influence of solvent on the structure and performance of cellulose acetate membranes

30
INFLUENCE OF SOLVENT ON THE STRUCTURE AND PERFORMANCE OF CELLULOSE ACETATE MEMBRANES Oleh: Tia Lestari NIM. 101810301012 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2014

Upload: lestari-tia

Post on 29-Dec-2015

89 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

INFLUENCE OF SOLVENT ON THE STRUCTURE AND

PERFORMANCE OF CELLULOSE ACETATE MEMBRANES

Oleh:

Tia Lestari

NIM. 101810301012

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS JEMBER

2014

Page 2: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Influence Of Solvent On The Structure And Performance

Of Cellulose Acetate Membranes

Zhansheng Li ∗, Jizhong Ren, Anthony G. Fane, Dong Fei Li, Fook-Sin Wong

Institute of Environmental Science and Engineering, School of Civil and Environmental Engineering,

Nanyang Technological University,

Innovation Centre, Block 2, Unit 237, 18 Nanyang Drive, Singapore 637723, Singapore

Received 29 April 2005; received in revised form 2 December 2005; accepted 24 December 2005

Available online 31 January 2006

ABSTRAK

Proses liquid-liquid demixing selulosa asetat (CA) dalam dua pelarut non-

volatil yaitu N-metil-2-pirolidon (NMP) dan -Butyrolactone (GBL) yang

terkoagulasi dalam bak air. Dikarenakan solvabilitas GBL untuk selulosa asetat

relatif kecil dan interaksi yang lebih tinggi terhadap air, maka sistem

CA/GBL/H2O mengalami delayed liquid-liquid demixing, sedangkan

CA/NMP/H2O secara isntantaneous. Kualitas pelarut dan interaksi antara non-

pelarut dan pelarut menghasilkan perilaku liquid-liquid demixing dan struktur

membran yang berbeda. Dengan menyesuaikan konten GBL dalam campuran

pelarut, sehingga dipelajari pengaruh pelarut pada struktur membran dan kinerja

secara sistematis. Struktur membran mengikuti perubahan rasio NMP/GBL. Rasio

kritis NMP/GBL tampaknya menunjukkan transisi dari struktur membran dari

makrovoid menjadi spons.

Page 3: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencelupan merupakan metode yang paling umum digunakan dalam

pembuatan membran (Baker, 2004), (Nunes, 2001), dan (Witte, 1996). Suatu

larutan polimer yang homogen dicetak sebagai film tipis atau hollow (berserat)

dan kemudian direndam ke dalam bak koagulasi yang berisikan larutan non-

pelarut. Dikarenakan pertukaran pelarut dan non-pelarut terjadi antara larutan

polimer dan bak koagulasi, fase pemisahan larutan polimer diinduksikan untuk

membentuk fase-fase yang kaya polimer dan kurang polimer. Kemudian proses

vitrifikasi atau gelasi berlangsung untuk memperbaiki struktur membran. Struktur

membran dipengaruhi oleh termodinamika dan aspek kinetik dari sistem.

Meskipun proses pembentukan membran memberikan fenomena interaksi yang

berbeda, telah diterima secara luas bahwa liquid-liquid demixing memainkan

peran penting dalam proses ini. Umumnya, proses delayed demixing biasanya

menghasilkan membran yang tebal dan padat pada lapisan atas (Top-layer) dan

sub-layer dengan struktur seperti spons, sedangkan instantaneous demixing

biasanya menghasilkan membran tipis, berpori pada lapisan atas (Top-layer) dan

sub-layer dengan struktur makrovoid.

Salah satu cara paling sederhana dan paling efisien untuk mengetahui

peran liquid-liquid demixing selama pembentukan membran yaitu dengan

menggunakan teknik pencelupan dengan menggunakan campuran pelarut biner

yang dapat menimbulkan perubahan morfologi besar sebagai fungsi dari rasio

antara dua pelarut (Kools, 1998), (Shieh, 2001), dan (Albrecth, 2001). Kools

(1998) secara sistematik mempelajari morfologi yang berbeda yang diperoleh dari

larutan polysulfone/ N-methyl-2-pyrrolidone (NMP)/ tetrahidrofuran (THF)

dengan berbagai rasio NMP/THF yang terkoagulasi dalam bak air.

Polisulfon/NMP/air menggunakan sistem instantaneous demixing, menghasilkan

membran yang mengandung makrovoid besar, sementara polisulfon/THF/air

menggunakan sistem delayed demixing, dan keseluruhan film hampir padat

dengan struktur sel tertutup. Dengan meningkatkan ukuran THF pada pelarut,

tidak hanya jumlah dari makrovoid berkurang tetapi juga memperluas makrovoid.

Page 4: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Shieh dan Chung (1998) meneliti efek dari liquid-liquid demixing pada morfologi

membran dan kinerja selulosa asetat (CA) hollow fiber dengan menyesuaikan

rasio NMP dan THF dalam campuran pelarut biner. Sistem CA/NMP/H2O secara

instantaneous liquid-liquid demixing, sedangkan sistem CA/THF/H2O secara

delayed. Dengan peningkatan ukuran THF yang diberikan, waktu yang dicapai

pada fasa liquid-liquid demixing semakin meningkat, dan bentuk tetesan

makrovoid menjadi lebih kecil. Kombinasi dari pelarut volatil dan non volatile

digunakan dalam studi ini. Namun, sifat tetrahidrofuran yang tinggi

menjadikannya pelarut yang tidak menguntungkan dalam pembuatan membran

karena penanganan yang rumit serta berbahaya atau mudah terbakar. Selain itu,

sifatnya yang mudah menguap akan membuat pengamatan liquid-liquid demixing

menjadi lebih rumit.

Albrecht et., al (2001) menyelidiki mekanisme pembentukan makrovoid

dengan mengubah komposisi pada lerutan dope. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan adanya variasi dari komposisi pelarut, morfologi membran dapat

bervariasi dari makrovoid hingga struktur seperti spons di bawah kondisi

instantaneous demixing. Diamati keadaan termodinamika larutan dope dan

kinetika dari fasa inversi pada dua jenis makrovoid pada penampang membran

yang berbeda. Namun, diketahui bahwa proses pembentukan serat hollow sangat

berbeda dengan pembentukan membran flat-sheet (Shieh, 1998). Dibandingkan

dengan proses pembentukan serat berongga yang cukup rumit, pembentukan

membran flat-sheet sampai batas tertentu lebih cocok untuk mengetahui

mekanisme dari proses liquid-liquid demixing.

Di sisi lain, Peinemann et., al (1998) menghasilkan membran yang sangat

baik menggunakan -Butyrolactone (GBL) dan modifikator yang biasanya

menimbulkan struktur membran seperti spons. Untuk selulosa asetat, -

butyrolactone adalah pelarut yang menarik karena dapat menggabungkan sifat

non-volatilitas, tingkat pelarutan air dan sifat kelarutan polimer. Namun,

pembentukan membran selulosa asetat menggunakan GBL jarang dibahas dalam

literatur. Melalui campuran CA/NMP/GBL/trietilen glikol pada 170oC dalam bak

yang didalamnya terdapat NMP, GBL dan trietilenglikol, Noriyuki et., al (1998)

Page 5: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

menghasilkan membran selulosa asetat serat hollow yang digunakan untuk

hemodialisis. Mereka juga menunjukkan bahwa tingkat koagulasi terjadi secara

cepat dengan menggunakan NMP sebagai pelarut, sedangkan koagulasi secara

lambat terjadi dengan menggunakan GBL sebagai pelarut pada sistem.

Dalam penelitian ini, selulosa asetat terpilih sebagai polimer karena

penggunaan yang luas sebagai bahan membran yang yang digunakan dalam

pemisahan gas hingga mikrofiltrasi. Terlebih sifat karena sifat foulingresistant,

permukaan netral dan hidrofilik membuat selulosa asetat sering sigunakan sebagai

bahan membran yang populer untuk digunakan dalam pengolahan air limbah

(Nunes, 2001). Dilakukan pengamatan terhadap liquid-liquid demixing dari

larutan biner CA/NMP dan CA/GBL dalam bak koagulasi. Setelah itu, diamati

pula pengaruh variasi sistematis rasio dari dua pelarut non-volatil NMP dan GBL

terhadap struktur dan kinerja membran selulosa asetat.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana karakteristik larutan biner polimer dalam sistem pelarut yang

berbeda?

Bagaimana pengaruh penambahan larutan biner CA/NMP dan CA/GBL

dalam bak koagulasi terhadap proses liquid-liquid demixing?

Bagaimana pengaruh variasi sistematis rasio dari dua pelarut non-volatil

NMP dan GBL terhadap struktur dan kinerja membran selulosa asetat?

1.3 Tujuan

Mengetahui karakteristik larutan biner polimer dalam sistem pelarut yang

berbeda.

Mengetahui pengaruh penambahan larutan biner CA/NMP dan CA/GBL

dalam bak koagulasi terhadap proses liquid-liquid demixing.

Mengetahui pengaruh variasi sistematis rasio dari dua pelarut non-volatil

NMP dan GBL terhadap struktur dan kinerja membran selulosa asetat.

Page 6: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Membran

Membran merupakan suatu lembaran tipis atau film yang memiliki sifat

fleksibel, selektif dan semipermeable. Sehingga membran banyak digunakan

sebagai media pemisahan, seperti contoh dalam proses pemurnian air (Wenten,

2000). Membran ini berfungsi sebagai lapisan permselektif yang mengatur laju

perpindahan suatu komponen dari campuranya. Membran tersebut dapat bersifat

netral atau memiliki muatan listrik, dapat berpori (porous) atau tidak berpori (non-

porous). Prinsip pemisahan dengan menggunakan membran dapat dilihat dalam

gambar 1.

gambar 1. Proses pemisahan dengan membran

Suatu larutan umpan dimasukkan melewati membran. Kemudian lairan umpan

dipisahkan menjadi dua aliran, yaitu aliran permeat dan retentat. Permeat

merupakan komponen yang dapat melewati membran, sedangkan aliran retentat

merupakan komponen yang tidak dapat melewati membran.

Proses pemisahan dengan membran terjadi akibat daya dorong yang dapat

berupa gradien atau perbedaan konsentrasi ( C), tekanan ( ), potensial elektrik

( E), dan temperatur ( T), yang mana hal tersebut dapat memungkinkan

terjadinya perpindahan massa dari satu fasa ke fasa yang lainnya melalui

membran. Proses ini dapat ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Proses pemisahan menggunakan membran

dengan adanya gaya dorong

Page 7: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Berdasarkan kemampuan dalam memisahkan dan melewatkan komponen

yang terkandung dalam larutan umpan, proses pemisahan membran dapat

dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF),

nanofiltrasi (NF), reverse osmosis (RO), distilasi, pervaporasi, dan elektrodialisis.

Semakin kecil pori membran yang digunakan, pada dasarnya memperbesar

nilai tahanan hidrodinamiknya, sehingga tekanan opersi yang diperlukan juga

semakin besar. Namun, nilai fluks yang didapatkan semakin kecil. Nilai fluks ini

ditentukan oleh nilai tekanan operasi dan tahanan (permeabilitas) dari membran.

Nilai rentang tekanan operasi dan fluks yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Rentang nilai tekanan operasi dan fluks (Mulder, 1996)

Proses Membran Rentang Tekanan

(bar)

Rentang Fluks

(L/m-2

jam-1

)

Mikrofiltrasi 0,1 – 2,0 >50

Ultrafiltrasi 1,0 – 5,0 10 – 50

Nanofiltrasi 5,0 – 20 1,4 – 12

Reverse Osmosis 10 – 100 0,05 – 1,4

Kinerja atau efisiensi proses pemisahan dengan menggunakan membran

ditentukan oleh nilai selektivitas dan fluks.

a. Selektivitas

Merupakan sutau ukuran laju permeasi relative suatu komponen yang

dipisahkan melalui membran. Selektivitas dapat dinyatakan sebagai rejeksi

atau retensi (R) ataupun faktor pemisah ( ). Rejeksi dihitung

menggunakan rumus berikut:

Dimana Cf dan Cp adalah nilai konsentrasi cat terlarut dalam umpan dan

permeat. Sedangkan untuk campuran gas atau cairan organik, selektivitas

biasanya dinyatakan sebagai faktor pemisah ( ) yang ditentukan

menggunakan persamaan berikut:

Page 8: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Dimana yA dan yB secara berturut-turu merupakan nilai dari koncentrasi

komponen A dan B dalam permeat, sedangkan xA dan xB dalam umpan.

Proses pemisahan yang baik dinyatakan dengan nilai yang lebih dari 1.

b. Fluks

Merupakan laju alir volumetric suatu larutan melalui membran per satuan

luas permukaan membran per satuan waktu. Nilai tersebut dapat

ditentukan menggunakan rumus dasar sebagai berikut:

Membrane merupakan bagian yang paling penting dalam proses pemisahan.

Material pembentuk membran secara umum dapat dikelompokkn menjadi tiga

bagian yaitu:

Bahan sintetik, yaitu berbagai polimer dan elastomer seperti poliamida,

polisulfon, dan polikarbonat.

Bahan alami yang termodifikasi seperti selulosa asetat, selulosa

asetobutirat, dan selulosa nitrat.

Bahan anorganik seperti ZrO2-asam poliakrilat, ZrO2-karbon, dan Al2O3.

Adapun karakteristik yang diharapkan pada membran yaitu:

Tahan terhadap bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses

pengolahan awal (pre-treatment), contoh penggunaan senyawa klor untuk

membunuh mikroorganisme.

Tahan terhadap tekanan mekanik dan temperature operasi yang tinggi.

Permeabilitas tinggi.

Selektivitas atau rejeksi yang tinggi.

Operasi yang stabil dengan waktu penggunaan yang cukup lama dan biaya

operasi yang rendah.

Berdasarkan strukturnya membran dapat dibedakan atas membrane simetrik dan

asimetrik yang ditunjukkan pada gambar 3.

Page 9: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Gambar 3. Membran simetrik dan asimetrik

Membrane simetrik terdiri dari satu lapisan, baik membrane berpori

maupun yang tidak berpori dengan ketebalan antara 10 hingga 200 m.

Tahanan perpindahan massa ditentukan oleh ketebalan membran. Semakin

tipis membran, maka laju permeasi yang dihasilkan juga semakin tinggi

(fluks). Akan tetapi, jika membran semakin tipis, maka membran semakin

mudah rusak akibat adanya tekanan mekanik.

Membrane asimetrik terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan atas (top layer)

yang tipis dan sangat rapat serta lapisan menyangga (support). Lapisan

atas berfungsi sebagai media pemisah dengan ketebalan antara 0,1 hingga

0,5 m. Lapisan ini menentukan nilai dari tahanan perpindahan.

Sedangkan lapisan penyangga merupakan lapisan berpori (porous

sublayer) yang memiliki tahanan perpindahan massa yang kecil dnegan

ketebalan layer antara 50 hingga 150 m. Membran ini memberikan nilai

fluks dan selektifitas yang tinggi dengan adanya lapisan atas dengan pori

yang rapat dan tipis. Membran ini memiliki ketahanan mekanik yang

cukup tinggi karena memiliki lapisan penyangga yang cukup tebal

(Gruenwedel dan Whitaker, 1987).

Fluks dan selektivitas merupakan sutau nilai yang sangat penting untuk

menentukan kualitas membrane yang dihasilkan. Jika material membran telah

Page 10: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

dipilih berdasarkan sifat-sfat intrinsiknya, nilai fluks dapat ditingkatkan dengan

mengurangi ketebalan membran.

2.2 Teknik Pembuatan Membran

Secara umum membran dapat dibuat melalui beberapa teknik yaitu

sintering, track-etcing, template-leaching, coating, dan inversi fasa. Dalam

penelitian ini digunakan metode inversi fasa untuk mempermudah dalam

pembuatan membran. Proses pembuatan membrane menggunakan metode inversi

fasa dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Proses inversi fasa (Javiya, 2008)

Teknik ini memfokuskan pada proses transformasi polimer membrane yang

terkendali dari fasa cair menjadi fasa padatan. Proses pemadatan dimulai dengan

transisi dari fasa satu cairan menjadi dua cairan (liquid-liquid demixing). Salah

satu fasa cair (fasa polimer koncentrasi tinggi) akan memadat sehingga terbentuk

matriks padatan. Dengan memberikan beberapa pengaturan sedikit pada proses

transisi ini, morfologi membran (berpori atau tidak berpori) yang terbentuk dapat

dikendalikan. Adapun beberapa teknik pengendapan yang digunakan dalam

metode inversi fasa yaitu

a) Presipitasi melalui penguapan pelarut

Proses ini diawali dengan melarutkan polimer membran dengan pelarut

dan kemudian dilakukan pencetakan. Pelarut kemudian dibiarkan menguap

dalam udara terbuka sehingga menghasilkan membrane yang simetrik

homogen dan rapat.

b) Prepitasi dari fasa uap

Larutan polimer yang telah dicetak (larutan casting) dimasukkan dalam

ruangan yang mengandung uap non-pelarut dan uap jenuh pelarut. Oleh

Page 11: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

adanya kondisi jenuh pada fasa uap dalam ruangan tersebut menjadikan

proses penguapan pelarut terhalangi, sehingga terbentuklah membran oleh

adanya proses difusi non-pelarut kedalah polimer dan menghasilkan

membran berpori tanpa top layer.

c) Presipitasi dengan penguapan terkendali

Polimer dilarutkan dalam campuran pelarut dan non-pelarut. Pelarut yang

digunakan harus memiliki sifat yang sangat mudah menguap. Membran

yang dihasilkan yaitu membrane asimetrik.

d) Presipitasi termal

Proses ini dibantu dengan adanya suhu. Dimana suhu ruangan penguapan

dikondisikan rendah sehingga menurunkan tingkat kelarutan pelarut yang

digunakan, sehingga membentuk membran yang asimetrik.

e) Presipitasi imersi

Prose ini diawali dengan pelarutan polimer membran dalam pelarut,

kemudian campuran tersebut dicetak dan dilakukan pengendapan

menggunakan bak air, sehingga terjadi pertukaran pelarut dan non-pelarut

dan terjadi koagulasi didalamnya. Morfologi membran yang dihasilkan

asimetrik dan simetrik tergantuk proses penguapan yang dilakukan.

2.3 Metode Presipitasi Imersi

Larutan polimer dicelupkan kedalam bak koagulasi yang berisi non-pelarut.

Pelarut tersebut akan berdifusdi kedalam bak koagulasi sedangkan non-pelarut

akan berdifusi ke dalam lapisan polimer. Kemudian secara termodinamika larutan

dalam bak menjadi tidak stabil dan akhirnya terjadi demixing. Struktur membrane

asimetrik diperoleh sebagai kombinasi proses perpindahan massa dengan proses

pemisahan fasa. Mekanisme pembentukan membrane asimetrik dapat dijelaskan

melalui diagram segitiga (terner) yang terdiri dari komponen-komponen polimer,

pelarut, dan non-pelarut (sebagai presipitator).

Page 12: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Gambar 4. Diagram segitiga system polimer/pelarut/non-pelarut

Diagram diatas menjelaskan proses terjadinya presipitasi imersi. Diagram tersebut

dibagi menjadi dua fasa yaitu satu fasa dan dua fasa. Daerah kurva D-L

merupakan kurva bimodal yang emrupakan tempat dimulainya proses pemisahan

cairan (liquid-liquid demixing). Pada daerah satu fasa tersebut terbentuk larutan

yang homogen. Komposisi larutan polimer dalam pelarut setetlah proses

pencetakan (casting) atau yang biasa disebut dengan larutan dope terletak pada

titik A. pada proses presipitasi dalam bak koagulasi yang mengandung non-

pelarut, terjadi difusi pelarut ke dalam non-pelarut sampai titik B. Pada titik B

terjadi pembentukan dua fasa. Dan terdapat pula pembentukan gel yang

menyebebkan seluruh pelarut berdifusi ke dalam non-pelarut dan berhentipada

titik C. pada akhir tahap presipitasi diperoleh campuran dua fasa. Fasa pertama

adalah fasa padatan kaya polimer (pada titik C) yang membentuk matriks

membrane. Sedangkan fasa kedua adalah fasa cair yang tidak mengandung

polimer (pada titik L). titik L tersebut merupakan titik yang menyatakan sejumlah

volume pori yang terisi non-pelarut.

2.4 Mekanisme Demixing

Berdasarkan metode penguapan yang digunakan, proses demixing dibagi

menjadi dua yaitu instantaneous liquid-liquid demixing dan delayed onset liquid-

liquid demixing.

Page 13: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Gambar 5. Diagram demixing

Instantaneous liquid-liquid demixing

Proses demixing antara pelarut dengan non-pelarut berlangsung dengan cepat atau

sesaat setelah dilakukannya tahap pencelupan casting film ke dalam bak

koagulasi. Biasanya membrane yang terbentuk lebih memiliki struktur yang

terbuka. Hal ini dikarenakan pelarut yang menguap terdesak oleh non-pelarut

dalam bak koagulasi, sehingga proses demixing cepat terjadi dan pori yang

terbentuk cenderung lebih besar.

Delayed onset liquid-liquid demixing

Proses demixing berlangsung beberapa lama setelah tahap pencetakan. Biasanya

dilakukan pendiaman terlebih dahulu ebberapa menit sehingga terjadi penguapan

diluar bak koagulasi, kemudian dilakukan proses pencelupan dalam bak koagulasi

dan terjadi proses demixing. Biasanya membran yang terbentuk memiliki struktur

yang lebih rapat dan lebih cenderung asimetris. Hal ini dikarenakan oleh adanya

peristiwa merapatnya kembali pori yang sudah terbentuk oleh interaksi pelarut

dengan polimer. Sehingga pori yang terbentuk merapat kembali dan menghasilkan

pori yang kecil.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Membran

Struktur membran merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Hal ini

begitu penting, karena nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas performa

membran yang dihasilkan. Selain itu juga akan mempengaruhi proses pemisahan.

Oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi struktur

Page 14: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

membran tersebut. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi struktur

membran:

Jenis Sistem Pelarut nonpelarut

Nonpelarut yang digunakan sebagai koagulan harus dapat larut dalam pelarut. Air

adalah nonpelarut yang umum digunakan dalam proses inversi fasa. Proses

pencampuran dapat berlangsung secara sempurna jika komposisi semua bahan

penyusun membran mempunyai daya larut yang sama. Di samping itu komposisi

total sangat menentukan homogenitas dan kinerja membran.

Pemilihan polimer (jenis polimer)

Merupakan salah satu faktor yang membatasi jenis pelarut dan nonpelarut yang

digunakan. Pemilihan material membran menjadi penting dengan memperhatikan

faktor fouling (efek adsorpsi, karakteristik hidrofilik/ hidrofobik), kestabilan

termal dan kimia.

Komposisi pelarut

Menurut Wenten, 2000 beberapa pelarut dapat digunakan untuk pembuatan

membran selulosa asetat yaitu dimetil formamida (DMF), dimetil asetamida

(DMAc), aseton, dioksan tetrahidrofuran (THF), asam asetat (HAc), asam format,

aseton dan dimetil sulfoksida (DMSO). Kokposisi dan penggunaan pelarut yang

digunakan dapat disesuaikan denagan melihat parameter kelarutan antara polimer

dan pelarut. Apabila nilai selisihnya semakin kecil, maka kelarutannya makin

baik. Nilai parameter kelarutan untuk selulosa asetat adalah 19,96 MPa1/2.

Parameter kelarutan beberapa pelarut selulosa asetat ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai kelarutan pelarut dengan selilosa asetat

Pelarut Kelarutan

( (MPa1/2))

(selisih kelarutan)

dengan selulosa asetat

DMF 24,8 4,48

Aseton 20,3 0,34

THF 18,6 1,36

Page 15: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

DMac 22,1 2,14

DMSO 29,7 9,74

Anilin 21,1

Komposisi bak koagulasi

Hal ini berhubunga n dengan pelarut yang digunakan. Apabila bak koagulasi

hanya mengandung sejumlah sejumlah air, maka kemungkinan terjadi adalah

instantaneous demixing. Hal ini dikarena kecenderungan kelarutan antara pelarut

dengan air berbeda-beda dimana secara berurutan kelarutan pelarut semakin

menurun DMF > dioksan > aseton > THF. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pemakaian DMF menghasilkan mekanisme instantaneous demixing. Sedangkan

menggunakan THF akan mengalami delayed demixing (Mulder, 1996).

Komposisi larutan polimer

Komposisi larutan polimer harus tetap berada pada satu fasa sehingga tidak terjadi

demixing, sehingga penambahan bahan lain dalam larutan polimer akan

mempengaruhi struktur membran (Mulder, 1996).

Waktu penguapan larutan dope

Saat pori terbentuk oleh adanya pelarut, pelarut yang berada dalam pori-pori

tersebut kemudian disesak oleh non-pelarut dalam bak koagulasi hingga terjadi

solidifikasi. Sebelum solidifikasi, penguapan pelarut menyebabkan pori yang

sudah terbentuk menyatu kembali, sehingga diameter pori yang terbentuk semakin

kecil (Kesting, 1971).

Penambahan aditif

Aditif dalam larutan casting dapat meningkatkan tingkat pengendapan, tetapi ada

pula zat aditif yang cenderung mengurangi tingkat pengendapan. Sehingga

mendukung struktur spons seperti halnya benzen (Idris et al.,2008)

Page 16: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Gelas beaker, strirer magnetik, erlenmeyer, cetakan membran, bak air,

penangas air, termometer, viskometer Ubbelohde (Schott avs360, GmbH,

Jerman), Rheo Stress 300 rheometer (Haake Instruments inc, Jerman) dengan

25mm yang merupakan sensor cone-plate pada 25 ± 0,1oc, Gel Permeation

Cromatografi (GPC), Milli-Q Ultrapure Water, konduktometer dan pH meter

Jenway, 4330 UK, scanning electron microscopy (sem) tipe Jeol Jsm-5310lv.

3.1.2 Bahan

Selulosa asetat CA-398-30 dengan rata-rata asetil 39,8 wt% dipasok

oleh Eastman Chemical Perusahaan. Polimer dikeringkan dalam oven vakum

pada 110 ◦ C semalam, N-Methyl-2-pirolidon (NMP, 99,0%), -butyrolactone

(GBL,> 99%), dekstran.

3.2 Langkah Kerja

3.2.1 Cloud point

Pengukuran cloud point CA/NMP/H2O dan CA/GBL/H2O dilakukan

pada suhu 25 ± 0,1oC yaitu menggunakan metode titrasi secara cepat.

Prosesnya, larutn polimer dalam pelarut di letakkan dalam wadah (gelas

beaker atau semacamnya) yang telah dijaga suhunya pada suhu kamar (25 ±

0,1oC). kemudian ditambahkan dengan sedikit demi sedikit seara perlahan

suatu non-pelarut murni atau campuran pelarut dan non-pelarut. Berikut

merupakan gambar proses metode titrasi yang dimaksud:

Page 17: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Setiap kali penambahan langsung diukur turbiditasnya, hingga ditemukan nilai

yang konstan. Selanjutnya dihitung komposisi larutan tersebut dalam bentuk

% polimer, %pelarut, dan % non-pelarut (Wijmans, 1984).

3.2.2 Intrinsic viscosity

Viskositas dari larutan CA encer dan pelarut diukur menggunakan

viskometer Ubbelohde (Schott AVS360, GmbH, Jerman) pada suhu 25 ±

0,01oC. Konsentrasi CA encer sekitar 0,5 g/dl. Viskositas [η] ditentukan

dengan metode satu titik dengan rumus sebagai berikut:

c

relsp

relsp

rel

ln22

1

0

1

di mana

c = konsentrasi polimer

η1 = dynamic viscosity

η0 = dynamic viscosity of buffer

ηr = viskositas relatif

ηsp = viskositas spesifik

(Solomon, 1962).

3.2.3 Polymer solution preparation and viscosity measurement

Larutan homogen CA/NMP/GBL dengan berbagai Rasio NMP/GBL

dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 18: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Viskositas larutan polimer kemudian diukur dengan menggunakan alat Rheo

Stress 300 rheometer (HAAKE Instruments Inc, Jerman) dengan cone-plate

25 mm yang dikondisikan pada 25 ± 0,1 ◦ C.

3.2.4 Light transmission experiments

Percobaan transmisi cahaya dilakukan untuk mempelajari proses

pemisahan dari campuran binner CA/NMP dan larutan CA/GBL yang

terkoagulasi dalam bak air pada suhu 25 ± 1oC (Reuvers et., al, 1987).

3.2.5 Membrane preparation and performance characterization

Larutan polimer dicetakkan pada piring kaca dengan ketebalan 200 m,

kemudian direndam ke dalam bak air tanpa penguapan. Kemudian membran

yang dihasilkan disimpan dalam bak air selama beberapa hari untuk

menghapus sisa pelarut.

Percobaan untuk permeabilitas terhadap air murni (PWP) dan retensi

membran dilakukan dalam Cross-flow Setup pada 25 ± 1oC. Tekanan

transmembran adalah 1 × 105 Pa (1 bar), dan kecepatan aliran bahan baku

adalah sekitar 1 m/s. Milli-Q ultrapure water digunakan untuk menentukan

permeabilitas tersebut. Karakteristik pemisahan dari membran yang telah dibuat,

diuji menggunakan larutan dekstran 1500 ppm. Larutan umpan berisi sejumlah

dekstran yang terdistribusi dengan berat molekul dari 1000- 200000 Da. Dekstran

terdistribusi dalam larutan umpan dan larutan yang melewati membran (permeate)

diukur menggunakan Gel Permeation Chromatography (GPC) dalam sistem Waters

Chromatography (menggunakan kolom ultrahidrogel 120, 250, dan 500).

Efluen yang didapat dianalisis menggunakan detektor IR berdasarkan indeks

bias air. Nilai rejeksi membran dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

R =

…………….(2)

dimana

CP = konsentrasi dekstran dalam permeat

Cf = konsentrasi larutan umpan

yang ditentukan oleh GPC pada masing-masing larutan.

Page 19: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Membran asimetrik hollow fiber memiliki nilai MWCO yang

menunjukkan rejeksi berat molekul sebesar 90%. Dengan menggunakan

korelasi dektran antara jari-jari (r) dengan satuan (A°) dan massa molar (MM)

dengan satuan (g/mol) telah dirumuskan sebagai berikut:

r = 0.33(MM)0.46

……………(3)

(Ren et.,al , 2005).

Apabila permeabilitas membran sangat rendah di bawah tekanan 1 × 105

Pa (1 bar), percobaan dilakukan dengan pengadukan pada 25 ± 1oC di dalam

sel, dengan tekanan 1 × 106 Pa (10 bar) dan konsentrasi umpan 1000 ppm

NaCl. Konsentrasi NaCl dalam larutan umpan dan permeat yang ditentukan

oleh pengukuran konduktivitas menggunakan JENWAY, 4330 Konduktivitas

& pH Meter, UK. Koefisien retensi garam ditentukan menggunakan rumus (2)

dengan menggunakan konduktivitas dari masing-masing permeat dan larutan

umpan sebagai ukuran CP dan CF.

3.2.6 Scanning electron microscopy (SEM)

Membran sampel dibekukan kemudian dipatahkan dengan

menggunakan nitrogen cair dan dilapisi dengan lapisan tipis emas

menggunakan SPI-Modul sputter. Penampang dari membran flat-sheet diuji

menggunakan SEM tipe JEOL JSM-5310LV.

Page 20: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. The binary polymer solution systems

Hasil pengukuran Cloud point dari sistem CA/NMP/H2O dan

CA/GBL/H2O ditunjukkan pada Gambar1.

Sistem CA/NMP/H2O memiliki gap fase pemisahan yang lebih kecil

dibandingkan dengan sistem CA/GBL/H2O. Dalam kata lain, lebih banyak air dari

sistem CA/GBL/H2O yang digunakan untuk memulai proses liquid-liquid

demixing, dan struktur membrane yang berbeda dapat diperoleh dari larutan biner

CA/NMP dan CA/GBL dalam bak koagulasi ditunjukkan pada Gambar 2.

Dengan menggunakan NMP sebagai pelarut, membran diperoleh mengandung

makrovoid besar, yang merupakan struktur khas membran dari instantaneous

liquid-liquid demixing. Untuk percobaan yang menggunakan GBL sebagai

pelarut, dihasilkan membran yang memiilki struktur seperti spons yang

merupakan ciri khas dari struktur untuk delayed liquid-liquid demixing. Dugaan

ini didukung oleh hasil percobaan transmisi cahaya. Seperti ditunjukkan dalam

Gambar. 3,

Page 21: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

sistem CA/NMP/H2O menunjukkan sebuah instantaneous liquid-liquid demixing,

sementara pada sistem CA/GBL/H2O menunjukkan satu kali delayed dengan

waktu delay dari sekitar 30 detik.

Sangat menarik bahwa dua titik didih tinggi , tekanan uap yang rendah dari

pelarut NMP dan GBL memiliki sifat fisikokimia sangat mirip (lihat Tabel 2)

(Boling, 2001), (Lide, 2004), dan (Ma, 1993).

Namun berdasarkan hasil yang didapat menunjukkan perbedaan perilaku secara

drastis dalam proses pembentukan membran. Yanagishita et., al (1994) dan Ruaan

et., al (1999) menyimpulkan bahwa kualitas pelarut akan mempengaruhi

morfologi membran. Sifat viskositas instrinsik merupakan parameter yang baik

untuk mengkarakterisasi kualitas pelarut karena viskositas intrinsik dari polimer

yang dihasilkan adalah berbeda dalam pelarut yang berbeda yang tergantung pada

kualitas pelarut. Dalam pelarut yang baik, jarak antar molekul polimer cukup

longgar, dan viskositas intrinsiknya tinggi. Dalam pelarut yang kualitasnya kurang

bagus, gaya tarik-menarik anatar molekul polimer lebih kuat daripada dengan

molekul pelarut. Molekul polimer diasumsikan memiliki konformasi yang ketat,

dan larutan memiliki viskositas intrinsik lebih rendah (Dong, 1990). Seperti

tercantum dalam Tabel 3,

Page 22: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

viskositas intrinsik CA dalam NMP (1,66 dl/g) lebih tinggi dibandingkan di GBL

(1,56 dl/g), yang berarti NMP adalah pelarut lebih baik untuk CA daripada GBL.

Selain itu , viskositas tertentu juga bisa digunakan untuk menentukan kualitas

pelarut. Secara umum, viskositas spesifik larutan polimer dalam pelarut yang baik

adalah lebih tinggi daripada dalam pelarut yang kurang baik dalam larutan encer,

sedangkan hal yang sebaliknya benar apabila berada dalam larutan yang

terkonsentrasi (Isono, 1980) dan (Jiang, 2001). Viskositas yang spesifik dari

CA/NMP lebih tinggi daripada CA/GBL dalam larutan encer untuk percobaan

viskositas intrinsik, sementara mereka lebih rendah dibandingkan dengan

CA/GBL dalam larutan polimer 11% wt (lihat Tabel 3). Hal ini semakin

menegaskan bahwa GBL memiliki solvabilitas yang rendah daripada NMP untuk

CA.

Hal ini diterima secara luas bahwa viskositas larutan polimer biasanya

memainkan peran penting dalam proses pembentukan membran. Peningkatan

viskositas larutan polimer akan menurunkan kecenderungan untuk pembentukan

makrovoid (Witte, 1996). Seperti tercantum dalam Tabel 1,

viskositas larutan biner CA/GBL hampir dua kali lipat dari larutan biner

CA/NMP, yang bisa untuk menentukan perbedaan struktur membran yang

terbentuk dari CA/NMP dan CA/GBL yang terkoagulasi dalam water bath.

Page 23: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Misalnya, membran seperti spons yang diperoleh dari CA/GBL dengan viskositas

yang lebih tinggi.

Dari sudut pandang teori Flory-Huggins untuk larutan polimer, perubahan

dalam pelarut dari sistem pembentukan membran tercermin dalam perubahan

interaksi parameter g12 dari larutan non-pelarut/pelarut dan posisi pita liquid-

liquid demixing dalam diagram fasa. Interaksi parameter g12 H2O/GBL dihitung

dari parameter Wilson untuk sistem H2O/GBL seperti yang dijelaskan pada jurnal

lain (Ramkumar, 1989), (Wilson, 1964), dan (Altena, 1982). Seperti yang

ditunjukkan pada Gambar. 4,

interaksi parameter g12 dari H2O/GBL lebih tinggi dibandingkan dengan

H2O/NMP (Jiang, 2000), yang berarti afinitas timbal balik antara air dan GBL

lebih lemah dibandingkan antara air dan NMP, yang biasanya menimbulkan

membran seperti spons Struktur (Witte, 1996), (Yanagishita, 1994), (Ruaan,

1999), dan (Yeow, 2004).

Berdasarkan analisis di atas, viskositas yang lebih tinggi dari CA/GBL

dikarenakan oleh solvabilitas GBL yang relatif kurang untuk selulosa asetat dan

tingginya interaksi parameter g12 non-pelarut/pelarut dari H2O/GBL mendominasi

delaying liquid-liquid demixing dan struktur membran seperti spons dari sistem

CA/GBL/H2O. Sistem biner CA/NMP dan CA/GBL tampak menjadi model

sistem yang cocok untuk pengamatan mekanisme fasa pemisahan dan gelasi

selama perendaman proses pengendapan.

Page 24: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

3.2. Effect of solvent mixture on membrane structure

Berdasarkan sistem biner CA/NMP dan CA/GBL dalam proses koagulasi

di dalam water bath diperoleh struktur yang berbeda dan beberapa mekanisme

liquid-liquid demixing, perubahan intermediet dalam struktur membran yang

diharapkan untuk campuran pelarut NMP dan GBL. Sebuah studi secara

sistematis dilakukan untuk menguji pengaruh campuran pelarut pada struktur dan

kinerja membran dengan mengubah jumlah GBL dalam campuran pelarut dari 0%

sampai 100%.

Serangkaian struktur membran diperoleh dari 11% wt dalam sistem biner

CA/NMP/GBL dengan berbagai rasio NMP/GBL ditunjukkan pada Gambar. 5

(Gambar. 2 dan 5).

Page 25: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Seperti dapat dilihat, sejumlah GBL dalam campuran pelarut meningkat

dari 0% menjadi 75%, dimana semua membran yang diperoleh menghasilkan

struktur yang terdiri dari makrovoid besar. Terdapat perubahan yang jelas kecuali

pada lapisan kulit sedikit berbeda. Namun, dengan meningkatkan kandungan GBL

dari 75% menjadi 80%, struktur membran makrovoid berubah secara drastis

dengan struktur membran seperti spons yang khas. Dapat ditunjukkan rasio

kritikal yang menunjukkan titik perubahan struktur membran dari makrovoid

menjadi seperti spons.

3.3. Effect of solvent mixture on membrane performance

Dalam rangka untuk mengamati lebih lanjut pengaruh dari campuran

pelarut NMP/GBL terhadap pembentukan membran, dilakukan pengamatan PWP

dan retensi membran. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 6,

dengan meningkatnya jumlah GBL dalam campuran pelarut dari 0% sampai 75%,

PWP menurun dari 2803 × 10-5

hingga 178 × 10-5

l/m2 h Pa (2803-178 l/m2 h

bar), sedangkan retensi membran meningkat dari 0% sampai 90% untuk 100K

dekstran, yang menunjukkan bahwa struktur membran menjadi padat. Dengan

lebih meningkatkan jumlah GBL dari 75% menjadi 80% dan kemudian ke 100%,

PWP menurun drastis. Percobaan penyaringan dengan menggunakan larutan NaCl

1000 ppm pada 1 × 106 Pa (10 bar) menunjukkan bahwa membran ini berperilaku

sebagai nanofiltrasi membran.

Page 26: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

Singkatnya, tulisan ini menunjukkan bagaimana kinerja membran dapat

diatur dengan menggunakan campuran pelarut yang dipilih (baik / buruk). Ini

merujuk ke sebuah metode yang mudah untuk mengontrol membran Sifat

pemisahan.

Page 27: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Telah dipelajari proses liquid-liquid demixing selulosa asetat dalam dua

pelarut nonvolatil yaitu NMP dan GBL, yang terkoagulasi dalam water

bath. Keadaan liquid-liquid demixing yang berbeda dan struktur membran

yang berbeda yang diperoleh dari perbedaan kualitas dan kuantitas pelarut

NMP dan GBL dan perbedaan dalam parameter interaksi

nonsolvent/solvent antara H2O/NMP dan H2O/GBL.

Kecilnya nilai solvabilitas dari GBL untuk CA dan tingginya nilai

interaksi parameter g12 nonsolvent/solvent dari H2O/GBL mendominasi

proses liquid-liquid demixing yang delayed dari system CA/GBL yang

terkoagulasi dalam water bath dan menimbulkan struktur membran seperti

spons.

Penyesuaian konten GBL dalam campuran pelarut menghasilkan struktur

membran yang sebanding dengan perubahan rasio NMP/GBL.

Titik kritis rasio NMP/GBL yang muncul menunjukkan titik perubahan

struktur membran dari makrovoid menjadi spons.

Page 28: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

DAFTAR PUSTAKA

B.E. Boling, J.M. Prausnitz, J.P. O’Connell, 2001. The Properties of Gases and

Liquids, fifth ed., McGraw-Hill, NY. .

D.H.S. Ramkumar, S.V. Odak, A.P. Kudchadker. 1989. Mixture properties of the

water + _-butyrolactone + tetrahydrofuran system. Part 3. Isobaric vapor–

liquid equilibrium of water + _-butyrolactone and tetrahydrofuran + _-

butyrolactone at 1.013 bar,. J. Chem. Eng. Data 34, 466.

D.R. Lide. 2004. Handbook of Chemistry and Physics, 84th ed., CRC Press, NY.

F.W. Altena, C.A. Smolders. 1982. Calculation of liquid–liquid phase separation

in a ternary system of a polymer in a mixture of a solvent and a nonsolvent,

Macromolecules 15. 1491.

G. Wilson. 1964. Vapor–liquid equilibrium. XI. A new expression for the excess

free energy of mixing. J. Am. Chem. Soc. 86. 127.

H. Yanagishita, T. Nakane, H. Yoshitome. 1994. Selection criteria for solvent

and gelation medium in the phase inversion process, J. Membr. Sci. 89

(1994) 215.

J. Ren, Z. Li, F.-S. Wong. 2005. Development of asymmetric BTDA-TDI/MDI

(P84) co-polyimide hollow fiber membranes for ultrafiltration: the influence

of shear rate and approaching ratio on membrane morphology and

performance. J. Membr. Sci. 248 (2005) 177.

J. Reuvers, C.A. Smolders. 1987. Formation of membranes by means of

immersion precipitation Part II. The mechanism of formation of membranes

prepared from the system cellulose acetate–acetone–water. J. Membr. Sci.

34 (1987) 67.

J.-J. Shieh, T.S. Chung. 1998. Effect of liquid–liquid demixing on the membrane

morphology, gas permeation, thermal and mechanical properties of

cellulose acetate hollow fibers. J. Membr. Sci. 140 (1998) 67.

Page 29: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

K. Kneifel, K.V. Peinemann. 1992. Preparation of hollow fiber membranes from

polyetherimide for gas separation. J. Membr. Sci. 65 (1992) 295.

M.J. He, W.X. Chen, X.X. Dong. 1990. Polymer Physics. Shanghai, (in

Chinese).Fudan University Press.

M.L. Yeow, Y.T. Liu, K. Li. 2004. Morphological study of poly(vinylidene

fluoride) asymmetric membranes: effects of the solvent, additive, and dope

temperature. J. Appl. Polym. Sci. 92 (2004) 1782.

K.-V. Peinemann, J.F. Maggioni, S.P. Nunes. 1998. Poly(ether imide) membranes

obtained from solution in cosolvent mixtures. Polymer 39 (1998) 3411.

O.F. Solomon, I.Z. Ciuta. 1962. D´etermination de la viscosit´e intrins`eque de

solutions de polym`eres par une simple d´etermination de la viscosit´e, J.

Appl. Polym. Sci. 6 (1962) 683.

P. Ma. 1993. Handbook of Essential Data for Petrochemical Industry

(Continuation). Chemical Industry Press, Beijing, 1993 (in Chinese).

P. van de Witte, P.J. Dijkstra, J.W.A. van den Berg, J. Feijen. 1996. Phase

separation processes in polymer solutions in relation to membrane

formation. J. Membr. Sci. 117 (1996) 1.

R.W. Baker. 2004. Membrane Technology and Applications, second ed., John

Wiley & Sons, Ltd., UK.

R.-C. Ruaan, T. Chang, D.-M. Wang. 1999. Selection criteria for solvent and

coagulation medium in view of macrovoid formation in the wet phase

inversion process. J. Polym. Sci. Part B: Polym. Phys. 37 (1999) 1495.

S.P. Nunes, K.-V. Peinemann. 2001. Membrane Technology in the Chemical

Industry. Wiley-VCH Verlag GmbH, Weinheim, 2001.

T. Noriyuki, S. Hidehiko, O. Kazutake. 1998. Cellulose hollow fiber membrane

and its production. JP10,216,489, 1998.

Page 30: Influence of Solvent on the Structure and Performance of Cellulose Acetate Membranes

W. Albrecht, Th. Weigel, M. Schossig-Tiedemann, K. Kneifel, K.-V. Peinemann,

D. Paul. 2001. Formation of hollow fiber membranes from poly(ether imide)

at wet phase inversion using binary mixtures of solvents for the preparation

of the dope. J. Membr. Sci. 192 (2001) 217.

W.F.C. Kools. 1998. Membrane Formation by Phase Inversion in

Multicomponent Polymer Systems: Mechanisms and Morphologies, Ph.D.

Dissertation, University of Twente, Enschede.

W.W.Y. Lau, M.D. Guiver, T. Matsuura. 1991. Phase separation in polysulfone/

solvent/water and polyethersulfone/solvent/water systems, J. Membr. Sci. 59

(1991) 219.

Y. Isono, M. Nagasawa. 1980. Solvent effects on rheological properties of

polymer solutions. Macromolecules 13 (1980) 862.

Z. Li, C. Jiang. 2001. Investigation into the rheological properties of

PES/NMP/nonsolvent membrane-forming systems. J. Appl. Polym. Sci. 82

(2001) 283.

Z. Li, C. Jiang. 2000. Determination of the nonsolvent–polymer interaction

parameter χ13 in the casting solutions. J. Membr. Sci. 174 (2000) 87.