hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran...
TRANSCRIPT
FAKULTAS TEKNIK
PRODI TEKNIK LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Achmad Yani Km. 36 Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714,
Telp : (0511) 4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan,
Indonesia
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada :
1. Rektor Universitas Lambung Mangkurat :
Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.
2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Lambung
Mangkurat :
Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.
3. Kepala Prodi Teknik Lingkungan Universitas
Lambung Mangkurat :
Rijali Noor, S.T.,M.T.
4. Dosen Mata Kuliah Epidemiologi :
Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp., S.T., Mkes.
5. Anggota Kelompok :
- Raissa Rosadi
- Dwi Ayu Wulandari
- Aditya Kumara Putra
- Meredith Kartika Putri
HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN MENURUT
MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN PENDENGARAN
PADA TENAGA KERJA DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN
CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU
Disusun Oleh:
Aditya Kumara Putra H1E113056
Dwi Ayu Wulandari H1E113021
Meredith Kartika Putri H1E113216
Raissa Rosadi H1E113206
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tugas Besar ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan kami juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Banjarbaru, Desember 2014
Tim Penulis
iii
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMAPARAN KEBISINGAN
MENURUT MASA KERJA DENGAN KELUHAN GANGGUAN
PENDENGARAN PADA TENAGA KERJA
DI PERTAMBANGAN RAKYAT INTAN CEMPAKA
KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU
Aditya Kumara Putra, Dwi Ayu Wulandari, Meredith Kartika Putri,
Raissa Rosadi
Kegiatan pertambangan Intan Cempaka dilakukan menggunakan mesin
dumping yang bising yang dapat mengganggu pendengaran karena standar
keamanan bagi pekerja sangat sedikit bahkan tidak ada. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan
gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka
kelurahan sungai tiung Banjarbaru. Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Responden
diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah 25
responden. Instrumen penelitian Sound Level Meter Mobile Cassy 524-009,512
Hz garputala dan lembar wawancara. Hasilnya, 19 responden (80%) dari 25
responden mengalami gangguan gangguan pendengaran, dan 6 responden adalah
normal. Hilangnya pendengaran rata-rata terjadi selama waktu kerja (>10 tahun)
ada 8 responden. Pengaruh masa kerja pada gangguan pendengaran pekerja adalah
gangguan sensorineural. Hasil Fisher’s Exact Test dari 95% antara masa kerja
terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan nilai p= 0,002 (p> 0,01). Uji
statistik ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama pemaparan kebisingan
menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran para pekerja di
pertambangan Cempaka. Kesimpulan dan saran penelitian ini adalah pekerja akan
mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan yang dipengaruhi oleh masa
kerja dan tanpa menggunakan APD saat mesin beroperasi dalam proses
pertambangan berlian. Pemerintah bekerja sama dengan pusat kesehatan Cempaka
untuk memberikan konseling mengenai dampak bahaya kebisingan.
Kata-kata kunci: masa kerja, kebisingan, gangguan pendengaran,
pertambangan intan.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami sedapat menyelsaikan Tugas
Besar tentang “Hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa
kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada tenaga kerja di
pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru”, tepat
pada waktunya meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Ibu Dr. Qomariyatus S, ST., M.Kes yang telah menugaskan kepada kami
untuk memaparkan materi mengenai “Hubungan antara lama pemaparan
kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada
tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung
Banjarbaru”, sehingga melalui Tugas Besar ini penulis dapat memperoleh ilmu
pengetahuan.
Tak lupa saran dan kritik yang sifatnya membangun, sangat kami nantikan
dari berbagai pihak agar Tugas Besar ini kedepannya dapat lebih baik lagi.
Semoga Tugas Besar ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.
Banjarbaru, Desember 2014
Tim Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL. ................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertambangan Rakyat......................................................................... 6
B. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja ................................... 46
C. Pengertian Alat Pelindung Diri .......................................................... 51
D. Kebisingan ......................................................................................... 63
E. Gangguan Pendengaran ...................................................................... 69
F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ............ 72
vi
BAB III LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori ................................................................................... 76
B. Hipotesis ............................................................................................. 77
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ......................................................................... 78
B. Populasi dan Sampel .......................................................................... 78
C. Instrumen Penelitian........................................................................... 79
D. Variabel Penelitian ............................................................................. 80
E. Definisi Operasional........................................................................... 80
F. Prosedur Penelitian............................................................................. 81
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 82
H. Cara Analisis Data.............................................................................. 82
I. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 83
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umur ................................................................................. 84
B. Hasil Pengukuran ............................................................................... 86
C. Hasil Pemeriksaan Garputala Untuk Gangguan Pendengaran ........... 87
D. Pengaruh Masa Kerja Terhadap Kebisingan Pada Tenaga Kerja ...... 88
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 92
B. Saran ................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Nilai ambang Batas (NAB) kebisingan.......................................................... 64
4.1 Pengukuran gangguan fungsi pendengaran dengan garputala........................ 80
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Hubungan antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan. ................. ......... 18
2.2 Bagan / Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan ................................. 28
2.3 Sistem Kebijakan Publik................................................................................. 29
2.4 Diagram Analisis SWOT................................................................................ 44
3.1 Skema kerangka konsep penelitian hubungan massa kerja terhadap
gangguan pendengaran akibat kebisingan pada tenaga kerja di
pertambangan intan cempaka Banjarbaru...................................................... 77
5.1 Karekteristik responden berdasarkan umur..................................................... 84
5.2 Karekteristik responden berdasarkan massa kerja. ......................................... 85
5.3 Titik pengambilan sampel uji kebisingan....................................................... 86
5.4 Kategori hasil pengukuran pendengaran responden....................................... 87
5.5 Distribusi pengukuran pendengaran responden berdasarkan massa kerja...... 88
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Hasil Pengukuran Menggunakan Sound Level Meter
2. Hasil Uji Statistik
3. Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut UU Nomor 1 Pasal 1 (2007) tentang keselamatan kerja,
menjelaskan bahwa “tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup
atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang
sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha ...”. Tempat kerja
yang dapat dijadikan suatu bidang modal usaha salah satu contohnya adalah
pertambangan.
Pertambangan di Kalimantan selatan merupakan propinsi yang kaya akan
pertambangan salah satunya adalah intan di pertambangan rakyat di Kecamatan
Cempaka Kota Banjarbaru. Tambang rakyat merupakan tambang yang secara
turun – menurun dikerjakan oleh masyarakat atau penduduk setempat baik
secara perorangan maupun secara kelompok dengan manajemen secara
tradisional. Aktivitas yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan
Cempaka ini adalah kegiatan penambangan batu, pasir, emas, batubara dan
intan. Salah satu pertambangan intan yang masih ada sampai saat ini adalah
pertambangan rakyat intan masyarakat Cempaka (Yustinus SB, 2008).
Penambangan rakyat intan dahulu dilakukan secara tradisional dengan
jumlah penambangan yang terbatas. Dalam perkembangan selanjutnya,
penambangan intan ini menarik orang lain (bukan penduduk sekitar kecamatan
2
Cempaka) untuk ikut melakukan kegiatan penambangan, mengingat harga dari
butiran intan sangat mahal, dengan banyaknya kegiatan tersebut maka semakin
banyak mesin dumping yang digunakan sehingga menimbulkan kebisingan.
Menurut As’ad (2005), seiring dengan meningkatnya perkembangan tersebut,
membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia yang salah satunya adalah
terhadap gangguan pendengaran. Dari dampak negatif tersebut dapat diartikan
bahwa sistem keamanan dari kegiatan pertambangan masih belum memadai.
Keamanan bagi pekerja penambangan intan rakyat ini sangat riskan
sekali dan pekerja rentan terhadap risiko keselamatannya. Hal ini karena
standar keamanan serta keselamatan bagi pekerja memang kurang, bahkan
dapat dikatakan tidak ada. Akibatnya, persentase kemungkinan terpaparnya
kebisingan di pertambangan rakyat intan masih sangat besar.
Kebisingan di industri pertambangan adalah semua bunyi yang tidak
dikehendaki dan mengganggu bagi para pekerja di area industri. Kebisingan
industri dapat disebabkan mesin yang beroperasi, dan kendaraan yang berlalu
di area tersebut. Kebisingan di industri (Keputusan Menteri Tenaga Kerja.
Nomor: Kep-51/MEN/1999). Kategori ini dibedakan atas waktu paparan
kebisingan yang diterima oleh pekerja di area industri. Semakin tinggi paparan
kebisingan yang diterima maka waktu yang diijinkan untuk menerimanya
semakin sebentar, dimulai dengan 85 dBA dengan waktu maksimal paparan
delapan jam, sampai 118 dBA dengan waktu maksimal paparan 14,06 detik.
Meninjau kondisi tingkat kebisingan yang melebihi batas ambang maksimal
waktu paparan delapan jam sehari, maka diperlukan upaya pengendalian
3
paparan kebisingan yang bertujuan menjaga pekerja dari gangguan
pendengaran sedini mungkin dari paparan ketika bekerja pada area dengan
tingkat kebisingan yang tinggi (Huboyo H.S,2008).
Banyak kasus yang diteliti akibat kebisingan terhadap pendengaran
antara lain pada penelitian Sholihah Q, Sri H dan Laili K (2006) disebutkan
bahwa nelayan yang mengalami penurunan nilai ambang dengar adalah sebesar
85,71% dari 35 responden. Tidak terdapat hubungan antara lama pajanan
dalam jam dan mingguan terhadap penurunan nilai ambang dengar nelayan
(p>0,05) sedangkan lama pajanan per tahun mempengaruhi terjadinya
penurunan nilai ambang dengar nelayan (p>0,05) (Sholihah Q dkk, 2006).
Hasil observasi yang dilakukan pada lokasi pertambangan rakyat intan
Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru, dalam operasionalnya
menghasilkan bising melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu rata – rata
mencapai 98,8 dB dengan waktu kerja 10 jam perhari dan waktu istirahat
selama 1 jam. Kebisingan tersebut dapat menimbulkan gangguan pendengaran
bagi para penambang intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.
Dari uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan
antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan
gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan
cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang
akan diteliti adalah “Apakah Ada Hubungan Antara Lama Pemaparan
Kebisingan Menurut Masa Kerja dengan Keluhan Gangguan Pendengaran Pada
Tenaga Kerja di Pertambangan Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung
Banjarbaru?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara lama
pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan gangguan
pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka
kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
Adapun tujuan khusus penelitian ini dilakukan adalah untuk:
1. Mengukur kebisingan di lingkungan kerja pertambangan rakyat intan
Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.
2. Mendefinisikan gagguan pendengaran yang dialami tenaga kerja.
3. Menganalisis hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa
kerja dengan keluhan gangguan pendengaran pada tenaga kerja di
pertambangan rakyat intan cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat agar dapat
dijadikan sebagai bahan informasi tentang sumber risiko bahaya di lingkungan
5
kerja, terutama yang berhubungan dengan kebisingan dan bahan masukan
sehingga dapat dilakukan pengarahan dan pembinaan terhadap pekerja dalam
upaya peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertambangan Rakyat
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan, pasal 1 huruf n, menyebutkan: “Pertambangan
rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua
golongan a, b, dan c, seperti yang dimaksud pada pasal 3 ayat 1, yang dilakukan
oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan alat-alat
sederhana untuk pencarian sendiri.”
Definisi lain tentang pertambangan rakyat dapat kita baca dalam pasal 1
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital
(Golongan A dan B), adalah: “usaha pertambangan bahan galian strategis
(Golongan A) dan vital (Golongan B) yang dilakukan oleh rakyat setempat yang
bertempat tinggal di daerah bersangkutan untuk penghidupan mereka sendiri
sehari-hari yang diusahakan secara sederhana”.
Dalam definisi pertama, bahan galian yang dapat diusahakan oleh rakyat
setempat adalah bahan galian strategis, vital, dan c, sedangkan dalam definisi
kedua, bahan galian yang dapat diusahakan oleh rakyat setempat adalah bahan
galian strategis dan vital. Apabila kita menggunakan kerangka berpikir tentang
hierarki perundang-undangan, ketentuan yang lebih tinggi adalah ketentuan yang
7
tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, sedangkan Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi merupakan penjabaran operasional dari UU. Sehingga
tidak boleh bertentangan dengan UU. Walaupun dalam Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi hanya membolehkan untuk mengusahakan bahan galian
strategis dan vital, namun rakyat setempat tidak hanya diberikan ijin untuk
mengusahakan bahan galian strategis dan vital, tetapi dapat juga diberikan ijin
untuk mengusahakan bahan galian.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pertambangan rakyat,
yaitu:
1. Usaha pertambangan
2. Bahan galian yang diusahakan meliputi bahan galian strategis, vital, dan
galian c
3. Dilakukan oleh rakyat
4. Domisili di area tambang rakyat
5. Untuk penghidupan sehari-hari
6. Diusahakan dengan cara sederhana
Usaha pertambangan merupakan usaha melakukan kegiatan eksplorasi,
eksploitasi, produksi, pemurnian dan penjualan. Bahan galian strategis (golongan
a) merupakan bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta
perekonomian Negara. Sedangkan bahan galian untuk kepentingan pertahanan
keamanan serta perekonomian Negara. Sedangkan bahan galian vital, yaitu bahan
galian yang lazim disebut dengan galian c.
8
Pertambangan rakyat dilakukan oleh rakyat, artinya petambangan itu
dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di area pertambangan rakyat.
Sementara itu, tujuan kegiatannya adalah untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat sehari-hari. Usaha pertambangan rakyat dilakukan secara sederhana,
artinya kegiatan pertambangan itu dengan menggunakan alat-alat sederhana. Jadi,
tidak menggunakan teknologi canggih, sebagaimana halnya dengan perusahaan
pertambangan yang mempunyai modal besar dan memakai teknologi canggih.
a. Landasan Hukum Pertambangan Rakyat
Eksistensi penambangan rakyat diakui secara yuridis, yaitu diatur dalam
pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 1967, selanjutnya ketentuan ini dijabarkan lebih
lanjut dalam:
1. Pasal 5 sampai Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967.
2. Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang
Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996.
3. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01
P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B).
4. Surat Edaran Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 223
E/201/M.DJP, perihal Pertambangan Rakyat Galian Strategis dan Vital
(Golongan A dan B).
9
Surat edaran ini berisi himbauan kepada Gubernur untuk dapat
melaksanakan Peraturan Menteri Pertambangan dan energy Nomor 01
P/201M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan
Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B). Hal ini bertujuan untuk:
1. Mencegah adanya penambangan oleh rakyat secara lair dengan sistem
penambangan yang merusak keseimbangan lingkungan.
2. Menghilangkan sistem ijon.
3. Mengarahkan dan membina dalam wadah koperasi pertambangan rakyat
atau KUD.
4. Agar diketahui, bahwa suatu pertambangan rakyat hanya dapat
dilaksanakan oleh rakyat setempat dengan cara sederhana. Peralatan
serta mesin yang digunakan berkekuatan maksimal 25 PK serta dilarang
menggunakan alat berat dan bahan peledak.
Pada umumnya, penambang rakyat menggunakan perlatan yang sederhana
dalam melakukan eksploitasi terhadap bahan galian, karena keterbatasan modal
yang mereka miliki.
b. Kuasa Pertambangan Rakyat
Kuasa pertambangan rakyat merupakan kuasa yang diberikan kepada rakyat
setempat untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha penambangan yang
diberikan kepada rakyat setempat meliputi kegiatan; penyelidikan umum,
eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan
(Pasal 2 Ayat 3 PP No 75 Tahun 2001):
10
Kuasa pertambangan rakyat penyelidikan umum, merupakan kuasa
pertambangan yang diberikan kepada masyarakat setempat untuk melakukan
penyelidikan secara geologi umum dengan maksud untuk menetapkan tanda-
tanda adanya bahan galian pada umumnya.
Kuasa pertambangan eksplorasi, merupakan wewenang (kuasa) yang diberikan
kepada pejabat berwenang untuk menetapkan lebih teliti/seksama kebenaran
letak serta sifatnya, dalam kaitannya dengan penyelidikan geologi
pertambangan.
Kuasa pertambangan rakyat eksplorasi, merupakan kuasa pertambangan untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Kuasa pertambangan rakyat pengolahan dan pemurnian, merupakan kuasa
pertambangan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk
memanfaatkan dan memperoleh unsur yang terdapat pada bahan galian itu.
Kuasa pertambangan rakyat pengangkutan dan penjualan, merupakan kuasa
pertambangan untuk memindahkan serta menjual bahan galian hasil
pengolahan dan pemurnian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan atau
pemurnian.
c. Perijinan Pertambangan Rakyat
Hal yang sangat penting dalam penertiban pertambangan rakyat adalah
tentang perijinan. Ini perlu dilakukan agar dapat mengetahui komitmen para
penambang dalam melakukan aktivitasnya melalui perijinan setempat.
11
a) Pejabat yang Berwenang Menertibkan Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat
Pasal 5 PP Nomor 32 Tahun1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun
1967, telah ditentukan, bahwa permintaan ijin pertambangan rakyat diajukan
kepada menteri. Namun, menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan ijin
pertambangan rakyat kepada gubernur. Dengan adanya pelimpahan wewenang,
pejabat yang berwenang untuk menetapkan ijin pertambangan rakyat adalah
gubernur.
Sejak bergulirnya otonomi daerah, kewenangan gubernur dalam penetapan
ijin pertambangan rakyat telah dialihkan kepada bupati/walikota. Hal ini dapat
dikaji dari ketentuan Pasal 2 Ayat 3 PP Nomor 32 Tahun 1969, yang menetapkan:
“Surat Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan
yang diberikan oleh bupati/walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan
usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat
terbatas, melalui tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan”.
Dalam ketentuan ini tidak hanya diatur tentang pejabat yang berwenang
untuk menertibkan ijin pertambangan rakyat, tetapi juga meliputi tahap-tahap
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan itu meliputi
tahap-tahap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan
itu meliputi penyellidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
12
b) Prosedur dan Syarat dalam Memperbaiki Kuasa Pertambangan Rakyat.
Persyaratan dalam mengajukan ijin pertambangan rakyat telah diatur dalam
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital
(Golongan A dan B) pasal 16, yaitu:
1. Keterangan wilayah usaha pertambangan rakyat yang bersangkutan
dengan peta situasi dengan batas-batas secara jelas.
2. Penjelasan tentang riwayat usaha petambangan yang bersangkutan.
3. Penjelasan tentang tata guna tanah dan surat keterangan tidak keberatan
dari pemilik tanah.
4. Penjelasan tentang penduduk setempat sebagai peserta dalam usaha
pertambangan rakyat atau kelompok pertambanhan rakyat.
5. Jenis bahan galian yang diusahakan.
6. Alat-alat yang digunakan untuk menambang.
Pada Pasal 5 PP Nomor 75 Tahun 200, telah ditentukan prosedur dan
persyaratan untuk mengajukan permintaan ijin pertambangan rakyat. Untuk
mendapatkan ijin pertambangan rakyat, maka yang bersangkutan harus
mengajukan permohonan kepada bupati/walikota dengan menyampaikan
keterangan tentang:
1. Wilayah yang akan diusahakan.
2. Jenis bahan galian yang akan diusahakan.
13
Apabila dibandingkan persyaratan yang akan diajukan oleh Pasal 5 PP
Nomor 75 Tahun 2001 diatas, maka persyaratan yang diajukan oleh Peraturan
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 sangat birokratis.
Persyaratan ini sulit untuk dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat, karena
mereka tidak mempunyai keahlian dalam membuat peta situasi. Hal yang
dipikirkan oleh masyarakat adalah bagaimana mereka dapat menambang dengan
cepat dan menghasilkan bahan galian, yang kemudian bahan galian tersebut dijual
untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Akan tetapi, persyaratan yang tercantum pada pasal 5 PP nomor 75 Tahun
2001 sangat sederhana. Masyarakat setempat akan merasa dimudahkan dalam
memenuhi persyaratan tersebut. Dalam permohonan penambangan,
masyarakatcukup menyampaikan kepada bupati/walikota tentang wilayah yang
akan diusahakan serta jenis bahan galian yang akan diusahakan. Biasanya bahan
galian yang akan ditambang oleh masyarakat lokal adalah bahan galian emas serta
intan. Bahan galian ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan cara
pengelolaannya sangat sederhana.
c) Luas Wilayah Pertambangan Rakyat
Luas wilayah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada masyarakat
diatur dalam Pasal 13 dan pasal 17 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B).
14
Dalam Pasal 13 diatur tentang luas maksimal wilayah pertambangan rakyat
yang diberikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat dan luas wilayah
pertambangan sungai. Luas maksimal satu wilayah pertambangan rakyat adalah
15 ha. Sementara itu, luas wilayah pertambangan sungai cukup diukur atau
ditetapkan menurut panjang dan lebar sungai.
Selanjutnya, pada pasal 17 telah diatur luas wilayah untuk:
1. Satu ijin pertambangan rakyat.
2. Perorangan.
3. Kelompok masyarakat.
4. Kopersai.
Luas wilayah untuk satu ijin pertambangan rakyat diberikan maksimal 5 Ha.
Jumlah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada perorangan hanya untuk
satu ijin pertambangan, sedangkan luas wilayah pertambangan rakyat yang
diberikan kepada perorangan maksimal seluas 5 Ha. Bagi masyarakat setempat
hanya diberikan satu ijin pertambangan rakyat dengan luas maksimal 5 Ha. Bsgi
koperasi dapat diberikan 5 (lima) ijin pertambangan rakyat, dengan luas maksimal
25 Ha.
d) Jangka Waktu Ijin Pertambangan Rakyat
Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun
2001 telah diatur tentang jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Dalam pasal
tersebut telah ditentukan, bahwa ijin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun. Jika diperlukan, ijin tersebut dapat diperpanjang
15
untuk jangka waktu/periode yang sama. Jangka waktu yang diberikan kepada
pemegang ijin pertambangan tidak terbatas.
e) Berakhirnya Ijin Pertambangan Rakyat
Berakhirnya ijin pertambangan adalah tidak berlakunya ijin pertambangan
rakyat yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Berakhirnya ijin
pertambangan rakyat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sudah habis mas
waktunya serta dicabut (Pasal 18 Pertaraturan Menteri Pertambangan dan Energi
nomor 01 P/201/M.PE/1986).
Di dalam Surat Ijin Pertambangan Rakyat, telah ditentukan jangka waktu
ijin pertambangan rakyat. Jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Misalnya, jika
ijin yang diberikan oleh bupati/walikota ditetapkan pada tanggal 01 Juni 2005,
maka berakhirnya ijin pertambangan rakyat pada tanggal 01 Mei 2010. Namun,
apabila ijin pertambangan itu diperpanjang, maka jangka waktu kegiatan
pertambangan adalah sampai 2015.
Berakhirnya ijin karena dicabut adalah tidak berlakunya lagi ijin
pertambangan rakyat yang diberikan kepada orang, kelompok atau koperasi yang
disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu meliputi:
1. Kondisi penambangannya membahayakan bagi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat setempat.
2. Terjadinya persengketaan tentang hak milik tanah yang tidak dapat
diselesaikan.
16
3. Tidak memenuhi petunjuk-petunjuk maupun persyaratan yang telah
diberikan oleh pejabat yang berwenang.
4. Endapan bahan galian sudah habis atau sudah sulit didapat.
5. Untuk kepentingan negara.
Pencabutan ijin pertambangan rakyat untuk kepentingan negara merupakan
pencabutan yang dilakukan oleh pejabat berwenang. Wilayah pertambangan
rakyat itu digunakan untuk kepentingan yang lebih besar dan menguntungkan
negara. Misalnya, wilayah pertambangan rakyat ditingkatkan statusnya, dari
pertambangan rakyat menjadi wilayah kontrak karya atau perjanjian
pertambangan batubara.
a. Limbah Pertambangan Rakyat
Hasil tambang merupakan suatu komoditi yang mempunyai nilai ekonomis
yang sangat tinggi. Sejak jaman dahulu orang-orang selalu berusaha untuk
mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya alam. Tempat dan daerah yang
mengandung sumber daya alam selalu dikejar oleh penambang untuk melakukan
kegiatan eksploitasi. (Rahmi,1995). Menggolongkan bahan-bahan galian sebagai
berikut:
Galian A : Merupakan bahan galian strategis, yaitu strategis untuk
perekonomian negara serta pertahanan dan keamanan negara.
Contoh: minyak bumi, batubara, uranium dan lain-lain.
Galian B : Merupakan bahan galian vital, yaitu dapat menjamin hajad
hidup orang banyak. Contoh: besi, tembaga, emas, perak dan
17
lain-lain.
Galian C : Bukan merupakan bahan galian strategis ataupun vital, karena
sifatnya tidak langsung memerlukan pasaranyang bersifat
internasional. Misalnya: marmer, batu kapur, tanah liat, pasir,
yang sepanjang tidak mengandung unsur mineral.
Selanjutnya disebutkan bahwa di dalam merencanakan suatu penambangan harus
memperhatikan beberapa faktor berikut ini:
- Keuntungan yang diinginkan oleh perusahaan. Hal ini karena masing-
masing perusahaan mempunyai perbedaan dalam menargetkan keuntungan
yang diperoleh.
- Jumlah dan umur tambang yang akan menentukan jumlah produksi
- Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir
operasinya.
- Kemiringan tebing (bench), dengan bantuan dana tentang ukuran dan batas
maksimum dari kedalaman pada akhir operasi, maka kemiringan tebing
dapat diperkirakan berdasarkan data fisik bantuan.
- “Sripping Ratio”. Dalam mendesain, perlu ditentukan barapa luas daerah
kuasa pertambangan yang diminta dan berapa banyak “overburden” uang
dibuang.
- “Cut of Grade”. Kadar terendah yang masih memberikan keuntungan
apabila dieksploitasi.
Limbah penambangan rakyat merupakan buangan dari proses pencucian
atau penyemprotan yang mengandung bahan-bahan organik dan anorganik.
18
Limbah dari penambangan terdiri dari air, batu, kerikil, pasir, tanah dan lain-lain.
Sedangkan hasil dari pencucian atau penyemprotan adalah berupa pasir atau
lumpur.
Tambanga rakyat yang ada di wilayah penelitian terdiri dari tambang intan,
dan batu pasir. Jumlah penambang yang ada di sekitar lokasi akan mempengaruhi
kualitas ir. Semakin tinggi aktivitas penambangan akan mengakibatkan semakin
rendahnya kualitas perairan. Prediksi hubungan antara jumlah penambang dengan
kualitas perairan adalah sebagai fungsi berikut:
Gambar 2.1 Fungsi (x) Hubungan antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan
(Rahmi, 1995)
Dari gambar di atas dapat diprediksi bahwa semakin kekanan jumlah
penambang semakin banyak, maka kualitas perairan akan semakin menurun
(dalam asumsi semua penambang bekerja).
19
Pada umumnya pencemaran yang sering terjadi pada perairan tawar,
ditimbulkan oleh masalah masuknya berbagai substansi padatan maupun cair
sebagai hasil aktivitas manusia (Dix dalam Sofarini, 1999). Limbah cair dari suatu
kegiatan lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah
dipergunakan dengan hampir 0,1% padanya berupa benda-benda padat terdiri dari
zat organik dan anorganik. Limbah cair adalah benda berbentuk cair yang
mengandung padatan, senyawa/larutan yang dihasilkan di dalam suatu proses
pencucian, pemurnian dan atau pengolahan lainnya, bukan merupakan produk
tujuan dari proses itu.
Besarnya konsentrasi padatan, senyawa/larutan tersebut dapat dijadikan
acuan untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya limbah bagi lingkungan. Untuk
itu perlu dilakukan analiasis air. Beberapa kategori kegiatam yang memerlukan
analisis kualitas air yaitu:
Limbah penambangan
Pertanian (termasuk analisis
kesuburan tanah)
Aquakultur
Industri
Kolam
Fishing
Air limbah apapun
Pengoksidan air
Ekologi air, limnologi
Mutu air berbagai bidang
b. Dampak Pasca Tambang
Kegiatan penambangan rakyat dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta
biologi tanah maupun air, malalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan,
20
pencucian serta pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya,
kegiatan penambangan mengakibatkan hilangnya atau bepindahnya tanah,
sedangkan di lokasi pembuangan tailing adalah tertimbunnya tanah asli dngan
tailing. Dengan demikian sifat tanah asli/semula berupa menjadi sifat tanah tailing
(Rahmi, 1995).
Sistem penambangan rakyat di wilayah Banjarbaru adalah menggunakan
sistem “dumping”, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah
permukaan yang kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai
penambangan, lapisan tanah atas (top soil) tidak dikembalikan ke tempat asalnya.
Secara fisik, keadaan lokasi bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang
besar mirip seperti danau dan dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian,
seperti bukit-bukit kecil yang tidak beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila
bekas areal tambang tersebut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, maka sangat
sulit dalam pengelolaannya. Untuk mengembalikan kualitas bekas areal sehingga
dapat dijadikan lahan pertanian memerlukan investasi yang sangat besar, yang
sebenarnya kewajiban penambang.
Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor
sebagai hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-
besaran juga menyebabkan terjadinya perubahan benatng alam (morfologi dan
topografi), yaitu perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan,
penimbunan tanah penutup dari penggalian sumber daya alam menimbulkan
21
perubahan pada drainase, debit air sungai dan kualitas permukaan pada saat hujan.
Menurut (Rahmi,1995), aspek tersebut adalah:
a. Aspek Hidrologi
Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada lembah-lembah di
kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari mata air tersebut
kering karena di sepanjang bukit sebagian besar sudah gundul. Pada beberapa
lembah yang agak dalam dan datar sering ditemukan rawa atau genangan air yang
cukup besar terutama di musim hujan. Genangan-genangan tersebut mempunyai
kenampakan air yang bermacam-macam, dengan warna coklat karena keruh,
warna hijau kebiruan sampai warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
air di dalam kolam-kolam tersebut juga beragam.
b. Aspek Geologi
Tumpukan batuan penutup (overurden) yang dibiarkan tertumpuk secara
tidak teratur sekitar bukaan tambang megahsilkan bukit-bukit kecil dan lubang-
lubang. Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup kembali juga akan
menghasilkan lubang yang akan terisi oleh air hujan. Kenyataan di lapangan yang
banyak terdapat kolam berisi air hujan mengindikasikan bahwa timbunan tanah
bekas galian bersifat kedap air, serapan air hujan untuk membentuk sistem air
tanah sangat kecil.
c. Erosi Tanah
Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak utama dari
aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan yaitu
menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan
22
sedimentasi sungai. Sedimen hasil eosi tanah diangkut oleh aliran air larian
(runoff) masuk ke dalam sungai pada ujung tekuk lereng dalam daerah tadah
(catchment area).
d. Longsoran Tanah
Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan dampak lanjutan
berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan waste rock cukup
banyak. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan yang bersifat permanen.
e. Sedimantasi Sungai
Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa oleh air larian
yang masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah merupakan
dampak yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai dampak yang
signifikan. Sedimentasi sungai selain ditentukan oleh jumlah sedimentasi yang
masuk kedalam sungai, namun juga ditentukan oleh faktor-faktor hidrologi
sungai, seperti kecepatan arus, pola arus sungai, kelandaian dasar sungai dan
morfologi dasar sungai.
f. Gangguan Estetika Lahan
Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan dengan penambangan
terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah perbukitan yang memberikan
pemandangan deretan lahan terbuka berwarna coklat, kontras dengan daerah
bervegetasi yang nampak hijau. Perubahan bentuk lahan dan kerusakan lahannya
nampak jelas dari kejauhan yang terlihat jelas karena letaknya yang cukup tinggi.
Hal ini akan menimbulkan gangguan terhadap estetika lahan yang harmonis.
23
g. Pencemaran Air
Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah dapat terjadi
karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta dari genangan di
lubang tambang. Pencemaran pada badan sungai akan mempengaruhi kualitas air.
Parameter kualitas air yang mungkin akan terganggu akibat aktivitas
penambangan rakyat adalah : oksigen terlarut (Disolve Oxigen/DO), derajat
keasaman (pH), kekeruhan, padatan tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), besi
(Fe).
c. Kewajiban Rehabilitasi Lahan
Kewajiban untuk memulihkan lingkungan yng tercemar akibat kegiatan
pertambangan dan mengembalikan dalam konteks rehabilitasi adalah usaha yang
hukumnya wajib bagi kegiatan/usaha pertambangan pada saat kegiatan
pertambangan tersebut berakhir. Rehabilitasi tidak dimaksudkan mengembalikan
deposit mineral yang ditambang, tetapi suatu kegiatan dalam usaha
mengembalikan rona lingkungan fisik (terutama pada bentang lahan yang
dirusak). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis ataupun
difungsikan menurut rencana peruntungan lainnya adalah untuk melakukan
pemantauan dari lahan pasca tambang termasuk pada sistem pengelolaan B3, yang
potensi dampaknya akan muncul dan terukur dalam jangka waktu yang panjang.
Dengan demikian pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini diatur dan
disepakati dalam rambu-rambu hukum yang pasti, dengan tanpa mengingkari
prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Misalnya, berapa lamakah kewajiban
24
untuk melakukan pasca tambang dan siapa yang harus membiayai dan melakukan
pengawasannya. Mining closure siapa yang membuat dan apakah sudah
diperbincangkan dan disosialisasikan pada “publik”?? nampak hal ini lah yang
harus diformulasikan dengan sekligus menjawab persoalan otonomi, transparansi
penegelolaan dan tanggung jawab hukum pada publik dan masyarakat terutama
masyarakat tambang.
Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyaidimensi ekonomi
dan sosialyang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada
masyarakat dengan pemerintah dan juga dengan usaha pertambangan. Pengelolaan
pasca tambangan bukan semata persoalan fisik, tetapi lebih dari itu, pada
persoalan political will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan
menganut kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan
mengedepankan kepentingan masyarakat lokal dan mengacu pada falsafah
ekonomi dan sosial serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.
d. Kebijakan Publik dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo (2002) mengemukakan
bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good
governance, di mana pengertian dasarnya adalah ke pemerintahan yang baik.
Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip
demokrasi, efisiensi, pencegahan penyimpangan baik secara politik maupun
administratif.
25
2.5.1 Konsep Good Govenance pada Pengelolaan Lingkungan Hidup
Berkaitan dengan good governance, , Mardiasmo (2002) mengemukakan
bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good
governance, di mana pengertian dasarnya adalah ke pemerintahan yang baik.
Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip
demokrasi, efisiensi, pencegahan penyimpangan baik secara politik maupun
administratif.
Tuntutan reformasi mengharuskan aparatur negara untuk mewujudkan
administrasi negara yang mempu mendukung kelancaran dan keterpaduan
pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
menurut prinsip good governance. Karakteristik good governance adalah:
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi yang dibangun atas kebebasan arus informasi.
4. Responsivenes. Setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholder.
26
5. Consesus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih
luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan
atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and Efficiency. Lembaga-lembaga serta prosesnya,
menghasilkan produk yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta
dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.
Kedelapan karakteristik good governance dapat dianalogikan juga menjadi
karakteristik setiap pemerintahan daerah yang diperlukan dalam penyelenggaraan
ontonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan sumber daya
manusia aparatur pemerintah daerah memiliki karakteristik yang mampu
mewujudkan karakteristik good governance.
Dengan demikian keterkaitan penerapan asas good governance dengan
efektivitas pengololaan kebijakan lingkungan hidup sangat erat. Hal ini karena
pemerintah daerah akan secara konsisten, transparan dan akuntabel dalam
mempertanggungjawabkan semua program kerja yang ada, termasuk program
lingkungan hidup yang layak bagi semua habitat yang ada sehingga keberlanjutan
pelaksanaan pembangunan secara luas akan telaksana.
27
Pencapaian tujuan pengelolaan lingkungan hidup akan tercapai jika semua
stakeholder termasuk juga masyarakat dilibatkan secara intensif, karena
masyarakat memiliki pola penyelesaian masalah maupun komitmen untuk terlibat
dalam pelaksanaan pembangunan secara luas. Substansi lingkungan hidup beserta
dampak pengelolaannya secara langsung berakibat pada masyarakat, maka
keterlibatan masyarakat akan mempermudah penyelesaian masalah yang timbul
dari berbagai kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup.
2.5.2 Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Instrumen Kebijakan Publik
Menurut Anderson dalam Winarno (1989), kebijakan pada dasarnya adalah
arah tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan, ditetapkan oleh seorang aktor
atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.
Selanjutnya Anderson memberikan gambaran bahwa suatu permasalahan baru
akan menjadi permasalahan kebijakan (polocy problem), bila problem-problem itu
dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap
problema-problema tersebut.
Masalah pencemaran lingkungan misalnya, merupakan problem yang
mempunyai akibat luas termasuk dapat mengenai orang secara tidak langsung
terlibat. Sehubungan dengan hal itu, maka langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mengidentifikasi problem yang timbul kemudian dirumuskannya. Untuk
itu problem tersebut harus terlebih dahulu dalam agenda pemrintah.
28
Hubungan antara kebijakan publik dengan kebijakan lingkungan hidup
dalam implementasinya digambarkan oleh Dunn (2001) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Bagan / Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan
(Dunn, dalam Tangkillsan, 2004).
Berdasarkan bagan/kerangka pemikiran dihubungkan dengan permasalahan
yang dianalisis sebagai berikut:
a. Public Policy, merupakan rangkaian pilihan yang harus saling
berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang
dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah. Kemudian diformulasikan
dalam bidang-bidang mulai dari pertahanan, energi, kesehatan sampai
pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. Pada salah satu isu bidang
tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan
pemerintah yang aktual dan potensial yang mengandung konflik di antara
segmen-segmen yang ada dalam masyarakat.
b. Policy stakeholder, yaitu para individu dan atau kelompok individu yang
mempunyai andil dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan
29
dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan (misalnya
kelompok warga negara, perserikatan birokrasi partai politik, agen-agen
pemerintah, pimpinan terpilih dan para analis kebijakan.
c. Policy Environment, problem-problem di sekeliling isu kebijakan yang
terjadi dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pembuatan kebijakan dan
kebijakan publik. Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang
bersifat dialiktis, berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari
pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya. Sistem
kebijakan adalah produk manusia yang subyektif, diciptakan melalui
pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan
bersifat obyektif yang dimanifestasikan dalam tindakan yang terkontrol
berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari
sistem kebijakan.
Gambar 2.3 Sistem Kebijakan Publik (Tangkillisan, 2004)
a. Input, sumber daya-sumber daya yang digunakan sebagai ujung tombak
dalam proses administrasi maupun organisasi pelaksana.
30
b. Process, merupakan interaksi antar kator, yakni antara instansi teknis
sebagai pelaksana dengan pengusaha serta masyarakat.
c. Output, yaitu hasil yang diharapkan memberikan dampak positif kepada
pemerintah dan masyarakat sebagai penerima manfaat.
1. Konsep Efektivitas Implementasi Kebijakan Lingkungan
Menurut Halim (2001), keberhasilan pembangunan daerah adalah adanya
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
kehidupan sosial ekonomi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya
hubungan yang serasi atar unit-unit pemerintah daerah melalui kepemimpinan
daerah yang kuat. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor
publik dikelola dengan memperhatikan konsep efektivitas. Konsep efektifitas
tersebut dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan tepat sasaran.
b. Meningkatkan mutu pelayanan publik.
c. Biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan
penghematan penggunaan resources.
d. Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
e. Menignkatkan public cost awareness sebagai pelaksanaan
pertanggungjawaban publik.
Pemberian otonomi yang luas serta desentralisasi kepada kabupaten dan
kota memberikan jalan begi pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan
pengelolaan program pembangunan di daerah. Dalam pengelolaan program
31
pembangunan daerah, maka pemerintah dituntut untuk melakukan pengelolaan
program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan publik (public
oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada Pemerintah Daerah untuk
berkinerja secara optimal agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Faktor penentu
efektivitas program, menurut Devas, dkk (1989) adalah sebagai berikut:
a. Faktor suber daya manuasia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja,
maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat bekerja serta
dana keuangan.
b. Faktor struktur organisasi, yaitu susunan yang stabil dari jabatan-
jabatan baik struktural maupun fungsional.
c. Faktor teknologi pelaksanaan pekerjaan.
d. Faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaannya baik pimpinan
maupun masyarakat.
e. Faktor pimpinan dalam arti kemampuan untuk mengkombinasikan
keempat faktor tersebut ke dalam suatu usaha yang berdaya guna dan
berhasil guna untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
Dengan demikian efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian
tujuan suatu program. Apabila pelaksanaan suatu organisasi mencapai tujuan yang
telah di desain, maka program tersebut telah berjalan dengan efektif. Analisis
kebijakan dari pelaksanaan program dengan rencana dan desain yang telah
dirumuskan.
32
2. Indikator Efektivitas Implementasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
a. Kesesuaian target dan realisasi program kerja serta efektivitas
implementasi dari suatu kebijakan, tidak akan lepas dari pembahasan
yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Efektivitas
organisasi merupakan keseimbangan atau pendekatan secara optimal
pada pencapaian tujuan, kemampuan dan pemanfaatan tenaga manusia.
Berbicara mengenai kinerja suatu kebijakan, secara otomatis akan
bersentuhan dengan konsep produktivitas yang merupakan rasio
masukan dan keluaran. Sedangkan organisasi publik, produktivitas
dapat diartikan sampai sejauh mana taget yang ditetapkan oleh
organisasi dapat direalisasikan dengan baik. Untuk organisasi Badan
pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPPEDAL),
produktivitas organisasi dapat dilihat sampai sejauh mana pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup sudah mencapai target yang telah
ditetapkan sesuai mandat yang diterima BAPPEDAL, untuk mengelola
lingkunagn hidup menjadi lebih efektif dan efisien.
b. Kualitas penanganan limbah
Kualitas penanganan limbah merupakan indikator kinerja yang patut
diperhitungkan karena merupakan salah satu misi dari penentuan
kebijakan penanganan lingkungan hidup yang merupakan slaah satu
tugas yang diemban BAPPEDAL di wilayah kerjanya. Kualitas
penanganan limbah akan berkaitan kinberja BAPPEDAL untuk
33
menekan tingkat pencemaran dan memantau serta menciptakan sistem
pengolahan limbah yang efektif.
c. Persepsi dan respon masyarakat dalam lingkungan hidup
Konsekuensi logis dari analisis stakeholder adalah pembahasan
berhubungan dengan masyarakat yang lebih banyak mengalami dampak
dari suatu aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Pencemaran ini terjadi pada aliran sungai misalnya akan berdampak
pada kualitas hidup masyarakat yang masih bergantung pada sungai
sebagai salah satu sumbar penyediaan air yang terpenting. Kejadian
yang berhubungan dengan lingkungan hidup itu akan mempengaruhi
efektivitas implementasi kebijakan tergantung pada persepsi dan
respons masyarakat terhadap peristiwa lingkungan hidup itu. Jika
persepsi atau pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan hidup baik,
maka akan terjadi suatu interaksi positif dalam penanganan lingkungan
hidup. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap respons dari masyarakat
terhadap dampak negatif pencemaran terhadap kualitas hidupnya.
3. Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan
a. Kebijakan Nasional
Pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup
pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya bagi
kemakmuran rakyat. Dalam mendayagunakan sumber daya alam tersebut harus
memperhatikan pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
34
pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal,
serta penataan ruang. Hal ayng perlu dicermati mengenai persoalan pengelolaan
lingkungan dalam konteks otonomi daerah adalah soal pendayagunaan sumber
daya alam (SDA). Ini penting karena SDA merupakan tumpuan daerah
memperoleh dana (PAD) untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Pada sis
lain, pendayagunaan SDA yang semena-mena berpotensi timbulnya berbagai
masalah. Tanpa penagturan SDA, maka kesejahteraan rakyat tidak akan terjamin
karena rentan terjadinya kerusakan lingkungan.
Otonomi daerah pada dasarnya memiliki potensi pemicu konflik lingkungan
antar daerah. Komoditas SDA pada umumnya berasal dari satu wilayah ekosistem
yang di dalamnya tercakup sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota. oleh karena
itu, pengelolaan lingkungan perlu dikoordinasi antar wilayah yang berbasis
ekosistem. Untuk mengantisipasi berbagai implikasi otonomi daerah di bidang
lingkungan hidup, maka dibutuhkan pengutan/ pemberdayaan birokrasi (birokrat
daerah), yaitu:
Mempertegas kembali komitmen untuk memberdayakan lembaga
lingkungan di kabupaten/kota, baik dari sis masalah lingkungan yang
mendesak, penetapan program prioritas, lembaga BAPPEDAL, SDM dan
mitra lingkungan.
Implikasi dari penguatan lembaga lingkungan disemua level pemerintah
(pusat, provinsi, kabubpaten/kota), disertai perubahan peran dan
tanggung jawab berdasarkan asas kemitraan yang ditetapkan.
35
Penguatan BAPPEDAL regional ditekankan pada peran penerjemahan
kebijakan nasional pengelolaan lingkungan, termasuk pngendalian
dampak lingkungan.
Penguatan kelembagaan, SDM, dan kemitran lingkungan dilakukan
berdasarkan konsepsi sinergi, yaitu perwujudan dan kristalisasi berbagai unsur,
aspek organisasi pembelajar, SDM lingkungan yang ahndal dan profesional, dan
membangun jaringan kemitraan lingkungan yang luas. Konsepsi sinergi
dimaksudkan dalam bentuk program aksi yang mencakup kelembagaan, SDM,
dan kemitraan lingkungan, yaitu:
a) Progarm kelembagaan, mecakup antara lain:
Pengembangan konsep penguatan kelembagaan dalam pengelolaan
lingkungan.
Pemantapan organisasi lingkungan, seperti Bappedal dan Bappedal
regional.
Pemantapan lembaga lingkungan di tiap level pemerintahan.
Pemberdayaan dan pembentukan lembaga lingkungan.
Penguatan lembaga lingkungan di semua stakeholder (pemerintah,
swasta dan masyarakat).
b) Program sumber daya manusia (SDM), mencakup:
Pemantapan konsep pengembanagn SDM lingkungan.
Peningkatan profesionalisme SDM lingkungan.
c) Program kemitraan, mencakup:
Pemantapan konsep kemitraan lingkungan.
36
Pengembangan forum stakeholder.
Pengembangan forum lingkungan.
b. Kebijakan Lokal
Paradigma pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang
merupakan kebijakan nasional telah menjadi acuan utama bagi setiap jenis
kegiatan pembangunan daerah. Gukungan terhadap garis kebijakan tersebut
semestinya diberikan dengan lebih memperhatikan aspek pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Agar penyelenggaraan pemabngunan di daerah efektif tetap
dalam jalur paradigma tersebut, perlu dipastikan, bahwa pemabngunan itu benar-
benar bersifat aspiratif, dan rendah resikko dan konflik lingkungan. Untuk itu
perlu mendayagunakan segenap potensi sumber daya manusia di daerah,
teridentifikasi memiliki 8 (delapan) peran pokok dalam pengelolaan lingkungan
hidup, agar berperan aktif.
Potensi SDM dimaksud meliputi segenap komponen pengelola lingkungan
hidup yang terdiri adri 8 (delapan) pelaku ;lingkungan hidup (Tangkilisan, 2004),
yaitu:
1. Birokrasi, sebagai fasilitator.
2. Legislatif, sebagai kontrol.
3. Yudikatif, sebagai penegak hukum.
4. LSM, sebagai pendamping.
5. Perguruan Tinggi, sebagai lembaga konsultatif.
6. Pengusaha, sebagai pihak yang bertanggung jawab.
37
7. Masyarakat, sebagai pihak yang melaksanakan.
8. Tokoh masyarakat, sebagai pemimpin.
Kedelapan pelaku itu disebut Hasta Pelaku Lingkungan Hidup,
dimaksudkan agar pemberdayaan peran pengelola lingkungan hidup dapat lebih
optimal. Sehingga perlu dibentuk Forum komunikasi Hasta pelaku Lingkungan
Hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup tidak hanya berarti memanfatkan sumber
daya, namun merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, maka lingkungan hidup mempunyai
3 (tiga) fungsi dasar, yaitu:
a) Menyediakan ruang untuk hidup manusia di dalam bertempat tinggal
dan menjalankan aktivitas kehidupannya (fungsi ruang).
b) Menyediakan sumber daya hayati meupun non hayati, baik yang
dapat/reneweble resources atau tidak dapat diperbaharui/non renewable
resources (fungsi pemasuk sumber daya).
c) Merupakan media berbagai proses alami untuk memberikan pelayanan
kepada manusia, agar ;lingkungan tetap dapat mendukung manusia
(fungsi ekologi).
Permasalahan lingkungan yang sering timbul seperti pencemaran air, banjir,
sedimentasi, erosi dan lain-lain pada hakikatnya muncul akibat terabaikannya
salah satu dari ketiga fungsi tersebut dalam memanfaatkan lingkungan. Oleh
38
karena itu, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru sebagai
satu-satunya instansi pengelola lingkungan di Kota Banjarbaru harus memiliki
visi dan misi yang jelas dalam mengelola lingkungan hidup.
Tujuan upaya penanganan terhadap dampak lingkungan di Kota Banjarbaru
harus didasarkan atas prinsip pelestarian sumber daya lingkungan dan
memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Sehingga
pembangunan disegala sektor yang dilakukan harus berdasarkan prinsip
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Dari prinsip tersebut dijabarkan
tujuan penanganan dampak lingkungan, yaitu:
a) Terpeliharanya fungsi lingkungan hidup dalam usaha menignkatkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan.
b) Pengendalian fdan penanggulangan pencemaran yang telah dan
diperkirakan akan terjadi akibat suatu kegiatan.
c) Memperbaiki kualitas lingkungan akibat terjadinya kerusakan sehingga
dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.
d) Peningkatan pencarian informasi tentang kuantitas dan kualitas SDA,
serta tingkat kerusakan alam dan kemampuan daya dukung alam.
e) Meningkatkan kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat.
Sasaran umum pengendalian dampak lingkungan yang harus dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
a) Terciptanya SDA yang lestari dalam usaha meningkatkan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
39
b) Terkendalinya pencemaran yang disebabkan suatu kegiatan dari
berbagai sektor.
c) Tercapainya tujuan perbaikan SDA sebagai akibat kerusakan yang
timbul oleh kegiatan pembangunan.
d) Terciptanya kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
4. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Implementasi Kebijakan
Lingkungan Hidup
Implementasi kebijakan lingkungan menurut tangkillisan (2004) hidup
merupakan rangkaian proses penerjemahan dari kebijakan lingkungan hidup yang
direspon berupa tindakan para pelaku lingkungan hidup secara konsisten dalam
rangka pencapaian dan sasaran yang telah digariskan oleh kebijakan.
1. Variabel Kebijakan
Kebijakan penanganan lingkungan hidup merupakan salah satu kebijakan
publik yang berupaya mengelola lingkungan hidup di Kota Banjarbaru secara
efektif. Kebijakan ini bertujuan, agar mampu menekan tingkat pencemaran pada
titik minimal, yang dicapai melalui kesesuaian antar target dan hasil yang dicapai
serta respons masyarakat terhadap masalah lingkungan.
Dalam menganalisis implementasi terhadap kebijakan pengelolaan
lingkungan hiudp, maka perlu dilakukan pemilihan variabel independen, yaitu:
kotrol masyarakat, sanksi hukum serta komitmen pengusaha. Ketiga variabel
tersebut didasarkan atas pemikiran:
40
a. Kontrol dari pihak masyarakat dibutuhkan karena mereka adalah pihak
langsung terkena dampak dari pencemaran lingkungan hidup yang
terjadi.
b. Suatu kebijakan akan berjalan efektif jika ada penerapan sanksi hukum
yang jelas dan konsisten untuk membuat para pelaku atau para pelanggar
patuh dan tidak akan mengulangi perbuatan pencemaran lingkungan.
c. Komitmen pengusaha dibutuhkan karena sebab dari pencemaran
kegiatannya, sehingga pencegahan pencemaran hanya terjadi jika pihak
pengusaha terintegrasi dan ramah lingkungan.
2. Kontrol Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Civil Society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan
sejumlah kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi
masyarakat dan gerakan-gerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya
independen dalam negara. Jadi, civil society adalah sebuah masyarakat, baik
secara individual maupun kelompok dalam suatu negara yang mampu berinteraksi
secara independen.
Berperannya kontrol masyarakat akan berfungsi secara maksimal pada
konteks masyarakat yang menerapkan civil society dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat dapat melakukan
partisipasi dalam pembentukan dan implementasi kebijakan publik dalam suatu
negara.
Kontrol masyarakat dalam kebijakan lingkungan hidup yang menerapkan
civil society dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok dalam suatu
41
wilayah pemerintahan yang mampu berinteraksi dengan pemerintah secara
independen untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan yang telah ditetapkan.
3. Sanksi Hukum (Law Enforcement) di Bidang Lingkungan Hidup
Sudikno Mertokusumo (1984) berpendapat, bahwa kesadaran hukum yang
rendah pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum
semakin tinggi ketaatan hukumnya. Adanya hukum harus ditaati, dilaksanakan,
dan ditegakkan.
Kesadarn hukum lingkungan dapat dibangun melalui pendidikan formal,
non formal, dan informal. Sedangkan pendidikan berjalan secara terus-menerus
yang tidak ada henti-hentinya sepanjang manusia hidup (long life education). Ini
berarti pembangunan kesadaran hukum lingkungan juga akan berjalan dalam
waktu yang lama atau tidak pernah berhenti sepanjang lingkungan hidup ingin
dikelola dengan baik oleh manusia.
4. Komitmen Pengusaha terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup
Pengusaha merupakan pelaku yang bertanggung jawab atas terganggunya
fungsi lingkungan hidup, sehingga harus dilakukan pengawasan terhadap
pengusaha. Hal ini dimaksudkan untuk menignkatkan kesadaran hukum
lingkungan pengusaha, ke depan akan membantu menignkatkan kualitas
lingkungan di Kota Banjarbaru.
Upaya kesadaran hukum lingkungan bagi pengusaha selayaknya dilakukan
melalui penataan sukarela (voluntary compliance) sesuai dengan yang tersirat
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yaitu:
42
Sistem Pendanaan Lingkungan (Pasal 8)
Perangkat Manajemen Lingkungan yang Bersifat Dinamis (Pasal 10)
Penghargaan Lingkungan (Pasal 10)
Mengenai Teknologi Bersih/Produksi Bersih (Pasal 10)
Audit Lingkungan (Pasal 5, 19, 29)
Konsep penegakan hukum lingkungan hanya akan berjalan denngan baik
jika pengawasan terhadap penataan persyaratan per-UU-an dari perijinan yang
dilaksanakan secara terprogram. Hal ini yang melatar belakangi Menteri
Lingkungan Hidup menetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen
LH) Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.
e. Analisis SWOT
SWOT merupakan alat (tool) yang dapat dipakai untuk menganalisis
kualitatif (Kodoatie, 2003). Sedangkan menurut rangkuti (1997), analisis SWOT
adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)
Kuadran 1 : Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan.
Kebijakan tersebut memiliki peluang dan kekuatan
sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini
43
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang
agresif (growth oriented strategy)
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kebijakan
ini memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang
harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi diversifikasi.
Kuadran 3 : Kebijakan mengahadapi peluang pasar yang sangat
besar, tetapi dilain pihak, dapat menghadapi beberapa
kendala/kelemahan internal. Fokus strategi kebijakan
ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal
sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik.
Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak
menguntungkan, kebijakan tersebut menhadapi
berbagai ancaman dan kelemahan internal.
44
Gambar 2.4 Diagram Analisis SWOT
Penelitian menunjukkan bahwa kinerja kebijakan dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal (Rangkuti, 2005). Kedua faktor tersebut
harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dari analisis secara makro, posisi
permasalahan pengelolaan penambangan rakyat ini ada 4 (empat) strategi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, yaitu:
1) Strategi yang meningkatkan indikator kekuatan (S), dengan cara
memanfaatkan indikator peluang-peluang (O) yang dimiliki, disebut
dengan strategi S-O.
2) Suatu strategi yang menignkatkan indikator kekuatan (S) untuk
meminimalkan ancaman-ancaman (T) yang muncul, dikenal dengan
strategi S-T.
45
3) Strategi yang meminimalkan kelemahan (W) yang ada dengan
memanfaatkan peluang-peluang (O) yang dimiliki, ini disebut dengan
strategi W-O.
4) Strategi mengurangi kelemahan (W) yang dimiliki untuk memperkecil
atau menghilangkan ancaman (T) yang muncul, disebut dengan strategi
W-T.
f. Prinsip Pengelolaan Lingkungan dengan Indikator POAC
Menurut Asdak (2004), pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat
digunakan indikator (Planning – Organizing – Actuating – Controlling).
A. Planning (Perencanaan)
Perencanaan yang disusun dalam rangka pengelolaan lingkungan secara
terpadu terhadap suatu wilayah.
B. Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan pengelolaan
lingkungan suatu wilayah lebih efektif dan efisien, dalam arti masing-
masing pihak yang terlibat dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan
bertanggung jawab.
C. Actuating (Pelaksanaan)
Pada tahap pelaksanaan, program-program yang dirancang harus
menunjukkan adanya:
46
1. Optimasi pemanfaatan sumber daya secara efisien.
2. Dorongan pelaksanaan konservasi sumber daya alam dalam
penambangan.
3. Menigkatnya peran stakeholder dan kelembagaan yang terlibat.
D. Controlling (Pengawasan)
Tujuan pengelolaan lingkungan pada suatu wilayah adalah keberlanjutan
pembangunan (sustainable development) dengan asas keterpaduan,
maka pengendalian pengelolaan lingkungan tersebut meliputi:
1. Pengendalian dan pengawasan melekat, secara bersama (sharing
control) dan kemitraan (parnertshipcontrol).
2. Hasil pemantauan dan evaluasi digunakan untuk peninjauan
kebijakan dan perencanaan program lanjutan.
3. Mendorong partisipasi dan pengawasan publik dalam aktivitas
pemantauan evaluasi.
4. Pengembangan Sistem Informasi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup (SISDA-LH) untuk memperoleh informasi yang
lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam serta
lingkungan hidup melalui invebtarisasi dan evaluasi serta penguatan
sistem informasi.
B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk
menciptakan suana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah
47
mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk
dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3
diharapkan terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan
dapat dicegah dan mengurangi resiko (Abidin Z dkk, 2008).
Menurut undang-undang pokok kesehatan RI no.9 tahun 1960, bab 1 pasal
2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan jasmani,
rohani, kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit,
cacat, dan kelemahan-kelemahan lainya. Keselamatan dan kesehatan kerja
difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan
manusia pada umumnya, hasil karya, dan budidayanya menuju masyarakat
makmur dan sejahtera, sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadi
kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960, 1960).
Dalam pasal 86 UU no.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja
atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakukan yang sesuai dengan harkat
dan martabat serta nilai-nilai agama (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003, 2003). Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik
di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun udara, yang
berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang
48
tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan,
pembuatan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produksi teknis dan
aparat produksi yang mengandung, dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan tetapi pada peleksanaannya
masih banyak kekurangan dan kelemahanya (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1970,1970).
Pada prinsipnya dasar-dasar keselamatan dan kesehatan kerja menekankan
beberapa hal, yaitu setiap pekerja berhak memperoleh jaminan atas keselamatan
kerja agar terhindar dari kecelakaan, setiap orang yang berada ditempat kerja
harus dijamin keselamatannya dan tempat pekerja dijamin dalam keadaan aman
(Rifai M,2009).
1. Tujuan Keselamatan Dan Kasehatan Kerja (K3)
Adapun tujuan dari K3, yaitu :
Melindungi karyawan atau tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup &
meningkatkan produksi atau produktivitas nasional.
Bisa menjamin keselamatan hidup atau kesejahteraan setiap orang yang
berada di tempat kerja.
Sumber-sumber dari produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman
dan efisien.
49
2. Kecelakaan Akibat Kerja
A. Definisi Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubungan
dengan pada suatu pekerjaan di tempat kerja, artinya bahwa kecelakaan
kerja terjadi di sebabkan oleh pekerjaan atau pada saat bekerja yang tidak
terduga, tidak di kehendaki dan dapat menyebabkan kerugian baik jiwa
maupun harta benda.
B. Klasifikasi Dalam Kecelakaan Akibat Kerja
Klasifikasi kecelakaan akibat kerja, karena pada kenyataanya
kecelakaan yang disebabkan akibat kerja biasanya tidak disebabkan hanya
satu faktor saja, tetapi banyak faktor yang memicu atau saling berkaitan
yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan. kecelakaan akibat kerja
diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan, yaitu:
1. Klasifikasi Menurut jenis Kecalakaan akibat Kerja.
a. Terjatuh.
b. Tertimpa benda jatuh.
c. Tertumbuk atau terkena benda ditempat kerja.
d. Terjepit.
e. Gerakan melebihi kemampuan.
f. Pengaruh suhu tinggi.
g. Terkena arus listrik.
h. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi.
50
i. Jenis-jenis lain, termasuk kecelakaan yang datanya tidak cukup
atau kecelakaan lain yang belum termasuk klasifikasi tersebut.
2. Klasifikasi Menurut Penyebab Kecelakaan Akibat Kerja
a. Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
b. Alat angkut dan alat angkat.
c. Peralatan lain, misalnya instalasi pendingin dan alat-alat listrik.
d. Bahan-bahan atau zat-zat radiasi.
e. Lingkungan kerja.
f. Penyebab-penyebab lain yang belum termasuk golongan tidak
memadai.
3. Klasifikasi Menurut Sifat luka atau Kelainan
a. Patah tulang.
b. Dislokasi atau keseleo.
c. Regang otot atau urat.
d. Memar dan luka dalam lain.
e. Amputasi.
f. Luka-luka lain.
g. Luka di permukaan.
h. Gegar dan remuk.
i. Luka bakar.
j. Keracunan-keracunan mendadak (akut).
k. Akibat cuaca.
l. Mati lemas.
51
m. Pengaruh arus listrik.
n. Pengaruh radiasi.
o. Luka-luka yang banyak dan berlainan sifatnya.
4. Klasifikasi Menurut letak Kelainan atau Luka Di Tubuh
a. Kepala
b. Leher
c. Badan
d. Anggota atas
e. Anggota bawah
f. Banyak tempat
g. Kelainan umum
C. Alat Pelindung Diri
1. Pengertian APD
Setiap kegiatan yang bersangkutan dengan faktor manusia, mesin dan
bahan yang melalui tahapan proses memiliki tingkat risiko bahaya dengan
tingkatan risiko berbeda-beda yang akan memungkinkan terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja. Risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut
disebabkan karena adanya sumber-sumber bahaya akibat dari aktivitas kerja di
tempat kerja. Tenaga kerja atau karyawan merupakan aset perusahaan yang sangat
penting dalam proses produksi, sehingga perlu diupayakan agar derajat kesehatan
tenaga kerja selalu dalam keadaan optimal.
52
Rata-rata umumnya di semua tempat kerja selalu terdapat sumber-sumber
bahaya. Hampir tidak ada tempat kerja yang sama sekali bebas dari sumber
bahaya. Sumber-sumber bahaya perlu dikendalikan atau diminimalisasi untuk
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-
sumber bahaya, maka sumber-sumber bahaya tersebut harus ditemukan.
Adapun untuk menemukan dan menentukan lokasi bahaya potensial yang
dapat mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, maka perlu diadakan
identifikasi sumber bahaya potensial yang ada di tempat kerja. Pengendalian
tersebut merupakan faktor-faktor bahaya yang dilakukan untuk meminimalkan
bahkan menghilangkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yaitu dengan
cara pengendalian teknis dan administratif, tetapi banyak perusahaan atau pekerja
tambang yang menolak untuk melaksanakan pengendalian tersebut dengan alasan
biaya yang mahal.
Maka perusahaan tersebut mengupayakan dengan merekomendasikan Alat
Pelindung Diri (APD) sebagai tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja yang timbul ditempat kerja. Penggunaan Alat Pelindung
Diri (APD) sebenarnya merupakan alternatif terakhir bagi pihak perusahaan untuk
melindungi tenaga kerjanya dari faktor dan potensi bahaya.
Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan
oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau seabagian tubuhnya dari kemungkinan
adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan
penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008).
53
Alat Pelindung diri merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan
untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang berfungsi mengisolasi tenaga
kerja dari bahaya di tempat kerja. Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha
teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu di
utamakan. Namun kadangkadang keadaan bahaya masih belum dapat
dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri (Milos
Nedved dan Imamkhasani, 1991).
Alat pelindung haruslah enak dipakai, tidak mengggangu kerja dan
memberikan perlindungan yang efektif. hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemakaian alat pelindung diri, yaitu:
1. Pengujian mutu
Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan
untuk menjamin bahwa alat pelindung diri akan memberikan perlindungan
sesuai dengan yang diharapkan. Semua alat pelindung diri sebelum
dipasarkan harus diuji lebih dahulu mutunya.
2. Pemeliharaan alat pelindung diri
Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai
dengan kondisi tempat kerja, bahaya kerja dan tenaga kerja sendiri agar
benar-benar dapat memberikan perlindungan semaksimal mungkin pada
tenaga kerja.
54
3. Ukuran harus tepat
Adapun untuk memberikan perlindungan yang maksimum pada
tenaga kerja, maka ukuran alat pelindung diri harus tepat. Ukuran yang
tidak tepat akan menimbulkan gangguan pada pemakaiannya.
4. Cara pemakaian yang benar
Sekalipun alat pelindung diri disediakan oleh perusahaan, alat-alat
ini tidak akan memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya
tidak benar. Tenaga kerja harus diberikan pengarahan tentang :
a. Manfaat dari alat pelindung diri yang disediakan dengan potensi bahaya yang
ada.
b. Menjelaskan bahaya potensial yang ada dan akibat yang akan diterima oleh
tenaga kerja jika tidak memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.
c. Cara memakai dan merawat alat pelindung diri secara benar harus dijelaskan
pada tenaga kerja.
d. Perlu pengawasan dan sanksi pada tenaga kerja menggunakan alat pelindung
diri.
e. Pemeliharaan alat pelindung diri harus dipelihara dengan baik agar tidak
menimbulkan kerusakan ataupun penurunan mutu.
f. Penyimpaan alat pelindung diri harus selalu disimpan dalam keadaan bersih
ditempat yang telah tersedia, bebas dari pengaruh kontaminasi.
1. Pemilihan Alat Pelindung Diri
Setiap tempat kerja mempunyai potensi bahaya yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis, bahan dan proses produksi yang dilakukan. Dengan demikian,
55
sebelum melakukan pemilihan alat pelindung diri mana yang tepat digunakan,
diperlukan adanya suatu investarisasi potensi bahaya yang ada di tempat kerja
masing-masing. Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri harus
memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut (Tarwaka, 2008).
1). Aspek Teknis, meliputi :
a. Pemilihan berdasarkan jenis dan bentuknya. Jenis dan bentuk alat
pelindung diri harus disesuaikan dengan bagian tubuh yang dilindungi.
b. Pemilihan berdasarkan mutu atau kualitas. Mutu alat pelindung diri akan
menentukan tingkat keparahan dan suatu kecelakaan dan penyakit akibat
kerja yang mungkin terjadi. Semakin rendah mutu alat pelindung diri,
maka akan semakin tinggi tingkat keparahan atas kecelakaan atau
penyakit akibat kerja yang terjadi. Adapun untuk menetukan mutu suatu
alat pelindung diri dapat dilakukan melalui uji laboratorium untuk
mengetahui pemenuhan terhadap standar.
c. Penentuan jumlah alat pelindung diri. Jumlah yang diperlukan sangat
tergantung dari jumlah tenaga kerja yang terpapar potensi bahaya di
tempat kerja. Idealnya adalah setiap pekerja menggunakan alat pelindung
diri sendiri-sendiri atau tidak dipakai secara bergantian.
d. Teknik penyimpanan dan pemeliharaan. Penyimpanan investasi untuk
penghematan dari pada pemberian alat pelindung diri.
2). Aspek Psikologis
Di samping aspek teknis, maka aspek psikologis yang menyangkut
masalah kenyamanan dalam penggunaan alat pelindung diri juga sangat penting
56
untuk diperhatikan. Timbulnya masalah baru bagi pemakai harus dihilangkan,
seperti terjadinya gangguan terhadap kebebasan gerak pada saat memakai alat
pelindung diri. Penggunaan alat pelindung diri tidak menimbulkan alergi atau
gatal-gatal pada kulit, tenaga kerja tidak malu memakainya karena bentuknya
tidak cukup menarik.
Ketentuan pemilihan alat pelindung diri meliputi (Tarwaka, 2008) :
a. Alat pelindung diri harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat
terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh
tenaga kerja.
b. Berat alat hendaknya seringan mungkin dan alat tersebut tidak
menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan.
c. Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
d. Bentuknya harus cukup menarik.
e. Alat pelindung tahan lama untuk pemakaian yang lama.
f. Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang
dikarenakan bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam
penggunaanya.
g. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada. Alat tersebut tidak
membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakaiannya. Suku cadangnya
mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.
57
j. Kriteria Alat Pelindung Diri
Berdasarkan aspek-aspek tersebut diatas, maka perlu diperhatikan
pula beberapa kriteria dalam pemilihan alat pelindung diri sebagai berikut:
a. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif
kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi ditempat kerja.
b. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin,
nyaman dipakai dan tidak menjadi beban tambahan bagi
pemakainya.
c. Bentuknya cukup menarik, sehingga tenaga kerja tidak malu
memakainya.
d. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena
jenis bahayanya maupun kenyamanan dan pemakiannya. Mudah
untuk dipakai dan dilepas kembali.
e. Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta
gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam wktu yang
cukup lama.
f. Tidak mengurangi persepsi sensoris dalam menerima tanda-tanda
peringatan.
g. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia
dipasaran.
h. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
i. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai dengan standar yang
ditetapkan dan sebagainya.
58
k. Jenis-Jenis Alat Pelindung Diri
Jenis-jenis alat pelindung diri berdasarkan fungsinya terdiri dari
beberapa macam. Alat pelindung diri yang digunakan tenaga kerja sesuai
dengan bagian tubuh yang dilindungi, antara lain :
1). Alat Pelindung Kepala
Digunakan untuk melindungi rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan
untuk melindungi kepala dari terbentur benda tajam atau keras, bahaya
kejatuhan benda atau terpukul benda yang melayang, percikan bahan kimia
korosif, panas panas sinar matahari.
2). Alat Pelindung Mata
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi mata dari percikan
bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara,
gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang
elektronik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras.
3). Alat Pelindung Telinga
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk mengurangi intensitas yang
masuk kedalam telinga.
4). Alat Pelindung Pernafasan
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari
resiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi
atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilhan terhadap suatu
alat pelindung pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi tentang
59
potensi bahaya atau kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja. Hal-hal
yang perlu diketahui antara lain.
5). Alat Pelindung Tangan
Digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari dari benda
tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus
listrik. Sarung tangan terbuat karet untuk melindungi kontaminasi terhadap
bahan kimia dan arus listrik; sarung tangan dari kain/katun untuk melindungi
kontak dengan panas dan dingin.
6). Alat Pelindung Kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda
keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak dengan
arus listrik.
7). Pakaian Pelindung
Digunakan untuk melindungi seluruh atau bagian tubuh dari percikan api,
suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia. Pakaian pelindung dapat berbentuk
apron yang menutupi sebagian tubuh pemakainya yaitu mulai daerah dada
sampai lulut atau overall yaitu menutupi suluruh bagian tubuh. Apron dapat
terbuat dari kain dril, kulit, plastik PVC/polyethyline, karet, asbes atau kain
yang dilapisi alumunium. Apron tidak boleh digunakan di tempat-tempat kerja
dimana terdapat
mesin-mesin yang berputar.
60
8). Sabuk Pengaman Keselamatan
Digunakan untuk melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh dari
ketinggian, seperti pekerjaan mendaki, memanjat dan pada pekerjaan kontruksi
bangunan (Tarwaka, 2008).
l. Kebijakan Tentang APD
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108
menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama”. Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap pekerja akan bahaya
khususnya pada saat melaksanakan kegiatan/proses di tempat kerja perlu
dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu upaya perlindungan
terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan alat pelindung diri
(APD).
Penggunaan APD di tempat kerja sendiri telah diatur melalui Undang-undang
No. 1 Tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD adalah
antara lain :
a. Pasal 3 ayat 1 butir f menyatakan bahwa salah satu syarat-syarat
keselamatan kerja adalah dengan cara memberikan alat pelindung diri
(APD) pada pekerja.
61
b. Pasal 9 ayat 1 butir c menyatakan bahwa pengurus (perusahaan)
diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja baru
tentang alat-alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
c. Pasal 12 butir b menyatakan bahwa tenaga kerja diwajibkan untuk
memakai alat pelindung diri (APD).
d. Pasal 12 butir e menyatakan bahwa pekerja boleh mengatakan keberatan
apabila alat pelindung diri yang diberikan diragukan tingkat keamanannya.
e. Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki suatu tempat
kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan
memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.
f. Pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan
untukm mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri
yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
Peraturan lain yang mengatur penggunaan APD adalah Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01/Men/1981, disebutkan dalam pasal 4
ayat 3, bahwa “pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat
perlindungan diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada
dibawah pimpinannya untuk mencegah penyakit akibat kerja”.
Begitu pula dalam pasal 5 ayat 2 disbutkan bahwa “tenaga kerja harus
memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit
62
akibat kerja”. Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan
dengan detail dalam bentuk peraturan-peraturan.
Kepastian hukum yang kuat akan memberikan kemantapan dalam
pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan peringatan tidak dihiraukan maka
perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam hal pemberian sanksi. Maka
peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan upaya yang dilakukan
dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di sebuah perusahaan.
Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah
ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja
terutama dalam penggunaan APD. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pudjowati pada tahun 1998 dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan
yang bermakna antara proporsi yang menyatakan ada kebijakan dengan yang
menyatakan tidak ada kebijakan dalam pemakaian APD.
Menurut pendapatnya bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pihak manajemen
terkesan sebagai suatu hal yang tidak banyak memberikan motivasi positif kepada
pekerja, padahal motivasi ini sangat diperlukan agar para pekerja lebih peduli lagi
terhadap pentingnya penggunaan APD. Menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sumbung pada tahun 2000 dikatakan bahwa secara statistik variabel
kebijakan terbukti mempunyai hubungan bermakna terhadap penggunaan APD.
Didalam hal kebijakan, semua responden mengetahui adanya peraturan
tentang diberlakukannya penggunaan APD. Pekerja juga mengetahui jika mereka
melanggar peraturan, maka mereka akan mendapatkan sanksi dari perusahaan.
Namun sanksi yang ada tidak jalan sebagaimana mestinya, juga tidak ada
63
penghargaan bagi yang memenuhi peraturan khususnya yang bersifat individual
sehingga tidak memberikan dorongan kepada pekerja untuk lebih peduli terhadap
penggunaan APD.
D. Kebisingan
1. Pengertian kebisingan
Beberapa ahli mendefinisikan bising secara subyektif sebagai bunyi yang
tidak diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Secara obyektif bising terdiri
atas getaran bunyi kompleks yang terdiri atas berbagai frekuensi dan amplitudo,
baik yang getarannya bersifat periodik maupun nonperiodik (Jenny.
Bashirudin,2009). Menurut Kepmenaker No. Kep-51/Men/1999, kebisingan
adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses
produksi dan alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: Kep-
51/MEN/1999,1999). Bising mempunyai suatu frekuensi atau jumlah getar per
detik yang dituliskan dalam Hertz, dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam
desibel (dB). Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap manusia, bising mempunyai
satuan waktu atau lama pajanan yang idnyatakan dalam jam per hari atau jam per
minggu (Jenny. Bashirudin,2009).
Negara telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan untuk
menanggulangi kebisingan di suatu industri atau pabrik. NAB kebisingan di
tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata – rata
yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya
64
dengar yang menetap untuk waktu kerja terus – menerus tidak lebih dari 8 jam
sehari dan 40 jam seminggu. Berikut ini batas waktu pemaparan kebisingan per
hari yang direkomendasikan oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor kep 51/MEN/1999 (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: Kep-
51/MEN/1999,1999).
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Waktu Pemaparan
per Hari
Intensitas Kebisingan
dalam dB (A)
8
Jam
85
4 88
2 91
1 94
30
Menit
97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12
Detik
115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
65
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Sumber : Keputusan Menteri Tenaga Kerja no 51/MEN/1999
2. Jenis – jenis Kebisigan
Jenis kebisingan yang sering ditemukan antara lain (Nadiroh M.H, 2011):
a. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini
relatif tetp dala batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut –
turut. Misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar.
b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini
juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja
(pada frekuensi 500, 11000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji sekuler dan
katup gas.
c. Bising terputus – putus (intermitten). Bising disini tidak terjadi secara terus
– menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu litas dan
kebisingan di lapangan kerja.
d. Bising Implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi
40 dB dalam waktu yang sangat cepat dan biasanya mengejutkan
pendengaran. Misalnya pendengaran, suara ledakan mercon, meriam.
66
e. Bising impusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini
terjadi berulang – ulang. Misalnya mesin tempa.
3. Sumber Kebisingan
Sumber kebisingan secara global dapat dibedakan, yaitu kebisingan yang
ditimbulkan industri baik ringan maupun berat dan bising yang ditimbulkan oleh
kemajuan transportasi (Yustinus SB, 2008). Di tempat kerja, sumber kebisingan
berasal dari peralatan dan mesin-mesin. Peralatan dan mesin-mesin dapat
menimbulkan kebisingan karena (Huboyo H.S, 2008):
a. Mengoperasikan mesin–mesin produksi yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering menoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup
tinggi dalam perioe operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi sekedarnya. Misalnya
mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi atau perubahan atau pergantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengidahkan kaidah-kaidah
keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin
tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat
(terbalik atau tidak rapat), terutama pada bagian penghubung antara modul
mesin (bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya.
67
4. Dampak Kebisingan terhadap Kesehatan
Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan yang dapat
dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut (Jenny,2009; Novi A,2004;
Ikron I Made Djaja,2007):
a. Gangguan fisiologis. Gangguan fisiologis adalah gangguan yang mula-
mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara
fisiologis dapat terganggu. Pada berbagai penyelidikan ditemukan bahwa
pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi fisiologis
seperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur, dan
penyempitan pembuluh darah.
b. Gangguan psikologis.Perubahan emosional sebagai ekspresi akan
kebisingan berupa rasa jengkel atau rasa terganggu yang dapat mengurangi
daya kerja baik fisik maupun mental berupa gangguan komunikasi
maupun penurunan ketajaman pikiran.
c. Gangguan pendengaran. Penyakit akibat kerja yang sering dijumpai di
banyak pekerja industri terutama yang belum menerapkan sistem
perlindungan pendengaran yang baik.
d. Gangguan pola tidur. Kebisingan dapat mengganggu tidur dalam hal
kelelapan, kontinuitas, dan lama tidur. Seseorang yang sedang tidak bisa
tidur atau sudah tidur tetapi belum terlelap tiba-tiba ada gangguan suara
yang akan mengganggu tidurnya, maka orang tersebut mudah marah atau
tersinggung.
68
5. Pengendalian Kebisingan
Pengendalian kebisingan meliputi dua kelompok, yaitu (Ada,2008;Huboyo
H.S,2008; Laras DP,2011) :
a. Pengendalian secara teknis
Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising,
media yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja.
Pengendalian bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang
sangat efektif dan hendaknya dilakukan pada sumber bising yang paling
tinggi.
b. Pengendalian secara administrasi
Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar
oleh kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang
lebih rendah, pelatihan bagi pekerja terhadap bahaya kebisingan dan
mengatur waktu istirahat. Pengaturan waktu istirahat berdasarkan
keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999 tentang nilai ambang
batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang diperkenankan
ditampilkan dalam tabel 2.2 (Mallapiang F,2008).
No
Pengaturan waktu kerja
setiap jam
ISSB (C⁰)
Beban Kerja
Waktu
Kerja
Waktu
Istirahat Ringan Sedang Berat
1 Bekerja - 30 26,7 25
69
terus -
menerus (8
jam/hari)
2 75% 25% 30,6 28 25,9
3 50% 50% 31,4 29,4 27,9
4 25% 75% 32,2 31,1 30
c. Pemakaian alat pelindung diri
Pemakaian alat pelindung diri untuk mengurangi kebisingan
meliputi ear plugs dan ear muffs. Pengendalian ini tergatung terhadap
pemilihan peralatan yang tepat untuk tingkat kebisingan tertentu,
kelayakan dan cara merawat peralatan.
E. Gangguan Pendengaran
1. Pengertian gangguan pendengaran.
Kerusakan pendengaran karena kebisingan sebenarnya adalah kerusakan
pada indera pendengaran dengan resiko penurunan daya dengar yang akhirnya
dapat menjadi tuli menetap yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu,
menghindari kebisigan yang berlebihan adalah satu-satunya cara yang tepat untuk
mencegah kerusakan pendengaran. Namun dalam sesuatu proses produksi hal ini
tidak dapat dilaksanakan. Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada
karakteristik fisis, waktu berlangsung dan waktu kejadianya. Pengaruh tersebut
70
berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan, dan rasa
aman manusia.
2. Jenis-jenis gangguan pendengaran
Jenis gangguan pendengaran yang di timbulkan kebisingan yaitu :
a. Gangguan pendengaran konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak
dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa
gangguan atau lesi pada kenal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang
telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan tuba aurlitiva.
b. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan jenis ini umumya irreversible karena terdapat masalah di telinga
begian dalam dan saraf pendengaran.
c. Gangguan pendengran campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran
jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula
gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis),
kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural, lalu
kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian
terkena infeksi otitis media, kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama,
misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga
dalam.
71
3. Pemeriksa dan diagnosis gangguan pendengaran
Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu
dipengaruhi suara bisisng disekitarnya. Menurut Guyton dan Hail, cara melakukan
pemeriksaan nya adalah :
a. Tes Rinne
Membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu
telingga responden. Garputala digetarkan, tangkainya diletakan di prosesus
mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 ½
cm. Bila masih terdengar disebut rinne positif. Bila tidak terdengar disebut rinne
negatif.
b. Tes Weber
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Caranya
yaitu garputala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tangah kepala
(di virtex, dahi, pangkal hidung dan di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar
lebih keras pda salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut.
Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras
disebut weber tidak ada lateralisasi.
c. Tes Schwabach
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa
(normal) dengan probandus. Caranya garputala digetarkan, tangkai garputala
diletakkan pada prosesus mastoidus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian
tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoidus telinga pemeriksa
yang pendengaranya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
72
schwabach memendek, bila tidak pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksa
diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus
mastoidus pemeriksa lebih dahulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi
disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-
sama mendengarnya disebut schwabach sama dengan pemeriksa.
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran akibat kebisingan di pengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu :
1. Penggunan Obat–obatan
Penggunan obat –obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui
suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obat-obatan
yangmempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik
aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik, obat obatan tersebut adalah
neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada
komponen akusti.
2. Umur
Pada usia lanjut, sedang sakit atau anak berumur antara 4 sampai 6 tahun,
dipandang lebih sensitif terhadap gangguan kebisingan dibanding kelompok usia
lain. Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat
ngangguan kebisingan dibanding kelompok usia lain. Orang yang berumur lebih
dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising. Pada orang lanjut usia,
73
gangguan pendengaran biasanya disebabkan oleh fungsi organ pendengaran yang
menurun ataau disebut presbiakusis (sekitar 1,8-5%).
3. Penyakit
1. Otitis Media
Suatu peradanga telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bekateri
Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influenzae, atau Staphylococcus aureus.
Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang
biasanya dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang
dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa antibiotik.
2. Tinnitus
Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau dua telinga. Tinnitus dapat
timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan
infeksi telinga.
3. Hipertensi
Para penderita penyakit darah tinggi, dimana sel sel pembuluh darah
sekitar tlinga ikut tegang dan mengeras, juga harus selalu memperhatikan
kesehatan telingannya. Sebab, berkurangnya oksigen yang masuk lebih
memudahkan sel sel pendengaran mati.
4. Influenza
Penyakit Influenza dapat menyebabkan gangguan pada telinga karna
lubang yang menghubungkan telinga bagian tengah dan hidung (tuba eustakius)
mengalami peradangan atau bahkan mampet.
74
4. Alat Pelindung Telinga
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam
kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat
kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka
metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa meredukasi
tingkat kebisingan yang masuk ketelinga bagian luar dan bagian tengah sebelum
masuk ke telinga bagian dalam.
5. Ruangan Tempat Pengukuran
Pemerikasaan harus dilakukan dalam ruangan kedap suara atau ditempat
yang sunyi dengan intensitas suara yang sesuai dengan persyaratan, yaitu latar
belakang kebisingan tidak lebih dari 40 dB.
6. Jenis Kebisingan
Kebisingan bernada tinggi lebih menggangu daripada kebisingan bernada
rendah, lebih lebih yang terputus putus atauyang datangnya secara tiba tiba dan
tidak terduga. Kebisingan impulsif yang berintensitas tinggi dapat menyebabkan
rusaknya alat pendengar. Kerusakan dapat terjadi pada gendang pendengaran atau
tulang tulang halus di telinga tengah.
7. Masa Kerja
Resiko gangguan pendengaran pada tingkat kebisingan ≤ 75 dB untuk
papran harian selama 8 jam dapat diabaikan, bahkan pada tingkat paparan sampai
80 dBtidak ada peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran. Akibat tetapi
pada 85 dB ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun berkerja, 1% pekerja akan
mengalami gangguan pendengaran (Cholidah, 2005). Salah satu alat pengukur
75
kebisingan adalah Sound Level Meter yaitu alat yang dapat digunakan untuk
mengukur besarnya tekanan suara atau intensitas suara dengan lokasi tetap atau
waktu pengukuran tertentu. Alat itu dapat mengukur kebisingan antara 30-130 dB
dan frekuensi 20-20.000 Hz. Keras dan intensitas kebisingan dinyatakan dalam
desibel (dB) (Novi A, 2004).
Kebisingan ditempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan
gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja dangan lama
papran dan masa kerja lama. Pada masa kerja selama 5 tahun bekerja, 1% pekerja
akan mengalami gangguan pendengaran (Cholidah, 2005).
Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan deteksi dini untuk
pencegahan karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup
besar. Pemerikasaan gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat,
dan hati hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan
kompensasi kepada tenaga kerja (Novi A, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Laras Dyah Permaningtyas (2011) pada
pekerja home industry di kelurahan Purbalingga Lor bahwa kejadian Noise
Induced Hearing Loss (NIHL) lebih banyak diderita oleh pekerja yang memiliki
lama masa kerja lebih dari 10 tahun dibandingkan dengan yang kurang dari 10
tahun
(Laras DP, 2011).
76
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan, dalam intensitas
tertentu akan menimbulkan dampak negatif bagi pendengaran baik jangka pendek
maupun dalam jangka panjang (Jenny, 2009). Beerdasarkan hasil observasi, dapat
diketahui bahwa sebagian besar pekerja di pertambangan wilayah tersebut telah
mengalami gangguan fungsi pendengaran. Hal ini apat dilihat dengan adanya
perubahan volume nada bicara sehari – hari dari normal menjadi lebih keras. Akan
tetapi, para pekerja menjadikan hal tersebut menjadi sesuatu hal yang biasa,
karena aktivitas sebagian pekerja menjadikan kebisingan sebagai bagian dari
pekerjaan mereka. Dalam hal ini kebisingan bersumber dari mesin produksi yang
mempunyai intensitas kebisingan lebih dari >85 dB yang dapat menimbulkan
dampak negatif bagi seseorang dilingkungan kerja seperti gangguan pendengaran
(Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999). Gangguan pendengaran adalah
perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat pada kesulitan dalam
melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami pembicaraan
seseorang (Cholidah, 2005). Terpapar kebisingan setelah 5 tahun bekerja, 1%
pekerja akan mengalami gangguan pendengaran. Hal ini perlu upaya
pengendalian agar meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja di
tempat kerja (Cholidah, 2005). Secara ringkas, kerangka konsep penelitian ini
dapat ditunjukkan pada gambar berikut :
77
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Antara Lama
Pemaparan Kebisingan Menurut Masa Kerja Dengan Keluhan
Gangguan Pendengaran Pada Tenaga Kerja Di Pertambangan
Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru.
B. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah ada Hubungan Antara Lama Pemaparan
Kebisingan Menurut Masa Kerja Dengan Keluhan Gangguan Pendengaran Pada
Tenaga Kerja Di Pertambangan Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung
Banjarbaru.
Pekerjaan
Pertambangan
Intan
Bising Pengukuran :
- Sond Level
Meter
Gangguan
Pendengaran
Penerapan K3 Masa Kerja
78
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rencana penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasi analitik dengan
rancangan cross sectional.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah seluruh pekerja di pertambangan intan
cempaka. Pekerja dipertambangan intan cempaka kurang lebih sebanyak 200
pekerja. Sampel dalam penelitian ini yang selanjutnya disebut responden, diambil
dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 25 responden yang
memenuhi kriteria inklusi dengan ciri-ciri antara lain yaitu:
1. umur 20 - 40
2. masa kerja dibagi 2 kelompok. Kelompok 1 (masa kerja baru): ≤ 10 tahun
dan kelompok 2 ( masa kerja lama): ≥ 10 tahun
3. bekerja di lingkunagan kerja dengan tingkat kebisingan > 85dB
selanjutnya perhitungan besar sempel minimal dengan menggunakan rumus
(2):
79
Keterangan:
n=besar sampel
N=populasi
P=estimator proporsi populasi = (0.5)
q=1-p = (0.5)
α=5% (Zα=1,96)
d=penyimpangan derajat ketepatan yang diingankan sebesar 5%
Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah sempel dalam penelitian ini sebesar
32 responden.
C. Instrumen Penelitian
1. Sound Level Meter
Sound level meter Mobile-Cassy 524-004 untuk mengukur tingkat
kebisingan di lingkungan kerja.
2. Garputala
Garputala adalah alat yang berbentuk seperti garpu bergigi dua (atau
berbentuk huruf y) dan beresonansi pada frekuensi tertentu bila dihentakkan pada
suatu benda. Garputala yang digunakan berkekuatan 512 Hz karena tidak terlalu
dipengaruhi suara bising disekitarnya.
3. Lembar Wawancara
Lembar wawancara untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri
dari umur, jenis kelamin, lama paparan dan masa kerja.
80
D. Variabel penelitian
1. Variabel bebas ( variabel independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah masa kerja responden
2. Variabel terikat ( Variabel dependent)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah gangguan pendengaran.
E. Definisi Operasional
1. Lama Kerja
Lama waktu responden dalam melakukan pekerjaanya (dalam tahun) di
lingkungan kerja bising terhitung sejak pertama kali bekerja hingga saat penelitian
dilakukan. Diketehui dari data lembar wawancara dengan skala data ordinal.
Masa kerja ≤ 10 Tahun : Kelompok masa kerja baru
Masa kerja ≥ 10 Tahun : Kelompok masa kerja lama
2. Gangguan Pendengaran
Perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat pada kesulitan dalam
melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam memahami pembicaraan.
Tabel 4.1 Pengukuran Gangguan Pendengaran dengan Garputala
Kategori Tes Schwabach Tes Rinne Tes Weber
Normal
Sama dengan
pemeriksa
Posistif
Tidak ada
Leteralisasi
Gangguan
Pendengaran
Memanjang Negatif/positif
Leteralisasi ke
telinga skit/sehat
81
F. Prosedur Penelitian
Pengumpulan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Persiapan
a. Pembuatan permohonan ijin penelitian di penambangan intan
cempaka.
b. Dilakukan survei pendahuluan berupa observasi awal di penambangan
intan Cempaka.
c. Sebelum penelitian dan pengambilan data terlebih dahulu dilakukan
perkenalan diri serta memberikan penjelasan kepada responden tentang
tujuan dan manfaat penelitian dilakukan.
d. Persiapan alat Sound Level Meter untuk mengukur kebisingan di
penambangan intan Cempaka.
e. Persiapan lembar wawancara yang akan digunakan untuk mengetahui
karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin, lama
paparan dana masa kerja.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan ini dilakukan pengukuran intensitas kebisingan
menggunakan alat Sound Level Meter yang di lakukan pada 7 titik, yaitu terdiri
dari 1 titik pada mesin dumping dan 6 titik lainnya pada sekeliling lubang galian
tambang intan tersebut. Penentuan populasi dan sampel sesuai dengan rancangan
penelitian. Observasi dan wawancara terhadap responden menggunakan lembar
wawancara. Pengukuran secara manual untuk mengetahui gangguan pendengaran
tenaga kerja dengan gerputala 512 Hz. Pengukuran tersebut dilakukan 1 jam
82
setelah pekerja terpapar bising, hal ini apabila pengukuran lebih dari 1-2 jam
maka hilangnya pendengaran tersebut akan sembuh
3. Tahap Pelaporan
Setelah tahap pengumpulan data dilakukan, kemudian data diolah dan
selanjutnya dibuat laporan.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi dilakukan pada saat studi pedahuluan untuk melihat secara
langsung kondisi lingkungan kerja pertambangan intan cempaka kalimantan
selatan.
2. Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dengan menggunakan sound level meter,
sound lever meter mobile-cassy 524-009 untuk melihat hasil intensitas kebisingan
di lingkungan kerja.
3. Lembar Wawancara
Lembar wawancara untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri
dari umur, jenis kelamin, lama paparan, dan masa kerja.
H. Cara Analisis Data
Mengelompokan masa kerja dan hasil pengukuran gangguan pendengaran
tersebut kemudian ditabulasi dan dipersentasikan serta dianalisis secara deskriptif
kemudian disajikan dengan bentuk tabel dan grafik. Analisis data dilakukan
83
komputerisasi menggunakan program SPSS 16. Uji yang digunakan adalah
Fisher’s Exact Test dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat adanya
hubungan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan keluhan
gangguan pendengaran pada tenaga kerja di pertambangan rakyat intan cempaka
kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
I. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pertambangan intan kelurahan sungai Tiung
Kecamatan Cempaka Banjarbaru Kalimantan Selatan pada hari Sabtu 15
November 2014.
84
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Penelitian ini dilakukan terhadap gangguan pendengaran pekerja yang
dihubungakn dengan masa kerja pada pekerja dipertambangan intan. Pekerja yang
dijadikan subjek penelitian ini sebanyak 25 responden. Karakteristik responden
berdasarkan umur dapat dilihat pada gambar 5.1
Gambar 5.1 menunjukan karakteristik responden berdasarkan kelompok
umur yang terbanyak adalah pada usia 26-28 tahun. Pada rentan usia tersebut,
pekerja masih berada dimasa produktif tetapi sudah bekerja separuh waktu
0
1
2
3
4
5
6
20-22 23-25 26-28 29-31 32-34 35-38 38-40
UMUR
Masa Kerja Baru (≤10 Tahun) Masa Kerja Lama (>10 Tahun)
85
ditempat bising, hal tersebut tentunya mempunyai resiko besar untuk
pendengaran.
Pekerja menganggap pekerjaan ini merupakan warisan yang turun –
menurun sehingga setelah selesai sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) bahkan
sekolah dasar (SD) mereka langsung bekerja di pertambangan tersebut dan enggan
untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan yang lain. Pekerja
menyepelekan masalah kesehatan dan keselamatan kerja karena menganggap
mereka masih muda dan kuat sehingga tidak memiliki resiko apapun.
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan alat ukur lembar
wawancara didapatkan hasil penelitian berupa karakteristik responden
berdasarkan kelompok masa kerja. Karakteristik responden berdasarkan masa
kerja dapat dilihat pada gambar 5.2
52
%
48
%
M A S A K E R J A B A R U M A S A K E R J A L A M A
86
gambar 5.2 menunjukan bahwa karakteristik responden berdasarkan masa
kerja baru sebanyak 13 responden (52%) dan masa kerja lama sebanyak 12
responden (46%). Hal ini dikarenakan responden sudah merasa nyaman dan tidak
merasakan efek atau dampak apapun terhadap kesehatan mereka karena mereka
sudah bekerja dari muda, selain itu rumah para pekerja tersebut berada disekitar
tempat pertambangan dan terbiasa dengan suara bising dari mesin sehingga
banyak pekerja disana yang masa kerjanya lebih dari 10 tahun bahkan 20 tahun
lebih.
B. Hasil Pengukuran Kebisingan
Hasil pengukuran menggunakan Sound Level Meter Mobile-Cassy 524-
009 dengan pengambilan sampel sebanyak 7 titik pada lubang galian tambang
seperti yang terlihat pada gambar 5.3 dibawah ini.
Gambar 5.3 Titik Pengambilan Sampel
Mesin dumping
87
Dari pengambilan sampel pada titik – titik yang terlihat pada gambar 5.3
diatas, didapat nilai rata rata kebisingan 98,8 dB (dapat dilihat pada lampiran 5)
dimana lebih dari NAB (>85 dB).
Berdasarkan keputusan menteri tenaga kerja nomor kep-51/MEN/1999
bahwa semakin tinggi paparan kebisingan yang diterima oleh pekerja maka waktu
yang diijinkan untuk menerimanya pun semakin sebentar. Seharusnya waktu
paparan yang boleh diterima pekerja hanya menit tetapi pada kenyataanya
hal ini berbeda jauh dimana waktu paparan pekerja adalah lebih dari 8 jam dalam
sehari (Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999).
C. Hasil Pemeriksaan Garputala Untuk Gangguan Pendengaran
Hasil pemeriksaan menggunakan garputala terbagi menjadi 2 yaitu normal
dan gangguan pendengaran. Katagori gangguan pendengaran responden
berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada gambar 5.3
76%
24%
GangguanPendengaran
Normal
88
berdasarkan gambar 5.4 diketahui dari 25 responden terdapat 19 resonden
(76%) mengalami gangguan pendengaran dan sisanya 6 responden (24%) dengan
pendengaran masih normal. Tingginya intensitas kebisingan ditempat kerja dapat
dipengaruhi oleh umur, riwayat penyakit, masa kerja, jenis kebisingan, dan alat
pelindung diri.
D. Pengaruh Masa Kerja terhadap Kebisingan pada Tenaga Kerja
Hasil pengukuran pendengaran menggunakan garputala pada responden
berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada gambar 5.5
Berdasarkan gambar 5.5 dapat dilihat jumlah pekerja yang termasuk
kategori ada gangguan pendengaran dan pendengaran yang normal berdasarkan
kelompok masa kerjanya. Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap
pendengaran telinga kiri dan kanan para responden pada masa kerja lama (>10
0
2
4
6
8
10
12
14
Masa Kerja Baru Masa Kerja Lama
Normal Gangguan Pendengaran
89
tahun) semuanya mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 12 orang dan
pada kategori masa kerja baru ( tahun) sebanyak 8 orang yang mengalami
gangguan pendengaran.
Hasil uji Fisher’s Exact Test dengan taraf kepercayaan 95% antara masa
kerja terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan didapatkan bahwa nilai
p=0,002 (p>0,01). Uji statistik ini menandakan bahwa hasil uji signifikan secara
statistilk, dengan demikian Hipotesis ditolak dimana ada pengaruh masa kerja
terhadap gangguan pendengaran pekerja di Pertambangan Cempaka.
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan pleh Laras Dyah
Permaningtyas (2011) pada pekerja home industry knalpot di kelurahan
purbalingga lor bahwa kejadian Noise Induced Hearing loss (NIHL) lebih banyak
diderita oleh pekerja yang memiliki lama masa kerja lenih dari 10 tahun.
Didukung juga dengan penelitian Arini pada tenaga kerja unit produksi PT.Kurnia
Jati Utama Semarang (2005) bahwa lama masa kerja merupakan faktor resiko
terhadap kejadian NIHL pada pekerja industry (Laras DP,2011).
Gangguan pendengran akibat kebisingan paling banyak ditemukan adalah
gangguan pendengaran sensorneurial yang bersifat permanen dan tidak dapat
disembuhkan. Gangguan pendengaran ini dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20
tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan bahwa setelah 10-15 tahun setelah
terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya
telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan. Hilangnya
pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat
beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup
90
lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti
sampai terjadi destruksi total organ Corti. (Jenny,2009).
Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi
yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolism
dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut
organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Ini
merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak
disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
audiometri (Jenny,2009) gangguan pendengaran.
Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan
menyebar ke frekwensi percakapan (500-2000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai
merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar percekapan sekitar (Ikron I
Made Djaja,2007).
Semua pekerja dengan masa kerja lama ( tahun) mengalami
gangguan pendengaran rata-rata usia lebih dari 28 tahun bahkan 40 tahun. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jenni B tentang hubungan faktor umur
dengan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan akibat kerja
menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna peningkatan umur usia lebih
dari 35 tahun terhadap gangguan pendengaran dan penelitian oleh Mardji tentang
interaksi faktor individu berumur 40 tahun. Semakin tua seseorang tingkat
kesegaran jasmaninya semakin berkurang karena kondisi fisik menurun sehingga
91
penurunan pendengaran lebih cepat terjadi dibandingkan dengan tenaga kerja
yang muda (Mallapiang F,2008).
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pekerja yang tidak mengetahui
secara pasti masa kerja mereka, karena untuk menhetahui masa kerja tersebut
menggunakan lembar wawancara dan ada beberapa pekerja yang takut untuk dites
pendengaranya dengan menggunakan garputala.
92
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:
1. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja diketahui bahwa masa
kerja baru sebanyak 13 responden (52%) dan masa kerja lama sebanyak
12 (48%) responden.
2. Dari 25 responden terdapat 19 (76%) responden mengalami gangguan
pendengaran dan hanya 6 (24%) responden dengan pendengaran normal.
3. Hasil uji Fisher’s Exact Test dengan taraf kepercayaan 95% bahwa antara
masa kerja terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan didapatkan
p=0,002 dan Ho ditolak yang artinya ada pengaruh, hal ini dikarenakan
bising dengan intensitas tinggi dalam waktu lama akan menyebabkan
robeknya sel-sel rambut organ corti.
B. Saran
1. Sebaiknya di pertambangan Intan Cempakamengadakan penyuluhan
ataupun sosialisasi mengenai bahaya dan dampak dari bahaya terpapar
mesin dumping lebih dari nilai ambang batas maksimal yang telah
ditetapkan.
2. Pemilik Pertambangan Intan beserta pihak terkait bekerjasama untuk
pengadaan alat pelindung diri seperti ear plug untuk meminimalisir bahya
93
gangguan pendengaran yang ditimbulkan serta melakukan pengawasan
secara rutin dan berkala.
3. Peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lanjutan hendaknya
mengkaji tentang apakah masih berpengaruh antara masa kerja terhadap
kebisingan akibat gangguan pendengaran pada pekerja setelah
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ada, Yustinus SB. Kebisingan, pencahayaan, dan getaran ditempat kerja.
Mitra 2008 ; 14(3):282-290.
2. Abdul Halim. 2001. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
3. Abidin Z,Tri Wj,dkk. Hubungan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja
dengan dosis radiasi pada pekerja reaktor kartini. Diajukan pada Seminar
Nasional IV SDM Teknologi Nuklir,25-26 agustus 2008, Yogyakarta.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN,2008.
4. Asdak, C. 2004.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
5. As’ad. Pengelolaan lingkungan pada penambangan rakyat (studi kasus di
penambangan Intan Rakyat di Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru
Kalimantan Selatan). Semarang : Tesis Program Magister Ilmu Kesehatan
Lingkungan Universitas Diponegoro, 2005.
6. BAPPEDA Kota Banjarbaru; BPS Kota Banjarbaru. 2003. Kota Banjarbaru
Dalam Angka. Banjarbaru
7. BAPPEDA Kota Banjarbaru; BPS Kota Banjarbaru. 2003. Kecamatan
Cempaka Dalam Angka. Banjarbaru.
8. Cholidah. 2005. Perbedaan ambang pendengaran tenaga kerja setelah terpapar
kebisingan dan sesudah bekerja pada lingkungan bising Departemen Ring
Frame Unit Spinning I PT. Apac Inti Corpora Bawen. Skripsi. Semarang :
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
9. Devas, Nick dkk. 1989. Keuangan Pemerintahan Daerah Di Indonesia.
Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.
10. Dunn, William. H., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
11. Huboyo H.S. 2008. Analisis sebaran kebisingan fasilitas utility PT. Pertamina
(PERSERO) UP-VI Balongan Indramayu. Jurnal Presipitasi ; 5(2): 1-7
12. Ikron I Made Djaja, Ririn A. 2007. Pengaruh kebisingan lalulintas jalan
terhadap gangguan kesehatan psikologis anak SDN Cipinang Muara
Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur Propinsi DKI Jakarta. Jurnal
Makara Kesehatan ; 11(1): 32-37.
13. Jenny, Bashirudin. 2009. Program konservasi pendengaran pada pekerja yang
terpajan bising industri. Majalah Kedokteran Indonesia ; 58(1): 14-19.
14. Kodoatie, R.J.; Sugiyanto.2002. Banjir ,Beberapa Penyebab dan Metode
Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
15. Keputusan Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nomor: Kep-51/MEN/1999 tentang
nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja. Jakarta: Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
16. Laras DP. 2011. Hubungan lama masa kerja dengan kejadian Noise-Incuded
Hearing Loss pada pekerja Home Industry knalpot di Kelurahan Purbalingga.
Jurnal Mandala of Health ; 5 (3) : 1-5.
17. Mallapiang F. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pendengaran
tenaga kerja akibat bising pada unit produksi PT. Sermani Steel Coorporation
Makasar 2008. Skripsi. Makasar. Universitas Alauddin Makasar.
18. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
19. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta
1981.
20. Nadiroh M.H. 2011. Hubungan paparan kebisingan dengan stres kerja pada
tenaga kerja di bagian weaving PT. Triangga Dewi Surakarta. Skripsi.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
21. Noradzuwa S. 2008. Noise induced hearing loss (NIHL). Jakarta: Makalah
Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Ukrida
Kristen Krida Wacana.
22. Novi A. 2004. Pengaruh kebisingan terhadap kesehatan tenaga kerja. Cermin
Dunia Kedokteran ; 144: 24-28.
23. Rangkuti, F.2005. Analisis SWOT Teknis Pembedah Kasus Bisnis. Gramedia
Press. Jakarta.
24. Rahmi, F. 2005. Analisis SWOT Teknis Pembedah Kasus Bisnis. Gramedia
Press. Jakarta.
25. Rifai M. 2009. Keselamatan dan kesehatan kerja serta pengaruhnya terhadap
kinerja. Jurnal Aplikasi Manajemen ; 7(4): 944-952.
26. Sholihah Q, Sri H,dkk. 2006. Hubungan lama pajanan bunyi mesin kapal
terhadap penurunan nilai ambang dengar pada nelayan Kecamatan Pulau
Laut Utara Kabupaten Kotabaru. Jakarta: Jurnal Berkala Kedokteran ; 5(2):
175-181
27. Sofarini, D. 1999. Laporan Penelitian Skripsi. Upaya Penjernihan Air Limbah
Batubara dengan Perlakuan Eceng Gondok (Eichornia Cressipes) dan Aerasi.
Fakultas Perikanan UNLAM. Banjarbaru.
28. Tangkilisan, H.N.S. 2004. Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup.
YPAPI, Yogyakarta.
29. TKP2LH. 2001. Penelitian Dampak Penambangan di wilayah Kota
Banjarbaru. BAPPEDA. Banjarbaru.
30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan,1960.
31. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan . Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2003.
32. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
1970.
33. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan
34. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, tentang Tata Ruang
35. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
36. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1968, tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
37. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986,
tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis
dan Vital (Golongan A dan B)
38. Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2001, tentang Rencana Umum tata Ruang
Kota (RUTRK) Banjarbaru Tahun 2000-2010
39. Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 05 Tahun 2002, tentang
Pengelolaan Usaha Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (
Golongan A dan B)
40. Nedved, M dan Imamkhasani S. 1991. Dasar-dasar Keselamatan Kerja Bidang
Kimia dan Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta : ILO (International Labour
Organization).
41. ILO. Introduction to Occupational Health and Safety. 2003 International
Labour Office, Pencegahan Kecelakaan, PT. Pustaka Binaman Pressindo,
Jakarta, 1989
42. Suma’mur P.K. 1986. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan kerja.
Haji Masagung,Jakarta.
43. Suma’mur P. K. 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan.
Jakarta : CV Haji Massagung.
44. Suma’mur P. K. 2009. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT
Toko Gunung Agung
45. Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen dan
Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tempat Kerja. Surakarta :
Harapan Press.
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Kebisingan Menggunakan Sound Level Meter
SAMPEL dB
Titik A (Mesin) 114,3
Titik B 92
Titik C 99,3
Titik D 95,4
Titik E 96,2
Titik F 99,6
Titik G 94,7
Rata - rata 98,8
Lampiran 2. Hasil Uji Statistik
WEIGHT
BY Freq .
CROSSTABS
/TABLES=Masa_Kerja BY Hasil_Pengukuran
/FORMAT= AVALUE TABLES
/STATISTIC=CHISQ
/CELLS= COUNT
/COUNT ROUND CELL .
Crosstabs Notes
Output Created 17-DEC-2014 13:08:33
Comments
Input Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight Freq
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 3
Missing Value Handling
Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based on all the cases with valid data in the specified range(s) for all variables in each table.
Syntax CROSSTABS /TABLES=Masa_Kerja BY Hasil_Pengukuran /FORMAT= AVALUE TABLES /STATISTIC=CHISQ /CELLS= COUNT /COUNT ROUND CELL .
Resources Elapsed Time
0:00:00,02
Dimensions Requested 2
Cells Available 174876
Processor Time 0:00:00,02
[DataSet1]
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Masa_Kerja * Hasil_Pengukuran 25 100,0% 0 ,0% 25 100,0%
Masa_Kerja * Hasil_Pengukuran Crosstabulation
Count
Hasil_Pengukuran Total
Gangguan
Pendengaran Normal
Gangguan Pendengaran
Masa_Kerja Masa Kerja Baru 8 5 13
Masa Kerja Lama 0 12 12
Total 8 17 25
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 10,860(b) 1 ,001
Continuity Correction(a)
8,216 1 ,004
Likelihood Ratio 14,020 1 ,000
Fisher's Exact Test ,002 ,001
Linear-by-Linear Association 10,425 1 ,001
N of Valid Cases 25
a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,84. >Warning # 3211
>On at least one case, the value of the weight variable was zero,
negative,
>or missing. Such cases are invisible to statistical procedures
and graphs
>which need positively weighted cases, but remain on the file and
are
>processed by non-statistical facilities such as LIST and SAVE.
Lampiran 3. Dokumentasi
Gambar 1. Mesin yang digunakan di Pertambangan Intan Cempaka
Gambar 2. Kegiatan Pendulangan Intan Cempaka Banjarbaru
Gambar 3. Kegiatan wawancara
Gambar 4. Kegiatan observasi di wilayah Tambang Intan Cempaka
Gambar 5. Pengukuran Kebisingan menggunakan Sound Level Meter