ikterus patologis et causa inkompatibilitas abo new
DESCRIPTION
tqTRANSCRIPT
Ikterus Patologis Et Causa Inkompatibilitas ABO
Lili Susanti
102011091
Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40/1000
kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain penyakit
dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak
langsung. Faktor yang berhubungan langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit. Penyakit
tersebut sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat penatalaksanaan yang
cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Bayi-bayi yang beresiko tinggi
salah satunya yaitu ikterus. Penelitian di dunia kedokteran menyebutkan bahwa 70% bayi baru
lahir mengalami ikterus, meski kondisi ini bisa dikategorikan normal. Sehingga tidak sampai
terjadi hiperbilirubinemia pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin serum yang
dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah (SDM) dan resorpsi lanjut dari bilirubin yang
terkonjugasi dari usus kecil. Salah satu penyebab ikterik adalah Inkompatibilitas ABO atau
ketidakcocokan golongan darah. Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O
yang melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh kehamilan.
Melihat banyaknya kasus seperti di atas maka di sini saya akan membahas lebih lanjut mengenai
ikterus patologis yang disebabkan inkompatibilitas ABO. Dengan pembahasan ini diharapkan
dapat menambah wawasan kita mengenai ikterus pada neonatus sehingga kita dapat mengambil
tindakan yang tepat ketika bertemu dengan kasus seperti di atas.
1
Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah
keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada
umumnya adalah fisiologis, kecuali:1
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat
masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat
deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik.
Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia,
kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap
3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik
terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran
sensorial.2
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami
ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75%
bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.3
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
2
sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12
mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup
bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di
atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan
pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda
didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis.
Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus
pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.3
Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:3,4
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase
di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:3,4
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu diabetes.
3
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:1,2
a. Faktor Maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI
b. Faktor Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetic
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hiperbilirubin Pada Neonatus:1,2
1. Golongan Darah
Ketidak cocokan golongan darah dapat terjadi bila ibu rhesus negatif dan anaknya rhesus
positif atau bila ibu golongan darah O dengan bayi golongan darah non-O. Namun demikian
biasanya perbedaan ini sudah sejak awal diketahui dokter kandungan hingga dapat
dilakukan antisipasi yang diperlukan guna mencegah terjadinya peningkatan bilirubin indirek
4
yang drastis. Di lain pihak, pada ketidakcocokan golongan darah O, bila perlu dokter
mempertimbangkan transfusi tukar/ganti darah (exchange transfusion).1
2. Jenis persalinan
Merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Jenis
persalinan spontan cenderung lebih besar sebagai penyebab trauma dibandingkan dengan section
sesarea. Pada kelahiran spontan angka kejadian bayi dengan hiperbilirubin 48,3% disusul
kelahiran seksio sesaria 32,6%, ekstraksi vakum 13,3% dan forcep 5,8%. Tetapi jika menderita
hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka seksio sesaria merupakan presentase terbesar
karena seksio sesarea merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan
dengan jenis persalinan lainnya. Umumnya bayi dilahirkan secara seksio sesaria setelah
mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang terjadi selama kehamilannya. Sedangkan vakum
dan forcep mempunyai kecenderungan pendarahan intracranial dan cephal hematom pada kepala
bayi sehingga tindakan ini jarang dilakukan.1,2
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini penulis
mengkategorikan laki-laki dan perempuan merupakan salah satu penyebab hiperbilirubinemia
karena obstruksi aliran empedu. Atresia empedu paling sering terjadi pada perempuan cukup
bulan dengan berat badan lahir normal. Pasien-pasien ini jarang mengalami splenomegali atau
nemolisis. Sebaliknya bayi dengan hepatic neonatal (sel raksasa), kebanyakan laki-laki dengan
tanda-tanda infeksi seperti splenomegali hemolisis dan retardasi pertumbuhan intrauterine,
sehingga angka kejadian hiperbilirubin relative lebih besar terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan.
Pada bayi laki-laki bilirubin lebih cepat diproduksi dari pada bayi perempuan, hal ini
karena bayi laki-laki memiliki protein Y dalam hepar yang berperan dalam uptake bilirubin ke
sel-sel hepar.
4. Usia Kehamilan
Kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 50% pada bayi yang dilahirkan
cukup bulan dan 75% pada bayi yang dilahirkan kurang bulan Hiperbilirubinemia lebih sering
5
terjadi pada bayi aterm karena keseluruhan 6 – 7% bayi cukup bulan memiliki kadar bilirubin
yang lebih besar dari 12,9% mg/dL. pada bayi preterm kenaikan kadar bilirubin serum
cenderung lebih lambat dari cukup dan jangka waktu tergantung pada imaturitas dan
metabolisme.1
5. Berat badan bayi
Berat badan lahir besar umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami
trauma lahir, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan pihak penolong.
Menurut teori (Keay), hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu:
34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat
badan antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi
bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram.2
Sedangkan berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram
juga sering mengalami hiperbilirubin disebabkan karena organ tubuhnya yang masih lemah
disebabkan karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar
seperti hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dll sehingga mengakibatkan kadar bilirubin meningkat.
Sedangkan neonatus dengan berat badan > 4000 gram juga memiliki metabolisme bilirubin yang
tinggi karena hatinya sudah matur, tetapi cenderung mengalami trauma lahir.2
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh dua hal,
yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan darah ABO saat melakukan
transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh
reaksi imunitas antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan
dilahirkan.
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel
darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel
darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50
ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolisis
6
intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan
dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa
identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi
dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO)
dari darah yang ditransfusikan.5
Penyebab kedua yang mengakibatkan Inkompatibilitas pada golongan darah ABO adalah
reaksi imunitas antara antigen dan antibody pada ibu dan janin yang dikandungnya.
Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika Ibu golongan darah O mengandung janin
golongan darah A atau B.
Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada
sirkulasinya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi.
Sebagian besar secara alamiah, membentuk anti-A atau anti-B berupa antibody IgM yang tidak
melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG anti-A atau anti-B yang
tinggi yang potensial menyebabkan eritroblastosis karena melewati sawar plasenta.5
Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan
darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan
darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit
jarang terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama sering
terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak dengan antigen A dan B.
Penyakit tidak memburuk pada kehamilan berikutnya yang juga terkena dan jika ada penyakitnya
cenderung menajdi lebih ringan.6
Sekitar sepertiga bayi golongan A atau B dari ibu golongan darah O akan mempunyai
antibody ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya. Ini lebih sering terjadi pada bayi golongan
darah B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih dengan
golongan darah A atau B. Hanya sebagian kecil dari bayi ini yang akan mengalami gejala klinis.
Pada mereka dengan penyakit klinis, terdapat jauh lebih sedikit antibody ibu yang melekat pada
tempat antigen pada eritrosis daripa yang ada pada penyakit Rhesus klinis. Akibatnya penyakit
klinis sangat ringan dengan reaksi antiglobulin langsung bervariasi dari hanya positif secara
7
mikroskopis sampai 2+. Ada sedikit atau tidak ada anemia dan bilirubinemia dapat dikendalikan
dengan dengan fototerapi atau pada kebanyakan diatasi dengan satu transfuse tukar. Namun, IgG
anti-A atau IgG anti-B tampaknya lebih banyak menyebabakan hemolisis daripada anti-Rh
dalam jumlah yang sama. Dengan demikian bayi dengan reaksi antiglobulin direk 2+ dengan
penyakit ABO biasanya akan menderita bilirubinemia lebih berat daripada bayi dengan 2+
karena penyakit Rh.4
Ringannya Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO dapat dijelaskan sebagian oleh
antigen A dan Antigen B yang belum sepenuhnya berkembang pada saat lahir dan karena
netralisir sebagian antibody IgG ibu oleh antigen A dan B pada sel-sel lain yang terjadi dalam
plasma dan cairan jaringan. HDN ABO dapat ditemukan pada kehamilan pertama dan dapat atau
tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya. Pemeriksaan sediaan hapus darah memperlihatkan
autoaglutinasi dan sferositosis polikromasi dan eritroblastosis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan hemolisis sistem ABO : Ibu
golongan darah O dapat membentuk anti-A dan anti-B. Destruksi pada eritrosit janin
bergolongan darah A atau B tergantung dari kekuatan antigen A dalam eritrosit. Hemolisis pada
sistem ABO terjadi pada bayi baru lahir. Bayi berwarna kuning, karena bilirubin manifes ke
kulit. Berat ringannya bayi kuning tergantung dari kadar IgG. Ciri khas destruksi: Mikro
sferositosis menyebabkan fragil osmotik, volume sel kecil, protein lipid membran sedikit
sehingga aglutinasi mudah terjadi.
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa
serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen
respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang
baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika
dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia
neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan
secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.4
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut Mollison),
dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit
8
hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan
dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A
dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan
eritrosit janin. Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan
sampai sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia
yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada
neonatus preterm. Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang
mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat
inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.4,5
Patofisiologi
Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas Rh dan ABO
adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin
yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk
kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak
memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan
kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti
(coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian
akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh
tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang
berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.1,2
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk
pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab
penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi
jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat
transfusi atau berbahaya bagi janin.1,2
9
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan
bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh
dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang
menjadi kernikterus.1
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar
gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh
adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen).
Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang
maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu
tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan
masalah jantung.1
Gejala Klinis
Terdapat beberapa gejala klinis bayi yang menderita ikterus patologis karena inkompatibilitas
ABO antara lain:7,8
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan pleural
efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung intensitas
proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa ( hidrops
fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid
pada sum-sum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga terjadi
pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi
dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang
terjadi dapat mengganggu respirasi janin.7
10
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan:8
1) Gagal jantung akibat anemia
2) Kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat
3) Hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh proses
hematopoesis ekstrameduler.
4) Menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh
disfungsi hepar
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan
sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat
dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan
kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah
diberikan.7,8
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia
basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-
kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Pada bayi yang bertahan hidup, secara
fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan
mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis
dapat bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan-bulan.7
Anamnesis
Untuk dapat mendiagnosis suatu penyakit, anamnesis merupakan bagian yang sangat
penting. Maka dari itu diharapkan kita dapat melakukan anamnesis dengan lengkap. Hal-hal
yang perlu diketahui untuk mendiagnosis ikterus pada neonates antara lain: berta lahir, masa
gestasi, usia dalam janin, apakah ikterus fisiologik atau patologik, riwayat kehamilan dan
persalinan, riwayat keluarga, riwayat inkompatibilitas darah, penyakit ibu selama hamil, trauma
11
lahir, penundaan pengikatan tali pusar, penundaan makanan per os. Pengeluaran mekoneum, dan
pemberian ASI.2
Pemeriksaan Fisik
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan,
namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi
dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.1-4
Pemeriksaan fisik yang dapat kita lakukan antara lain: prematuritas, polisitemia, trauma
lahir, hemolysis, petekhie, hepatosplenomegali iso-imunisasi, sepsis, omfalitis, hipotiroidism.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosa bayi terkena ikterus
patologik antara lain: bilirubin serum total dan direk, golongan darah dan rhesus ibu dan bayi, uji
coombs, hematocrit, hapusan darah tepi, skrinning sepsis, fungsi hati dan tiroid untuk ikterus
lanjut, feses dempul, urin coklat, enzim G6PD hidrogenase.1-4
Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
12
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium
foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20
mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.6
Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya
yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi
pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang
tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining,
bukan untuk diagnosis. Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif
untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris,
melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini
hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki
korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar,
sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil
pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan
TSB. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil
analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin
serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak
efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.1,2
Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
13
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa
pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen.
Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.1
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus1
Ket.: *Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat
dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
(ket: diambil dari Pengantar kuliah obstertri, 2007)1
Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan
antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti
IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.1-3
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui
mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu
substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika
14
Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus
Hari 1 Bagian tubuh manapun Berat
Hari 2 Tangan dan tungkai*
Hari 3 Tangan dan kaki
imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan
evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.1,2
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang
dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin
darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali
dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
Diagnosis Banding
Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :1,2,8
Timbul pada hari kedua-ketiga
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
Ikterus Patologis ec Infeksi Intrauterin
Ikterus pada neonates juga dapat terjadi karena infeksi intrauterine pada saat kehamilan
maupun persalinan. Infeksi intrauterine ini bisa disebabkan oleh TORCH. TORCH adalah istilah
untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu TOxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi
janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.8
Kini, diagnosis untuk penyakit infeksi telah berkembang antara lain ke arah pemeriksaan
secara imunologis. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang
spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda
15
asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin
G (IgG).8
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh reaksi imunitas antara
antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan dalam bentuk
ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak
wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai
dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat
dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi
antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang
disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap
pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.1,2
Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar.2
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai antara lain:
1. Memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. Menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit
normal (menghentikan proses hemolisis)
3. Mengurangi kadar serum bilirubin
4. Menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Darah donor untuk tranfusi tukar:2
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia <> 4,5 mg/dL dan kadar Hb <> 6 mg/dL/12jam walaupun sedang
mendapatkan terapi sinar.
16
3. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dl.
4. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat
dengan terapi sinar.
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:2
- Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar adalah:2
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
Perawatan pasca tranfusi tukar:1
- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:1,2
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang
tua penderita.
17
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi
lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya.
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan NaCl
fisiologis.
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin
Pelaksanaan Tranfusi Tukar
Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi,
jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi. Darah dibuang melalui pipa
pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum
lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur dengan darah donor. Masukkan darah
donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan menghisap dan mengeluarkan
darah sekitar 2 mL/kgBB/menit. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar
beredar dalam sirkulasi. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai
target transfusi tukar selesai. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada
lembaran observasi transfusi tukar. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat
fosfat (ACD/PCD) setiap tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena
perlahan-lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi kurang.2
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar yaitu:
Berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari kelebihan kalium
Pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
Dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
Bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia
maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk
transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan
darah donor Rh negatif yang kompatibel.
Pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
Darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi ≥ 90 menit
18
Lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun
untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
Sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
Pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak
50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
Tabel 2. Calon Donor Transfusi Tukar pada ABO Inkompatibilitas1
(ket. diambil dari Pengantar kuliah obstertri, 2007)
Dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
Bila keadaan sangat mendesak (emergency), sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak
tersedia, maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh.positif)
untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan
memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
Pada anemia berat sebaiknya diberikan Packed red cells
Darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi ≥ 90 menit
Lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memnungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun
untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
Sebelum ditransfusikan hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
Pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak
50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
19
Transfusi Albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian
bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat
besar, maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.1
Terapi Sinar
Terapi sinar dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Terapi
sinar sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal. Hal-hal yang
harus dilakukan pada saat terapi sinar antara lain:1
1. Letakkan bayi dalam keadaan telanjang di bawah lampu dengan jarak 45 cm.
2. Tutup mata.
3. Setiap 2 jam bayi disusui.
4. Ubah posisi bayi setiap selesai menyusui.
5. Ukur suhu setiap 4 jam.
6. Timbang bayi setiap hari.
7. Periksa kadar bilirubin setiap 12 jam.
8. Hentikan terapi sinar bila kadar < 10mg/dl.
Efek samping yang dapat terjadi pada terapi sinar adalah meningkatkan kehilangan cairan
insensible, defekasi encer, warna kemerahan pada kulit, bronze baby syndrome, dan hipertermia.
Medika Mentosa
Pemberian phenobarbital ternyata dapat menurunkan kadar bilirubin tidak langsung
dalam serum bayi. Khasiat phenobarbital ialah mengadakan induksi enzyme amicrosoma,
sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih cepat. Pemberian phenobarbital untuk
pengobatan hiperbilirubinemia pada neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin
serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan.
Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral,
kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan
terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah
diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.3
20
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil
untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital
pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
enterohepatika.3
Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:6
1) Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup
bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya
sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. Rendahnya asupan kalori dan atau
keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus
neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan
hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik. AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu
botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat
mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.6
2) Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko
tinggi ikterus neonatorum.
3) Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan
darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah
21
dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.6,7
4) Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk
mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata
laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan
pemeriksaan tanda-tanda vital lain. Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan
kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan
dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat
kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi.
Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan
ekstrimitas.6,7
Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati
dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan
dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan
adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam
kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif. Jika titer antibodi naik
sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika
didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan
baik.2
Kesimpulan
Masa neonatus merupakan waktu yang sangat rentan pada bayi yang sedang
menyempurnakan banyak penyesuaian fisiologis yang diperlukan untuk kehidupan ekstrauteri.
Karena ketidaksempurnaan fungsi organ maupun enzimnya, sering terjadi ikterus pada masa
22
neonates. Ikterus ini dapat berupa ikterus fisiologis maupun ikterus patologis. Salah satu
penyebab ikterus patologis yang paling sering adalah karena inkompatibilitas ABO. Ini terjadi
karena adanya reaksi imunitas antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin
yang akan dilahirkan. Terapi yang dapat dilakukan antara lain: Menyusui Bayi dengan ASI,
Terapi Transfusi, Terapi sinar (fototerapi), Terapi Obat-obatan dan Terapi Sinar Matahari.
Daftar Pustaka
1. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar kuliah obstertri. Jakarta:
EGC.2007.h.339-65.
2. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. Wong buku ajar
keperawatan pediatric. Volume 1. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.2008.h.322-30.
3. Markum H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. Jakarta: FKUI.2003.h.676-90.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak nelson. Volume 2. Edisi
ke-15. Jakarta: EGC.2004.h.1382-90.
5. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit robbins & cotran. Edisi ke-7. Jakarta:
EGC.2008.h.291-2.
6. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, Alexander JM, Bloom SL, Casey BM dkk.
Obstetri Williams panduan ringkas. Edisi ke-21. Jakarta: EGC.2009.h.207-16.
7. Meadow R, Newell S. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga Medical
Series.2003.h.75-9.
8. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatrik. Jakarta: EGC.2004.h.477-8.
23