introgresi gen csnitr1-l dari transgenik nipponbare ke...

76
173 J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014) * Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected] Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke Ciherang dan Analisis Pewarisannya pada Generasi BC3F4 Introgression of CsNitr1-L Transgene from Transgenic Nipponbare to Ciherang and Analysis of Its Inheritance in the BC3F4 Nazarudin 1 , Suharsono 2 , dan Sustiprijatno 1* 1 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN), Jl. Tentara Pelajar No. 3A, Cimanggu, Bogor, Indonesia 2 Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor IPB, Jl. Kamper, Gd. PAU IPB Darmaga, Bogor, Indonesia Diterima 25 Maret 2014/Disetujui 22 Agustus 2014 ABSTRACT CsNitr1-L gene is a gene encoding nitrites transporter and is included in the group of proton oligopeptide transporter (POT) gene family. The absorption of nitrites by plants expressing this transporter becomes efficient. The gene encoding this protein (CsNitr1-L) under the control of 35S CaMV Promoter had been introduced into rice plants (Oryza sativa L.) subspecies japonica cv. Nipponbare to transfer this gene. The japonica transgenic rice had been crossed with Ciherang variety followed by back-cross and self polination until BC3F4 generation. The aim of this study was to analyse introgression of CsNitr1-L gene in the transgenic rice BC3F4 generation. The transgenic rice plants in BC3F4 generation were selected based on the resistance to hygromicin. More than 90% population of BC3F4 are putative introgression rice lines carriying the transgene. The introgression of the transgene were indirectly confirmed by PCR analaysis using primer corresponding to hpt gene. The yield of introgression line was higher than these of original Ciherang cultivar. Four introgression lines (G3, G7, G8 and G11) that had higher yield were analysed by PCR. Result of the analysis showed that these four transgenic plants carried the introgression. Keywords: proton oligopeptide transporter, nitrites transporter, efficient nitrogen, transgenic rice ABSTRAK Gen CsNitr1-L adalah gen yang menyandikan nitrit transporter dan termasuk dalam kelompok proton oligopeptide transporter (POT). Penyerapan nitrit oleh tanaman yang mengekspresikan transporter ini menjadi efisien. Gen yang menyandikan protein ini (CsNitr1-L) di bawah kontrol promotor 35S CaMV telah diintroduksi ke tanaman padi (Oryza sativa L.) subspesies japonica cv. Nipponbare untuk mentransfer gen ini padi transgenik japonica telah disilangkan dengan varietas Ciherang diikuti dengan silang balik dan menyerbuk sendiri sampai generasi BC3F4. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis introgresi gen CsNitr1-L di dalam tanaman padi transgenik generasi BC3F4. Tanaman padi transgenik generasi BC3F4 dipilih berdasarkan ketahanan terhadap higromisin. Lebih dari 90% dari populasi BC3F4 adalah tanaman padi transgenik putatif. Transgen yang terintrogresi dikonfirmasi dengan analisis PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen hpt. Hasilnya galur introgresi lebih tinggi daripada kultivar Ciherang. Empat galur introgresi G3, G7, G8, G11, berdasarkan produktivitas tertinggi dianalisis dengan PCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa empat tanaman transgenik ini membawa transgen introgresi CsNitr1-L. Kata kunci: proton oligopeptide transporter, nitrit transporter, efisien nitrogen, padi transgenik PENDAHULUAN Upaya peningkatan produksi padi saat ini memiliki berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah, perubahan iklim dan penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan produktivitas (Pramono et al., 2005; Wangiyana et al., 2008; Azwir dan Ridwan, 2009). Petani memberikan tambahan pupuk untuk meningkatkan produktivitas padi terutama pupuk nitrogen. Kondisi sawah dengan penggenangan untuk menanam padi dapat mengakibatkan hilangnya unsur hara nitrogen karena terlarut, menguap dan mengalami denitrifikasi, sehingga sebagian besar dari jumlah pupuk nitrogen yang diaplikasikan di lahan sawah tidak dapat diserap tanaman secara optimal (Ikhwani, 2012). Tanaman mengambil nitrogen dalam bentuk NH 4 + (amonium) dan NO 3 - (Yao-Hong et al., 2007). Alur asimilasi

Upload: lethu

Post on 12-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

173Introgresi Gen CsNitr1-L dari......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke Ciherang dan Analisis Pewarisannya pada Generasi BC3F4

Introgression of CsNitr1-L Transgene from Transgenic Nipponbare to Ciherang and Analysis of Its Inheritance in the BC3F4

Nazarudin1, Suharsono2, dan Sustiprijatno1*

1Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN),Jl. Tentara Pelajar No. 3A, Cimanggu, Bogor, Indonesia

2Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor IPB,Jl. Kamper, Gd. PAU IPB Darmaga, Bogor, Indonesia

Diterima 25 Maret 2014/Disetujui 22 Agustus 2014

ABSTRACT

CsNitr1-L gene is a gene encoding nitrites transporter and is included in the group of proton oligopeptide transporter (POT) gene family. The absorption of nitrites by plants expressing this transporter becomes efficient. The gene encoding this protein (CsNitr1-L) under the control of 35S CaMV Promoter had been introduced into rice plants (Oryza sativa L.) subspecies japonica cv. Nipponbare to transfer this gene. The japonica transgenic rice had been crossed with Ciherang variety followed by back-cross and self polination until BC3F4 generation. The aim of this study was to analyse introgression of CsNitr1-L gene in the transgenic rice BC3F4 generation. The transgenic rice plants in BC3F4 generation were selected based on the resistance to hygromicin. More than 90% population of BC3F4 are putative introgression rice lines carriying the transgene. The introgression of the transgene were indirectly confirmed by PCR analaysis using primer corresponding to hpt gene. The yield of introgression line was higher than these of original Ciherang cultivar. Four introgression lines (G3, G7, G8 and G11) that had higher yield were analysed by PCR. Result of the analysis showed that these four transgenic plants carried the introgression.

Keywords: proton oligopeptide transporter, nitrites transporter, efficient nitrogen, transgenic rice

ABSTRAK

Gen CsNitr1-L adalah gen yang menyandikan nitrit transporter dan termasuk dalam kelompok proton oligopeptide transporter (POT). Penyerapan nitrit oleh tanaman yang mengekspresikan transporter ini menjadi efisien. Gen yang menyandikan protein ini (CsNitr1-L) di bawah kontrol promotor 35S CaMV telah diintroduksi ke tanaman padi (Oryza sativa L.) subspesies japonica cv. Nipponbare untuk mentransfer gen ini padi transgenik japonica telah disilangkan dengan varietas Ciherang diikuti dengan silang balik dan menyerbuk sendiri sampai generasi BC3F4. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis introgresi gen CsNitr1-L di dalam tanaman padi transgenik generasi BC3F4. Tanaman padi transgenik generasi BC3F4 dipilih berdasarkan ketahanan terhadap higromisin. Lebih dari 90% dari populasi BC3F4 adalah tanaman padi transgenik putatif. Transgen yang terintrogresi dikonfirmasi dengan analisis PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen hpt. Hasilnya galur introgresi lebih tinggi daripada kultivar Ciherang. Empat galur introgresi G3, G7, G8, G11, berdasarkan produktivitas tertinggi dianalisis dengan PCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa empat tanaman transgenik ini membawa transgen introgresi CsNitr1-L.

Kata kunci: proton oligopeptide transporter, nitrit transporter, efisien nitrogen, padi transgenik

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan produksi padi saat ini memiliki berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah, perubahan iklim dan penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan produktivitas (Pramono et al., 2005; Wangiyana et al., 2008; Azwir dan Ridwan,

2009). Petani memberikan tambahan pupuk untuk meningkatkan produktivitas padi terutama pupuk nitrogen. Kondisi sawah dengan penggenangan untuk menanam padi dapat mengakibatkan hilangnya unsur hara nitrogen karena terlarut, menguap dan mengalami denitrifikasi, sehingga sebagian besar dari jumlah pupuk nitrogen yang diaplikasikan di lahan sawah tidak dapat diserap tanaman secara optimal (Ikhwani, 2012).

Tanaman mengambil nitrogen dalam bentuk NH4+

(amonium) dan NO3- (Yao-Hong et al., 2007). Alur asimilasi

Page 2: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

174 Nazarudin, Suharsono, dan Sustiprijatno

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

nitrat memperlihatkan bahwa pertama kali nitrat direduksi menjadi nitrit oleh enzim nitrat reduktase di dalam sitoplasma, kemudian nitrit direduksi menjadi amonium oleh enzim nitrit reduktase di dalam kloroplas (Mokhele et al., 2012). Amonium yang dihasilkan merupakan bahan dasar untuk metabolisme protein. Nitrit adalah produk antara yang sangat penting tetapi dapat meracuni tanaman, sehingga keberadaannya di sitoplasma harus sesedikit mungkin atau secepatnya ditranslokasikan ke organel lain (Sugiura et al., 2007; Tsay et al., 2007). Nitrit di sitoplasma dapat ditransfer dengan cepat oleh protein transporter nitrit menuju kloroplas, sehingga akumulasi nitrit dalam sitoplasma dapat dikurangi.

Tanaman padi memiliki transporter nitrit namun tidak aktif (Sustiprijatno et al., 2006; Pertiwi, 2010). Asimilasi nitrat pada tanaman terjadi di akar dan daun (Nasholm et al., 2009). Nitrat akan disimpan pada vakuola akar atau akan ditransfer ke mesofil daun. Akan tetapi, sebelumnya nitrat akan direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit di sitosol, kemudian direduksi lagi menjadi NH4

+ di dalam kloroplas (Sugiura et al., 2007).

Sustiprijatno et al. (2006) telah berhasil memodifikasi proses transfer nitrit dari sitosol ke kloroplas pada tanaman padi Oryza sativa L. japonica cv. Nipponbare dengan memasukkan gen Nitr1-L yang berasal dari tanaman ketimun (Cucumis sativus L, CsNitr1-L). Gen CsNitr1-L merupakan gen yang menyandi transporter nitrit dan termasuk dalam kelompok proton oligopeptide transporter (POT). Nitrit di sitoplasma dapat dipindahkan dengan cepat oleh gen transporter nitrit menuju kloroplas, sehingga penyerapan nitrat oleh tanaman padi menjadi semakin besar. Tanaman padi transgenik yang membawa transgen CsNitr1-L telah disilangkan dengan padi varietas Ciherang kemudian disilang balik (back-cross) 3 kali dengan varietas Ciherang yang digunakan sebagai tetua betina. Hasil silang balik diperlakukan menyerbuk sendiri sampai generasi F4. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pewarisan gen CsNitr1-L pada tanaman padi Ciherang transgenik generasi F4 dari silang balik ke tiga (BC3F4) melalui analisis antibiotik higromisin untuk memisahkan tanaman yang diduga membawa gen hpt, kemudian analisis fenotipe digunakan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki produktifitas yang tinggi, dan analisis molekuler digunakan untuk memastikan keberadaan gen CsNitr1-L terintrogresi pada galur tanaman padi BC3F4.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai dengan Agustus tahun 2012 di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik (BB BIOGEN), Badan Litbang Pertanian, Bogor. Penelitian ini menggunakan benih padi galur Ciherang introgresi generasi F4 dari hasil silang balik ketiga (BC3F4) antara varietas Ciherang dan varietas Nipponbare transgenik yang membawa transgen CsNitr1-L (Gambar 1).

Higromisin digunakan untuk menguji ketahanan kecambah padi galur introgesi Ciherang BC3F4, sehingga diperoleh kecambah yang toleran terhadap higromisin. Kecambah yang toleran terhadap higromisin kemudian dianalisis secara molekuler dengan mengunakan primer oligonukleotida HPT-F (5’GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG3’) dan HPT-R (5’GCATCTCCCGCCGTGCAC3’). Amplifikasi PCR menggunakan primer oligonukleotida 35S-F ’GAGAGAAAGCTTCATGGAGTCAAAGATTCAAA3’) dan CsNitr1-L-R (5’ATAGATGATGGAGGCGATGG3’) digunakan untuk memastikan keberadaan gen CsNitr1-L yang terintegrasi dalam genom padi hasil introgesi. Primer Aktin-F (5’TCCATCTTGGCATCTCTCA3’) dan primer Aktin-R 5’GTACCCGCATCAGGCATC3’ digunakan sebagai kontrol internal tanaman padi untuk memastikan DNA yang digunakan mempunyai kualitas yang baik untuk PCR.

Seleksi Kecambah BC3F4 dengan Higromisin

Benih padi BC3F4 yang akan digunakan dikeringkan di dalam inkubator pada suhu 45 °C selama 2 hari. Benih-benih tersebut kemudian disterilisasi dengan perendaman dalam etanol 70% selama 1 menit dan pada larutan pemutih/bleach 30% (konsentrasi akhir sodium hypochlorite NaOCl 2%) + tween selama 1 jam. Benih kemudian dibilas lima kali dengan akuades steril. Seratus benih BC3F4 yang telah disterilkan kemudian ditumbuhkan selama tiga minggu di media MS0 dengan penambahan 50 mg L-1 antibiotik higromisin untuk mendapatkan bibit yang tahan higromisin. Sebagai kontrol efektivitas media seleksi, 100 benih padi varietas Ciherang ditanam di media selektif yang sama.

Kecambah padi yang tumbuh dipindahkan ke cawan petri baru dengan media air selama 1 minggu, kemudian dipindah ke bak kecil berupa media tanam tanah selama 2 minggu. Selanjutnya, bibit padi yang pertumbuhannya baik dipindah ke media ember berisi tanah, yang telah dianalisis

Nipponbare (NB) >< Ciherang (CH)

F1 >< CH

BC1 >< CH

BC2 >< CH

BC3

F4 (Jumlah populasi yang dianalisis sebanyak100 individu BC3F4 )

Gb 1. Asal Usul Padi Ciherang BC3F4

Self

Nipponbare (NB) >< Ciherang (CH)

F1 >< CH

BC1 >< CH

BC2 >< CH

BC3

F4 (Jumlah populasi yang dianalisis sebanyak100 individu BC3F4 )

Gb 1. Asal Usul Padi Ciherang BC3F4

Self

Gambar 1. Asal usul padi Ciherang BC3F4

Jumlah populasi yang dianalisis sebanyak 100 individu BC3F4

Page 3: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

175Introgresi Gen CsNitr1-L dari......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

terlebih dahulu untuk mengetahui kandungan N-totalnya. Bobot tanah yang digunakan sebagai media tumbuh adalah 10 kg. Setiap ember ditanami satu bibit. Setiap genotipe pada setiap dosis pemupukan terdiri atas dua bibit.

Perlakuan Pupuk

Tanaman padi introgresi BC3F4 dan padi cv. Ciherang yang telah dipindahkan ke ember diberi pupuk dasar TSP 100 kg ha-1 dan KCl 100 kg ha-1 pada saat tanam. Pupuk urea diberikan sebagai perlakuan dengan empat taraf yaitu 0, 50, 100, dan 150 kg ha-1. Urea diberikan 3 kali yaitu 25% dosis pada saat tanam, 25% dosis pada saat berumur 4 MST, dan 50% dosis ketika memasuki masa pembungaan.

Analisis Fenotipe

Fenotipe yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan tiap rumpun, jumlah biji per malai dan berat biji tiap rumpun. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode sidik ragam.

Isolasi DNA Tanaman

Isolasi DNA tanaman padi BC3F4 maupun kontrol (cv. Ciherang) menggunakan prosedur Doyle dan Doyle (1990) yang menggunakan buffer CTAB. Sebanyak 0.5 g daun padi digerus dengan nitrogen cair hingga membentuk serbuk, kemudian ditambah 600 µl larutan buffer CTAB (CTAB, PVP, ß-merkaptoetanol) dan 1/10 volume Na asetat di dalam tabung mikro. Tabung mikro yang berisi suspensi sel dan DNA diinkubasi pada suhu 65 °C selama 30 menit dan diinkubasi di dalam air es selama 5 menit, ditambah 1x volume chloroform-isoamil alkohol (24:1), dibolak-balik agar tercampur dan disentrifugasi dengan kecepatan 11,000 g selama 15 menit.

Fase cairan yang terdapat di atas suspensi dipindahkan ke tabung mikro baru, ditambahkan 1/10 volume Na asetat, isopropanol dingin 2/3 volume dan 2 x volume etanol absolute (98%) lalu dibolak-balik sebentar agar tercampur, kemudian disimpan di air es selama 15 menit. Tabung disentrifugasi lagi dengan kecepatan 11,000 g cairan yang ada di tabung dibuang dan endapan yang terbentuk ditambah etanol 70% kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11,000 g selama 5 menit, selanjutnya etanol 70% dibuang dari tabung mikro dan endapan yang ada dikeringkan dengan vakum selama 5 menit, lalu dilarutkan dengan TE (Tris-HCl; EDTA) 50 µl buffer dan diberi perlakuan 1µl RNAse. Suspensi DNA kemudian di inkubasi 37 °C selama 30 menit. Kualitas dan kuantitas DNA yang diisolasi selanjutnya diukur dengan nanodrop.

Analisis Gen hpt dan CsNitr1-L dengan PCR DNA padi BC3F4 maupun cv. Ciherang yang telah

diisolasi selanjutnya dianalisis dengan PCR menggunakan metode Sambrook dan Russel (1989). Kondisi PCR yang digunakan untuk analisis gen hpt adalah pra PCR 94 °C selama 5 menit, denaturasi 94 °C selama 30 detik, annealing

65 °C selama 30 detik, extension pada suhu 72 °C selama 30 detik, seluruh rangkaian dilakukan selama 35 siklus dan diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72 °C selama 5 menit. Kondisi PCR yang digunakan untuk analisis gen CsNitr1-L adalah pra PCR 95 °C selama 4 menit, denaturasi pada suhu 94 °C selama 1 menit, annealing pada suhu 55 °C selama 45 detik, extension pada suhu 72 °C selama 1 menit, seluruh rangkaian dilakukan sebanyak 30 siklus, diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72 °C selama 5 menit. Hasil PCR di elektroforesis pada gel agarose 1% dengan voltase 75 volt selama 45 menit. Selanjutnya, gel direndam dengan larutan etidium bromida (0.5 mg L-1) selama 10 menit dan di air selama 7 menit. Visualisasi pita DNA di gel dilakukan pada gel doc dengan UV transiluminator.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seleksi Kecambah Padi dengan Antibiotik Higromisin

Hasil seleksi terhadap kecambah dalam media dengan penambahan higromisin menunjukkan bahwa rata-rata kecambah yang resisten adalah di atas 90%, yaitu kecambah G3 96%, G7 93%, G8 91%, dan G11 98%. Pengamatan pada media selektif yang sama menunjukkan tidak satupun kecambah dari tanaman padi varietas Ciherang yang berkecambah (Tabel 1). Semua kecambah padi cv. Ciherang tumbuh normal pada media non-selektif yang merupakan media MS0 tanpa higromisin (Gambar 2). Penelitian yang sama dilakukan oleh Hanum (2011) pada tembakau, Anggraito (2012) pada kedelai, Sianturi (2012) pada padi, menunjukkan bahwa media selektif MS0 dengan penambahan 50 mg l-1 higromisin mampu membedakan tanaman transgenik dari tanaman non-transgenik.

PCR dengan primer HPT-F dan HPT-R menghasilkan amplifikasi sebesar 516 pasang basa (pb) yang sesuai dengan daerah hpt yang diapit oleh kedua primer tersebut. PCR terhadap tanaman padi Ciherang non transgenik dengan primer yang sama dan kondisi yang sama tidak menghasilkan amplifikasi DNA (Gambar 3). Hasil ini mengkonfirmasi bahwa tanaman yang resisten higromisin tersisipi gen hpt.

Tinggi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi tidak lepas dari peran

unsur hara terutama unsur Nitrogen (N). Masa vegetatif

Genotipe Jumlah biji awal

Resisten higromisin Persentase

G3 100 96 96%G7 100 93 93%G8 100 91 91%G11 100 98 98%Ciherang 100 0 0%

Tabel 1. Seleksi ketahanan benih padi BC3F4 dan padi cv. Ciherang terhadap higromisin

Page 4: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

176 Nazarudin, Suharsono, dan Sustiprijatno

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

awal tanaman padi membutuhkan unsur N yang tinggi untuk pertambahan biomas dan pembentukan tajuk tanaman serta pengisian biji (Tegeder dan Rentsch, 2010).

Tanaman BC3F4 pada tingkat pemupukan urea yang sama, mempunyai tinggi yang tidak berbeda nyata dengan tanaman cv. Ciherang (Tabel 2). Pertumbuhan dari tanaman padi pada galur-galur tersebut di pengaruhi oleh karakter yang kuat dari tetua asalnya yaitu Ciherang (Gardner et al. 1991).

Jumlah Anakan Tiap Rumpun

Jumlah anakan tiap rumpun tanaman BC3F4 tidak berbeda nyata dengan tanaman cv. Ciherang pada perlakuan

dosis 0 dan 100 kg urea ha-1, pada dosis 50 dan 150 kg urea ha-1, tanaman transgenik dan non-transgenik juga tidak berbeda nyata namun G3 (50 dan 150 kg urea ha-1) dan G11 (150 kg urea ha-1) berbeda nyata dibandingkan dengan Ciherang (Tabel 3). Tingginya jumlah anakan pada G3 dan G11 mungkin disebabkan adanya gen transporter nitrit yang berperan dalam meningkatkan proses asimilasi nitrat lebih baik dari galur transgenik lainnya meski dalam kondisi tergenang.

Jumlah Biji Tiap Malai Tanaman BC3F4 (G3, G7, G8, dan G11) menghasilkan

jumlah biji tiap malai yang lebih tinggi pada setiap dosis yang

Gambar 2. Perkecambahan padi pada media selektif MS0 dengan penambahan 50 mg L-1 antibiotik higromisin dan pada media non-selektif MS0 yang tidak mengandung higromisin umur 2 minggu. (A) Kecambah padi cv. Ciherang pada media selektif, (B) Kecambah padi introgesi BC3F4 pada media selektif, (C) Kecambah padi cv. Ciherang pada media non selektif

Gambar 3. Hasil PCR dengan kombinasi primer HPT-F dan primer HPT-R untuk amplifikasi gen hpt. M = marka DNA 1 Kb ladder; P =

Plasmid yang mengandung gen hpt; NT = padi Ciherang non transgenik; 1-16 = galur padi introgesi BC3F4 G3, G7, G8, dan G11 dari BC3F4

GenotipePupuk urea (kg ha-1)

0 50 100 150G3 99.0 101.0 106.0a 110.0G7 94.5 97.0 98.5ab 113.5G8 93.0 92.5 92.5b 106.5G11 94.0 94.5 100.5a 109.0Ciherang 100.0 100.5 102.5a 105.5

Tabel 2. Pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman pada setiap taraf pemupukan urea

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%

Page 5: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

177Introgresi Gen CsNitr1-L dari......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

diberikan dibandingkan dengan tanaman cv. Ciherang (Tabel 4). Hal ini diduga fungsi dari gen CsNitr1-L pada tanaman BC3F4 memacu pembentukan biji. Gen transporter nitrit ini bekerja langsung mentransfer bentuk-bentuk nitrogen yang diserap ke dalam kloroplas untuk pembentukan malai. Akan tetapi, pembentukan biji pada malai padi cv Ciherang terjadi secara alami karena tidak ada sisipan gen CsNitr1-L. Penelitian yang sama dilakukan oleh Limbongan et al. (2009) menunjukkan bahwa jumlah gabah dipengaruhi oleh galur dan pemupukan. Selanjutnya Suhartatik et al. (2007) menjelaskan bahwa asimilat yang dihasilkan lebih banyak di alokasikan untuk pembentukan gabah.

Berat Biji Tiap Rumpun

Rata-rata produksi biji tiap rumpun tanaman padi BC3F4 lebih tinggi daripada tanaman cv. Ciherang. Di

antara tanaman BC3F4, G3 dan G11 mempunyai produksi biji yang lebih tinggi dari pada galur BC3F4 lainnya (Tabel 5). Tingginya produksi biji tanaman BC3F4 kemungkinan disebabkan oleh transporter nitrit yang disandi oleh gen CsNitr1-L yang berada pada tanaman BC3F4 mengalokasikan sebagian besar asimilat yang terbentuk (source) maupun yang tersimpan (sink) untuk pengisian biji. Hasil penelitian Ning et al. (2009) menunjukkan hasil fotosintat lebih banyak terdistribusikan ke pembentukan malai dan pengisian biji. Asimilat yang dikumpulkan dengan cepat oleh tanaman BC3F4 dengan adanya gen CsNitr1-L digunakan untuk pembentukan biji sehingga berat biji rata-rata tanaman BC3F4 lebih tinggi dari tanaman cv. Ciherang. Hal ini dijelaskan oleh Pertiwi (2010) secara molekuler bahwa tanaman BC3F3 yang membawa gen CsNitr1-L mengekspresikan enzim transporter nitrit lebih tinggi dibandingkan tanaman cv. Ciherang.

GenotipePupuk Urea (kg ha-1)

0 50 100 150G3 5.5 19.0a 12.0 24.0aG7 4.0 13.0b 13.0 12.0bG8 7.5 7.5c 15.5 18.0bG11 11.5 16.0ab 18.5 27.5aCiherang 13.5 10.0bc 11.0 12.0b

Tabel 3. Perbedaan jumlah anakan tiap rumpun berbagai genotipe padi pada setiap pemupukan urea

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%

GenotipePupuk Urea (kg ha-1)

0 50 100 150G3 83.8ab 91.3 102.5 112.1bG7 71.8ab 91.0 127.8 131.8aG8 84.0ab 85.6 133.5 133.6aG11 96.3a 109.6 122.3 135.3aCiherang 61.1b 66.5 101.6 105.5b

Tabel 4. Pengaruh genotipe terhadap jumlah biji tiap malai pada setiap taraf pemupukan urea

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%

GenotipePupuk Urea (kg ha-1)

0 50 100 150G3 17.3 39.5 41.2ab 57.83aG7 18.7 22.4 34.7abc 41.27abG8 15.5 18.2 24.6bc 49.41abG11 17.2 33.7 47.9a 58.74aCiherang 9.2 17.0 17.0c 34.75b

Tabel 5. Pengaruh genotipe terhadap berat biji (g) tiap rumpun pada setiap taraf pemupukan urea

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%

Page 6: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

178 Nazarudin, Suharsono, dan Sustiprijatno

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

Analisis Integrasi Gen CsNitr1-L

Empat galur yang berbeda yang mempunyai produksi yang paling tinggi diambil untuk dianalisis dengan PCR. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya gen CsNitr1-L pada generasi BC3F4. Analisis PCR dengan pasangan primer 35S CaMVF dan primer CsNitr1-LR terhadap 4 tanaman menunjukkan bahwa keempat tanaman tersebut membawa fragmen berukuran 901 pasang basa (pb). DNA dari tanaman cv. Ciherang tidak menghasilkan amplifikasi

sebesar 901 pb dengan kondisi PCR yang sama (Gambar 4). Seluruh tanaman baik tanaman BC3F4 maupun cv. Ciherang dapat menghasilkan fragmen sebesar 400 pb, dengan primer yang dapat mengamplifikasi gen aktin (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh DNA dari tanaman yang dianalisis memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dan menunjukkan amplikon yang berukuran sekitar 901 pb adalah fragmen yang terdiri atas promotor 35S CaMV dan gen CsNitr1-L. Hasil ini menunjukkan bahwa transgen CsNitr1-L diwariskan ke generasi BC3F4.

Gambar 4. Hasil PCR dengan kombinasi primer 35S-F dan CsNitr1-L-R. M = marka DNA (1 Kb ladder plus); Ka = Kontrol air; K+ = Nipponbare trangenik 4.1; NT = varietas Ciherang non transgenik; 1-4 = galur introgesi G3, G7, G8, G11

Gambar 5. Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA tanaman padi menggunakan pasangan primer aktin-F dan primer aktin-R. M = marka DNA (1 kb ladder); NT = tanaman padi cv. Ciherang; 1-4 = galur introgesi G3, G7, G8, G11

KESIMPULAN

Seleksi resistensi padi introgesi populasi BC3F4 dalam media MS0 dengan penambahan hygromisin 50 mg L-1 pada media MS0, menghasilkan kecambah yang resisten terhadap higromisin. Tanaman yang resisten higromisin mewarisi gen hpt. Pertumbuhan tanaman BC3F4 tidak berbeda nyata dengan tanaman cv. Ciherang. Tanaman transgen galur G3, G7, G8 dan G11 membawa transgen CsNitr1-L dibawah kendali promotor 35S CaMV dan diwariskan ke generasi BC3F4. Tanaman transgen galur G3, G7, G8 dan G11 mempunyai produktivitas yang lebih tinggi daripada tanaman cv. Ciherang.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraito, Y.U. 2012. Genetic transformation of Nicotiana benthamiana L. and soybean with MaMt2 gene encoding metallothionein Type II from Melastoma malabathricum L. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Azwir dan Ridwan. 2009. Peningkatan produktivitas padi sawah dengan perbaikan teknologi budidaya. Akta Agrosia 12:212-218.

Doyle, J.J., J.L. Doyle. 1990. A rapid total DNA preparation procedure for fresh plant tissue. Focus 12:13-15.

Page 7: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

179Introgresi Gen CsNitr1-L dari......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 173 - 179 (2014)

Gardner, F.P., R.B. Pearce, R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.

Hanum, S. 2011. Isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen penyandi Copper-Zinc Superoxide Dismutase (Cu/Zn-SOD) dari Melastoma malabathrricum L. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ikhwani. 2012. The effect of submergence and N fertilizer application on plant growth and production of submerged tolerant rice variety. J. Lahan Suboptimal 1:12-21.

Limbongan, Y.L., B.S. Purwoko, Trikosoemaningtyas, H. Aswidinoor. 2009. Respon padi sawah terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi. J. Agron. Indonesia 37:175-182.

Mokhele, B., X. Zhan, G. Yang, X. Zhang. 2012. Nitrogen assimilation in crop plants and its affecting factors. Can. J. Plant Sci. 92:1-7.

Nasholm, T., K. Kielland, U. Ganeteg. 2009. Uptake of organic nitrogen by plants. New Phytol. 182:31-48.

Ning, H., Z. Liu, Q. Wang, Z. Lin, S. Chen, G. Li, S. Wang, Y. Ding. 2009. Effect of nitrogen fertilizer application on grain phytic acid and protein concentrations in japonica and its variations with genotypes. J. Cereal Sci. 50:49-55.

Pramono, J., S. Basuki, Widarto. 2005. Increasing effort of irrigated rice productivity through of integrated crop and resources approach. Agrosains 7:1-6.

Pertiwi, N. 2010. Ekspresi gen CsNitr1-L pada padi transgenik dan pengaruhnya terhadap variasi pemupukan nitrogen. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sambrook, J., D.W. Russel. 1989. Molecular cloning : A Laboratory Manual. 3rd edition. Laboratory Pr. New York, US.

Sianturi, R.M.D. 2012. Introduksi gen Osdep1 ke dalam tanaman padi varietas Ciherang, Nipponbare, dan Kasalath melalui perantara Agrobacterium tumefacien. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sugiura, M., M.N. Georgescu, M. Takahashi. 2007. A nitrite transporter associated with nitrite uptake by higher plant chloroplasts. Plant Cell Physiol. 48:1022-1035.

Suhartatik, E., A.K. Makarim, B. Abdullah. 2007. Respons galur padi tipe baru terhadap waktu dan jumlah pemberian pupuk nitrogen. J. Litbang Pertanian 33:649-661.

Sustiprijatno, M. Sugiura, K. Ogawa, M. Takahashi. 2006. Improvement of nitrate- and nitrite-dependent growth of rice by the introduction of a constitutively expressing chloroplastic nitrite transporter. Plant Biotechnol. 23:47-54.

Tegeder, M., D. Rentsch. 2010. Uptake and partitioning of amino acids and peptides. Molecular Plant 3:997-1011.

Tsay, Y.F., C.C. Chiu, C.B. Tsai, C.H. Ho, P.K. Hsu. 2007. Nitrat transporters and peptide transporter. FEBS. Letters 581:2290-2300.

Wangiyana, W., R.D. Pramurti, A. Wiresyamsi. 2008. Pertumbuhan dan hasil padi cv. Ciherang antara teknik konvensional dan SRI dengan pemberian stres air ringan dan pemupukan lewat daun padi fase reproduktif. Agroteksos 18:1-3.

Yao-Hong, Z., F. Jian-Bo, Z. Ya-Li, W. Dong-Sheng, H. Qi-Wei, S. Qi-Rong. 2007. N accumulation and translocation in four japonica rice cultivars at different N rates. Pedosphere 17:792-800.

Page 8: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Purnawati, Satriyas Ilyas, dan Sudarsono180

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Perlakuan Invigorasi untuk Meningkatkan Mutu Fisiologis dan Kesehatan Benih Padi Hibrida Intani-2 Selama Penyimpanan

Invigoration Treatment to Improve Seed Physiological Quality and Health of Intani-2 Hybrid Rice Seed during Storage

Purnawati1, Satriyas Ilyas2*, dan Sudarsono2

1PT. BISI International, Tbk. Jl. Pare-Wates KM 09. Desa SumberagungKecamatan Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur 64175, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 6 Maret 2014/Disetujui 20 Agustus 2014

ABSTRACT Storage condition and pathogen infection of seed can cause seed deteriorates faster. The rate of deterioration during

storage could be slowed by seed invigoration, and pathogen infection could be elimited by application of natural pesticide. The objective of this research was to determine the effect of seed invigoration on seed physiological quality and health of Intani-2 hybrid rice seed during storage. All research activities were done at Laboratory of Quality Control and Plant Protection, PT. BISI International, Kediri, East Java. Split plot design was used in this experiment with 4 replications. Three seed lots of Intani-2 rice seed were used as main plot and 5 invigoration treatments were used as sub plot. Seed lot 1, 2 and 3 were harvested on 30 June 2012, 29 September 2012, and 2 November 2012, respectively. Invigoration treatments consisted of untreated, priming with ascorbic acid 40 ppm, osmoconditioning with KNO3 2%, osmoconditioning with PEG -0.2 MPa, and hydropriming. All invigoration treatments were added with clove oil 0.3%. Osmoconditioning with KNO3 2% + clove oil 0.3% was effective to maintain vigour index of seed lots 2 and 3 for up to 3 months storage. All seed invigoration treatments increased speed of germination before storage. Priming with ascorbic acid 40 ppm + clove oil 0.3% and osmoconditioning with PEG -0.2 MPa + clove oil 0.3% were effective to reduce the growth of Xanthomonas sp. on rice seeds monitored at 0, 2, and 3 months after storage.

Keywords: ascorbic acid, clove oil, KNO3, osmoconditioning, PEG

ABSTRAK

Kondisi lingkungan simpan yang kurang mendukung dan infeksi pathogen menyebabkan benih lebih cepat mengalami kemunduran. Laju kemunduran benih selama penyimpanan dapat diperlambat dengan perlakuan invigorasi, sedangkan infeksi patogen pada benih dapat diatasi dengan memberikan pestisida nabati. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh perlakuan invigorasi terhadap mutu fisiologis dan kesehatan benih padi hibrida Intani-2 selama penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Quality Control dan Proteksi Tanaman, PT. BISI International Tbk, Kediri, Jawa Timur. Percobaan dirancang menggunakan rancangan petak terbagi. Benih padi Intani-2 dengan 3 lot benih sebagai petak utama dan 5 perlakuan invigorasi sebagai anak petak. Lot 1 dipanen tanggal 30 Juni 2012, lot 2 dipanen tanggal 29 September 2012, dan lot 3 dipanen tanggal 2 November 2012. Perlakuan invigorasi terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol, priming dengan asam askorbat 40 ppm, osmoconditioning dengan KNO3 2%, osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa, dan hydropriming. Semua perlakuan invigorasi ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. Perlakuan osmoconditioning KNO3 2% + minyak cengkeh 0.3% efektif meningkatkan indeks vigor benih lot 2 dan 3 pada periode simpan 3 bulan. Semua perlakuan invigorasi benih dapat meningkatkan kecepatan tumbuh pada periode simpan 0 bulan. Perlakuan priming dengan asam askorbat 40 ppm + minyak cengkeh 0.3% dan osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa + minyak cengkeh 0.3% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Xanthomonas sp. pada periode simpan 0, 2, dan 3 bulan.

Kata kunci: asam askorbat, KNO3, minyak cengkeh, osmoconditioning, PEG

Page 9: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Perlakuan Invigorasi untuk...... 181

PENDAHULUAN

Benih hibrida yang unggul dan bermutu menjadi salah satu target produsen benih sehingga nilai komersial benih padi hibrida tetap tinggi. Akan tetapi masih terdapat kendala pada saat benih dipasarkan, yaitu kondisi lingkungan simpan yang kurang mendukung serta infeksi patogen tertentu yang menjadi faktor pemicu cepatnya kemunduran benih. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi yang mampu meningkatkan mutu fisiologis dan kesehatan benih padi hibrida selama di penyimpanan.

Perlakuan invigorasi baik dengan osmoconditioning, vitamin priming, hydropriming, maupun matriconditioning merupakan beberapa metode yang efektif dalam invigorasi benih. Larutan osmotik yang dapat digunakan untuk tujuan osmoconditioning adalah larutan polyethylene glycol atau larutan garam antara lain CaCl2, NaCl, KCl, dan KNO3 (Erinnovita et al., 2008). Farooq et al. (2005) menyatakan bahwa perlakuan osmoconditioning dengan 30 g L-1 KNO3 mampu meningkatkan persentase indeks vigor, daya berkecambah, panjang akar, dan panjang plumula empat kultivar benih tomat. Menurut Yari et al. (2012) perlakuan osmopriming pada benih padi dengan menggunakan PEG 10 dan 20% mampu mempercepat waktu rata-rata perkecambahan dibanding dengan benih tanpa perlakuan. Dolatabadian dan Modarressanavy (2008) melaporkan bahwa perlakuan pra tanam dengan asam askorbat dan pyridoxine pada benih Helianthus annus L., dan Brassica napus L. efektif dalam meningkatkan daya berkecambah benih, mencegah kerusakan protein dan peroksidasi lemak.

Perlakuan hydropriming pada kondisi stres lingkungan meningkatkan karakter perkecambahan benih Secale montanum (Ansari dan Zadeh, 2012b), meningkatkan daya berkecambah dan pertumbuhan yang cepat pada galur inbred jagung (Janmohammadi et al., 2008) dan meningkatkan daya berkecambah benih Vigna radiata L. pada kondisi stress lingkungan (Posmyk dan Janas, 2007). Hasil penelitian Basra et al. (2006) pada benih padi menunjukkan bahwa perlakuan vitamin priming dengan asam askorbat 10 ppm selama 48 jam mampu mempercepat waktu benih untuk berkecambah 50%, serta meningkatkan keseragaman perkecambahan, kecepatan tumbuh, daya berkecambah, panjang akar, panjang pumula, bobot basah dan bobot kering kecambah.

Perlakuan invigorasi dapat diintegrasikan dengan pestisida baik sintesis maupun nabati untuk menekan tingkat infeksi patogen seedborne. Fiana (2010) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, minyak serai wangi 1%, streptomisin sulfat 0.04% + benomil 0.1% mampu mengendalikan Alternaria padwickii, Fusarium moniliforme, Curvularia sp., Drechslera oryzae serta bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae, Xanthomonas campestris pv. oryzicola, dan Acidovorax avenae pv. oryzae terbawa benih padi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perlakuan invigorasi yang mampu meningkatkan mutu fisiologis dan kesehatan benih padi hibrida Intani-2 selama dalam penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Quality Control dan Proteksi Tanaman, PT. BISI International Tbk, Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai dengan bulan April 2013.

Sumber Benih Benih yang digunakan pada percobaan ini terdiri atas 3

lot benih dengan tanggal panen berbeda. Perbedaan tanggal panen menunjukkan bahwa benih yang digunakan berbeda tingkat kemunduran benihnya. Benih lot 1 dipanen tanggal 30 Juni 2012, benih lot 2 dipanen tanggal 29 September 2012, dan benih lot 3 dipanen tanggal 2 November 2012. Benih tersebut telah disimpan selama 6 bulan (lot 1), 3 bulan (lot 2), dan 1 bulan (lot 3) pada suhu 15 ± 2 oC sebelum digunakan.

Rancangan Percobaan Percobaan dirancang menggunakan rancangan petak

terbagi (split plot design) dengan empat ulangan. Petak utama adalah tiga lot benih dengan tanggal panen berbeda dan sebagai anak petak adalah perlakuan invigorasi benih. Perlakuan invigorasi terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol (tanpa perlakuan), priming dengan asam askorbat 40 ppm, osmoconditioning dengan KNO3 2%, osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa, dan hydropriming. Semua perlakuan invigorasi ditambah minyak cengkeh 0.3%. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SAS dan jika terdapat perlakuan yang berbeda nyata diuji dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

Perlakuan Invigorasi Benih tanpa perlakuan (kontrol) langsung dimasukkan

ke dalam gelas plastik bening tanpa ada perlakuan khusus dan ditutup. Perlakuan invigorasi dilakukan dengan cara merendam benih di dalam larutan asam askorbat 40 ppm, KNO3 2%, PEG -0.2 MPa, dan air destilata pada gelas plastik bening tanpa aerator dan ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. Penambahan Tween 80 0.2% sebagai emulsifier diperlukan dalam pembuatan larutan stok minyak cengkeh. Perbandingan antara benih dan larutan adalah 1:1.5 (b/v). Perlakuan invigorasi diinkubasi pada suhu 20-23 oC selama 20 jam. Setelah 20 jam inkubasi, benih dicuci dengan air destilata dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven suhu 40 oC selama 1 jam dan dilanjutkan suhu 35 oC hingga benih mencapai kadar air standar peraturan pemerintah yaitu maksimal 13%. Pengeringan dilakukan selama 2 x 24 jam, kemudian benih disimpan pada suhu kamar (suhu 28-31 °C dan RH 40-60%) dengan menggunakan plastik polyethylene 0.1 mm dan ditutup rapat mengunakan sealer. Benih diuji mutu fisiologisnya (indeks vigor, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, bobot kering kecambah normal dan kesehatan benihnya (cendawan dan bakteri) setiap bulan selama tiga bulan penyimpanan.

Page 10: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Purnawati, Satriyas Ilyas, dan Sudarsono182

Pengujian Mutu Benih Pengujian mutu fisiologis benih menggunakan metode

uji antar kertas dengan kertas CD dengan tiga lapis bagian bawah dan tiga lapis bagian atas. Setiap ulangan terdiri atas satu gulungan masing-masing 100 benih untuk pengujian indeks vigor, daya berkecambah, dan kecepatan tumbuh, sedangkan untuk pengujian bobot kering kecambah normal terdiri atas dua gulungan masing-masing 50 benih. Benih dikecambahkan dalam germinator pada suhu kamar. Indeks vigor dihitung berdasarkan persentase kecambah normal pada hitungan pertama, yaitu 5 hari setelah tanam (HST). Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase kecambah normal pada hitungan pertama (5 HST) dan kedua (7 HST). Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan nilai pertambahan perkecambahan (persentase kecambah normal) setiap hari pada kurun waktu perkecambahan. Bobot kering kecambah normal diamati pada akhir pengamatan. Seluruh kecambah normal yang telah dibuang bagian karyopsisnya dibungkus amplop dan dikeringkan dalam oven suhu 60 oC selama 72 jam. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang bobotnya.

Pengujian kesehatan benih meliputi identifikasi cendawan dan bakteri terbawa benih. Pengujian cendawan menggunakan metode blotter test. Pengujian bakteri dilakukan dengan metode plate counting (Yukti et al., 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata kadar air benih selama periode simpan 3 bulan masih berada dalam kisaran standar pemerintah, yaitu maksimal kadar air 13%. Kemasan benih berupa plastik polyethylene mampu menjaga kadar air benih tetap stabil selama periode simpan 3 bulan (Tabel 1).

Perlakuan tunggal priming dengan asam askorbat 40 ppm + minyak cengkeh 0.3%, osmoconditioning dengan KNO3 2% + minyak cengkeh 0.3% dan osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa + minyak cengkeh 0.3% meningkatkan indeks vigor masing-masing sebesar 11.8, 7 dan 7% pada periode simpan 0 bulan (Tabel 2). Benih yang diberi perlakuan priming dengan asam askorbat 40 ppm + minyak cengkeh 0.3% menunjukkan nilai indeks vigor tertinggi pada 0 bulan simpan. Tetapi perlakuan priming dengan asam askorbat 40 ppm tidak dapat meningkatkan indeks vigor benih pada periode simpan 1 hingga 3 bulan. Hal ini diduga karena konsentrasi asam askorbat yang diberikan terlalu tinggi serta aktivitasnya di dalam benih tergolong rendah sehingga asam askorbat terakumulasi di dalam benih. Menurut Yullianida dan Murniati (2005), asam askorbat yang terakumulasi di dalam benih dapat memberikan efek inhibitor sehingga proses perkecambahan menjadi terhambat.

Interaksi perlakuan lot benih dan invigorasi nyata pada periode simpan 3 bulan. Perlakuan osmoconditioning dengan KNO3 2% + minyak cengkeh 0.3% efektif meningkatkan indeks vigor pada benih lot 2 dan 3. Benih yang telah diberi perlakuan mengalami peningkatan aktivitas metabolisme selama proses invigorasi serta adanya

penambahan unsur N dan K sebagai unsur hara esensial membantu meningkatkan pertumbuhan kecambah. Nasri et al. (2011) melaporkan bahwa osmopriming dengan KNO3 efektif untuk mempercepat perkecambahan benih selada.

Semua perlakuan invigorasi benih dapat meningkatkan kecepatan tumbuh benih pada periode simpan 0 bulan (Tabel 3). Selama proses invigorasi berlangsung, terjadi peningkatan aktivitas metabolisme dalam benih sehingga benih yang diberi perlakuan invigorasi akan lebih cepat berkecambah. Ansari dan Zadeh (2012a) juga melaporkan bahwa perlakuan osmopriming dan hydropriming pada benih rye meningkatkan persentase perkecambahan, persentase kecambah normal, indeks perkecambahan, rata-rata perkecambahan, dan panjang kecambah dibandingkan kontrol.

Bobot kering kecambah normal merupakan salah satu tolok ukur viabilitas potensial benih. Tabel 3 memperlihatkan bahwa perlakuan invigorasi belum mampu meningkatkan bobot kering kecambah normal pada setiap periode simpan. Hal ini diduga karena benih yang digunakan dalam percobaan ini memiliki viabilitas potensial serta kandungan cadangan makanan yang masih tinggi. Roberts (1972) mengungkapkan bahwa benih yang baru dipanen memiliki enzim-enzim, organel sel dan cadangan makanan yang relatif masih baik sehingga perlakuan invigorasi menjadi tidak efektif.

Perlakuan osmoconditioning dengan KNO3 2% + minyak cengkeh 0.3% dan hydropriming + minyak cengkeh 0.3% dapat menekan infeksi cendawan Fusarium sp. masing-masing sebesar 51.5 dan 33.1% pada periode simpan 1 bulan (Tabel 4). Perlakuan osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa + minyak cengkeh 0.3% pada periode simpan 1 dan 2 bulan nyata menghambat pertumbuhan cendawan Aspergilus sp. sebesar 38.7% dan 50% (Tabel 5). Senyawa eugenol yang terkandung dalam minyak cengkeh diduga mampu menghambat pertumbuhan cendawan. Menurut Ultee et al. (2002) eugenol merupakan senyawa fenolik yang mempunyai aktivitas antimikroba. Fiana (2010) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning + minyak cengkeh 1% mampu mengendalikan cendawan Alternaria padwickii, Fusarium moniliforme, Curvularia sp., dan Drechslera oryzae.

Perlakuan priming dengan asam askorbat 40 ppm + minyak cengkeh 0.3% dan osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa + minyak cengkeh 0.3% nyata dapat menekan infeksi bakteri Xanthomonas sp. pada periode simpan 0, 2 dan 3 bulan (Tabel 6). Penurunan tingkat infeksi bakteri diduga karena mekanisme kerja antibakteri minyak atsiri yaitu dengan cara merusak sel bakteri. Menurut Mangoni et al. (2004) dan Rasooli et al. (2006), kerusakan sel diawali dengan rusaknya membran sel yang berlanjut dengan keluarnya materi isi sel dan akhirnya sel mengalami kematian. Fiana (2010) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 1%, minyak serai wangi 1%, streptomisin sulfat 0.04% + benomil 0.1% mampu mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae, Xanthomonas campestris pv. oryzicola, Xanthomonas avenae pv. oryzae terbawa benih padi.

Page 11: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Perlakuan Invigorasi untuk...... 183

Lot benihPerlakuan invigorasi (S)

S0x S1 S2 S3 S4 Periode simpan 0 bulan

1y 11.1Aa1 11.4Aa 10.8Aa 11.0Aa 11.4Aa

2 10.6Ab 11.1Aab 10.7Ab 11.6Aa 11.3Aab3 9.9Bb 11.3Aa 10.8Aa 11.2Aa 11.3Aa

Periode simpan 1 bulan1 11.1Aab 11.1Aab 10.9Ab 11.1Aab 11.5Aa2 10.5BCb 11.0Aa 11.0Aa 11.2Aa 11.4Aa3 10.1Cb 11.1Aa 11.0Aa 11.1Aa 11.4Aa

Periode simpan 2 bulan1 11.3Aab 11.5Aa 11.0Ab 11.3Aab 11.4Aa2 10.7BCb 11.3Aa 11.2Aa 11.5Aa 11.5Aa3 10.5Cb 11.3Aa 11.2Aa 11.2Aa 11.6Aa

Periode simpan 3 bulan1 11.5Aab 11.7Aa 11.2Ab 11.5Aab 11.5Aab2 10.9BCb 11.6Aa 11.4Aa 11.5Aa 11.5Aa3 10.6Cb 11.5Aa 11.3Aa 11.4Aa 11.7Aa

Tabel 1. Pengaruh perlakuan invigorasi dan lot benih terhadap kadar air benih padi (%) selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: xS0 (tanpa perlakuan), S1 (priming dengan asam askorbat 40 ppm), S2 (osmoconditioning dengan KNO3 2%), S3 (osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa), S4 (hydropriming). Semua perlakuan invigorasi ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. yLot 1 dipanen pada tanggal 30 Juni 2012, Lot 2 dipanen pada tanggal 29 September 2012, Lot 3 dipanen pada tanggal 2 November 2012. 1Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil (antar perlakuan invigorasi) yang sama pada baris dan huruf besar (antar lot benih) yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Lot benihPerlakuan invigorasi (S)

Rata-rataS0x S1 S2 S3 S4

Periode simpan 0 bulan1y 68.25 78.25 74.75 77.00 63.50 72.35B1

2 72.50 82.75 77.25 73.50 73.25 75.85A3 74.50 79.75 78.25 79.75 72.50 76.95ARata-rata 71.75b1 80.25a 76.75a 76.75a 69.75b

Periode simpan 1 bulan1 62.00 65.00 71.25 64.75 60.75 64.75B2 61.00 64.25 74.00 63.00 71.25 66.7AB3 65.50 68.00 73.25 66.00 70.25 68.6ARata-rata 62.83c 65.75bc 72.83a 64.58bc 67.42b

Periode simpan 2 bulan1 59.50 63.25 71.00 63.25 74.25 66.25B2 65.25 64.25 77.25 66.00 74.25 69.40AB3 66.00 68.25 78.25 68.00 77.50 71.60ARata-rata 63.58b 65.25b 75.5a 65.75b 75.33a

Periode simpan 3 bulan1 64.50Ab 67.50Aab 68.75Bab 73.50Aa 69.25Aab2 64.75Ab 65.00Ab 76.75Aa 66.00Bb 71.75Aab3 65.75Ab 69.75Ab 78.50Aa 69.25ABb 72.00Aab

Tabel 2. Pengaruh perlakuan invigorasi dan lot benih terhadap indeks vigor benih padi (%) selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: xS0 (tanpa perlakuan), S1 (priming dengan asam askorbat 40 ppm), S2 (osmoconditioning dengan KNO3 2%), S3 (osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa), S4 (hydropriming). Semua perlakuan invigorasi ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. yLot 1 dipanen pada tanggal 30 Juni 2012, Lot 2 dipanen pada tanggal 29 September 2012, Lot 3 dipanen pada tanggal 2 November 2012. 1Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil (antar perlakuan invigorasi) yang sama pada baris dan huruf besar (antar lot benih) yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Page 12: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Purnawati, Satriyas Ilyas, dan Sudarsono184

Perlakuan Periode simpan (bulan)

0 1 2 3 Kecepatan tumbuh (% etmal-1) S0 18.88c 19.81 19.97 19.35S1 20.29ab 20.22 20.58 19.88S2 20.68a 20.11 20.43 19.69S3 19.69b 19.94 20.40 19.75S4 20.48a 19.91 20.04 19.59 BKKN (g) S0 0.539 0.553 0.5709ab 0.5898ab S1 0.556 0.564 0.5529b 0.5654c S2 0.578 0.579 0.5967a 0.6043aS3 0.539 0.544 0.5703ab 0.5698bc S4 0.556 0.546 0.5618b 0.5779bc

Tabel 3. Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap kecepatan tumbuh dan bobot kering kecambah normal benih padi selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Lot benihPerlakuan invigorasi (S)

Rata-rataS0 S1 S2 S3 S4

Periode simpan 0 bulan1 12.0Abc 6.0Bc 18.0Aab 15.0Aab 24.0Aa2 13.0Aa 11.0ABa 15.0Aa 18.0Aa 22.0Aa3 9.0Ab 22.0Aa 6.0Bb 21.0Aa 8.0Bb

Periode simpan 1 bulan1 14.0 6.0 9.0 9.0 8.0 9.22 14.0 12.0 5.0 12.0 11.0 10.83 11.0 12.0 5.0 12.0 7.0 9.4Rata-rata 13.0a 10.0ab 6.3c 11.0ab 8.7bc

Periode simpan 2 bulan1 10.0 5.0 11.0 7.0 10.0 8.62 15.0 14.0 8.0 11.0 8.0 11.23 9.0 7.0 5.0 8.0 8.0 7.4Rata-rata 11.3 8.7 8.0 8.7 8.7

Periode simpan 3 bulan1 9.0 5.0 10.0 8.0 8.0 8.02 15.0 12.0 8.0 8.0 10.0 10.63 10.0 8.0 5.0 9.0 7.0 7.8Rata-rata 11.3 8.3 7.7 8.3 8.3

Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi dan lot benih terhadap infeksi cendawan Fusarium sp. (%) terbawa benih padi selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: xS0 (tanpa perlakuan), S1 (priming dengan asam askorbat 40 ppm), S2 (osmoconditioning dengan KNO3 2%), S3 (osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa), S4 (hydropriming). Semua perlakuan invigorasi ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. yLot 1 dipanen pada tanggal 30 Juni 2012 , Lot 2 dipanen pada tanggal 29 September 2012, Lot 3 dipanen pada tanggal 2 November 2012. 1Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil (antar perlakuan invigorasi) yang sama pada baris dan huruf besar (antar lot benih) yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Page 13: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Perlakuan Invigorasi untuk...... 185

Lot benihPerlakuan invigorasi (S)

Rata-rataS0 S1 S2 S3 S4

Periode simpan 0 bulan1 8.0Aab 13.0Aa 5.0Aabc 1.0Ac 2.0Abc2 7.0Aa 6.0Aa 4.0Aa 5.0Aa 2.0Aa3 8.0Aa 4.0Aa 3.0Aa 5.0Aa 7.0Aa

Periode simpan 1 bulan1 12.0 11.0 7.0 4.0 5.0 7.82 6.0 10.0 6.0 8.0 11.0 8.23 10.0 8.0 3.0 5.0 4.0 6.0Rata-rata 9.3a 9.7a 5.3b 5.7b 6.7b

Periode simpan 2 bulan1 8.0 9.0 6.0 1.0 5.0 5.82 6.0 12.0 8.0 8.0 12.0 9.23 10.0 7.0 3.0 3.0 8.0 6.2Rata-rata 8.00a 9.3a 5.7ab 4.0b 8.3a

Periode simpan 3 bulan1 8.0 10.0 7.0 4.0 4.0 6.62 7.0 8.0 5.0 7.0 10.0 7.43 8.0 6.0 2.0 4.0 7.0 5.4Rata-rata 7.7 8.0 4.7 5.0 7.0

Tabel 5. Pengaruh perlakuan invigorasi dan lot benih terhadap infeksi cendawan Aspergilus sp. (%) terbawa benih padi selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: xS0 (tanpa perlakuan), S1 (priming dengan asam askorbat 40 ppm), S2 (osmoconditioning dengan KNO3 2%), S3 (osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa), S4 (hydropriming). Semua perlakuan invigorasi ditambahkan minyak cengkeh 0.3%. yLot 1 dipanen pada tanggal 30 Juni 2012 , Lot 2 dipanen pada tanggal 29 September 2012, Lot 3 dipanen pada tanggal 2 November 2012. 1Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil (antar perlakuan invigorasi) yang sama pada baris dan huruf besar (antar lot benih) yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Perlakuan Periode Simpan (bulan)

0 1 2 3S0 11.0a 13.7 18.0a 21.3a S1 5.8b 7.3 9.8c 8.8bS2 8.5ab 10.7 14.3b 14.5a S3 6.7b 8.8 11.2c 10.2bS4 8.8ab 12.3 15.8ab 15.5a

Tabel 6. Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap infeksi bakteri Xanthomonas sp. (106 cfu mL-1) terbawa benih padi selama periode simpan 3 bulan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

KESIMPULAN

Perlakuan osmoconditioning dengan KNO3 2% + minyak cengkeh 0.3% efektif meningkatkan indeks vigor benih pada periode simpan 3 bulan pada benih lot 2 dan 3. Semua perlakuan invigorasi benih dapat meningkatkan kecepatan tumbuh benih pada periode simpan 0 bulan. Perlakuan priming dengan asam askorbat 40 ppm dan osmoconditioning dengan PEG -0.2 MPa + minyak cengkeh

0.3% nyata dapat menekan infeksi bakteri Xanthomonas sp. pada periode simpan 0, 2, dan 3 bulan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada segenap manajemen PT. BISI International, Tbk. atas beasiswa pendidikan yang diberikan kepada penulis.

Page 14: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 180 - 186 (2014)

Purnawati, Satriyas Ilyas, dan Sudarsono186

antimicrobial peptide temporin L on cell morphology, membrane permeability and viability of Escherichia coli. J. Biochem. 380:859-865.

Nasri, N., R. Kaddour, H. Mahmoudi, O. Baatour, N. Bouraoui, M. Lachaâl. 2011. The effect of osmopriming on germination, seedling growth and phosphatase activities of lettuce under saline condition. Afr. J. Biotechnol. 10:14366-14372.

Posmyk, M.M, K.M. Janas. 2007. Effects of seed hydropriming in presence of exogenous proline on chilling injury limitation in Vigna radiata L. seedlings. Acta. Physiol. Plant. 29:509-517.

Rasooli, I., M.B. Rezaei, A. Allameh. 2006. Ultrastructural studies on antimicrobial efficacy of thyme essential oils on Listeria monocytogenes. Int. J. Infectious Diseases 10:236-241.

Roberts, E.H. 1972. Cytologycal, genetical, and metabolic changes associated with loss of viability. In E.H. Roberts (Eds). Viability of Seeds. Chapman and Hall Ltd., London.

Ultee, A., M.H.J Bennik, Moezellar. 2002. The phenolic hydroxyl group of carvacrol is essential for action againts the food-borne pathogen bacillus cereus. Appl. Environ. Microbiol. 68:1561-1568.

Yari, L., A. Zareyan, F. Hasani, H. Sadeghi, S. Sheidaie. 2012. Germination and seedling growth as affected by presowing PEG seed treatments in (Oryza sativa L.). Tech. J. Engin. App. Sci. 2:425-429.

Yukti, A.M., S. Ilyas, Sudarsono, U.S. Nugraha. 2008. Perlakuan benih dengan matriconditioning plus agens hayati untuk pengendalian cendawan dan bakteri seedborne serta peningkatan vigor dan hasil padi. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan Kelembagaan. Yogyakarta.

Yullianida, E. Murniati . 2005. Pengaruh antioksidan sebagai perlakuan invigorasi benih sebelum simpan terhadap daya simpan benih bunga matahari (Helianthus annus L.). Hayati J. Biosci. 12:145-150.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, O., F.S. Zadeh. 2012a. Osmo and hydropriming improved germination improvement under cold stress conditions in mountain rye (Secale mountanum). Cercetari Agronomice in Moldova 45:53-62.

Ansari, O., F.S. Zadeh. 2012b. Osmo and hydropriming improved germination characteristics and enzyme activity of mountain rye (Secale montanum) seeds under drought stress. J. Stress Physiol. Biochem. 8:253-261.

Basra, S.M.A., M. Farooq, A. Wahid, M.B. Khan. 2006. Rice seed invigoration by hormonal and vitamin priming. Seed Sci. Technol. 34:738-758.

Dolatabadian, A., S.M.A. Modarressanavy. 2008. Effect of ascorbic acid, pyridoxine and hydrogen peroxide treatments on germination, catalase activity, protein and malondialdehyde content of three oil seeds. Not. Bot. Hort. Agrobot. Cluj. 36:61-66.

Erinnovita, M. Sari, D. Guntoro. 2008. Invigorasi benih untuk memperbaiki perkecambahan kacang panjang (Vigna unguiculata Hask. ssp. sesquipedalis) pada cekaman salinitas. Bul. Agron. 36:214-220.

Farooq, M., S.M.A. Basra, B.A. Saleem, N. Nafees, S.A. Chishti. 2005. Enhancement of tomato seed germination and seedling vigor by osmopriming. Pak. J. Agri. Sci. 42:36-41.

Fiana, Y. 2010. Efektivitas matriconditioning plus pestisida nabati dalam pengendalian patogen seedborne dominan dan peningkatan mutu benih padi (Oryza sativa L.). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Janmohammadi, M., P.M. Dezfuli, F. Sharifzadeh. 2008. Seed invigoration techniques to improve germination and early growth of inbred line of maize under salinity and drought stress. Gen. Appl. Plant Physiol. 34:215-226.

Mangoni, M.L., N. Papo, D. Barra, M. Simmaco, A. Bozz, A.D. Giulio, A.C. Rinaldi. 2004. Effects of the

Page 15: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

Karakter Morfofisiologi dan..... 187

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Karakter Morfofisiologi dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik

Morphophysiology and Physicochemical Characters of Rice with Various Rates of Organic and Biological Fertilizer under Organic Farming System

Isna Tustiyani1, Sugiyanta2*, dan Maya Melati2

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural Universtity), Jl Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 11 Februari 2014/Disetujui 8 Agustus 2014

ABSTRACT

The awareness of the negative impacts of conventional agriculture has been encouraging people to switch from conventional farming to the organic farming, using organic and biological fertilizers. This farming system changes will influence the character of the plant and the yield. The objective of the research was to investigate the morphophysiology and physicochemical characters of rice with various rates of organic and biological fertilizer. The experiment was conducted at rice field in Karawang and Bogor, West Java, from May to September 2012. The experiment used a single factor randomized block design consisted of three replications with 12 treatments. The first 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton organic fertilizer ha-1, and the other 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton organic fertilizer ha-1 combined with 2 l biological fertilizer ha-1. As control treatment was application of anorganic fertilizer with the rate of 400 kg NPK (30-6-8) ha-1. Plot size was 15 m x 10 m, with a double row spacing (legowo 2:1) (25 cm x 15 cm x 50). The results showed that organic fertilizer either without or with biological fertilizers increased the weight of 1,000 grains and decreased amylose content of rice. The score of leaf color in plants with inorganic fertilizer was higher than those with organic fertilizer.

Keywords: amylose, gelatinization temperature, leaf color, water uptake ratio, 1,000 grain weight

ABSTRAK

Kesadaran akan dampak negatif dari pertanian konvensional telah mendorong masyarakat untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik dengan menggunakan pupuk organik dan hayati. Perubahan sistem pertanian ini akan mempengaruhi karakter tanaman dan hasilnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat morfofisiologi dan fisikokimia beras berdasarkan pemupukan organik dan hayati. Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2012 di Karawang dan Bogor. Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok faktor tunggal dengan tiga ulangan. Terdapat 12 perlakuan terdiri atas 6 perlakuan pertama adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha-1, sedangkan 6 perlakuan yang lain adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha-1 yang masing-masing ditambah dengan 2 l pupuk hayati ha-1. Perlakuan pembanding adalah pupuk anorganik 400 kg NPK (30-6-8) ha-1. Petakan yang digunakan berukuran 15 m x 10 m, dengan jarak tanam legowo 2:1 (25 cm x 15 cm x 50). Hasil menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik baik tanpa maupun ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan bobot 1,000 butir dan menurunkan kadar amilosa beras. Skor warna daun dengan aplikasi pupuk anorganik lebih tinggi daripada dengan pupuk organik.

Kata kunci: amilosa, bobot 1,000 butir, nisbah penyerapan air, suhu gelatinisasi, warna daun

PENDAHULUAN

Adanya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari pertanian konvensional telah mendorong keinginan untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian

organik (organic farming), yang mampu menciptakan pertanian yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk bahan pangan yang bermutu dan sehat untuk dikonsumsi (Ade et al., 2006; Santoso, 2011; Prihtanti et al., 2013). Pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang mengusahakan keseimbangan lingkungan, yakni dengan memelihara kesuburan tanah, meniadakan pupuk buatan dan pestisida kimia, serta melakukan pengendalian hama penyakit melalui perbaikan alam (Hadi dan Sarwono, 2013). Salah

Page 16: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

188 Isna Tustiyani, Sugiyanta, dan Maya Melati

satu komponen pertanian organik adalah pupuk organik dan hayati. Zahrah (2011) menjelaskan bahwa kelebihan pupuk organik antara lain menambah unsur hara N, P, K, dan hara mikro, memperbaiki struktur tanah, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah. Menurut Agung dan Rahayu (2004), pupuk hayati berperan dalam mempengaruhi ketersediaan unsur hara makro dan mikro, serapan hara, kinerja sistem enzim, meningkatkan metabolisme, pertumbuhan dan hasil tanaman. Salah satu keuntungan pupuk hayati yaitu mampu meningkatkan serapan hara, jika pupuk ini dikombinasikan dengan pupuk organik diharapkan dapat mengurangi dosis pupuk organik pada musim tanam berikutnya. Menjelaskan bahwa Bertham (2002) pupuk hayati memiliki potensi yang sama besar dengan pupuk anorganik.

Karakter morfofisiologi tanaman padi sawah, dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh seperti kesuburan tanah dan pemupukan, misalnya ketersediaan unsur hara N berpengaruh terhadap perkembangan akar dan anakan. Pertumbuhan akar hanya terjadi secara aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1%. Kadar nitrogen tanaman lebih dari 3.5 % cukup untuk merangsang pembentukan anakan, sedangkan pada kadar N 2.5% pembentukan anakan akan terhenti, dan apabila kadar N tanaman kurang dari 1.5% anakan akan mati. Jika fosfat pada batang utama kurang dari 0.25%, maka pembentukan anakan akan terhenti (Murata dan Matsushima, 1978).

Sebagian besar penggilingan padi di beberapa provinsi pulau Jawa dan Bali lebih menyukai beras yang memiliki rendemen giling dan rendemen beras kepala tinggi, pulen, dan beraroma wangi (Wibowo et al., 2008) serta bentuk panjang dan ramping (Rachmat et al., 2006). Menurut Wibowo et al. (2009) varietas beras aromatik memiliki rendemen beras giling relatif baik (70%) dengan kisaran presentase beras kepala cukup tinggi (62-88%), tingkat kepulenan nasi termasuk klasifikasi sedang sampai tinggi dengan kadar amilosa 18-24%, rasio penyerapan air 2.1-2.8 kali.

Hasil percobaan Nurrizki (2012) pada padi di musim pertama (November 2011-Maret 2012) menghasilkan gabah tertinggi pada perlakuan 4-6 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati. Berdasarkan penelitian tersebut perlu dikaji produksi padi di lahan yang sama pada musim tanam ke-2 dan diharapkan dapat memberikan karakter tanaman dan hasil yang sama atau lebih baik jika dibandingkan dengan percobaan musim pertama. Percobaan ini bertujuan mempelajari karakter morfofisiologi padi sawah dan fisikokimia beras dengan pemupukan organik dan atau hayati.

BAHAN DAN METODE

Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September 2012 di Karawang Wetan, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada ketinggian 15 m dpl. Percobaan ini merupakan penanaman musim ke-2 setelah penelitian Nurrizki (2012). Analisis jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Analisis fisikokimia dilakukan di

Balai Besar Padi Muara, Bogor. Percobaan ini menggunakan rancangan faktor tunggal dengan 12 perlakuan yang disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas 6 perlakuan tanpa pupuk hayati yaitu 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha-1, dan 6 perlakuan dengan tambahan pupuk hayati yaitu 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik (30.96% C organik, 1.56% N, 1.42% P2O5, 2.08% K2O) ha-1 dan masing-masing ditambah 2 L pupuk hayati (14.55% C organik, 885 ppm N, 1390 ppm P, 1085 ppm K) ha-1. Sebagai perlakuan pembanding digunakan pupuk anorganik 400 kg NPK (30-6-8) ha-1.

Ukuran petak percobaan yaitu 15 m x 10 m. Benih padi varietas Menthik Wangi disemai di lahan persemaian, setelah 10 hari dipindah tanam ke petak percobaan dengan masing-masing 2 bibit per lubang tanam. Jarak tanam menggunakan legowo 2:1 (25 cm x 15 cm x 50 cm). Pupuk organik diberikan saat pengolahan tanah dan pupuk hayati disemprotkan melalui daun pada umur 4 dan 6 MST masing masing sebesar 50% dosis. Pupuk NPK diberikan saat tanam pada petakan perlakuan pembanding.

Peubah yang diamati adalah karakter morfofisiologi (tinggi tanaman, jumlah daun, warna daun, jumlah anakan produktif, bobot 1,000 butir, panjang malai, jumlah gabah per malai, persen gabah hampa, gabah terserang OPT, hasil, serta serapan hara tanaman). Peubah lain adalah karakter fisikokimia beras yang diuji antara lain kadar amilosa, mutu fisik (panjang, bentuk beras, rendemen, rendemen beras kepala, pengapuran), kriteria suhu gelatinisasi, skor uji organoleptik, dan umur simpan nasi.

Kadar amilosa beras dianalisis menggunakan metode kolorimetri iodide (Juliano, 1971). Sebanyak 100 mg beras putih dari tiap sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, ditambah 1 mL alkohol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 23 jam, kemudian diberi air destilata sampai tanda tera, lalu dikocok. Larutan diambil 5 mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang telah diisi 85 ml air destilata dan diberi 1 mL asetat 1 N dan 2 ml KI 2 % lalu diencerkan sampai tanda tera. Nilai penyerapan cahaya dari larutan ini diukur dengan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm.

Penentuan mutu fisik beras dilakukan dengan cara manual. Panjang diukur dari 10 butir beras menggunakan jangka sorong. Bentuk beras diketahui dari rasio panjang dan lebar beras. Pengapuran dilihat ada tidaknya pengapuran di endosperma. Rendemen beras diperoleh dari perbandingan beras yang dihasilkan di penggilingan dan berat gabah. Rendemen beras kepala adalah perbandingan berat beras kepala yang diperoleh dengan berat beras giling. Umur simpan nasi adalah waktu yang dibutuhkan nasi sampai basi (berbau dan berlendir). Nisbah penyerapan air (NPA) diperoleh dari selisih antar berat nasi dan berat beras kemudian dibagi berat beras yang dimasak. Uji organoleptik dilakukan oleh responden berjumlah 20 orang yang sudah ahli dalam menguji organoleptik dengan mengamati tingkat kepulenan nasi menurut responden, dengan skor nilai: 1-2 (sangat pulen), 3-4 (pulen), dan 5-6 (tidak pulen).

Suhu gelatinisasi diperoleh dengan cara merendam 6 butir beras kepala dalam 10 mL larutan KOH 1.7% selama

Page 17: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

Karakter Morfofisiologi dan..... 189

23 jam pada suhu 30 oC. Penampilan beras dan pemisahan dilihat secara visual dengan skor, yaitu skor 1-3: klasifikasi suhu tinggi (> 74 oC), skor 4-5: klasifikasi suhu sedang (70-74 oC), dan skor 6-7: klasifikasi suhu rendah (<70 oC) yang menunjukkan suhu saat terjadinya gelatinisasi.

Analisis data seluruh perlakuan kecuali perlakuan pupuk anorganik menggunakan analisis ragam, apabila pada taraf α = 0.05 menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT. Analisis seluruh perlakuan dengan perlakuan pupuk anorganik dihitung berdasarkan uji t. Perhitungan data dilakukan dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis System).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pupuk Organik dan Hayati terhadap Karakter Morfofisiologi Tanaman Padi Sawah

Perlakuan pupuk organik dan atau hayati tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan warna daun (Tabel 1) kecuali warna daun pada saat tanaman berumur 6 MST. Saat 6 MST, secara umum semakin bertambah dosis pupuk organik yang diberikan, semakin besar pula nilai warna daun. Warna daun memberi indikasi kandungan N melalui penilaian warna hijau pada daun. Ketidakcukupan N pada percobaan ini ditunjukkan oleh nilai bagan warna daun seluruh perlakuan kurang dari 4 (di bawah titik kritis). Pemberian pupuk organik dan hayati diduga belum dapat menyediakan kecukupan hara bagi tanaman karena sifat bahan organik yang lambat menyediakan unsur hara (Suharno et al., 2010). Menurut uji kontras, tanaman

yang diberi pupuk organik 0 ton ha-1 memiliki warna daun yang lebih kecil daripada pemupukan dengan pupuk organik 2-10 ton ha-1 (Tabel 1).

Perlakuan pupuk organik dan atau hayati menghasilkan jumlah anakan antara 16-26 anakan. Perlakuan pupuk organik dan hayati tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan karena ketersediaan hara N daun yang rendah, yang dapat dilihat dari nilai warna daun yang kecil (Nurmayulis et al. 2011). Hasil penelitian Supartha et al. (2012) juga menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk organik padat dan pupuk organik cair tidak nyata mempengaruhi variabel tinggi tanaman dan jumlah anakan.

Perlakuan pupuk organik dan hayati mempengaruhi peubah bobot 1,000 butir. Tabel 2 memperlihatkan kecenderungan bobot 1,000 butir bertambah seiring dengan pertambahan jumlah dosis pupuk organik, dengan bobot 1,000 butir tertinggi pada perlakuan pupuk organik 8 ton ha-1 + pupuk hayati dan terendah pada perlakuan pupuk hayati saja. Hasil penelitian Pramono (2010), Wangiyana et al. (2010), Soplanit dan Nukuhaly (2012), dan Siregar et al. (2013) juga menyatakan bahwa pemberian pupuk organik mampu meningkatkan bobot 1,000 butir.

Kecuali bobot 1,000 butir, perlakuan pupuk organik dan atau hayati tidak mempengaruhi komponen hasil padi sawah dan gabah terserang OPT (Tabel 2). Terhadap komponen hasil yang lain, Syamsudin dan Aktaviyani (2009) juga menunjukkan bahwa adanya variasi perlakuan kompos tidak memberikan pengaruh yang berarti pada panjang malai, yang diduga karena panjang malai sangat tergantung kepada varietas tanaman dan lama penyinaran yang diterima oleh tanaman, bukan dipengaruhi oleh pupuk.

PerlakuanTinggi tanaman (cm) Jumlah anakan Skor warna daun

6 MST 7 MST 8 MST 6 MST 7 MST 8 MST 6 MST 7 MST 8 MST0 ton ha-1 POP 69.83 85.50 101.87 24.8 21.9 19.1 2.2e+ 2.3+ 2.0+2 ton ha-1 POP 62.03+ 78.90+ 91.27 21.6 19.4 16.5 2.2e+ 2.4 2.0+4 ton ha-1 POP 66.13 85.13 99.17 25.9 23.3 19.4 2.5abc+ 2.4 2.0+6 ton ha-1 POP 66.00 85.03 128.27 28.1 24.5 20.8 2.2e+ 2.6 2.0+8 ton ha-1 POP 65.47 84.43+ 96.67 25.4 22.8 18.9 2.3cde+ 2.5 2.0+10 ton ha-1 POP 65.37 82.27+ 91.97 26.1 23.1 18.4 2.4abcd+ 2.3+ 2.0+0 ton ha-1 POP+PH 64.80 79.70+ 93.80 24.0 21.1 18.1 2.4abcde+ 2.2+ 2.1+2 ton ha-1 POP+PH 66.90 82.70+ 98.30 24.7 23.4 19.4 2.3bcde+ 2.6 2.1+4 ton ha-1 POP+PH 70.10 89.47 102.33 27.8 22.7 26.7 2.5abc+ 2.6 2.2+6 ton ha-1 POP+PH 66.77 84.50+ 97.13 26.4 22.0 17.3 2.5abc+ 2.6 2.0+8 ton ha-1 POP+PH 65.90 84.13+ 100.23 22.5 20.9 19.7 2.6a 2.6 2.0+10 ton ha-1 POP+PH 66.97 85.17 98.63 25.2 22.5 19.5 2.5abc+ 2.7 2.0+Pupuk anorganik 75.96 95.63 105.13 26.6 31.0 20.0 2.8 2.8 2.8

Tabel 1. Pengaruh perlakuan pupuk pada peubah tinggi tanaman, jumlah anakan dan warna daun tanaman padi sawah

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada α = 5%. Angka yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet. POP = pupuk organik padat; PH = pupuk hayati 2 L ha-1; MST = minggu setelah tanam

Page 18: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

190 Isna Tustiyani, Sugiyanta, dan Maya Melati

Serapan hara dihitung dari analisis jaringan tanaman dikalikan dengan bobot kering tanaman. Gambar 2 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, dan K pada perlakuan pupuk hayati memberikan hasil yang rendah hal ini diduga karena walaupun pupuk hayati memiliki kandungan mikroba yang dapat memperbanyak absorbsi hara ke jaringan tanaman namun lingkungan tempat tinggal mikroba tersebut sedikit menyediakan hara untuk dapat diabsorbsi tanaman. Serapan hara (N, P, dan K) tertinggi di antara perlakuan organik dan hayati adalah perlakuan pupuk organik 8 ton ha-1 namun serapan N, P, K tersebut lebih rendah daripada dengan perlakuan pupuk anorganik. Hal ini disebabkan pupuk anorganik memiliki hara yang mudah tersedia bagi tanaman sedangkan pupuk organik memiliki sifat lambat tersedia bagi tanaman (Suharno et al., 2010). Perlakuan pupuk organik 8 ton ha-1 menyebabkan nilai serapan hara tertinggi (meskipun tidak nyata), namun pupuk organik 2 ton ha-1 ditambah 2 L pupuk hayati ha-1 menyebabkan nilai serapan yang hanya sedikit lebih rendah

daripada perlakuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa dengan pupuk hayati, kemungkinan dapat mengurangi dosis pupuk organik. Ini sejalan dengan penelitian Maryanto dan Abubakar (2010) yang menyatakan bahwa pupuk hayati mampu meningkatkan serapan hara.

Berbagai karakter morfofisiologi tanaman pada pemberian pupuk organik dan hayati yang tidak berbeda nyata antar perlakuan diduga berhubungan dengan dengan serapan N, P dan K yang rendah (Murata dan Matsushima, 1978; Yan dan Gong, 2010).

Gambar 1 menunjukkan perlakuan pupuk organik dan atau hayati tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap hasil padi sawah. Hasil gabah basah per rumpun berkisar antara 28-43 g. Dugaan hasil per ha pada percobaan ini berkisar 5.8-7.3 ton gabah kering panen dengan titik optimum terdapat pada perlakuan 8 ton pupuk organik ha-1 (Gambar 1). Hasil tanaman padi sawah tidak dipengaruhi pemupukan organik dan atau hayati karena belum tercukupinya kebutuhan hara. Hal ini ditunjukkan

PerlakuanJumlahanakan

produktif

Panjang malai (cm)

Jumlah gabah per malai

(butir)

Bobot 1,000 butir (g)

Gabah hampa

(%)

Gabah terserang OPT

(%)0 ton ha-1 POP 17.9 28.87 89.3 28.79ab 5.52 1.032 ton ha-1 POP 16.3 21.37 92.2 31.66ab 3.20 1.174 ton ha-1 POP 14.7 23.20 105.0 31.19ab 3.38 1.586 ton ha-1 POP 16.8 23.12 101.9 33.41ab 3.14 1.418 ton ha-1 POP 15.5 23.01 104.3 31.58ab 4.68 1.1710 ton ha-1 POP 13.7 23.39 109.3 30.79ab 2.16 1.050 ton ha-1 POP+PH 13.3 22.28 93.7 27.92b 2.85 0.912 ton ha-1 POP+PH 15.5 22.17 99.4 27.97b 3.65 1.734 ton ha-1 POP+PH 15.8 22.77 100.2 28.86ab 2.26 1.346 ton ha-1 POP+PH 14.2 23.17 127.0 31.62ab 2.54 1.258 ton ha-1 POP+PH 13.3 23.32 107.4 33.60a 2.38 0.7510 ton ha-1 POP+PH 15.2 22.51 104.2 31.95ab 3.08 1.82Pupuk anorganik 15.4 29.74 105.5 31.29 5.55 0.99

Tabel 2. Komponen hasil tanaman padi sawah pada perlakuan pupuk

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada α = 5%. POP = pupuk organik padat; PH = pupuk hayati 2 L ha-1

Gambar 1. Hasil kering per rumpun dan dugaan hasil per hektar pada perlakuan pupuk. PH = penambahan pupuk hayati 2 L ha-1; GKP = gabah kering panen

y = -0.266x2 + 2.932x + 32.88R² = 0.491 (tanpa PH)

y = -0.182x2 + 2.870x + 29.25R² = 0.817 (dengan PH)

05

101520253035404550

0 5 10 15

Bob

ot g

abah

(kg

GK

P ru

mpu

n-1)

Dosis pupuk organik (ton ha-1)

tanpa PHdengan PH400 kg NPK ha-1Poly. (dengan PH)

y = -33.73x2 + 425.3x + 5759,R² = 0.921 (tanpa PH)

y = -35.66x2 + 376.1x + 6084,R² = 0.882 (dengan PH)

0

2000

4000

6000

8000

0 5 10 15

Bob

ot g

abah

(kg

GK

P h

a-1)

Dosis pupuk organik (ton ha-1)

Page 19: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

Karakter Morfofisiologi dan..... 191

oleh nilai bagan warna daun yang di bawah nilai kritis. Menurut penelitian Kasno (2007) bahwa ketidakcukupan hara akan mempengaruhi hasil. Ketidakcukupan hara juga dapat dilihat dari nilai serapan hara N, P, dan K yang lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil pada perlakuan pupuk anorganik (Gambar 2). Menurut Sugiyanta et al. (2008) bahwa serapan N, P, dan K yang kecil akan mengurangi hasil tanaman padi. Berdasarkan penelitian Agung dan Rahayu (2004) juga menyatakan bahwa penambahan pupuk hayati tidak mempengaruhi pertumbuhan dan hasil enam kultivar kedelai.

Pengaruh Pupuk Organik dan Hayati terhadap Karakter Fisikokimia Beras

Peubah fisik beras tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik, hayati, maupun anorganik (Tabel 3). Rata-rata panjang beras untuk perlakuan organik dan atau hayati adalah 5.9-6.1 mm dan dikategorikan dalam ukuran sedang (5.51-6.60 mm). Bentuk beras yang merupakan rasio panjang dan lebar beras, pada percobaan ini berkisar antara 2.52-3.20 yang dikategorikan sedang (2.5-3.0) dan ramping untuk ukuran > 3.01.

0 0.1 0.2 0.3

0POP+ 0PH

2POP+ 0PH

4POP+ 0PH

6POP+ 0PH

8POP+ 0PH

10POP+ 0PH

0POP+ 2PH

2POP+ 2PH

4POP+ 2PH

6POP+ 2PH

8POP+ 2PH

10POP+ 2PH

NPK

Serapan hara N (g tanaman-1)

Per

laku

an p

upuk

(ton

PO

P h

a-1+

L P

H h

a-1)

0 0.05

Serapan hara P (g tanaman-1)

0 0.1 0.2 0.3

Serapan hara K(g tanaman-1)

Gambar 2. Serapan hara N, P, dan K pada tanaman (dalam g tanaman-1); POP = pupuk organik; PH = penambahan pupuk hayati 2 L ha-1

Perlakuan Panjang beras (mm) Bentuk beras Rendemen

(%)Beras kepala

(%) Pengapuran

0 ton ha-1 POP 6.0 3.20 65.3 84.3 Small2 ton ha-1 POP 6.0 3.06 62.3 86.3 Small4 ton ha-1 POP 6.0 3.10 62.0 89.6 Small6 ton ha-1 POP 6.1 2.52 61.0 91.6 Small8 ton ha-1 POP 6.0 3.08 62.0 84.0 Small10 ton ha-1 POP 6.0 3.00 60.6 79.6 Small0 ton ha-1 POP+PH 6.1 2.87 62.6 79.0 Small2 ton ha-1 POP+PH 6.1 2.71 64.0 87.0 Small4 ton ha-1 POP+PH 6.0 2.58 61.3 88.3 Small6 ton ha-1 POP+PH 6.1 2.56 63.3 92.3 Small8 ton ha-1 POP+PH 6.1 2.77 61.3 88.3 Small10 ton ha-1 POP+PH 5.9 2.84 61.0 88.3 SmallPupuk anorganik 5.9 3.16 64.0 87.0 Small

Tabel 3. Karakter fisikokimia beras pada perlakuan pupuk

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada α = 5%; POP = pupuk organik padat; PH = 2 L pupuk hayati ha-1

Page 20: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

192 Isna Tustiyani, Sugiyanta, dan Maya Melati

Karakter fisikokimia seperti rendemen beras dan rendemen beras kepala tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik maupun hayati (Tabel 3). Menurut Wibowo et al. (2009) rendemen beras kepala maupun beras giling tidak dipengaruhi pemupukan namun sangat dipengaruhi oleh karakter gabah, kadar air gabah, butir mengapur, ataupun iklim. Kualitas beras pada penelitian ini sudah cukup baik karena rendemen beras kepala mencapai 79-92%, dan menurut Dipti et al. (2002) rendemen beras kepala yang baik adalah minimal 70%. Semua perlakuan pupuk menyebabkan peubah pengapuran menunjukkan nilai small yaitu pengapuran pada beras terjadi kurang dari 10%. Hal ini menunjukkan bahwa beras tersebut mempunyai kualitas yang cukup baik.

Perlakuan pupuk organik dan atau hayati tidak memberikan perbedaan yang nyata secara statistik terhadap peubah nisbah penyerapan air dan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi merupakan suatu kisaran suhu dimana granula pati mulai mengembang secara permanen dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut (Wibowo et al., 2009). Rata-rata skor suhu gelatinisasi adalah 6 artinya beras yang diujikan mengalami gelatinisasi pada suhu rendah atau kurang dari 70 oC. Nisbah penyerapan air (NPA) pada percobaan ini adalah 481-553% atau 4-5 kali lipat. Umur simpan nasi secara statistik juga tidak berbeda nyata akibat perlakuan pupuk organik dan hayati dan berkisar memiliki umur simpan nasi antara 24-26 jam.

Semakin rendah kadar amilosanya, semakin pulen atau lengket nasinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Lalel et al. (2009) yang mengemukakan bahwa kadar amilosa menentukan kekerasan dan kelengketan nasi. Uji organoleptik menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki nilai 1.8-2.0 yang berarti bahwa semua perlakuan menyebabkan nasi memiliki rasa yang sangat pulen.

Semua karakter fisikokimia beras tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik dan atau hayati dalam penelitian ini karena menurut Juliano (1995) sifat fisikokimia dipengaruhi oleh sifat pati dalam beras bukan dipengaruhi oleh pupuk. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan ada pengaruh pemberian pupuk dengan sifat fisikokimia beras. Pemberian pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati dapat menurunkan kadar amilosa beras. Berdasarkan Tabel 4 terdapat kecenderungan semakin besar dosis pupuk organik, maka semakin kecil kadar amilosa beras. Hal ini diduga karena pengikatan nitrogen pada molekul amilosa menjadi asam amino yang dapat membentuk protein dan mengurangi kadar amilosa. Peningkatan dosis pupuk organik akan meningkatkan kadar nitrogen yang diberikan ke tanaman, sehingga menyebabkan semakin banyak nitrogen yang akan mengikat molekul amilosa menjadi asam amino (protein). Hal ini sejalan dengan penelitian Setyono et al. (2007) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk nitrogen (urea) akan meningkatkan kadar protein beras.

Perlakuan Umur simpan nasi (jam)

Nisbah penyerapan air (%) Skor organoleptik Skor suhu

gelatinisasiAmilosa

(%)0 ton ha-1 POP 25.16 499.67 2.0 6 17.26a2 ton ha-1 POP 26.00 499.67 2.0 6 16.70ab4 ton ha-1 POP 26.16 474.33 1.9 6 16.43abc6 ton ha-1 POP 24.66+ 473.17 1.9 6 16.20abc8 ton ha-1 POP 25.83 553.67 1.8 6 16.43abc10 ton ha-1 POP 25.00+ 523.33 2.0 6 16.16abc0 ton ha-1 POP+PH 24.66+ 509.33 1.8 6 15.96bcd2 ton ha-1 POP+PH 24.83+ 538.33 1.7 6 15.60bcd4 ton ha-1 POP+PH 25.16 517.00 1.9 6 15.50bcd6 ton ha-1 POP+PH 25.00+ 484.17 1.8 6 14.93d8 ton ha-1 POP+PH 24.50+ 519.00 1.8 6 15.36cd10 ton ha-1 POP+PH 26.50 553.33 1.9 6 14.86dPupuk anorganik 26.83 471.50 2.0 6 16.23

Tabel 4. Karakter fisikokima beras pada perlakuan pupuk

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada α = 5%. Angka yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet. POP = pupuk organik padat; PH = pupuk hayati 2 L ha-1.

KESIMPULAN

Pemberian pupuk organik baik tanpa maupun ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan bobot 1,000 butir dan

menurunkan kadar amilosa beras. Skor warna daun dengan aplikasi pupuk anorganik lebih tinggi daripada aplikasi pupuk organik.

Page 21: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

Karakter Morfofisiologi dan..... 193

DAFTAR PUSTAKA

Ade, H., M. Faizal, L.H. Panglima. 2006. Analisa usaha tani padi (Oryza sativa. L) secara organik (Studi kasus: Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). J. Nusa Tani 6:1-17.

Agung, T., A.Y. Rahayu. 2004. Analisis efisiensi serapan N, pertumbuhan, dan hasil beberapa kultivar kedelai unggul baru dengan cekaman kekeringan dan pemberian pupuk hayati. Agrosains 6:70-74.

Bertham, Y.H. 2002. Potensi pupuk hayati dalam peningkatan produktivitas kacang tanah dan kedelai pada tanah seri Kandanglimun Bengkulu. J. Ilmu-Ilmu Pertanian 4:18-26.

Dipti, S.S., S.T. Hossain, M.N. Bari, K.A. Kabir. 2002. Physiochemical and cooking properties of some fine rice varieties. Pak. J. Nutr. 1:188-190.

Hadi, P., Sarwono. 2013. Pengaruh macam pupuk dan pestisida organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi hitam. J. Inovasi Pertanian 11:60-69.

Juliano, B.O. 1971. A simplified assay for milled-rice amylase. Cereal Science Today 16:334-360.

Juliano, B.O. 1995. Polysaccharides, protein, and lipids of rice. In Rice Chemistry and Technology. B.O. Juliano (Eds). Am. Assoc. Cereal Chemistry, St. Paul, Minnesota, USA.

Kasno, A. 2007. Produksi padi dan serapan hara N, P, dan K lahan sawah dengan pupuk majemuk. J. Akta Agrosia Edisi khusus 2:181-188.

Lalel, H.J.D., Z. Abidin, L. Jutomo. 2009. Sifat fisikokimia beras gogo lokal Ende. J. Teknologi dan Industri Pangan 20:109-116.

Maryanto, J., Abubakar. 2010. Pengaruh konsentrasi pupuk hayati majemuk dan batuan fosfat alam terhadap serapan P oleh tanaman salada (Lactuca sativa L.) di tanah Andisol. J. Agrivigor 3:110-117.

Murata, Y., S. Matsushima. 1978. Rice. p.77-79. In L.T. Evans (Ed.). Crop Physiology. University Press, Cambridge, UK.

Nurrizki, A.R. 2012. Pengaruh dosis pupuk organik dan hayati terhadap hasil padi sawah (Oryza sativa L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nurmayulis, P. Utama, D. Firnia, H. Yani, A. Citraresmini. 2011. Respon nitrogen dan azolla terhadap pertumbuhan tanaman padi varietas Mira I dengan metode SRI. J. Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi 7:115-130.

Pramono, E. 2010. Pengaruh pupuk organik dan pupuk mikro pada produksi dan mutu benih padi (Oryza sativa L.). Agronomika 10:11-22.

Prihtanti, T.M., S. Hardyastuti, S. Hartono, Irham. 2013. Multifungsi sistem usaha tani padi organik dan anorganik. J. Agrifor 12:11-21.

Rachmat, R., R. Thahir, M. Gummert. 2006. The empirical relationship between price and quality of rice at market level in West Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 7:27-33.

Santoso, R.S. 2011. Hasil padi sawah yang diaplikasi pupuk organik. J. Agrivigor 10:319-330.

Setyono, A., A. Guswara, E.S. Noor, D.D. Handoko. 2007. Evaluasi kadar protein beras giling hasil panen dari berbagai dosis aplikasi urea. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007. http://www.litbang.deptan.go.id [21 Desember 2013].

Siregar, D., P. Marbun, P. Marpaung. 2013. Pengaruh varietas dan bahan organic yang berbeda terhadap 1,000 butir dan biomassa padi sawah IP 400 pada musim tanam I. J. Agroekoteknologi 1:1413-1421.

Soplanit, R., S.H. Nukuhaly. 2012. Pengaruh pengelolaan hara NPK terhadap ketersediaan N dan hasil tanaman padi sawah di Desa Waelo Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru. Agrologia 1:81-90.

Sugiyanta, F. Rumawas, M.A. Chozin, W.Q. Mugnisyah, M. Ghulamahdi. 2008. Studi serapan hara N, P, K dan potensi hasil lima varietas padi sawah (Oryza sativa L.) pada pemupukan anorganik dan organik. Bul. Agron. 36:196-203.

Suharno, A.K. Rachman, S.R. Apsari. 2010. Pengaruh jenis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi ubi jalar (Ipomoea batatas L.). Agriekstensia 9:200-210.

Supartha, I.N.Y., G. Wijana, G.M. Adyana. 2012. Aplikasi jenis pupuk organik pada tanaman padi sistem pertanian organik. J. Agroekoteknologi Tropika 1:98-106.

Page 22: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 187 - 194 (2014)

194 Isna Tustiyani, Sugiyanta, dan Maya Melati

Syamsudin, T.S., S. Aktaviyani. 2009. Penerapan pemupukan pada pertanian padi organic dengan metode system of rice intensification (SRI) di Desa Sukakarsa Kabupaten Tasikmalaya. J. Agroland 16:1-8.

Wangiyana, W., V.F.A. Budiyanto, N. Farida, N.W.D. Dulur. 2010. Pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) var Silugonggo pada berbagai teknik budidaya dan aplikasi kompos bokhasi pupuk kandang sapi. Agroteksos 20:103-111.

Wibowo, P., S.D. Indrasari, D.D. Handoko. 2009.Karakteristik fisik, fisikokimia, dan tanak beras beberapa varietas padi aromatik. Dalam S. Abdulrachman, H.M. Toha, A. Gani (Eds.). Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Malang 21 Desember 2013.

Wibowo, P., S.D. Indrasari, D.D. Handoko. 2008. Preferensi konsumen terhadap karakteristik beras dan kesesuaiannya dengan standar mutu beras di Jawa Tengah. Dalam B. Suprihatno, A.A. Daradjat, H. Suharto, H.M. Toha, A. Setiyono, Suprihanto, A.S. Yahya (Eds.). Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Sukamandi 21-26 Juli 2008.

Yan, X., W. Gong. 2010. The role of chemical and organic

fertilizers on yield, yield variability and carbon sequestration- results of a 19-year experiment. Plant Soil 331:471-480.

Zahrah, S. 2011. Aplikasi pupuk bokhasi dan NPK organic pada tanah Ultisol untuk tanaman padi sawah dengan sistem SRI (System of Rice Intensification). Jurnal Ilmu Lingkungan 5:114-129.

Page 23: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

Ketahanan 25 Genotipe Tomat..... 195

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Ketahanan 25 Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum Mill.) terhadap Pecah Buah dan Korelasinya dengan Karakter-karakter Lain

Resistance of 25 Tomato Genotypes (Solanum lycopersicum Mill.) to Fruit Cracking and Its Correlations to Others Characters

Sri Wahyuni1, Rahmi Yunianti2, Muhamad Syukur2*, Joko Ridho Witono3, dan Syarifah Iis Aisyah2

1Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPBJl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural Universtity), Jl Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

3Peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI, Indonesia

Diterima 19 September 2013/Disetujui 22 April 2014

ABSTRACT

Fruit cracking is one of the major constraints in tomato production in lowland areas. This reduces fruit quality and quantity both as freshmarket and processed fruits. The objective of this study was to determine the resistance of 25 tomato genotypes to fruit cracking, correlation to others characters and their genetic similarity. The experiment was conducted from April until August 2012 at Leuwikopo Field Station, Bogor Agricultural University. A randomized complete block design was used with three replications. Fruit crack index was used to evaluate tomato fruit crack resistance. Correlation and impacts of variables were analyzed by path analysis. The genetic similarity was analyzed by clustering analysis. Result of resistance evaluation showed that fruit crack index of 25 tomato genotypes ranged from 0.00 to 20.58. Fruit crack index was directly related to percentage of fruit crack weight per plant, percentage of number of fruit crack per plant and total soluble solids. Cluster analysis showed that the genotypes could be clustered into four groups.

Keywords: clustering analysis, genetic diversity, path analysis

ABSTRAK

Pecah buah menjadi salah satu kendala pada produksi tomat di dataran rendah. Pecah buah dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil, baik pada tomat konsumsi segar maupun olahan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ketahanan 25 genotipe tomat terhadap pecah buah, korelasinya terhadap karakter-karakter lain dan kemiripan antar genotipe tomat. Percobaan disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan 3 ulangan.Ketahanan terhadap pecah buah dievaluasi dengan indeks pecah buah. Peubah yang berpengaruh dianalisis dengan analisis korelasi dan sidik lintas. Kemiripan antar genotipe dianalisis dengan menggunakan analisis gerombol. Hasil penelitian menunjukkan indeks pecah buah 25 genotipe tomat berkisar 0.00-20.58. Peubah yang berpengaruh langsung terhadap indeks pecah buah antara lain adalah persentase bobot buah pecah per tanaman, persentase jumlah buah pecah per tanaman dan padatan total terlarut. Hasil analisis gerombol menunjukkan genotipe tomat mengelompok menjadi empat kelompok.

Kata kunci: analisis gerombol, keragaman genetik, sidik lintas

PENDAHULUAN

Tomat (Solanum lycopersicum Mill.) termasuk komoditas hortikultura unggulan yang bernilai ekonomis dan strategis di Indonesia. Tomat juga merupakan sumber nutrisi dan metabolit sekunder yang sangat penting bagi kesehatan manusia, seperti senyawa folat, vitamin A, C, dan E, flavonoid, serat, karotenoid, likopen, vitamin dan mineral penting lainnya (van der Ploeg dan Heuvelink, 2005; Kailaku

et al., 2007; Passam et al., 2007, Bhowmik et al., 2012), sehingga tomat kaya akan manfaat baik sebagai sayuran, bumbu masak, bahan minuman maupun sebagai bahan baku industri makanan, kosmetik dan obat-obatan. Selama periode tahun 2007-2011, produksi tomat terus mengalami peningkatan, yaitu 635,474 ton menjadi 954,046 ton dengan rata-rata produktivitas 14.3 ton ha-1. Namun selama periode tersebut, nilai impor tomat juga mengalami peningkatan dari US$ 4,970,963 (2007) menjadi US$ 9,066,578 (2011) dengan nilai pertumbuhan impor sebesar 26% (Ditjenhort, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa produksi tomat nasional belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Page 24: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

196 Sri Wahyuni, Rahmi Yunianti, Muhamad Syukur, Joko Ridho Witono, dan Syarifah Iis Aisyah

Tomat pada umumnya dibudidayakan di dataran tinggi. Lahan penanaman tomat di dataran tinggi semakin terbatas karena persaingan dengan komoditas hortikultura lain, juga karena sebagian wilayah tersebut merupakan daerah konservasi. Oleh karena itu perlu perluasan areal tanam ke dataran menengah dan rendah. Penanaman tomat di dataran rendah menghadapi kendala berupa penurunan produksi dan terbatasnya jumlah varietas tomat dataran rendah yang sudah dilepas (Purwati, 2007). Kendala lain adalah terjadinya pecah buah (fruit cracking). Pecah buah merupakan kelainan fisiologi yang tidak disebabkan oleh infeksi penyakit atau serangga. Pecah buah terjadi karena pertumbuhan buah yang cepat pada kondisi ketersediaan air melimpah dan suhu tinggi, terutama ketika kondisi ini diikuti periode stress tanaman (Masarirambi et al., 2009). Pecah buah menyebabkan kehilangan hasil baik pada tomat yang dikonsumsi segar maupun tomat olahan (Matas et al., 2004; Max dan Horst, 2009). Pecah buah pada tomat yang dikonsumsi segar dapat menurunkan penampilan sehingga menurunkan jumlah buah yang dapat dipasarkan. Pecah buah pada tomat olahan memungkinkan masuknya patogen pada buah sehingga menyebabkan busuk sekunder (Simon, 2006). Kehilangan hasil panen tomat di Amerika Serikat akibat pecah buah dilaporkan mencapai 35% (Dorais et al., 2004). Kerugian akibat pecah buah dapat diatasi dengan menggunakan kultivar tahan, mencukupi kebutuhan air, dan nutrisi tanaman yang seimbang (Masarirambi et al., 2009).

Salah satu upaya untuk menghasilkan varietas tomat yang tahan pecah buah adalah perakitan varietas melalui program pemuliaan tanaman. Kegiatan ini dimulai dengan mengumpulkan berbagai plasma nutfah tomat dan kemudian melakukan penapisan. Identifikasi ketahanan genotipe-genotipe tanaman koleksi adalah langkah awal dalam pengembangan kultivar tahan (Zainal et al., 2011). Sifat tahan dapat berasal dari varietas lain, landrace, spesies liar yang sekerabat, atau spesies lain. Ketersediaan keragaman genetik akan menentukan keberhasilan program pemuliaan (Yunianti et al., 2007). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ketahanan 25 genotipe tomat terhadap pecah buah, korelasinya terhadap peubah-peubah lain dan kemiripan antar genotipe tomat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB pada bulan April sampai dengan Agustus 2012. Percobaan disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 3 ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 tanaman. Bahan tanaman yang digunakan adalah 25 genotipe tomat koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan nomor-nomor lokal yang telah digalurkan, yaitu IPBT1, IPBT3, IPBT4, IPBT6, IPBT8, IPBT13, IPBT21, IPBT23, IPBT30, IPBT33, IPBT34, IPBT43, IPBT53, IPBT57, IPBT58, IPBT59, IPBT60, IPBT64, IPBT73, IPBT78, IPBT80, IPBT82, IPBT83, IPBT84, dan IPBT86.

Tomat ditanam pada bedengan berukuran 1 m x 5 m yang ditutup mulsa plastik hitam perak, jarak tanam 50 cm x 50 cm. Bibit dipindahkan ke lapang setelah berumur ± 4 minggu, pertumbuhannya tegar, berdaun 3-5 helai, warna daun hijau,dan tidak terkena hama penyakit (Pangaribuan et al., 2011). Pemupukan dalam bentuk larutan NPK (16:16:16) 10 g L-1 dilakukan setiap seminggu sekali, masing-masing tanaman 250 mL. Penyemprotan pestisida dilakukan 2 minggu sekali dengan menggunakan fungisida berbahan aktif mancozeb 80% atau propineb 2 g L-1, insektisida profenovos dengan konsentrasi 2 mL L-1. Pewiwilan tunas air dilakukan agar tanaman dapat tumbuh optimal. Pengendalian gulma dilakukan secara manual. Kegiatan pemanenan dilakukan pada saat buah tomat telah mencapai tingkat kematangan 75%. Pemanenan dilakukan setiap 5 hari sekali selama 8 kali panen.

Pecah Buah

Peubah yang diamati adalah skor dan jumlah pecah buah pada skor tertentu. Kriteria ketahanan pecah buah ditentukan dengan indeks pecah buah (IPB). IPB = (∑(ni x skor) dibagi ∑n x skor maksimum) x 100%; ni = jumlah buah dalam skor ke i (I = 0, 1, 2, 3, 4; skor maksimum = 4). Nilai skor ditentukan berdasarkan metode ‘Crack Resistence Score’ (Susila, 1995) yang dimodifikasi yaitu skor 0 = tidak mengalami pecah buah; 1 = sedikit mengalami pecah buah (<25%); 2 = mengalami pecah buah (25% ≤ 50%); 3 = mengalami pecah buah agak berat (50-75%); 4 = mengalami pecah buah berat (>75%). Selanjutnya nilai IPB digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan genotipe tomat terhadap pecah buah berdasarkan metode Yusnita dan Soedarsono (2004) yang telah dimodifikasi dengan kriteria sangat tahan (ST) jika IPB=0%; tahan (T) jika 0<IPB≤5%; agak tahan (AT) jika 5<IPB≤10%; agak rentan (AR) jika 10<IPB≤20%; rentan (R) jika 20<IPB≤40% dan sangat rentan (SR) jika IPB≥40%.

Peubah lain yang diamati adalah hasil per tanaman (g tanaman-1), bobot buah layak (g tanaman-1), persentase bobot buah pecah (% tanaman-1), jumlah buah per tanaman, panjang buah (cm), diameter buah (cm), tebal daging buah (cm), jumlah rongga buah, umur berbunga (HST), umur panen (HST), padatan terlarut total (%), kekerasan buah, kadar air (%), dan kandungan kalsium (ppm) pada buah. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan anova, jika uji F nyata dilakukan uji lanjut DMRT pada taraf 5%. Pengaruh langsung peubah terhadap pecah buah dianalisis korelasi dan dilanjutkan dengan sidik lintas (path analysis). Analisis data menggunakan software SAS versi 9.1.3.

Kemiripan 25 Genotipe Tomat

Sebanyak 25 genotipe ditanam masing-masing 20 tanaman. Peubah yang diamati terdiri atas 38 peubah kualitatif (PPVT, 2007), dan peubah kuantitatif. Peubah kuantitatif yaitu panjang buah, diameter buah, jumlah rongga buah, tinggi tanaman, jumlah buku, diameter batang, panjang ruas, panjang daun, dan lebar daun. Pola hubungan

Page 25: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

Ketahanan 25 Genotipe Tomat..... 197

kemiripan dianalisis dengan analisis gerombol (cluster analysis) menggunakan software SPSS versi 19. Informasi hubungan kemiripan digunakan sebagai dasar dalam rekomendasi tetua yang akan dipilih pada pembentukan populasi studi pewarisan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pecah Buah

Berdasarkan indeks pecah buah 25 genotipe tomat terbagi menjadi lima kelompok yaitu sangat tahan, tahan, agak tahan, agak rentan, dan rentan (Tabel 1). Tidak ada genotipe yang masuk dalam kriteria sangat rentan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik genotipe tomat yang menunjukkan ketahanan berbeda terhadap pecah buah. Persentase bobot buah pecah (g tanaman-1) berkisar antara 0-35.31% (Tabel 2). Nilai ini menunjukkan produksi tomat yang tidak layak untuk dipasarkan sebagai kerugian

akibat pecah buah. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pecah buah yang terjadi dalam rumah kaca dapat meningkatkan buah yang tidak layak dipasarkan mencapai 10-95% dari total buah yang dihasilkan (Dorais et al., 2004; Liebisch et al., 2009; Hahn, 2011).

Pecah buah pada tomat dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan bentuknya, yaitu tipe radial dan tipe konsentrik (Dorais et al., 2004; Masarirambi et al., 2009).Beberapa genotipe menunjukkan pecah buah tipe radial yaitu IPBT1, IPBT21, IPBT73, dan IPBT86, sedangkan genotipe yang lain menujukkan tipe konsentrik. Genotipe-genotipe tersebut pada umumnya adalah genotipe yang memiliki jumlah rongga yang banyak (Tabel 3). Akan tetapi ada kalanya genotipe dengan jumlah rongga sedikit juga mengalami tipe pecah radial. Dorais et al. (2004) menyatakan bahwa belum ada korelasi yang jelas antara bentuk buah dengan tipe pecah buah.

Beberapa faktor yang diduga menjadi faktor penyebab terjadinya pecah buah adalah genetik (Dorais et al., 2004), hujan dan kelembaban tinggi atau pengairan yang intensif setelah periode kekeringan (Simon, 2006), suhu dan cahaya tinggi (Liebisch et al., 2009), aspek anatomi buah, kecepatan tumbuh buah, kandungan kalsium dan boron (Dorais, 2004: Liebisch et al., 2009), kekuatan dinding sel buah (Simon, 2006). Namun dalam penelitian ini hasil pengujian kandungan kalsium pada buah tomat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada genotipe yang diuji.

Genotipe berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah buah per tanaman, hasil per tanaman, bobot buah layak per tanaman, persentase bobot buah pecah per tanaman dan umur panen, namun tidak nyata pada peubah umur berbunga (Tabel 2). Pada peubah jumlah buah per tanaman genotipe IPBT23 menunjukkan jumlah buah yang paling tinggi dengan jumlah rata-rata 145.7. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan genotipe IPBT3, IPBT30, IPBT33 dan IPBT53. Hasil per tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPBT83 sebesar 1846.47 g tanaman-1 atau 36.92 ton ha-1

(dengan asumsi jumlah populasi 20,000 tanaman ha-1).Kendala penanaman tomat di dataran rendah adalah

terjadinya penurunan produktivitas. Hasil rata-rata tanaman tomat di dataran rendah hanya 0.25 kg tanaman-1, jika dikonversikan hanya mencapai 6 ton ha-1 (Purwati, 2007). Varietas yang beradaptasi di dataran menengah hingga tinggi yang ditanam di dataran menengah menunjukkan penurunan produktivitas sekitar 50-60% atau turun dari 4-5 kg tanaman-1 menjadi 1.95 kg tanaman-1 (Soedomo, 2012). Produksi per tanaman pada tanaman tomat ditentukan oleh jumlah tandan buah, jumlah bunga per tandan, jumlah bunga yang menjadi buah dan bobot per buah. Penurunan produksi tomat di dataran rendah dipengaruhi suhu lingkungan tumbuh yang menyebabkan ukuran buah lebih kecil dan jumlah buah yang terbentuk sedikit (Murti et al., 2004). Kondisi suhu tinggi menyebabkan jumlah dan kualitas serbuk sari tomat berkurang, selanjutnya viabilitas serbuk sari juga berkurang yang akhirnya menyebabkan fruit set dan jumlah benih per buah berkurang (Firon et al., 2006). Peningkatan produksi tomat, baik kuantitas maupun kualitas juga dapat dilakukan dengan penggunakan teknik budidaya dan pemupukan yang

Genotipe Indeks pecah buah Tingkat ketahananIPBT1 16.03 ARIPBT3 20.58 RIPBT4 0.00 STIPBT6 0.39 TIPBT8 2.83 TIPBT13 5.81 ATIPBT21 9.64 ATIPBT23 1.39 TIPBT30 8.64 ATIPBT33 11.99 ARIPBT34 8.97 ATIPBT43 8.27 ATIPBT53 3.38 TIPBT57 1.01 TIPBT58 4.25 TIPBT59 0.00 STIPBT60 0.00 STIPBT64 0.00 STIPBT73 18.57 ARIPBT78 1.31 TIPBT80 0.62 TIPBT82 0.23 TIPBT83 0.00 STIPBT84 0.49 TIPBT86 19.27 AR

Tabel 1. Nilai indeks pecah buah pada 25 genotipe tomat dan tingkat ketahanannya

Keterangan: ST = sangat tahan; T = tahan; AT = agak tahan; AR = agak rentan, R = rentan

Page 26: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

198 Sri Wahyuni, Rahmi Yunianti, Muhamad Syukur, Joko Ridho Witono, dan Syarifah Iis Aisyah

sesuai dengan kebutuhan tanaman (Amisnaipa et al., 2009; Subhan et al., 2009; Pangaribuan et al., 2011).

Genotipe berpengaruh nyata terhadap beberapa peubah buah yaitu peubah panjang buah, diameter buah, ketebalan daging buah, dan jumlah rongga buah, tetapi tidak berpengaruh nyata pada kandungan kalsium, kadar air, tingkat kekerasan buah dan padatan terlarut total (Tabel 3). Kriteria tanaman tomat yang dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan adalah tipe tumbuh tegak atau menyebar, ukuran buah besar, penampilan buah menarik, tahan simpan, toleran terhadap organisme pengganggu tanaman, daging buah tebal (±4 mm), dan hasil tinggi (Suryadi et al., 2004). Beberapa genotipe yang memenuhi kriteria dan dapat dijadikan sebagai bahan tetua adalah genotipe IPBT78 (panjang buah), IPBT73 (diameter buah), dan IPBT80 (tebal daing buah dan jumlah rongga).

Hasil analisis korelasi menunjukkan peubah yang berpengaruh nyata terhadap indeks pecah buah adalah persentase bobot buah pecah per tanaman, persentase jumlah buah pecah per tanaman, umur berbunga, umur panen,

panjang buah, padatan terlarut total, panjang daun, dan lebar daun. Hasil sidik lintas menunjukkan bahwa peubah yang memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap indeks pecah buah adalah persentase bobot buah pecah per tanaman, persentase jumlah buah pecah per tanaman, dan padatan terlarut total (Tabel 4; Gambar 1). Young (1959) menyatakan bahwa ketahanan terhadap pecah buah pada tipe radial dikendalikan oleh gen resesif dan berasosiasi dengan warna buah merah muda, jumlah buah per tanaman tinggi, rata-rata jumlah rongga rendah, diameter buah kecil dan pola pertumbuhan determinate.Kemiripan 25 Genotipe Tomat

Analisis gerombol bertujuan untuk mengelompokkan data (pengamatan) ke dalam beberapa kelas, sehingga anggota di dalam satu kelas lebih homogen (serupa) dibandingkan dengan anggota di dalam kelas lain. Kriteria pengelompokan didasarkan pada ukuran kemiripan (Djuraidah, 1991). Kemiripan antar objek dapat diukur menggunakan sebuah indeks dengan makna tertentu seperti

Genotipe Jumlah buah Hasil per tanaman(g tanaman-1)

Bobot buah layak (g tanaman-1)

Persentase bobot buah pecah (% tanaman-1)

Umur panen (HST)

IPBT1 43.46cd 1,275.54abcde 939.77cd 18.20b 55.00cdeIPBT3 104.24ab 1,211.24abcde 1,016.18cd 18.35b 52.67edIPBT4 23.44d 884.32de 884.32cd 0.00f 63.50aIPBT6 45.13cd 1,061.93cde 1,049.01cd 1.32f 57.00abcdIPBT8 35.48cd 798.47e 696.27d 5.51f 53.67cdeIPBT13 50.25cd 1,704.48abc 1,446.42abc 15.34b 51.33eIPBT21 61.73cd 1,254.95abcde 808.17cd 35.31a 53.33edIPBT23 145.57a 1,122.76cde 1,105.49cd 2.38f 52.67edIPBT30 126.29ab 914.61de 834.20cd 8.60f 52.00edIPBT33 128.82ab 1,331.41abcde 1,201.82bcd 11.55c 51.67edIPBT34 67.08c 1,204.53abcde 1,069.30cd 10.87f 51.33eIPBT43 48.64cd 1,300.39abcde 1,254.37abcd 2.80f 55.33cdeIPBT53 113.33ab 915.97de 865.94cd 5.59f 51.33eIPBT57 45.47cd 1,307.49abcde 1,294.23abcd 1.32f 56.00abcdIPBT58 31.80cd 1,480.54abcd 1,378.67abc 12.32c 61.67abIPBT59 36.26cd 1,200.14abcde 1,200.14bcd 0.00f 55.00cdeIPBT60 32.86cd 1,820.13a 1,820.13abc 0.00f 55.33cdeIPBT64 50.51cd 1,158.20abcd 1,158.20cd 0.00f 56.33abcdIPBT73 53.87cd 1,420.37abcd 1,001.78cd 29.25a 52.00edIPBT78 31.29cd 1,285.24abcde 1,274.08abcd 2.35ef 60.00abcIPBT80 37.28cd 1,217.18abcde 1,158.39cd 3.14f 57.67abcdeIPBT82 47.04cd 1,271.62abcde 1,262.64abcd 0.97f 58.00abcdIPBT83 56.98cd 1,846.47a 1,846.47a 0.00f 55.33cdeIPBT84 53.52cd 1,243.95abcd 1,231.60abcd 0.79f 53.67cdeIPBT86 63.38c 1,484.11abcd 1,045.07cd 28.07a 52.67ed

Tabel 2. Nilai tengah peubah komponen produksi tanaman tomat

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%

Page 27: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

Ketahanan 25 Genotipe Tomat..... 199

Genotipe Panjang buah (cm)

Diameter buah (cm)

Tebal daging buah (cm) Jumlah rongga buah

IPBT1 4.10cdef 4.82abcd 0.46cdefg 6.70cIPBT3 3.04gh 3.14ij 0.44defgh 2.3fgIPBT4 4.74abc 4.79abcd 0.52bcdef 2.8efgIPBT6 4.37bcde 4.28defg 0.51bcdef 3.1efgIPBT8 4.06def 4.44cdef 0.46defgh 5.5dIPBT13 4.00def 4.36cdef 0.48cdefg 3.6efIPBT21 2.68h 5.12ab 0.43efgh 10.0aIPBT23 2.49h 2.62j 0.27i 2.3fgIPBT30 2.72h 2.77j 0.36ghi 2.2fgIPBT33 2.90h 3.15ij 0.37ghi 2.4fgIPBT34 3.52fg 3.51hi 0.42efgh 3.0efgIPBT43 3.77ef 3.77gh 0.42efgh 3.2efgIPBT53 2.89h 3.02ij 0.34hi 2.2gIPBT57 3.57fg 3.74gh 0.44defgh 2.5fgIPBT58 4.90ab 4.00fgh 0.57abcd 2.2gIPBT59 4.25bcde 4.05efgh 0.57abcd 3.3efgIPBT60 4.59abcd 4.59bcde 0.55abcde 3.9eIPBT64 3.75ef 3.74gh 0.52bcdef 2.2gIPBT73 2.77h 5.15a 0.41fgh 9.5aIPBT78 5.13a 4.21efg 0.55abcde 2.4fgIPBT80 4.58abcd 4.53cdef 0.67a 2.2gIPBT82 4.62abcd 4.00fgh 0.60abc 2.3fgIPBT83 4.78ab 3.75gh 0.54bcdef 2.2fgIPBT84 4.83ab 4.02fgh 0.62ab 2.3fgIPBT86 2.74h 4.86abc 0.42efgh 8.2b

Tabel 3. Nilai tengah peubah karakter buah tomat

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf 5%

Peubah PL HT BBL PBBP PJBP JB UB UP BPB PB DBu JR PTT DBt PD LD Total Selisih

HT -1.32 -0.05 0.31 0.42 0.04 -0.03 0.05 -0.02 -0.08 0.01 0.62 0.05 0.16 -0.04 0.09 0.21 -1.54

BBL -0.07 -0.83 -0.5 -0.47 -0.07 0.35 0 0.02 0.15 0.21 -0.5 0.51 -0.08 0.28 0.45 -0.56 0.49

PBBP 1.03 -0.4 0.04 1.13 0.12 -0.38 0.04 -0.03 -0.25 -0.42 1.44 -0.67 0.22 -0.42 -0.49 0.95 0.08

PJBP 1.2 -0.47 0.03 0.96 0.09 -0.41 0.04 -0.03 -0.25 -0.52 1.49 -0.63 0.27 -0.44 -0.53 0.81 0.39

JB 0.34 -0.15 0.02 0.37 0.3 -0.23 0.05 -0.09 -0.21 0.94 -0.36 -0.46 0.05 -0.06 0.03 0.53 -0.19

UB 0.59 0.07 -0.04 -0.67 -0.83 -0.13 -0.04 0.05 0.24 -0.11 -0.66 0.51 -0.22 0.24 0.33 -0.66 1.25

UP -0.07 0.9 0 -0.63 -0.68 -0.22 0.3 0.06 0.22 -0.35 -0.64 0.4 -0.2 0.18 0.09 -0.64 0.57

BPB 0.1 0.25 -0.01 -0.3 -0.35 -0.32 0.28 -0.05 0.21 -0.95 0.43 0.33 -0.12 0.07 -0.01 -0.43 0.54

PB 0.31 0.33 -0.04 -0.84 -0.98 -0.23 0.47 -0.05 0.07 -0.15 -0.84 0.66 -0.25 0.33 0.37 -0.82 1.13

DBu -1.32 0.01 0.01 0.33 0.47 -0.24 0.05 -0.02 0.07 0.03 1.39 -0.09 0.1 -0.28 -0.43 0.09 -1.41

JR 1.8 -0.46 0.02 0.83 1 -0.07 -0.22 0.03 0.02 -0.14 -1.02 -0.46 0.22 -0.41 -0.52 0.61 1.18

PTT 0.86 -0.08 -0.04 -0.8 -0.88 -0.18 0.35 -0.03 0.04 0.24 0.13 -0.96 -0.12 0.33 0.39 -0.75 1.61

DBt -0.37 0.57 -0.02 -0.6 -0.88 -0.04 0.35 -0.04 0.03 0.21 0.35 -1.07 0.27 0.37 0.42 -0.46 0.09

PD 0.5 0.11 -0.04 -0.86 -1.05 -0.04 0.29 -0.03 0.01 0.2 0.73 -1.47 0.57 -0.27 0.63 -0.72 1.22

LD 0.66 -0.17 -0.05 -0.76 -0.97 0.02 0.29 -0.01 0 0.17 0.86 -1.41 0.51 -0.23 0.47 -0.61 1.28

Tabel 4. Pengaruh langsung dan tidak langsung masing-masing karakter terhadap indeks pecah buah

Keterangan: PL = pengaruh langsung; HT = hasil per tanaman; BBL = bobot buah layak; PBBP = persentase bobot buah pecah; JB = jumlah buah; PJBP = persentase jumlah buah pecah; UB = umur berbunga; UP = umur panen; BPB = bobot per buah; PB = panjang buah; DBu = diameter buah; JR = jumlah rongga; PTT = padatan terlarut total; DBt = diameter batang; PD = panjang daun; LD= lebar daun

Page 28: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

200 Sri Wahyuni, Rahmi Yunianti, Muhamad Syukur, Joko Ridho Witono, dan Syarifah Iis Aisyah

jarak Euclidean (akar ciri) atau jarak lain, sejenis indeks peluang, atau yang lainnya. Semakin kecil jarak akar ciri antar dua genotipe, semakin mirip genotipe tersebut satu sama lain.

Analisis gerombol yang dilakukan pada 25 genotipe tomat dengan 33 peubah menghasilkan dendrogram seperti pada Gambar 2. Dua puluh lima genotipe tomat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok pada tingkat kemiripan 80%. Genotipe-genotipe yang mengelompok pada kelompok I adalah IPBT82, IPBT83, IPBT57, IPBT59,

IPBT8, IPBT43, IPBT60, IPBT58, IPBT78, IPBT84, IPBT6, IPBT13, IPBT64, IPBT23, IPBT34, IPBT1 dan IPBT4. Kelompok II terdiri dari genotipe IPBT21, IPBT73 dan IPBT86. Kelompok III terdiri dari IPBT33, IPBT53, IPBT3 dan IPBT30. Kelompok IV hanya beranggotakan genotipe IPBT80. Pengelompokan genotipe dengan menggunakan analisis gerombol ini diharapkan dapat membantu dalam pemilihan tetua untuk merakit varietas tomat yang tahan terhadap pecah buah dengan mengkombinasikan informasi kelompok genotipe berdasarkan indeks pecah buah.

Gambar 1. Diagram lintasan beberapa karakter dengan persentase pecah buah pada 25 genotipe tomat

0.004 (sisa)

0.86

1.03 Indeks pecah buah Persentase bobot buah pecah per tanaman

Padatan total terlarut

Persentase jumlah buah pecah per tanaman

Jumlah rongga

Hasil per tanaman

Panjang daun

Diameter buah

Lebar daun

Gambar 2. Dendrogram hasil analisis gerombol 25 genotipe tomat

Page 29: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

Ketahanan 25 Genotipe Tomat..... 201

KESIMPULAN

Berdasarkan kriteria indeks pecah buah, 25 genotipe tomat memiliki kisaran indeks pecah buah 0.00-20.58. Berdasarkan nilai indeks pecah buah 25 genotipe tomat terbagi menjadi lima kelompok yaitu sangat tahan, tahan, agak tahan, agak rentan dan rentan. Hasil analisis sidik lintas menunjukkan peubah yang berpengaruh langsung terhadap indeks pecah buah adalah persentase bobot buah pecah per tanaman, persentase jumlah buah pecah per tanaman dan padatan terlarut total. Berdasarkan analisis gerombol diperoleh pola kekerabatan genotipe tomat mengelompok menjadi empat kelompok.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada: DIKTI yang telah memberikan pendanaan melalui Hibah Bersaing Tahun 2012 a.n. Dr. Rahmi Yunianti.

DAFTAR PUSTAKA

Amisnaipa, A.D. Susila, R. Situmorang, D.W. Purnomo. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylene. J. Agron. Indonesia 37:115-122.

Bhowmik, D., K.P.S. Kumar, S. Paswan, S. Srivastava. 2012. Tomato- a natural medicine and its health benefits. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 1:33-43.

[Ditjenhort] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Produksi tomat menurut provinsi, 2007-2011. http://hortikultura.deptan.go.id [05 Januari 2013].

Djuraidah, A. 1991. Simulasi analisis gerombol dengan pendekatan penguraian sebaran campuran normal ganda pada data MSS LANDSAT. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dorais, M., D.A. Demers, A.P. Papadopoulos, W.van Ieperen. 2004. Greenhouse tomato fruit cuticle cracking. In J. Janicck, J. Wiley, Sons (Ed.). Horticultural Reviews, Volume 30, Inc.

Firon, N., R. Shaked, M.M. Peet, D.M. Pharr, E. Zamski, K. Rosenfeld, L. Althan, E. Pressman. 2006. Pollen grains of heat tolerant tomato cultivars retain higher carbohydrate concentration under heat stress conditions. Sci. Hort.109:212-217.

Hahn, F. 2011. Fuzzy controller decreases tomato cracking in greenhouses. Comp. Elec. Agric. 77:21-27.

Kailaku, S.I., K.T. Dewandari, Sunarmani. 2007. Potensi likopen dalam tomat untuk kesehatan. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 3:50-58.

Liebisch, F., J.F.J. Max, G. Heine, W. J. Horst. 2009. Blossom-end rot and fruit cracking of tomato grown in net-covered greenhouses in Central Thailand can partly be corrected by calcium and boron sprays. J. Plant Nutr. Soil Sc. 172:140-150.

Masarirambi, M.T., N. Mhazo, T.O. Oseni, V.D. Shongwe, 2009. Common physiological disorders of tomato (Lycopersicon esculentum) fruit found in Swaziland.J. Agric. Soc. Sci. 5:123-127.

Matas, A.J., E.D. Chobb, D.J. Palulillo, Jr., K.J. Niklas. 2004. Crack resistance in cherry tomato fruit correlates with cuticular membrane thickness. HortScience 39:1354-1358.

Max, J.F.J., W.J. Horst. 2009. Influence of nighttime electrical conductivity of substrate solution on fruitcracking and blossom-end rot of greenhouse tomato in the tropics. J. Plant Nutr. Soil Sc.172: 829-838.

Murti, R.H., T. Kurniawati, Nasrullah. 2004. Pola pewarisan karakter buah tomat. Zuriat 15:140-149.

Pangaribuan, D.H., O.L. Pratiwi, Lismawanti. 2011. Pengurangan pemakaian pupuk anorganik dengan penambahan bokashi serasah tanaman pada budidaya tanaman tomat. J. Agron. Indonesia 39:173-179.

PPVT (Pusat Perlindungan Varietas Tanaman). 2007. Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Tomat. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

Passam, H.C., I.C. Karapanos, P.J. Bebeli, D. Savvas. 2007. A review of recent research on tomato nutrition, breeding and post-harvest technology with reference to fruit quality. Eur. J. Plant Sci. Biotech. 1:1-21.

Purwati, E. 2007. Varietas unggul harapan tomat hibrida (F1) dari Balitsa. Iptek Hortikultura 3:34-40.

Simon, G. 2006. Review on rain induced fruit cracking of sweet cherries (Prunus avium L.), its causes and the possibilities of prevention. International Journal of Horticultural Science 12:27-35.

Soedomo. 2012. Uji daya hasil lanjutan tomat hibrida di dataran tinggi Jawa Timur. J. Hort. 22:8-13.

Subhan, N. Nurtika, N. Gunadi. 2009. Respons tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk majemuk NPK 15-15-15 pada tanah Latosol pada musim kemarau. J. Hort. 19:40-48.

Suryadi, Lutfhy, K. Yenni, Gunawan. 2004. Karakterisasi koleksi plasma nutfah tomat lokal dan introduksi. Buletin Plasma Nutfah 10:72-76.

Page 30: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 195 - 202 (2014)

202 Sri Wahyuni, Rahmi Yunianti, Muhamad Syukur, Joko Ridho Witono, dan Syarifah Iis Aisyah

Susila, A.D. 1995. Studi pecah buah (fruit cracking) dalam rangka peningkatan kualitas buah tomat (Lycopersicon esculentum mill. L). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

van der Ploeg, E. Heuvelink. 2005. Influence of sub-optimal temperature on tomato growth and yield: a review. J Hort. Sci. Biotech. 80:652-659.

Young, H.W. 1959. Inheritance of radial fruit cracking in a tomato cross. Florida State Horticultural Society.

Yunianti, R., S. Sastrosumarjo, S. Sujiprihati, M. Surahman, S.H. Hidayat. 2007. Ketahanan 22 genotipe cabai (Capsicum spp.) terhadap Phytophthora capsici leonian dan keragaman genetiknya. Bul. Agron. 35:103-111.

Yusnita, Soedarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang sclerotium. Hayati J. Biosci. 11:53-58.

Zainal, A., A. Anwar, S. Ilyas, Sudarsono, Giyanto. 2011. Uji inokulasi dan respon ketahanan 38 genotipe tomat terhadap Clavibacter michiganensis subsp. Michiganensis. J. Agron. Indonesia 39:85-91.

Page 31: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 210 - 214 (2014)

210 Ismail Saleh, Sandra Arifin Aziz, and Nuri Andarwulan

* Corresponding author. e-mail: [email protected]

Shoot Production and Metabolite Content of Waterleaf with Organic Fertilizer

Ismail Saleh1, Sandra Arifin Aziz2*, and Nuri Andarwulan3

1Department of Agrotechnology, Faculty of AgricultureSwadaya Gunung Jati University, Cirebon 45132, Indonesia

2Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of AgricultureBogor Agricultural University, Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

3Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural TechnologyBogor Agricultural University, Bogor 16680, Indonesia

Received 6 March 2014/Accepted 15 August 2014

ABSTRACT

Waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) is consumed as vegetable that contains some metabolites. The purpose of this research was to investigate the effect of organic fertilizer on shoot production and its metabolites i.e. protein, vitamin C, flavonoid, and peroxidase enzyme (POD) activity at 10, 12, and 14 weeks after planting. This experiment was conducted at Leuwikopo Experimental Station, Bogor, Indonesia from November 2012-February 2013. The organic fertilizers applied were cow manure (CM) (12.3 ton ha-1), rock phosphate (RP) (1.5 ton ha-1), and rice-hull ash (RH) (5.5 ton ha-1). These organic fertilizers were combined into four treatments by using minus one test method and one control. Each treatment was repeated three times. The result showed that combination of organic fertilizer had the same effects on shoot production and metabolite content of waterleaf. It showed that the amount of organic fertilizers was not significantly sufficient to contribute nutrients to the plant.

Keywords: flavonoid, POD activity, repeated harvesting, Talinum triangulare, vitamin C

ABSTRAK

Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dapat dikonsumsi pucuknya sebagai sayuran. Kolesom merupakan sayuran fungsional yang memiliki senyawa metabolit di daunnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemupukan organik terhadap produksi pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dan senyawa metabolitnya seperti vitamin C, flavonoid, dan aktivitas enzim peroksidase (POD) dengan pemanenan berulang pada umur 10, 12, dan 14 minggu setelah tanam. Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Bogor, Indonesia pada bulan November 2012-Februari 2013. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang sapi (PK) (12.3 ton ha-1), rock phosphate (RP) (1.5 ton ha-1), dan abu sekam (AS) (5.5 ton ha-1). Pupuk organik kemudian dikombinasikan dalam lima perlakuan dengan metode minus one test dan satu perlakuan kontrol. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Kombinasi pupuk organik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi dan kadar metabolit pucuk kolesom. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada dosis tersebut belum dapat menyumbangkan hara yang cukup signifikan pada tanaman kolesom.

Kata kunci: aktivitas POD, flavonoid, pemanenan berulang, Talinum triangulare, vitamin C

INTRODUCTION Waterleaf (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) is a

perennial plant that is known as medicinal plant. Waterleaf shoot can be consumed as vegetable. Waterleaf shoot can be harvested in 15 days interval (Susanti et al., 2011). The content of protein, fat, carbohydrate, fiber, and energy of waterleaf is 5.1, 1.33, 1.05, 8%, and 36.6 Kcal 100 g-1 DW, respectively (Kwenin et al., 2011). Based on dry weight, waterleaf contains some minerals such as Ca (2.44 mg 100 g-1), K (6.10 mg 100 g-1), Mg (2.22 mg 100 g-1), Na (0.28 mg 100 g-1), and Fe (0.43 mg 100 g-1) (Mensah

et al., 2008) and bioactive compound such as anthocyanin, alkaloid, flavonoid, saponin, and tannin (Mensah et al., 2008; Susanti et al., 2008; Mualim et al., 2009; Aja et al., 2010; Andarwulan et al., 2010). Furthermore waterleaf tuber has antioxidant activity (Estiasih and Kurniawan, 2007).

Waterleaf contains some primary and secondary metabolites. Vitamin C is the primary metabolite while flavonoid and lignin are secondary metabolites. Flavonoid is used by plants to protect them from UV rays (Taiz and Zeiger, 2002). In human, flavonoid functions as an antioxidant which is useful to prevent cancer (Ren et al., 2003). Lignin biosynthesis is affected by peroxidase (POD) activity (Boerjan et al., 2003). Lignin is relatively indigestible (Taiz and Zeiger, 2002) and therefore considered as dietary fiber (Muchtadi, 2001).

Page 32: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 210 - 214 (2014)

211Shoot Production and Metabolite......

Organic fertilizer improves soil structure and provides some macro and micronutrient for plants. Vegetable cultivation with organic fertilizer produces lower content of nitrates, higher content of phenolic compounds and vitamin C (Rembialkowska, 2007). Organic fertilizer also increases vitamin C content of waterleaf in wet season (Mualim, 2012). Cow manure and rice-hull ash are commonly used organic fertilizer, while rock phosphate is a natural sources of phosphorus. Cow manure is a good source of nitrogen (Havlin et al., 2005), and rice-hull ash is a source of potassium (Hadi, 2005).

Mualim (2012) analyzed the content of vitamin C, flavonoid, POD activity, and shoot production of waterleaf at 2, 4, and 6 weeks after planting (WAP), but no information regarding those metabolites content during the later stages. Therefore this research was aimed to investigate vitamin C, flavonoid, and POD activity content on shoot harvested at 10, 12, and 14 weeks after planting. The purpose of this research was to study the effect of various combination of organic fertilizer on shoot production content of vitamin C, flavonoid, and POD activity with repeated harvesting.

MATERIALS AND METHODS This research was conducted at Leuwikopo research

station, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor, Indonesia from November 2012 to February 2013. The analysis of vitamin C, flavonoid and POD activity were conducted at Plant Analysis and Chromatography Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture, IPB. Three kinds of organic fertilizers were used in this research, i.e. cow manure (12.3 ton ha-1), rock phosphate (1.5 ton ha-1), and rice-hull ash (5.5 ton ha-1). The organic fertilizers were combined into four combinations and one control (without fertilizer application) (Table 1). The experiment was arranged in a randomized block design with three replications. Data were analyzed using ANOVA at 95% and post-hoc analysis using tukey test (α = 5%).

Five treatments of organic fertilizer applied two weeks before planting. Waterleaf stem cuttings were planted with spacing at 50 cm x 50 cm. Waterleaf was harvested at 10 weeks after planting (WAP) (first harvest), 12 WAP (second harvest), and 14 WAP (third harvest). Watering was not done during the experiment and only dependent on rainfall.

Therefore data of rainfall intensity from Meteorology, Climatology, and Geophysics station (BMKG) Bogor was needed.

Fresh and dry weight of shoot per plant, fresh weight per shoot, and number of shoot were measured. Contents of vitamin C, flavonoid and POD activity were also analyzed in each harvesting time. Nitrogen, phosphorus, and potasium contents of the shoot were also observed in the third harvest.

Vitamin C content was determined using modified titrimetry method (Mualim et al., 2012). Five grams of shoot leaves were ground in 30 mL buffer (acetic acid (0.035 mol L-1), sodium acetate (9.77x10-3 mol L-1), EDTA 6.45x10-4 mol L-1), and 5 g CaCO3, and was centrifuged. Then, 10 mL supernatant was added with 1 mL amylum 1% and titrated with iodine.

POD activity was analysed followed Dangcham et al. (2008). Shoot leaves (0.5 g) were ground with 2.5 ml buffer extract (100 mmol L-1 Tris-HCl, pH 7.5, 1 mmol L-1 EDTA, 5 mmol L-1 MgCl2, 0.05% Triton X-100, 2.5 mmol L-1 dithiothreitol). The mixture was centrifuged with 4,500 x g (10’) and 25,000 x g (15’). Supernatant (0.1 mL) was added with 1.85 mL buffer extract, 0.85 mL aminoantipyrine, 0.5 mL phenol, and 0.02 mL H2O2. POD activity was determined using Shimadzu UV-1800 spectrophotometer in 512 nm for 4.5 minutes.

Flavonoid was determined using modified aluminium chloride colorimetric method (Mualim et al., 2012). Waterleaf shoot was freeze dried (Flexy-DryTM MP, USA) at -50 ºC. Dry leaves was ground and leaves powder (0.1 g) was extracted in 5 ml methanol, incubated in 60 ºC (60’), centrifuged at 4 500 x g (10’) to get supernatant. Supernatant (0.1 mL) was added with 0.1 mL aluminium chloride (10%), potassium acetate (1 M) and 2.8 mL of water and incubated in 25 ºC (30’). The absorbance was measured by using Shimadzu UV-1800 spectrophotometer in 415 nm wavelength.

Nitrogen, phosphorus, potassium, C-organic, and soil pH were analyzed using method of Balittanah (2005). Content of N, P, K, C-organic in soil, and soil pH were analyzed before and after planting whereas N, P, K, and C-organic content of waterleaf shoot were analyzed at 14 week after planting. Soil and shoot sample were pooled from three replications. Therefore the data were not analyzed statistically.

Treatment Rates (ton ha-1) Nutrient addition (ton ha-1)

Cow manure1 Rock Phosphate2 Rice-hull ash3 N P2O5 K2OControl 0 0 0 0 0 0CM + RP 12.3 1.5 0.0 0.16 0.07 0.04CM + RH 12.3 0.0 5.5 0.17 0.04 0.10RP + RH 0.0 1.5 5.5 0.01 0.05 0.06CM + RP +RH 12.3 1.5 5.5 0.17 0.08 0.10

Table 1. Organic fertilizer treatment combinations

Notes: 1N content 1.29%, 2P2O5 content 2.87%, and 3K2O content 1.10% (analysis from Soil Science and Land Resources Management, Bogor Agricultural University)

Page 33: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 210 - 214 (2014)

212 Ismail Saleh, Sandra Arifin Aziz, and Nuri Andarwulan

RESULT AND DISCUSSION

Nitrogen, Phosphorus, and Potasium Content in Soil and Waterleaf Shoot

Nitrogen and potassium content in soil before organic

fertilizer application were in medium status, however content of phosporus was very low (Table 2). The low content of P was caused by low soil pH. Phosporus was precipitated into Fe/Al-P in low soil pH (Havlin et al., 2005).

Nitrogen was needed by plant for vegetative growth (Havlin et al., 2005). shoot harvesting maintained waterleaf plants at vegetative stage (Susanti, 2012). Nitrogen content in soil after planting was low. It showed that source of N may come from soil than organic fertilizer. Nutrient from organic fertilizer have to be mineralized in order to be available to plant, but all C/N ratio value from the treatment before and after fertilization was below 11 (Table 3). Low C/N ratio slows down the release of available nutrients.

The content of K in shoot by organic fertilizing was lower than control (Table 2). It was possible that K absorbtion by plant was inhibited by N absorbtion. The absorbtion of N presumably was in NH4+ form from mineralization than NO3-. Ammonium absorbtion by root inhibits K+ absorbtion.

The largest source of P in this experiment probably was cow manure based on P content in waterleaf shoot.

Although rock phosphate was a source of P but it was not available, so it was assumed that P came from cow manure. Research conducted by Garg and Bahl (2008) showed that application of poultry manure increased P availability to plant by increasing phosphatase activity.

Shoot Production and Metabolite Content of Waterleaf with Combination of Organic Fertilizer Application

Total dry weight of shoot, vitamin C content,

flavonoid content, and POD activity was not affected by organic fertilizing (Table 4). It may caused by low nutrient availability from organic fertilizer and the slow released of nutrient. Waterleaf shoot production in this experiment was much lower than previous research conducted by Mualim (2012). Fresh waterleaf shoot production in dry season and wet season were about 250 g plant-1 and 200 g plant-1, respectively (Mualim, 2012).

Shoot fresh weight was not affected by organic fertilizer (Table 5). There was no significant fluctuation on shoot production from harvest to harvest, but the number of shoot increased (9.2, 11.4, and 16.7) and weight per shoot decreased (5.28, 4.03, and 2.90 g shoot-1) (Figure 1) due to smaller shoot in the third harvest. Shoot harvesting induced growth of new smaller branches. Research by Sumpena (2008) in spinach showed that stem pruning increased plant height and lateral branches.

TreatmentN P K

Before After Plant Before After Plant Before After Plant............%.............. .......ppm...... (%) .........ppm...... (%)

Control 0.21 0.16 1.34 3.80 517.1 0.32 119.52 63.96 5.15CM + RP 0.22 0.17 1.90 19.05 280.6 0.36 139.52 93.48 3.26CM + RH 0.22 0.14 1.45 13.4 492.3 0.35 169.52 71.34 4.25RP + RH 0.21 0.17 1.83 15.6 495.9 0.32 149.52 76.26 3.43CM + RP +RH 0.22 0.17 1.39 22.15 513.5 0.38 169.52 95.94 3.53

Table 2. N, P, K content in soil and waterleaf shoot

Notes: CM = cow manure; RP = rock phosphate; RH = rice-hull ash; bef = soil analysis before planting; aft = soil analysis after planting; plant = analysis of shoot nutrient; P and K analysis before planting used Bray method to measure available P and K in soil. P and K analysis after planting analyzed by HCl method to measure total P and K in soil

Treatment Soil pH C-org (%) C/NBefore After Before After Shoot Before After

Control 5.6 5.5 2.2 1.5 49.6 10.2 9.4CM + RP 5.6 5.5 2.2 1.6 51.2 10.2 9.4CM + RH 5.6 5.9 2.2 1.4 49.7 10.2 9.6RP + RH 5.6 5.4 2.2 1.6 50.5 10.2 9.4CM + RP +RH 5.6 5.7 2.2 1.6 51.1 10.2 9.4

Table 3. Soil pH, C-organic content, and C/N of soil

Notes: CM = cow manure; RP = rock phosphate; RH = rice-hull ash; before = organic fertilizer application; after = after planting; shoot = content in shoot

Page 34: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 210 - 214 (2014)

213Shoot Production and Metabolite......

Vitamin C was positively correlated to flavonoid content (r = 0.88, P<0.05) but negatively correlated to K (r = -0.96, P<0.01), while flavonoid was negatively correlated to K (r = -0.96, P<0.05). Nitrogen is needed by

plants to increase photosynthetic rate that caused increasing of photosynthate (Havlin et al., 2005). Photosynthate such as glucose and erythtrose was used to synthesize vitamin C and flavonoid (Valpuesta and Botella, 2004; Vogt, 2010).

Treatment Total shoot production(g dw plant-1)

Vitamin C(mg g-1 dw)

Flavonoid(mg QEg-1dw)

POD activity(x10-3 U mg-1 protein-1)

Control 9.19±0.82 40.03±7.69 8.69±1.91 4.81±7.69CM + RP 9.42±1.29 46.32±5.01 10.02±1.32 2.71±5.01CM + RH 8.55±1.29 42.29±4.74 9.13±1.6 4.24±4.74RP + RH 9.55±0.94 47.39±6.22 9.60±1.19 4.76±6.22CM + RP +RH 9.28±0.29 46.69±4.07 9.50±1.25 3.65±4.07

Table 4. Shoot production and metabolite content of waterleaf

Notes: Number followed by same letter was not significantly different based on tukey test at 5%, CM = cow manure; RP = rock phosphate; RH = rice-hull ash; dw = dry weight; QE = quercetin equivalent; U = unit; data were followed by ± standard error

TreatmentHarvesting time (week after planting)

Total shoot production10 12 14

...................................................... g fw plant-1......................................................................Control 43.92±4.36 35.61±5.58 51.12±7.16 130.64±11.04CM + RP 41.88±1.62 47.11±7.76 48.27±17.58 137.26±20.41CM + RH 39.97±4.60 58.78±6.58 44.65±2.69 143.41±7.66RP + RH 57.13±0.67 48.73±13.17 57.02±3.13 162.88±11.60CM + RP +RH 53.15±5.40 40.12±4.69 41.53±8.16 134.80±5.86

Table 5. Shoot production of waterleaf with organic fertilizers and repeated harvesting

Notes: Number followed by same letter was not significantly different based on tukey test at 5%, CM = cow manure; RP = rock phosphate; RH = rice-hull ash; fw = fresh weight; data were followed by ± standard error

0

1

2

3

4

5

6

First Harvest Second Harvest

Third Harvest

Wei

ght p

er s

hoot

(g)

0

5

10

15

20

First Harvest Second Harvest

Third Harvest

Num

ber o

f sho

ot

Figure 1. Weight per shoot and number of shoot at three times of harvesting

CONCLUSION Shoot production of waterleaf in three times of

harvesting were not affected by organic fertilizers. The

same conditions also occurred on content of vitamin C, flavonoid, and POD activities. It may caused by the nutrient from organic fertilizer released slowly and it has not been able to contribute nutrient significantly to the plant.

Page 35: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 210 - 214 (2014)

214 Ismail Saleh, Sandra Arifin Aziz, and Nuri Andarwulan

ACKNOWLEDGEMENTS The authors would like to thank SEAFAST CENTER,

Bogor Agricultural University for funding of this research by Tropical Plant Curriculum Project.

REFERENCES

Aja, P.M., A.N.C. Okaka, P.N. Onu, U. Ibiam, A.J. Urako. 2010. Phytochemical composition of Talinum triangulare (water leaf) leaves. Pak. J. Nutr. 9:527-530.

Andarwulan, N., R. Batari, D.A. Sandrasari, B. Bolling, H. Wijaya. 2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food Chem. 121:1231-1235.

[Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balittanah. Bogor, Indonesia.

Boerjan, W., J. Ralph, M. Baucher. 2003. Lignin biosynthesis. Annu. Rev. Plant Biol. 54:519-546.

Dangcham, S., J. Bowen, I.B. Ferguson, S. Ketsa. 2008. Effect of temperature and low oxygen on pericarp hardening of mangosteen fruit stored at low temperature. Postharvest Biol. Technol. 50:37-44.

Estiasih, T. D.A. Kurniawan. 2007. Antioxidant activity of Javanese ginseng (Talinum triangulare Willd) root extract. J. Teknologi dan Industri Pangan 17:166-175.

Garg, S., G.S. Bahl. 2008. Phosporus availability to maize as influenced by organic manures and fertilizer P associated phosphatase activity in soils. J. Biotech. 99:5773-5777.

Hadi, P. 2005. Abu sekam padi pupuk organik sumber kalium alternatif pada padi sawah. GEMA. 18:38-45.

Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, W.L. Nelson. 2005. Soil Fertility and Fertilizers: An Introduction to Nutrient Management. Pearson Prentice Hall. New Jersey, USA.

Kwenin, W.K.J., M. Wolli, B.M. Dzomeku. 2011. Assessing the nutritional value of some African indigenous green leafy vegetables in Ghana. JAPS. 10:1300-1305.

Mensah, J.K., R.I. Okoli, J.O. Ohaju-Obodo, K. Elfediyi. 2008. Phytochemical, nutritional and medical properties of some leafy vegetables consumed by Edo people of Nigeria. Afr. J. Biotechnol. 7:2304-2309.

Mualim, L., S.A. Aziz, M. Melati. 2009. NPK fertilization and plant spacing studies on leaf anthocyanin production of Talinum triangulare (Jacq.) Willd. J. Agron. Indonesia 37:55-61.

Mualim, L. 2012. Produksi dan kualitas kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mualim, L., S.A. Aziz, S. Susanto, M. Melati. 2012. Better shoot production and quality of waterleaf in wet season with inorganic fertilizer application. J. Agron. Indonesia 40:160-166.

Muchtadi, D. 2001. Vegetables as sources of dietary fiber to prevent degenerative diseases. J. Teknol. Industri Pangan 12:61-71.

Rembialkowska, E. 2007. Quality of plant products from organic agriculture. J. Sci Food Agric. 8:2757-2762.

Ren, W., Z. Qiao, H. Wang, L. Zhu, L. Zhang. 2003. Flavonoids: promising anticancer agents. Med. Res. Rev. 23:519-534.

Sumpena, U. 2008. Effect of stem cutting and of flowers-stalk pruning on viability and vigor of amaranth seed. J. Agrivigor. 8:82-92.

Susanti, H., S.A. Aziz, M. Melati. 2008. Biomass and bioactive compound productions of Talinum triangulare from different propagules and chicken manure dosages. Bul. Agron. 36:48-55.

Susanti, H., S.A. Aziz, M. Melati, S. Susanto. 2011. Protein and anthocyanin production of waterleaf shoots (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) at different levels of nitrogen + potassium and harvest intervals. J. Agron. Indonesia 39:119-123.

Susanti, H. 2012. Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan pemupukan nitrogen + kalium dan interval panen. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Taiz, L., E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Sinauer Associates Inc., Publishers, Sunderland, USA.

Valpuesta, V., M.A. Botella. 2004. Biosynthesis of L-ascorbic acid in plants: new pathways for an old antioxidant. TRENDS Plant Sci. 9:573-577.

Vogt, T. 2010. Phenylpropanoid biosynthesis. Mol. Plant. 3:2-20.

Page 36: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

215Hubungan Metilasi DNA dengan......

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Hubungan Metilasi DNA dengan Ekspresi Gen MADS-box pada Buah Mantel Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Correlation between DNA Methylation and Expression of the MADS-box Genes on Mantled Fruit of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.)

Maharani Anischan1*, Suharsono2, Nurita Toruan-Mathius3, dan Andree Sunanjaya Kusnandar3

1Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana IPBKampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

2Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

3Plant Production and Biotechnology Division, Biotechnology DepartmentPT SMART, Tbk., Plaza BII, Jl. Thamrin Kav.22, Jakarta, Indonesia

Diterima 10 Oktober 2013/Disetujui 28 April 2014

ABSTRACT The presence of mantled fruit on large-scale clonal production of oil palm had trully decreased the oil productivity.

Mantled phenotype is likely to be that of an epigenetic change involving DNA methylation and the MADS-box transcription factor gene which encoded floral organ homeotic transformation. The objectives of this research were to quantify the degree of methylation which determined fruit abnormality through Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) and to study its correlation with the MADS-box EgAGL6, EgAG2, and EgAGA genes expressed on mantled fruit derived from oil palm clonal plants which have been quantified using Quantitative Real-Time PCR (qPCR). This research was arranged in two replications for each gene and cDNA. The expression of the target genes were compared to EF1-α1 as the reference gene. Through the Least Significant Difference (LSD) Test at 95% confidence level of qPCR result, EgAGL6 expression was significantly lower in mantled fruit which decreased from 1.88 fold in Abn m to 0.46 fold in Abn. EgAG2 expression was increased non-significantly from 0.91 fold in Abn m to 1.13 fold in Abn, while EgAGA expression was higher in mantled which increased significantly from 1.48 fold in Abn m to 1.71 fold in Abn. Nuclease S1 digestion and UPLC revealed the genome-wide increase in DNA methylation on mantled fruit (18.33-19.55%) compared to its normal counterparts (5.67%). This increased in global DNA methylation was showed by the significant decreased in EgAGL6 transcript level of mantled fruit. This gene assumed to be involved in the development of mantled fruit.

Keywords: DNA-methylation, MADS-box genes, Mantled fruit, Quantitative Real-Time PCR

ABSTRAK Buah mantel pada produksi klonal kelapa sawit skala besar dapat menurunkan produktivitas minyak. Fenotipe mantel

disebabkan oleh perubahan epigenetik yang melibatkan metilasi DNA dan gen MADS-box yang menyandikan transformasi homeotik organ reproduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat metilasi yang menentukan abnormalitas buah menggunakan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) dan melihat hubungannya dengan ekspresi gen MADS-box EgAGL6, EgAG2, dan EgAGA pada buah mantel regeneran yang telah dikuantifikasi dengan Quantitative Real Time PCR (qPCR). Penelitian ini dirancang dalam dua ulangan, untuk setiap gen dan cDNA. Ekspresi dari gen target dibandingkan dengan EF1-α1 sebagai gen pembanding. Kuantifikasi ekspresi gen dengan qPCR menunjukkan penurunan yang sangat berbeda nyata pada BNT 5% pada ekspresi gen EgAGL6 dari 1.88 fold pada Abn m menjadi 0.46 fold pada Abn. Level ekspresi gen EgAG2 meningkat namun tidak berbeda nyata pada BNT 5% dari 0.91 fold pada Abn m menjadi 1.13 fold pada Abn, sedangkan level ekspresi gen EgAGA meningkat dengan berbeda nyata dari 1.48 fold pada Abn m menjadi 1.71 fold pada Abn. Pemotongan DNA genom dengan enzim S1 Nuklease dan UPLC menunjukkan adanya hipermetilasi pada buah mantel sebesar 18.33-19.55% dibandingkan dengan buah normal sebesar 5.67%. Peningkatan dalam level metilasi ini ditunjukkan oleh penurunan yang nyata dari level transkrip EgAGL6 pada buah mantel. Gen ini diduga terlibat dalam perkembangan buah mantel.

Kata kunci: Metilasi DNA, Gen MADS-box, Buah Mantel, Quantitative Real-Time PCR

Page 37: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

216 Maharani Anischan, Suharsono, Nurita Toruan-Mathius, dan Andree Sunanjaya Kusnandar

PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan

di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas areal perkebunan, produksi minyak dan volume ekspor komoditas ini dari tahun ke tahun. Indonesia merupakan negara penghasil dan pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia. Seluas 10 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan sekitar 50% total minyak sawit dunia (BPS, 2013).

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan produksi adalah penyediaan bibit berkualitas dengan produktivitas tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui perbanyakan klonal dari pohon dengan performa terbaik dengan teknik kultur jaringan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan adalah timbulnya abnormalitas pada organ reproduktif di antaranya buah mantel yang disebabkan adanya variasi somaklonal. Suatu bunga ditemukan struktur menyerupai karpel yang menggantikan stamen dan berbentuk seperti “pembungkus” pada buah dapat ditemukan pada bunga sawit (Adam et al., 2005). Menurut Hetharie (2008) mesokarp buah mantel mengakumulasi sangat sedikit minyak. Pada kasus buah mantel berat, mesokarp buah berubah menjadi jaringan yang sangat keras sehingga pengaruh buah mantel pada penurunan produksi minyak dapat sangat besar (20-30%) dibandingkan dengan buah normal.

Pencarian penanda molekuler untuk abnormalitas buah mantel telah dilakukan namun belum berhasil menemukan pita DNA spesifik yang dapat membedakan tanaman berbuah normal dengan abnormal secara universal sehingga diperlukan metode lain untuk menerangkan penyebab terbentuknya fenotipe mantel pada regeneran kelapa sawit.

Fenotipe mantel disebabkan oleh modifikasi epigenetik yang mengubah pola ekspresi dari sejumlah gen yang terlibat dalam pembungaan dan perkembangan buah (Shearman et al., 2012). Metilasi DNA merupakan salah satu mekanisme epigenetik karena bersifat reversible (Bollati dan Baccarelli, 2010). Proses organogenesis bunga (Adam et al., 2007) dan perkembangan buah (Tranbarger et al., 2011) kelapa sawit didasarkan pada peranan faktor transkripsi, yaitu gen MADS-box. Menurut Elliot dan Elliot (2009) metilasi salah satunya dapat terjadi di level faktor transkripsi.

Qualitative Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) adalah suatu teknik yang paling sensitif untuk deteksi dan kuantifikasi ekspresi gen yang ada pada saat ini (Kubista et al., 2006). Yang et al. (2011) menggunakan metode Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) untuk menetapkan status metilasi DNA.

Penelitian ini ditujukan untuk mengkuantifikasi level ekspresi beberapa gen MADS-box, menghitung level metilasi DNA genom dan menerangkan hubungan antara abnormalitas buah kelapa sawit akibat metilasi dengan ekspresi gen MADS-box. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kuantitas metilasi yang menentukan tingkat abnormalitas pada buah serta hubungannya dengan gen MADS-box yang terekspresi. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan

pemecahan mengatasi permasalahan abnormalitas pada kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2012 sampai

April 2013 di Laboratorium Genomik dan Transkriptomik, Departemen Bioteknologi, PT. SMART Tbk., Bogor.

Bahan tanaman yang digunakan adalah buah normal dan buah mantel muda dari tanaman klonal Tenera SOCFINDO berumur 15 tahun dan diambil dari perkebunan kelapa sawit Padang Halaban, Sumatera Utara. Buah mantel dikelompokkan menjadi dua, yaitu buah mantel yang diambil dari dalam tandan (Abn m) dan buah mantel yang diambil dari luar tandan (Abn). Primer spesifik didisain mengisolasi cDNA gen target EgAGL6, EgAG2, EgAGA dan gen pembanding EF1-α1. Primer aktin ActF (5’-CCAAGGCAAACAGAGAGAAGAT-3’) dan ActR (5’-AAATTGGGACAGTGTGGGTAAC-3’) yang dirancang spesifik untuk ekson 2-ekson 3 gen EgACT1, digunakan sebagai alat evaluasi kemurnian cDNA total.

Analisis Ekspresi Gen Ekspresi dari gen EgAGL6 (subfamili AGAMOUS-

like), EgAG2 (subfamili AGAMOUS) dan EgAGA (subfamili AGAMOUS) ditentukan dengan metode two-step Quantitative Real-Time PCR (qPCR). RNA total dari sampel diisolasi menggunakan RNeasy® Plant Mini Kit (Qiagen). First-strand cDNA total disintesis melalui proses transkripsi balik (reverse transcription, RT) RNA total (900 ng) menggunakan primer oligo (dT) yang tersedia dalam QuantiTect® Reverse Transcription Kit (Qiagen). Penggunaan kit dilakukan dengan mengikuti prosedur dari Qiagen.

Kemurnian first-strand cDNA total diketahui melalui PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk cDNA ekson2-ekson3 dari EgACT1 dengan komposisi 1 µL cDNA, 1.5 µL Taq bufer 1x, 1.5 µL dNTP mix 4 mM, 1.5 µL Primer ActF 1 mM dan 1.5 µL Primer ActR 1 mM, 0.16 µL MgCl2 40 mM, 0.12 µL enzim Taq DNA polimerase 0.5 U (Thermo Scientific) dan Rnase-free water hingga mencapai volume akhir 15 µL. Campuran direaksikan dengan kondisi pra-PCR 95 oC, 5 menit; denaturasi 95 oC, 30 detik; penempelan primer 60 oC, 20 detik; pemanjangan 72 oC, 30 detik dan pasca-PCR 72 oC, 7 menit diteruskan dengan pendinginan 25 oC, 1 menit. PCR dilakukan sebanyak 25 kali siklus.

Dua ulangan dirancang untuk setiap gen dan cDNA. Kurva standar dirancang untuk menghitung efisiensi amplifikasi PCR dari cDNA gen target dan gen pembanding. Hanya efisiensi amplifikasi yang sama antara cDNA gen target dan gen pembanding yang dapat digunakan sebagai data. Komposisi reaksi adalah 1 µL cDNA (900ng), 5 μL Quantifast SYBR Green RT-PCR Master Mix 2x (Quantifast SYBR Green PCR Kit, Qiagen), 2 μL primer mix spesifik (50:50 campuran primer forward dan reverse, masing-masing 1 µM mL-1) dan RNase-free water hingga mencapai volume akhir 10 μL. Kondisi reaksi adalah pra-PCR pada

Page 38: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

217Hubungan Metilasi DNA dengan......

95 oC, 10 menit; denaturasi pada 95 oC, 30 detik; penempelan primer pada 60 oC, 20 detik dan pemanjangan pada 72 oC, 30 detik. PCR dilakukan sebanyak 40 kali siklus.

Ekspresi gen dianalisis dengan menggunakan mesin Real-Time PCR Rotor-Gene®Q (Qiagen). Nilai CT untuk setiap gen ditentukan dengan Rotor Gen®Q Series Software (Qiagen) dan rasio ekspresi dihitung dengan metode ΔΔCT Relative Quantification (Livak dan Schmittgen, 2001) sesuai acuan Bustin and Nolan (2004) dan Bustin et al. (2009) dilanjutkan dengan Uji BNT pada selang kepercayaan 95%.

Analisis Level Metilasi DNA Genom Level metilasi DNA ditentukan dengan kombinasi

hidrolisis DNA genomik menggunakan enzim Nuklease S1 dilanjutkan dengan pemisahan menggunakan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) menjadi nukleotida-nukleotida tunggal.

Isolasi DNA menggunakan GenElute™ Plant Genomic DNA Miniprep Kit (Sigma-Aldrich) dilakukan sesuai prosedur dari manufaktur. Sebanyak 3.5 µg sampel DNA genomik, 50 ng µL-1 un-methylated λ, 50 ppm larutan standar 5-Methyl-2-Deoxycytidine (MDC) dan 2-Deoxycytidine (DC), dH2O serta blanko (no template control) ditambahkan dengan 10% S1 nuclease buffer 10x (300 mM Na-asetat pH 4.6, 10 mM ZnSO4, 50% Gliserol). Seluruh sampel didenaturasi 95 °C, 10 menit sebelum didinginkan ke dalam es. Sejumlah 3 U µl-1 (~ 1 µg DNA) enzim S1 Nuklease (Thermo Scientific) yang sebelumnya telah diencerkan dengan S1 nuclease dillution buffer (20 mM Tris-HCl pH 7.5, 0.1 mM ZnSO4, 50 mM NaCl, 50% gliserol) ditambahkan dalam setiap sampel hingga mencapai volume akhir 70 µl. Sampel lalu diinkubasi 20 jam pada 37oC kemudian disentrifus 5 menit pada 15,000 g sebelum dielektroforesis untuk mengkonfirmasi hasil pencacahan DNA.

Sampel disuntikkan ke dalam kolom berukuran 100 mm x 2.1 mm yang berisi partikel ACQUITY UPLC BEH C-18 berukuran 1.7 µm dan dipisahkan dengan alat Waters® ACQUITY UPLC™ System. Elusi dilakukan dalam fase gerak pada 97% buffer KH2PO4 dan 3% metanol pH 4.2 dengan kecepatan alir 1 mL menit-1 pada suhu ruang dan dideteksi pada panjang gelombang 254 nm. Luas peak nukleotida tunggal dari standar DC dan MDC selanjutnya digunakan untuk mengkuantifikasi konsentrasi kandungan sitidin ([C]) dan 5-metilsitidin ([5-mC]) pada sampel, dengan rumus:

Luas area sampel x Konsentrasi standarLuas area standar Persentase kandungan 5-metilsitidin (5 mC) dari DNA

genom kelapa sawit dihitung dengan rumus : ([5 mC]/ [5 mC + C]) x 100% (Kubis et al., 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis cDNA Total cDNA disintesis melalui transkripsi balik dengan

menggunakan cetakan RNA total dan primer oligo-dT sehingga cDNA yang terbentuk hanya berasal dari mRNA yang mengandung poli-A pada ujung 3’, sedangkan rRNA dan tRNA tidak. PCR dengan menggunakan primer ActF dan ActR untuk mengamplifikasi ekson2-ekson3 dari EgACT1 menghasilkan DNA yang berukuran sekitar 160 pb (Gambar 1) yang menunjukkan bahwa daerah yang teramplifikasi adalah cDNA ekson2-ekson3 bukan DNA ekson2-ekson3 dari EgACT1. Kontrol DNA menghasilkan pita berukuran sekitar 241 pb, lebih besar dari cDNA karena mengandung intron di antara ekson2 – ekson3 yang dibuang pada saat pembentukan mRNA (Shah et al., 1982).

Teramplifikasinya cDNA dengan primer ActF dan ActR dengan ukuran 160 pb menunjukkan bahwa sintesis cDNA total melalui proses transkripsi balik telah berlangsung dengan baik. Menurut Muzuni et al. (2010) hal ini juga menunjukkan bahwa RNA total yang telah diisolasi mempunyai kualitas yang sangat bagus yang terbebas dari kontaminasi DNA sehingga dapat digunakan untuk mensintesis cDNA. Oleh sebab itu, cDNA total ini dapat digunakan sebagai cetakan untuk mengamplifikasi fragmen cDNA EgAGL6, EgAG2, EgAGA dan EF1-α1 dengan qPCR.

Kuantifikasi Ekspresi Gen EgAGL6, EgAG2 dan EgAGA dengan Quantitative Real-Time PCR (qPCR)

Gen EgAG2 dan EgAGA Level ekspresi gen EgAG2 antara buah mantel Abn

m dan Abn dengan buah normal tidak berbeda nyata. Level ekspresi gen EgAGA antara buah mantel Abn m dan Abn dengan buah normal berbeda nyata, dimana rasio ekspresi EgAGA pada Abn dan Abn m relatif terhadap normal adalah sebesar 1.71 kali N dan 1.48 kali N (Gambar 2, Tabel 1).

Gambar 1. Hasil amplifikasi EgACT1. 1 = marker 1 kb; 2 = hasil amplifikasi dengan DNA genom sebagai cetakan (kontrol); 3-9 = hasil amplifikasi dengan cDNA sampel sebagai cetakan (3 = N1; 4 = N2; 5 = N3; 6 = Abn1m; 7 = Abn2m; 8 = Abn1; 9 = Abn2)

bp M K N1 N2 N3 Abn1m Abn2m Abn1 Abn2

500

241

160

Page 39: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

218 Maharani Anischan, Suharsono, Nurita Toruan-Mathius, dan Andree Sunanjaya Kusnandar

Gen-gen di dalam subfamili AGAMOUS termasuk ke dalam gen MADS-box kelas C/D yang terlibat dalam pembentukan karpel pada bunga (Adam et al., 2007). Menurut Stern et al. (2003) tipe buah drupa seperti kelapa sawit berkembang dari bunga dengan ovari tipe superior dimana buah berkembang hanya dari jaringan ovari, yaitu karpel. Tadiello et al. (2009) melaporkan bahwa transkrip gen PpPLENA pada buah peach (drupe-like) lebih berlimpah di karpel, menandakan bahwa gen tipe C adalah yang paling berperan dalam pembentukan karpel. Hetharie, (2008) menyatakan bahwa buah mantel mempunyai karpel tambahan. Kehadiran karpel tambahan pada buah mantel diduga merupakan penyebab lebih tingginya level ekspresi gen EgAGA pada buah abnormal.

Peningkatan level ekspresi EgAGA dari buah abnormal Abn m ke Abn diduga disebabkan karena buah Abn telah mengalami perkembangan lebih lanjut dibandingkan dengan buah Abn m. Menurut Seymour et al. (2008) sebagian besar gen yang terlibat dalam perkembangan karpel terlihat juga memiliki fungsi dalam perkembangan dan pemasakan buah. Tadiello et al. (2009) melaporkan bahwa transkrip gen PpPLENA juga meningkat seiring fase pemasakan pada mesokarp buah peach.

Gen EgAGL6 Level ekspresi gen EgAGL6 pada Abn m sebesar 1.88

kali lipat normal sementara pada Abn sebesar 0.46 kali lipat normal. Namun ekspresi EgAGL6 antara buah Abn m dengan buah normal tidak berbeda nyata, sedangkan ekspresi EgAGL6 antara buah Abn dengan buah normal berbeda nyata, pada BNT 5% (Gambar 2, Tabel 1).

Tranbarger et al. (2011) melaporkan bahwa berdasarkan analisis filogenetik gen MADS-box buah kelapa sawit normal ditemukan satu contig, yaitu CL1Contig 5666 yang berhubungan dekat dengan gen AtAGL6 (AGL6 pada Arabidopsis thaliana). Transkrip gen ini mencapai puncaknya pada 100 hari setelah polinasi (akhir fase II) dan menurun seiring proses pematangan dan pemasakan. Oleh karena itu, gen ini termasuk ke dalam subclade SEP 4. Diduga gen ini adalah gen AGL6 kelapa sawit (EgAGL6).

Gen RIN (ripening inhibitor) pada buah tomat termasuk ke dalam subclade SEP4. Apabila gen ini termutasi maka akan menunjukkan fenotip yang normal pada buah (Vrebalov et al., 2002). Gen RIN mengkode suatu regulator transkripsi dan meregulasi ekspresi dari gen lain yang berperan dalam proses pemasakan (Vrebalov et al., 2002; Manning et al.,

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

AGL6 AG2 AGA

Eks

pres

i Rel

atif

Terh

adap

Nor

mal

(fol

d)

Abn m

Abn

N

Gambar 2. Ekspresi relatif gen EgAGL6, EgAG2 dan EgAGA pada buah kelapa sawit Abn dan Abn m, terhadap normal

Parameter abnormalitas

Ekspresi genEgAGL6 EgAG2 EgAGA

BNT 5% = 0.75

Rasio terhadap normal (kali)

BNT 5% = 0.91

Rasio terhadap normal (kali)

BNT 5% = 0.32

Rasio terhadap normal (kali)

Normal 4.87a 1.00 4.73a 1.00 7.13b 1.00ABN 6.17b 0.46 4.58a 1.13 6.35a 1.71ABN m 4.13a 1.88 4.90a 0.91 6.56a 1.48

Tabel 1. Nilai ekspresi gen EgAGL6, EgAG2, dan EgAGA pada berbagai parameter abnormalitas buah kelapa sawit

Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata pada uji BNT 5%

Page 40: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

219Hubungan Metilasi DNA dengan......

2006; Ito et al., 2008). RIN berinteraksi dengan promoter gen yang terlibat dalam jalur pemasakan utama diantaranya sintesis etilen (Barry, 2007; Ito et al., 2008), metabolisme dinding sel (Marin-Rodriguez et al., 2002) dan akumulasi karoten (Bramley, 2002). Oleh karena itu Martel et al. (2011) menyatakan RIN sebagai master regulator pada proses pemasakan yang secara langsung mempengaruhi proses-proses yang terkait pemasakan. Ito et al. (2008) menyatakan bahwa RIN dapat menempeli CarG-box dan Fujisawa et al. (2011) mengkonfirmasi penempelan RIN ke gen yang terlibat dalam sintesis etilen dan metabolisme dinding sel, karena promoter gen tersebut mengandung sekuens CarG-box.

Pengelompokan gen EgAGL6 dan gen RIN pada tomat (SlRIN) dalam satu subclade yang sama, memungkinkan kemiripan perkembangan buah mantel kelapa sawit dengan buah mutan RIN pada tomat. Hetharie (2008) menyatakan bahwa pada sebagian besar buah mantel kelapa sawit dengan tipe abnormalitas sangat berat yang berada dalam satu tandan, terjadi penghambatan pematangan sebelum dan saat tanaman memasuki fase buah agak matang yang kemudian mulai membusuk. Hal ini diduga terjadi karena penghambatan produksi etilen. Selain itu, mesokarp yang dihasilkan lebih berserat bahkan berkayu. Diduga hal ini berkaitan dengan penurunan atau bahkan penghentian aktivitas transkripsi gen-gen yang terlibat dalam proses pelunakan dinding sel.

Kuantifikasi Level Metilasi DNA Genom dengan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC)

Analisis kuantitatif DNA membutuhkan DNA yang

murni sehingga apabila dicacah dengan enzim nuklease menjadi nukleotida tunggal, akan menunjukkan hasil yang baik karena tidak ada smear yang terlihat. Hal ini berarti DNA telah tercacah seluruhnya (Gambar 3).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah abnormal mengalami hipermetilasi sebesar 19.55% pada buah Abn dan sebesar 18.33% pada buah Abn m, dibandingkan dengan buah normal, yaitu 5.67% (Gambar 4).

Hubungan Abnormalitas akibat Metilasi DNA dengan Ekspresi Gen

Menurut Elliott dan Elliott (2009) metilasi DNA

berhubungan dengan penghambatan ekspresi gen. Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh terjadinya metilasi pada situs CpG di dalam sekuens gen-gen normal yang merupakan situs penempelan faktor transkripsi (Medvedeva, 2013), metilasi pada binding protein yang menempel pada faktor transkripsi (Manning et al., 2006), metilasi pada histon yang akan menginduksi histon deasetilasi dan menuntun kepada silencing daerah heterokromatin (Jorgensen et al., 2013), atau metilasi pada micro-RNA (Betel et al., 2008).

Hipermetilasi yang terjadi pada buah mantel kelapa sawit mengindikasikan adanya gen-gen yang seharusnya terekspresi tetapi menjadi tidak terekspresi. Hipermetilasi ini salah satunya dibuktikan oleh menurunnya level ekspresi gen EgAGL6. Manning et al. (2006) dan Seymour et al. (2008) melaporkan bahwa metilasi DNA berperan dalam regulasi pemasakan buah. Zhong et al. (2013) membuktikan melalui perlakuan perendaman buah dengan 5-azacytidine (inhibitor metiltransferase) akan menyebabkan buah menjadi masak premature. Lebih lanjut dibuktikan melalui percobaan bisulfit sekuensing, bahwa hipermetilasi yang terjadi pada lokus gen SlCNR (Colorless non Ripening) akan menghambat perkembangan buah tomat. Daerah yang mengalami hipermetilasi ini, mengalami demetilasi pada wild-type.

KESIMPULAN Level ekspresi gen EgAGL6 adalah sebesar 1.88 kali

lipat normal pada Abn m dan 0.46 kali lipat normal pada Abn. Penurunan level ekspresi EgAGL6 pada Abn sangat berbeda nyata dengan buah normal, sedangkan peningkatan level ekspresi EgAGL6 pada Abn m tidak berbeda nyata dengan buah normal. Level ekspresi gen EgAG2 adalah sebesar 0.91 kali lipat normal pada Abn m dan 1.13 kali lipat normal pada Abn. Level ekspresi EgAG2 pada Abn m maupun Abn

Gambar 3. Hasil pencacahan DNA genomik oleh enzim nuclease S1. 1: marker 1 kb; 2-3: dua ulangan buah normal (n2, n3); 4-5: dua ulangan buah abnormal dari luar tandan (Abn1, Abn2); 6-7: dua ulangan buah abnormal dari dalam tandan (abn1m, abn2m)

Gambar 4. Perbandingan kandungan 5-metil-deoksisitidin (mdC) antara buah normal dan abnormal. N, buah normal; Abn, buah abnormal diambil dari luar tandan; Abn m, buah abnormal diambil dari dalam tandan

Abn1m Abn2m bp M N2 N3 Abn2 Abn1

250

1.000

3.000 10.000

N Abn Abn m0

10

20

30

Tingkat abnormalitas buah

% m

dC

Page 41: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

220 Maharani Anischan, Suharsono, Nurita Toruan-Mathius, dan Andree Sunanjaya Kusnandar

tidak berbeda nyata dengan buah normal setelah diuji pada BNT 5%. Level ekspresi gen EgAGA adalah sebesar 1.48 kali lipat normal pada Abn m dan 1.71 kali lipat normal pada Abn. Peningkatan level ekspresi EgAGA antara buah Abn m maupun Abn dengan buah normal berbeda nyata setelah diuji pada BNT 5%. Buah mantel mengalami metilasi pada DNA genom sebesar 18.33-19.55% sedangkan buah normal 5.67%. Hipermetilasi ditunjukkan oleh menurunnya level ekspresi gen EgAGL6 pada buah mantel Abn.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. SMART,

Tbk yang telah mendanai penelitian ini dan kepada Bakrie Center Foundation sebagai sponsor biaya pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, H., S. Jouannic, E.Y. Duval, J.L. Verdeil, W. Tregear. 2005. Reproductive developmental complexity in the African oil palm (Elaeis guineensis, Arecaceae). Am. J. Bot. 92:1836-1852.

Adam, H., S. Jouannic, Y. Orieux, F. Morcillo, F. Richaud, Y. Duval, J.W. Tregear. 2007. Functional characterization of MADS-box genes involved in the determination of oil palm flower structure. J. Exp. Bot. 58:1245-1259.

Barry, C.G.J. 2007. Ethylene and fruit ripening. J. Plant Growth Regul. 26:143-159.

Betel, D., M. Wilson, A. Gabow, D.S. Marks, C. Sander. 2008. The microRNA.org resource: target and expression. Nucleic Acids Res. 36:149-153.

Bramley, P.M. 2002. Regulation of carotenoid formation during tomato fruit ripening and development. J. Exp. Bot. 53:2107-2113.

Bollati, V., A. Baccarelli. 2010. Environmental epigenetics. Heredity 105:105-112.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. Katalog BPS. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Bustin, S.A., T. Nolan. 2004. Pitfalls of quantitative real-time reverse-transcription polymerase chain reaction. J. Biomolecular Techniques 15:155-166.

Bustin, S.A., V. Benes, J.A. Garson, J. Hellemans, J. Huggett, M. Kubista, R. Mueller, T. Nolan, M.W. Pfaffl, G.L. Shipley, J. Vandesompele, C.T. Wittwer. 2009. The MIQE guidelines : Minimum information for the publication of quantitative real-time PCR experiments. Clinical Chemistry 55:611-622.

Elliot, W.H., D.C. Elliot. 2009. Biochemistry and Molecular Biology 4th Ed. Oxford University Pess Inc., New York.

Fujisawa, M., T. Nakano, Y. Ito. 2011. Identification of potential target genes for the tomato fruit-ripening regulator RIN by chromatin immunoprecipitation.BMC Plant Biol. 11:26.

Hetharie, H. 2008. Abnormalitas bunga dan buah pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berdasarkan analisis morfologi, biokimia dan DNA genom. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ito, Y., M. Kitagawa, N. Ihashi, K. Yabe, J. Kimbara, J. Yasuda, H. Ito, T. Inakuma, S. Hiroi, T. Kasumi. 2008. DNA-binding spesificity, transcriptional activator potential, and the rin mutation effect for the tomato fruit-ripening regulator RIN. Plant J. 55:212-223.

Jorgensen, S., G. Schotta, C.S. Sorensen. 2013. Histone H4 lysine 20 methylation: key player in epigenetic regulation of genomic integrity. Nucleic Acids Res. 41:2797-2806.

Kubis, S.E., A.M.M.F. Castilho, A.V. Vershinin, J.S. Heslop-Harrison. 2003. Retroelements, transposons and methylation status in the genome of oil palm (Elaeis guineensis) and the relationship to somaclonal variation. Plant Mol. Biol. 52:69-79.

Kubista, M., J.M. Andrade, M. Bengtsson, A. Forootan, J. Jonak, K. Lind, R. Sindelka, R. Sjoback, B. Sjogreen, L. Strombom, A. Stahlberg, N. Zoric. 2006. The real-time polymerase chain reaction. Mol. Aspects Med. 27:95-125.

Livak, K.J., T.D. Schmittgen. 2001. Analysis of relative gene expression data using real-time quantitative PCR and the 2-∆∆CT

Method. Methods 25:402-408.

Manning, K., M. Tor, M. Poole, Y. Hong, A.J. Thompson, G.J. King, J.J. Giovannoni, G.B. Seymour .2006. A naturally occuring epigenetic mutation in a gene encoding an SBP-box transcription factor inhibits tomato fruit ripening. Nat. Genet. 38:948-952.

Marin-Rodriguez, M.C., J. Orchard, G.B. Seymour. 2002. Pectate lyases, cell wall degradation and fruit softening. J. Exp. Bot. 53:2115-2119.

Martel, C., J. Vrebalov, P. Tafelmeyer, J.J. Giovannoni. 2011. The tomato MADS-box transcription factor ripening inhibitor interacts with promoters involved in numerous ripening processes in a colorless non ripening-dependent manner. Plant Physiol. 157:1568-1579.

Page 42: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 215 - 221 (2014)

221Hubungan Metilasi DNA dengan......

Medvedeva, Y.A., A.M. Khamis, I.V. Kulakovskiy, W. Ba-Alawi, M.S.I. Bhuyan, H. Kawaji, T. Lassmann, M. Harbers, A.R.R. Forest, V.B. Bajic. 2013. Effects of cytosine methylation on transcription factor binding sites. BMC Genomics 15:119.

Muzuni, D. Sopandie, U.W. Suharsono, Suharsono. 2010. Isolasi dan pengklonan fragmen cDNA gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari Melastoma malabatricum L. J. Agron. Indonesia 38:67-74.

Seymour, G., M. Poole, K. Manning, G.J. King. 2008. Genetics and epigenetics of fruit development and ripening. Curr. Opinion Plant Biol. 11:58-63.

Shah, D.M., R.C. Hightower, R.B. Meagher. 1982. Complete nucleotid sequence of a soybean actin gene. Proc.Natl. Acad. Sci. USA.79:1022-1026.

Stern, K.R., S. Jansky, J.E. Bidlack. 2003. Introductory Plant Biology 9th Ed. Mc.Graw-Hill Companies Inc., New York.

Shearman, J.R., C. Jantasuriyarat, D. Sangsraku, T. Yoocha, A. Vannavichit, S. Tangphatsornruang, S. Tragoonrung. 2012. Transcriptome assembly and expression data from normal and mantled oil palm fruit. dataset paper in biology. hindawi publishing Corporation. http://dx.doi.org [20 Juni 2013].

Tadiello, A., A. Pavanello, D. Zanin. E. Caporali, L. Colombo, G.L. Rotino, L. Trainotti, G. Casadoro. 2009. A PLENA-like gene of peach is involved in carpel formation and subsequent transformation into a fleshy fruit. J. Exp. Bot. 60:651-661.

Tranbarger, T.J., S. Dussert, T. Joet, X. Argout, M. Summo, A. Champion, D. Cros, A. Omore, B. Nouy, F. Morcillo. 2011. Regulatory mechanism underlying oil palm fruit mesocarp maturation, ripening, and functional specialization in lipid and carotenoid metabolism. Plant Physiol. 156:564-584.

Vrebalov, J., D. Ruezinsky, V. Padmanabhan, R. White, D. Medrano, R. Drake, W. Schuch, J. Giovannoni. 2002. A MADS-box gene necessary for fruit ripening at tomato ripening-inhibitor (rin) locus. Science 296:343-346.

Yang, I., M.C. Fortin, J.R. Richardson, B. Buckley. 2011. Fused-core silica column ultra performance liquid chromatography-ion trap tendem mass spectrometry for determination of global DNA methylation status. Ann. Biochem. 409:138-143.

Zhong, S., Z. Fei, Y.R. Chen, Y. Zheng, M. Huang, J. Vrebalov, R. McQuinn, N, Gapper, B. Liu, J. Xiang, Y. Shao, J.J. Giovannoni. 2013. Single-base resolution methylomes of tomato fruit development reveal epigenome modifications associated with ripening. Nat. Biotech. 13:154-159.

Page 43: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

222 Sudradjat, Anita Darwis, dan Ade Wachjar

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Optimasi Dosis Pupuk Nitrogen dan Fosfor pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq. ) di Pembibitan Utama

Optimizing of Nitrogen and Phosphorus Rates for Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Seedling in the Main Nursery

Sudradjat1*, Anita Darwis2, dan Ade Wachjar1

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural Universtity), Jl Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2Sekolah Pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University) Jalan Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 25 November 2013/Disetujui 20 Mei 2014

ABSTRACT

The total area of oil palm plantation has grown rapidly in Indonesia since the last three decades. Oil palm extensification and replanting need high quality seedlings. Accurate rate of nitrogen and phosphor fertilizer are key factors to obtain high quality seedlings. The objective of this experiment was to determine the optimum rate of nitrogen and phosphorus fertilizers for oil palm seedling (Elaeis guineensis Jacq.) in main nursery and to obtain seedlings ready for field planting. This experiment was carried out at IPB Experimental Station, Cikabayan Dramaga, Bogor, from November 2011 to May 2012. The experiment was arranged in a factorial randomized block design with three replications. The first factor was N i.e. 0, 8.51, 17.02, and 34.04 g N plant-1 and the second was P i.e. 0, 2.28, 4.56, and 9.12 g P plant-1. The result of the experiment showed that vegetative growth increased with fertilizer application. The height of plant were affected by interaction between N and P significantly. The total leave number and stem diameter increased quadratically with fertilizer rate of N and were linearly increased with application of P. Application of N fertilizer influenced the chlorophyl content only at 5 months after planting, and did not significantly affect the stomatal density. The result of leaf analysis showed that nitrogen and phosphor content respectively were 3.43% and 0.28%, where both of them were above the critical level. The optimum rate of N for oil palm seedling during six months at the main nursery was 20.06 g plant-1, whereas P was 4.24 g plant-1.

Keywords: fertilizer recommendation, physiological respons, vegetative growth

ABSTRAK

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam tiga dekade terakhir berkembang sangat pesat. Perluasan areal dan peremajaan perkebunan kelapa sawit membutuhkan bibit yang berkualitas. Pemupukan nitrogen dan fosfor dengan dosis yang tepat pada waktu di pembibitan utama menjadi kunci untuk mendapatkan bibit yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum pupuk nitrogen dan fosfor pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama dan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang siap salur. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Dramaga, Bogor, dari bulan November 2011 sampai Mei 2012. Rancangan yang digunakan adalah faktorial dalam lingkungan acak kelompok dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah pemupukan N, terdiri atas 0, 8.5, 17.0, dan 34.0 g N tanaman-1. Faktor kedua adalah pemupukan P terdiri atas 0, 2.28, 4.56, dan 9.12 g P tanaman-1. Hasil penelitian memunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif meningkat dengan pemberian pupuk N dan P. Interaksi pupuk N dan P berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman. Jumlah daun dan diameter batang nyata dipengaruhi secara kuadratik oleh pemberian pupuk N, dan aplikasi pupuk P meningkatkan peubah morfologi tanaman secara linier. Pemberian pupuk N hanya berpengaruh secara nyata pada umur 5 bulan setelah tanam (BST) terhadap jumlah khlorofil dan tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata. Kadar unsur N dan P pada pelepah daun nomor 5 pada perlakuan optimum masing-masing adalah 3.43% dan 0.28%. Nilai-nilai tersebut di atas titk ktitis. Dosis rekomendasi pupuk N selama 6 bulan untuk bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah 20.06 g tanaman-1, sedangkan untuk P adalah 4.24 g tanaman-1.

Kata kunci: rekomendasi pemupukan, tanggap fisiologi, pertumbuhan vegetatif

Page 44: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

223Optimasi Dosis Pupuk Nitrogen......

PENDAHULUAN

Produksi minyak sawit Indonesia telah menyumbang sekitar 30% dari produksi minyak nabati dunia dan ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 60% dari permintaan pasar global. Konsumsi minyak kelapa sawit dunia diperkirakan akan mencapai 256 juta ton Crude Palm Oil (CPO) pada tahun 2050 (Corley, 2009). Luas total areal tanam kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 9.1 juta ha dengan total produksi CPO mencapai 23.5 juta ton, atau setara dengan nilai ekspor US $ 17.6 milyar (Ditjenbun, 2013).

Keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit antara lain ditentukan oleh penggunaan bibit unggul dan baik. Bibit yang baik akan memiliki kemampuan untuk menghadapi keadaan cekaman pada waktu dipindahkan ke lapangan dan tanggap terhadap input yang diberikan. Tanaman yang berasal dari bibit yang baik akan tumbuh dan berkembang lebih cepat, dan pada akhirnya berproduksi lebih awal serta memberikan hasil yang lebih tinggi.

Pemupukan bertujuan untuk menjamin kecukupan dan keseimbangan hara tanaman sehingga pertumbuhan bibit maksimal. Kebutuhan unsur hara bagi tanaman kelapa sawit pada setiap fase pertumbuhannya berbeda-beda. Jumlah unsur hara yang ditambahkan melalui pupuk harus memperhitungkan kehilangan hara akibat pencucian, penguapan, serta sifat fisik dan kimia tanah. Siahaan et al. (2005) melaporkan bibit yang tumbuh baik memiliki kadar hara N, P, K, Mg, Ca pada organ vegetatif tanaman masing-masing adalah 1.27, 0.14, 1.48, 0.21, 0.14% dari bobot kering.

Salah satu masalah utama dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit adalah pengadaan bibit yang berkualitas karena bibit sangat menentukan tingkat produktivitas. Bibit yang berkualitas selain secara genetik unggul, pertumbuhan fisiknya harus jagur dan sehat. Hal ini dicapai dengan tersedianya unsur hara makro utama seperti nitrogen, fosfor dan kalium. Salah satu faktor penghambat adalah tidak tersedianya unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman pada kadar yang cukup. Dosis pupuk di pembibitan, baik di perkebunan negara, swasta dan rakyat umumnya menggunakan dosis standar yang berlaku umum. Pemupukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan hara tanaman selain tidak efisien dapat juga mencemari lingkungan.

Penelitian ini bertujuan menentukan dosis optimum pupuk N dan P serta interaksinya pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Selain itu juga bertujuan untuk mendapatkan bibit siap salur yang memenuhi standar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, dari bulan November 2011 sampai dengan Mei 2012. Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit kelapa sawit Tenera Dami Mas (nomor persilangan 44 x 19.10) yang berumur 4 bulan. Bahan lainnya adalah polybag berukuran 50 cm x 40 cm, pestisida mancozeb 80% dan deltamethrin 25 g L-1, pupuk Urea, SP36, KCl. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial

dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan pemupukan N, terdiri atas empat taraf, yaitu 0, 8.5, 17.0, dan 34.0 g tanaman-1. Faktor kedua adalah perlakuan pemupukan P terdiri atas empat taraf, yaitu 0, 2.28, 4.56, dan 9.12 g tanaman-1. Setiap satuan percobaan terdiri atas 5 tanaman, sehingga jumlah sampel adalah 240 tanaman.

Bibit ditanam dalam polybag dengan jarak tanam segitiga sama sisi 90 cm x 90 cm x 90 cm, media tanam top soil dicampur dengan pupuk kotoran sapi yang telah dikomposkan dengan perbandingan 7:1. Aplikasi perlakuan pupuk dilakukan sebanyak 6 kali, perlakuan pertama diberikan pada 0.5 bulan setelah tanam (BST) di pembibitan utama dan selanjutnya diberikan setiap bulan sampai bibit berumur 6 bulan atau berumur 11 bulan setelah penanaman kecambah. Selain perlakuan, diberikan pupuk dasar K2O sesuai rekomendasi dengan dosis 15.86 g tanaman-1 untuk 6 bulan.

Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun dilakukan setiap bulan; pengamatan jumlah klorofil dilakukan pada bulan ke 4 sampai bulan ke-6; kerapatan stomata hanya pada bulan ke 4; sedangkan analisis jaringan tanaman dilakukan pada akhir penelitian (bulan ke-6). Kandungan klorofil daun diukur dengan menggunakan alat SPAD-502 Plus chlorophyll meter. Alat ini secara digital mencatat tingkat kehijauan dan jumlah relatif molekul klorofil yang ada dalam daun dalam satu nilai berdasarkan jumlah cahaya yang ditransmisikan oleh daun. Kadar klorofil dihitung dengan menggunakan rumus Y = 0.0007x – 0.0059, dimana: Y = kandungan klorofil dan X = nilai hasil pengukuran SPAD-502 (Farhana, 2007).

Analisis data menggunakan uji F, apabila dalam sidik ragam pada taraf α=0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji polynomial ortogonal, kemudian dilanjutkan dengan uji regresi untuk menentukan dosis optimum. Perhitungan data dilakukan dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis Sistem), Minitab dan Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanggap Morfologi Tanaman Pupuk N dan P memberikan pengaruh interaksi

terhadap tinggi tanaman mulai umur 1-6 BST kecuali pada 5 BST. Perlakuan N memberikan pengaruh nyata secara kuadratik dan P secara linier pada umur 5 BST (Tabel 1).

Pemberian pupuk N berpengaruh nyata secara linier terhadap jumlah daun pada umur 1, 2 dan 4 BST, berpengaruh kuadratik pada 3 dan 5 BST. Sementara itu pemberian pupuk P hanya berpengaruh nyata secara linier pada umur 1 dan 2 BST. Pengaruh interaksi antara pupuk N dan P terhadap jumlah daun terjadi pada umur 6 BST (Tabel 2).

Pupuk N berpengaruh nyata secara kuadratik pada umur 4 dan 6 BST terhadap diameter batang, sedangkan pupuk P berpengaruh nyata secara linier pada umur 5 dan 6 BST. Pemberian pupuk N dan K memberikan pengaruh interaksi terhadap diameter batang pada umur 4 BST (Tabel 3).

Page 45: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

224 Sudradjat, Anita Darwis, dan Ade Wachjar

Perlakuan dosis pupuk (g tanaman-1)

Jumlah daun (helai)1 BST 2 BST 3 BST 4 BST 5 BST 6 BST

Nitrogen 0 6.58 8.77 10.5 12.43 13.64 15.188.5 7.03 9.45 11.26 12.99 14.15 15.7517 7.06 9.51 11.18 12.89 14.29 15.4634 7.01 9.48 11.06 13.07 13.95 15.55Pola respon¢ L* L** Q** L* Q* tn

Fosfor 0 6.58 8.92 10.9 12.63 13.74 15.512.28 7.01 9.31 10.98 12.80 14.05 15.434.56 6.88 9.43 11.03 12.95 14.18 15.689.12 7.21 9.55 11.1 13.00 14.05 15.32Pola respon¢ L** L** tn tn tn tn

Interaksi tn tn tn tn tn *

Tabel 2. Jumlah pelepah daun bibit kelapa sawit pada berbagai dosis N dan P

Keterangan: *,** = Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%; ¢ = Uji kontras polinomial ortogonal; L = Linier; Q = Kuadratik; BST = Bulan setelah tanam di pembibitan utama

Perlakuan dosis pupuk (g tanaman-1)

Tinggi tanaman (cm)1 BST 2 BST 3 BST 4 BST 5 BST 6 BST

Nitrogen 0 36.1 41.19 43.29 61.81 73.86 88.468.5 36.51 44.56 44.57 67.33 81.28 100.2917 34.75 44.03 44.03 66.58 80.19 97.2534 37.14 43.58 43.57 67.33 80.24 97.08Pola respon¢ tn Q* tn Q** Q** Q**

Fosfor 0 35.77 42.58 44.71 64.75 77.81 93.352.28 35.43 42.60 42.59 64.45 77.49 94.344.56 36.35 42.50 42.50 65.48 78.38 95.779.12 36.95 45.69 45.67 68.38 81.89 99.63Pola respon¢ tn L* L* L** L* L**

Interaksi * * * ** tn *

Tabel 1. Tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada berbagai dosis N dan P

Keterangan: * = Berbeda nyata pada taraf 5%; ** = Berbeda nyata pada taraf 1%; ¢ = Uji kontras polinomial ortogonal; L = Linier, Q = Kuadratik; T = Bulan setelah tanam di pembibitan utama

Kandungan unsur N-total dan P-tersedia pada media tanam sebelum percobaan masing-masing adalah 0.24% dan 25 ppm, nilai tersebut termasuk ke dalam kategori sedang dan sangat tinggi. Penambahan bahan organik (kompos kotoran sapi) menyumbang N dan P dalam media tanam. N dalam tanah hanya mampu menunjang pertumbuhan vegetatif (diameter batang) sampai 1 BST, sedangkan P dalam tanah dapat memenuhi kebutuhan tanaman sampai 4 BST (Tabel 3). Status hara pada media tanam yang sedang untuk N dan sangat tinggi untuk P menyebabkan pemupukan N dan P tidak berpengaruh terhadap peubah diameter batang tanaman yang diamati.

Pemberian pupuk N dan P tertinggi (34.00 g N dan 9.12 g P tanaman-1) berinteraksi sangat nyata pada peubah tinggi tanaman (Tabel 1). Hal ini berarti terdapat saling pengaruh mempengaruhi antara keduanya. Adanya unsur N

dalam media tanam secara sinergis mampu meningkatkan ketersediaan P, karena unsur N mampu meningkatkan kelarutan P. Kandungan N dalam tanaman menurun seiring peningkatan ketidaktersediaan P dalam tanaman, hal ini berhubungan dengan fungsi P sebagai penyedia ATP yang dibutuhkan tanaman pada proses metabolime. Daerah perakaran merupakan suatu sistem yang kompleks, di daerah perakaran terjadi proses fisika, kimia dan biologis. Hara di dalam tanah bergantung pada pH, aerasi, dan konsentrasi masing-masing hara, sehingga terjadi interaksi antar hara.

Pupuk anorganik dosis tinggi yang mengandung N, P, K dan S berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan produksi tanaman (Costa, 2012). Pemberian pupuk N dan P pada tanaman rumput-rumputan berpengaruh secara signifikan terhadap tinggi tanaman, kehijauan daun (Celebri et al., 2011), berperan dalam sintesis protein (Pradnyawan

Page 46: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

225Optimasi Dosis Pupuk Nitrogen......

et al., 2005), meningkatkan laju fotosintesis (Darmawan, 2006), meningkatkan pertumbuhan dan produksi pada tanaman jagung (Onasanya et al., 2009). Pemupukan P pada tanaman Eucalyptus grandis meningkatkan penyerapan N melalui mekanisme yang tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan N. Pupuk N dan P mempengaruhi pertumbuhan untuk luasan yang berbeda dan tergantung pada karakteristik tanah, namun analisis tanah saja tidak cukup untuk memperkirakan pengaruh dari pupuk. Hal ini karena adanya interaksi yang kompleks dan ketika hara yang diberikan dalam keadaan luxury consumption dapat membatasi beberapa unsur hara yang lain (Graciano et al., 2006).

Tinggi tanaman berkorelasi positif terhadap fase pertumbuhan daun, dimana jika daun tertinggi berada pada fase perkembangan daun cepat (membuka sempurna) maka pertambahan tinggi tanaman meningkat secara cepat, sebaliknya jika anak daun kelapa pelepah nomor 1 (satu) belum terbuka penuh (kuncup) maka pertambahan tinggi tanaman relatif sedikit. Peningkatan dosis N menunjukkan pengaruh nyata secara kuadratik terutama terhadap peubah tinggi tanaman pada 2, 4, 5 dan 6 BST dan jumlah daun pada 3 dan 5 BST.

Aplikasi pemupukan P sampai dosis tertinggi (9.12 g P tanaman-1) meningkatkan jumlah daun dan diameter batang secara linier. Dengan demikian dosis optimum P belum dapat dicapai. Hal ini karena sebagian besar jumlah hara pada media tanam baik yang berasal dari pupuk maupun dari bahan organik tanah ditemukan dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman.

Fosfor berperan dalam meningkatkan perkembangan akar dan sebagai sumber energi dengan membentuk ATP (Shaheen et al., 2007), akan tetapi pergerakan P di dalam tanah sangat lambat karena reaktivitas P yang tinggi dengan kation-kation dalam tanah dan P yang cepat dikonversi dalam bentuk P-organik oleh aktivitas mikroba (Hebbar et al., 2004).

Kriteria bibit siap tanam (siap salur) ditentukan oleh tiga kriteria morfologi tanaman yaitu tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Hasil pengamatan pada akhir penelitian (6 BST) di pembibitan utama atau 11 bulan setelah penanaman kecambah menghasilkan bibit kelapa sawit dengan tinggi tanaman maksimum 98.46 cm, jumlah daun 16.36 helai dan diameter batang 6.79 cm. Bibit tersebut telah memenuhi standar sebagai bibit siap salur.

Tanggap Fisiologi Tanaman

Daun yang diamati untuk menentukan kandunagn klorofil dan kerapatan stomata adalah anak daun (leaflet) dari pelepah daun ke-4. Pemupukan N dan P tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata dan kandungan klorofil daun sampai umur 6 BST kecuali pada umur 5 BST untuk kandungan klorofil meningkat secara kubik atau fluktuatif (Tabel 4).

Warna daun digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya gejala kekurangan atau kelebihan N secara visual, dimana jika terjadi kahat N maka daun akan berwarna hijau pucat kemudian akan menjadi kuning pucat atau kuning cerah (klorosis). Penurunan konsentrasi klorofil daun disebabkan oleh terhambatnya penyerapan unsur hara, terutama N dan Mg yang berperan penting dalam sintesis klorofil (Ai dan Banyo, 2011).

Hasil analisis jaringan daun menunjukkan status hara dalam tanaman, namun harus diintegrasikan dengan indikator lain seperti gejala defisiensi dan pertumbuhan vegetatif dalam percobaan multifaktor (Witt et al., 2005). Analisis kandungan hara jaringan (akar, pelapah dan leaflet) diambil dari perlakuan optimum (17 g N tanaman-1, 9.12 g P tanaman-1) pada akhir penelitian. Berdasarkan hasil analisis organ vegetatif tanaman (akar, pelepah, dan leaflet) diperoleh kadar hara N dan P untuk akar masing-masing 0.78% N dan 0.18% P; pelepah masing-masing 1.06% N dan 0.20% P, dan pada leaflet dari daun ke-5 sebesar 3.43%

Perlakuan dosis pupuk (g tanaman-1)

Diameter batang (cm)1 BST 2 BST 3 BST 4 BST 5 BST 6 BST

Nitrogen 0 1.40 2.01 2.87 3.64 5.25 5.708.5 1.45 2.17 3.13 4.54 5.61 6.3517 1.45 2.12 3.05 4.39 5.56 6.3234 1.54 2.20 3.20 4.48 5.47 6.33Pola respon¢ tn tn tn Q* tn Q**

Fosfor 0 1.40 2.08 3.00 3.89 5.43 5.972.28 1.45 2.13 3.00 4.30 5.31 6.154.56 1.48 2.15 3.06 4.41 5.44 6.219.12 1.50 2.15 3.17 4.45 5.71 6.39Pola respon¢ tn tn tn tn L* L**

Interaksi tn tn tn ** tn tn

Tabel 3. Diameter batang bibit kelapa sawit pada berbagai dosis N dan P

Keterangan: *,** = Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%; ¢ = Uji kontras polinomial ortogonal; L = Linier; Q = Kuadratik; BST = Bulan setelah tanam di pembibitan utama

Page 47: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

226 Sudradjat, Anita Darwis, dan Ade Wachjar

N dan 0.28% P. Hasil ini memberi indikasi bahwa status dalam jaringan berada pada zona cukup jika dibandingkan dengan status hara pada critical nutrient level, yaitu 2.75% untuk N dan 0.16% untuk P (Ollagnier dan Ochs, 1981). Bah dan Rahman (2004) melaporkan terdapat 1.4% N dan 0.147% P pada bagian vegetatif bibit kelapa sawit.

Penentuan Dosis Pupuk Optimum

Penentuan kebutuhan pupuk dapat menggunakan kurva respon umum tanaman (generalized curve) terhadap pemupukan. Kebutuhan pupuk ditentukan sebagai dosis optimum untuk mencapai hasil maksimum (Amisnaipa

et al., 2009). Penentuan dosis optimum pupuk N dan P didasarkan pada peubah tinggi tanaman karena peubah tersebut merupakan peubah yang paling responsif di antara peubah morfologi lainnya. Persamaan regresi diperoleh dari peubah tinggi tanaman yang diamati setiap bulan, sehingga dapat ditentukan dosis optimumnya. Berdasarkan hasil perhitungan dosis optimum pupuk N bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah 20.06 g N tanaman-1, sedangkan untuk pupuk P adalah 4.24 g P tanaman-1 untuk pemupukan selama 6 bulan di pembibitan. Persamaan regresi untuk penentuan dosis dan dosis optimum pupuk N dan P setiap bulan disajikan pada Tabel 5.

Perlakuan dosis pupuk (g tanaman-1)

Kandungan klorofil (mg cm-2) Kerapatan stomata (mm-2)4 BST 5 BST 6 BST 4 BST

Nitrogen 0 0.031 0.035 0.037 24.608.5 0.026 0.041 0.040 25.7117 0.032 0.038 0.038 24.7034 0.030 0.041 0.039 25.94Pola respon¢ tn C** tn tn

Fosfor 0 0.031 0.039 0.039 24.142.28 0.033 0.038 0.039 24.784.56 0.029 0.038 0.038 25.159.12 0.028 0.04 0.037 26.88Pola respon¢ tn tn tn tnInteraksi tn tn tn tn

Tabel 4. Jumlah klorofil daun dan kerapatan stomata bibit kelapa sawit pada berbagai dosis N dan P

Keterangan: *,** = Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%; tn = Berpengaruh tidak nyata pada taraf 5%; ¢ = Uji kontras polinomial ortogonal; C = Kubik; BST = Bulan setelah tanam di pembibitan utama

Umur tanaman(BST) Persamaan regresi

Dosis optimum (g tanaman-1)N P

1 NPy = 40.4 + 4.31N – 1.98P – 1.17 N2 + 6.63P2 – 0.92 NP 1.40 0.222 NPy = 44.8 + 0.80N – 12.3P – 0.460N2 + 12.7P2 + 1.18NP 0.41 0.443 NPy = 44.8 + 0.488N – 7.34P – 0.166N2 +4.58P2 + 0.416 NP 2.72 0.764 NPy = 61.1 – 0.42P + 3.07N – 0.390N2 + 1.36P2 – 0.067 NP 3.85 0.185 Ny = - 0.2081x2 + 2.4967x + 74.623; Py = 2.3089x + 76.989 6.00 0.946 NPy = 86.4 + 3.93N + 3.01P – 0.320N2 + 0.80P2 – 0.297 NP 5.68 1.70Total 20.06 4.24

Tabel 5. Penentuan dosis optimum N dan P pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama berdasarkan peubah tinggi tanaman

KESIMPULAN

Pemberian pupuk N dan P meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Interaksi pupuk N dan P berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman. Pemberian N berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap jumlah daun dan diameter batang, sedangkan pemberian

pupuk P meningkatkan jumlah daun dan diameter batang secara linier. Jumlah klorofil dipengaruhi secara nyata oleh pupuk N hanya pada umur 5 Bulan Setelah Tanam (BST), sedangkan terhadap kerapatan stoma tidak berpengaruh. Kadar hara unsur N dan P anak daun pelepah nomor 5 pada perlakuan optimum masing-masing adalah 3.43% dan 0.28%. Nilai kadar N dan P tersebut di atas titik kritis. Dosis

Page 48: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 222 - 227 (2014)

227Optimasi Dosis Pupuk Nitrogen......

optimum pupuk N selama 6 bulan pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah 20.06 g N tanaman-1, dengan aplikasi masing-masing 1.60, 1.14, 2.80, 4.01, 5.73 dan 5.74 g N tanaman-1 bulan-1. Dosis optimum pupuk P selama 6 bulan pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama adalah 4.24 g P tanaman-1, dengan aplikasi masing-masing 0.22, 0.44, 0.76, 0.18, 0.94, dan 1.70 g P tanaman-1 bulan-1. Berdasarkan ukuran diameter batang bibit yang dihasilkan dari penelitian telah memenuhi syarat untuk siap tanam (siap salur).

DAFTAR PUSTAKA

Ai, N.S., Y. Banyo. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator kekurangan air pada tanaman. Jurnal Ilmiah Sains 11:168-173.

Amisnaipa, A.D. Susila, R. Situmorang, D.W. Purnomo. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylen. Bul. Agron. 37:115-122.

Bah, A.R., Z.A. Rahman. 2004. Evaluating urea fertilizer formulations for oil palm seedlings using the 15N isotope dilution technique. J. Oil Palm Res. 16:72-77.

Celebri, S.Z., O. Arvas, O. Terzioglu. 2011. The effect of nitrogen and phosphorus fertilizer application on herbage yield of natural pastures. Pak. J. Biol. Sci. 14:53-58.

Corley, R.H.V. 2009. How much palm oil do we need? Environ. Sci. Policy 12:134-139.

Costa, M.C.G. 2012. Soil and crop responses to lime and fertilizers in a fire-free land use system for smallholdings in the northern Brazilian Amazon. Soil Till. Res. 121:27-37.

Darmawan. 2006. Aktivitas fisiologi kelapa sawit belum menghasilkan melalui pemberian nitrogen pada dua tingkat ketersediaan air tanah. J. Agrivigor 6:41-48.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. http://ditjenbun.pertanian.go.id.

Farhana, M.A., M.R. Yusop, M.H. Harun, A.K. Din. 2007. Performance of tenera population for the chlorophyll contents and yield component. in: International Palm Oil Congress (Agriculture, Biotechnology & Sustainability). p. 701-705. Proceedings of the PIPOC 2007 vol 2. Malaysia 26-30 Agustus 2007.

Graciano, C., F. Juan, Goya, L. Jorge, Frangi, J. Juan, Guiamet. 2006. Fertilization with phosphorus increases soil nitrogen absorption in young plants of Eucalyptus grandis. Forest Ecol. Manag. 236:202-210.

Hebbar, S.S., B.K. Ramachandrappa, H.V. Nanjappa, M Prabhakar. 2004. Studies on NPK drip fertigation in field grown tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Europ. J. Agronomy 21:117-127.

Pradnyawan, S.W.H., W. Mudyantini, Marsusi. 2005. Pertumbuhan, kandungan nitrogen, klorofil dan karotenoid daun Gynura procumbens [Lour] Merr. Pada tingkat naungan berbeda. Biofarmasi. 3:7-10.

Ollagnier, M., R. Ochs. 1981. Management of mineral nutrition on industrial oil palm plantations. Oléagineux 36:409-421.

Onasanya, R.O., O.P. Aiyelari, A. Onasanya,S. Oikeh, F.E. Nwilene, O.O. Oyelakin. 2009. Growth and yield response of maize (Zea mays L.) to different rates of nitrogen and phosphorus fertilizers in southern Nigeria. World J. Agricultural Sciences 5:400-407.

Shaheen, A.M. M.M.A. Mouty, A.H. Ali, F.A. Rizk. 2007. Natural and chemical phosphorus fertilizers as affected onion plant growth, bulbs yield and its some physical and chemical properties. Austral. J. Basic Appl. Sci. 1:519-524.

Siahaan, M.M., Suwandi, A. Panjaitan. 2005. Pemupukan kelapa sawit. hal. 118-128. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit; Pemeliharaan kesehatan tanaman kelapa sawit melalui pengendalian terkini hama, penyakit dan gulma serta aplikasi pemupukan. Pekanbaru 19-21 Februari 2005.

Witt, C., T.H. Fairhurst, W. Griffiths. 2005. Key principles of crop and nutrient management in oil palm. Better Crops 89:27-31.

Page 49: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

228 Nope Gromikora, Sudirman Yahya, dan Suwarto

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Permodelan Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit pada Berbagai Taraf Penunasan Pelepah

Growth and Production Modeling of Oil Palm at Different Levels of Frond Pruning

Nope Gromikora1, Sudirman Yahya2*, dan Suwarto2

1Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 29 November 2013/Disetujui 28 Januari 2014

ABSTRACT

The numbers of leaf frond influence oil palm yield, especially fresh fruit bunch weight and fresh fruit bunch production. The objective of this research was to obtain oil palm growth and production model for different levels of frond pruning. The experiment was conducted at PT. Astra Agro Lestari, Pangkalan Bun, Central Kalimantan, from August 2010 to February 2012. The experiment was arranged in a randomized block design with two factors and three replications for each oil palm age. The first factor was numbers of unpruned frond and the second factors was pruning seasons. The frond treatment consisted of 41-48, 49-56, and 57-64 fronds. The pruning seasons consisted of first period (early to mid rainy season: September-December), second period (mid to end of rainy season: Januari-April), and third period (dry season: May-August). Stella production model was created based on pruning experiment and weather data. The constructed production model was able to estimate 75% variable of oil palm production and fresh fruit bunch weight at different levels of pruning.

Keywords: oil palm, pruning management, Stella model

ABSTRAK

Jumlah pelepah dapat memberikan pengaruh terhadap produksi kelapa sawit, terutama pada bobot tandan rata-rata dan produksi tandan buah segar. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendapatkan model pertumbuhan dan produksi pada tanaman kelapa sawit pada berbagai taraf penunasan. Penelitian ini dilakukan di PT. Astra Agro Lestari, Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, dimulai dari Agustus 2010 sampai Februari 2012. Percobaan ini dilaksanakan pada 3 kelompok umur tanaman, masing-masing dengan rancangan acak kelompok terdiri atas dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jumlah pelepah yang ditinggalkan dan faktor kedua adalah periode penunasan. Perlakuan jumlah pelepah yang ditinggalkan terdiri atas 41-48, 49-56, dan 57-64 pelepah. Periode penunasan terdiri dari periode pertama (awal sampai pertengahan musim hujan: September-Desember), periode kedua (pertengahan sampai akhir musim hujan: Januari-April), dan periode ketiga (musim kemarau: Mei-Agustus). Model produksi Stella disusun berdasarkan percobaan penunasan dan data cuaca. Model produksi yang dibangun mampu menduga 75% (peubah) bobot tandan rata-rata dan produksi tandan buah segar tanaman kelapa sawit pada berbagai taraf penunasan pelepah.

Kata kunci: kelapa sawit, model Stella, pengaturan pelepah

PENDAHULUAN

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang penting bagi perkebunan, 80% minyak kelapa sawit digunakan untuk produk yang dapat dimakan dan 20% untuk industri oleochemical (Basiron dan Chan, 2004). Selain itu tanaman kelapa sawit merupakan tanaman dengan produksi minyak yang tinggi dibandingkan penghasil minyak nabati yang lain (Basiron, 2007).

Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil dari tanaman kelapa sawit, salah satunya adalah cahaya. Intersepsi cahaya oleh kanopi (pelepah) merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, produksi biomassa serta dalam model pertumbuhan tanaman (Awal et al., 2005). Menurut Squire (1984), hasil tandan per pohon kelapa sawit memiliki korelasi positif dengan jumlah radiasi cahaya yang diterima oleh kanopi tanaman. Kapasitas produksi tanaman kelapa sawit ditentukan oleh ukuran tajuk atau luas daun sebagai permukaan fotosintesis. Studi oleh Hardon et al. (1969) menunjukkan ada korelasi positif antara luas daun dengan hasil tanaman kelapa sawit pada jenis yang sama.

Page 50: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

229Permodelan Pertumbuhan dan.....

Pengaturan luas permukaan daun pada tanaman kelapa sawit dilakukan dengan pemotongan pelepah tua, yang sering disebut penunasan. Penunasan dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan panen buah atau pada waktu lain secara periodik. Pengaturan luas permukaan daun melalui penunasan diperlukan untuk menyeimbangkan antara kapasitas fotosintesis dan pemenuhan kebutuhan transpirasi. Pada musim kemarau cahaya berlimpah tetapi air terbatas, sementara pada musim penghujan ketersediaan air cukup sementara cahaya terbatas. Proses fotosintesis pada tanaman memerlukan cahaya dan air yang cukup (Razali et al., 2011). Sampai saat ini belum diperoleh informasi tentang jumlah pelepah yang perlu dipertahankan terus menerus atau berbeda antara musim hujan dan kemarau agar tercapai jumlah pelepah optimum.

Laju berbagai proses fisiologi sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuh, terutama keadaan iklim. Hal inilah yang mendasari dibuatnya model, sehingga mempermudah dalam memprediksi hasil tanaman kelapa sawit berdasarkan jumlah pelepah dan faktor lingkungan. Prediksi produksi kelapa sawit telah menjadi hal yang penting dalam manajemen industri kelapa sawit, terutama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (Handoko, 2005; Ismail dan Khamis, 2011; Santosa et al., 2011). Selain itu untuk mempermudah memahami pengaruh lingkungan terhadap produksi, karena pengaruh lingkungan terhadap produksi memiliki lag yang panjang (Legros et al., 2009b).

Henson dan Dolmat (2003) mengemukakan bahwa penentuan perkembangan kanopi sangat penting untuk menentukan berapa banyak cahaya diserap yang diubah

menjadi produksi. Besaran LAI pada tanaman kelapa sawit bergantung kepada luas daun, jumlah pelepah dan satuan tanaman per hektar. Penelitian Okoye et al. (2011) menunjukkan pengaruh yang signifikan dari genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe dan lingkungan terhadap model produksi tandan buah segar kelapa sawit. Penelitian yang telah dilakukan ini hanya mempertimbangkan faktor lingkungan tanpa memperhatikan genotipe tanaman. Tujuan penelitian ini adalah menyusun model pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hasil simulasi digunakan untuk memprediksi bobot tandan rata-rata dan produksi tandan buah segar kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data selama 1.5 tahun yaitu antara Agustus 2010 sampai Juli 2012. Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan PT. Astra Agro Lestari Tbk, Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah. Percobaan dilakukan pada 3 kelompok umur tanaman, yakni tanaman menghasilkan (TM) umur < 8 tahun, 8-13 tahun, dan > 13 tahun. Rancangan perlakuan adalah faktorial dua faktor dengan 3 ulangan, yakni jumlah pelepah yang ditinggalkan dan waktu (terbagi dalam 3 periode) bagi setiap taraf jumlah pelepah. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok. Jumlah pelepah yang dipertahankan akan dipertahankan selama periode yang ditentukan. Daftar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Luas daun (LA = leaf area) dihitung dengan rumus: panjang daun x lebar daun x 0.55. Berdasarkan luas daun

PerlakuanJumlah pelepah per periode

Musim hujan caturwulan 1September - Desember

Musim hujan caturwulan 2Januari - April

Musim kemarau caturwulan 3Mei - Agustus

A 49-56 49-56 49-56B 49-56 49-56 57-64C 49-56 57-64 57-64D 57-64 57-64 57-64E 57-64 57-64 49-56F 57-64 49-56 49-56

Tabel 1. Jumlah pelepah yang dipertahankan pada tanaman kelapa sawit menghasilkan umur < 8 tahun

PerlakuanJumlah pelepah per periode

Musim hujan caturwulan 1September - Desember

Musim hujan caturwulan 2Januari - April

Musim kemarau caturwulan 3Mei - Agustus

A 41-48 41-48 41-48B 41-48 41-48 49-56C 41-48 49-56 49-56D 49-56 49-56 49-56E 49-56 49-56 41-48F 49-56 41-48 41-48

Tabel 2. Jumlah pelepah yang dipertahankan pada tanaman kelapa sawit menghasilkan umur 8-13 tahun dan > 13 tahun

Page 51: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

230 Nope Gromikora, Sudirman Yahya, dan Suwarto

ini kemudian diturunkan lagi hingga mendapatkan LAI (leaf area index), menurut Hardon et al. (1969).

Input model yang digunakan adalah LAI, bobot tandan rata-rata, dan intensitas cahaya. Persamaan yang digunakan yaitu:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Jumlah Pelepah terhadap Bobot Tandan Rata-rata (BTR) dan Produksi Tandan Buah Segar (TBS)

Hasil analisis bobot tandan rata-rata pada ketiga kelompok umur tanaman dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tanaman umur < 8 tahun, perlakuan tidak pengaruh nyata terhadap bobot tandan rata-rata. Hal ini kemungkinan karena penunasan pada pelepah tua atau pelepah terbawah hanya mempengaruhi tandan buah segar dalam skala yang kecil (Rosenfeld, 2009). Pengamatan pada tanaman umur 8-13 tahun menunjukkan jumlah pelepah yang ditinggalkan untuk setiap perode sebanyak 41-48 pelepah (A) memberikan hasil terbaik dan pada tanaman umur > 13 tahun, jumlah pelepah yang ditinggalkan sebanyak 41-48, 49-56, 49-56 untuk setiap periode (C) memberikan hasil terbaik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap bobot tandan rata-rata tidak sama pada tiap kelompok umur tanaman.

Pengaruh jumlah pelepah yang dipertahankan terhadap produksi tandan buah segar dapat dilihat pada Tabel 4. Produksi tandan buah segar tertinggi pada tanaman umur < 8 tahun yaitu dengan jumlah pelepah yang ditinggalkan sebanyak 57-64 dan penunasan pada awal musim hujan, 49-56 pelepah pada puncak musim hujan dan 49-56 pelepah pada musim kemarau (F). Saat puncak musim hujan pelepah terbawah akan kurang aktif berfotosintesis karena cahaya menjadi faktor pembatas, sementara pada musim kemarau air menjadi faktor pembatas. Pada musim kemarau transpirasi akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya luas daun tanaman (Kallarackal et al., 2004). Jumlah pelepah yang sedikit pada kedua musim ini mampu memberikan hasil terbaik, karena pelepah terbawah tidak menjadi beban bagi tanaman.

Produksi tertinggi pada tanaman umur 8-13 tahun diperoleh dengan menyisakan pelepah sebanyak 41-48 (sedikit) untuk penunasan pada awal musim hujan, 49-56 (banyak) pelepah pada puncak musim hujan dan 49-56 pelepah pada musim kemarau (C). Hasil penelitian Lamade et al. (2006) menunjukkan bahwa pelepah terbawah akan meningkatkan efisiensi fotosintesis, sehingga pelepah tua akan cukup lama bertahan sebagai source. Hal inilah yang memungkinkan pada pelepah yang banyak (49-56) tetap dapat memberikan hasil yang baik, selain jumlah pelepah yang dipertahankan tidak sebanyak tanaman umur < 8 tahun.

Tanaman tua (umur > 13 tahun) dengan jumlah pelepah sedikit atau 41-48 pelepah sepanjang periode (A) memberikan hasil terbaik. Hal ini berkaitan dengan proses panen di lapangan. Jumlah pelepah yang banyak (49-56 pelepah) akan menyulitkan proses panen, karena buah matang menjadi sulit untuk dilihat dan berondolan yang jatuh sebagai tanda buah matang menjadi berkurang atau malah tidak ada. Secara uji T pada taraf 5% perbedaan produksi yang mencapai 1 kg pokok-1 bulan-1 tidak berbeda nyata, tetapi apabila dikonversi menjadi ton ha-1 tahun-1 terdapat perbedaan produksi yang besar mencapai 1 ton ha-1 tahun-1. Dengan luasan perkebunan komersial kelapa

𝐿𝐿𝐴𝐴𝐼𝐼 = 𝐿𝐿𝐴𝐴 × 𝑗𝑗𝑢𝑢𝑚𝑚𝑙𝑙𝑎𝑎ℎ 𝑝𝑝𝑒𝑒𝑙𝑙𝑒𝑒𝑝𝑝𝑎𝑎ℎ × 𝑘𝑘𝑒𝑒𝑟𝑟𝑎𝑎𝑝𝑝𝑎𝑎𝑡𝑡𝑎𝑎𝑛𝑛 𝑡𝑡𝑎𝑎𝑛𝑛𝑎𝑎𝑚𝑚 ha-1

𝑃𝑃𝑎𝑎𝑟𝑟𝑡𝑡𝑖𝑖𝑠𝑠𝑖𝑖 𝑜𝑜𝑟𝑟𝑔𝑔𝑎𝑎𝑛𝑛 𝑔𝑔𝑒𝑒𝑛𝑛𝑒𝑒𝑟𝑟𝑎𝑎𝑡𝑡𝑖𝑖𝑓𝑓

= (175.920 − 307.641 × exp(−0.515 × LAI))((175.920 − 307.641 × exp(−0.515 × LAI)) + (11.96 × LAI + 8.327))

𝑃𝑃𝑎𝑎𝑟𝑟𝑡𝑡𝑖𝑖𝑠𝑠𝑖𝑖 𝑜𝑜𝑟𝑟𝑔𝑔𝑎𝑎𝑛𝑛 𝑣𝑣𝑒𝑒𝑔𝑔𝑒𝑒𝑡𝑡𝑎𝑎𝑡𝑡𝑖𝑖𝑓𝑓

= (11.96 × LAI + 8.327)175.920 − 307.641 × exp −0.515 × LAI + (11.96 × LAI + 8.327))

𝐹𝐹𝑜𝑜𝑡𝑡𝑜𝑜𝑠𝑠𝑖𝑖𝑛𝑛𝑡𝑡𝑒𝑒𝑠𝑠𝑖𝑖𝑠𝑠 = 𝐿𝐿𝑈𝑈𝐸𝐸 × ( 1 − exp −𝑘𝑘 × 𝐿𝐿𝐴𝐴𝐼𝐼 × 𝑄𝑄𝑠𝑠) × 104

Partisi generatif dan vegetatif menurut Breure (2010).

LUE (light use efficiency) yang digunakan adalah 0.006. Nilai k yang digunakan adalah sebesar 0.36 untuk umur 6 sampai 8 tahun, 0.45 untuk umur 8 sampai 11 tahun, dan 0.37 untuk umur 13 sampai 14 tahun (Noor dan Harun, 2004). RmT (respirasi maintenance tandan) dan RmV (respirasi maintenance vegetatif) yang digunakan sebesar 0.01 (Henson, 2004). Model Stella yang disusun dapat dilihat pada Gambar 1. Data simulasi yang dihasilkan merupakan data dalam bentuk bobot kering tandan per hektar, yang selanjutnya dikonversi menjadi bobot basah tandan per tanaman.

Bobot tandan rata-rata hasil simulasi dijadikan input model simulasi produksi. Nilai input dan persamaan-persamaan model produksi kelapa sawit adalah sebagai berikut: Bobot tandan rata-rata = data hasil model pertumbuhan dan produksi SPH (satuan pokok per hektar) = 129 pokokCurah hujan= data stasiun klimatologiPersamaan tandan = hasil korelasi tandan dan curah hujan,

Tandan = (Persamaan tandan × 2)100

Produksi = SPH × tandan × bobot tandan rata− rata

BK Veg

FS

LUE

RS Veg

~Qs

k

~LAI

RmV

TbVeg

BK TBS

RS TBS

RmT

TbTBS

Partisi Veg

Partisi Gen

Gambar 1. Model Stella bobot tandan rata-rata

Page 52: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

231Permodelan Pertumbuhan dan.....

sawit yang berkisar antara ratusan sampai ribuan hektar, maka perbedaan 1 kg pokok-1 bulan-1 dapat menjadi ratusan bahkan ribuan ton per tahun hanya dengan memberikan perlakuan pada pelepah.

Hasil Simulasi Model Bobot Tandan Rata-rata Data yang diperoleh disimulasikan dalam model

Stella yang telah disusun untuk mendapatkan data bobot

tandan rata-rata simulasi, kemudian dibandingkan dengan bobot tandan rata-rata aktual untuk melihat ketepatan di dalam memprediksi bobot tandan rata-rata aktual atau sebenarnya (Tabel 5, 6, dan 7). Pola bobot tandan rata-rata hasil modeling masih linear dan belum mengikuti pola produksi bobot tandan rata-rata pada kondisi aktual (contoh grafik perbandingan pada Gambar 2). Ketidaksesuaian antara grafik simulasi dan aktual terutama karena data yang digunakan sebagian besar merupakan data sekunder,

Tabel 3. Bobot tandan rata-rata umur < 8 tahun, 8-13 tahun dan > 13 tahun

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%. Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (49-56, 49-56, 49-56), B (49-56, 49-56, 57-64), C (49-56, 57-64, 57-64), D (57-64, 57-64, 57-64), E (57-64, 57-64, 49-56), dan F (57-64, 49-56, 49-56)

PerlakuanBobot tandan rata-rata (kg tandan-1)

< 8 Tahun 8-13 Tahun > 13 tahunA 13.68 17.69a 23.31abB 13.75 16.38b 24.20abC 13.49 17.30ab 24.55aD 13.22 16.48ab 24.25abE 13.69 16.44ab 24.10abF 13.71 16.94ab 23.00b

Bobot tandan rata-rata A B C* D E F...............................................................kg tandan-1...............................................................

Simulasi 14.10 14.18 16.34a 14.04 14.76 14.62Aktual 14.27 14.43 14.17b 13.74 14.43 14.37Perbedaan (%) -1.20 -1.70 15.30 2.10 2.20 1.70Uji T 0.295 0.168 0 0.099 0.137 0.168

Tabel 5. Bobot tandan rata-rata simulasi dan bobot tandan rata-rata aktual umur < 8 tahun

Keterangan: *) berbeda nyata hasil simulasi dan aktual pada taraf uji 5%. Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (49-56, 49-56, 49-56), B (49-56, 49-56, 57-64), C (49-56, 57-64, 57-64), D (57-64, 57-64, 57-64), E (57-64, 57-64, 49-56), dan F (57-64, 49-56, 49-56)

PerlakuanRata-rata produksi

……....kg pokok-1 bulan-1………. ……...ton ha-1 tahun-1……….< 8 Tahun 8-13 Tahun > 13 Tahun < 8 Tahun 8-13 Tahun > 13 Tahun

A 10.59 10.07 12.27 17.28 16.43 20.02B 9.33 8.89 11.05 15.22 14.50 18.03C 9.63 10.62 10.47 15.71 17.33 17.08D 9.50 8.45 11.54 15.50 13.79 18.83E 9.25 9.75 11.75 15.10 15.92 19.17F 11.17 10.05 10.31 18.23 16.40 16.83Rata-rata 9.91 9.64 11.23 16.17 15.73 18.33

Tabel 4. Produksi rata-rata tandan buah segar umur < 8 tahun, 8-13 tahun dan > 13 tahun

Keterangan: Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (49-56, 49-56, 49-56), B (49-56, 49-56, 57-64), C (49-56, 57-64, 57-64), D (57-64, 57-64, 57-64), E (57-64, 57-64, 49-56), dan F (57-64, 49-56, 49-56)

Page 53: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

232 Nope Gromikora, Sudirman Yahya, dan Suwarto

sedangkan data primer yang didapat hanya berupa LAI, curah hujan, intensitas cahaya dan juga data produksi.

Henson (2000) menyatakan bahwa model yang disusun belum dapat mensimulasi hasil kelapa sawit dengan baik pada kondisi cuaca yang berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena produksi tandan buah segar tergantung pada ukuran tajuk serta jumlah tandan buah (sink) yang ada, serta input dan data-data terbaru untuk menyempurnakan model dalam mensimulasi tingkat kompleksitas produksi tandan buah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa curah hujan sangat mempengaruhi bobot tandan rata-rata yang dihasilkan, tetapi belum dapat menjadi faktor yang mempengaruhi bobot tandan rata-rata di dalam model yang disusun. Diperlukan

Bobot tandan rata-rataA B* C D E* F*

kg tandan-1 bulan-1

Simulasi 18.02 16.00b 18.13 17.11 20.04a 16.09Aktual 18.05 17.07a 17.66 17.16 17.35b 17.26Perbedaan (%) -0.1 -6.2 2.6 -0.2 15.5 -6.7Uji T 0.938 0.001 0.081 0.827 0 0.005

Tabel 6. Bobot tandan rata-rata simulasi dan bobot tandan rata-rata aktual umur 8-13 tahun

Keterangan: *) berbeda nyata hasil simulasi dan aktual pada taraf uji 5%. Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (41-48, 41-48, 41-48), B (41-48, 41-48, 49-56), C (41-48, 49-56, 49-56), D (49-56, 49-56, 49-56), E (49-56, 49-56, 42-48), dan F (49-56, 41-48, 41-48)

Bobot tanda rata-rataA B* C* D* E* F

kg tandan-1 bulan-1

Simulasi 24.2 26.3a 26.2a 22.6b 25.6a 22.7Aktual 23.9 25.0b 24.8b 24.2a 24.3b 23.2Perbedaan (%) 1.4 4.9 5.5 -6.6 5.2 -1.9Uji T 0.335 0 0.005 0.001 0.005 0.168

Tabel 7. Bobot tandan rata-rata simulasi dan bobot tandan rata-rata aktual umur > 13 tahun

Keterangan: *) berbeda nyata hasil simulasi dan aktual pada taraf 5%. Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (41-48, 41-48, 41-48), B (41-48, 41-48, 49-56), C (41-48, 49-56, 49-56), D (49-56, 49-56, 49-56), E (49-56, 49-56, 42-48), dan F (49-56, 41-48, 41-48).

input-input baru agar model dapat mensimulasikan pengaruh curah hujan terhadap bobot tandan rata-rata.

Selisih atau perbedaan antara bobot tandan rata-rata aktual dan simulasi paling tinggi didapat pada tanaman umur 8-13 tahun, dengan selisih mencapai 15% (Tabel 6). Hasil uji T menunjukkan bahwa 10 dari 18 perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 11), antara hasil simulasi dan aktual. Beda nyata antara aktual dan simulasi paling besar ditemui pada tanaman tua (umur > 13 tahun), karena pola peningkatan bobot tandan rata-rata dengan pola penunasan 41-48 pada setiap periode sudah stabil dan tidak meningkat seperti pada tanaman muda (< 8 tahun dan 8-13 tahun). Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat beda nyata

Gambar 2. Perkembangan bobot tandan rata-rata tanaman umur > 8 tahun berdasarkan data simulasi dan aktual dengan jumlah pelepah yang ditinggalkan sebanyak 49-56 untuk setiap periode (A)

Page 54: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

233Permodelan Pertumbuhan dan.....

antara hasil simulasi dan aktual. Prediksi model mampu menduga 3 perlakuan pelepah yang mempunyai bobot tandan rata-rata aktual tertinggi pada tanaman umur 8-13 tahun yaitu dengan pola penunasan 41-48 setiap periode, 41-48, 49-56, 49-56 per periode serta 49-56, 49-56, 41-48 per periode dan untuk umur > 13 tahun dengan pola penunasan 41-48, 41-48, 49-56 per periode, 41-48, 49-56, 49-56 per periode serta 49-56, 49-56, 41-48 per periode, sementara pada tanaman < 8 tahun hanya 2 dari 3 bobot tandan rata-rata tertinggi yang sesuai produksi aktual yaitu dengan pola penunasan 57-64, 57-64, 49-56 per periode dan 57-64, 49-56, 49-56 per periode.

Hasil Simulasi Model Produksi Tandan Buah Segar

Hasil bobot tandan rata-rata simulasi dijadikan input dalam menghasilkan data produksi simulasi kelapa sawit (Tabel 8, 9 dan 10). Seperti halnya pada data bobot tandan

rata-rata, data hasil simulasi produksi juga dibandingkan untuk melihat tingkat ketepatan data dalam memprediksi produksi aktual. Dari hasil perbandingan antara produksi simulasi dan aktual, diperoleh persentase selisih paling tinggi sebesar 18% pada tanaman umur < 8 tahun. Walaupun demikian, hasil uji T menunjukkan hanya terdapat satu perlakuan yang berbeda nyata, pada pola penunasan 49-56, 49-56, 41-48 per periode pada tanaman umur 8-13 tahun. Contoh grafik perbandingan antara produksi simulasi dan produksi aktual dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil penelitian Okoye et al. (2009) menunjukkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi tandan buah segar kelapa sawit. Salah satu faktor lingkungan yang menjadi input pada model ini adalah curah hujan. Curah hujan menjadi faktor yang mempengaruhi produksi tandan, tetapi memiliki nilai R2 yang kecil. Menurut Legros et al. (2009a) pengaruh iklim, seperti hujan terhadap produksi sangatlah komplek sehingga diperlukan waktu serta input data yang lebih lengkap dalam penyusunan model.

ProduksiA B C D E F

kg ha-1 bulan-1

Simulasi 1,547.3 1,367.8 1,650.4 1,379.2 1,392.2 1,659.3Aktual 1,568.8 1,364.5 1,392.3 1,360.1 1,339.8 1,630.0Perbedaan (%) -1.3 0.2 18.5 1.3 3.9 1.7Uji T 0.873 0.984 0.1 0.876 0.742 0.853

Tabel 8. Produksi tandan buah segar simulasi dan produksi aktual umur < 8 tahun

Keterangan: Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (49-56, 49-56, 49-56), B (49-56, 49-56, 57-64), C (49-56, 57-64, 57-64), D (57-64, 57-64, 57-64), E (57-64, 57-64, 49-56), dan F (57-64, 49-56, 49-56)

ProduksiA B C D E* F

kg ha-1 bulan-1

Simulasi 1,403.0 1,409.1 1,515.4 1,247.6 1,668.7a 1,349.2Aktual 1,409.1 1,311.6 1,472.7 1,245.6 1,417.1b 1,441.0Perbedaan (%) -0.4 7.4 2.8 0.1 17.7 -6.3Uji T 0.975 0.362 0.57 0.984 0.009 0.314

Tabel 9. Produksi tandan buah segar simulasi dan produksi aktual umur 8-13 tahun

Keterangan: *) berbeda nyata hasil simulasi dan aktual pada taraf 5%. Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (41-48, 41-48, 41-48), B (41-48, 41-48, 49-56), C (41-48, 49-56, 49-56), D (49-56, 49-56, 49-56), E (49-56, 49-56, 42-48), dan F (49-56, 41-48, 41-48)

ProduksiA B C D E F

kg ha-1 bulan-1

Simulasi 1,708.7 1,651.2 1,551.1 1,461.3 1,645.2 1,416.6Aktual 1,686.7 1,569.5 1,468.4 1,572.9 1,558.7 1,448.9Perbedaan (%) 1.3 5.2 5.6 -7.1 5.6 -2.2Uji T 0.779 0.388 0.4 0.245 0.36 0.743

Tabel 10. Produksi tandan buah segar simulasi dan produksi aktual umur > 13 tahun

Keterangan: Perlakuan jumlah pelepah yang dipertahankan per periodenya A (41-48, 41-48, 41-48), B (41-48, 41-48, 49-56), C (41-48, 49-56, 49-56), D (49-56, 49-56, 49-56), E (49-56, 49-56, 42-48), dan F (49-56, 41-48, 41-48)

Page 55: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

234 Nope Gromikora, Sudirman Yahya, dan Suwarto

Umur tanaman PerlakuanPeubah

Bobot tandan rata-rata Produksi< 8 Tahun A (49-56, 49-56, 49-56) tn tn

B (49-56, 49-56, 57-64) tn tnC (49-56, 57-64, 57-64) * tnD (57-64, 57-64, 57-64) tn tnE (57-64, 57-64, 49-56) tn tnF (57-64, 49-56, 49-56) tn tn

8-13 Tahun A (41-48, 41-48, 41-48) tn tnB (41-48, 41-48, 49-56) * tnC (41-48, 49-56, 49-56) tn tnD (49-56, 49-56, 49-56) tn tnE (49-56, 49-56, 41-48) * *F(49-56, 41-48, 41-48) * tn

> 13 Tahun A (41-48, 41-48, 41-48) tn tnB (41-48, 41-48, 49-56) * tnC (41-48, 49-56, 49-56) * tnD (49-56, 49-56, 49-56) * tnE (49-56, 49-56, 41-48) * tnF(49-56, 41-48, 41-48) tn tn

Tingkat Ketepatan (%) 75

Keterangan: * = nyata, tn = tidak nyata berdasarkan uji T pada taraf 5%

Tabel 11. Ringkasan hasil validasi model pertumbuhan dan produksi kelapa sawit

Gambar 3. Produksi tandan buah segar rata-rata tanaman umur > 8 tahun berdasarkan data simulasi dan aktual dengan jumlah pelepah yang ditinggalkan sebanyak 49-56 untuk setiap periode (A)

Model mampu memprediksi 3 perlakuan aktual terbaik pada tanaman umur < 8 tahun yaitu pada pola penunasan 49-56, 49-56, 49-56 per periode, 49-56, 57-64, 57-64 per periode dan 57-64, 49-56, 49-56 per periode. Hasil model hanya mampu memprediksi 2 dari 3 produksi aktual tertinggi untuk tanaman umur 8-13 tahun dan > 13 tahun, dengan pola penunasan 41-48, 49-56, 49-56 per periode dan 49-56, 49-56, 41-48 per periode pada tanaman umur 8-13 tahun, serta pada tanaman umur > 13 tahun yaitu pada pola penunasan 41-48, 41-48, 41-48 per periode dan 41-48, 41-

48, 49-56 per periode. Hasil uji T menunjukkan simulasi model mampu memprediksi 15 dari 16 peubah produksi yang tidak berbeda nyata dengan produksi aktual.

Validasi Model

Hasil simulasi bobot tandan rata-rata dan produksi secara keseluruhan yang diperoleh divalidasi untuk melihat persentase ketepatannya. Model dikatakan baik, apabila nilai validitas yang diperoleh sama dengan atau lebih dari

Page 56: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 228 - 235 (2014)

235Permodelan Pertumbuhan dan.....

75%. Persentase ini diperoleh dengan menghitung peubah yang tidak berbeda nyata antara hasil simulasi dan aktual, dengan jumlah keseluruhan peubah yang ada. Hasil validasi model pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 11. Dari 36 peubah yang diuji, sebanyak 27 peubah menunjukkan hasil simulasi dan aktual tidak berbeda nyata. Hal ini berarti model yang disusun sudah mampu menjelaskan 75% dari peubah yang diuji sehingga model dapat dikatakan valid.

KESIMPULAN Pengaturan jumlah pelepah yang ditinggalkan per

periode mampu memberikan perbedaan hasil produksi kelapa sawit. Model simulasi yang dibangun pada beberapa taraf penunasan mampu memprediksi 75% (27 peubah dari 36 peubah) bobot tandan rata-rata dan produksi kelapa sawit dengan jumlah pelepah yang berbeda. Model simulasi yang dibangun dinilai valid untuk menduga produksi kelapa sawit pada berbagai taraf penunasan pada lokasi penelitian yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Awal, M.A., W.I.W. Ismail, M.H. Harun. 2005. Methodology and measurement of radiation interception by quantum sensor of the oil palm plantation. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27:1083-1093.

Basiron, Y. 2007. Palm oil production through sustainable plantations. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109:289-295.

Basiron, Y., K.W. Chan. 2004. The oil palm and its sustainability. J. Oil Palm Res. 16:1-10.

Breure, C.J. 2010. Rate of leaf expansion: a criterion for identifying oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) types suitable for planting at high densities. NJAS-Wageningen J. Life Sci. 57:141-147.

Handoko, I. 2005. Quantitative modeling of sistem dynamics for natural resources management. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Hardon, J.J., C.N. Williams, I. Watson. 1969. Leaf area and yield in the oil palm in Malaya. Expl. Agric. 5:25-32.

Henson, I.E. 2000. Modelling the effects of ‘haze’ on oil

palm productivity and yield. J. Oil Palm Res. 12:123-134.

Henson, I.E. 2004. Estimating maintenance respiration for oil palm. Oil Palm Bull. 48:1-10.

Henson, I.E., M.T. Dolmat. 2003. Physiological analysis of an oil palm density trial on a peat soil. J. Oil Palm Res. 15:1-27.

Ismail, Z., A. Khamis. 2011. Neural network in modeling Malaysian oil palm yield. Amer. J. Appl Sci. 8:796-803.

Kallarackal, J., P. Jeyakumar, S.J. George. 2004. Water use of irrigated oil palm at three different arid locations in peninsular India. J. Oil Palm Res. 16:45-53.

Lamade, E, S.I Eko, R. Purba, G. Simangunsong, S. Girard, G. Jaleh, M. Hill, G. Cornic. 2006. Application of carbon isotope discrimination on sugars and organic matter for identifying leaf rank physiological differences in sink-source metabolism for oil palm. International Oil Palm Conference, 19-23 Juni 2006. Nusa Dua-Bali.

Legros, S., I. Mialet-Sera, J-P. Caliman, F.A. Siregar, A. Celement-Vidal, D. Fabre, M. Dingkuhn. 2009a. Phenology and growth adjustment of oil palm (Elaeis guineensis) to photoperiod and climate variability. Ann. Bot. 104:1171-1182.

Legros, S., I. Mialet-Sera, J-P. Caliman, F.A. Siregar, A. Celement-Vidal, D. Fabre, M. Dingkuhn. 2009b. Phenology, growth and physiological adjustment of oil palm (Elaeis guineensis) to sink limitation induced by fruit pruning. Ann. Bot. 104:1183-1194.

Noor, M.R.M, M.H. Harun. 2004. The role of leaf area index (LAI) in oil palm. Oil Palm Bull. 48:11-14.

Okoye, M.N., C.O. Okwuagwu, M.I. Uguru. 2009. Population improvement for fresh fruit bunch yield and yield components in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). American-Eurasian J. Sci. Res. 4:59-63.

Okoye, M.N., C.O. Okwuagwu, M.I. Uguru, C.D. Ataga, K.P. Baiyeri. 2011. Modeling fresh fruit bunch yield stability in palm oil using different statistics. Int. J. Plant Breed. Genet. 5:379-387.

Razali, M.H., W.I.W. Ismail, A.R. Ramli, M.N. Sulaiman, M.H.B. Harun. 2011. Techniques on simulation for real time oil palm fruits maturity prediction. Afric. J. Agric. Res. 6:1823-1830.

Rosenfeld, E. 2009. Effect of pruning on the health of palms. Arboriculture & Urban Forestry 35:294-299.

Santosa, E., H. Sulistyo, I. Dharmawan. 2011. Peramalan produksi kelapa sawit menggunakan peubah agroteknologi di Kalimantan Selatan. J. Agron. Indonesia 39:189-193.

Squire, G.R. 1984. Light interception, productivity and yield of oil palm. PORIM Internal Rep., Kuala Lumpur.

Page 57: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

236 Linda Novita, Nadirman Haska, Memen Surahman, dan Yudiwanti Wahyu

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Morfo-Agronomi dan Seleksi Genotipe untuk Perbaikan Genetik Jarak Pagar

Genetic Parameters Estimation of Morpho-Agronomic Characters and Selection of Physic Nut Genotypes for Genetic Improvement

Linda Novita1*, Nadirman Haska1, Memen Surahman2, dan Yudiwanti Wahyu2

1Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologiGd 630 Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15313, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural Universtity), Jl Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 16 September 2013/Disetujui 10 April 2014

ABSTRACT

The recent scarcity of fuel has stimulated many efforts to remove dependence on petroleum oil by finding alternative sources of new and renewable energy. Jatropha curcas L. has been chosen as a source of biofuel that has an important role as a petroleum oil substitute, especially for producing biodiesel. Possible efforts for the development of Jatropha in Indonesia include exploration of Jatropha plants from various regions of Indonesia, introducing the plants from abroad and plant breeding. The purpose of this study was to study the genetic parameters of morpho-agronomic traits and selection of potential genotype for genetic improvement of Jatropha curcas. The experiment was conducted at the Biotech Center, BPPT from November 2011 to July 2012. The experiment was performed using a complete randomized block design with sixteen genotypes of J. curcas. Five plants were used for each genotype, with three replications. Results of this study showed that genetic diversity of the genotypes based on morpho-agronomic characters was relatively narrow, with genetic diversity coefficient ranged from 2.73% to 9.02%. The broad-sense heritability was high for all characters, ranged from 32.26% to 85.89%. None of morpho-agronomic characters observed in the 16 genotypes was directly correlated to productivity and seed oil content. Number of fruit and total seed number per bunch were the best characters for selection criteria to obtain high dry seed weight. Based on the bi-plot analysis on seed oil content and dry weight characters among the observed genotypes, LMP and CRP x PDI could be recommended as potential F1 parents to be used in constructing F2 population.

Keywords: biplot analysis, broad-sense heritability, genetic diversity coefficient

ABSTRAK

Kelangkaan bahan bakar minyak akhir-akhir ini menstimulir upaya untuk melepaskan ketergantungan terhadap minyak bumi dengan mencari sumber-sumber energi alternatif baru dan terbarukan. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dipilih sebagai salah satu sumber BBN yang mempunyai peranan penting sebagai pengganti minyak bumi terutama untuk memproduksi biodiesel. Upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan jarak pagar di Indonesia adalah melalui eksplorasi jarak pagar dari beberapa daerah di Indonesia, introduksi dari luar negeri dan pemuliaan tanaman. Penelitian ini bertujuan mempelajari parameter genetik karakter morfo-agronomi dan seleksi genotipe potensial untuk perbaikan genetik jarak pagar. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai dengan Juli 2012 di Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT. Materi genetik yang dipergunakan adalah 16 genotipe jarak pagar. Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap, masing-masing genotipe terdiri atas lima tanaman, dan diulang tiga kali. Dari hasil penelitian terhadap 16 genotipe jarak pagar diperoleh informasi bahwa keragaman genetik berdasarkan karakter morfo-agronomi tetua dan F1 jarak pagar relatif sempit, dengan kisaran koefisien keragaman genetik antara 2.73% sampai 9.02%. Nilai heritabilitas arti luas untuk semua karakter tinggi, dengan kisaran antara 32.26% sampai 85.89%. Pada penelitian ini, hasil pengamatan pada 16 genotipe jarak pagar menunjukkan tidak ada karakter morfo-agronomi yang berkorelasi langsung dengan produktivitas biji dan kadar minyak. Karakter-karakter yang dapat dipilih sebagai kriteria seleksi untuk memperoleh bobot biji kering total yang tinggi adalah karakter jumlah buah dan jumlah biji total per tandan. Berdasarkan hasil analisis biplot 16 genotipe jarak pagar terhadap dua karakter pengamatan (kadar minyak dan bobot biji kering), maka genotipe LMP dan CRPxPDI dapat direkomendasikan sebagai genotipe tetua F1 potensial untuk di serbuk-sendiri dalam rangka membentuk populasi F2.

Kata kunci: analisis biplot, heritabilitas arti luas, koefisien keragaman genetik

Page 58: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

237Pendugaan Parameter Genetik......

PENDAHULUAN

Kelangkaan bahan bakar minyak akhir-akhir ini menstimulir upaya untuk melepaskan ketergantungan terhadap minyak bumi dengan mencari sumber-sumber energi alternatif baru dan terbarukan. Faktanya, peningkatan kebutuhan minyak bumi berkorelasi dengan peningkatan pembangunan yang terjadi di Indonesia, sehingga usaha pencarian sumber energi alternatif pengganti minyak bumi merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan sekarang ini.

Pengembangan energi alternatif di Indonesia, salah satunya dilandasi oleh Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Peraturan ini menyebutkan diantaranya bahwa pemanfaatan biofuel ditargetkan mencapai 5% dari energi mix Indonesia di tahun 2025.

Salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan adalah bahan bakar nabati (BBN). Ariati et al. (2010) mengemukakan alasan yang mendasari pengembangan BBN adalah BBN merupakan sumber energi terbarukan, budidaya yang lebih mudah karena sudah teradaptasi dengan iklim tropis, dapat mengurangi penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, dan emisi BBN lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar dari minyak bumi.

Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai sumber BBN antara lain kelapa sawit, singkong, sorgum, jarak pagar dan kelapa (Ariati et al., 2010). Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dipilih sebagai salah satu sumber BBN yang mempunyai peranan penting sebagai pengganti minyak bumi terutama untuk memproduksi biodiesel (King et al., 2009), karena biji jarak memiliki kandungan minyak hingga 35% dengan asam oleat dan linoleat yang banyak sehingga sangat cocok digunakan sebagai biofuel (Forson et al., 2004; Mohibbe et al., 2005; King et al., 2009).

Jarak pagar potensial dikembangkan karena minyak dari tanaman ini tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan, cepat tumbuh, mudah dibudidayakan, toleran terhadap kekeringan, dan mudah beradaptasi pada kondisi lingkungan marginal (Ariati et al., 2010; Divakara et al.,

2010; Sharma et al., 2011). Sebagai bahan baku biofuel, produktivitas jarak pagar ditentukan oleh hasil minyak biji J. curcas yang dipengaruhi oleh hasil biji dan kandungan minyak (Wu et al., 2012).

Pengembangan jarak pagar sebagai bahan baku BBN, masih terkendala belum tersedianya varietas yang berproduksi tinggi (Hartati et al., 2009; Shuit et al., 2010; Ghosh dan Singh, 2011). Hal ini menyebabkan petani menjadi kurang tertarik untuk mengembangkan tanaman ini akibat keuntungan yang diperoleh masih rendah.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menunjang pengembangan jarak pagar di Indonesia adalah eksplorasi plasma nutfah jarak pagar dari beberapa daerah di Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 2005, introduksi dari luar negeri (Surahman et al., 2009), dan pemuliaan tanaman jarak. Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan potensi genetik tanaman sehingga didapatkan hasil yang lebih unggul dengan karakter yang diinginkan. Melalui program pemuliaan jarak pagar diharapkan dapat diperoleh beberapa kandidat genotipe potensial dengan kandungan kadar minyak dan produktivitas biji yang tinggi. Franco et al. (2001) menyatakan studi tentang ragam fenotipe dan ragam genetik penting untuk mengidentifikasi kelompok dengan latar belakang genetik yang sama untuk pelestarian, evaluasi dan pemanfaatan sumber daya genetik. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari parameter genetik karakter morfo-agronomi dan seleksi genotipe potensial yang berguna untuk perbaikan genetik jarak pagar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2011 hingga Juli 2012, bertempat di Pilot Plan Propagasi Tanaman dan Laboratorium Analitik, Balai Pengkajian Bioteknologi Puspiptek, Serpong.

Material Genetik

Material genetik yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 16 genotipe jarak pagar (tetua dan F1) (Tabel 1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan

No. Kode genotipe tetua Asal genotipe Kode genotipe F1 Keterangan silangan1 MDN Medan PDIxMDN Pidi x Medan2 KMR Komering PDIxLMP Pidi x Lampung3 IND Indralaya LMPxPDI Lampung x Pidi4 CRP Curup CRPxMDN Curup x Medan5 PDI Pidi CRPxPDI Curup x Pidi6 LMP Lampung INDxIND Indralaya x Indralaya7 JGY Yogyakarta LMPxLMP Lampung x Lampung

KMRxKMR Komering x KomeringPLGxPLG Palembang x Palembang

Tabel 1 Materi genetik tanaman tetua dan F1 jarak pagar

Sumber: Susantidiana (2011)

Page 59: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

238 Linda Novita, Nadirman Haska, Memen Surahman, dan Yudiwanti Wahyu

acak kelompok lengkap (RAKL) satu faktor yaitu genotipe dengan tiga ulangan, dan setiap satuan percobaan terdiri dari lima tanaman. Enam belas genotipe yang dipergunakan diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik ex vitro (Tajuddin et al., 2007).

Studi Karakter Morfo-Agronomis

Pengamatan karakter morfo-agronomi tanaman jarak pagar dilakukan dengan mengacu pada pedoman Deskriptor Tanaman Perkebunan untuk tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.) yang dimodifikasi untuk jarak pagar (Puslitbangbun, 2005). Karakter morfo-agronomi yang diamati adalah (1) karakter batang, meliputi: jumlah cabang produktif, tinggi tanaman (diukur dari bagian bawah batang hingga pangkal pucuk daun) dan diameter batang (diukur pada ketinggian 10 cm dari tanah), (2) karakter daun, meliputi: panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun, warna, bentuk dan tepi daun, tulang daun dan warna tulang daun, bentuk permukaan daun, warna dan lapisan lilin tangkai daun (diamati pada daun ke-10, setelah tanaman berbunga), (3) karakter buah, meliputi: jumlah buah per tandan, diameter, panjang dan tebal daging (diamati pada 3 buah per genotipe dari tandan 1), (4) biji, meliputi jumlah biji per buah, diameter dan panjang biji, bobot basah dan bobot biji kering per tandan (diamati pada 3 buah per genotipe dari tandan 1) dan (5) kadar lemak menggunakan metode ekstraksi soxhlet (SNI 01-2891-1992).

Analisis Data

Data kuantitatif dianalisis dengan uji F menggunakan program SAS 9.1 untuk analisis ragam (ANOVA), pada taraf pengujian α 1% dan 5%. Hasil ANOVA selanjutnya digunakan untuk analisis parameter genetik, yaitu heritabilitas arti luas (h2

bs) dan koefisien keragaman genetik (KKG) yang diduga melalui analisis komponen ragam. Pendugaan komponen ragam genetik dilakukan menurut Singh dan Chaudhary (1979): σ2

e = KTe / r σ2

g = (KTg - KTe) / r h2bs = (σ2

g / σ2p) x 100%

σ2p = σ2

g + σ2e

dimana: σ2

e= ragam lingkungan; σ2g= ragam genotipe; σ2

p= ragam fenotipe; KTg = kuadrat tengah genotipe; KTe = kuadrat tengah error; r = ulangan; x = nilai tengah populasi; KKG = koefisien keragaman genetik; h2

bs= heritabilitas arti luas. Kriteria KKG yang dipergunakan adalah seperti

yang digunakan oleh Alnopri (2004), yaitu: kriteria sempit (0<X<10%), kriteria sedang (10%≤ X ≤ 20%) dan kriteria luas (X>20%), sedangkan kriteria heritabilitas berdasarkan Stansfield (1983) dikelompokkan sebagai berikut: kriteria rendah (0<X≤20%), kriteria sedang (20%<X≤50%) dan kriteria tinggi (50%< X≤100%).

Analisis korelasi digunakan untuk menduga keeratan antar karakter agronomi. Hubungan antar karakter agronomi diestimasi menggunakan formula:

dimana: = korelasi antara karakter x dan y; Covxy = peragam antara karakter x dan y; σ2

x = ragam populasi untuk karakter x; σ2y

= ragam populasi untuk karakter y

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Morfo-agronomi 16 Genotipe Jarak Pagar

Informasi mengenai karakter morfo-agronomi pada 16 genotipe jarak dalam program pemuliaan dapat membantu mengidentifikasi genotipe-genotipe unggul atau potensial yang memiliki produksi biji dan kandungan minyak yang lebih baik (Shabanimofrada et al., 2013).

Berdasarkan hasil pengamatan, karakter kualitatif daun 16 genotipe jarak pagar memiliki keragaan yang relatif sama antara satu dengan yang lain (data tidak ditampilkan), yaitu memiliki warna daun hijau, tepi daun rata, tulang daun kaku, warna tulang daun hijau kekuningan, permukaan daun bergelombang dan tidak memiliki lapisan lilin. Karakter kualitatif daun yang menunjukkan keragaman adalah bentuk daun. Bentuk daun yang diamati berlekuk dangkal hingga sedang. Genotipe IND, JGY, KMR, LMP, LMPxPDI, CRPxPDI, dan LMPxLMP memiliki bentuk daun berlekuk sedang dan genotipe PDI, CRP, MDN, CRPxMDN, PDIxMDN, PDIxLMP, KMRxKMR, PLGxPLG, INDxIND memiliki bentuk daun berlekuk dangkal hingga sedang. Hasil pengamatan ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Susantidiana (2011) dan Surahman et al. (2009) terhadap karakter daun.

Hasil sidik ragam untuk 18 karakter kuantitatif menunjukkan terdapat 13 karakter morfo-agronomi yang dipengaruhi secara signifikan oleh genotipe (Tabel 2). Delapan belas karakter morfo-agronomi tersebut akan dianalisis lebih lanjut nilai keragaman genetiknya.

Pendugaan Ragam Genetik dan Heritabilitas berdasarkan Analisis Univariate

Salah satu kunci penentu keberhasilan perbaikan

genetik karakter harapan yaitu adanya keragaman genetik yang luas pada karakter-karakter tersebut dan diwariskan dengan nilai heritabilitas yang tinggi. Heritabilitas arti luas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam. Ragam fenotipe dan ragam genetik diantara genotipe jarak telah dilaporkan oleh beberapa peneliti untuk beberapa karakter dalam populasi yang berbeda (Ginwal et al. 2005; Kaushik et al. 2007; Rao et al. 2008).

Berdasarkan nilai KKG 16 genotipe jarak pagar (tetua dan F1), 18 karakter yang diamati memiliki keragaman genetik yang sempit sampai luas, dengan kisaran nilai 1.10-27.04% (Tabel 3). Tiga belas karakter memiliki keragaman genetik yang sempit (1.10-9.98%), empat karakter memiliki keragaman genetik yang sedang (12.05-16.15%), dan satu

2y

2x

xy σ σ

Cov = r̂ xy

KKG = [ ( σ2g

) / x ] x 100%

r̂xy

Page 60: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

239Pendugaan Parameter Genetik......

Karakter Nilai tengah F-hitung Pr>FJumlah cabang produktif 1.03 2.30* 0.026Tinggi tanaman (cm) 40.46 1.18 0.337Diameter batang (cm) 1.30 1.35 0.237Panjang daun (cm) 11.44 2.65* 0.011Lebar daun (cm) 12.02 3.2** 0.003Panjang tangkai daun (cm) 13.63 2.37* 0.022Jumlah buah jadi per tandan 7.85 2.07* 0.048Bobot per buah (g) 10.46 1.55 0.155Diameter buah (cm) 2.63 1.69 0.114Panjang buah (cm) 3.07 2.96** 0.007Jumlah biji per buah 2.74 2.75* 0.011Diameter biji (cm) 1.09 1.48 0.184Panjang biji (cm) 1.97 2.85** 0.009Bobot per biji basah (g) 1.07 2.66* 0.013Bobot per biji kering (g) 0.65 7.09** <.0001Jumlah biji total per tandan 17.98 4.39** 0.000Bobot biji kering total per tandan (g) 12.16 3.38** 0.003Kadar minyak (%) 44.70 3.28* 0.014

Tabel 2. Nilai tengah dan F hitung karakter morfo-agronomi 16 genotipe jarak pagar

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf α = 1%; ** = berpengaruh nyata pada taraf α = 5%

Karakter x σ2g σ2

p σ2e KKG Kriteria h²bs Kriteria

Jumlah cabang produktif 1.03 0.00 0.01 0.00 5.02 sempit 56.47 tinggiTinggi tanaman (cm) 40.46 4.05 26.47 8.82 4.97 sempit 15.30 rendahDiameter batang (cm) 1.30 0.00 0.01 0.00 4.41 sempit 25.68 sedangPanjang daun (cm) 11.44 0.61 0.96 0.33 6.81 sempit 62.24 tinggiLebar daun (cm) 12.02 0.42 0.62 0.21 5.42 sempit 68.71 tinggiPanjang tangkai daun (cm) 13.63 1.513 2.62 0.87 9.02 sempit 57.77 tinggiJumlah buah per tandan 7.85 1.61 3.11 1.04 16.15 sedang 51.72 tinggiBobot per buah (g) 10.46 1.09 3.06 1.02 9.98 sempit 35.61 tinggiDiameter buah (cm) 2.63 0.01 0.02 0.01 3.49 sempit 40.90 tinggiPanjang buah (cm) 3.07 0.02 0.03 0.01 4.20 sempit 66.25 tinggiJumlah biji per buah 2.74 0.06 0.09 0.03 8.76 sempit 63.59 tinggiDiameter biji (cm) 1.09 0.00 0.00 0.00 1.10 sempit 32.26 sedangPanjang biji (cm) 1.97 0.00 0.00 0.00 2.73 sempit 64.89 tinggiBobot per biji basah (g) 1.07 0.00 0.00 0.00 6.25 sempit 62.38 tinggiBobot per biji kering (g) 0.65 0.01 0.01 0.00 12.05 sedang 85.89 tinggiJumlah biji total per tandan 17.98 23.63 30.59 10.20 27.04 luas 77.25 tinggiBobot biji kering total per tandan (g) 12.16 7.56 10.74 3.58 22.61 sedang 70.40 tinggiKadar minyak (%) 13.16 4.10 5.90 1.97 15.38 sedang 69.48 tinggi

Tabel 3. Nilai duga parameter genetik karakter morfo-agronomi 16 genotipe jarak pagar

Keterangan: x = nilai tengah; σ2g = ragam genetik; σ2

p= ragam fenotipe; σ2e = ragam lingkungan; KKG = koefisien keragaman genetik (%);

h²bs (%) = heritabilitas arti luas

Page 61: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

240 Linda Novita, Nadirman Haska, Memen Surahman, dan Yudiwanti Wahyu

karakter memiliki keragaman genetik yang luas (27.04%). Sempitnya kisaran nilai KKG tiga belas karakter yang diperoleh (1.10-9.98%) memberi indikasi kekerabatan genotipe-genotipe tersebut sangat dekat. Kemungkinan besar, genotipe-genotipe tersebut berasal dari ancestor yang sama.

Nilai duga heritabilitas terhadap karakter-karakter yang diamati berkisar antara 15.30-85.89%. Berdasarkan nilai heritabilitasnya, 15 karakter diduga diwariskan dengan nilai duga heritabilitas yang tinggi (32.26-85.89%), dua karakter diwariskan dengan nilai duga heritabilitas yang sedang (25.69-32.26%), dan satu karakter diwariskan dengan nilai duga heritabilitas yang rendah (15.30%). Menurut Wicaksana (2001) karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan terhadap karakter yang ditampilkan tanaman karena faktor genetiknya memberi sumbangan yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lingkungan. Berdasarkan informasi dugaan keragaman genetik 18 karakter dan nilai heritabilitasnya, seleksi dapat dilakukan berdasarkan karakter jumlah biji total per tandan dan karakter kadar minyak.

Pendugaan Ragam Genetik Berdasarkan Analisis Multivariate

Nilai koefisien kemiripan 16 genotipe (tetua dan F1)

jarak pagar menggunakan pendekatan multivariate berkisar dari 0.97-1.00, yang artinya memiliki kemiripan 97-100% (Gambar 1). Pada koefisien kemiripan 0.98 dapat dibentuk tiga kelompok utama. Kelompok pertama terdiri atas dua

genotipe yaitu IND dan KMRxKMR, kelompok kedua terdiri atas sebelas genotipe yaitu PDI, CRP, PDIxMDN, LMPxLMP, CRPxPDI, KMR, CRPxMDN, (LMP, PLGxPLG, PDIxLMP, INDxIND dan kelompok ketiga terdiri atas tiga genotipe yaitu JGY, MDN, LMPxPDI

Dendrogram yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar genotipe jarak pagar yang dipakai dalam penelitian ini berada pada kelompok dua, dengan tanaman F1 (PDIxMDN) dan (LMPxLMP) memiliki tingkat kemiripan 100%. Tingginya koefisien kemiripan antar genotipe yang diamati sejalan dengan hasil analisis koefisien keragaman genetik yang telah diperoleh. Karena jarak pagar adalah tanaman yang menyerbuk silang, maka akan besar peluang terjadinya genotipe tetua dan F1 selfingnya dapat berada pada kelompok yang berbeda, seperti terlihat pada genotipe IND (kelompok I) dan genotipe INDxIND (kelompok II). (Gambar 1). Hal ini diduga akibat adanya segregasi pada turunan dari tetua yang heterozigot (Falconer dan Mackay, 1996).

Korelasi Antar Karakter Seleksi pada karakter-karakter harapan dapat

dilakukan menggunakan dua pendekatan yaitu (1) seleksi langsung menggunakan karakter target seleksi; (2) seleksi tidak langsung menggunakan karakter sekunder. Keeratan hubungan antar karakter tanaman dianalisis menggunakan analisis korelasi. Karakter tersebut harus mudah diamati, cepat, murah dan tidak bersifat destruktif (Misnen et al. 2012). Penelitian yang dilakukan Kaushik et al. (2007) menunjukkan bahwa bobot biji jarak memiliki korelasi

Gambar 1. Dendrogram 16 genotipe (tetua dan F1) jarak pagar hasil analisis klaster berdasarkan karakter morfo-agronomi

Page 62: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

241Pendugaan Parameter Genetik......

positif dengan kandungan minyak. Pada penelitian ini, tidak terlihat adanya korelasi antara bobot biji dan kadar minyak (Tabel 4).

Karakter jumlah buah (r = 0.78*) berkorelasi positif sangat nyata dengan jumlah biji total per tandan dan dengan bobot total biji kering per tandan (r = 0.82*). Karakter panjang buah (r = 0.91*) berkorelasi positif sangat nyata dengan bobot per biji basah dan bobot per biji kering (r = 0.54*). Karakter bobot per biji basah (r = 0.50*) berkorelasi nyata dengan bobot per biji kering dan jumlah biji total per tandan tetapi dengan arah yang berlawanan (r = -0.7*), artinya penambahan bobot biji tidak diikuti oleh penambahan jumlah biji total per tandan. Karakter jumlah biji total per tandan (r = 0.88*) berkorelasi positif sangat nyata dengan karakter bobot total biji kering per tandan. Akan tetapi, karakter jumlah cabang produktif berkorelasi nyata dengan arah negatif kadar minyak (r = -0.52*), dan lebar daun (r = -0.54*). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan jumlah cabang dan penambahan lebar daun menurunkan nilai kadar lemaknya, sedangkan panjang buah (r = 0.54*) berkorelasi positif dengan kadar minyak. Berdasarkan data yang diperoleh, karakter yang dapat digunakan untuk perbaikan bobot total biji kering per tandan adalah jumlah buah dan jumlah biji total per tandan.

Seleksi Genotipe Tetua Berdasarkan Kadar Minyak dan Bobot Total Biji Kering Menggunakan Analisis Komponen Utama

Untuk mempelajari kemiripan enam belas genotipe yang diuji, seluruh karakter yang diamati direduksi

menggunakan analisis komponen utama (AKU). Tujuan dari AKU adalah mengelompokkan genotipe yang diamati dengan cara mereduksi peubah pengamatan yang cukup banyak menjadi beberapa komponen utama yang berdimensi lebih kecil dan saling bebas (Mattjik dan Sumertajaya, 2011). Berdasarkan hasil analisis biplot dapat diperoleh informasi kedekatan antar objek yang diamati, keragaman peubah, korelasi antar peubah dan nilai peubah pada suatu objek.

Berdasarkan hasil analisis biplot, karakter jumlah cabang produktif memiliki keragaman yang paling kecil. Genotipe MDN, LMP, CRPxPDI dan LMPxPDI memiliki tingkat kemiripan yang kuat untuk karakter tinggi tanaman, diameter batang dan kadar lemak daripada genotipe yang lainnya (Gambar 2).

Karakter bobot biji kering dan kadar minyak adalah dua karakter penting dalam pemuliaan jarak pagar. Berdasarkan analisis biplot terhadap dua karakter pengamatan (kadar minyak dan bobot biji kering), maka keenambelas genotipe jarak pagar dikelompokkan menjadi empat grup yaitu: (1) memiliki bobot biji kering tinggi dan kadar minyak rendah (PLGxPLG, CRPxMDN, CRP, PDIxLMP, INDxIND), (2) memiliki bobot biji kering tinggi dan kadar minyak tinggi (LMP, CRPxPDI), (3) memiliki bobot biji kering rendah dan kadar minyak rendah (IND, KMRxKMR, KMR, PDI, LMPxPDI) dan (4) memiliki bobot biji kering rendah dan kadar minyak tinggi (MDN, JGY, PDIxMDN, LMPxLMP) (Gambar 3). Berdasarkan pengelompokan genotipe tersebut, maka genotipe LMP dan CRPxPDI dapat direkomendasikan sebagai genotipe terpilih untuk diteliti lebih lanjut.

PD LD PTD PBU JB PBI BB BK JBT BKT KMJCP 0.16 0.38 0.54* -0.39 -0.03 -0.21 -0.22 -0.14 -0.04 -0.02 -0.52*

PD 0.70** 0.19 0.01 -0.10 0.43 0.44 -0.10 -0.25 -0.20 -0.11LD 0.65** -0.26 -0.27 0.327 0.50* -0.01 -0.48 -0.47 -0.54*

PTD -0.28 -0.23 0.208 0.31 0.14 -0.49 -0.52* -0.50PBU -0.23 0.434 0.36 0.16 -0.25 -0.10 0.54*

JB -0.14 -0.36 -0.11 0.78** 0.82** 0.28PBI 0.91** 0.54* -0.47 -0.23 0.20BB 0.50* -0.7** -0.42 0.03BK -0.43 -0.09 0.29JBT 0.88** 0.13BKT 0.29

Tabel 4. Koefisien korelasi antar karakter vegetatif dan komponen hasil 16 genotipe jarak pagar

Keterangan: * nyata pada tingkat α = 5% dan ** sangat nyata pada tingkat α = 1%; JCP = jumlah cabang produktif; PD = panjang daun; LD = lebar daun; PTD = panjang tangkai daun; PBU = panjang buah; JB = jumlah buah; PBI = panjang biji; BB = bobot per biji basah; BK = bobot per biji kering; JBT = jumlah biji total per tandan; BKT = bobot total biji kering per tandan; KM = kadar minyak

Page 63: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

242 Linda Novita, Nadirman Haska, Memen Surahman, dan Yudiwanti Wahyu

KESIMPULAN Secara umum keragaan karakter kualitatif daun 16

genotipe tetua dan F1 yang diamati relatif sama kecuali untuk karakter bentuk daun yang memiliki lekuk daun dari dangkal hingga sedang. Nilai KKG ke16 genotipe jarak pagar relatif sempit dengan kisaran antara 2.726% hingga 9.024%, sementara nilai heritabilitas arti luas untuk semua karakter tinggi, dengan kisaran antara 32.259% hingga 85.88%. Tidak ada karakter morfo-agronomi yang berkorelasi langsung dengan produktivitas biji dan kadar minyak. Karakter yang dapat dipilih melalui pendekatan bobot biji kering total, yaitu karakter jumlah buah dan jumlah biji total per tandan. Berdasarkan hasil analisis biplot 16 genotipe tetua dan F1 jarak pagar terhadap karakter kadar minyak dan bobot biji kering, maka genotipe LMP dan CRPxPDI dapat direkomendasikan sebagai genotipe tetua

F1 potensial untuk dilakukan penyerbukan sendiri dalam rangka membentuk populasi F2.

DAFTAR PUSTAKA

Alnopri. 2004. Variabilitas genetik dan heretabilitas sifat-sifat pertumbuhan bibit tujuh genotipe kopi Robusta-Arabika. J. Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 6:91-96.

Ariati, M.R., D. Kusdiana, P. Dewi. 2010. Kebijakan pemerintah dalam mendukung pengembangan jarak pagar sebagai sumber energi alternatif BBN. hal. 1-6. Dalam R.D. Purwati, D. Soetopo, T. Yulianti, Djumali, B. Hariyono, N. Asbani, J. Hartono, S. Tirtosuprobo (Eds.). Prosiding Lokakarya Nasional V Inovasi Teknologi dan Cluster Pioneer Menuju DME Berbasis Jarak Pagar. Malang 4 November 2009.

Gambar 2. Analisis biplot enam belas genotipe jarak pagar terhadap sembilan belas karakter pengamatan: (1) IND, (2) PDI, (3) JGY, (4) CRP, (5) KMR, (6) MDN, (7) LMP, (8) CRPxMDN, (9) LMPxPDI, (10) PDIxMDN, (11) PDIxLMP, (12) CRPxPDI, (13) KM-RxKMR, (14) PLGxPLG, (15) LMPxLMP, (16) INDxIND

Gambar 3. Analisis biplot enam belas genotipe jarak pagar terhadap dua karakter (kadar minyak dan bobot biji kering)

Page 64: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 236 - 243 (2014)

243Pendugaan Parameter Genetik......

Divakara, B., H. Upadhyaya, S. Wani, C. Gowda. 2010 Biology and genetic improvement of Jatropha curcas L.: A review. Appl. Energ. 87:732-742.

Falconer, D.S., T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics 4th ed. Harlow, UK : Adison-Wesley Longman. Forson, F.K., E.K. Oduro, E. Hammond-Donkoh. 2004. Performance of jatropha oil blends in a diesel engine. Renewable Energy 29:1135-1145.

Franco, J., J. Crossa, J. Ribaut, J. Bertran, M. Warburton, M. Khairallah. 2001. A method for combining molecular markers and phenotypic attributes for classifying plant genotypes. Theoretical Applied Genetics 103:944-952.

Ginwal, H., S. Phartyal, P. Rawat, R. Srivastava. 2005. Seed source variation in morphology, germination and seedling growth of Jatropha curcas Linn. in central India. Silvae Genet. 54:76-79.

Ghosh, L., L. Singh, 2011. Variation in seed and seedling characters of Jatropha curcas L with varying zones and provenances. Trop. Ecol. 52:113-122.

Hartati, R.S., A. Setiawan, B. Heliyanto, D. Pranowo, Sudarsono. 2009. Keragaan morfologi dan hasil 60 individu jarak pagar (Jatropha curcas L.) terpilih di kebun percobaan Pakuwon Sukabumi. J. Littri 15:152-161.

Kaushik, N., K. Kumar, S. Kumar, N. Kaushikb, S. Roy. 2007. Genetic variability and divergence studies in seed traits and oil content of Jatropha (Jatropha curcas L.) accessions. Biomass Bioenerg. 31:497-502.

King, A.J., W. He, J.A. Cuevas, M. Freudenberger, D. Ramiaramanana, I.A. Graham. 2009. Potential of Jatropha curcas as a source of renewable oil and animal feed. J. Exp. Bot. 60:2897-2905.

Mattjik, A.A., M. Sumertajaya. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Departemen Statistika FMIPA-IPB, Bogor.

Misnen, E.R. Palupi, M. Syukur, Yudiwanti. 2012. Penapisan genotipe jarak pagar (Jatropha curcas L.) untuk toleransi terhadap kekeringan. J. Agron. Indonesia 40:232-238.

Mohibbe, A.M., W. Amtul, N.M. Nahar. 2005. Prospects and potential of fatty acid methyl esters of some non-traditional seed oils for use as biodiesel in India. Biomass Bioenerg. 29:293-302.

[Puslitbangbun] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2005. Buku Deskriptor Tanaman

Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

Rao, G., G. Korwar, A.K. Shanker, Y. Ramakrishna. 2008. Genetic associations, variability and diversity in seed characters, growth, reproductive phenology and yield in Jatropha curcas (L.) accessions. Trees-Struct. Funct. 22:697-709.

Shabanimofrada, M., M.Y. Rafii, P.E. M. Wahab, A.R. Biabani, M.A. Latif. 2013. Phenotypic, genotypic and genetic divergence found in 48 newly collected Malaysian accessions of Jatropha curcas L. Ind. Crop. Prod. 42:543-551.

Sharma, S., N. Kumar, M.P. Reddy. 2011 Regeneration in Jatropha curcas: Factors affecting the efficiency of in vitro regeneration. Ind. Crop. Prod. 34:943-951.

Shuit, S., K. Lee, A. Kamaruddin, S. Yusup. 2010. Reactive extraction and in situ esterification of Jatropha curcas L seeds for the production of biodiesel. Fuel 89:527-530.

Singh, R.K., B.D. Chaudary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publishers, Ludhiana-New Delhi.

Stansfield, W.D. 1983. Theory and Problems of Genetics. Ed ke-2. Schaums Outline Series, Mc Grew-Hill Inc.

Surahman, M., E. Santoso, F.N. Nisya. 2009. Karakterisasi dan analisis gerombol plasma nutfah jarak pagar Indonesia dan beberapa negara lain menggunakan marka morfologi dan molekuler. J. Agron. Indonesia 37:256-264.

Susantidiana. 2011. Keragaman genetik, persilangan, evaluasi, dan upaya peningkatan progeny tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Tajuddin, T., Minaldi, L. Novita, N. Haska. 2007. Penyediaan bibit tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan metode ex vitro. hal. 135-142. Dalam E. Karmawati, A. Wahyudi, D.S. Effendi, I.N. Maya, Sumanto, Yusniarti, Mukhasim (Eds.). Prosiding Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Bogor, 29 November 2006.

Wicaksana, N. 2001. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 16 genotipe kentang pada lahan sawah. Zuriat 12:15-20.

Wu, J., S. Gao, L. Tang, P. Hou, J.H. Gao, F. Chen. 2012. The traits, oil content and correlation studies of seed and kernel in Jatropha curcas L. Afr. J. Agric. Res. 7:1487-1491.

Page 65: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

244

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Bambang Budi Santoso, I Wayan Sudika, I Komang Damar Jaya, dan I Gusti Putu Muliarta Aryana

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Hasil Biji dan Kadar Minyak Jarak Kepyar Lokal Beaq Amor (Ricinus communis L.) pada Berbagai Umur Pemangkasan Batang Utama

Seed Yield and Oil Content of Beaq Amor Local Variety of Castor (Ricinus communis L.) after Stem Pruning at Different Times

Bambang Budi Santoso*, I Wayan Sudika, I Komang Damar Jaya, dan I Gusti Putu Muliarta Aryana

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas MataramJl. Majapahit No. 62 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Diterima 21 Agustus 2013/Disetujui 10 April 2014

ABSTRACT

Successful castor (Ricinus communis L.) cropping depends on the reliability of production technique. Branching is a useful agronomic trait because infloresence developed at each branch’s terminal. Pruning is considered as an important technique for branching stimulation. This study attempted to elucidate the effect of main stem pruning on the yield of Beaq Amor local variety of castor (Ricinus communis L.) with short cultivation system. The experiment was conducted on dry land area of Amor-Amor, North Lombok, West Nusa Tenggara during February-July 2011 and was arranged in a single-factor randomized complete block design with three replications. The treatments were four types of pruning (i.e. no pruning, main stem pruning at 30 days after planting, 45 days after planting, and 60 days after planting). The results showed that the effect of pruning was significant on dry seed yield and was not significant on kernel oil content. Pruning at 30 days old and 45 days old plant yielded in the highest dry seed weight (374.9-387.8 g tree-1 or 943.0-974.3 kg ha-1) with oil content of 62.2%.

Keywords: branching, canopy, dry seed, Ricinus communis L.

ABSTRAK

Keberhasilan budidaya tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.) tergantung pada ketersediaan teknologi produksi. Percabangan tanaman merupakan sifat agronomi penting karena rangkaian bunga terbentuk pada ujung setiap percabangan. Pemangkasan untuk merangsang terbentuknya percabangan sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh saat pemangkasan batang utama terhadap hasil biji jarak kepyar (Ricinus communis L.) jenis lokal Beaq Amor pada sistim budidaya singkat. Penelitian dilakukan di lahan kering di Kawasan Amor-Amor, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat pada bulan Februari sampai dengan Juli 2011. Percobaan dirancang menurut rancangan acak kelompok faktor tunggal dengan empat perlakuan pemangkasan (tanpa pemangkasan, pemangkasan batang utama tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST), pada 45 HST, dan pada 60 HST) yang diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pemangkasan batang utama berpengaruh nyata pada hasil biji namun tidak berpengaruh nyata pada kadar minyak kernel. Pemangkasan pada saat 30 HST dan 45 HST merupakan pemangkasan terbaik dan memberikan hasil biji kering sebesar 374.9-387.8 g tanaman-1 atau 943.0-974.3 kg ha-1 dengan kadar minyak 62.2%.

Kata kunci: biji kering, jarak kepyar (Ricinus communis L.), percabangan, tajuk

PENDAHULUAN

Jarak kepyar (Ricinus communis L.) adalah tanaman sumber minyak nabati dari famili Euphorbiaceae yang dapat tumbuh dan berkembang baik pada lahan kering dan marginal. Saat ini jarak kepyar semakin populer karena tuntutan pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak dan pelaksanaan program pembangunan bersih. Selain sebagai penghasil biodisel, minyak jarak kepyar (castor oil)

juga merupakan sumber bahan kimia industri terbarukan (Baldwin and Cossarb, 2009; Mutlu and Meier, 2010) dan bermanfaat baik dalam merespon peningkatan kadar CO2 di udara dengan meningkatkan laju pertumbuhan dan hasilnya (Vanaya et al., 2008).

Pembungaan jarak kepyar sama seperti pembungaan jarak pagar yaitu terjadi secara terminal. Jumlah percabangan yang terbentuk mempengaruhi produktivitas jarak pagar (Ratree, 2004) maupun jarak kepyar (Sujatha et al., 2008) dan pembentukannya dapat dirangsang melalui pemangkasan (Ryugo, 1988). Pemangkasan atau pruning diartikan sebagai pemotongan bagian-bagian tanaman yang tidak dikehendaki, terutama percabangan, dengan harapan

Page 66: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

245

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Hasil Biji dan Kadar Minyak......

nantinya tanaman tersebut akan tumbuh dan berkembang membentuk kanopi yang lebih baik dalam mendukung produksi tanaman. Percabangan pada jarak kepyar diharapkan dapat menyangga malai sebanyak mungkin yang tumbuh dan berkembang pada setiap ujung bercabangan yang terbentuk tersebut sehingga produktivitas meningkat.

Jumlah cabang primer dan sekunder merupakan karakter agronomi yang memiliki korelasi positif dengan hasil biji jarak kepyar per tanaman (Ramu et al., 2005). Pemangkasan cabang yang tumbuh dan berkembang pada ketinggioan 30-60 cm dari pangkal batang utama dapat mengurangi dan juga meningkatkan jumlah percabangan, tetapi umumnya menurunkan hasil (Khan, 1973). Pemangkasan seluruh cabang lateral pada jarak kepyar jenis India dilaporkan meningkatkan hasil hingga 30% demikian pula dengan pengaturan indeks luas daun melalui pengaturan jarak tanam berpengaruh terhadap peningkatan hasil (Patel et al., 1991), sedangkan pemangkasan empat cabang lateral teratas meningkatkan hasil biji pada malai utama (Nabizadeh et al., 2011).

Saat ini usaha budidaya jarak kepyar di Indonesia memiliki bahan tanaman bervariasi yaitu dari jenis lokal hingga hibrida yang didatangkan dari Cina maupun India, dan dari tipe genjah hingga tahunan. Aspek penerapan teknologi budidaya juga bervariasi dari yang tradisional hingga penerapan teknologi modern. Dilaporkan oleh Adeyanju et al. (2011) bahwa jenis lokal biasanya berumur dalam (tahunan), namun dapat diusahakan juga sebagai tanaman semusim bergantung pada tingkat intensitas budidayanya.

Penelitian dalam usaha peningkatan hasil melalui pemangkasan sudah cukup banyak dilakukan di negara-negara produsen jarak kepyar, namun informasi pengaruh pemangkasan terhadap hasil jarak kepyar pada kondisi kawasan lahan kering di Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya, belum tersedia memadai. Beaq Amor adalah salah satu jarak kepyar lokal NTB yang memiliki kandungan minyak biji tinggi dan daya adaptasi cukup luas di wilayah NTB (Santoso dan Nurrachman, 2012).

Pada sisi lain, sehubungan dengan langkanya jenis-jenis unggul jarak kepyar yang dilepas pemerintah Indonesia padahal tanaman ini memiliki nilai ekonomis cukup tinggi khususnya bagi masyarakat petani di lahan kering serta mudahnya penerapan teknologi budidaya, maka penanaman jarak kepyar lokal Nusa Tenggara Barat-Beaq Amor- yang memiliki sifat periode tumbuh tipe tengahan, dengan pemangkasan diharapkan dapat meningkatkan perolehan hasil biji. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh saat pemangkasan batang utama jarak kepyar lokal Beaq Amor terhadap hasil biji dan kadar minyak biji.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan pada kawasan lahan kering di Dusun Amor-Amor, Desa Gumantar daerah Kabupaten Lombok Utara, NTB (25-75 m dpl) pada bulan Februari sampai dengan Juli 2011. Penelitian dilakukan hingga

tanaman berumur 6 bulan sejak tanam atau budidaya singkat dari jenis jarak kepyar tipe tengahan, yaitu pemanenan dilakukan hanya sampai malai pada percabangan sekunder saja.

Pengujian potensi hasil sebagai respon pemangkasan diatur dalam empat perlakuan, yaitu 1) tanpa pemangkasan, 2) pemangkasan saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST), 3) pemangkasan saat tanaman berumur 45 HST, dan 4) pemangkasan saat tanaman berumur 60 HST. Percobaan didesain menurut Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan masing-masing ulangan berupa petak berukuran 16 m x 24 m (terdiri atas 48 tanaman berjarak tanam 2 m x 2 m).

Bahan tanaman (biji) diperoleh dari pertanaman/tegakan jarak kepyar genotipe lokal, yaitu Beaq Amor yang ditanam di sekitar lokasi percobaan. Biji diperoleh dengan memanen malai yang 75% kapsulnya telah masak (mengering), dan kemudian dikeringanginkan selama satu hari dan dikupas untuk diambil bijinya. Biji-biji dikeringanginkan selama dua hari dan kemudian siap digunakan dalam penelitian.

Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, penyiangan gulma, dan pemangkasan. Pupuk dasar diberikan saat penanaman yaitu pupuk kandang 2,500 kg ha-1 setara dengan 1 kg tanaman-1 dan pupuk majemuk Phonska 15-15-15 sebanyak 300 kg ha-1 setara dengan 120 g tanaman-1. Pemupukan susulan dilakukan saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan Phonska 15-15-15 sebanyak 120 g tanaman-1.

Pemangkasan dilakukan dengan memotong pucuk batang utama pada posisi buku (duduk daun) keempat atau sekitar 20-25 cm dari atas pucuk apikal. Pemangkasan dilakukan pada pagi hari yang disesuaikan dengan umur pemangkasan masing-masing perlakuan.

Penyiangan dilakukan melingkar radius 1 m dari tanaman. Pengairan dilakukan teratur setiap seminggu sekali selama satu bulan pertama setelah penanaman, dan selanjutnya mengandalkan curah hujan.

Peubah yang diamati meliputi jumlah daun, umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang malai, bobot kering 100 biji, bobot kering biji panenan, dan kandungan minyak biji. Analisis ragam terhadap data dilakukan untuk melihat pengaruh pemangkasan, dan jika ada beda nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD) pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program Minitab-14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemangkasan batang utama pada jarak kepyar jenis lokal Beaq Amor berpengaruh nyata terhadap hasil biji, jumlah cabang primer, dan cabang sekunder, namun tidak berpengaruh terhadap kandungan minyak.

Pemangkasan yang dilakukan menyebabkan keragaan tanaman penelitian berbeda satu sama lainnya. Tinggi tanaman saat dilakukan pemangkasan pada 30 HST sekitar 30-35 cm, sedangkan tinggi tanaman yang dipangkas 45 HST sekitar 50-55 cm dan tinggi tanaman sekitar 75-80 cm pada tanaman yang dipangkas saat 60 HST. Demikian pula halnya

Page 67: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

246

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Bambang Budi Santoso, I Wayan Sudika, I Komang Damar Jaya, dan I Gusti Putu Muliarta Aryana

dengan jumlah daun di antara tanaman juga berbeda, yaitu seiring dengan semakin cepatnya dilakukan pemangkasan, maka jumlah daun semakin berkurang (Tabel 1).

Pemangkasan secara nyata berpengaruh terhadap umur berbunga pertama dan juga umur panen (Tabel 1). Penundaan pemangkasan menyebabkan penundaan pembungaan dan sekaligus pemanenan yang berarti terjadi penundaan atau perpanjangan periode pertumbuhan tanaman jarak kepyar. Periode tumbuh terpanjang (125-127 hari) ditunjukkan oleh pemangkasan saat 45 HST sedangkan tanpa pemangkasan memiliki periode tumbuh tersingkat, yaitu sekitar 119 hari. Ryugo (1988), menyatakan bahwa pemangkasan bagian tanaman tertentu terutama percabangan utama berakibat pada bobot awal dan pengaturan pertumbuhan kembali (regrowth) sehingga memperpanjang masa periode vegetatif. Pada kondisi tanaman dipangkas, maka tanaman memperpanjang masa pertumbuhan vegetatif karena aliran fotosintat lebih banyak ke bagian organ vegetatif tanaman. Demikian pula Coombs et al. (1994), menyatakan bahwa pemangkasan tanaman menyebabkan tanaman menunda pembungaan karena tanaman membutuhkan waktu dan cadangan makanan untuk membentuk kerangka tajuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan Nabizadeh et al. (2011), bahwa semakin banyak jumlah cabang lateral yang dipangkas menyebabkan perpanjangan periode tumbuh jarak kepyar. Demikian pula Taherifard dan Gerami (2011) menyatakan, bahwa pemangkasan cabang lateral pada jarak kepyar akan meningkatkan periode tumbuh.

Pemangkasan batang utama pada jarak kepyar berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang

primer, jumlah cabang sekunder, dan panjang malai pada masing-masing cabang tersebut (Tabel 2). Pemangkasan meningkatkan tinggi tanaman jarak kepyar, demikian pula terhadap jumlah cabang primer maupun cabang sekunder. Pemangkasan saat tanaman berumur 30 HST memperpanjang ukuran malai dibandingkan pemangkasan saat tanaman berumur 60 HST dan tanpa pemangkasan.

Tanaman jarak kepyar, khususnya jenis tengahan lokal Beaq Amor jika pada awal pertumbuhannya dibiarkan tumbuh bebas tanpa pengaturan arsitektur tajuk dengan cara pemangkasan, akan tumbuh dan berkembang secara tidak menguntungkan karena umumnya batang utama tumbuh terus akibat dominasi apikal sebelum membentuk malai bunga dengan sedikit percabangan. Penelitian ini tampak bahwa percabangan berpengaruh positif terhadap peningkatan hasil karena pembentukan bunga berikut buah terjadi di setiap ujung percabangan secara terminal.

Secara normal tanpa pemangkasan, pertumbuhan batang utama jarak kepyar jenis lokal Beaq Amor terhenti setelah terbentuk malai pada bagian terminalnya. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan malai utama tersebut, tumbuh dan berkembang cabang lateral, yaitu cabang primer pada titik tumbuh lateral yang berada di bawah malai utama tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan cabang primer tersebut kemudian diakhiri dengan tumbuh dan berkembangnya malai pada bagian terminal cabang primer sebagai malai primer. Seiring dengan terbentuknya malai primer, maka kemudian terbentuk pula cabang sekunder yang tumbuh di titik tumbuh lateral pada cabang primer di bawah malai primer. Fenomena percabangan ini terus

Pemangkasan Tinggi tanaman saat panen (cm)

Jumlah cabangprimer

Jumlah cabang

sekunder

Panjang malai cabang utama

(cm)

Panjang malai cabang primer

(cm)

Panjang malai cabang sekunder

(cm)Tanpa pemangkasan 165.6b 2.2b 3.8b 47.9 32.7b 22.6cPemangkasan saat 30 HST 188.5ab 3.4ab 4.9b - 42.6a 33.7aPemangkasan saat 45 HST 202.8a 3.9a 6.3ab - 39.3ab 31.2abPemangkasan saat 60 HST 211.1a 4.7a 8.6a - 34.1b 25.4bc

Tabel 2. Tinggi tanaman, jumlah cabang, dan panjang malai jarak kepyar Beaq Amor pada umur pemangkasan berbeda

Keterangan: Jumlah cabang juga sekaligus menggambarkan jumlah malai. Angka pada masing-masing kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD pada taraf 5%

Pemangkasan Jumlah daun saat pemangkasan

Umur berbunga(HST)

Umur panen pertama(HST)

Umur panen Ke-2(HST)

Tanpa pemangkasan 14-18* 44.1c 110.3c 119.6bPemangkasan saat 30 HST 6-8 52.9b 115.1bc 122.8abPemangkasan saat 45 HST 10-14 59.9ab 119.9ab 125.9aPemangkasan saat 60 HST 14-17 65.1a 121.8a 127.7a

Tabel 1. Jumlah daun saat pemangkasan, umur berbunga, dan umur panen jarak kepyar Beaq Amor pada umur pemangkasan berbeda

Keterangan: * jumlah daun saat kondisi dilakukan perlakuan pemangkasan terakhir (umur 60 HST). HST = hari setelah tanam. Angka pada masing-masing kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD pada taraf 5%

Page 68: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

247

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Hasil Biji dan Kadar Minyak......

berlanjut hingga terbentuk percabangan tertier dan kemudian percabangan-percabangan berikutnya. Pemangkasan pucuk batang atau cabang utama akan meniadakan terbentuknya malai utama, namun percabangan primer yang terbentuk lebih banyak jumlahnya. Setelah berakhirnya pertumbuhan dan perkembangan cabang primer oleh terbentuknya malai primer, maka terbentuk pula percabangan sekunder yang lebih banyak dibandingkan tanaman tanpa pemangkasan. Urutan perkembangan malai pada masing-masing percabangan juga terbentuk secara berurutan. Kondisi ini menyebabkan umur malai dan masaknya kapsul serta umur panen pada percabangan primer dan sekunder pada satu tanaman berbeda. Semakin banyak percabangan yang terbentuk akibat pemangkasan batang utama menyebabkan tajuk tanaman jarak kepyar semakin melebar. Selain itu, kondisi dengan banyak percabangan menyebabkan tajuk semakin rapat dan semakin ketat untuk mendapatkan sinar matahari sehingga kondisi ini meningkatkan tinggi tanaman.

Pemangkasan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang yang terbentuk dan panjang malai pada ujung percabangan (Tabel 2). Penundaan pemangkasan memperbanyak jumlah cabang primer dan sekunder. Pemangkasan saat 30 HST dan 45 HST merupakan perlakuan yang baik terhadap panjang malai.

Seiring dengan penundaan pemangkasan, maka terbentuknya percabangan pada tanaman jarak kepyar semakin banyak (Tabel 2). Pertumbuhan ujung batang utama sering mendominasi pertumbuhan bagian lainnya pada beberapa tanaman, termasuk jarak kepyar, sehingga pembentukan cabang lateral terhambat. Namun demikian, secara alami bilamana pertumbuhan batang utama sudah cukup, baik tinggi maupun diameter, maka cabang lateral akan tumbuh dan berkembang terutama pada beberapa buku (nodus) yang terdapat di paling bawah (pangkal batang). Pemangkasan yang dilakukan akan memperbanyak cabang lateral yang terbentuk, karena pemangkasan merupakan usaha pematahan dominasi apikal pada tanaman jarak kepyar. Penundaan pemangkasan berarti memberikan kesempatan pada batang utama untuk terus tumbuh dan menumpuk cadangan makanan lebih banyak. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan Khan (1973), bahwa tinggi pemangkasan berpengaruh terhadap tajuk dan sekaligus hasil jarak kepyar.

Pemangkasan batang utama saat 30 HST merupakan pemangkasan terbaik karena menghasilkan jumlah percabangan yang ideal bagi tanaman untuk membentuk

malai yang optimal. Pada kondisi tersebut, tajuk tanaman optimal memanfaatkan radiasi matahari untuk proses fotosintesis dan akan menciptakan persaingan dalam mendapatkan sinar matahari seiring dengan semakin rapatnya tajuk akibat percabangan yang semakin banyak. Penelitian ini sejalan dengan Khan (1973), bahwa pemangkasan berpengaruh terhadap hasil karena adanya pengaruh langsung pada panjang malai, dan sejalan pula dengan Nabizadeh et al. (2011) bahwa arsitektur tajuk yang baik karena pemangkasan yang tepat dapat memperpanjang malai.

Umur pemangkasan batang utama tidak berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji pada cabang primer dan cabang sekunder (Tabel 3). Dilaporkan oleh Nabizadeh et al. (2011), bahwa tidak ada pengaruh nyata pemangkasan cabang lateral terhadap bobot 100 biji pada malai utama dan sekaligus tidak ada korelasinya dengan indek panen. Oleh karena percabangan jarak kepyar relatif tidak teratur, maka jumlah cabang produktif dan sekaligus panjang malai yang terbentuk tidak selalu sama dengan jumlah cabang yang terbentuk. Hal ini menyebabkan adanya pengaruh nyata pemangkasan terhadap hasil jarak kepyar (Tabel 4.). Dilaporkan oleh Ramu et al. (2005), bahwa terdapat korelasi positif jumlah cabang dengan hasil yang diperoleh dari jarak kepyar yang dipangkas. Pada penelitian ini, pemangkasan berpengaruh nyata pada bobot kering biji pada cabang primer namun tidak pada cabang sekunder. Bobot biji kering total per tanaman meningkat seiring dengan penundaan pemangkasan hingga 45 HST, namun pemangkasan yang dilakukan pada saat 60 HST menyebabkan penurunan kembali bobot kering biji per tanaman. Pemangkasan sejumlah empat cabang lateral dapat meningkatkan berat kapsul pada malai utama dilaporkan Taherifard dan Gerami (2011).

Data pada Tabel 5 menunjukkan kandungan minyak biji dan hasil biji kering jarak kepyar jenis lokal Beaq Amor tiap petak dan hektar. Pemangkasan batang utama tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan minyak biji, namun pemangkasan batang utama pada saat 30 HST dan 45 HST meningkatkan hasil biji kering. Penundaan pemangkasan hingga umur 60 HST tidak meningkatkan hasil dibandingkan tanaman tanpa pemangkasan bahkan memperpanjang periode tumbuh tanaman. Pemangkasan saat 45 HST dan 30 HST memberikan hasil biji kering sebesar 374.9-387.8 g tanaman-1 atau sebesar 943.0-974.3 kg ha-1.

Adanya pengaruh nyata pemangkasan cabang utama terhadap hasil biji jarak kepyar jenis lokal Beaq Amor

PemangkasanBobot kering 100 biji (g)

Cabang utama Cabang primer Cabang sekunderTanpa pemangkasan 28.6 27.7 27.2Pemangkasan saat 30 HST - 29.1 28.3Pemangkasan saat 45 HST - 27.8 27.4Pemangkasan saat 60 HST - 26.5 26.1

Tabel 3. Bobot kering 100 biji jarak kepyar Beaq Amor pada umur pemangkasan berbeda

Page 69: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

248

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Bambang Budi Santoso, I Wayan Sudika, I Komang Damar Jaya, dan I Gusti Putu Muliarta Aryana

dikarenakan pemangkasan menyebabkan peningkatan jumlah percabangan dan memperlebar tajuk tanaman sehingga menyebabkan peningkatan luas daun yang memungkinkan terjadinya fotosintesis lebih baik. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Diniz et al. (2009) bahwa pemangkasan tanaman jenis lokal akan meningkatkan bobot biji kering akibat adanya peningkatan luas daun yang memungkinkan terjadinya fotositesis lebih efisien dan penyimpanan bahan makanan ke biji lebih besar. Hariyadi et al. (2011); dan Raden et al. (2009) melaporkan bahwa pemangkasan batang utama jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada ketinggian yang berbeda menghasilkan perbedaan arsitektur kanopi sekaligus perbedaan laju fotosintesis yang menyebabkan perbedaan hasil biji per tanaman, namun demikian tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan minyak biji masing-masing tanaman.

Pemangkasan batang utama merupakan hal penting dalam budidaya jarak kepyar jenis tengahan seperti varietas lokal Beaq Amor. Hal ini dikarenakan perilaku percabangan akibat pemangkasan dapat dimanfaatkan sebagai dasar manipulasi bentuk dan struktur kanopi yang ideal bagi terciptanya lingkungan dan sekaligus proses metabolisme dalam tanaman. Pemangkasan pucuk apikal pada batang utama saat tanaman telah berumur 30-45 hari setelah tanam atau tanaman telah memiliki daun antara 8-14 helai akan diperoleh tanaman dengan tajuk penuh dengan percabangan yang produktif sehingga meningkatkan hasil biji. Percabangan pada jarak kepyar yang terbentuk karena pemangkasan yang tepat dapat menyangga malai beserta kapsulnya yang tumbuh dan berkembang pada setiap ujung percabangan tersebut sehingga produktivitas tanaman dapat meningkat.

Pemangkasan Kandungan minyak kernel (%)

Bobot kering biji per plot(kg)

Bobot kering biji per hektar(kg)

Tanpa pemangkasan 61.3 15.9c 828.4bPemangkasan saat 30 HST 62.2 18.7a 974.3aPemangkasan saat 45 HST 60.5 18.1ab 943.0aPemangkasan saat 60 HST 61.1 16.2bc 844.1b

Tabel 5. Kandungan minyak biji (kernel) dan hasil biji kering jarak kepyar Beaq Amor pada umur pemangkasan berbeda

Keterangan: Angka pada masing-masing kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD pada taraf 5%

KESIMPULAN Pemangkasan batang utama pada jarak kepyar jenis lokal

Beaq Amor hingga umur tanaman enam bulan berpengaruh nyata terhadap hasil biji kering. Pemangkasan pada saat tanaman berumur 30 dan 45 hari setelah tanam merupakan waktu pemangkasan yang baik karena meningkatkan hasil biji kering mencapai 374.9-387.8 g tanaman-1 atau 943.0-974.3 kg ha-1, dengan kadar minyak kernel 62.2% pada pemangkasan saat 30 hari setelah tanam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada PT BEGE NTB atas fasilitas yang diberikan dalam rangka pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adeyanju, A.O., A. Usman, S.G. Mohammed. 2011. Genetic correlation and path-coefficient analysis of oil yield and its components in castor. Libyan Agric.Res.Cen.J.Intl. 1:60-64.

Baldwin, B.S., R.D. Cossarb. 2009. Castor yield in response to planting date at four locations in the South-Central United State. Ind. Crops Prod. 29:316-319.

Coombs, D., D. Blackburne-Maize, M. Cracknell, R. Bentley. 1994. The Complete Book of Pruning. Word Lock, England.

PemangkasanBobot kering biji (g)

Cabang utama Cabang primer Cabang sekunder Total per tanamanTanpa pemangkasan 73.9 145.2b 106.6 330.7bPemangkasan saat 30 HST - 263.8a 118.9 387.8aPemangkasan saat 45 HST - 262.5a 116.7 374.9aPemangkasan saat 60 HST - 242.7a 91.8 339.4b

Tabel 4. Bobot kering biji jarak kepyar Beaq Amor pada umur pemangkasan berbeda

Keterangan: Angka pada masing-masing kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD pada taraf 5%

Page 70: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

249

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 244 - 249 (2014)

Hasil Biji dan Kadar Minyak......

Diniz, B.L.M.T., F.J.A.F. Tavora, M.A. Dinizneto. 2009. Manipulation of the castor bean growth through the pruning at different planting densities. J. Revisit Ciencia Agronomical. 40:570-577.

Hariyadi, B.S. Purwoko, I. Raden. 2011. Pengaruh pemangkasan batang dan cabang primer terhadap laju fotosintesis dan produksi jarak pagar (Jatropha curcas L.). J. Agron. Indonesia 39:205-209.

Khan, M.I. 1973. Topping effect in castor crop. Pak. J. Agric. Res. 11:1-8

Mutlu, H., M.A.R. Meier. 2010. Castor oil as renewable resource for chemical industry. European J. Lipid Sci. Technol. 112:10-30.

Nabizadeh, E., E. Taherifard, F. Gerami. 2011. Effect of pruning lateral branches on four varieties of medicinal castor bean plant (Ricinus communis L.) yield, growth and development. J. Med. Plants Res. 5:5828-5834.

Patel, M.K., U.G. Fatteh, V.J. Patel. 1991. Effect of spacing and sowing time on the yield of irrigated castor under North Gujarat conditions. Gujarat Agri. Uni. Res. J. 17:119-121.

Raden, I., B.S. Purwoko, Hariyadi, M. Ghulamahdi, E. Santoso. 2009. Pengaruh tinggi pemangkasan batang utama dan jumlah cabang primer yang dipelihara terhadap produksi minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.). J. Agron. Indonesia 37: 159-166.

Ramu, R.N., N. Sreedhar, C. Lavanya. 2005. Study of correlation and path analysis in castor (Ricinus communis L.). Res. Crops. 6:109-111.

Ratree, S. 2004. A preliminary study on physic nut (Jatropha curcas L.) in Thailand. Pakistan J. Biol. Sci. 7:1620-1623.

Ryugo, K. 1988. Fruit Culture: Its Science and Art. John Wiley and Sons.

Santoso, B.B., Nurrachman. 2012. Agronomical characters of four Lombok Island indigenous genotypes of castor bean (Ricinus communis L.). p. 297-299. In M.T. Fauzi, I.K.D. Jaya, H.S. Yong, M.U.F. Krischbaum, M. Sarjan, L. Ujianto, A. Nikmatullah, I.W. Suana, S. Latifah, D. Krisnayanti (Eds.). Significance of climate change on biodiversity in sustaining the globe. Proceeding The 2nd Society for Indonesian Biodiversity International Conference. Lombok 6-8 November 2012.

Sujatha, M., T.P. Reddy, M.J. Mahasi. 2008. Role of biotechnological intervention in the the improvement of castor (Ricinus communis L.) and Jatropha curcas L. Biotechnology Advances 26:424-435.

Taherifard, E., F. Gerami. 2011. Morphological characters of four varieties of castor bean (Ricinus communis L.) in response to pruning lateral branches. Adv. Environ. Biol. 5:3594-3598.

Vanaya, M., M. Jyothi, P. Ratnakumar, P. Vagheera, P. R. Reddy, N. J. Lakshmi, S. K. Yadav, M. Maheshwari, B. Vankateswarlu. 2008. Growth and yield responses of castor bean (Ricinus communis L.) to two enhanced CO2 levels. Plant Soil Environ. 54:38-46.

Page 71: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

250 Nur Sakinah, Mochamad Hasjim Bintoro Djoefrie, Hariyadi, dan Dyah Manohara

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Tanaman Mete

Waste of Cashew Nut Shell Used as Organic Fertilizer to Increase Growth of Cashew Nut Seedling

Nur Sakinah1, Mochamad Hasjim Bintoro Djoefrie2*, Hariyadi2, dan Dyah Manohara3

1Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Dayanu Ikhsanuddin Jl. Yos Sudarso No. 43 Baubau, Sulawesi Tenggara 93727, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

3Kelti Proteksi, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO)Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia

Diterima 21 Agustus 2013/Disetujui 3 April 2014

ABSTRACT

Cashew nut shells have not been fully utilized untill recently, and most of them are still in a form of wastes. Cashew nut shell wastes are organic matter containing macro elements that are useful for plants, such as N (0.84%), P (0.21%), K (0.70%), Ca (0.13%) and Mg (0.24%) that are useful for plants. Cashew nut shell wastes would be very potential if they were composted into organic fertilizers. The aim of this research was to analyze the effect of cashew nut shell compost formula application on growth and nutrient uptake of cashew seedlings. The research was conducted at IPB Teaching Farm Dramaga Bogor from November 2012 to May 2013. The experiment was arranged in randomized complete block design with 5 treatments and 3 replications. The results showed, that cashew nut shell compost formula application at 50 g polybag-1 and 100 g polybag-1 were significantly increased plant height, leaf number, stem diameter, roots length, fresh weight, dry weight of seedling, and N, P, K uptake at 3 months after planting (MAP) compared to no compost (top soil). The treatment of cashew nut shell compost formula at 50 g polybag-1 showed not significantly compared with goat manure at 100 g polybag-1 on the plant height, stem diameter, leaf number, roots length and N, P, K uptake at 3 MAP. Both of the treatment can improve the balance of nutrients in the soil thus enhancing the growth and vigor of cashew seedling. The treatment of cashew nut shell compost formula (50 g polybag-1) could replace the treatment of goat manure (100 g polibag-1) tended to increase cashew seedling growth.

Keywords: A. occidentale L., bioactivator, cashew seedling, KBM compost

ABSTRAK

Kulit biji mete (KBM) sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Limbah KBM merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara makro bermanfaat bagi tanaman yaitu N (0.84%), P (0.21%), K (0.70%), Ca (0.13%) dan Mg (0.24%). Limbah KBM sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk organik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh aplikasi formula kompos kulit biji mete (KBM) terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit mete. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Dramaga Bogor, pada bulan November 2012 sampai Mei 2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan, aplikasi formula kompos KBM (50 dan 100 g polibag-1) pada tanaman mete di pembibitan mampu meningkatkan tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar total, bobot kering total serta serapan hara N, P, dan K dibandingkan perlakuan kontrol tanpa kompos (top soil) pada 3 bulan setelah tanam (BST). Pemberian formula kompos KBM 50 g polibag-1 tidak berbeda nyata dengan pukan kambing 100 g polibag-1 terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun dan panjang akar serta serapan hara N, P, dan K pada 3 BST. Kedua perlakuan tersebut dapat memperbaiki keseimbangan hara dalam tanah sehingga memacu pertumbuhan dan vigor bibit mete. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perlakuan formula kompos 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan kambing sebanyak 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman mete.

Kata kunci: A. occidentale L., bioaktivator, bibit tanaman mete, kompos KBM

Page 72: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

251Pemanfaatan Limbah Kulit Biji......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

PENDAHULUAN

Tanaman jambu mete merupakan tanaman industri potensial dengan produk utamanya adalah biji atau kacang mete, yang merupakan komoditas ekspor. Data lima tahunan subsektor perkebunan jambu mete dari tahun 2008-2012 menunjukkan rata-rata hasil produksi gelondong mete adalah 130 295.6 ton (Ditjenbun, 2013). Sekitar 49% produksi mete Indonesia diekspor, baik dalam bentuk gelondong (36%) maupun dalam bentuk kacang mete (13%), sedangkan sisanya 51% untuk memenuhi kebutuhan domestik (Indrawanto et al., 2003).

Biji jambu mete terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji (Simpen, 2008). Kulit biji mete (KBM) adalah limbah yang dihasilkan pada industri pascapanen pengacipan biji mete. Kulit biji mete sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Data rata-rata produksi gelondong mete 2008-2012 memperlihatkan rata-rata jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh per tahun sekitar 58 372.43 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk organik. Berdasarkan hasil analisis pendahuluan, diketahui KBM mengandung hara: 0.84% N, 0.21% P, 0.70% K, 0.13% Ca, dan 0.24% Mg.

Kompos merupakan sisa tanaman yang telah terdekomposisi. Menurut Melati et al. (2008) fungsi kompos sebagai penyedia hara mungkin kecil, namun yang dapat dimanfaatkan dari kompos adalah bahan organiknya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Goenadi dan Santi (2006), kompos bioaktif asal perkebunan tebu memiliki peluang teknis dan ekonomis yang cukup memadai dalam usaha efisiensi penggunaan pupuk kimia sintetik, pengendalian limbah padat organik, dan peningkatan daya dukung lahan perkebunan tebu. Kompos berdasarkan fungsinya dikelompokkan sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian (Kastono, 2005; Nurshanti, 2009; Setiawan, 2009). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Gusnidar et al. (2011) yaitu pemberian kompos kulit jengkol sebanyak 80 g pot-1 dapat meningkatkan bobot gabah, bobot 1,000 biji, dan serapan K pada tanaman padi. Selain itu, pemberian kompos kulit jengkol pada tanah sawah juga mampu memperbaiki sifat kimia tanah. Hasil terbaik diperoleh pada pemberian kompos 160 g pot-1 terhadap pH H2O (meningkat dari 5.60 menjadi 6.82); N-total (meningkat dari 0.13% menjadi 0.29%); C-organik (meningkat dari 2.84% menjadi 4.71%); kadar P-tersedia (meningkat dari 39.11 ppm menjadi 54.58 ppm); nilai KTK-total juga bertambah dari 11.54 me (100g)-1 menjadi 39.13 me (100g)-1.

Masalah utama pengomposan KBM adalah rasio C/N yang tinggi yaitu sekitar 235.81, sedangkan rasio C/N bahan organik yang optimal untuk pengomposan adalah 30-40 (Widawati, 2005; Soetopo dan Endang, 2008; Widiastuti et al., 2009). Rasio C/N KBM yang tinggi tersebut menyebabkan pengomposan secara alami berlangsung lama, sehingga dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan. Upaya mengubah

limbah KBM menjadi pupuk organik sebagai sumber hara melalui pengomposan yang dipercepat dengan memberikan mikroba pengurai (aktivator atau inokulan) untuk kemudian dikembalikan ke pertanaman mete diharapkan dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman mete. Menurut Bonanomi et al. (2007) penggunaan mikroba perombak bahan organik selain mempercepat proses dekomposisi juga dapat meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba serta mempengaruhi kurangnya penyakit sehingga pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian formula kompos kulit biji mete (KBM) terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit tanaman mete.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan, University Farm, IPB, Darmaga, Bogor. Areal penelitian terletak pada elevasi 250 m dpl. Penelitian dimulai sejak bulan November 2012 sampai dengan Mei 2013. Bahan tanaman menggunakan bibit mete varietas Cikampek BO2. Bahan organik formula kompos bersumber dari limbah kulit biji mete dan campuran bahan starter yang meliputi Ageratum conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, dan pupuk kandang (pukan) kambing. Bahan organik tersebut dikomposkan selama lebih kurang dua bulan dengan menggunakan konsorsia mikroba dekomposer (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik) sebagai bioaktivator yang berasal dari Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah, Bogor. Kulit biji mete yang digunakan sebagai bahan utama kompos berasal dari Kecamatan Lombe, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan faktor tunggal dan tiga ulangan. Faktor perlakuan adalah formula kompos KBM yang terdiri atas lima taraf, yaitu kontrol (top soil); pukan kambing 50 g polibag-1; pukan kambing 100 g polibag-1; formula kompos KBM 50 g polibag-1; formula kompos KBM 100 g polibag-1, sehingga terdapat 15 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 9 tanaman, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 135 bibit mete. Data dari peubah yang diamati selanjutnya dianalisis dengan Uji F (analisis ragam), dan apabila pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT.

Bahan organik sebagai starter berupa pukan kambing, ampas sagu, A. conyzoides dan Setaria sp. (yang telah dicacah sebelumnya) dicampur hingga merata dengan perbandingan volume (1:1:1:1). Pengomposan formula KBM tersebut dilakukan secara aerobik menggunakan bak pengomposan berukuran 1 m x 0.5 m x 1 m yang dilapisi dengan karung plastik sebagai dinding bak dan dibuat lubang-lubang kecil sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara. Kondisi tersebut dimaksudkan agar suhu tumpukan bahan dalam bak pengomposan tidak melampaui suhu termofilik yaitu 65 oC. Jarak antar wadah pengomposan 0.5 m agar memudahkan pengamatan dan memberikan sirkulasi udara yang cukup

Page 73: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

252 Nur Sakinah, Mochamad Hasjim Bintoro Djoefrie, Hariyadi, dan Dyah Manohara

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

baik. Bak kompos ditutup plastik hitam atau mulsa pertanian agar terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung sehingga terjaga kelembabannya.

Kulit biji mete dan starter diletakkan pada bak pengomposan lapis demi lapis secara selang seling hingga bak pengomposan terisi penuh. Ketebalan masing-masing lapisan KBM dan starter adalah 25 cm dan 17 cm. Pemberian inokulum pengomposan dilakukan dengan cara disiram merata pada setiap lapisan permukaan bahan kompos. Volume inokulum mikrob dekomposer yang digunakan pada pengomposan formula KBM yaitu 1 liter Trichoderma sp. (109 cfu mL-!) dan 1 liter bakteri selulotik (109 cfu mL-!) yang dilarutkan dalam 40 L air. Selama pengomposan kadar air tumpukan dipertahankan 60% dengan cara menambahkan air. Pembalikan kompos dilakukan setiap minggu untuk perbaikan aerasi tumpukan dan agar diperoleh kompos yang homogen. Kompos dikeringanginkan dan diayak untuk diaplikasikan sebagai media tanam bibit mete.

Tanah yang digunakan untuk media tanam adalah tanah Ultiosol di KP Cikabayan Dramaga yang diambil secara komposit dari lapisan atas dengan kedalaman 0-20 cm, lalu dikeringanginkan selama 2-4 hari. Tanah ditimbang sebanyak 5 kg kemudian dicampurkan secara merata dengan perlakuan pupuk organik sesuai dosis dan dimasukkan ke dalam polibag berukuran 30 cm x 20 cm dan dibiarkan selama 1 minggu, setelah itu dilakukan penanaman bibit mete yang sudah dikecambahkan terlebih dahulu selama satu bulan. Percobaan dilakukan di rumah kaca yang diberi atap penaung berupa paranet 55%.

Percobaan diakhiri setelah bibit mete berumur 3 bulan. Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar tanaman, bobot kering tanaman. Jaringan daun dianalisis diakhir penelitian (3 bulan setelah tanam (BST)) untuk menentukan serapan hara N, P, K bibit tanaman mete. Kandungan hara pada kompos dan analisis tanah digunakan sebagai data penunjang yang dianalisis sebelum dan sesudah penelitian pada Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) IPB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hara Tanah dan Kompos

Hasil analisis tanah pada saat awal penelitian menunjukkan bahwa tanah yang digunakan tergolong tanah Ultisol yang memiliki tekstur lempung berpasir (pasir 16%, liat 76%, debu 8%), bereaksi masam (pH 4.9), memiliki tingkat dekomposisi yang rendah dengan nilai KTK (kapasitas tukar kation) dan KB (kejenuhan basa) yang masing-masing relatif rendah yaitu 10.86 cmol kg-1 dan 12 %. Berdasarkan kriteria penilaian data analisis sifat kimia tanah pusat penelitian tanah, diketahui bahwa kandungan hara pada tanah tersebut sangat rendah yaitu C-organik (0.96%), N-total (0.1%), P-tersedia (3.09 ppm) dan status K tanah yang juga sangat rendah (0.09 mg).

Kemasaman tanah yang tinggi menurut Simatupang dan Indrayati (2003) dapat menyebabkan tidak tersedianya unsur hara terutama P karena terfiksasi. Ketersediaan P yang rendah karena tingginya tingkat retensi P di dalam tanah sehingga sedikit tersedia dalam larutan tanah dan unsur P mudah dijerap oleh oksida Fe, Al, dan Ca. Nilai KTK dan KB yang rendah, menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Tanah dengan KTK dan KB yang rendah mempunyai kemampuan menyerap dan menyediakan unsur hara rendah karena unsur hara tersebut tidak terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut mudah hilang tercuci (Gusnidar et al., 2011).

Nilai rasio C/N formula kompos KBM (23.20) telah memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25 (Setyorini et al., 2006; Shabani et al., 2011) dengan kondisi fisik kompos remah dan berwarna coklat kehitaman. Ditinjau dari sifat kimianya, kandungan N, P, dan K formula kompos KBM berada di atas rentang minimum dan memenuhi kriteria SNI kompos 19-7030-2004. Derajat kemasaman (pH) formula kompos KBM bersifat netral sehingga hara lebih tersedia dan mudah diserap tanaman. Sifat kimia kompos dari hasil analisis dapat menunjukkan kualitasnya jika pertumbuhan dan kandungan hara tanaman contoh yang diteliti memberikan hasil yang baik.

Hasil analisis rasio C/N tanah awal sebelum dilakukan percobaan senilai 9.6 tergolong rendah. Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup akan memberikan nilai rasio C/N berkisar antara 10-12 (Setyorini et al., 2006). Hal tersebut menunjukkan tanah yang digunakan dalam penelitian kurang subur. Peningkatan C-organik melalui pemberian formula kompos KBM yang memiliki kandungan C-organik 41.29% (Tabel 1) menjadi sangat berarti untuk meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik dalam formula kompos KBM diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Pemberian bahan organik memantapkan agregat tanah terhadap penghancuran oleh air, meningkatkan daya simpan air, meningkatkan permeabilitas tanah, meningkatkan KTK, mengurangi pengaruh buruk Fe2+ dan Al3+, meningkatkan pH dan hasil dekomposisinya meningkatkan ketersediaan unsur hara N,P, dan K dalam

Parameter Nilai Kriteria Rasio C/N 23.20 20-25 **C-organik (%) 41.29 9.8-32 *N-total (%) 1.78 0.4% *P-tersedia (%) 0.17 0.1% *K (%) 0.96 0.2% *pH 7.30 6.8-7.49 *

Tabel 1. Analisis C, N, P, K dan pH pada formula kompos kulit biji mete

Keterangan: Sumber: Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah ITSL IPB; *SNI 19-7030-2004 Spesifikasi kompos sampah organik domestik; ** Setyorini et al. (2006)

Page 74: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

253Pemanfaatan Limbah Kulit Biji......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

tanah (Tisdale et al., 1993; Haynes dan Mokolobate, 2001; Dewanto et al., 2013)

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan Bibit Mete

Penilaian pertumbuhan tanaman mete didasarkan atas hasil pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar total dan bobot kering total. Uji lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM secara nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar dan bobot kering tanaman dibandingkan kontrol (Tabel 2). Berdasarkan uji lanjut DMRT terlihat bahwa pengaruh perlakuan formula kompos KBM 50 g polibag-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan kambing 100 g polibag-1 terhadap panjang akar, tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun (Tabel 2) serta serapan hara NPK (Tabel 3). Kedua perlakuan tersebut dapat memperbaiki keseimbangan hara dalam tanah sehingga memacu pertumbuhan dan vigor bibit mete.

Pertambahan jumlah daun dipengaruhi oleh dosis formula kompos KBM dan pukan kambing yang diberikan. Perlakuan formula kompos KBM 50 dan 100 g polibag-1

dapat meningkatkan jumlah daun masing-masing 34.9% dan 42.6% dibandingkan kontrol. Bahan organik dalam formula kompos KBM dapat meningkatkan jumlah daun karena diduga terjadi perbaikan struktur tanah, sehingga daya serap air dan hara oleh akar tanaman meningkat.

Pertambahan tinggi tanaman disebabkan karena adanya peningkatan pembelahan dan pemanjangan sel sebagai akibat penambahan hara ke dalam tanah maupun tubuh tanaman, sedangkan panjang akar sangat ditentukan oleh kondisi tanah (Premshekhar dan Rajashree, 2009). Tanah yang kering dengan kandungan bahan organik yang rendah (kontrol) dapat menghambat penetrasi akar ke dalam tanah sehingga pertumbuhannya terhambat. Perlakuan formula kompos KBM menyebabkan tanah lebih porous sehingga akar cenderung akan bergerak bebas dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan kontrol.

Derajat kemasaman tanah juga dapat mempengaruhi panjang akar. Pada perlakuan kontrol pH tanah berkisar 4.9, sedangkan setelah penambahan formula kompos KBM, pH medium tanam meningkat menjadi berkisar 6.7. Menurut Haynes dan Mokolobate (2001) peningkatan pH akibat pemberian bahan organik disebabkan adanya dekarboksilase anion asam-asam organik seperti asam oksalat, asam sitrat, dan asam malat yang dihasilkan dalam perombakan bahan organik.

Perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM secara nyata meningkatkan bobot segar dan bobot kering total tanaman mete dibandingkan kontrol (Tabel 2). Bobot segar total tanaman terkait dengan fotosintesis. Peningkatan bobot segar tanaman disebabkan adanya suplai hara tanaman yang berasal dari formula kompos KBM dan lebih mudah diserap oleh tanaman sehingga dapat dimanfaatkan langsung untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Bobot kering total memiliki peranan yang penting untuk menentukan besarnya serapan hara yang dilakukan oleh tanaman. Semakin kecil nilai bobot keringnya, memperlihatkan bahwa hara yang mampu diserap oleh tanaman semakin sedikit. Sedikitnya hara yang diserap dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan morfologi tanaman. Hal tersebut diperlihatkan pada perlakuan kontrol (top soil) yang memiliki nilai bobot kering total paling kecil (12.09 g tanaman-1) memperlihatkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan diameter batang yang paling rendah bila dibandingkan dengan perlakuan formula kompos KBM dan pukan kambing.

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Serapan Hara Bibit Mete

Perlakuan pukan kambing dan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap serapan hara N, P, dan K tanaman mete dibandingkan kontrol (Tabel 3). Pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik bila menyerap hara N dalam bentuk tersedia yaitu NO3

- dan NH4+ (Ningsih

et al., 2013). Penguraian bahan organik pada pengomposan formula kompos KBM yang mengandung nitrogen dalam bentuk protein akan menghasilkan ion NH4

+ dan NO3- yang

Media tanamPanjang

akarTinggi bibit

Diameter batang

Jumlah daun

Bobot segar total

Bobot kering total

(cm) (cm) (mm) ........(g tanaman-1)........Top soil (kontrol) 35.67b 52.50c 8.22b 24.6c 49.77c 12.09cPukan kambing 50 g polibag-1 41.67ab 58.00b 9.19a 31.4b 71.70a 19.51aPukan kambing 100 g polibag-1 39.33ab 59.95a 9.28a 34.0ab 78.13a 20.04aFormula kompos KBM 50 g polibag-1 49.67a 60.96a 9.26a 33.0ab 59.50b 18.24bFormula kompos KBM 100 g polibag-1 38.33ab 57.77b 9.15a 35.0a 58.03b 17.29b

Tabel 2. Pengaruh media tanam terhadap tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar dan bobot kering bibit mete pada umur 3 bulan

Keterangan: Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%; KBM = kulit biji mete

Page 75: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

254 Nur Sakinah, Mochamad Hasjim Bintoro Djoefrie, Hariyadi, dan Dyah Manohara

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kadar N formula kompos KBM (1.73%) dimungkinkan menjadi penyumbang N bagi tanaman dan efisien dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Formula kompos KBM 50 dan 100 g polibag-1 dapat meningkatkan serapan hara N masing masing sebesar 66.79% dan 59.78% dibandingkan kontrol, tetapi menghasilkan serapan N yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pukan kambing walaupun pengaruhnya terhadap serapan hara N relatif sama. Hal tersebut diduga karena rasio C/N formula kompos yang lebih tinggi dari rasio C/N tanah. Rasio C/N yang tinggi menunjukkan terdapat bahan organik dalam formula kompos KBM yang belum terurai secara sempurna dan masih akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme tanah. Semakin meningkat dosis formula kompos KBM yang diberikan, maka diduga semakin banyak aktivitas bakteri khususnya yang berperan dalam proses nitrifikasi yang lebih dulu memanfaatkan N sebagai sumber energi perombak, sehingga tanaman akan kekurangan unsur N dalam jangka waktu tertentu.

Peningkatan dosis pukan kambing (100 g polibag-1) tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan pukan kambing 50 g polibag-1 dan formula kompos KBM 50 g polibag-1 terhadap serapan hara P. Unsur P merupakan hara yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan akar. Dalam jumlah yang cukup, fosfat dapat meningkatkan pemanjangan akar dan meningkatkan bobot akar (Leiwakabessy, 1988). Serapan hara P pada perlakuan formula kompos KBM 50 dan 100 g polibag-1 menunjukkan perbedaan nyata (Tabel 3), hal ini sejalan dengan panjang akar yang berbeda nyata pula antar perlakuan formula kompos KBM (Tabel 2). Pemberian bahan organik melalui

formula kompos KBM dapat meningkatkan ketersedian P dibandingkan kontrol karena bahan organik di dalam tanah berperan dalam hal pembentukan kompleks organofosfat yang mudah diasimilasi oleh tanaman, penggantian anion H2PO4

– pada tapak jerapan, penyelimutan oksida Fe dan Al oleh humus yang membentuk lapisan pelindung sehingga mengurangi jerapan P, dan meningkatkan jumlah P organik yang dimineralisasi menjadi P anorganik (Tisdale et al., 1993).

Serapan hara K antara perlakuan pukan kambing dan formula kompos tidak berbeda nyata. Peningkatan dosis formula kompos KBM dan pukan kambing tidak nyata mempengaruhi serapan K. Serapan hara K dipengaruhi oleh kedalaman akar dan suhu lingkungan. Menurut Cruz et al. (2004), pertumbuhan akar yang panjang akan meningkatkan serapan hara oleh tanaman. Pergerakan unsur K yang tinggi menyebabkan lebih banyak tersedia pada lapisan tanah bawah sehingga akar yang dangkal seperti pada perlakuan top soil (35.67 cm) tidak akan mampu menyerap hara ini sehingga serapan hara K pada perlakuan top soil paling rendah yaitu 15.07 mg tanaman-1 (Tabel 3).

Tersedianya unsur hara N, P, dan K didukung dengan perakaran tanaman yang baik dapat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit mete. Kadar bahan organik yang tersedia pada formula kompos KBM (Tabel 1) memiliki peran penting bagi pertumbuhan tanaman mete karena sebagai sumber unsur hara N, P, dan K. Mikroba yang terkandung dalam formula kompos KBM berfungsi meningkatkan kelarutan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, baik yang berasal dari pupuk maupun mineral tanah dan meningkatkan kemampuan akar penyerap hara dengan pembentukan akar rambut yang lebih banyak (Setyorini et al., 2006).

KESIMPULAN

Perlakuan formula kompos KBM memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit mete dan serapan hara dibandingkan kontrol (top soil). Formula

kompos KBM sebesar 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan kambing sebesar 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit mete hingga siap dipindah tanam ke lapangan.

Media tanamSerapan hara

N P K.......................................(mg tanaman-1).......................................

Top soil (kontrol) 25.66c 4.05c 15.07bPukan kambing 50 g polibag-1 49.13a 7.14a 25.51aPukan kambing 100 g polibag-1 47.33ab 7.22a 25.09aFormula kompos KBM 50 g polibag-1 42.80ab 6.69a 21.64aFormula kompos KBM 100 g polibag-1 41.00b 6.34b 22.83a

Tabel 3. Pengaruh media tanam terhadap kandungan dan serapan hara N, P, dan K pada bibit mete umur 3 bulan

Keterangan: Formula kompos KBM (kulit biji mete yang dicacah, bioaktivator (Trichoderma sp. dan bakteri selulotik), starter (A. conyzoides, Setaria sp., ampas sagu, pukan kambing) dengan volume (1:1:1:1)). Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada uji DMRT taraf 5%; KBM = kulit biji mete

Page 76: Introgresi Gen CsNitr1-L dari Transgenik Nipponbare ke ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/Jurnal-Agronomi-Indonesia-Vol-42-No.3.pdf · di media MS0 dengan penambahan 50

255Pemanfaatan Limbah Kulit Biji......

J. Agron. Indonesia 42 (3) : 250 - 255 (2014)

DAFTAR PUSTAKA

Bonanomi, G., V. Antignani, C. Pane, F. Scala. 2007. Suppression of soilborne fungal desease with organic amandments. J. Plant Pathol. 89:311-324.

Cruz, C., J.J. Green, C.A. Watson, F. Wilson, M.A. Martin Lucao. 2004. Functional aspect of root architecture and mycorrhizal innoculation with respect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza 14:177-184.

Dewanto, F.G., J.J.M.R. Londok, R.A.U. Tuturoong, W.B. Kaunang. 2013. Pengaruh pemupukan anorganik dan organik terhadap produksi tanaman jagung sebagai sumber pakan. J. Zootek. 32:1-8.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik perkebunan Indonesia 2008-2012: jambu mete. http://www.deptan.go.id [01 Oktober 2013].

Goenadi, D.H., L.P. Santi. 2006. Aplikasi bioaktivator SuperDec dalam pengomposan limbah padat organik tebu. Bul. Agron. 34:173-180.

Gusnidar, Yulnafatmawita, R. Nofianti. 2011. Pengaruh kompos asal kulit jengkol (Phitecolobium jiringa (Jack) prain ex King) terhadap ciri kimia tanah sawah dan produksi tanaman padi. J. Solum 8:17-27.

Haynes, R.J., Mokolobate. 2001. Amelioration of Al toxicity and P deficiency in acid soils by additions of organic residue: a critical review at the phenomenon and the mechanisms involved. Nutr. Cycl. Agroccosys. 59:47-63.

Indrawanto, C., C. Wulandari, A. Wahyudi. 2003. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. J. Penelitian Tanaman Industri 9:141-148d.

Kastono, D. 2005. Tanggapan pertumbuhan dan hasil kedelai hitam terhadap penggunaan pupuk organik dan biopestisida gulma siam (Chromolaena odorata). Ilmu Pertanian 12:103-116.

Leiwakabessy, F.M. 1988. Kesuburan Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Melati, M., A. Asiah, D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul. Agron. 36:204-213.

Ningsih, R.Z., F. Herlina, S.R. Yuni. 2013. Pengaruh penambahan daun lamtoro terhadap kualitas kompos

dan pemanfaatannya terhadap pertumbuhan tanaman bayam merah. Lentera Bio. 1:149-154.

Nurshanti, D.F. 2009. Pengaruh pemberian pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi caisim (Brassica juncea L.). Agronobis 1:89-98.

Premshekhar, M., V. Rajashree. 2009. Performance of hybrid tomato as influenced by foliar feeding of water soluble fertilizer. American-Eurasian J. Sustain Agric. 3:33-36.

Setiawan, E. 2009. Pengaruh empat macam pupuk organik terhadap pertumbuhan sawi (Brassica juncea L.). Embryo 6:27-34.

Setyorini, D., R. Saraswati, E.K. Anwar. 2006. Kompos. hal. 11-40. Dalam. R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, W. Hartatik (Eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Shabani, H., A.P. Gholam, A.O. Jamal, P.R. Kharrazi. 2011. Effect of municipal solid waste compost on yield and quality of eggplant. Communicata Scientiae 2:85-90.

Simatupang, R.S., L. Indrayati. 2003. Pengaruh pemberian kompos gulma sebagai sumber NPK terhadap tanaman padi di lahan sulfat masam. Bul. Agron. 31: 42-46.

Simpen, I.N. 2008. Isolasi cashew nut shell liquid dari kulit biji jambu mete (Anacardium occidentale L.) dan kajian beberapa sifat fisiko-kimianya. J. Kimia 2:71-76.

Soetopo, R.S., R.C.C. Endang. 2008. Efektivitas proses pengomposan limbah sludge IPAL industri kertas dengan jamur. Berita Selulosa 43:93-100.

Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton. 1993. Soil Fertility and Fertilizer. Fifth Ed. Maxwel Macmillan Publishing, Singapore.

Widiastuti, H., Isroi, Siswanto. 2009. Keefektifan beberapa dekomposer untuk pengomposan limbah sludge pabrik kertas sebagai bahan baku pupuk organik. Berita Selulosa 44:99-110.

Widawati, S. 2005. Daya pacu aktivator fungi asal kebun biologi wamena terhadap kematangan hara kompos serta jumlah mikroba pelarut fosfat dan penambat nitrogen. Biodiversitas 6:238-241.