jantung koroner

30
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Penyakit jantung koroner pada Lansia Usia lanjut merupakan prediktor kuat terjadinya penyakit arteri koroner pada individu. (Odden, 2011) Studi otopsi menunjukkan bahwa prevalensi penyakit koroner obstruktif meningkat kurang lebih 10-20% pada dekade empat hingga 50-70% pada dekade delapan. (Lakatta, 2008) Angka kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) diperkirakan meningkat 50% selama 30 tahun ke depan. (Odden, 2011) Meningkatnya usia juga dikaitkan dengan keadaan atherosklerosis yang lebih berat dan menyeluruh serta sering disertai kerusakan ventrikel kiri, dengan kejadian tiga penyakit pembuluh dan penyakit arteri koroner kiri utama menjadi dua kali lipat antara usia 40-80 tahun. Penilaian klinis penderita penyakit arteri koroner yang berusia lanjut sering terhambat oleh penyakit dasar lain yang membuat interpretasi gejala iskemi menjadi sulit. Komorbid yang telah ada, turut membuat tes diagnostik dan terapi di bidang kardiologi lebih menantang untuk mereka yang berusia lanjut. (Lakatta, 2008) a. Perubahan arteri pada usia lanjut Secara alami tubuh manusia akan mengalami proses penuaan termasuk system kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai perubahan struktur dan fungsi arteri terkait usia dapat menjelaskan mengapa penuaan merupakan prediktor komplikasi penyakit kardiovaskuler. (Lakatta, 2008) Penuaan vaskuler ditandai oleh adanya proses degeneratif, penurunan fungsi endotel dan kekakuan arteri. Perubahan tersebut dapat merupakan refleksi adaptatif atau proses degeneratif. (Levy, 2001)

Upload: fitri-maya-anggraini

Post on 29-Nov-2015

95 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Penyakit jantung koroner pada Lansia

Usia lanjut merupakan prediktor kuat terjadinya penyakit arteri koroner pada

individu. (Odden, 2011) Studi otopsi menunjukkan bahwa prevalensi penyakit

koroner obstruktif meningkat kurang lebih 10-20% pada dekade empat hingga

50-70% pada dekade delapan. (Lakatta, 2008)

Angka kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) diperkirakan

meningkat 50% selama 30 tahun ke depan. (Odden, 2011) Meningkatnya usia

juga dikaitkan dengan keadaan atherosklerosis yang lebih berat dan

menyeluruh serta sering disertai kerusakan ventrikel kiri, dengan kejadian tiga

penyakit pembuluh dan penyakit arteri koroner kiri utama menjadi dua kali

lipat antara usia 40-80 tahun. Penilaian klinis penderita penyakit arteri koroner

yang berusia lanjut sering terhambat oleh penyakit dasar lain yang membuat

interpretasi gejala iskemi menjadi sulit. Komorbid yang telah ada, turut

membuat tes diagnostik dan terapi di bidang kardiologi lebih menantang untuk

mereka yang berusia lanjut. (Lakatta, 2008)

a. Perubahan arteri pada usia lanjut

Secara alami tubuh manusia akan mengalami proses penuaan termasuk

system kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai perubahan struktur dan

fungsi arteri terkait usia dapat menjelaskan mengapa penuaan merupakan

prediktor komplikasi penyakit kardiovaskuler. (Lakatta, 2008) Penuaan

vaskuler ditandai oleh adanya proses degeneratif, penurunan fungsi endotel

dan kekakuan arteri. Perubahan tersebut dapat merupakan refleksi adaptatif

atau proses degeneratif. (Levy, 2001)

7

1) Perubahan degeneratif dan remodeling arteri

Penebalan intima-media pada arteri sering disebut atherosklerosis

subklinis. Pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler, penebalan

intima-media yang berlebihan pada usianya dapat memprediksi penyakit

arteri koroner asimptomatis (silent) dan dapat berkembang menjadi

penyakit jantung iskemi yang simptomatis. Menurut Cardiovascular

Health study (CHS), pada usia diatas 65 tahun, penebalan intima-media

adalah prediktor independen kejadian infark miokard dan stroke dimasa

mendatang. (Lakatta, 2008; Susic, 2008)

Perubahan molekuler, seluler dan enzimatik pada dinding arteri terdiri

dari migrasi sel otot polos vaskuler yang teraktivasi menuju intima,

disertai oleh peningkatan produksi bahan matriks akibat menurunnya

fungsi matrix metalloproteinase, angiostensin II, transforming growth

factor β (TGF-β), intercellular cell adhesion molecules, produksi

kolagen serta collagen cross-linking, dan hilangnya serat elastik,

peningkatan fibronektin dan kalsifikasi. (Scwartz, 2011)

Penurunan rasio elastin dan kolagen yang menjadi kunci viskoelastisitas

pembuluh darah menyebabkan kekakuan arteri. Kekakuan arteri terjadi

pada seluruh lanjut usia, tak terkecuali normotensi, perbedaan etnis

maupun gaya hidup. (Levy, 2001) Kekakuan arteri (arterial stiffness)

berhubungan dengan struktur intrinsik dinding pembuluh darah yang

berkaitan dengan peningkatan pulse wave velocity dan semakin dini dan

kuatnya pulse wave reflection yang kembali ke jantung. (Schwart, 2011)

2) Disfungsi Endotel

Sel endotel merupakan regulator vaskuler yang kuat dan sangat penting.

Penurunan control endotel pada tonus vasomotor menggagalkan

adaptasi vaskuler terhadap perubahan aliran terutama saat aktivitas atau

iskemia. Selain itu penurunan makromolekul transport dan sintesis

8

prostasiklin (PGI2) memfasilitasi pembentukan atherosklerosis dan

trombosis. (Levy, 2001)

Fungsi barier sel endotel menurun seiring usia sehingga terjadi

peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi perpindahan

makromolekul plasma melalui endotel lalu terperangkap di intima yang

pada akhirnya memberi kontribusi terhadap modifikasi intima. (Levy,

2001)

Beberapa faktor resiko penyakit arteri koroner dikaitkan dengan adanya

disfungsi dari sel endotel, seperti hiperkolestrolemia, resistensi insulin

dan merokok, yang memberi kontribusi terjadinya atherosklerosis.

Endotel menghasilkan beberapa substansi vasoreaktif diantaranya NO

(nitric oxide) dan endothelin. Substansi ini menurun seiring dengan

penambahan usia. (Levy, 2001; Lakatta, 2008)

Pemendekan telomer juga dikaitkan dengan proses atherosklerosis.

Fungsi telomer yang terhenti akibat penuaan menginduksi terjadinya

disfungsi endotel pada pembuluh darah. Kemampuan regenerasi sel juga

terhenti sehingga menyebabkan kegagalan angiogenesis. Proses

angiogenesis memerlukan sel endotel yang berproliferasi dan bermigrasi

sebagai respon terhadap sitokin. (Lakatta, 2008)

Perubahan lingkungan intravaskular turut dipengaruhi oleh usia seperti

fibrinogen, faktor koagulasi (V, VII, IX dan XIIa) dan faktor von

Willebrand yang meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan factor

antikoagulasi. Peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

terutama saat stres mengakibatkan gagalnya fibrinolisis. (Scwart, 2011)

9

b. Manifestasi Klinis

Mekanisme dasar PJK merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara

suplai oksigen dan permintaan oksigen miokard dengan berbagai

konsekuensi yang dipengaruhi oleh beratnya penurunan aliran darah

koroner, lamanya iskemi, daerah miokard yang pembuluh koronernya

tertutup serta adanya kolateral dari pembuluh koroner lain di jantung.

(Depre, 2008) Manifestasi dari insufisiensi koroner pada penderita usia

lanjut sering berbeda dengan dewasa muda dan gambaran klinis hampir

selalu tidak klasik. (Hanon, 2009)

1) Angina Pektoris

Diagnosis angina pektoris mudah dilakukan pada penderita dewasa

muda dan paruh baya namun sulit dilakukan pada penderita usia lanjut.

Karena angina dipicu oleh aktivitas maka turunnya aktivitas fisik yang

disebabkan oleh penuaan, membuat penderita Lansia tidak mampu

meningkatkan kebutuhan oksigen miokard yang cukup sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Sama halnya pada

keadaan penurunan aktivitas tiba-tiba karena gangguan ortopedi dapat

menyebabkan tersamarnya angina yang telah ada sebelumnya. Ingatan

terhadap keluhan angina dapat menumpul akibat gangguan memori atau

tersamar dengan keluhan nyeri di bagian tubuh yang lain. (Duprez,

1996; Hanon, 2009)

Keluhan akibat manifestasi iskemia koroner sering tumpang tindih

dengan penyebab yang lain seperti adanya regurgitasi katup mitral yang

signifikan sehingga menimbulkan manifestasi gagal jantung kiri. Faktor

lain yang memperberat adalah turunnya aktivitas fisik dan kapasitas

latihan aerobik pada proses penuaan alami. Adanya penyakit penyerta

seperti penyakit paru kronis, penyakit arteri perifer, arthritis dan

gangguan neuromuskuler akan menyulitkan mobilisasi. (Williams,

2002)

10

Pada keadaan iskemia yang kronis, keadaan yang dapat dimodifikasi

seperti anemia, hipertiroid, hipertensi, gagal jantung kongestif dan

aritmia supraventrikular harus segera diidentifikasi dan diterapi.

(Duprez, 1996)

Tes diagnostik non invasif penting sebab anamnesis terkadang tidak

menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dan pemeriksaan fisik

juga sulit diinterpretasikan. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) saat

istirahat dan exercise test dilakukan pertama kali untuk menilai iskemia

miokard. Apabila belum memberi informasi yang cukup, dapat

dilakukan exercise myocardial imaging. Selanjutnya perlu dilakukan

radionuclide ventriculography untuk menilai fungsi ventrikel lebih baik

daripada ekokardiografi. (Duprez, 1996)

2) Silent Ischaemia

Silent ischaemia lebih sering terjadi pada usia lanjut akibat kegagalan

fungsi saraf sensorik, penurunan fungsi kortikal atau disautonomia. PJK

dapat menjadi asimtomatik ketika aktivitas fisik menurun dibawah

ambang iskemia oleh karena gaya hidup banyak duduk atau gangguan

lokomotor. Adanya penyakit perancu seperti spondilosis atau

osteoarthritis bahu, nyeri dinding dada atau penyakit gastrointestinal

membuat analisis klinis lebih sulit. (Hanon, 2009)

3) Infark miokard

Infark miokard merupakan salah satu manifestasi yang mengikuti

iskemia miokard. (Depre, 2008) Gejala yang muncul dapat atipikal

maupun tipikal. Gejala atipikal, ditandai dengan hilangnya keluhan

nyeri dada, terjadi lebih sering pada usia lanjut dengan rata-rata usia

sekitar 72, 9 tahun.

11

Sedangkan rata-rata usia penderita yang mengalami gejala tipikal lebih

muda yaitu 65,8 tahun. Selain nyeri dada (40%), keluhan utama lain

yang dapat muncul adalah sesak (49%), diaphoresis (26%), mual

muntah (24%) dan sinkop (19%). (Alexander, 2007)

Pemeriksaan EKG dilakukan sesegera mungkin walaupun hasilnya

dapat non diagnostik. Kemungkinan hasil EKG non diagnostik

meningkat dari 23% menjadi 43% pada mereka yang berusia <65 tahun

terhadap ≥ 85 tahun. Gambaran EKG yang sering terjadi selain

perubahan segmen ST-T adalah adanya blok cabang berkas kiri.

(Alexander, 2007)

c. Tata Laksana PJK

Tata laksana medik optimal penderita PJK Lansia tidak berbeda jauh

dengan usia yang lebih muda. Tetapi kondisi penderita yang lemah

memerlukan perhatian khusus terhadap pemilihan terapi, kontraindikasi

dan monitor efek samping karena secara alami terjadi perubahan

penyerapan obat, metabolisme, distribusi dan ekskresi. (Hanon, 2009;

Jokhadar, 2009)

1) Trombolitik

Trombolitik jarang menjadi pilihan dibandingkan dengan percutaneous

coronary intervention (PCI). Menurut studi GISSI-1 dan ISIS-2,

tindakan ini masih memberi keuntungan memperbaiki hasil akhir pada

Lansia yang mengalami ST-elevation myocardial infarction (STEMI)

dibandingkan tanpa tindakan revaskularisasi. (Jokhadar, 2009)

Konsensus ACC/AHA menyebutkan bahwa trombolitik dapat

digunakan pada Lansia STEMI bila tidak ada kontraindikasi dan PCI

tidak tersedia. (Alexander, 2007)

12

Untuk meminimalkan efek samping tersering trombolitik yaitu

perdarahan intraserebral, maka dipilih golongan tissue plasminogen

activator (tPA) seperti tenecteplase atau alteplase. (Van de Werf, 2001)

Dosis yang diberikan setengah dari dosis standar ditambah terapi

antikoagulan. (Alexander, 2007)

2) Anti agregasi trombosit

Aspirin atau clopidogrel dapat dipakai pada saat akut maupun setelah

fase akut terlewati, tanpa penyesuaian dosis. (Alexander, 2007) Studi

mengenai kombinasi 2 obat tersebut pada sampel Lansia masih belum

ada namun tetap diberikan terutama pada mereka yang terpasang stent

hingga terjadi endotelialisasi komplit. (Jokhadar, 2009)

Konsensus ACC/AHA dan ESC merekomendasikan glycoprotein (GP)

IIb/IIIa pada kasus NSTEMI yang beresiko tinggi tanpa memandang

usia. Pemberian obat ini harus dihitung berdasarkan berat badan

penderita dan harus disesuaikan dengan keadaan fungsi ginjal penderita.

Kecepatan infus eptifibatide disesuaikan apabila klirens kreatinin

penderita <50ml/menit menjadi 1μg/kg/menit sedangkan tirofiban

disesuaikan bila klirens kreatinin <30ml/menit menjadi 6μg/kg bolus

dan infus 0,05μg/kg/menit (Alexander, 2007)

3) Antikoagulan

Penggunaan heparin lebih ditoleransi dibandingkan heparin berat

molekul rendah dalam hal kejadian perdarahan intracranial. (Hanon,

2009) Dosis antikoagulan tersebut dihitung berdasarkan berat badan

penderita. Selain itu pemberian heparin terfraksi juga harus disesuaikan

apabila klirens kreatinin penderita <30ml/menit, menjadi 1mg/kg

subkutan tiap 24jam. (Alexander, 2007) Jenis antikoagulan baru yaitu

direct antitrombotics secara teori lebih unggul daripada heparin berat

13

molekul rendah tetapi penelitian mengenai keamanan dan efikasi pada

Lansia masih belum ada. (Alexander, 2007; Hanon, 2009)

4) Penghambat Reseptor Beta

Penghambat reseptor beta masih memberi keuntungan pada penderita

Lansia dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama terutama pada

kasus disfungsi ventrikel kiri, setelah menyingkirkan kontraindikasi

seperti dekompensasi jantung, asma dan penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK). (Hanon, 2009)

Monitor tekanan darah, denyut jantung dan EKG secara ketat diperlukan

pada pemberian penghambat reseptor beta. Dosis yang diberikan tidak

memerlukan penyesuaian dosis namun perlu dipilih jenis penghambat

reseptor beta yang lama kerja pendek, diberikan mulai dosis kecil dan

dititrasi sampai mencapai target denyut jantung 60x/menit. (Jokhadar,

2009)

5) Penghambat Renin-Angiostensin

Penghambat system renin-angiostensin baik angiostesin converting

enzyme inhibitor (ACEI) dan angiostensin receptor blocker (ARB)

memberi manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi penderita PJK

Lansia. Masing-masing memberi manfaat yang sama bila diberikan

tunggal maupun dikombinasikan. Menurut studi Valsartan in Acute

Myocardial Infarction (VALIANT) efek samping yang terjadi lebih

sering pada penderita yang mendapat kombinasi ACEI dan ARB.

(Alexander, 2007) Saat pemberian, monitor ketat terhadap fungsi ginjal

dan elektrolit sangat diperlukan bagi penderita PJK Lansia. (Jokhadar,

2009)

14

6) Nitrat

Golongan nitrat direkomendasikan oleh ACC/AHA pada penderita PJK

Lansia berdasarkan studi GISSI-3 yang menggunakan nitrat transdermal

yang diberikan selama 24 jam sejak awitan keluhan dikaitkan dengan

penurunan angka kematian, gagal jantung dan disfungsi ventrikel kiri

selama 6 bulan pertama sebesar 12%. Walaupun demikian, penggunaan

nitrat lain tetap bermanfaat pada Lansia karena efeknya terhadap

preload, afterload dan penurunan iskemia berulang, tanpa melupakan

potensi efek hipotensinya. (Alexander, 2009)

7) Hydroxymethylglutaryl Coenzyme A Reductase Inhibitors (Statin)

Efek pleiotropik statin secara teori bermanfaat bagi Lansia karena

efeknya terhadap fungsi endotel dan proses inflamasi. Penggunaan statin

untuk mencegah kejadian infark miokard berulang serta kematian

bermanfaat lebih besar pada Lansia dibandingkan dengan dewasa muda.

Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yaitu Myocardial Ischemia

Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering (MIRACL) dan

Pravastatin or atorvastatin Evaluation and Infection Theraphy

(PROVE-IT). (Alexander, 2007)

2. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner

a. Dislipidemia

Menurut Anwar (2004:7), dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid

yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam

plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar

kolesterol total, kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida serta

penurunan kadar HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya

mempunyai peran yang penting dan sangat berkaitan satu dengan yang lain,

sehingga tidak mungkin dibicarakan sendiri-sendiri. Ketiga-tiganya

sekaligus dikenal sebagai Triad Lipid, yaitu:

15

1) Kolesterol total dan kolesterol LDL

Banyak penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kadar

kolesterol total darah dengan resiko penyakit jantung koroner (PJK)

sangat kuat, konsisten dan tidak bergantung pada faktor resiko lain.

Penelitian genetik, eksperimental, epidemiologis dan klinis

menunjukkan dengan jelas bahwa peningkatan kadar kolesterol total

mempunyai peran penting pada patogenesis penyakit jantung koroner

(PJK).

Bukti epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa LDL yang

mengangkut lebih kurang 70-80% dari kolesterol total adalah

lipoprotein yang paling penting pada timbulnya aterosklerosis.

2) Kolesterol HDL

Bukti epidemiologis dan klinis menunjang hubungan negatif antara

kadar kolesterol HDL dengan penyakit jantung koroner (PJK).

Intervensi obat atau diet dapat menaikkan kadar kolesterol HDL dan

sekaligus mengurangi penyakit jantung koroner (PJK).

3) Trigliserida

Kadar trigliserida diantara 250-500 mg/dl dianggap berhubungan

dengan penyakit jantung koroner (PJK) apabila disertai dengan adanya

penurunan kadar kolesterol HDL. Angka patokan kadar lipid yang

memerlukan pengelolaan, penting dikaitkan dengan terjadinya

komplikasi kardiovaskuler. Dari berbagai penelitian jangka panjang di

negara-negara barat, yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk

terjadinya penyakit kardiovaskuler (PKV), dikenal patokan kadar

kolesterol total sbb :

a) Kadar yang diinginkan dan diharapkan masih aman (desirable)

adalah < 200 mg/dl

16

b) Kadar yang sudah mulai meningkat dan harus diwaspadai untuk

mulai dikendalikan (bordeline high) adalah 200-239 mg/dl

c) Kadar yang tinggi dan berbahaya (high) adalah > 240 mg/dl

Klasifikasi dislipidemia berdasarkan patogenesis penyakit menurut Murphy

(2002:9) dan Forum Studi Aterosklerosis dan Penyakit Vaskular Indonesia

(1995:12) adalah sebagai berikut:

1) Dislipidemia primer

Yaitu kelainan penyakit genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan

kelainan kadar lipid dalam darah.

2) Dislipidemia sekunder

Yaitu dislipidemia yang disebabkan oleh penyakit atau suatu keadaan

tertentu seperti hiperkolesterolemia disebabkan oleh hipotiroidisme,

sindrom nefrotik, penyakit hati obstruktif, kehamilan, anoreksia

nervosa dan porfiria akut intermitten. Hipertrigliserida disebabkan oleh

karena DM, konsumsi alcohol, gagal ginjal kronik, infark miokard,

disglobulinemia, sindrom nefrotik, kelainan autoimun, dan kehamilan.

Dan dislipidemia campuran yang dapat disebabkan oleh karena

hipotiroidisme, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, penyakit hati,

dan akromegali.

Menurut Anwar (2004:16), pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah

upaya non farmakologis yang meliputi modifikasi diet, latihan jasmani

serta pengelolaan berat badan. Tujuan utama terapi diet disini adalah

menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler (PKV) dengan mengurangi

asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan keseimbangan

kalori, sekaligus memperbaiki gizi. Perbaikan keseimbangan kalori

biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi melalui kegiatan

jasmani serta pembatasan asupan kalori.

17

Asupan tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori memberikan kontribusi

utama pada peningkatan kolesterol plasma. Terapi diet bertujuan untuk

menurunkan kelebihan tersebut dengan mempertahankan serta

meningkatkan gizi yang baik. Intervensi diet dimaksudkan untuk mencapai

pola makan yang sehat. Diet bukan untuk sementara akan tetapi membuat

perubahan yang permanen pada perilaku makan (Sukardji, 2007:21).

Faktor diet yang menurunkan kadar lemak darah adalah:

1) Penurunan berat badan bila kegemukan

2) Mengubah tipe dan jumlah lemak makanan

3) Menurunkan asupan kolesterol makanan

4) Meningkatkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan asupan

karbohidrat sederhana.

b. Merokok.

Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko

utama Penyakit Jantun Koroner disamping hipertensi dan

hiperkolesterolami. orang yang merokok > 20 batang perhari dapat

mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya.

Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada

laki-laki perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada

perempuan perokok 4.5X lebih dari pada bukan perokok. Efek rokok

adalah Menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh

katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan

perkataan lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh

darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10

% Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL

kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok

yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang

merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan

18

laki – laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal

pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan

gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada

yang bukan perokok.

Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 %

pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti

yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun.

c. Hipertensi

1) Pengertian Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan

sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.

Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan

sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005:23).

Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus

menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah

110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh

darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002:12)

2) Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :

Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan

arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol

homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan

mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999:37). Hipertensi

sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain

hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini

menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005:31).

19

Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu hipertensi diastolic, campuran, dan

sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan

tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya

ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran

(sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada

sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)

yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan

diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut (Gunawan, 2001:29)

Corwin (2000:16) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada

kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral

Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang

tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.

Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan

abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut

jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme.

Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh

penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan

hipertensi (Astawan,2002:37).

Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila

terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat

gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang

berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun

penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan

garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan

peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume

sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan

dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir,2002:37).

20

Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat

terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau

responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.

Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada

peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara

lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar,

untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini

disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan

peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung

lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar).

Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat

sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi

untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot

jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya

menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup ( Hayens,

2003:41) .

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan

keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan

abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls

yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada

titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang

serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi

respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan

hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui

dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001:27).

21

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal

mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal

mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon

vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan

penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin

merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung

mencetus keadaan hipertensi (Dekker, 1996 :33).

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer

bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut

usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas

jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,

yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang

pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Corwin,2001:31).

Tanda dan Gejala Hipertensi pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai

kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula

ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan

cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil

(edema pada diskus optikus).

22

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala

sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan

vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang

divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis

pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada

malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan

kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke

atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis

sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan

(Wijayakusuma,2000 :41).

Crowin (2000: 45) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul

setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat

terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan

tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat

hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan

saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerolus,Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan

tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,

muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,

tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002:39).

d. Glukosa darah

Bagi kebanyakan penderita diabetes, meningkatnya gula darah sesudah

makan sering dianggap suatu yang lumrah, sekalipun angkanya menembus

batas normal yakni 140 mg/dL. Namun, pada tahun 2007 International

Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan satu rekomendasi bagi

penyandang diabetes yang menekankan petingnya menjaga gula darah

sesudah makan. Karena tingginya gula darah sesudah makan, dilaporkan

23

berkaitan erat dengan komplikasi penyakit jantung koroner. Penyakit

jantung diketahui merupakan penyebab kematian terbesar bagi para

penderita diabetes.

Pada orang normal, kondisi gula darah telah diatur sedemikian rupa oleh

tubuh, sehingga jika gula darah meningkat sesudah makan, maka akan

dilepas hormom insulin untuk menurunkannya. Gula darah naik sesudah

makan pada orang normal tidak akan melebihi 140 mg/dL, dan akan turun

dalam 2 jam sesudanhnya karena dimetabolisme oleh tubuh.

Namun pada penderita diabetes, kontrol tubuh terhadap kenaikan gula

darah sangat buruk. Setelah makan gula darah yang naik akan tetap

bertahan tinggi dalam jangka waktu yang agak lama, hal ini dikarenakan

tubuh tidak cukup memiliki hormon insulin yang bertugas menurunkan

gula darah atau mungkin tidak ada insulin sama sekali yang diproduksi

oleh organ pankreas (Arif, 2011)

e. Stress tinggi

Stres dianggap sebagai faktor yang cukup dominan sebagai sala satu faktor

resiko PJK. Stres sendiri memang ada yang positif dan ada juga yang

negatif. Stres yang positif berdampak baik, seperti rasa ingin maju cita-cita

adalah salah satu stres positif.

Stres negatif seperti merasa sakit hati yang sangat berlebihan, bila tidak

dikelola dengan baik akan menyebabkan dampak yang sangat merugikan

dan sayangnya sangat sedidkit orang yang menyadari bahwa ia telah

terkena stres negatif.

Bila tingkat stres sudah sangat tinggi dan mencemaskan maka akan sangat

membahayakan kesehatan ,apalagi bila usia sudah diatas 40 th , usia semua

faktor resiko sangat meningkat.

24

Menurut penelitia para ahli kesehatan klinik stres dapat memicu semburan

adrenalin dan zat katekolamin yang tinggi yang dapat mengakibatkan

penyempitan pembuluh darah jantung serta peningkatan denyut jantung.,

sehingga dapat menyebabkan terganggunya suplai darah ke jantung

(http://nusaindah.com, 2011).

f. Inaktivitas fisik

Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang

dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah aterosklerosis

(timbunan lemak di dinding pembuluh darah). Hal itu terbukti dari autopsi

juara maraton Boston tujuh kali, Clarence deMar, yang menunjukkan

ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai tiga kali ukuran normal

serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh darah) yang

signifikan meski meninggal dalam usia 69 tahun.

Menurut Ketua Bagian Kardiologi FKUI, aktivitas fisik terutama aerobik

meningkatkan aliran darah yang bersifat gelombang yang mendorong

peningkatan produksi nitrit oksida (NO) serta merangsang pembentukan

dan pelepasan endothelial derive relaxing factor (EDRF), yang merelaksasi

dan melebarkan pembuluh darah.

Aliran darah koroner dalam keadaan istirahat sekitar 200 ml per menit

(empat persen dari total curah jantung). Penelitian di laboratorium

menunjukkan, peningkatan aliran darah 4 ml per menit sudah mampu

menghasilkan NO untuk merangsang perbaikan fungsi endotel (lapisan

dinding) pembuluh darah.

Aktivitas fisik sedang berupa senam atau jalan kaki yang meningkatkan

aliran darah menjadi 350 ml per menit (naik 150 ml per menit) sudah lebih

dari cukup untuk menghindarkan endotel pembuluh darah dari proses

aterosklerosis.

25

Namun, manfaat itu baru bisa didapat jika peningkatan aliran darah lewat

aktivitas fisik berlangsung secara teratur dalam waktu cukup lama (20

menit sampai satu jam) serta dilakukan secara teratur seumur hidup

(http://kompas.com, 2009).

g. Alcohol

Konsumsi Alkohol merupakan salah satu alasan utama di balik belum

menghasilkan kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.

Dikonsumsi dalam jumlah yang moderat, alkohol bisa mencegah serangan

jantung. Namun, minum berat menyebabkan berbagai gangguan fungsi

tubuh kita seperti peningkatan kolesterol LDL dan penurunan kolesterol

HDL, penurunan aliran darah koroner, menurunkan kadar hormon

estrogen, menyebabkan pembekuan darah dan agregasi trombosit

meningkat. Jumlah alkohol yang berlebihan juga menyebabkan tekanan

darah meningkat dan akibatnya meningkatkan risiko serangan jantung.

cardiomyopathy beralkohol adalah penyakit kardiovaskular yang

disebabkan oleh efek toksik alkohol pada hati manusia dimana hati menjadi

membesar dan dilemahkan. minum berat menimbulkan gagal jantung

kongestif, peningkatan kadar trigliserida dan stroke.

Alkoholisme dicirikan oleh dorongan tidak memuaskan untuk melanjutkan

minum. Meskipun alkohol orang sadar akan efek buruk dari alkohol,

mereka sering tidak dapat keluar dari kebiasaan buruk sepenuhnya.

Berhenti dari alkohol memerlukan dukungan moral dan mental bersama

dengan pengawasan medis dan obat-obatan. Ada juga berbagai suplemen

kesehatan yang kini tersedia yang dapat membantu menghilangkan efek

racun yang disebabkan oleh merokok dan konsumsi alkohol dalam tubuh.

suplemen hati seperti dukungan terdiri dari bahan-bahan yang tidak hanya

melindungi jantung dari gangguan masa depan, tetapi juga memelihara

kesehatan jantung dan pembuluh darah (Pusat Ilmu, 2009).

26

h. Lingkungan

Salah satu faktor dalam epidemologi penyakit yaitu unsur lingkungan.

Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam

menentukan terjadinya sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan iku

memegang peranan dalam proses kejadian penyakit.

1) Lingkungan Biologis

Segala flora dan fauna yang berada di sekitar manusia yang antara lain

meliputi :

a) Beberapa mikroorganisme patogen dan tidak patogen;

b) Vektor pembawa infeksi

c) Berbagai binatang dan tumbuhan yang dapat mempengaruhi

kehidupan manusia, baik sebagai sumber kehidupan (bahan makanan

dan obat-obatan), maupun sebagai reservoir/sumber penyakit atau

pejamu antara (host intermedia) ; dan

d) Fauna sekitar manusia yang berfungsi sebagai vektor penyakit

tertentu terutama penyakit menular.

e) Lingkungan biologis tersebut sangat berpengaruh dan memegang

peranan yang penting dalam interaksi antara manusia sebagai pejamu

dengan unsur penyebab, baik sebagai unsur lingkungan yang

menguntungkan manusia (senbagai sumber kehidupan) maupun yang

mengancam kehidupan / kesehatan manusia (Nur , 2002.Hal.28-29)

2) Lingkungan fisik

Keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik

secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan

sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimiawi serta radiasi)

meliputi :

a) Udara keadaan cuaca, geografis, dan golongan

27

b) Air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai bentuk

pemencaran pada air, dan

c) Unsur kimiawi lainnya pencemaran udara, tanah dan air, radiasi dan

lain sebagainya.

Lingkungan fisik ini ada yang termasuk secara alamiah tetapi banyak

pula yang timbul akibat manusia sendiri (Nur, 2000, Hal.28.)

3) Lingkungan sosial ekonomi

Semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, sistem

organisasi. Serta instusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu

yang membentuk masyarakat tersebut untuk berprilaku terhadap

kejadian penyakit. lingkungan sosial ini meliputi :

a) Sistem hukum, administrasi dan lingkungan sosial politik, serta

sistem ekonomi yang berlaku;

b) Bentuk organisasi masyarakat yang berlaku setempat

c) Sistem pelayanan kesehatan serta kebiasaan hidup sehat masyarakat

setempat, dan Kebiasaan hidup masyarakat

Kepadatan penduduk. Kepadatan rumah tangga, serta berbagai sistem

kehidupan sosial lainnya

i. Nutrisi

Pada usia yang lebih tua, kebutuhan akan zat gizi lebih rendah, tetapi

kemampuan untuk menyerap zat gizipun sering menurun. Oleh karena itu,

resiko kekurangan gizi pada masa ini adalah lebih besar dan juga pada

masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.

Untuk menentukan riwayat makan seseorang, ditanyakan makanan apa

yang dimakan dalam 24 jam terakhir dan jenis makanan seperti apa yang

28

biasanya dimakan. Dibuat catatan tentang daftar makanan yang dimakan

selama 3 hari. Selama pemeriksaan fisik, diamati penampilan secara

keseluruhan dan tingkah lakunya, juga distribusi lemak tubuh serta fungsi

organ tubuhnya.

Misalnya, perdarahan lambung dapat menyebabkan anemia karena

kekurangan zat besi. Seseorang yang telah diobati dengan vitamin A dosis

tinggi karena berjerawat, bisa mengalami sakit kepala dan penglihatan

ganda sebagai akibat keracunan vitamin A.

Berbagai sistem tubuh bisa dipengaruhi oleh kelainan gizi:

1) Sistem saraf bisa terkena oleh kekurangan niasin (pelagra), beri-beri,

kekurangan atau kelebihan vitamin B6 (piridoksin) dan kekurangan

vitamin B12

2) Pengecapan dan pembauan bisa dipengaruhi kekurangan seng

3) Sistem pembuluh darah jantung bisa dipengaruhi oleh :

a) Beri-beri

b) Kegemukan (obesitas)

c) Makanan tinggi lemak menyebabkan hiperkolesterolemi dan penyakit

jantung koroner

d) Makanan kaya garam bisa menyebabkan tekanan darah tinggi

4) Saluran pencernaan dipengaruhi oleh pelagra, kekurangan asam folat

dan banyak minum alkohol

5) Mulut (lidah, bibir, gusi dan membran mukosa) dipengaruhi oleh

kekurangan vitamin B dan vitamin C

6) Pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat kekurangan iodium

29

7) Kecenderungan mengalami perdarahan dan gejala pada kulit seperti

ruam kemerahan, kulit kering dan pembengkakan karena penimbunan

cairan (edema) bisa terjadi pada kekurangan vitamin K, kekurangan

vitamin C, kekurangan vitamin A dan beri-beri

Tulang dan sendi dapat terkena ricketsia, osteomalasia, osteoporosis dan

kekurangan vitamin C.

3. Modifikasi Faktor Risiko Penyakit Jantung Kororner

Usaha untuk memodifikasi faktor risiko penyakit jantung koroner merupakan

elemen penting pada prevensi sekunder.

a. Berhenti Merokok

Merokok mempunyai efek merusak system kardiovaskuler, dengan

manifestasi berupa meningkatnya infark miokard, stroke dan kematian.

Merokok merangsang keseimbangan hormonal (meningkatkan kadar

katekolamin), profil metabolik (kadar kolesterol high density lipoprotein

(HDL) meningkat), tonus vasomotor (kegagalan vasodilatasi arteri) dan

system hemostasis (kecenderungan pembekuan darah meningkat). (Hanna,

2005)

Berhenti merokok menurunkan angka kesakitan dan kematian secara

keseluruhan pada penderita infark miokard sekitar 25-50% dan setelah

prosedur coronary artery bypass graft (CABG), termasuk bagi mereka

yang berusia >70 tahun. Intervensi yang dapat dilakukan antara lain

konseling, kelompok pendukung, pengganti nikotin, dan sebagainya.

(Hanna, 2005; Hanon, 2009)

b. Hipertensi

Hipertensi adalah faktor resiko gagal jantung dan gagal ginjal kronis yang

terjadi pada 2/3 penderita usia diatas 65 tahun. (Hanna, 2005) Pada

30

penderita usia lanjut, target tekanan darah diastolik harus <90mmHg

sedangkan tekanan sistolik <140mmHg atau <150mmHg bila penderita

berusia diatas 80 tahun. Perkecualian adalah bagi penderita diabetes

mellitas, gagal ginjal kronik dan gagal jantung target penurunannya

<130/80mmHg. (Becket, 2008)

Tekanan darah yang terkendali turut memperlambat hilangnya fungsi

endotel, walaupun tekanan arteri yang terkontrol tidak menghambat

progresivitas vascular remodeling. Oleh karena itu, obat anti hipertensi

yang memiliki efek anti remodeling dan anti stiffness lebih dianjurkan pada

penderita usia lanjut. Pemberian golongan angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACEI) dikatakan dapat menghambat penuaan vaskuler pada

percobaan tikus. (Scwartz, 2011)

Terapi antihipertensi secara efektif menurunkan insiden infark miokard

pada penderita hipertensi berusia 60-80 tahun, dengan penrurunan resiko

sebesar 20-30%. Pada penderita berusia >80tahun, konsensus untuk

memulai terapi antihipertensi masih belum jelas. Studi HYVET

(hipertension in very elderly trial) menunjukkan pemberian indapamid

dengan atau tanpa penyekat ACE dapat menurunkan kejadian

kardiovaskuler sebesar 34%. Pendekatan non farmakologi seperti

pembatasan asupan garam, penurunan berat badan, olahraga sangat efektif

bagi Lansia.(Hanna, 2005, Hanon, 2009)

c. Abnormal Lipid Levels

Bukti ilmiah yang ada sangat mendukung penurunan lemak sebagai

pencegahan primer maupun sekunder pada PJK. Sayangnya studi yang

melibatkan populasi Lansia masih sedikit. (Henna, 2005)

Simvastatin dikatakan dapat menurunkan angka kematian akibat PJK dan

infark miokard yang tidak fatal pada penderita berusia >70 tahun, termasuk

penderita dengan LDL <116mg/dL. (Henna, 2005) Manfaat pemberian

31

statin ini berlaku sama pada semua jenis kelamin yang disertai diabetes

maupun tidak. (Hanon, 2009)

Menurut studi PROSPER (Pravastatin in elderly individuals at risk of

vascular disease) dengan 100% sampel berusia 65 tahun ke atas, pemberian

pravastatin 10mg/hari sebagai pencegahan sekunder resiko cardiovaskuler

atau resiko tinggi dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit

jantung. (Scwartz, 2011) Studi meta analisis tahun 2008 yang dilakukan

oleh Afilalo, dkk menunjukkan penurunan angka kematian sebesar 22%

dalam kurun waktu 5 tahun, pada penderita > 65 tahun yang mendapatkan

statin sebagai pencegahan sekunder. (Hanon, 2009)

Target terapi yang diharapkan menurut National Cholesterol Education

Program (NCEP) bagi Lansia sama dengan penderita yang lebih muda,

yaitu LDL<100mg/dL, HDL >40mg/dL. Apabila kadar trigliserida

≥200mg/dL maka kadar kolesterol non-HDL harus <130mg/dL. (Henna,

2005) Sedangkan menurut konsensus ACC/AHA target terapi yang

diharapkan adalah kadar LDL<100mg/dL, sedapat mungkin hingga

LDL<70mg/dL. Target demikian dicapai dengan modifikasi diet dan terapi

farmakologis. (Jokhadar, 2009)

d. Obesitas

Obesitas menjadi faktor resiko PJK melalui kaitannya dengan resistensi

insulin, hipertensi dan hiperlipidemia. Studi yang melibatkan penderita PJK

yang obesitas membuktikan bahwa penurunan 11kg dikaitkan dengan

penurunan kolesterol total dan LDL sebesar 10%, penurunan trigliserida

sebesar 24% dan peningkatan HDL sebesar 8%. (Henna, 2005, Sinaiko,

2006)

Walaupun penurunan berat badan dikatakan sangat berguna namun

disarankan untuk melakukan penurunan berat badan secara perlahan dan

32

tidak dalam waktu singkat karena dapat menurunkan masa otot dan

cadangan protein. Pengaturan diet yang disarankan adalah pengurangan

kebutuhan energi (500-700kkal/minggu) disertai asupan protein 1 g/kg/hari

untuk mencapai penurunan berat badan 8-10& dalam 6 bulan. Olahraga

yang direkomendasikan adalah berjalan kaki, dengan memperbanyak

frekuensinya dan durasi latihan sesuai kapasitas fisik. (Hanon, 2009)

e. Diabetes Mellitus

Diabetes adalah prediktor kuat untuk terjadinya kejadian iskemi berulang

pada penderita PJK. Pada penderita Lansia, modifikasi gaya hidup untuk

menghilangkan lemak tubuh memiliki dampak positif terhadap insulin dan

metabolisme glukosa. (Hanna, 2005) Hiperglikemia meningkatkan

produksi sitokin dan fatty acid yang terkait dengan penurunan transpor

glucosa yang distimulasi oleh insulin dan kerusakan target organ, salah

satunya sistem kardiovaskuler yaitu mempercepat atherosklerosis. (Sinaiko,

2006)

Rekomendasi intervensi terapi sama seperti kelompok usia yang lain yaitu

pengaturan diet, olahraga dan terapi farmakologis. (Hanna, 2005) Target

penurunan gula darah adalah kadar gula darah puasa <126mg/dL, gula

darah setelah makan <200mg/dL dan HbA1C <7. (Tjokroprawiro, 2007)

f. Intervensi Psikososial

Secara umum, status sosial dan ekonomi, mood, dukungan sosial dan level

of functioning (termasuk aktivitas seksual) harus dinilai untuk menentukan

kemungkinan intervensi. Status social dan ekonomi yang rendah dikaitkan

dengan tingginya angka kematian akibat PJK, dan hal ini berdampak

negatif pada programn cardiac rehabilitation. (Hanna, 2005)

Depresi dan isolasi dari lingkungan sosial akibat hilangnya kemampuan

diri dan financial juga dikaitkan dengan meningkatnya angka kesakitan dan

33

kematian penderita usia lanjut terutama yang telah mengalami infark

miokard. (Zellweger, 2004; Hanna, 2005)

g. Aktivitas Fisik

Dasar dari intervensi aktivitas fisik adalah meningkatkan kapasitas

fungsional dengan menurunkan gejala atau keluhan yang berkaitan dengan

aktivitas. Sama seperti penderita usia muda, latihan fisik menyebabkan

dampak positif terhadap factor resiko yang lain seperti hipertensi, obesitas,

peningkatan kadar gula darah, dan banyak parameter psikologis terutama

kualitas hidup. (Williams, 2002)

Program latihan sebaiknya memeningkatkan segala aspek physical

conditioning termasuk kapasitas aerobik, ketahanan otot, range of motion

and fleksibilitas serta kekuatan otot. .Modifikasi componen-komponen

latihan ditujukan pada penderita usia ≥75tahun dan mereka yang

mempunyai komorbid penting seperti artritis, penyakit paru-paru, dan

penyakit pembuluh darah perifer. (Williams, 2005)

Intensitas latihan yang dilakukan harus mencapai 75% dari denyut jantung

maksimal. Komposisinya adalah peregangan dan pemanasan masing-

masing sekitar 10 menit. Latihan utama berupa aktivitas aerobik yang

dilakukan terus-menerus selama 30-40 menit.(misalnya berjalan di

treadmill atau sepeda ergometri) dan latihan isometrik ringan. Frekuensi

latihan 3 kali seminggu dibawah pengawasan selama 12 minggu. Namun

penderita harus diberi motivasi untuk melakukan latihan fisik ini diluar

program yang ada. (Hanna, 2005)

34

Dislipidemia

- Kolesterol naik

- LDL naik

- Trigliserid naik

- HDL turun

Naik lipo protein

Arteriosklerosis

Usia lanjutPenurunan faktor

endotil

Kekakuan arteri

Merokok

Ketekolamin naik

dan suplai oksigen

menurun

- Karbonisasi HB

- Takikardi

- Vasodilatasi

Pembuluh Darah

Beban miokard

meningkat

Hipertensi

Afterload

meningkat

Menurunkan

kontraktilitas jantung

Kerusakan ventrikel

kanan

Menurunkan

COP

Infark

miokard/ PJK

B. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Pusparini (2004)

C. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Dislipidemia Penyakit Degeneratif

Penyakit Jantung Koroner

Variabel Pengganggu

- Glukosa darah

- Stress

- Inaktivitas fisik

- Alcohol

- Lingkungan buruk

- Nutrisi buruk

Variabel Bebas Variaebl Terikat

Merokok

Hipertensi

35

D. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang akan diteliti meliputi :

1. Variabel Independen atau bebas

Variabel independen adalah suatu variabel yang menjadi sebab atau

variabel yang mempengaruhi variable dependent (terikat). Variabel

independent dalam penelitian ini adalah :

a. Displidemia

b. Merokok

c. Hipertensi

2. Variabel Dependen atau terikat

Variabel dependen adalah suatu variabel yang dipengaruhi variabel bebas.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah : Penyakit jantung koroner

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara yang hendak diuji kebenarannya

(Machfoedz, 2008:35). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha1 : Ada hubungan Displidemia dengan kejadian penyakit jantung koroner

pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr

Kariadi Semarang.

Ha1 : Ada hubungan merokok dengan kejadian penyakit jantung koroner

pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr

Kariadi Semarang.

Ha1 : Ada hubungan hipertensi dengan kejadian penyakit jantung koroner

pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr

Kariadi Semarang.