intususepsi / invaginasi usus
TRANSCRIPT
REFERAT
INTUSUSEPSI
OLEH:
GLEOPATRA DOROTHY. MOLLE
0661050074
PEMBIMBING: dr. HENRY BOYKE. SITOMPUL, SpB
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA - RSU UKI
PERIODE 10 JANUARI 2011 – 5 MARET 2011
JAKARTA
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Intususepsi”. Ucapan
terimakasih penulis ucapkan kepada dr. Henry Boyke, SpB atas bimbingan dalam
penulisan referat ini. Tujuan penulisan referat ini adalah dalam rangka memenuhi
salah satu syarat kelulusan pada Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia - Rumah Sakit Umum
Universitas Kristen Indonesia.
Penulis menyadari referat ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kritik dan
saran penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan penulisan referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, Januari 2011
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1,2
Intususepsi dikenal juga dengan nama “Invaginasi” . Intususepsi merupakan
penyebab tersering dari obstruksi usus akut pada bayi, ketika satu bagian atas dari
usus invaginasi ke bagian bawah dari usus tersebut. Jika progress dari intususepsi
ini tidah di tatalaksana segera, dapat berakibat fatal. Kematian yang disebabkan
oleh intususepsi jarang ditemukan di negara maju, ini disebabkan waktu diagnosis
yang cepat dan terapi operatif. Di negara berkembang, pasien mungkin ditemukan
telah dalam kondisi serius, dan angka kematian yang tinggi karena terbatasnya
akses kesehatan. 1 ± 65% kasus intususepsi timbul pada bayi berusia kurang dari 1
tahun dengan insiden puncak antara bulan kelima dan kesembilan kehidupan.
Walaupun keadaan ini bisa timbul pasca bedah, yang hanya melibatkan usus halus
dalam 86% demikian, atau bisa timbul pada anak yang lebih besar dengan lesi
seperti polip atau divertikulum meckel sebagai titik pembawanya. Biasanya
intususepsi yang terjadi pada bayi, tidak diketahui sebab pastinya. Pada anak di
bawah usia 4 tahun , 95% invaginasi dimulai pada atau dekat katup ileosekalis. 2
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, pemeriksaan, manifestasi
klinis dan penatalaksanaan intususepsi.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, pemeriksaan, manifestasi klinis dan
penatalaksanaan intususepsi.
2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia-Rumah Sakit
Umum Universitas Kristen Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus proksimal ( intususeptum )
berinvaginasi kedalam segmen distal ( intususipien ) serta kemudian di dorong ke
distal oleh peristaltik usus. 2 ,3
2.2 Anatomi usus halus 6
Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, yejunum dan ileum. Panjang
duodenum 26 cm, sedangkan yejunum + ileum : 6 m . Dimana 2/5 bagian adalah
yejunum (Snel, 89). Sedangkan menurut schrock 1988 panjang usus halus
manusia dewasa adalah 5-6 m5 . Batas antara duodenum dan yejunum
adalah ligamentum treits.
Yejunum dan ileum dapat dibedakan dari :
1. Lekukan –lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga atas
peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak
pada bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih
merah daripada ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena
lipatan mukosa yang lebih permanen yaitu plica circularis, lebih
besar, lebih banyak dan pada yejunum lebih berdekatan ; sedangkan
3
pada bagian atas ileum lebar, dan pada bagian bawah lipatan ini tidak
ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas
dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan
kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau
dua arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang
berjalan ke dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh
darah yang pendek, yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih
arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan
dan lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa
ileum bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.
Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :
Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedang kan colon
asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus
besar yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang
berjalan ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.
Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam
tiga pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.
4
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar
sakular.
· Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang
dinamakan plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar
tidak mempunyai.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa
usus halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
2.3 Klasifikasi 6
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke
sekum dan menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex
dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai
valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk
masing-masing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran :
39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya
adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964).
2.4 Epidemiologi dan Etiologi 1, 4
Di Netherland dan Jerman, ditemukan angka kejadian intusepsi di bagian bedah
anak 1.2–1.4% dari keseluruhan pasien ( usia populasinya tidak di spesifikasi ). Di
Australia , New Zealand dan Amerika Serikat , insiden intusepsi tidak berbeda
jauh dari yang di temukan di Eropa 0.50 –2.30 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di
5
china, insidensi yang dilaporkan adalah 0.77 kasus per 1000 kelahiran hidup; dari
Kuwait 0.50 kasus per 1000 kelahiran hidup. Amerika serikat memiliki angka
insidens terendah , yaitu 0.24 kasus per 1000 anak > 1 tahun. Di Venezuela
terdapat 0.33 kasus per 1000 anak > 2 tahun . 4
Ada perbedaan yang mencolok pada etiologi invaginasi, antara anak – anak dan
dewasa. Pada anak – anak penyebab atau etiologi terbanyak adalah idiopatik yang
mana lead pointnya tidak ditemukan. Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi,
diduga tindakan masyarakat tradisional berupa pijat perut serta tindakan medis
pemberian obat anti – diare juga berperan pada timbulnya invaginasi sedangkan
pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen oleh suatu
neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi lead pointnya
dapat ditemukan. Keadaan patologik ini terjadi pada lumen usus, yaitu suatu
neoplasma baik yang bersifat jinak dan ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan
ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon. Ataupun akibat hyperplasia
kelenjar limfe usus halus ( Peyer’s patches / Kelenjar limfe mesenterika ). Di
Eropa , pembengkakan kelenjar limfe mesenterika ditemukan 19–50% pada
pasien yang di operasi atau di investigasi dengan USG. Invaginasi yang terbanyak
pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak ( diverticle meckel’s,
polip ). Etiologi lainnya yang frekuensinya lebih rendah seperti tumor extra
lumen seperti lymphoma, diaarhea, riwayat pembedahan abdomen sebelumya,
inflamasi pada appendiks, dan trauma tumpul abdomen.
2.5 Patofisiologi
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus ( obstruksi ) baik partiil
maupun total dan stranggulasi ( Boyd, 1956 ). Proses terjadinya invaginasi
dimulai dengan hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil
menyebabakan usus masuk ke dalam lumen usus distal kemudian
berkontraksi terjadi edema mengakibatkan terjadinya perlekatan yang tidak
dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi.
Sedangkan pada orang dewasa biasanya di awali adanya gangguan motilitas usus
lainnya yang terfiksir/ atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya,karena arah
peristaltik adalah dari oral ke anal sehingga bagian yang masuk ke lumen usus
6
adalah yang arah oral atau proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik
peristaltik usus. Akibat adanya segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya
akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan
aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis
dinding usus.
2.6 Manifestasi klinis
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan adanya
serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan
kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa sakit
berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dengan
serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah,
keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut.
Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi
letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh
kembalinya aliran darah dari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya
sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak
ditemukan. Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan
pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan adanya
masa abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).
Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi
usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya
intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua
disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti intususepsi
pada anak-anak. Pada orang dewaasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang
jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan
diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain
(Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan
kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan
pemeriksaan radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis.
7
Pemeriksaan radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena
tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang
terjadi beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian
diagnosis intussusepsi harus dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan
obstruksi usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.
Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan
membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari
serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-
kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir
melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala
lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa
abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan
(Tumen, 1964).
2.7 Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai
dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi
segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus
bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya
darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja
dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan
mucus pada + 20% kasus. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh
perubahan faali saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang
disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien
biasanya mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut.
Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui
adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat
yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga
8
keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap
diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan.
Muntah reflektif menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai
pada ± 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai
gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa
penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan
sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya
sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain
berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu
sumbatan didapatkan pada 90%. Gejala lain yang dijumpai berupa distensi,
pireksia, Dance’s Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan
darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah
terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sousage Like Sign dijumpai pada + 60%
kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan teraba
seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah
yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai
Dance’s Sign.
Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan
darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di
kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG
membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada
potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan
longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien
ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.
TRIAS INVAGINASI :
Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki
(Craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
Muntah warna hijau (cairan lambung)
9
Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan
dalam) = currant jelly stool
Pemeriksaan Fisik :
Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.
Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan (
Sousage Like Sign )
Nyeri tekan (+)
Dancen sign (+) Sensasi kekosongan padakuadran kanan bawah karena
masuknya sekum pada kolon ascenden
RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina
akibat invaginasi usus yang lama
Radiologis
Foto abdomen 3 posisi :
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika
circularis usus)
Foto abdomen 3 posisi
Colon In loop berfungsi sebagai :
Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi
10
Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi
dan kejadian < 24 jam
Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar
bersama feses dan udara
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit,
meskipun pada umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa
dapat memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja tidaklah
cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan
radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed tomography), meskipun
umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik.
Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin
dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran
barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium
di tempat ini.
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan
tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh
suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika
salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba
pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).
11
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi mempunyai
riwayat perjalanan penyakit yang khronis, bahkan kadang-kadang mencapai waktu
bertahun – tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada orng dewasa daripada
anak-anak (Tumen 1964). Biasanya ditemukan suatu kelainan lokal pada usus
namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan dari literatur 122 kasus
intususepssi khroni primeir pada orang dewasa. Beberapa penulis tidak
menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung terus menerus dalam
waktu demikian lama. Stallman (cit Tumen 1964) mempertanyakan tepatnya
penggunaan istilah intususepsi kronis. Goldman dan Elman (cit Tumen 1964)
mengemukakan keyakinannya bahwa penderita tidak mungkin dapat bertahan
hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1 minggu. Para penulis ini
berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada kasus seperti ini adalah
adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. Adanya
mesenterium yang panjang, yang memungkinkan invaginasi terjadi tanpa
gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat menyebabkan terpeliharanya integritas
striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu yang lama dengan status
kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya terdapat suatu serangan
yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi spontan, dan tindakan
bedah menjadi diperlukan.
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya
yaitu melalui :
12
1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis
seperti diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultrasonography, Barium Enema dan Computed
Tomography)
CT Scan Abdomen
USG ABDOMEN
13
USG DOPPLER
2.8 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan
memberikan prognosa yang lebih baik.
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak
dahulu mencakup dua tindakan :
14
Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter
dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd
tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
Reduksi manual (milking) dan reseksi usus
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit,
mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai
dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat
sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu
operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang
diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada
penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan
halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator.
Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan
cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis
sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomose “end to
end” apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan
exteriorisasi atau enterostomi.
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada saat
pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat
besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli
bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan
usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi
dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak
perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus
yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan
Machleder, 1975 cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi
jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.
1. Pre-operatif
15
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan pada
kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan
koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit
2.Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena kausa
terbanyak intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka
tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat
dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun
yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi – tepi segmen usus yang
terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian
dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak
ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus
retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan,
keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa
riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi
anastosmose .
16
3. Pasca Operasi
Hindari Dehidrasi
Pertahankan stabilitas elektrolit
Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas
usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya
17
adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung
dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi
boleh dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi,
oedema, reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles ,
90). Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk
menghindari / memperkecil timbulnya short bowel syndrom.
Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:
1. Adanya reseksi usus yang etensif
2. Diaarhea
3. Steatorhe
4. Malnutrisi
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan
gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2
meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1
meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989).
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanz-Iko Huppertz Prof. Dr , Montse Soriano-Gabarro MD, MSc , Elisabetta
Franco Prof , Urlich Desselberger MD, Judith Wolleswinkel-van den Bosch
PhD , Carlo Giaquinto MD ,et all. Intussusception Among Young Children in
Europe. The Pediatric Infectious Disease Journal , 2006 January 25 (1) 22-27.
2. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 2010. p270-272
3. Gabriel Conder , John Rendre, et all. Abdominal Radiology –
Intussusception , Cambrige University Press.
4. J Holder , G.K Von Schulthess et all. Disease of the abdomen and pelvis ,
2006 . Springer science , Italy. p218-223 .
5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. 2005. p627-629
6. Di unduh dari http://kedokteranugm.com/?tag=ugm/invaginasi .
19