kajian pustaka, landasan teori, konsep, dan model ...€¦ · elite perempuan modern di bali”...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KONSEP,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
Suatu penelitian yang secara khusus menyoroti tentang keterwakilan
perempuan dalam lembaga legislatif dilakukan oleh Anak Agung Ketut Sudiana
dalam tulisannya yang berjudul “Gender dalam Politik: Keterwakilan Perempuan
dalam Lembaga Legislatif Kota Denpasar.” Berdasarkan hasil penelitian di Kota
Denpasar terungkap bahwa dalam Pemilu Tahun 1999 perempuan belum
mempunyai wakil dalam lembaga legislatif, artinya dari 35 orang anggota DPRD
semuanya adalah laki-laki. Pada Pemilu Tahun 2004 dari 45 jumlah anggota
DPRD yang mewakili masyarakat dalam lembaga legislatif Kota Denpasar hanya
3 orang anggota DPRD perempuan, artinya keterwakilan perempuan baru
mencapai 6,66 %. Tiga orang anggota DPRD tersebut adalah Ni Nyoman
Suadnyani, S.H. dari PNI-M, Anak Agung Oka Mastini, S.E. dari Partai
Demokrat dan Anak Agung Ayu Rai Sunastri, S. Sos., M.Si. dari Partai Golkar.
Menurut Sudiana belum maksimalnya partisipasi perempuan sebagai
anggota legislatif di Kota Denpasar disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
belum adanya pemahaman yang luas terhadap permasalahan kesetaraan dan
keadilan gender di kalangan masyarakat terutama dalam kehidupan politik.
Kedua, dalam sistem perekrutan sampai dengan penetapan daftar calon lebih
ditentukan oleh kepengurusan internal partai politik yang masih didominasi oleh
laki-laki sehingga kaum perempuan tetap berada dalam posisi tersubordinasi. Hal
16
17
ini dibuktikan dengan posisi perempuan seringkali menempati nomor urut sepatu
dalam urutan daftar calon yang diajukan oleh parpol. Ketiga, dalam pelaksanaan
pemilu belum sepenuhnya mengikuti aturan main yang didasari atas perundang-
undangan yang berlaku, artinya pelaksanaan pemilu masih diwarnai oleh
praktek-praktek money politics, premanisme dan kadang-kadang tidak bersedia
menerima kekalahan secara terbuka. Kondisi seperti inilah yang menyulitkan
perempuan untuk ikut serta dalam hajatan politik.
Studi yang dilakukan oleh Anak Agung Gde Rai yang berjudul “Faktor-
Faktor yang Berperan Terhadap Representasi dan Partisipasi Politik Perempuan
Bali dalam Pemilu 2004” (Tesis) mengungkapkan bahwa dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 memberi harapan akan terjadinya
perubahan nasib kaum perempuan yang selama ini dimarjinalkan dalam
keterwakilan dan penentuan kebijakan politik yang disebabkan oleh
ketidakberpihakan. Dengan demikian diharapkan kaum perempuan bisa
mengartikulasikan masalah-masalah yang dihadapi perempuan dalam masyarakat
dengan lebih baik dan sensitif.
Upaya untuk mendorong agar perempuan Bali lebih banyak terjun dalam
dunia politik belum mencapai hasil yang diharapkan. Hasil Pemilihan Umum
bulan April 2004 menunjukkan untuk Provinsi Bali representasi keterwakilan
perempuan hanya 7 persen atau 4 orang dari 55 jatah kursi; untuk legislatif tingkat
Kabupaten/Kota hanya 4% atau 13 dari 330 jatah kursi. Sedangkan partisipasi
perempuan Bali dalam bidang politik mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, terlihat dari partisipasi perempuan Bali untuk mendaftarkan diri
menjadi calon legislatif berjumlah 129 orang.
18
Selama ini perempuan Bali dianggap begitu kuat dan tangguh dalam
melaksanakan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki, tetapi dalam bidang
politik perempuan Bali masih merupakan warga kelas dua karena terkungkung
dalam budaya patriarkhi serta adanya hambatan dari kaum perempuan Bali untuk
maju. Rai mengkatagorikan ada dua hambatan yang menjadi kendala sehingga
representasi dan partisipasi politik perempuan Bali dalam pemilu 2004 begitu
rendah, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar.
Faktor luar, antara lain berupa nilai budaya yang belum sepenuhnya
menerima perempuan terjun ke kancah politik praktis karena kuatnya pengaruh
ideologi patriarkhi dan sistem kekerabatan patrilenial yang dianut masyartakat
Bali. Organisasi perempuan dan organisasi politik belum sepenuhnya
memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan perempuan. Hal ini tampak dalam
perjuangan organisasi perempuan dan organisasi politik untuk mengajukan
perempuan sebagai anggota legislatif masih setengah hati. Faktor dari dalam
perempuan itu sendiri adalah kecilnya minat perempuan Bali untuk terjun ke
dalam dunia politik praktis, karena selama ini anggapan yang berkembang dalam
masyarakat bahwa urusan politik adalah urusan laki-laki. Dunia politik
merupakan ajang penuh kekerasan dan sering diwarnai oleh permainan “kotor”,
suatu arena yang dianggap tidak cocok bagi perempuan sehingga perempuan
menjauh dari dunia politik. Terbatasnya akses dan kontrol perempuan terhadap
sumber daya menyulitkan perempuan Bali memperjuangkan hak politiknya.
Tidak kalah pentingnya adalah masih rendahnya sumber daya perempuan
mengakibatkan peluang untuk bersaing dalam dunia politik juga terbatas.
19
Anak Agung Gede Rai dalam disertasinya yang berjudul Representasi
Politik Praktis Perempuan Bali Pada Pemilu 2004: Perspektif Kajian Budaya,
mengungkapkan bahwa representasi politik praktis perempuan Bali dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Pertama, faktor kebijakan politik dan sikap partai politik
mengungkapkan kepedulian negara terhadap perempuan, kebijakan negara dan
upaya meningkatkan representasi politik perempuan di legislatif, kebijakan
negara pada pemilu 2004, serta sikap partai politik terhadap kuota 30%,
rekrutmen calon legislatif, dan nomor urut calon legislatif. Kedua, faktor budaya
dan sikap perempuan Bali mengungkapkan marginalisasi perempuan dalam
budaya, hegemoni nilai budaya patriarkhi, pendidikan perempuan, dan motivasi
perempuan. Ketiga, faktor ekonomi mengungkapkan bahwa ekonomi Bali
menjelang Pemilu 2004, politik praktis, dan biaya politik tinggi.
Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap representasi politik praktis
perempuan Bali pada pemilu 2004. Hal ini tampak pada keterwakilan perempuan
di tingkat DPR RI sebesar 22% atau dua orang dari sembilan kursi untuk daerah
pemilihan Bali, 25% untuk DPD RI atau satu orang dari empat kursi untuk daerah
pemilihan Bali, % untuk DPRD provinsi atau empat orang dari 55 kursi, dan rata-
rata 4% untuk DPRD kabupaten/kota atau 13 orang dari 330 kursi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa posisi representasi politik praktis
perempuan Bali, baik pada organisasi politik, pencalonan, maupun mereka yang
duduk sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2004 mempunyai dampak terhadap
kebijakan politik dan partai politik, kehidupan sosial dan budaya, kesetaraan
gender dan hak-hak politik perempuan. Aktivitas perempuan Bali dalam
20
panggung politik praktis Pemilu 2004 mempunyai makna filosofis dan ideologis,
makna pendidikan politik, dan makna penghargaan terhadap perempuan.
Penelitian Sudiana dan Gede Rai mempunyai persamaan dengan
penelitian ini, yakni sama-sama meneliti perempuan dalam ranah politik praktis,
namun kedua penelitian di atas hanya membahas representasi sehingga tidak
membincangkan partisipasi, terutama pergulatan perempuan di lembaga
legislatif dan di arena sosial yang menjadi pokok penelitian ini. Dalam membedah
permasalahan yang diajukan, Rai menggunakan teori budaya politik, teori
strukturasi, dan teori postfeminisme; tidak menggunakan teori wacana relasi
kuasa dan pengetahuan , teori strukturalisme generatif, dan teori hegemoni yang
merupakan alat untuk menganalisis permasalahan dalam disertasi ini. Dengan
metode genealogi dan teori-teori kritis di atas akan terungkap secara gamblang
relasi antara praktik sosial, pengetahuan yang melandasi, dan relasi kekuasaan
yang beroperasi di dalamnya. Selain itu lokasi penelitian juga berbeda, Sudiana
hanya meneliti keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Kota Denpasar; Rai
meneliti representasi politik praktis Perempuan Bali pada Pemilu Tahun 2004;
sedangkan penelitian ini terfokus pada pergulatan politik perempuan di lembaga
legislatif Kabupaten Jembrana.
Penelitian yang mengangkat persoalan perempuan di ranah politik juga
telah dilakukan oleh Luh Riniti Rahayu (disertasi) dengan judul Partisipasi
Politik Perempuan Bali dalam Pemilu 1997 – 2004 (Perspektif Kajian Budaya).
Penelitian Riniti lebih menonjolkan partisipasi perempuan Bali dalam Pemilu
pada zaman Orde Baru. Pembahasan tentang partisipasi perempuan dalam
lembaga legislatif hanya satu sub bab dan lebih banyak menonjolkan peranan
21
perempuan di lembaga legislatif pada masa Orde Baru. Karena fokus penelitian
mengenai partisipasi perempuan dalam pemilu, penelitian Riniti belum
mengungkapkan secara mendalam tentang pergulatan perempuan dalam lembaga
legislatif yang menjadi tema kajian dalam penelitian ini. Ada perbedaan ruang
lingkup temporal dan spasial antara penelitian Riniti dengan penelitian ini, Riniti
meneliti partisipasi politik Perempuan Bali dalam pemilu 1999 – 2004, sedangkan
penelitian ini lebih fokus untuk meneliti Pergulatan Politik Perempuan di
Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana yang sama sekali tidak tersentuh dalam
penelitian Riniti walaupun menyebut Bali sebagai lokasi penelitian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wetrawati (2006) dalam tulisan
berjudul “Pendidikan Politik Perempuan Bali Menuju Kesetaraan Gender di Kota
Denpasar Bedasarkan Perspektif Kajian Budaya” ditemukan bahwa pendidikan
politik bagi perempuan Bali di Kota Denpasar berlangsung secara fungsional.
Fungsi pendidikan politik mencakup fungsi ekonomi, membentuk kemandirian,
tanggung jawab, dan fungsi kesetaraan, sedangkan makna pendidikan politik
meliputi makna emansipasi, pembangunan sumber daya perempuan, kesetaraan
gender, dan makna keharmonisan.
Penelitian tentang pendidikan politik juga dilakukan oleh Sudiatmaka
(2002) berjudul “Pendidikan Politik di Kalangan Perempuan Menuju
Terwujudnya Masyarakat Madani: Studi Sosial-Budaya di Desa Adat Julah,
Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng”. Hasil penelitian Sudiatmaka
menunjukkan bahwa iklim dan pola komunikasi keluarga, desa adat, desa dinas,
dan sekolah kurang mendukung proses pendidikan politik perempuan di Desa
Julah. Hal ini dipengaruhi oleh masih kuatnya ideologi patriarki yang
22
menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dalam segala hal sehingga kaum
perempuan ada dalam posisi marjinal. Penelitian Wetrawati dan Sudiatmaka yang
terfokus pada pendidikan politik perempuan tidak menyinggung keterlibatan
perempuan di bidang legislatif. Namun demikian penelitian ini berguna dalam
menambah wawasan tentang pendidikan perempuan yang mempunyai pengaruh
terhadap partisipasi perempuan dalam dunia politik praktis.
Penelitian yang mengangkat persoalan perempuan dalam industri kain
tenun dilakukan oleh Putu Sukardja. Dalam penelitian dengan judul Enkulturasi
dan Masalah Gender Pada Industri Kain Tenun di Kelurahan Sangkaragung,
Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana (2008), ditemukan bahwa enkulturasi
menenun mengakibatkan terjadinya perubahan dalam hal pembagian kerja laki-
laki dan perempuan. Dengan menenun kaum perempuan dapat berpindah dari
ruang domestik ke ruang publik. Menenun sebagai modal budaya telah menjadi
kekuatan yang berpengaruh bagi perempuan untuk ikut mengambil keputusan
dalam beberapa aspek kehidupan. Meskipun perempuan ikut ambil bagian dalam
persoalan keluarga, namun karena kuatnya ideologi patriarki mengakibatkan
kebebasan perempuan di ruang publik hanya bersifat temporer yang
mengharuskan perempuan untuk kembali ke ranah domestik. Penelitian Putu
Sukardja tidak membahas pergulatan politik perempuan namun memberikan
gambaran tentang kuatnya ideologi patriarki dalam hubungan gender di
masyarakat Jembrana. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap keputusan
perempuan untuk terlibat di ruang publik khususnya dalam dunia politik praktis.
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Ketut Santini berjudul “Munculnya
Elite Perempuan Modern di Bali” (Sekripsi), mengungkapkan tiga faktor yang
23
mendorong lahirnya kaum elite perempuan modern di Bali. Pertama, faktor
internal yaitu rasa tidak puas terhadap organisasi perempuan yang sudah ada
karena organisasi perempuan yang ada pada waktu itu lebih berorientasi kepada
golongan kelas atas karena anggota-anggotanya adalah para istri pegawai
pemerintah kolonial. Kedua, adalah faktor sosiokultural yang menempatkan kaum
perempuan dalam posisi yang marjinal selalu dinomorduakan dalam segala hal.
Ketiga, peranan kaum pergerakan nasional dalam memajukan kaum perempuan
di Bali. Pada masa pergerakan nasional di Bali muncul kesadaran bahwa untuk
mencapai kemajuan masyarakat, kaum perempuan yang merupakan bagian
integral dari masyarakat hendaknya diberikan pendidikan modern sehingga
membuka wawasan untuk ikut berperan serta dalam membangun masyarakat.
Kehadiran kaum elite perempuan merupakan pelopor bagi kemajuan
kaum perempuan di Bali. Dalam upaya memperjuangkan kaumnya maka
dibentuklah organisasi modern yang diberi nama “Putri Bali Sadar” (PBS).
Melalui organisasi ini kaum perempuan Bali berani mengemukakan ide-idenya
dan berusaha mencarikan jawaban terhadap problematik yang dihadapi oleh
perempuan Bali pada waktu itu. Perjuangan kelompok elite wanita yang
tergabung dalam PBS lebih ditekankan pada usaha-usaha sosial seperti
memperluas pendidikan, meningkatkan nilai-nilai kesusilaan sehingga dapat
meningkatkan derajat kaum perempuan di Bali. Walaupun gerakan PBS Sadar
sudah menyerempet wilayah politik namun belum berani secara tegas
memperjuangkan kedudukan kaum perempuan Bali dalam bidang politik. Sikap
politik PBS yang kooperasi terhadap pemerintah kolonial sehingga PBS tidak
menemukan hambatan dalam menjalankan gagasan-gagasannya. Penelitian yang
24
dilakukan oleh Santini tidak menyinggung perempuan dalam kancah legislatif,
namun memberi gambaran tentang perjuangan perempuan Bali dalam memasuki
ranah politik sebagai cibal bakal perjuangan perempuan Bali dalam
memperjuangkan hak-hak politiknya.
Buku yang ditulis oleh Luh Ketut Suryani yang berjudul Perempuan Bali
Kini (2003), berusaha mengangkat tema-tema yang lebih banyak menggambarkan
sosial budaya masyarakat Bali dengan harapan menjadikan perempuan Bali
sebagai sosok perempuan yang sempurna (luh luih). Dalam salah satu subbab
yang berjudul “Sosok Perempuan Bali”, Suryani mengungkapkan bahwa
masyarakat Hindu di Bali memandang perempuan bukan sebagai makluk yang
lemah yang harus dilindungi. Perempuan dianggap mempunyai kekuatan yang
besar yang dapat menciptakan keindahan, tetapi dapat pula membahayakan
kehidupan ini. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberi penghargaan
yang besar terhadap kaum perempuan. Hal ini tampak dari kepercayaan
masyarakat Hindu di Bali terhadap manisfestasi Tuhan yang diwujudkan dengan
Dewi (perempuan), seperti Dewi Saraswati, Dewi Sri, Dewi Durga, dan Dewi Sri
Sedana. Demikian juga dalam ceritra pewayangan, arja, topeng, dan ceritra-
ceritra rakyat banyak menonjolkan peranan perempuan yang mempunyai
ketangguhan dalam berjuang, mandiri, berpengetahuan luas, dan mampu menjadi
permaisuri bahkan ratu yang disegani oleh rakyatnya.
Dalam mendidik anak-anaknya, orang tua di Bali menekankan kepada
anak perempuan untuk membantu orang tua menyelesaikan urusan rumah tangga,
tidak boleh bebas keluar rumah seperti anak laki-laki. Orang tua menanamkan
kepada anak-anaknya rasa pengabdian kepada keluarga. Ada aturan bagi
25
perempuan yang sudah menikah, apapun yang terjadi harus diterima secara
lapang dada sebagai suatu hukum karma. Keluarga adalah di atas segalanya,
sehingga kebutuhan anak harus lebih didahulukan dari kepentingan pribadi.
Perceraian merupakan tindakan yang dapat menjatuhkan martabat keluarga. Sejak
kecil dalam diri perempuan Bali telah ditanamkan agar menjunjung tinggi harga
diri dan martabat keluarga. Sebagai seorang perempuan jangan hanya
mengandalkan jerih payah suami dalam menghidupi keluarga, sebagai perempuan
hendaknya aktif membantu suami dalam mencari nafkah untuk menunjang
kehidupan keluarga.
Dalam realitas perempuan Bali masih terpinggirkan dalam dunia politik,
perempuan Bali tidak diberikan kesempatan, tidak diberikan tempat di lembaga
legislatif karena jumlahnya yang sangat sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Hal ini tidak sebanding dengan komposisi penduduk Bali yang 50% adalah kaum
perempuan. Untuk mewujudkan hal tersebut perempuan Bali harus berjuang agar
dapat mengisi posisi-posisi strategis baik di bidang eksekutif maupun legislatif.
Segala sesuatu keinginan kaum perempuan hendaknya melalui perjuangan, bukan
minta diberi tempat, bukan minta diberikan posisi karena keperempuanannya.
Emansipasi tidak menghendaki belas kasihan melainkan ingin menunjukkan
kemampuan kaum perempuan yang sama dengan laki-laki. Mampukah kaum
perempuan mengisi tempat yang telah tersedia? Beranikah kaum perempuan
mengisi tempat yang sudah tersedia? Maukah kaum perempuan mengisi posisi
yang ada? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh kaum
perempuan Bali sendiri dalam rangka memperjuangkan nasib kaumnya. Karya
Suryani tidak secara spesifik menyinggung keterlibatan perempuan Bali dalam
26
kancah legislatif, namun tulisan Suryani dapat dijadikan acuan dalam memahami
perempuan Bali dari perspektif budaya. Budaya Bali yang patriarkhis rupanya
menjadi penghambat bagi perempuan untuk secara total terjun ke dunia politik.
Penelitian tentang perempuan Bali yang titulis oleh I Nyoman Darma
Putra yang berjudul Perempuan Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2003),
mengungkapkan sejarah perempuan Bali terutama menekankan peranan
perempuan Bali dalam bidang pendidikan dan implikasinya terhadap kemajuan
masyarakat Bali. Dengan menggunakan sumber-sumber berupa kalawarta yang
terbit pada jaman kolonial seperti Surya Kanta, Bali Adnyana, Bhawanegara,
Djatajoe, dan media massa sesudah era kemerdekaan, seperti Bhakti, Damai,
Mingguan Harapan, Suara Indonesia, dan Angkatan Bersenjata, Darma Putra
menjelaskan bahwa sejak zaman kolonial perempuan Bali sudah aktif mendirikan
perkumpulan-perkumpulan, mengungkapkan aspirasinya melalui media yang ada
dan melakukan propaganda untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Para penulis
perempuan pada waktu itu telah mempunyai wawasan yang sangat luas dan
mempunyai pandangan kritis dan tajam tentang berbagai persoalan yang dihadapi
oleh kaum perempuan dalam masyarakat termasuk memprotes ketidakadilan
gender. Melalui tulisan di media massa para penulis perempuan mendorong
kaumnya untuk terjun dalam dunia politik praktis, karena dengan cara seperti
itulah apa yang menjadi cita-cita kaum perempuan baru akan tercapai. Penelitian
Darma Putra belum mengungkapkan secara detail bagaimana konstruksi ideologi
patriarkhi diterapkan dalam masyarakat Bali sehingga meminggirkan kaum
perempuan, namun demikian hasil penelitiannya ini memberikan gambaran
kiprah perempuan Bali pada masa kolonial dan awal masa kemerdekaan dan
27
lampiran-lampiran yang disalin dari tulisan aslinya dapat dijadikan sebagai
sumber dalam mengungkapkan perjuangan perempuan Bali.
Penting pula untuk memasukkan karya Sukanti Suryochondro (1995: 31-
32), terutama bagian yang menyebutkan gerakan yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok orang yang bertujuan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan
sudah dilakukan sejak lama. Pada masa Revolusi Prancis kaum perempuan sudah
ikut berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan nasibnya, menuntut persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politk, kesempatan memperoleh
pendidikan, perbaikan dalam hukum perkawinan. Namun perjuangan yang telah
dilakukan belum banyak memberikan keuntungan kepada kaum perempuan,
bahkan pemerintah melarang perkumpulan-perkumpulan perempuan, demikian
juga dalam bidang hukum kedudukan perempuan sangat rendah. Menurut hukum
suami mempunyai kekuasaan terhadap istrinya, istri harus tunduk kepada
suaminya dan tidak boleh mengadakan transaksi hukum tanpa izin suami. Sejak
tahun 1870 gerakan perempuan di Prancis menunjukkan eksistensinya karena
organisasi perempuan telah berdiri secara kuat untuk memperjuangkan nasib
kaum perempuan Prancis.
Munculnya berbagai aliran feminis yang membicarakan humanisme, hak
azasi, dan gerakan emansipasi secara perlahan namun pasti mulai menuntut
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan karena adanya
kesadaran akan adanya hubungan yang asimetris atas jenis kelamin, ras, kelas,
dan gender dalam suatu masyarakat. Fokus studi perempuan pada awalnya
menganalisis fenomena kehidupan perempuan dalam berbagai Negara, suku, ras
yang mengalami marginalisasi dan subordinasi. Situasi yang termarjinalkan ini
28
tidak memberi kesempatan dan kekuatan bagi kaum perempuan dalam
pengambilan keputusan politik. Kondisi seperti ini merugikan kaum perempuan
dalam berbagai sektor kehidupan. Sebagai reaksi terhadap situasi tersebut maka
berkembanglah berbagai aliran feminis dengan teori-teori yang dikonstruksi
berdasarkan atas pengalaman negara, suku, ras sesuai dengan konteks sosial-
budaya kaum perempuan.
Di Inggris terbit sebuah buku berjudul Vindication of the Right of Women
pada tahun 1792 yang ditulis oleh Mary Wollstonecraft. Buku tersebut
mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan karena dengan
pendidikan kaum perempuan akan mengembangkan dirinya sehingga akan dapat
berperan dalam membangun masyarakatnya. John Stuart Mill merupakan salah
satu tokoh Inggris yang berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Bukunya yang berjudul The Subjection of Women yang terbit tahun 1869
dianggap sebagai kitab suci bagi pergerakan perempuan di Eropa. Buku ini sangat
berpengaruh karena Mill menghubungkan gerakan perempuan yang kemudian
disebut gerakan feminisme, dengan pemikiran libralisme sehingga disebut
feminisme liberal. Inti pandangan Mill adalah persamaan dalam bidang
pernikahan, hukum dan hak milik bagi laki-laki dan perempuan adalah syarat
utama untuk mencapai masyarakat yang adil. Oleh karena itu Mill menekankan
kecakapan (capacity), dan kemampuan (capability) perempuan dan menolak
bahwa perempuan secara intelektual dan emosional dikatakan inferior. Gerakan
perempuan Inggris pada waktu itu mengutamakan perjuangan memperoleh hak
pilih yang mengalami tantangan keras sehingga menuntut banyak pengorbanan
(Sukanti Suryochondro, 1995: 31, Akhyar Yusuf Lubis, 2006: 86).
29
Demi memperluas pandangan tentang feminisme, perlu juga dikaji karya
Tong (2005: 9), terutama pandangan feminisme radikal yang mengemukakan
isu reproduksi, gender dan konsep keibuan. Menurut paham ini perempuan
ditindas oleh sistem sosial yang patriarkis, sebagai penindasan yang paling
mendasar yang bersumber dari seksualitas dan sistem gender. Sementara itu
feminisme eksistensialis beranggapan bahwa perempuan ditekan melalui ke-
Liyanannya (otherness). Kaum laki-laki telah memposisikan dirinya sebagai diri
sendiri (the self) dan kaum perempuan sebagai orang lain (the other). Dikotomi
ini mengandung makna bukan saja perempuan berbeda dengan laki-laki akan
tetapi bahkan lebih rendah lagi. Oleh karena itu prasangka-prasangka tradisional
tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan perempuan, seperti lemah dan
emosional) hendaknya didekonstruksi sehingga mampu keluar dari asumsi dan
prasangka-prasangka tradisional yang patriarkis. Jika perempuan ingin menjadi
diri sendiri, perempuan harus metransendensi definisi, label, dan esensi yang
membatasi eksistensinya. Perempuan harus menjadikan dirinya sebagaimana
yang diinginkannya.
Feminis posmodernis (posfeminis) berusaha mendekontruksi wacana
universal (grand-narrative), menolak dualisme maskulin-feminin yang dijadikan
titik tolak selama ini untuk menganalisis gender yang sentral dalam gerakan
feminisme sebelumnya. Feminis posmodern tidak bertolak dari dualisme dan
tuntutan kesetaraan (equality), tetapi bertolak dari perbedaan yang
mengetengahkan konsep-konsep utama yang terfokus pada masalah “the other,
the second sex”, “authorship” atau kepengarangan, identitas dan self. Dengan
menggunakan konsep “yang lain” atau “seks kedua” berusaha untuk mengambil
30
jarak dan mengkritisi norma, nilai-nilai dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh
kebudayaan dominan (patriarki) terhadap semua orang terutama kepada kaum
perempuan (Tong: 2005).
Untuk mendukung penelitian ini tidak boleh pula mengabaikan kajian-
kajian ketatanegaraan dan hukum. Dalam kehidupan bernegara, berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada dan berbagai kebijakan yang telah
dirumuskan oleh pemerintah tidak membedakan akses antara laki-laki dan
perempuan untuk berperan dalam bidang politik. Undang-Undang Dasar 1945
(pasal 27) memberikan kedudukan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia
di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan hak yang sama atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak, serta tanggung jawab yang sama pula dalam usaha
pembelaan negara, tanpa membedakan antara warga negara laki-laki dan
perempuan. Pada tahun 1952 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai hak
politik perempuan ( UN Convention on Political Rights of Women) melalui UU
No. 68 Tahun 1968. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif negara.
Ratifikasi Pemerintah Republik Indonesia atas Konvensi PBB tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Woman) dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984, menunjukkan komitmen yang kuat dari
Pemerintah RI untuk menghapus segala pembedaan perlakuan antara kaum laki-
laki dan kaum perempuan. Pengesahan terhadap Konvensi Perempuan
mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi,
mengutuk diskriminasi, negara bersepakat menghapus diskriminasi dengan segala
31
cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, dan aparat negara dari pusat sampai daerah
dituntut untuk ikut bertanggungjawab dalam usaha menghapus diskriminasi
(Ariani, 2005).
Tidak kalah penting pula adalah hasil penelitian Pusat Kajian Perempuan
dan Gender (2004: x), terutama yang terkait dengan hubungan pasal 1 Konvensi
Perempuan tentang pengertian diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pasal
disebutkan, diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun
lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
persamaan antara pria dan perempuan
Dalam upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan,
pemerintah Republik Indonesia menerbitkan dua peraturan penting yang dapat
digunakan untuk mengkaji hak-hak perempuan. Pertama, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan hak asasi
perempuan dalam bidang profesi pasal 49 ayat 1 menyatakan bahwa perempuan
berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi
sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kedua, instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang isinya
Presiden menginstruksikan kepada para Menteri, kepada Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Bupati/Walikota, untuk mengarusutamaan
32
gender ke dalam semua proses pembangunan nasional. Tujuan pengarusutamaan
gender adalah menarik permasalahan perempuan ke dalam arusutama
pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warganegara yang mempunyai hak
dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Demikianlah, sejumlah pustaka penting yang perlu dikaji secara
mendalam untuk bisa lebih memahami adanya dominasi laki-laki dalam kesertaan
perempuan dalam dunia politik seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.
10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008
tentang Partai Politik (Parpol).
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian adalah: Pergulatan Politik, Perempuan Bali, Lembaga Legislatif, Era
Reformasi.
2.2.1 Pergulatan Politik
Pergulatan artinya pergumulan, perjuangan, usaha yang keras. Secara
etimologi kata politik berasal dari kata “polis” (Bahasa Yunani Kuno) yang
dalam Bahasa Indonesia berarti “puri” atau “pura”. Polis berasal dari kata
“politea” yang artinya berkumpul dalam suatu kelompok. Dari sinilah muncul
pengertian bahwa polis itu adalah sebuah kota yang merupakan satu unit politik
tertentu yang berdiri sendiri (merdeka), yang mana para anggota penduduk suatu
kota saling mengenal dan dalam memilih para pemimpinnya dapat dilakukan
secara langsung. Dalam kaitannya dengan sistem demokrasi, di kota-kota (polis-
polis) Yunanni Kuno berlangsung sistem demokrasi langsung untuk pertama
33
kalinya sebagai cikal bakal sistem demokrasi yang ada pada masa kini. Dalam
kaitannya dengan sistem kenegaraan polis Yunani Kuno dikategorikan sebagai
suatu negara.
Kata politik sebenarnya telah menjadi kosa kata yang sangat umum dalam
masyarakat. Kata politik oleh masyarakat dipahami sebagai ilmu tentang
pemerintahan atau seni pemerintahan dan ilmu tentang kekuasaan. Esensi dari
politik biasanya dikaitkan dengan usaha penyelesaian konflik antarmanusia,
proses pembuatan keputusan dan pengembangan kebijakan dengan menggunakan
otoritas yang bersumber dari nilai-nilai tertentu sehingga keputusan yang diambil
mempunyai pengaruh dalam masyarakat.
Pembicaraan politik tidak bisa dilepaskan dari ruang politik, sehingga
politik menjadi suatu yang konkret berupa tindakan politik yang menunjukkan
interaksi baik interaksi fisik maupun interaksi simbolik, yang diperlihatkan
melalui berbagai bentuk tingkah laku, penampilan diri, gaya hidup, kebiasaan dan
kepemilikan objek-objek. Di samping itu politik juga merupakan aktivitas abstrak
yang dibaliknya beroperasi ide, gagasan, atau keyakinan-keyakinan tertentu yang
dinamakan ideologi politik (Piliang, 2005: 17). Ideologi politik merupakan
himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma , kepercayaan, dan keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang menentukan tingkah laku
politiknya dan sikapnya terhadap kejadian dan permasalahan politik yang
dihadapi.
Seperti telah disebutkan dalam Bab I, pergulatan bukanlah suatu konsep
yang sudah dimengerti (baku) dalam dunia akademik, sehingga bisa dijelaskan
34
dalam berbagai cara. Dengan mengacu pada pendapat tim peneliti yayasan
Interseksi, pergulatan diartikan sebagai suatu proses interaksi yang masih dan
akan terus terjadi antara perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini muncul
suatu model yang dalam Cultural Studies disebut dengan kontestasi, resistensi,
dan konvergensi (M.Nurkhoiron, 2005 : 50).
Secara operasional yang dimaksud dengan pergulatan politik adalah
perjuangan yang telah dilakukan oleh kaum perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana periode 2009 – 2014. Di lembaga legislatif mereka telah
berjuang di berbagai alat kelengkapan Dewan mulai dari fraksi, komisi, badan
musyawarah, badan legislasi, panitia khusus dan lain-lain. Di samping itu kaum
perempuan yang duduk di DPRD Kabupaten Jembrana juga melakukan berbagai
aktivitas di luar gedung DPRD melalui berbagai kegiatan seperti bertemu dengan
konstituennya pada masa reses, kunjungan kerja di dalam daerah dan di luar
daerah, rapat konsultasi dan koordinasi, dan bimbingan teknis.
2.2.2 Perempuan
Konsep perempuan berkaitan dengan istilah jenis kelamin (sex) yang
dibedakan dengan konsep gender. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakun, memproduksi
sperma; sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat produksi
seperti rahim dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur,
memiliki alat vagina, mempunyai alat menyusui (Surya Dharma, 2002: 4-5).
Dalam pemahaman yang lebih luas setiap orang, baik laki-laki maupun
35
perempuan dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak yang sama.
Hak-hak ini dimiliki oleh setiap manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat. Di samping pengertian perempuan secara biologis ada juga yang
memberikan pengertian perempuan dari ciri-ciri batinnya (psikologis). Istilah
perempuan berasal dari kata dasar pu atau empu, kemudian mendapat awalan pe
dan akhiran an yang artinya mereka yang dicintai, baik, dimuliakan dan membawa
kesejahteraan, dihormati dan diutamakan. Makna kata perempuan di atas
menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sangat mulia dan
dihormati. Apabila makna tersebut diimplementasikan dalam realitas kehidupan
mestinya tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Namun dalam realitasnya
kadang-kadang terjadi penyimpangan-penyimpangan dari idealitasnya.
Konstruksi sosial budaya yang dijiwai oleh ideologi patriarki mengakibatkan
posisi perempuan tersubordinasi. Pelabelan yang diberikan oleh masyarakat laki-
laki dikategorikan sebagai mahluk yang aktif/kreatif, rasional/pikiran, dan
mahluk budaya sedangkan perempuan adalah mahluk yang pasif, emosional, dan
makluk alamiah/natural. Sebagai makluk yang emosional dalam masyarakat Bali
perempuan diberi label luh yang artinya air mata (Atmadja, 2008) sehingga
dianggap tidak layak mengerjakan pekerjaan yang penuh dengan tantangan
seperti beraktivitas dalam dunia politik praktis.
Dalam budaya Jawa hubungan antara laki-laki (suami) dengan perempuan
(istri) digambarkan dalam karya sastra Serat Centini. Dijelaskan bahwa hubungan
suami istri menggunakan lambang jari-jari tangan manusia, seperti jari jempol
(pol,) maksudnya sepenuhnya harus menuruti kehendak suami; jari telunjuk
36
(penuduh, tuduh) artinya perintah, istri wajib mengikuti segala perintah suami;
jari tengah (penunggul, unggul) maksudnya istri wajib mengunggulkan suaminya;
jari manis, maksudnya seorang istri harus bermuka dan berkata manis terhadap
suaminya; jari kelingking (jejenthik) artinya seorang istri harus pandai dan
terampil melayani suami (Astiti, 2001: 15) Dalam Serat Sentini dijelaskan bahwa
untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berkeluarga seorang istri harus setia
kepada suaminya. Dalam budaya Jawa ada ungkapan bahwa perempuan (istri)
sebagai konco wingking (teman di belakang), artinya perempuan (istri) tidak
diperkenankan untuk mengetahui pembicaraan suaminya apabila menerima tamu,
cukup berada di belakang untuk mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan
kepada tamu suaminya.
Secara operasional yang dimaksud dengan perempuan dalam penelitian
ini adalah perempuan yang tinggal di Bali khususnya di Kabupaten Jembrana
dan berhasil menduduki kursi legislatif khususnya di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana periode 2009 – 2014, yaitu Yuhal Waidah, Ni Made Sri
Sutharmi, Ketut Tresnawati Bulan, Ni Nengah Rasmini, Ni Ketut Mertiasih, dan
Siti Ulfa.
2.2.3. Lembaga Legislatif
Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi dari badan ini adalah
membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai adalah assembly yang
mencerminkan bahwa lembaga itu mengutamakan unsur berkumpul untuk
membicarakan masalah-masalah publik. Ada juga yang memberi nama lain
kepada badan ini yaitu parliament yang menekankan unsur bicara dan
37
merundingkan. Sebutan lain yang lebih mengutamakan representasi atau
keterwakilan anggota-anggotanya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (People’s
Representative Body). Apa pun nama yang diberikan kepada badan ini secara
esensial badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat (Miriem
Budiardjo, 2008: 315). Munculnya lembaga perwakilan merupakan konsekwensi
dari berkembangnya demokrasi tidak langsung (indirect democracy) dalam
sistem pemerintahan negara. Di Indonesia lembaga perwakilan atau parlemen
disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) untuk daerah Provinsi dan kabupaten/kota.
Secara operasional yang dimaksud dengan lembaga legislatif dalam
penelitian ini adalah lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana khususnya
anggota legislatif periode 2009 – 2014.
2.2.4. Era Reformasi
Menurut Hornby (1987), reformasi berasal dari kata to reform (Bahasa
Inggris) yang artinya membuat atau menjadi lebih baik dengan menghilangkan
atau memperbaiki apa yang buruk atau yang salah. Istilah reformasi pada awalnya
dikumandangkan oleh orang-orang Protestan yang menetang otoritas gereja di
bawah pimpinan Paus di wilayah Eropa pada abad XVI ( Hayes, 1956: 501).
Protestantisme merupakan revolusi menentang kekuasaan Gereja, menolak
perantara para imam dan setiap individu ingin berhubungan langsung dengan
Tuhan. Gerakan reformasi yang terjadi di Eropa Barat di samping menyangkut
masalah keagamaan juga berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, dan sosial
( Bury, 1963: 67).
38
Era reformasi di Indonesia yang ditandai oleh gerakan kaum intelektual,
mahasiswa yang didukung oleh masyarakat merupakan gerakan pro-demokrasi
yang menuntut perubahan terhadap UUD 1945. Gerakan ini diawali oleh tuntutan
agar Presiden Soeharto meletakkan jabatan atau mengundurkan diri sebagai
presiden. Setelah Soeharto turun dari jabatannya pada bulan Mei 1998 dan
digantikan oleh B.J. Habibie. Habibie merupakan presiden baru yang dinilai oleh
banyak kalangan lebih akomodatif terhadap ide-ide pembaharuan dan demokrasi.
Salah satu perubahan yang paling mendasar adalah perubahan UUD 1945
(Palguna, 2009: 1-3).
Menurut Ramlan Surbakti (2009), reformasi politik di Indonesia pada
dasarnya dapat dipilah menjadi dua periode, yaitu periode liberalisasi sistem
politik dan periode amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
beserta penjabaran UUD ke dalam berbagai undang-undang dan pelaksanaannya.
Era reformasi ditandai oleh lahirnya berbagai produk undang-undang yang
mencerminkan suatu era demokrasi, seperti undang-undang tentang partai politik,
undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tetang
pemerintahan daerah dll.
Penyelenggaraan Pemilu pertama di era reformasi pada tahun 1999
memperlihatkan kemunduran perjuangan kaum perempuan Indonesia di ranah
politik karena hasil pemilu secara nasional representasi perempuan di lembaga
legislatif hanya 9 persen. Realitas ini menjadi tantangan bagi perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya dalam bidang politik. Perjuangan yang dilakukan
oleh kaum perempuan yang dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat untuk
39
membela hak-hak politik perempuan akhirnya membuahkan hasil dengan adanya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Tahun 2004.
Pasal 65 ayat 1 secara spesifik menyebutkan setiap partai politik peserta pemilu
dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Lahirnya undang-
undang tersebut merupakan momentum bagi perempuan Indonesia untuk terjun
ke ranah politik praktis dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat khususnya
kaum perempuan di era reformasi.
Secara operasional era reformasi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah suatu masa terjadinya perubahan politik yang lebih mengarah ke
demokratisasi khususnya di bidang politik. Gerakan reformasi adalah gerakan
kaum intelektual yang berpengaruh ke seluruh pelosok wilayah Republik
Indonesia. Era reformasi ditandai oleh lahirnya berbagai produk undang-undang
yang mencerminkan suatu era demokrasi seperti, undang-undang tentang partai
politik, undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kaum
perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik praktis.
2.3. Landasan Teori
Teori hanyalah suatu penjelasan sistematis tentang fakta-fakta yang
diamati berkenaan dengan aspek kehidupan tertentu. Di dalam teori terkandung
tiga unsur, yakni konsep, variabel, dan pernyataan. Berbeda dengan teori, konsep
adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu
40
bidang ilmu, yang bisa juga disebut sebagai penjabaran abstrak dari teori. Konsep
yang bersifat abstrak ini harus dijabarkan melalui variabel ((Sumardjono, l996 :
20).
Teori merupakan alat yang penting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa teori
berarti hanya ada serangkaian fakta atau data saja, dan tidak ada ilmu
pengetahuan. Fungsi teori adalah menyimpulkan generalisasi fakta yaitu
memberikan kerangka orientasi untuk menganalisis dan mengklasifikasikan fakta
dan juga untuk meramalkan gejala-gejala baru dan mengisi kekosongan
pengetahuan tentang gejala-gejala baru (Abdulah, 1989: 4).
Fungsi teori adalah untuk memberikan jawaban sementara terhadap suatu
permasalahan; memberikan arahan dalam melacak data serta menentukan seleksi
dalam pengamatan dan pengumpulan data. Teori juga berfungsi untuk
membentuk perspektif terhadap objek studi, menentukan jenis pendekatan yang
digunakan dan membantu mengorganisir data atau fakta dalam pikiran peneliti
sehingga tercipta semacam struktur yang menuntunnya untuk melakukan suatu
rekonstruksi (Kartodirdjo, 1992: 224-225)
Apapun pengertian dan fungsi teori yang dikemukan oleh para ahli,
namun harus tetap digarisbawahi, bahwa tidak ada teori yang menyediakan
jawaban, tetapi sebaliknya menyediakan pertanyaan sebagai perlengkapan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Dengan demikian, penggunaan
teori dalam studi ini, yang bukan untuk menguji keabsahaannya, melainkan hanya
sebagai landasan berpikir.
41
Dengan pemahaman seperti itu, maka perlu disampaikan teori utama yang
dijadikan landasan berpikir studi ini, yaitu teori struktural generatif dari Pierre
Bourdieu, seperti dijelaskan di bawah ini.
2.3.1 Teori Strukturalisme Generatif
Pierre Bourdieu menggunakan rumus (Habitus x Modal) + Ranah =
Praktik, untuk menjelaskan suatu proses yang kompleks dalam hubungan antara
Agensi (manusia) dan Struktur ( Harker, 2009: 1-32). Dalam teori tersebut
Bourdieu berusaha menyatukan tindakan, kekuasaan, dan perubahan dalam
kerangka pemikiran strukturalis (Sutrisno, 2005: 124). Oleh karena itu, Bourdieu
lebih suka menyebutnya sebagai teori strukturalisme konstruktivis, sebab melalui
konsep ‘konstruktivis’ yang melekat dalam teori tersebut, Bourdieu ingin
menekankan bahwa struktur-struktur objektif secara tidak sadar berperan dalam
mengorientasikan dan membatasi praktik sosial (Cheleen Mahar, et al., dalam
Harker, 2009 : 30). Akan tetapi Harker, (2009, 4), lebih suka menyebutnya
dengan nama strukturalisme generatif.
Penamaan yang diberikan oleh Harker dan kawan-kawannya tampak
lebih mudah dimengerti, karena secara leksikal generatif ditandai dengan adanya
pembuahan. Berdasarkan hal itu Nyoman Wijaya menyarankan supaya tidak
membaca rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik secara matematika,
melainkan biologi. Oleh karena itu tanda x bukan merupakan suatu perkalian,
melainkan peleburan (perkawinan), sedangkan tanda = bukan berarti sama atau
setara dengan, melainkan pembuahan ( Wijaya, 2015: 6-7)
42
Jadi, habitus harus dikawinkan dengan modal lalu ditambahkan dengan
ranah, sehingga akan membuahkan sebuah praktik sosial. Artinya, untuk bisa
melakukan praktik sosial di masyarakat, manusia tidak bisa hanya mengandalkan
habitus saja, sebab diperlukan juga modal. Habitus dan modal yang bagus bisa
saja menghasilkan praktik sosial, namun jika tidak berada dalam ranah yang tepat,
maka tidak akan bisa melakukan praktik sosial yang baik. Modal bisa dikonversi
sesuai dengan ranah atau arena kehidupan yang dipilihnya. Habitus juga bisa
dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara
tidak sadar dianggap alamiah. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat
pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas.
Teori tersebut di atas merupakan landasan berpikir untuk membicarakan
hubungan dialektik antara habitus dan lingkungan (ranah). Habitus berada di
dalam pikiran manusia sedangkan lingkungan berada di luarnya, namun keduanya
saling berkaitan dan memengaruhi. Habitus adalah struktur mental (kognitif),
yang digunakan manusia untuk menghadapi kehidupan sosial. Melalui pola-pola
itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara
dialektika habitus adalah “produk intermalisasi (penghayatan) struktur” dunia
sosial ( Ritzer, 2004: 522).
Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman
individu berhubungan dengan individu-individu lain dalam jaringan struktur
objektif yang berada di dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-
skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda yang ada dalam
realitas sosial. Dalam hidupnya, manusia memiliki sekumpulan skema yang
43
terinternalisasi. Melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami,
menghargai serta mengevalusi realitas sosial tersebut (Harker, 2009: xviii).
Apabila dimasukkan ke dalam skema kehidupan sosial dalam kaum
perempuan Hindu di Bali pada umumnya, mereka akan selalu meningkatkan
kualitas hidup yang menyenangkan dan menguntungkan. Hal itu tidak cukup
dilakukan melalui pendidikan dan pekerjaan, tetapi juga patuh pada adat dan
agama, sebab jika tidak mereka (terutama yang sudah berkeluarga), akan
dikucilkan bahkan dimusuhi oleh lingkungan keluarga suaminya. Oleh karena itu
mereka harus menghindari praktik pengucilan tersebut. Demi mencapai tujuan
itu, kaum perempuan akan berusaha berbuat sesuai dengan nilai-norma yang
berlaku. Oleh karena hal itu dilakukan secara terus-menerus dalam waktu lama,
maka dia berubah menjadi habitus.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, habitus adalah nilai-
nilai sosial yang dihayati oleh manusia. Habitus tercipta melalui proses sosialisasi
nilai-nilai yang berlangsung begitu lama. Oleh karena itu dia mengendap menjadi
cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Jika
konsep habitus diaplikasikan pada diri perempuan Bali, dapat dikatakan
rendahnya partisipasi mereka dalam dunia politik, karena sebagian dari mereka
memiliki habitus yang tepat untuk menjadi seorang yang toleran terhadap
kepentingan laki-laki, sehingga yang lebih penting dalam kehidupan ini bukan
untuk mengurus diri sendiri, melainkan kepentingan keluarga, suami dan anak-
anak.
44
Selain habitus, rendahkan partisipasi perempuan Bali Hindu dalam
berpolitik juga harus dilihat dari modal yang mereka miliki. Dalam teori struktural
generatif sudah tampak jelas, bahwa seseorang tidak akan bisa bertahan hidup
kalau hanya mengandalkan habitus, sebab dibutuhkan pula modal. Modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi
di dalam ranah. Setiap Ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal
khusus agar dapat hidup secara baik dan dapat bertahan di dalamnya ( Harker,
2009: xviii). Jumlah dan bobot modal yang dimiliki seseorang sangat menentukan
posisinya dalam lingkungan kehidupan. Dengan memiliki modal yang kuat dan
banyak, dia dapat mempertahankan atau merebut arena yang dia kehendaki. Jadi
modal yang memungkinkan seseorang untuk mengendalikan nasibnya sendiri
maupun nasib orang lain ( Ritzer 2003: 523-524).
Bourdieu menyebutkan ada empat tipe modal, yakni ekonomi, kultural,
sosial, dan simbolik. Modal ekonomi adalah uang. Modal budaya meliputi
berbagai pengetahuan yang sah. Modal sosial terdiri atas hubungan sosial yang
bernilai antarindividu, sedangkan simbolik berasal dari kehormatan dan prestise
seseorang (Ritzer, 2003: 525-526). Modal berperan sebagai sebuah relasi sosial
yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran. Dia harus ada di dalam sebuah
ranah, agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Jadi dengan memiliki modal, maka
memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam
hidup. Modal itu akan diperoleh jika orang memiliki habitus yang tepat dalam
hidupnya (Harker, 2009 : 16).
45
Andaikan hanya mengandalkan habitus dan modal saja, sekalipun sudah
dipertukarkan sedemikian rupa, tidak akan berhasil menjamin kesuksesan dalam
kehidupan sosial jika tidak memperhitungkan ranah. Menurut Bourdieu, seperti
dijelaskan oleh Takwin (Harker2009: xviii), ranah merupakan jaringan relasi
antarposisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari
kesadaran individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif antarindividu, namun
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbetuk secara spontan.
Ranah (jaringan relasi posisi-posisi objektif) terbentuk dalam proses interaksi
seseorang dengan pihak luar. Ranah merupakan metafora untuk menggambarkan
kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang
dikandungnya.
Ranah mengisi ruang sosial. Ruang sosial mengacu pada keseluruhan
konsepsi tentang dunia sosial. Ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri atas
beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan satu sama lainnya, serta
sejumlah titik kontak. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori
kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai
bentuk modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya berhubungan
dengan individu lain dan berbagi realitas sosial yang menghasilkan tindakan-
tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya. Dalam suatu ranah
ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan
orang yang tidak memiliki modal (Harker, 2009: xviii).
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan ranah atau arena adalah
ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam ranah, seperti arena
46
pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin
berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan modal yang
tepat. Akan tetapi dalam lingkungan politik di parlemen, yang dibutuhkan oleh
seorang politisi adalah kemampuan untuk melakukan konversi modal. Sebagai
contoh, modal budaya harus bisa dikonversi menjadi modal sosial, demikian pula
modal ekonomi. Fleksibililtas konversi modal ini sangat dipentingkan, yang
umumnya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang-orang yang memiliki habitus
politik.
Sekalipun demikian banyaknya yang bisa digunakan dari teori Bourdieu
di atas, namun teori tersebut belum mampu menangkap relasi-relasi kuasa yang
terdapat di dalam wacana rendahnya partisipasi dan gagalnya perempuan Bali
dalam pergulatan politik di lembaga parlemen. Oleh karena itu diperlukan teori
sosiologi kritis lainnya seperti yang diterangkan di bawah ini.
2.3.2. Teori Wacana Relasi Kuasa dan Pengetahuan.
Teori wacana relasi kuasa dan pengetahuan Foucault menjelaskan bahwa
suatu persoalan dapat dianalisis bukan melalui pemahaman bahwa manusia
digerakkan oleh nilai yang mereka anut, melainkan hanya berkompromi dengan
wacana-wacana yang tersembunyi di balik kekuasaan; artinya nilai-nilai dan
norma-norma bukan menjadi pendorong utama masyarakat (perempuan) dalam
berpikir, berkata, dan berbuat. Menurut Piliang (2003: 223) bahwa pada setiap
wacana terdapat relasi yang saling terkait antara ungkapan wacana, pengetahuan
(knowledge) yang melandasi, dan relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya.
Setiap wacana menyatu dengan kekuasaan yang beroperasi di baliknya; dan juga
47
tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan yang tersembunyi di baliknya, yang
merupakan produk dari praktik kekuasaan. Kekuasaan bersifat plural tidak
sentralistik, tumbuh dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.
Teori wacana relasi kuasa dan pengetahuan Foucault digunakan untuk
memehami perilaku dan tindakan perempuan anggota legislatif di Kabupaten
Jembrana yang tidak didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mereka anut,
melainkan hanya berkompromi dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan,
yakni suami dan penguasa partai politik. Hal ini sejalan dengan pandangan
Foucault yang menyatakan bahwa sejarah lebih memiliki bentuk peperangan
daripada sebuah bahasa, jadi sejarah bukan relasi-relasi makna melainkan relasi-
relasi kekuasaan (Wijaya , 2012: 36). Supaya dapat memahami relasi-relasi
kekuasaan, Foucault menyarankan mencari dan menemukan kekuasaan di
tempat-tempat yang tersulit; salah satunya adalah pada usaha pendisiplinan tubuh
yang dikenal dengan kuasa disiplin. Tujuan dasar kuasa disiplin adalah
memproduksi manusia atau individu yang dapat diperlakukan sebagai tubuh yang
patuh sekaligus produktif. Teknologi disiplin berkembang dan menjadi sempurna
dalam bengkel-bengkel kerja, tangsi-tangsi tentara, penjara-penjara, dan rumah
sakit. Untuk memahami relasi kuasa yang berhubungan dengan pergulatan
perempuan dalam lembaga legislatif nampaknya peranan lembaga-lembaga
tradisional, seperti keluarga, dadya, kawitan, banjar, desa adat sangat signifikan
dalam memproduksi individu yang taat dan patuh. Pendisiplinan individu-
individu terutama perempuan bisa berkembang dalam lembaga-lembaga
tradisional terutama di tingkat desa adat yang ditopang oleh berbagai peraturan-
48
peraturan (Awig-awig). Menurut Foucault di dalam masing-masing lembaga-
lembaga tersebut terdapat tujuan yang sama yakni perkembangan paralel dalam
kegunaan dan kepatuhan individu dan masyarakat.
Menurut Foucault (dalam Petrus Sunu Hardiyanta, 1997: 24) untuk
menjadikan individu disiplin dan berguna, digunakan tiga mekanisme hukuman
yang berkembang di Eropa hingga abad XVIII. Setelah itu digantikan dengan
anatomi politik, artinya tubuh tidak lagi dihukum siksa, melainkan dilatih, diatur
dan dibiasakan untuk melakukan aktivitas yang berguna. Individu dicatat,
dikelompokkan, diawasi terus menerus supaya menjadi individu yang patuh dan
berguna. Di dalam mekanisme kuasa seperti itulah pengetahuan atas individu
lahir. Mekanisme kuasa ala Foucault ini akan dapat digunakan untuk menjelaskan
terjadinya pengelompokan perempuan di dalam lembaga-lembaga tradisional
seperti krama istri, maupun lembaga-lembaga modern seperti Dharma Wanita,
PKK, dan Departemen Perempuan dalam Partai Politik.
2.3.3. Teori Posfeminisme
Dalam menganalisis permasalahan kedua dan ketiga digunakan teori
feminis. Para peneliti yang menaruh perhatian tentang studi perempuan
mempunyai persamaan dalam sikap dan keyakinan mengenai cara memahami
perempuan dan permasalahannya, artinya menggunakan cara pandang, optik dari
sudut pandang perempuan yang lebih dikenal sebagai perspektif perempuan.
Istilah perspektif perempuan digunakan sebagai terjemahan dari “feminist
perspektif”. Menurut Saparinah Sadli (1995: 24), suatu perspektif yang pada
dasarnya mencerminkan pemikiran feministik mengandung pengertian sebagai
49
berikut pertama, bahwa perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama
manusia yang mempunyai potensi (kemampuan untuk berkembang); kedua,
bahwa karakteristik tentang perempuan sebagai tidak kompeten, lemah, tidak
mandiri merupakan konstruksi budaya dan karenanya perlu diimbangi dengan
gambaran tentang perempuan yang inteligen, mandiri, sukses, etis dan ciri lainnya
yang positif; ketiga, bahwa perempuan juga mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan mungkin untuk ikut memberi
arah pada perkembangan sosial, ekonomi, politik dan pribadi; keempat, bahwa
berbagai kualitas manusia yang dapat mendukung terciptanya kualitas hidup
positif, dapat dan perlu dikembangkan dalam diri perempuan dan laki-laki;
kelima, bahwa berbagai kepercayaan dan sikap yang berlaku bagi perempuan
banyak dipengaruhi oleh mitos dan stereotip yang berlaku bagi perempuan, dan
bahwa pengaruh sosio-budaya yang merugikan perkembangan status dan diri
perempuan tersebut dapat dubah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang
mendasari berkembangnya pemikiran feministik adalah anggapan adanya distorsi
tentang apa dan siapa perempuan.
Menurut Ritzer dan Goodman (2004:80) teori feminis dikembangkan dari
perspektif yang berpusat pada perempuan dan mencoba memahami perempuan
dari tiga hal. Pertama, sasaran studi, titik tolak seluruh penelitiannya adalah
situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Kedua, perempuan
dijadikan sasaran penelitian, artinya mencoba memahami dunia sosial khusus dari
perspektif perempuan. Ketiga, teori-teori feminis dari pemikir kritis
dikembangkan untuk kepentingan perempuan dalam usaha untuk membuat
kehidupan yang lebih baik bagi kaum perempuan. Teori feminis bertolak dari
50
pertanyaan sederhana: “apa dan bagaimana dengan perempuan?” Pertanyaan
sederhana ini apabila dikembangkan lebih jauh akan memunculkan pertanyaan
yang lebih rumit dan rinci seperti di mana perempuan berada dalam situasi yang
diteliti? Bila ditemukan bahwa perempuan tidak berperan, mengapa hal itu bisa
terjadi? Bila perempuan berperan, apa sebenarnya yang dilakukan? Bagaimana
mereka mengalami situasi ? Apa yang mereka sumbangkan untuk itu? Apa artinya
bagi mereka? (Ritzer, 2004: 82). Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan
dicoba untuk menelusuri mengapa perempuan belum berperan secara optimal
pada lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi.
Secara umum feminisme menekankan bahwa perbedaan jenis kelamin
merupakan poros organisasi sosial yang bersifat mendasar dan inti. Feminisme
memusatkan perhatian pada jenis kelamin sebagai prinsip pengatur kehidupan
sosial yang dipenuhi oleh hubungan kuasa yang membuat perempuan tunduk
kepada laki-laki (Barker, 2005: 226). Pembicaraan perempuan dari segi teori
feminis melibatkan masalah gender, bagaimana perempuan tersubordinasikan
secara kultural. Demikian juga analisis memasalahkan perempuan dalam
kaitannya dengan tuntutan persamaan hak sebagai emansipasi. Pembicaraan
terbatas hanya menampilkan usaha-usaha persamaan hak kaum perempuan dalam
masyarakat termasuk ke dalam studi emansipasi. Studi gender juga mengangkat
masalah emansipasi tetapi dengan cara memasukkan ke dalam kerangka dan
model-model kebudayaan yang mendasarinya, sehingga tampak dengan jelas
bahwa kerangka kultural itulah yang mengakibatkan perempuan berada dalam
posisi tertindas. Model-model penindasan yang dialami oleh perempuan sangat
ditentukan oleh kerangka kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena itu terdapat
51
perbedaan penerimaan warisan, pelaksanaan sistem poligami, perbedaan upah
laki-laki dan perempuan dalam setiap kebudayaan suatu masyarakat (Kutha
Ratna, 2005, Agger, 2005: 200). Keterpinggiran perempuan dalam berbagai
sektor kehidupan khususnya dalam bidang politik bersumber pada faktor ideologi
yang terkait dengan budaya patriarki sehingga perempuan berada pada posisi
marjinal. Untuk mengungkap permasalahan ini digunakan teori posfeminisme.
Kata pos merujuk pada proses tranformasi dan perubahan yang sedang
berlangsung. Dengan demikian posfeminisme dapat dipahami sebagai
perjumpaan kritis dengan patriakis sama halnya dengan posmodernisme sebagai
pertemuan kritis dengan prinsip-prinsip modernisme. Hal ini tidak
mengasumsikan bahwa baik wacana dan kerangka pikiran patriarki maupun
modernisme telah digantikan atau dicampakkan. Sebagaimana dikatakan oleh
Spoonley (Brooks, 1997: 2) kata pos dalam poskolonialisme merujuk pada
perlawanan yang terus menerus terhadap efek penindasan kolonial. Sebagai
tahapan evolusi gerakan feminisme, posfeminisme dipahami sebagai kerangka
referensi konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminism dengan
sejumlah gerakan antifondasionalis lainnya termasuk posmodernisme,
posstrukturalisme, dan poskolonialisme, sebagaimana dikatakan oleh Yeatman
(Brooks, 1997: 1)
Telah tiba waktunya bagi feminism, kematangan menjadi tubuh teori dan
politik yang percaya diri, merepresentasikan pluralisme dan perbedaan, serta
merefleksikan posisinya dalam hubungan dengan gerakan filsafat dan politik
yang sama-sama menuntut perubahan. Selama ini gerakan perempuan telah
berupaya untuk menciptakan perubahan dalam kehidupan perempuan. Gerakan
52
perempuan yang telah berlangsung seperti di negara Amerika Serikat selama tiga
dekade silam telah mengakibatkan perubahan dalam organisasi keluarga, kerja,
gender, bersamaan dengan munculnya feminisme gelombang kedua.
Posfeminisme dipandang sebagai gerakan yang muncul menanggapi kelemahan
dan kegagalan yang dialami oleh feminisme gelombang kedua. Ada juga yang
menganggap bahwa posfeminisme merupakan kelanjutan dari feminisme. Brooks
(1997), menyatakan bahwa posfiminisme tidak anti feminisme; posfeminisme
hanya menantang asusmsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi
feminis kelombang kedua yang menganggap bahwa penindasan patriarki dan
imperialisme adalah pengalaman penindasan yang universal. Dalam
kenyataannya, perempuan tersebar dalam berbagai kelas sosial, pengelompokan
rasial dan etnis, komunitas seksual, subkultur, dan agama, yang berarti pula tiap
perempuan akan merasakan pengalaman dan kesadaran personal yang berbeda
pula. Posfeminisme ditelaah dalam pertemuannya dengan konsep-konsep politis
dan teoritis serta strategi-strategi feminisme terdahulu sebagai hasil
persinggungan dengan gerakan-gerakan sosial lainnya yang sama-sama berjuang
untuk perubahan. Istilah posfeminisme telah menciptakan pergeseran konseptual
di dalam feminisme dari debat sekitar persamaan ke debat yang difokuskan pada
perbedaan.
Berkembangnya posfeminisme merupakan pergulatan dalam feminis
sebagai hasil dari pertemuan dengan konsep-konsep politis dan berbagai strategi
feminisme terdahulu sehingga dapat merumuskan perubahan dalam perjuangan
perempuan. Posfeminisme merepresentasikan suatu gerakan yang dinamis yang
mampu menantang kerangka berpikir kaum modernis, patriarki dan imperialis,
53
yakni di samping memusatkan perhatian pada tuntutan dari budaya yang
dimarjinalkan, diaspora, dan yang dikoloni, juga mampu memberikan suaranya
kepada feminism lokal, pribumi, dan poskolonial.
Dalam konteks pergulatan politik perempuan dalam kancah legislatif di
Kabupaten Jembrana ada upaya dari kaum perempuan untuk mengidentifikasi
keterpinggirannya dalam ranah publik khususnya dalam kehidupan politik.
Budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua yang
tidak layak memainkan peranan dalam politik sudah saatnya untuk
direinterpretasi sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat terutama
kemajuan dalam bidang pendidikan. Kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh
seseorang menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan aktivitas dalam bidang
politik dan mengakui serta memahami “perbedaan” dalam melakukan aktivitas
sosial. Hal ini menjadi fokus teori posfeminisme sebagai pertemuan kritis dengan
teori feminisme yang menuntut “persamaan” khususnya dalam ranah politik.
Dalam konteks penelitian ini teori posfeminisme dapat digunakan untuk
menganalisis dan membedah permasalahan nomor dua dan nomor tiga yang
berkaitan dengan pergulatan perempuan dalam kancah legislatif di Kabupaten
Jembrana pada era reformasi.
2.3.4 Teori Hegemoni
Teori hegemoni dikembangkan oleh tokoh Maxis Italia Antonio Gramsci
(1891-1937). Pemikiran Gramsci dipengaruhi oleh teori-teori sosial yang
dikembangkan oleh Te Sorel serta Benedetto Croce. Menurut Croce sistem
kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang dilaksanakan oleh negara
54
disebutnya hegemoni (Davidson, 2002:201-210). Berbeda dengan pandangan
Marxis ortodoks, pandangan hegemoni tidak selamanya berarti suatu revolusi
kelas seperti yang dikemukakan oleh ajaran Marxisme ortodoks. Hegemoni akan
menggabungkan kekuatan dan kesepakatan. Kesepakatan itu akan melahirkan
warganegara yang melalui pendisiplinan diri warga akan menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang ditanamkan oleh negara. Hal ini terjadi karena
warganegaranya melihat hal itu adalah yang paling aman untuk bertahan hidup
dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan praktik-praktik yang sudah
terstruktur. Dengan kata lain kehidupan telah dikuasai oleh kekuasaan negara atau
kekuasaan publik yang telah merembes ke wilayah privat. Pengorganisir praktik-
praktik tersebut adalah kaum intelektual.
Hegemoni akan dicapai bila kelas atas melengkapi kekuatan ekonomi
mereka dengan menciptakan kepemimpinan moral dan intelektual. Untuk
mencapai kepemimpinan ini diadakan kompromi dengan kelas yang dipimpin
dalam rangka menghasilkan kesepakatan umum. Negosiasi maupun kesepakatan
merupakan istilah esensial dalam memahami hegemoni. Gagasan nilai dan
kepercayaan tidak dipaksakan dari atas, tidak juga berkembang dengan cara yang
bebas dan tidak disengaja, tetapi dinegosiasikan melalui serangkaian perjumpaan
dan bentrokan antara kelas-kelas yang ada dalam masyarakat (Sardar, 2002: 49).
Dalam teori hegemomi disebutkan kelas dominan menguasai kelas tertindas
dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah dominasi dengan
menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan
menggunakan pendekatan kepemimpinan politik dan ideologi. ( Adian, 2006: 30).
Oleh karena itu penggunaan istilah hegemoni menurut Gramsci harus dibedakan
55
dengan makna leksikalnya, yaitu penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa yang
lain. Gramsci menggunakan istilah hegemoni secara bergantian dengan
kepemimpinan atau pengarahan yang dilawankan dengan dominasi (Kutha Ratna,
2005: 119).
Menurut Gramsci ada tiga cara untuk membentuk gagasan yaitu melalui
bahasa, pendapat umum, dan folklor. Bahasa merupakan sarana utama dalam
penyebaran konsep, makin luas dan banyak bahasa yang dikuasai, maka makin
mudah penyebaran ideologi. Pendapat umum telah menjadi arena penting dalam
pertarungan ideologi, juga sebagai tempat dibangunnya ideologi, dan berfungsi
untuk melawan ideologi. Folklor pada umumnya meliputi sistem kepercayaan,
opini, dan takhyul juga berperan dalam menopang hegemoni, kekuatan yang
berfungsi mengikat masyarakat tanpa kekerasan. Menurut Pyke (Darwin,
2001: 24), ada tiga asumsi penting yang mendasari ideologi ini. Pertama,
kesepakatan-kesepakatan sosial yang sesungguhnya hanya menguntungkan
kepentingan kelompok yang dominan cenderung dianggap mewakili kepentingan
semua orang. Kedua, ideologi hegemonis seperti ini merupakan bagian dari
pemikiran sehari-hari, cenderung diterima apa adanya (taken for granted) sebagai
sesuatu yang memang demikianlah semestinya. Ketiga, dengan mengabaikan
kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan
dengan kelompok-kelompok subordinat, ideologi ini dianggap sebagai penjamin
kohesi dan kerjasama sosial sebab jika tidak demikian yang terjadi justru suatu
konflik.
Konsekuensi dari pandangan feminisme yang melihat hubungan laki-laki
dan perempuan sebagai masyarakat berkelas, menempatkan laki-laki sebagai
56
kelas atas dan perempuan sebagai kelas bawah. Posisi laki-laki sebagai kelas atas
secara ideologi berarti laki-laki memiliki modal kekuasaan yang lebih dari
perempuan. Di samping secara ideologi laki-laki memiliki kekuasaan yang
dominan laki-laki juga menguasai infrastruktur material, artinya laki-laki
mempunyai modal lainnya yang lebih besar dari perempuan. Posisi laki-laki yang
lebih dominan karena akses yang diraih atas benda atau sumber (modal) selalu
lebih besar. Modal secara prinsip dapat dibedakan menjadi empat kategori, yakni
modal ekonomi, modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain
yang bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain), dan modal
simbolis (prestise dan gengsi sosial) ( Jenkins, 2004: 125).
Dalam sistem kekeluargaan yang patriarkis mengakibatkan laki-laki
memiliki basis ekonomi yang lebih kuat, karena laki-laki memperoleh warisan
harta benda dari orang tuanya. Di samping itu laki-laki memiliki modal budaya
atau modal intelektual yang lebih baik, modal tubuh yang lebih kuat sehingga
diposisikan sebagai pencari nafkah utama dan mempunyai kewajiban untuk
mendistribusikan penghasilan yang diperoleh kepada keluarga. Adat menetap
setelah menikah yakni patrilokal merupakan modal sosial yang mendukung
kekuasaan laki-laki karena jaringan kekerabatan laki-laki setelah menikah masih
kuat. Berbeda dengan perempuan setelah menikah masuk menjadi keluarga laki-
laki. Laki-laki berpeluang mempunyai kelebihan berbagai modal seperti modal
ekonomi, modal sosial, modal politik, dan modal budaya (Atmadja, 2008: 7-8).
Berdasarkan paparan teori hegemoni di atas dapat diduga bahwa
pergulatan perempuan dalam kancah legislatif Kabupaten Jembrana di era
reformasi dipengaruhi oleh ideologi hegemoni. Hegemoni laki-laki dalam
57
masyarakat tampaknya merupakan fenomena universal. Bangunan masyarakat
patrarkhis secara tradisional telah tertata rapi yang menempatkan laki-laki dalam
posisi superior terhadap perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Hegemoni
laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama,
hukum negara, dan lain sebagainya yang tersosialisasi secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Ideologi patriarkhi merupakan salah satu variasi dari
ideologi hegemoni, suatu ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok
terhadap kelompok yang lainnya. Dominasi kekuasaan seperti ini dapat terjadi
antarkelompok berdasarkan perbedaan jenis kelamin, agama, ras atau kelas
ekonomi. Teori hegemoni akan digunakan untuk menjelaskan dan memahami
relasi gender pada permasalahan pertama, kedua, dan ketiga yang berhubungan
dengan pergulatan politik perempuan Bali di kancah legislatif pada era reform
58
2.4. Model Penelitian.
Keterangan :
: Pengaruh
: Saling Mempengaruhi
: Hubungan
LembagaLegislatif
PartisipasiPerempuan
Politik
Ekonomi
Pendidikan
BudayaPatriarki
Pergulatan PolitikPerempuan di
Lembaga LegislatifKabupaten Jembranapada Era Reformasi
Implikasi dan MaknaPergulatan Politik
Perempuan
Bentuk – BentukPergulatan Politik
Perempuan
Faktor – Faktoryang Berpengaruh
BerhadapPergulatan Politik
Perempuan
Hasil Penelitian
59
Penjelasan Model Penelitian
Dalam kehidupan bernegara, pemerintah tidak membedakan akses
laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam ranah politik. Pasal 27 Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan kedudukan yang sama bagi setiap warga
negara Indonesia di hadapan hukum dan pemerintahan. Demi dapat
mendorong partisipasi kaum perempuan dalam bidang politik pemerintah telah
meratifikasi Konvensi PBB tentang penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan dan mengeluarkan berbagai produk undang-undang untuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai sektor kehidupan
khususnya dalam bidang politik.
Keikutsertaan perempuan dalam bidang politik khususnya sebagai
anggota legislatif sudah tampak sejak Pemilihan Umum pertama tahun 1955.
Sampai saat ini pemerintah Republik Indonesia telah berhasil
menyelenggarakan pemilu sebanyak delapan kali. Gambaran umum dari
partisipasi perempuan dalam politik khususnya dalam legislatif
memperlihatkan representasi yang sangat rendah. Selain rendahnya
representasi perempuan dalam kancah legislatif dalam arti kuantitas, maka ada
gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi
perempuan dalam kancah legislatif terkesan memainkan peranan sekunder
yang hanya digunakan sebagai pemanis atau penggembira karena rendahnya
pengetahuan mereka di bidang politik.
Rendahnya kemampuan politik kaum perempuan Bali khususnya
dalam bidang legislatif harus dipahami secara komprehensif. Lemahnya
sumber daya politik perempuan di samping karena faktor internal, kurang
60
percaya diri dan kurang memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya; juga
karena faktor eksternal. Faktor eksternal harus dilihat dari sisi budaya.
Konstruksi budaya Bali yang dijiwai oleh ideologi patriarkhi dan ideologi
gender menempatkan perempuan Bali dalam posisi tersubordinasi dan
terpinggirkan dalam setiap lini kehidupan khususnya dalam bidang politik.
Stereotip yang merujuk kelemahan sebagai karakter utama perempuan tampil
sebagai arus utama dalam praktek wacana keterlibatan perempuan dalam ranah
politik. Stereotip ini membawa masalah karena mengakibatkan stigmatisasi,
peminggiran terhadap perempuan yang terlibat dalam kancah politik praktis.
Ideologi tersebut juga merasuk kedalam tubuh negara sehingga berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh
negara masih merugikan kaum perempuan.
Globalisasi membawa berbagai pengaruh seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi. Teknologi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap
perempuan adalah teknologi kecantikan atau teknologi pengolahan tubuh dan
teknologi domestik. Di balik teknologi pengolahan tubuh tersembunyi
berbagai ideologi seperti penampilanisme, wajahisme, citraisme,
kecantikanisme dll (Atmadja, 2008: 13). Perempuan sering diidentikkan
dengan makluk dengan sifat biologis yang lebih konsumtif dibandingkan
dengan laki-laki. Steriotipe ini dikaitkan dengan perubahan gaya hidup yang
dipengaruhi oleh globalisasi yang melanda dalam berbagai sektor kehidupan.
Di media massa selain obyek bagi hasrat dan naluri laki-laki, perempuan juga
diposisikan sebagai subyek konsumen yang potensial mendatangkan
penumpukan kapital. Konsumtivisme, dengan kombinasi antara gaya hidup
61
dan cita rasa menjadi sangat melekat sebagai tipe perempuan ( Gunawan, 2009:
29). Banyaknya waktu, tenaga, modal ekonomi yang digunakan oleh kaum
perempuan untuk memanjakan dirinya berakibat makin melemahnya posisi
tawar perempuan khususnya dalam ranah politik.
Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah berimplikasi terhadap penguatan peran DPRD. Kebijakan otonomi
daerah memperluas hak dan peranan DPRD dalam berhadapan dengan
eksekutif jelas akan berdampak pada penguatan dan pemberdayaan DPRD.
DPRD mempunyai hak untuk menentukan anggaran sendiri sehingga berbagai
kebijakan yang dikeluarkan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan
pendapatan anggota legislatif di pusat maupun di daerah. Pendapatan anggota
dewan yang cukup besar rupanya menjadi salah satu daya tarik bagi anggota
masyarakat khususnya kaum perempuan untuk ikut bersaing memperebutkan
posisi di lembaga legislatif.
Disahkannya UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum tahun
2004 memberi peluang yang lebih besar kepada kaum perempuan untuk
bersaing memperebutkan posisi di lembaga legislatif. Amanat UU No. 12
Tahun 2003 khususnya pasal pasal 65 ayat 1 agar setiap partai politik
memperhatikan keterwakilan perempuan 30% untuk setiap daerah pemilihan
belum dapat dipenuhi oleh seluruh partai politik peserta pemilu. Kesulitan
mendapatkan calon legislatif perempuan karena kurangnya minat perempuan
Bali untuk terjun ke ranah politik dipengaruhi oleh sistem kekerabatan
patriarki. Sistem kekeluargaan yang patriarkis menempatkan laki-laki dalam
62
posisi yang lebih dominan sehingga laki-laki mempunyai peluang yang lebih
besar untuk menguasai berbagai sumber modal, seperti modal ekonomi,
nmodal sosial, modal politik, dan modal budaya. Keterbatasan penguasaan
modal mengakibatkan perempuan belum mampu bersaing secara optimal di
lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi.