hukum dan peradilan internasional dicky m prasetya
DESCRIPTION
Pelajaran PKnTRANSCRIPT
Hukum dan Peradilan Internasional“Disusun untuk memenuhi salah satu tugas PKn”
Disusun Oleh :
Dicky Murti Prasetya
XI IPA 1 (09)
SMA Negeri 2 Cimahi
Jalan KPAD Sriwijaya IX No. 45A, Kota Cimahi 40524
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan pembuatan kliping ini yang berjudul “Hukum dan Peradilan Internasional”. Tugas ini saya susun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Terimakasih saya ucapkan kepada pihak - pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari bahwa pembuatan kliping ini masih jauh daripada apa yang dikatakan sempurna. Namun, saya berharap kliping ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Segala kritik dan saran yang membangun akan saya terima dengan senang hati.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat, rahmat dan karunia-Nya untuk membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyusun dan menyelesaikan kliping ini. Terimakasih.
Cimahi, Mei 2012
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar .............................................................................................................
Daftar Isi ......................................................................................................................
Bab I ............................................................................................................................
Latar Belakang dan Perkembangan Hukum Internasional
Bab II ...........................................................................................................................
Hukum dan Peradilan Internasional
Bab III ..........................................................................................................................
Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Bab IV ..........................................................................................................................
Sengketa Internasional
Bab V ...........................................................................................................................
Kesimpulan
Daftar Pustaka .............................................................................................................
Bab I
Latar Belakang dan Perkembangan Hukum Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal
eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi
Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius
Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi,
dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang
diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter
Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de
Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations
(Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang
pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia
1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak
saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan,
kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan
derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan
berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
(Phartiana, 2003 ; 41).
Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi
oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran
utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua
sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari
prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang
dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat.
Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam
yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini
adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez
dan Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6).
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur
hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-
negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional
adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan
dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional.
Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du
Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa
hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut
aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard
Zouche dan Emerich de Vattel
Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena
adanya faktor-faktor penunjang, antara lain :
1. Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu
menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya
satu sama lain,
2. Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang
perang, netralitas, peradilan dan arbitrase,
3. Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga
melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang
sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi
dan meningkatnya hubungan antar negara,
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan
dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar
negara di berbagai bidang,
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik
bersifat bilateral, regional maupun bersifat global,
4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti
Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta
Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang.
(Mauna, 2003; 7)
Bab II
Hukum dan Peradilan Internasional
A. Makna Hukum InternasionalHukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja , Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara, antara Negara dengan Negara, dan Negara dengan subyek hukum internasional bukan Negara, atau antar subyek hukum internasional bukan Negara satu sama lain.
Hukum Internasional digolngkan menjadi hukum Internasional Publik dengan hukum perdata internasional. Hukum Internasional Publik atau hukum antar negara, adalah asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang bersifat pidana, sedangkan hukuk perdata internasional atau hukum antar bangsa, yang mengatur masalah perdata lintas Negara (perkawinan antar warga Negara suatu Negara dengan warga Negara lain). Wiryono Prodjodikoro, Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur prthubungan hukum antara berbagai bangsa di berbagai Negara.
J.G.Starke menyatakan, Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum (body of low) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dank arena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar Negara.
B. Pengertian Hukum Internasional
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam
pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam
penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum
internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas
negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah
dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi
batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk
pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai
definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh
Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan
Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan
pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara.
Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan
diri di dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum
yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar
hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas
pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak
memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para
sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh
Charles Cheny Hyde:
“ hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum
yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-
peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu
juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu
dengan lainnya, serta yang juga mencakup:
a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu
dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang
berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi
internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan
antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-
individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek
hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah
masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar
Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan
negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek
hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah
diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari
hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau
pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-
hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip
dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara
tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional,
sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan
para sarjana sebelumnya.
C. VISI & MISI dibentuknya Mahkamah Internasional
Meningkatkan keadilan distributive
Memfasilitasi saksi dan korban
Pencatatan sejarah
Pemaksaan penaatan nila-nilai internasional
Memperkuat resistensi individual
Pendidikan untuk generasi sekarang dan ayang akan datang
Mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM
D. Persamaan dan Perbedaan Hukum Internasional Publik dan Perdata
Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).
E. BENTUK HUKUM INTERNASIONAL
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
a.Hukum Internasional Regional
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
b. Hukum Internasional Khusus
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
F. ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL
Asas – asas hukum Internasional adalah:
1.Asas Teritorial
Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang berada di wilayahnya tersebut berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya.
2.Asas Kebangsaan
Asas ini berdasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya. Menurut asas ini, setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini mempunyai kekuatan ekstritorial, artinya hukum negara tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun ia berada di negara asing.
3.Asas Kepentingan Umum
Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara.
G. SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
a.Negara
Sejak lahirnya hukum Internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum Internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum Internasional pada hakikatnya adalah hukum antar negara.
b. Takhta Suci
Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek hukum Internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu. Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota
c. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum Internasional. Kedudukan PMI sebagai subjek hukum Internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, PMI merupakan subjek hukum Internasional dengan ruang lingkup yang terbatas dan tak penuh.
d. Organisasi Internasional
Kantor Pusat PBB di New York City
Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subjek hukum Internasional pada jaman sekarang sudah tak diragukan lagi. Organisasi Internasional seperti PBB, ILO, dan lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi Internasional. Dengan demikian, PBB dan organisasi Internasional semacam itu merupakan subjek hukum Internasional.
e. Orang Perseorangan (Individu)
Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai subjek hukum Internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian Versailles misalnya, yang mengakhiri Perang Dunia 1 antara Jerman dengan Inggris dan Perancis. Di dalamnya terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional.
f.Pemberontak dan Pihak Dalam Sengketa (Belligerent)
Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Contohnya Gerakan Pembebasan Palestina (PLO).
H. Sumber Hukum Internasional
Istilah sumber hukum Internasional memiliki makna materiil dan formil.
Dalam sumber hukum formal tersebut, ada 4 sumber hukum Internasional yang digunakan oleh Mahkamah Internasional untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya, yaitu:
I. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional, yaitu: teori
Dualisme dan teori Monisme.
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum
nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan
berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan
superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional
dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi
hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka
yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan
hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori
Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum
nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut
teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding
dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus
sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
J. Sistem Peradilan Internasional
Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (bahasa Inggris: International Court of Justice atau ICJ) berkedudukan di Den Haag, Belanda . Mahkamah merupakan badan kehakiman yang terpenting dalam PBB . Dewan keamanan dapat menyerahkan suatu sengketa hukum kepada mahkamah, majelis
umum dan dewan keamanan dapat memohon kepada mahkamah nasihat atas persoalan hukum apa saja dan organ-organ lain dari PBB serta badan-badan khusus apabila pendapat wewenang dari majelis umum dapat meminta nasihat mengenai persoalan-persoalan hukum dalam ruang lingkup kegiatan mereka. Majelis umum telah memberikan wewenang ini kepada dewan ekonomi dan sosial, dewan perwakilan, panitia interim dari majelis umum , dan beberapa badan-badan antar pemerintah.
Sumber-Sumber Hukum & Keanggotaan Dalam Mahkamah Internasional
Sumber-sumber hukum yang digunakan apabila membuat suatu keputusan ialah :
1. konvensi-konvensi internasional untuk menetapkan perkara-perkara yang diakui oleh negara-negara yang sedang berselisih
2. kebiasaan internasional sebagai bukti dari suatu praktik umum yang diterima sebagai hukum
3. azas-azas umum yang diakui oleh negara-negara yang mempunyai peradaban
4. keputusan-keputusan kehakiman dan pendidikan dari publisis-publisis yang paling cakap dari berbagai negara, sebagai cara tambahan untuk menentukan peraturan-peraturan hukum
Mahkamah dapat membuat keputusan “ex aequo et bono” (artinya : sesuai dengan apa yang dianggap adil) apabila pihak-pihak yang bersangkutan setuju…)
Mahkamah terdiri dari lima belas hakim, yang dikenal sebagai ”anggota” mahkamah. Mereka dipilih oleh majelis umum dan dewan keamanan yang mengadakan pemungutan suara secara terpisah. Hakim-hakim dipilih atas dasar kecakapan mereka, bukan atas dasar kebangsaan akan tetapi diusahakan untuk menjamin bahwa sistem-sistem hukum yang terpenting didunia diwakili oleh mahkamah. Tidak ada dua hakim yang menjadi warga negara dari negara yang sama.
Hakim-hakim memegang jabatan selama waktu sembilan tahun dan dapat dipilih kembali mereka tidak dapat menduduki jabatan lain selama masa jabatan mereka. Semua persoalan-persoalan diputuskan menurut suatu kelebihan dari hakim-hakim yang hadir, dan jumlah sembilan merupakan quorumnya. Apabla terjadi seri, maka ketua mahkamah mempunyai suara yang menentukan.
Bab III
Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka
Perserikatan Bangsa-bangsa
1) Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ)
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak pembentukannya telah
memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional sebagai
upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa
juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum acara” bagi
berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta
tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan
hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum
pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak
Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras),
kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara
otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui
pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Mahkamah
Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)
2) Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)
Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei
1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda.
Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang
bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum
humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia.
Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh
melakukan pelanggaran berat dan 20 diantaranya telah ditahan.
Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga dikeluarkan terhadap pemimpin-
pemimpin terkenal, seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal
Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), yang dituduh telah
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum
perang. (Mauna, 2003; 264)
3) Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda)
Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk
meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal
sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah
mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul
Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed
Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) .
Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut
mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai
sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.
Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas
Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan
mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di
zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975
sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan
Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk
membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui
memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)
Bab IV
Sengketa Internasional
A. PENYEBAB SENGKETA INTERNASIONAL
Sengketa Internasional adalah perselisihan yang terjadi antara negera dengan negara, negara dengan individu-individu, atau negara degan badan-badan/lembaga yang menjadi subjek hukum Internasional.
Sebab terjadinya sengeketa Internasional, yaitu:
B. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan
kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti
tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-
Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada
tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat
(3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat
dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua
negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai
sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan
keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian
melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada
kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui
pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:
1) Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase
internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada
arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi
keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-
pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-
batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang
bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
1. Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses
arbitrase, dan
2. Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan
Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus,
karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan
arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama
antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan
komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan
oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara
lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim”
atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus
para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.
Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis
(kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan
arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4. . batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan
untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990,
214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa
institusi arbitrase internasional, antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of
Arbitration of the International Chamber of Commerce)
yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Internasional (International Centre for Settlement of
Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington
DC;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional
Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala
Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional
Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo,
Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2) Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong
masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan
yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi,
wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas
dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk
menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional.
Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah
Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi
Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah
berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia
mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk
Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah,
kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ
hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional
yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari
Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor
dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan
Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
1. melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas
perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang
bersengketa;
2. memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang
bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat
bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai
“Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai
kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai
oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang
bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang
diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para
ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber
hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan
keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan
kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan
jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan
Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya
mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara
mayoritas.Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua
jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak
secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang
lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar
Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan
memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
C. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA PAKSA/KEKERASAN
Perang atau Tindakan Bersenjata Non-Perang Perang dan tindakan bersenjata non-perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian suatu sengketa internasional. Retorsi Adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas yang dilkukan oleh negara lain. Tindakan-Tindakan Pembalasan
Pembalasan adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan oleh suatu negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara lain. Blokade Secara Damai Adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Intervensi Adalah tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Latar Belakang Hukum dan Peradilan Internasional
Bab V
Kesimpulan
Jadi, hubungan internasional merupakan aturan-aturan yang telah di
ciptakan bersama negara-negara anggota yang melintasi batas-batas
negara. Peradilan Internasional dilaksanakan oleh Mahkamah
Internasional yang merupakan salah satu organ perlengkapan PBB.
Sumber Hukum Internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh
Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan
internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi sumber
hukum dalam arti materil dan formal. Dalam arti materil, adalah sumber
hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu
negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana
untuk mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum
internasional. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem hukum
dan peradilan internasional itu sangat diperlukan oleh suatu negara untuk
tetap mempertahankan eksistensi dan kemakmuran suatu negara.
Seharusnya kita dapat menghargai dan ikut mengerti tentang
masalah sengketa internasional dengan cara memenuhi dan mematuhi
kewajiban perjanjian internasional.
Daftar Pustaka
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai,
Alumni, Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth
Edition, Clarendon Press,
Oxford
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional,
Yogyakarta : Penerbit
Liberty.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional,
Cetakan ke-9, Putra Abardin
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan
Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit
Mandar maju, Bandung
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-
Sumber Hukum
Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung
www.google.com