islam, dari allah untuk manusia

129
Pengantar Singkat Studi Islam Hammis Syafaq Pendahuluan Islam adalah agama yang datang dari Allah, diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada seluruh umat manusia, yang dimulai ketika Nabi Muhammad berada di Gua Hira. Wahyu itu berlanjut hingga hampir 23 tahun dan dibukukan dalam bentuk mushaf al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab, karena Nabi Muhammad, sebagai penerima wahyu, adalah berasal dari bangsa Arab. Itu artinya bahwa bahasa al-Qur’an itu bersifat partikular, sementara pesannya adalah universal. Oleh karena itu, Islam yang disampaikan melalui bahasa Arab yang bersifat lokal tersebut harus selalu digali dan diformulasikan ke dalam lokus bahasa dan budaya non-Arab, sehingga Islam tidak menjadi agama yang eksklusif dengan khas bangsa Arab. Maka, dalam memahami Islam diperlukan pemahaman terhadap beberapa hal, di antaranya adalah konteks historis seputar kehidupan Nabi Muhammad (sirah Nabawiyah) sebagai penerima wahyu dan sekaligus sebagai juru bicara Tuhan bagi manusia dan kedua adalah makna yang terkandung di balik pesan ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa Arab tersebut atau biasa disebut dengan penafsiran. Tulisan ini adalah sebagai tawaran yang dikemas dalam bentuk refleksi singkat dengan menguraikan beberapa upaya

Upload: nasrul-fuad-erfansyah

Post on 11-Aug-2015

152 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Pengantar Singkat Studi Islam

Hammis Syafaq

Pendahuluan

Islam adalah agama yang datang dari Allah, diwahyukan kepada Nabi Muhammad

dan disampaikan kepada seluruh umat manusia, yang dimulai ketika Nabi Muhammad

berada di Gua Hira. Wahyu itu berlanjut hingga hampir 23 tahun dan dibukukan dalam

bentuk mushaf al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab, karena Nabi Muhammad,

sebagai penerima wahyu, adalah berasal dari bangsa Arab.

Itu artinya bahwa bahasa al-Qur’an itu bersifat partikular, sementara pesannya

adalah universal. Oleh karena itu, Islam yang disampaikan melalui bahasa Arab yang

bersifat lokal tersebut harus selalu digali dan diformulasikan ke dalam lokus bahasa dan

budaya non-Arab, sehingga Islam tidak menjadi agama yang eksklusif dengan khas

bangsa Arab. Maka, dalam memahami Islam diperlukan pemahaman terhadap beberapa

hal, di antaranya adalah konteks historis seputar kehidupan Nabi Muhammad (sirah

Nabawiyah) sebagai penerima wahyu dan sekaligus sebagai juru bicara Tuhan bagi

manusia dan kedua adalah makna yang terkandung di balik pesan ayat-ayat al-Qur’an

yang berbahasa Arab tersebut atau biasa disebut dengan penafsiran.

Tulisan ini adalah sebagai tawaran yang dikemas dalam bentuk refleksi singkat

dengan menguraikan beberapa upaya obyektif manusia dalam memahami pesan-pesan

Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw.

Peran Islam dalam Kehidupan Manusia

Berbicara tentang peran, pada dasarnya adalah berbicara tentang fungsi atau

kegunaan. Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus

dijawab, yaitu apakah umat Islam itu beragama untuk Allah ataukah untuk dirinya

sendiri. Jika mereka beragama untuk Allah, dapat dipastikan bahwa seluruh aktivitas

keberagamaan yang dilakukannya selalu berorientasi vertikal. Sebaliknya, jika mereka

beragama untuk kepentingan dirinya, tentu orientasi keberagamaannya selalu pada

sektor horisontal.

Kedua orientasi di atas sangat kontradiktif, karena di antara ciri dari model

keberagamaan pertama (beragama untuk Allah), adalah bahwa intensitas keimanan

seorang muslim terimplementasi dalam frekuensi pelaksanaan ibadah yang

Page 2: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dilakukannya. Dalam perspektif keberagamaan seperti ini, logika yang digunakan

adalah bahwa umat Islam berkewajiban melayani Allah, bukan sebaliknya. Dalam cara

beragama yang selalu diorientasikan pada Allah ini segala bentuk kewajiban beragama

yang tertuang dalam teks suci (al-Qur’an dan Hadits) selalu diinterpretasikan secara

rigid dan taken for granted. Dalam hal ini, tidak ada tawaran bagi proses penafsiran,

terutama yang bercorak kontekstual. Bagi kelompok ini, banyak rahasia misterius yang

terkandung di balik doktrin tersebut, di mana hal itu tidak akan mampu dijangkau

dengan pemahaman rasio manusia yang kapasitasnya sangat terbatas. Prinsip dasarnya

adalah melaksanakan perintah Allah dengan tidak banyak memberikan komentar.

Menyerahkan segala rahasia tersebut hanya pada Allah dan meyakini bahwa apapun

bentuk rahasia tersebut adalah yang terbaik bagi umat Islam. Dampak lebih jauh dari

kecenderungan pola pikir keagamaan semacam ini adalah munculnya batas pemisah

antara agama dan realitas sosial.

Bertolak belakang dengan sikap beragama pertama, sikap beragama yang

diorientasikan pada umat Islam selalu besandar dan berdasar pada paradigma

kemanusiaan. Islam terlahir untuk umat Islam, bukan untuk Allah. Karenanya, agama

kemudian harus berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan berbagai problematika

kemanusiaan. Dalam konteks ini, logika yang dikedepankan adalah bahwa Islam lahir

sebagai pahlawan pembebas umat Islam dari segala bentuk belenggu problematika

hidup yang dihadapinya, bukan justru menjadi belenggu yang mengekang kebebasan

berpikir dan bertindak umat Islam itu sendiri.

Dalam orientasi beragama jenis kedua ini, berpegang pada simbol serta satu pola

penafsiran sama halnya dengan membunuh relevansi dan mematikan peran signifikan

Islam itu sendiri. Sebab umat Islam, selaku konsumen, selalu hadir dalam realitas sosio-

kultural yang berbeda dan selalu dinamis. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya

untuk melampaui tataran simbolik ajaran sebuah agama yang dapat melahirkan

penafsiran-penafsiran dengan wajah yang senantiasa baru, namun dengan tetap

mengusung orientasi otentis serta berpegang pada makna substantifnya. Dua alternatif

orientasi beragama di atas merupakan pilihan bebas kita sebagai umat beragama.

Secara faktual, dalam realitas keberagamaan dewasa ini, mayoritas pilihan masih

banyak jatuh pada orientasi beragama jenis pertama, yaitu beragama untuk Allah. Oleh

karena itu, tidak mengherankan jika peran dan kontribusi aktif Islam dalam ranah sosial

kemudian cenderung mandul.

Page 3: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Sejarah Perkembangan Islam

Islam pada Periode Klasik

Terdapat dua pendapat populer tentang awal dimulainya sejarah Islam pada masa

Nabi. Pertama, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad

diangkat menjadi Rasul. Kedua, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai

semenjak Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Tetapi, jika berdasar pada dimulainya

penghitungan tahun hijrah, maka pilihan akan jatuh pada pendapat kedua, karena tahun

Islam dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada tahun

622 M.1

Islam pada masa Nabi, terbagi menjadi dua; masa di Makkah dan di Madinah.

Ketika Nabi di Makkah, ia bersama pengikutnya selalu mendapatkan tekanan dari

kalangan Qurays yang tidak setuju dengan ajaran yang disampaikannya. Maka Nabi pun

kemudian mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia yang beragama Kristen Koptik

untuk mendapatkan suaka. Itulah fase Makkah yang membuat Nabi bertahan di Makkah

atas dukungan keluarga.

Setelah Khadijah (istrinya) wafat, kepala sukunya juga wafat dan digantikan oleh

orang yang tidak simpati kepadanya. Maka pada tahun 620 M, Nabi membuat

persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka agar dapat diterima di

kalangan mereka. Setelah itu ia hijrah ke Yatsrib, yang di kemudian hari kota ini

berubah nama menjadi Madinah. Di Madinah, umat Islam dikelompokkan menjadi dua;

Muhajirin dan Anshor.

Pada masa Nabi, segala permasalahan tentang umat Islam selalu dikembalikan

kepadanya, sebagai rujukan umat Islam. Karena itu, segala perselisihan yang terjadi di

antara umat Islam segera bisa diselesaikan. Setelah Nabi wafat, umat Islam mulai

berselisih. Perselisihan itu terjadi diawali tentang masalah penentuan siapa yang berhak

mengganti posisi kepemimpinannya. Ada kelompok yang mengatakan bahwa sebelum

Nabi wafat, Nabi sudah berwasiat tentang penggantinya. Kelompok ini disebut dengan

kelompok Syi’ah. Sementara kelompok lain mengatakan bahwa ia tidak pernah

menentukan penggantinya, sehingga mereka bermusyawarah di Tsaqifah Bani Sa’dah

untuk memilih pengganti Nabi. Kelompok ini dikenal dengan kelompok Sunni. Pada

periode-periode ini, umat Islam mulai melakukan berbagai penyebaran Islam ke

wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah.

1 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2001), Jilid I, 50.

Page 4: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Ketika masa Khulafa’ al Rashidin, sampai pada wafatnya Uthman, umat Islam

mulai terpecah menjadi dua kubu; pendukung Ali bin Abi Talib dan pendukung

Mu’wiyyah bin Abi Sufyan. Perang antara keduanya diatasi dengan damai yang dikenal

dengan arbitrasi (tahkim). Metode damai dengan cara tahkim ini mengecewakan

beberapa pendukung Ali, sehingga mereka menyatakan keluar dari barisan Ali dan

berbalik menyerang mereka yang menyetujui proses tahkim dengan sebutan kafir.

Kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij.

Islam pada Periode Pertengahan

Islam pada zaman pertengahan dapat dibagi menjadi dua; zaman kemunduran dan

zaman tiga kerajaan besar. Zaman kemunduran berlangsung sekitar 250 tahun, dan

zaman tiga kerajaan besar berlangsung sekitar 300 tahun.

Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran

Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Di bidang politik misalnya, dinasti

yang berkuasa di Mesir silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti

Fatimiyyah, yang beraliran Syi’ah, digantikan oleh Dinasti Ayyubiyyah yang beraliran

Sunni. Ayyubiyyah berakhir pada tahun 1250 dan digantikan oleh Dinasti Mamlukiyyah

sampai tahun 1517.

Perpecahan juga terjadi di antara para ulama’ pengikut madzhab fikih. Mereka

disibukkan oleh kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab yang dianutnya, bahkan

cenderung beranggapan bahwa madzhabnya adalah yang paling benar. Akhirnya fikih

tidak berkembang dan muncul budaya taqlid di kalangan umat Islam.

Dalam keadaan demikian ini muncullah tiga Kerajaan besar; Uthmani di Turkey

(1290-1924), Safawi di Persia (1501-1736) dan Mughal di India (1526-1858). Akan

tetapi ketiga kerajaan ini tidak bisa bertahan, satu demi satu berjatuhan dan digantikan

oleh kekuatan lain; Kerajaan Uthmani digantikan oleh Republik Turki (1924), Safawi di

Persia digantikan oleh Dinasti Qajar (1925), dan Kerajaan Munghal di India digantikan

oleh penjajah Inggris (1875) dan Mesir dikuasai Napoleon dari Perancis tahun 1798.

Akhirnya umat Islam memasuki fase kemunduran kedua.

Islam pada Periode Modern

Periode modern disebut oleh Harun Nasution sebagai zaman kebangkitan Islam.

Ekspedisi Napoleon yang berakhir tahun 1801 membuka mata umat Islam, terutama

Turki dan Mesir, akan kelemahan umat Islam di hadapan kekuatan Barat. Ekspedisi

Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli

Page 5: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dalam berbagai cabang ilmu. Dia membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab

dan Yunani. Ekspedisi itu bukan hanya membawa misi militer, tetapi juga misi ilmiah.

Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d’ Egypte yang

mempunyai empat bidang kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi dan politik,

serta ilmu sastra dan seni. Selain itu diterbitkan juga majalah ilmiah yang bernama

Courier d’Egypte.

Ide-ode baru yang diperkenalkan oleh Napoleon di Mesir adalah sistem negara

republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan

(egalite) dan paham kebangsaan (nation).

Para pemuka Islam pun mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk

mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat Islam. Maka

muncullah gerakan pembaruan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Turki dan

Mesir. Gagasan-gagasan pembaruan itu kemudian diserap di berbagai negeri Muslim,

termasuk di Indonesia.

Dari sejarah Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa agama lahir dari dan dalam

sebuah realitas sosial tertentu. Tingkat akomodasi dan apresiasinya terhadap realitas

sosial di sekitarnya begitu kuat, sehingga dalam berbagai fenomena keagamaan dapat

ditemukan adanya keterkaitan antara agama dan budaya yang sangat erat. Hal ini terjadi

karena dua hal: pertama, bahwa tidak semua nilai dan prinsip budaya lokal itu

bertentangan dengan doktrin dan ajaran keagamaan, bahkan sebaliknya, banyak yang

berkesesuaian, sehingga budaya menjadi layak untuk diakomodasi ke dalam agama;

kedua, bahwa dengan mengakomodasi nilai budaya lokal, sepanjang tidak bertentangan

dengan prinsip dasar ajaran agama tersebut, akan mempermudah usaha sosialisasi

agama tersebut. Sebab, sesuatu yang asing akan lebih mudah diakomodasi oleh

masyarakat setempat jika ia telah lama dikenal dan akrab dengan masyarakat tersebut.

Dari sinilah agama kemudian berusaha tampil dalam wajahnya yang ramah, lunak dan

bersahaja di balik budaya dasar yang dianut sebuah masyarakat.

Aliran-aliran Pemikiran (Schools of Thought) dalam Islam

Ketika Nabi, sebagai sumber umat Islam, telah tiada, segala permasalahan dalam

masyarakat Islam menjadi tidak bisa terselesaikan secara sepakat. Banyak perbedaan

pendapat antara umat Islam tentang beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan

mereka. Maka terbentuklah aliran-aliran pemikiran yang beragam dan sama-sama

menyandarkan pemikirannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Jika diuraikan adalah

Page 6: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

sebagai berikut: Dalam bidang politik, muncul aliran Shi’ah, Sunni dan Khawarij.

Dalam bidang hukum Islam, muncul Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafi’iyyah dan

Hanabilah. Dalam bidang teologi, muncul aliran Khawarij, Murji’ah, Muktazilah,

Maturidiyyah dan Ash’ariyyah. Dalam bidang filsafat, muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu

Sina, al-Razi, al-Ghazali, Ibnu Rushd dan Ibnu Tufayl. Dalam bidang tasawuf, muncul

Rabi’ah al-‘Adawiyyah, al-Hallaj, al-‘Arabi, al-Jilli, al-Ghazali dan al-Bustami.

Islam, Agama Ritual dan Sosial

Dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, terdapat berbagai

petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini

secara lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya. Islam mengajarkan

kehidupan yang dinamis dan progresif, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan

material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai

waktu, bersikap terbuka, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai

kebersihan dan mengutamakan persaudaraan. Dalam al-Qur’an dan Hadith ditemukan

bahwa proporsi terbesar adalah ditujukan pada urusan sosial.2

Dalam kajian ilmu-ilmu sosial ditemukan adanya teori struktural fungsional, yang

menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.

Sementara Islam, sebagai agama, tetap eksis. Itu artinya bahwa Islam mempunyai

sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.

Namun pada kenyataannya, Islam yang ditampilkan oleh pemeluknya jauh dari

cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji

dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang

kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial kurang

tampak. Itu artinya, di kalangan umat Islam telah terjadi kesalahan dalam memahami

dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu. Akibatnya, agama lebih dihayati sebagai

penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama, seolah

Allah tidak hadir dalam problematika sosial kita. Padahal, Islam adalah agama yang

memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik,

ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada

kehidupan rumah tangga dan masih banyak lagi.

Islam sebagai agama, hadir membawa misi pembebasan umat manusia dari

ketertindasan dan ketidak adilan. Namun dalam perjalanan sejarahnya, misi Islam

2 Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 7.

Page 7: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

tersebut tidak selalu tampak di tingkat realitas kehidupan. Realitas masyarakat muslim

masih diliputi kebodohan, kemiskinan, ketimpangan sosial dan ketidak adilan ekonomi.

Hal ini terjadi karena pemahaman masyarakat muslim terhadap Islam masih terbelenggu

pada tataran simbolik dan formalistik. Keberhasilan misi Islam sebagai agama hanya

dimaknai pada seberapa banyak pengikutnya berbondong-bondong dan beramai-ramai

melaksanakan ritual-ritual keagamaan, merayakan hari besar, pengukuhan identitas

yang bersifat lahiriah dan pada sejauh mana ketentuan-ketentuan ajaran diformalkan.

Akibatnya, Islam menjadi jauh dari realitas masyarakatnya.

Islam yang semestinya berfungsi sebagai salah satu alat (tool) pembebasan justru

jauh dari realitas sosial. Islam dan teksnya hanya duduk di menara gading. Fungsi dasar

Islam yang terkandung dalam prinsip-prinsip kemanusiaan terlupakan dan tidak

mendapat perhatian sama sekali. Islam melenggang kangkung melayang-layang di atas

awan. Islam tidak membumi dan hanya berputar-putar di wilayah teologis. Oleh karena

itu, yang menjadi tugas dan tanggung jawab mendasar umat Islam adalah bagaimana

mengembalikan fungsi dasar dan prinsip dari diturunkannya Islam di tengah kehidupan

manusia, membumikan agama dan mengkomunikasikannya dengan realitas empirik

serta memposisikan Islam agar mampu berdialog dan berdialektika dengan manusia

beserta kondisi riilnya.

Maka perubahan discourse keagamaan sangat diperlukan dengan cara merubah

bentuk penafsiran keberagamaan masyarakat muslim. Pemahaman terhadap Islam harus

berubah dari teosentris menuju antroposentris sehingga fungsi dan eksistensi Islam akan

terbebaskan dari belenggu formalistik, simbolik, God-oriented dan text-oriented. Ia

menyatu dan berkolaborasi dengan realitas kemanusiaan dan berorientasi pada

masyarakat. Islam tidak boleh dipahami sebagai agama yang hanya mengurusi masalah-

masalah ritual ('ubudiyyah) belaka, sementara permasalahan kemasyarakatan

(mu'âmalah) hanya menjadi 'pemanis' bagi sikap keberagamaannya.

Umat Islam harus dibangunkan dari keterlelapannya untuk menarik ajaran Islam

dari pelataran langit ke pelataran bumi. Perbincangannya dari teks untuk teks yang

melayang-layang harus ditarik kepada perbincangan tentang realitas yang menghimpit

masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap ajaran Islam dari berbagai

dimensi, melalui pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu, karena selama ini,

seringkali umat Islam memahami agamanya dari sisi teologis yang normatif (Arkoun

menyebut kelompok ini sebagai kelompok yang memiliki pendekatan al fikr allâhûtî al

dogmâ’î), sehingga ajaran Islam kurang membumi dan kurang merakyat. Situasi

keagamaan cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistik-formalistik.

Page 8: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Agama dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme

keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi.

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa agama Islam belum sepenuhnya

dipahami dan dihayati oleh umat Islam secara maksimal. Oleh karena itu umat Islam

perlu diberi pintu masuk untuk memahami Islam secara arif, yang biasa disebut dengan

Islamwissenschaft),3 untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman

masyarakat muslim agar memiliki pemahaman terhadap ajaran Islam secara

komprehensif.

Memang ada kelompok yang menolak Islam dikaji melalui beberapa pendekatan,

karena hal itu akan merusak moral pengkajinya.4 Kelompok ini oleh Arkoun, Guru

Besar Islamic Thought di Sorbonne, Perancis, disebut sebagai kelompok yang

cenderung mensakralkan pemikiran keagamaan (taqdîs al afkâr al dînî), sehingga

pemikiran keagamaan masyarakat muslim seolah-olah menjadi taken for granted dan

ghairu qâbilin li al niqâs.5 Proses ini oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses

ortodoksi.6 Tetapi pada sisi lain ada kelompok yang menerima Islam dikaji dengan

beberapa pendekatan, karena dengan pendekatan-pendekatan tersebut dapat membantu

memahami Islam secara lebih komprehensif.7

Studi Islam dengan menggunakan beberapa pendekatan tersebut bekerja dengan

data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas,

kelompok atau individu muslim dan menggunakan bantuan metodologis yang

mengharuskan para pengkaji untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud

dengan beragama dan agama dalam masyarakat muslim,8 dengan beberapa macam

metodenya.9

Beberapa metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami Islam karena

secara operasional konseptual dapat memberikan pandangan bahwa Islam tidak hanya

berwajah tunggal (single face), melainkan berwajah plural (multifaces). Hal itu

diperlukan karena Islam sebagai agama tidak boleh dipahami melalui pintu wahyunya

belaka, tetapi juga perlu dipahami melalui pintu pemeluknya, yaitu masyarakat muslim

yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Dengan kata

3 Islamwissenschaft adalah ilmu tentang agama Islam yang menggunakan beberapa pendekatan multidisipliner. Lihat Merlin L. Swartz, Studies on Islam (New York: Oxford Univ. Press, 1981), 21.4 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner (Yogyakarta: Qirtas, 2004), v.5 M. Arkoun, al Islâm, al Akhlâq wa al Siyâsah, (terj.) Hasyim Saleh (Beirut: Markaz al Inma’ al Qaumi, 1990), 172.6 Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), 105.7 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, v.8 Amin Abdullah, “Kata Pengantat,” dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), iii-ix. 9 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, vii.

Page 9: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

lain, memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau filosofis, akan

tetapi juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial

dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosio-kultural.

Selama ini ada dua model kajian Islam yang dilakukan, pertama oleh kalangan

muslim sendiri, kedua oleh kalangan orientalis (Barat). Pendekatan yang pertama

disebut fideistic subjectivism / al ‘aql al dînî al lâhûtî, dan yang kedua disebut scientific

objectivism / al ‘aql al falsafî.10

Pendekatan Teologis-Normatif (Normative/Religious Approaches) berupaya

memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang

bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap

yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya11.

Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta

penggunaan bahasa yang bersifat subyektif adalah merupakan ciri yang melekat pada

bentuk pemikiran teologis ini. Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan

umat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan beberapa

bentuk aliran pemikiran, di antaranya adalah Mu’tazilah, Ash’ariyyah dan

Maturidiyyah,12 yang dalam era modern ini ditemukan dalam bentuk lain, yaitu

fundamentalis, modernis, tradisionalis dan sekularis. Masing-masing dari pemikiran itu

menyuguhkan bentuk Islam yang berbeda dan terkadang saling menyalahkan satu sama

lainnya.13

Dari beberapa aliran pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis

dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk

formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim

dirinya sebagai yang paling benar (truth claim) dan yang lainnya adalah salah.

Pemikiran teologis ini seringkali cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak

sepaham dengan kelompoknya. Antara satu kelompok dengan yang lainnya tidak pernah

terjadi dialog atau saling menghargai (intolerance), masing-masing aliran cenderung

eksklusif dan fanatis.

Sementara pendekatan Historis (Historical Approach) adalah yang di dalamnya

dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar

belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.14 Melalui pendekatan sejarah, seseorang

10 Eric J. Sharpe, Comparative Religion of History (London: Duckworth, 1986), 313.11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 28.12 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarat: UI Press, 1978), 32.13 Hammis Syafaq,”Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat”, dalam Akademika (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sby, 2004), 14 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 105.

Page 10: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari

keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang

terdapat dalam dunia idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami Islam, karena

Islam itu turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial

kemasyarakatan. Maka di dalam al Qur’an ditemukan berbagai macam kisah-kisah

sejarah, yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga

dapat ditemukan istilah asbâb al nuzûl dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan

dengan hukum-hukum fikih dan lain sebagainya.

Pendekatan sejarah ini digunakan oleh kalangan Barat, sebagai orang luar

(outsider). Dalam melakukan kajiannya, mereka tidak berangkat dari sebuah keyakinan,

sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan muslim, akan tetapi dari sebuah asumsi

interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi tertentu,15 yang itu

adalah hasil yang mereka ciptakan,16 sehingga hasil interpretasi mereka sering tidak

sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya, sementara itu kalangan muslim

sebagai orang dalam (insider), dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali

bertindak a priori dan cenderung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih

dahulu secara ilmiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur dari

pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari misi orientalis dan

cenderung untuk mengkafirkannya.17

Di sinilah, menurut Muhammad Sa’îd al Ashmâwî, letak kekurangan masyarakat

muslim, di mana ketika mengkaji sebuah pemikiran tertentu mereka lebih banyak

berpedoman pada keyakinan (keimanan) daripada tataran metode penelitian ilmiah,

lebih banyak bersandar pada emosi (intuisi) daripada rasio. Sikap semacam inilah yang

melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfîr (tuduhan kafir terhadap seseorang).18

Apa yang dikemukakan oleh Ashmawi ini cukup berasalan karena pendekatan

teologis, yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider), memunculkan

aliran-aliran Kalam yang dogmatis. Oleh karena itu, memahami Islam dengan

menggunakan pendekatan teologis semata, tidak dapat memecahkan masalah esensial

pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih lagi kenyataan mengungkapkan bahwa

15 Hisham Sharabi “The Scholarly Point of View: Politics, Perspecrtive, Paradigm” dalam Theory, Politics and The Arab World (ed.) Hisham Sharabi (New York: Routledge, 1990), 1. 16 Lihat Edward W. Said , Covering Islam (New York: Pantheon Books, 1981), 154-155.17 M. Sa’îd al Ashmâwi, Min Wahyi al Qalam (Kairo: Dar al Ma’arif, 1997), 84-89. Maka Merlin Swertz menggambarkan bahwa usaha untuk menyatukan pemikir Barat dan Timur seperti membuang air di samudra, sebab sejak awal mereka sudah terisolir secara individual. Hal ini terjadi karena bahasa metode yang digunakan oleh Barat tidak sama dengan terminologi yang terdapat dalam kajian keislaman di Timur. Merlin L.. Swertz, Studies On Islam (Oxford: Oxford University Press, 1981), 217.18 Ibid., 98-99.

Page 11: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

kemunculan pemikiran teologis tidak pernah lepas dari jaringan institusi atau

kelembagaan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Kepentingan ekonomi, sosial

dan politik selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan

mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan teologis ini selalu

menggunakan cara berpikir deduktif dalam memahami agama, yaitu cara berpikir yang

berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang

berasal dari Allah sudah pasti benar. Dimulai dari suatu keyakinan yang selanjutnya

diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.

Pendekatan ini memunculkan sikap militansi dalam beragama dan berpegang

teguh pada ajaran agama. Pendekatan teologis ini berkait erat dengan pendekatan

normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang

pokok dan asli dari Allah, yang di dalamnya tidak terdapat penalaran pemikiran

manusia. Di antara pendekatan-pendekatan yang berdekatan dengan normative

approach adalah: missionary approach, apologetic approach dan irenic approach.19

Dalam catatan Adams, pendekatan missionary approach bermula dari terjadinya

booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja Kristen, bersamaan

dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer di Asia dan Afrika pada

abad ke-19. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi

keimanan (faith mission).

Sementara apologetic approach memiliki karakteristik apologis. Kecenderungan

untuk membanggakan kemampuan Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah

perkembangan masa modern. Maka muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu

pijakan keluar dari kebusukan internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas

dari tekanan peradaban Barat.20 Dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi

dewa penyelamat yang mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan

menuju pencerahan.

Tema-tema yang sering dikumandangkan oleh para apologis adalah soal

rasionalitas Islam, dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta

pandangan etika liberalnya. Namun karakteristik pendekatan ini realitasnya sangat

ironis, karena cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu

pada fakta sejarah, tetap cenderung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.

19 Charles J. Adams, “Islamic Religious Studies,” dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: A. Wiley-Interscience Publication, 1976).20 Ibid.

Page 12: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Sedangkan irenic approach merupakan upaya orang-orang Barat untuk

membangun simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa.

Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun

keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal perang dunia kedua.21

Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan keberagamaan Islam dan

membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam. Salah satu tokoh Barat yang

menggunakan teori ini adalah Bishop Kenneth Cragg, seorang teolog terlatih. Dalam

beberapa tulisannya, dengan gaya bahasa yang elegan dan syair yang sensitif ia

berusaha menunjukkan kepada Barat dan Kristen beberapa unsur keindahan dan nilai-

nilai keagamaan yang menghiasi tradisi Islam.

Tidak dapat diragukan bahwa tinjauan yang paling produktif dalam studi Islam

telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi ada dua bentuk pendekatan

yang saling berlawanan. Yaitu pendekatan yang digunakan oleh pemeluk agama yang

bersangkutan (believer), dan yang kedua oleh orang lain (historian). Yang pertama

mempertahankan pemahaman normatif tentang agama-agama lain, cenderung subjektif,

fideistic, dengan menilai orang lain benar atau salah, karena melihatnya dari sisi

teologis. Yang kedua berusaha melakukannya dengan objektif, scientific, karena melihat

agama dari sisi sejarah.

Hubungan antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan

ketegangan, baik bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat

dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau

skriptualis. Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan,

seperti pesantren-pesantren, semminary-semminary. Pendekatan yang kedua lebih

bersifat historis dan menekankan perlunya telaah yang mendalam tentang asbâb al

nuzûl, baik yang bersifat kultutal, psikologis maupun sosiologis.22

Pendekatan pertama memunculkan bentuk religious studies dan yang kedua

memunculkan history of religion atau comparative study of religion. Meskipun

kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari penelitiannya, akan tetapi

sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam studi tentang agama-agama

tersebut bisa dicapai sebuah scientific objectifism.23

Memang ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa kepercayaan orang lain

tidak dapat dipahami kecuali dengan bersimpati terhadap kepercayaan orang yang

21 Ibid.22 Charles J. Adams, “Islamic Religious Studies,” dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. 23 Ibid.

Page 13: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dikaji. Artinya hanya orang muslim yang dapat mengkaji Islam dengan tingkat

pemahaman yang memadai. Maka, studi Islam dengan memahami metodologi yang

tepat, pendekatan-pendekatan yang relevan, akan membantu dalam memahami bahasa-

bahasa Islam, karena dengan menjadi muslim dan berempati kepada Islam sekalipun,

bukanlah jaminan bahwa interpretasi tentang Islam dapat valid.

Perkembangan Studi Islam

Perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk muslim dunia

menyebabkan Islam mendapat perhatian besar dalam studi agama. Pemahaman tentang

Islam sebagai agama dan pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam

merupakan persoalan yang perlu dielaborasikan, dalam diskusi dan pembahasan para

pelajar di bidang studi agama. Berbagai peristiwa di Timur Tengah dan di dunia Islam

lainnya juga ikut mendorong sejumlah sarjana, jurnalis dan kaum terpelajar, termasuk

dari Barat, untuk menulis karya-karya baru tentang Islam.

Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Studi

ini mempunyai akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi keilmuan

tradisional. Mereka telah mengupayakan interpretasi tentang Islam dan hal ini terus

berlanjut hingga sekarang. Ketika terjadi kontak antara orang Kristen dan orang Islam,

studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa pada masa pertengahan. Pada masa

ini, kajian lebih diwarnai oleh tujuan polemik karena Islam dipahami oleh kalangan

orientalis dengan pemahaman yang tidak layak. Meskipun demikian, kontak dan

ketegangan antara Islam dan Barat pada akhirnya menemukan titik di mana studi Islam

memperoleh manfa’at besar dari perkembangan metodologi dan kajian ilmiah di Barat.

Dalam dua dekade terakhir ini, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya

berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang islamic studies dan perhatian akan problem-

problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Dalam setiap pendekatan

dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari

pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada

apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses.

Oleh karena itu dalam mengkaji Islam ditemukan multiplisitas pendekatan dan

metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis-komunikatif. Sebagai contoh,

dalam studi tentang data keagamaan, seperti al Quran, teks-teks klasik dan interpretasi

tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan

Page 14: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

sama, kesimpulan ilmiahnya bisa berbeda, karena ada sensibilitas yang berbeda antara

satu peneliti dengan peneliti lainnya.

Kalau dilacak, sejarah pertumbuhan studi Islam, dapat dilihat pada abad ke-19, di

mana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji

di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang

melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan

konsep-konsep utama yang membentuk umat Islam, tanpa memahami konteks.24

Pendekatan Filologis (Philological Approach) menekankan pada bahasa teks. Para

pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik,

yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan

konsep-konsep utama tanpa memahami konteks.25

Kajian Islam melalui pendekatan filologis ini memiliki keterbatasan, di antaranya

adalah penekanannya yang eksklusif terhadap teks. Dunia Islam dipahami melalui cara

tidak langsung, tidak dengan melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat

muslim yang ada di masyarakatnya, tetapi melalui prisma teks yang umumnya berasal

dari tradisi intelektual klasik Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim,

bukan pada muslimnya sendiri.26 Inilah yang menyebabkan para filolog banyak

melakukan kesalahan dalam memahami makna data keagamaan. Meskipun demikian,

pendekatan ini sangat membantu dalam membuka kekayaan daftar materi keislaman

dari dokumen-dokumen lama, karena melakukan studi tehadap Islam tanpa menguasai

Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity).

Pada masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi

ini, sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan ke dua ini berpendapat

bahwa kajian tentang masyarakat harus diupayakan melalaui metode-metode sains

seperti yang dipahami oleh ilmuwan sosial. Pendekatan ini berdasarkan pada sebuah

keyakinan bahwa semua masyarakat akan mengalami proses perkembangan historis.

Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah perhatian yang lebih

pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau muatan kultural dari institusi sosial. Jadi

kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari institusi

sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini, masyarakat bukanlah

sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan ke dua dari pendekatan ini adalah terlalu

24 Noor Chozin Askandar, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003). 25 Ibid. 26 Zakiyuddin Baidhawy,”Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama,” dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), xi-xxv.

Page 15: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan semua masyarakat di dunia,

yang berjalan di atas rute sama, menuju modernitas.

Dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tampak

jelas akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari

masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan

lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang

dimunculkan oleh para pengkaji Islam, di antaranya adalah pendekatan fenomenologi.

Konstruksi Teori & Pendekatan dalam Studi Ke-Islaman

Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagamaan,

yang antara lain disebabkan oleh transparansi sekat-sekat budaya, sebagai akibat dari

luapan arus informasi dalam era ilmu dan tekonologi, masyarakat Islam membutuhkan

masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar, yang tidak lagi melulu

bersifat teologis-normatif, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian

keagamaan yang bersifat historis-kritis.

Untuk itu, dalam buku ini, penulis akan menegaskan perlunya pendekatan-

pendekatan yang bervariatif dalam studi Islam. Studi Islam dengan menggunakan

pendekatan yang besifat komprehensif, multidisipliner, interdisipliner dengan

menggunakan metodologi yang bersifat akademik-kritis.

Konstruksi adalah cara membuat bangunan-bangunan. Teori berarti pendapat yang

dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa.27 Ilmu penelitan teori-

teori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat, atau mengenai

adanya suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti, dari satu atau beberapa faktor

tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, pada saat kita ingin meneliti gejala bunuh

diri, kita sudah mengetahui tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile

Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya

integrasi sosial dan gejala bunuh diri. Ia mengatakan bahwa faktor utama yang

menentukan dalam gejala ini adalah integrasi sosial.

Perumusan analisa teoritisnya dapat diutarakan sebagai berikut: integrasi atau

kohesi sosial dapat memberi dukungan batin kepada para anggota kelompok yang

mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan jiwa yang hebat. Angka bunuh diri adalah

fungsi dari kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-orang

tertentu.28

27 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 117.28 Koentjaraningrat, Metode –metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983), 20.

Page 16: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Jadi, teori adalah alat terpenting bagi suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori, berarti

hanya ada serangkaian fakta atau data saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Fungsi teori

adalah menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, memberi kerangka orientasi untuk

analisis dan klasifikasi fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru, mengisi kekosongan

pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada atau sedang terjadi.29 Teori-teori

tentang penelitian agama Islam telah banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya yang

dirangkum dengan gamblang oleh Richard Martin, dalam bukunya Approaches to Islam

in Religious Studies.

Sementara itu, yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau

paradigma pada suatu bidang ilmu yang digunakan untuk memahami agama.30 Studi

tentang data keagamaan, seperti al-Qur’an, teks-teks klasik, dan interpretasi tentang

makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan sama,

kesimpulan-kesimpulan ilmiahnya cenderung berbeda karena ada praduga-praduga dan

sensibilitas yang berbeda. Situasi yang sama terjadi pada studi tentang agama-agama

dan budaya-budaya selain Islam.

Dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan seorang

beleiver/insider, dan pendekatan seorang historian. Pendekatan seorang mukmin dan

pendekatan seorang ilmuan kritis.31 Bagi seorang agamawan yang baik, sudah barang

tentu, pendekatan seorang mukmin dianggap lebih baik, sehingga patut diutamakan.

Tetapi jika pendekatan tadi dihadapkan kepada realitas empirik kehidupan manusia

beragama, seringkali pendekatan ini tidak memberikan penjelasan yang memuaskan

terhadap kenyataan, sehingga terdapat gap yang terkadang cukup tajam, antara wilayah

yang seharusnya (Islam Resmi) dan wilayah apa adanya (Islam Popular). Secara garis

besar, pendekatan dalam studi Islam dapat dibedakan menjadi pendekatan normatif dan

pendekatan deskriptif.

Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam

29 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 151.30 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 92.31 Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 61.

Page 17: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Tawaran Arkoun32

Arkoun menyatakan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian

keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak; pertama oleh kalangan muslim (al

Islâmiyyûn), yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis,

terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman.

Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak

terlalu mendalam (lâ yafham al bu’du al dînî), di mana mereka hanya berangkat dari

beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang

ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. Mereka terkadang

hanya berangkat dari pendekatan linguistik (filologis), sehingga miskin akan discourse

of analysis.

Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun membicarakan tentang perbedaan

tradisi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara

umum, yaitu perbedaan antara peneliti dari kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat,

yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok

yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkoun

menyayangkan, karena para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang

epistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities. Arkoun mengkritik para

orientalis dengan mengatakan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan

berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkoun mengajak untuk mengadakan

revolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab.

Arkoun menyatakan bahwa para pengkaji Islam harus keluar dari sikap

spesialisasi keilmuan yang sempit, karena sikap seperti itu dapat menyebabkan

terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan

sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di

masyarakatnya. Faktor yang mendorong Arkoun untuk tidak menyukai sikap

spesialisasi yang sempit, karena hal itu dapat menyebabkan penyudutan obyek kajian

dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak menyeluruh. Menurut

Arkoun, jika semua ilmu sosial saling mendukung satu sama lainnya, maka akan dapat

menghadirkan sebuah pandangan yang universal tentang suatu masyarakat.

Menurut Arkoun, selama ini seorang sosiolog hanya disibukkan oleh dunianya

sendiri, ilmuan bahasa juga demikian, seorang antropolog juga demikian dan

seterusnya. Tidak ada satu pun yang saling berkomunikasi untuk menyampaikan hasil

pemikirannya yang kemudian digabungkan dalam satu kesimpulan. Padahal, berbagai 32 Arkoun, al ‘ulûm al Ijtimâ’iyyah Amâma al Tahaddiyyâa al Zahiriyyah al Islâmiyyah (Materi Perkuliahan Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya).

Page 18: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan

yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya. Dalam pandangan

Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab dan Islam jika tidak

memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, baik faktor

historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya. Untuk dapat

memahami semua itu, dibutuhkan yang namanya ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi,

masyarakat Islam masih belum malakukannya dan belum mencoba untuk

mempelajarinya, sehingga terdapat beberapa kendala ideologis, teologis dan politis yang

membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya.

Secara sederhana, dari paparan Arkoun dapat disimpulkan bahwa kekurangan dari

beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat, terutama tentang fundamentalisme Islam,

adalah miskinnya analisis atau epistemologi. Kajian yang mereka lakukan sangat

membosankan dan berputar-putar sekitar Islam sebagai oknum yang bertanggung jawab

atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat berbasis muslim. Maksudnya, Barat

sering berkeyakinan bahwa Islam bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi

di masyarakat Islam atau Arab. Mereka membebani Islam sebagai lembaga yang

bertanggung jawab dari semua peristiwa, padahal di sana ada beberapa faktor lain

seperti sosisologis, politis dan ekonomi.

Dulu para penganut paham marsis memahami sesuatu dari sudut pandang

ekonomi, dan kini para orientalis memahami sesuatu dari sudut pandang Islam. Padahal

dalam realitasnya, yang membangkitkan gejolak di masyarakat adalah banyak faktor,

bukan hanya satu faktor. Mereka berbicara tentang Islam dengan “I” huruf besar, bukan

dengan “i” huruf kecil, dan menjadikannnya sebagai faktor tunggal yang menyebabkan

semua peristiwa itu terjadi, yang tidak bisa diintervensi oleh sesuatu yang lain. Mereka

berbicara tentang Islam, seakan-akan Islam sebagai sumber utama dan terakhir dari

semua pemikiran dan sikap yang muncul di semua lapisan masyarakat Islam.33

Sementara itu kaum fundamentalis Islam juga menolak kajian-kajian ilmu sosial

untuk digunakan dalam mengkaji Islam dan memiliki sikap yang mudah tersinggung

daripada melakukan penelitian tentang Islam secara ilmiah. Maka Arkoun menyatakan

bahwa untuk memahami masyarakat Arab atau Islam pada masa kini, dibutuhkan

metodologi nalar baru yang pluralis sesuai dengan segala masyarakat, progresif,

33 Dalam realitasnya, masayarakat Muslim banyak yang mengikuti cara pandang orientalis ini. Mereka berkeyakinan bahwa Islam memberikan pengaruh yang besar di dalam segala sesuatu, dan tidak bisa dipengaruhi oleh hal lain. Islam mampu merubah semua problem yang terjadi dengan seketika, atau seperti yang dilakukan oleh tongkat sihir. Dari alasan itu, banyak yang menyerukan penerapan syariat Islam sebagai obat penawar yang mampu menyelamatkan umat. Akan tetapi mereka tidak memahami bahwa syariat itu muncul, secara historis, untuk memecahkan segala problem tejadi pada abad-abad hijriah awal, bukan untuk abad modern ini.

Page 19: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

komparatif, revolusioner, memiliki sifat terbuka, sistematis, memiliki analisa yang luas,

universal. Nalar ini oleh Arkoun disebut dengan nalar falsafi (al ‘aql al falsafi). Nalar

ini adalah lawan dari nalar teologis (al ‘aql al dîni). Nalar ini bersifat defensif (al

difâ’i), ofensif (al hujûmi) dan dogmatis (al dogmâ’i). Sebuah nalar yang menutup

gerak pemikiran Islam semenjak abad ke XI dan XII Masehi.

Nalar teologis ini berakibat pada sakralisasi pemikiran keagamaan (the

sacralisation of religious thought/taqdîs al afkâr al dînî), dan pemikiran semacam inilah

yang memunculkan gerakan fundamentalisme dalam setiap agama-agama. Islam

semacam inilah yang dikaji oleh para sarjana Barat, karena mereka mengkaji Islam dari

masyarakat muslim yang sedang mencari kerja di Eropa. Padahal para pekerja muslim

yang mencari sesuap roti di Eropa itu membawa potret Islam yang sangat sederhana,

sehingga tidak mungkin memahami pemikiran Islam atau filsafat Islam hanya dengan

membaca potret tersebut, tetapi inilah yang dilakukan oleh masyarakat Barat dalam

melihat Islam.

Struktur fundamental dari al ‘aql al falsafi adalah logis, human properties, kritis,

dan essense. Sementara struktur fundamental dari al ‘aql al dînî adalah teks/wahyu dan

unthinkable. Maka wajib bagi ilmuan sosial untuk membongkar paradigma itu, karena

banyak sekali para peneliti yang tidak peduli dengan hal ini dalam melakukan kajian

tentang Islam. Mereka hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sering muncul ke

permukaan dengan mengkaji para tokohnya atau pemimpinnya, tetapi mereka tidak mau

mengkaji lebih jauh dari itu.

Maka langkah untuk membebaskan diri dari belenggu ungkapan-ungkapan dan

teks-teks keimanan adalah dengan melakukan pembebasan sejarah, bukan hanya dari

metode sejarah filologi abad ke-19, tetapi juga dari para sejarawan yang

menggabungkan antara filologi, sosiologi, ontologi dan antropologi. Setiap ilmu itu

harus digunakan untuk memahami dua sumber baku yang diyakini oleh umat Islam dan

membongkarnya dari dalam. Dengan menguasai beberapa ilmu tersebut akan dapat

dicapai suatu pemahaman yang utuh terhadap istilah-istilah, pemikiran-pemikiran,

gambaran-gambaran klasik yang bermacam-macam, yang penuh dengan keyakinan dan

ketakwaan.

Sesungguhnya, bekunya pemikiran Islam selama beberapa abad telah

menyebabkan lemahnya nalar kritik. Peran pemikiran Islam telah dikalahkan oleh

sebuah pembenaran atas sebuah keimanan dan posisinya telah diselewengkan dari posisi

yang sebenarnya oleh pihak penguasa dan tokoh-tokoh agama, bahkan terkadang

menjadi alat mekanis yang tidak mungkin bisa dikendalikan lagi, karena tekanan dari

Page 20: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

lingkungan. Pemikiran dogmatis tersebut telah menyebabkan tertinggalnya nalar kritik

atau menyebabkan berhentinya tugas nalar itu dari kerjanya hingga sekarang.

Pemaksaan teologis dan politis itu pun masih terus berlanjut hingga sekarang. Ironisnya,

semua itu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang memiliki kedekatan dengan

penguasa. Mereka kemudian diberi jabatan sosial dan politik untuk membungkam dan

mempertahankan pendapat penguasa.

Sebagai contoh, ketika terjadi pemaksaan atas paham al-Qur’an sebagai makhluk,

muncul seorang penguasa yang memaksakan pemahaman bahwa al-Qur’an bukan

merupakan makhluk untuk melawan paham Muktazilah yang mengakui al-Qur’an

sebagai makhluk. Ia pun memaksakan masyarakat Islam untuk membaca teks akidah

Qadiriyyah di setiap masjid di Baghdad. Maka muncullah kemudian pernyataan yang

menetapkan bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka

ia boleh dibunuh. Semenjak itu, tidak ada yang berani memunculkan pemikiran

Muktazilah ataupun membicarakannya. Demikianlah bagaimana dogma Islam Sunni

yang sering disebut sebagai paham ortodoksi menjadi merasuk ke dalam jiwa umat

Islam. Kondisi semacam itu pun terus berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmani

pada periode awal (penganut Hanafi), yang mewajibkan paham Sunni sebagai paham

tunggal dan dianggap paham yang paling benar dalam memahami Islam. Sementara itu,

di wilayah lain, tepatnya di Iran, kaum Safawid juga mewajibkan paham Syi’ah

Imamiyyah sebagai paham tunggal yang paling benar dalam memahami Islam.

Demikian pula yang terjadi di beberapa wilayah Islam lainnya.

Maka pada abad ke-19, warisan yang diperoleh oleh aliran skolastik adalah

warisan yang miskin, di mana kekuasaan Uthmani menyatakan sebagai kekuasaan

Tuhan. Begitu juga dalam tarekat-tarekat sufi, yang berada di bawah kekuatan politik-

agama, mereka menciptakan tradisi pengangkatan-pengangkatan santrinya ke derajat

wali yang sangat suci. Mereka menganggap para kaum santri yang telah mencapai

derajat wali itu sebagai orang yang mampu mendekati Tuhan dan mampu memberikan

manfa’at bagi rakyat miskin dan bodoh yang melindungi mereka dari segala macam

bentuk musibah. Islam yang semacam inilah yang dilihat pertama kali oleh masyarakat

Eropa ketika mereka datang untuk menjajah negara-negara Muslim. Islam semacam ini

pulalah yang dikaji oleh ilmuan antropologi dan sosiologi untuk beberapa abad silam.

Mereka melihat Islam sebagai bentuk khurafat, mistis, agama yang terbagi-bagi ke

dalam beberapa kelompok tertentu.

Page 21: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Oleh karena itu, Arkoun menawarkan teori baru dalam mengkaji Islam dengan

menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah,

kritik literal. Teori ini yang kemudian disebut dengan istilah al ‘aql al jadîd al istitlâ’i.

Tawaran M. M. Abu Rabi’34

Abu Rabi’ menyatakan bahwa kejayaan Islam pada abad ke-15 dan 16 adalah

ketika tiga kerajaan besar masih berjaya; Kerajaan Uthmani di Turkey, Kerajaan

Safavid di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Akan tetapi kejayaan umat Islam mulai

melemah pada awal abad ke-19, karena dua alasan; pertama, stagnasi otoritas pusat

dalam melakukan modernisasi sebelum kebangkitan bangsa Eropa, kedua, ekspansi

Eropa ke dunia Islam.

Dalam merespon kolonialisme bangsa Eropa terdapat banyak pandangan. Kalau

dijabarkan ada tiga hal yang harus dilakukan; modernisasi, nasionalisasi dan

revivalisasi. Tiga hal inilah yang menciptakan sejarah modern Islam. Dari tiga hal

tersebut muncullah di dunia Islam kelompok-kelompok keagamaan yang disebut dengan

Islamic revivalism. Gerakan ini bisa dibagi menjadi empat; pre-colonialism

(Wahhâbiyyah), colonialism (NU-Muhammadiyyah), post-colonialism (Jama’ah Jihad

di Pakistan) dan Post-nation-state (FPI).35

Ciri-ciri gerakan di atas bisa dilihat dari masing-masing bentuk institusi dan

spiritualnya. Institusi membentuk pendidikan, politik, ekonomi dan hukum, sementara

spiritual merupakan identitas kulturalnya. Maka dari keempat gerakan tersebut, dalam

dunia Islam muncul dua bentuk pendidikan; tradisional dan modern. Pendidikan

tradisional adalah pendidikan yang mengandalkan hafalan dan fokus keilmuan yang

absolut, sementara pendidikan modern adalah pendidikan yang sudah dimodifikasi

dengan model modern dan pendidikan kritik.

Dari berbagai macam bentuk pemikiran yang muncul, maka perlu kiranya

dibedakan antara pemikiran Islam dan Islam. Pemikiran Islam adalah semua bentuk

cabang keilmuan yang berkembang di masyarakat Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu

Hadits, Kalam, Fikih dan Tasawuf, sementara Islam adalah suatu ajaran yang bersifat

absolut. Maka ketika berbicara tentang Islam, sangat penting untuk mengemukakan

beberapa pemikiran, pertama bahwa Islam telah menjadi problem filsafat, teologi,

ideologi di dalam Arab modern dan pemikiran umat Islam. Beberapa orang menyatakan

tentang validitas Islam resmi (Official Islam), sementara yang lain berbicara tentang

34 M.M. Abu Rabi’, 11 September (Mata Kuliah Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya).35 Ibid.

Page 22: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Islam populer (Popular Islam). Artinya, dapat ditemukan Islam yang bermacam-macam

dari sisi antropologi. Kedua, bahwa pemikiran Islam secara teologis sudah banyak

dipengaruhi oleh politik. Ketiga, bahwa Islam juga telah dikaji melalui pendekatan teks.

Oleh karena itu M. M. Abu Rabi’ menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial

bagi para pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisisnya tentang

fenomena yang terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajar

muslim, terutama yang belajar tentang hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang

menggambarkan tentang keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur, lapisan

serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu

fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang mendorong terjadinya

hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses

tersebut.36

Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam,

karena banyak sekali ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah sosial. Tidak mudah

memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a social scientific approach, tetapi

paling tidak ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari

pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan

dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku

manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan

membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan ini

membuat agama dapat dijelaskan secara objektif, sehingga perannya dalam masyarakat

dapat dipahami. Kelemahan dari pendekatan ini adalah reduksionisme terhadap

pandangan keagamaan manusia. Reaksi yang sering muncul terhadap pendekatan sosial

adalah karena tercabutnya beberapa referensi transendental dan diturunkannya ke dalam

dunia material. Elemen atau karakteristik illmu sosial adalah kecenderungannya untuk

mengkaji budaya manusia dari pendekatan interdisipliner, sehingga kurang begitu

sukses dalam menjelaskan realitas agama.

Selama ini para pemikir yang mengkaji tentang beberapa sisi Islam tidak banyak

menggunakan teori-teori sosial, baik dari sisi metodologis, terminologis serta

problematikanya. Para orientalis, dalam kajian mereka, menggunakan analisa yang tidak

terlalu mendalam, di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi

sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu produk mereka.

Sementara kajian keIslaman yang dilakukan oleh orang Islam, tidak diiringi oleh ilmu-

ilmu sosial, sehingga sangat kering.

36 Ibid., 39.

Page 23: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Hilangnya ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritik dari lapangan ilmu Shari’ah bisa

dilihat dari fakta, bahwa semua pelajar dari dunia Islam (Timur), yang mendapatkan

kesempatan untuk belajar ke Barat, hanya belajar tentang ilmu-ilmu pasti dan

administrasi bisnis, yang lepas nilai atau bebas kritik. Alasannya, karena mereka

beranggapan bahwa ilmu-ilmu keagamaan merupakan ilmu yang irrelevant. Mereka

beranggapan bahwa ilmu sosiologi agama merupakan ilmu yang bisa membawa

pengkajinya ke dalam bid’ah. Hal inilah yang perlu dirubah dari pemikiran-pemikiran

umat Islam di masa sekarang.

Tawaran Charles J. Adams37

Dalam kerangka berpikir Charles J. Adams, pemahaman mengenai konsep Islam

tidak dapat dipisahkan begitu saja dari pandangan dunia para pemeluknya. Pemaknaan

terhadap Islam, pada umumnya masih sangat terbatas, termasuk model pendefinisian

modern yang cenderung reduksionis. Dalam arti belum memberikan penjelasan yang

memadai tentang Islam.38 Islam tidak bisa diartikan dalam satu bentuk, tetapi banyak

bentuk, tidak hanya satu bentuk sistem kepecayaan dan praktik, tetapi banyak sistem

dan praktik. Dari itulah, definisi tentang Islam selama 100 tahun lebih belum ada yang

memuaskan.

Ada aspek-aspek penting dalam Islam yang menjadi pandangan dunia masyarakat

muslim tidak tercover dalam pemaknaan Islam selama ini.39 Ada beberapa perbedaan di

kalangan umat Islam dalam memahami Islam. Sebagai contoh, komunitas Sunni dan

Shi’ah. Keduanya sama-sama memiliki bentuk inovasi tersendiri dalam memahami

Islam. Jadi ada kesulitan dalam memahami apa itu Islam. Kesulitan ini juga ditemukan

ketika ingin memahami apa itu Kristen, apa itu Budha dan seterusnya. Kesulitan-

kesulitan itu, menurut Adams, dikarenakan oleh keluasan konsep Islam itu sendiri dan

keanekaragaman komunitas muslim secara historis.

Mengkaji Islam sebagai agama, sebagaimana dirasakan oleh Adams sendiri,

memang mengisyaratkan adanya kesulitan-kesulitan yang amat berat. Kesulitan ini

muncul karena rumitnya pemahaman terhadap konsep Islam dan agama itu sendiri. Atas

dasar itu, Adams berpendapat bahwa tidak ada harapan untuk merealisasikan sebuah

definisi paling esensial tentang Islam yang dapat berlaku secara universal.40

37 M. Luthfi Mustofa, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003).38 Ibid.39 Charles J. Adams,”Islamic Religious Tradition,” dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 29.40 Ibid., 31.

Page 24: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Walaupun demikiran, Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu

yang mengalami perubahan secara terus menerus, berkembang dan membentuk jawaban

generasi muslim secara berturut-turut terhadap pandangan mereka yang paling dalam

mengenai realitas dan makna kehidupan manusia. Dengan demikian Islam tidak dapat

dipahami hanya secara sepihak, tetapi agak lebih lengkap, bukan sebuah sistem

kepercayaan atau peribadatan, tetapi beberapa sistem. Akhirnya Adams menyatakan

bahwa untuk memahami Islam harus merujuk kepada suatu pengalaman sejarah yang

terus berproses, berubah dan berkembang untuk merespon segala bentuk realitas dalam

kehidupan manusia.

Dalam memberikan pemaknaan terhadap Islam sebagai agama, Adams

mendekatinya dari dua perspektif; pertama, inward experience, bahwa ada dimensi batin

dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang bersifat

personal atau tidak dapat dikomunikasikan. Area ini hanya dapat diakses secara parsial

oleh seseorang dan sering tidak dapat diakses keseluruhannya. Kedua, outward

behaviour, bahwa ada dimensi eksternal yang dapat diamati dan dikomunikasikan.

Dalam tulisannya, Wilfred Cantwell Smith mengatakan bahwa menjelaskan problem

pemaknaan agama bisa melalui dua pendekatan; tradition dan faith. Yang pertama

mengandung arti eksternal (outward behaviour/outerlife), yakni aspek-aspek sosial dan

kesejarahan keagamaan yang dapat diamati dari kehidupan masyarakat. Sedangkan yang

kedua internal (inward behaviour/innerlife), dalam arti tidak terlukiskan karena

merupakan orientasi transendental dan dimensi kehidupan beragama yang bersifat

pribadi.

Maka, ketika Islam sebagai agama, merupakan pengalaman tentang realitas

kekuasaan Tuhan dan kehendakNya kepada manusia, jawaban atas pengalaman-

pengalaman itu, ekspresi keagamaan, perkembangan pengalaman melalui bentuk-bentuk

intelektual, struktur ibadah dan tipe-tipe pengelompokan sosial yang jelas. Untuk itu

Adams menawarkan lima perspektif untuk mendekati Islam, yaitu; normative or

religious approach, philological approach, historical approach, social scientific

approach, dan phenomenological approach.41 Kelima pendekatan ini bisa dirampingkan

menjadi dua bentuk pendekatan; normative (al ‘aql al dînî al lâhûtî) dan descriptive (al

‘aql al falsafi). Yang pertama digunakan oleh mereka yang memiliki komitmen

keagamaan, di mana konteks kajiannya bertujuan untuk menarik orang lain masuk ke

41 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,’ dalam The Study of the Moddle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, ed. Leonard Binder (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1976).

Page 25: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dalam agamanya. Yang kedua digunakan oleh peneliti yang semata-mata dimotifasi

oleh intellectual curiosity terhadap Islam.42

Menurut Sidi Gazalba, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,

radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat

mengenai segala sesuatu yang ada.43 Pendekatan Filosofis (Philosophical Approach)

dapat digunakan dalam memahami ajaran agama Islam dengan maksud agar hikmah,

hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.

Sebagai contoh, upaya untuk mengungkap hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran

Islam, seperti sholat berjama’ah, yang hikmahnya adalah hidup secara berdampingan

dengan orang lain. Dengan berpuasa dapat merasakan lapar yang biasa dirasakan oleh

orang fakir-miskin, sehingga dapat memunculkan rasa iba kepada mereka dan

seterusnya.

Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan

agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tetapi

tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Orang sudah menunaikan haji tetapi

hanya berhenti di situ saja, tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung

di dalamnya. Di antara pendekatan yang berdekatan dengan perspektif normatif adalah

the traditional missionary approach, the muslim apologetic approach dan irenic

approach. The traditional missionary approach adalah pendekatan yang muncul

bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja

Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer Eropa

di Asia dan Afrika pad abad ke-19. The apologetic approach adalah pendekatan yang

memiliki kecenderungan untuk membanggakan masa lalu, sebagai pijakan dalam

menghadapi modernitas. Melalui pendekatan apologetic, sebagian pemikir muslim

mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam tidak hanya untuk menjawab hegemoni

politik Eropa, tetapi sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspek-

aspek tertentu ajaran Islam, seperti jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan dan

lain-lain.

Pendekatan apologetik cenderung normatif dan idealistik dengan mengabaikan

realitas sosial; selain itu juga mencerminkan sikap reaksioner. Oleh karena itulah

pendekatan apologetik ini cenderung mempunyai konotasi negatif. Tetapi, pada segi

lain, apologeisme pada dasarnya merupakan mekanisme pembelaan diri terhadap

ancaman, tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif. Sementara jika

42 Ibid., 34.43 Sidi gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 15.

Page 26: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dilihat dari perspektif umat Islam sendiri, apologisme menunjukkan keinginan untuk

membebaskan diri dari tekanan situasi yang represif.

Sikap apologetik pada batas tertentu bisa dipahami dan dibenarkan, bahkan dari

segi tertentu diperlukan sebagai upaya untuk membangkitkan kembali rasa kebanggaan

kepada ajaram Islam dan sejarahnya yang pernah berjaya itu. Apologi pun bisa

mendatangkan semacam kenyamanan psikologis, karena ia dapat memberikan kepuasan

dan kebanggaan sebagai pemeluk Islam. Apologisme juga bisa bersifat positif, karena ia

dapat menjadi inspirasi, yang pada gilirannya bisa mendorong dinamisme sosial.

Bahkan apologi yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumbangan kultural dan

spiritual untuk menyusun suatu sistem sosio-kultural yang viable. Tetapi harus segera

diakui bahwa apologisme sering tidak menyelesaikan masalah, karena ia memang tidak

memberikan jawaban kongkrit terhadap tantangan yang ada. Bahkan jika tingkat

apologisme sangat tinggi, ia dapat memunculkan pemikiran dan tindakan yang tidak

realistis. Jadi output apologisme bersifat tidak kreatif atau proaktif. Di sini kalangan

apologis terjerambab dan terperangkap dalam kegiatan-kegiatan reaktif; sibuk

menjelaskan bahwa kemodernan yang ada di Barat juga telah ada di dalam Islam sejak

waktu yang lebih lama.

Mengagung-agungkan masa lalu seraya mengulang-ulang kesempurnaan Islam,

sebenarnya sekaligus berarti menutup-nutupi masalah riil dan aktual yang dihadapi.

Dengan demikian, apologisme akan melumpuhkan pemikiran kreatif untuk pencarian

jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang ada. Sifat restropektif dan

reaksioner yang terkandung dalam apologisme mendorong pemecahan masalah secara

intelektual ke belakang, tidak ke depan dan menimbulkan problem abstrak yang tidak

ada hubungannya dengan realitas yang dihadapi. Maka perlu adanya pembaruan

pemikiran dalam masyarakat Islam. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di

antaranya adalah wataknya yang cenderung defensif dan seringkali mengorbankan nilai-

nilai ilmiah, karena caranya yang selalu menampilkan masa keemasan Islam.

Irenic approach pada dasarnya merupakan upaya orang-orang Barat untuk

membangun saling simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa.

Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun

keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal Perang Dunia ke-II. Pendekatan ini bertujuan

untuk mengenalkan Islam dan membentuk dalam mengembangkan sikap baru terhadap

Islam, agar orang Kristen bersikap terbuka terhadap Islam.

Sementara pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang terdiri dari pendekatan

filologis (philological approach), pendekatan yang sangat membantu dalam membuka

Page 27: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, seperti sejarah, teologi,

hukum dan mistisisme. Pendekatan filologis adalah pendekatan yang menitik beratkan

pada bahasa. oleh karena itu, Adams menyatakan bahwa studi secara serius terhadap

Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity).

Social scientific approach, menurut Adams, sangat sulit dijelaskan. Meskipun

demikian ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari

pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan

dan hasrat untuk bersikap obyektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku

manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan

membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan

fenomenologis adalah pendekatan yang dilahirkan oleh sekelompok orang yang

memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19.

Pada dasarnya ia merupakan suatu usaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagai

fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Tetapi, sebagaimana dirasakan

oleh Adams, ada kesulitan dalam melakukan studi agama secara ilmiah dan independen.

Hal ini terbukti bahwa para peneliti agama, termasuk Islam masih dipengaruhi oleh

kecenderungan teologis. Hal ini disebabkan oleh sifat agama itu sendiri, yang memiliki

referensi transendental.

Untuk itu, Adams menganjurkan agar para peneliti agama, termasuk Islam, ketika

sedang mengkaji Islam, harus beranggapan bahwa agama itu bukan lagi miliknya. Islam

as a history, selalu berkembang dan berubah. kaynûnah, sayrûrah (perjalanan sejarah),

shoyrûrah (process). Islam di Baghdad tidak sama dengan di Cordoba. Jadi kritik

Adams adalah terjadinya pertentangan antara historian dan essensialist, yang

menyamakan sesuatu dengan penglihatan yang umum.

Pendekatan Fenomenologis (Phenomenological Approaches)

Tawaran Richard C. Martin44

Richard C. Martin mengatakan bahwa meskipun sejarah tentang agama-agama

telah ditulis, fungsi dan peran informasi ilmiahnya dari sudut pandang sosiologi

pengetahuan belum dikaji secara mendalam.

Pada pertengahan kedua abad ke-19, ketika studi ilmiah tentang agama-agama

memperoleh status independen di fakultas-fakultas Eropa, adalah periode di mana studi

agama-agama dianggap mapan dan independen.

44 M. Zainuddin, Richard C. Martin (Makalah Kelas Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).

Page 28: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Di Belanda dan Skandinavia, muncul madzhab yang dikenal dengan

fenomenologi agama. Pendekatan fenomenologis –yang diilhami oleh Edmund Husserl-

berupaya untuk memperoleh esensi keberagamaan manusia. Pendekatan fenomenologis

ini dilahirkan oleh sekelompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di

Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. Pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk

mendekati agama secara ilmiah, sebagai fenomena sejarah yang paling penting dan

universal.

Dalam konteks Amerika Utara, kerja fenomenologi ini biasa dikenal dalam rubrik

perbandingan agama (comparative religion) atau sejarah agama-agama (history of

religion). Pendekatan fenomenologis ini sulit diberikan pengertian. Charles J. Adams

memberikan dua hal yang diperlukan untuk memahami pendekatan fenomenologis.

Pertama, fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan

cara menempatkan diri pada posisi netral. Fenomenologi digunakan untuk menerapkan

metode dalam meletakkan pandangan subyektif peneliti. Kedua, sebagai konstruksi

skema dalam mengklasifikasi fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama,

budaya dan zaman.45 Intinya adalah mencari esensi, makna dan struktur pengalaman

keagamaan manusia secara keseluruhan. Dalam pengalaman keberagamaan manusia ada

esensi yang irreducible dan itulah struktur fundamental manusia beragama.

Prestasi besar pendekatan fenomenologis adalah adanya keniscayaan pandangan

bahwa norma dari semua studi tentang agama adalah pengalaman kaum beriman itu

sendiri. Oleh karena itu, kepentingan dasar yang menjadi soal fenomenologi ini adalah

terkait dengan pertanyaan apa yang telah dialami, dirasakan, dikatakan dan

dilaksanakan oleh orang beragama itu sendiri, terutama pengalaman-pengalaman yang

bermakna bagi pemeluknya. Dengan demikian tujuan dari studi fenomenologi adalah

untuk menjelaskan makna-makna sehingga memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin

atau reaksi sosial itu mengandung arti bagi pelakunya dalam peristiwa keagamaan.

Selain itu, fenomenologi menghendaki agar untuk memberikan makna terhadap

fenomena keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti dituntut berfikir secara

komprehensif.

Kajian fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada

dalam pemeluknya dengan menganalisa. Ia merupakan pendekatan yang memiliki sikap

terbuka dan empati (open and empathetic approaches). Pendekatan fenomenologis

berupaya untuk memanifestasikan agama melalui metode deskripsi murni, di mana

penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran ditangguhkan (epoche), obyek ditangkap 45 Charles J. Adams,”Islamic Religious Tradition,” dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 50-51.

Page 29: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

esensinya (eidetic vision), agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah

evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia (essential aspect of

human life), keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan disaring.

Komponen metodologis terpenting dalam kajian fenomenologi adalah das

Vestehen, karya W. Dilthey, suatu istilah teknik yang berarti pemahaman tentang

gagasan, intensi dan perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi

empirik dalam kebudayaan. Metode Vestehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh

masyarakat dan lingkungan sejarah mengalami kehidupan yang bermakna (meaningfull)

dan mengungkapkan makna itu dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible

patterns), sehingga dapat dianalisis (can be analyzed) dan dipahami (understood). Maka

berpikir fenomenologis harus memiliki dua kaki; the comprehension of ideas,

intentions, feeling of people, dan the empirical manifestation of culture.

Studi al Qur’an

Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

melalui perantara malaikat Jibril dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.46 Al-Qur’an

merupakan sumber utama bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan ini sesuai

dengan aturan Allah. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw.

sepanjang masa. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dijadikan pedoman dalam

hidupnya.

al Qur’an as Spoken Word

William A. Graham47

Berbicara tentang teks suci adalah berbicara tentang kelebihannya yang berupa

keasliannya dan diakui keberadaannya, khusunya Kitab-kitab Suci agama-agama

Samawi. Kitab Suci dalam Bahasa Inggris disebut scripture, atau Schrift dalam Bahasa

Jerman, Scrittura dalam Bahasa Italia. Kata ini berasal dari Bahasa Latin, yaitu

Scriptura, yang berarti tulisan. Gagasan tentang kata tertulis yang diwahyukan atau

diilhamkan Tuhan –“kitab”, “apa yang tertulis”, yakni “Kitab Suci”- setidaknya

merupakan hal yang kuno di Barat, sebagaimana periode pasca pengasingan dalam

sejarah Yahudi dan terbukti kebenarannya pada abad kedua SM, dalam istilah seperti

46 Manna’ al Qattan, Mabâhits fî ‘Ulûm al Qur’ân (Mesir: Manshûrât al ‘Asr al Hadîts, t.t.), 21.47 William Graham, “al Qur’an as Spoken Word” dalam Approaches to Islam in Religious Studies.

Page 30: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

ha-sefaîm, kitab”, yang melalui Bahasa Latin menjadi bibel (Bible), yang digunakan

untuk merujuk pada sebagian atau keseluruhan tulisan suci berbahasa Ibrani.

Istilah “Kitab Suci” (Scripture), yang berarti tulisan atau catatan suci, seringkali

digunakan sebagai istilah umum (a generic category) dalam ilmu modern. Penggunaan

istilah ini, menurut the Oxford English Dictionary, telah dibuktikan kebenarannya sejak

tahun 1581. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada teks-teks non-Kitab sekaligus

teks-teks Injil, bahkan istilah ini pertama kali digunakan untuk teks-teks non-Yahudi,

non-Kristiani pada tahun 1805.

Setiap pemeluk agama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber utama yang

normatif dan otoritatif. Studi tentang Kitab Suci dalam bidang orientalis dan al Kitab,

hingga kini membutuhkan studi dokumen dan konteks historis di mana kitab suci itu

berada. Perhatian utamanya adalah untuk menetapkan teks yang asli, belum tercemar,

merekonstruksi proses penyusunan teks, menganalisis teks demi informasi historis

kontemporer dan meneliti gagasan-gagasan kunci dalam teks serta menelusuri sumber-

sumbernya.

Dalam beberapa kajian fenomenologi agama, kitab suci cenderung didefinisikan

sebagai tulisan-tulisan suci (sacret writings), yang erat hubungannya dengan istilah

tulisan suci (holy writ). Kategori ini sering dipasangkan dengan firman suci (holy word)

dalam kebanyakan katekisme fenomena keagamaan. Beberapa fenomenolog menggaris

bawahi dikotomi antara kata (word) dan tulisan (writ), dengan menunjukkan bahwa,

sekalipun kata tertulis menentukan dan meminjamkan permanensinya pada kata terucap,

ia juga mengancam dan bisa membunuh spirit utama kata oral yang asli, dengan

mengurungnya dalam huruf. Dalam artian bahwa membukukan bahasa oral dalam

bentuk tulisan kata dapat membatasi gerak dan makna bahasa oral tersebut.

Dengan cara ini, para pengkaji agama harus memperkuat delimitasi kitab suci

pada teks hitam dan putih dan tulisan suci serta otoritas resmi dalam suatu tradisi. Maka

problem yang mucul kemudian adalah pemahaman simplistik tentang kitab suci hanya

sebagai kata tertulis, hanya teks fisik dari tulisan suci. Kitab suci menjadi terlalu mudah

merujuk pada satu obyek, sekalipun penting di antara banyak hiasan dalam kehidupan

agama. Sikap ini berpusat pada pemahaman tentang bahasa itu sendiri yang cenderung

pada orientasi naskah dan visual, sehingga bertentangan dengan orientasi suara dan oral.

Akhirnya, dengan menfokuskan kajian pada bahasa teks membuat pengkaji al-Qur’an

berada dalam budaya tipografi, di mana secara sadar berasumsi bahwa bentuk bahasa

yang paling fundamental adalah kata tertulis atau tercetak, sehingga umat Islam

Page 31: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

kehilangan banyak dimensi budaya sastra oral-aural yang menandai peradaban umat

Islam yang melampaui revolusi Guttenberg hingga pencerahan.

Di bawah dominasi kebisuan kata tercetak secara massal, umat Islam berpikiran

bahwa buku adalah gudang kata-kata, data dan gagasan-gagasan tertulis, sehingga

mereka memandanganya sebagai obyek yang jauh lebih penting daripada teks-teks yang

hidup dan diucapkan. Maka pemahaman yang memadai tentang Kitab suci harus

memuaskan kesadaran, bahwa Kitab suci tidak secara sederhana merujuk pada suatu

teks, tetapi juga selalu merujuk pada teks dalam hubungannya dengan tradisi yang terus

hidup, yaitu hubungannya dengan person atau komunitas imani yang memandangnya

suci dan normatif.

Selama umat Islam menggunakan Kitab suci untuk merujuk lebih pada suatu

dokumen dan tidak lebih dari sekedar dokumen, maka makna Kitab suci sebagai

fenomena penting dalam kehidupan dan sejarah agama tidak akan dapat diakses. Sama

halnya kemanfaatan Kitab suci sebagai kategori yang bermakna dalam analisis tentang

agama akan menjadi minimal.

Tulisan Kanonik adalah sesuatu yang dibaca dan dikaji orang. Kitab suci adalah

sesuatu yang dihidupkan dan dijadikan sebagai pegangan hidup manusia. Apapun

signifikansi etimologis dan harfiahnya, kitab suci adalah petunjuk yang paling hidup, di

mana ia hidup sebagai realitas oral dan aural serta vokal. Kitab suci dimaksudkan untuk

dibaca, dihafal dan diulang-ulang. Ia juga untuk didengar, direnungkan dan

diinternalisasi. Ia adalah kata tertulis yang diucapkan, karena ia merupakan kata terucap

sebelum tertulis. Pemahaman semacam inilah yang harus dikedepankan ketika

memahamai Kitab suci yang bernama al-Qur’an.

Alasan memahami peran al-Qur’an (teks suci Islam) sebagai teks oral dalam Islam

adalah, pertama, kata al-Qur’an berasal dari qara’a, yang berarti membaca keras. Al-

Qur’an juga berarti bacaan. Kedua, al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan

kepada Muhammad melalui perantara Jibril dalam bentuk suara atau bunyi. Yang

ketiga, kata al-Qur’an dipengaruhi oleh Bahasa Kristen Syria, qeryana. Istilah ini

digunakan untuk merujuk pada bacaan oral, bacaan liturgi dari teks suci (lectio) dan

untuk ayat Kitab suci yang dibaca keras (lectio).

Hingga kodifikasi atau hingga akhir wahyu yang berhenti dengan kematian

Muhammad Saw., tidak dijumpai penggunaan al-Qur’an untuk merujuk pada kumpulan

wahyu dalam bentuk tertulis yang lengkap. Maka dalam al-Qur’an dikenal disiplin

pokok dalam studi Kitab suci Islam, yaitu qirâ’ah dan tajwîd. Istilah ini merupakan

istilah teknis, yang digunakan untuk merujuk tidak hanya pada tindakan atau praktik

Page 32: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

membaca keras sebagian atau keseluruhan al-Qur’an, tetapi juga pada bacaan khusus;

pengucapan, pelafalan suatu kata, frase atau ayat dalam al-Qur’an. Dengan menganggap

al-Qur’an sebagai Kitab suci oral akan membuat umat Islam dapat berkomunikasi

dengan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Artinya, umat Islam tidak memahami al-Qur’an

secara tekstual-normatif, sesuai yang tampak secara eksplisit, tetapi lebih menggali pada

yang tidak tampak (implisit). Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an menjadi terus

hidup, dinamis dan tidak mandeg (jumud).

Model-model Penafsiran al-Qur’an

Menurut Quraish Shihab,48 corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara

lain:

a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab

sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada

mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini.

b. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir

untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

c. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang

mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke

dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari

keperccayaan lama mereka.

d. Corak fikih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fikih, terbentuknya

madzhab-madzhab fikih, yang setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran

pendapatnya berdasarkan pada penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap

kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap

kelemahan yang dirasakan.

f. Corak sastra budaya kemasyarakatan, akibat peran Muhammad Abduh.

Adapun macam-macam metode penafsiran al-Qur’an secara garis besar dapat

dibagi menjadi dua bagian, yaitu corak ma’tsûr (riwayat) dan corak penalaran. Corak

penalaran ini dibagi menjadi empat: tahlîly, ijmâly, muqârin, mawdû’y. Metode tahlîly

adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat

al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an,

sebagaimana tecantum dalam mushaf.

48 Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an (Bandung: Mizan, 1992).

Page 33: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Dalam hubungan ini, mufassir memulai tafsirnya dari ayat ke ayat berikutnya atau

dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan

yang termaktub dalam mushaf. Di antara karya yang sering dijadikan contoh untuk

model tafsir ini adalah Tafsir al Kassyâf karya al-Zamakhsyari dan Tafsir al Kabir,

karya al-Razi.

Metode Ijmâly adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan

kandungan makna yang tedapat pada suatu ayat secara global. Dengan metode ini,

seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat

tesebut secara garis besarnya saja.

Metode Muqârin adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara

membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang

mempunyai kemiripan redaksi dalam dua kasus yang berbeda atau yang memiliki

redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau

membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang tampak bertentangan

serta membandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-

Qur’an.

Metode Mawdlû’i adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara tematik, di

mana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang

berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir

membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu

kesatuan yang utuh.

Model Penafsiran Sastra

‘Aishah ‘Abd al-Rahman/Bintu al-Shati’

Salah satu keunikan al-Qur'an adalah adanya pengulangan kata di beberapa

ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya

dengan studi tematik modern. Muhammad Qutub misalnya, menegaskan sisi tantangan

tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat

pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31 kali, seperti yang terdapat pada surat

al-Rahmân. Dalam melakukan studi tentang pengulangan yang ada dalam al-Qur’an,

Muhammad Qutub mencontohkan, ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin

dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa ciri fisiknya, tetapi harus

secara menyeluruh, yang meliputi mata, hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah,

menurut Muhammad Qutub yang disebut sebagai suatu keutuhan.

Page 34: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Selain Muhammad Qutub adalah Muhammad al-Hijazi yang juga membahas

pengulangan dalam al-Qur’an. Dalam bukunya al-Wahdah al-Maudu'iyyah fi al-Qur'an

al-Karim, ia mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang

berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannya. Surat-surat

Makkiyah misalnya berbeda dengan Surat-surat Madaniyyah. Kesatuan tema inilah

yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir

tematik.

Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang

diprakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang

menggunakan model pembacaan terhadap berbagai masalah sosial yang berkembang di

masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra. Kelemahan yang

ditemukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam

beberapa kajiannya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada

karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8.

Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi Bintu al-Shâti' untuk mengembangkan

kajian tematik bahasa sastra dalam tafsir. Salah satu karyanya adalah al-Tafsîr al-

Bayâni li al-Qur'ân al-Karîm.

Bintu Shâti' berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra di al-Azhar kemudian

dikembangkan pada saat di Maroko (Universitas Qarawiyyin). Buku yang dia tulis

tersebut pada awalnya adalah merupakan kumpulan dari beberapa tema yang

disampaikan pada perkuliahan di Fakultas Syari'ah di Fas. Demikian pula dengan

bukunya yang lain, yaitu al-I'jaz al-Bayani, juga merupakan kumpulan dari materi

Ulum al-Qur'an di Universitas Dar al-Hadits al-Hasaniyah di Rabath, yang kemudian

disempurkan sebagai bidang spesialisasinya dalam kajian bahasa al-Qur'an di

Universitas Qarawiyyin sejak tahun 1970.

‘Aishah Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu al-Shâti',

menekankan pembahasannya pada aspek kemukjizatan al-Qur'an di bidang sastra dan

sebagai kesatuan rasa (wahdah dhawqiyyah dan wijdâniyyah). Metode tafsir sastra

tematik Bintu al-Shâti' ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan

pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khuli. Secara garis besar metode kajian sastra

tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran:

Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di

beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Dalam buku ini ia tidak memakai

metode kajian tematik murni, tetapi dengan pengembangan induktif (istiqrâ'i). Mula-

mula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-

Page 35: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian

tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta' (pemberhentian tematik

dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian

dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang

menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam

penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.

Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai

dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan

diturunkannya ayat-ayat al-Qur'an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab al-

nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaedah al-ibrah bi 'umûm al-lafz lâ bi khusus al

sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan

kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat). Ketiga, memahami dalâlah al

lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-Qur'an, apakah

dipahami sebagaimana zahirnya ataukah mengandung arti majâz (kiasan) dengan

berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khâs (hubungan-

hubungan kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyâq 'âm

(hubungan kalimat secara umum) dalam al-Qur'an. Keempat, memahami  rahasia ta'bîr

dalam al-Qur'an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara

mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di berbagai

kitab tafsir yang mu'tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal Arab (i'rab) dan

kajian balâghah.

Sastra tematik yang penulis maksudkan di sini adalah corak tafsir modern yang

menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhû'i 'âm). Pengkajiannya

dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil

seluruh surat dalam al-Qur'an, tetapi beberapa surat pendek saja, yaitu tujuh surat

pendek juz 'Amma pada buku pertama; al-Dhuhâ, al-Syarh, al-Zalzalah, al-'Adiyât, al-

Nâzi'ât, al-Balad dan al-Takâtsur. Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua;

al-'Alaq, al-Qalam, al-'Ashr, Al-Lail, al-Fajr, al-Humazah dan al-Mâ'ûn.

Sebagai perbandingan, Muhammad Qutub juga mengkaji secara tematik umum

persurat dengan klasifikasi Makki dan Madani serta klasifikasi masing-masing

keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad

Qutub, tema besar al-Qur'an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa

aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan, ia menafsirkannya secara

tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat Makkiyah; al-Ra'd, Luqmân dan

Fâthir, serta tiga surat Madaniyyah; al-Baqarah, Ali 'Imrân dan al-Nisâ'.

Page 36: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Rujukan Utama dalam buku ini, Bintu al-Shâti' merujuk kepada pendapat al-

Zamakhshari dalam bukunya al Kashâf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al Bahr al

Muhît. Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan

suaminya, yaitu Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Sadiq al-Rafi'i.

Lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al I'jâz al Bayâni.

Salah satu contoh tafsir sastra tematik Bintu al-Shâti' adalah surat al-Zalzalah,

yang dibuka dengan tema umum; al yawm al âkhir, kemudian ia mengklasifikasikannya

sebagai awal-awal surat Madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat

Madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir.

Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat Makkiyyah bukan berarti tidak memuat

tasyri' dan penjelasan hukum.

Mukaddimah singkat ini segera ia lanjutkan dengan malâmih (outward) sastra

tematik dalam surat ini. Pertama, ayatnya pendek-pendek. Ini mengindikasikan adanya

keseriusan dan pesan urgen dan tidak bertele-tele. Kedua, dalam ungkapan yang singkat

seperti ini pun masih ada pengulangan-pengulangan untuk penekanan-penekanan

tertentu. Ketiga, kata-kata yang dipilih pun berpengaruh kuat seperti zalzalah

(bergoncang) untuk menunjukkan kedashsyatan. Ungkapan serupa juga ada di surat-

surat lain seperti al-Ghashiyah, al-Tammah, al-Waqi'ah dan lainnya. Keempat, disebut

dalam bentuk pasif tanpa menyebutkan subyek (pelaku) nya. Ini memberi tekanan pada

perhatian kepada kejadiannya, bukan berarti menafikan keberadaan pelakunya. Ia juga

menyebutkan hal serupa di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat al-Qur'an.

Dalam hal ini penakwilan fâ'il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu

Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat

ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa

berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, Bintu Syâthi'

merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik

kata zulzilat maupun kata zilzâlahâ), kemudian pengungkapan dalam bentuk madi (past

tense) yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idha (apabila).

Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat

(mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu

merinci penafsiran 'athqâl (beban-beban berat yang dikandung bumi).

Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yang beriman

maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir

saja. Di sini ia memilih pendapat pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan

keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga

Page 37: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan bumi. Sebagian tetap

menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpendapat sebaliknya, bahwa memang

benar-benar pada hari itu bumi bisa berbicara.

Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya;

al-Tabari, al-Zamakhshari, Abu Hayyan dan al-Tabarshi. Pertanyaan-pertanyaan yang

memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata

adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan

seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini ia agak panjang lebar berbicara masalah

wahyu. Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idhin (pada hari itu).

Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur

dan dibangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan dan seting,

seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukan

yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yasdur

(keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansarif.

Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari

kuburnya yang bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar.

Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai dengan amal perbuatannya

selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang

demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib

mereka. Bagaimana balasan mereka setelah itu? Jawabannya adalah pada dua ayat

penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqâbalah (perbandingan) yang jelas

sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menyebutkan rahasia

penggunaan kata mitsqâla dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam

memahami ayat ini, baik dari para mutakallimîn maupun kelompok yang ada, juga

mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran

Mu'tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi mewakili Shi'ah. Polemik ini

muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang

dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apa pun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan

pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.

Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah

yang berhak menentukan balasan ini. Dia memberi ampun kepada siapa yang

dikehendakiNya dan memberi azab kepada siapa pun yang dikehendakiNya. Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14).

Metode Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd

Page 38: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Hermeneutik berasal dari Bahasa Yunani, hermeneuo, yang memiliki beberapa

pengertian; (1)mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, (2)menterjemahkan

atau bertindak sebagai penafsir atau bisa berarti menafsirkan. Term ini memiliki asosiasi

etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang mempunyai tugas

menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.49 Teori ini

bertujuan untuk memahami hakekat atau pesan yang terkandung dari teks, perantara

atau penafsir, cara memahami teks dan pemahaman audiens.

Abu Zayd, yang dijadikan contoh dalam kajian ini, dilahirkan di Tanta, Mesir

pada tanggal 10 Juli 1943. Ia melihat bahwa tafsir seringkali digunakan untuk

kepentingan politik atau yang ia sebut dengan problem al nusûs al dîniyyah. Maka ia

mengembangkan pemikiran yang kritis dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk

menyingkap tabir patologis yang menyebabkan penyimpangan dalam interpretasi dan

pemaknaan teks keagamaan. Apa yang ia lakukan telah memancing reaksi keras dari

kalangan ulama’ besar di Mesir, termasuk al-Azhar.

Menurutnya, yang harus dilakukan dalam mengkaji al-Qur’an adalah memahami

al-Qur’an sebagai literatur. Literatur penafsiran al-Qur’an yang selama ini dilakukan

hanya berdasarkan teks al-Qur’an yang ada. Oleh sebab itu, pendekatan literatur al-

Qur’an tersebut perlu ada penekanan masalah fakta yang ada dalam al-Qur’an.

Pemikiran ini diawali oleh Andrew Rippin pada tahun 1982, yang menyarankan

bahwa pendekatan literatur diawali dari asumsi bahwa al-Qur’an merupakan firman

Tuhan tidak dengan metode khusus. Ibaratnya al-Qur’an itu seperti Bible yang tidak

memerlukan metode khusus dalam menganalisis lebih jauh. Di Mesir, orang yang

pertama kali menggunakan teori literatur adalah Amin al-Khuli (1895-1966).

Maka dijumpai perbedaan penafsiran antara satu mufassir dengan yang lainnya.

Perbedaan ini terletak pada kesimpulannya mengenai maksud teks al-Qur’an terhadap

perkembangan dan bagaimana pemahaman terhadap sastranya. Hal ini ditulis oleh Abu

Zayd dalam artikelnya Tafsir from Tabari to Ibnu Kathir.

Perbedaan kesimpulan merupakan keanekaragaman metode yang digunakan oleh

penafsir. Sebagai contoh, Ash’ari menganggap al-Qur’an itu kekal, sedangkan

Muktazilah percaya bahwa al-Qur’an itu buatan (makhluq).

Para sarjana Barat (John Wansbrough, misalnya), memperkirakan bahwa al-

Qur’an adalah usaha pengeditan beberapa ratus tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan

pandangan tradisional mengira al-Qur’an menjadi teks peninggalan dari Nabi

Muhammad dan diterbitkan oleh Khalifah Uthman bin Affan. 49 Richard E. Palm, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger and Gadamer (Northwestern University Press, 1969), 13.

Page 39: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Dalam menafsirkan seringkali penafsir dikondisikan oleh kepribadian, prasangka

dan keterkaitannya dengan sesuatu. Hal ini menyebabkan makna yang ditafsirkan jauh

dari maghzâ. Abu Zayd menyatakan bahwa al-Qur’an itu sebuah teks ilmu bahasa (nas

lughawi) yang dihubungkan dengan konteks dan budaya khusus (yantami).

Dalam hal ini Abu Zayd mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah sebuah teks yang

sama seperti teks-teks lainnya, sehingga dia tidak melihat kekhususan atau kekeramatan

dalam menemukan makna-makna al-Qur’an. Maka al-Qur’an sebagai suatu naskah

dapat ditafsirkan dengan pendekatan kritik modern. Alasan Abu Zayd adalah agar

supaya orang-orang Islam, Kristen dan Atheis bisa mempelajari al-Qur’an, karena

kebudayaan Arab menyatu dengannya.

Artinya, ada perkiraan bahwa al-Qur’an juga hasil kebudayaan (al muntaj al

thaqâfi). Pengertiannya ini didasarkan pada uraian semenjak al-Qur’an diterima selama

20 tahun lebih dalam sebuah kebudayaan dan konteks khusus. Ketika Tuhan

memberikan al-Qur’an melalui pesuruhnya (malaikat), Dia memilih bahasa manusia

sebagai kode atau simbol untuk wahyu dan memberikan suatu bahsa yang tidak bisa

dipisah dari kebudayaannya, karena diwujudkan dalam bahasa. Selanjutnya, tidak

mungkin bisa memisahkan naskah itu dari konteks kebudayaannya.

Ketergantungan al-Qur’an atas bahasa Arab memperkuat pendapat Abu Zayd

bahwa al-Qur’an lebih dekat hubungannnya dengan masyarakat dan kebudayaan Arab.

Hubungan ini ditunjukkan dalam ayat yang menggambarkan sejarah pada masa

Muhammad, seperti dalam asbâb al nuzûl, ayat Makkiyyah, Madaniyyah dan lain-lain.

Di sini ia menggambarkan bahwa teks itu sebagai subyek dan kehidupan sebagai

obyek. Meskipun demikian, Abu Zayd membantah pendapat yang mengatakan bahwa

al-Qur’an adalah buatan manusia, hanya penulisannya saja yang menggunakan bahasa

manusia.

Istilah teks berasal dari Bahasa Latin “textus”, yang berarti susunan, struktur,

bentuk. Al-Qur’an sebagai teks memiliki hubungan antara wahyu dan risâlah (pesan).

Maka, dengan dipengaruhi oleh para hermeneutis Barat, khususnya E.D. Hirsch Jr.,

yang membedakan antara ma’nâ (meaning) dan maghzâ (significance), Abu Zayd ingin

melakukan upaya baru, yaitu mengeliminasi jarak antara subyek dan obyek. Menurut

Abu Zayd, sebuah penafsiran tidak berhenti dengan penemuan makna historis teks, akan

tetapi dengan melihat signifikansinya yang selalu berubah dalam konteks kontemporer.

Untuk mendukung pembedaan antara makna historis dengan signifikansi ini, Abu

Zayd menggunakan makna ta’wil itu sendiri dan menganalisis ayat-ayat al-Qur’an yang

bermuat terma tersebut. Abu Zayd menemukan bahwa proses tafsir, yang ia sebut

Page 40: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

penafsiran kontekstual (al qirâ’ah al siyâqiyyah), haruslah mengikuti dua tahap:

pertama, harus merujuk kepada makna dalam konteks sejarah dan budaya (târikhiyyât al

dalâlah), dan kedua, sampai kepada signifikansi (maghzâ) dalam konteks kehidupan

sekarang.

Abu Zayd menyatakan bahwa dengan penafsiran kontekstual ini seseorang dapat

mencapai secara obyektif makna historis teks. Signifikansinya di sisi lain adalah relatif

dan merujuk kepada penafsiran dan konteks yang berbeda. Bagaimanapun, signifikansi

ini haruslah secara erat berhubungan dengan makna historis. Abu Zayd mengkritik teori

penafsiran para ulama’ yang mengabaikan makna historis dan historisitas teks tersebut,

atau juga mereduksinya karena teks itu menyangkut masa lalu dan tidak berguna bagi

masa kini karena telah dihegemoni (qirâ’ah dîniyyah) oleh kalangan ulama’ (al Azhar)

di Mesir, yang merasa paling benar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan.

Maka ia memunculkan teori hermeneutik, sebagai literary critisism, yang

berorientasi untuk mengkaji ma’nâ (meaning) dan maghzâ (significance). Hermeneutic

menurut Abu Zayd adalah membahas tentang hubungan antara pembaca teks (mufassir),

teks (al-Qur’an) dan pemilik teks (Allah). Istilah hermeneutic adalah istilah yang

digunakan untuk kajian ketuhanan yang membahas tentang kaidah-kaidah dalam

memahami teks keagamaan (Kitab suci). Maka hermeneutic berbeda dengan tafsir

(exegesis), di mana hermeneutic lebih sebagai teori penafsiran.50 Fokus hermeneutic

lebih pada masalah hubungan antara mufassir dengan teks. Bagaimana seorang mufassir

dapat memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemilik teks, bahkan lebih

baik daripada pemilik teks itu sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa seorang mufassir (dengan segala

keterbatasannya sebagai manusia) memahami teks (ayat-ayat al-Qur’an) sebagaimana

yang dimaksudkan oleh Tuhan (Allah)? Jika melihat apa yang dilakukan oleh para

mufassir dengan mencoba menafsirkan al-Qur’an, baik dengan metode maudui, tafsir bi

al ma’thur maupun mereka yang tergolong kepada ahl al ra’yi (al ta’wil), maka

jawabannya adalah dapat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah teks yang terbaca itu sudah

dapat mewakili isi pemikiran penulisnya? Jika jawabannya adalah iya, maka apakah

dapat dikatakan bahwa seorang pembaca dapat memahami isi pemikiran penulis teks

dengan hanya membaca teks yang ditulisnya? Jika tidak, maka bagaimana hubungan

antara teks, pembaca teks dan penulis teks? Apakah ada perbedaan paham antara

penulis teks dengan pembaca teks jika keduanya hidup pada masa yang berbeda? Jika 50 Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al Qira’at wa Aliyat al Ta’wil (t.t.: al Markaz al Thaqafi al Arabi, t.t.), 13.

Page 41: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

demikian, mungkinkah seorang pembaca teks dapat memahami sebuah teks sesuai

dengan penulisnya?51

Telah banyak dilakukan kajian tentang hubungan antara penulis teks dengan

kondisi zaman di saat dia menulis teks. Kajian ini memunculkan teori dominasi, bahwa

ada faktor eksternal yang dominan dalam mempengaruhi pikiran seorang penulis.

Dengan demikian, seorang pembaca teks harus memahami latar belakang penulis teks

pada saat teks itu ditulis. Teori ini ditentang oleh Elliout, bahwa teks itu tidak dapat

dipengaruhi oleh faktor eksternal, sehingga seorang pembaca teks tidak perlu mencari

faktor eksternal yang mempengaruhi ditulisnya teks itu, seorang pembaca cukup

memahaminya melalui pendekatan bahasa.

Tetapi Shleirmacher, memiliki pandangan lain. Ia mengatakan bahwa teks suci

juga harus dipahami seperti teks-teks lainnya, sehingga ia dapat dimasukkan dalam

wilayah ilmu. Dengan demikian, perlu adanya syarat yang harus dipenuhi dalam rangka

memahami maksudnya, yang disebut dengan tafsir. Menurutnya, teks merupakan

mediator antara pembaca dan penulis. Maka ada hubungan dialektis antara bahasa

dengan penulis teks. Dengan demikian, semakin lama usia teks, semakin sulit dipahami

oleh pembaca, karena bahasa terus berkembang. Oleh karena itu harus ada upaya

penetapan aturan untuk menyelesaikan masalah itu, baik dari sisi bahasa maupun

kehidupan penulisnya.

Bahasa merupakan standar bagi seorang penulis untuk mengungkapkan

pemikirannya. Sementara itu, bahasa memiliki standar baku, sehingga standar inilah

yang menjadikan penafsiran itu mungkin dilakukan, asalkan penulis tidak menggunakan

bahasa yang aneh-aneh. Jika itu dilakukan oleh penulis, maka penafsiran terhadap teks

yang ditulisnya menjadi tidak mungkin dilakukan.

Selain Shleirmacher, adalah W. Dilthey yang juga berbicara tentang

hermeneutika, bahwa harus dibedakan antara ilmu alam, ilmu sejarah dan humaniora.

Dilthey ingin membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta, karena objek

kajian daripada ilmu-ilmu sosial adalah pemikiran manusia, sementara ilmu-ilmu

eksakta adalah hal-hal yang bersifat pasti. Ilmu-ilmu sosial membutuhkan analisa yang

bersifat kemanusiaan dan itu membutuhkan analisa yang tajam terhadap fenomena

kemanusiaan dan inilah yang dibutuhkan dalam melakukan penafsiran terhadap teks-

teks keagamaan. Pemahaman semacam itu dapat dicapai dengan cara hidup kembali

untuk yang kedua kali dari pengalaman kehidupan yang telah dialaminya. Kegagalan

51 Ibid., 17.

Page 42: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

yang dilakukan oleh ilmuan sosial adalah disebabkan oleh karena mereka belum pernah

merasakan peristiwa sosial yang dia kaji sebelumnya.

Maka Dilthey mengatakan bahwa dasar dari pengetahuan adalah eksperimen atau

pengelaman pribadi. Eksperimen atau pengalaman pribadi yang dimaksudkan oleh

Dilthey di sini adalah eksperimen yang terus menerus atau dinamis. Jadi pengalaman

lebih berharga daripada analisa pemikiran. Semakin banyak ditemukan pengalaman

yang sama di antara manusia, maka semakin kuat kesimpulan yang dimunculkan.

Lalu bagaimana memahami pengalaman pribadi orang lain untuk dibawa ke

dalam diri kita? Jawabannya menurut Dilthey adalah melalui ungkapan, baik dalam

bentuk perilaku maupun teks tertulis. Itulah yang disebut dengan istilah objektivasi

(objectivication). Dalam istilah Dilthey disebut dengan Expressions of lived experience

dengan menggunakan ungkapan bahasa sebagai sarananya.

Manusia adalah makhluk hidup yang berkembang, maka dalam memahami diri

manusia, tidak cukup dengan analisa tetapi melalui pengalaman hidup yang dilaluinya.

Keinginan manusia tidak terbatas dan manusia diciptakan bukan sebagai proyek mati,

seperti robot atau benda lainnya, tetapi dia diciptakan melalui proses kehidupannya.

Maka dalam memahami kehidupan manusia tidak bisa secara langsung, tetapi melalui

proses penafsiran hermeneutik dari kehidupan yang dilaluinya di masa lampau. Maka

pemahaman seseorang terhadap masa lampau semakin baik dan matang ketika apa yang

dialami pasa saat ini ada kesamaan dengan yang pernah dialaminya di masa lampau.

Demikian pula ketika seseorang memahami sebuah teks, baik yang berbicara dengan

sesuatu yang terjadi di masa lampau atau yang terjadi pada masa kini, dengan melalui

pengalaman hidup manusia akan menjadi semakin baik. Apa yang dikemukakan oleh

teks keagamaan tentang masa lampau bisa dibawa pada peristiwa yang terjadi pada

masa kini, karena sesuatu yang pernah terjadi pada diri manusia di masa lampau

merupakan sesuatu yang akan terjadi juga di masa kini.

Maka Dilthey menolak pendapat tentang perubahan teks antara masa lampau

dengan masa kini. Teks bisa tetap, tetapi pemahaman terhadap teks bisa berubah sesuai

dengan pengalaman hidup yang dialami. Maka makna teks tidak tetap, tetapi selalu

berubah (dinamis), sesuai dengan perubahan hubungan antara pembaca teks dengan teks

tersebut. Untuk itu, dalam memahami sebuah teks, tidak berangkat dari sebuah

kekosongan, tetapi berangkat dari seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki

sebelumnya. Dengan demikian, penafsiran seseorang terhadap sebuah teks bisa tidak

sama, karena seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki oleh pembaca teks berbeda

antara satu dengan yang lainnya.

Page 43: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Studi Hadits

Kata Hadith menurut bahasa berarti al jadîd (sesuatu yang baru), lawan kata dari

al qadîm (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al khabar (yaitu sesuatu yang

dipecakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadits kemudian

didefinisikan sebagai ucapan, perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.

Hadits, di lihat dari sudut kuantitas, atau jumlah rawi, diklasifikasikan dengan Hadits

mutawâtir dan hadits âhâd.

Teori Model; Sîrah Nabi Ibnu Hisyam

Earle H. Waugh

Nabi Muhammad adalah simbol dari sifat kemanusiaan yang sempurna. Mengkaji

tentang Nabi, tidak akan lepas dari sejarah. Hal ini sulit dihindari, karena terjadi

kesenjangan zaman yang begitu panjang antara Nabi dengan kita. Di sinilah peran

sejarah sangat urgen, yang akan memberikan data atau bukti historis yang bisa

diinterpretasikan lebih jauh tentang perjalanan hidup Nabi.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan, mampukan pendekatan sejarah memberikan

informasi lengkap dan obyektif tentang Islam, melalui perjalanan hidup Nabi sebagai

figur dan sumber ajarannya?

Sebagai sosok yang populer, pribadi Nabi memiliki low tradition dan high

tradition. Yang masuk kategor high tradition, adalah ia sebagai uswah hasanah.

Earle H. Waugh, termasuk orang yang ragu dengan pendekatan sejarah dalam

mengungkap tentang perjalanan hidup Nabi. Ia tidak percaya dengan pendapat bahwa

cerita sejarah kehidupan Nabi bisa membantu kita memahami Nabi Muhammad.

Bahkan, dengan pendekatan sejarah ini, kita hanya mendapat sedikit cerita tentang

kelahirannya, sebelum ia menjadi manusia berpengaruh. Karena keraguannya terhadap

pendekatan sejarah untuk mengungkap Nabi, ia menggunakan teori model, dalam

menginterpretasikan Nabi Muhammad yang kharismatik (uswatun hasanah).

Konsep model ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli matematika Eugeno

Betromi dan Felix Cline untuk membantu menjelaskan geometri non Euclidean

kemudian diadopsi oleh ahli logika matematika, seperti Gottolob Frege dan Bertrad

Russel. Dari sini model dimanfaatkan dalam bahasa pertama kali oleh F. Hockett pada

tahun 1954.

Page 44: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Istilah model menurut bahasa bisa diartikan contoh, teladan. Dengan demikian

apabila merujuk pada sub kajian ini berarti akan mengkaji keteladanan Nabi dalam

perjalanan hidupnya, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Ishaq dalam karyanya al Sîrah al

Nabawiyyah. Sirah, menurut Wansbrough mempunyai peranan yang besar dalam Islam

karena merupakan kesaksian yang bercerita tentang salvation history versi Islam.

Dengan teori model, menurut Ramsey, akan dapat dipahami misteri yang ada di

hadapan seseorang. Ramsey menambahkan bahwa teori model tidak hanya menyajikan

gagasan-gagasan tentang realitas, tetapi juga muatan kognitifnya. Teori model tidak

hanya merupakan persepsi imajiner yang membawa data yang tak terduga, tetapi juga

pandangan-pandangan tentang hakekat sesuatu, yang sekalipun tampak kontradiktif

dengan apa yang biasanya diyakini benar dan menyatakan sesuatu yang bermakna

tentang realitas dari mana mereka muncul.

Menurut Ewert Cousins, teori model berfungsi pada dua tingkatan: pertama,

berkaitan dengan pengalaman keagamaan dalam mencari apa yang disebut model-model

keagamaan (experiental models). Model pengalaman adalah struktur-struktur atau

bentuk-bentuk pengalaman keagamaan (general pattern), esoterism. Istilah pengalaman

mengimplikasikan unsur subyektif, theistic, sedangkan istilah model mengimplikasikan

varietas dalam pengalaman keagamaan.

Tingkatan kedua, metode memperhatikan ekspresi (expressive models), seperti

Kredo Kristen dan sistem teologi. Ekspresi-ekspresi semacam itu diidentifikasikan

sebagai model-model ekspresi (expressive models) yang mengambil seluruh bentuk

yang digunakan oleh orang beragama dalam menyatakan pengalaman keagamaan

dirinya (particular/unique), exoterism. Istilah ekspresi mengimplikasikan unsur

obyektif, scientific.

Karya Ibnu Ishaq, menurut Waugh, dipandang sebagai kemajuan di antara karya-

karya masa awal dan narasi-narasi oral yang tercatat dalam literatur kenabian yang

dikenal dengan sebutan maghâzî sîrah. Sîrah adalah cara paling awal untuk menjelaskan

sejarah Islam pada abad pertama dan pertengahan abad kedua.

Dalam Sîrah, Ibnu Ishaq memaparkan setting Nabi, di mana Quraysh mempunyai

tradisi untuk mengelola kekuasaan secara terus-menerus. Ketika Tuhan mengutus

Muhammad, ia mempertimbangkan lagi tradisi itu. Ia berpendapat bahwa kekuasaan

mereka didasarkan atas kontinuitas tradisi agama leluhur. Mereka adalah pengikut

Tuhan, Tuhan berperang untuk mereka dan merintangi serangan musuh-musuh mereka.

Mereka mencari agama sejati dengan menyembah batu.

Page 45: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Selama kehidupan Nabi, terjadi antagonisme antara Ansar dengan kelompok

Quraysh yang masuk Islam pada masa-masa akhir. Konflik ini, kata Waugh, dipecahkan

oleh Nabi dalam sebuah pertemuan yang secara khusus membahas ketidakpuasan di

kalangan Ansar, ketika Nabi memberikan hadiah pada Quraysh dan Baduwi. Karena

konfrontasi ini Nabi bersabda: “Sebenarnya kamu mempunyai aku, sementara mereka

semua memiliki makanan dan sekutu. Apakah kamu bingung karena suatu yang baik

dalam kehidupan ini, di mana saya menang atas mereka sehingga mereka menjadi

muslim, sementara aku mempercayai kamu karena keislamanmu? Apakah kamu tidak

puas bahwa orang-orang yang akan menarik sekutu dan kawanan, sementara kamu

mengingatkan kembali dirimu tentang Rasul Allah? Demi Allah, yang jiwa Muhammad

berada di tanganNya, saya akan menjadi salah seorang Ansar, dan jika semua orang

berjalan dengan suatu cara, dan Anshor dengan cara lain, saya akan mengambil jalan

Ansar.” Setelah mendengar penjelasan dari Nabi tersebut, kaum Ansar menangis sambil

berkata: “Kami puas dengan Rasulullah sebagai sekutu dan bagian kami.”

Metode Studi Hadits

Dasar-dasar penelitian Hadits adalah penilaian terhadap sanad, matan (teks

Hadits) dan perawi Hadits. Pokok pertama persoalan ketika mengkaji sanad dan matan

adalah bahwa dua komponen Hadits tersebut tidak mungkin muncul mendadak begitu

saja tanpa masa perkembangan sebelumnya, baik sisi teknis maupun materinya. Suatu

Hadits yang dianggap tidak resmi (dha’if) bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa

hidup Nabi sendiri saat itu.

Kata sanad berarti mu’tamad (sandaran), tempat berpegang, yang dipercaya atau

yang sah. Secara terminologis, sanad ialah silsilah orang yang menghubungkan kepada

matan Hadits, yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan materi Hadits, baik berupa

perkataan, perbuatan dan keputusan. Dalam ilmu Hadits, sanad merupakan neraca untuk

menimbang sahih atau tidaknya suatu Hadits. Untuk menguji apakah sebuah Hadits

betul-betul bersumber dari Rasulullah atau tidak. Di antara syarat sahnya sebuah sanad

adalah 1. Persambungan sanad para perawi. 2. Keadilan perawi. 3. Tingkat kemampuan

perawi dalam memelihara Hadits (dhabit). 4. Terhindar dari syadz. 5. Terhindar dari

illat.

Kata matan berarti tanah yang tinggi. Secara istilah matan memiliki beberapa

definisi yang pada dasarnya memiliki maknaa sama, yaitu materi atau lafadz Hadits itu

sendiri atau suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.

Page 46: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Dalam studi ulum al Hadits, masalah pemahaman dan pemaknaan terhadap matan

Hadits tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran

Islam kontemporer. Pemahaman ini didasarkan pada satu asumsi bahwa teks atau matan

Hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, melainkan

berada di tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik sebuah

teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan

merekonstruksi makna sebuah Hadits. Jika tidak, akan melahirkan kesalahpahaman

penafsiran. Maka pendekatan hermeneutik sangat mendukung dalam memahami makna

matan Hadits dalam sebuah masyarakat yang hidup jauh berbeda dari Nabi Muhammad.

Artinya, sebuah teks Hadits hanya akan menjadi bermakna apabila diposisikan

secara relasional dengan masyarakat pembacanya. Sebuah Hadits tidak pernah berdiri

sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang

meresponinya. Ketika Hadits dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna,

kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi pepustakaan.

Hadits, yang secara etimologis berarti cerita, penuturan atau laporan, adalah

sebuah narasi. Biasanya narasi ini sangat singkat dengan tujuan memberi informasi

tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh Nabi

Muhammad. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu

kitab, apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya. Maka

metode yang sering digunakan dalam meneliti Hadits adalah kritik sanad dan matan.

Model Penelitian Hadits

Fazlur Rahman

Dalam melakukan penelitian Hadits, Rahman menemukan dua model tipologi

yang kontradiktif; pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis. Dua model tipologi

di atas bagi Rahman merupakan problem epistemologis, karena dalam praktiknya setiap

kali ia melakukan studi dengan obyek apapun ia selalu dibayangi oleh dua wajah

tipologi keagamaan dengan karakteristik yang berbeda. Karakteristik dari pemikiran

kelompok pertama adalah tekstualis, literalis, formalis dan normatif-doktriner.

Sementara karakteristik pemikiran kelompok kedua adalah pluralis, humanis, liberalis

dan kadang sekularis.

Perbedaan di atas menyadarkan Rahman pada upayanya untuk membangun kosep-

konsep Sunnah dan Hadits yang lebih general dan tidak parsial. Rahman menemukan

bahwa antara dua tipologi di atas terjadi perbedaan yang tajam dan tidak ada titik temu.

Page 47: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Maka Rahman berusaha untuk mengembalikan posisi Hadits pada posisinya semula,

yaitu menjadi Sunnah dan tradisi yang hidup.

Memahami Sunnah antara Ahl al Hadits dan Ahl al Fikih

Muhammad al-Ghazali52

Sebagaimana Rahman, Ghazali juga membagi dua kelompok yang berbeda

dalam memahami Sunnah. Ada kelompok Ahl al Hadits yang tradisionalis, ortodoks dan

tekstual, dan ada kelompok Ahl al Fikih yang cenderung memahami Sunnah melalui

pendekatan lima hukum fikih.

Menurut al-Ghazali pemahaman dua kelompok yang berbeda ini sering

memunculkan gap yang tidak dapat didamaikan. Maka harus diambil jalan tengah untuk

meminimalisir perserteruan di antara keduanya dengan cara menggabungkan dua

pemahaman tersebut untuk diambil pemahaman yang lebih baik.

Sebagai contoh, dalam memahami hukum salat tahiyyat al masjid di saat khatib

Jumat sudah naik mimbar, kalangan Ahl al Hadits lebih memilih salat daripada duduk

mendengarkan khutbah, karena ditemukan Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah

saw menyuruh seorang Sahabat untuk menunaikah salat sunnah pada saat Nabi sedang

berkhutbah. Pemahaman semacam ini adalah bentuk dari pemahaman yang tekstual,

sementara kalangan Ahl al Fikih menyatakan bahwa mendengarkan khutbah lebih baik

daripada salat, karena dalam hukum fikih disebutkan bahwa jika ditemukan dua

permasalahan yang bertemu pada saat bersamaan, maka yang wajib diutamakan

daripada yang sunnah. Mendengarkan khutbah hukumnya adalah wajib, sementara salat

tahiyyat al masjid adalah sunnah. Maka dahulukan yang wajib yaitu mendengarkan

khutbah dan sisihkan salat tahiyyat al masjid karena hukumnya sunnah. Jangan

meninggalkan yang wajib demi terlaksananya sesuatu yang sunnah. Maka al-Ghazali

lebih berpihak kepada Ahl al Fikih.

Demikian juga tentang hukum hijab. Menurut kalangan Ahl al Hadits, hijab

dimaknai dengan niqab (cadar), sementara kalangan Ahl al Fikih memaknai hijab

dengan jilbab (kerudung biasa). Alasan yang dikemukakan oleh Ahl al Hadits adalah

bahwa ketika sedang salat, seorang wanita boleh memperlihatkan wajah dan dua telapak

tangannya karena sedang beribadah, menghadap Tuhan, sementara ketika di luar salat,

dia berkomunikasi dengan manusia. Wajah adalah awal dari sumber fitnah, maka wajah

harus ditutup di luar salat. Sementara itu, kalangan Ahl al Fikih mengatakan bahwa 52 Muhammad al-Ghazali, al Sunnah al Nabawiyyah bayn Ahl al Fikih wa Ahl al Hadits (Kairo: Dar al-Shuruq, 1989).

Page 48: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

tidak ada beda antara batasan aurat wanita dalam ibadah dan di luar ibadah. Apa yang

sudah ditetapkan oleh Allah terkait dengan aurat wanita pada saat salat juga berlaku

untuk di luar salat. Al-Ghazali mengatakan bahwa dua kelompok tersebut sama-sama

memiliki alasan yang kuat. Untuk itu, bentuk hijab adalah pilihan masing-masing

wanita, boleh pakai cadar boleh tidak. Yang penting menutup seluruh tubuhnya, kecuali

muka dan dua telapak tangan.

Tentang seorang wanita karir, al-Ghazali mengatakan bahwa boleh soerang wanita

bekerja di luar dengan catatan tidak melupakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.

Apalagi jika tugas di luar rumah terkait dengan kegiatan sosial seperti mengajar,

mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Meskipun demikian, ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi, menjaga aurat dan pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan

kodratnya sebagai wanita. Jangan sampai ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai

dengan kodratnya, seperti polwan yang bertugas mengatur jalan raya, memikul beban

berat (kuli), tentara yang terjun di lapangan, tukang becak atau sopir angkot dan lain

sebagainya.

Studi Hukum Islam

Dekonstruksi Syari’ah Abdullah Ahmad al-Na’im

Apa itu dekonstruksi syari’ah? Itu hanyalah istilah spontan yang mungkin tepat

untuk mengantarkan pada kreativitas Abdullah al-Na’im, yang bereksperimen

melampaui absolutisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat Islam dalam

menjawab tantangan diskursus kontemporer. Alasan dari kemunculan pemikiran al-

Na’im adalah karena jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab

tantangan dianggap belum memadai bahkan mengecewakan. Pihak fundamentalis selalu

menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap

masalah umat manusia, sementara kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri

dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada masalah ritual belaka, sehingga menurut

kalangan sekuler, masalah sosial harus dicarikan solusinya dari luar agama.

Pemikiran al-Na’im berangkat dari pemikiran bahwa penafsiran dan praktik

semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan

politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga

demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Tetapi pelu dikemukan bahwa meskipun ada

yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap bersifat universal.

Page 49: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Yang perlu dikemukakan sebelum menguraikan pendapat al-Na’im adalah bahwa

hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu

sendiri, tetapi sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami

dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh

para ahli dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada

sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan

agama. Pernyataan ini memiliki arti bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan

legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk

dalam menerapkan hukum Islam selama tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan

kolektif pihak lain, baik di luar maupun di luar komunitasnya.

Jika pemikiran semacam ini diterima, maka tuntutan penerapan syari’ah Islam

dalam suatu negara harus dilihat infrastruktur dari wilayah tersebut. Menurut al-Na’im,

selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara negara dan

syari’ah merujuk pada pemikiran ulama klasik tanpa mengkaji lebih jauh tentang

kondisi masyarakat penulisnya. Oleh karena itu, dalam mengamati permasalahan

kontemporer, terutama yang menyangkut persoalan politik, manurut al-Na’im,

seseorang harus berhati-hati ketika menggunakan karya ulama pra modern awal dan

klasik walaupun karya itu ditulis oleh ulama ahli syari’ah yang secara tajam menyadari

perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan ajaran syari’ah. Akan tetapi, apa yang

dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat diasumsikan begitu saja sesuai dengan

tuntutan syari’ah.53

Sesungguhnya apa yang mereka kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah

dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk penerapan syari’ah

secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah

(Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga para ulama harus

mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam.

Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan

kekuasaan dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan

kekuasaan seperti itu bertentangan dengan syari’ah. Maka Gibb mengatakan bahwa

dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar kebutuhan dan kebijakan politik,

al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu mungkin berlaku persamaan

hak. Sekali hal ini dibolehkan maka ambruklah seluruh suprastruktur sistem peradilan.

Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi tehadap realitas

umat Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syari’ah tertentu, dalam rangka 53 Abdullah Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah terj. Ahmad Suaedy (Yogyakarta: LKiS, 2001), 12-13.

Page 50: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

melakukan rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih

utama (al as}lah}) umat Islam pada waktu itu. Sementara itu, beberapa ulama lain

dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan perhatiannya kepada situasi ideal

dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara ulama yang termasuk

dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dalam karyanya, Ibn Taymiyyah

menekankan kewajiban untuk patuh pada syari’ah, dan tidak jadi soal, apakah

pemimpinnya sendiri mentaati syari’ah ataukah tidak.

Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan

karena umat Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syari’ah secara sempurna. Maka

tawaran untuk melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam

menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan

publik. Dengan perubahan itu, baik masyarakat muslim maupun non muslim sama-sama

mendapatkan keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik tersebut, sehingga

penerapan syari’ah di suatu negara, menurut al-Na’im, akan membuat umat Islam

kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari sekularisasi. Masyarakat non

muslim misalnya, akan mendapat status sebagai warga negara nomor dua, jika

dilakukan penerapan syari’ah Islam, berbeda jika mereka berada di bawah naungan

negara sekuler, karena syari’ah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan

hukum kepada warga non muslim.

Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan banyak hak dalam

beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syari’ah, berbeda ketika mereka

berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan

yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam

kehidupan publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan

yang lebih terhormat. Bahkan kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan

bayang-bayang pemurtadan ketika mereka berada di bawah naungan hukum syari’ah.

Untuk itu, masing-masing dari umat Islam di suatu wilayah berhak menentukan

nasibnya sendiri secara syari’ah. Tawaran yang dapat diambil untuk mendamaikan

permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi hukum publik Islam

yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-

hak asasi manusia modern.

Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syari’ah sudah lengkap dan final

sehingga dengan menganggap ada bagian syari’ah yang kurang memadai akan dituduh

bid’ah oleh mayoritas umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat

psikologis dalam upaya merekonstruksi syari’ah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman

Page 51: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy). Untuk menembus hambatan

ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syari’ah bukanlah

hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw, karena

syari’ah adalah produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-Qur’an dan

Sunnah serta berbagai tradisi lainnya. Jika dapat dipahamkan bahwa syari’ah disusun

oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Qur’an

dan Hadits), maka umat Islam kontemporer akan lebih terbuka menerima kemungkinan

reformasi syari’ah secara substansial.

Antara Syari’ah dan Fikih; Muhammad Sa’id al-Ashmawi54

Al-Ashmawi mengatakan bahwa harus dibedakan antara makna syari’ah dan

fikih. Syari’ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui al-

Qur’an dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya.

Sementara fikih adalah pemahaman kita terhadap syari’ah yang masing-masing dari kita

memiliki pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama

itu satu tetapi pemahaman terhadap agama sangat beragam. Untuk itu harus dibedakan

antara agama dan pemahaman kita terhadap agama. Syariah itu agama, sementara fikih

adalah bentuk dari pemahaman kita terhadap agama. Ayat riba adalah agama, di mana

agama menetapkan riba haram, tetapi pemahaman kita terhadap sesuatu apakah disebut

sebagai riba atau tidak adalah fikih.

Pemahaman seseorang terhadap agama dalam bentuk fikih itu sangat dipengaruhi

oleh faktor sosiologis, ekonomi dan politik masyarakatnya. Maka syari’ah yang

universal pada tataran fikih akan ditemukan perbedaan dalam kaitannya dengan

perbedaan sosial dan kondisi politiknya. Maka fikih bukanlah keseluruhan Islam itu

sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami

dalam konteks histories tertentu, sehingga dapat direkonstruksi pada aspek-aspek

tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang

sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.55

Ijihad; antara Liberalisme Islam dan Ortodoksi Islam

Muhammad ‘Imarah56

54 Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jawhar al Islam (Kairo: Madbuli, 1996).55 Abdullah Ahmed al-Naim, Dekonstruksi Syari’ah terj. Ahmad Su’aidi (Yogyakarta: LKiS, 2001).56 Muhammad ‘Imarah, al Nas al Islami bayn al Ijtihad wa al Jumud al Tarikhiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).

Page 52: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Muhammad Imarah mengatakan bahwa umat Islam dalam memahami teks

keagamaan dibagi menjadi dua; kelompok liberal dan ortodoksi. Kelompok liberal

terlalu berlebihan dalam mengemukakan konsep ijtihad sementara kelompok ortodoksi

terlalu berlebihan dalam membatasi ijtihad sehingga sampai pada titik jumud.

Untuk itu harus diambil jalan tengah dengan merujuk pada pendapat Umar, di

mana dia telah melakukan banyak ijtihad, yaitu dengan membatasi wilayah ijtihad pada

urusan duniawi meskipun teksnya bersifat qat’i. Sebagai contoh, Umar pernah tidak

memotong tangan pencuri karena kondisinya sedang paceklik. Umar juga tidak

membagi 4/5 harta rampasan perang kepada tentara tetapi menaruhnya di bayt al mal

karena banyak fakir miskin, janda dan orang tua yang lebih membutuhkan daripada

tentara meskipun mereka tidak ikut perang. Tentang jatah mua’llaf untuk menerima

zakat, Umar juga pernah tidak memberikannya karena umat Islam sudah kuat tidak

butuh kepada mu’allaf dan lain sebagainya.

Studi Ritual Islam

Islam Resmi dan Islam Populer

Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures, menyatakan bahwa agama

meliputi simbol-simbol budaya sosial. Dari situ, agama dipahami sebagai sistem

budaya.57 Paparan ini diperkuat oleh Bassam Tibi dalam Islam and the Cultural

Accommodation of Social Change, dengan mengatakan bahwa agama-agama di dunia

ini bersifat kultural. Dari itu, ia bersifat simbolik, merupakan sistem-sistem, dan sebagai

bentuk dari realitas.58

Menurut Tibi, dalam agama, konsepsi-konsepsi manusia tidak didasarkan pada

pengetahuan, tetapi pada kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, yang konsepsi-

konsepsi itu sangat berbeda dari satu kepercayaan dengan yang lainnya. Dalam

kepercayaan agama-agama Monotheism, kekuasaan yang dimaksud adalah Tuhan,

sementara dalam agama-agama primitif, hal itu direpresentasikan melalui spirit dan

magic.59

Islam menurutnya adalah realitas sosial, mencakup sistem simbol budaya yang

sangat beragam, dan berubah secara historis. Artinya, pemahaman seseorang terhadap

Islam sangat dipegaruhi oleh penggunaan teori yang berbeda-beda dan background

57 Cliiford Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87.58 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8.59 Ibid.

Page 53: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

historis dan sosialnya. Maka dalam memahami realitas dunia Islam, seorang sarjana

harus melewati beberapa bahasa dan disiplin, guna mendapatkan pemahaman yang

komprehensif mengenai Islam.60

Untuk memahami agama, Milton Yinger menyarankan agar seseorang memahami

beberapa budaya yang mempengaruhinya, beberapa karakter yang ada di dalamnya, dan

struktur-struktur sosial yang membawanya.61 Taylor menyatakan bahwa agama adalah

sebuah kepercayaan kepada keberadaan spiritual. Dia merasa bahwa satu karakteristik

dari semua agama, baik kecil maupun besar, baik kuno maupun modern, adalah adanya

kepercayaan kepada spirit yang mampu berpikir, berbuat. Esensi dari semua agama

adalah kepercayaan terhadap Yang Maha Hidup, sebuah kekuatan yang ada di luar

semua yang ada. Taylor menyebutkan adanya hubungan antara ritual keagamaan dengan

kepercayaan.62

Frederick, mengatakan bahwa ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam,63 di

mana keduanya saling menguatkan, dalam proses penemuan dan disiplin agama yang

menyatu. Tauhid, menurut Frederick, bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga

realisasi manusia dalam mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.64

Empat rukun Islam, menjadi kategori utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa

penting lainnya, seperti ‘Idul Fithri, ‘Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana,

dan lain sebagainya.65

Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boeh jadi semakna dengan

kebudayaan, yaitu culture, civilization. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu

cultura, yang berarti memelihara, mengerjakan, atau mengolah.66

Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah

sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis

adalah warga negara (kota). Oleh karena itu sivilisasi berhubungan dengan kehidupan

kota yang lebih progresif dan lebih halus.67

Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan oleh manusia

untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk

60 Abu Rabi’ Intellectual Origins of Islamic Resurgance in the Modern Arab World (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 1.61 Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Mac Milon Pub, 1970), 20.62 Dalam Daniel L. Pall, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 24.63 Frederick M. Denny, “Islamic Ritual”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64.64 Ibid.65 Ibid., 69.66 Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 27.67 Ibid., 28.

Page 54: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah

dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan

dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil

ekpresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya.

Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup

bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa

berbentuk teori murni dan bisa jug atelah disusun sehingga dapat langsung diamalkan

oleh masyarakat. Rasa dan cipta bisa juga dinamakan kebudayaan spiritual. Semua

karya, rasa, cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar

sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.68

Dari uraian tentang kebudayaan di atas, muncul kemudian pertanyaan, apakah

Islam itu bagian dari hasil karya, karsa dan cita-cita manusia? Menurut Nurcholish

Madjid, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat

dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat,

sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu

dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar, budaya didasarkan pada agama, bukan

sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.69

Bangsa Arab sebelum Islam, dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki

kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan

di Arab mudah tersebar ke berbagai wilayah. Menurut Nurcholish Madjid, ciri-ciri

utama tatanan Arab pra-Islam adalah sebagai berikut: (a) mereka menganut paham

kesukuan (qabîlah); (b) memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipaasi

warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan; (c) mengenal

hierarki sosial yang kuat; dan (d) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.70

Sumber hukum yang dijadikan pegangan adalah adat-istiadat. Dalam bidang

mu’amalah, mereka membolehkan transaksi barter (mubâdalah), jual beli dengan cara

spekulatif, dan riba. Dalam hukum berkeluarga, mereka membolehkan poligami dengan

jumlah tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka

atau harta peninggalan. Kecenderungan untuk merendahkan martabat wanita, yaitu

perempuan dapat diwariskan, ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya ketika

suaminya meninggal, dan ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, perempuan tidak

memperoleh hak waris.71

68 Soerjono Soekanto, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 29. 69 Ibid., 34.70 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 28.71 Nurcholish Madjid, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 40.

Page 55: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Maka Islam yang turun kemudian, memberikan pembenahan-pembenahan

terhadap tatanan bangsa Arab tersebut, di antaranya dalam hukum poligami, yaitu

dibatasinya jumlah istri pada pernikahan poligini menjadi empat orang dan diharamkan

poliandri. Kedudukan wanita menjadi terhormat dan mendapatkan hak warisnya. Maka

Pendekatan Antropologis (Anthropological Approaches) sangat membantu dalam

memahami beberapa hal yang dilakukan oleh umat Islam di belahan bumi ini.

Antropologi adalah kajian yang berfokus pada manusia. Kajian ini membantu

memahami diri sendiri melalui pengamatan terhadap budaya orang lain.72 Pendekatan

antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya

memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat

dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan

memberikan jawabannya. Salah satu contoh dari pendekatan antropologis dalam kajian

Islam adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java.

Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara

santri, priyayi dan abangan. Dengan pendekatan antropologis dilihat hubungan Islam

dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dengan itu pula agama terlihat akrab dan

fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.73

Selain pendekatan antropologis, pendekatan kebudayaan (Cultural Approaches)

juga bisa dijadikan alat bantu dalam memahami fenomena keagamaan umat Islam.

Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan

segenap potensi batin yang dimilikinya. Dalam kebudayaan tersebut terdapat

pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat dan sebagainya.

Kebudayaan dapat digunakan dalam memahami Islam yang terdapat pada dataran

empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal dan menggejala di

masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh

penganutnya dari wahyu melalui penalaran. Sebagai contoh adalah penggunaan jilbab

sebagai pakaian Islami. Itu bisa dipahami dengan melalui pemahaman tentang adanya

perbedaan budaya Arab dan Asia, sehingga model atau bentuk jilbab yang dipakai

berbeda. Pemahaman semacam ini perlu dimunculkan karena yang membentuk

pemikiran seseorang bukan sekedar teks tetapi dialektika manusia dengan realitas di

satu pihak dan dialognya dengan teks di pihak lain. Dengan demikian, studi keagamaan

72 Akbar S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology (USA: New Era Publications, 1986), 13.73 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 38.

Page 56: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

tidak cukup hanya tertuju pada studi teks malainkan juga pada kajian tradisi sehingga

harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu sosial.74

Dalam memahami Islam, harus dibedakan antara Arabisme dan Islamisme. Jeffrey

Lang dalam Struggling to Surrender dan Even Angels Ask: A Journey to Islam in

America, mengatakan bahwa ia pernah pergi dan tinggal di Saudi Arabia untuk

mengenal lebih dekat komunitas muslim yang hidup di dekat Baitullah, tempat Islam

dilahirkan. Tetapi akhirnya ia kembali ke Amerika karena menyadari bahwa pemikiran

Islam yang tumbuh di Amerika lebih cocok dan menantang baginya daripada paham

Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang lebih ditunjukkan ke masa lampau. Di Arab

Saudi, menurut Lang, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan

keprihatinan dan membuat imannya segera kehilangan daya hidupnya. Dalam kasus ini,

Lang yang berencana untuk menanggalkan statusnya sebagai orang Amerika untuk

menjadi muslim telah gagal dan pada akhirnya ia semakin yakin dengan prinsip no

escape from being an American. Itu artinya, untuk menjadi Islam tidak berarti harus

meninggalkan semua latar belakang budaya seseorang. Islam tidak pernah datang pada

suatu vakum kultural. Sikap kritis Lang tersebut jika dilacak sumbernya dari al-Qur’an

maka akan mendapatkan pembenaran. Al-Qur’an menyatakan bahwa Malaikat yang

kerjanya hanya bertahmid dan bertasbih pada Allah ternyata bisa dan boleh melakukan

protes dalam bentuk pertanyaan ketika Allah hendak mengangkat Adam sebagai

khalifah. Jadi, benar apa yang dilakukan oleh Lang bahwa untuk memahami pesan

Islam seseorang harus selalu bersikap kritis, terlebih jika Islam hendak didakwahkan

pada masyarakat.

Demikianlah, untuk mengaktualkan pesan wahyu dibutuhkan respon kritis dan

hati yang tulus dari manusia di bumi untuk menciptakan bayang-bayang surga dalam

sejarah. Mengingat penduduk bumi demikian beragam dan itu merupakan desain Allah,

maka ditemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam China, Islam Indonesia,

Islam Amerika dan komunitas Islam lainnya. Maka masyarakat muslim tidak bisa

menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulunya di dunia pramodern

yang konservatif. Betapapun kerasnya mereka berusaha menerima dan melaksanakan

warisan tradisi agama pada masa keemasannya, mereka memiliki kecenderungan alami

untuk melihat kebenaran secara faktual, histores dan empiris. Baik konservatisme dan

modernisme bukanlah pilihan yang tepat. Kedunya produk historis yang perlu dikaji

ulang validitasnya. Kulitnya boleh sama, tetapi bagian dalamnya telah berubah.

74 Komaruddin Hidayat,Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 4.

Page 57: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Dalam masyarakat Islam yang tradisional, perkataan kiai, tokoh agama, begitu

berpengaruh, karena dianggap sebagai manifestasi dari hukum sosial. Maka ada

perbedaan antara hukum di dunia Islam dan di dunia Barat yang terbiasa dengan

kehidupan modern. Hukum yang muncul di Barat adalah hasil dari pengalaman hidup

mereka, sementara hukum yang muncul di dunia Islam adalah hasil dari wahyu,

sehingga kesadaran (self discipline) orang Barat lebih tinggi daripada kesadaran orang

Islam, karena orang Islam terbiasa diperintah. Maka untuk menjadi masyarakat taat

hukum, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri.

Studi Ritual Islam

Frederick M. Denny

Frederick, yang tulisannya akan dibahas dalam makalah ini, mengatakan bahwa

ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam,75 di mana keduanya saling menguatkan,

dalam proses penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Tauhid, menurut Frederick,

bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga realisasi manusia dalam mengesakan

Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.76 Empat rukun Islam, menjadi kategori

utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa penting lainnya, seperti ‘Idul Fithri,

‘Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana, dan lain sebagainya.77

Menurut Frederick, fungsi aktivitas ritual dalam Islam itu sangat besar, sehingga

Bosquet, dalam Encyclopedia of Islam, menyatakan bahwa Islam bukan sekedar ibadah,

tetapi juga merupakan hukum, bahkan atas alasan itu, Bosquet menerjemahkan ibadah

dengan kultus.78 Untuk memperkuat bukti tentang besarnya fungsi aktivitas ritual itu, di

sini Frederick kemudian memunculkan tulisan orang lain, yaitu Wilfred Cantwell

Smith, dalam bukunya Islam in Modern History, yang menterjemahkan kata Sunni

bukan dengan ortodoks, tetapi ortopraksis.79

Dari itu, menurut Frederick, Kitab-kitab Fikih selalu dimulai dengan penjelasan

tentang kewajiban-kewajiban ritual, dengan memperhatikan empat rukun; shalat, puasa,

zakat dan haji. Rukun Islam pertama, syahadat, tidak biasa untuk dibahas, tetapi taken

for granted.80 Artinya, ritual Islam, dalam pandangan Frederick, sangat memainkan

75 Frederick M. Denny, “Islamic Ritual”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64.76 Ibid.77 Ibid., 69.78 Ibid.79 Wilfred Cantwell Smith, “Islam in Modern History”, dalam Richard C. Martin, Approaches, 218 (footnote).80 Ibid., 64.

Page 58: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

peran yang sangat penting bagi pemeluknya, karena tujuan dari praktik ritual dalam

Islam itu adalah ibadah, bukan keyakinan terhadap mitos, sebagaimana yang tejadi di

dalam agama-agama lain. Shalat lima waktu memberikan kesaksian atas dominannya

ritual dalam kehidupan sehari-hari, dengan memanggilnya dari pekerjaan duniawi untuk

mengingat sesuatu yang ultim.

Menurut Frederick, teks-teks resmi tentang praktik ritual dalam Islam, seperti haji

sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil rihlah, hanya

kitabah dari teks-teks yang tersedia.81 Sebagai contoh adalah pembahasan tentang haji.

Menurut Roff, walaupun berjuta-juta kaum Muslimin telah berkunjung ke Makkah dan

menunaikan ibadah haji sejak abad ke-1 H/ ke-7 M, tidak ada metodologi yang adekuat

yang telah dirumuskan untuk menganalisis urgensi dan maknanya bagi Islam historis.82

Maka penelitian yang dilakukan oleh Denny dan Roff tentang praktik ritual dalam

Islam, sangat penting sekali bagi kita untuk dikaji karena akan membantu kita di dalam

memahami praktik-praktik ritual dalam Islam. Sebagaimana telah diungkapkan dalam

latar belakang, bahwa praktik ritual sangat memiliki makna yang berarti bagi kehidupan

masyarakat Muslim.

Begitu pentingnya studi tentang praktik ritual dalam Islam, sehingga Frederick M.

Denny, dalam tulisannya tentang Islamic Ritual, mengkritisi pengabaian studi sistematik

tentang ritual Islam dalam studi Islam tradisional, padahal Islam memperlihatkan

tekanan yang besar pada aktivitas ritual.83

Selama ini kajian tentang ritual, seperti haji, banyak bersumber dari teks-teks

resmi yang sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil

rihlah, hanya kitabah dari teks-teks yang tersedia.84 Maka rihlah yang dilakukan oleh

peneliti dalam rangka menjelaskan kontekstual dari praktik-praktik ritual dalam Islam

sangat penting dilakukan. Selama ini, kajian tentang ritual, seperti haji lebih ditekankan

pada epifenomena dissemanisasi ideologis dan peningkatan status.

Dalam hal ini bisa disebut nama seorang Islamolog yang paling mempunyai

pretensi politis, yaitu A.J. Wensinck, dalam artikel panjangnya berjudul “hajj”, pada

edisi ke- II The Encyclopedia of Islam, memfokuskan diri pada masalah pengaruh

spiritual haji hanya pada dua atau tiga baris terakhir dari tulisannya, yaitu

pernyataannya yang berbunyi “hanya Tuhan saja yang tahu”.

81 Frederick, dalam Martin, Approaches, 68.82 William R. Roff, “Pilgrimage,” 78.83 Frederick M. Denny, Islamic Ritual, Perspectives dan Theoris, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam In Religious Studies (U.S.A: Arizona State University Press, 1985), 63.84 Ibid.

Page 59: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Ketika Bernard Lewis memberi tambahan dalam konteks yang sama dengan

Wensinck, bahwa haji merupakan agen perantara paling penting bagi mobilitas vertikal,

dan mempunyai akibat-akibat yang besar terhadap seluruh masyarakat, menurut Roff,

tidak menyentuh makna religius haji yang spesifik.85

Richard C. Martin dalam bukunya, Approaches to Islam in Religious Studies,

mengatakan bahwa banyak dari bentuk praktik ritual yang tidak didapatkan dalam

sumber-sumber resmi, tetapi dipraktikkan oleh komunitas Muslim, karena merupakan

aktivitas-aktivitas simbolik yang memiliki signifikansi yang amat besar dalam Islam,

seperti mengunjungi makam-makam wali untuk mendapatkan barakah.86 Praktik seperti

ini (kultus terhadap orang suci dalam Islam), seperti di Mesir, merupakan hal yang biasa

terjadi dalam komunitas Muslim.

Frederick, salah satu tokoh yang pemikirannya akan kita kaji dalam bab ini,

dengan mengutip dari tulisan D. J. Waardenburg, dalam bukunya Official and Popular

Religion as a Problem in Islamic Studies, mengatakan bahwa praktik-praktik itu jika

dibaca dalam karya Ibn Taymiyyah, atau Wahhabiyyah misalnya, sejumlah prilaku yang

dapat diterima oleh beberapa masyarakat Muslim sebagai hal yang diyakini benar tadi,

menyusut secara drastis, karena kebanyakan praktik itu dianggap menyimpang dan

ditambah-tambahkan.87

Meskipun dapat serangan hebat dari Ibn Taymiyyah, Wahhabiyyah, dan yang

lainnya, kunjungan ke makam-makam orang suci tidak pernah dapat dimusnahkan.

Praktik-praktik yang oleh Wahhabiyyah dianggap menyimpang itu masih sering

dilakukan oleh massa Muslim, yang memandangnya sebagai bagian dari Islam. Maka

yang dibutuhkan dalam studi tentang ritual, menurut Frederick, adalah perhatian yang

lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber Islam dan bahasan-bahasan tentang

ritual.88

Frederick melihat bahwa yang sering menjadi masalah, dalam studi tentang ritual

Islam, adalah terjadinya konflik antara pendekatan normatif dan deskriptif dalam analisa

prilaku.89 Artinya, dalam studi tentang ritual Islam terdapat dua sumber, yaitu sumber

teks yang memunculkan Islam resmi/Islam normatif dan sumber konteks yang sering

disebut dengan Islam populer.

85 Ibid.86 Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, 61.87 Frederick M. Denny, ”Islamic Ritual, Perspectives and Theories,” dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 64. 88 Ibid., 65.89 kesulitan ini dipaparkan oleh J. D. J. Waardenburg dalam tulisannya yang berjudul Official and Populer Religion as a Problem in Islamic Studies. Ibid., 218.

Page 60: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Di sini Frederick menjadikan karya Clifford Geertz, Islam Observed, yang

membedakan antara Islam orang Indonesia dan Maroko, sebagai salah satu karya yang

menggambarkan konflik antara Islam resmi (Islam normatif) dan Islam populer.90

Frederick menyebutkan ada satu pendekatan dalam studi tentang ritual Islam, yaitu yang

memusatkan pada deontologi, sebuah pemahaman tentang syari’ah sebagai ilmu tentang

kewajiban. Pembahasan dalam kerangka pendekatan deontologi ini adalah tentang

perilaku ritual yang ideal, sebagaimana dijumpai dalam sumber-sumber asli. Sementara

ada pendekatan lain, yang dilakukan oleh para orientalis dalam kajian mereka, yaitu

dengan banyak memperhatikan sumber sejarah.91 Maka apa yang dibutuhkan sekarang,

menurut Frederick, adalah perhatian yang lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber

Islam dan bahasan-bahasan tentang ritual.

Smith mengatakan, ketika pergumulannya adalah antara tradisi akademis Barat

dan suatu agama tertentu, maka pernyataan-pernyataan yang dikemukakan harus

memuaskan masing-masing kedua tradisi ini, dan mentransendensikan keduanya dengan

cara memuaskan keduanya.92 Jaeques Waar Denburg mencatat tentang peran dan fungsi

sosial yang dipenuhi oleh gagasan-gagasan dan praktik-praktik keislaman di luar makna

religius khusus yang diberikan kepada pemeluk agama Islam itu sendiri.93

Menurut Roff, fenomena yang terjadi di masyarakat muslim itu, membutuhkan

alat-alat analisis seorang sejarawan, yang dapat menangkap apa yang ada dibalik

sesuatu dari sistem-sistem keagamaan itu. Caranya, menurut Roff, dengan

menggambarkan sesuatu dari praktik-praktik yang diteliti dan gagasan-gagasan para

pemeluk agama, dari suatu proses sosial yang terstruktural, dan mendapat pengakuan

dari pemeluk-pemeluknya.94

Menurut Roff, hal itu dilakukan untuk membuat temuan-temuan analitis tentang

bagaimana makna dan penampakan keagamaan seperti yang dipahami dan dipraktikkan

para pemeluknya, menginformasikan secara spesifik fungsi sosial dari gagasan-gagasan

dan praktik-praktik yang diteliti.95

Maka dari adanya dua pendekatan di atas, Frederick mengusulkan adanya disiplin

di mana para fuqaha dan Islamisis saling berbagi pandangan, jika mereka ingin

menganalisis dan menafsirkan ritual Islam, dengan cara yang membawa makna dalam

konteks Islam yang sebenarnya (memahami dan menghargai sifat keyakinan yang khas

90 Ibid., 65.91 Ibid.92 Wilfred Cantwell Smith, History of Religions, Ibid., 220.93 Jacques Waardenburg, The Academic Study of Islam, Ibid., 221.94 William R. Roff, “Pilgrimage and the History of Religions”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 78-79.95 Roff dalam Martin, Approaches, 79.

Page 61: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

yang menjadikan ritual itu bermakna bagi Muslim).96 Salah satu studi tentang ritual

Islam yang sangat berpengaruh dalam kebangkitan studi-studi ritual adalah etnografi

Clifford Geertz dan Victor Turner, yang kajiannya didasarkan pada antropologi kultural

yang bersifat simbolis, Levi-Strauss.97

Praktik Ritual Islam

William R. Roff

Di dalam beberapa praktik ritual dalam Islam, yaitu empat dari lima rukun,

mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan

kekuatan rukun pertama, syahadah, yang secara implisit mengandung gambaran iman

Muslim yang sempurna, dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, Malaikat,

Nabi dan Kitab Suci, Hari Akhir dan Takdir. Dua dari lima rukun itu, ada yang

mempunyai rujukan tempat yang kuat, yaitu Shalat dan Haji, yang dipusatkan pada

Ka’bah di Mekkah, dan tiga rukun ada yang mempunyai mempunyai rujukan waktu,

yaitu shalat, puasa dan haji. Jadi, menurut Frederick, dari beberapa rukun itu, dalam

Islam terdapat serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci.98

Ruang dan waktu dalam ritual Islam adalah kategori universal. Maka perlu adanya

perhatian pada dimensi dan orientasi ruang dan waktu dalam Islam, untuk tujuan

pemahaman yang lebih baik tentang simbolisme Islam, sebagaimana dipahami dari

dalam. Gagasan tentang ruang dan waktu dalam ritual Islam inilah yang kurang banyak

digali oleh para peneliti.

Theodore Gaster dalam Thespis; Ritual, Myth and Drama in the Ancient Near

East menjelaskan sebuah fenomena ini, yang ia sebut dengan Topocosme, suatu

hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh. Menurut

Theodore, ritual dibagi menjadi dua kategori, ritus kenosis (pengosongan), dan ritus

plerosis (pengisian). Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya

kehidupan dan vitalitas pada akhir setiap kesempatan. Yang ke dua menggambarkan dan

menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru. Yang masuk

dalam kategori pertama ini, menurut Frederick adalah peringatan 10 Muharram dalam

tradisi Syi’ah, dengan pengunduran diri dan ta’ziyah. Puasa Ramadlan juga termasuk

dalam kategori ini. Sementara untuk kategori plerotik adalah menyembelih Kurban.

Dalam kenosis dan plerosis, rukun-rukun ritusnya harus diperhatikan. Menurut

96 Ibid.97 Ibid.98 Ibid.

Page 62: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Frederick hal ini berbeda dengan Islam populer yang lebih ditandai oleh ciri-ciri leluhur

tertentu.

Dalam Islam juga dikenal adanya pemisahan, yang tidak sekedar didasarkan ruang

dan waktu, tetapi pada kesucian dan keharaman, yaitu dikenalnya barang haram dan

halal. Yang haram juga dibagi menjadi dua, antara haram secara hakiki, dan haram

karena sebab lain. Istilah halal dan haram adalah istilah hukum, dan jika diperhatikan,

tidak terlihat perbedaan tajam antara keduanya, karena terdapat perubahan sedikit demi

sedikit dari satu ke yang lain, seperti jaiz dan mubah, fardu dan wajib.

Ada hal yang sangat memiliki makna ritual bagi Muslim dan merupakan salah

satu indikator terpenting dalam prinsip bipolaritas dalam Islam, yaitu menjauhi polusi.

Sebagai contoh, al Qur’an banyak menyebutkan hal-hal yang berlawanan seperti, ashâb

al yamîn (kanan), sebagai lambang kesucian dan ashâb al yasâr (kiri), sebagai lambang

polusi. Artinya, kebahagiaan dan kesejahteraan berasal dari kanan, sementara efek-efek

yang buruk dari kiri. Maka orang masuk masjid dengan kaki kanan, ketika keluar

dengan kaki kiri. Tangan kanan untuk makan dan menyentuh barang suci lainnya,

sementara tangan kiri untuk tugas-tugas kotor.99

Di sini bisa dinyatakan bahwa dalam praktik-praktik keagamaan yang dilakukan

oleh umat Islam masih ada unsur mitos di dalamnya. Maka Frederick menyatakan

bahwa tradisi ritual dalam Islam tidak berbeda dengan ritual-ritual dalam agama lain,

bahkan memiliki kesamaan 100 % dengan ajaran Yahudi.100

Frederick menyebutkan bahwa praktik ritual, bagi partisipan, adalah upaya

menghidupkan kembali kebenaran terdalam. Dengan mengutip ungkapan Santayana,101

Frederick menyatakan bahwa setiap agama yang hidup dan sehat mempunyai

keistimewaan khas, kekuatannya terdapat dalam pesannya yang khusus dan istimewa,

dan dalam bias di mana wahyu memberikan kehidupan. Pandangannya yang terbuka

dan misterinya yang jelas merupakan dunia lain bagi kehidupan, dan dunia lain untuk

kehidupan itulah apa yang kita maksudkan dengan memiliki agama.102

Di sini Frederick menyimpulkan bahwa memiliki agama bukan dimaksudkan

sebagai memahami agama, dan memahami agama tidak sama dengan mempercayainya.

Memeluk agama, menemukan dunia lain untuk hidup pada dirinya sendiri, bukanlah

pekerjaan ilmiah, karena disiplin agama bukan untuk hidup (memiliki agama), tapi

merupakan produk yang sangat beragam dari dunia yang sangat luas.103

99 Ibid. 100 Ibid., 72.101 Karya George Santayana berjudul Reason in Religion.. 102 Roff dalam Martin, Approaches., 66.103 Ibid.

Page 63: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Memiliki adalah salah satu bias dari rasa ingin tahu tentang masyarakat dan

pandangan dunia orang lain. Maka Frederick menyatakan bahwa menangkap esensi

tidak menghendaki sesuatu yang drastis seperti konversi, tetapi ia menuntut simpati dan

respek, sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia, teks, yang bermakna bagi

penganutnya. Artinya, dalam banyak hal seseorang tidak perlu masuk Islam hanya

untuk tujuan otentisitas ilmiah.104

Berkaitan dengan hal ini, Frederick mengutip pendapat Fazlur Rahman yang

menjelaskan bahwa menjadi Muslim tidak dengan sendirinya menjamin eksplikasi dan

interperetasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri

sendiri, tradisi sendiri dari dalam, sama sulitnya dengan upaya memahami dari luar.

Studi ilmiah terhadap tradisi agama bagi orang yang bukan penganutnya merupakan

proyek terbatas. Sejarah agama bukan teologi, bukan pula humanisme baru, ia sangat

sederhana.105

Studi ritual Islam bukan perkara misteri. Mengamati apa yang terjadi dalam

berbagai aktivitas ritual dalam Islam, baik yang resmi maupun yang populer sangat

sulit. Frederick mengusulkan untuk menganggap Islam sebagai realitas yang dapat

dipahami.106 Maka Frederick menyatakan perlunya menguji teks dan konteks, karena

dari divergensi antara keduanya akan mendorong para sarjana untuk membuat

keputusan pasti tentang interpretasi yang sangat beragam.107

Kajian tentang ritual Islam dari sudut teks dan konteks, menurut Frederick, telah

dilakukan oleh Snouck Hurgronje, yang membahas tentang haji, sebelum ia menetap di

Makkah. Kajiannya, menurut Frederick, merupakan contoh karya orientalis yang secara

tradisional didasarkan pada teks dan menggambarkannya dalam latar akademik. Maka

kajian Hurgronje tentang haji yang dilakukannya melalui rihlah, menurut Frederick,

membuatnya mungkin untuk menyediakan penjelasan kontekstual tentang Mekkah dan

penduduknya, sebuah Islam yang diamati pada masa awal.108

Haji adalah praktik ritual yang dilaksanakan pada saat yang suci dan di tempat

yang suci pula. Maka kerangka teori yang dimunculkan oleh Frederick dan Roff dalam

studi tentang praktik ritual dalam Islam, adalah teori liminalitasnya Victor Turner yang

diungkap dalam bukunya The Ritual Process, tentang pelaksanaan haji. Teori liminalitas

tadi memiliki potensi untuk mengkombinasikan ruang dan waktu,109 yang merupakan

104 Ibid., 66-67.105 Ibid., 67. Atau tulisan Fazlur Rahman tentang “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 191-192.106 Roff dalam Martin, Approaches., 66-67.107 Ibid., 68. 108 Ibid.109 Ibid., 72.

Page 64: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

rujukan terpenting dari praktik ritual dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Menurut Victor Sholat juga demikian, karena harus menghadap kiblat dan dalam waktu

tertentu.110

Studi tentang ritual Islam yang tidak kalah penting, menurut Frederick dan

dielaborasi oleh Roff, adalah model Arnold van Gennep, dalam karyanya The Rites of

Passage, yang membahas ritus-ritus peralihan, dengan fase-fase pemisahan (sparation),

transisi (transition), dan bergabung dalam status baru (incorporation in a new status).

Alasannya adalah karena Islam mengenal perubahan status yang diritualkan, dan ini

penting untuk dijelaskan oleh para sarjana, seperti aqiqah, khitan, perkawinan, pubertas

laki-laki. Yakni, ritus-ritus itu melengkapi kebutuhan individu dan biasanya secara

eksplisit menyajikan ikatan-ikatan sosial secara keseluruhan sekalipun bisa saja hal itu

terjadi secara implisit.111

Serangkaian ritus keagamaan, menurutnya, dapat direduksi dalam satu pengertian

menjadi tiga tahap:

1. Pra pelaksanaan (pre-liminal), atau pemisahan (sparation).

2. Pelaksanaan (liminal), transisi (transition).

3. Pasca pelaksanaan (post-liminal), kebersamaan (aggregation).

Rites de Passage versi Arnold van Gennep merupakan kerangka analisis untuk

menuliskan pandangannya tentang serangkainan ritus-ritus keagamaan, bertitik tolak

dari yang profan, melewati ambang pintu dari yang suci.112

Selametan yang dihadiri oleh famili di rumah sang calon haji merupakan simbol

kesatuan mistikal dan sosial. Menurut Gandefroy-Demombynes apa yang sesungguhnya

disebut rites de passage adalah rangkaian ritus-ritus keagamaan yang secara bersama-

sama membentuk langkah pertama (pra-pelaksanaan/pre-liminal) seorang awam dalam

keberadaan yang semakin dekat dengan kehidupan beragama.113 Struktur haji, dalam

terma-terma rites de passage: masa persiapan (mawsim al hajj), persiapan perbekalan

dan teknis, terlihat adanya relevansi simbolik perjalanan teritorial.

Ketika Victor Turner, dalam analisisnya tentang proses pelaksanaan haji,

membicarakan hakikat dan watak tahap persiapan, di mana seorang calon haji berusaha

untuk keluar dari lingkungan strukturalnya di rumah, menunjukkan penegasian

(pemisahan/sparation) terhadap banyak gambaran afirmasi terhadap tatanan lain dari

110 Victor Turner, The Ritual Process. Ibid.111 Arnold van Gennep, The Rites of Passage. Ibid., 75, 80.112 Roff dalam Martin, Approaches., 80-81.113 Ibid., 82.

Page 65: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

sesuatu dan hubungan-hubungan baru. Struktur sosial ini tidak dihilangkan, tapi secara

radikal disederhanakan. Hubungan-hubungan yang bersifat umum ditekankan. 114

Pemisahan yang total dari ikatan-ikatan sosial pada saat sang haji memakai ihram,

menjadi bukti dari apa yang oleh van Gennep, Turner, dilihat sebagai permulaan tahap

pelaksanaan (liminal) atau transisi dalam seluruh proses ibadah haji, di mana para

jamaah haji telah tampil dalam wujudnya yang berubah, sebagai bayi yang baru lahir

dari rahim ibunya. Puncak ibadah haji ditambah oleh serangkaian peribadatan yang

sentral, esensial dan dilakukan secara bersama-sama, tawaf, sa’i, wukuf dan jumrah.115

Keseluruhan periode inilah yang dicirikan oleh liminalitas dilihat dari struktur

sosial dan dengan alamiah, oleh Turner, disebut sebagai anti-struktur sosial, atau suatu

keterikatan yang muncul secara spontan dan dibangun secara normatif di antara

makhluk manusia yang sejajar dan seimbang, bersifat total dan terindividualkan, lepas

dari atribut-atribut struktural. Pengalaman komunitas ini jelas nampak dalam

pelaksanaan haji. Kandungan ritual dan simboliknya membutuhkan analisis yang paling

mendalam di dalam terma-terma rites de passage.116

Martin dalam studinya tentang haji melihat tawaf dan mencium atau menyentuh

hajar aswad sebagai ibadah puncak dari perjalanan haji. Lebih umum, sajian deskriptif

tentang haji seperti yang dilakukan oleh para jama’ah secara jelas memperlihatkan

kekuatan emosional dan tenggelamnya mereka dalam suatu kesatuan antara seluruh

kaum dan dari seluruh dunia, dari seluruh jenis warna kulit dan kondisi. Bahwa Makkah

didatangi jama’ah haji yang secara bertalu-talu menyuarakan talbiyah, itu sendiri dilihat

dari sudut ruang dan waktu bersifat liminal dan terlepas dari keterikatan massa.117

Dalam tindakan-tindakan yang kaya akan makna simbolik yang menyertainya, di

tengah-tengah sekian artefak keagamaan, para jama’ah haji berusaha untuk menemukan

dalam transendensi keduniawian dan temporal beberapa perubahan dalam dirinya, dari

dosa ke rahmat, suatu suasana yang pada saatnya akan membawa perubahan dalam

dirinya.

Maka dalam perjalanan haji yang melelahkan, kaum Muslimin tidak

memandangnya sebagai kerja yang melelahkan. Mereka melakukannya seakan-akan

merupakan cara untuk menebus dosa atau untuk memperbesar kebajikan mereka.

Perjalanan haji ini menjadi gambaran utama bahwa perjalanan itu merupakan kepergian

dan keterpisahan secara sesungguhnya yang pertama, tidak saja dari masa lampau yang

114 Ibid., 83.115 Ibid.116 Ibid.117 Ibid.

Page 66: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

disesalkan tetapi juga dari struktur-struktur dan peran-peran sosial yang dijalani sehari-

hari.

Malcom X, seorang Muslim Amerika, setelah menunaikan haji, ia menulis bahwa,

dalam haji, kita telah dipaksa untuk menyusun kembali banyak pola pikir yang lama dan

untuk membuang pandangan-pandangan yang kuno. Dalam penampilan lahiriahnya,

banyak jama’ah haji yang merubah, sejak kepulangan mereka dari tanah suci. Memakai

pakaian Arab, merubah nama, mendapat status baru dan dipanggil haji. Mereka juga

merubah persepsinya tentang Islam dan kaum Muslimin, imperatif-imperatif dan

kekuatan-kekuatannya. Dengan demikian, ia kini menjadi milik komunitas Muslim yang

luas. Dan menjelaskan kepada masyarakat desanya bahwa untuk tujuan itulah ia

kembali.118 Proses inilah yang disebut dengan post-liminal/aggregation.

Ketiga tahapan ini menunjukkan bahwa haji dalam berbagai tradisi keagamaan

dapat dipandang sejalan dengan pola ini. Tidak hanya haji saja, di mana secara eksplisit

kawasan sakral, Makkah, merupakan pusat dunia, tapi intensitas kesakralan tempat ini

dinyatakan kembali lima kali sehari ketika kaum Muslimin melaksanakan shalat.

Dan beberapa Hadith menjelaskan bahwa haji yang sukses mengandung suatu

perubahan. Perubahan dari apa ke apa? van Gennep melihat rites de passage sebagai

perubahan yang efektif, searang individu dari posisi terntentu sebelumnya ke posisi

yang lainnya. Turner dengan memanfaatkan konsep status dan peran yang lebih luas dan

proses ritual keagamaan, melihat perubahan itu terjadi dari satu keadaan ke yang

lainnya.119

Di sini, menurut Roff, terdapat suatu pengertian di mana model perjalanan ritual

rites de passage van Gennep sedikit lebih mempunyai makna ketimbang mengelaborasi

haji hanya sebagai sumber dari pencapaian status yang kemampuan paling tinggi hanya

dapat mengemukakan tinjauan parsial dan eksternal terhadap fenomena haji dan

menyepelekan makna religiusnya yang khusus.120

Aliran-aliran Pemikiran dalam Islam

Tradisionalis-konservatif, Radikal-Puritan, Reformis-Modernis, Revivalis-

Fundamentalis, Sekularis-Liberal

Menurut teori Ibnu Khaldun, di dalam kehidupan ini ada dua bentuk komunitas

yang saling berlawanan; yaitu, komunitas pedesaan dan komunitas perkotaan.

118 Ibid., 85.119 Ibid., 86.120 Ibid.

Page 67: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat yang penuh dengan keterbelakangan,

kebodohan, dan kemiskinan, sementara masyarakat perkotaan identik dengan

kemajuan.121

Dalam masyarakat pedesaan, tokoh masyarakat, para orang tua, dan sesepuh desa

menduduki status sosial yang tinggi dan superior. Kelompok ini menjadi panutan

masyarakat dan menentukan corak hubungan kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain,

kelompok yang jumlahnya lebih besar, terdiri atas anggota masyarakat secara

keseluruhan dan kalangan muda, menduduki posisi status sosial lebih rendah atau

subordinat.122

Dalam hal memahami ajaran Agama (Islam), dua komunitas (perkotaan dan

pedesaan) di atas ternyata juga memiliki perbedaan (kalau tidak kontradiktif).

Masyarakat desa bersifat tradisional, sementara masyarakat kota lebih modern.123 Peran

tokoh agama di masyarakat desa tidak hanya sebagai ahli ilmu keagamaan, melainkan

juga menjadi pemimpin masyarakat yang seringkali dimintai pertimbangan dalam

menjaga stabilitas keamanan desa.124 Oleh karena itu para pemimpin formal yang terdiri

dari Kepala Desa dan Pamong Desa, hampir semua merupakan kepanjangan dari

peranan kiai atau ulama’. Mereka menduduki posisi yang sekarang ini tidak lepas dari

pengaruh kiai desa tersebut.

Di masyarakat muslim pedesaan, kiai atau tokoh Agama dijadikan imam dalam

bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan sering diminta kehadirannya untuk

menyelesaikan kesulitan-kesuitan yang menimpa masyarakat. Peran mereka semakin

kuat di dalam masyarakat ketika kehadirannya diyakini membawa berkah, misalnya

tidak jarang kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan

dimintai do’a untuk melariskan barang dagangan mereka.125

Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap bentuk kota awalnya adalah desa dan

setiap desa di suatu masa akan berubah menjadi kota.126 Artinya, peralihan bentuk

pedesaan menjadi perkotaan masih merupakan salah satu proses perubahan-perubahan

sosial di seluruh dunia. Berarti, kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.127

Hal ini terjadi karena, menurut Stnislaw Wellisz, perpindahan penduduk dari desa ke 121 Ibnu Khaldun membedakan masyarakat pedesaan dan perkotaan dari sisi fasilitas dan peralatan yang dipergunakan di dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar Ibn Khaldun, t.t.), 85.122 Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), 199-219.123 untuk memahami perbedaan kaum tradisionalis dan modernis di Jawa, lihat Cliffert Geertz, Islam Java (124 Arifin Mansur Noor, Islam in an Indonesian World Ulama’ of Madura (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 104-114.125 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), .126 Ibnu Khaldun, Muqadiimah, 87.

Page 68: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

kota (urbanisasi) ditentukan oleh faktor-faktor dorong dan tarik (push and pull factors).

Faktor-faktor pendorong, di antaranya, adalah keinginan untuk mencapai perubahan

ekonomi dan keinginan untuk mengikuti kehidupan kota atau status sosial yang lebih

maju.128 Daniel Lerner pada tahun 1958 menyatakan bahwa urbanisasi merupakan

prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan atau kemajuan.129

Modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi, dan ketika terjadi

proses industrialisasi, terjadilah urbanisasi dalam masyarakat tersebut. Menurut teori

Boeke, ketika budaya-budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak

kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, bersifat komunal,

terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya

tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih

akhirnya tidak berfungsi dan diganti unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan

oleh unsur impor. Unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh

masyarakat tradisional130 dan secara radikal akan merubah tatanan hubungan tradisional

antara masyarakat, pemerintah dan agama.

Dari proses modernisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan tradisi

keagamaan131 dan dunia Islam merasa diganggu oleh proses modernisasi.132 Dalam

merespon arus modernisasi, umat Islam tidak memperoleh kesepakatan. Ada yang

memandang positif, ada yang memandang negatif. Jika kita pilah antara yang menerima

dan menolak pemikiran modern, umat Islam, dalam menghadapi modernitas, terbagi

menjadi dua; sekularis, dan Islami. Kelompok Islamis terbagi lagi menjadi tiga;

tradisionalis-normatif (ortodoks), fundamentalis/revivalis (neo-normatifis), dan

modernis.133

Kelompok sekularis memandang bahwa urusan Agama harus dipisahkan dari

urusan dunia. Kelompok tradisionalis, ingin berpegang pada ajaran tradisional meskipun

dunia telah berubah. Kelompok fundamentalis juga ingin tetap berpegang pada ajaran

tradisional, menolak modernisasi pemikiran keagamaan, hanya saja ia juga ingin

mereformasi pemahaman keagamaan tradisional yang dipenuhi oleh hal-hal yang

127 D.J. Dwyer, “The City as a Centre of Change in Asia,” dalam Hans-Dieter Evers, Sosisologi Perkotaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 7.128 Ibid.129 Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61.130 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), 10.131 Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 19.132 Karen Armstrong, Islam: A Short History (London: Phoenix Press, 2001), 133 Andrew Rippin, Muslim, 28.

Page 69: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

dianggap bid’ah. Kelompok modernis memandang bahwa modernisasi tidak

bertentangan dengan ajaran Islam.134

Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam

bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model

dari sebuah realitas (model of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai

model untuk sebuah realitas (models for reality).

Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah

realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi

realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup

teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.135

Menurut Roland Robertson ada banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis

Agama dalam menyikapi modernisasi dan sekularisasi. Pertama, mereka yang

menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur

kehidupan sosial yang diakibatkan oleh modernisasi dan sekularisasi. Kedua, yang

mengikuti modernisasi tapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan

penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen

penyebar sekularisasi.136

Karen Amstrong menyatakan bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara

yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun

kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa

keemasannya, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara

faktual, historis, dan empiris. Sebuah kebenaran Agama tidak cukup hanya diyakini dan

diceramahkan berulang-ulang, tetapi harus dibuktikan secara nyata dan fungsional

dalam kehidupan riil. Baik konservatisme maupun modernisme, lanjutnya, bukanlah

pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya.137

Jika kita teliti lebih cermat, secara global, di kalangan umat Islam terdapat empat

orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada:

tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan sekuler-liberal.

Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang

kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu

atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktikkan di kawasan-kawasan tertentu.

Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan

134 Ibid., 29.135 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8.136 Roland Robertson, Globalization, Politics and Religion: In the Changing Face of Religion, ed. James becford and Thomas Luckman (London: Sage, 1989), 10-23.137 Karen Armstrong, Islam: A Short History.

Page 70: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa

ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah.138

Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang Islam sangat

relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka

menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktik tradisional harus direformasi

berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah

(purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. 139

Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan

untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal,140

atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan

perkembangan zaman.141

Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan dalam

menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan dengan perkembangan

zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai

dengan kebutuhan modern.142 Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara

Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah

sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.143

Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan

bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan pemikiran keagamaan yang

sesuai dengan kondisi modern.144 Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-

mu’tazila,145 karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam

membentuk pola berpikirnya kelompok ini.

Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-

19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit

muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional,

dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya.146 Kelompok ini

berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani

138 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.139 Ibid.140 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.141 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227.142 Andrew Rippin, Muslim, 31.143 Ibid., 32.144 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.145 Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2.146 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.

Page 71: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

(1839-1897), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid

Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.147

Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan

sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer,

tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.148

Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi

keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).149

Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,150 meskipun ada

yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih

keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan

kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk

menjadikan Agama sebagai doktrin dalam kehidupan bermasyarakat.151

Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan bisa

berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi penafsiran dan

perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka

mengkritik gagasan-gagasan dan praktik-praktik kaum tradisional,152 dan

menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal

pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.153

Sebuah gerakan pemikiran bercorak fundamentalis pernah muncul pada abad ke-

18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan

Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya

Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah,154dalam memahami al Qur’an secara literal.155

147 Andrew Rippin, Muslim, 32.148 Dalam penolakan mereka untuk membaratkan Islam inilah letak persamaan kelompok ini dengan kaum tradisionalis dan letak perbedaannya dengan kelompok modernis. Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompk modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.149 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156.150 Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20.151 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.152Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49. 153 Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktik ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktik yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30.154Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 272.155 Andrew Rippin, Muslim, 271.

Page 72: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Gerakan Wahhabiyyah ini adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi

moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni,

memberantas segala bentuk peraktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni

Islam,156 mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional

yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-

intelektualisme, teturama filsafat.157 Tokoh lain daripada gerakan fundamentalis adalah

Abu A’la al-Maudûdî di Pakistan (1903-1979), dan Seyyed Qutb (1906-1966) di

Mesir,158 dan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Indonesia.159

Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena

kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij,

adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.160 Wahhabiyyah, muncul pada masa

sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok

yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.161

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya muncul pada abad sebelum modern (pre-

modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural

Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif.

Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan

menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi

realitas yang disekitarnya.162 Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya

tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat

dalam arti yang sebenarnya, K.H. Ahmad Dahlan.163

Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk

mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan

Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan

publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.164

156 Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30. 157 Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318.158 Ibid.159 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 13-18.160 Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5.161 Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.162 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 13. 163 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18.164 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.

Page 73: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Dalam sebuah penelitian ditemukan, bahwa untuk menjadi seorang muslim

Indonesia tanpa disertai centelan organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati”.165

Dalam kesadaran intern umat Islam, label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum,

sehingga belum memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas,

dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia, sehingga wajar sekali, jika

pengelompokan dalam masyarakat Islam di Indonesia terus berkembang, dan semakin

bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.166

Yang menjadi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang pokok-pokok ajaran

Agama itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam

sistem kehidupan sosial.167 Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa

pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,168 bahwa kemunculan

gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan

politik, begitu juga dengan yang berkembang di Indonesia, tidak terlepas dari beberapa

kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa Indonesia yang plural.

Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di antara

orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di

antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas

(model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).

Yang pertama mengisyaratkan bahwa agama adalah representasi dari sebuah

realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi

realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup

teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.169

Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun

bedasarkan pada agama yang sama, para pemeluk agama ini memiliki pemahaman yang

berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam

menghadapi tantangan modernitas.170 Seiring dengan perkembangan Islam dan

munculnya ijtihad-ijtihad baru, paham-paham tersebut bukan sekedar pengakuan

legalitas politik, melainkan juga berekses pada paham keagamaan.

Meskipun, dalam wujudnya, pemahaman ideologi keagamaan sangat beragam, di

Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan

165 Hammis Syafaq, “Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat” dalam Akademika Vol. 14, No. 2 (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Maret, 2004), 65-76.166 Ibid. 167 Andrew Rippin, Muslim, 35.168 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy………………..169 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8.170 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 38.

Page 74: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara

Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.171 Namun dikotomi ini kemudian

dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih

terbuka terhadap modernitas.172 Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok

tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam

dunia pendidikan. Akan tetapi dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai

sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.173

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut

Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang

mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidakbebasan manusia dalam memilih

perbuatannya dana memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi

masalah-masalah akidah.174

Meskipun demikian, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung

dengan organisasi bernama NU, sementara kelompok modernis, reformis, radikalis,

puritan dan fundamentalis, lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi

keagamaannya. Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di

Indesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.

Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah

bahwa NU tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadith sahih,

atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti

sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama

masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al

wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.175

Sebaliknya, Muhammadiyyah menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam

hadith saheh dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak

boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.176

Dalam bentuk praktik ritual di waktu sholat jum’at, NU menggunakan dua adzan,

sementara Muhammadiyyah menggunakan dua adzan. Bentuk mimbar yang digunakan

juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah

menggunakan bentuk mimbar modern.

171 Ibid.172 Azyumardi Azra, Suplemen Republlika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.173 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.174 Ibid.175 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 14-15.176 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

Page 75: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan

hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan

awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara

Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok

NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada

jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di

masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab

kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir

lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.177 Sementara dalam pendidikan yang

dikelolah Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih

sebagai ganti dari kitab kuning.178 Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan

yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di

Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah.

Aliran Pemikiran; Primitif dan Modern

Marlyn R. Waldman

Marilyn R. Waldman mengatakan bahwa pemahaman manusia tentang tradisi

agama, baik milik sendiri maupun milik orang lain, itu terbatas. Bisa jadi pemahaman

orang luar (outsider) lebih baik dari orang dalam (insider).

Sejarah agama-agama dapat diajarkan melalui dua cara; teologis-normatif dan

humanis-antropologis. Teologis oleh insider, bersifat theistic-subjectivism. Sementara

humanis oleh outsider, bersifat scientific-objectivism. Kedua bentuk pendekatan ini

disebut sebagai mode of thought.

Antara kedua pendekatan di atas terjadi ketegangan atau gap yang sangat kuat.

Antara budaya primitf dan modern. Maka untuk menyikapi gap yang terjadi antara dua

tradisi di atas, Peter Connoly menyatakan perlunya orang dalam (insider) untuk belajar

bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar

memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang lain (outsider).

Sebaliknya, orang luar (outsider) juga perlu memiliki pandangan dunia nonreligius,

memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di

dalamnya terdapat wilayah suci. Harus terjadi timbal balik antara kedua pendekatan di

atas (teologis dan humanis).177 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education, 126.178 Arbiyah Lubis, Pemikiarn Muhammadiyyah, 107108.

Page 76: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Marlyn R. Waldman dalam kajiannya, terpengaruh oleh Jack Goody dalam

karyanya, the Domestication of the Savage Mind. Temuan Goody merupakan reaksi atas

berbagai hal yang disebut pemikiran “chotomous” tentang sejarah kebudayaan yang

mengijinkan studi agama; penjelasan dikotomi tentang sejarah pemikiran merupakan

jawaban atas problem seperti “primitif/modern”, “tradisi besar/tradisi kecil”, “budaya

agung/budaya rendah”, atau trikotomi tentang “primitive/tradisional/modern”. Budaya

primitif merupakan illeterate society, sementara budaya modern merupakan literate

society.

Tetapi teori ini mendapatkan kritik, karena ditemukan bahwa dalam budaya

modern masih terdapat budaya primitif, artinya budaya modern tidak berarti kemajuan

dari budaya primitif. Sebagai contoh, agresi Amerika ke Irak, menunjukkan budaya

primitif dalam masyarakat modern, yaitu mental agresi.

Islam di Nusantara

Azyumardi Azra

Studi yang dilakukan oleh Azyumardi Azra berusaha memetakan interaksi

intlektual ulama’ yang terjadi di dunia Muslim, khususnya apa yang disebut dengan

jaringan ulama’ kepulauan Nusantara dengan Kharamayn.

Pertama, Azyumardi Azra menguraikan beberapa teori tentang kedatangan Islam

di Nusantara. Ada tiga teori yang diuraikan oleh Azra. Pertama, teori anak benua India.

Teoti ini beranggapan bahwa Islam berasal dari kawasan anak benua India dan

dilakukan oleh pedagang Muslim yang berasal dari Gujarat, Malabar. Ilmuan pertama

yang mencetuskan teori ini adalah Pijnappel, dari Belanda. Alasannya, penyebar Islam

di Nusantara berasal dari beberapa orang Arab yang bermadzhab Syafi’I dan menetap di

India, terutama kawasan Gujarat dan Malabar. Teori ini kemudian dikembangkan oleh

ilmuan Belanda lainnya, seperti Snouck Horgronje dan J.P. Moguette.179

Teori ke dua juga menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari India, yaitu

Bengal (kini Bangladesh). Teori ini dicetuskan oleh Fatimi, dengan bukti arkeologis

juga, yaitu batu nisan yang dijadikan bukti arkeologis sama dengan batu nisan di

Bengal. Akan tetapi teori ini kemudian diruntuhkan oleh sejarawan lain, karena wilayah

Bengal tidak bermadzhab Syafi’i. Melainkan Hanafi.180

179 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (Jakarta: Mizan, 1998), 24.180 Ibid., 25.

Page 77: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Teori ketiga adalah teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam Nusantara

adalah Islam dari Mesir dan Hadramaut. Hal ini terbukti dengan kesamaan madzhab

yang dianut oleh dua negara tersebut dengan Islam di Nusantara. Di samping itu, nama-

nama dan gelar-gelar para pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka

adalah orang-orang Arab atau setidaknya Arabo-Persia.

Sementara itu, Azyumadi Azra ingin menyampaikan bahwa telah terjadi jaringan

ulama’ Haramayn dengan Nusantara pada abad ke XVII. Hal ini karena beberapa faktor;

kebangkitan ekonomi, kemapanan sosio-politik internal, dan eskalasi kolonialisasi Barat

terhadap berabagai wilayah muslim. Terjadinya peningkatan jumlah jama’ah haji dan

komplek pendidikan di Makkah.

Keterlibatan jama’ah haji Nusantara, dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar.

Pertama, kelompok little imigrant. Kelompok jenis ini pertama kali datang dan

bermukim di Haramayn dengan diam-diam, terserap dalam kehidupan sosial

keagamaan. Mereka hidup sebagaimana layaknya penduduk kebanyakan. Ada dua

imigran kecil yang tercatat dalam kamus bibliografi, yaitu Sa’id bin Yusuf al-Hindi, dan

Rayhan al-Hindi.

Kelompok kedua adalah grand imigrant. Kelompok ini dikenal dengan ulama par

exxelence. Kebanyakan imigran dalam kelompok ini mempunyai pemahaman yang baik

dalam kehidupan Islam. Sebagian mereka alim dan terkenal, sehingga ketika sampai di

Haramayn mereka qualified untuk ikut ambil bagian dalam diskursus intelektual

kosmopolitan. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif, tidak hanya dalam

pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan baru.

Tipe ketiga adalah ulama’ dan murid pengembara. Kelompok ini datang ke

Makkah untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kemudian menetap untuk menuntut ilmu

ke beberapa guru dari berbagai disiplin ilmu.

Terjadinya jaringan ulama’ semacam ini bermula dari tradisi hadits. Menurut

Azyumardi Azra, terdapat tiga ulama’ yang terlibat dalam jaringan ulama’ dan

berpengaruh dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Ketiga ulama’ tersebut

adalah Nur al-din al-raniry, abdul Rauf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Makassari.

Ketiga tokoh ini adalah tipe kelompok grand imigrant.

Terorisme

Banyak di antara umat Islam yang memiliki pandangan bahwa untuk melakukan

suatu perubahan dalam masyarakat adalah dengan menggunakan kekerasan (al ‘unuf).

Page 78: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Alasan yang dijadikan untuk melegitimasi pandangan tersebut adalah konsep jihad.

Pemikiran semacam ini muncul di mana-mana sehingga banyak ditemukan tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam dengan mengatas namakan agama.

Pemikiran semacam ini, menurut Jawdat Sa’id dalam kitabnya Mafhum al Taghyir

diibaratkan dengan orang melihat matahari yang kemudian menyimpulkan bahwa

matahari mengelilingi dirinya (bumi), tetapi ia tidak tahu bahwa yang terjadi sebenarnya

adalah sebaliknya, yaitu bumi yang mengelilingi matahari. Demikian juga dengan

mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama, ia memiliki

pandangan bahwa kekerasan akan menyelesaikan masalah, tetapi ia tidak tahu bahwa

yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa kekerasan yang dia lakukan akan memunculkan

kekerasan berikutnya.181

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kekerasan, di

antaranya adalah keinginan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu bentuk

pemikiran, sehingga ia terjebak dalam suatu sikap yang cenderung menyalahkan orang

lain yang tidak sepemahaman. Mereka yang terjebak dalam kelompok ini memiliki

pandangan bahwa dirinya adalah yang paling benar, sehingga mudah menyalahkan

orang lain.

Dapat dimaklumi bahwa secara psikologis, manusia sangat mudah untuk

menyalahkan orang lain dan menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat,

sementara ia lupa dengan kesalahan dirinya. Ia lupa bahwa dalam Islam dikenal adanya

taubat, yaitu dengan cara mengingat kesalahan diri sendiri, sehingga seseorang yang

tidak pernah melihat kesalahan dirinya sendiri, ia tidak akan pernah mencoba untuk

bertaubat. Sikap ini dapat dimaklumi karena melihat kesalahan diri sendiri lebih sulit

daripada melihat kesalahan orang lain.

Sesungguhnya, sikap merasa tidak bersalah dan menuduh orang lain salah adalah

sikap yang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an, tetapi sikap yang pernah diambil oleh

Iblis ketika dikeluarkan dari surga karena tidak mematuhi perintah Allah, di mana ia

mengatakan fa bima aghwaytani, di sini seakan-akan Iblis melimpahkan kesalahan

dirinya kepada Allah, bahwa Allah lah yang menyebabkan ia melakukan kesalahan.

Sementara sikap Adam ketika dikeluarkan dari surga ia tidak mengambil sikap

sebagaimana Iblis, tetapi ia mengatakan rabbana zalamna anfusana, di sini Adam

mengakui segala kesalahannya, tidak seperti Iblis yang melimpahkan kesalahan kepada

Allah swt.

181 Jawdat Sa’id, Mafhum al Taghyir (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1995), 26-27.

Page 79: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

Maka sikap yang paling baik dalam melihat sesuatu adalah dengan melihat

kesalahan diri sendiri meskipun itu berat untuk dilakukan, karena dengan melihat

kesalahan orang lain akan membuat masalah menjadi semakin rumit dan suliat

diselesaikan. Suatu masalah tidak akan terselesaikan kecuali dengan cara mencintai

orang yang berselisih dengan diri kita. Akan tetapi bagaimana itu bisa kita lakukan?

Bagimana kita bisa mencintai sebuah kesalahan dan orang yang melakukan kesalahan?

Caranya adalah dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana kita

mencintai diri kita, sebagaimana menanamkan rasa kesedihan ketika orang lain sedang

bersedih, seakan-akan kita juga mengalami kesedihan yang sama, atau ketika melihat

orang lain sakit, kita seakan-akan merasakan sakit yang sama.

Menghindari tindakan kekerasan secara fisik bisa diawali dengan menjaga lisan

kita untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, menghina orang lain, mengejek orang

lain, dan itu harus diawali dengan membersihkan hati kita dari segala penyakit iri,

dengki, benci, dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain. Muhammad Iqbal

pernah mengatakan, hiduplah bersama manusia dengan bermodalkan cinta, niscaya

engkau akan melihat cahaya di setiap tempat.

Ada baiknya jika melihat prinsip para tokoh sufi yang mendahulukan asas

kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah. Hal itu sesuai dengan ayat al-Qur’an yang

berbunyi idfa’ bi allati hiya ahsan fa idza alladzi baynaka wa baynahu ‘adawatun ka

annahu waliyyun hamim. Imam al-Ghazali sendiri mengedepankan asas kemanusiaan,

persaudaraan dalam menyelesaikan masalah.

Kembali kepada masalah upaya mempersatukan umat Islam dalam satu kelompok

pemikiran, bagaimana hal itu bisa direalisasikan? Ada kelompok yang berpendapat

bahwa dengan upaya untuk mempersatukan umat Islam adalah dengan cara menuduh

kelompok lain sesat, memusuhinya dan memeranginya, baik dengan cara lisan maupun

dengan gerakan fisik. Upaya semacam ini sesungguhnya tidak akan menyelesaikan

masalah, tidak akan dapat mempersatukan umat Islam bahkan justru akan semakin

membuat masalah menjadi rumit dan umat Islam semakin pecah.

Jadi pemikiran untuok mengintropeksi diri sendiri dan mengakui kelemahan dan

kesalahan adalah langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mendamaikan

umat Islam, karena cara inilah yang telah ditempuh oleh para Nabi sebagaimana yang

tertulis dalam al-Qur’an, wa la taj’al fi qulubina ghillan li alladzina amanu.

Kelompok fundamentalis, radikal dan sekuler, sama-sama tidak mengikuti cara

ini, karena mereka sama-sama mengedepankan sikap kebencian terhadap kelompok lain

dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. Mereka

Page 80: Islam, Dari Allah Untuk Manusia

membenci orang sakit, tetapi tidak mencari faktor penyebab munculnya penyakit untuk

kemudian dicarikan obatnya. Oleh karena itu, setiap dari kita sudah mabuk dan tidak

punya sikap cinta kasih.

Oleh karena itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan

pendapatnya tanpa harus menunggu izin dari orang lian, karena orang lain tidak berhak

untuk melarangnya. Sesungguhnya upaya untuk memaksanakan pendapat pribadi

kepada orang lain adalah cara penjajah, dan cara inilah yang menjadi faktor terjadinya

pertikaian yang ada di muka bumi ini.

Demikian juga dengan beragama, seseorang tidak berhak dipaksa oleh orang lain

untuk memeluk suatu agama, karena dalam ayat al-Qur’an disebutkan la ikraha fi al

din, tidak ada paksaan di dalam beragama, sehingga seorang memiliki hak untuk tidak

beragama jika itu sudah menjadi keyakinannya. Dan ini dapat dimaklumi karena Allah

sendiri tidak suka dengan orang munafik, seakan-akan dia beragama sementara dia

sendiri tidak beragama.

Oleh karena itu Islam tidak melegitimasi bentuk kekerasan yang dijadikan sebagai

upaya melakukan perubahan.

Kesimpulan

Pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan masing-

masing, mengingat fenomena agama bersifat kompleks dan intricate. Hal ini

membuktikan bahwa kebenaran yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas, karena

manusia sendiri adalah terbatas, maka kebenaran yang satu dapat melengkapi kebenaran

yang ain, karena kebenaran itu tidak terbatas, seperti halnya Allah juga tidak terbatas.