isbn: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii prosiding seminar nasional pendidikan pgri tahun 2017...
TRANSCRIPT
i
ISBN: 978-602-61512-0-9
ii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017
ISBN : 978-602-61512-0-9
REVIEWER
1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri Jakarta)
2. Dr. Supardi US, M.Pd, MM (Universitas Indraprasta PGRI)
3. Dr. Fathiaty Murthado, M.Pd (Universitas Negeri Jakarta)
4. Dr. Tahrun, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)
5. Dr. Dessy Wardiah, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)
6. Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)
7. Dr. Sigit Ricahyono, S.S, M.Pd (Universitas PGRI Madiun)
8. Dr. Hasbullah (Universitas Indraprasta PGRI)
9. Dian Nuzulia, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)
10. Yudi Darma, M.Pd (IKIP PGRI Pontianak)
11. Rahmatullah, M.Si (Universitas Indraprasta PGRI)
Diterbitkan oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB
PGRI)
Jl. Tanah Abang III No. 24 Jakarta 10160 Indonesia
Email : [email protected]
Cetakan Pertama, April 2017
Hak Cipta dilindungi undang-undang pada Penulis. Dilarang memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun
mekanik. Termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan system
penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
UNDANG – UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak RP.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah.
vi
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ...................................................................................................................... iii
PENGANTAR .................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... vi
PEMAKALAH UTAMA
1. Peranan LPTK Dalam Penguatan Karakter Calon Pendidik
Dr. H. Syarwani Ahmad, M.M. - Universitas PGRI Palembang........................
1-10
2. Pendidikan Karakter Dan Pembiasaan Akhlak Mulia Dalam Pembelajaran
Prof. Dr. Samion, H.AR.,M.Pd. - IKIP PGRI Pontianak....................................
11-16
3. Peran Strategis Perguruan Tinggi Dalam Mengembangkan Karakter Dan Daya
Saing Bangsa
Dr. Parji, M.Pd – Universitas PGRI Madiun.......................................................
17-23
4. Wayang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Karakter
Dendi Pratama - Universitas Indraprasta PGRI Jakarta......................................
24-29
TEMA I : PENDIDIKAN KAREKTER TERKAIT PENDIDIKAN IPS
5. Implementasi Pendidikan Karakter di Program Studi Pendidikan Geografi
Universitas PGRI Palangka Raya
Dedy Norsansi - Universitas PGRI Palangka Raya.................................................
30-38
6. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pijakan Menumbuhkembangkan Karakter
Patriotisme
Maryanto dan Nor Khoiriyah - Universitas PGRI Semarang................................
39-45
7. Nilai-Nilai Karakter Dalam Pelajaran Akuntansi
Fitriyanti - Universitas Sriwijaya Palembang.........................................................
46-50
8. Penerapan Model Mind Mapping Untuk Meningkatkan Penguasaan Materi IPS
Tahun Ajaran 2016/2017
Kukuh Wurdianto - Universitas PGRI Palangka Raya...........................................
51-55
9. Persepsi Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan
(Studi Kasus Universitas PGRI Madiun)
Moh. Ubaidillah - Universitas PGRI Madiun.........................................................
56-60
xiv
94. Mendesain Bahan Ajar Matematika Interaktif Menggunakan Macromedia Flash
Retni Paradesa - Universitas PGRI Palembang.....................................................
634-641
95. Mengembangkan Karakter Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran
Reflektif
Rohana - Universitas PGRI Palembang.................................................................
642-650
96. Reaktualisasi Pendidikan Nasional
Unifah Rosyidi-Universitas Negeri Jakarta............................................................
651-661
97. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru
Wenny Daryani-SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III.................................................
662-668
TEMA VII: SEJARAH, BUDAYA DAN NILAI KARAKTER BANGSA.
98. Identifikasi Kebutuhan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Negeri 1 Belida
Darat Kecamatan Belida Darat Kabupaten Muara Enim Tahun Pelajaran
2016/2017
Anizah - Universitas PGRI Palembang................................................................
669-674
99. Pembelajaran Perilaku Keteladanan dan Antikorupsi Guna Meningkatkan
Kualitas Karakter Generasi Muda Menuju Indonesia Emas
Dwi Rohman Soleh - Universitas PGRI Madiun..................................................
675-682
100. Kosmologi Dalam Relief Candi Borobudur Sebagai Sumber Pembelajaran
Sejarah (Studi Ikonografi Candi Borobudur)
Feri Fitriansyah, M. Idris dan Ahmad Zamhari-Universitas PGRI Palembang...
683-690
101. Teknologi Dalam Kebudayaan Mataram Kuno Sebagai Sumber Pembelajaran
Sejarah (Studi Ikonografi Relief Candi Borobudur)
Idil Putra dan Sukardi - Universitas PGRI Palembang......................................
691-699
102. Mengembangkan Pendidikan Karakter Untuk Mengembalikan Marwah Bangsa
Melalui Kearifan Lokal
Moh. Zuhdi - STKIP PGRI Sumenep....................................................................
700-709
103. Siter Arah (Pensil Karakter Sejarah) Sebagai Media Penanaman Nasionalisme
Peserta Didik Kelas IV SDN Klumpit Kabupaten Madiun
Novi Triana Habsari - Universitas PGRI Madiun.................................................
710-726
104. Pendidikan Antikorupsi Dalam Membentuk Kompetensi Kepribadian
Mahasiswa di Perguruan Tinggi LPTK
Ratna Nurdiana - STKIP PGRI Lamongan..........................................................
727-738
105. Pengembangan Profesionalitas Guru dan Pendidikan Karakter Dalam
Meningkatkan Marwah Bangsa
Renata - Universitas PGRI Palembang.................................................................
739-744
106. Dunia Fauna Dalam Kebudayaan Mataram Kuno Sebagai Sumber Pembelajaran
Sejarah (Studi Ikonografi Relief Candi Borobudur)
Riky Febrianto dan Muhamad idris - Universitas PGRI Palembang....................
745-753
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
642
MENGEMBANGKAN KARAKTER MAHASISWA CALON GURU
MELALUI PEMBELAJARAN REFLEKTIF
Rohana
Prodi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP, Universitas PGRI Palembang
Kata Kunci ABSTRAK
Karakter,
pembelajaran reflektif,
mahasiswa calon guru
Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
merupakan fungsi pendidikan nasional yang harus dilaksanakan
melalui proses pembelajaran. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan
dan penguatan kompetensi guru dan calon guru menjadi sangat
penting. Salah satu upaya tersebut menyangkut
pendekatan/model/strategi yang digunakan dalam pembelajaran.
Adapun yang menjadi pertimbangan dalam memilih
pendekatan/model/strategi pembelajaran diantaranya adalah
pengembangan model pembelajaran sesuai konteks peningkatan
mutu hasil belajar secara terus-menerus dan bersifat komprehensif.
Pembelajaran reflektif merupakan pembelajaran yang melibatkan
proses berfikir reflektif dalam prosesnya. Beberapa aktivitas yang
ditawarkan untuk mendorong mahasiswa calon guru melakukan
proses berfikir reflektif. Penerapan pembelajaran reflektif secara
konsisten dan berkelanjutan akan membentuk kebiasaan berefleksi
terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu seperti kebiasaan
memonitor, mengontrol, dan mengevaluasi apa yang telah
dilakukan. Melalui penerapan pembelajaran reflektif, tidak hanya
aspek kognitif yang berkembang, namun juga aspek afektifnya.
Pada akhirnya diharapkan dapat membentuk insan cerdas yang
berkarakter. Makalah ini akan mengkaji secara teoritis kaitan
pembelajaran reflektif untuk mengembangkan karakter
mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru.
PENDAHULUAN
Pentingnya pendidikan sebagai landasan
bagi pembangunan bangsa sudah disadari oleh
para pendiri bangsa ini melalui paradigma
”Build Nation Build School” (Muhajir &
Khatimah, 2013:4). Bahkan, Plato (dalam
Suyitno, 2011:3) menegaskan bahwa ”seperti di
sekolah, itulah negara”. Makna ucapan Plato ini
adalah keadaan apa yang diinginkan dalam
suatu negara harus dibangun melalui
pendidikan di sekolah. Hasil pendidikan yang
diberikan di sekolah akan menentukan dan
membentuk corak kehidupan suatu bangsa di
masa depan. Sebagaimana dinyatakan oleh
Dewantara (1962:3) bahwa,
mendidik anak, itulah mendidik rakjat.
Keadaan dalam hidup dan penghidupan
kita pada djaman sekarang itulah
buahnja pendidikan jang kita terima dari
orang tua pada waktu kita masih kanak-
kanak. Sebaliknja, anak-anak jang pada
waktu ini kita didik, kelak akan mendjadi
warganegara kita.
Makna pendidikan yang dimaksud oleh Ki
Hajar Dewantara adalah pendidikan sebagai
upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh
anak didik. Oleh sebab itu guru atau calon guru
memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun karakter bangsa.
Secara historis, pendidikan karakter
bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia, semua undang-undang yang
berlaku (UU 4/1950; 12/1954; 2/1989) dengan
rumusannya yang berbeda secara substansif
memuat pendidikan karakter (Saepudin, 2010).
Saat ini, pendidikan karakter kembali menjadi
komitmen nasional di Indonesia yang
dituangkan dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN). Dalam Pasal 3 UUSPN
disebutkan bahwa pendidikan nasional
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
643
berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Amanat dari UUSPN ini
adalah bahwa pendidikan tidak hanya
melahirkan insan yang cerdas secara
intelektual, namun juga berkarakter. Pada
akhirnya diharapkan peserta didik memiliki
kompetensi sikap (attitude), keterampilan
(skill), dan pengetahuan (knowledge) jauh lebih
baik dengan lebih kreatif, inovatif, dan lebih
produktif, sehingga nantinya mereka bisa
sukses dalam menghadapi berbagai persoalan
dan tantangan di zamannya, memasuki masa
depan yang lebih baik.
Namun kenyataannya, saat ini bangsa
Indonesia mengalami keterpurukan dalam
kualitas pendidikan. Sudah menjadi
keprihatinan umum apabila berbagai perilaku
spontan destruktif telah menggejala pada
peserta didik di Indonesia, seperti: perkelahian
antar pelajar, pesta narkoba, geng motor, kebut-
kebutan di jalan raya, dan sebagainya. Menurut
Sirajuddin (2009:189), hal tersebut dikarenakan
miskinnya pengalaman berefleksi pada peserta
didik kita dan dimensi reflektif telah lama
diabaikan dalam praksis pembelajaran di negeri
ini.
Proses belajar mengajar di kelas
merupakan suatu kegiatan yang dapat
menumbuhkembangkan karakter melalui
pembiasaan. Agar hasil dari pendidikan
karakter dalam lingkup pembelajaran di kelas
terlaksana secara optimal hendaknya pendidik
merancang dan melaksanakan suatu strategi,
model, ataupun pendekatan pembelajaran yang
dapat mengembangkan kemampuan akademik
sekaligus mengembangkan karakter peserta
didik. Terlebih lagi bagi institusi LPTK yang
mendidik calon guru, harus mampu
menghasilkan lulusan yang mampu
memunculkan dan mengembangkan nilai-nilai
karakter tersebut.
Pembelajaran reflektif (Reflective
Learning) dapat dijadikan salah satu alternatif
pembelajaran karena mampu mengakomodasi
kegiatan berfikir reflektif pada prosesnya.
Refleksi dalam konteks pembelajaran
dirumuskan Boud, Keogh & Walker (Boud,
2001) sebagai kegiatan intelektual dan afektif
yang melibatkan peserta didik dalam upaya
mengekplorasi pengalaman mereka untuk
mencapai pemahaman dan apresiasi-apresiasi
baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Insuasty
dan Castillo (2010) bahwa refleksi harus
menjadi bagian yang mendasar bagi
pengembangan guru karena guru memiliki
kewajiban untuk mampu mengevaluasi dan
menata kembali kemampuan mengajar agar
dapat mengoptimalkan proses belajar-
mengajar. Selain itu, Zeichner dan Liston
(dalam Radulescu, 2013) menegaskan bahwa
konsep pembelajaran reflektif sebagai sarana
untuk mengembangkan kemampuan
profesional guru. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pembelajaran reflektif dapat
mengembangkan kesadaran individu untuk
melakukan refleksi terhadap dirinya sehingga
terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol
dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya.
Pada akhirnya, individu tersebut akan terlatih
untuk selalu merancang strategi terbaik dalam
memilih, mengingat, mengenali kembali,
mengorganisasi informasi yang dihadapinya,
serta dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal
ini tidak hanya aspek kognitif individu yang
berkembang, namun juga aspek afektifnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, makalah
ini akan menguraikan secara teoritis konsep
karakter dan pendidikan karakter, serta
bagaimana pembelajaran reflektif berpotensi
mengembangkan karakter individu khususnya
bagi mahasiswa calon guru.
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Karakter
Istilah karakter baru dipakai secara
khusus dalam konteks pendidikan pada akhir
abad 18 yang dicetuskan pertama kalinya oleh
pedagog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini
mengacu pada sebuah pendekatan idealis-
spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal
dengan teori pendidikan normatif. Adapun yang
menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden
yang dipercaya sebagai motor penggerak
sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah
perubahan sosial (Muslich, 2011:37).
Menurut Kevin Ryan dan Karen Bohlin
dalam Gelpi (2008:28) istilah karakter berasal
dari bahasa Yunani ”charassein”, yang
berarti ukiran di atas batu permata atau
permukaan besi yang keras. Dari sinilah
kemudian berkembang pengertian karakter
yang diartikan sebagai tanda khusus. Pada
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
644
manusia dimaknai sebagai pola perilaku
individu yang merupakan cerminan dari dasar
moralitasnya (an individual’s pattern of
behavior...his moral constitution).
Karakter dalam Bahasa Indonesia berarti
watak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
watak adalah “sifat batin manusia yg
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah
laku”. Kevin Ryan (dalam Vincent, 2007)
menyatakan bahwa karakter adalah dasar
moral seseorang yang tercermin dalam pola
perilakunya. Dasar moral seseorang terbangun
melalui pengamatan terhadap apa yang ada di
sekitarnya seperti: orang tua, kerabat, guru,
pelatih, tetangga. Melalui apa yang diamati
itulah mulai ditumbuhkan kebiasaan bersikap
sopan atau bersikap tidak sopan. Karakter
ditumbuhkan melalui pemahaman mengenai
nilai-nilai kemanusiaan dan penerapannya
yang akan mempertajam respon intelektualitas
serta pemikiran dibentuk sebagai sebuah peta
jalan moral. Karakter juga dibentuk oleh apa
yang telah dilakukan untuk orang lain dan
pelayanan untuk orang lain baik di lingkungan
sekolah maupun di masyarakat.
Sementara itu, Prayitno dan Khaidir
(dalam Budimansyah, 2012:3)
mendefinisikan karakter sebagai sifat pribadi
yang relatif stabil pada diri individu yang
menjadi landasan bagi penampilan perilaku
dalam standar nilai dan norma yang tinggi.
Prayitno dan Khaidir menyatakan bahwa
hidup berkarakter adalah hidup yang
dikehendaki, yakni yang menempuh jalan
lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan
norma sesuai dengan fitrah manusia yang
berorientasi kebenaran dan keluhuran.
Namun, kata karakter (character)
sering ditukarpakaikan dengan kata
kepribadian (personality), padahal kedua kata
ini adalah dua hal yang berbeda. Sebagaimana
dikemukakan oleh Kupperman (1991:5)
bahwa, ”the word personality sometimes
treated as interchangeable with character,
although its connotations are often very
different”. Karakter (character) tidak sama
dengan kepribadian (personality). Dalam
referensi yang sama, Kupperman
mengemukakan bahwa karakter lebih
berkonotasi morality dibandingkan dengan
kepribadian (personality). Selanjutnya,
Kupperman mengartikan personality sebagai
kualitas atau kumpulan dari kualitas yang
membuat seseorang berbeda dari yang lain,
”that quality or assemblage of qualities which
makes a person what he is, as distinct from
other persons”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
dipahami bahwa karakter merupakan
perwujudan/manifestasi/cerminan dari segala
nilai kebaikan dan segala potensi kebaikan yang
telah ada dalam diri manusia yang disebut
fitrah. Tetapi fitrah itu tidak dapat muncul
secara otomatis menjadi karakter, melainkan
perlu dimunculkan dengan sengaja dengan cara
membangun kemampuan berpikir secara
berkesinambungan. Manusia yang berkarakter
adalah manusia yang sikap batiniah dan
perilaku lahiriahnya merupakan cerminan dari
segala nilai kebaikan yang telah ada di dalam
dirinya. Jadi, karakter adalah perwujudan segala
nilai-nilai kebaikan dan potensi kebaikan yang
ada dalam diri manusia.
1.2 Konsep Pendidikan Karakter
Meskipun nilai-nilai kebaikan dan
potensi kebaikan (fitrah) itu sudah ada dalam
setiap diri manusia, namun fitrah tersebut
tidak muncul secara otomatis, dan harus
dimunculkan lewat suatu usaha. Jika usaha
terarah secara benar maka fitrah itu akan
muncul dan menghasilkan karakter. Tetapi
jika usaha itu terarah ke arah yang salah maka
fitrah tidak akan muncul. Douglas (dalam
Samani dan Haryanto, 2012:41) menegaskan
bahwa karakter tidak diwariskan tetapi
sesuatu yang dibangun secara
berkesinambungan hari demi hari melalui
pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran,
tindakan demi tindakan. Untuk memunculkan
karakter tersebut dilakukan melalui
pendidikan, yang lebih dikenal dengan
pendidikan karakter.
Elkind & Sweet (Kemdiknas, 2010),
memaknai pendidikan karakter sebagai:
“character education is the
deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon
core ethical values. When we think
about the kind of character we want
for our children, it is clear that we
want them to be able to judge what is
right, care deeply about what is right,
and then do what they believe to be
right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan
pendidik, yang mampu mempengaruhi karakter
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
645
peserta didik. Pendidik membantu
memunculkan karakter peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan, diantaranya:
bagaimana perilaku pendidik, cara pendidik
berbicara atau menyampaikan materi,
bagaimana pendidik bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya. Dengan demikian terlihat
pendidik memiliki peran besar dalam
menyentuh karakter peserta didik kearah yang
lebih baik. Situasi pembelajaran di kelas sangat
memungkinkan sekali bagi pendidik untuk
memunculkan dan mengembangkan karakter
kepada pada peserta didik sehingga dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam aplikasi pendidikan karakter,
pendidik dihadapkan dilema yang terletak pada
kurikulum tersembunyi dan perlunya
komitmen dalam mengajar yang terbuka dan
menyeluruh pada aspek-aspek sekolah.
Sebagaimana dinyatakan Narvaez (dalam
Anwar, 2012), ba h wa :
“ the dilemma that faces teacher
educator, then is whether it is
acceptance to allow character
education to remain part of a
school’s hidden curriculum or whether
advocacy for the value commitments
immanent to education and teaching
should be transparent, intentional
and public”.
Kegamangan para pengajar ini dapat dimaklumi,
mengingat hal itu bukanlah sesuatu yang
sederhana. Apabila pendidikan karakter
diposisikan sebagai hidden curriculum, berarti
pendidikan karakter bukanlah sebagai mata
pelajaran yang berdiri sendiri, bukan sesuatu
yang terstruktur, juga bukan sesuatu yang
terencana. Padahal pendidikan karakter harus
diajarkan di kelas bersama-sama dengan
berbagai mata pelajaran lainnya dan harus
dievaluasi. Sesuatu yang harus diajarkan di
kelas, tidak mungkin dilakukan tanpa
perencanaan dan tanpa langkah aplikasi yang
sistematis. Kemudian pada saat evaluasi para
pengajar pun dihadapkan pada kebingungan
bagaimana cara mengevaluasi sesuatu yang
tersembunyi/ terselubung itu. Jika pendidikan
karakter bersifat terencana, terbuka,
terstruktur/sistematis, ada materinya dan ada alat
ukurnya, maka itu berarti sudah bukan materi
terselubung lagi. Inilah dilema yang dihadapi
para pengajar di lapangan.
Kesimpangsiuran pengertian pendidikan
karakter ini sudah disadari oleh beberapa ahli
dengan cara memberikan sebuah konsep yang
utuh tentang pendidikan karakter beserta
metodenya. Pertama, Ryan (dalam Vincent,
2007) mengungkapkan pengertian pendidikan
karakter dalam bahasa kiasan yang tegas
“Character education is not another thing to be
added to the plate. It is the plate”, pendidikan
karakter bukanlah kegiatan ‘menuangkan suatu
benda asing ke atas piring’, tetapi karakter
adalah ‘piring’ itu sendiri. Kedua, Mulyasa
(2011:5) mengemukakan bahwa pendidikan
karakter memiliki makna yang lebih tinggi
daripada pendidikan moral karena pendidikan
karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah
benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan
kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik
dalam kehidupan, sehingga peserta didik
memiliki kesadaran, dan pemahaman yang
tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk
menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini sejalan dengan ungkapan
Aristoteles (Aristotle, 1958) bahwa karakter
erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang
terus menerus dipraktikkan dan diamalkan.
Ketiga, Su’ud, dkk. (2011:50) menegaskan
bahwa nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan.
Hal ini mengandung makna bahwa materi nilai
budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan
ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan
pokok bahasan yang dikemukakan seperti
halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,
prosedur, ataupun fakta seperti yang tercantum
dalam mata kuliah. Mata kuliah digunakan
sebagai bahan atau media untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter adalah usaha untuk
membangkitkan karakter peserta didik
(siswa/mahasiswa) melalui pembentukan
kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir
peserta didik dibentuk melalui sebuah
pembelajaran yang sistematis. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Proses Membentuk Karakter Peserta didik
KARAKTER PEMBELAJARAN KEMAMPUAN
BERPIKIR
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
646
Proses membentuk karakter peserta didik
merupakan usaha yang harus terus menerus
dilakukan tanpa mengenal kata berhenti.
Sebagaimana ditegaskan oleh Aristotle (dalam
Megawangi, 2007:59) bahwa manusia tidak
secara alami atau spontan tumbuh menjadi
manusia yang bermoral baik atau menjadi
bijaksana, mereka bisa demikian hanya karena
usaha yang dilakukan seumur hidup oleh
individu atau masyarakat.
1.3 Makna Belajar dan Pembelajaran
dalam Pendidikan Karakter
Surya (2003) mengemukakan bahwa
pembelajaran merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh
suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Menurut Hergenhahn & Olson
(2009), kebanyakan teoritisi/ahli psikologi
memandang bahwa belajar adalah sesuatu yang
terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman
dan mendahului perubahan perilaku.
Hergenhahn&Olson(2009) menggambarkan
situasi belajar dalam diagram berikut ini:
Gambar 2
Pengaruh belajar terhadap perubahan perilaku
Dapat dikatakan bahwa jika seorang individu
belajar maka sangat memungkinkan terjadi
perubahan perilaku pada individu tersebut.
Begitupun dengan perilaku berkarakter akan
terbentuk melalui proses belajar, didesain
secara sadar dan bukan secara kebetulan.
Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) UPI
(Kesuma, Permana &Triatna, 2010)
menyatakan bahwa belajar dalam konteks
pendidikan karakter merupakan proses
menerima atau menolak dan menyalurkan nilai
untuk diadopsi atau diabaikan dalam perilaku
keseharian anak yang dipengaruhi oleh
kondisi/potensi awal yang dimiliki anak. Dalam
referensi yang sama dikatakan bahwa belajar
dideskripsikan sebagai proses yang
memunculkan analisis kognisi, afeksi dan
psikomotor secara terpadu dan menghasilkan
keputusan apakah hal tersebut akan diterima
atau ditolak. Proses belajar dalam konteks
membentuk karakter akan digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3
Proses Belajar dalam Konteks Pendidikan Karakter
(Sumber: Kesuma, Permana&Triatna, 2010: 423)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dari sudut
pandang pendidikan karakter merupakan proses
interaksi alamiah antara peserta didik dan
lingkungan belajarnya yang merujuk pada
penanaman nilai. Oleh karena itu tidak ada
perilaku yang bebas nilai. Pendidik berperan
Variabel Independen
Variabel Perantara
Variabel Dependen
Pengalaman
Belajar
Perubahan Perilaku
+ +
(Potensi Awal)
++++
(Hasil Belajar)
Proses Belajar
-
_
+
_
+
_
-
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
647
untuk menetralisir energi negatif menjadi energi
positif.
1.4 Prinsip-prisip Pembelajaran Reflektif
Pembelajaran reflektif dikembangkan
berdasarkan landasan filosofis konstruktivisme
dan landasan psikologi kognitif (teori belajar).
Pada hakekatnya konstruktivisme dalam
pembelajaran merupakan suatu pendekatan
dalam pembelajaran yang didasarkan pada
pengalaman (experience is the only basis for
knowledge and wisdom), yang kemudian
direorganisasi dan direkonstruksikan. Oleh
karena pengetahuan itu dikonstruksi oleh
peserta didik sendiri secara personal maupun
sosial, maka pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari pendidik ke peserta didik,
kecuali dengan keaktifan nalar peserta didik
sendiri yang berlangsung secara terus menerus.
Dewey menekankan peranan
pengalaman dalam proses belajar manusia yang
diperoleh melalui proses berfikir reflektif.
Selain itu Degeng (Sirajuddin, 2009)
menyebutkan bahwa dalam pandangan
konstruktivisme belajar merupakan penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, refleksi, dan interpretasi. Jadi
dalam proses pembelajaran, individu
mempelajari sesuatu tidak dilakukan secara
pasif tapi secara aktif. Artinya peserta didik
harus aktif membangun pengetahuan maupun
pemahaman dengan cara menemukan makna
dari apa yang dipelajari. Dalam hal ini, pendidik
berfungsi sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu dan membimbing peserta didik
dalam proses membangun pengetahuannya agar
tahu cara dan memiliki kemampuan untuk dapat
belajar.
Setiap individu dikarunia dengan banyak
pengalaman. Baik atau buruk, pengalaman ini
dapat digunakan untuk melanjutkan belajar dan
membuat pilihan penting bagi kehidupan
mereka. Hal ini dapat dicapai dengan alat
penting yang disebut pembelajaran reflektif.
Boyd & Fales (Tebow, 2008) mendefinisikan
pembelajaran reflektif sebagai "the process of
internally examining and exploring an issue of
concern, triggered by an experience, which
creates and clarifies meaning in terms of self,
and which results in a changed conceptual
perspective", yaitu suatu proses internal
memeriksa dan mengeksplorasi isu yang
memprihatinkan, dipicu oleh pengalaman, yang
menciptakan dan menjelaskan makna dari segi
diri, dan yang menghasilkan perspektif
konseptual perubahan".
Berpikir reflektif harus ada dalam
proses belajar mengajar di kelas. Berpikir
reflektif membuat siswa lebih menyadari apa
yang sedang dipelajarinya dan memberikan
kemungkinan pemahaman yang lebih
mendalam dalam setiap apapun yang
dipelajarinya. Menurut Perkins (Dharma,
2007:302) pembelajaran reflektif
memungkinkan kita menjadi apapun yang kita
mampu jika kecerdasan reflektif dipupuk dan
dikembangkan dengan serius. Sparrow, Tim
and Jo Maddock (2006) dalam artikelnya
tentang reflective lerning menyatakan:
The practice of reflective learning is
part of a continuous process of learning
and developing: I become aware of my
next experience, reflect upon it and
evaluate it in relation to my other
experiences and reinforce or revise my
self knowledge.
Adapun makna dari kalimat diatas, praktek
pembelajaran reflektif adalah bagian dari
proses pembelajaran dan perkembangan secara
terus-menerus. Seseorang menjadi sadar
melalui pengalamannya. Dengan
merefleksikan dan mengevaluasi
pengalamannya, seseorang dapat memperkuat
atau merevisi pengetahuannya.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya,
dapat dikatakan bahwa pembelajaran reflektif
bertumpu pada pengalaman dan kemampuan
berpikir reflektif, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan analisis atau
pengalaman individual yang dialami, dan
memfasilitasi pembelajaran dari pengalaman
tersebut. Dengan adanya kebiasaan berpikir
reflektif, seseorang dapat menanggapi secara
mendalam dan kritis atas pengalamannya
sendiri yang pada akhirnya mampu memilih
tindakan yang cocok untuk pengembangan
dirinya.
1.5 Penerapan Pembelajaran Reflektif
Belum ada konsensus yang menetapkan
bagaimana tepatnya pembelajaran reflektif ini
diaplikasikan di dalam kelas. Namun, menurut
Song, Koszalka dan Grabowski (2005)
setidaknya ada 3 hal penting yang harus
diperhatikan pendidik dalam mendorong proses
berfikir reflektif di kelas, yaitu:
a. Metode mengajar dapat
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
648
mempengaruhi perkembangan
keterampilan berpikir reflektif
p e s e r t a d i d i k , misalnya:
metode mengajar dengan aktivitas
berorientasi inquiri dengan memberi
peserta didik pertanyaan yang sarat
akan pemikiran, penjelasan yang
mendeskripsikan konsep baru,
pemberian waktu-tunggu yang
efektif bagi p e s e r t a d i d i k untuk
berpikir sebelum memberikan reaksi,
dan menyediakan situasi nyata dan
ilmu pengetahuan yang kontekstual
tentang informasi baru yang sedang
dipelajari.
b. Scaffolding tools (alat perancah),
seperti jurnal interaktif,
pertanyaan-pertanyaan yang
mendorong, dan peta konsep.
c. Learning Environment (lingkungan
belajar) mendorong peserta
didik untuk mengkonstruksi makna
secara aktif dan reflektif, misalnya
dengan menyediakan instruksi yang
memungkinkan kontrol dari peserta
didik sehingga mendorong mereka
untuk membuat keputusan mereka
sendiri berkaitan dengan proses
belajar mereka.
Berikut ini adalah argumentasi bagi
penerapan pembelajaran reflektif menurut
Drost (dalam Sirajuddin, 2009), yaitu:
a. Pembelajaran reflektif dapat diterapkan
pada semua jenis kurikulum sebagai
suatu sikap, mentalitas, dan pendekatan
yang konsisten yang mewarnai seluruh
proses pembelajaran.
b. Pembelajaran reflektif dapat diterapkan
tidak hanya pada disiplin akademis tapi
juga pada ranah non akademis.
c. Memungkinkan para pendidik untuk
memperkaya baik isi maupun susunan
bahan pelajaran, sedangkan peserta
didik dapat belajar lebih aktif dan
bertanggungjawab.
d. Memungkinkan peserta didik
menghubungkan bahan pelajaran
dengan pengalaman mereka dan belajar
dari pengalaman tersebut.
e. Penerapan pembelajaran reflektif
secara konsisten dan berkelanjutan
akan membentuk kebiasaan berefleksi
terlebih dahulu sebelum melakukan
sesuatu.
f. Membangun kepekaan nurani terhadap
hubungan-hubungan manusiawi,
sehingga membuat peserta didik
semakin peduli terhadap sesama.
1.6 Strategi Mengembangkan Karakter
melalui Pembelajaran Reflektif
Menurut Kesuma, Permana & Triatna
(2010), proses pembelajaran reflektif dapat
diimplementasikan melalui integrasi materi-
materi pada setiap mata pelajaran/perkuliahan
dengan nilai-nilai tertentu yang akan diperkuat
menjadi sikap/perilaku individu.
Berikut merupakan tahapan yang
sebaiknya dilakukan oleh pendidik untuk
mengintegrasikan nilai-nilai karakter melalui
pembelajaran reflektif yang dimodifikasi
berdasarkan pendapat Kesuma, Permana &
Triatna (2010) adalah sebagai berikut:
a. Pendidik menyusun Rencana
Pembelajaran berbasis karakter. Lebih
baik lagi jika nilai-nilai karakter yang
dirujuk tersebut merupakan hasil
kesepakatan antara institusi dan
stakeholder yang menjadi visi institusi
tersebut.
b. Pendidik
merancang/menyusun/menggunakan
bahan ajar yang mengintegrasikan
nilai-nilai karakter di dalamnya. Bahan
ajar tersebut diharapkan tidak hanya
menyajikan materi/pengetahuan, tetapi
yang juga menguraikan nilai-nilai
yang yang terkait dengan
materi/pengetahuan tersebut. Nilai-
nilai tersebut diinternalisasi dalam
aktifitas-aktifitas belajar aktif sehingga
mampu mendorong terjadinya
autonomous learning dan bersifat
learner-centered.
c. Pendidik melakukan apersepsi yang
kontekstual dengan kehidupan peserta
didik dan terkait dengan materi yang
akan dibahas.
d. Melakukan pembelajaran sebagaimana
didesain dalam Rencana Pembelajaran.
Dalam pelaksanaan kegiatan inti
pembelajaran, pendidik melakukan
elaborasi terhadap berbagai makna dari
materi yang dibahas/dikaji.
e. Melakukan evaluasi melalui
pengamatan terhadap sejauhmana nilai-
nilai yang akan dikuatkan atau
dikembangkan muncul dalam perilaku
peserta didik.
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
649
f. Memberi catatan khusus jika ada
peserta didik yang secara khusus
memiliki perkembangan perilaku yang
berbeda dengan kelompoknya atau
tidak sesuai dengan tahapan
perkembangannya, apakah bersifat
positif atau negatif.
g. Memberikan referensi/rujukan kepada
pendidik lain atau pihak yang
berkepentingan untuk menangani
peserta didik yang dikategorikan
memiliki kekhususan dalam
perkembangan nilai dan karakter.
h. Pelaksanaan pembelajaran reflektif
dapat terjadi pada setiap tahap dari
tahap proses pembelajaran. Misal,
ketika pendidik membiasakan untuk
menyapa peserta didik sebelum
pembelajaran dimulai secara reflekif
pendidik tersebut membelajarkan nilai
keramahan kepada peserta didiknya.
i. Aktivitas belajar yang dapat membantu
peserta didik menginternalisasi nilai-
nilai adalah aktivitas-aktivitas belajar
aktif yang antara lain mendorong
terjadinya autonomous learning dan
bersifat learner-centered.
Pembelajaran yang memfasilitasi
autonomous learning dan berpusat
pada peserta didik secara otomatis akan
membantu siswa memperoleh banyak
nilai.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pembahasan
sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:
a. Karakter merupakan perwujudan segala
nilai-nilai kebaikan dan potensi kebaikan
yang ada dalam diri manusia, dimunculkan
secara sengaja dengan cara membangun
kemampuan berpikir yang
berkesinambungan. Manusia yang
berkarakter adalah manusia yang sikap
batiniah dan perilaku lahiriahnya
merupakan cerminan dari segala nilai
kebaikan yang telah ada di dalam dirinya.
b. Pembelajaran dari sudut pandang
pendidikan karakter merupakan proses
interaksi alamiah antara peserta didik dan
lingkungan belajarnya yang merujuk pada
penanaman nilai. Oleh karena itu tidak ada
perilaku yang bebas nilai. Pendidik berperan
untuk menetralisir energi negatif menjadi
energi positif.
c. Pembelajaran reflektif dapat
mengembangkan kesadaran peserta didik
untuk melakukan refleksi terhadap dirinya,
peserta didik akan terlatih untuk selalu
merancang strategi terbaik dalam memilih,
mengingat, mengenali kembali,
mengorganisasi informasi yang
dihadapinya, serta dalam menyelesaikan
masalah. Tidak hanya aspek kognitif peserta
didik yang berkembang, namun juga aspek
afektifnya. Melalui pengembangan
kesadaran untuk melakukan proses refleksi
inilah, peserta didik diharapkan akan
terbiasa untuk selalu memonitor,
mengontrol dan mengevaluasi apa yang
telah dilakukannya. Oleh karena itu
pembelajaran reflektif berpotensi
memunculkan karakter peserta didik
khususnya pada mahasiswa calon guru.
Daftar Pustaka
Anwar, Vita Nova. (2012). Pengaruh
Pembelajaran Eksploratif terhadap
Peningkatan Kemampuan Penalaran,
Kemampuan Komunikasi, dan Karakter
Matematis Siswa Menengah Pertama.
Tesis Pendidikan Matematika SPS UPI.
Aristotle. (1958). The Pocket of Aristotle.
Edited with Prefatory Notes by Justin D.
Kaplan. Pocket Books. New York: Inc
Publisher.
Boud, D. (2001). Using journal writing to
enhance reflective practice. In English,
L. M. and Gillen, M. A. (Eds.)
Promoting Journal Writing in Adult
Education. New Directions in Adult and
Continuing Education No. 90. San
Francisco: Jossey-Bass, 9-18.
Budimansyah, D. (2012). Perancangan
Pembelajaran Berbasis Karakter.
Bandung: Widya Aksara Press.
Dewantara, K.H. (1962). Pendidikan.
Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa.
Dharma, Lala Herawati. (2007). Brain Based
Teaching: Merancang Kegiatan Belajar
Mengajar yang Melibatkan Otak,
Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetik
dan Reflektif. Bandung: Kaifa.
Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017
650
Gelpi, M.D. 2008. Jesuit High Schools as
Communities of Character. United
States: ProQuest LLC. [Online]. Diakses
dari http://www.books.google.com
books?isbn=054963861X. Hergenhahn, B.R & Olson, M.H.(2008).
Theories of Learning (Teori Belajar),
Edisi Ketujuh. Pearson Education. Alih
Bahasa oleh Tri Wibowo (2009). Jakarta:
Kencana.
Insuasty, E.A. dan Castillo, L.C.Z. (2010).
Exploring Reflective Teaching through
Informed Journal Keeping and Blog
Group Discussion in the Teaching
Practicum. PROFILE: Issues in Teachers` Professional Development Vol.12 No.2, October 2010. ISSN 1657-
0790. Bogotá, Columbia, hlm 87-105.
Kemdiknas. (2010). Panduan Pendidikan
Karakter di SMP. Jakarta: Kemdiknas.
Kesuma, D, Permana, J, Triatna, Cepi. (2010).
Model Pembelajaran dalam Pendidikan
Karakter. Proceedings of The 4th
International Conference on Teacher
Education, Join Conference UPI &
UPSI. Bandung, Indonesia, 8-10
November 2010.
Kupperman, J.J. (1991). Character. New York:
Oxford University Press.
Megawangi, R. (2007). Pendidikan Karakter:
Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage
Fondation
Muhajir & Khatimah, Y.R. (2013). Buku
Pedoman Pengembangan dan
Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemdikbud RI.
Mulyasa. (2011). Manajemen Pendidikan
Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter:
Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Radulescu, C. (2013). Reinventing Reflective
Learning Methods in Teacher Education.
Procedia - Social and Behavioral
Sciences 78 (2013) 11 – 15.
Saepudin, Asep. (2010). Membangun Karakter
Bangsa melalui Pembelajaran di Sekolah.
Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education, Join
Conference UPI & UPSI. Bandung,
Indonesia, 8-10 November 2010.
Samani, M. dan Hariyanto. (2012). Konsep dan
Model Pendidikan Karakter. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Su’ud, A., Suwandi, Sudharto, & Tim IKIP
PGRI Semarang. (2011). Pendidikan
Karakter di Sekolah dan Perguruan
Tinggi. Semarang: IKIP PGRI Semarang
Press.
Suyitno, H. (2011). Nilai-nilai Matematika dan
Relevansinya dengan Pendidikan
Kewarganegaraan. Disampaikan sebagai
Pidato Pengukuhan Guru Besar FMIPA
Unnes pada tanggal 16 Maret 2011.
Semarang: Unnes (Tidak Diterbitkan).
Sirajuddin. (2009). Model Pembelajaran
Reflektif: Suatu Model Belajar Berbasis
Pengalaman. Dalam Didaktika Jurnal
Kependidikan Vol 4 No.2 hal 189-200.
Song, H.D., Koszalka, T. A., dan Grabowski, B.
(2005). Exploring Instructional Design
Factors Prompting Reflective Thinking
in Young Adolescents. In Canadian
Journal of Learning and Technology, Vol
31, No. 2, 49-68.
Tebow, Fall Melinda. (2008). “Reflective
Learning in Adult Education”.
Dalam Artikel [online]. Tersedia:
http://adulteducation.wikibook.us/index. php?title=Reflective LearninginAdult_Education. [20 Januari
2013].
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
Vincent, P.F. (2007). An Introduction to
Character Education for Parents and
Guardians. [Online]. Diakses dari
http://www.charactered.net/parent/
vincentintro.asp.