individ u

21
1 EVIDENCE-BASED COUNSELING: SEBUAH INOVASI DALAM LAYANAN BIMBINGAN KONSELING Oleh: Dr. Farida Aryani, M. Pd. Dosen pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNM [email protected] Abstrak Evidence-Based Counseling (EBC) merupakan paradigma baru dalam dunia bimbingan dan konseling. Evidence-based counseling diartikan “is the integration of the best available research with clinical expertise in the context of client characteristics, culture, and preferences” atau “sebagai integrasi dari hasil penelitian terbaik yang tersedia dengan keahlian klinis ke dalam konteks karakterstik klien, budaya, dan preferensi” (Sexton, 1996). Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan meta-analisis terhadap teori-teori yang berkaitan dengan evidence-based practice dan bagaimana penerapannya dalam praktik konseling. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan library research yaitu dengan melakukan penelusuran kepustakaan dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan evidence-based counseling yang merupakan sebuah inovasi baru dalam dunia konseling. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan evidence-based counseling memandang perlunya penelitian dan perlunya keterlibatan aktif klien untuk membuat keputusan pada treatmen yang diberikan. Artinya bahwa konselor memfasilitasi secara kooperatif bersama

Upload: amaliaseptinika

Post on 11-Nov-2015

229 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kmko

TRANSCRIPT

1

EVIDENCE-BASED COUNSELING: SEBUAH INOVASI DALAM LAYANAN BIMBINGAN KONSELING Oleh: Dr. Farida Aryani, M. Pd. Dosen pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNM [email protected] Abstrak Evidence-Based Counseling (EBC) merupakan paradigma baru dalam dunia bimbingan dan konseling. Evidence-based counseling diartikan is the integration of the best available research with clinical expertise in the context of client characteristics, culture, and preferences atau sebagai integrasi dari hasil penelitian terbaik yang tersedia dengan keahlian klinis ke dalam konteks karakterstik klien, budaya, dan preferensi (Sexton, 1996). Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan meta-analisis terhadap teori-teori yang berkaitan dengan evidence-based practice dan bagaimana penerapannya dalam praktik konseling. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan library research yaitu dengan melakukan penelusuran kepustakaan dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan evidence-based counseling yang merupakan sebuah inovasi baru dalam dunia konseling. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan evidence-based counseling memandang perlunya penelitian dan perlunya keterlibatan aktif klien untuk membuat keputusan pada treatmen yang diberikan. Artinya bahwa konselor memfasilitasi secara kooperatif bersama klien agar dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang problem yang dihadapinya, dan secara cermat dapat menganalisanya. Pendekatan EBC berbeda dengan pendekatan lainnya, yang lebih mengasumsikan bahwa konselor harus mengetahui informasi dan kondisi tentang kliennya secara lengkap dari pada klien itu sendiri serta konselor merupakan satu-satunya penentu terhadap apa yang harus dilakukan klien dalam proses bantuan. Key Word: Evidence-Based Counseling, layanan bimbingan konseling 2

B. Pendahuluan Evidence-Based Counseling (EBC) merupakan paradigma baru yang mulai diterapkan pada awal tahun 1990an di Kanada. Istilah EBC biasa juga disebut dengan evidence-based practice (EBP). EBP mulai diterapkan di McMaster Medical School di Kanada untuk mengajar mahasiswa kedokteran. Pendekatan EBP digunakan untuk mengumpulkan sejumlah evidensi (bukti empiris/data) yang menyebabkan sebuah penyakit atau suatu wabah penyakit dalam dunia kedokteran. Dengan pengumpulan sejumlah bukti empiris tentang sebuah penyakit serta menganalisanya secara cermat, ini akan membantu pasien dalam menentukan sejumlah alternatif pilihan tindakan dan obat demi kesembuhannya. Krauth (1996) berpendapat bahwa ada tantangan besar pada masa yang akan datang dikarenakan terjadinya revolusi yang cepat dalam praktek kesehatan mental, atau disebut sebagai transformasi pendekatan baru atau disebut dengan Evidence-Based Practice (dalam Glicken, 2005). Bahkan lebih jauh lagi Richardson (2000) menyimpulkan bahwa masa depan dunia psikoterapi dan konseling akan menyerupai dengan dunia kedokteran, di mana hasil penelitian ditempatkan sebagai usaha untuk meningkatkan layanan bantuan bagi klien. C. Pembahasan 1. Pengertian Evidence-Based Practice Gambril (2000) mendefinisikan EBP sebagai suatu proses yang melibatkan pembelajaran atas arahan diri sendiri yang mengharuskan pekerja profesional bisa mengakses informasi sehingga memungkinkan kita bisa (a) menggunakan pengetahuan yang telah kita miliki dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita jawab; (b) menemukan bukti-bukti terbaik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan; (c) menganalisis bukti-bukti terbaik itu untuk mendapatkan validitas penelitian maupun kedayaterapannya pada pertanyaan-pertanyaan praktik yang kita ajukan; (d) membuat agar klien bertindak sebagai partisipan dalam pembuatan keputusan dan (g) mengevaluasi kualitas praktik pada klien. 2. Tujuan Evidence-Based Practice Tujuan EBP adalah memberi alat, berdasarkan bukti-bukti-bukti terbaik yang ada, untuk mencegah, mendeteksi dan menangani gangguan kesehatan dan kepribadian (Stout & Hayes, 2005 & Haynes, 1998). Artinya bahwa dalam memilih suatu pendekatan pengobatan dan kepribadian, kita hendaknya secara empiris 3

melihat-lihat kajian penelitian yang telah divalidasikan secara empiris yang menunjukkan keefektifan suatu pendekatan terapi tertentu pada diri individu tertentu. Adapun jenis penelitian yang harus dikuasai para praktisi dalam EBP adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif didasari pada ide bahwa suatu problem dapat diteliti dan menggunakan metodologi yang signifikan dimana masing-masing variabel menunjukan saling keterkaitan satu sama lainnya (Glicken, 2005). Untuk mengontrol variabel yang kompleks yang berhubungan dengan klien bisa jadi sangat sulit. Walaupun penelitian kualitatif terbatas pada fakta yang mana variabel penting lainnya tidak dapat dikontrol, penelitian ini di dasari pada keyakinan bahwa penemuan non empiris merupakan cara dalam memahami kefektifan treatmen. Meskipun penelitian kualitatif tidak dapat memperlihatkan hubungan sebab akibat sebagaimana penelitian kuantitatif, namun implikasi dari hubungan dan kelemahan hubungan dari variabel tersebut dapat diketahui. 3. Ciri-ciri Evidence-Based Practice Timmermans dan Angell (2001) menunjukkan bahwa pertimbangan klinis berbasis bukti memiliki lima ciri penting: 1. Terdiri atas bukti penelitian dan pengalaman klinis. 2. Ada keterampilan yang dilibatkan dalam membaca literatur yang memerlukan kemampuan untuk mensintesakan informasi dan membuat pertimbangan mengenai kualitas bukti-bukti yang ada. 3. Cara penggunaan informasi merupakan fungsi tingkat otoritas praktisi di suatu organisasi dan tingkat keyakinannya terhadap keefektifan informasi yang digunakan. 4. Bagian dari penggunaan EBP adalah kemampuan mengevaluasi secara mandiri informasi yang digunakan dan menguji validitasnya dalam konteks praktik masing-masing. 5. Pertimbangan klinis berbasis bukti didasarkan pada gagasan tentang perilaku dan peran profesional dan terutama dipedomani oleh suatu sistem nilai bersama.

4. Kelebihan Evidence-Based Practice Kelebihan dari EBP dalam praktek profesional adalah: 1. Helper dan klien bersama-sama memperoleh pengetahuan dan informasi sebanyak-banyaknya terhadap suatu penyakit atau masalah yang dialami klien, 4

sehingga akan membantu klien dalam membuat keputusan alternatif dari sejumlah pilihan penaganan masalah atau penyakit (Stout & Hayes, 2005). 2. Dengan EBP memungkinkan praktisi (a) mengembangkan pedoman praktis yang bermutu yang bisa diterapkan pada diri klien, (b) mengidentifikasi literatur yang cocok yang bisa dijadikan bahan diskusi bersama klien, (c) berkomunikasi dengan para profesional lain dari kerangka acuan atas panduan pengetahuan dan (d) meneruskan proses pembelajaran diri sendiri sehingga dihasilkan kemungkinan pengobatan terbaik bagi klien (Hines, 2000). Selain itu menurut Straus dan Sackett (1998) EBP cukup berhasil di latar psikiatris dan medis umum dan bahwa para praktisi membaca penelitian itu secara akurat dan membuat keputusan yang benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 53% pasien mengakui kalau dirinya mendapat penanganan primer yang telah dilaksanakan dengan randomized controlled trials (RCT) atau percobaan terkendali secara acak dan hasilnya sangat efektif. 5. Keterbatasan Evidence-Based Practice Keterbatasan EBP dalam praktek profesional adalah: 1. Keterbatasan ekonomi dan dorongan yang kontra produktif bersaing dengan sejumlah bukti yang berfungsi sebagai faktor penentu keputusan (Burns, 1999). 2. Literatur yang relevan mungkin tidak dapat diakses. Waktunya tidak cukup untuk melakukan tinjauan yang cermat terhadap bukti-bukti yang ada (mungkin sangat banyak jumlahnya) yang relevan dengan masalah klinis yang mendesak (Americal Medical Assosiation atau disingkat AMA, 1992). 6. Penerapan EBP Pada Profesi Pemberi Bantuan Reynolds dan Richardson (2000) menyatakan bahwa meski ada keprihatinan diantara ahli klinis bahwa EBP bisa memasung kebebasannya, peluang baru dalam penelitian praktik menyatakan bahwa kebebasan ahli profesional bisa ditingkatkan karena semakin banyak pilihan yang ada. Hal ini disebabkan oleh metodologi penelitian yang menghasilkan bentuk-bentuk penanganan yang baru dalam memecahkan masalah. Dalam perkembangannya EBP telah merambah ke dunia kesehatan mental di samping dunia medis. Perkembangan EBP dalam kesehatan mental, dapat dilihat dari perluasan setting layanan sebagai berikutt (Glicken, 2005): 1. EBP dapat diterapkan di dunia kerja, di mana EBP menangani masalah gangguan kepribadian dan kesehatan mental para pegawai di sebuah 5

perusahaan. Oleh karena itu program rehabilitasi yang dilakukan EBP untuk membantu pegawai yang mengalami masalah sebagai berikut: (a) pengajaran, (b) monitoring, (c) pengembangan kerja, (d) penempatan kerja, (e) coordination of services, (f) reasonable accomodations, (g) transportasi, dan (h) stabilisasi.

2. Layanan Evidence-based family bagi anak-anak yang mengalami gangguan mental. Program yang dilakukan EBP adalah family psychoeducations, yang dimaksudkan untuk melancarkan proses komunikasi di antara anggota keluarga melalui tahapan: (a) penyebaran pengetahuan, (b) evaluasi dampak program yang diberikan, (c) ketersediaan sumber-sumber yang dibutuhkan, dan (d) mengusahakan suatu perubahan dari sebuah dinamika kepribadian dalam keluarga. 3. Evidence-based treatments bagi anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan kepribadian diakibatkan kecanduan obat terlarang dan minuman keras. Treatmen EBP yang digunakan adalah pendekatan kognitif behavioral, karena pendekatan ini sesuai dengan kebutuhan anak. Adapun intervensi pendekatan ini adalah dengan: (a) relaksasi, (b) restrukturisasi kognitif, (c) evaluasi diri, dan (d) pemberian reinforcement. 7. Panduan Pelaksanaan Evidence-Based Practice. Dalam mengembangkan Panduan EBP dalam sebuah agency atau praktisi hendaknya memperhatikan hal-hal berikut (Hayes, 2001): 1. Sebuah rencana formal harus dikembangkan. Adapun alat yang digunakan adalah DMAI (Design, measure, Analyze, Improve). 2. Merumuskan sebuah hipotesis. Hipotesis merupakan pertanyaan tentang apa yang akan diuji dalam desain penelitian. 3. Mengembangkan panduan treatmen. Oleh karena itu pencarian dan pendalaman literatur yang relevan sangat membantu dalam proses penyusunan ini. 4. Metode pengumpulan data yang disesuaikan dengan kebutuhan klien, apakah dengan skala, inventori, tes, angket, atau bahkan wawancara dan observasi. 5. Training Staff. Artinya para staf/trainer hendaknya terlatih dengan baik sehingga menguasai urutan dalam pedoman EBP yang telah disusun. 6. Standarisasi metode dalam mengumpulkan, menganalisa, dan membandingkan data. Efektifitas suatu panduan tergantung dari analisis terstandar yang digunakannya, dalam hak ini adalah analisis statistiknya. 6

7. Mengembangkan metodologi untuk menentukan staf yang akan mengikuti prosedur treatmen. Jika agency/praktisi tidak mampu untuk menentukan panduan EBP yang dapat digunakan atau dimodifikasi, maka disarankan agar menggunakan model desain yang aktual yang dijadikan sebagai panduan. 8. Penggunaan metode analisis dalam menginterpretasi hasil treatmen. Ini merupakan tahapan akhir untuk melihat efektifitas intervensi yang diberikan.

Oleh karena itu saat ini di negara-negara yang sudah maju, buku-buku panduan EBP telah banyak diterbitkan, karena akan memberikan banyak manfaat bagi klien, yaitu memberikan informasi kepada klien dan akibatnya juga memberi mereka kekuatan tambahan untuk memutuskan tentang upaya penanganan masalahnya sendiri. Buku panduan yang bermutu tinggi juga membantu pelatihan para profesional baru dan mempengaruhi penulisan buku-buku ajar yang harus semakin banyak berisi tentang bukti-bukti praktik yang terbaik. Implikasi Evidence-Based dalam Praktek Konseling, Preparasi, Dan Profesionalisme Terjadinya dikotomi antara penelitian dan praktek bukan hanya mengakibatkan lahirnya ketidaksesuaian akan tetapi berpotensi terjadinya hambatan dalam masa depan konseling. Pada kenyataannya, kebanyakan para praktisi menyadari bahwa landasan praktik konseling selama ini didominasi dengan faktor akuntabilitas. Banyak orang yang mengklaim bahwa akuntabilitas merupakan prinsip utama dalam praktek profesional, dimana sebuah prinsip dianggap lebih penting daripada teori dan dasar filosofisnya (Sexton, Schofield, & Whiston, 1997). Namun terlepas dari pentingnya masalah akutabilitas, keefektifan intervensi konseling, ada hal lain yang lebih penting yaitu research (hasil penelitian) karena hal ini berkaitan erat dengan outcome dari pada konseling, dan justeru saat ini merupakan faktor utama dalam praktek konseling. Pada kenyataannya proses konseling dan hasil penelitian tidak disangsikan lagi unsur validitas dan reliabilitasnya karena ini merupakan sumber penting dalam praktek bidang klinis. Artinya bahwa dalam menangani masalah-masalah klien yang bersifat spesifik (mis: stres, kecemasan, kesulitan beradaptasi) diperlukan pendekatan best practice yang berbasis evidensi, sehingga mencapai sebuah kefektifan dalam konseling. 7

Terjadinya perdebatan selama ini antara art vs science dan research vs practice, menunjukkan bahwa praktek konseling berbasis evidensi dapat menjembatani gap tersebut di atas dan merupakan masa depan dalam mempersiapkan konselor dan profesionalisme konseling. Dengan berintegrasinya penelitian ke dalam praktek konseling dengan menggunakan pendekatan evidence-based (bukti empiris), maka ini merupakan elemen penting dalam konseling, keahlian klinis, dan menunjukan treatmen yang handal dalam menganani kompleksitas masalah klien. Evidence-based counseling atau disingkat EBC diartikan is the integration of the best available research with clinical expertise in the context of client characteristics, culture, and preferences atau sebagai integrasi dari hasil penelitian terbaik yang tersedia dengan keahlian klinis ke dalam konteks karakterstik klien, budaya, dan preferensi (Sexton, 1996). Pengertian ini ternyata mengadopsi pengertian EBP dari dunia kedokteran, yaitu integrasi dari bukti penelitian terbaik dengan keahlian klinis dan nilai yang dianut pasien. Tujuan Evidence-based counseling adalah meningkatkan keefektifan praktek konseling dengan mengaplikasikan secara empiris prinsip-prinsip pendukung seperti pengukuran psikologis, formulasi masalah yang dialami klien, hubungan terapeutik antara konselor dan klien, serta intervensi yang gunakan dalam proses konseling. Tren di atas dibagi menjadi dua kategori dimana masing-masing menunjukan implikasi yag signifikan dalam praktek konseling: (1) menemukan model klinis dan (2) menemukan profil konselor. Pertama yaitu bahwa dalam praktek konseling, kita tidak dapat mengatakan bahwa terdapat teori konseling yang terbaik dalam menangani masalah klien dibandingkan teori-teori konseling lainnya. Namun berkaitan dengan pendekatan evidence-based dalam konseling, justeru common factors (faktor-faktor umum) yang menunjukan kefektifan hasil konseling, selain aspek konselornya, kliennya, dan orientasi teoritis. Kedua yaitu berkaitan dengan menemukan profil konselor, dimana evidence-based konseling dalam prakteknya, hendaknya konselor tidak terpaku pada teori dan teknik spesifik tertentu dalam menangani masalah klien. Evidence-based dalam konseling merupakan suatu model intervensi yang sistematik, menggunakan manual-based sebagaimana pendekatan klinis. Atau dengan kata lain pendekatan ini disebut sebagai Empirically Supported Treatments (EST). EST merupakan 8

sebuah pendekatan yang digunakan untuk menangani kompleksitas masalah klien dan masalah keluarga dengan menggunakan evidence-based. Di Indonesia praktek evidence-based counseling belumlah terlaksana sebagaimana di negara berkembang lainnya. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, mau tidak mau harus mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang sedang tren agar tidak tertinggal dengan negara maju lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan sejumlah persiapan dalam memenuhi tuntutan profesional seorang konselor yang berlatar EBC. Adapun persiapan yang harus dilakukan memenuhi tuntutan tersebut: 1. Kompetensi Konselor Untuk menjadi konselor yang efektif dan sukses tidak cukup hanya mengetahui faktor-faktor berikut: (1) faktor demografis konselor, (2) faktor identitas professional, dan (3) pengalaman profesional. Selain itu, faktor lainnya adalah bahwa dengan mencocokkan klien dan konselor dalam hal budaya dan kerjasama klien dan konselor dalam proses konseling, ternyata juga tidak cukup dalam menghasilkan pendekatan yang efektif. Sehingga istilah counselor know thy self tampaknya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena ternyata kurangnya hasil penelitian yang secara sistematis menunjukkan bahwa dengan mengutamakan aspek personal konselor dalam terapi akan meningkatkan kinerja profesionalnya (Sexton et sl., 1997 ). Adapun hal penting yang harus dimiliki konselor untuk meningkatkan kinerja profesionalnya adalah dengan: (1) a level of skillfullness (yang didefinisikan sebagai sebuah kompetensi daripada pengalaman), (2) cognitive complexity (sebuah kemampuan untuk berfikir diversif dan kompleks terhadap kasus-kasus klien), dan (3) kemampuan untuk menghubungkan klien dengan siapa dia bekerja sama (konselor) (Sexton, 1996). 2. Pendidikan Profesi. Dalam mempersiapkan tenaga konselor yang menggunakan EBC maka hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) persiapan kurikulum, (2) ketersediaan sarana dan prasarana, dan (3) kualitas tenaga pengajar. 2. Dukungan Organisasi Profesional (ABKIN).

Dalam hal ini organisasi konseling hendaknya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggotanya dengan membuat pelatihan-pelatihan dalam membuat panduan terapi yang dapat dilaksanakan para konselor baik di sekolah maupun di 9

setting yag lebih luas lainnya. Selain itu pelitah yang berkaitan dengan penguasaan metode penelitian hendaknya juga dijadikan perhatian dalam peningkatan kualitas konselor. Berkaitan dari segi budaya, tampaknya EBC menghadapi hambatan dalam pelaksanannya, di antaranya yaitu (1) budaya membaca memang sangat kurang di Indonesia, (2) kemampuan konselor dalam menguasai teknologi sangat terbatas, (3) penguasaan akan metode penelitian dan analisisnya sangat kurang, (4) konselor kurang menguasai sejumlah teori dan teknik intervensi konseling, sehingga terkadang praktek konseling yang diberikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan masalah klien, dan, (5) berkaitan dengan klien, budaya di Indonesia tampaknya kurang memandirikan seseorang. C. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah library research dengan melakukan analisis terhadap teori-teori evidence-based practice, mengkaji kelebihan dan kelemahannya, serta bagaimana penerapannya dalam praktik bimbingan konseling. E. Penutup Sebagai tanggapan terhadap pendekatan-pendekatan yang subyektif dan terkadang mengalami hambatan dalam praktik, EBP lahir sebagai sebuah pendekatan baru yang merujuk pada proses penelitian dan melibatkan klien dalam membuat keputusan tentang pendekatan teraputik terbaik yang akan digunakan, isu-isu yang menyangkut kehidupan klien yang perlu dipecahkan dan keharusan untuk menjalin kerjasama positif agar mendorong terjadinya perubahan pada diri klien. Terlepas dari kontroversi seputar EBP, maka penerapan Evidence-based counseling di Indonesia tampaknya masih memerlukan sejumlah persiapan, dibandingkan negara maju seperti Amerika yang telah menerapkan dalam praktek layanannya. Persiapan tersebut adalah: meningkatkan kompetensi konselor, menyiapkan kurikulum calon tenaga konselor, dan meningkatkan kerjasama dalam organisasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas profesionalisme konselor. 10

DAFTAR PUSTAKA Agency for Health Care Policy and Research. 199 3. Depression in primary care: Detection and diagnosis. Washington, DC: U.S. Department of Helath and Human Services. American Medical Assosiation Evidence-Based Practice Working Group. 1992. Evidence-based medicine: A new approach to teaching the practice of medicine. Journal of the American Medical Assosiation, 268, 2420-2425. American Psychiatric Assosiation. 1993. Practice guideline for major depressive disorder in adults. American Journal of Psychiatry Supplement, 150. Chambless, D. L., & Ollendick, T. H. 2000. Empirically supported psychological interventions: Controversies and evidence (Electronic Version). Annual Review of Psychology, 52, 685-716. Connecticut School Counselor Assosiation (CSCA). 2001. Best practice for School counseling in Connecticut. http://www.state.ct.us/sde/deps/special/BestPractices.pdf. Diakses tanggal 14 November 2006 Jam 19.00 WIB. Carey, J., & Dimmit, C. 2002. School counseling outcomes: Closing the evidence gap Through Research and Evaluation. http://counseling.indstate.edu/sc/researchsummit. Diakses tanggal 14 November 2006 Jam 19.00 WIB. Frances, A., Docherty, J. P., & Kahn, D. A. 1996. Treatmen for bipolar disorder. Journal of Clinical Psychiatry, 57 (Suppl. 12a). Gambrill, E. 1999. Evidence-based practice: An alternative to authority-based practice. Journal of Contemporary Human Services, 80 (4), 341-350. Glicken, M. D. 2005. Improving the effectiveness of the helping profession: An evidence-based approach to practice. California: Sage Publicatins, Inc. Hayes, R. 2001. Evidence-based therapy-is there a practical approach? compulsive disorder. The expert consensus guidline series. Journal of Clinical Psychiatry, 58. Parry, G., & Richardson, P. 2000. Developing treatmen choice guidelines in psychoteraphy. Journal of Mental Health, 9 (3), 273-282. Reynold, R., & Richardson, P. 2000. Evidence-based practice and psychotherapy research. Journal of Mental Health, 9 (3), 257-256. Sexton, T. L. 1996. The relevance of counseling outcome research: Current trends and practical implications. Journal of Counseling and Development, 74, 590-600. 11

Schulberg, H. C., Katon, W., Simon, G. E., & Rush, A. J. 1998. Treating major depression in primary care practice: An update of the Agency for Health Care Policy and Research Practice Guidelines. Archives of General Psychaitry, 55, 1121-1127. Sexton, T. L., & Whiston, S. C. 1994. The status of the counseling relationship: An empirical review, theoretical implications, and research directions. The Counseling Psychologist, 22(1), 6-78. Sexton, T. L., Schofield, T. L., & Whiston, S. C. 1997. Evidence-based practice: A pragmatic model to unify counseling. Counseling and Human Development, 30(3). Love Publishing: Denver CO. Sexton, T. L., Whiston, S. C., Bleuer, J. C., & Walz, G. R. 1997. Integrating outcome research into counseling practice and training. American Counseling Association: Alexandria. VA. Stout, C. E., & Hayes, R. A. 2005. The Evidence-based Practice: Methods, models, and tools for mental professionals. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Straus, S. E., & Sackett, D. L. 1998, August 1). Using research findings in clinical practice. British Medical Journal, 317, 339-342. Timmermans, S., & Angell, A. 2001. Evidence-based medicine, clinical uncertainty, and learning to doctor. Journal of Health & Social Behavior, 42(4), 342. Whiston, S. C., & Coker, J. K. (in press). Reconstructing clinical training: Implications from research. Counselor Education and Supervision.