jump 1-7 skenario ke 3 blok tht
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
Anakku mengeluh tenggoroknya sering sakit
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik
THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan.
Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak usia
3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak nafas disangkal.
Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek.
Pada pemeriksaan pharing didapatkan: Mukosa pharing terdapat
granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi, dan terdapat detritus, plika vocalis
oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO : (+).
RUMUSAN MASALAH
Pada skenario ini, masalah yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Bagaimana anatomi, histologi laring et faring?
2. Bagaimana fisiologi menelan, suara, dan mengorok?
3. Bagaiaman patofisiologi setiap keluhan pada skenario ?
4. Apa saja etiologi penyebab keluhan?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang fisik dan laboratiroum?
6. Apa saja diagnosis banding dari keluhan laring et faring?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari skenario?
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan dalam skenario ini adalah :
1. Mengetahui anatomi, histologi laring et faring.
2. Mengetahui fisiologi menelan, suara, dan mengorok.
3. Bagaiaman patofisiologi setiap keluhan pada skenario.
4. Mengetahui etiologi penyebab keluhan pada skenario.
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang fisik dan laboratiroum.
6. Mengetahui diagnosis banding dari keluhan laring et faring.
7. Mengetahui penatalaksanaan dari permasalahan laring et laring.
8. Menjelaskan hubungn pekerjaan, usia, jenis kelamin terhadap keluhan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Langkah I : Klarifikasi istilah dan konsep
1. ASTO: Anti-streptococcus O. Pemeriksaan antibodi untuk mendeteksi
infeksi streptococcus beta hemoliticus. Kalau (+) berarti ada peningkatan
>100%. Kadarnya meningkat pada glomerulonefritis streptococcus akut.
2. Suara serak: suara yang tibul karena penebalan plica vocalis. Perubahan
elastisitas jaringan ikat atau bertemunya plica vocalis. Biasanya terjadi
karena adanya trauma, infeksi, pembengkakan, saraf, massa, suara yang
berlebihan.
3. Detritus: kumpulan limfosit PMN, debris, bakteri yang mati di kripte
tonsila. Jaringan rusak yang terlepas dari asalnya.
4. Mengorok: kecenderungan laringofaring, atau faring yang kolaps. Periode
apneu.
5. Granuloma: massa akibat infeksi kronis yang terdiri dari makrofag yang
epiteloid.
B. Langkah II : Menetapkan / mendefinisikan masalah
1. Bagaimana anatomi, histologi laring et faring?
2. Bagaimana fisiologi menelan, suara, dan mengorok?
3. Bagaiaman patofisiologi setiap keluhan pada skenario ?
4. Bagaimana hubungan usia dengan keluhan pasien?
5. Mengapa didapatkan riwayat tidur mengorok, tapi riwayat sesak napas
disangkal
6. Mengapa pasien mengeluh sakit menelan
7. Adakah hubungan keluhan sekarang dengan keluhan sejak usia 3 tahun?
8. Mengapa pasien demam disertai suara serak?
9. Apa yang menyebabkan mukosa pharing hiperemi dengan granuloma?
Hasil interpretasi pemeriksaan pharing
10. Bagaimana cara pemeriksaan ASTO?
11. Bagaimana hubungan riwayat batuk pilek dengan keluhan?
12. Bagaimana hubungan peningatan titer ASTO dengan keluhan?
13. Mengapa tonsil hiperemi dan bagaimana terbentuknya?
C. Langkah III : Analisis masalah
1. Anatomi, histologi laring et faring
Faring
a. Nasopharing (Vertebrae Cervicalis 1-2)
Choana
OPTAE
b. Oropharing (Vertebrae Cervicalis 2-3)
Arcus palatoglossus
Tonsila
Adenoid (ada pada anak kecil, ketika sudah besar
adenoid mengecil)
c. Laringopharing (Vertebrae Cervicalis 3-6)
Adytus laryngis
Vestibulum laryngis
Plica vestibularis
Rima vestibuli
Plica vocalis
Rima glotidis
Cavum intraglotidis
Kartilago laryngis
a. Berpasangan
Tunggal Musculus di laring
a. Ekstrinsik
b. Intrinsik
Fungsi pharing dan laring: proteksi dari infeksi, bisa menjadi infeksi
fokal tonsila
Neurovascularisasi
Tonsil hanya memiliki sistem limfatik.
i. Tonsila pharingea
ii. Fokal primer
iii. MALT:Aktivitas tonsil sangat terlihat pada anak-anak
karena adanya tantangan dari lingkungan, sehingga
memproduksi
iv. Kalau tonsilnya sudah diangkat (tonsilektomi), bisa jadi
sering pilek, batuk, infeksi berulang.
2. Bagaimana fisiologi menelan, suara, dan mengorok?
Suara
a. Fonasi: plica vocalis bergetar akibat adanya dorongan udara
dari dalam ke luar. Suara dihasilkan ketika kecepatan udara
melewati celah menuju ke luar (arah oropharing), sehingga
terjadi tekanan negatif parsial menyebabkan ruang hampa
parsial dan daerah sekitarnya menjadi bertekanan negatif, lalu
membuat plica vocalis bergetar .
Vibrasi plica vocalis disebabkan oleh: gerakan dasar, vibrasi
mediolateral, dan vibrasi mediotransversal. Plica vocalis jika
menebal bisa menyebabkan suara serak, sedang jika
bertemunya lemah bisa menyebabkan suara kecil.
b. Articularis: lidah, cavum oris.
c. Resonasi: sinus paranasal.
Perbedaan mekanisme bernapas dan bersuara.
Bernapas: M. Abductor laryngis kontraksi dan menyebabkan plica
vocalis tertarik ke lateral, sehingga suara tidak muncul.
Bersuara: M. Adductor laryngis kontraksi dan menyebabkan plica
vocalis tertarik ke medial, sehingga suara muncul.
Menelan
Terdiri dari 3 fase:
a. Oral: makanan jadi bolus (pencernaan mekanik dan kimiawi)
terjadi secara volunteer, gerakan palatum molle ke nares
posterior.
b. Pharyngeal: penutupan epiglotis (no btreathing), terjadi secara
volunteer.
c. Oesophageal: terjadi secara involunteer.
Mengorok
Bisa disebabkan adanya penyempitan jalan napas karena destruksi
laring, destruksi hidung, berkurangnya tonus otot, atau karena
kurang tidur, hipothiroid, laki-laki, dan tidur pada posisi supinasi.
Hipertrofi adenoid menyebabkan tidur dengan mulut terbuka.
3. Bagaimana patofisiologi setiap keluhan pada skenario ?
Adenoid; Bisa membesar sampai dengan 14 tahun akibat mekanisme
terhadap infeksi. Ketika infeksi, bisa menyebar ke tonsilla pada anulus
Waldeyer yang lain.
4. Bagaimana hubungan usia dengan keluhan pasien?
Usia memiliki peranan penting dalam system pertahanan tubuh. Pada masa
kanak-kanan dikenal dengan masa perkenalan dengan lingkungan.
Tonsilitis sering terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak di bawah 1
tahun. Insiden meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai
puncaknya pada umur 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden
tonsilitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di
bawah 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.
5. Didapatkan riwayat tidur mengorok, tapi riwayat sesak napas disangkal.
Riwayat sesak napas disangkal bisa memperjelas tidak adanya kelainan
paru.
6. Mengapa pasien mengeluh sakit menelan
Gangguan Menelan
Menyebabkan disfagia dan nyeri dikarenakan obstruksi di pharing. Sensasi
sakit pada fase pharyngeal. Odinofagi terjadi karena peradangan atau
sumbatan (tonil/benda asing). Biasanya terjadi di pharing. Hipertrofi
adenoid bisa menjadi penyebabnya. Usia 3 tahun tonsil masih membesar
sampai usia kurang lebih 15 tahun.
7. Hubungan keluhan sekarang dengan keluhan sejak usia 3 tahun.
Keluhan sekarang pada pasien merupakan ulangan dari riwayat pasien
sejak usia 3 tahun. Secara tidak langsung terjadi proses infeksi kronik pada
pasien. Hal ini mengakibatkan proses regenerasi sel tidak berlangsung
sempurna dan meninggalkan sisa jaringan parut/fibrosis.
8. Mekanisme pasien demam disertai suara serak
Demam merupakan salah satu proses adapasi tubuh ketika menghadapi
serangan infeksi. Demam salah satunya terjadi bersama dengan proses
inflamasi. Apabila plica vocalis mengalami inflamasi maka akan terjadi
perpindahan cairan intraseluler (hipervaskularisasi) kedalam plica vokalis
sehingga mengakibatkan plika vokalis menebal. Penebalan plika vokalis
ini menyebabkan getaran membran berkurang dan menghasilkan gesekkan
nada kasar dan berfrekuensi rendah.
9. Penyebab mukosa pharing hiperemi dengan granuloma
Hiperemi dan Granuloma; Hipervascularisasi menyebabkan aliran darah
banyak ke daerah itu, sehingga berubah kemerahan (hiperemi). Granuloma
memiliki mekanisme pertahanan, karena infeksi. ASTO (+) mungkin
infeksi Streptococcus.
10. Cara pemeriksaan ASTO
Cara mendeteksi riwayat infeksi streptococcus. 60% sakit laryngitis atau
pharyngitis disebabkan karena infeksi streptococcus. ASTO biasanya naik
karena sering terkena ISPA. Dicurigai pada tonsilitis, streptococcal
pharyngitis, demam rematik, jantung rematik. ASTO (-) harus dikultur
bakteri dulu. ASTO (+) sudah pasti. Anti-streptolicyn O tidak membunuh
kumannya, tapi ada dalam jumlah yang sedikit. Tes ini menggunakan
slide, ditetesin antinya, (+) berarti sudah pasti, (-) dititer. Demam, aktivasi
dari imun
D. Langkah IV : Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan
yang didapatkan pada langkah III
Odinophagia Komplikasi
Mengorok
Faktor Resiko usia Demam Tonsilitis Patofisiologi
Batuk pilek berulang
Hoarsness Tatalaksana
E. Langkah V : Merumuskan sasaran pembelajaran
1. Anatomi faring, laring dan tonsil
2. Fisiologi menelan
3. Fisiologi berbicara
4. Patofisiologi mengorok, demam, odinofagi
5. Interpretasi pemeriksaan fisik dan penunjang
6. Diagnosis banding (faringitis, tonsilitis, laringitis, abses peritonsil,abses
retrofaring)
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi
tutorial
G. Langkah VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi-informasi yang
telah terkumpul
1. Anatomi faring, laring dan tonsil
Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta
terletak pada bagian anterior kolum vertebra.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa
blanket) dan otot.
Gambar 1. Anatomi Faring
Atlas of Human Anatomy 4th Edition
Faring terdiri atas :
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil,
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting,
seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan
n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur
yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas
posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah
lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk
oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets)
sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan
tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi
epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih
melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini
tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
Ruang retrofiring (Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini
adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia
faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang
dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian
atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan
ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini
berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary fossa), ruang ini berbentuk
kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini
dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya
adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid
interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua
bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat
padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian
yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna,
v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.
Gambar 2 Anatomi Faring Bagian Posterior
Atlas of Human Anatomy 4TH Edition
Anatomi Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian
atasdan terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-
anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai
limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian
atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring
sedangkan batas kaudal kartilago krikoid.
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan
beberapa tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen
utama pada struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti
perisai dan kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan
bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut
pada dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung
ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid.
Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit yang
melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk
bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago
aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis anterior
dan prosesus muskularis lateralis.
Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari
korda vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian
membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan
permukaan superior korda vokalis suara membentuk glotis. Kartilago
epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti
bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang ditelan
kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua pasang kartilago
kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago
kornikulata dan kuneiformis.
a. Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
Kartilago Tiroidea, 1 buah
Kartilago Krikoidea, 1 buah
Kartilago Aritenoidea, 2 buah
Kartilago minor, terdiri dari :
Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)
Gambar 3. Penyusun Laring
Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang
membentuk dinding anterior dan lateral laring, dan merupakankartilago
yang terbesar. Terdiri dari 2sayap (alae tiroidea) berbentuk seperti perisai
yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan
membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s Apple.
Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120
derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau
ineiseura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior
yang dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan
di bagian bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan
permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk
artikulasio krikoidea.Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai
kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel,
otot-otot dan ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta
kornikulata.
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat
suatu alur yangberjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum
inferior. Alur ini merupakantempat perlekatan muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus danmuskulus konstriktor
faringeus inferior.
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura
tiroidea dan tepibawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis,
merupakan tempat perlekatan tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis
melekat 1 cm diatasnya olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini
mengalami osifikasi pada umur 20 – 30 tahun.
Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring.
Merupakan kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring)
dengan bagian alasnya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya
relatif lebih sempit daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan
dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui
membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui
ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan
trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus.
Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis
VI - VIIdan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV. Kartilago
ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari
sepasang kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi
dengan kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio
lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan
yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat melekatnya muskulus
krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior
terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara.
Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis.
Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi
pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas
dari pita suara ini disebut glottis.
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus
vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan
terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3
kehidupan.
Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk
dinding anterior aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan
dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di
sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang
korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan
laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah laring.
Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga
kartilago Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di
dalam plika ariepiglotika.
Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan
kartilago kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).
b. Ligamentum dan Membrana
Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu :
Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
Membran tirohioid
Ligamentum tirohioid
Ligamentum tiroepiglotis
Ligamentum hioepiglotis
Ligamentum krikotrakeal
Gambar 4
Ligamentum intrinsik, terdiri dari :
Membran quadrangularis
Ligamentum vestibular
Konus elastikus
Ligamentum krikotiroid media
Ligamentum vokalis
Gambar 5
c. Otot Laring
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot / muskulus
ekstrinsik dan intrinsik. Otot ekstrinsik bekerja pada laring secara
keseluruhan yang terdiri dari otot ekstrinsik suprahioid yang berfungsi
menarik laring ke atas dan otot ekstrinsik infrahioid. Otot intrinsik
laring menyebabkan gerakan antara berbagai struktur laring sendiri,
seperti otot vokalis dan tiroaritenoid yang membentuk tonjolan pada
korda vokalis dan berperan dalam membentuk tegangan korda vokalis,
otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid kedepan, meregang
dan menegangkan korda vokalis dan memiliki fungsi membentuk
suara dan bernafas.
Otot / muskulus ekstrinsik
Terbagi atas :
Otot suprahioid / otot elevator laring, yaitu :
- Stilohioideus
- Geniohioideus
- Genioglosus
- Milohioideus
- Digastrikus
- Hioglosus
Otot infrahioid / otot depresor laring, yaitu :
- Omohioideus
- Sternokleidomastoideus
- Tirohioideus
Gambar 4 The Extrinsic Muscles
Kelompok otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2
dan C3 danpenting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan
suara (fonasi). Muskuluskonstriktor faringeus medius termasuk dalam
kelompok ini dan melekat pada lineaoblikus kartilago tiroidea. Otot
ini penting pada proses deglutisi (Ballenger, 1993).
Otot / muskulus intrinsik
Terbagi atas :
Otot adduktor :
- Interaritenoideus transversal dan oblik
- Krikotiroideus
- Krikotiroideus lateral
Otot abduktor :
- Krikoaritenoideus posterior
Otot tensor :
- Tensor Internus : Tiroaritenoideus dan Muskulus Vokalis
- Tensor Eksternus : Krikotiroideus
Gambar 5
d. Struktur Laring Bagian Dalam
Cavum laring dibagi menjadi sebagai berikut :
1) Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruang diantara
permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2) Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara
palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang
disebut ventrikel laring morgagni.
3) Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati
dengan tepi bawah kartilago krikoidea (Ballenger, 1993).
Beberapa bagian penting dari dalam laring :
Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh
epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago
kornikulata dan tepi atas muskulus aritenoideus.
Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.
Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang
antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis
lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang
berjalan darikartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago
kornikulata.
Sinus Pyriformis (Hipofaring)
Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam
kartilago tiroidea.
Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum
kanan dan kiri.
Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana
kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas prosesus vokalis
kartilago aritenoidea dan muskulus interaritenoidea.
Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
Pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan
dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di
tengahnya.
Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
Ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung
anterior dari ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas
diantara pita suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea,
dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar
seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut
appendiks atau sakulus ventrikel laring.
Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian
dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh
prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut
intercartilagenous portion.
e. Persarafan dan Perdarahan
Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervus
laringeus superior dan nervus laringeus inferior (nervus laringeus
rekuren) kiri dan kanan.
Anatomi Tonsil
Gambar 6. Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk
lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal
(adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang
terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi
oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral – muskulus konstriktor faring superior
Anterior – muskulus palatoglosus
Posterior – muskulus palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingua
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang
juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus
terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus.
Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan
jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang
jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan
batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian
luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan
cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri
maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden,
diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks
dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening
aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf
ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser
palatine nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel
plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel
limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan
untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari
sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di
dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi.
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua
oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkumvalata
2. Fisiologi menelan
Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan
secara teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer.
Begitu proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah
dari otot-otot perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung
jawab untuk menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat.
Batang otak, termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus
dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron
kranial, diduga sebagai pola generator pusat.
Tiga Fase Menelan
Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau
cairan dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.
Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang
melibatkan suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan
involunter dan dan dibagi menjadi bagian yang berbeda: (1) oral, (2)
faringeal, dan (3) esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang
spesifik, dan, jika tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala
spesifik dapat terjadi.
Fase Oral
Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga
dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan
makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan
kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara
yang berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan
dan mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke
dalam orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai.
Cerebellum mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus
kranialis V (trigeminal), VII (facial), dan XII (hypoglossal). Dengan
menelan suatu cairan, keseluruhan urutannya akan selesai dalam 1 detik.
Untuk menelan makanan padat, suatu penundaaan selama 5-10 detik
mungkin terjadi ketika bolus berkumpul di orofaring.
Fase Faringeal
Fase faringeal adalah sangat penting karena, tanpa mekanisme
perlindungan faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase
ini. Fase inimelibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang
saling tumpang tindih. Palatum mole terangkat. Tulang hyoid dan laring
bergerak keatas dan kedepan. Pita suara bergerak ke tengah, dan epiglottis
melipat ke belakang untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong
kebelakang dan kebawah menuju faring untuk meluncurkan bolus
kebawah. lidah dubantu oleh dinding faringeal, yang melakukan gerakan
untuk mendorong makanan kebawah.
Sphincter esophageal atas relaksasi selama fase faringeal untuk
menelan dan membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring
kedepan. Sphincter akan menutup setelah makanan lewat, dan struktur
faringeal akan kembali ke posisi awal.
Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan
kesemuanya adalah reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang ter jadi
sampai reflek menelan dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan
motoris dari nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X (vagus).
Fase Esophageal
Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan
peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti
shincter esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan
karena pengaruh otot-otot ekstrinsik.
Medulla mengendalikan reflek menelan involunter ini, meskipun
menelan volunter mungkin dimulai oleh korteks serebri.
Suatu interval selama 8-20 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi
dalam mendorong bolus ke dalam lambung.
Kesulitan Menelan (Disfagia)
Keluhan sulit menelan atau disfagia merupakan salah satu gejala
kelainan atau penyakit di orofaring atau esophagus. Keluhan ini akan
timbul bila terdapat gangguan gerakan otot menelan dan gangguan
transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat
disertai keluhan lainnya, seperti odinofagi, rasa mual, muntah, panas,
regurgitasi, hematemesis, melenan, dan lain sebagainya. Manifestasi klinik
yang sering ditemukan adalah sensasi makanan yang tersangkut di daerah
leher atau dada ketika menelan. Berdasarkan penyebabnya, disfagia
terbagi atas disfagia mekanik, motoric, dan gangguan emosi.
Disfagia mekanik
Adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa atau benda asing.
Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa esophagus, striktur lumen
esophagus, serta penekanan lumen esophagus dari luar, seperti kelenjar
timus, tiroid, limfe, ataupun pembesaran jantung dan elongasi aorta. Atau
juga akibat disfagia lusoria. Disgagia mekanik timbul bila terjadi
penyempitan lumen usus, yang diameternya tidak mencapai lebih dari 2,5
cm.
Disfagia motoric
Disebabkan oleh kelainan neuromosukular pada n.V, n.VII, n.IX,
n.X, dan n.XII. kelumpuhan otot faring dan idah serta gangguan peristaltic
esophagus akibat gangguan n.Xdapat menyebabkan disfagia.
Disfagia gangguan emosi
Proses menelan akan terganggu jika terjadi beberapa kondisi yang
disebabkan oleh gangguan emosi primer ataupun gejala yang berkaitan
dengan gangguan emosi, seperti ansietas, depresi, hysteria, dan lain
sebagainya. Ketika pasien dicurigai disfagia gangguan emosi, makan
pemeriksaan penunjang tidak diperlukan. Pemberian antidepressant atau
tindakan lain yang memperbaiki emosi pasien akan meringankan gejala.
3. Fisiologi bersuara
Secara fisiologis, laring berfungsi untuk bernafas dan bersuara.
Ketika bernafas, plica vocalis ditarik ke lateral oleh musculus golongan
abductor sehingga rima glotis membuka. Sedangkan ketika bersuara, plica
vocalis digerakkan oleh musculus adductor sehingga rima glotis menutup.
Tak heran mengapa ketika kita bersuara, tidak bisa bersamaan dengan
bernafas (inspirasi lebih tepatnya).
a. Mekanisme timbulnya suara yaitu dengan adanya tiupan udara dari paru
yang menyebabkan corda vocalis membuka dan menutup secara cepat
dan akhirnya timbul getaran suara. Adapun getaran suara ini dirangsang
juga oleh saraf rekurens ke otot laring. Untuk suara nada tinggi, plica
vocalis ditipiskan, ditegangkan dan dipanjangkan. Sedangkan untuk
suara nada rendah, plica vocalis ditebalkan, dikendurkan dan
dipendekkan.
b. Organ Resonansi terdiri dari rongga faring, rongga hidung, dan sinus
paranasalis. Sumber suara fonasi pada pita suara diatas intensitasnya
lemah, tidak berwarna dan sulit dikenal. Dengan adanya alat-alat
resonansi yang berfungsi sebagai resonator, maka suara tersebut
mendapat variasi pada frekuensi tertentu, intensitasnya meningkat,
demikian juga pada kualitasnya (warna suara) dan idenitasnya, tetapi
suara yang sudah diresonansi ini masih bukan merupakan suara bicara.
Ciri-ciri resonansi sangat bervariasi pada setiap orang dan merupakan
aspek yang sangat penting bagi efektivitas bicara.
c. Setelah suara terbentuk, oleh organ artikulasi (mulut, palatum, lidah dan
gigi) suara akan diubah untuk bicara sehingga dapat kita mengerti. Bibir
berfungsi untuk membendung udara pada pembentukan suara letup.
Palatum mole-durum merupakan permukaan sensitif bagi lidah untuk
mengawasi proses artikulasi, menghalangi dan membentuk aliran udara
turbulen dan sebagai kompas bagi lidah bahwa suara terbaik sudah
dihasilkan. Lidah, membentuk suara dengan mengangkat, menarik,
menyempit, menipis, melengkung, menonjol, atau mendatar. Pipi
membendung udara di bagian bukal. Gigi berfungsi menahan aliran
udara dalam membentuk konsonan labio-dental dan apiko-alveolar.
Mandibula membuka dan menutup waktu bicara. Adapun artikulasi
adalah proses penghasilan suara dalam berbicara oleh pergerakan bibir,
mandibula, lidah, dan mekanisme palatopharyngeal dalam kordinasi
dengan respirasi dan fonasi.
Syarat agar suara tidak parau adalah
a. Secara anatomis, corda vocalis normal (tidak ada tumor, edema)
b. Secara fisiologis, corda vocalis normal (harus dapat bergerak ke
medial secara simetris dan merapat dengan baik di garis median)
c. Harus ada udara yang cukup kuat dari paru.
Fungsi dari mekanisme pengucapan adalah untuk mengubah
bentuk dari tonsil laryngeal dan untuk membuat suara dalam rongga
mulut. Suara yang penting terbentuk adalah pengucapan konsonan, yang
ditekankan sebagai iringan suara oleh gesekan bunyi. Konsonan dibentuk
dari gelombang udara yang berkontak dari arah yang berlawanan.
Misalnya pada kontak antara dua bibir saat pengucapan huruf “p” dan “b”.
Contoh lainnya juga pada lidah yang menyentuh gigi dan palatum saat
pengucapan huruf “t” dan “d”.
Tanpa kemampuan (kapasitas) pengucapan, suara yang dihasilkan
hanya berupa faktor kekuatan, volume, dan kekuatan, seperti suara yang
hanya dihasilkan oleh huruf vocal. Hal ini terbukti secara klinis ketika
kemampuan berbicara seseorang hilang pada penderita paralytic stroke.
Kemampuan berbicaranya hanya seperti pengucapan huruf vocal saja
dengan sedikit konsonan.
Di samping menyuarakan suara-suara, sistem vokal dapat
menghasilkan dua macam suara-suara yang tak terdengar: fricative sounds
dan plosive sounds.
a. Fricative sounds dicontohkan oleh konsonan s, sh, f, dan th, yang
dihasilkan ketika vocal tract setengah tertutup pada beberapa titik dan
udara tertekan melewati konstriksi pada kecepatan yang cukup tinggi
untuk menghasilkan turbulensi. Konsonan fricative membutuhkan
sangat sedikit penyesuaian pada artikulator, dan sering terdengar
tidak sempurna pada kasus maloklusi atau penggunaan denture.
b. Plosive sounds, konsonan p, t, dan k, diproduksi ketika vocal tract
tertutup seluruhnya (biasanya dengan bibir atau lidah), membiarkan
tekanan udara meningkat saat menutup, dan kemudian membuka
dengan tiba-tiba. Untuk beberapa suara, seperti fricative consonant v
dan z yang terdengar, adanya kombinasi dari dua sumber suara.
Pembentukan pada pergerakan untuk kemampuan bicara berkaitan
dengan fungsi kontinyu dari sensorik informasi dari reseptor otot dan
mechanoreceptor cutaneous yang didistribusikan sepanjang sistem
respiratori, laringeal, dan sistem orofacial.
4. Patofisiologi mengorok, demam, odinofagi
Patofisiologi mengorok
Mengorok atau snoring adalah satu keadaan ketika velum,
oropharynx, dan/atau laryngopharynx cenderung kolaps ketika tidur
sehingga menyempitkan jalan nafas dan menyebabkan periode apnea atau
hipopnea yang bisa terjadi sampai 2 menit. Kejadian ini menimbulkan
sering terbangun dari tidur dan terengah-engah ketika bernafas sehingga
ritme tidur menjadi terganggu. Efek jangka panjang mengorok apabila
tidak ditangani adalah turunnya kadar oksigen darah dan naiknya kadar
CO2 yang bisa menjadi penyebab kerusakan signifikan terhadap sistem
kardiopulmoner. Pasien yang mengalami mengorok biasanya mudah
mengantuk saat siang hari, aktivitas simpati meningkat, denyut jantung
meningkat, hipertensi pulmoner atau sistemik, dan resiko penyakit
kardiovaskular meningkat tajam. Faktor yang menyebabkan mengorok
antara lain:
a. Obstruksi pharynx
- Overweight, obesitas
- Adenoid
- Hiperplasia tonil
- Tumor pada rongga mulut, pharynx, larynx, dan leher
- Dysgnathia
- Akromegali
b. Obstruksi hidung
- Hiperplasia chonca nasalis
- Deviasi septum
- Tumor hidung
- Polip hidung
- Deformitas pada hidung bagian luar
- Tumor pada hidung
c. Penurunan tonus otot
- Alkohol
- Nikotin
- Obat yang bersifat sedatif, hipnotik, relaksan otot
- Kurang/tidak tidur
- Kerja shift malam
- Hipotiroid
d. Lain-lain
- Laki-laki cenderung lebih sering terjadi mengorok
- Keturunan
- Tidur dalam posisi supinasi/telentang
Pada orang yang obesitas, mengorok terjadi karena meningkatnya
deposisi lemak di jaringan lunak pharynx atau kompresi terhadap pharynx
yang disebabkan oleh massa lemak yang berlebihan di leher. Pada
mengorok yang disebabkan obstruksi hidung atau pharynx, resistensi
terhadap aliran udara ke paru-paru selama inspirasi meningkat.
Penatalaksanaan mengorok tergantung pada penyebab/penyakit yang
mencetuskan mengorok.
Pada skenario, pasien mengalami hipertrofi tonsila. Jika tonsila
membesar, maka jalan nafas pada pharynx menyempit, kemudian
resistensi aliran udara ke paru-paru meningkat. Riwayat sesak nafas
disangkal berarti pasien tidak mengalami gangguan di saluran nafas
bawah.
Patofisiologi demam
Infeksi bakteri pada tonsila menyebabkan keluarnya sitokin-sitokin
dari leukosit yang sedang menyerang bakteri-bakteri tersebut. Sitokin-
sitokin tersebut memicu perubahan termostat pada hipotalamus agar
meningkat suhu tubuh sehingga bakteri tidak dapat tumbuh lebih lanjut
karena suhu tubuh tidak optimal untuk bakteri.
Patofisiologi odinofagi
Odinofagi atau nyeri saat menelan terjadi karena peradangan atau
sumbatan (tonsil/benda asing). Odinofagi biasanya terjadi di pharynx.
Pada kasus ini, hipertrofi tonsila mungkin menjadi penyebabnya.
Fisiologi tidur
Tidur didefinisikan sebagai ketidaksadaran yang mana seseorang
bisa bangun karena sensoris atau stimulus lain. Bedanya dengan koma
adalah pada koma, orang tersebut tidak bisa terbangun atau dibangunkan
dengan sengaja. Ada beberapa tahap dalam tidur dari very light sleep
hingga very deep sleep. Setiap malam, seseorang melalui tahap-tahap dari
2 tipe tidur yang saling bergantian, antara lain:
a. Tidur gelombang rendah (slow-wave sleep), yaitu tipe tidur yang
gelombang otaknya sangat kuat dan sangat rendah frekuensinya,
b. Tidur pergerakan mata cepat (rapid eye movement sleep/REM sleep),
yaitu tipe tidur yang ketika mata mengalami pergerakan cepat
walaupun sebenarnya orang tersebut masih tidur.
Kebanyakan waktu tidur dalam semalam adalah jenis slow-wave
sleep yang mana merupakan tidur tenang dan dalam yang dialami
seseorang pada jam pertama dari tidur setelah terbangun berjam-jam. REM
sleep terjadi dalam episode yang menempati kira-kira 25% dari waktu
tidur orang dewasa muda. Setiap episode normalnya terjadi lagi setiap 90
menit. Tidur tipe REM sleep tidak tenang dan biasanya berhubungan
dengan mimpi yang jelas.
Pada slow-wave sleep, selain tenang, juga berhubungan dengan
menurunnya tonus vaskuler perifer dan fungsi vegetatif lain pada tubuh.
Contohnya, 10-30% penurunan tekanan darah, laju respirasi, dan laju
metabolisme asal. Walaupun slow-wave sleep sering dianggap “tidur tanpa
mimpi”, namun mimpi atau mimpi buruk bisa terjadi selama tipe tidur ini.
Perbedaan mimpi pada slow-wave sleep dengan REM sleep adalah pada
REM sleep biasanya berhubungan dengan lebih banyak aktivitas otot dan
mimpi pada slow-wave sleep biasanya tidak diingat. Itulah sebabnya pada
tipe slow-wave sleep konsolidasi mimpi dalam memori tidak terjadi.
Pada tidur malam normal, putaran REM sleep yang berlangsung
selama 5-30 menit biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit. Ketika
seseorang benar-benar mengantuk, setiap putaran REM sleep pendek dan
mungkin tidak terjadi. Sebaliknya, ketika seseorang lebih santai pada
malam hari, durasi putaran REM sleep meningkat. Karakteristik REM
sleep antara lain:
a. Biasanya berhubungan dengan bermimpi aktif dan pergerakan aktif
otot tubuh
b. Orang tersebut susah terbangun oleh stimulus sensori daripada slow-
wave sleep yang dalam dan biasanya terbangun secara spontan pada
pagi hari pada 1 episode REM sleep
c. Tonus otot pada tubuh terdepresi berlebihan, menunjukkan adanya
inhibisi kuat dari area kontrol otot pada medula finalis
d. Denyut jantung dan laju respirasi biasanya menjadi ireguler, yang
merupakan karakteristik sedang dalam keadaan bermimpi
e. Walaupun ada inhibisi otot perifer yang ekstrim, pergerakan otot
ireguler terjadi, termasuk pergerakan cepat pada mata.
f. Otak sangat aktif pada REM sleep dan rata-rata metabolisme otak
meningkat sebanyak 20%. Pada EEG menunjukkan pola gelombang
otak REM sleep mirip dengan pola gelombang otak saat sadar. Tipe
tidur REM sleep ini juga disebut tidur paradoks karena seseorang
tidur, namun aktivitas otak tetap terjadi seperti saat sadar.
5. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Tonsil hipertrofi
Tonsil hipertrofi didapatkan pada tonsilitis baik akut maupun
kronis. Pemeriksaan untuk melihat adanya hipertrofi pada tonsil adalah
dengan bantuan spatel. Lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu
warnanya, besarnya, muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri
tekan, arkus anterior hiperemis atau tidak.
Besar tonsil diperiksa sebagai berikut:
T0 = tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1 = bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula
T2 = bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3 = bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula
T4 = bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih
Membesarnya tonsil dapat diakibatkan oleh adaya infeksi berulang.
Sehingga tonsil yang harusnya dapat mengecil setelah usia tersebut
menjadi hipertrofi dan kriptenya terisi oleh detritus.
Detritus
Adalah kumpulan limfosit PMN, debris, bakteri dan juga epitel yang
terlepas di kripte tonsila terlihat seperti bercak kuning maupun putih.
Detritus dapat terlihat pada tonsilitis akut dan tonsilitis kronis. Detritus ini
dapat berbentuk tersebar jelas di kripte (detritus folikularis) maupun dapat
menyatu membentuk aliran pada kripte tonsila (detritus lakunaris). Detritus
dapat terbentuk setelah kuman menginfiltrasi lapisan epitel, dan epitel
tersebut terkikis sehingga jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Selain
itu drainase yang buruk pada kripta akan menyebabkan terjadinya retensi
debris sel sehingga menjadi detritus.
Mukosa faring hiperemi
Mukosa faring yang hiperemi dapat diakibatkan oleh
hipervascularisasi yang menyebabkan aliran darah banyak mengalir ke
daerah itu sehingga berubah kemerahan. Hal ini dapat mengakibatkan nyeri
saat menelan (odinofagia). Hipervaskularisasi tersebut dapat diakibatkan
oleh infeksi baik oleh karena virus maupun bakteri dan menampakkan
gejala seperti pada faringitis. Infeksi grup A Streptokokus beta hemolitikus
merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa 15% dan pada anak
30%. Mukosa faring yang hiperemi juga dapat diakibatkan oleh tonsil
yang membesar dan hiperemis.
Granuloma
Granuloma adalah massa akibat infeksi kronis yang terdiri dari
makrofag yang epiteloid yang merupakan salah satu dari sejumlah bentuk
nodul peradangan lokal pada jaringan. Maka dari itu granuloma adalah
sebuah mekanisme pertahanan apabila terjadi infeksi. Granuloma dapat
disebabkan oleh berbagai iritasi biologis, kimia dan fisik pada jaringan.
Salah satu contoh infeksi yang menyebabkan adanya granuloma pada faring
adalah faringitis.
ASTO
Anti streptolisin titer O ( ASTO ) merupakan tes darah yang
dilakukan untuk mengukur antibodi terhadap streptolisin O yang dihasilkan
oleh bakteri streptokokus. Tes ini menggunakan metode aglutinasi. Kadar
ASTO lebih dari 160 – 200 todd/ unit dianggap sangat tinggi dan
menunjukan adanya infeksi streptokokus yang baru terjadi atau sedang
terjadi atau adanya kadar antibodi yang tinggi akibat respon imun yang
berlebihan terhadap pajanan sebelumnya.
Nilai normal ASTO pada anak 6 bulan – 2 tahun 50 Todd unit /ml, 2
– 4 tahun 160 Todd unit /ml, 5 – 12 tahun adalah 170 Todd unit/ ml dan
dewasa 160 Todd unit / ml. Titer ASTO akan meningkat pada 75 – 80 %
kasus GNAPS.
Nilai ASTO yang naik bisa didapatkan pada Strep Throat
(Streptococcal Pharyngitis), Tonsilitis kronis, Demam Reumatik dan
Penyakit Jantung Reumatik.
Sehingga dari pemeriksaan fisik dan penunjang tersebut dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi tonsilitis, dapat dilihat pada tonsil yang
hipertrofi, dan terdapat detritus ; dan faringitis, dapat dilihat pada mukosa
faring hiperemi dan terdapat granuloma; pada pasien yang diakibatkan oleh
infeksi bakteri Streptococcus grup A yang dapat dibuktikan dengan
meningkatnya titer ASTO.
6. Diagnosis banding
FARINGITIS
1. FARINGITIS AKUT
a. Faringitis viral
Gejala dan tanda :
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian
akan menimbulkan faringits. Gejalanya berup demm disertai rinorea,
mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak
faring, tonsil hiperemis, konjungtivitis (Adenovirus), maculopopular
rash di orofaring (Coxachievirus) , tidak menghasilkan eksudat
(Virus influenza, coxachievirus, dan cytomegalovirus), dan disertai
produksi eksudat yang banyak pada faring (Epstein Barr Virus).
Terapi :
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat.
Analgetika jika perlu dan tablet isap.
b. Faringitis bakterial
Disebabkan oleh infeksi grup A Streptokokus B hemolitikus.
Gejala dan tanda :
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam
dengan suhuh tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul ercak petechiae pada
palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal,
dan nyeri pada penekanan.
Terapi :
Antibiotuk, Kortikosterois, Analgetika dan kumur dengan air hangat
atau antiseptik.
c. Faringitis Fungal
Disebebkan oleh candida yang tumbuh di mukosa ronga mulut dan
faring
Gejala dan tanda :
Keluhan nyeri tenggorok dann yeri menelan. Pada pemeriksaan
tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis
Terapi :
Nystasin dan Analgetika
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital .
2. FARINGITIS KRONIS
Faktor predisposis proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik,
sinusitis, iritasi kronik oleh roko, minum alkohol, inhalasi uanp dan
debu. Faktor lainnya adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut
karena hdungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplasi
Gejala dan tanda :
Terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelejar
limfa di bwah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampakmukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular.
Gejala :
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya
batuk yang berdahak.
Terapi :
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan meakai zat
kimia larutan nitras argenti atau electro cauter. Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur tau tablt isap. Jika diperlukan
dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di
hidung dan sinus paranasal harus diobati
b. Faringitis kronik atrofi
Gejala dan tanda :
Sering timbul bersamaan dengan rinitris atrofi . pasien mengeluh
tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pad apemeriksan
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diankat tampak mukosa kering.
Terapi :
Mengobati riitis atrofi dan ditambahkan dengan obat kumur serta
menjaga kebersihan rongga mulut.
3. FARINGITIS SPESIFIK
a. Faringitis leutika
Disebabkan oleh Treponema palidum dengan gambaran klinis sesuai
dengan stadiumnya.
Stadium primer : pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan.
Stadium sekunder : Eritema pada dinding faring yang menjalar ke
arah laring
Stadium tertier : terdapat guma
b. Faringitis tuberkulososis
Gejala dan tanda :
Anoreksia dan odinofagia, nyeri hebat tenggorok, nyeri telinga serta
pembesaran kelenjar limf servikal.
TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yangmerupakan bagian dari
cincin waldeyer. Dimana oenyebaran infeksi ini melalui udara, tangan, dan
ciuman.
1. TONSILITIS AKUT
a. Tonsilitis viral
Gejala dan tanda :
Menyerupai commond cols yang diserta rasa nyeri tenggorok.
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr sedangkan
Hemofilus Influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Jika terjadi inffeksi virus oxschakie terdapat luka –lika
kecil pada palatum dan tonsil yang dirasakan sangat nyeri.
Terapi :
Istiraat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan bil
agejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Gejala dan tanda :
Disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus B Hemolitikus.
Ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam
dengan suhhu tubuh yang tinggi,rasa lesu, otalgia, rasa nyeri di
sendi-sendi, dan tidak nafsu makan. Pada pemeriksaan didapatkan
tonsil bengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakuna atau tertutup membran semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeritekan.
Terapi :
Antibiotik spektrum luas, antipiretik, dan obat kumur yang
mengandung desinfektan
2. TONSILITIS MEMBRANOSA
a. Tonsilitis difteri
Gejala :
Gejala umum : subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat dan keluhan yeri telan
Gejala lokal :
Tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin
lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Kelenjar limfa membengkak sedemikian besarnya
menyerupai bull neck atau burgemeester’s hals
Gejala akibat eksotoksin
Jantung terdapat miokarditis ampai decompensatio cordis,
mengenai saraf kranial menyebaban kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan, serta pada ginjal
menimbulkan albuminuria
Terapi :
Anti Difteri Serum (ADS), Antibiotik, kortikosteris, antipiretik
dan istirahat ditempat tidur selama 2-3 minggu.
b. Tonsilitis septik
Disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang terdapat pada
susu ssapi sehingga dapat timbul epidemi.
c. Angina Plaut Vincent
Disebabkan oleh bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan penderita dengan higine mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C
Gejala dan tanda :
Demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah, gangguang
pencernaan, rasa nyeri dimulut, hiersalivasi,gigi dan
gusimudahberdarah. Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabuandi atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi
serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submandibula
membesar
Terapi :
Antibiotika spektrum luas, memperbaiki higine mulut, vitamin C
dan vitamn B kompleks
d. Penyakit kelainan darah
Leukimia akut, angina agranulositosis, dan infeksi mononukleosis
3. TONSILITIS KRONIK
Faktor predisposis timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsagan
menahun dariroko, beberapa jenis makanan, higin emulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat. Kadang-kadang kumannya berubah menjadi kuman
golongan gram negatif.
Gejala dan tanda:
Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar,
dan beberapa kripti terisi oleh deftritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering ditenggorok dan napas berbau..
Terapi :
Memperbaiki higine mulut dengan berkumur atau obat isap.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
ABSES PERITONSIL/QOUINSY
Etiologi:
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitisnya.
Patologi :
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgaroleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil sering
menempati daerah ini sehingga tampak palatum molle membengkak. Pada
stadium permulaan/infiltrate akan tampak permukaan hiperemis dan bila
berlanjut akan terjadi supurasi sehingga daerah tersebut jadi lebih lunak.
Bila proses meradang terjadi terus meerus akan menyebabkan iritasi pada m.
pterigoid interna dan menimbulkan trismus.
Gejala dan tanda:
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia yang hebat,
biasanya sisi yang sama juga akan terjadi nyeri saat menelan, muntah, bau
mulut, banyak ludah, hot potato voice, pembesaran kelenjar limfe, dan
kadang trismus.
Terapi:
Pada stadium infiltrasi diberikan antibiotic golongan penisilin atau
klindamicin dan juga obat-abat simptomatik. Kumur dengan air hangat dan
kompres dingin juga bisa diterapkan. Bila telah terbentuk abses dilakukan
punsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
Tempat insisi adalah ditempat paling menonjol dan lunak. Kemudian tidak
lupa pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi dan kedua tindakan ini
bisa dilakukan bersama-sama. Pada umumnya tonsilektomi dikerjakan
setelah infeksi tenang yakni 2-3 minggu setelah drainase abses.
ABSES RETROPHARYNX
Penyakit ini biasa ditemukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Hal
ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retropharynx masih berisi
jaringan limfa. Pada usia 6 tahun kelenjar limfe ini akan mengalami atrofi.
Etiologi:
Keadaan yang dapat menyebabkan abses retropharynx adalah (1) ISPA
yang menyebakan limfadenitis retropharynx. (2) trauma dinding belakang
pharynx oleh benda asing atau tindakan medis. (3) tuberculosis vertebra
cervical bagian atas.
Gejala dan tanda:
Gejala umum berupa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil nyeri
menyebabkan anak menangis terus menerus dan tidak mau makan dan
minum. Demam dan leher kaku juga sering terjadi pada kondisi ini.
Sumbatan oleh abses juga dapat menyebakan sesak dan gangguan
resonansi suara. Pada dinding belakang pharynx tampak benjolan yang
biasanya unilateral dan mukosa hiperemis.
Terapi:
Terapi abses retropharynx adalah dengan medikamentosa dan tindakan
bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan obat antibiotic dosis
tinggi, untuk kuman aerob anaerob diberikan secara parenteral. Selain itu
dilakukan punsi dan insisi abses melalui laryngoskopi langsung dan posisi
pasien tredelenburg.