hiperserotonin mempengaruhi perilaku berulang pada anak dengan gejala autis
DESCRIPTION
makalah seminar biologiTRANSCRIPT
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk menguji hubungan antara jumlah kadar serotonin darah
dan gejala perilaku pada 78 subyek dengan autisme. Tidak ada hubungan signifikan
yang ditemukan antara tingkat kadar serotonin dan perilaku berulang. Namun, yang
signifikan adalah hubungan antara tingkat kadar serotonin dan melukai diri yang
ditunjukkan.
Kata kunci : autis, serotonin, kebiasan berulang, menyakiti diri, agresif
BAB I
PENDAHULUAN
Autism adalah gangguan perkembangan saraf yang parah. Etiologi yang
paling mungkin disebabkan oleh kompleks genetika dan heterogenitas genetik yang
memberikan kesulitan dalam mengidentifikasi gen kerentanan. Gejala autistik juga
diakui dalam banyak gangguan genetik lainnya dengan etiologi yang berbeda-beda
dan mungkin gejala-gejala ini mewakili fenotip dengan substrat neurokimia Umum
(Chugani, 2002). Analisis genetik akan sangat menguntungkan dari identifikasi
karakteristik kuantitatif tertentu, seperti langkah-langkah biokimia.
Langkah-langkah kuantitatif seperti mengukur jumlah serotonin darah dapat
membantu mengidentifikasi subkelompok pasien dengan fenotip homogen dan
memberikan strategi pelengkap untuk studi genetik di luar bergantung pada kriteria
kualitatif seperti yang diperoleh dari banyak autism interview-revised diagnostik
(ADI-R) yanag digunakan. Penyelidikan biokimia pada autisme juga berpotensi untuk
mengidentifikasi subkumpulan yang terkait patofisiologi dan penggunaan tindakan-
tindakan bisa akurat dalam memprediksi keparahan autistik (Kuperman et al., 1985)
dan kekambuhan saudara kandung (Piven et al., 1991).
Dimulai dengan sebuah studi oleh Schain dan Freedman pada tahun 1961,
kebanyakan peneliti telah menemukan bahwa tingkat serotonin yang diukur dalam
darah secara signifikan lebih tinggi di subyek dengan autistik dibandingkan dengan
kontrol normal, dan sekitar satu dari ketiga individu autistik memiliki
hyperserotonemia. Ada juga tubuh yang punya bukti signifikan untuk mendukung
gagasan serotonin yang memainkan peran penting dalam perkembangan otak dan
mempengaruhi berbagai perilaku sosial, mempengaruhi regulasi, agresi, dan
kecemasan.
Penelitian yang diterbitkan sampai saat ini yang membandingkan kadar
serotonin darah dengan gejala perilaku autisme telah gagal menunjukkan adanya pola
yang konsisten (Kuperman et al, 1987; Mulder et al, 2004; Hranilovic et al, 2007).
Satu studi (Kuperman et al., 1987) mengevaluasi 25 laki-laki dengan autisme infantil
dan meskipun tidak ada hubungan yang signifikan antara kaya konsentrasi trombosit
serotonin dan nilai skala Daftar Perilaku Autisme.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Autis
1. Pengertian umum autis
Autis adalah gangguan perkembangan pervasive yang mulai
terlihat sebelum anak berusia 3 tahun dan mempengaruhi domain
keterampilan sosial dan komunikasi, namun pada individu tertentu
ditambah dengan beberapa gangguan kemampuan motorik dan berbahasa.
Tanda umum yang biasa diperlihatkan oleh anak penyandang autis
adalah :
Anak autis mengalami kesulitan dengan interaksi social
Anak autis bermasalah dengan komunikasi verbal dan non verbal
Adanya perilaku repetitive atau adanya ketertarikan yang sempit atau
obsesif pada objek tertentu
2. Penyebab autis
Penyebab autis secara pasti belum dapat diketahui, banyak faktor
yang kemudian diduga menjadi penyebab autis pada anak, menurut
Lumbantobing (2010) :
Gangguan perkembangan otak
Autis secara umum disebabkan oleh adanya gangguan
abnormal pada struktur dan fungsi otak (National Institute Of Mental
Health). Sebagian besar penyandang autisme terdapat hipoplasia
cerrebellum terutama pada lobus ke VI-VIII (Eric Courchesne, 1995).
Melly Budhiman (1995) mengungkapkan bahwa pada anak autis
kebanyakan ditemukan pengecilan cerebellum. Hipoplasia ini terjadi
pada masa janin, meskipun otopsi tidak semua cerebellum mengecil,
namun semua penemuan menunjukan terdapat kekurangan jumlah sel
Purkinye, yaitu sel yang mempunyai kandungan serotonin dan
dopamin yang menyebabkan kacaunya implus di otak. Fungsi
cerebellum ternyata bukan saja mengatur keseimbangan, tetapi juga
ikut berperan dalam proses sensorik, berfikir, daya ingat, belajar
bahasa dan juga perhatian.
Margaret Bauman dan Thomas Kemper dalam Melly
Budhiman (1995) menemukan bahwa kelainan yang khas di daerah
sistim limbik yang disebut hyppocampus dan amygdala. Amigdala
berfungsi mengontrol fungsi agresi dan emosi. Pada para penyandang
autisme umumnya kurang dapat mengendalikan emosinya, mereka
sering mengamuk bila tidak mendapatkan apa yang diinginkannya,
menangis dan tertawa tanpa adanya sebab yang jelas, sering ada
agresivitas yang ditujukan baik pada dirinya sendiri maupun pada
orang lain. Gangguan pada hipokampus dapat menyebabkan terjadinya
hiperaktivitas dan perilaku yang aneh yang diulag-ulang.
Abnormalitas neurotransmitter
Neurotransmitter adalah bahan kimia endogen yang
mengirimkan sinyal dari neuron ke sel target di sinaps. Ada beberapa
neurotransmitter yang sering dikaitkan sebagai penyebab autis pada
anak yaitu serotonin dan dopamin. Kadar neurotransmitter yang tidak
normal baik itu berlebih ataupun kurang dari semestinya akan
mengganggu proses pengiriman sinyal di otak yang mengakibatkan
autistik.
A. Neurotransmitter serotonin
1. Pengertian serotonin
Serotonin atau biasa disebut 5-hydroxytryptamine atau juga 5-HT
adalah suatu neurotransmitter monoamine. Serotonin juga terlibat dalam
menginduksi tidur, sensorik persepsi, pengaturan suhu tubuh dan kontrol
suasana hati; Oleh karena itu, aktivitas serotoninergik ditemukan menjadi
tertinggi saat waktu bangun dan saat bergairah (Boutrel et al, 1999). Kadar
serotonin pada orang normal tanpa autistik berkisar antara 101-283
nanogram/ml.
2. Biosintesis serotonin
Transformasi triptofan menjadi serotonin melibatkan dua langkah:
Hidroksilasi 5-hydroxytryptophan dikatalis oleh enzim
triptopan hidroksilase, yang adalah tingkat membatasi enzim
sintesis. Untuk mengaktifkan enzim ini membutuhkan
kehadiran tetrahydrobiopterine, oksigen, NADPH2 dan logam,
besi atau tembaga.
Hasil dekarboksilasi dari 5-hydroxytryptophan dikatalisis oleh
asam amino L-aromatik dekarboksilase dengan piridoksal
fosfat sebagai ko-enzim.
Di otak, biosintesis serotonin tergantung pada jumlah triptofan
yang melintasi sawar otak. Hanya triptofan bebas, terikat dengan albumin
yang dapat menembus sawar otak, penurunan rasio triptofan bebas
mengurangi penetrasi. Selain itu, asam amino lainnya membatasi
masuknya triptofan bebas ke otak karena persaingan. Plasma kortisol,
yang meningkat pada pasien depresi, mengurangi konsentrasi L-triptofan
bebas dan L-tirosin bebas dalam plasma, merupakan bentuk-bentuk yang
dapat menembus ke otak. Insulin, yang meningkat dengan karbohidrat,
memiliki efek berlawanan dan menurunkan konsentrasi asam amino selain
triptofan.
3. Lokasi serotonin
Serotonin dalam darah
Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin
perifer merupakan produksi sel enterokromafin dinding usus.
Sebagian di antaranya bekerja sebagai neurotransmiter di sistem
saraf usus, sedangkan sebagian lepas ke dalam darah. Di dalam
darah, sebagian besar diambil oleh trombosit menjadi platelet
serotonin, sedangkan sisanya beredar bebas dalam plasma disebut
sebagai serotonin bebas. Sel enterokromafin dapat memantau
kadar serotonin dalam darah dan melepaskan serotonin sesuai
kebutuhan, kemungkinan melalui mekanisme SERT.
Serotonin dalam otak
Serotonin dalam otak disebut sebagai serotonin sentral.
Pada otak manusia, saraf serotonergik pertama kali ditemukan
pada usia kehamilan lima minggu dan meningkat secara cepat
sampai minggu ke-10 kehamilan. Pada minggu ke-15 kehamilan,
sel saraf serotonergik sudah terintegrasi dalam berbagai struktur
otak. Sel saraf serotonergik mempunyai cekungan, di dalamnya
berisi banyak organ Golgi dan mikrokanalikuli. Di dalam vesikel,
terdapat enzim triptofan hidroksilase dan asam amino aromatik
dekarboksilase, yang penting bagi sintesis serotonin dari triptofan.
Kadar serotonin di otak sangat tinggi pada dua tahun
pertama kehidupan, lalu menurun dan mencapai kadar dewasa
pada umur 5 tahun. Pemeriksaan dengan PET scan dengan
menggunakan [11C]AMT membuktikan bahwa kapasitas sintesis
serotonin otak anak normal lebih dari 200% dibandingkan orang
dewasa normal, kemudian menurun mencapai kadar dewasa pada
usia 5 tahun.
2. Fungsi serotonin
Fungsi serotonin di dalam otak
Pada orang dewasa, serotonin berfungsi sebagai
neurotransmiter, sedangkan pada anak kecil berfungsi sebagai
pengatur perkembangan otak. Pada orang dewasa, hilangnya saraf
serotonergik menyebabkan hilangnya sinaps dan penurunan kadar
S-100β. Sel saraf kembali menjadi imatur dan tidak dapat
berfungsi kembali.
Kekurangan neurotransmitter serotonin menyebabkan
berbagai gejala perilaku dan perubahan biologis, misalnya agresi,
kesulitan belajar, perubahan fungsi seksual, gangguan atensi,
perubahan nafsu makan, gangguan irama pernapasan, gangguan
tidur, gangguan sekresi steroid, dan aliran darah. Berbagai
gangguan psikiatrik juga dapat timbul misalnya depresi,
skizoprenia, sindrom Down, Alzheimer, gangguan autistik, ADHD
dan lain-lain.
Fungsi serotonin di dalam darah
Secara aktif serotonin diambil oleh trombosit darah untuk
kemudian disimpan. Ketika menggumpal, trombosit akan
mengeluarkan simpanan serotonin yang berfungsi sebagai
vasokonstriktor dan membantu mengatur hemostasis dan
pembekuan darah. Serotonin juga berkontribusi dalam
pertumbuhan beberapa jenis sel yang turut berperan dalam
penyembuhan luka.
B. Platelet hyperserotonemia
Autis memiliki konsentrasi serotonin yang relatif tinggi di dalam
trombosit mereka; kadar serotonin yang tinggi di dalam trombosit muncul
dengan proporsi serupa dengan individu yang retardasi mental yang tidak
menderita Autis (Rudolph,2006). Berbagai penelitian melaporkan peningkatan
platelet serotonin sebanyak 25- 50% pada gangguan autistik dibandingkan
anak normal (McBride et al., 1998), anak dengan retardasi mental atau anak
dengan epilepsi. Keadaan ini disebut sebagai platelet hyperserotonemia.
Sawar darah otak baru menjadi sempurna saat anak berumur 1-2 tahun.
Akibatnya, serotonin dalam darah atau trombosit yang tinggi dapat masuk ke
dalam otak sebelum anak berumur 1-2 tahun. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa hiperserotonemia menyebabkan umpan balik negatif di otak, dan
menyebabkan hilangnya terminal serotonergik.
Berbagai data penelitian menyokong hal ini, misalnya perbaikan gejala
gangguan autistik setelah anak mendapat obat yang meningkatkan serotonin)
peningkatan insidens gangguan autistik bila ibu menggunakan kokain atau
alkohol) penelitian PET scan yang menunjukkan bahwa salah satu bagian otak
menunjukkan peningkatan serotonin sedangkan bagian lain menunjukkan
penurunan serotonin) penelitian terhadap tikus yang memperlihatkan bahwa
tikus yang dibuat menjadi hiperserotonemia akan mengalami hilangnya
terminal serotonergik di hipokampus dan korteks serebri serta menunjukkan
gejala-gejala autism
BAB III
METODOLOGI
Keluarga yang terkena dampak diperlukan untuk memiliki setidaknya satu
kasus autisme dan hal-hal lain dengan autisme atau gangguan berhubungan dengan
autisme sub ambang batas. Individu-individu yang dikenal memiliki kondisi medis
yang berkaitan dengan autisme dikeluarkan (misalnya, tuberous sclerosis, rapuh X
sindrom, Fenilketonuria).
Kasus dengan dugaan autisme dinilai menggunakan ADI-R. ADI-R adalah
instrumen berbasis penyelidik, semi-terstruktur yang digunakan untuk membedakan
gangguan autistik dari cacat mental non-autistik individu yang berusia sekitar 18
bulan. Sebuah algoritma yang menggabungkan kriteria ICD-10 dan DSM-IV dan
memeriksa tiga domain utama gejala autisme (komunikasi, interaksi sosial timbal
balik dan perilaku repetitif) ini digunakan untuk diagnosis (Lord et al., 1994).
Darah untuk uji serotonin dikumpulkan dari 154 individu total yang terkena
autisme atau gangguan berhubungan dengan autisme. Terpengaruh kasus 15 tahun
dan lebih muda kemudian hanya memilih mereka dengan diagnosis ADI-R autisme
yang tidak melakukan pengobatan serotonin pada saat penilaian. Total 78 subyek
dimasukkan dalam analisis ini. Berbagai langkah yang digunakan untuk menilai
perilaku dan termasuk ADI-R perilaku domain, alogaritma yang yale-brown obsesif-
kompulsif skala ( ybocs ) kompulsif subscales, dan perilaku vineland adaptif skala
( vabs ) maladaptive perilaku domain.
Seluruh tingkat serotonin darah diukur menggunakan cairan bertekanan tinggi
kromatografi ( hplc ) dengan alat deteksi fluorometric menggunakan metode yang
dijelaskan di tempat lain ( cook et al. , 1990 ). Hubungan antara seluruh serotonin
darah dan perilaku gejala autism dianalisis menggunakan bivariat spearman rank-
order korelasi untuk menjelaskan distribusi tidak normal tingkat serontonin.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
78 subyek dengan autisme berasal dari 51 keluarga. Kisaran usia
adalah dari 2 sampai 15 tahun (rata-rata = 6.77, SD = 2,93). 65 kasus
adalah laki-laki (83,3%) dan 13 kasus adalah perempuan (16,7%).
Komposisi etnis penduduk adalah 78,2% Putih, 7,7% Hispanik, dan 2,6%
Hitam. Sisa kasus diklasifikasikan sebagai "lainnya" (2,6%), "tidak
diketahui" (5,1%), atau Data etnis hilang (3,8%). Kadar serotonin darah
keseluruhan berkisar 78-471 ng / ml (lihat Gambar 1) dan sekitar sepertiga
dari subyek memiliki tingkat lebih besar dari 252 ng / ml (skewness =
0,840, SE = 0,272).
Korelasi Spearman dihitung untuk menguji hubungan antara
seluruh serotonin darah dan gejala perilaku autisme yang diukur oleh
ADI-R, YBOCS, dan VABS (lihat Tabel 1). Menggunakan koreksi
Bonferroni, tingkat signifikansi di semua tes adalah 0,003. Tidak ada efek
signifikan yang ditemukan untuk pembaur potensial terhadap usia (r =
0,025, P = 0,825), kelamin (r = 0,036, P = 0,755), etnisitas (r = 0,024, P =
0,839), atau keanggotaan keluarga (r = -0,028, P = 0,808) pada tingkat
serotonin. Tidak adanya pembaur ini, yang biasanya signifikan dalam
studi terkait, mungkin akibat homogenitas demografis relatif sampel kami.
Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara
tingkat serotonin dan algoritma ADI-R domain perilaku atau salah satu
subdomain perilaku (D1, kepentingan dibatasi; D2, dorongan, D3,
stereotip bermotor; D4, kepentingan berulang / sensorik). Hasil tidak
signifikan yang ditemukan antara hubungan kadar serotonin dan
YBOCS atau salah satu keharusan subskala dari YBOCS (waktu
diduduki oleh dorongan, gangguan akibat dorongan; tertekan karena
dorongan, perlawanan terhadap dorongan, tingkat kontrol atas
dorongan). Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara
tingkat serotonin dan VABS perilaku maladaptif bagian domain 1 dan 2.
B. Pembahasan
Dari penelitian terdahulu diketahui serotonin merupakan
neurotransmitter pengatur perkembangan otak, sehingga serotonin akan
sangat berpengaruh dalam salah satu menyebab autistik pada anak karena
ketidak normalan serotonin saat perkembangan anak akan mengakibatkan
perkembangan otak yang tidak sempurna. Ketidak normalan serotonin
atau biasa disebut dengan abnormalitas dapat disebabkan oleh banyak hal
contohnya adalah dengan terjadinya mutasi, terjadinya mutasi pada gen
yang menginformasikan enzim pengatur metabolisme triptopan
mengalami penurunan. Sehingga mengakibatkan terjadi peningkatan
serotonin. Hal ini terjadi karena tritopan yang ada dalam tubuh tidak
melakukan metabolisme sehingga triptopan mengalami biosintesis yang
menghasilkan serotonin.
Kemungkinan lainnya yang menyebabkan abnormalitas serotonin
adalah faktor genetik yang diturunkan oleh ibunya. Hal inin disebabkan
pada membrane plasenta yang membungkus janin banyak terdapat
transporter serotonin, sehingga serotonin dapat dengan mudah berpindah
dari ibu ke janin (mandava, 2011). Ketika serotonin di dalam tubuh
meningkat maka akan banyak serotonin yang diikat oleh trombosit dan
membentuk platelet serotonin, ketika platelet serotonin dalam jumlah yang
melebihi ambang batasnya maka keadaan ini disebut hyperserotonemia.
Hyperserotonemia dalam tubuh akan memberikan umpan balik
yang negatif ke otak yang mengakibatkan berkurangnya serotonin di otak
pada bagian-bagian tertentu. Kurangnya serotonin di otak akan
menimbulkan perilaku pada anak autis, tergantung di otak bagian mana
yang pengalami kekurangan serotonin. Sebagai contoh jika kekurangan
serotonin terjadi di sistem limbik pada bagian amigdala maka anak yang
menyandang autistik ini akan memiliki perilaku suka melukai diri sendiri,
sedangkan jika kekurangan terjadi di sistem limbik pada bagian
hipokampus maka anaka penyandang autistik ini memiliki sifat berulang.
C. Kesimpulan
Tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah serotonin darah dengan
perilaku berulang pada autis.
DAFTAR PUSTAKA
Jillian M Schuhh. Working memory, language skills and autism symptomatology.
Behavioral sciences. 2010:2, 2007-218
Kamila markam and henry markam. The intense world-a anifying theory of the
neurobiology of autism. Human neuroscience. 2010 fnhum – 04 – 00224
Kazuki nakamura, et.al. brain serotonin and dopamine transporter binding in adult
with high-functioning autism. Arch gen psychiatry. 2010; 67, 59-68
Marieke langen, et.al. the neurobiology of repetitive behavior reviews.2010; 1, 1-
10
Mandava regini, et.al. biomarker in autism. International journal of pharmTech
Research. 2011 ; 1281-1289
Mohammad zadeh, et.al. serotonin a review. J.vet.pharmacol therap. 2008; 31,
187-199
P humphries, et.al. direct and indirect cellular effect of aspartame on brain.
European journal of clinical nutrition. 2008; 62, 451-462
MAKALAH SEMINAR BIOLOGI
HUBUNGAN ANTARA JUMLAH SEROTONIN
DARAH DAN PERILAKU BERULANG PADA
AUTIS
Dosen pembimbing : Dra. Yulilina
Resha fadhilah (3425102455)
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta