hipertensi

36
BAB I PENDAHULUAN Epidemiologi Berdasarkan data epidemiologis terlihat bahwa dengan meningkatnya populasi lanjut usia, jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik yang lebih sering timbul pada kelompok usia >65 tahun. Secara keseluruhan, prevalensi hipertensi tampaknya sekitar 30-45% dari populasi umum. Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15%4 dan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Sementara itu, di Amerika Serikat, data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data NHANES 2005- 2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Disebutkan juga bahwa dari semua penderita hipertensi, hanya 79,6% sadar telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Dan dari 70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target. Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, 1

Upload: dnniv

Post on 14-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Hipertensi & tatalaksananya

TRANSCRIPT

Page 1: Hipertensi

BAB IPENDAHULUAN

EpidemiologiBerdasarkan data epidemiologis terlihat bahwa dengan meningkatnya populasi lanjut

usia, jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik yang lebih sering timbul pada kelompok usia >65 tahun. Secara keseluruhan, prevalensi hipertensi tampaknya sekitar 30-45% dari populasi umum. Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15%4 dan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan. Sementara itu, di Amerika Serikat, data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Disebutkan juga bahwa dari semua penderita hipertensi, hanya 79,6% sadar telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Dan dari 70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target.

Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada

kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.1. Hipertensi primer (essensial)

Hipertensi essensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah. Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.

2. Hipertensi sekunder

1

Page 2: Hipertensi

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Penyebab utama hipertensi sekunder adalah gangguan yang berhubungan dengan kelainan ginjal dan sistim endokrin. Gangguan ginjal dapat disebabkan karena penyakit parenkim ginjal (glomerulonefritis, polycystic kidney disease), maupun penyakit ginjal vaskular (stenosis arteri renalis dan displasia fibromuskuler). Penyebab endokrin di antaranya adalah penyakit tiroid, penyakit adrenal (sindrom Cushing, aldosteronisme primer dan feokromositoma). Selain itu juga perlu memperkirakan penyebab sekunder lainnya seperti koarkasio aorta, hipertensi karena kehamilan, obstructive sleep apnea syndrome, hipertensi akibat obat-obatan, alkohol, kokain. Beberapa tanda klinis yang mengarah pada hipertensi renovaskular di antaranya adalah bising abdominal di daerah periumbilikal, hipertensi yang cepat memberat atau hipertensi maligna, ginjal yang mengecil unilateral, hipertensi berat pada anak-anak atau di atas usia 50 tahun, hipertensi akut, hipertensi dengan gangguan ginjal yang tidak dapat dijelaskan, perburukan fungsi ginjal akut, hipertensi refrakter terhadap 3 golongan antihipertensi.

2

Page 3: Hipertensi

BAB IIPATOFISIOLOGI

Fisiologi Regulasi Tekanan DarahTekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac

output) dan resistensi vaskular perifer (peripheral vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas pembuluh darah dan viskositas darah. Semua parameter tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: sistem saraf simpatis dan parasimpatis, sistem rennin-angiotensin- aldosteron (SRAA) dan faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah. Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis justru kebalikannya yaitu bersifat defresif. Apabila terangsang, maka akan menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung. SRAA juga bersifat presif karena dapat memicu pengeluaran angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi pembuluh darah dan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan natrum di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Sel endotel pembuluh darah juga memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi. Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan angiotensin II lokal. Sebagian lagi bersifat vasodilator seperti endothelium-derived relaxing faktor (EDRF), yang dikenal juga sebagai nitrit oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu jantung terutama atrium kanan memproduksi hormon yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP) yang cenderung bersifat diuretik, natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah.

3

Page 4: Hipertensi

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Gambar 1. Sistem renin angiotensin aldosteroneSumber www.

Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan aliran sirkulasi darah pada ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin. Renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Pengeluaran renin dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis (pengaktifannya melalui β1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal (disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan penurunan asupan garam ke tubulus distal.

Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan, selanjutnya akan diaktifkan angiotensin II oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan.

4

Page 5: Hipertensi

Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air. Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.

Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal

5

Exces sodiu

Genetic alter

Reduce nephrone

Endotelium derive

d

stress

Renal sodium

Functionalconstriction

Cellmembranealteration

Renin -angiotensinexcess

Sympatheticnervousoveractivity

DecreasedFiltration

surfac

Fluidvolume

obesity

Hyperinsulinemia

Contractability Structuralhypertrophy

Autoregulation

BLOOD PRESURE = CARDIAC OUTPUTHypertension = Increased CO

Preload

Venousconstiction

PERIPHERAL RESISTANCEIncreased PR

XAnd/or

Page 6: Hipertensi

Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah1

Efek hipertensiPasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat, penyebab kematian paling sering adalah penyakit jantung, dengan stroke atau gagal ginjal juga sering terjadi terutama pada mereka dengan retinopati yang signifikan.

Efek pada jantung

Kompensasi jantung pada beban kerja yang berlebihan dibebankan dengan kenaikan tekanan sistemik yang awalnya dipertahankan dengan hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai oleh penambahan ketebalan dinding, memburuknya fungsi ruang, dilatasi kavitas, dan timbul gejala dan tanda gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jantung membesar dan impuls ventrikel kiri menonjol, bunyi penutupan aorta menonjol dan mungkin terdapat murmur lemah dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung prasistolik (atrium, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung hipertensi, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikel, ketiga) atau mungkin terdapat penggabungan ritme gallop. Perubahan elektrokardiografi hipertrofi ventrikel kiri dapat terjadi, tetapi elektrokardiogram memperkirakan jumlah frekuensi hipertrofi jantung lebih rendah dibandingkan ekokardiogram. Tanda iskemia atau infark mungkin ditemukan lambat pada penyakit ini. Sebagian besar kematian disebabkan oleh hipertensi terjadi akibat infark miokard atau gagal jantung kongesti.

Efek neurologik

Efek neurologi pada hipertensi dibagi menjadi perubahan retina dan sistem saraf pusat. Klasifikasi Keith-Wagener-Barker mengenai perubahan retina pada hipertensi memberikan arti yang sederhana dan sangat baik untuk rangkaian evaluasi pada pasien hipertensi. Beratnya hipertensi yang meningkat disertai dengan spasme fokal dan penyempitan umum arteriola yang progresif, demikian juga gambaran perdarahan, eksudat, dan papil edema. Lesi retina ini seringkali menimbulkan skotomata, pandangan kabur dan bahkan kebutaan terutama jika ada papil edema atau perdarahan area makula. Lesi hipertensif dapat terjadi secara akut dan terapi penurunan tekanan darah secara signifikan dapat menunjukan resolusi yang cepat. Lesi ini jarang sembuh tanpa terapi. Sebaliknya arteriosklerosis retina akibat poliferasi endotelial dan muskuler, hal ini secara cepat menunjukan perubahan pada organ lain. Perubahan sklerotik tidak terjadi secepat lesi hipertensif, juga tidak kembali seperti semula dengan terapi. Sebagai akibat bertambahnya ketebalan dinding dan kekakuan, arteriol yang mengalami sklerosis mengubah bentuk dan menekan vena ketika berjalan dalam sarung fibrosa, dan menunjukan garis halus arteriol berubah dengan meningkatnya opasitas dinding pembuluh darah.

Disfungsi sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien dengan hipertensi. Sakit kepala daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, adalah gejala dini hipertensi yang paling menonjol. Pusing, kepala terasa ringan, vertigo, tinnitus, dan penglihatan kabur bahkan sinkop juga mungkin ditemukan, tetapi manifestasi yang lebih serius disebabkan oleh oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenensis dua gangguan terdahulu cukup berbeda. Infark serebral bersifat sekunder terhadap peningkatan arteriosklerosis yang ditemukan pada

6

Page 7: Hipertensi

pasien hipertensi, sedangkan perdarahan serebral terjadi akibat tekanan arteri yang meningkat dan terbentuknya mikroaneurisma vaskuler serebral (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya usia dan tekanan arteri diketahui mempengaruhi terbentuknya mikroaneurisma. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa hubungan tekanan arteri dengan perdarahan serebral lebih baik dibandingkan infark serebral atau infark miokard.

Ensefalopati hipertensif terdiri dari kompleks gejala yang meningkat, retinopati dengan papilledema dan kejang. Patogenesisnya tidak pasti tetapi mungkin tidak berhubungan dengan spasme arteriol atau edema serebral. Tanda neurologik fokal jarang terjadi dan jika ada menunjukan bahwa infark, perdarahan, atau serangan iskemik sementara lebih mungkin didiagnosis. Meskipun beberapa peneliti menunjukan bahwa penurunan tekanan arteri segera pada pasien ini dapat mempengaruhi aliran darah serebral secara berlawanan namun sebagian besar penelitian menunjukan bahwa ini bukan keadaan yang sebenarnya.

Efek pada ginjal

Lesi arteriosklerotik dari arteriol aferen dan eferen serta jumbai kapiler glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling sering terjadi pada hipertensi dan mengakibatkan menurunnya tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubulus. Proteinuria dan hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus, dan kurang lebih 10% kematian sekunder terhadap hipertensi disebabkan oleh gagal ginjal.

7

Page 8: Hipertensi

BAB IIIFAKTOR RISIKO

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg sepanjang hidupnya memiliki 2 kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskuler daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler daripada tekanan darah diastolik.

Risiko penyakit kardiovaskuler dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat 2 kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.

Risiko penyakit kardiovaskuler bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya.

Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke.

Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner sebagai akibat dari penyakit hipertensi yang tidak ditangani secara baik dibedakan menjadi 2 kelompok , yaitu :

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah3

a. Umur Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya tekanan darah sistolik.

b. Jenis Kelamin Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal. Di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita.

8

Page 9: Hipertensi

c. Keturunan (genetik) Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrola. Kebiasaan Merokok

Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.

b. Konsumsi Asin/GaramGaram merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.

c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman BeralkoholAlkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.

d. ObesitasObesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga

9

Page 10: Hipertensi

meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obese 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan lebih.

e. OlahragaKurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

Dalam pendekatan hipertensi penting untuk menilai total risiko cardiovaskular (CV) karena pada kenyataanya hanya sebagian kecil populasi penderita hipertensi yang mengalami peningkatan tekanan darah, sebagian besar menunjukan penderita hipertensi dengan faktor risiko CV. Pendekatan risiko kardiovaskular untuk mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular diterapkan melalui penilaian faktor risiko kardiovaskular. Strategi terapi hipertensi selain untuk menilai derajat hipertensi juga digunakan untuk mempertimbangkan faktor risiko kardiovaskular total. Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi stratifikasi faktor risiko kardiovaskular. Risiko kardiovaskular ditentukan menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang formal untuk mengetahui prognosis dan selalu mencari faktor risiko metabolik ( diabetes, ganguan tiroid dan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit jantung dan pembuluh darah.

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi prognosis pada stratifikasi faktor risiko global kardiovaskular (ESC 2013)4,5

Faktor RisikoLaki-lakiUmur (laki-laki ≥55 tahun; perempuan ≥65 tahunMerokokDislipidemia Kolesterol total >190 mg/dL, dan/atau Kolesterol LDL >115 mg/dL, dan/atau Kolesterol HDL: laki-laki <40 mg/dL; perempuan <46 thmg/dL, dan/atau Trigliserida >150 mg/dLGula darah puasa 102-125 mg/dLUji toleransi glukosa abnormalObesitas (IMT ≥25 kg/m2)Obesitas abdominal (lingkar pinggang : laki-laki >90cm, perempuan >80 cm)Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini (laki-laki usia <55 tahun, perempuan usia

<65 tahun

10

Page 11: Hipertensi

Kerusakan organ asimptomatikTekanan darah ≥60 mmHg (pada usia tua)Hipertrofi ventrikel kiri dari EKG (indeks Sokolow Lyon) atauHipertrofi ventrikel kiri dari ekokardiografi (massa ventrikel kiri : laki-laki >115g/m2,

perempuan 95 g/m2)Penebalan dinding karotis (IMT >0,9 mm) atau plakCarotid-femoral PWV >10 m/sPenyakit ginjal kronik dengan eGFR <60 ml/menit/1,73 m2

Mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam), atau rasio albumin-kreatinin (30-300 mg/g; 3,4-34 mg/mmol), disarankan untuk pengambilan urin pagi hari

Diabetes MellitusGula darah puasa ≥ 126 mg/dL atau gula darah sewaktu ≥200 dengan gejala klasik DM, atauGula darah puasa ≥126 mg/dL atau gula darah sewaktu ≥200 dalam 2 kali pemeriksaan, atauKadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200, atauHbA1c >6,5%Penyakit kardiovaskular atau ginjal yang sudah terdiagnosisPenyakit serebrovaskular : stroke iskemik, stroke perdarahan, TIAPenyakit jantung coroner : infrak miokard, angina, revaskularisasi miokardial dengan PCI

atau CABGGagal jantungPenyakit pembuluh darah perifer ekstremitas bawah yang simptomatikPenyakit ginjal kronik dengan eGFR <60 mL/menit/1,73m2, proteinuria (>300 mg/24 jm)Retinopati lanjut : perdarahan,eksudat, papilledema

Tabel 2. Stratifikasi faktor risiko global kardiovaskular (ESC 2013)4,5

11

Page 12: Hipertensi

BAB IVDIAGNOSIS

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana upaya penurunan tekanan darah akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan tidak melakukan upaya tersebut. Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila tekanan darah systole (TDS) 140 mmHg atau lebih, atau tekanan darah diastole (TDD) 90 mmHg atau lebih, atau jika mengkonsumsi obat antihipertensi. Dengan demikian diagnosis hipertensi dapat ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.

Tabel 3. Klasifikasi Hipertensi ESH 20134,5

Kategori TD Sistolik TD Diastolik

Optimal <120 dan/atau <80Normal 120-129 dan/atau 80-84

Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89Hipertensi Tingkat 1 140-159 dan/atau 90-99Hipertensi Tingkat 2 160-179 dan/atau 100-109Hipertensi Tingkat 3 ≥180 dan/atau ≥110

Hipertensi isolated systolic ≥140 dan/atau <90

Sedangkan menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention, Detection Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.

Tabel 4. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 71,10

Klasifikasi Tekanan

Darah

TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80Prehipertensi 120-139 Atau 80-90Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Evaluasi awal pada seseorang dengan hipertensi meliputi :

1. Konfirmasi diagnostik hipertensi2. Analisis faktor risiko kardiovaskular, kerusakan organ target, dan penyakit penyerta

lainnya3. Deteksi ada/tidaknya hipertensi sekunder, bila ada indikasi klinis

Oleh karena itu diperlukan pengukuran tekanan darah, riwayat medik termasuk riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan beberapa tes diagnostik lainnya.

12

Page 13: Hipertensi

Beberapa pemeriksaan diperlukan pada semua pasien, namun beberapa pemeriksaan khusus hanya dilakukan pada populasi spesifik tertentu. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis hipertensi sekunder perlu dilakukan pada pasien dengan gejala atau tanda klinis sebagai berikut :

- Hipertensi berat atau hipertensi resisten- Peningkatan TD akut pada pasien dengan TD sebelumnya stabil- Usia kurang dari 30 tahun pada pasien tidak obesitas tanpa riwayat

keluarga hipertensi dan tanpa faktor risiko hipertensi- Hipertensi maligna atau hipertensi terakselerasi (pasien hipertensi berat

dengan tanda kerusakan organ target)- Onset hipertensi sebelum pubertas

AnamnesisAnamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi meliputi:

a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darahb. Indikasi adanya hipertensi sekunder

Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik) Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian oba-

obatan analgesik dan obat/ bahan lain. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma).

c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)

d. Gejala kerusakan organ Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient

ischemic attacks, defisit neurologis Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria

e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya

Tabel 5. Riwayat medik pribadi dan keluarga4,5

Durasi dan nilai TD sebelumnya, termasuk pengukuran di rumahRiwayat dan gejala kerusakan organ dan penyakit kardiovaskular :

a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, gangguan kognitif/memori, penurunan sensorik dan motorik, stroke, revaskularisasi karotis

b. Jantung : nyeri dada, nafas pendek, kaki bengkak, infark miokard, revaskularisasi, pingsang, riwayat palpitasi, aritmia, khususnya fibrilasi atrial

c. Ginjal : kaki bengkak, buang air kecil berbusa (proteinuria), buang air kecil darah (hematuria), dan buang air kecil sedikit

13

Page 14: Hipertensi

d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten, revaskularisasi perifer

e. Riwayat mendengkur/penyakit paru kronis/sleep apneaf. Gangguan kognitif

Faktor risiko :a. Riwayat keluarga dan pribadi dengan hipertensi dan penyakit

kardiovaskularb. Riwayat keluarga dan pribadi dengan dislipidemiac. Riwayat keluarga dan pribadi dengan diabetes mellitus (pengobatan,

kadar glukosa darah, poliuria)d. Kebiasaan merokoke. Pola makanf. Perubahan berat badan terbaru : obesitasg. Intensitas latihan fisikh. Mendengkur : sleep apneai. Berat badan lahir rendah

Hipertensi sekunder :a. Riwayat keluarga penyakit ginjal kronik (penyakit ginjal polikistik)b. Riwayat penyakit ginjal, infeksi saluran kencing, hematuria,

penyalahgunaan analgesik (penyakit ginjal parenkim)c. Asupan obat/zat seperti kontrasepsi oral, obat tetes hidung

vasokonstriktif, kokain, amfetamin, glukokortikosteroid, obat antiinflamasi nonsteroid, erythropoietin, cyclosporine

d. Kejadian berulang dari berkeringat/sweating, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokrommositoma)

e. Terjadi kelemahan otot (hiperaldosteronism)f. Gejala sugestif penyakit tiroid

Manajemen hipertensi :a. Pengobatan antihipertensi terbarub. Pengobatan antihipertensi sebelumnyac. Bukti kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap terapi/pengobatand. Keberhasilan atau efek samping dari obat

Pemeriksaan Fisika. Memeriksa tekanan darah

Pengukuran rutin di kamar periksa Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)

- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodik- Hipertensi office atau white coat- Hipertensi sekunder- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi

Pengukuran sendiri oleh pasien

14

Page 15: Hipertensi

b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta kemungkinan hipertensi sekunderUmumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan darah < 160/100 mmHg.

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:

Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit) Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL serum,

trigliserida serum) Elektrolit (kalium) Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin) Asam urat (serum) Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP) Elektrokardiografi (EKG)

Beberapa tes anjuran lainnya seperti: Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti adanya LVH Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral) Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin Foto thorax.

BAB IV

PENATALAKSANAAN

15

Page 16: Hipertensi

1. Penatalaksanaan Non FarmakologisPendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum

penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi. Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :

Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dyslipidemia

Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari

Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.

Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan

16

Page 17: Hipertensi

salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

Penatalaksanaan FarmakologisSecara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :

Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat

mengurangi biaya Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada

usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor

(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs) Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi

farmakologi Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 yaitu :

a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)

b. Beta Blocker (BB)c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/

blocker (ARB).

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :

a. Diuretika dan ACEI atau ARBb. CCB dan BBc. CCB dan ACEI atau ARB

17

Page 18: Hipertensi

d. CCB dan diuretikae. AB dan BBf. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

Gambar 4. Kemungkinan kombinasi obat antihipertensi.1

Tabel 6. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi Menurut ESH.1,4

Kelas Obat Indikasi Kontraindikasi

Mutlak Tidak mutlakDiuretika (Thiazide)

Gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated

systolic hypertension, ras

afrika

Gout Kehamilan

Diuretika (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal jantung

kongestif

Gagal ginjal, hyperkalemia

Diuretika (anti aldosterone)

Angina pectoris, pasca infark

miokardium, gagal jantung kongestif,

kehamilan, takiaritmia

Asma, penyakit paru obstruktif menahun, AV block (derajat 2

atau 3)

Penyakit pembuluh darah perifer,

intoleransi glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara

fisikCalcium

antagonist (dihydropiridine)

Usia lanjut, isolated systolic

hypertension, angina pectoris,

penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis

Takiaritmia, gagal jantung kongestif

18

Diuretika

CCB

ARBβ Bloker

α Bloker

ACEI

Page 19: Hipertensi

karotis, kehamilanCalcium

antagonist (verapamil, diltiazem)

Angina pectoris, aterosklerosis

karotis, takikardia supraventrikular

AV block (derajat 2 atau 3), gagal

jantung kongestif

Penghambat ACE Gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, pasca infark miokardium,

non-diabetik nefropati, nefropati

DM tipe 1, proteinuria

Kehamilan, hyperkalemia, sianosis arteri

renalis bilateral

Angiontensin II receptor

antagonist (AT1-blocker)

Nefropati DM tipe 2,

mikroalbuminuria diabetic,

proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri, batuk karena

ACEI

Kehamilan, hyperkalemia, stenosis arteri

renalis bilateral

Α-blocker Hyperplasia prostat (BPH),

hiperlipidemia

Hipotensi ortostatis Gagal jantung kongestif

Tabel 7. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC71,10

KlasifikasiTekanan

Darah

TDS(mmHg)

TDD(mmHg)

PerbaikanPola Hidup

Terapi ObatAwal tanpa

IndikasiMemaksa

Terapi ObatAwal dengan

IndikasiMemaksa

Normal < 120 dan < 80 DianjurkanPrehipertensi 120-139 atau 80-

89Ya Tidak indikasi

obat

Obat-obatanuntuk indikasiyang memaksa

Hipertensi derajat 1

140-159 atau 9- 99 Ya Diuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar

kasus,dapatdipertimbangkan

ACE-I, ARB, BB, CCB, atau kombinasi

Obat-obatanuntuk indikasiyang memaksaObatAntihipertensilain (diuretika,ACE-I, ARB,BB, CCB)sesuaikebutuhan

Hipertensi derajat 2

≥ 160 atau ≥ 100

Ya Kombinasi 2 obat untuk sebagian

19

Page 20: Hipertensi

besar kasus umumnya

diuretika jenis Thiazide dan

ACE-I atau ARB atau BB atau CCB

Masing-masing obat antihipertensi memliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

a. Faktor sosio ekonomib. Profil faktor resiko kardiovaskularc. Ada tidaknya kerusakan organ targetd. Ada tidaknya penyakit penyertae. Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi f. Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit

laing. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam

menurunkan resiko kardiovaskular.Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan

bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (special considerations), yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling indication) dan keadaan khusus lainnya (special situations).Indikasi yang memaksa meliputi:

a. Gagal jantungb. Pasca infark miokardiumc. Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggid. Diabetese. Penyakit ginjal kronis f. Pencegahan strok berulang.

Keadaan khusus lainnya meliputi :a. Populasi minoritasb. Obesitas dan sindrom metabolicc. Hipertrofi ventrikel kanan d. Penyakit arteri perifere. Hipertensi pada usia lanjutf. Hipotensi posturalg. Demensiah. Hipertensi pada perempuan i. Hipertensi pada anak dan dewasa mudaj. Hipertensi urgensi dan emergensi.

20

Page 21: Hipertensi

Tabel 8. Pilihan obat antihipertensi untuk kondisi tertentu1

Indikasi yang memaksa Pilihan terapi awal

Gagal jantungPasca infark miokardRisiko penyakit pembuluh darah coronerDiabetesPenyakit ginjal kronisPencegahan stroke berulang

Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo AntBB, ACEI, Aldo AntThiaz, BB, ACEI, ARB, CCBThiaz, BB, ACEI, ARB, CCBACEI, ARBThiaz, ACEI

Tatalaksana hipertensi pada penyakit jantung dan pembuluh darah

Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan oleh berbagai studi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg. Seperti juga tatalaksana hipertensi pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, terapi non farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan yang ada adalah pada terapi farmakologi, khususnya pada rekomendasi obat-obatannya.

Penyakit jantung koroner

Beta blocker

Beta blocker bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negatif. Frekuensi denyut jantung menurun maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Selain itu, obat ini juga menghambat pelepasan renin di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (β1) lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsik.

Calcium channel blocker (CCB)

CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. CCB juga akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner.

ACE inhibitor (ACEi)

Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri merupakan pilihan utama. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular. Pada pasien hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga direkomendasikan, khususnya setelah

21

Page 22: Hipertensi

dipublikasikannya 2 studi besar yaitu ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir kardiovaskular bila dibandingkan dengan pemberian diuretik, walaupun kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang sama.

Angiotensin Receptor Blockers (ARB)

Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi.

Diuretik

Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, seperti Veterans Administrations Studies, MRC dan SHEP.

Gagal Jantung

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung. Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang sangat besar dalam pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia lanjut. Terutama pada penggunaan diuretic, betablocker, ACEi dan ARB, namun penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan dalam pencegahan gagal jantung. Walaupun riwayat hipertensi merupakan hal yang sangat sering terjadi pada gagal jantung, namun tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi pada saat sudah terjadi disfungsi venrikrel kiri. Pada pasien dengan kondisi seperti ini, pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist), dimana pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi simpatis dan sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada penurunan tekanan darah. Hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi ejeksi yang masih baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.

Hipertrofi Ventrikel Kiri

Hipertrofi ventrikel kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20% dan penurunan tekanan darah berhubungan erat dengan perbaikan hipertrofi ventrikel. Pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri harus mendapat terapi anti hipertensi. Target TDS pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung adalah <140 mmHg. Diuretik, beta blocker, ACEi, ARD dan atau MRA dapat diberikan dengan tujuan menurunkan mortalitas dan rehospitalisasi. Pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi baik harus tetap diturunkan TDS hingga <140 mmHg dan pengobatan diutamakan untuk memperbaiki gejala.

Penyakit Arteri Perifer

22

Page 23: Hipertensi

Pasien dengan penyakit arteri perifer harus diutamakan pengendalian tekanan darah. Pemberian antihipertensi dengan target TDS <140 mmHg karena tingginya risiko terjadi infark miokard, stroke, gagal jantung atau kematian kardiovaskular. Pasien dengan pulse wave velocity >10m/det harus diberikan terapi antihipertensi hingga mencapai target TDS menetap. Pada aterosklerosis karotis dipertimbangkan pemberikan ACEi dan CCB untuk memperlambat proses arteriosklerosis.

Pasien yang telah mulai mendapakan pengobatan harus dilakukan evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah stabil, kunjungan berikutnya datang dengan interval 3-6 bulan, frekuensi kunjungan ini ditentukan dengan adanya tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, diabetes dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

23

Page 24: Hipertensi

1. Yogiantoro M. Hipertensi esensial. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1075-85.

2. PERKI. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular. 2015. Cited from url : https://www.inaheart.org, Agustus 2015.h.1-15.

3. Depkes RI. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi.2006.Cited from url : https://www.depkes.go.id, Agustus 2015.h.12-25.

4. Mancia G, Fagard G, Narkiewicz N, Redon J, Zanchetti A, Bohm M, et all. ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Journal of Hypertension (31). 2013. Cited from url : http://www.jhypertension.com, August 2015.p.1281-357.

5. InaSH. Konsensus penatalaksanaan hipertensi.2014. Jakarta.h.1-12,15-26.6. Zanchetti A. Faktors influencing blood pressure levels. Journal of Hypertension

(33).2015. Cited from url http://www.jhypertension.com, August 2015.p.1497-8.7. Zachetti A. From blood pressure measurement to anti hypertensive therapy. Journal of

Hypertension (33). 2015. Cited from url http://www.jhypertension.com, August 2015.p.1319-20.

8. Tedjasukmana P.Tatalaksana hipertensi.CDK 192, 33(4). 2015. Cited from url http://kalbemed.com, August 2015.p.251-5.

9. Weber MA, Schriffin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et all. ASH/ISH Clinical practice guidelines for the management of hypertension in the community. The Journal of Clinical Hypertension. 2013. Cited from url http://www.ash-us.org, August 2015.

10. The Seventh Report of The Joint National Comitee. Prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. 2004. Cited from url : http://nhlbi.nih.gov, August 2015.

11. Williams GH. Penyakit vaskuler hipertensif. Dalam : Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13 vol 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014.h.1256-72.

24