hukum perbankan dan kebanksentralan - bi.go.id · menurut undang-undang nomor 23 tahun 1999 jo ......
TRANSCRIPT
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 8, Nomor 3, September 2010
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan
dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan
Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan
Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH)
Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
Volume 8, Nomor 3, September 2010
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso
Pemimpin RedaksiAgus Santoso
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiZulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih,
Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.
Redaksi PelaksanaArief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan,
Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH, LLMDr. Inosentius Samsul, SH, LLMDr. Lastuti Abubakar, SH, MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Direktorat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 3, Edisi September 2010 kembali hadir dan menyapa
pembaca sekalian.
Pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) sebagai amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia harus dilakukan
untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi guna mewujudkan
perekonomian yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus dilihat
apakah dapat meningkatkan fungsi administratif kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa keuangan agar kebijakan
yang telah ditetapkan dilaksanakan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan bebas dari berbagai penyimpangan
atau penyelewengan dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU berkaitan LPJK tidak boleh dilihat terpisah dari
UU lain yang terkait. Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU mengenai LPJK hendaknya secara sungguh mempertimbangkan
best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan.
Menyoroti hal tersebut, dalam edisi kali ini Buletin akan khusus menghadirkan artikel berkaitan dengan rencana
pembentukan OJK, yaitu: Implikasi Landasan Hukum, Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian
Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, yang ditulis oleh Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM;
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peran dan Fungsi Bank Indonesia di
Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM;
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Oleh Dr. Wimboh Santoso, Kepala Biro Stabilitas Sistem
Keuangan Bank Indonesia; Independensi Bank Indonesia dan Peran Baru Dalam Stabilitas Sistem Keuangan, oleh Drs. Ec.
Abdul Mongid, MA; serta Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, oleh Oka Mahendra, SH;
Sementara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan pula seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia: RUU OJK, Adakah Solusi ?
Selanjutnya sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku: Konstitusi Ekonomi.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai dengan
Oktober 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah
pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, September 2010
Redaksi
Dari Meja Redaksi
i
Halaman
Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan
dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI....................................................................... 1 - 9
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan
Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan................................... 11 - 16
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan........................................................................ 17 - 22
Dr. Wimboh Santoso
(Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia)
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan........................................... 23 - 36
Drs. Ec. Abdul Mongid, MA
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan................................................................................. 37 - 43
Oka Mahendra, SH
Resensi Buku:
Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).......................................................................................... 45 - 46
Veri Dhyatmika Adhiraharja
Cakrawala Hukum:
Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?................ 47 - 49
Redaksi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010...................... 51 -53
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010................................................................................ 55 - 70
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 8, Nomor 3, September 2010
iii
A. LANDASAN DAN STATUS BANK INDONESIA
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank
Indonesia (UUBI), Bank Indonesia adalah Lembaga
Negara yang independen. Sebagai Lembaga Negara
yang independen, Pemerintah dan/atau pihak-pihak
lainnya dilarang melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI).
Bahkan ditegaskan di dalam UUBI, BI wajib menolak
dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan
dari pihak-pihak yang disebutkan di muka.
Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun
terhadap kewajiban untuk menolak campur tangan,
diancam penjara minimal 2 (dua) tahun, maksimal 5 (lima)
tahun serta denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 5
miliar. Demikian terangkum dalam Pasal 67 dan 68 UUBI.
B. INDEPENDENSI BI
Sebagai Lembaga Negara yang indepedenden, BI adalah
badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh
melalui penetapan Undang-Undang (UU). BI adalah
badan hukum publik, dengan kriteria: cara pendiriannya
dilakukan penguasa negara berdasarkan UU, pelaksanaan
tugasnya berhubungan dengan publik, diberi wewenang
membuat peraturan sendiri yang mengikat masyarakat.
Saat ini produk peraturan tersebut dituangkan dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Adapun wewenang yang diberikan oleh UU kepada BI
antara lain wewenang mengelola kekayaan sendiri
terlepas dari APBN. Independensi BI memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada BI dengan
harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas
pelaksanaan tugasnya. Namun di sisi lain, independensi
menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi BI tampaknya
masih merupakan bagian dari Eksekutif. Konsekuensinya
Bank Indonesia dituntut transaparan dan memenuhi
prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan
kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh
masyarakat.
Apakah sebenarnya hakekat independen itu, apakah
independen berarti BI steril sama sekali dari segala bentuk
intervensi?. Adakah batas-batas toleransinya?. Secara
teoritis, pada hakekatnya terminologi “independensi“
itu mempunyai cakupan yang sangat luas.
Independence: “the state or condition of being free from
dependence, subjection or control. Political independence
is the attribute of a nation or state which is enterely
autonomous and not subject to government, control or
dictation of any exterior power“. Independence: “not
depending on autority, self governing, not depend on
something for validity or efficiency, not supported by
public fund (for institution), unwilling to be under
obligation to others, independent of any political aprty
(for politician) (Riyanto Sastroadmodjo, 1999).
Jika dikaitkan dengan Independensi Bank Sentral, maka
independensi Bank Sentral seperti BI terkait hal-hal
sebagai berikut: Suatu Bank Sentral yang efektif harus
kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam
operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan
serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen
di lingkungan pemerintahan suatu Negara, Bank Sentral
seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau
kewenangan judgment dalam kaitannya dengan
persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak
dalam arti berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh
kebijakan perekonomian suatu negara (Paul A Volcker,
Ex Chairman Board of Governors FRS US 79-87).
Itulah kualifikasi dan persyaratan suatu Bank Sentral
yang independence. Dalam praktek negara maju,
1
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RIOleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
kualifikasi dan persyaratan itu biasanya melekat dan
tercermin di dalam UU yang mengaturnya. Independen
diperlukan untuk pengembangan institusi dan
mempertahankan jati dirinya secara bertanggung jawab.
Independen sering terkait dengan prinsip politik yang
dianut suatu pemerintah, secara historical maupun
tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan
pemerintah.
Di Amerika Serikat (United State/US ) pemberian status
independen Federal Reserve ( FDR ) atau Bank Sentral
Amerika terutama untuk tujuan agar FDR dapat
mengatur kebijakan moneter US secara bebas dari
“political presures“ (Lash, 1987: 28)
C. KEMANDIRIAN BI
Sebagai Lembaga Negara yang independen, maka BI
dituntut mempunyai kemandirian terutama dalam 4
(empat) hal, yaitu: kemandirian institusi, kemandirian
fungsi, kemandirian keuangan dan kemandirian
organisasi. Masing-masing kemandirian tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.
1. Kemandirian Institusi
Kemandirian Institusi diartikan sebagai status BI
secara institusi terpisah dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif. BI diberi kewenangan menetapkan
kebijakan moneter secara independen dan bebas
dari campur tangan pemerintah. Demikian
ditegaskan di dalam Pasal 4 Ayat (2) UUBI.
Secara struktural kedudukan BI tidak berada di bawah
atau di dalam Kabinet Pemerintah, namun mempunyai
kedudukan sejajar dengan Kabinet Pemerintah.
Kemandirian dalam hal menetapkan kebijakan
moneter merupakan syarat kemandirian institusi.
Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 8 huruf a
UUBI: BI berwenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran serta
mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan ini
tidak dapat diintervensi Pemerintah. Demikian
ditentukan di dalam Pasal 9 Ayat (1) UUBI.
2. Kemandirian Fungsi
Suatu Bank Sentral dapat dinilai mempunyai
kemandirian fungsi bila ia mempunyai kebebasan
dalam menggunakan instrumen-instrumen kebijakan
moneter seperti: penyesuaian tingkat suku bunga
dan operasi pasar terbuka (OPT) dan pemberian
tingkat diskonto atau pengautan tentang kebijakan
perkreditan.
Dalam konteks ini kemandirian BI dapat diartikan
sebagai kemandirian instrumen yang menggambarkan
bahwa suatu bank sentral memiliki kebebasan memilih
instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuan
dan sasaran moneter yang telah ditetapkan.
Hasil dari pelaksanaan kewenangan tersebut di atas,
sekalipun dengan biaya besar, misalnya dalam hal
pelaksanaan OPT, tidak tepat jika dinilai atau dievaluasi
dengan tolak ukur out put yang dicapainya. Bisa jadi
tidak sebanding, namun itulah keputusan yang
diambil oleh BI yang tidak boleh diintervensi.
Bank Sentral yang independen harus memiliki
kebebasan untuk memutuskan kapan dan dalam
hal apa saja bantuan kredit atau fasilitas kredit
likuiditas dapat diberikan. Pasal 10 UUBI mengatakan:
”BI dalam mengendalikan kebijakan moneter
berwenang menggunakan instrumen-instrumen
moneter yang telah ditetapkan dalam UU tanpa
meminta atau memperoleh persetujuan dari
Pemerintah”. Oleh sebab itu, jika kemandirian fungsi
ini dikaitkan dengan kebijakan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) misalnya, seharusnya kebijakan
seperti KLBI ini tidak boleh ditugaskan kepada BI,
karena akan mengganggu kemandirian fungsi BI.
KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit
program pemerintah. KLBI dikucurkan terutama
untuk membiayai pengadaan pangan dan kegiatan
yang menyentuh secara langsung kepada usaha
kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Diantaranya untuk Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Pemilikan Rumah Sederhana dan Sangat Sederhana
(KPRS/SS), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk
anggotanya (KKPA), Kredit Kepada Koperasi (KKOP),
Kredit Modal Kerja Kepada BPR (KMK BPR), Kredit
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) (BI, 2002:
20). Oleh sebab itu tepat jika kemudian oleh UUBI
di dalam Pasal 56 KLBI telah dihapuskan, karena
dipandang mengganggu konsep kemandirian BI.
Kalau secara kaedah fungsi BI sebagai Lembaga
Negara yang mandiri, independen telah diatur secara
tegas dalam UU, maka seharusnya perdebatan siapa
yang harus bertanggung jawab atas kebijakan BLBI
untuk mengatasi krisis tahun 1997 yang lalu tidak
perlu terjadi. Sebagaimana diketahui BI adalah institusi
yang paling disorot dalam kasus BLBI tersebut. Saat
itu terjadi perdebatan yang berkepanjangan di Panja
BLBI seputar apakah BI termasuk dalam jajaran
pemerintahan/Kabinet atau tidak (Mintoraharjo,
2001: 20). Ada satu pandangan yang mengatakan
BI termasuk dalam jajaran kabinet. Argumennya
adalah dari segi keuangan dapat dipisahkan, namun
dalam kebijakan yang dilakukan BI merupakan
pelaksanaan dari kebijakan pemerintah. Pada saat
itu BI tidak hanya berfungsi sebagai Bank Sentral,
tapi sekaligus sebagai agent of development yang
punya kaitan dengan kebijakan perekonomian
pemerintah secara keseluruhan. Pandangan lain
mengatakan tidak demikian. BI adalah lembaga yang
independen, lembaga yang otonom berdasarkan UU
No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral waktu itu.
Perbedaan pandangan demikian seharusnya tidak
perlu terjadi jika semua pihak benar-benar memahami
fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara yang
independen, mandiri dari segi fungsinya, sebagaimana
kami kemukakan di atas.
3. Kemandirian Keuangan
Mengacu kepada peran Pemerintah dan DPR
terhadap anggaran bank sentral, maka diperlukan
adanya kemandirian keuangan pada BI. Mengapa
demikian, karena bila dalam masalah keuangan
terdapat kontrol dari Pemerintah, hal ini akan berarti
bahwa BI tidak lagi bisa memainkan peran
independensinya secara optimal. Dengan adanya
kontrol pemerintah akan sangat rentan intervensi
atau pressure politik, khususnya berkaitan dengan
kebijakan moneter. Secara teoritis mengacu pada
difinisi independen sebagaimana dikemukakan di
atas, intervensi maupun pressure politik tersebut
tidak boleh terjadi pada Bank Sentral seperti BI. Oleh
karena itu UUBI mengatur bahwa anggaran BI adalah
mandiri terpisah dari Pemerintah. Terpisah di sini
mengandung arti “lepas“ sama sekali dari induknya.
Pemerintah tidak menganggarkan kebutuhan
keuangan BI. Oleh sebab itulah, maka Pasal 60 UUBI
mengatakan: “anggaran BI ditetapkan oleh Dewan
Gubernur. Tidak perlu approval DPR, tapi perlu
diinformasikan kepada DPR, sebagai bentuk kontrol
tidak langsung.
4. Kemandirian Organisasi
Kemandirian organisasi diperlukan oleh BI karena
sangat erat kaitannya dengan komposisi dari organ
badan hukum BI dan sistem pengangkatan dan
pemberhentian pegawai BI sebagai bank sentral.
Pihak lain dilarang melakukan campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas BI, sebaliknya BI wajib
menolak dan atau mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak luar. Setiap pihak yang
melakukan campur tangan dikenai sanksi yang
tegas. Demikian dalam disimpulkan dari ketentuan
Pasal 67 jo Pasal 9 UUBI.
Belakangan ini independensi dan kemandirian serta
kredibilitas BI diuji, karena ditengarai di dalam
pelaksanaan BI sebagai Lembaga Negara yang
independen, ternyata BI belum mampu menempatkan
dirinya sebagaimaan dikehendaki oleh UUBI. Netralitas
BI sebagai bank sentral ternyata belum sepenuhnya
benar-benar mampu mandiri. Intervensi dan pressure
politik masih sering mempengaruhi kinerja dan kebijakan
yang dijalankan oleh BI sebagai Lembaga Negara yang
independen. Akibatnya begitu BI menjalankan tugas-
tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh UUBI, banyak
pihak kemudian mempermasalahkan landasan hukum
kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas BI, status
dan kewenangan BI. Tidak mustahil pula kemudian
banyak kalangan pemerhati BI yang juga menengarai
intervensi dan pressure politik tersebut sebagai upaya
lain yang bertujuan merongrong pencapaian kinerja
dan pelaksanaan tugas BI.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
D. POSISI BI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Sumber : Diolah kembali dari BI dan Rahbini, 2000.
Sumber : Rahbini, 2000 : 166.
4
Badan Pemeriksa Keuangan
DewanPerwakilan
Rakyat
MahkamahAgung
DewanPertimbangan
Agung
Presiden
KepalaNegara
KepalaPemerintahan
DepartemenBank Indonesia
Lembaga Negara yang Independen dan Badan Hukum
Publik(Informasi Tahunan)
Mengambil Sumpah dan Janji Anggota Dewan Gubernur
UU BI (UUD 45)Pimpinan BI (UUBI)Informasi
Tahunan Tertulis
Informasi TertulisTriwulan/sewaktu-waktu
LembagaTinggi
Negara
Memeriksa Laporan
Keuangan BI
Lembaga Negara(UU No. 23/1999
joUU No.3/04
Menyampaikan Laporan Keuangan BI yang telah diperiksa
MPR Lembaga Tertinggi Negara
DPR DPA BPK MA
1. Menetapkan dan MelaksanakanKebijakan Moneter:a. Inflasib. Nilai Tukar
2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
3. Mengatur dan Mengawasi Bank
MPR
Bank Indonesia
PeraturanBank Indonesia
PeraturanPemerintah
Struktur Bank IndonesiaDalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Presiden
KepalaNegara
KepalaPemerintahan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
5
Status BI yang independen dan mandiri sebagaimana
diuraikan di atas, secara legal berdasarkan UUBI, dapat
dipelajari bahwa posisi BI dalam system ketatanegaraan
Indonesia terlihat tidak sejajar dengan DPR, Mahkamah
Agung, BPK maupun Presiden sebagai Lembaga Tertinggi
Negara ( Rahbini, 2000 : 167 ). Posisi BI juga tidak sejajar
atau sederajat dengan Depertemen atau Kementeraian
Departemen, karena posisi BI berada di luar Pemerintahan
atau Kabinet. Secara legal menurut hemat saya, pendekatan
demikian yang tepat, karena berdasarkan UUBI tegas
dikatakan di dalam Pasal 4 bahwa BI adalah Lembaga
Negara yang independen. BI adalah Lembaga Negara bukan
Lembaga Pemerintah. Pemerintah boleh menyusun
kabinetnya dan setiap saat boleh diganti atau berubah-
ubah dan oleh UU perubahan seperti itu menjadi hak
prerogative Presiden, namun untuk posisi BI berdasarkan
UU tidak perlu harus ikut arus perubahan seperti dalam
sistem kabinet dan/atau pemerintahan.
Di sinilah sebenarnya posisi BI sebagai Bank Sentral yang
tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun, termasuk
Pemerintah. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
BI adalah Lembaga Negara yang independen. BI tidak
berada dalam struktur kabinet atau struktur Pemerintahan,
posisinya berada di luar strtuktur tersebut dan mandiri.
Rahbini mengatakan bahwa kedudukan BI adalah sejajar
dengan kedudukan Presiden. Sebagai Lembaga Negara BI
dikatakan mengambil sebagian peran Presiden sebagai
Kepala Negara. Kedudukan seperti ini belum dipahami
oleh banyak kalangan, sehingga memerlukan sosialisasi
yang lebih mendalam (Rahbini, 2000 : 167).
Jika poisisi demikian dipahami kebenarannya, maka
perdebatan tentang apakah BI merupakan bagian dalam
Kabinet Pemerintahan atau bukan, seperti yang terjadi pada
waktu-waktu yang lalu, seperti terkait dengan perdebatan
tentang kasus BLBI di Panja BLBI yang lalu seharusnya tidak
perlu terjadi. Jika hal ini dikaitkan dengan perbincangan
tentang sudah saatnya atau belum kehadiran OJK atau LPJK
untuk menggantikan peran BI sebagai Pengawas Perbankan,
barangkali memerlukan perenungan atau penyimakan lebih
mendalam, sebagaimana akan dibahas pada uraian di bawah,
mengingat pemahaman tentang posisi atau kedudukan,
kemandirian BI sebagai Bank Sentral saja oleh sementara
kalangan pemerhati di bidang perbankan belum sepenuhnya
benar.
E. TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA
Menurut Pasal 7 UUBI, BI hanya mempunyai satu tujuan
yaitu: MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI
RUPIAH
Pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai Rupiah,
tercermin pada:
Terhadap barang dan jasa = inflasi
Terhadap mata uang negara lain = kurs
Menurut Pasal 8 UUBI, guna mencapai tujuan kestabilan
nilai tukar rupiah, BI memiliki tiga tugas yaitu:
• Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
• Mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran;
• Mangatur dan mengawasi bank.
Tugas Penetapan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter
Dalam rangka melaksanakan tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, BI menetapkan sasaran
inflasi dengan memperhatikan perkembangan dan prospek
ekonomi makro, terutama perkembangan harga. Untuk
mencapai sasaran laju inflasi, BI menetapkan sasaran
besaran moneter atau likuiditas perekonomian.
Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan
berbagai instrumen a.l. Operasi Pasar Terbuka (OPT),
penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
Dalam melaksanakan tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, BI tetap mempunyai fungsi sebagai
lender of the last resort yang memungkinkan BI membantu
kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank.
Pemberian bantuan dana kepada bank dalam rangka tugas
sebagai lender of the last resort tersebut dibatasi jangka
waktunya, yaitu paling lama 90 hari; Penggunaannya hanya
untuk kepentingan mismatch dan harus dijamin dengan
surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
Demikian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 11 UUBI.
Berpijak dari pengalaman krisis moneter tahun 1997/98
yang lalu, menurut hemat saya seyogyanya BI tidak lagi
masuk ke ranah pendanaan Bank yang menghadapi masalah
insolvency. Mengapa demikian, karena menurut hemat
saya jika hal ini dilakukan oleh BI, risikonya akan terlalu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
besar, jika ternyata Bank yang Insolven tersebut tidak
kunjung dapat disehatkan bahkan bisa jadi akan semakin
kolaps dan kemudian menghadapi pailit yang sudah pasti
tidak mungkin dapat diharapkan mampu mengembalikan
dana bantuan tersebut. Satu-satunya jalan adalah dana
bantuan pendanaan tersebut kemudian hanya akan dijadikan
penyertaan.Sementara itu kebijakan penyertaan tersebut
tidak boleh berlangsung terus. Pada saatnya harus dijual
lagi kepada investor atau pihak ketiga yang berminat dan
memadai. Disinilah persoalan akan muncul, jika ternyata
hasilnya tidak juga mampu menutup dana bantuan yang
telah dikeluarkan tersebut.
Selanjutnya, dalam rangka menjalankan tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, BI mempunyai
wewenang untuk melaksanakan kebijakan nilai tukar
berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan Pemerintah
atas usul BI. Tugas ini erat kaitannya dengan masalah
lalulintas devisa dan system nilai tukar sebagaimana diatur
dalam UU Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Di samping itu, menurut Pasal 13 UUBI, BI juga bertugas
mengelola cadangan devisa negara yang ada di BI.
Pengelolaan cadangan devisa tersebut dilakukan dengan
memperhatikan prinsip security, liquidity, dan probity.
Tugas Pengaturan dan Penyelenggaraan Sistem
Pembayaran
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan penyelenggaraan
sistem pembayaran, menurut Pasal 15 UUBI, BI berwenang:
• Melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
• Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran
untuk menyampaikan laporan kegiatannya
• Menetapkan penggunaan alat pembayaran
Tugas Pengaturan dan Pengawasan Bank
Selanjutnya dalam rangka tugas pengaturan dan pengawasan
bank, menurut Pasal 24 UUBI, BI berwenang:
• Menetapkan peraturan di bidang perbankan
• Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan tertentu dari bank
• Melakukan pengawasan bank baik langsung maupun
tidak langsung
• Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan
Dalam jangka pendek, kebijakan perbankan diarahkan
untuk mempercepat penyehatan bank-bank agar dapat
mendukung pemulihan ekonomi.
Yang menjadi perhatian saat ini adalah kaitannya dengan
tugas mengawasi bank. Amanat UU tugas pengawasan
bank tersebut akan dialihkan kepada lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang akan dibentuk dan diharapkan
paling lambat akhir tahun 2010. Nama lembaga pengawas
tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan, di mana Rancangan
Undang-undangnya sudah disiapkan baik oleh Departemen
Keuangan, DPR ataupun BI sendiri. Diharapkan pada saat
pengalihan tugas pengawasan bank kepada lembaga
pengawas yang baru tersebut, bank-bank yang selama ini
mengalami masalah likuiditas dan masalah penyehatan
akan benar-benar telah dapat disehatkan, sehingga tidak
menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
F. KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
ATAU LEMBAGA PENJAMIN JASA KEUANGAN (LPJK).
Jika mendasarkan pada amanat Pasal 34 UUBI
sebenarnya OJK atau LPJK tersebut diharapkan sudah
terbentuk pada akhir tahun 2002 .Hal tersebut berarti
Undang-undang OJK sudah harus lahir pada tahun 2002
tersebut. Namun pada kenyataannya sampai saat ini
UUOJK tersebut belum juga kunjung ada. Kemudian
diharapkan akhir tahun 2010 UUOJK diharapkan sudah
bisa disetujui dan disahkan oleh DPR bersama-sama
dengan Pemerintah.
Dengan hadirnya OJK, maka Lembaga keuangan Bank
maupun bukan Bank nantinya akan diawasi oleh OJK
tersebut. Namun demikian, saat ini masih banyak
kalangan yang mempertanyakan apakah kehadiran OJK
tersebut benar-benar sudah merupakan kebutuhan
untuk mengawasi dalam satu atap lembaga keuangan
bank maupun non bank, termasuk pasar modal dan
asuransi. Saat ini justru banyak kalangan juga yang
mengkawatirkan kehadiran OJK tidak akan mampu
mengambil alih fungsi pengawasan tersebut, jika fakta
efouria saat ini tidak mencerminkan kesiapan SDM yang
memadai untuk mendukung kehadiran OJK tersebut.
Coba bandingkan dengan kasus Pajak yang
menghebohkan saat ini, banyak pihak menyatakan
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
bahwa kehadiran Pengadilan Pajak ternyata bukan solusi
terbaik untuk mendukung reformasi sistem perpajakan
di Indonesia.
Pernyataan yang layak direnungkan saat ini adalah,
persoalan sebenarnya atau persoalan substansial terkait
dengan krisis perbankan selama ini yang ditengarai
antara lain karena pelaksanaan fungsi pengawasan BI
kurang memadai, apakah persoalan tersebut terletak
pada lembaganya atau pada SDMnya ?. Bercermin
pada Peradilan Pajak sebagaimana dikemukakan di
atas, bukankah hal tersebut secara substansial persoalan
mendasar adalah terletak pada SDMnya yang tidak
kredibel, tidak qualified, tidak jujur dan mempunyai
kemampuan maupun integritas yang tinggi. Jika
kehadiran OJK nanti ternyata hanya akan memindahkan
SDM Divisi Pengawasan BI ke lembaga baru yang
bernama OJK, jika tidak dibarengi dengan SDM yang
memadai, kredibel, mempunyai integritas yang tinggi,
tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan yang
mandiri, independen, saya kawatir hal intu hanya akan
menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Saya terus terang kawatir kehadiran OJK yang dimanatkan
oleh Pasal 34 UUBI tersebut, hanya dilatar belakangi
oleh sikap traumatis pembentuk UU waktu itu terhadap
peristiwa krisis perbankan masa lalu yang satu diantaranya
ditengarai karena pelaksanaan tugas pengawasan BI
terhadap bank-bank umum di Indonesia yang kurang
efektif.
Jika konstatasi ini benar, maka kehadiran OJK sebenarnya
belum tentu mencerminkan solusi tepat pengaturan dan
pembenahan tugas dan fungsi pengawasan perbankan
saat ini. Bercermin pada kasus Pajak sebagaimana saya
kemukakan di atas, kehadiran Pengadilan Pajak yang
hanya diisi oleh SDM dari Pegawai Pajak dan Mantan
Pegawai Pajak dan/atau Konsultan Pajak dengan dalih
merekalah yang mempunyai pengalaman dan keahlian
dibidang pajak, ternyata tidak memberikan solusi terbaik
sistem pengelolaan perpajakan di Indonesia, ternyata
juga masih rentan dengan KKN yang sungguh
membahayakan kepentingan publik dan keuangan negara.
Jika kehadiran OJK ternyata juga hanya akan diisi oleh
SDM dari BI yang dieksodus ke LPJK/OJK dan mantan
Pejabat/pensiunan BI seperti halnya pada Peradilan Pajak,
maka jujur saya khawatir kasus serupa akan terjadi juga
di OJK tersebut. Jika konstatasi ini benar, maka menurut
hemat saya saat ini masih perlu dikaji ulang apakah
mandat Pasal 34 UUBI tersebut sudah sepenuhnya tepat
dan benar. Jangan-jangan mandat tersebut hanya
didasari atau dilatarbelakangi oleh sikap emosional
karena trauma masa lalu.
Jika pandangan ini diterima, bukankah yang lebih
esensial dan substansial adalah persoalan reformasi
SDM bukan reformasi kelembagaannya. Secara sistem
barangkali kelembagaannya sudah benar, sudah tepat
berada di jajaran BI, akan tetapi SDM pemegang kunci
pengambil keputusan dan/atau kebijakan di bidang
tugas pengawasan yang harus direformasi dan bukan
sistemnya.
Saya kawatir kehadiran OJK yang mengambil fungsi
pengawasan BI atas Bank-bank Umum, akan tetap
tumbuh atau bertabrakan dengan fungsi pengaturan
BI yang secara tidak langsung akan bersinggungan
dengan fungsi pengawasan (macroprudential).
G. HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hubungan
BI dengan Presiden dapat digambarkan sebagai berikut.
Hubungan dengan Presiden sebagai Kepala Negara,
Presiden berwenang:
• Mengusulkan dan mengangkat Gubernur & Deputi
Senior
• Mengangkat Deputi Gubernur
• Mengusulkan calon Gubernur & Deputi Senior
kepada DPR
• DPR menyampaikan hasil persetujuannya kepada
Presiden untuk diangkat
• Memberikan persetujuan tertulis jika anggota Dewan
Gubernur akan menjalani proses hukum.
Hubungan dengan Makamah Agung, Mahkamah
Agung yang bertugas mengambil sumpah/janji anggota
Dewan Gubernur.
Hubungan dengan Badan Pemeriksa Keuangan:
• Menerima dan melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan tahunan BI
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• Melakukan pemeriksaan khusus terhadap BI apabila
diminta oleh DPR
• BPK menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada
DPR.
Hubungan dengan Pemerintah:
• Hubungan dengan Kantor Menteri Sekretaris Negara
untuk pemuatan PBI dalam Lembaran Negara RI.
Hubungan dengan Bea & Cukai dalam hal larangan
membawa uang rupiah ke luar atau ke dalam wilayah
pabean RI:
• BI mengelola cadangan devisa milik negara
• Pemerintah dapat hadir dalam Rapat Dewan
Gubernur (RDG) bulanan untuk menetapkan
kebijakan umum di bidang moneter dengan hak
bicara tanpa hak suara
• BI sebagai pemegang kas Pemerintah
• Untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima
pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta
menyelesaikan tagihan & kewajiban keuangan
Pemerintah terhadap pihak luar negeri
• Pemerintah wajib meminta pendapat dan/atau
mengundang BI dalam sidang kabinet yang
membahas masalah ekonomi, perbankan &
keuangan, atau masalah lain yang berkatan dengan
tugas & wewenang BI
• Pemerintah wajib konsultasi dengan BI & DPR dalam
penerbitan surat-surat utang negara
• BI dapat membantu Pemerintah dalam penerbitan
surat-surat utang negara.
• Menerima sisa surplus hasil kegiatan BI
• Pemerintah dengan persetujuan DPR wajib menutup
kekurangan dalam hal modal BI menjadi kurang
dari Rp 2 triliun
Hubungan Internasional, BI bertugas:
• Melakukan kerja sama dengan bank sentral negara
lain, organisasi dan lembaga internasional
• Apabila keanggotaan suatu lembaga internasional/
multilateral dipersyaratkan adalah negara, BI dapat
bertindak sebagai anggota lembaga tersebut untuk
dan atas nama Negara
Hubungan dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan
yang Independen yang akan datang.
• Dalam melaksanakan tugasnya, LPJK yang akan
datang mempunyai kewajiban melakukan koordinasi
& kerja sama dengan BI sebagai bank sentral. Kerja
sama tersebut akan di atur dalam UU LPJK atau OJK
yang akan datang, sebagaimana diamanatkan oleh
Pasal 34 UUBI.
H. PENUTUP
Dengan mendasarkan pada UUBI sebagaimana beberapa
kaedahnya telah di bahas dalam uraian di atas, implikasi
terhadap independensi dan posisi dalam sistem
ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan dan pelaksanaan
tugas BI sebagai Bank Sentral RI, ternyata masih
menyisakan perbedaan pemahaman diantara sebagian
kalangan pemerhati BI sebagai Lembaga Negara yang
independen. Secara kaedah pengaturan independensi
BI sebagai Bank Sentral sebenarnya sudah cukup tegas,
sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 8
UUBI. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa
independensi tersebut masih sering tidak dapat
diimplementasikan secara benar di dalam praktek karena
adanya intervensi baik dari Pemerintah maupun pressure
politik.
Kehadiran OJK atau LPJK sebagai salah satu solusi untuk
menempatkan peran pengawasan perbankan pada
Institusi mandiri di luar BI, ditengarai masih menyisakan
problem mendasar dikemudian hari, karena kesiapan
SDM untuk itu masih mengambil atau hanya
memindahkan saja Direktorat Pengawasan BI menjadi
bagian dari Lembaga Pengawasan yang baru tersebut.
Kajian kritis berkaitan dengan hal itu adalah apakah
kehadiran OJK atau LPJK itu sudah benar-benar
merupakan kebutuhan atau justru hanya merupakan
efouria karena trauma masa lalu sebagai dampak dari
krisis perbankan yang berkepanjangan yang satu
diantaranya adalah karena fungsi pengawasan BI tidak
optimal.
8
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
9
Referensi
Bank Indonesia, 2002, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia.
Lash, Nicholas, A.,1987, Banking Law and Regulations: An Economis Perspentive, Prentice-Hall Inc, USA.
Mintorahardjo, Sukowaluyo, 2001., BLBI Simalakama, Resi, Jakarta.
Macey, Jonathan, R and Miller, Geoffrey, P., 1992, Banking Law and Regulation, Litle Brown Company, Boston, Toronto, London.
Rahbini, Didik J; Suwidi Tono, 1987, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta.
UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
UU NO. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.
Apabila judul makalah ini didekati dari teori hukum, maka
teori hukum itu memberikan sarana kepada kita untuk
merangkum dan memahami masalah implementasi Pasal
34 “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.” (“UUBI”).
Dengan ini dapat dipahami persoalan-persoalan yang bersifat
yang hakiki dari UUBI itu. Radbruch menyatakan, bahwa
tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta
postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi.1
Berdasarkan itu harus diteliti antara lain sebagai berikut.2
Petama, mengapa UUBI itu berlaku? Kedua, apa dasar
kekuatan mengikatnya ? Ketiga, apa yang menjadi tujuan
UUBI.? Keempat, bagaimana seharusnya UUBI dipahami?
UU BI merupakan derivatif dari ketentuan pasal 23 UUD
1945.
Artinya kedudukan Bank Sentral dalam struktur
ketatanegaraan terpatri atau memperoleh mandat dari
konstitusi yang sekaligus memberikan jaminan dari konstitusi
untuk Bank Sentral yang independen.
Apabila diperhatikan secara mendalam, maka penafsiran
bahwa Bank Sentral ditentukan dalam pasal 23D UUD 1945
adalah Bank Indonesia, sebagaimana telah pula ditentukan
dalam pasal 4 ayat (1) UU BI. Berdasarkan hukum Bank
Indonesia telah ditentukan sebagai Bank Sentral dan
kedudukannya diakui oleh konstitusi.
Untuk itu dapat dipahami berbagai pendapat yang mengkaji
kedudukan bank sentral yang independen dalam konstitusi.
Seperti dikatakan oleh Arend Lijhart, bahwa “A central
bank can be made particularly strong if us independence
is enshrined not just a central bank charter but in the
constitution”. Sementara itu, John Elster menyatakan pula,
bahwa “…they cannot be change through the ordinary
legislative pocess but require a more stringent procedure".3
Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok
dari keseluruhan sistem aturan yang berlaku sebagai
pegangan bersama dalam kehidupan warga Negara dalam
suatu Negara, yang keseluruhannya membentuk suatu
kesatuan sistem hukum. Karena itu, hukum dan konstitusi
disuatu Negara itu haruslah menjadi sesuatu yang hidup
dalam praktek kehidupan bernegara sehari-hari. Dari sinilah
kita dapat meyakini “the rule of law” atau prinsip supremasi
hukum (supremacy of law) dapat benar-benar diwujudkan
dalam kenyataan. Jika tidak, niscaya prinsip “the rule of
law” dan “supremacy of law” itu hanya menjadi jargon
atau slogan kosong belaka.4
11
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas KeuanganOleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM**
** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 224-225.
2 Bandingkan. Satjipto Rahardjo, Op. Cit, halaman. 225
3 Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005), hal.263.
4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.79.
Dalam konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi
memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan
hierarkis tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan
perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik
tolak kepada ketentuan yang mengatur tentang Bank
Sentral sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi.
Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi
menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional.
Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan
prosedur pembentukan undang undang, tetapi juga sampai
derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Konstitusi
menentukan secara negatif bahwa hukum tidak boleh
memuat isi tertentu, misalnya bahwa parlemen tidak boleh
mengesahkan (rancangan) undang undang yang
bertentangan dengan konstitusi.5
Dengan demikian, peranan dan tugas Bank Indonesia yang
independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan
dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya,
termasuk tidak ada undang-undang yang akan datang yang
dapat mencabut fungsi dan tugas bank Indonesia. Mengingat
peranan dan tugas bank Indonesia sangat penting dan
berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, perbankan dan keuangan. Selanjutnya
independensi Bank Indonesia harus dipahami juga sebagai
suatu hal yang penting untuk menjamin demokrasi.6
Kedudukan Independensi Bank Indonesia
Independensi merupakan salah satu isu penting dalam
membahas peran Bank Sentral. Memiliki suatu bank sentral
yang independen mungkin merupakan elemen proses
reformasi moneter yang memicu perdebatan sengit dan
dianggap sangat kontroversial pada dekade yang lalu. Secara
alamiah para politisi merasa tidak nyaman memberikan
independensi kepada bank sentral karena mengurangi
kewenangan dalam bidang-bidang penting yang selama ini
mereka miliki. Namun demikian keprihatinan para politisi
memberikan independen kepada bank sentral sebenarnya
tidak berdasar. Independensi tidak berarti bank sentral bebas
menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan.
Independen berarti bank sentral dapat menggunakan
instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur
tangan dari pihak diluar bank sentral. Ini yang disebut
dengan ”instrument independence” bukan ”goal
independence”. Konsekwensi independen bagi bank sentral
adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan
dan kebijakan moneter yang dilakukan secara transparan.
Menarik untuk dicermati bahwa meskipun pada awalnya
ada keraguan dalam memberikan independensi kepada
bank sentral pada akhirnya masyarakat sangat puas terhadap
independensi bank sentral. Tidak ada satu negara pun yang
menyesal telah memberikan independensi kepada bank
sentralnya.7 Terdapat kesepakatan diantara para ahli bahwa
bank sentral independen yang bebas dari campur tangan
pemerintah dapat mencapai tujuan menjaga stabilitas harga
dengan lebih baik. Untuk mencapai kestabilan harga
dibutuhkan waktu lebih panjang dan komitmen tinggi
terhadap pengawasan moneter.
Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank
sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki
kebebasan untuk menentukan bagaimana untuk mencapai
tujuannya, dan kedua, keputusan-keputusan yang diambil
olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau
lembaga pemerintahan lainnya.8 Kebebasan dalam
menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan
berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri
tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu
saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama
melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah
bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai
bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-
undang.9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12
5 Bandingkan. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 180-181.
6 Bandingkan. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.157.
7 Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand, Hanoi, 21 March 2006
8 Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge: The MIT Press, 1998), hal. 54.
9 Ibid.
Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi
bank sentral menjadi begitu penting. Kebijakan moneter
menurut Blinder memerlukan yang ia sebut sebagai long
time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan10. Hal
ini karena, pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu
kebijakan moneter, seperti yang terkait dengan inflasi baru
dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para
decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja
mereka. Kedua, kebijakan-kebijakan moneter memiliki
karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas investasi,
yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan
mendapatkan hasil secara berkala setelah sekian waktu.11
Tetapi, orang-orang politik yang duduk di pemerintahan,
bukanlah orang-orang yang memiliki kesabaran ataupun
long time horizon. Kebanyakan dari mereka hanya melihat
segala sesuatunya dalam short-term basis saja, tanpa
mempertimbangkan long term gains.12 Dari sini dapat
dilihat betapa bahayanya, apabila kebijakan moneter bank
sentral yang mempengaruhi kondisi negara secara makro
diintervensi secara politis.
Dampak Keberlakuan Pasal 34 UU BI
Pasal 34 UU BI mengamanatkan pembentukan Lembaga
Pengawas Sektor Keuangan (LPJK) paling lambat pada tahun
2010. Amanat Pasal 34 tersebut sejak awal penyusunannya
telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan
Pasal 34 UU BI fungsi BI dalam mengawasi bank dialihkan
kepada LPJK. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank
sentral di negara yang industri keuangannya didominasi
oleh industri perbankan tentunya menimbulkan perdebatan
dan memicu kontroversi. Bank sentral yang diberikan
tanggung jawab untuk menciptakan stabilitas nilai rupiah
tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung
jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan
mengawasi bank. Itu sebabnya UU BI meletakan tujuan BI
dalam Pasal 7 yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah dan untuk mencapai tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut Pasal 8 UU BI
menetapkan tiga tugas Bank Indonesia yaitu : (1) menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta; (3) mengatur
dan mengawasi bank. Oleh karena itu pelaksanaan amanat
Pasal 34 berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan
yang diamanatkan oleh UU BI. Pasal 34 tersebut telah
mengamputasi instrumen penting yang dimiliki BI dalam
mencapai tujuannya.
Dari sejarah pembentukan UU BI diketahui bahwa
keberadaan Pasal 34 dipenuhi kontroversi. Pasal tersebut
didasarkan pada pandangan yang keliru tentang lembaga
yang bertanggung jawab atas krisis keuangan yang terjadi
pada tahun 1997/98. BI dianggap tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan efektif sehingga menimbulkan krisis
keuangan yang parah. Pandangan ini tidak sepenuhnya
beralasan. Bila diteliti struktur pengawasan perbankan
pada waktu itu akan diketahui bahwa pengawasan bank
dilakukan oleh dua lembaga yaitu BI dan Departemen
Keuangan. BI bertugas mengawasi bank dalam arti sempit
(audit) sedangkan tugas mengatur dan memberi/mencabut
ijin usaha bank ada pada Departemen Keuangan. Oleh
sebab itu tidak efektifnya tugas pengawasan bank sehingga
memicu terjadi krisis pada tahun 1997/1998 tentunya
adalah tanggung jawab bersama kedua lembaga tersebut.
Berdasarkan latar belakang seperti itu maka penerapan
Pasal 34 UU BI perlu dikaji ulang secara komprehensif.
Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam
hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat
aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri
keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal.
Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan
industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa
lembaga. Di Inggris misalnya industri keuangannya diawasi
oleh Financial Supervisory Authority (FSA), sedangkan di
Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa
institusi. SEC misalnya mangawasi perusahaan sekuritas
sedangkan industri perbankan diawasi oleh bank sentral
(the Fed), FDIC, dan OCC. Alasan dasar yang melatarbelakangi
kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan sistem perbankan
yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam
konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan. Dari
sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku
yaitu commercial banking system dan universal banking
system. Commercial banking, seperti yang berlaku di negara
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
10 Ibid. hal.55.
11 Ibid.
12 Ibid. hal.55-56.
kita dan di Amerika Serikat, melarang bank dalam melakukan
kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal
ini berbeda dengan universal banking, dianut oleh antara
lain negara-negara Eropa dan Jepang yang membolehkan
bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank
seperti investment banking dan asuransi. Di samping alasan
sistem perbankan yang berlaku yang juga menjadi dasar
pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadi
konvergensi pada industri keuangan. Konvergensi yang
dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan
regulasi. Hal ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan
lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya
sehingga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan
tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi
oleh bank sentral atau produk perusahaan sekuritas dan
harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diselesaikannya
kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah
kewenangan regulasi tersebut akan terpecahkan.
Secara empiris, survey yang dilakukan Central Banking
Publication (1999) menunjukkan bahwa dari 123 negara
yang diteliti, tiga perempatnya memberikan kewenangan
pengawasan industri perbankan kepada bank sentral. Hal
ini lebih menonjol di negara-negara sedang berkembang.
Khusus untuk negara yang sedang berkembang alasannya
adalah masalah sumber daya (resourches). Bank sentral
dianggap memadai dalam hal sumber daya (sumber daya
manusia dan dana). Dari kaca mata politik, dicabutnya
kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan
munculnya kecenderungan pemberian independensi
kepada bank sentral. Ada kekhawatiran bahwa dengan
independennya bank sentral, apabila bank sentral juga
berwenang mengawasi bank bank sentral akan memiliki
kewenangan yang sedemikian besar. Bank of England
misalnya, pada tahun 1997 mendapatkan
keindependenannya, namun dua minggu kemudian
kewenangan pengawasan bank diambil alih dari bank
sentral tersebut.
Menjawab pertanyaan kapan waktu yang tepat mulai
beroperasinya OJK dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan ketiga alasan di atas dan memperhatikan
hal-hal berikut. Pertama, data menunjukkan bahwa industri
keuangan kita 90% lebih di antaranya dikuasai oleh industri
perbankan. Belum terjadi konvergensi yang dalam di antara
industri keuangan tersebut. Kalaupun ada produk hybrid
dalam jasa keuangan sifatnya masih sederhana dan
volumenya belum besar sehingga belum dapat dikatakan
sebagai masalah krusial yang dapat menimbulkan masalah
sistemik. Produk hybrid adalah produk yang merupakan
perpaduan antara produk perbankan, asuransi atau pasar
modal. Di Indonesia, produk-produk tersebut masih
merupakan produk asuransi atau pasar modal murni sehingga
dalam hal ini bank hanya berfungsi sebagai penjual (agent)
dan mendapatkan komisi (fee) dari jasanya tersebut. Ambil
contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu
bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama,
a bank that can offer banking, insurance lending and
investment product to customer, Kedua, a French term
referring to the selling of insurance through a bank’s
established distribution channel. Di negara-negara Eropa
yang menganut universal banking system produk ini sudah
lama berkembang dan dilakukan sesuai dengan pengertian
bancassurance yang pertama. Di Indonesia produk ini masih
murni produk perusahaan asuransi yang ditawarkan atau
dijual melalui jalur distribusi (distribution channel) perbankan
sehingga lebih tepat dengan pengertian bancassurance yang
kedua. Hal ini sesuai dengan undang-undang perbankan
yang melarang bank melakukan kegiatan asuransi. Larangan
ini sesuai pula dengan sistem perbankan yang dianut oleh
Indonesia, yaitu commercial banking system. Keuntungan
bank menjual produk hybrid tersebut adalah selain menerima
komisi juga sekaligus dapat memperbesar customer base
dan menjaga loyalitas nasabah.
Kedua, membentuk lembaga baru seberkuasa dan sebesar
OJK tentunya membutuhkan sumber daya yang besar. Pada
saat negara sedang ”sakit” seperti saat ini pastilah lebih
bijaksana apabila sumber daya yang tidak sedikit itu
digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah
parah. Masalah utama yang dihadapi industri keuangan
khususnya perbankan saat ini bukanlah telah semakin
menyatunya dengan industri keuangan lainnya, tetapi
lemahnya penerapan good corporate governance. Masalah
good corporate governance tidak akan selesai dengan
beralihnya kewenangan pengawasan. Orang bijak
mengatakan don’t change your jokey in the middle of the
race otherwise you will lose the game. Hal ini terbukti dalam
pengalaman Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga
semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang menjadi
lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term
Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi
antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya
dalam kasus Ishikawa Bank dan Masalah kredit macet dan
kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.13
Apabila pasal 34 UU BI diimplementasikan maka kewenangan
dalam mengawasi bank oleh BI tidak akan ada lagi, padahal
kewenangan mengawasi bank oleh BI merupakan tanggung
jawabnya dalam menciptakan nilai rupiah yang stabil.
Selanjutnya akan mengakibatkan perubahan lainnya terhadap
substansi ketentuan UU BI lainnya yang pada gilirannya
dapat mengganggu fungsi BI di bidang moneter, sistem
pembayaran dan stabilitas keuangan.
Ketentuan pengawasan bank oleh BI sebelum adanya
ketentuan pasal 34 UUBI adalah merupakan suatu ketentuan
yang berada dalam satu sistem hukum BI. Oleh karena itu
tidak bisa kewenangan pengawasan bank oleh BI dipisahkan
dengan kewenangan BI lainnya.
Beberapa ciri dari suatu kesatuan sebagai berikut:14
1. Sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk
dalam satu kesatuan interaksi (proses).
2. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan
hubungan yang satu sama lain saling bergantung
(interdepende of its parts).
3. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu
kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan
elemen pembentuknya itu (the whole is more than the
sum of its parts).
4. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian
pembentuknya (the whole determines the nature of its
parts)
5. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika
ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari
keseluruhan itu (the parts canot be under-stood if
considered in isolation from the whole).
6. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara
mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan
(sistem) itu.
Dengan demikian implementasi ketentuan pasal 34 UUBI
dapat merubah esensi sistem dari suatu kesatuan UUBI
dan berpotensi menyulitkan BI dalam mencapai tujuan
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUBI.
Seharusnya peranan Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan seyogyanya tidak perlu
diintervensi oleh lembaga manapun. Karena, tugas Bank
Indonesia berfungsi juga untuk menjaga stabilitas keuangan.
Hal ini sejalan dengan nafas independensi Bank Indonesia
sebagaimana ditetapkan oleh norma dasar di Indonesia.
Apabila munculnya berbagai badan atau lembaga yang
kewenangannya sudah merupakan kewenangan Bank
Indonesia akan menjadi permasalahan dalam bidang hukum.
Sebab, merupakan hal yang aneh apabila berbagai undang-
undang melahirkan berbagai badan atau lembaga yang
mempunyai kewenangan yang mirip.
Hal ini dapat berpotensi dibatalkannya undang-undang
yang menjadi dasar hukum pendirian badan atau lembaga
tersebut, apalagi sebagai Bank Sentral telah diatur dalam
UUD 1945.
PENUTUP
Amanat Pasal 34 UUBI bila dilaksanakan akan mengakibatkan
tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas
nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 7
UUBI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal
7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila
Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Singkat kata, apabila amanat pasal 34 UUBI ingin dijalankan,
maka seluruh tanggung jawab dan tugas yang diembankan
kepada Bank Indonesia harus dikaji ulang, karena pasal 34
UUBI tersebut dilaksanakan akan mengamputasi salah satu
pondasi Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya.
15
13 The Economist, 30 Agustus 2003.
14 Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Mandar Maju, tahun 2003 ,hal. 65.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
16
Daftar Pustaka
Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, Cambridge: The MIT Press, 1998.
Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Lars Nyberg, “The Framework of Modern Central Banking”, Speech at a Conference on Reforming the State Bank of Thailand,
Hanoi, 21 March 2006 .
Lili Rasjidi dan Wyasa Saputra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, tahun 2003.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1998
The Economist, 30 Agustus 2003.
I. Pendahuluan
Stabilitas sistem keuangan telah menjadi sasaran yang
penting dalam kebijakan ekonomi keuangan selama
beberapa puluh tahun terakhir terutama paska krisis
Asia pada tahun 1998. Pada tahun 1980an, deregulasi
terhadap pasar keuangan terutama pemberian kredit
atau pemberian fasilitas sejenisnya dari bank serta
pengaturan aliran modal antar negara telah dihapuskan
secara bertahap di beberapa negara. Kondisi ini telah
menyebabkan adanya fondasi yang kuat untuk
mengembangkan sektor keuangan sehingga lebih cepat
dari pertumbuhan dari sektor-sektor ekonomi lainnya.
Dalam phase ini, sistem keuangan telah berkembang
secara struktural dan menjadi lebih komplek. Instrumen
keuangan telah berkembang menjadi beraneka ragam,
aktivitasnya lebih terdiversifikasi dan risikonya lebih rumit
dengan perubahan yang sangat dinamis. Sektor keuangan
juga menjadi lebih terintegrasi dan terkait erat satu sama
lain dari segi dimensi industri maupun secara geographis,
sehingga sulit diidentifikasi originalitasnya dan siapa
yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan.
Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat di sektor
keuangan, maka diikuti pula dengan berbagai
permasalahan yang semakin sulit terdeteksi secara lebih
dini. Krisis di sektor keuangan biasanya berkaitan dengan
siklus "boom" dan "bust"terhadap nilai aset dan kredit.
Terjadinya perkembangan pertumbuhan yang cepat
harga property dan kredit konsumsi telah menjadi
indikator awal permasalahan instabilitas. Pertanyaannya:
apakah kebijakan moneter dapat digunakan untuk
memitigasi perkembangan yang pesat tersebut? Paper
ini akan mengulas beberapa pertanyaan terkait dengan:
(1) Apa yang disebut stabilitas sistem keuangan?; (2)
Bagaimana melakukan analisisnya agar bisa melakukan
deteksi lebih dini dan mengambil kebijakan mitigasinya;
(3) Bagaimana kerja sama antar otoritas untuk
mendukungnya; (4) Dengan apa kita bisa menjaga
stabilitas sistem keuangan.
II. Apa yang dimaksud stabilitas sistem keuangan
Meskipun beberapa negara telah menaruh perhatian
cukup besar terhadap stabilitas sistem keuangan, deskripsi
tentang "stabilitas sistem keuangan" tetap masih menjadi
diskusi yang hangat. Agar rumah tangga dan perusahaan
korporasi dapat secara optimal melakukan perannya
yaitu mengkonsumsi barang-barang dan juga melakukan
investasi secara berkesinambungan, maka harus ada
sistem keuangan yang berperan secara baik dalam hal
melakukan intermediasi dari para penyimpan dana
(surplus unit) dan peminjam dana (deficit unit),
memberikan layanan pembayaran transaksi, dan
melakukan realokasi risiko secara baik.
Dalam pendekatan pemahaman yang lebih sempit atas
stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan dengan
mendefinisikan sebaliknya yaitu menghindari adanya
"instabilitas sistem keuangan" dimana telah terjadi
gangguan terhadap perekonomian. Definisi ini lebih
melihat dari sisi kebalikannya dari kondisi yang stabil
serta bagaimana mengupayakan untuk menghindari
terjadinya instabilitas.
Gangguan terhadap perekonomian ditandai dengan
timbulnya biaya yang harus dibayar oleh pemerintah.
Beberapa tahun terakhir terlihat bahwa biaya dari krisis
ini cukup besar bila dibandingkan dengan GDP suatu
negara. Dari pengalaman juga menunjukan bahwa
krisis keuangan dapat terjadi baik dinegara berkembang
maupun di negara maju serta dapat menimbulkan
dampak ikutan ke negara lain.
Begitu terdapat biaya yang menjadi beban negara untuk
penyelamatan sistem keuangan, maka dapat dikatakan
17
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem KeuanganOleh: Dr. Wimboh Santoso1
1 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia
bahwa sudah terjadi instabilitas di sistem keuangan.
Penyelematan oleh pemerintah dimaksudkan agar biaya
yang ditimbulkan dari krisis dapat diminimalisir.
Definisi stabilitas sistem keuangan yang banyak dipakai
dibeberapa negara mengkombinasikan atas tiga hal
yaitu: terjadi alokasi resources dengan baik sehingga
proses intermediasi bisa berjalan dengan normal,
berbagai indikator sistem keuangan masih memenuhi
batas stabil dan belum ada dana publik yang dipakai
untuk penyelamatan sistem keuangan.
III. Bagaimana otoritas melakukan analisis stabilitas
sistem keuangan?
Setelah pemahaman stabilitias sistem keuangan dan
sasaran yang akan dicapai disepakati dan dipahami
oleh otoritas, maka pelaksanaan analisis simpul simpul
kerawanan yang dapat menyebabkan instabilitas akan
dapat dilakukan dengan mudah dalam organisasi bank
sentral. Terdapat dua pendekatan yang saling
melengkapi:
Pertama, kita perlu memfokuskan kepada berbagai
faktor risiko yang berasal dari dalam sistem keuangan
itu sendiri yaitu terdiri dari lembaga keuangan, pasar
keuangan dan infrastruktur keuangan seperti settlement
yang dilakukan oleh bank sentral (RTGS) maupun lembaga
settlement lainnya. Unsur internal sistem keuangan ini
akan selalu dihadapkan kepada berbagai faktor risiko
seperti risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan
risiko operasional. Analisis atas berbagai risiko tersebut
telah semakin sulit beberapa tahun terakhir ini sejalan
dengan sistem keuangan yang semakin komplek dan
saling berkaitan baik antar industri maupun secara
geographis.
Peningkatan kompleksitas sistem keuangan di tunjukan
dengan pesatnya pasar di credit derivatives. Instrumen
ini relatif masih baru yang bentuknya bisa beraneka
ragam. Meskipun instrumen ini sangat baik untuk
mitigasi risiko, namun terdapat kemungkinan bahwa
tehnis penilaiannya akan rumit serta dapat menimbulkan
moral hazard atau rentan terjadinya spekulasi dan fraud.
Lembaga keuangan baik yang melakukan mitigasi
dengan menjual risikonya kepada pihak lain masih
dapat terekspose risiko. Tanpa disadari bahwa risiko
sistemik akan dapat manganulir persepsi bahwa
risikonya telah dijual, sedangkan lembaga yang membeli
risiko ternyata sudah terlalu besar risiko yang dibelinya
dan tidak bisa dimitigasi ke lembaga lain. Kalau terjadi
default atas maka hanya bailout dari otoritas yang
dapat menyelesaikannya.
Melakukan analisis risiko yang berasal dari dalam sistem
keuangan akan lebih jelas kalau dapat dibedakan melalui
dua pendekatan micro dan macroprudential.
Microprudential analisis lebih mengarah kepada
perkembangan dalam individu lembaga keuangan
dengan lebih menaruh perhatian pada menghindari
problem individual lembaga untuk melindungi
kepentingan para deposan.
Macroprudential analisis lebih mengarah kepada
sistem keuangan secara keseluruhan dengan sasaran
agar tidak terjadi permasalahan untuk menghindari
biaya yang akan dibebankan kepada pemerintah
(pembayar pajak). Untuk menghindari sistemic risk
dilakukan analisis risiko terhadap semua unsur di sistem
keuangan. Khusus untuk lembaga keuangan, analisis
terhadap keterkaitan antar lembaga keuangan yang
diakibatkan oleh permasalahan likuiditas maupun
solvabilitas merupakan analisis macroprudential yang
penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kedua, pendekatan dengan menekankan risiko yang
berasal dari luar sistem keuangan. Pendekatan ini telah
dipahami oleh para pengambil kebijakan beberapa
tahun terakhir. Perkembangan yang pesat perdagangan
instrument derivatives atas surat hutang dan harga
assets, termasuk juga gangguan makro ekonomi seperti
turunnya harga komoditi serta terjadinya ketidak
seimbangan dalam ekonomi dunia dan pasar keuangan
akan dapat menimbulkan risiko instabilitas. Untuk
melakukan identifikasi dari sumber instabilitas, kita
memerlukan berbagai indikator yang dapat memberikan
informasi tanda-tanda terjadinya instabilitas. Dengan
mendasarkan perbandingan beberapa indikator pada
waktu tertentu dengan pada waktu normal, maka kita
bisa melakukan analisis seberapa besar perbedaan atas
indikator instabilitas tersebut. Kalau perbedaannya
18
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
besar dengan trend yang meningkat maka kita bisa
mengindikasikan kondisi keuangan mengarah kepada
instabilitas. Namun demikian, sering sekali mendapatkan
kesulitan untuk melakukan interpretasi atas berbagai
indikator instabilitas karena indikator normal kadang-
kadang sulit untuk ditentukan mengingat perkembangan
ekonomi yang sangat dinamis. Berbagai informasi yang
belum secara terintegrasi dalam sistem keuangan
merupakan faktor yang penting untuk dapat dijadikan
judgment dalam melakukan analisis kondisi sistem
keuangan.
Analisis dampak negatif atas guncangan ekonomi makro
terhadap stabilitas sistem keuangan juga dapat
diterapkan. Macro stress testing merupakan pendekatan
yang biasanya digunakan dalam analisis ini dengan
tujuan untuk mengukur ketahanan bank atau lembaga
keuangan dalam menghadapi berbagai shocks atas
kondisi ekonomi dan respon kebijakan makro ekonomi
yang diperlukan dari otoritas. Berbagai skenario kondisi
makro ekonomi dapat disimulasikan untuk melakukan
pengujian atas ketahanan bank atau lembaga keuangan
termasuk dalam kondisi ekstrim, pendekatan ini sering
disebut micro stress testing. Lembaga keuangan dan
pasar keuangan sudah semakin terintegrasi serta sangat
tinggi ketergantungannya sehingga analisis keterkaitan
antar lembaga dan pasar keuangan sangat membantu
untuk mengukur sejauhmana permasalahan yang
mungkin timbul di lembaga atau pasar keuangan dapat
menimbulkan dampak sistemik di sistem keuangan.
Aliran dana masuk dan keluar di pasar keuangan telah
meningkat cukup besar aktivitasnya di beberapa tahun
terkahir. Transaksi oleh para pelaku pasar antar negara
telah meningkat cukup pesat baik di pasar saham,
obligasi dan juga financial instrumen lainnya seperti
produk off-shore dan derivatives. Pemerintah di berbagai
negara banyak sekali mengeluarkan surat hutang untuk
membantu memperbaiki cash flow anggaran belanjanya
dan banyak para pelaku pasar yang melakukan
diversifikasi risikonya dengan melakukan hedging
diberbagai pasar dunia. Analisis dengan mendasarkan
domain domestik ternyata tidak cukup sehingga global
analisis tentang pasar dan lembaga keuangan sangat
diperlukan untuk melihat secara lebih akurat simpul
kerawanan di sistem keuangan. Bank sentral mempunyai
tanggung jawab khusus dalam melakukan analisis dan
monitor sistem keuangan. Terintegrasinya lembaga dan
pasar keuangan dengan pasar global telah membuat
bank sentral perlu melakukan analisis sistem keuangan
global dalam laporan stabilitas sistem keuangannya yang
dipublikasikan secara rutin. Pengembangan berbagai
tool analisis merupakan tantangan bank sentral agar
dapat menangkap simpul kerawanan secara lebih dini.
IV. Bagaimana koordinasi antar otoritas untuk
bersama-sama menjaga stabilitas sistem keuangan
Koordinasi antar otoritas ini sangat diperlukan dalam
menjaga agar terhindar dari krisis dan mempermudah
dalam penyelesaian krisis apabila ternyata tidak dapat
dihindari. Dalam koordinasi ini, peran dan tanggung
jawab masing-masing otoritas harus jelas dan dituangkan
dalam undang-undang. Tugas menjaga stabilitas sistem
keuangan ini dilakukan oleh bank sentral, dengan
berkoordinasi dengan pengawasan pasar keuangan dan
menteri keuangan sebagai otoritas fiskal. Di negara
yang otoritas pengawasan lembaga keuangan dipisahkan
dari bank sentral, maka otoritas tersebut akan menjadi
bagian dari otoritas yang harus melakukan koordinasi
dibawah menteri keuangan. Untuk mencapai sasaran
dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, maka sharing
informasi antar otoritas sangat diperlukan baik dalam
kondisi normal maupun krisis. Dalam hal permasalahan
disektor keuangan menyangkut bank yang operasinya
secara multinasional maka koordinasi akan menyangkut
otoritas antar negara dengan berbagai kerangka hukum
yang berbeda. Sebagaimana yang terjadi terhadap
Lehman Brothers pada tahun 2008, otoritas di sejumlah
negara terlena melakukan koordinasi untuk melakukan
assessment dampak penutupan lehman brothers ini
terhadap lembaga keuangan lain dan pasar keuangan
dinegara lain. Pandangan umum sementara ini, otoritas
di suatu negara hanya bertanggung jawab pengawasan
terhadap bank yang didirikan dengan badan hukum
di negara tersebut, sedangkan bank disuatu negara
yang didirikan dengan dasar hukum di negara lain
(ie. Kantor cabang bank asing) maka tanggung jawab
pengawasannya ada di home supervisory authorities.
Permasalahan ini muncul apabila terdapat bank yang
beroperasi secara multinational dan mengalami
permasalahan di kantor pusatnya sehingga harus ditutup,
maka secara legal seluruh kantor cabangnya harus
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
ditutup. Timbul permasalahan, bagaimana kalau kantor
cabangnya yang tersebar di negara lain tersebut
sebenarnya operasinya masih bagus? Hal ini belum ada
jawabnya sampai saat ini.
Koordinasi secara global dalam pencegahan dan
penyelesaian banking crisis ini masih belum secara formal
dibentuk. G20 pada saat ini sedang mencoba untuk
merumuskan bentuk koordinasi pencegahan dan
penyelesaian krisis bank yang beroperasi secara
multinational, namun masih banyak kendala hukum
yang dihadapi mengingat masing-masing negara
mempunyai legal basis yang berbeda. Permasalahan lain
juga muncul berkaitan dengan bank yang operasinya
sangat besar dengan kantor diseluruh dunia baik dalam
bentuk kantor cabang maupun anak perusahaan
yang jumlahnya bisa mencapai sekitar 8000, dengan
kondisi ini akan sangat sulit bagi kantor pusatnya untuk
melakukan monitoring dan bank sentral dinegara asalnya
juga mengalami kendala untuk melakukan assessment
atas dampak dari permasalahan terhadap kemungkinan
timbulnya krisis di negara lain. Dalam hal bank tersebut
harus dilakukan penyelamatan, permasalahan muncul
siapa yang akan bertanggung jawab untuk melakukan
penyelamatan. Penjaminan dana nasabah juga bentuknya
sangat beragam diantar negara, sehingga penataan
kembali sistem keuangan secara global perlu dilakukan
segera agar permasalahan krisis dapat dicegah lebih
dini dan penyelesaian krisis dapat dilakukan dengan
baik.
V. Perangkat apa yang dapat digunakan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan
Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, bank sentral
harus melakukan assessment atas kerentanan dan
mengeluarkan regulasi apabila diperlukan agar dampak
negatifnya dapat dihindari serta risiko sistemiknya dapat
diminimalisir. Assessment atas kerentanan terhadap
lembaga keuangan, pasar keuangan dan infrastrukturnya
merupakan keharusan agar dapat menangkap simpul
kerawanan dan melakukan mitigasi lebih dini sebelum
permasalahan terjadi. Pertanyaannya yang sering
muncul, bagaimana kita melakukannya dan kebijakan
apa yang bisa dilakukan agar stabilitas sistem keuangan
tetap terjaga. Bank sentral merupakan otoritas yang
mempunyai banyak perangkat kebijakan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan.
Pertama-tama peran lender of last resort dapat
diterapkan pada saat terjadi permasalahan likuiditas
perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang
bersifat sistemik;
Kedua, bank sentral juga dapat melakukan operasi
monetar dalam bentuk intervensi di pasar valas maupun
pasar likuiditas;
Ketiga, secara lebih dini bank sentral juga dapat
mengatur laju pertumbuhan kredit;
Keempat, dalam hal pengawasan microprudential
berada di bank sentral, maka pengawasan micro dapat
secara mudah disinkronisasikan dengan kebijakan
macroprudential.
Harmonisasi langkah pencegahan terhdap krisis ini
sangat panting dilakukan dalam kondisi masih normal.
Dengan demikian regulasi-regulasi yang bersifat macro
prudential untuk mencegah adanya sistemik risk dapat
dikeluarkan oleh bank sentral untuk melaksanakan
tugasnya yang menyangkut kebijakan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan. Dalam hal pengawasan
bank berada di bank sentral maka regulasi yang bersifat
microprudential juga dapat dikeluarkan oleh bank
sentral secara simultan dan harmonis. Peraturan kehati-
hatian diharapkan akan dapat menurunkan risiko kepada
level dimana bank mampu untuk menyerap dan juga
untuk meningkatkan ketahanan lembaga keuangan.
Salah satu motif penerapan risk mangement dan Basel
II diharapkan untuk meningkatkan efisiensi industri
perbankan serta ketahanan industri perbankan agar
mempunyai permodalan yang sesuai dengan risiko yang
dihadapi. Peraturan kehati-hatian juga dapat dipakai
oleh otoritas untuk memperlambat pertumbuhan yang
terlalu cepat sehingga risikonya mudah dikendalikan
oleh bank. Buffer modal yang bervariasi juga dapat
diterapkan untuk mengantisipasi terjadi siklus boom
dan burst akan meningkatkan ketahanan perbankan
dalam menghadapi shocks. Namun demikian metodologi
menentukan permodalan yang counter cyclical ini secara
tehnik sangat bervariasi dan mengandung banyak
20
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
21
kelemahan, dengan kemungkinan terjadi overstated
tingkat modalnya.
VI.Stabilitas sistem keuangan dan kebijakan moneter
Beberapa tahun terakhir ini hubungan antara kebijakan
moneter dan stabilitas sistem keuangan telah menarik
banyak perhatian para pengambil kebijakan. Stabilitas
moneter dan sistem keuangan merupakan dua sasaran
atas kebijakan publik yang dilakukan oleh bank sentral.
Dua sasaran ini saling melengkapi. Stabilitas sistem
keuangan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
stabilitas harga. Pertama, stabilitas sistem keuangan
akan menjamin adanya penawaran kredit yang lebih
stabil dan aliran modal yang stabil, dimana kedua hal
ini merupakan prasyarat untuk menjaga pertumbuhan
yang sustainable; Kedua, stabilitas sistem keuangan
akan membantu efektifnya transmisi kebijakan moneter.
Stabilitas sistem keuangan secara implicit memberikan
jalan bahwa perubahan kebijakan moneter akan
mempunyai dampak terhadap suku bunga pasar
sebagaimana yang diharapkan pengambil kebijakan.
Dengan demikian, perubahan kebijakan moneter akan
mempengaruhi rumah tangga dan perusahaan korporasi
dan, pada akhirnya, inflasi serta mendorong kegiatan
ekonomi. Dilain pihak, stabilitas harga juga akan
mempunyai dampak positif terhadap stabilitas sistem
keuangan. Keberhasilan kebijakan moneter akan sangat
mempermudah tercapainya stabilitas sistem keuangan
dengan hilangnya mispersepsi atas singal kebijakan
moneter sehingga inflasi dapat dijaga pada tingkat
yang dikehendaki sesuai target. Inflasi yang rendah
dan stabil akan memberikan rumah tangga dan
perusahaan korporasi mendapatkan indikasi yang jelas
atas perubahan harga, sehingga bisa melakukan alokasi
sumber daya yang lebih efektif. Namun demikian,
stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter
kadang-kadang memang tidak sejalan, pertanyaannya
sejauh mana sasaran stabilitas sistem keuangan bisa
dipertimbangkan dalam kebijakan stabilitas moneter.
Kelihatannya telah terjadi kesepakatan diantara otoritas
bank sentral bahwa dalam kondisi ekstrim, yang dapat
membahayakan stabilitas sistem keuangan, maka
kebijakan moneter bisa sementara diarahkan untuk
mengatasi sementara permasalahan di sektor keuangan.
Sebagai contoh, bank sentral telah melonggarkan
likuiditasnya dalam kondisi krisis. Hal ini tidak pernah
terjadi dalam kondisi normal. Namun demikian,
risiko terhadap instabilitas yang berasal dari ketidak
seimbangan di sektor keuangan (seperti capital inflow
dan outflow melalui proses yang panjang). Dalam
kondisi demikian, pertanyaannya kembali menyangkut
apakah stabiltias sistem keuangan akan selalu
dipertimbangkan secara eksplisit dalam kebijakan
moneter. Persoalan ini telah menjadi perdebatan
oleh para pengambil kebijakan di bank sentral setiap
kali akan mengambil kebijakan moneter. Dalam
kenyataannya beberapa bank sentral telah menerapkan
inflation targeting yang lebih fleksibel dalam kebijakan
moneternya dalam target horizon tertentu. Ini bukti
bahwa terdapat kemungkinan mempertimbangkan
dampak dari ketidakseimbangan di sektor keuangan
terhadap proyeksi inflasi. Namun demikian perlu digaris
bawahi bahwa dampak negatif dari ketidak seimbangan
di sektor keuangan akan terjadi dalam waktu yang
relatif lama, dan kemungkinan akan jauh lebih lama
dari horizon target inflasi. Dalam kondisi demikian,
maka perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
risiko apabila tidak memperhitungkan dampak
imbalance di sektor keuangan ini terhadap inflasi untuk
jangka waktu menengah dan panjang, terutama
terhadap terjadinya turbulence perekonomian dimasa
mendatang. Dalam kondisi yang paling buruk,
turbulence perekonomian dapat menimbulkan krisis
keuangan. Undang-undang bank sentral di New
Zealand secara eksplisit mengatakan bahwa bank
sentral dalam menetapkan kebijakan moneter harus
mempertimbangkan efisiensi dan kesehatan sistem
keuangannya. Di Norwegia juga menerapkan
inflation targeting yang lebih fleksibel dengan
mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dalam
memformulasikan kebijakan moneternya, dengan
pertimbangan bahwa ketidakseimbangan di sektor
keuangan akan sangat berpengaruh terhadap inflasi
dan output serta dapat menimbulkan ketidak stabilan
di sistem keuangan. Seluruh bank sentral telah
mendirikan unit khusus yang melakukan moitoring
dan analisis terhadap kondisi sistem keuangan dan
sektor riil terutama perilaku rumah tangga dan
perusahaan korporasi sebagai input kebijakan moneter.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
VII.Tantangan kedepan
Meskipun pemikiran tentang stabilitas sistem keuangan
telah berkembang dan diterapkan secara formal oleh
sebagian besar bank sentral di seluruh dunia, namun
tetap tidak ada jaminan bahwa akan terhindar dari
krisis yang bersifat sistemik. Krisis pada tahun 2008
yang baru lalu membuktikan bahwa masih banyak
tantangan kedepan untuk lebih meningkatkan berbagai
perhatian kita terhadap pencegahan untuk menghindari
terjadinya krisis dan penyelesain atas krisis itu sendiri
dengan pertimbangan bahwa sistem keuangan akan
berkembang terus sehingga dimungkinkan adanya
sumber kerawanan yang belum terdeteksi sebelumnya.
Peningkatan peraturan yang bersifat macroprudential
merupakan agenda yang penting kedepan sebagaimana
yang telah dicanangkan dari berbagai program bersama
dibawah G20. Perkembangan capital inflow ke beberapa
negara berkembang juga akan menjadi sumber
kerawanan yang perlu menjadi perhatian bersama.
22
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
A. Pengantar
Di Inggris, pada 21 Januari 2009, pada The Economist's
Inaugural City Lecture, Adair Turner, Kepala OJK Inggris
menyatakan bahwa model pengawasan Inggris saat ini
yang memisahkan pengawasan dari bank sentral telah
membuat otoritas pengawas terlalu terfokus pada
lembaga per lembaga dengan perhatian pada risiko
tunggal. Sementara bank sentral terlalu fokus pada
kebijakan moneter yang secara sempit, yaitu mencapai
target inflasi. Akibatnya semua laporan tentang kondisi
sistem keuangan dan potensi risiko sistemik tidak pernah
memberikan gambaran risiko yang seutuhnya. Bahkan
laporan IMF yaitu Global Financial Stability mengakui
secara riil mereka salah dalam menilai keadaan. Karena
itu disarankan agar bank sentral dan otoritas untuk
mengintegrasikan analisa ekonomi makronya dengan
analisa makroprudensial dan mengintegrasikan langkah
kebijakanya sebelum krisis terjadi.
Independensi merupakan isu krusial bagi sebuah Bank
Sentral untuk memainkan perannya secara optimal di
tengah perkembangan ekonomi global yang sangat
dinamis dan seringkali bergejolak. Status kelembagaan
Bank Indonesia (BI) yang independen sebagaimana
tercantum pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999 menjamin
BI bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-
pihak luar lainnya. Dari sisi kelembagaan Independensi
BI terlihat dari kedudukan kelembagaanya yang berbeda
dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia.
Menurut UU, kedudukan BI tidak sejajar dengan DPR,
MA, BPK atau Presiden yang merupakan Lembaga
Tinggi Negara. Kedudukan BI juga tidak sama dengan
departemen karena BI berada di luar pemerintah.
Masalahnya adalah ternyata independensi BI diikuti
dengan upaya sistimatis untuk mengurangi kewenangan
yang dimiliki BI sebagai bank sentral. Rencana pengalihan
kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan
adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI
hanya berfungsi dari aspek moneter. Masalahnya adalah
kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut,
maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan
tugas moneternya terganggu karena bank merupakan
lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi
kebijakan moneter.
Terkait dengan masalah stabilitas sistem keuangan,
peran bank sentral sangat penting. Di tengah krisis
keuangan global saat ini, isu tentang stabilitas keuangan
menjadi topik utama diskusi ekonomi baik di tingkat
regional maupun global. Krisis keuangan selalu memiliki
konsekuensi kerugian bagi perekonomian Negara yang
mengalaminya makanya upaya pencegahan jangan
sampai krisis terjadi menjadi perhatian banyak pihak.
Terlebih saat ini globalisasi sudah menjadi fakta yang
tidak dapat dibantah. Globalisasi telah membawa
manfaat bagi banyak negara di dunia dengan
mendorong peningkatan Gross Domestic Product (GDP).
Globalisasi juga membuka akses yang lebih lebar bagi
negara-negara di dunia terhadap pasar global. Saat ini
hampir tidak ada Negara yang tidak memiliki hubungan
ekonomi internasional.
Meski demikian, globalisasi yang terjadi bukan tanpa
cela. Stiglitz (2006) menyatakan aturan main globalisasi
cenderung tidak adil dan menguntungkan negara-
negara industri maju dan hanya mengutamakan nilai-
nilai material dibandingkan nilai-nilai lainnya, seperti
perhatian terhadap aspek lingkungan. Sementara
penanganan globalisasi cenderung mengurangi
kedaulatan negara berkembang serta mengabaikan
kemampuan negara berkembang dalam mengambil
keputusan sendiri, khususnya terkait area utama yang
akan mempengaruhi penduduknya. Terlebih sistem
ekonomi yang dipaksakan terhadap negara sedang
23
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem KeuanganOleh Drs. Ec Abdul Mongid, MA1
1 Dosen STIE Perbanas Surabaya
berkembang cenderung tidak tepat bahkan tidak
menguntungkan negara tersebut. Akibatnya meski
mereka yang pro globalisasi mengklaim bahwa setiap
orang akan diuntungkan secara ekonomi, namun pada
kenyataannya baik di negara maju maupun berkembang
terdapat banyak pihak yang dirugikan.
B. Independensi Bank Sentral: Perspektif Akademis
Independensi bank sentral merupakan tema utama
diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal
tahun 1990-an. Diskusi ini menjadi sangat penting
setelah kajian akademis menunjukan Negara yang
memiliki bank sentral yang independen memiliki tingkat
inflasi yang lebih rendah. Temuan ini menimbulkan arus
baru penelitian yang mencoba mencari kaitan secara
detail kenapa inflasi dapat menjadi lebih rendah.
Jawabannya terletak pada perspektif kebijakan bank
sentral yang berdimensi jangka panjang dan kredibilitas
kebijakan yang ditempuhnya.
Temuan ini menimbulkan semangat baru dalam kajian
kebanksentralan karena semua ekonom percaya bahwa
stabilitas harga merupakan fondasi seluruh stabilitas
ekonomi yang lain. Stabilitas harga menjadi fondasi
bagi berjalanya ekonomi pasar yang baik. Ini berarti
stabilitas harga menjadi syarat yang harus dipenuhi
agar perekonomian berjalan dengan baik. Ana Schwartz
(1988) menyatakan perlunya Bank Sentral menjaga
inflasi dengan kebijakan moneter yang tepat. Bank
Sentral yang dapat menjaga stabilitas dan juga menjaga
likuiditas perbankan melalui lender of the last resort.
Krisis keuangan pada level apapun akan diperburuk
dengan kenaikan tingkat inflasi. Artinya mengapa
kebijakan moneter berusaha menjaga stabilitas adalah
sebagai upaya tidak langsung Bank Sentral dalam
menjaga jangan sampai krisis keuangan terjadi.
Pandangan Schwartz ini sering disebut sebagai Schwartz
Hypothesis, kebijakan moneter yang berusaha
membatasi inflasi cenderung mengurangi terjadinya
krisis keuangan karena kestabilan hanya akan membuat
proses pemakaian investasi yang benar dapat dilakukan.
Dalam bahasa lain ketidak stabilan sistem keuangan
karena para investor, penabung dan peminjam kesulitan
dalam menilai pendapatan potensial dan tindakannya
untuk konvertasi mampu memanajemeni. Seperti
diketahui arus kas investasi bisa diramalkan tetapi
ketidak sesuaian suku bunga diskonto sebagai proksi
inflasi tidak diketahui maka nilai riil investasi juga tidak
diketahui.
Begitu pentingya stabilitas uang menjadikannya sebagai
suatu fondasi dasar perekonomian untuk berjalan baik.
Karena itu terjadi konsensus secara luas bahwa
menciptakan stabilitas uang tidak bisa diserahkan kepada
proses politik keseharian. Artinya terlalu berbahaya
dalam jangka panjang jika masalah manajemen nilai
uang diserahkan oleh kekuatan politik karena kekuatan
politik memiliki perspektif jangka pendek. Stabilitas
uang juga merupakan barang publik sehingga sangat
wajar jika pengelolaanya dilakukan oleh lembaga yang
independen dari campur tangan politik. Lembaga ini
harus bebas dari kepentingan lain yang dapat membuat
upaya mencapai tujuan menciptakan uang yang stabil
gagal. Inilah yang menjadi latar belakang kenapa bank
sentral yang independen dibentuk.
Bank sentral yang independen memiliki mandat jelas dan
terbatas. Ini menjadikan mandat itu jelas dan membatasi
kewenangan diskresi yang dapat mengalihkan dari
pencapaian tugas utama. Implikasi dari keadaan ini adalah
bank sentral harus menjadi agen masyrakat yang bertindak
sebagai prinsipal. Proses ini menuntut bank sentral juga
akuntabel ke publik. Saat ini masalah independensi bank
sentral sudah dapat diterima secara umum baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Secara umum,
termasuk di Indonesia, kinerja bank sentral dalam
mendorong inflasi lebih rendah relatif berhasil sehingga
manfaat bagi masyarakat relatif dapat dirasakan. Dalam
sejarah ekonomi politik di Indonesia, gejolak ekonomi
selalu menjadi pemicu bagi gerakan masyarakat untuk
melalukan protes jalanan.
Diterimanya konsep independensi bank sentral tidak
lepas dari keberhasilan Bundesbank Jerman. Seperti
diketahui ekonomi Jerman pernah mengalami inflasi
yang sangat tinggi dan itu dirasakan sebagai masalah
berat dan menjadi sejarah kelam ekonomi Jerman.
Makanya pengalaman sejarah itu menjadikan masyrakat
Jerman sangat takut inflasi tinggi terulang sehingga
menjadikan Bundesbank sebagai penjaga inflasi sebagai
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
suatu yang tidak dapat ditawar lagi. Prinsip ini juga
menjadi dasar operasional European Central Bank (ECB),
yang diakui atau tidak, merupakan penjelmaan
Bundesbank.
Selain pengalaman Jerman, indpendensi bank sentral
juga dipopulerkan oleh penelitian akademsis terkait
dengan bias inflasi ketika kebijakan bank sentral sangat
dipengaruhi diskresi kebijakan. Dengan penerapan
kebijakan target inflasi (inflation targeting) peran ini
makin jelas dan dapat dijalankan oleh bank sentral
karena prinsip dasarnya sangat jelas (Taylor Principle).
Yang diperlukan adalah konsistensi kebijakan.
Teori kebjakan moneter optimal (The modern theory
of optimal monetary policy) yang dikembangkan oleh
Kydland and Prescott (1977) serta dilanjutkan oleh
Barro and Gordon (1983) menempatkan posisi bank
sentral sebagai perencana sosial yang berusaha
memaksimalkan kemakmuran sosial masyarakat yang
kalau diperhatikan merupakan pengembangan lebih
lanjut dari ekspektasi implisit dari kurva Philips
(expectations-augmented Phillips curve). Sebagai
perencana sosial dimana bank sentral juga bertanggung
jawab untuk menciptakan kesempatan kerja, maka
setiap pergeseran output riil dari output potensial akan
menimbulkan bias inflasi (inflation bias). Bias inflasi
inilah yang harus diatasi yang menurut Rogoff (1985)
dengan mendelegasikan kebijakan moneter kepada
bank sentral yang independen tetapi juga banker bank
sentral yang konservatif.
Pandangan ini akhirnya memberi jalan pada
perkembangan studi model ekonomi politik baru bank
sentral dengan memperhitungkan tujuan fungsional
bank sentral sebagai kompromi antara tujuan
menciptakan stablitas harga dan menciptkan
kesempatan kerja sebagaimana dinyatakan oleh
Cukierman, Kiguel and Liviatan (1992). Dalam model
ini independensi bank sentral cukup mampu mendorong
inflasi rendah walaupun studi lebih lanjut menunjukan
variasi regional yang signifikan.
Kajian mengenai ekonomi politik terkait peran bank
sentral dan kebijakan moneter menyimpulkan pentingnya
aspek politik dan kelembagaan dalam penentuan
kebijakan moneter baik di negara maju dan berkembang.
Secara umum disimpulkan bahwa peran kelompok-
kelompok sosial dan politik, bank sentral yang independen
dan preferensi sektor swasta sangat penting dalam
menentukan kebijakan bank sentral (Cukierman, Kiguel
and Liviatan : 1992). Dalam sebuah makalahnya Epstein
(2005) berpendapat bahwa bank sentral secara historis
memainkan peran aktif sebagai agen pembangunan
ekonomi karena itu nilai baru independensi bank sentral,
demokrasi, transparansi dan akuntabilitas (harus menjadi
nilai baru bank sentral dimanapun saja.
Di banyak negara, aspek politik yang kondusif mendukung
pencapaian inflasi yang rendah. Makanya Epstein (1992)
mengembangkan model ekonomi politik dari bank sentral
yang memperhitungkan berbagai kepentingan yang
saling bersaing dalam perekonomian dan efeknya pada
fungsi dan tujuan bank sentral. Kesimpulanya adalah
politik menentukan kebijakan dan disain kelembagaan
bank sentral. Dalam studi lain terkait hubungan politik
dan kebijakan moneter, Henning (1994), menunjukkan
bahwa preferensi sektor swasta memainkan peran penting
dalam formulasi kebijakan moneter dan manajemen nilai
tukar. Preferensi sektor swasta merupakan hasil hubungan
struktural antara perbankan dan industri.
Gutiérrez (2003) menyatakan bahwa rendahnya
hubungan antara independensi bank sentral secara
hukum dan inflasi mungkin tergantung pada apakah
independensi itu dijalankan secara benar atau tidak.
Artinya apakah independensi secara legal itu diterapkan
secara benar sebagaimana di Negara maju meruakan
masalah tersendiri. Karena itu memperhatikan dokumen
hokum saja tidak mencukupi. Dvorsky (2000) mengukur
derajad independensi bank sentral di Negara transisi
eropa timur meliputi Czech, Hungaria, Polandia, Slovakia
dan Slovenia menggunkan pendekatan Cukierman,
Kiguel and Liviatan menyimpulkan independensi bank
sentral tidak memadai untuk inflasi rendah tetapi perlu
reformasi ekonomi dan koordinasi antara sector moneter
dan fiscal. Sturm and de Haan (2001) menemukan
bahwa bank sentral perlu bekerjasama dengan dengan
lembaga lain untuk inflasi yang rendah dan independensi
saja tidak cukup. Hanya negara yang inflasinya sangat
tinggi saja independensi sangat efektif dalam jangka
pendek.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Hasil empiris itu menimbulkan pertanyaan apakah
independensi bank sentral masih relevan bagi negara
sedang berkembang? Jawabnya Ya. Dari berbagai
macam literature akademis tercipta konsesnus bahwa
independensi bank sentral diperlukan walaupun semua
sepakat bahwa independensi secara legal saja tidak
cukup. Perlu ada kewenangan lain untuk mengatasi
tekanan inflasi. Harus ada perangkat kelembagaan lain
yang berfungsi mendukung peran ini.
Karena itu definisi independensi perlu dijelaskan lebih
detail antara independensi secara legal dan aktual.
Secara legal independensi adalah jaminan secara
konsitusional tentang fungsi bank sentral dan khususnya
terkait dengan hubungannya dengan pemerintah.
Aktual dimaksudkan sebagai independensi dari sisi
otonomi dalam hubungannya dengan pemerintah.
Cukierman, Kiguel and Liviatan (2007) menggunakan
istilah yang serupa yaitu independensi de jure dan de
facto. De Jure adalah independensi dari sisi legalitas
dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi
untuk independensi de facto.
Grilli, Masciandaro, dan Tabellini (1991) menfokuskan
pada dua dimensi penting yaitu independensi politis dan
independensi ekonomi. Sementara Debelle dan Fisher
(1994) mengkategorikan independensi dari sisi Tujuan
(goal) dan Perangkat (instrument). Tujuan dimaksudkan
sebagai kemampuan menentukan tujuan tanpa campur
tangan langsung dari pemerintah. Independensi
instrumen dimaksudkan sebagai kemampuan bank
sentral dalam memilih kebijakan yang ingin dilakukan.
Dalam kontek Indonesia, status kelembagaan BI yang
independen yang tercantum pada pasal 4 UU No. 23
Tahun 1999. Independensi artinya bebas dari campur
tangan pemerintah dan pihak-pihak luar lainnya dalam
melakukan kebijakan moneter. Dengan UU yang baru
ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI dalam
melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan
segala bentuk campur tangan terhadap tugas BI, maupun
dewan gubernur dan pejabat BI yang tidak menolak
campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat
dan denda yang besar. Pertimbangan mendasar BI dalam
menjalankan kebijakan moneter adalah untuk tujuan
menstabilkan nilai rupiah.
C. Pengawasan Bank
Seperti diketahui amanat membuat lembaga pengawas
bank yang baru ada sejak diundangkannya UU bank
sentral nomor 23 tahun 1999. Pembentukan lembaga
pengawas yang baru ini selain memang mengikuti
trend pemisahan pengawasan bank di negara maju
seperti Inggris dan Australia, juga didorong oleh krisis
perbankan 1998. Krisis yang membuat pemerintah
mengeluarkan dana rekapitalisasi perbankan sebesar
Rp 420 triliun dipandang sebagai bukti kegagalan BI
dalam melakukan fungsi pegawasan.
26
Tabel I. Sistem Pengawasan Bank
Institusional
Functional
Integrasi
Twin Peaks
Bentuk Ciri-Ciri Umum
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan tersebut baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing
Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan
Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
27
Setelah UU BI diamandemen melalui UU No. 3 tahun
2004, pemikiran pembentukan OJK masih ada.
Berdasarkan Pasal 34 dinyatakan tugas mengawasi bank
nantinya akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk
dengan UU. Lembaga pengawas ini selambat-lambatnya
31 Desember 2010. Sebelumnya berdasar UU 23 tahun
1999, OJK dibentuk paling lambat akhir tahun 2004.
Tapi kemudian pemerintah bersama DPR sepakat merevisi
UU 23 Tahun 1999 tentang BI menjadi UU 3/2004.
Di dunia saat ini sebenanrya ada empat sistem
pengawasan lembaga keuangan yang dapat ditemui
di dunia. Pertama, sistem pengawasan institutisional
yaitu sistem pengawasan dimana lembaga pengawas
didasarkan pada status badan hukum lembaga tersebut.
Secara umum ini sistem yang mayoritas dengan bank
sentral sebagai pengawas mendominasi diatas 70%.
Kedua, sistem pengawaan fungsional, dimana
pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh berbagai
lembaga yang berbeda sesuai fungsi bisnis lembaga itu.
Contohnya asuransi akan diawasi lembaga pengawas
asuransi. Jika bank menjalankan bisnis asuransi, maka
bank akan diawasi lembaga pengawas asuransi juga.
Jadi sebuah lembaga keuangan akan diawasi oleh
banyak pengawas tergantung aktifitas bisnisnya.
Ketiga, sistem pengawasan terintegrasi yaitu semua
lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan
yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas
baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial
dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris,
Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian
inilah yang sedang kita gagas dengan OJK. Terakhir,
twin peak yaitu sistem pengawassan berbasis pada
tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi
safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada
praktek bisnis.
Keempat sistem itu adalah selalu punya untung dan
rugi. Artinya apakah pengawasan lembaga keuangan
yang terpisah dari bank sentral atau menyatu dalam
bank sentral adalah sama baiknya asal semuanya berfugsi
dan menjalankan fungsinya dengan baik. Pengawasan
lembaga keuangan oleh OJK akan sangat efektif ketika
lembaga keuangan saling terkait seperti ketika bank
memiliki produk yang terkait dengan pasar modal. Ada
semacam efisiensi pengawasan yang akan dapat
dinikmati karena pengawasan bank, pasar modal dan
lembaga keuangan lain ada dalam satu pengendalian.
Selain itu akan terhindar dari conflict of interest antara
macroprudential dan microprudential supervision.
Mengacu pada kasus Century Artaboga, konsolidasi
pengawasan produk bank dan non-bank menjadi lebih
efektif karena tergabung dalam satu institusi.
Sementara kalau pengawasan bank dibawah bank
sentral, koordinasi kebijakan antara sektor moneter
dan perbankan yang lebih lancar. Demikian juga dengan
akses informasi kondisi perbankan sebelum bank sentral
mengambil keputusan terkait kebijakan moneter. Dari
sisi sistem pembayaran, akan meningkatkan reliabilitas
sistem pembayaran karena BI juga merupakan
penyelenggara sistem pembayaran nasional. Terkait
dengan krisis likuiditas, keberadaan BI sebagai pengawas
akan menjamin tersedianya likuiditas bagi perbankan
ketika terjadi liquidity shortage sehingga diharapkan
mengurangi risiko sistemik karena kecepatan
pengambilan keputusan (crisis prevention).
Namun bagi negara berkembang dimana perbankan
adalah lembaga keuangan utama dalam sistem
keuangan, manfaat efisiensi pengawasan sepertinya
tidak akan diperoleh. Makanya literatur ekonomi
(Goodhard dll) menyatakan sebaiknya Negara
berkembang tidak menyatukan pengawasan perbankan
ke dalam OJK. Sayangnya pandangan pentingya bank
sentral tetap sebagai pengawas bank kurang terdengar
akhir akhir ini.
Apakah sistem keuangan kita sudah membutuhkan
pengawasan terkonsolidasi semua lembaga keuangan
dalam satu lembaga? Rasanya itu belum mendesak
karena produk keuangan kita saat ini relative sederhana.
Bahkan perbankan menguasai porsi pembiayaan lebih
dari 80%. Demikian juga dengan integrasi perbankan
dengan pasar modal sangat rendah karena pasar modal
belum cukup berkembang.
Kita menyadari masalah otoritas dan pengawasan jasa
keuangan bukan sekedar masalah efisiensi ekonomi saja
tetapi lebih banyak nuansa politis. Jabaran teori ekonomi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
politiknya adalah pemerintah sebagai lembaga politis
sebenarnya tidak rela bank sentral, yang notabene adalah
profesional terlalu menguasai keputusan ekonomi. Ingat
profesional memperoleh kekuasaan karena keahlian.
Sementara politisi memperoleh kekuasaan karena mereka
berjuang dengan kampanye dan perjuangan politis.
Politisi memiliki pendukung yang harus dipuaskan.
Sehingga kewenangan bank sentral yang besar membuat
ruang gerak politisi/pemerintah makin terbatas. Makanya
independensi diberikan tetapi pengawasan diambil
politisi.
Pengalaman membuktikan apapun struktur
pengawasannya, bank sentral atau OJK, hampir tidak
ada pengaruhnya terhadap kinerja pengawasan.
Kegagalan Nothern Rock Bank di Inggris buktinya. Studi
empiris membuktikan yang lebih penting dan lebih
menentukan kinerja pengawasan adalah suprastruktur
dan lingkungan operasional pengawas seperti
independensi operasional, akuntabilitas dan transparansi
pengawas bank dalam menjalankan tugasnya. Bukan
struktur kelembagaanya. Makanya kalau partai
Konservatif di Inggris menang dalam pemilu kedepan,
pengawassan bank akan dikembalikan ke Bank Of
England kembali.
Secara tradisional tujuan pengaturan dan pengawasan
bank adalah untuk mencapai dan menjaga agar lembaga
keuangan menjadi sehat dan aman. Artinya agar
lembaga keuangan beroperasi dengan mengindahkan
prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang sehat dan
berhati hati. Ini untuk menjamin kepentingan nasabah
baik deposan maupun debitur. Fungsi otoritas dalam
hal ini adalah mewakili kepentingan nasabah (delegated
monitor) dengan mengawasi prilaku lembaga keuangan.
Sekarang ini terjadi pergeseran yaitu pengawasan
lembaga keuangan juga diarahkan untuk mencegah
jangan sampai lembaga keuangan menjadi sumber dari
krisis ekonomi (systemic risk). Tujuan ini sering disebut
sebagai mencapai stabilitas sistem keuangan. Seperti
diketahui krisis ekonomi merupakan situasi yang sangat
merugikan karena krisis mampu menghancurkan sendi-
sendi ekonomi yang lama dibangun suatu negara.
Ongkos penyelesaian dan dampak krisis sangat mahal
dan dapat menyeret ekonomi suatu negara mundur
sepuluh tahun kebelakang. Dari berbagai krisis ekonomi,
ternyata sumbernya beragam baik dari sisi perbankan,
nilai tukar, hutang luar negeri dan lainnya. Namun
kalau diperhatikan, mayoritas krisis berasal dari lembaga
keuangan atau ketika lembaga keuangan tidak sehat,
mereka menjadi pemicu maupun pemacu (accelerator)
krisis.
D. Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem
Keuangan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia mengatur tentang peran dan tugas Bank
Indonesia sebagai sebagai otoritas moneter. Dalam
perkembanganya peran sebagai otorita moneter
dirasakan kurang memadai karena cakupan otoritas
moneter hanya terbatas pada aspek stabilitas harga.
Dalam perkembngan ekonomi modern yang makin
komplek seperti saat ini peran bank sentral dalam
stabilitas sistem keuangan makin diperlukan.
Konsep stabilitas sistem keuangan atau stabilitas
keuangan jauh lebih luas dari stabilitas moneter. Stabilitas
moneter hanya mengacu pada stabilitas harga (price
stability). Artinya merupakan salah satu konsep kestabilan
yang skopnya lebih kecil tetapi punya peranan penting
adalah stabilitas moneter. Stabilitas moneter (monetary
stability) didefiniskan sebagai stabilitas harga dimana
perekonomian mengalami inflasi dalam jumlah yang
relatif kecil yaitu 1-2% setahun. Deflasi juga ancaman
terhadap stabilitas moneter namun karena isu deflasi
sangat jarang terjadi maka kurang menjadi perhatian.
Kalau melihat UU No 23/99 tentang Tugas Bank
Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah maka
secara singkat merupakan upaya mengurangi inflasi
menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi jangka
panjang yang berkelanjutan (sustainable economic
growth). Pertumbuhan ekonomi menjadi isu global
dan nasional saat ini secara politik penentu selalu
menjalankan pertumbuhan ekonomi sebagai bukti
keberhasilan dalam pembangunan.
Sementara stabilitas sistem keuangan memiliki cakupan
yang luas walaupun definisi baku stabilitas sistem
keuangan (SSK) belum disepakati. Ada banyak definisi
kestabilan sistem keuangan diantaranya:
28
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
John Chant (2003) menyatakan instabilitas adalah
keadaan pasar yang merugikan perekonomian yang
mengancam kinerja ekonomi sehingga melumpuhkan
kondisi keuangan rumah tangga, perusahaan dan
pemerintah dan membuat arus dana terbatas. Keadaan
juga mengganggu fungsi dan operasi lembaga
keuangan. Crockett (1996) mendefinisikan stabilitas
keuangan sebagai ketiadaan instabilitas. Instabilitas
sebagai situasi ekonomi yang terganggu karena fluktuasi
harga aset keuangan yang besar atau ketika lembaga
keuangan gagal memenuhi kewajiban yang sudah
diperjanjikan. Sementara Deutsche Bundesbank (2003)
menggambarkan stabilitas keuangan sebagai keadaan
seimbang sistem keuangan sehingga berfungsi efisien
dalam alokasi sumber dan mengelola risiko dan
menjalankan fungsi pembayaran, mampu mengatasi
kejutan ekonomi, kebangkrutan dan perubahan
struktural yang mendasar.
Frederick Mishkin (1999) menyatakan instabilitas
keuangan terjadi ketika kejutan terhadap sistem
keuangan karena masalah arus informasi sehingga
sistem keuangan tidak mampu menjalankan funsinya
menyalurkan dana kedalam investasi produktif.
Sementara itu, Schinasi (2006) mendefinisikan stabilitas
keuangan sebagai kondisi dimana sistem keuangan:
a. Secara efisien memfasilitasi alokasi sumber daya
dari waktu ke waktu, dari deposan ke investor, dan
alokasi sumber daya ekonomi secara keseluruhan,
b. Dapat menilai/mengidentifikasi dan mengelola risiko-
risiko keuangan.
c. Dapat dengan baik menyerap gejolak yang terjadi
pada sektor keuangan dan ekonomi.
Dari semua definisi diatas dapat diringkas secara
sederhana kestabilan keuangan adalah tidak adanya
krisis yang berarti situasi dimana ketahanan sistem
keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga
fungsi intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran
risiko tetap berjalan dengan semestinya.
Dari uraian diatas terlihat keterkaitan antara Stabilitas
Moneter & Stabilitas Sistem Keuangan. Stabilitas
moneter dan stabilitas sistem keuangan ibarat dua sisi
dari satu koin yang saling mempengaruhi satu terhadap
yang lain. Namun demikian, terdapat perbedaan
mendasar antara keduanya.
29
Tabel 2. Perbandingan Stabilitas Moneter dan Stabilitas Keuangan
Definisi
Instrumen pengontrol
Struktur Proyeksi
Alat Proyeksi
Stabilitas KeuanganStabilitas Moneter
Stabilnya harga untuk mengendalikan inflasi mengendalikan deflasi
Kebijakan moneter Suku bunga Operasi pasar
Trend, Central tendency of distribution
Teknik peramalan standar
Kestabilan institusi dan pasar keuangan dan tiadanya tekanan dan pergerakan harga yang berpotensi menyebabkan guncangan perekonomian
Sangat terbatas, dan sulit untuk disesuaikan: Fasilitas Pembiayaan Darurat
Tails of distribution, Extreme event
Simulasi, Stress test
Sumber: Diadaptasi dari Aspach O, et. al. (2006) dan Schioppa (2002)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Kalau memperhatikan UU no. 23 Tahun 1999, peran
dan fungsi Bank Indonesia dalam stabilitas sistem
keuangan yang tidak secara eksplisit tercantum dalam
Undang-Undang Bank Indonesia. Beranjak dari
pengalaman krisis keuangan 1997/1998 dan juga dampak
krisis keuangan global pada perekonomian Indonesia
tahun 2008 yang lalu, Bank Indonesia memegang peran
dan fungsi sentral dalam stabilitas sistem keuangan.
Karena memandang bahwa stabilitas sistem keuangan
sebagai suatu hal yang sangat penting untuk menunjang
stabilitas makroekonomi.
Walaupun tidak secara eksplisit peran BI dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan, namun berdasarkan
pengalaman negara-negara maju, fungsi menciptakan
stabilitas sistem keuangan merupakan fungsi yang
melekat di bank sentral. Walaupun tidak secara eksplisit
tercantum, secara implisit peran ini juga dekat dengan
peran BI sebagai bank sentral secara umum.
Dalam kaitan dengan tugas Bank Indonesia untuk
menjaga stabilitas moneter antara lain melalui
penggunaan instrumen suku bunga dalam operasi
pasar terbuka, maka secara implisit mengharuskan BI
untuk melakukan segala daya dan kewenanganya
untuk mencapai tugas itu. Dalam hal ini, Bank Indonesia
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter
secara tepat dan berimbang melalui pengendalian suku
bunga sebagai target antara (intermediate target).
Penerapan kebijakan moneter dengan target inflasi
(inflation targeting) merupakan salah satu implementasi
dari tugas menjaga stabilitas moneter.
Sistem keuangan Indonesia secara umum didominasi
perbankan. Artinya stabilitas sistem keuangan Indonesia
sangat dipengaruhi kemampuan sistem perbankan
dalam menahan ancaman destabilisasi. Karena itu Bank
Indonesia berperan vital dalam menciptakan stabilitas
sistem keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
Peran Bank Indonesia dalam menciptakan dan
memelihara sistem perbankan yang sehat dilakukan
melalui mekanisme kebijakan dan pengawasan yang
efektif, serta penegakan hukum (law enforcement).
Sistem pembayaran nasional merupakan tulang
punggung (backbone) kelancaran arus dana di
perekonomian. Sistem pembayaran dapat dikelompokan
dalam dua kategori yaitu sistem pembayaran berbasis
tunai atau kartal dan sistem pembayaran berbasis giral
atau elektronik. Bank Indonesia berwenang untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan
pengaturan untuk mengurangi risiko timbulnya gangguan
yang bersifat sistemik dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Berkaca dari kasus
Herstatt Bank pengaturan dalam sistem pembayaran
diarahkan jangan sampai risiko kredit dalam sistem
pembayaan berdampak pada kekacauan sistem
pembayaran nasional.
Selain BI menyediakan infrastruktur sistem pembayaran
yang terpercaya seperti sistim kliring nasional (SKN),
BI-RTGS dan BI-SSS, BI juga mengatur agar risiko kredit
dalam sistem pembayaran Nasional diminimalkan.
Kewajiban baik untuk menyediakan Cover Fund (Saldo)
yang cukup atau kewajiban menjalankan aset likuid
seperti SBI dan SUN merupakan upaya BI mencegah
jangan sampai krisis berawal dari kegagalan sitem
pembayaran.
Dalam kaitan dengan fungsi pencegahan krisis, maka
prinisip mencegah lebih baik daripada mengobati harus
menjadi filosofis dasar manajemen perekonomian
nasional. Kemamapuan dalam mendeteksi risiko yang
mungkin terjadi harus menjadi keahlian baru bank
sentral dalam fungsinya menjaga stabilitas sistem
keuangan. Saat ini Bank Indonesia sudah melakukan
riset dan pemantauan macroprudential (macroprudential
surveilance) terhadap sistem keuangan dan meneliti
potensinya dalam menyebabkan krisis. Bank Indonesia
dalam hal ini menganalisis dan memonitor kerentanan
sektor keuangan termasuk mendeteksi potensi shock
yang berdampak sistemik terhadap sistem keuangan,
selain melakukan riset untuk mengembangkan instrumen
dan indikator macroprudential guna mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan
ini akan diolah menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait
dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Untuk makin mendorong fungsi bank sentral dalam
menajga stabilitas sistem keuangan, maka bank sentral
30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
31
Tabel 3. Perbandingan Macroprudential dan Microprudential
Proximate objective
Ultimate objective
Model of risk
Correlations and common exposures across institutions
Calibration of prudential controls
MicroprudentialMacroprudential
limit financial system-wide distress
avoid output (GDP) costs
(in part) endogenous
important
in terms of system-wide distress; top-down
limit distress of individual institutions
consumer (investor/depositor) protection
exogenous
irrelevant
in terms of risks of individual institutions; bottom-up
Attributes
Sumber: Claudio Borio (2003)
melengkapi alat berupa sistem peringatan dini. Mengingat
krisis bersumber dari berbagai sebab dan pengalaman
membuktikan bahwa pendekatan mikroprudensial
lembaga keuangan saja tidak cukup mampu memberi
nilai peramalan, maka dikembangkanlah konsep yang
dikenal dengan pengawasan makroprudensial
(macroprudential surveillance).
Kita sepakat bahwa sangat penting mencegah jangan
sampai krisis keuangan terjadi karena dampak dari
krisis sangat mahal bagi perekonomian. Pertanyaan
mendasar saat ini yang penting untuk dijawab adalah
bagaimana mencegahnya? Jawaban atas pertanyaan
ini sangat tergantung kepada pemahaman kita terhadap
ketidakstabilan, sebab utamanya dan implikasi dari
ketidakstabilan itu sendiri. Pertanyaan diatas selalu
membawa kita pada suatu konsep yang dikenal dengan
”Macroprudential”. Walaupun belum ada definisi baku
pengertian makroprundesial tetapi secara umum ada
hubungan erat dengan konsep ”Microprundential”
yang selama ini kita kenal. Komparasi konsep ini ada
di table 3.
Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa macroprudential
bertujuan membatasi risiko krisis yang terjadi pada
suatu perekonomian dengan dampak kerugian produksi
ekonomi suatu negara. Sementara microprudential
merupakan upaya untuk mencegah terjadinya krisis
pada individu lembaga keuangan yang dapat merugikan
nasabah atau investor lembaga keuangan dengan
mengabaikan dampaknya terhadap perekonomian
secara keseluruhan. Dengan demikian dapat diringkas
tujuan dari makroprudensial adalah berada pada wilayah
ekonomi makrotradisional sementara untuk
microprudential bertujuan perlindungan terhadap
nasabah lembaga keuangan. Dalam perspektif
manajemen keuangan, makroprudensial bertujuan
mencegah terjadinya kejadian ekstrim (tail event) pada
portofolio semenatara mikroprudensial diarahkan untuk
mencegah terjadinya kejadian ekstrim pada satu
sekuritas atau instrumen keuangan.
Karena itu bagi otoritas keuangan, macroprudential
merupakan alat yang dapat membantu otoritas dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Walaupun tujuanya
berbeda yaitu macroprudential bertujuan menjaga sistem
sementara microprudential bertujuan menjaga lembaga
keuangan, namun keduanya memiliki keterkaitan yang
erat. Selama ini tangung jawab menjaga mikroprudensial
ada di lembaga pengawas jasa keuangan baik itu bank
sentral maupun lembaga diluar bank sentral. Satu hal
yang pasti adalah dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan, pendekatan macroprudential dan
microprudential harus menjadi kesatuan.
Peran penting yang terkait dengan stabilitas sistem
keuangan adalah yang terkait dengan fungsi penyediaan
dana likuiditas kepada perbankan. Fungsi ini merupakan
bagian dari fungsi jaring pengaman sektor keuangan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
selain perlindungan nasabah deposan lewar Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Bank Indonesia berperan
dalam jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi
bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia
sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna
menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank
Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard
sehingga pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan
yang ketat harus diterapkan dalam mekanisme lender
of last resort tersebut.
E. Kesimpulan dan Implikasi
Independensi bank sentral merupakan tema utama
diskusi kebijakan moneter yang sangat intensif di awal
tahun 1990-an karena negara yang memiliki bank sentral
yang independen memiliki tingkat inflasi yang lebih
rendah. Temuan ini menimbulkan arus baru penelitian
yang mencoba mencari kaitan secara detail kenapa inflasi
bias menjadi lebih rendah. Jawabanya terletak pada
perspektif kebijakan bank sentral yang berdimensi jangka
panjang dan kredibilitas kebijakan yang ditempuhnya.
Temuan ini sangat penting karena stabilitas harga
merupakan fondasi seluruh stabilitas ekonomi yang lain.
Stabilitas harga menjadi fondasi bagi berjalanya ekonomi
pasar yang baik. Ini berarti stabilitas harga menjadi syarat
yang harus dipenuhi agar pereknomian berjalan dengan
baik. Karena itu independensi bank sentral harus
diperkuat untuk menjamin kepentingan ekonomi jangka
panjang dijaga sebagai penyeimbang kepentingan politisi
yang dimensinya hanya lima tahun sesuai siklus pemilu.
Trend yang terjadi pada awal tahun 2000-an yang
memisahkan fungsi pengawasan lembaga keuangan
dari bank sentral telah menimbulkan fenomena kebijakan
kaca mata kuda (single focus policy). Otoritas bank
sentral, yang sesuai mandatnya adalah bertanggung
jawab menjaga stabilitas nilai uang, akhirnya
memfokuskan semua kebijakanya untuk mencapai
inflasi. Bank sentral menjadi kurang peduli dengan tugas
lembaga Negara yang lain bahkan dunia usaha. Selama
ada ancaman inflasi, suku bunga akan dinaikan. Selama
inflasi rendah maka kebijakan moneter yang longgar
akan dilakukan.
Dari berbagai kajian teoritis dan pengukuran empiris
membuktikan kestabilan sistem keuangan bukan
merupakan suatu hasil yang dengan sendirinya tercipta.
Kestabilan sistem keuangan merupakan hasil dari
suatu proses yang terencana dan merupakan hasil dari
sinergi bank sentral, pemerintah, lembaga keuangan
dan semua perilaku alami. Untuk mencapai dan
mempertahankan stablitas sistem keuangan, diperlukan
intervensi kebijakan. Disinilah peran baru bank sentral
yang memerlukan kekuasaan pengawasan bank yaitu
untuk memastikan kesehatan mikroprudensial. Menjaga
agar kesehatan bank terjaga sangat penting terlebih
dengan keterkaitan perbankan dalam sistem
pembayaran dan kebijakan moneter, pengawasan
perbankan sangat penting itu untuk memastikan
kebijakan yang tepat dalam mengatasi dan mencegah
terjangkitnya ketidakstabilan.
Kedepan peran bank sentral dalam pencegahan krisis
akan menjadi peran utama yang menuntut kewenangan
yang lebih besar dari sisi supervisi mikro-makroprudensial
maupun dalam regulasi risiko sistemik. Apakah
kewenangan ini akan dapat diperoleh bank sentral
mengingat kewenangan ini diberikan oleh politisi
(DPR dan Pemerintah)? Ini pertanyaan besar kita.
Terlebih, selama ini memang ada pendangan yang salah
terhadap fungsi BI sebagai bank sentral. Kesan ini
secara implisit diakui oleh Gubernur BI, yang sebelumnya
merupakan bagian pemerintah saat di Kementrian
Keuangan. Sebagai pengusul OJK, Darmin Nasution,
merasa paling bertanggung jawab dengan tarik ulur
pembentukan OJK. Setelah menjadi petinggi BI, beliau
menyadari terjadinya kesalahan dalam mempersepsi
peran bank sentral. Pemerintah selama ini melihat BI
dalam suasana “negatif” sehingga BI sering dipandang
sebagai “negara dalam Negara”. Akibatnya perspektif
negatif terhadap BI sangat kuat dan melihat isu conflict
of interest dalam penataan sektor moneter dan
perbankan sebagai masalah besar. Walaupun sebenarnya
kondisi conflict of interest ini menguntungkan karena
BI tidak akan menaikan suku bunga sangat tinggi. Aneh
kalau pemisahan pengawasan ini terkesan supaya BI
bisa bebas menaikan suku bunga. Di sisi lain kita selalu
menyerukan agar suku bunga turun.
32
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Alasan bahwa BI membutuhkan perbankan dalam mengelola
kebijakan moneter adalah fakta dan realitas. Tanpa adanya
kewenangan untuk mengawasi maka BI akan kehilangan
salah satu kaki untuk keberhasilan pengelolaan dan kebijakan
moneter. Teori saluran kredit dalam literatur moneter masih
sangat kuat karena memang perbankan masih menguasai
80% dari porsi pembiayaan nasional. Karena itu, dengan
berbagai pertimbangan tersebut, Pengawasan Bank tetap
berada di bawah Gubernur BI dikonstruksikan sebagai jalan
tengah kepentingan stabilisasi dan efektifitas pengawasan
mikroprudensial perbankan.
Sudah seharusnya akses untuk memperoleh informasi kondisi
mikroprudensial diberikan ke otoritas yang bertanggung
jawab dalam masalah makroprudensial walaupun OJK ada.
Tanpa akses yang cepat, tepat dan mudah maka tugas
makroprudential tidak akan berhasil. Kebutuhan akan
kewenangan ini harus ada dan bukan ada karena belas
kasihan lembaga lain. Terlebih ketika krisis mulai terjadi,
maka proses tarik ulur terkait akses ini bisa menghancurkan
kepercayaan pasar dan memicu permasalahan lain yang
lebih besar yaitu distrust kelembagaan. Bagaimana mau
mengatasi krisis jika antar lembaga negara yang bertanggung
jawab masalah ekonomi saling bertikai. Kalau proses ini
tidak diatur maka sekat kelembagaan akan menjadi kendala
yang serius dalam perumusan kebijakan yang tepat dan
cepat pada kritis dan implemetasi kebijakan itu di publik.
Inilah titik kritis jika RUU OJK diundangkan tanpa memberi
jaminan akses kepada BI untuk memantau langsung kondisi
perbankan.
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
34
Daftar Pustaka
Barro, R and D Gordon (1983), `Rules, Discretion and Reputation in a Model of Monetary Policy', Journal of Monetary
Economics.
Borio Claudio : “Towards a macroprudential framework for financial supervision and regulation?”, Monetari and Economic
Department, February 2003
Chant, J. (2003), Financial Stability as a Policy Goal , in: J. Chant, A. Lai M. Illing and F. Daniel (eds), Essays on Financial
Stability, Bank of Canada Technical Report, No. 95. Ottawa.)
Crockett, Andrew (1997) ’Why is Financial Stability a Goal of Public Policy?’, paper presented at Maintaining Financial Stability
in a Global Economy Symposium, the Federal Reserve bank of Kansas City, August 28-30.
Cukierman, A, S Edwards and G Tabellini (1990), `Seigniorage and Political Instability', CEPR Discussion Paper No. 381.
Cukierman , Kiguel and Liviatan , (1992), How much to commit to an exchange rate rule: balancing credibility and flexibility,
No 931, Policy Research Working Paper Series , The World Bank
Davies, E Philip, (2002), A Typology of Financial Instability, Financial Stability Report, No.
Deutsche, Bundesbank (2003), Report on the stability of the german financial system, Monthly report, Frankfurt, December
Dvorsky, S, (2000), Measuring Central Bank Independence in Selected Transition Countries and the Disinflation Process ,
BOFIT Discussion Paper No. 13/2000
Epstein, GA, (19920 "Political Economy and Comparative Central Banking", Review of Radical Political Economics , vol. 24(1),
Spring, pp. 1-32.
Fischer, Stanley (1994), ‘Modern Central Banking.’ In The Future of Central Banking, Forrest Capie, Charles A. E. Goodhart,
Stanley Fischer, and Norbert Schnadt, eds., Cambridge University Press, pp. 262-308.
Goodhart, C A E (1995) ‘The Central Bank and The Financial System’, MIT Press, Cambridge, MA.
Goodhart, C A E and Huang, H (1999) ‘a Model of The Lender of Last Resort’, LSE Financial Markets Group Discoussion
Paper, dp0131.
Haldane A. (2001), The Resolution of International Financial Crises : Private Finance and
Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for
International Economics.
Hoggarth, Glenn, Peter Sinclair, and Jack Reidhill (2003) Resolution of Bank Crises Failures: A Review, Financial Stability
Review, Bank of England, December.
Hoggart, Glenn, Saporta V. (2001), Cost of Banking System Instability, Financial Stability Review, Bank of England, Junne.
Kydland, F., and E. C. Prescott (1977). "Rules Rather than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans". Journal of Political
Economy: 473–492.
Lopes, Melinda, Central Bank And The Sources Of Financial Stability, Paper Presented In The 12th Annual Conference On
Pacific Basin Finance, Economics, Accounting, And Business Bangkok, Thailand August 10-11, 2004.
Mishkin, Frederick (2001), ‘Financial Policies and The Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries’, NBER
Working Paper No. 8087, January.
-______(1999), Global Financial Instability: Framework, Events, Issues, Journal of Economic Perspectives, Vol.13, No. 4
Mongid, Abdul, (2004), ‘Roads to Achieve Financial System Stability In ASEAN’, Paper for the 16th MEA Convention on
December 9, 2004 and the 29th Conference of the Federation of ASEAN Economic Associations (FAEA), Institute
Integrity of Malaysia, Persiaran Duta, Off Jalan Duta, Kuala Lumpur, Malaysia, December 10-11, 2004
Owen, E, M. Leone, M.Gill, and P. Hilbers (2000), Macroprudential Indicators of Financial System Soundness, OC Paper 192,
INTERNATIONAL MONETARY FUND Washington DC, April 2000
Rogoff, K (1985), `The Optimal Degree of Commitment to an Intermediate Monetary Target', Quarterly Journal of Economics.
Santoso, Wimboh (2007) ‘Effective Financial System Stability Framework’, The SEACEN Centre, Occasional Paper No.45,
September
Schwarts, Anna J. (1993). “ Currency Boards: Their Past, Present, and Possible Future Role,” Carnegie-Rochester Conference
Series on Public Policy, 39, 147-187.
Sinclair, P.J.N. (2000) ‘Central Banks and Financial Stability. Bank of England Quarterly Bulletin, Vol. 40, No. 4, November,
2000.
Stiglitz, Joseph (1999), ‘Lesson from East Asia’, Journal of Policy Modeling 21 (3) pp. 311-330.
______(2002), Globalization and its Discontents, W.W. Northon & Co.
Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter?
New Evidence Based on a New Data Set,
http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf
Sturm , Jan-Egbert and Jakob de Haan, (2001), Inflation in Developing Countries: Does Central Bank Independence Matter?
New Evidence Based on a New Data Set,
http://www.unikonstanz.de/monec/teaching/WS04/monpol/material/sturmdehaan2001is.pdf
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
36
Tommaso Padoa-Schioppa, (2002), ‘Central Banks and Financial Stability: Exploring a land in between’, Second ECB Central
Banking Conference, Frankfurt am Main, October.
Turner, Adair, 2009, The financial crisis and the future of financial regulation, The Economist’s Inaugural City Lecture , 21
January 2009
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Otoritas Jasa Keuangan sudah ditangan DPR RI. Tinggal menunggu
jadwal untuk dibahas bersama dengan Pemerintah. RUU tersebut terdiri dari 11 Bab, 53 Pasal yang disusun dengan sistimatika
sebagai berikut.
Bab I – Ketentuan Umum
Bab ini memuat pengertian beberapa istilah yang dipergunakan dalam RUU. Diantaranya memuat pengertian
istilah perbankan dan keuangan non bank:
a. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai perbankan.
b. Industri Keuangan Non Bank yang selanjutnya disingkat IKNB adalah kegiatan jasa keuangan yang disediakan
oleh lembaga keuangan selain bank yang mencakup Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, Lembaga
Penjaminan, Pergadaian, Perusahaan Perasuransian, dan lembaga yang menyelenggarakan program jaminan
sosial, pensiun, dan kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industri keuangan non bank lainnya.
Bab II – Pembentukan, Tempat Kedudukan, dan Tugas
Dalam bab ini ditentukan bahwa dengan Undang-undang ini dibentuk Otoritas Jasa Keuangan. Diatur pula
pengertian Otoritas Jasa Keuangan yaitu lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.
Selanjutnya diatur pula tugas pengaturan dan pengertian Otoritas Jasa Keuangan.
Bab III – Dewan Komisioner, Komite Eksekutif, Organ Pendukung dan Kepegawaian
Bab ini mengatur kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Dewan Komisioner yang mempunyai 7 (tujuh)
orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Dewan Komisioner terdiri atas:
a. Seorang ketuamerangkap anggota;
b. 3 (tiga) orang Kepala Eksekutif merangkap anggota; dan
c. 3 (tiga) orang anggota.
Bab III terdiri dari 21 pasal.
Bab IV – Kerahasiaan Informasi
Dalam bab ini diatur larangan untuk pejabat atau orang-orang tertentu untuk menggunakan atau mengungkapkan
informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain.
Bab V – Rencana Kerja, Anggaran, dan Pembiayaan
Dalam bab ini ditentukan bahwa Dewan Komisionaris menyusun rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa
Keuangan. Selain itu diatur pula mengenai pembiayaan sebagai berikut:
37
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa KeuanganOleh Oka Mahendra, SH. 1
1 Ahli Perancangan Peraturan Perundang-undangan
a. Otoritas Jasa Keuangan menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah
yang sedang dalam upaya penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan.
b. Otoritas Jasa Keuangan menyerahkan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik kepada Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
c. Dalam rangka penyelesaian dan penanganan bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik, Otoritas Jasa
Keuangan wajib menginformasikan kepada forum stabilitas sistem keuangan tentang bank gagal yang ditengarai
berdampak sistemik.
Bab VI – Pelaporan dan Akuntabilitas
Otoritas Jasa Keuangan diwajibkan menyusun laporan tahunan yang terdiri atas laporan kegiatan dan laporan
keuangan. Laporan tersebut wajib disampaikan kepada DPR dan juga kepada Presiden. Laporan tersebut diaudit
oleh BPK atau akuntan publik.
Bab VII – Hubungan dengan Lembaga Lain
Dalam bab ini diatur hubungan koordinasi kerjasama Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain, seperti Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melalui forum stabilitas sistem keuangan.
Selain itu diatur pula peluang bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan hubungan internasional.
Bab VII– Penyidikan
Bab ini mengatur mengenai penyidik PPNS dengan kewenangannya, antara lain:
a. Pengalihan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang Perbankan dari Bank Indonesia
kepada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan secara bertahap dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini diundangkan.
b. Untuk 2 (dua) tahun pertama setelah tugas dan wewenang pengaturan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beralih, pembiayaan penyelenggaraan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di
bidang Perbankan berasal dari anggaran Bank Indonesia.
Bab IX – Ketentuan Pidana
Dalam bab ini dimuat beberapa perbuatan pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara dan denda.
Bab X – Ketentuan Peralihan
Dalam bab ini diatur kondisi-kondisi dalam masa peralihan.
Bab XI – Ketentuan Penutup
RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan didusun dengan pertimbangan antara lain:
1. Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan industri jasa
keuangan yang sehat, teratur, dan mempunyai daya saing yang tinggi.
2. Untuk itu diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan
yang berkaitan dengan tugas pengawasan tersebut.
3. Sebagai pelaksanaan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.
Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia memuat pokok pikiran sebagai berikut:
1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dengan Undang-undang.
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah
dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada BPK dan DPR.
3. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga tersebut (supervisory body) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank
Indonesia.
4. Koordinasi dan kerjasama tersebut diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.
5. Lembaga pengawasan tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan
bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia, serta keterangan dan data
makro yang diperlukan.
6. Pengalihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan dilakukan secara
bertahap setelah dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang.
7. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember
2010.
8. Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, menurut Pasal 35 UU
tentang Bank Indonesia maka tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Batas waktu pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut tinggal 4 bulan lagi. Meskipun waktu
yang tersedia relatif pendek, namun pembahasan RUU tersebut harus dilakukan secara cermat dan mendalam. Berbagai aspek
perlu dipertimbangkan agar kondisi perbankan semakin membaik dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Keputusan politik yang diambil oleh pembentuk Undang-undang akan sangat menentukan format pengawasan terhadap bank
di masa mendatang. Pembentuk Undang-undang perlu belajar dari pengalaman sejarah pengawasan bank di tanah air dan
juga dari pengalaman sejarah negara lain dalam mengatur pengawasan terhadap bank. Sekiranya UU tentang Otoritas Jasa
Keuangan belum disahkan samapai tanggal 31 Desember 2010, berlaku ketentuan Pasal 35 UU tentang Bank Indonesia.
Sehubungan dengan pembahasan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan bersama ini disampaikan catatan hukum
sebagai berikut:
1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, tidak boleh mengganggu, tetapi harus mendukung peran Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral yang antara lain berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter mengatur
dan mengawasi perbakan, serta menjalankan fungsi sebagai “lender of the last resort”.
2. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan agar dapat menciptakan kondisi kondusif untuk tumbuhnya
industri jasa keuangan yang sehat, berkelanjutan, dan berdaya saing.
3. Materi mutan yang diatur dalam Undang-undang tidak boleh mempersempit atau memperluas mandat yang didelegasikan
oleh Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia.
4. Terhadap hal-hal yang secara expersis verbis ditentukan dalam Pasal 34 UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya,
serta pasal yang terkait harus dilaksanakan secara taat asas.
5. Mengingat pelaksanaan pengawasan terhadap bank sangat erat kaitannya dengan peran Bank Indonesia sebagai penanggung
jawab kebijakan moneter maka kerjasama dan koordinasi dengan Bank Indonesia sangat penting untuk diatur secara jelas
dalam Undang-undang.
6. Mengenai nama Undang-undang
a. Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia tidak secara jelas menentukan nama undang-undang, tetapi mengisyaratkan
nama Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK).
b. Nama Otoritas Jasa Keuangan secara etimologis bermakna otoritas tersebut diberi kewenangan yang luas.
7. Sifat lembaga
a. LPJK merupakan lembaga yang independen dalam menjalankan tugasnya.
b. Dalam Pasal 2 ayat (2) RUU ditentukan ”Otoritas Jasa Keuangan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-
undang ini”.
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam Penjelasan Umum antara lain dikemukakan bahwa independensi Otoritas Jasa Keuangan diwujudkan dalam 2 hal,
yaitu:
a. secara kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem pemerintahan RI.
b. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian atas jabatannya.
Independensi Otoritas Jasa Keuangan tampaknya sulit diwujudkan karena:
a. Proses pengisian anggota Dewan Komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 5 RUU sebagian besar diisi secara ex
officio (5 diantara 7 anggota Dewan Komisioner),yaitu 1 dari Bank Indonesia, 1 dari Kementerian Keuangan, dan 3 dari
unsur Otoritas Jasa Keuangan.
b. Karena ex officio maka masa jabatan Dewan Komisioner tersebut tergantung kepada masa jabatan pada instansi asalnya.
c. Tidak ada kesetaraan dalam proses rekrutmen. Ada yang perlu mendapat konfirmasi DPR, ada yang diusulkan melalui
Menteri Keuangan kepada Presiden dan ada yang langsung kepada Presiden, yaitu yang berasal dari Kementerian
Keuangan (periksa Pasal 6 RUU)
d. Sebagai konsekuensi proses rekrutmen seperti tersebut di atas terdapat kecenderungan bahwa anggota Dewan Komisioner
dari instansi tertentu terpengaruh oleh kebijakan instansinya.
Sehubungan dengan itu proses rekrutmen anggota Dewan Komisioner perlu diperbaiki. Ada beberpa pola yang dapat diacu,
yaitu pola rekrutmen KPK, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, atau Komisi Yudisial.
8. Jumlah Dewan Komisioner perlu dipertimbangkan untuk merampingkan agar lebih efektif dan efisien. Kiranya Dewan
Komisione cukup 5 orang. Struktur organisasi Otoritas Jasa Keuangan perlu dipertimbangkan kembali agar tidak ada kesan
Otoritas Jasa Keuangan dalam Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (4) yunto Pasal 20, dan Pasal 21, Kepala Eksekutif
mempunyai kewenangan yang luas baik dalam menetapkan kebijakan operasional pengawasan, menetapkan aturan,
melakukan pengawasan, maupun menetapkan sanksi administratif. Tiga kewenangan menumpuk di tangan Kepala Eksekutif
tanpa mekanisme kontrol yang jelas. Pasal 13 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf f RUU secara sumir menentukan bahwa
Dewan Komisioner mempunyai fungsi dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan
oleh Kepala Eksekutif. Perlu dicatat bahwa Kepala Eksekutif adalah juga anggota Dewan Komisioner. Selain itu ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, menambah perkasa Kepala Eksekutif.
Sebab setiap orang yang sengaja mengabaikan, tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan Kepala
Eksekutif, diancam dengan pidana. Penumpukan kewenangan disatu jabatan dalam organisasi tidak sejalan dengan prinsip
pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances yang jelas. Sifat kolektif Dewan Komisioner sebagaimana
diatur Pasal 5 ayat (2) kehilangan maknanya.
9. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di luar pemerintah. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih selain seperti yang diatur
dalam RUU. Pilihannya antara lain kedudukannya sebagai bagian dari lembaga independen atau badan hukum publik yang
mandiri. Bila ditempatkan sebagai bagian dari lembaga independen, tentunya lembaga yang bergerak di bidang pengawasan
jasa keuangan, untuk keterpaduan pengawasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa
Keuangan dan untuk efisiensi.
10. Tugas Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan tugas Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan
dan pengawasan secara terpadu, independen, dan akuntabel terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan;
b. ..……..
c. ……….
40
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
41
Menurut Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut fungsinya
antara lain melakukan pengawasan terhadap bank …. dan seterusnya. Lembaga tersebut yang ditekankan sebagai supervisory
body dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi
dengan Bank Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan tugas pengawasan terhadap bank dalam ketentuan ini? Bila
merujuk kepada UU tentang Bank Indonesia tugas pengawasan dimaksud meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 27 s/d
Pasal 33 UU tentang Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27).
b. Mewajibkan bank menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan (Pasal
28 ayat (1)).
b. Pemeriksaan berkala maupun setiap waktu (Pasal 29 ayat (1)).
c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan tertentu (Pasal 31).
d. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank (Pasal 32).
e. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait perbankan yang berlaku dalam
hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkuta
dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian
nasional (Pasal 33).
Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) antara lain dikemukakan bahwa Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dngan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta
penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.
Sehubungan dengan itu rumusan Pasal 4 ayat (1)dan ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan dengan
ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya, serta pasal yang terkait. Demikian pula Penjelasan
Umum RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan yang beberapa kali mengulang pernyataan yang kurang tepat bahwa Pasal
34 UU tentang Bank Indonesia “memberikan otoritas pengaturan dan pengawasan kepada lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan” atau untuk ”menyelenggarakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di
bidang Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB”.
11.Secara teknis perundang-undangan apakah UU tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan atau membolehkan
instansi lain untuk melaksanakan tugas atau kegiatan tertentu? Periksa Pasal 37, Pasal 46 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49 ayat
(1) dan Pasal 50 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya subyek yang diatur UU tentang Otoritas Jasa Keuangan
adalah Otoritas Jasa Keuangan. Karena itu formulasi pasal-pasal tersebut perlu disempunakan agar tidak terkesan mengatur
instansi atau lembaga lain yang tunduk kepada Undang-undang tersendiri yang menjadi dasar hukum pembentukannya
atau yang memberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang tertentu.
12.Pasal 37 ayat (2) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Pertanyaannya
ialah apakah pengawasan disini berupa pengawasan makro atau mikro atau keduanya? Perlu dikemukakan bahwa
kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan merupakan bagian dari fungsi Bank Indonesia sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 8 UU tentang Bank Indonesia.
13.Pasal 37 ayat (4) menentukan “dalam pengawasan bersama Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap bank”. Ayat ini mengatur kembali apa yang sebetulnya merupakan kewenangan Bank
Indonesia. Bukankah kewenangan Bank Indonesia tersebut telah diatur dalam UU tentang Bank Indonesia?
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
14.Jenis-jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ada 3 jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2).
b. Peraturan Dewan Komisioner yang mengikat dilingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 3).
c. Peraturan Kepala Eksekutif sebagai aturan teknis dalam rangka pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
Peraturan Dewan Komisioner dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 4).
Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
memang dikenal adanya jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang pembentukannya
berdasarkan Undang-undang. Tetapi jenis peraturan seperti itu hanya diakui dan mengikat bila diperintahkan pembentukannya
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi dalam hal ini tidak dikenal adanya atribusi kewenangan
pengaturan seperti ditentukan dalam UU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya hanya ada satu jenis peraturan yang
dapat dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang jelas-jelas didelegasikan
pembentukannya oleh UU tentang Otoritas Jasa Keuangan.
15.Pasal 30 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan memberi kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan
dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap pasal ini, yaitu:
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang mewajibkan industri jasa keuangan untuk membayar biaya
tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan? Biaya apa yang dimaksud?
b. Apakah biaya tersebut termasuk PNBP atau bukan?
c. Besaran biaya apakah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh instansi lain? Apa dasarnya?
d. Perlu dicek apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang telah member kewenangan kepada instansi
lain untuk memungut biaya dimaksud?
Bila hal tersebut tidak jelas pengaturannya, dikawatirkan terjadi tumpang tindih/duplikasi pemungutan biaya yang akan
memberatkan industri jasa keuangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
16.Pelaporan dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan
dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia yang menentukan Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
laporan kepada BPK dan DPR.
17.PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 41 apakah dapat diangkat dari Pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan? Ketentuan tentang PPNS
tersebut perlu diharmonisasikan dengan KUHAP dan UU tentang Kepegawaian.
18.Ketentuan peralihan terutama yang berkaitan dengan pengalihan status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang
melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengawasan bank, pengaliahan infrastruktur dan kekayaan negara pada
Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, untuk
digunakan sementara oleh Otoritas Jasa Keuangan agar dipertimbangkan dengan seksama. Jangan jangan tidak ada lagi
yang tersisa di Bank Indonesia karena semua hal tersebut merupakan infrastruktur dan kekayaan yang diguakan untuk
mendukung tugas pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Selain itu ketentuan Pasal 46 ayat
(1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu ditelaah dengan seksama terutama mengenai:
a. Apakah yang dialihkan dari Bank Indonesia tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan atau tugas yang secara
ekplisit ditentukan dalam Pasal 34 ayat (1)
UU tentang Bank Indonesia?
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Apakah waktu 3 tahun cukup dan bagaimana agendanya secara rinci sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal
34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia?
c. Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia dikemukakan penyerahan bertahap tersebut dilaporkan
kepada DPR, tetapi RUU tidak menyinggung hal tersebut.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi dan peran bank central
dalam pengawasan prudential di dunia perlu dijadikan pertimbangan. Masahiro Kawai and Michael Pomerleano (ADB
Institute No. 189, January 2010, halaman 10 antara lain mengemukakan ”Of the 84 countries listed in the table, 30 have
an integrated prudential supervisor, 20 have supervisory agencies in charge of two types of financial intermediaries, and
34 have multiple sectoral supervision. The central bank of 48 countries (57% of the total) have the authority of banking
supervision, and of these 48 countries 39 (81%) are developing and emerging economies. It is informative to note that in
countries with multiple sectoral supervisors, central bank almost always have this supervisory authority.”
Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan satu pertanyaan yang perlu dijawab pembentuk Undang-undang, yaitu siapakah
yang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan cukup besar dalam mengawasi industri jasa keuangan
yang menjadi urat nadi perekonomian nasional?
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Sejenak setelah membaca judul buku terbaru karya Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, tak banyak dari pembaca yang
bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dari ‘konstitusi
ekonomi’. Hal ini sangat wajar karena literatur/referensi
mengenai ekonomi maupun hukum yang membahas materi
‘konstitusi ekonomi (economic constitution) masih sangat
jarang baik di Indonesia maupun di dunia. Wacana tentang
konstitusi ekonomi itu sendiri dapat dikatakan memang
masih baru. Namun, usaha untuk mengaitkan konstitusi
dengan perekonomian di berbagai negara sebenarnya
sudah dimulai sejak lama. Sejak tahun 1918, Soviet-Rusia
yang bersifat komunis telah mencantumkan pasal-pasal
perekonomian dalam undang-undangnya. Sedangkan di
Jerman yang menganut paham liberal, sejak Konstitusi
Weimar 1919 telah mengadopsi ide pengaturan prinsip-
prinsip kebijakan ekonomi dalam undang-undang dasar.
Tradisi tersebut juga dikembangkan secara lebih luas oleh
Irlandia dalam Konstitusi tahun 1937 dengan memperkenalkan
konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang
kemudian ditiru oleh banyak Negara non-komunis.
Pengertian dan Pentingnya
Prof. Jimly dalam bukunya tersebut menguraikan pengertian
dan pentingnya konstitusi ekonomi di suatu Negara.Suatu
konstitusi disebut sebagai Konstitusi Ekonomi jika memuat
kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan
memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan
kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturannya dapat
bersifat rinci dan eksplisit maupun bersifat fleksibel atau
bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat
implisit (misalnya di Amerika Serikat, Kanada, Australia,
dan Jepang). Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dituangkan
dalam konstitusi suatu Negara tersebut bersifat mutlak
dan tidak boleh dilanggar oleh penentu kebijakan ekonomi
yang bersifat operasional. Jika kebijakan-kebijakan ekonomi
tersebut bertentangan dengan UUD, maka tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Di negara-negara demokrasi konstitusional selalu terdapat
mekanisme peradilan untuk membatalkan atau menyatakan
bahwa undang-undang atau sebagian materi undang-
undang yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, hal inilah yang biasa disebut judicial
review, di Indonesia fungsi ini dilaksanakan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pada buku Prof.Jimly sebelumnya yang berjudul Green
Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (2009), beliau menguraikan
kecenderungan menuangkan kebijakan lingkungan hidup
dalam bentuk undang-undang yang dapat dipaksakan
berlakukanya secara imperatif. Namun, karena ternyata
hanya diatur dengan undang-undang saja, daya paksa
kebijakan lingkungan itu tidak cukup kuat dan efektif
menghadapi persaingan dengan kepentingan lain. Mirip
dengan hal tersebut, berbagai kebijakan ekonomi yang biasa
dituangkan dalam bentuk undang-undang sering disusun
tanpa rambu-rambu hukum yang dapat dijadikan acuan
yang mengikat. Sehingga berkembang kebutuhan untuk
menuangkan dasar-dasar kebijakan ekonomi itu dalam
konstitusi yang dapat dijadikan pegangan oleh legislatif
sebagai penentu kebijakan Negara dan pemerintahan (policy
maker) dalam menyusun suatu undang-undang di bidang
perekonomian.
Secara umum, buku karya Prof Jimly ini memusatkan
perhatian pada fenomena konstitusi ekonomi dengan
45
Resensi Buku
Judul : Konstitusi EkonomiPenulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SHPenerbit : Penerbit Buku Kompas, Januari 2010 (ISBN: 978-979-709-465-2)Halaman : xvi + 440 halamanOleh : Veri D. Adhiraharja
menguraikan aspek-aspek UUD 1945 sebagai konstitusi
ekonomi. Isi buku terdiri atas delapan bab, yaitu (1)
Kedudukan Konstitusi dalam Penyelenggaraan Negara, (2)
Wacana Konstitusi Ekonomi, (3) Konstitusi Ekonomi Pelbagai
Negara, (4) Konstitusi Ekonomi Indonesia Sebelum
Reformasi, (5) Konstitusi Ekonomi Indonesia Pascareformasi,
(6) Mahkamah Konstitusi dan UU tentang Perekonomian,
(7) Realisme dan Konstitusionalisme Kebijakan Ekonomi,
dan (8) Simpulan dan Penutup.
Tipe Konstitusi Ekonomi
Dari sejumlah konstitusi yang diperbandingkan dalam buku
ini, secara umum terdapat empat tipe konstitusi ekonomi,
yaitu Pertama, konstitusi Liberal-Kapitalis, seperti Amerika,
Kanada, Inggris dan Australia. Pada tipe ini memandang
bahwa soal-soal perekonomian biasa dilihat sebagai
persoalan yang timbul dan dapat diselesaikan sendiri dalam
masyarakat sesuai mekanisme pasar. Sehingga dalam
perumusan materi terkait dengan ekonomi dan keuangan
dalam konstitusinya hanya yang berhubungan dengan
moneter, fiskal dan anggaran.
Kedua, Konstitusi Ekonomi Negara komunis, seperti China,
Soviet-Rusia, Vietnam dan Korea Utara. Pada dasarnya pada
konstitusi ekonomi negara yang termasuk dalam tipe kedua
ini, menyebutkan bahwa semua sarana dan prasarana
produksi dimiliki oleh negara, organisasi masyarakat dan
koperasi. Kekayaan milik negara merupakan hak milik seluruh
masyarakat. Sehingga pemerintah mempunyai peranan utama
dalam kegiatan ekonomi di negara-negara berpaham komunis.
Tipe konstitusi ekonomi yang ketiga, Konstitusi Ekonomi
Negara-negara eks komunis, seperti Polandia, Hongaria dan
Polandia. Setelah runtuhnya komunisme, pada kelompok
ini telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar ke
arah liberalisme.
Keempat, adalah Konstitusi Ekonomi negara-negara non
komunis, seperti Perancis, Brasil, Spanyol, Filipina, dan
India. Pada tipe ini secara umum mencantumkan materi
perekonomian lebih lengkap dalam konstitusinya. Bahkan
pada konstitusi di beberapa negara memberikan
kewenangan kepada lembaga/badan independen tertentu
untuk berperan dalam pengembangan ekonomi di
negaranya, misalnya Dewan Ekonomi dan Sosial di Perancis
dan Badan Perencanaan Ekonomi di Filipina.
Namun demikian pada dasarnya semua konstitusi ekonomi
di dunia selalu mengatur sekurang-kurangnya (i) tentang
penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam
sebagai warisan kehidupan, (ii) tentang konsepsi hak milik
perorangan, dan (iii) mengenai peranan negara dan
perusahaan negara dalam kegiatan usaha. Bahkan, banyak
juga konstitusi yang mengatur kebijakan ekonomi itu secara
lebih luas dan terperinci.
UUD 1945: Konstitusi Ekonomi Indonesia
Melihat keempat tipe konstitusi ekonomi sebagaimana
disebutkan di atas, Indonesia lebih pas masuk dalam kategori
Konstitusi Ekonomi nonkomunis.Hal ini terlihat dengan jelas
setelah reformasi konstitusi di Indonesia berhasil diselesaikan
tahun 2002, rumusan baru pasal-pasal perekonomian dalam
UUD 1945 mencakup lingkup materi yang cukup luas dan
memepertegas konsepsi dasar di bidang perekonomian
dan kesejahteraan rakyat. Butir-butir ketentuan tersebut
mencakup (i) prinsip-prinsip dasar hak atas ekonomi dan
konsepsi mengenai hak milik, (ii) kebijakan dasar di bidang
perekonomian untuk kesejahteraan social, (iii) kebijakan
dasar di bidang kesejahteraan social, (iv) hal keuangan
Negara yang menyangkut kebijakan anggaran dan
perpajakan, (v) mata uang dan bank sentral, (vi) pemeriksaan
keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keenam hal
tersebut dibahas secara mendalam pada buku ini.
Penutup
Sebagai pendiri dan ketua pertama Mahkah Konstitusi
(2003-2008) serta sebagai penggerak wacana literatur
yang membahas konstitusi ekonomi, Prof. Jimly menjadikan
buku ini sebagai referensi utama untuk mengkaji konstitusi
ekonomi. Paparan Prof. Jimly pada buku ini disampaikan
secara deskriptif dan tak sedikit bersifat evaluatif, juga
mengupas tuntas sejarah konstitusi ekonomi di dunia.
Sedikit masukan kepada buku ini dari peresensi, khususnya
mengenai penjelasan konstitusi di berbagai negara terdapat
pengulangan pembahasan mengenai pemuatan kebijakan
lingkungan hidup pada konstitusi di suatu negara.
Akhirnya, peresensi juga merekomendasikan bahwa buku
ini sangat tepat dibaca oleh ahli dan praktisi hukum, pejabat
negara penentu kebijakan, civitas akademika dan masyarakat
umum.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Pada tanggal 17 Juni 2010, Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI) mengadakan seminar dengan Judul “RUU
OJK, Adakah Solusi Alternatif” di Hotel Borobudur. Seminar
diselenggarakan dalam rangka memberikan masukan
terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini
sedang disusun oleh Pemerintah. Pembicara seminar adalah
AA. Oka Mahendra, Dr. Dradjad H. Wibowo, Drs Sigid
Pramono, MBA (Ketua Perbanas) dan Aviliani, SE, MSi.
Dalam pandangannya, pembicara berpendapat bahwa RUU
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disusun oleh Pemerintah
berdasarkan amanat Pasal 34 UU BI, dilakukan dengan
pertimbangan untuk membangun industri jasa keuangan
yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi
guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil.
Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa
Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari
aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus
dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif
kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa
keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan
secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan
bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan
dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU
OJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait.
Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU OJK hendaknya
secara sungguh mempertimbangkan best practice dan
dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Oleh
karena itu, dalam penyusunan RUU OJK perlu diperhatikan
perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi
dan peran bank sentral dalam pengawasan prudensial.
Pada dasarnya, Pasal 34 UU BI memuat janji karena baik
pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan kata “akan”
bukan “mewajibkan”atau “mengharuskan”. Dari ketentuan
Pasal 34 dan penjelasannya dapat diperoleh informasi
bahwa:
1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan (LPJK) dibentuk dengan UU.
2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam
menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di
luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan
laporan kepada BPK dan DPR.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga tersebut
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan BI.
Koordinasi dan kerja sama tersebut diatur dalam undang-
undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.
4. Lembaga tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan dari BI,
keterangan dan data mikro yang diperlukan.
Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan harus
mendukung peran BI sebagai Bank Sentral, serta tidak boleh
memperluas atau mempersempit tugas, fungsi, dan
kewenangan LPJK, khususnya berkaitan dengan pengawasan
bank. Terhadap hal-hal yang secara tegas telah ditentukan
dalam UU BI menjadi fungsi, tugas dan wewenang lembaga
pengawasan dimaksud tidak terbuka untuk ditafsirkan lain,
hanya hal-hal yang belum jelas arahan pengaturannya
terbuka untuk ditafsirkan dengan menggunkan metode
peafsiran sesuai dengan doktrin hukum.
Dalam kesempatan tersebut, salah satu pembicara yaitu
Bp. AA Oka Mahendra secara tegas mengusulkan alternatif
solusi Pasal 34 UU BI, yaitu:
1. Dibandingkan “Otoritas”, nama yang lebih tepat
diusulkan adalah Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan seperti usulan Pemerintah
memiliki makna yang sangat luas, sebagai kekuasaan,
wewenang, hak melakukan tindakan atau hak untuk
membuat peraturan untuk memerintahkan orang lain
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
47
Cakrawala Hukum:Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?
2. Sifat kelembagaan independen, dengan status diluar
pemerintah.
3. Fungsi: melakukan pengawasan terhadap bank dan
perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan
perusahaan pembiayaan serta badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
4. Tugas dan wewenang :
a. Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan (Pasal 28 UU BI)
b. Melakukan pemeriksaan (Pasal 29 UU BI)
c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sebagian
atau seluruh transaksi tertentu apabila menurut
penilaian lembaga terhadap transaksi patut diduga
merupakan tindak pidana perbankan (Pasal 31 UU
BI)
d. Dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan BI
mengenai keterangan dan data makro yang
dibutuhkan (Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI)
5. Pimpinan: Dewan Gubernur/Dewan Komisioner/Dewan
Komisioner dan kepala Eksekutif/Dewan Direktur/Chief
Executif Officer (CEO).
6. Rekrutmen pimpinan: pemilihan oleh panitia seleksi
independen, diajukan oleh Pemerintah atau lembaga
Negara dengan rekomendasi atau persetujuan DPR.
7. Jumlah pimpinan 5-9 orang sesuai kebutuhan organisasi
agar tugas dapat dijalankan secara efektif dan efisien.
8. Pembiayaan: APBN dengan kewenangan pengelolaan
mandiri/biaya sendiri dari fee/sumber pembiayaan lain
yang sah.
Sementara itu Drajad Wibowo mengemukakan bahwa
kelahiran Pasal 34 UU BI merupakan kompromi politis dan
melahirkan pengaturan yang bersifat abu-abu. Dalam hal
ini Drajad menilai bahwa terdapat pertentangan antara
Pasal 8 dan Pasal 34 UU BI. Pasal 8 UU BI belum dicabut
dan bersifat definitif dan direktif, sementara itu sifat Pasal
34 UU BI adalah rencana, sebagaimana frasa “akan
dilakukan”. Berkaitan dengan amanat tersebut, yang
direncanakan (bukan diperintahkan) oleh Pasal 34 ayat (1)
UU BI adalah pembentukan LPJK. Batang tubuh Pasal 34
menyebutkan kata “pengawasan” bukan Otoritas.
Selanjutnya disebutkan bahwa lembaga pengawasan ini
dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi
Bank Indonesia. Ketentuan ini tidak secara otomatis
memberikan kekuasaan “pengaturan” tetapi hanya berupa
“dapat mengeluarkan ketentuan” yang bisa ditafsirkan
sebagai penjabaran peraturan.
Dari sisi ketentuan perundang-undangan, Drajad melihat
bahwa rencana pembentukan OJK bukan perintah UU BI.
Pasal 34 hanya merencanakan pembentukan LPJK, dengan
Pasal 8 butir c menyebutkan tugas BI adalah mengatur dan
mengawasi bank. Lebih lanjut Drajad mengemukakan bahwa
pengawasan Bank merupakan titik terlemah BI yang
membuat modal politik BI negatif. Kelemahan tersebut tidak
terletak pada investigasi, penemuan dan diagnosis masalah
oleh jajaran di bawah Dewan Gubernur, namun terletak
pada pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI.
Keberadaan lembaga pengawas keuangan yang bersifat
“integrated supervision” ataupun pengawasan oleh bank
sentral bukan merupakan sesuatu yang superior/mutlak.
Pengawasan bank yang terpisah dari bank sentralnya,
seperi FSA yang terpisah dengan Bank of England tidak
menjamin selamanya bahwa sistem perbankan akan aman.
Amerika Serikat dengan pengawasan oleh The Fed juga
mengalami kebobolan, malah menjadi sumber krisis
keuangan dunia pada tahun 2008 akibat kegagalan
mengawasi perilaku spekulatif bank dan inovasi produk
derivative berbasis subprime mortgage.
Berkaitan dengan krisis perbankan yang terjadi di Inggris,
karena dianggap tidak dapat melakukan koordinasi, maka
pengawasan bank yang semula dilakukan oleh FSA
dikembalikan kepada bank sentralnya (Bank of England).
Dari pertimbangan praktis, berdasarkan survey yang
dilakukan oleh perbanas, diketahui bahwa hampir 90%
bank masih menginginkan pengawasan dilakukan oleh
Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank sebagai pelaku bisnis
selalu mempertimbangkan cost dan efisiensi dalam
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
mengelola bisnisnya, sehingga sangat menghindari adanya
premi yang dibebankan kepada industri. Bank menganggap
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah
baik dan sangat ketat. Sementara itu dari pandangan
ekonom, Aviliani mengemukakan bahwa faktor koordinasi
dan integrasi pengawasan menjadi isu yang penting dalam
rangka antisipasi dan penanganan krisis, sehingga tidak
terlalu material apakah pengawasan bank ada di Bank
Sentral ataukah pada pembaga khusus yang akan dibentuk.
Dari pandangan pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada yang dapat menjamin suatu negara terluput dari
krisis apabila pengawasan bank dilakukan oleh bank sentral
maupun oleh lembaga di luar bank sentral. Namun
demikian, dalam rangka antisipasi krisis maka isu terpenting
adalah adanya koordinasi pengawasan yang dilakukan
terhadap institusi bank dan non bank.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
51
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010
12/8/PBI/2010
12/9/PBI/2010
12/10/PBI/2010
12/11/PBI/2010
12/12/PBI/2010
12/13/PBI/2010
12/14/PBI/2010
12/15/PBI/2010
12/16/PBI/2010
12/17/PBI/2010
12/18/PBI/2010
12/19/PBI/2010
12/20/PBI/2010
12/21/PBI/2010
Tanggal Satker Perihal LN & TLNPeraturan
3-6-2010
29-6-2010
1-7-2010
2-7-2010
4-8-2010
4-8-2010
13-8-2010
23-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
4-10-2010
4-10-2010
19-10-2010
DPU
DPNP
DPD
DPM
DASP
DASP
DPU
DInt
DPD
DPM
DPM
DPNP/DKM
DKBU/DPbS
DPNP/DPbS
Perubahan Kedua atas PBI No.7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005
Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum
Perubahan Ketiga Atas PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum
Operasi Moneter
Perubahan atas PBI No.10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991
Perubahan atas PBI No.10/34/PBI/2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Perubahan atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah
Perubahan atas PBI No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Rencana Bisnis Bank
LN 71
LN 82 TLN 5139
LN 83 TLN 5140
LN 84 TLN 5141
LN 93 TLN 5146
LN 94 TLN 5147
LN 96
LN 97
LN 106 TLN 5153
LN 107
LN 108
LN 115 TLN 5158
LN 116 TLN 5159
LN 120 TLN 5161
12/14/DKBU
12/15/DKBU
12/16/DPM
12/17/DPM
12/18/DPM
12/19/DInt
12/20/DPM
12/22/DPM
12/23/DPM
12/24/DPM
12/25/DPM
12/26/DPM
12/27/DPNP
Tanggal Satker PerihalPeraturan
1-6-2010
11-6-2010
6-7-2010
6-7-2010
7-7-2010
22-7-2010
2-8-2010
2-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
25-10-2010
DKBU
DKBU
DPM
DPM
DPM
DInt
DPM
DPM
DPM
DPM
DPM
DPM
DPNP
Pelaksanaan Pedoman Akuntansi BPR
Perubahan Kedua atas SE No.8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
Operasi Pasar Terbuka
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
Perubahan atas SE BI No.5/29/DPD tnggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
Perubahan atas SE BI No.12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia
Perubahan atas SE BI No.11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)
Perubahan atas SE BI No.10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia
Perubahan Kedua atas SE BI No.10/16/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang
Perubahan atas SE BI No.10/17/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia
Rencana Bisnis Bank Umum
53
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Mei - Oktober 2010
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/8/PBI/2010 tentang Pengeluaran dan Pengedaran uang Kertas
Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005.
Ringkasan :
1. Seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang
memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi
di masyarakat. Sehubungan dengan itu, selanjutnya dipandang perlu untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat paembayaran yang sah (legal
tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui penyempurnaan desain uang rupiah antara lain dengan perubahan
warna dan unsure pengamanan.
2. Materi pokok yang tercantum dalam ketentuan ini meliputi :
a. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas;
b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp. 10.000 (Sepuluh Ribu rupiah);
c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan sampai dengan
tahun pencetakan mulai tahun 2010, baik dari segi warna, gambar dan bahan;
d. UK rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
3. Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 antara lain sebagai berikut:
a. Terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
b. Bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan.
c. Tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Baharuddin II dan electrotype berupa logo BI dan
ornamen daerah Palembang;
d. Benang pengamanan yang tertanan di dalam kertas uang yang membuat tulisan “ BI10000” berulang-ulang dan
akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melakukan Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum
Ringkasan :
Latar belakang diterbitkannya ketentuan ini
Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha bank dan mempertahankan nasabah bank, bank dituntut untuk meningkatkan
operasional pelayanannya kepada nasabahnya dan mengubah strategi bisnis perbankan sehingga lebih banyak memanfaatkan
kemajuan Teknologi Informasi.
Pembelian produk keuangan luar negeri oleh nasabah merupakan hal yang dipandang perlu dilayani oleh bank untuk
meningkatkan daya saing bank dan perolehan pendapatan dari fee based transactions. Penerapan Teknologi Informasi telah
55
meningkatkan kemampuan bank dalam kegiatan operasional serta pengelolaan data bank yang bersifat mendunia seperti
melakukan penawaran, setelmen, dan pemberian informasi atas produk keuangan luar negeri kepada nasabah secara lebih
akurat dan cepat.
Disamping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, terdapat
pula risiko yang dapat merugikan bank serta nasabah seperti risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko penyelesaian transaksi.
Untuk mengatasi risiko yang dihadapi bank dan dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah, maka bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan operasional yang terkait penjualan produk keuangan luar
negeri kepada nasabah termasuk penerapan manajemen risiko.
Dalam hubungan dengan aktivitas terkait Produk Keuangan Luar Negeri, Bank juga wajib memperhatikan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain Undang-Undang No.8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur tentang Transaksi Derivatif, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Transparansi Informasi Produk
Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme Bagi
Bank Umum, Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing, dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan
1. Bank di Indonesia dapat melakukan keagenan Produk Keuangan Luar Negeri yaitu instrumen investasi yang diterbitkan
oleh penerbit asing di luar negeri yang mencakup Instrumen Investasi Asing Efek dan Instrumen Investasi Asing Selain
Efek (berupa Structured Product)
2. Aktivitas keagenan tersebut dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh otoritas yang
berwenang. Aktivitas Keagenan mencakup:
a. Menindak lanjuti permintaan nasabah Bank di DN atas Produk Keuangan LN.
b. Menawarkan Produk Keuangan LN kepada nasabah/calon nasabah baik melalui penawaran secara tatap muka maupun
melalui cara-cara penawaran lainnya.
3. Prinsip dasar pengaturan keagenan Produk Keuangan LN:
a. Manajemen Risiko
b. Kehati-hatian
c. Perlindungan Nasabah
4. Manajemen Risiko: bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam melakukan aktivitas keagenan produk keuangan
LN yang minimal mencakup:
a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. Kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang timbul dari aktivitas keagenan
produk keuangan LN; dan
d. Sistem pengendalian intern atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.
5. Perlindungan Nasabah:
a. Bank wajib melakukan analisis mengenai Produk Keuangan LN yang akan ditawarkan.
b. Bank wajib memberikan informasi yang transparan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku seperti:
• penerbit, nama, jenis, spesifikasi, karakteristik, dan fitur produk;
• fungsi dan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nasabah;
56
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• perhitungan pendapatan atau imbal hasil (return) dari produk;
• risiko produk yang ditawarkan termasuk kemungkinan kerugian nilai investasi Nasabah akibat fluktuasi nilai
investasi sesuai kondisi pasar (market risk), kualitas aset yang mendasari (credit risk), dan risiko operasional terutama
settlement risk;
• perhitungan perkiraan kerugian terburuk yang mungkin dapat terjadi;
• syarat dan kondisi produk yang meliputi biaya-biaya, jangka waktu, cooling off period, prosedur setelmen, penghentian
sebelum jatuh waktu (early termination); dan
• mekanisme penyelesaian sengketa.
c. Bank wajib menatausahakan dokumen penawaran produk keuangan LN secara tertulis dan berbahasa Indonesia.
d. Bank wajib menyampaikan informasi kinerja investasi kepada nasabah secara transparan termasuk memberitahukan
kepada nasabah media/sarana untuk penyampaian informasi tersebut.
6. Prinsip Kehatian-hatian:
a. Bank dilarang melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan nasabah
menganggap produk keuangan LN adalah produk bank;
b. Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (KYC) sesuai ketentuan yang berlaku; dan
c. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu menghentikan aktivitas keagenan produk keuangan LN tertentu apabila kegiatan
tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan/atau memiliki potensi risiko yang dapat membahayakan bank.
7. Bank yang dapat mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan keagenan Produk Keuangan LN harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Bank Devisa.
b. Mencantumkan rencana aktivitas keagenan produk keuangan LN dalam Rencana Bisnis bank (RBB).
c. Memiliki sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang memadai untuk dapat menjalankan
manajemen risiko atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.
8. Kriteria Produk Keuangan LN yang dapat diageni oleh Bank di Indonesia paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Telah terdaftar dan/atau memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit.
b. Telah dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Untuk produk keuangan LN berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek wajib memenuhi persyaratan berikut ini:
c. Diterbitkan oleh bank di LN yang memiliki kantor cabang di Indonesia
d. Dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga.
e. Bukan merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valas terhadap rupiah.
9. Kriteria Penerbit produk keuangan LN yang dapat dijadikan mitra kerjasama dengan Bank dalam aktivitas keagenan
produk keuangan LN wajib memenuhi kriteria berikut ini:
a. Terdaftar dan memiliki ijin usaha dari otoritas berwenang di negara asal tempat penerbit berkedudukan.
b. Merupakan badan yang menjadi objek pengawasan dari otoritas berwenang di negara asal.
10.Kriteria Nasabah —> Bank hanya dapat menawarkan produk keuangan LN kepada nasabah non retail sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11. Pelaporan —> Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia:
a. Setiap jenis produk keuangan LN yang akan diageni.
b. Realisasi bulanan aktivitas keagenan produk keuangan LN.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12.Ketentuan Peralihan —> Bank yang telah menjalankan keagenan produk keuangan LN sebelum ketentuan ini berlaku
wajib:
a. mengajukan permohonan ijin untuk melakukan aktivitas keagenan produk keuangan LN.
b. Melaporkan setiap produk keuangan LN yang diageni.
c. Menyesuaikan penyelenggaraan aktivitas keagenan produk keuangan LN dengan pengaturan pada regulasi ini paling
lambat 3 bulan setelah diterbitkannya ketentuan ini. Bank yang tidak menyampaikan laporan produk keuangan LN
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dikenakan sanksi.
d. Bank yang telah mengageni instrumen Investasi Asing Efek yang telah dipasarkan namun belum mendapat ijin dari
otoritas terkait di dalam negeri wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang
pasar modal di Indonesia.
e. Bank yang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan masih menata usahakan Produk Keuangan Luar Negeri
Nasabah yang tidak sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini, dapat melakukan penatausahaan
Produk Keuangan Luar Negeri sampai jatuh tempo. Dalam hal produk tersebut tidak mempunyai jatuh tempo, Bank
dapat melakukan early termination atas dasar kesepakatan dengan Nasabah.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum
Ringkasan :
Latar Belakang dan Tujuan
Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter
dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka
panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar
keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan memiliki ruang gerak yang
memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto
Bank Umum dalam bentuk Perubahan Ketiga Atas PBI No.5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.
Materi Pengaturan
1. Penghapusan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto untuk Neraca Bank
2. Penyempurnaan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto setiap saat dengan memberikan tenggang waktu 30 menit dan
batasan paling tinggi sebesar 20% dari modal bank.
a. PDN setiap 30 (tiga puluh) menit adalah penjumlahan antara PDN secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya
dengan posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit.
b. PDN setiap 30 menit tersebut dihitung sejak sistem tresuri dibuka sampai dengan sistem tresuri ditutup.
Contoh :
• Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal
20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30
menit yaitu:
i. Pukul 08.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 09.00 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
iii. Pukul 09.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
58
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal
20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 07.45 WIB dengan tenggang waktu 30
menit yaitu:
i. Pukul 08.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 08.45 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
iii. Pukul 09.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
• Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit merupakan selisih bersih antara transaksi
beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang
bersangkutan.
• Perhitungan posisi terbuka tresuri tersebut termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun
belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri.
Contoh :
Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing
pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB, maka
transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan PDN setiap 30 (tiga puluh) menit pada pukul 08.30 WIB.
3. Penyempurnaan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan PDN sebesar Rp250 juta per hari
pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.
4. Kewajiban bagi bank untuk melaporkan (self declare) atas terjadinya pelanggaran PDN, baik untuk PDN secara keseluruhan
maupun PDN setiap 30 menit secara harian.
a. Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan atas PDN pada akhir hari dan PDN setiap
30 (tiga puluh) menit, Bank wajib menyampaikan laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia.
b. Laporan pelanggaran tersebut disampaikan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya
pelanggaran dan ditandatangani paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank.
5. Pengaturan Pengenaan Sanksi
a. Pelanggaran atas ketentuan PDN akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp250 juta per hari pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.
b. Selain bentuk sanksi di atas, terhadap jenis pelanggaran tertentu akan dikenakan tambahan berupa dilakukan proses
fit & proper test dan/atau penilaian tingkat kesehatan bank.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter
Ringkasan :
1. Pertimbangan Penerbitan Ketentuan:
Untuk meningkatkan efektivitas Operasi Moneter dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
2. Pokok-Pokok Ketentuan
a. Operasi Moneter dilakukan dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities.
b. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara Standing Facilities
hanya dapat diikuti oleh Bank.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
c. Kegiatan OPT meliputi:
1. Penerbitan SBI.
Terkait dengan perdagangan SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak
lain selama jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI kecuali untuk transaksi SBI oleh Peserta Operasi Moneter
dengan Bank Indonesia.
2. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga.
Dalam melakukan transasi repo dan reverse repo, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak
lain yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat
berharga.
3. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright.
Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dilakukan terhadap SBN (SUN & SBSN) dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia.
Term deposit adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia.
Term deposit dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) sepanjang memenuhi persyaratan tertentu
dan atas pencairan tersebut dikenakan biaya.
5. Jual beli valuta asing terhadap rupiah, yang antara lain dilakukan dalam bentuk spot, forward atau swap.
d. Kegiatan standing facilities meliputi:
1. Lending Facility
Lending facility dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Deposit facility
Deposit facility dilakukan tanpa penerbitan surat berharga.
3. Ketentuan Peralihan
Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang merupakan bagian dari transaksi
yang telah dilakukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan minimum 1 month
holding period sampai dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu.
4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
yaitu:
a. PBI No.4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
b. PBI No.6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002
tentang Operasi Pasar Terbuka;
c. PBI No.6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
d. PBI No.7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
e. PBI No.10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
f. PBI No.10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
g. PBI No.4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan
h. PBI No.6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002
tentang Sertifikat Bank Indonesia.
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/12/PBI/2010 tentang Perubahan atas PBI No. 10/2/PBI/2008 tentang
Bank Indonesia Scripless Securuties Settlement System
Ringkasan :
1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. penyesuaian beberapa definisi antara lain: bank, operasi moneter, koridor suku bunga, fasilitas pendanaan, dan surat
berharga;
b. penambahan pialang pasar modal sebagai peserta BI-SSSS;
c. penyesuaian terhadap istilah ‘broker’.
2. Beberapa penyesuaian definisi yang dilakukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:
a. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di
Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
b. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter
melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya
disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak
lain dalam rangka Operasi Moneter.
c. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan penyediaan penempatan dana
rupiah (deposit facility) oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
d. Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing
Facilities) serta ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
e. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia
kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
f. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
g. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
h. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
3. Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah :
a. Bank Indonesia.
b. Kementerian Keuangan.
c. Bank.
d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing.
f. Perusahaan Efek.
g. Pialang pasar modal.
h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
4. Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI–SSSS,
Help Desk terkait dengan operasional BI–SSSS; dan sistem layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur baik dalam
keadaan normal, keadaaan tidak normal maupun keadaan darurat.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
5. Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau
Rekening Surat Berharga Peserta untuk transaksi antara lain sebagai berikut:
a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia;
b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta;
c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu;
d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS;
e. sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan operasi moneter;
f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan;
g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah
kepada Peserta; dan/atau
h. biaya lainnya.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/13/PBI/2010 tentang Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah
Ringkasan :
1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. Penyesuaian beberapa definisi seperti: surat utang negara, surat berharga negara dan surat berharga syariah negara;
b. Persyaratan bagi bank umum yang dapat menggunakan FLI.
2. Beberapa definisi yang disesuaikan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:
a. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
b. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
c. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
3. Persyaratan agar Bank dapat menggunakan FLI disesuaikan sebagai berikut:
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank
peserta kliring; dan
c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
4. Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang digunakan Bank dalam rangka FLI ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/14/PBI/2010 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran
Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991
Ringkasan :
1. Uang logam (UL) pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dicabut dan ditarik dari peredaran dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran;
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Nilai intrinsik dan biaya pencetakan UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 saat ini telah lebih besar
dari nilai nominalnya.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang
Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991 meliputi:
a. Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991;
b. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 yang dicabut dan ditarik dari peredaran dinyatakan tidak
berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010;
c. UL rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum dalam
jangka waktu tertentu;
d. Jangka waktu dan tempat penukaran ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank
Indonesia dan/atau Bank Umum;
2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan
di Bank Indonesia.
e. Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus
2020.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/15/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/34/PBI/2008 Tentang
Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia
Ringkasan :
I. Latar Belakang Pengaturan:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/15/PBI/2010 tanggal 23 Agustus 2010 ini merupakan perubahan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh
Bank Indonesia. Perubahan PBI dilakukan karena adanya penyempurnaan organisasi di Bank Indonesia membawa
konsekuensi pada perubahan satuan kerja yang bertugas melakukan transaksi pembelian wesel ekspor berjangka.
II. Pokok-Pokok Pengaturan:
Materi perubahan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya menyangkut satuan kerja pelaksana transaksi
pembelian Wesel Ekspor Berjangka (WEB) oleh Bank Indonesia dari semula Bank Indonesia cq. Direktorat Pengeloaan Devisa-
Biro Manjemen Devisa dan Nilai Tukar menjadi Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter-Biro Operasi Moneter.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/16/PBI/2010 tentang Sistem Monitering Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah
Ringkasan :
Latar Belakang dan Tujuan
Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah
tantangan dan risiko bagi para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk memitigasi segala risiko
tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar
valuta asing domestik.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam kerangka tersebut, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah (SISMONTAVAR) yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan mekanisme monitoring kegiatan di pasar valuta asing
domestik, dimana informasi tentang transaksi valuta asing antarbank diperoleh melalui suatu sistem jaringan on-line. Langkah
kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga
stabilitas moneter.
Materi Pengaturan
SISMONTAVAR diterapkan kepada Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing. Ruang lingkup
SISMONTAVAR tersebut meliputi transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank.
Kewajiban Bank Devisa dalam SISMONTAVAR meliputi:
Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing
terhadap rupiah.
Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi
SISMONTAVAR segera setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done). Kewajiban tersebut berlaku
pula untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang Pasar Uang.
Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan
kepada Bank Indonesia koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan. Koreksi transaksi yang
disampaikan kepada Bank Indonesia tersebut dapat dilakukan melalui media faksimile.
Pengaturan Pengenaan Sanksi
Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat melakukan transaksi valuta asing
terhadap rupiah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pengecualian terhadap sanksi di atas berlaku dalam kondisi:
a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala;
b. jaringan data terganggu;
c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau
d. kejadian luar biasa (force majeure).
Ketentuan Peralihan
Ketentuan SISMONTAVAR tidak berlaku bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing namun pada
saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi SISMONTAVAR belum terpasang. Kewajiban mulai berlaku pada saat
aplikasi SISMONTAVAR terpasang.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/17/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang
Operasi Moneter Syariah
Ringkasan :
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah
(OMS) khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang
dinyatakan batal.
64
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Peserta OMS terhadap setiap Transaksi OMS yang dinyatakan batal berupa:
1). teguran tertulis; dan
2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter Syariah
yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Selain dikenakan sanksi tersebut di atas, Peserta OMS yang melakukan transaksi OMS yang
dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan juga dikenakan sanksi berupa penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/18/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/11/PBI/2008 Tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Ringkasan :
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) khususnya Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi SBIS yang
dinyatakan batal.
2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal berupa:
1). teguran tertulis; dan
2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk
setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal.
Dengan tidak mengurangi sanksi tersebut diatas, dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi
operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, maka BUS
atau UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter syariah selama
5 (lima) hari kerja berturut-turut.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank
Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing
Ringkasan :
Latar Belakang Pengaturan :
1. Tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak
pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan
perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan
fungsi intermediasi perbankan.
2. Guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara
optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran
bank dalam menjalankan fungsi intermediasi.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Substansi Pengaturan :
1. Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
2. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi terdiri dari:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah;
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan
c. GWM LDR sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih
antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.
3. Ketentuan mengenai GWM Sekunder dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.
4. GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank
pada Bank Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess
Reserve.
5. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:
a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%.
b. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%.
c. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter
Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target.
d. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%)
akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih
LDR bank dari batas atas LDR target.
e. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif
(saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%
f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan
dievaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan.
6. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per
tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah.
7. Bagian tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah.
8. Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah.
9. Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam
rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah.
10.Terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan
dana, dalam rangka supervisory action Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan
GWM LDR sebagaimana diatur dalam PBI ini.
11.PBI ini mencabut PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah
dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari
PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12.Ketentuan mengenai GWM LDR beserta sanksi terhadap pelanggaran GWM LDR mulai berlaku pada 1 Maret 2011.
13.PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/20/PBI/2010 tentang Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Ringkasan :
Latar belakang
1. Semakin berkembangnya industri BPR dan BPRS disertai dengan perkembangan produk serta pelayanan BPR/BPRS terutama
yang berbasis teknologi informasi, maka risiko pemanfaatan BPR dan BPRS dalam pencucian uang dan pendanaan
terorisme semakin tinggi.
2. Ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan BPRS yang
berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara
internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Materi Pengaturan
1. BPR dan BPRS wajib menerapkan program Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
(PPT).
2. Penggunaan istilah baru terkait dengan penerapan program APU dan PPT sebagai berikut:
a. Customer Due Diligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR
dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank.
b. Enhanced Due Diligence (EDD) adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR/BPRS untuk mendalami profil
calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
c. Politically Exposed Person (PEP) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik
diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik
d. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau
perjanjian
e. Walk in Customer adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk
pihak yang mendapatkan perintah atau penugaasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah
tersebut.
3. Pengaturan dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris.
4. BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab
atas penerapan program APU dan PPT dan bertanggung jawab terhadap Direktur.
5. Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) kepada calon Nasabah, Nasabah, dan WIC yang terdiri dari:
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
a. Permintaan informasi dan dokumen kepada calon nasabah perorangan, perusahaan berbentuk bank dan non bank
termasuk nasabah berupa yayasan, perkumpulan serta Lembaga Negara. Pengaturan termasuk untuk nasabah usaha
mikro dan kecil yang lebih sederhana.
b. Permintaan informasi dan dokumen kepada WIC baik yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta maupun untuk
WIC yang melakukan transaksi di bawah Rp100 juta.
c. Pelaksanaan verifikasi dokumen dalam rangka meneliti dan meyakini kebenaran dokumen termasuk pelaksanaan
wawancara.
d. Pemantauan dan pengkinian data
6. BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 bulan
berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB.
7. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan dan memelihara profil Nasabah.
8. BPR dan BRPS wajib menatausahakan data Nasabah dan WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah atau WIC atau sejak ditemukanannya ketidak sesuaian
transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha serta wajib memelihara dokumen Nasabah dan WIC dengan
jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.
9. Pengaturan mengenai pemindahan dana.
10.Kewajiban BPR dan BPRs untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi dan atau menutup hubungan usaha dengan
Nasabah dalam hal: tidak memenuhi kelengkapan informasi dan dokumen, diketahui menggunakan identitas dan/atau
memberikan informasi yang tidak benar, BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah atau penggunaan
rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
11.Pengaturan mengenai Beneficial Owner perorangan, perusahaan, yayasan atau perkumpulan.
12.Pelaksanaan EDD untuk calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.
Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon nasabah
yang tergolong PEP tersebut.
13.Pengaturan mengenai CDD yang lebih sederhana dapat dilakukan terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya
pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah.
14. BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabah yang telah
menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Namun demikian BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi
& verifikasi atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan
dokumen.
15. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan adanya batasan wewenang
dan tanggung jawab yang jelas untuk unit kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT
serta pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk
mengawasi efektivitas penerapan program tersebut.
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
16.BPR dan BPRS wajib melakukan penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, serta melaksanakan
pelatihan mengenai program APU dan PPT kepada SDM BPR dan BPRS.
17.BPR wajib menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT yang telah mendapatkan persetujuan Dewan
Komisaris paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI ini dan wajib menyampaikan perubahan Pedoman
Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada BI.
18.BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan
laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
19.Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib disampaikan 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui
adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan yaitu sejak Direktur yang berwenang menyetujui transaksi tersebut
sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.
20.Sanksi keuangan diberikan kepada BPR yang terlambat menyampaikan atau tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan
APU dan PPT serta BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
21.Peraturan ini mencabut PBI No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles/KYC) bagi BPR tanggal 23 Oktober 2003.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/21/PBI/2010 tentang Rencana Bisnis Bank
Ringkasan :
1. Tujuan pengaturan ini adalah :
a. Agar Bank memiliki Rencana bisnis yang disusun secara matang dan realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
penerapan manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif.
b. Sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko strategik dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal
untuk mengarahkan kegiatan operasional bank sesuai visi dan misinya.
c. Selain itu rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro prudential dan
d. Menjadi salah satu acuan bagi pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan berdasarkan risiko yang optimal
dan efektif.
2. Bank wajib menyusun Rencana Bisnis setiap tahun. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), Rencana
Bisnis wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank
Umum.
3. Cakupan Rencana Bisnis paling kurang meliputi:
a. Ringkasan eksekutif;
b. Kebijakan dan strategi manajemen;
c. Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini;
d. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;
e. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;
f. Rencana pendanaan;
g. Rencana penanaman dana;
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
h. Rencana permodalan;
i. Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
j. Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
k. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor;
l. Informasi lainnya.
4. Rencana Bisnis wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun
Rencana Bisnis dimulai. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis
yang disampaikan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ini.
5. Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis apabila:
a. Terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan mempengaruhi operasional Bank. Perubahan ini hanya
dapat dilakukan 1 kali, paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan; dan/atau
b. Terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank, berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
6. Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
secara semesteran kepada Bank Indonesia.
7. Pemberian masa transisi sebagai berikut:
a. Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling
lambat pada akhir bulan Desember 2010.
b. Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011, namun melewati akhir Desember 2010:
1). Tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar, apabila disampaikan paling lambat akhir Januari 2011; atau
2). Dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50 juta, apabila disampaikan setelah akhir Januari 2011.
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010