infarkes v
TRANSCRIPT
-
8/19/2019 Infarkes V
1/32
Edisi V September - Oktober 2015
Sistem InformasiPeningkatan Sharing danAkses Data KefarmasianEra Otonomi Daerah
QuantumLeap:
TantanganBerikutnyaSekretariat
Ditjen Binfar dan Alkes
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9 Jakarta Selatan | Lantai 8 R. 801(021) 5214869, 5201590 ext: 8009 | www.binfar.kemkes.go.id
-
8/19/2019 Infarkes V
2/32
PENASIHAT
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
PENANGGUNG JAWAB
Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
KETUA REDAKSI
Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan
Masyarakat
SEKRETARIS REDAKSI
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat
ANGGOTA REDAKSI
Dra. Rully Makarawo, Apt
Dra. Ardiyani, Apt, M.Si
Aji Wicaksono, S.Farm, Apt
Isnaeni Diniarti, S.Farm, Apt
Wasiyah, S.AP
Muhammad Isyak Guridno, S.Si, AptRadiman, S.E
Rudi, Amd. MI
ALAMAT REDAKSI
Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9
Jakarta Selatan
Kementerian Kesehatan RI
Setditjen Binfar dan Alkes,
Subbagian Humas Lt. 8 R.801
(021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009
SUSUNAN REDAKTUR
PENGANTARPENGANTARDARI REDAKSI
DAFTAR ISI
Peran Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai peran penting,
memberikan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas dan pemenuhan administrasi
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dalam dokumen Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, peran dukungan manajerial menjangkau lebih
dari peran koordinasi dan pemenuhan administrasi. Dukungan manajerial menjadi faktor
penting bagi pelaksanaan program-program kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari sasaran-
sasaran strategis kesekretariatan yang harus dimiliki oleh setiap unit utama Kemenkes.
Sasaran strategis kesekretariatan antara lain meningkatkan tata kelola pemerintah yang
baik dan bersih, meningkatkan kompetensi dan kinerja aparatur Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, serta meningkatkan sistem informasi yang terintegrasi.
Berangkat dari hal tersebut, kerja keras amat dibutuhkan untuk membawa Sekretariat
Ditjen Binfar dan Alkes sukses mengimplementasikan strategi Kementerian Kesehatan RI.
Buletin Edisi V kali ini mengetengahkan program-program yang diusung oleh Setditjen
Bina Kefarmasian dan Alkes, antara lain Pengembangan Sistem Informasi Dalam Upaya
Peningkatan Sharing (Berbagi) Dan Akses Data Kefarmasian Dalam Era Otonomi Daerah,
tantangan berikutnya Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan tentang Komite
Farmasi Nasional, menjadi topik utama.Tak ketinggalan berita-berita lainnya seputar kegiatan Ditjen Binfar dan Alkes yakni,
Pameran Industri Kosmetika dan Jamu, Penyusunan Formularium, Konsultasi Teknis
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Sosialisasasi Gema Cermat dan sejumlah
berita lainnya. Akhir kata kami berharap apa yang kami sajikan dalam buletin ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak.
Salam Sehat
Sistem Informasi Peningkatan Sharing
dan Akses Data Kefarmasian
Era Otonomi Daerah
Komite Farmasi
Nasional (KFN)
Quantum Lead:
Tantangan Berikutnya
Sekretariat Ditjen
Binfar dan Alkes
Peran Badan Publik
Dalam Keterbukaan
Informasi Publik
Pameran Industri
Kosmetika dan Jamu
Formularium Nasional
Untuk Semua Pihak
Sukseskan Program
Indonesia Sehat dan
Nusantara Sehat
Sosialisasi
Gema Cermat
Rapat Kerja Kesehatan
Daerah Provinsi
Kepulauan Riau Tahun 2015
Peningkatan Kapasitas
Penanggung Jawab Teknis
Bidang Obat Tradisional
Buah Merah
Kaya Akan Manfaat
Sarang Semut,
Tumbuhan Berkhasiat
0306
08111315
1821
25
272930
Gambar Sampul:Isa Islamawan, SH
-
8/19/2019 Infarkes V
3/32
Hal. 3 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
TOPIK UTAMA
SistemInformasi
PeningkatanSharing danAkses Data
KefarmasianEra Otonomi
Daerah
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
periode 2015 – 2019 mengamanatkan
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan
untuk meningkatkan akses dan mutu sediaan
farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
Rumah Tangga (PKRT) . Untuk itu, dibangun kebijakanyang bertujuan mencapai peningkatan pelayanan
kefarmasian, peningkatan ketersediaan obat publik dan
perbekalan kesehatan, produksi dan distribusi alkes,
produksi dan distribusi kefarmasian, dan dukungan
manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Operasionalisasi kebijakan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari tersedianya data dan informasi
kefarmasian yang lengkap, akurat, dan mutakhir.
Ketersediaan data dan informasi tidak hanya penting
dalam tahap perumusan suatu kebijakan, namun jugapada tahap implementasi dan tahap evaluasi. Untuk itu,
perlu dirancang berbagai strategi dalam mewujudkan
ketersediaan data dan informasi, mulai dari entry point ,
manajemen, pemanfaatan, hingga publikasinya.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 32
tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan data dan
informasi menghadapi tantangan desentralisasi dibidang
kesehatan khususnya di bidang kefarmasian. Wewenang
dan peran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/
Kota menjadi semakin besar, sehingga menimbulkan
implikasi meningkatnya kebutuhan data dan informasibagi pengambilan kebijakan di daerah. Sayang, data dan
informasi kefarmasian pada tingkat nasional, terutama
pada aspek kualitas data yang tersedia belum memadai.
Sebab, belum terintegrasi dan terkoordinasi dalam satu
mekanisme kerjasama yang baik, serta keterbatasan
dalam pengambilan data antara Pusat dan Daerah
semenjak Era Otonomi Daerah.
Kondisi lain seperti infrastruktur yang kurang
memadai, kurangnya jumlah SDM, data tersebar di
banyak unit kerja, serta kurangnya koordinasi antar
unit kerja di daerah merupakan gambaran sulitnyamendapatkan data dan informasi yang valid . Termasuk
akses dan sharing data karena belum seluruh komputer
terhubung internet.
Di pusat tidak jauh berbeda kondisinya. Jumlah
aplikasi yang cukup banyak, pengelolaan sistem
informasi yang masih desentralisasi, output dari tiap
sistem informasi belum terintegrasi secara maksimal.
Hal ini jelas merupakan tantangan bagi pengelola data
dan informasi di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan
-
8/19/2019 Infarkes V
4/32
Hal. 4 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
TOPIK UTAMA
Alat Kesehatan mengumpulkan data dan informasi yang
valid .
Untuk berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan
validitas data dan informasi, diantaranya pemutakhirandata kefarmasian tingkat propinsi maupun nasional. Mulai
dari manajemen data, peningkatan kualitas entri data
dan penyempurnaan model pemanfaatan data. Ditjen
Binfar dan Alkes melalui dana dekonsentrasi memasukkan
kegiatan pemutakhiran data tingkat propinsi sebagai salah
satu menu kegiatan yang dapat diambil oleh propinsi.
Hal ini bukti perhatian (concern) terhadap pentingnya
data kefarmasian, baik dalam pengumpulan data terkait
indikator program maupun data sarana kefarmasian.
Diharapkan dengan adanya pemutakhiran data tingkat
Propinsi, akses dan sharing data yang berkualitas dari
Propinsi maupun Kabupaten/Kota bisa didapatkan dengan
mudah.Upaya lainnya adalah mengembangkan sistem
informasi sebagai sarana publikasi data yang diperoleh
dari daerah maupun pusat kepada masyarakat. Hal ini,
selain merupakan media informasi publik juga merupakan
wujud feedback terhadap daerah yang telah secara
sukarela membantu dalam memberikan data. Salah satu
sistem infomasi yang telah dikembangkan adalah Aplikasi
Pemetaan Sarana Kefarmasian (APIF) berbasis website.
-
8/19/2019 Infarkes V
5/32
Hal. 5 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
Beberapa data dalam aplikasi ini adalah data-data terkait prol Instalasi Farmasi Propinsi/
Kabupaten /Kota, data Sarana Produksi Kefarmasian seperti Industri Farmasi, Perusahaan
Besar Farmasi, Perusahaan Besar Bahan Baku Farmasi, Produksi Alat Kesehatan, Produksi
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), Industri Obat Tradisional, Usaha Kecil/Menengah
Obat Tradisional serta data Sarana Distribusi Kefarmasian seperti Apotek, Toko Obat, Penyalur
Alat kesehatan, Toko Alkes. Aplikasi APIF ini dapat dilihat secara online pada alamat apif.binfar.depkes.go.id.
Aplikasi-Aplikasi lain juga telah dikembangkan oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan dalam upaya mendukung pelayanan publik, seperti e-Registrasi Alkes, e-Pharm,
e-Licensing, STRA online dan lain-lain yang merupakan aplikasi berbasis online sistem.
Semua ini untuk menjawab kebutuhan publik, baik masyarakat maupun dunia usaha untuk
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi yang dibutuhkan di era
Globalisasi ini.
Tabel daftar aplikasi yang dikembangan Ditjen Binfar dan Alkes
Kedepan, dengan berbagai sistem informasi yang dikembangkan oleh Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat memberikan manfaat bagi Program Kefarmasian
dan Alat Kesehatan pada khususnya, dan pembangunan kesehatan pada umumnya, untuk
mewujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan.
TOPIK UTAMA
No Nama Aplikasi Direktorat
Pengguna
Internal –
Pemberi Layanan Eksternal –
Pengguna Data1 Sistem Registrasi Online Alkes Kemenkes
2Sistem e-Monitoring Post Market
SurveillanceAlkes Kemenkes
3 Sistem e-Payment Alkes Kemenkes Management
4 e-Sistem Surat Keterangan Alat Kesehatan Alkes
5 Aplikasi SIPNAP Prodis FMKemenkes, Dinkes Provinsi,
Dinkes KabupatenPBF, Apotek, IFK
6 Epharm Prodis FMKemenkes, Dinkes Provinsi,
Dinkes KabupatenPBF, Apotek, IFK
7 e-Licencing Prodis FM Kemenkes Industri Farmasi
8 e-PBF Prodis FM Kemenkes, Dinkes Provinsi PBF (Management)
9 Report NPP Prodis FM
10 e-Yanfar (e-Fornas) Yan Far
11 Pelayanan Informasi Obat Yan Far
12 e-Logistic Obat OblikKemenkes, Dinkes Provinsi,
Dinkes Kabupaten
13 e-Catalog Obat dan Alkes LKPP
14 STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) Sekretariat
15 APIV Sekretariat Management
16 Sistem Pemutahiran Data Sekretariat Management
-
8/19/2019 Infarkes V
6/32
Hal. 6 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
P
ekerjaan kefarmasian
meliputi pengendalian
mutu sediaan farmasi,pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Komite Farmasi nasional (KFN)
merupakan unit non struktural yang
dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan
bertanggung jawab kepada MenteriKesehatan melalui Dirjen yang
tugasnya untuk meningkatkan dan
menjamin mutu tenaga kefarmasian
(sesuai Permenkes nomor 889 tahun
2011 tentang registrasi, izin praktik,
dan izin kerja tenaga kefarmasian
pasal 25 ayat 1 dan 2). Di dalam
pasal 26, KFN mempunyai tugas
sertikasi dan registrasi, pendidikan
dan pelatihan berkelanjutan, serta
pembinaan dan pengawasan.
Susunan organisasi KFN terdiri
dari: Divisi Sertikasi dan Registrasi,
Divisi Pendidikan dan Pelatihan
Berkelanjutan, dan Divisi Pembinaan
dan Pengawasan. Anggota KFN
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
usulan Direktur Jenderal berjumlah 9
orang yang terdiri atas unsur-unsur
yang berasal dari: Kementerian
Kesehatan RI, Badan Pengawas Obat
dan Makanan, Organisasi Profesi,
Organisasi yang menghimpun TenagaTeknis Kefarmasian, Perhimpunan
dari Perguruan Tinggi Farmasi di
Indonesia, Kementerian Pendidikan
Nasional.
Divisi Sertikasi dan Registrasi
bertugas menyiapkan rancangan
cetak biru sertikasi dan registrasi;
menyusun pedoman tata
laksana sertikasi dan registrasi
serta melaksanakan registrasi.
Divisi Pendidikan dan Pelatihanmempunyai tugas menyusun cetak
biru pengembangan pendidikan
berkelanjutan, menyusun pedoman
pengembangan pendidikan
berkelanjutan, menetapkan angka
Satuan Kredit Profesi (SKP) pada
pelaksanaan pengembangan
pendidikan berkelanjutan. Divisi
Pembinaan dan Pengawasan,
mempunyai tugas melaksanakan
pembinaan dan pengawasan
terhadap tenaga kefarmasian dalam
melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
Salah satu bentuk registrasi yang
dilakukan KFN ialah registrasi Surat
Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
Setiap tenaga kefarmasian yang
menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat tanda registrasi.
Surat tanda registrasi berupa STRA
bagi Apoteker dan STRTTK bagi
Tenaga Teknis Kefarmasian.
TOPIK UTAMA
KOMITE FARMASI NASIONAL
“Kapasitas untuk menyediakan pelayanan kefarmasianyang baik tergantung pada dua hal; tenaga kerja yang
kompeten dan tenaga akademis yang mampu mencetak
tenaga kerja yang kompeten”.(Drs. Purwadi, Apt., MM., ME., Ketua KFN Periode 2014-2017)
Syarat memperoleh
STRA, Apoteker
mengajukan
permohonan
kepada KFN dengan
menggunakan Formulir,
Surat permohonan STRA
harus melampirkan
fotokopi ijazah Apoteker,fotokopi surat sumpah/
janji Apoteker, fotokopi
sertifkat kompetensi
profesi yang masih
berlaku, surat keterangan
sehat fsik dan mental
dari dokter yang
memiliki surat izin praktik,
surat pernyataan
akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan
etika profesi, pas foto
terbaru berwarna ukuran
4 x 6 cm sebanyak 2
(dua) lembar dan ukuran
2 x 3 cm sebanyak 2
(dua) lembar.
-
8/19/2019 Infarkes V
7/32
Hal. 7 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
TOPIK UTAMA
Permohonan STRA dapat diajukan
dengan menggunakan teknologi
informatika atau secara online melalui
website KFN. KFN harus menerbitkan
STRA paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak surat permohonanditerima dan dinyatakan lengkap .
Untuk memperoleh STRTTK,
Tenaga Teknis Kefarmasian
harus mengajukan permohonan
kepada Kepala Dinas Kesehatan.
Surat permohonan STRTTK harus
melampirkan fotokopi ijazah Sarjana
Farmasi atau Ahli Madya Farmasi
atau Analis Farmasi atau Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker,
surat keterangan sehat sik danmental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik, surat pernyataan
akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika kefarmasian,
surat rekomendasi kemampuan
dari Apoteker yang telah memiliki
STRA, atau pimpinan institusi
pendidikan lulusan, atau organisasi
yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian, dan pas foto terbaru
berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak
2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm
sebanyak 2 (dua) lembar. Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi harus
menerbitkan STRTTK paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak surat
permohonan diterima dan dinyatakanlengkap.
STRA atau STRTTK dapat
dicabut karena, permohonan
yang bersangkutan, pemilik STRA
atau STRTTK tidak lagi memenuhi
persyaratan sik dan mental untuk
menjalankan pekerjaan kefarmasian
berdasarkan surat keterangan dokter,
melakukan pelanggaran disiplin
tenaga kefarmasian, d. melakukan
pelanggaran hukum di bidangkefarmasian yang dibuktikan dengan
putusan pengadilan.
Pencabutan STRA disampaikan
kepada pemilik STRA dengan
tembusan kepada Direktur
Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan organisasi
profesi. Pencabutan STRTTK
disampaikan kepada pemilik STRTTK
dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan organisasi
yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian.
Di dalam website resmi KFN,
disebutkan bahwa selama tahun2015, ada 1917 orang apoteker
yang permohonan STRAnya telah di
approve oleh KFN. KFN juga mendata
hingga saat ini terdapat 54187 orang
tenaga apoteker yang terdiri dari
12467 apoteker laki-laki dan 41720
apoteker wanita. Hingga tahun 2015
pula, 54187 apoteker
telah terdaftar secara resmi.
Anggota KFN periode 2014 - 2017:1. Drs. Purwadi, Apt., MM., ME.
(Ketua merangkap Anggota)
2. Dr. Faiq Bahfen, SH
3. Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si
4. Prof. Dr. Tutus Gusnidar K., Apt.
5. Dr. Umi Athiyah, Apt., M.S.
6. Drs. Nurul Falah Eddy P., Apt.
7. Drs. Ahaditomo, Apt., M.S.
8. Drs. Bambang Triwara, Apt., Sp.FRS
9. Dra. Suzana Indah Astuti, M.Si.,
Apt.
-
8/19/2019 Infarkes V
8/32
Hal. 8 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
TOPIK UTAMA
Sekretariat Ditjen BinaKefarmasian dan Alat Kesehatan
merupakan unit kerja yang bertugas
memberikan dukungan koordinasi
pelaksanaan tugas dan pemenuhan
administrasi dalam pelaksanaan
Program Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Dukungan itu berbentukkoordinasi lintas program maupun
lintas sektor. Sebagai contoh,
dalam hal siklus perencanaan dan
penganggaran, Sekretariat Ditjen
bertugas memberikan fasilitasi
dan koordinasi, untuk memastikan
kebutuhan kegiatan teknis Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
dapat terakomodir dalam dokumen
perencanaan-penganggaran. Contoh
lainnya, dalam hal penatalaksanaan
kewajiban keuangan-barang milik
negara, maka Sekretariat Ditjen
menjalankan tugas yang sama,
sehingga pelaksanaan Program
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
memenuhi standar ketentuan yang
berlaku. Alhamdulilaahirabbil’aalamin,
kedua tugas tersebut telah dapat
dilaksanakan dengan baik.
Dalam beberapa tahun terakhir, di
bidang perencanaan-penganggaran,
Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan tidak pernah
menjumpai dokumen penganggaran
yang mendapat ‘bintang’ karena
kekurangan dokumen perencanaan.
Bila pun ada ‘bintang’, hal tersebut
lebih disebabkan oleh faktor-faktor
yang ada di luar kendali Ditjen BinaKefarmasian dan Alat Kesehatan,
seperti: belum turunnya persetujuan
Presiden.
Dalam hal penatalaksanaan
administrasi keuangan dan BMN,
Ditjen Kefarmasian dan Alat
Kesehatan mendapat predikat
Wajar Tanpa Pendapat dari Badan
Pemeriksa Keuangan. Sebuah
kebanggaan bagi Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatanmampu berkontribusi positif pada
pencapaian predikat Kementerian
Kesehatan. Contoh lainnya adalah
pencapaian Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan dalam penilaian/
evaluasi penyelenggaraan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP). Pada periode
empat tahun terakhir, hasil penilaian
penyelenggaraan SAKIP Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
senantiasa berada pada tingkat
A. Hal ini menunjukkan bahwa
penyelenggaraan program telah
memenuhi unsur-unsur transparansi
dan akuntabilitas.
Untuk itu, tidaklah berlebihan
bila Sekretariat Ditjen mendapat
apresiasi atas kinerja maksimalnyadalam menjalankan tugas
memberikan dukungan koordinasi
dan pemenuhan administrasi. Akan
tetapi, apakah kinerja tersebut sudah
cukup untuk mengantar Program
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
sejajar dengan program kesehatan
lain?
Sasaran Strategis
KesekretariatanSesungguhnya peran
kesekretariatan dalam Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan lebih
dari itu. Bila kita merujuk ke dokumen
Rencana Strategis, Kementerian
Kesehatan RI Tahun 2015-2019, maka
dapat dilihat bahwa peran dukungan
manajerial menjangkau lebih dari
peran koordinasi dan pemenuhan
Quantum Leap:TantanganBerikutnyaSekretariat DitjenBinfar dan Alkes
R.Himawan
-
8/19/2019 Infarkes V
9/32
Hal. 9 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
administrasi saja. Dalam Renstra,
dukungan manajerial menjadi faktor
penting bagi pelaksanaan program
kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari
sasaran strategis kesekretariatan
yang harus dimiliki oleh setiap unit
utama Kemenkes.
Sasaran strategis pertama,
meningkatkan tata kelola pemerintah
yang baik dan bersih. Meliputipengelolaan keuangan yang efektif-
esien-ekonomis-taat peraturan,
peningkatan transparansi dan
akuntabilitas dengan memperhatikan
rasa keadilan serta kepatutan.
Melakukan upaya pengawasan
melekat yang bermutu.
Sekretariat Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
harus merumuskan kegiatan-kegiatan
yang mengandung prinsip-prinsiptata kelola yang baik dan bersih
tersebut. Dengan demikian, kegiatan-
kegiatan Sekretariat Ditjen akan
membawa seluruh unit teknis Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
melakukan tata kelola pemerintah
yang baik dan bersih.
Sasaran strategis kedua,
meningkatkan kompetensi dan kinerja
aparatur Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Upaya ini dapat
dilakukan dengan menyusun standar
kompetensi jabatan struktural
untuk semua tingkat eselon, dan
mengembangkan sistem kaderisasi
yang efektif. Dalam hal ini, Sekretariat
Ditjen dapat belajar dari cara BPJS
Kesehatan (BPJS-K) mengembangkan
karir pegawainya melalui talent pool. Sistem talent pool memungkinkan
manajemen BPJS-K memiliki informasi
tentang potensi yang dimiliki oleh
setiap pegawainya. Identikasi potensi
tersebut kemudian dimanfaatkan
untuk menyusun peta karier pegawai,
sehingga setiap pegawai memiliki
informasi yang cukup tentang masa
depan kariernya di BPJS-K. Sebagai
hasilnya, di lingkungan pegawai
tercipta nuansa persaingan sehatyang pada akhirnya berkontribusi
positif terhadap kinerja BPJS-K.
Sesungguhnya Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
memiliki kualitas aparatur yang dapat
diandalkan. Keberadaan sistem
kaderisasi dapat membantu Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
untuk mendapatkan outcome terbaik
dari talenta para aparaturnya.
Tentunya, perumusan sistem
kaderisasi tersebut merupakan
tanggung jawab Sekretariat Ditjen.
Sasaran strategis ketiga,
meningkatkan sistem informasi yang
terintegrasi. Inilah sasaran strategis
yang memiliki daya dorong luar biasa
bagi kesuksesan penyelenggaraan
program. Sebagaimana diketahui,operasional Program Kefarmasian
dan Alat Kesehatan tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan
sistem informasi. Berdasarakan
pemantauan, setidaknya terdapat
lebih dari 11 sistem informasi yang
disusun oleh Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Mulai dari sistem
registrasi (seperti e-licensing sarana
produksi dan distribusi kefarmasian,
e-regalkes, STRA online), sistempemetaan (seperti aplikasi pemetaan
sarana kefarmasian dan alat
kesehatan–APIF, e-FORNAS, e-logistic ),
sampai sistem pelaporan online
(seperti e-report PBF, SIPNAP, e-watch
Alkes, e-yanfar, dan e-reporting Binfar
Alkes).
Seluruh sistem tersebut
memiliki data dan menghasilkan
TOPIK UTAMA
-
8/19/2019 Infarkes V
10/32
Hal. 10 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
TOPIK UTAMA
informasi yang berharga, namun
belum termanfaatkan secara saling
terkoneksi. Akibatnya, seluruh sistem
informasi tersebut cenderung ‘hidup
menyendiri’ dan tidak termanfaatkan
dalam proses-proses pengambilankeputusan maupun perumusan
kebijakan.
Bila Sekretariat Ditjen ingin
mendorong Program Kefarmasian
dan Alat Kesehatan beberapa
langkah lebih maju, maka integrasi
sistem informasi merupakan
alternatif yang layak untuk ditempuh.
Kita dapat belajar dari beberapa
perusahaan swasta yang telah
mengembangkan decision supportsystem untuk mendukung operasional
perusahaan mereka. Sistem tersebut
menggabungkan berbagai data
terkait operasional perusahaan,
mengolahnya sesuai prosedur
tertentu, dan menyajikan output
informasi yang menggambarkan
kinerja perusahaan maupun bahan
pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Dengan logika yang sama,
dapat diusulkan sistem registrasie-licensing sarana produksi dan
distribusi kefarmasian terkoneksi
dengan sistem STRA online.
Pendekatan ini memungkinkan
jajaran Ditjen memperoleh informasi
persentase tenaga kefarmasian
yang bekerja di sektor kefarmasian
nasional, ataupun track record setiap
tenaga kefarmasian yang ada di
Indonesia. Logika yang sama juga
dapat diterapkan untuk sisteme-report PBF dengan APIF, sehingga
informasi yang pemetaan yang
ditampilkan akan lebih berbobot,
aktual, dan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan advokasi program.
Tentunya hal-hal tersebut masih
berupa ide kasar yang perlumendapat penyempurnaan.
Namun, bila kesadaran dan
komitmen akan pentingnya integrasi
sistem informasi tumbuh pada setiap
jajaran Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, maka bukan tidak
mungkin hal tersebut akan tercapai
dalam waktu dekat.
Quantum Leap: Rencana
Aksi Sekretariat Ditjen BinaKefarmasian dan Alat Kesehatan
Uraian-uraian tersebut merupakan
informasi yang diperoleh dari
dokumen Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019 dan sumber-sumber
lain yang dijumpai. Tentunya, bila
Sekretariat Ditjen ingin melangkah
menuju hal-hal tersebut, diperlukan
komitmen perencanaan periode lima
tahunan yang menjabarkan secaradetil hal-hal tersebut dalam sebuah
dokumen. Sesuai kaidah SAKIP, setiap
satuan kerja di lingkup unit utama
wajib menyiapkan Rencana Aksi
Kegiatan sebagai sumber dokumen
kinerja. Untuk itu, tidaklah berlebihan
bila uraian-uraian di atas dapat
dipertimbangkan untuk dimuat dalam
dokumen Rencana Aksi Kegiatan
Sekretariat Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, serta menjadilangkah-langkah operasional selama
lima tahun ke depan.
Penulis meminjam istilah Quantum
Leap, yang dengannya seorang
Emirsyah Satar berhasil membawa
Garuda Indonesia meloncat dari jurang kerugian dan ketertinggalan
menuju podium keuntungan dan
keunggulan.
Sebuah loncatan serupa,
dibutuhkan oleh Sekretariat
Ditjen dalam menampilkan kinerja
terbaiknya untuk membawa Program
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
sejajar dengan program kesehatan
lain. Seperti keberhasilan yang telah
dicapai Sekretariat Ditjen dalam tugaspemberian dukungan koordinasi
maupun administrasi pelaksanaan
program selama beberapa tahun
terakhir, maka loncatan ini hendaknya
dapat pula berhasil memenuhi
tujuannya.
Lazimnya sebuah lompatan,
selain kejelasan arah sebuah
lompatan, diperlukan keberanian
untuk menanggung sakit yang
sedikit lebih besar dari biasanya,serta kekuatan seluruh sumber
daya untuk menggerakkan kaki
sedikit lebih tinggi dan lebih jauh
dari biasanya. Penulis meyakini,
hal-hal tersebut telah dimiliki oleh
segenap aparatur Sekretariat Ditjen,
dan menunggu mobilisasi yang kuat
untuk menghasilkan kinerja yang
unggul. Untuk itu, Quantum Leap
di lingkup Sekretariat Ditjen dapat
dimulai dengan sebuah Rencana AksiKegiatan yang hidup.
-
8/19/2019 Infarkes V
11/32
Hal. 11 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
Kebebasan dan keterbukaan
tentu merupakan anugrah
yang diharapkan banyak
pihak. Sebaliknya, ketidakpastian
dan ketidakteraturan menjadi
sesuatu yang harus dihindari.Dalam konteks inilah kebebasan
informasi diharapkan menjadi spirit
demokratisasi yang menawarkan
kebebasan sekaligus tanggung jawab
secara bersamaan. Kebebasan
informasi, di satu sisi harus
mendorong akses publik terhadap
informasi secara luas.
Sementara di sisi yang lain,
kebebasan informasi juga sekaligus
dapat membantu memberikan pilihanlangkah yang jelas bagi pemerintah
dalam mengambil suatu kebijakan
secara strategis. Iklim seperti ini pula
yang diharapkan dapat melahirkan
model governability dimana negara
dapat memfungsikan dirinya
secara efektif dan esien tanpa
mengesampingkan prinsip-prinsip
demokrasi.
Pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
berdampak konsekuensi logis akan
kewajiban untuk membuka informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat,tentunya dengan kriteria dan
ketentuan sebagaimana tercantum
pada UU tersebut dan juknis/juklak
terkait.
Di dalam UU No 14 Tahun
2009 Pasal 4 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, setiap orang berhak
memperoleh Informasi Publik
sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini. Setiap Orang berhak
melihat dan mengetahui InformasiPublik, menghadiri pertemuan
publik yang terbuka untuk umum
untuk memperoleh Informasi Publik,
mendapatkan salinan Informasi
Publik melalui permohonan sesuai
dengan Undang-Undang ini dan
menyebarluaskan Informasi Publik
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Setiap pemohon Informasi Publik
berhak mengajukan permintaan
Informasi Publik disertai alasan
permintaan tersebut. Setiap
pemohon Informasi Publik berhak
mengajukan gugatan ke pengadilan
apabila dalam memperoleh Informasi
Publik mendapat hambatan atau
kegagalan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
Pentingnya badan publik
menyelenggarakan keterbukaan
informasi publik diantaranya
bertujuan agar membentuk opini
publik melalui informasi yang akurat,
informasi publik yang akurat dapat
mencegah rumor negatif dan tidakbenar beredar, meminimalisir korups
dan penyalahgunaan informasi
orang dalam, memperbaiki kinerja
badan publik secara lebih tepat,
membangun hubungan baik dan
meningkatkan kepercayaan publik
terhadap badan publik, menjamin
akuntabilitas lembaga tersebut.
Kewajiban badan publik dalam
rangka keterbukaan informasi publik
adalah menunjuk dan mengangkatpejabat pengelola informasi dan
dokumentasi, menetapkan standar
prosedur operasional, menyediakan
dan memberikan informasi (secara
berkala, serta merta, tersedia setiap
saat, dan berdasarkan permintaan),
menyediakan sarana dan prasarana,
menetapkan standar biaya.,
menyediakan anggaran, menanggapi
keberatan, serta membuat dan
ARTIKEL
PERAN BADAN PUBLIK DALAM
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Terbuka, bukan berarti telanjang. Tapi ada sisi lain yang
dikecualikan sesuai dengan uji konsekuensi yang telah
dilakukan. Badan publik tak boleh serampangan melakukan
pengecualian. Ada rambu-rambu yang harus dipenuhi,termasuk menyediakan informasi yang dibutuhkan
masyarakat secara mudah, murah, cepat dan akurat.
-
8/19/2019 Infarkes V
12/32
Hal. 12 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
ARTIKEL
mengumumkan laporan pelayanan
informasi.
Ada 4 jenis informasi yang
terdapat di dalam UU No 14 tahun
2008. Pertama, Informasi yangwajib disediakan dan diumumkan
secara berkala. Informasi jenis ini
Disediakan/diumumkan secara rutin,
teratur, dan dalam jangka waktu
tertentu setidaknya setiap 6 bulan
sekali. Penyebarluasan informasi
disampaikan dengan cara yang
mudah dijangkau masyarakat dan
dalam bahasa yang mudah dipahami.
Contohnya adalah informasi
berkaitan dengan Badan Publik (prol,kedudukan, kepengurusan, maksud
dan tujuan didirikannya badan
publik), informasi kegiatan
dan kinerja Badan Publik,
informasi ttg laporan
keuangan, informasi
lain yang
diatur dalam
peraturan
perundang-
undangan.Untuk
Sekretariat
Direktorat
Jenderal
Binfar &
Alkes, contoh
Informasi yang
diumumkan
secara berkala
adalah: Prol
Kefarmasian DitjenBinfar dan Alkes, Buku
Kinerja Ditjen Binfar dan Alkes,
Daftar Sarana Apotek Seluruh
Indonesia, Daftar Sarana Toko
Obat Seluruh Indonesia, Daftar
Sarana Industri Kosmetika Seluruh
Indonesia, Daftar Sarana Industri
Obat Tradisional Seluruh Indonesia,
Daftar Sarana Usaha Kecil/ Mikro
Obat Tradisional Seluruh Indonesia,
Daftar Sarana Industri Farmasi
Seluruh Indonesia, Daftar Sarana
Pedagang Besar Farmasi Seluruh
Indonesia, Daftar Sarana Penyalur
Alat Kesehatan Seluruh Indonesia,Daftar Sarana Cabang Penyalur
Alat Kesehatan Seluruh Indonesia,
Laporan Tahunan Ditjen Binfar dan
Alkes, DIPA Ditjen Binfar dan Alkes,
Daftar Sarana Industri Alkes, Daftar
Sarana Industri PKRT, serta Laporan
Tahunan Setditjen Binfar dan Alkes
Kedua, Informasi Yang harus
diumumkan secara serta merta.
Informasi jenis ini Wajib diumumkan
tanpa penundaan. BiasanyaMenyangkut ancaman terhadap hajat
hidup
orang
banyak dan
ketertiban umum. Informasi ini
sifatnya aktif, artinya informasi yang
wajib diumumkan seketika terjadinya
keadaan yang dapat mengancam
hajat hidup orang banyak dan
ketertiban umm seperti informasi
tentang bencana, kerusuhan massal,
dll.
Ketiga, informasi yang wajib
tersedia setiap saat. Informasi jenis in
sifatnya informasi pasif, artinya untuk
memperolehnya harus dilakukandengan mengajukan permintaan.
Informasi yang wajib tersedia setiap
saat mencakup daftar seluruh
informasi dalam penguasaan badan
publik, keputusan badan publik dan
pertimbangannya, kebijakan badan
publik dan dokumen pendukungnya,
rencana proyek dan anggaran
tahunannya, perjanjian badan publik
dengan pihak ketiga, informasi dalam
pertemuan yang bersifat terbukauntuk umum, prosedur kerja yang
berkaitan dengan layanan publik,
laporan layanan akses informasi,
informasi lain yang telah dinyatakan
terbuka untuk diakses publik
berdasar putusan sengketa
informasi publik.
Keempat, daftar informasi
yang dikecualikan. Sesuai
dengan permenkes
no 1 tahun 2015,Dokumen informasi
yang dikecualikan di
lingkungan Kementerian
Kesehatan, dikategorikan
menjadi: dokumen
keuangan, dokumen
Barang Milik Negara (BMN),
dokumen hukum, dokumen
terkait produk/putusan Konsil
Kedokteran Indonesia, dokumen
identitas masyarakat, dokumenpengawasan, dokumen kepegawaian,
dokumen produk/putusan yang
berkaitan dengan kefarmasian dan
alat kesehatan, dokumen penelitian
dan pengembangan, dokumen
terkait fasilitas kesehatan, dokumen
kependidikan, dokumen tertentu,
dokumen yang terkait dengan sistem
keamanan teknologi informasi.
-
8/19/2019 Infarkes V
13/32
Hal. 13 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
Industri kosmetik, jamu dan
obat tradisional di Indonesia
merupakan salah satu sektor
strategis yang mampu menggerakkan
roda perekonomian nasional. Oleh
karena itu, upaya menciptakan iklim
usaha yang kondusif agar dunia
usaha tetap melakukan investasinya
di Indonesia sekaligus meningkatkan
daya saing yang tinggi sehingga
industri kosmetik, jamu, dan obat
tradisional dapat menjadi tuan rumah
di negeri sendiri dengan gencar
dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
selaku unit utama di Kementerian
Kesehatan RI selalu berupaya
melakukan pembinaan dan
pengembangan industri obat
tradisional agar tetap terjamin dalam
mutu dan ketersediaan bahan baku
dengan melakukan berbagai langkah
pembinaan ke hulu dan hilir pada
industri ini.
Pada tanggal 1 September
2015, Kementerian Kesehatan RI
ikut berperan aktif dalam pameran
Industri Kosmetik dan Jamu yang
diadakan oleh Kementerian
Perindustrian di Plasa Industri dengan
memberikan arahan dan penjelasan
kepada para pengunjung pameran
seputar perizinan industri kosmetik
dan obat tradisional.
Dapat disampaikan, industri
kosmetik nasional memberikan
kontribusi yang cukup signikan baik
dari nilai ekspor, omzet, maupun
penyerapan tenaga kerja. Pada tahun
2012, nilai ekspor kosmetik mencapai
Rp. 9 triliun atau tiga kali lipat dari
tahun sebelumnya sebesar Rp. 3
triliun. Dari segi penjualan di dalam
negeri juga mengalami peningkatan,
pada tahun 2013 mencapai Rp.
11,2 triliun atau tumbuh 15%
dibandingkan tahun 2012 sebesar Rp.
9,7 triliun.
Sedangkan dari segi penyerapan
tenaga kerja, sebanyak 760
perusahaan kosmetik yang tersebar
di wilayah Indonesia telah mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak
75.000 orang secara langsung dan
600.000 orang secara tidak langsung.
“Seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang meningkat, industri
kosmetik nasional juga menunjukkan
tren industri yang meningkat. Saat
ini, produk kosmetik selain untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri
juga diekspor hingga menembus
pasar internasional, seperti: ASEAN,
Jepang, Timur Tengah, Uni Eropa,
Amerika Serikat, dan beberapa
negara di Afrika,” tegas Menperin.
Sementara itu, industri jamu dan
obat tradisional juga mencatatkan
prestasi yang cukup menggembirakan
dalam beberapa tahun terakhir.
Hal tersebut terlihat dari omzet
yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2013, penjualan
mencapai Rp. 14 triliun dan pada
tahun 2014 diperkirakan mencapai
Rp. 15 triliun.
“Pemerintah terus berupaya
untuk menciptakan iklim
usaha yang kondusif, agar
dunia usaha tetap bergairah
melakukan investasi di
Indonesia, sehingga industri
kosmetik dan jamu nasional
mampu menjadi tuan rumahdi negeri sendiri
(Menteri Perindustrian
Saleh Husein)”
PAMERAN INDUSTRI
KOSMETIKA DAN JAMU
LIPUTAN
-
8/19/2019 Infarkes V
14/32
Hal. 14 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Saat ini, terdapat 1.247 industri
jamu yang terdiri dari 129 Industri
Obat Tradisional (IOT) dan selebihnya
termasuk golongan Usaha MenengahObat Tradisional (UMOT) dan Usaha
Kecil Obat Tradisional (UKOT) yang
tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Bahkan, industri obat tradisional
mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 15 juta orang, dimana 3
juta terserap di industri jamu yang
berfungsi sebagai obat dan 12 juta
orang lainnya terserap di industri
jamu yang telah berkembang kearahmakanan, minuman, kosmetik, spa,
dan aromaterapi.
Dengan diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian, Menperin
memastikan mampu mendorong
pertumbuhan industri kosmetik
dan jamu nasional baik dalam
skala besar maupun skala kecil dan
menengah.“Undang-undang ini
memiliki peraturan turunan yaitu
Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2015 tentang Rencana IndukPembangunan Industri Nasional
(RIPIN) Tahun 2015-2035, dimana
industri kosmetik dan jamu menjadi
salah satu industri andalan, yaitu
industri prioritas yang berperan besar
sebagai penggerak utama ( prime
mover ) perekonomian di masa yang
akan datang,” jelasnya.
Di samping itu, menurut Menperin,
Pemerintah juga terus berupaya
untuk menciptakan iklim usaha yangkondusif agar dunia usaha tetap
bergairah melakukan investasinya di
Indonesia sehingga industri kosmetik
dan jamu nasional mampu menjadi
tuan rumah di negeri sendiri.
Meskipun demikian, saat ini
industri jamu nasional mendapat
tantangan dengan beredarnya
produk jamu ilegal. Jamu ilegal
tersebut mengandung bahan baku
obat atau bahan kimia yang dilarang,
tidak memiliki izin edar, dan bahkan
banyak yang tidak memiliki Izin Usaha
Industri. Keberadaan produk obat
tradisional atau herbal tersebut selain
meresahkan masyarakat karena
kualitas yang tidak memenuhi standar
kesehatan juga akan menimbulkan
kompetisi yang tidak sehat dengan
produk obat tradisional atau herbal
yang legal dan terjamin kualitasnya.
Pameran yang akan berlangsung
sampai dengan tanggal 4 September
2015 ini dibuka langsung oleh
Menteri Perindustrian Saleh Husin,
Presdir PT. Mustika Ratu Putri
Kuswisnu Wardani, serta Presdir PT.
Nyonya Meneer Charles Saerang
dengan pengguntingan.
Dalam pameran ini, Kementerian
Kesehatan tidak ketinggalan dengan
kampanye “Bude Jamu” (Bugar
dengan Jamu) dengan menyediakan
jamu yang dapat dinikmati oleh
pengunjung, Menteri Perindustrian
Saleh Husin juga menyempatkandiri untuk mencicipi jamu di stan
pameran Kementerian Kesehatan RI
ini. (humasbinfar_RD)
-
8/19/2019 Infarkes V
15/32
Hal. 15 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Menteri Kesehatan, Prof.
Dr. dr. Nila Moeloek,
Sp.M(K) membuka Rapat
Pleno Formularium Nasional (Fornas)
2015, di Hotel Aryaduta, Jakarta,
Kamis (3/9). Fornas merupakan daftar
obat terpilih yang dibutuhkan dan
harus tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan, sebagai acuan dalam
pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).Hadir dalam acara tersebut,
Ketua Komnas Penyusunan Fornas
Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.
Sc., Ph.D dan anggota Komite
Nasional Penyusunan Formularium
Nasional. Hadir pula Direktorat
terkait di lingkungan Kemenkes dan
unit pengelola program kesehatan,
Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), BPJS Kesehatan, pakar
dari perguruan tinggi di bidangkesehatan, praktisi kedokteran dan
farmasi, Dinas Kesehatan Provinsi
terpilih, rumah sakit milik pemerintah
maupun swasta serta organisasi
profesi.
Dalam sambutannya, Menkes
mengatakan, JKN telah berjalan
hampir tahun sejak 1 Januari
2014. Masih banyak yang harus
diperbaiki, salah satunya dalam
memastikan tercapainya aksesibilitas,
aordibility , dan penggunaan rasional
dalam pelayanan kesehatan yang
komprehensif.
“Dengan mempertimbangkan
basis bukti terkini dan biaya manfaat
pengobatan dari usulan berbagai
pengambil kebijakan. Karena itu
Fornas yang dihasilkan dapat
memenuhi kebutuhan pelayanankesehatan seluruh peserta dan
terpenuhi dengan sumber daya
yang tersedia. Dalam rapat pleno
ini diharapkan dapat menghasilkan
draft Fornas 2015. Dalam
pengimplementasiannya, Fornas
bersifat dinamis sehingga perlu
dilakukan evaluasi atau revisi obat
Fornas sesuai dengan kebutuhan
medis dan perkembangan ilmu
pengetahuan,” kata MenkesMenteri Kesehatan Nila Djuwita
Moeloek berharap pelaksanaan
revisi Formularium Nasional
(Fornas) 2015 dapat diperoleh hasil
penyempurnaan Fornas, sehingga
makin melengkapi kebutuhan terapi
sesuai indikasi medis secara rasional.
Saat penyusunan Fornas, Pemerintah
menyiapkan konsep penyediaan
daftar dan harga obat dalam JKN.
Dengan mempertimbangkan basis
bukti terkini dan biaya manfaat
pengobatan dari usulan berbagai
stakeholders. Oleh karena itu Fornas
yang dihasilkan dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan
seluruh peserta dan terpenuhi
dengan sumber daya yang tersedia.
Direktur Bina Pelayanan
Kefarmasian, Drs. Bayu TedjaMulyawan M.Pharm, MM.,
menyebutkan, Item obat yang
diusulkan untuk dimasukkan dalam
Fornas 2015 berjumlah 389 item
terdiri dari 611 bentuk sediaan/
kekuatan. “Kemudian setelah
dilaksanakan pembahasan teknis
sebanyak 5 kali, telah dihasilkan draft
Fornas 2015 dengan jumlah 574 item
obat dalam 1060 bentuk sediaan/
kekuatan terbagi dalam 29 KelasTerapi dan 90 Sub Kelas Terapi,”
katanya.
Dalam pembahasan teknis
disepakati bahwa kriteria obat yang
dimasukkan dalam Formularium
Nasional harus memenuhi prinsip-
prinsip ecacy, safety, availability,
accessibility, aordability serta
pembicaraan dalam setiap rapat
FORMULARIUM NASIONAL
UNTUK SEMUA PIHAK Formularium Nasional harus memenuhi harapansemua pihak, terutama masyarakat. Obat harustersedia, aman, terjangkau dan rasional sesuai
standar. Sehingga pelayanan kesehatan lebih bermutudengan belanja obat yang terkendali.
RAPAT PLENO FORMULARIUM
-
8/19/2019 Infarkes V
16/32
Hal. 16 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
pembahasan Fornas bersifat
condential dan tidak konik
kepentingan.Proses revisi Fornas dilakukan
sebagai upaya penyempurnaan, tidak
hanya untuk menyesuaikan dengan
kemampuan ilmu pengetahuan,
teknologi di bidang obat dan
kedokteran, pola penyakit maupun
program kesehatan, tetapi juga
untuk memberikan ruang perbaikan
terhadap isi Fornas, meningkatkan
kepraktisan dalam penggunaan
dan penyerahan obat kepadapeserta, yang disesuaikan dengan
kompetensi tenaga kesehatan dan
tingkat pelayanan kesehatan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan
JKN.
Fornas bertujuan untuk
menyediakan acuan nasional bagi
RS dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya yang melaksanakan SJSN,
menyediakan acuan bagi tenaga
medis untuk menetapkan pilihanobat yang tepat, paling ecacious dan
aman, dengan harga yang terjangkau,
mendorong penggunaan obat secara
rasional sesuai standar, sehingga
pelayanan kesehatan lebih bermutu
dengan belanja obat yang terkendali
(cost eective).
Formularium Nasional merupakan
daftar obat terpilih yang dibutuhkan
dan harus tersedia
di fasilitas pelayanan
kesehatan sebagai
acuan dalam
pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional(JKN). Kegiatan Revisi
Formularium Nasional
telah dimulai sejak
November 2014,
dengan mengirimkan
surat permintaan
usulan ke 812 instansi
yang terdiri dari Rumah
Sakit Pemerintah dan
Swasta, Dinas Kesehatan Provinsi,
Organisasi Profesi dan unit kerjaterkait di lingkungan Kementerian
Kesehatan. Dari jumlah tersebut
ada 180 instansi yang memberikan
usulan terdiri dari 4 Dinas Kesehatan
Provinsi, 4 unit program Kementerian
Kesehatan, 104 RS pemerintah, 34 RS
swasta dan 34 Organisasi Profesi.
Dalam penyusunannya,
Pemerintah menyiapkan
konsep penyediaan daftar dan
harga obat dalam JKN, denganmempertimbangkan basis bukti
terkini dan biaya manfaat pengobatan
dari usulan berbagai stakeholders,
sehingga Fornas yang dihasilkan
dapat memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan seluruh peserta
dan terpenuhi dengan sumber daya
yang tersedia.
Dalam perjalanan
implementasinya, sehingga perlu
dilakukan evaluasi/review obat Fornassesuai dengan kebutuhan medis dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Sesuai amanat Undang-Undang
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang dielaborasi dalam Peraturan
Presiden No. 111 Tahun 2013
tentang Perubahan Perpres No.
12 Tahun 2013, bahwa pelayanan
obat dan Bahan Medis Habis Pakai
(BMHP) untuk peserta jaminan
kesehatan pada fasilitas kesehatan,
berpedoman pada daftar dan harga
obat dan BMHP yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan, disusunsecara transparan dan akuntabel oleh
Komite Nasional Fornas, serta ditinjau
kembali paling lambat 2 (dua) tahun
sekali.
Komite Nasional Fornas 2015
telah ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Kesehatan terdiri dari: pakar
di bidang farmakologi, farmakologi
klinik, praktisi farmasi, wakil dari
organisasi profesi dokter dan dokter
spesialis, Badan Pengawas Obat danMakanan (BPOM), Badan Koordinasi
Keluarga Besar Nasional (BKKBN),
wakil dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) serta unit terkait
di Kementerian Kesehatan.
Sebagai upaya penyempurnaan
Fornas 2013, telah dilaksanakan
evaluasi/reviu, pertama pada tahun
2014, yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 159/MENKES/SK/V/2014.
Proses revisi Fornas dilakukan
sebagai upaya penyempurnaan, tidak
hanya untuk menyesuaikan dengan
kemampuan ilmu pengetahuan,
teknologi di bidang obat dan
kedokteran, pola penyakit maupun
program kesehatan, tetapi juga
untuk memberikan ruang perbaikan
terhadap isi Fornas, meningkatkan
kepraktisan dalam penggunaandan penyerahan obat kepada
peserta, yang disesuaikan dengan
kompetensi tenaga kesehatan dan
tingkat pelayanan kesehatan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan
JKN.
Dalam proses penyusunan revisi
Fornas, usulan obat yang diterima
berasal dari Organisasi Profesi
-
8/19/2019 Infarkes V
17/32
Hal. 17 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Dokter Spesialis, Fasilitas Kesehatan
Rujukan dan Primer, Dinas Kesehatan
Prov/Kab/Kota, serta unit program
terkait di lingkungan Kementerian
Kesehatan, untuk selanjutnya
dibahas dalam rapat pembahasanteknis, dihadiri oleh Komite Nasional
Fornas dan ahli yang terkait.
Komnas Fornas dalam
melakukan pembahasan telah
mempertimbangkan bahwa setiap
obat yang dapat masuk dalam Fornas
harus sudah terdaftar di Indonesia
dengan indikasi penggunaan sesuaidengan indikasi yang disetujui
oleh Badan POM, serta memiliki
rasio manfaat-risiko yang paling
menguntungkan, rasio manfaat-biaya
yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung, juga
dapat mempertimbangkan masukan
atau saran dari Komite HTA pada
kajian obat yang terkait.
Selain itu, mengoptimalkan
pelayanan kesehatan yang efektifdan esien kepada masyarakat dan
Memudahkan perencanaan dan
penyediaan obat di Rumah Sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
sesuai dengan kebutuhan.
Dalam rangka menjamin
ketersediaan dan keterjangkauan
obat, telah ditetapkan regulasi yang
terkait di bidang obat yaitu :
1. Formularium Nasional (Fornas),
yang merupakan penetapan jenis
item obat yang dijamin oleh BPJS
berdasarkan kriteria pemilihan
obat. Kriteria pemilihan obat
dalam Fornas adalah sebagaiberikut:
a. Memiliki khasiat dan keamanan
berdasarkan bukti ilmiah
mutakhir dan valid.
b. Memiliki rasio manfaat-risiko
(benet-risk ratio) yang paling
menguntungkan.
c. Memiliki izin edar dan indikasiyang disetujui oleh Badan POM.
d. Memiliki rasio manfaat-biaya
(benet-cost ratio) yang tertinggi.
e. Dalam kriteria ini tidak termasuk
obat tradisional dan suplemen
makanan
f. Apabila terdapat lebih dari
satu pilihan yang memiliki efek
terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada obat yang
memiliki kriteria berikut: Obatyang sifatnya paling banyak
diketahui berdasarkan bukti
ilmiah, sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik yang diketahui
paling menguntungkan,
stabilitasnya lebih baik, dan
mudah diperoleh.
g. Obat jadi kombinasi tetap,
harus memenuhi kriteria
berikut: obat hanya bermanfaat
bagi penderita jika diberikan
dalam bentuk kombinasi
tetap, kombinasi tetap harus
menunjukkan khasiat dan
keamanan yang lebih tinggidaripada masing-masing
komponen, perbandingan dosis
komponen kombinasi tetap
merupakan perbandingan
yang tepat untuk sebagian
besar pasien yang memerlukan
kombinasi tersebut, kombinasi
tetap harus meningkatkan rasiomanfaat-biaya (benet-cost
ratio), dan untuk antibiotik,
kombinasi tetap harus dapat
mencegah atau mengurangi
terjadinya resistensi atau efek
merugikan lainnya.
2. Kebijakan e-catalogue yang
merupakan penetapan harga
obat berdasarkan hasil lelang dan
negosiasi.
Hal tersebut ditetapkan sebagai
salah satu upaya dalam menjamin
kendali mutu dan kendali biaya
dalam pelayanan kesehatan pada
era JKN untuk mencapai patient
safety dimana masyarakat dapat
memperoleh obat yang aman,
bermutum berkhasiat dan cost-
eectiveness.
-
8/19/2019 Infarkes V
18/32
Hal. 18 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
P
rogram Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah
melakukan upaya-upaya strategis dan inovatif padaperiode pembangunan kesehatan 2010-2014 yang
lalu. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan terstruktur
untuk mengatasi tantangan dan mencapai target program
yang telah diamanahkan dalam RPJMN maupun Renstra
Kementerian Kesehatan.
Rapat Konsultasi Teknis Direktorat Bina Pelayanan
Kefarmasian merupakan salah satu forum Nasional yang
diselenggarakan oleh Unit Eselon II Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Forum ini diselenggarakan dalam
rangka berkoordinasi dalam hal teknis pelaksanaan dengan
pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya,
seperti organisasi profesi kefarmasian. Forum ini juga untukmengawali pelaksanaan pembangunan kefarmasian dan alat
kesehatan di periode 2015-2019, atau periode RPJMN ke-III
dalam pembangunan jangka panjang (2004-2025). Kegiatan ini
juga sejalan dengan Kebijakan dan Pemantapan Pelaksanaan
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Periode 2015-2019,
yang telah termuat dalam RPJMN 2015-2019 (Perpres No. 2
Tahun 2015) dan Renstra Kementerian Kesehatan (SK Menkes
No. 52 Tahun 2015).
Pada tahun ini, Rapat Konsultasi Teknis Direktorat Bina
Pelayanan Kefarmasian diselenggarakan di Hotel Royal
Pentingnya Peningkatan
Mutu Pelayanan
KefarmasianRAPAT KONSULTASI TEKNIS
DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
-
8/19/2019 Infarkes V
19/32
Hal. 19 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Kuningan, 8-11 September 2015. Dalam
Rapat Konsultasi Teknis kali ini diadakan
juga paparan mengenai “Peran Serta
Masyarakat dalam Peningkatan POR”
oleh Prof. Sri Suryawati, paparan
mengenai “Seleksi Obat dalam JKN”
oleh Prof. Iwan Dwiprahasto, dan
paparan mengenai “Mutu Pelayanan
Kefarmasian dalam Pelayanan
Kesehatan Primer” oleh Dra. A. Adji
Prayitno Setiadi, M.S., Apt.
Selain paparan, Rakontek Dit
Bina Yanfar kali ini juga mengadakanbeberapa diskusi panel yang dipimpin
oleh Kepala PPSDM, Dirjen BUK,
Dir Bina Oblik & Perbekkes, Kepala
Puskesmas, Direktur BPJS.
Dalam sabutannya Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D
mengatakan di tingkat Ditjen Binfar
dan Alkes telah dilaksanakan Rapat
Konsultasi Nasional di dua regional
pada awal tahun 2015 ini. Rakonas
tersebut telah menghasilkan
rekomendasi kepada Program
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
untuk melanjutkan dan meningkatkan
upaya mewujudkan aksesibilitas, mutu,
dan kemandirian sediaan farmasi
dan alat kesehatan, terutama dalam
rangka mensukseskan program-
program prioritas Kemenkes seperti
Program Indonesia Sehat dan Program
Nusantara Sehat.
“Saya berharap, kita dapatmelaksanakan rekomendasi tersebut.
Program Kefarmasian dan Alat
Kesehatan telah melakukan upaya-
upaya strategis dan inovatif pada
periode pembangunan kesehatan
2010-2014 yang lalu. Upaya-upaya
tersebut dilaksanakan dengan
terstruktur untuk mengatasi tantangan
dan mencapai target program yang
telah diamanahkan dalam RPJMN
maupun Renstra Kementerian
Kesehatan. Walaupun terdapat
beberapa kelemahan dan timbulnya
tantangan baru, saya ingin mengajak
Saudara-saudara sekalian untuk
mencermati capaian program kita
selama 5 tahun terakhir, baik dari sisi
produksi dan distribusi, manajemen
logistik dan perbekalan kesehatan,
sampai kepada pelayanan kefarmasian”
ujar Dirjen Binfar Alkes
Dirjen Binfar dan Alkes mengatakan,
tantangan yang harus diantisipasiProgram dalam periode 2015-2019
adalah disparitas ketersediaan obat
antar region, provinsi, dan kabupaten/
kota. Salah satu penyebab terjadinya
hal ini adalah belum optimalnya
pemanfaatan sistem informasi terkait
manajemen logistik, misal. e-logistic,
pemantauan e-purchasing, sampai
dengan pengendalian harga obat.
Ketersediaan obat dan vaksin akan
-
8/19/2019 Infarkes V
20/32
Hal. 20 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
dipantau sampai ke tingkat Puskesmas.
Selain itu, kualitas manajemen
logistik obat dan perbekkes juga
menjadi perhatian, mengingat semakin
banyak pihak yang menyadari arti
penting pengelolaan obat satu pintu
(terpadu). Dengan demikian, menjadihal yang prioritas bagi kita untuk
meningkatkan manajemen logistik obat
dan perbekkes, terutama di sektor
publik.
Periode 2010-2014 juga telah
diwarnai dengan meningkatnya
penggunaan obat rasional melalui
pelayanan kefarmasian yang berkualitas
untuk tercapainya pelayanan kesehatan
yang optimal. Persentase instalasi
farmasi RS yang melaksanakan
pelayanan kefarmasian sesuai standar
meningkat menjadi 45,9% di tahun
2014 (dari semula 25% di tahun
2010). Penggunaan obat rasional di
puskesmas meningkat menjadi 69,9%
(semula 56,3%). Hal menunjukkan
perbaikan kualitas pelayanankefarmasian, baik di tingkat fasilitas
kesehatan dasar maupun rujukan.
Secara garis besar, saat ini, sudah
cukup banyak regulasi maupun
kebijakan yang mengatur hal-hal yang
terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Standarnya pun sudah disiapkan
untuk beberapa faskes, yaitu untuk
di RS dan apotek. Upaya pemerintah
dalam menjamin akses terhadap obat
yang aman, bermutu, dan terjangkau,
serta meningkatkan penggunaan obat
rasional telah dilakukan. Namun semua
hal tersebut belum berjalan secara
optimal sebagaimana diharapkan.
Untuk itu, pada saat SJSN diterapkan,
secara regulasi, tidak ada perubahanyang berarti.
Regulasi yang sudah ada tetap
diterapkan, tidak bertentangan
dengan regulasi yang terkait SJSN.
Hanya beberapa kebijakan yang
perlu diperkuat, untuk mendukung
implementasi SJSN sesuai ketentuan
yan ada. Misalnya penerapan
Formularium Nasional sebagai
daftar obat yang ditetapkan Menkes
untuk dijamin oleh BPJS, juga sistem
penyediaan obat terpusat ( group
purchasing ) melalui e-catalog, sistem
pemantauan ketersediaan, dsb.
Dengan demikian, dalam SJSN
nanti, tentunya tetap harus sesuai
ketentuan perundangan yang sudah
ada, dan tidak boleh bertentangan.SJSN juga merupakan kesempatan
yang baik sekali bagi Apoteker, untuk
melaksanakan praktik kefarmasian
sebagaimana amanah UU Kesehatan
dan PP 51.
Pelayanan kefarmasian tidak lagi
hanya berfokus pada produk, sebagai
penyedia, tetapi juga berfokus pada
kepuasan pasien ( pharmaceutical care),
Karena setiap provider wajib menjamin
peserta jaminan mendapatkan mutu
pelayanan kesehatan yang terbaik
dengan memanfaatkan sumber daya
yang ada. Sehingga pelayanan berjalan
secara efektif dan esien melalui
sistem kendali mutu sekaligus kendali
biaya. Dengan demikian, diharapkanaksesisibilitas, keterjangkauan dan
penggunaan obat secara rasional dapat
tercapai.
Selain itu, terdapat juga paparan
dari Direktur Bina Upaya Kesehatan
Rujukan Dr. B. Eka A. Wahjoeni,
M.Kes. Dalam paparannya dikatakan,
Strategi Kementerian Kesehatan dalam
mendukung Implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional adalah dengan
meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan
juga meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan itu sendiri.
Untuk memastikan pemerataan
pelayanan kesehatan yang bermutu
di Indonesia maka salah satu target
Rencana Strategis KementerianKesehatan 2015 – 2019 adalah jumlah
Kabupaten/Kota yang memiliki Rumah
Sakit yang terakreditasi. Ditargetkan
pada 2019 sebanyak 481 Kabupaten/
Kota sudah memiliki RS yang
terakreditasi. Saat ini sudah ada 17
Kabupaten/Kota yang sudah memiliki
rumah sakit yang terakreditasi.
LIPUTAN
-
8/19/2019 Infarkes V
21/32
Hal. 21 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Penggunaan obat oleh pasien/masyarakat harus
disertai informasi yang memadai dari tenaga
kesehatan, agar efek pengobatan dapat tercapaidan resiko dapat dihindari, sehingga keselamatan pasien
( patient safety ) dapat terjamin. Program pemberdayaan
masyarakat dalam peningkatan Penggunaan Obat Rasional
(POR) belum menunjukkan hasil yang optimal pada
masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan Gerakan Nasional
untuk meningkatkan kepedulian, kesadaran, pengetahuan
dan pemahaman masyarakat akan penggunaan obat
secara rasional.
Pada tanggal 6-9 Oktober 2015, bertempat di Hotel
Alana Surabaya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI mengadakan pertemuan Sosialisasi GerakanMasyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat).
Pertemuan tersebut bertujuan untuk mensosialisasikan
GeMa CerMat kepada beberapa stakeholder terkait
seperti seksi farmasi dari Dinas Kesehatan Propinsi
seluruh Indonesia, PD IAI Jawa Timur, PC IAI Surabaya,
Fakultas Farmasi dan Kedokteran Universitas Airlangga.
Acara Sosialisasi dibuka secara resmi oleh Direktur
Bina Pelayanan Kefarmasian, Drs. Bayu Teja Muliawan,
M.Pharm, MM, didampingi oleh Kepala Bidang
Pengembangan Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur, Hertanto, SKM, M.Si. Dalam
kegiatan ini juga mengundang Narasumber dari Prof.
Sri Suryawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, PusatPromosi Kesehatan, Pakar Komunikasi Ananto Pratikno
serta praktisi media sosial dan blogger, Mira Sahid. Selain
diberikan paparan, juga diadakan diskusi kelompok, dalam
rangka membahas dan mendapatkan kesepakatan dalam
kebijakan dan tehnis pelaksanaan GeMa CerMat.
Dalam paparannya, Direktur Bina Pelayanan
Kefarmasian menyampaikan tentang Strategi
Pemberdayaan Masyarakat dalam POR. Menurut WHO,
lebih dari 50% obat di dunia diresepkan dan diberikan
secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak esien. Oleh
karena itu, terbalik dengan kondisi tersebut, sepertiga
penduduk dunia kesulitan mendapatkan aksesmemperoleh obat esensial. Denisi POR menurut WHO
adalah pasien menerima obat yang tepat untuk kebutuhan
klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan, untuk
jangka waktu yang cukup, dan pada biaya yang terjangkau
untuknya (secara individu) dan komunitas/masyarakat.
Kebijakan Obat Rasional
Kebijakan obat nasional merupakan dokumen resmi
yang berisi komitmen semua pihak dalam menetapkan
tujuan dan sasaran nasional dibidang obat termasuk
Sosialisasi Gema Cermat
-
8/19/2019 Infarkes V
22/32
Hal. 22 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
prioritas dan strategi dalam
penerapan komponen pokok
kebijakan dalam mencapai tujuan
pembangunan kesehatan. Kebijakan
obat nasional disusun dengan
bertujuan menjamin:
1. Ketersediaan, pemerataan& keterjangkauan obat,
termasuk obat esensial
2. Menjamin
keamanan, khasiat
dan mutu obat
yang beredar
serta melindungi
masyarakat dari
penggunaan
yang salah dan
penyalahgunaan
obat
3. Penggunaan Obat
Yang Rasional.
Dalam hal penggunaan
obat yang rasional, ada 4 (empat)
strategi untuk meningkatkan
penggunaan obat rasional. Pertama,
sisi regulasi. Kebijakan obat esensial
harus didasarkan pada Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN),
Formularium Nasional, PedomanPenggunaan Obat serta kebijakan
kewajiban menggunakan obat
generik untuk seluruh stakeholder.
Kedua, sisi manajerial yang meliputi
implementasi kebijakan dan NSPK
serta koordinasi dengan pemerintah
daerah dan organisasi profesi.
Ketiga, sisi edukasi yang meliputi
peningkatan kompetensi tenaga
kesehatan, kader dan masyarakat
serta sosialisasi pada masyarakat
melalui media promosi. Dan yangkeempat sisi nansial yang meliputi
Penggunaan obat generik (minimisasi
biaya) serta penggunaan obat secara
cost-eective (rasio efektitas-biaya
tinggi).
Metode Edukasi POR
Paparan kemudian dilanjutkan
oleh Prof. Sri Suryawati, Guru
Besar Fakultas Farmasi UGM
yang memaparkan tentang
“Pengembangan metode edukasi
POR oleh masyarakat”. Menurut Prof.
Sri Suryawati, Promosi POR pada
provider saja hanya memperbaiki
sebagian dari masalah penggunaan
obat, karena swamedikasi adalah
pilihan terbanyak masyarakat, karenamasyarakat lebih sering memperoleh
obat dari sarana-sarana distribusi
informal.
Dalam hal perspektif masyarakat
terkait penggunaan obat, lanjut Prof.
Sri, masyarakat pada umumnya
mengobati gejala, bukan penyakitnya.
Hal ini karena tidak semua orang
mempunyai kesempatan untuk
memahami penyakit. “Jadi bila gejala
hilang, diartikan ‘sembuh’, Itu menjadi
salah satu penyebab mengapa tidakmenggunakan antibiotika secara
penuh” ujar Prof. Sri.
Bentuk-bentuk ketidakrasionalan
penggunaan obat yang sering terjadi
di masyarakat ialah diantaranya
menggunakan obat tak sesuai dengan
petunjuk provider, swamedikasi
dengan obat resep temasuk
antibiotika, penggunaan berlebihan
obat yang relatif aman, penggunaan
kombinasi obat yang tidak diperlukan,
serta penggunaan obat mahal
sementara pilihannya yang lebih
murah tersedia.
Data Badan Pusat Statistik juga
menunjukkan bahwa lebih dari
60% masyarakat melakukanpengobatan sendiri.
Hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013
menunjukkan bahwa
35,2% masyarakat
Indonesia
menyimpan obat
di rumah tangga,
baik diperoleh
dari resep dokter
maupun dibeli
sendiri secara
bebas, di antaranya
sebesar 27,8 % adalah
antibiotik. (Kementerian
Kesehatan, 2013).
Metode Cara Belajar Insan
Aktif (CBIA) atau “community based
interactive approach” merupakan
salah satu kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang dapat digunakan
dalam mengedukasi masyarakat
untuk memilih dan menggunakanobat yang benar pada swamedikasi.
Melalui metode ini diharapkan
masyarakat, terutama para ibu agar
lebih aktif dalam mencari informasi
mengenai obat yang digunakan oleh
keluarga. Informasi tersebut dapat
berguna antara lain agar dapat
menggunakan dan mengelola obat di
rumah tangga secara benar. Selain itu
diharapkan agar tujuan self-medication
dapat tercapai secara optimal.
Sumber informasi produk tersebutdapat dicantumkan pada kemasan
maupun package insert/brosur.
Berbeda dengan kegiatan edukasi
atau pelatihan pada umumnya,
kegiatan edukasi masyarakat dengan
metode CBIA dilaksanakan dengan
cara melibatkan peserta secara
aktif. Salah satu studi yang dilakukan
oleh UGM, menunjukkan bahwa
metode CBIA secara signikan dapat
-
8/19/2019 Infarkes V
23/32
Hal. 23 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman peserta dibandingkan
dengan metode ceramah dan tanya
jawab (presentasi/penyuluhan).
Dengan CBIA, peserta dapat
mengingat dengan lebih baik, karena
dilakukan secara aktif dan visualmelalui pengamatan secara langsung.
Tutor dan fasilitator hanya berperan
sebagai pemandu dalam diskusi,
sedangkan informasi lebih lanjut yang
dibutuhkan dapat disampaikan oleh
Narasumber yang diundang. Dengan
demikian kader yang sudah pernah
dilatih, atau mahasiswa juga dapat
dilibatkan sebagai tutor, sedangkan
tenaga kesehatan Puskesmas atau
Dinas Kesehatan dapat menjadi
fasilitator. Narasumber dapat
didatangkan dari profesi apoteker
yang telah berpengalaman.
Dalam CBIA, peserta dapat
terdiri dari ibu rumah tangga,
kader kesehatan (posyandu), tokoh
masyarakat, anggota tim penggerak
PKK, atau unsur/organisasi
masyarakat lainnya. Untuk melatih
cara melaksanakan CBIA, dilakukan
pelatihan untuk pelatih (training of
trainer , TOT) sekaligus melibatkankader kesehatan di Puskesmas atau
unsur masyarakat sebagai peserta
edukasi secara langsung. Kegiatan
TOT yang dilaksanakan di Propinsi
umumnya melibatkan peserta
dari Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota dan/atau tenaga kesehatan
Puskesmas setempat serta kader
kesehatan (Posyandu) atau unsur/
organisasi masyarakat lainnya.
Komunikasi UntukMeningkatkan POR
Untuk mencapai target
peningkatan POR di masyarakat,
harus ada komunikasi yang efektif
dari semua pihak yang terkait. Untuk
itu, pakar komunikasi Ananto Pratikno
menjelaskan tips-tips berkomunikasi
yang efektif. Komunikasi berawal dari
gagasan yang ada pada seseorang.
Gagasan ini diolah menjadi pesan
dan dikirim melalui media tertentu
kepada orang lain sebagai penerima.
Penerima menerima pesan,
dan sesudah mengerti isi pesan
itu kemudian menanggapi dan
menyampaikan tanggapannya kepada
pengirim pesan.Penggunaan media untuk
menyampaikan pesan dapat
mengalami gangguan atau hambatan
yang akan mengurangi kemampuan
untuk mengirim dan menerima
pesan. Gangguan komunikasi
tersebut antara lain : pengacau
indra, suara keras atau lemah, bau
menyengat, atau udara panas. Selain
itu ada faktor pribadi antara lain,
prasangka, lamunan, perasaan tidak
mampu.
Komunikasi terjadi pada situasi
antara lain; waktu, tempat, cuaca
iklim dalam keadaan alam serta
psikologi tertentu. Situasi ini dapat
terjadi secara alamia, terjadi dengansendirinya, atau direkayasa karena
dibuat manusia. Situasi ini dapat
resmi formal, tetapi dapat juga
resmi nonformal. Situasi dapat
mempengaruhi jalannya komunikasi
dan tentu saja hasilnya. Oleh karena
itu, pada waktu berkomunikasi
dengan orang lain, kita tidak hanya
mempertimbangkan isi dan cara
menyampaikan tetapi juga melihat
situasi ketika berkomunikasi akan
disampaikan.
Selain melibatkan peran serta
masyarakat di ‘dunia nyata’,
peningkatan POR juga bisa
dilakukan di ‘dunia maya’. Saat
ini, perkembangan dunia mayabegitu cepat telah mengubah
tatanan masyarakat. Apabila sosial
media berhasil digunakan untuk
peningkatan POR, penyebarannya
ke masyarakat bisa lebih massif dan
lebih banyak lapisan masyarakat yang
merasakan.
Hal itu disampaikan oleh Mira
Sahid, SPd., seorang praktisi sosial
media yang sekaligus founder
kumpulan emak blogger. Menurut
Mira Sahid, Media Sosial merupakan
sebuah upaya baru untuk mendorong
geliat insudtri kreatif. Menurut
wikipedia Sosial media adalah
sebuah media online, dimana
para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi,
dan menciptakan isi meliputi
berbagai media seperti blog,
jejaring, wiki, forum dan dunia
virtual. Blog, jejaring sosial
dan wiki merupakan bentukmedia sosial yang paling umum
digunakan oleh masyarakat di
seluruh dunia.
Di era digital seperti saat ini,
hampir semua orang terkena sindrom
media sosial. Artinya pola hidup dan
tingkah laku seseorang sedikit banyak
bergantung pada keberadaan media-
media sosial yang tersedia. Berbagai
situs jejaring sosial hadir untuk
mewadahi hasrat manusia untuk
saling berkomunikasi dengan oranglain.
Mengapa informasi saat ini lebih
banyak menyebar lewat media
sosial? Ada beberapa kelebihan
media sosial dibanding media lain.
Diantaranya adalah biaya relatif lebih
terjangkau, akses luas tanpa batas,
mudah diakses oleh seluruh lapisan
konsumen, mudah dioperasikan .
-
8/19/2019 Infarkes V
24/32
Hal. 24 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
-
8/19/2019 Infarkes V
25/32
Hal. 25 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Kementerian Kesehatan mendukung penuh
pembangunan kesehatan di Provinsi Kepulauan
Riau, hal itu ditegaskan Menkes pada sambutan
dan dialog langsung dengan peserta rapat kerja
kesehatan daerah (rakerkesda) Kepulauan Riau yang
digelar di hotel Allium Batam(12/10)
Keseriusan Kementerian Kesehatan ditunjukan
dengan hadirnya para pejabat Eselon I Kementerian
Kesehatan diantaranya Inspektur Jenderal, Kepala BadanPPSDM, Direktur BUK Rujukan, Kepala Pusat Pembiayaan
dan Jaminan Kesehatan, SAM Bidang Mediko Legal, dan
para Eselon III & IV terkait
Rakerkesda tahun 2015 ini mengusung tema
Optimalisasi Pembangunan Kesehatan dalam
Menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Tahun 2015 di Provinsi Kepulauan Riau, adapun
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI sekaligus Pembina
Menyongsong MEA Masyarakat Harus MenikmatiLayanan Kesehatan
Menyongsong MEA,
masyarakat harus menikmati
layanan kesehatan. Untuk itu
harus ada upaya meningkatkan
SDM, melengkapi saranakesehatan dan ketersediaan
obat. Seluruh masalah harus
mendapat solusi dari Rapat
Kerja Kesehatan Daerah ini.
-
8/19/2019 Infarkes V
26/32
Hal. 26 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Wilayah Kesehatan Wilayah Kepri,
menjelaskan bahwa pemilihan tema
kali ini, seiring dengan dinamika
kesehatan di tingkat regional Asean
yang terus berkembang.
Bagi Provinsi Kepri, tema yangdiambil sangat tepat karena daerah
ini adalah wilayah yang berbatas
dengan negara luar. Dirjen juga
menyoroti agar persoalan pelayanan
kesehatan yang senantiasa diberikan,
agar bisa terus ditingkatkan.
Termasuk, terus meningkatkan
sumber daya manusia di bidang
kesehatan. Sehingga muaranya,
persoalan kesehatan seperti Kepri
yang wilayahnya merupakan lintas
batas, pelayanan kesehatan bisa
maksimal diberikan.
Pembangunan sektor kesehatanterus dimaksimalkan, terlebih
menyongsong diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
akhir tahun ini, sehingga diharapkan
dengan memaksimalkan sektor
kesehatan, masyarakat akan lebih
siap menyambut dan menyongsong
masyarakat ekonomi Asean.
Rapat Kerja Kesehatan Daerah
(Rakerkesda) 2015 Provinsi Kepulauan
Riau dibuka secara resmi oleh Pj.
Gubernur Agung Mulyana di Hotel
Allium Jodoh Kota Batam, Minggu
(11/10). Dalam sambutannya Agung
Mulyana menjelaskan, pentingnyapembangunan bidang kesehatan
2016 yang harus disusun secara
cermat sebagai fondasi untuk
menaruh arah kebijakan kesehatan
yang tepat. Ini penting, sesuai
Rencana Pembangunan Kesehatan
Jangka Menengah Provinsi Kepri,
pembangunan bidang kesehatan
harus sesuai dengan arah kebijakan
yang telah kita susun. Sehingga
masyarakat kita di tahun 2016 nanti,
bisa menikmati pelayanan kesehatan
sesuai dengan yang seharusnya.
Selain menyoroti persoalanpembangunan bidang kesehatan,
Pj Gubernur juga menekankan
pentingnya peluang investasi
dibidang alat kesehatan. Dan untuk
peluang itu, Kepri memiliki nilai lebih,
guna menunjang peluang investasi
tersebut dan menekankan pentingnya
esiensi dana BPJS Kesehatan agar
dana yang tersedia bisa benar-benar
termanfaatkan untuk membantu
kesehatan masyarakat.
Sementara itu Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Kepri Tjetjep
Yudiana, SKM, M.Kes, menjelaskan,
Rakerkesda diharapkan bisamenjawab kompleksnya
permasalahan kesehatan yang
terus berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Saat ini
memang permasalahan kesehatan
terus berkembang dengan kompleks.
Ini yang akan kita coba bahas dan
cari solusi, guna mengatasi persoalan
kesehatan tersebut, jelasnya.
Rakerkesda sendiri diikuti 128
orang dari para Kepala Dinas provinsi
kabupaten/kota, Direktur rumah sakit
Doker dan Dokter Keluarga yang
bertugas di daerah, BPJS Kesehatandan juga para pelaku kesehatan di
Kepri.
Rakerkesda dilangsungkan dari
tanggal 11 – 14 Oktober 2015 dengan
membahas berbagai program
kesehatan yang dilaksanakan dan
perencanaan kedepan dalam
pembangunan kesehatan di
kepulauan Riau. (humasbinfar_RD)
-
8/19/2019 Infarkes V
27/32
Hal. 27 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Peningkatan Kapasitas PenanggungJawab Teknis Bidang Obat Tradisional
Indonesia memiliki lebih dari
30.000 spesies tanaman obat
dari 40.000 tanaman obat
yang ada di seluruh dunia. Hal itu
merupakan potensi yang besar bagipengembangan usaha industri obat
tradisional. Oleh karena itu, demi
terjaminnya mutu produk maka
semua proses mulai dari hulu hingga
hilir perlu menerapkan manajemen
jaminan mutu.
Dalam rangka meningkatan
kemampuan penanggung jawab
teknis di Industri/Usaha Obat
Tradisional sehingga dapat
menghasilkan obat yang memenuhistandar mutu dan mampu bersaing
di pasar nasional maupun global,
telah diselenggarakan “Peningkatan
kapasitas Penanggung Jawab
Teknis Bidang Obat Tradisional”
oleh Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian Ditjen Binfar
dan Alkes Kemenkes RI. Kegiatan
tersebut dibuka oleh Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Dra. Maura Linda Sitanggang Ph.D
hari Senin, 12 Oktober 2015 di Hotel
Quest Semarang.
Kegiatan ini dihadiri oleh 60
peserta dari Dinkes Jawa Tengahdan Dinkes Jawa Timur. Kegiatan ini
juga diisi oleh materi paparan dari
BPOM mengenai “Implementasi
CPOTB dalam Pemastian Mutu
Produk Obat Tradisional”, paparan
mengenai “Peningkatan Daya Saing
UMKM Bidang Obat Tradisional”
dari Deputi Pemasaran dan Jaringan
Usaha Kementerian UMKM,
paparan dari IAI mengenai “Praktek
Bertanggung jawab Apoteker diIndustri Obat Tradisional”, paparan
mengenai Peluang dan tantangan
Pengembangan Obat Tradisional” dari
GP Jamu.
Dalam kegiatan tersebut, Dirjen
Binfar Alkes memaparkan mengenai
“Kebijakan Kementerian Kesehatan
dalam Pengembangan Industri dan
usaha Obat Tradisional”. Dalam
paparannya, Dirjen Binfar dan
Alkes menjelaskan pengembangan
industri obat tradisional bertujuan
mendorong pemanfaatan sumber
daya alam dan ramuan tradisional
secara berkelanjutan, menjaminpengelolaan potensi alam Indonesia
agar memiliki daya saing, tersedianya
obat tradisional menjadikan obat
tradisional sebagai komoditi unggul.
Untuk mendukung kegiatan
pengembangan industri obat
tradisional, perlu dilakukan beberapa
rencana aksi. Diantaranya adalah:
memilih duta jamu dari kalangan
public gure; adanya talase jamu di
instansi pemerintah dan Puskesmas;Iklan layanan masyarakat melalui
media cetak dan elektronik; adanya
Bulog bahan baku obat tradisional;
adanya laboratorium pendukung;
membuat gerakan nasional yang
berdaya ungkit; serta menyusun peta
jalan pengembangan obat tradisional
(hulu-hilir).
Nilai eksport OT Indonesia tahun
2013 mencapai US$ 23,44 juta.
-
8/19/2019 Infarkes V
28/32
Hal. 28 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
LIPUTAN
Sedangkan nilai ekspor periode
Januari – Juni 2014 sebesar
US$ 29,13 juta, mengalami
peningkatan 600% dari nilai
eksport Januari – Juni 2013.
Pertumbuhan eksport OTIndonesia periode 2009 –
2013 mengalami kenaikan
rata2 sebesar 6,49% per
tahun. Negara-negara tujuan
ekspor Obat Tradisional
Indonesia ialah Pakistan,
Bangladesh,Malaysia, Vietnam,
dan Jepang.
Strategi yang dipaparkan
dalam mengembangkan
Industri Jamu di Indonesiadiantaranya adalah
peningkatan ketersediaan
bahan baku obat tradisional
yang terstandar, membangun
networking, sertikasi lembaga
penjaminan mutu bahan baku.
koordinasi pengembangan bahan
baku terstandar dengan stakeholder,
pengembangan produk yang
terkait dengan mutu, regulasi, dan
pemasarannya ditingkat nasionalregional dan global
Namun demikian, dalam
mengembangkan Industri Jamu
di Indonesia masih menemukan
banyakn kendala. Diantara
kendala-kendala yang ada yaitu
data registrasi OT di Badan POM
menunjukkan bahwa sekitar 70 %
obat Tradisional (Jamu) diproduksi
oleh usaha Mikro Kecil dan
Menengah, permasalahan utamayang dihadapi UMKM OT adalah
keterbatasan SDM yang akhirnya
menyulitkan dalam memahami
regulasi, dan mengaplikasikan
serta mematuhi secara konsisten.
Kemudian ketidakmampuan UMKM
OT dalam melengkapi dokumen
registrasi seringkali menyebabkan
terhambatnya proses registrasi
produk UMKM.
Kendala-kendala yang lain
ialah kurangnya koordinasi
antara Dinas-Dinas terkait dalam
pengembangan, penelitian dan
sosialisasi serta pemasaran industri
jamu, dunia kesehatan masih
belum bisa menerima jamu sebagai
pelayanan kesehatan formal, belumadanya pendidikan jamu secara
komprehensif, belum semua industri
Obat Tradisional memenuhi CPOTB.
Walaupun masih mengalami
beberapa kendala, Industri Jamu di
Indonesia masih memiliki peluang
yang sangat bagus. Beberapa
peluang yang ada adalah gaya hidup
masyarakat tentang kesehatan dan
kecantikan yang semakin meningkat
(back to nature), potensi pangsapasar ekspor, dukungan pemerintah
dalam membudayakan jamu dengan
membuat pojok jamu dan gerakan
minum jamu bersama, saintikasi
jamu yang dihasilkan digunakan
untuk terapi komplementer difasilitas
kesehatan oleh karena itu perlu
sinergitas pemerintah pusat daerah,
pengusaha dan akademisi untuk
mewujudkannya, tingginya potensi
pasar lokal dan global.
Sementara itu, untuk
meningkatkan daya saing Industri
Jamu dan Obat Tradisional,
diberikanlah paparan mengenai
“Peningkatan Daya Saing UMKM
Bidang Obat Tradisional” dari Deputi
Pemasaran dan Jaringan Usaha
Kementerian UMKM. Permasalahanumum yang terjadi pada sektor
UMKM di Indonesia adalah kurangnya
wawasan dan pola pikir UMKM
untuk mempromosikan produk-
produk unggulan daerah, kurangnya
kesadaran akan peningkatan
kualitas produk, kurangnya akses
untuk mempromosikan produk
UMKM, pengolahan produksi masih
menggunakan teknologi yang bersifat
tradisional, sistem Manajemen yangmasih tidak terkelola dengan baik,
kemampuan pemasaran Produk
yang terbatas, terbatasnya tingkat
produksi pemesanan produk oleh
pembeli, rendahnya akses informasi
pemasaran produk, legalitas formal
dan perlindungan usaha yang belum
memadai, terbatasnya akses kredit
pada lembaga keuangan.
-
8/19/2019 Infarkes V
29/32
Hal. 29 l Bulen INFARKES Edisi V - September 2015
ARTIKEL
Buah Merah Kaya Akan ManfaatOleh : Vivi S. Ariany, S.Ked
Tahukah kalian manfaat
Buah Merah untuk
kesehatan kita? Buah
asli endemik dari Papua ini
merupakan buah asli Papua yang
tidak bisa ditemukan di Pulaulain. Papua bukan saja memiliki
kekayaan alam tambang saja,
tetapi banyak keanekaragaman
dan tumbuhan lain disana.
Buah merah adalah sejenis
buah tradisional dari Papua. Oleh
masyarakat Wamena, Papua.
Buah ini disebut Kuansu. Nama
ilmiahnya Pandanus Conoideus
karena tanaman buah merah
termasuk tanaman keluargapanda-pandanan dengan pohon
menyerupai pandan, tinggi
tanaman ini dapat mencapai
16 meter dengan batang bebas
cabang sendiri setinggi 5-8 m.
Kultivar buah berbe