inti
KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli
(gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif dan
menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3: Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bdang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.
KI 4: Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
b. Kompetensi Dasar
1.1 Menyadari adanya keteraturan dari sifat hidrokarbon, termokimia, laju reaksi,
kesetimbangan kimia, larutan dan koloid sebagai wujud kebesaranTuhan YME dan
pengetahuan tentang adanya keteraturan tersebut sebagai hasil pemikiran kreatif
manusia yang kebenarannya bersifat tentatif.2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah
(memiliki rasa ingin tahu, disiplin, jujur, objektif, terbuka, mampu membedakan
fakta dan opini, ulet, teliti, bertanggung jawab, kritis, kreatif, inovatif, demokratis,
komunikatif ) dalam merancang dan melakukan percobaan serta berdiskusi yang
diwujudkan dalam sikap sehari-hari.
1.2 Mensyukuri kekayaan alam Indonesia berupa minyak bumi, batubara dan gas alam
serta berbagai bahan tambang lainnya sebagai anugrah Tuhan YME dan dapat
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu, disiplin, jujur, objektif,
terbuka, mampu membedakan fakta dan opini, ulet, teliti, bertanggung jawab,
kritis, kreatif, inovatif, demokratis, komunikatif) dalam merancang dan melakukan
percobaan serta berdiskusi yang diwujudkan dalam sikap sehari-hari.
2.2 Menunjukkan perilaku kerjasama, santun, toleran, cinta damai dan peduli lingkungan
serta hemat dalam memanfaatkan sumber daya alam.
2.3 Menunjukkan perilaku responsifdan pro-aktif serta bijaksana sebagai wujud
kemampuan memecahkan masalah dan membuat keputusan
3.6 Memahami teori tumbukan (tabrakan) untuk menjelaskan reaksi kimia.
3.7 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan menentukan orde
reaksi berdasarkan data hasil percobaan.Indikator
4.6 Menyajikan hasil pemahaman terhadap teori tumbukan (tabrakan) untuk
menjelaskan reaksi kimia.
2. Analisis Siswa
Analisis ini dilakukan dengan memperhatikan ciri, kemampuan, dan pengalaman siswa
dalam ranah kogniktif, afektif, dan psikomotor. Analisis ini digunakan untuk
menyesuaikan materi pelajaran dengan LKS yang akan dikembangkan. Berdasarkan
hasil observasi di SMAN menunjukkan bahwa usia siswa kelas XI berkisar antara 16-
17 tahun dengan kemampuan kognitif yang cukup baik namun mereka masih memiliki
keterampilan Problem Solving yang kurang maksimal, pemahaman siswa terhadap
materi belum bisa dikatakan sebagai keterampilan berfikir tingkat tinggi.
3. Analisis Konsep
Hasil analisis konsep pada materi laju reaksi disusun dalam bentuk peta konsep sebagai
berikut:
Gambar 2. Peta konsep laju reaksi
4. Analisis Permasalah/ Konten
Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sesuai dengan materi
pokok yang dipilih.
b. Tahap Perancangan (design)
Pada tahap ini, indikator-indikator yang telah dirumuskan digunakan untuk merancang LKS
yang akan dikembangkan. Langkah-langkahnya adalah sebagai:
X O
1. Pemilihan format LKS brdasarkan petunjuk penyusunan LKS yang meliputi komponen-
komponen, yaitu judul ,alokasi, waktu, tujuan, pembelajaran, rangkuman materi, alat,
dan bahan, prosedur kegiatan, dan pertanyaan.
2. Desain awal LKS pada penelitian ini mengacu pada kegiatan menulis, menelaah, dan
mengedit LKS yang dihasilkan.
c. Tahap penegembangan (develop)
Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan LKS yang telah direvisi berdasarkan masukan para
pakar. Tahap pengembangan ini meliputi:
1. Telaah LKS
Dalam kegiatan seminar proposal skripsi, dosen penyanggah menelaah draft I dan
memberikan saran dari segi isi, penyajian, dan bahasa. Selanjutnya peneliti merevisi
draft I berdasarkan saran dan masukan pada saat seminar proposal skripsi sehingga
dihasikan draft II. Selanjutnya draft II ditelaah dosen dan guru kimia. Telaah dilakukan
dengan menggunakan lembar telaah LKS sebagai penilaian terhadap LKS yang
disusun. Hasil telaah oleh dosen kimia, guru kimia, dan ahli bahasa digunakan oleh
peneliti digunakan sebagai masukan untuk melakukan revisi.
2. Revisi LKS.
Revisi LKS dilakukan setelah ditelaah oleh para pakar, selanjutnya LKS yang telah
dikembangkan akan digunakan untuk uji coba.
3. Uji Coba Terbatas
Hasil revisi LKS kemudian akan digunakan untuk diuji cobakan di kelas. Tujuan dari
uji coba ini untuk mengetahui kelayakan LKS yang dikembangkan oleh peneliti dalam
mencapai kompetensi dan ketuntasan belajar siswa. Selain itu juga untuk mengetahui
respon siswa terhadap LKS yang dikembangkan.
Tahap uji coba pada penelitian ini menggambar desain One-Shot Case Study, yaitu suatu
desain penelitian dengan cara observasi yang dilakukan sekali sesudah perlakuan dengan
memberikan LKS berbasis problem story pada siswa dan pada akhirnya didapatkan hasil
akhir sebagai nilai atau hasil dari perlakuan. Desain ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
X= perlakuan, yaitu penerapan LKS berbasis Problem Story dalam pembelajaran.
O= hasil observasi sesudah perlakuan, yaitu hasil tes siswasetelah mengikuti
pembelajaran dengan penerapan LKS berbasis problem story
(Arikunto, 2006)
Pelaksanaan uji coba adalah sebagai berikut:
Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM)
Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas disesuaikan dengan rencana pelaksanaan
pembelajaran. Pelaksanaan ini meliputi tahap-tahap, yaitu motivasi dan bimbingan guru
agar siswa dapat belajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah sehingga
dapat memahami materi yang diajarkan serta dapat melakukan penilaian terhadap
kemampuannya sendiri (metacomprehension) dengan cara menulis tingkat keyakinan dan
memberi skor atas jawaban serta menyimpulkan tingkat pemahaman terhadap
pembelajaran yang telah dilakukan.
d. Pemberian tes akhir
Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk mengerjakan soal-soal evaluasi berbentuk
pilihan ganda. Pemberian tes ini bertujuan untukmengukur seberapa jauh tingkat
pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan.
e. Pemberian instrument non test
Instrument non test berupa angket respon siswa untuk menegtahui respon siswa terhadap
penggunaan lembar kegiatan siswa berbasis problem story
f. Revisi II (Revisi Akhir)
Tahap revisi akhir dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan LKS yang layak digunakan
(draft final)
5. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat : SMAN 1 Driyorejo Gresik
Waktu : 13 Januari 2014 – 14 Februari 2014
6. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi lembar telaah, lembar validasi, lembar
observasi aktivitas siswa dan guru, angket respon siswa.
a. Lembar telaah
Lembar telaah berisi indikator telaah untuk menelaah Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis
Problem Story berdasarkan kriteria kesesuaian dengan komponen kelayakan isi, penyajian,
bahasa, dan kegrafisan. Lembar telaah digunakan untuk memperbaiki LKS untuk selanjutnya
dilakukan revisi. Telaah berupa kritik dan saran dari 1 orang dosen kimia dan 2 orang guru
kimia sebagai ahli materi serta 1 orang ahli bahasa.
b. Lembar validasi
Lembar validasi merupakan lembar penilaian terhadap kelayakan Lembar Kerja Siswa (LKS)
berbasis Problem Story berdasarkan kesesuaian dengan komponen kelayakan isi, penyajian,
bahasa, dan kegrafisan. Lembar validasi digunakan untuk mengumpulkan data penilaian dari
dosen kimia, guru kimia, dan ahli bahasa.
c. Lembar observasi aktifitas siswa
Lembar observasi digunakan untuk memperoleh data mengenai aktivitas siswa selama
menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Problem Story. Tujuannya untuk
mengetahui apakah Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Problem Story dapat melatih
keterampilan Higher Order Thinking siswa.
d. Lembar angket respon untuk siswa
Lembar angket respon ini ditujukan untuk siswa yang telah menggunakan Lembar Kerja
Siswa (LKS) berbasis Problem Story ketika uji coba terbatas. Lembar angket respon yang
diberikan kepada siswa digunakan untuk mengetahui pendapat mereka tentang kemudahan
untuk pemahaman materi, kemenarikan penyajian, serta menggunakan bahasa yang mudah
dipahami oleh siswa dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Problem Story yang
dikembangkan.
7. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara yaitu
a. Lembar telaah yang diisi oleh 1 orang dosen kimia, 2 orang guru kimia dan 1 ahli bahasa
b. Lembar validasi yang diisi oleh 1 orang dosen kimia, 2 orang guru kimia dan 1 ahli
bahasa
c. Lembar observasi aktifitas siswa
d. Lembar angket respon untuk siswa
e. Lembar nilai hasil ujian pretes dan postes siswa
8. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan pada penilaian ini adalah sebagai berikut:
a. Analisis telaah
Dianalisis secara kualitatif dengan memberikan gambaran kritik dan saran dari 1 orang
dosen kimia, 2 orang guru kimia, dan 1 orang ahli bahasa terhadap LKS yang
dikembangkan.
b. Analisis Validasi
Data hasil validasi dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Analisis
ini digunakan terhadap setiap kriteria yang tertuang dalam lembar validasi. Presentase
data diperoleh menggunakan perhitungan skala penilaian Likert sebagai berikut:
Tabel 3. skala Likert
penilaian nilai skala
buruk sekali 1
buruk 2
sedang 3
baik 4
sangat baik 5
(Riduwan, 2010: 13)
Untuk perhitungan presentase katagori digunakan rumus sabagai berikut:
P (% )= jumlah skor hasil pengumpulan dataskor kriteria
X 100 %
(Riduwan, 2010: 14)
Dengan keterangan
Skor kriteria = skor tertinggi X jumlah pertanyaan dalam angket X jumlah responden
Presentase yang diperoleh diinterpretasikan ke dalam kriteria yang dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4. Kriteria Skor
presentase Kriteria
0,01 - 20,99 sangat tidak memenuhi
21,00 - 40,99 tidak memenuhi
41,00 - 60,99 kurang memenuhi
61,00 - 80,99 Memenuhi
81,00 - 100,00 sangat memenuhi
(Riduwan, 2010: 15)
Validasi perangkat pembelajaran dalam penelitia ini meliputi validasi konstruksi yang
ditinjau dari kesesuaian perangkat pembelajaran dengan hasil belajar siswa, dan validasi
kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan kegrafisan.
Berdasarkan kriteria pada skala Likert menurut Riduwan (2010: 13) bahan ajar yang
dikembangkan dikaakan memenuhi kriteria apabila presentase nilai yang diperoleh dari hasil
validasi adalah ≥ 61% sehingga dinyatakan layak digunakan untuk proses belajar mengajar.
c. Analisis respon siswa
Data tentang respon siswa diperoleh dari angket respon siswa setelah menggunakan LKS
kemudian dianalisis dengan presentase dan disimpulkan dalam bentuk kalimat deskriptif.
Presentase data diperoleh menggunakan perhitungan skala penilaian Guttman, yaitu diberi
skor 1 jika ya dan skor 0 jika tidak. Angket untuk siswa, dibuat dalam bentuk jawaban “ya”
atau “tidak”.
Tabel Skala Guttman
jawaban nilai/ skor
ya (Y) 1
tidak (T) 0
(Riduwan, 2007: 17)
Selanjutnya perhitungan presentase adalah sebagai berikut:
P (% )= FN
X 100 %
Dimana P = presentase jawaban responden
F = jumlah jawaban ya/ tidak dari responden
N = jumlah responden
Tabel Kriteria Skala Likert
presentase (%) kriteria
0 – 20 sangat tidak merespon
21 - 40 tidak merespon
41 - 60 kurang merespon
61 – 80 merespon
81 - 100 sangat merespon
(modifikasi skala Likert dalam Riduwan, 2007: 22)
Berdasarkan kriteria tersebut, LKS dikatakan memenuhi kriteria apabila hasil presentase
siswa yang menjawab “ya” ≥ 61% atau dengan kriteria merespon atau sangat merespon
sehingga layak digunakan.
J. Daftar Pustaka
Polya,G.,1973,How to Solve It. Priceton,New Jersey. Pricenton University Press.
Micheiel Purba, “ Kimia untuk SMA Kelas XI” Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006
Ruseffendi, E.T, 1991, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Bandung: Tarsito.
Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Training
Teachers of Expectional Children. Minneapolis, Minnesota: Leadership Training
Institute/Special Education, University of Minnesota.
Wasis.D.Dwiyogo,1999,Kapahilita. Pemecehan Masalah Sebagai Hasil Belajar Kognitif
Tingkat Tinggi. Artikel.Malang:Jurnal Teknologi Pembelajaran.
Kusmaryono,Imam.2010.Keefektifan Pembelajaran Kontekstual Berorientasi Penemuan
Berbantuan CD Pembelajaran dan LKS pada Materi Bilangan Bulat di Sekolah
Dasar.Semarang:FKIP Unisulla