ijma’: antara sumber, dalil dan manhaj dalam …
TRANSCRIPT
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{1
IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM SISTEMATIKA KAJIAN USHUL FIQH
MUSFIRA
Dosen Tetap Fakultas Syari’ah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
ABSTRAK
Sebagaimana dianut oleh pakar hukum Islam klasik, bahwa ijma‘ merupakan sumber dalam hukum Islam setelah al-Qur'an dan Sunnah. Sejalan dengan akselerasi perubahan, konsep hukum Islam telah mengalami pergeseran terutama istinbath hukum melalui ijma‘. Atas dasar itulah, tulisan ini ingin menghadirkan “kreasi baru” untuk melihat kembali posisi dan fungsi ijma‘ dalam sistematika kajian ushul fiqh, apakah ijma‘ masih sebagai sumber sekaligus dalil setelah al-Qur'an dan sunnah, atau ijma‘ berpartisipasi otonom sebagai manhaj (metode). Dengan mencermatinya secara intens diperoleh konsep baru tentang fungsi ijma‘ di dalam hukum Islam, bahwa rumusan konsep dan pemikiran ulama tentang ijma‘ menunjukkan pada aplikasi teori adabtabilitas hukum Islam terhadap realitas sosial masyarakat, sehingga ijma‘ tidak lagi sebagai produk hukum yang stagnan sebagaimana warisan dari ulama klasik. Selanjutnya pemahaman tentang ijma‘ yang telah mapan (sumber atau dalil), dapat disesuaikan kembali dengan kehendak ijma‘ (sebagai manhaj), yang merupakan hasil metode berpikir alternatif, sebagai jawaban atas kebutuhan umat saat ini. Kata Kunci: Ijma’, Sumber, Dalil,Manhaj, Ushul Fiqh.
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
2}
A. Pendahuluan
Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh sebagaimana
terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer, bahwa istilah
sumber hukum, dalil hukum dan manhaj dalam istinbath hukum
dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum, dalil hukum atau
manhaj merupakan istilah-istilah teknis yang dipakai oleh para ulama
ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau
dasar dalam istinbath hukum di mana dalam penerapannya mencakup
al-Qur’an, al-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber selain
keduanya.
Dari beberapa kajian, baik dalam kitab-kitab klasik yang
dihasilkan oleh para ulama salaf, ulama fiqh maupun ulama ushul
fiqh, dalam pembahasan mereka sebahagian kecil saja yang
memberikan batasan antara sumber dan dalil secara jelas, karena pada
umumnya mereka hanya memberikan batasan dengan menggunakan
istilah dalil-dalil syara’ terhadap sumber maupun dalil.1
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma‘ merupakan hujah yang
bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma‘ merupakan dasar penetapan
hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi serta diamalkan.
Dengan demikian jumhur ulama menempatkan ijma‘ sebagai dalil
hukum yang ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, alasannya ijma‘
merupakan dalil yang pasti.2 Disebut dalil karena ijma‘ bukanlah
wadah yang dapat ditimba norma hukum, karena ijma‘ tidak dapat
1 Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 81
2 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 148
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{3
berdiri sendiri, melainkan harus bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah.3
Dalam kaitan pembahasan di atas, manhaj setidaknya harus
mendapat perhatian khusus. Oleh sebab itu, dalam konteks
menemukan hukum, posisi ijma‘ sangat penting dibahas untuk
mengetahui sisi pergeserannya dalam istinbath hukum. Inilah yang
mendasari penelitian ini untuk memberikan tempat perhatian utama,
dan dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat urgen agar tidak
menjadi suatu yang ambigu ketika berhadapan dengan persoalan-
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya antara mana yang
dikatakan sumber, dalil dan mana yang disebut manhaj (metode).
Sehingga dengan memperjelas posisi dari tiga istilah tersebut yang
telah memiliki proporsi masing-masing maka pembauran antara
ketiga istilah tersebut dapat terhindarkan.
Pembahasan tentang ijma‘ ini relatif luas cakupannya dan
memiliki banyak segi yang diperselisihkan para ulama. Untuk itu
penulis merasa perlu untuk membatasi penelitian ini dan lebih fokus
untuk mengetahui bagaimana konsepsi ushul fiqh terhadap sumber,
dalil dan manhaj, serta Bagaimana posisi ijma‘ dalam konsep ushul
fiqh.
Agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka
penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan bibliographic
3 Adapun sumber hukum yang disepakati jumhur ulama adalah alquran, sunah, ijma‘
dan qiyas. sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama
selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan,maslahah murslah, istishab, ‘urf,
madzhab shahabi, syar’u man qablana. Dengan demikian jumlah sumber hukum Islam itu ada
sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.
Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1978), hal. 14-17
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
4}
research4 dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber datanya
diambil dari karya-karya ulama klasik maupun kontemporer tentang
konsep ijma‘. Selanjutnya data dianalisis dari fakta-fakta yang khusus,
dan peristiwa-peristiwa yang konkrit dari berbagai pendapat jumhur
ulama tentang ijma’, selanjutnya ditarik generalisasi-generalisasi yang
bersifat umum.
B. Pengertian Sumber, Dalil dan Manhaj
Kata “sumber” dalam bahasa Arab, adalah pemahaman dari
kata “mashdar”, jamaknya “mashādir”, artinya asal dari segala sesuatu,
atau tempat merujuk segala sesuatu. Jadi jika dikatakan mashdar al-
hukmi, atau mashdar al-ahkām, artinya asal atau rujukan hukum.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, sumber adalah asal
sesuatu.5 Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan)
hukum Islam yang dipergunakan sebagai pedoman. Dalam
kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam
terkadang disebut dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau
dasar hukum Islam.6
4 Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang
ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Lihat M. Nazir, Metode Penelitian, cet. 5,
(Jakarta, Ghalia Indonesia,2003), hal. 27, sedangkan Bibliographic Research adalah penelitian
yang termasuk mengkaji sejarah kehidupan, biografi klasik dan penafsiran, dimana peneliti
mengeksplorasi individu tunggal begitu juga dengan pengalamannya. Temuan ini sebagian
besar bercerita lisan oleh orang yang sedang dipelajari atau Dāri dokumen dan bahan-bahan
arsip yang berhubungan dengan kehidupan seseorang. Tujuannya adalah untuk menemukan dan
menyajikan tema-tema yang menunjukkan poin penting dalam kehidupan seseorang yang
benar-benar mengungkapkan individu. Jadi Kajian Bibliographic Research ini berperan
memberikan sumber data sesuai dengan klasisfikasinya.
5 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
hal. 974, lihat juga Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 463
6 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh al-Islami, Jilid I, (Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1979), hal. 21.
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{5
Dalam kepustakaan ilmu hukum, pembicaraan tentang
terminologi “sumber hukum” sering digunakan dalam pembahasan
kaedah hukum.7 Sehingga “sumber hukum” dibedakan kepada
sumber hukum materil (Welbron) dan sumber hukum formil (Kenborn).
Sumber hukum materil merupakan sumber dari mana hukum itu
berasal (sumber isi), sedangkan sumber hukum formil merupakan
sumber tempat hukum itu didapat, ditemukan atau dikenal (sumber
kenal).8
Sumber hukum materil atau sumber isi hukum, ialah sumber
yang menentukan corak isi hukum, atau sesuatu yang tercermin
dalam isi hukum. Sumber hukum materil, menentukan dari mana asal
hukum, menentukan ukuran, isi apakah yang harus dipenuhi agar
sesuatu bisa disebut hukum, sehingga mempunyai kekuatan yang
mengikat, yaitu sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum.
Dalam perspektif ilmu hukum, sumber hukum materil merupakan
salah satu bidang kajian filsafat hukum.9
Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan
pembicaraan filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-
bentuk di mana dapat ditemukan atau dikenal hukum yang berlaku
sebagai hukum positif di suatu negara. Sumber hukum formil dalam
ilmu hukum adalah: 1) Perundang-undangan; 2) Kebiasaan/kebiasaan
(Common Law); 3) Keputusan hakim/Yurisprudensi (Judge Made Law);
7 George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (London:
Oxford University Press), hal. 141
8 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradinya Paramita, 1978),
hal. 87
9 Ahmad Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Multi
Karya Ilmu, 1983), hal. 32-34
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
6}
4) Perjanjian/Traktat (Pacta Servanda Sunt); 5) Ilmu Pengetahuan
Hukum (Doctrine).10
Dalam Islam, penggunaan istilah “sumber hukum” (mashādir
al-ahkām) dan “dalil hukum” (adillah al-ahkām), oleh sebagian ulama,
terkadang diartikan untuk makna yang sama. Jadi biasanya digunakan
istilah adillah al-ahkām untuk menunjuk mashādir al-ahkām dan begitu
pula sebaliknya. Meskipun demikian, sebagian ulama yang lainnya
membedakan kedua istilah tersebut. Menurut pendapat yang terakhir
ini, bahwa “sumber hukum” (mashādir al-ahkām) adalah asal hukum
atau rujukan hukum, sedangkan “dalil hukum” (adillah al-ahkām)
adalah tempat ditemukan atau sesuatu yang menunjuk kepada adanya
hukum.11
Dengan demikian apabila merujuk kembali pada kajian
“sumber hukum Islam”, maka pengertian istilah “sumber hukum”
(mashādir al-ahkām) adalah sama dengan kandungan pemahaman
“sumber hukum materil” (sumber isi) dalam ilmu hukum. Sedangkan
pengertian “dalil hukum” (adillah al-ahkām), adalah sama dengan
kandungan pemahaman pengertian “sumber hukum formil” (sumber
kenal) dalam ilmu hukum.
Berdasarkan pengertian di atas, bila ditinjau dari sisi
metodologis, maka hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi melalui proses penalaran
atau ijtihād. Sehingga hukum Islam diyakini sebagai hukum yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.
Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang
10 Ahamd Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar..., hal. 32
11Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 32
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{7
memuat petunjuk-petunjuk global dan kedudukan ijtihād sebagai
fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum Islam memiliki
sifat elastis dan akomodatif. Karakteristik hukum Islam yang
bersendikan wahyu dan bersandarkan akal, menurut Anderson,
merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dari sistem
hukum lainnya. 12
Sedangkan kata dalil menurut bahasa Arab berarti sesuatu yang
menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap secara indrawi atau ditangkap
secara ma’nawi, atau petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi
(indrawi) maupun maknawi (non indrawi). Secara etimologi juga, dalil
bermakna petunjuk, menunjukkan, atau memberi tahu jalan, dan buku
petunjuk. Menurut syara’, dalil ialah sesuatu yang bila diteliti dan dikaji
dengan sesama akan dapat menyampaikan peneliti kepada pengetahuan dan
ilmu yang meyakinkan, seperti ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw.13
Para ulama ushul mengartikan kata dalil dengan “sesuatu yang
dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Abu Ishak Ibrahim
Ali Ibn Yusuf dalam kitab Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan dalil ialah: al-mursyad ila al-mathlub
(petunjuk kepada yang diminta). 14 Sementara itu Abdul Wahab
Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan
dalil ialah:
12 Anderson, Islamic Law in the Muslim World, (New York: New York University
Press, 1956), hal. 2-4. Keterangan yang mencakup tentang hal ini juga dapat dibaca pada
Muhammad Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 42
13 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 5-6
14 Abu Ishak Ibrahim Ali Ibn Yusuf, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, (Surabaya: Syirkah
Bangkul Indah, tt), hal. 3
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
8}
“sesuatu yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”. 15
Adapun menurut istilah ushul, para ulama ushul secara
redaksional berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul
Wahab Khallaf menyebutkan, bahwa menurut istilah yang dimaksud
dengan dalil hukum ialah:
“Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”. 16
Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul
terdapat beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya. Abdul
Wahab Khallaf menggunakan beberapa istilah: al-adilah al-syar’iyyah
(dalil-dalil syari’ah), al-adilah al-ahkām (dalil-dalil hukum), ushul al-
ahkām (pokok-pokok hukum), dan mashādir al-tasyri’iyyah li al-ahkām
(sumber-sumber tasyri’ untuk hukum).17 Begitu juga Wahbah Zuhaili
berpendapat bahwa: al-mashādir al-ahkām (sumber-sumber hukum)
adalah dalil-dalil yang dikeluarkan dari hukum syara’.18 Sedangkan al-
Mawardi menyebutnya ushul al-ahkām fi al-syar’ (sumber-sumber
hukum dalam syara’), yang terdiri atas: Kitabullah, Sunnah Rasul, ijma‘,
dan Qiyas.19
15 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, (Kairo: al-Maktabah al-
Da’wah al-Islāmiyah, 1984). hal. 20
16 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,...hal. 20
17 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li
al-Da’wah al-Islāmiyah, 1972). hal. 20
18 Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh, (Damsyiq: Dār al-Kitab, 1977), hal.
35.
19 Al-Mawardi, Abi al-Hasan ‘Ali, al-Ahkām al-Sulthaniyah, (Bayrut: Dār al-Fikr, tt),
hal. 66
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{9
Sedangkan manhaj, dari bahasa Arab asal katanya nahaja,
yanhaju, nahjan yang semuanya mempunyai satu makna. Dari segi
bahasa manhaj ialah: “al-thārīq al-bayyinu al-wādhih, wa yuthlaq ‘ala al-
thārīq al-mustaqīm aw al-sunnah”, artinya “Jalan yang jelas, terang dan
dikatakan juga (mengikut) jalan yang lurus atau mengikut sunnah”.20
Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-
ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyah, seperti
kaidah-kaidah bahasa Arab, ushul 'aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir
dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta
pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.
Menurut Abu Ja’far, manhaj ialah: “Jalan yang terang atau
jelas”.21 Apabila dikatakan tharīq, nahaja memiliki arti “jalan yang
terang” atau bayyan “jelas”. Sedangkan menurut Ibn Kathir
rahmatullah manhaj ialah: “jalan yang terang dan mudah”.22
Manhaj juga dapat difahami menurut sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibn Abbas ra. yang diriwayatkan dari Mujahid,
Ekrimah, Hasan al-Basri dan selain mereka: “Berkata Ibnu Abbas
Radiallahu‘anhu bahwa manhaj ialah: Jalan atau sunnah”.23 “Manhaj ialah:
Sunnah Nabi. Atau yang terang dan yang jelas”.24
Manhaj atau minhaj dimaksudkan juga sebagai madzhab (aliran
atau jalan). Walaupun madzhab sering digunakan untuk aliran fiqih
tetapi ia sering juga digunakan atau dimaksudkan dengan maksud
20 Fairus Abadi, Kamus al-Muhit. hal. 209.
21Lihat: Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Jilid 4, (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, tt), hal. 609.
22Lihat: Tafsir Ibn Kathir 2/26,
23Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, (Riyadh :
Maktabah Darussalam, 1907), hal. 66,
24 Lihat: Al-Tabari..., jilid 6, hal. 609.
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
10}
yang sama dengan manhaj. Seperti disebut: “manhaj al-salaf al-soleh atau
madhhab al-salaf al-soleh”.
Dalam bahasa Indonesia, manhaj adalah metode yang berasal
dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Di dalam
bahasa Inggris kata ini ditulis method dan dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Di dalam pemakaian
bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur
dan berpikir baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan
dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Pengertian metode adalah salah satu sarana yang amat penting
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini maka
studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode , yakni suatu cara yang
teratur dan berpikir baik untuk mencapai pemahaman yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an
yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad.
Sedangkan “metodologi”25 itu sendiri memiliki keterkaitan
istilah dengan “metode”. Di dalam kajian Muhadjir,26 metodologi
diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis sebagai metode yang
terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan dengan
metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep-konsep dasar
25 Secara bahasa, “metodologi” yang telah diterima menjadi bahasa Indonesia,
diartikan sebagai “uraian tentang metode”. Sedang “metode” diartikan sebagai “cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kerja suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
telah ditentukan”. Baca, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 581.
26 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989), hal. 9-10.
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{11
hukum Islam – baik al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma‘– , serta bagaimana
format hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Dari pengertian di atas, maka metode (manhaj) dapat
digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan
pembahasan suatu masalah, pemikiran, maupun penalaran akal, atau
bahkan pekerjaan fisik pun tidak pernah terlepas dari suatu metode.
Dengan demikian sumber (asal), atau isi (materi) hukum
(welbron), atau rujukan dalam menetapkan hukum, menurut
pandangan Islam adalah kehendak atau aturan dari Allah SWT, yang
dijelaskan melalui utusan atau Rasul-Nya (Sunnah). Maka dapat
dipahami bahwa sumber hukum Islam (mashādir al-ahkām) atau
“sumber-sumber materil” sebagaimana dipahami dalam ilmu hukum,
adalah al-Qur’an dan Al-Sunnah saja.27
C. Ijma’ Dalam Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma'
menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam
meletakkan kaedah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma' yang paling
mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari
kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau pada masa
tertentu atas suatu perkara agama.
Dengan demikian dari rumusan definisi ijma’ baik secara
etimologi maupun terminologi dari seluruh kalangan ulama, maka
jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, di mana yang sepakat di
sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa
tertentu sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Di sini ditekankan
27 Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam..., hal. 34
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
12}
“sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an lah
yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur'an
kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri masih sebagai tempat
bertanya tentang hukum syara', sehingga tidak diperlukan ijma’. Ijma'
itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada
masa itu, hal ini bukan berarti kesepakatan mujtahid semua masa
sampai hari kiamat.
D. Konsep Fungsi Ijma‘ Baru
Seperti yang telah diketahui, bahwa para cendekiawan Islam
(ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi
konsensus (Ijma‘). Perbedaan pendapat mereka, menurut Umar
Sulaiman al-Asyqar,28 dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan
para personal yang mempunyai validitas untuk ber konsensus
(diterima konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-
permasalahan yang diterima dalam konsensus. Lebih rinci dapat
dinyatakan, bahwa perselisihan tentang ijma‘ bermuara kepada empat
sikap, satu pendapat mengatakan, bahwa yang dimaksud ijma‘ adalah
kesepakatan para Sahabat Nabi Muhammad Saw. Pendapat lain
menyatakan, bahwa ijma‘ adalah kesepakatan segenap penduduk
Madinah pada masa khulafaurrasyidin. Pendapat ke tiga menyatakan
bahwa ijma‘ adalah kesepakatan para ulama dalam dunia Islam secara
keseluruhan. dan pendapat terakhir memandang bahwa ijma‘ pada
pola ketiga belum pernah terjadi dan mustahil dapat diwujudkan.29
Terlepas dari perdebatan soal terminologinya, ijma‘ disepakati (al-
28 Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun fi Ushul al-Fiqhi, (Yordania:
Dār un-Nafais, tt), hal. 12
29 Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj, (Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2004), hal. 42
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{13
Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan
Hadits.
Pada periode modern, pemikir-pemikir muslim
mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru
yang selaras dengan kondisi modern. Fazlur Rahman misalnya, ia
mengakui otoritas ijma‘ sebagai hujah (dasar) hukum Islam (Seperti
halnya mayoritas ahli ushul fiqh), namun menurut Rahman otoritas
tersebut bersumber dari kesepakatan atau konsensus bersama itu
sendiri, sehingga bilamana konsensus tersebut sudah tidak diakui lagi
oleh mereka, hilanglah otoritas hujahnya. Selain itu konsep otoritas
ijma‘ Rahman membuka kesempatan timbulnya ijma‘-ijma‘ yang telah
ada lebih dulu.30 Sementara mayoritas ahli ushul fiqh berpendapat
bahwa hujah ijma‘ sebagai dasar hukum bersumber dari dalil syar’i
sehingga ia harus diikuti dan haram berselisih dengannya.31
Pandangan singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma‘ bisa
memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan
mayoritas (majority rule). Oleh sebab itu dari konsep ijma‘ yang
disajikan oleh beberapa ulama klasik maupun kontemporer, di
antaranya terdapat keterkaitan yang saling mendukung terhadap
fungsi ijma‘ itu sendiri.
Sementara itu konsep ijma‘ di kalangan yang telah dinyatakan
jumhur ulama seperti telah disebutkan sebelumnya secara tegas
menyatakan bahwa ijma‘ harus dilakukan oleh seluruh mujtahid di
30 Rahman, Implementation of the Islamic Concep of State, hal. 501
31 Ia menjelaskan bahwa hukum ijma’ harus diikuti dan haram berselisih dengannya,
dan ia juga menegaskan bahwa mayoritas Muslim bersepakat bahwa ijma’ didasarkan pada
dalil-dalil sam’iyat (al-Qur'an dan al-Sunnah). lihat al-Ghazali, Al-Mustashfa fi‘Ilmi al-Ushul,
Jilid I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), hal. 223; al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-
Ahkam, Jilid 4, (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 50.
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
14}
kalangan umat Muhammad Saw. Bila ijma‘ seperti konsep tersebut
tetap harus dijalankan, tampaknya sangat sulit fungsi ijma‘ menjadi
aplikatif untuk dilakukan, apalagi melihat kondisi dewasa ini umat
Islam telah bertebaran di seluruh dunia dan para mujtahid pun sudah
ada di mana-mana. Kesulitan ini bukan karena letak para mujtahid
yang berjauhan, namun dikarenakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemikiran mujtahid tersebut berbeda-beda, sehingga
akan kesulitan menyatukan pendapat.
Dengan demikian, Amir Syarifuddin menyatakan bahwa ijma‘
dengan definisi Syāfi‘īyah kemungkinan tidak dapat terjadi karena
melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat di antara sekian
banyak ulama mujtahid.32 Sedangkan jika hanya mengumpulkan
mujtahid dari seluruh dunia dalam satu majelis, di era teknologi
informasi komunikasi, dan teknologi transportasi ini, sangat
dimungkinkan terjadi.33
Mengacu pada pendapat ini, dapat dipahami bahwa untuk
mencapai ijma‘ sangat sulit. Kesulitan ini terjadi bukan karena susah
mengumpulkan mujtahidnya, tetapi sulit untuk mencapai kata sepakat.
Dalam kasus di Indonesia saja, misalnya tentang status hukum rokok,
tidak mencapai kata sepakat di kalangan ulama, apalagi persoalan
yang bersifat mendunia dan melibatkan seluruh ulama mujtahid dari
berbagai penjuru dunia. Hal ini sangat logis, karena perspektif ulama
modern dalam menggali hukum sangat beragam. Dalam kasus rokok
tadi, antara ulama yang mengedepankan kesehatan (hifd an-nafs),
32 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta: Logos , 2005), hal. 128
33 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., hal. 128
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{15
dengan ulama yang mengedepankan kebutuhan ekonomi (hifd al-mal)
mungkin berbeda pendapat.
Penulis melihat kondisi seperti yang dipaparkan di atas, ijma‘
di kalangan ahl al-hall wa al-aqd menjadi urgen. Karena itu posisi ahl al-
hall wa al-aqd menjadi sangat urgen dan diperlukan. Urgensi ahl al-hall
wa al-aqd, karena mereka berdiri di garda terdepan yang lebih
mengetahui secara praktis persoalan umat. Di samping mereka
berperan sebagai ulama, mereka sudah terbiasa mengurus umat.
Karena itu mereka lebih mengetahui persoalan umat secara mendetail.
Pengetahuan yang mendetail tentang suatu persoalan inilah yang
sangat dibutuhkan dalam proses penetapan hukum.
Dalam era modern ini spesifikasi keilmuan sangat dihargai.
Karena itu setiap persoalan umat yang muncul dan membutuhkan
legalisasi hukum, diperlukan orang yang memiliki keahlian di
bidangnya. Setiap mujtahid di samping memenuhi persyaratan di
bidang kemampuan agama, perlu juga memiliki pengetahuan pada
bidang yang diijtihadkan. Implikasinya bagi mujtahid yang tidak
terbiasa mengurus persoalan umat dan tidak memiliki kompetensi
pada bidang yang diijtihadkan, tidak akan dapat memberikan
keputusan hukum yang tepat.34
Bila mengacu pada batasan ijma‘ yang diberikan ulama,
ditemukan bahwa ulama ushul fiqh sangat bervariasi dalam
memberikan batasan terhadap ijma‘.35 Dari pendapat-pendapat
34 Muhammad Hasan, Hukum Menurut..., hal. 77
35 Menurut al-Syaukani dalam Irsyādu al-Fuhul...,hal. 71. Ijma' adalah kesepakatan
(konsensus) para mujtahid (dari kalangan) umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat,
pada suatu masa atas hukum suatu masalahal. Menurut al-Ghazali ijma’ adalah kesepakatan
umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama (Habieb, tt, hal. Xxxiii). Muhammad
Abu Zahrahh menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
16}
tersebut dapat dipahami bahwa ulama berbeda-beda dalam
membatasi ijma‘. Pembatasan tersebut dapat dilihat dari segi pelaku
ijma‘, kuantitas pelaku ijma‘, dan keberlakuan ijma‘.
E. Elektabilitas Posisi Ijma‘ dalam Sistematika Ushul Fiqh
Dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas, baik perbedaan
dari segi pelaku ijma‘, kuantitas pelaku ijma‘, dan perbedaan
keberlakuan ijma‘ memberikan pemahaman kepada penulis bahwa
ijma‘ terkadang merupakan manhaj ijtihad dan terkadang pula
merupakan mashādir al-ahkām (sumber hukum) atau al-adilatul al-ahkām
(dalil hukum). Ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām tergambar dari batasan
ulama yang hanya memberikan peluang terjadinya ijma‘ pada masa
Sahabat dan menganggap tidak mungkin terjadi ijma‘ pasca Sahabat.
Jadi ijma‘ dalam konteks ini sebagai produk hukum yang dapat
dipedomani.
Ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām, misalnya tergambar dari
pendapat M. Zein.36 Beliau mengemukakan contoh ijma‘ tentang
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Ijma‘ yang
demikian menurut M. Zein disandarkan kepada firman Allah, yang
artinya:
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;37 saudara-saudaramu yang perempuan,
kesepakatan yang dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab
Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ mesekipun hanya merupakan kesepakatan penduduk
Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahlu al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah
kesepakatan para imam di kalangan mereka. Sedangakan menurut Jumhur Ulama, ijma’ sudah
dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul
Karim Zaidan, ijma’ baru diaanggap terjadi bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama
mujtahid. Lihat Satria Efendi, M. Zein, Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005) hal. 125
36 Satria Efendi, M. Zein, Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh..., hal. 127
37 Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud
dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah,
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{17
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa : 23).
Ijma‘ seperti di atas, merupakan produk hukum warisan ulama
klasik dan dipedomani sampai saat ini. Karena itu konsep ijma‘ seperti
ini relatif stagnant. Dengan konsep ijma‘ seperti ini, maka tidak akan
lahir hukum-hukum baru melalui ijma‘. Persoalan-persoalan baru
yang memerlukan jawaban hukum tidak akan dapat diselesaikan
melalui ijma‘, karena ijma‘ hanya terjadi di awal pertumbuhan Islam
saja. Lalu bagaimana dengan problem umat masa kini, apakah hanya
akan dibiarkan begitu saja, cukup dijawab secara fardiyah, atau
merujuk pada ulama klasik saja.
Ulama klasik, di samping meninggalkan warisan berupa
produk hukum, juga meninggalkan warisan berupa metodologi ijtihad.
Ini berarti, jika hukum yang dilahirkan oleh ulama klasik tidak
mampu menjawab persoalan yang baru muncul, maka perlu meminta
metode ijtihadnya untuk menjawab persoalan tersebut. Konsep seperti
ini telah dilakukan oleh ulama dari masa ke masa, sejak dari masa
Sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in sampai abad pertengahan. Tetapi kenapa
ijma‘ sebagai metode ijtihad seolah-olah stagnant, bukankah ijma‘ juga
demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya. Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya..., hal. 105
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
18}
merupakan salah satu metode untuk melahirkan hukum yang
memiliki kekuatan yang qat’i.
F. Penutup
Pemahaman ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām (sumber hukum)
atau al-adilatul al-ahkām (dalil hukum) yang selama ini dipahami
merupakan gambaran dari batasan ulama klasik yang hanya
memberikan peluang terjadinya ijma‘ pada masa Sahabat dan
menganggap tidak mungkin terjadi ijma‘ pasca Sahabat.
Ulama klasik, di samping meninggalkan warisan berupa
produk hukum, juga meninggalkan warisan berupa metodologi ijtihad.
Ini berarti, jika hukum yang dilahirkan oleh ulama klasik tidak
mampu menjawab persoalan yang baru muncul, maka perlu meminta
metode ijtihadnya untuk menjawab persoalan tersebut. Dengan
demikian konteks ijma‘ dalam kajian ini lebih dikategorikan ijma‘
sebagai manhaj (metode) dalam pengambilan (istinbath) sebuah
hukum.
Oleh karena itu ijma‘ sebagai manhaj dapat terjadi kapan saja
sesuai dengan problem dan kebutuhan hukum yang muncul. Ijma‘
sebagai manhaj merupakan langkah progresif sebagai mekanisme
pengambilan keputusan hukum. Ijma‘ sebagai manhaj juga menjadi
pintu masuk untuk menjawab pelbagai persoalan keumatan yang
semakin rumit, terutama masalah-masalah aktual yang belum
tersentuh oleh teks-teks keagamaan.
Saran
Penelitian tentang ijma‘ umumnya berangkat dari perspektif
yang oposisional antar madzhab, dan masih sedikit penelitian dengan
perspektif yang lebih dialektis sehingga mampu menangkap
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{19
artikulasinya yang baru dan berubah terus menerus. Hasil penelitian
ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi pengkaji hukum Islam,
ulama, pemikir Islam, generasi muda, mahasiswa, masyarakat, dan
lain sebagainya untuk memahami persoalan hukum Islam dengan
baik, dan meneliti dalam perspektif yang masih minor tersebut.
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
20}
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Kairo: al-Maktabah al-Da’wah al-Islāmiyah, 1984
Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-Da’wah al-Islāmiyah, 1972
Abu Ishak Ibrahim Ali Ibn Yusuf, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Surabaya: Syirkah Bangkul Indah, tt
Ahmad Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Multi Karya Ilmu, 1983
Al-Mawardi, Abi al-Hasan ‘Ali, al-Ahkām al-Sulthaniyah, Bayrut: Dār al-Fikr, tt
Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Jilid 4, Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos , 2005
Anderson, Islamic Law in the Muslim World, New York: New York University Press, 1956.
Damanhuri, D. (2014). Penelusuran Akar Hadits. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 97-118.
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, London: Oxford University Press
Hermawan, S. (2014). Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 81-96.
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Riyadh : Maktabah Darussalam, 1907
L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradinya Paramita, 1978
Madung, O. G. (2014). Paradigma Holisme Hegelian dan Kritik Atas Liberalisme. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 45-60.
Meriza, I. (2014). Peran Kerabat dalam Pendidikan Akhlak Anak. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(1), 106-116.
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh
{21
Merrikhi, P. (2014). The Effect of Knowing the Main Idea of a Text on Answering Multiple-Choice Questions Which Look for the Details of the Text. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 51-66.
Muhammad Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh al-Islami, Jilid I, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1979
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: Erlangga, 1991
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989
Nuruzzahri, N. (2014). Pengajaran Ideal dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(1), 47-60.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Rahman, Implementation of the Islamic Concep of State
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun fi Ushul al-Fiqhi, Yordania: Dār un-Nafais, tt
Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.
Tabrani ZA. (2014a). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing.
Tabrani ZA. (2014b). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Serambi Tarbawi, 2(1), 19–34.
Tabrani ZA. (2014c). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.
Vol. 3, No. 1, Januari 2015
22}
Tsai, K. (2014). A Journey to the Qualitative Wonderland: Lessons Learned for Novice Researchers. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 39-50.
Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh, Damsyiq: Dār al-Kitab, 1977