international standars for tuberculosis care

21
INTERNATIONAL STANDARS FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC) International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) adalah kumpulan standar penananan tuberkulosis yang bersifat internasional dengan tujuan untuk menggambarkan suatu tingkat penanganan yang dapat diterima secara luas yang harus dilakukan oleh seluruh praktisi baik pemerintah maupun swasta dalam penanganan pasien TB atau diduga menderita TB. ISTC juga bertujuan untuk mengefektifkan semua provider baik yang berasal dari sektor pemerintah maupun swasta dalam menangani penderita TB. Suatu standar mutu pelayanan yang sangat tinggi penting untuk menyembuhkan penderita TB, mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga dan kontak serta menjaga kesehatan masyarakat pada umumnya. Penanganan yang di bawah standar akan berakibat kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan anggota masyarakat lain serta menimbulkan resistensi ganda obat (MDR). Karena alasan tersebut maka penanganan TB yang substandard tidak dapat diterima. ISTC berbeda dengan guideline yang sudah ada dan dipakai selama ini. Standar ini menggambarkan apa yang harus dilakukan sedangkan guideline menggambarkan bagaimana suatu tindakan harus dikerjakan. Standard memberi pijakan dasar suatu caresedangkan guideline menggambarkan seluruh kerangka struktur suatu care. Standar danguideline dapat saling melengkapi. Suatu standar tidak memberikan pedoman khusus penanganan suatu penyakit tetapi memberikan prinsip-prinsip yang dapat diberlakukan pada hampir seluruh keadaan. Secara umum suatu standar tidak memerlukan adaptasi untuk kondisi setempat sedangkan guideline harus disesuaikan dengan situasi lokal. Standar dapat dipakai sebagai indikator keadekuatan penanganan suatu penyakit yang dapat diukur, sedangkan guideline dimaksudkan untuk membantu provider melakukan upaya kesehatan yang benar. Prinsip dasar penanganan individu dengan dugaan TB sama di seluruh dunia, diagnosis harus ditegakkan secara benar dan akurat, memakai paduan obat yang terbukti efektif,dukungan dan supervisi yang sesuai terhadap terapi, pemantauan terhadap respons terapi serta melakukan

Upload: ceasar-abdilla-rahman

Post on 17-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

standarts

TRANSCRIPT

Page 1: International Standars for Tuberculosis Care

INTERNATIONAL STANDARS FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC)

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) adalah kumpulan standar penananan tuberkulosis yang bersifat internasional dengan tujuan untuk menggambarkan suatu tingkat penanganan yang dapat diterima secara luas yang harus dilakukan oleh seluruh praktisi baik pemerintah maupun swasta dalam penanganan pasien TB atau diduga menderita TB. ISTC juga bertujuan

untuk mengefektifkan semua provider baik yang berasal dari sektor pemerintah maupun swasta dalam menangani penderita TB. Suatu standar mutu pelayanan yang sangat tinggi penting untuk menyembuhkan penderita TB, mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga dan kontak serta menjaga kesehatan masyarakat pada umumnya. Penanganan yang di bawah standar akan berakibat kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan anggota masyarakat lain serta menimbulkan resistensi ganda obat (MDR). Karena alasan tersebut maka penanganan TB yang substandard tidak dapat diterima.

ISTC berbeda dengan guideline yang sudah ada dan dipakai selama ini. Standar ini menggambarkan apa yang harus dilakukan sedangkan guideline menggambarkan bagaimana suatu tindakan harus dikerjakan. Standard memberi pijakan dasar suatu caresedangkan guideline menggambarkan seluruh kerangka struktur suatu care. Standar danguideline dapat saling melengkapi. Suatu standar tidak memberikan pedoman khusus penanganan suatu penyakit tetapi memberikan prinsip-prinsip yang dapat diberlakukan pada hampir seluruh keadaan. Secara umum suatu standar tidak memerlukan adaptasi untuk kondisi setempat sedangkan guideline harus disesuaikan dengan situasi lokal. Standar dapat dipakai sebagai indikator keadekuatan penanganan suatu penyakit yang dapat diukur, sedangkan guideline dimaksudkan untuk membantu provider melakukan upaya kesehatan yang benar.

Prinsip dasar penanganan individu dengan dugaan TB sama di seluruh dunia, diagnosis harus ditegakkan secara benar dan akurat, memakai paduan obat yang terbukti efektif,dukungan dan supervisi yang sesuai terhadap terapi, pemantauan terhadap respons terapi serta melakukan tanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat. Diagnosis yang akurat dan terapi yang efektif tidak hanya penting untuk penanganan pasien tetapi juga merupakan elemen kunci respons di bidang kesehatan masyarakat terhadap tuberkulosis dan merupakan inti dari pengendalian tuberkulosis. Jadi semua provider yang mengobati pasien TB harus menyadari bahwa mereka tidak hanya memberikan pelayanan perorangan tetapi menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang penting yang diikuti dengan suatu tanggung jawab yang tinggi terhadap komunitas sebagaimana tanggung jawab terhadap seorang pasien. Tanggung jawab tersebut akan dapat dipenuhi bila mematuhi standar ini.

Tahun 2006 ISTC mempunyai 3 kategori standar yaitu diagnosis (6 standar), terapi (9 standar) dan tanggung jawab kesehatan masyarakat (2 standar) sehingga semuanya ada 17 standar. Pencegahan, laboratorium dan ketenagaan tidak masuk dalam standar ini.Tahun 2009 dikeluarkan ISTC edisi kedua dengan beberapa perubahan, terbagi atas 4 kategori standar yaitu diagnosis (6 standar), pengobatan (7

Page 2: International Standars for Tuberculosis Care

standar), standar TB dengan HIV atau komorbid lain (4 standar) dan kesehatan masyarakat (4 standar). Standar ini dimaksudkan untuk melengkapi kebijakan local atau nasional pengendalian tuberkulosis yang sesuai dengan rekomendasi WHO. Tentu saja standar ini tidak dimaksudkan untuk mengganti guideline lokal. Standar yang saat ini dianggap layak dapat direvisi di kemudian hari sesuai perubahan teknologi, sumber daya dan keadaan.

ISTC (bagian 2), rincian masing-masing standar

Tulisan ini merupakan lanjutan tulisan ISTC bagian pertama

STANDAR DIAGNOSIS

Standard 1

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Standard 2

Semua pasien dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standard 3

Semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan dan histopatologi.

Standard 4

Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standard 5

Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal 2 kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis; dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M. tuberculosis compleks sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang sakit

Page 3: International Standars for Tuberculosis Care

berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis harus dimulai.

Standard 6

Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan dahak (derngan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopis dan biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis tuberkulosis harus berdasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis, riwayat terpajan kasus tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji tuberkulin atau inteferon gamma release assay positif) dan temuan klinis yang mendukung ke arah tuberkulosis. Untuk anak yang diduga menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan dan histopatologis.

STANDAR TERAPI

Standard 7

Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tetapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.

Standard 8

Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavaibilitasnya sudah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid) dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan.

Standard 9

Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis individu dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan

Page 4: International Standars for Tuberculosis Care

cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidahpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelanggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi pengawas menelan obat (untuk tuberkulosis, dan jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan, termasuk dukungan keuangan dapat diberikan untuk mendukung kepatuhan.

Standard 10

Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.

Standard 11

Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitiviti obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilakukan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengendalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan.

Standard 12

Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.

Standard 13

Page 5: International Standars for Tuberculosis Care

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standard 14

Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasienyang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Standard 15

Semua pasien tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standard 16

Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.

Standar 17

Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbidyang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes melitus, program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.

Page 6: International Standars for Tuberculosis Care

STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standar 18

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecednderungan bahwa kontak:

- Menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis

- Berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika terinfeksi

- Berisiko menderita tuberkulosis berat bila penyakit berkembang, dan

- Berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien.

Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah:

- Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis

- Anak berusia < 5 tahun

- Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV

- Kontak dengan pasien MDR/XDR TB

Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah

Standard 19

Anak berusia < 5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.

Standard 20

Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai

Standard 21

Semua penyelenggara kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke Kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.

Page 7: International Standars for Tuberculosis Care

Sesuai judulnya, ISTC merupakan pedoman internasional perawatan TB yang mencakup diagnosis,

pengobatan dan upaya kesehatan masyarakat. ISTC edisi pertama adalah edisi tahun 2006

sementara edisi kedua adalah edisi tahun 2009.

Edisi kedua ISTC ini berisikan 21 pedoman, dimana enam diantaranya adalah standar diagnosis,

sebelas standar pengobatan dan empat standar tanggung jawab kesehatan masyarakat.

Perbedaan mendasar antara edisi pertama dan edisi kedua meliputi ketiga aspek konten ISTC

tersebut (diagnosis, pengobatan dan kesehatan masyarakat).

Bagian Perbedaan Mendasar

Pendahuluan

Kata-kata telah ditambahkan dengan menekankan tujuan utama dari ISTC adalah menyatukan tata cara perawatan pasien TB dari semua sector pelayanana kesehatan

Satu bagian mengenai utilisasi ISTC telah ditambahkan

Standar Diagnosis

Secara umum

Pentingnya mengintensifkan penemuan kasus lebih ditekankan Sebuah table yang mempresentasikan ringkasan singkat mengai

bukti berbagai macam alat diagnostik telah ditambahkan

Standar 1 Penemuan kasus secara aktif menggunakan metode penilaian

berbasis gejala pada populasi resiko tinggi lebih ditekankan

Standar 2 Perubahan kata – kata lebih ditekankan pada setidaknya dua

sampel sputum daripada tiga sampel

Standar 3

Frasa “dimana tersedia fasilitas kultur” telah dihilangkan untuk menekankan bahwa mycobacterium adalah bagian penting dari evaluasi diagnosis pada pasien yang dicurigai TB extra pulmonar

Standar 4 Tidak ada perubahan

Standar 5

Frasa “dimana tersedia fasilitas kultur” telah dihilangkan untuk menekankan bahwa mycobacterium adalah bagian penting dari evaluasi diagnosis pada pasien dengan hasil apusan sputum negatif

Algoritma baru menggantikan algoritma sebelumnya untuk mengevaluasi tersangka TB tetapi yang hasil apusan sputumnya negatif

Terdapat penjelasan mengenai peranan media kultur cair dan line-probe assay untuk mendeksi resistensi INH dan RMP

Penjelasan yang diperluas mengenai peran radiografi dan pentingnya kendali mutu radiografi telah ditambahkan

Standar 6 Kalimat pada standar ini telah ditulis ulang agar konsisten dengan dokumen WHO “Guidance for national TB programmes on the

Page 8: International Standars for Tuberculosis Care

management og TB in children”

Standar Pengobatan

Standar 7 Tidak ada perubahan

Standar 8 Kalimat pada standar ini telah ditulis ulang agar konsisten dengan

pedoman WHO

Standar 9

Pentingnya pendukung pengobatan lebih ditekankan Penyajian temuan pada systematic review mengenai penelitian

kualitatif terhadap kepatuhan pasien pada pengobatan TB

Standar 10 Standar telah diganti agar lebih sesuai dengan rekomendasi

pengobatan oleh WHO

Standar 11

Standar 14 pada edisi 2006 sekarang standar 11 pada edisi 2009. Standar diganti untuk menunjukkan perlunya penilaian terhadap resistensi OAT jika hasi BTA + pasca selesainya pengobatan 2-3 bulan dan dengan pengobatan untuk pasien gagal atau kambuh.

Standar 12

Standar 15 pada edisi 2006 sekarang standar 12 pada edisi 2009. Standar diganti agar lebih sesuai dengan revisi rekomendasi WHO mengenai PMDT

Standar 13 Standar 11 pada edisi 2006 sekarang standar 13 pada edisi 2009.

Standar untuk menangani infeksi HIV dan kondisi – kondisi co-morbid

Secara umum Merupakan kategori baru

Standar 14

Standar 12 pada edisi 2006 sekarang standar 14 pada edisi 2009. Standar ini telah ditulis ulang untuk mengidikasikan bahwa semua pasien TB termasuk yang di daerah risiko tinggi maupun individu beresiko tinggi, orang yang dicurigai TB harus menjalankan tes HIV

Standar 15 Standar 13 pada edisi 2006 sekarang standar 15 pada edisi 2009.

Standar 16 Merupakan standar baru yang menekankan rekomendasi

penggunaan INH sebagai terapi preventif pada penderita HIV

Standar 17 Merupakan standar baru yang menjelaskan pentingnya penanganan

kondisi co-morbid

Standar Kesehatan Masyarakat

Standar 18 Standar 16 pada edisi 2006 sekarang standar 18 pada edisi 2009.

Page 9: International Standars for Tuberculosis Care

Standar 19

Merupakan standar baru yang menjelaskan penggunaan INH sebagai terapi preventif pada anak – anak dan penderita HIV yang punya riwayat kontak dengan penderita TB

Standar 20 Merupakan standar baru yang menjelaskan pentingnya kendali

infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan

Standar 21 Standar 17 pada edisi 2006 sekarang standar 21 pada edisi 2009

dan tidak ada perubahan.

 

ISTC – Standar Diagnosis

Standard 1.

All persons with otherwise unexplained productive cough lasting two-three weeks or more should be evaluated for tuberculosis 

Semua orang dengan batuk produktif yang tidak bisa dijelaskan  penyebabnya yang telah berlangsung  sedikitnya selama 2-3 minggu harus diperiksa  TB

Standard 2.

All patients (adults, adolescents, and children who are capable of producing sputum) suspected of having pulmonary tuberculosis should have at least two sputum specimens submitted for microscopic examination in a quality-assured laboratory. When possible, at least one early morning specimen should be obtained. Semua pasien tersangka TB paru (dewasa, remaja dan anak-anak yang mampu mengeluarkan dahak) harus bisa diambil dahaknya untuk membuat setidaknya dua sediaan sputum untuk pemeriksaan mikroskopis (BTA) di laboratorium yang telah terakreditasi. Sediaan sputum tersebut setidaknya salah satunya diambil pada waktu pagi hari

Standard  3.

For all patients (adults, adolescents, and children) suspected of having extrapulmonary tuberculosis, appropriate specimens from the suspected sites of involvement should be obtained for microscopy, culture, and histopathological examination. Pada semua pasien tersangka TB paru (dewasa, remaja dan anak-anak), sediaan sputum yang memenuhi kriteria harus bisa dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur dan histopatologi

Standard  4.

All persons with chest radiographic findings suggestive of tuberculosis should have sputum specimens submitted for microbiological examination. Semua orang dengan temuan  kecurigaan TB pada foto Rontgen dadanya , harus diambil sediaan sputumnya dan dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologi

Standard  5. The diagnosis of sputum smear-negative pulmonary tuberculosis should be based on the following criteria: at least two negative sputum smears (including at least one early morning specimen); chest radiographic findings consistent with tuberculosis; and lack of response to a trial of broad-spectrum antimicrobial agents. (Note: Because the fluoroquinolones are active against M. tuberculosis complex and, thus, may cause transient improvement in persons with tuberculosis, they should be avoided.) For such patients, sputum

Page 10: International Standars for Tuberculosis Care

cultures should be obtained. In persons who are seriously ill or have known or suspected HIV infection, the diagnostic evaluation should be expedited and if clinical evidence strongly suggests tuberculosis, antituberculosis treatment should be initiated. Untuk mendiagnosis TB paru pada hasil BTA negatif adalah harus memenuhi kriteria berikut: setidaknya dua sediaan sputum yang diperiksa menunjukkan hasil negatif (termasuk setidaknya satu sediaan sputum dari dahak pagi hari); hasil foto rontgen dada konsisten mengarah ke TB; dan tidak adanya respons dari pengobatan  antibiotik spektrum  luas. (Perlu dicatat karena golongan fluoroquinolone adalah agen aktif untuk melawan kuman TB yang dapat menyebabkan perbaikan sementara pada seorang penderita TB, dan penggunaan golongan tersebut harus dihindari). Pada jenis pasien tersebut, perlu dilakukan kultur biakan dahak. Pada orang yang gejala klinisnya berat atau mereka yang telah diketahui atau tersangka HIV, evaluasi diagnosis harus dipercepat dan jika bukti klinis sangat mendukung TB, pemberian OAT harus segera dimulai.

Standard  6.

In all children suspected of having intrathoracic (i.e., pulmonary, pleural, and mediastinal or hilar lymph node) tuberculosis, bacteriological confirmation should be sought through examination of sputum (by expectoration, gastric washings, or induced sputum) for smear microscopy and culture. In the event of negative bacteriological results, a diagnosis of tuberculosis should be based on the presence of abnormalities consistent with tuberculosis on chest radiography, a history of exposure to an infectious case, evidence of tuberculosis infection (positive tuberculin skin test or interferon-gamma release assay), and clinical findings suggestive of tuberculosis. For children suspected of having extrapulmonary tuberculosis, appropriate specimens from the suspected sites of involvement should be obtained for microscopy and for culture and histopathological examination. Pada anak – anak yang dicurigai menderita TB intrathorakal (paru, pleura, dan mediastinal atau limfonodi hilus), konfirmasi bakteriologis harus bisa didapat melalui pemeriksaan sputum (meludah, bilas lambung, atauinduced sputum) untuk diperiksa mikroskopis dan kultur. Jika diperoleh hasi pemeriksaan bakteriologis negatif, diagnosis TB harus didasarkan pada ditemukannya kelainan yang konsisten mengarah ke TB pada foto rontgen dada, riwayat terpapar dari penderita positif TB, adanya bukti infeksi TB (melalui tes tuberkulin atau interferon-gamma release assay/IGRA), dan temuan klinis mengarah ke TB. Untuk anak – anak yang menderita TB ekstra paru, sediaan yang memadai dari tempat yang diduga bersemayam kuman TB harus bisa didapatkan untuk pemeriksaan mikroskopis , kultur dan histopatologis.

 

ISTC – Standar Pengobatan

Standar 7 Any practitioner treating a patient for tuberculosis is assuming an important public health responsibility to prevent ongoing transmission of the infection and the development of drug resistance. To fulfill this responsibility the practitioner must not only prescribe an appropriate regimen, but also utilize local public health services and other agencies, when necessary, to assess the adherence of the patient and to address poor adherence when it occurs. 

Semua dokter yang mengobati pasien TB harus mempunyai pemikiran pentingnya tanggung jawab kesehatan masyarakat untuk mencegah transmisi yang tengah berlangsung yang dapat berkembang ke arah

Page 11: International Standars for Tuberculosis Care

resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, dokter tidak hanya harus meresepkan regimen terapi yang sesuai tetapi juga wajib memanfaatkan layanan kesehatan masyarakat dan agen – agen pendukung lainnya, jika diperlukan, untuk menilai kepatuhan pasien dan mengatasi ketidak patuhan pasien yang terjadi.

Standar 8

All patients (including those with HIV infection) who have not been treated previously should receive an internationally accepted first-line treatment regimen using drugs of known bioavailability. The initial phase should consist of two months of isoniazid (INH), rifampicin (RIF), pyrazinamide (PZA), and ethambutol (EMB). The continuation phase should consist of isoniazid and rifampicin given for four months. The doses of antituberculosis drugs used should conform to international recommendations. Fixed dose combinations (FDCs) of two (isoniazid and rifampicin), three (isoniazid, rifampicin, and pyrazinamide) and four (isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, and ethambutol) drugs are highly recommended.Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah punya riwayat pengobatan OAT harus mendapatkan regimen terapi OAT lini pertama yang terstandar internasional dan diketahui bioavailabilitasnya. Pada fase awal 2 bulan pertama pengobatan, harus terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA) dan ethambutol (EMB). Fase lanjutan harus terdiri dari isoniazid dan rifampicin yang diberikan selama empat bulan. Dosis OAT yang diberkan harus mengikuti rekomendasi internasional. Penggunaan Fix Dose Combinations(FDC) dari dua (isoniazid dan rifampicin), tiga (INH, RIF dan PZA) dan empat (INH, RIF, PZA, dan EMB) sangat direkomendasikan.

Standar 9

To assess and foster adherence, a patient-centered approach to administration of drug treatment, based on the patient’s needs and mutual respect between the patient and the provider, should be developed for all patients. Supervision and support should be individualized and should draw on the full range of recommended interventions and available support services, including patient counseling and education. A central element of the patient centered strategy is the use of measures to assess and promote adherence to the treatment regimen and to address poor adherence when it occurs. These measures should be tailored to the individual patient’s circumstances and be mutually acceptable to the patient and the provider. Such measures may include direct observation of medication ingestion (directly observed treatment or DOT) and identification and training of a treatment supporter (for tuberculosis and, if appropriate, for HIV) who is acceptable and accountable to the patient and to the health system. Appropriate incentives and enablers, including financial support, may also serve to enhance treatment adherence.Untuk menilai dan memelihara kepatuhan, pendekatan berpusat ke pasien dalam hal pemberian obat, berdasarkan pada kebutuhan pasien dan hubungan saling menghormati Antara pasien dan penyedia jasa, harus dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan harus bersifat individu dan mencakup semua intervensi yang direkomendasikan dan ketersediaan layanan pendukung, termasuk konseling dan edukasi pasien. Elemen pusat dari strategi berpusat ke pasien adalah penggunaan tindakan untuk menilai dan mempromosikan kepatuhan terhadap regimen pengobatan dan untuk mengatasi masalah ketidak patuhan apabila terjadi. Pengukuran ini harus bersifat menyesuaikan keadaan individu pasien dan diterima baik oleh pasien maupun penyedia jasa layanan. Pengurukan yang demikian dapat termasuk observasi langsung dalam meminum obat (DOT) dan identifikasi serta pelatihan pendukung pengobatan (untuk TB dan, jika bisa untuk HIV juga) yang data diterima dan bertanggung jawab kepada pasien dan system kesehatan. Insentif yang sesuai dan hal – hal yang memudahkan lainnya, termasuk dukungan finansial dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan.

Page 12: International Standars for Tuberculosis Care

Standar 10

Response to therapy in patients with pulmonary tuberculosis should be monitored by follow-up sputum microscopy (two specimens) at the time of completion of the initial phase of treatment (two months). If the sputum smear is positive at completion of the initial phase, sputum smears should be examined again at 3 months and, if positive, culture and drug susceptibility testing should be performed. In patients with extra-pulmonary tuberculosis and in children, the response to treatment is best assessed clinically.Respons pasien dengan TB paru terhadap pengobatan harus dimonitor dan ditindak lanjuti dengan pemeriksaan sputum mikroskopis (dua specimen) pada saat pengobatan fase pertama selesai (dua bulan). Jika hasil pemeriksaan apusan sputum masih positif setelah fase pertama, harus dilakukan kembali pemeriksaan apusan sputum setelah tiga bulan kemudian, dan jika masih positif, kultur dan uji resistensi obat harus dilakukan. Pada kasus ekstra paru dan pada anak – anak, respons pengobatan yang terbaik dinilai dari klinis.

Standar 11

An assessment of the likelihood of drug resistance, based on history of prior treatment, exposure to a possible source case having drug-resistant organisms, and the community prevalence of drug resistance, should be obtained for all patients. Drug susceptibility testing should be performed at the start of therapy for all previously treated patients. Patients who remain sputum smear-positive at completion of 3 months of treatment and patients who have failed, defaulted from, or relapsed following one or more courses of treatment should always be assessed for drug resistance. For patients in whom drug resistance is considered to be likely (see Table 8), culture and testing for susceptibility/resistance to at least isoniazid and rifampicin should be performed promptly. Patient counseling and education should begin immediately to minimize the potential for transmission. Infection control measures appropriate to the setting should be applied.Penilaian kemungkinan resistensi obat harus bisa dilakukan ke semua pasien dan harus didasarkan pada riwayat pengobatan sebelumnya, paparan terhadap kasus TB resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam komunitas. Uji resistensi obat harus dilakukan pada saat awal terapi ke pasien yang punya riwayat pengobatan sebelumnya. Pasien yang hasil uji apusan sputumnya masih positif setelah selesainya pengobatan tiga bula pertama dan pasien yang pernah gagal pengobatan, atau kambuh setelah satu atau lebih dari satu periode pengobatan harus diperiksa dengan kecurigaan resistensi obat. Pada pasien yangmana TB resisten obat dicurigai, kultur dan uji resistensi pada setidaknya INH dan RIF harus dilakukan. Konseling dan edukasi pasien harus dilakukan secepatnya untuk meminimalisir potensi transmisi. Kendali infeksi pada semua setting harus bisa dilakukan.

Standar 12 Patients with or highly likely to have tuberculosis caused by drug-resistant (especially MDR/XDR) organisms should be treated with specialized regimens containing second-line antituberculosis drugs. The regimen chosen may be standardized or based on suspected or confirmed drug susceptibility patterns. At least four drugs to which the organisms are known or presumed to be susceptible, including an injectable agent, should be used and treatment should be given for at least 18–24 months beyond culture conversion. Patient-centered measures, including observation of treatment, are required to ensure adherence. Consultation with a provider experienced in treatment of patients with MDR/XDR tuberculosis should be obtained.Pasien dengan atau dengan kecurigaan tinggi memiliki TB resisten obat (terutama MDR/XDR) harus bisa diobati dengan regimen khusus yang mencakup OAT lini kedua. Pilihan regimen bisa distandardisasi atau berdasarkan pada kecurigaan atau pola kerentanan OAT yang telah dikonfirmasi. Setidaknya empat jenis obat yang mana organisme masih diketahui atau dianggap rentan, termasuk OAT yang diinjeksikan, harus bisa diaplikasikan dan pengobatan harus diberikan setidaknya selama 18-24 bulan diluar konversi kultur. Pengukuran berpusat ke pasien, termasuk observasi pengobatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepatuhan.  Kasus ini harus bisa dikonsultasikan pada penyedia jasa layanan TB yang

Page 13: International Standars for Tuberculosis Care

berpengalaman menangani kasus MDR/XDR. 

Standar 13

A written record of all medications given, bacteriologic response, and adverse reactions should be maintained for all patients.Semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping pengobatan harus tercatat dan dilakukan pada semua pasien.

 

ISTC – Standar penanganan komorbid HIV dan kondisi lainnya

Standar 14

HIV testing and counseling should be recommended to all patients with, or suspected of having, tuberculosis. Testing is of special importance as part of routine management of all patients in areas with a high prevalence of HIV infection in the general population, in patients with symptoms and/or signs of HIV-related conditions, and in patients having a history suggestive of high risk of HIV exposure. Because of the close relationship of tuberculosis and HIV infection, in areas of high HIV prevalence integrated approaches to prevention and treatment of both infections are recommended.Tes dan konseling HIV harus direkomendasikan ke semua pasien atau yang dicurigai TB. Tes HIV sangat penting sebagai bagian dari tatalaksana rutin kepada semua pasien di wilayah yang prevalensi HIV-nya tinggi, pada pasien dengan tanda dan/atau gejala terkait HIV, dan pada pasien yang mempunyai riwayat terpapar HIV. Karena terdapat hubungan yang erat antara TB dengan HIV, maka pada area dengan prevalensi HIV tinggi, pendekatan terintegrasi untuk mencegah dan mengobati infeksi keduanya sangat direkomendasikan

Standar 15

All patients with tuberculosis and HIV infection should be evaluated to determine if antiretroviral therapy is indicated during the course of treatment for tuberculosis. Appropriate arrangements for access to antiretroviral drugs should be made for patients who meet indications for treatment. However, initiation of treatment for tuberculosis should not be delayed. Patients with tuberculosis and HIV infection should also receive cotrimoxazole as prophylaxis for other infections.Semua pasien dengan TB dan HIV harus dievaluasi untuk menentukan jika terapi antiretroviral (ARV) dibutuhkan selama periode terapi OAT. Pasien dengan indikasi harus diterapi ARV harus mendapatkan pengaturan yang sesuai untuk bisa mengakses ARV. Bagaimanapun juga, inisiasi pengobatan TB tidak boleh terlambat. Pasien dengan TB dan HIV harus menerima profilaksis kotrimoksasol untuk pencegahan infeksi lainnya.

Standar 16

Persons with HIV infection who, after careful evaluation, do not have active tuberculosis should be treated for presumed latent tuberculosis infection with isoniazid for 6-9 months.Orang dengan infeksi HIV yang mana setelah evaluasi ketat, tidak ditemukan kondisi TB aktif harus diterapi dan dianggap sebagai infeksi laten TB dengan terapi isoniazid 6-9 bulan.

Standar 17 All providers should conduct a thorough assessment for co-morbid conditions that could affect tuberculosis treatment response or outcome. At the time the treatment plan is developed, the provider should identify additional services that would support an optimal outcome for each patient and incorporate these services into an individualized plan of care. This plan should include assessment of and referrals for treatment of other illnesses with particular attention to

Page 14: International Standars for Tuberculosis Care

those known to affect treatment outcome, for instance care for diabetes mellitus, drug and alcohol treatment programs, tobacco smoking cessation programs, and other psychosocial support services, or to such services as antenatal or well-baby care.Semua penyedia jasa layanan kesehatan harus melakukan penilaian menyeluruh terhadap kondisi komorbiditas yang berpengaruh terhadap respons atau luaran pengobatan TB. Pada waktu rencana pengobatan dikembangkan, penyedia jasa layanan kesehatan harus bisa mengidentifikasi layanan tambahan yang dapat mendukung luaran yang optimal untuk tiap pasien dan menggabungkan layanan ini kedalam rencana pengobatan. Rencana ini sudah harus termasuk penilaian dan rujukan terhadap pengobatan penyakit lain dengan perhatian khusus terutama pada yang mempengaruhi luaran pengobatan, sebagai contoh perawatan diabetes mellitus, program penyalah gunaan alcohol dan obat-obatan, program berhenti merokok,  dan layanan pendukung psikososial lainnya, atau layanan antenatal atau perawatan bayi.

 

ISTC –  Standar Kesehatan Masyarakat

Standar 18 All providers of care for patients with tuberculosis should ensure that persons who are in close contact with patients who have infectious tuberculosis are evaluated and managed in line with international recommendations. The determination of priorities for contact investigation is based on the likelihood that a contact: 1) has undiagnosed tuberculosis; 2) is at high risk of developing tuberculosis if infected; 3) is at risk of having severe tuberculosis if the disease develops; and 4) is at high risk of having been infected by the index case. The highest priority contacts for evaluation are:

Persons with symptoms suggestive of tuberculosis Children aged <5 years Contacts with known or suspected immunocompromised,

particularly

HIV infection

Contacts of patients with MDR/XDR tuberculosis

Other close contacts are a lower priority group.

Semua penyedia jasa layanan kesehatan untuk pasien TB harus memastikan bahwa orang yang punya riwayat kontak dengan pasien TB harus dievaluasi dan ditangani sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas untuk investigasi kontak berdasarkan kemungkinan kontak yang: (1) tidak terdiagnosis TB; (2) beresiko tinggi TB; (3) beresiko terhadap kejadian TB berat jika terkena penyakit TB; dan (4) beresiko tinggi menderita TB berdasarkan indeks kasus. Prioritas tertinggi untuk evaluasi kontak adalah:

Orang dengan gejala yang mengarah ke TB Anak usia < 5 tahun Kontak penderita dengan status immunocompromised, terutama

infeksi HIV Riwayat kontak dengan penderita XDR/MDR-TB

Page 15: International Standars for Tuberculosis Care

Riwayat kontak lainnya berada pada prioritas dibawahnya

Standar 19

Children <5 years of age and persons of any age with HIV infection who are close contacts of an infectious index patient and who, after careful evaluation, do not have active tuberculosis, should be treated for presumed latent tuberculosis infection with isoniazid.Anak usia kurang dari 5 tahun dan orang (usia berapapun) yang menderita HIV dan mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB dan mereka yang setelah evaluasi ketat ditentukan bukan sebagai penderita TB aktif, harus ditangani dan dianggap sebagai penderita TB laten dengan pengobatan isoniazid.

Standar 20

Each healthcare facility caring for patients who have, or are suspected of having, infectious tuberculosis should develop and implement an appropriate tuberculosis infection control plan.Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien atau mereka yang dicurigai mengidap TB harus mengembangkan dan mengimplementasikan rencana pengendalian infeksi TB.

Standar 21

All providers must report both new and re-treatment tuberculosis cases and their treatment outcomes to local public health authorities, in conformance with applicable legal requirements and policies.Semua penyedia jasa layanan kesehatan harus melaporkan baik kasus baru maupun kasus ulangan TB dan juga luaran pengobatan kepada otoritas kesehatan masyarakat setempat,  dengan menyesuaikan pada aturan legal setempat.

Page 16: International Standars for Tuberculosis Care