kajian strategi pendanaan perguruan tinggi

181
LAPORAN KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI DIREKTORAT AGAMA DAN PENDIDIKAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BAPPENAS 2010

Upload: amin-sudarsono

Post on 01-Jul-2015

2.131 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dokumen kajian strategi pendanaan PT oleh BAPPENAS. Kajian ini penting bagi yang ingin tahu skema BHMN, di kampus UGM, ITB, UPI, UNHAS, UNS, dan PTN lain di Indonesia.

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

 LAPORAN 

KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI 

 

         

DIREKTORAT AGAMA DAN PENDIDIKAN              

 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 

BAPPENAS 2010

Page 2: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

1

BAB I  

PENDAHULUAN 

1.1. LATAR BELAKANG  

Sekalipun keberadaan perguruan  tinggi di  Indonesia sudah ada  sejak  tahun  1847 

yang ditandai dengan kelahiran School tot Opleiding van  Inlandsche Artsen (STOVIA) atau 

Sekolah  Kedokteran  Bumiputra,  namun  jika  ditelisik  dari  aspek  kebijakan,  kebijakan 

pendidikan  tinggi baru dimulai pada  1975. Yaitu, seiring munculnya Kebijaksanaan Dasar 

Pengembangan  Pendidikan  Tinggi  (KDPPT  I  1975‐1985).  Kebijakan  tersebut  memuat 

tujuan pengembangan, peran  dan  fungsi pendidikan  tinggi,  dasar  dan  arah pembinaan 

dan  pengembangan,  langkah  pembinaan,  kelembagaan  pendidikan  tinggi,  serta 

pembiayaan dan alokasi anggaran.   

Selanjutnya,  pada  periode  ke‐2  (1985‐1995),  pengembangan  pendidikan  tinggi 

diarahkan  pada  konsolidasi  hasil  yang  telah  diperoleh  selama  periode  pengembangan 

sebelumnya.  Pengembangan  tersebut  berupa  peningkatan  kapasitas  kelembagaan, 

infrastruktur, manajemen,  produktivitas,  relevansi  dan mutu.  Pada  periode  ke‐3  (1996‐

2005),  dibangun Kerangka  Pengembangan  Pendidikan  Tinggi  Jangka  Panjang  (KPPTJT) 

yang  ditujukan  untuk mengupayakan  perbaikan  sistem melalui  3  program  induk,  yaitu: 

penataan  sistem, dan peningkatan  relevansi dan mutu;  serta pemerataan. Saat  ini, kita 

berada  di  periode  ke‐4  (2003‐2010),  yaitu  Kerangka  Pengembangan  Pendidikan  Tinggi 

Jangka Panjang (Higher Education Long Term Strategy) yang difokuskan untuk menjawab 

tiga isu strategis, yaitu: daya saing nasional, dan otonomi PT, serta kesehatan organisasi.   

Berbagai upaya pemerintah dan masyarakat dalam membangun pendidikan tinggi 

telah  menunjukkan  hasil  yang  cukup  menggembirakan.  Hal  ini  ditunjukkan  dengan 

semakin meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang pendidikan tinggi yang 

telah mencapai 17,75 persen pada tahun 2008. (Evaluasi RPJMN 2005‐2008). Di samping 

perluasan akses, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan juga tak kalah pentingnya, 

bahkan menjadi kunci keberhasilan pendidikan tinggi.1 Dilihat dari sisi kualitas institusinya, 

pembangunan pendidikan tinggi sudah menunjukkan peningkatan yang ditandai dengan 

1 Terkait kualitas dan relevansi ini sangat penting sebagaimana disampaikan Nicholas Barr (2003), Clearly the quality and relevance of education  is central; the level of spending is relevant, but so is the responsiveness of the system to the needs of students, employers and other stakeholders.  

Page 3: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

adanya  tujuh PTN  yang masuk World  Top Universities  versi  The  Times Higher  Education 

Supplement  –  QS World  University  Rankings  (2005‐2009),  yaitu:  UI,  UGM,  ITB,  UNAIR, 

UNDIP dan IPB, serta UNIBRAW.  

Akan  tetapi,  pencapaian  pembangunan  pendidikan  tinggi  tersebut  jika 

dibandingkan  dengan  pencapaian  akses  dan  kualitas  pendidikan  tinggi  di  negara  Asia 

lainnya masih tertinggal sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 1.1. 

Gambar 1.1. Perbandingan APK Pendidikan Tinggi Asia 

91

42.7

32.5

28.1

20.3

17.26

0 20 40 60 80 100

Korea

Thailand

Malaysia

Philippina

China

Indonesia

               Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Rembugnas, 2008) 

 

Peningkatan APK pendidikan  tinggi  ditunjukkan  dengan  jumlah mahasiswa  yang 

dilayani  melalui  berbagai  jenis  perguruan  tinggi,  baik  negeri  maupun  swasta  yang 

meliputi: universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan politeknik. 

Tabel 1.1. Jumlah Perguruan Tinggi dan Mahasiswa 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Sumber: Diolah dari Data Statistik Pendidikan, Kemendiknas 2007/2008 

 

 Sumber : Diolah dari Data Statistik Pendidikan, Kemendiknas 2007/2008 

Negeri Swasta Total Negeri Swasta Total

Universitas 48 375 423 1139050 1412655 2551705

Institut 6 37 43 39027 104924 143951

Sekolah Tinggi 2 1186 1188 877 758620 759497

Akademi 0 884 884 0 245816 245816

Politeknik 26 116 142 58454 45864 104318

82 2598 2680 1237408 2567879 3805287

Universitas 6 86 92 70594 82968 153562

Institut 13 25 38 56531 23539 80070

Sekolah Tinggi 33 377 410 48453 286253 334706

Akademi 0 6 6 0 1729 1729

Politeknik 0 0 0 0 0 0

52 494 546 175578 394489 570067

Jumlah Lembaga Jumlah Mahasiswa

PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM

PERGURUAN TINGGI UMUM

Page 4: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

 

Ditilik  dari  ukuran  indeks  daya  saing,  Indonesia  mengalami  perbaikan  yang 

signifikan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.2.  

Tabel 1.2. Perkembangan Daya Saing Indonesia 2009‐2010 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3. Peringkat GCI Indonesia dan Asia Lainnya 

 

Sumber: World Economic Forum (WEF), 2010   

Namun  demikian,  pencapaian  Indeks  Daya  Saing  Global  (Global  Competitiveness 

Index)  tersebut masih  jauh  tertinggal dibanding negara Asia  lainnya,  seperti Singapore, 

Malaysia,  Thailand,  Jepang, Korea  Selatan dan China  sebagaimana  terlihat dalam Tabel 

1.3. 

Tabel 1.3. Peringkat Daya Saing Indonesia dibanding Negara Asia Lainnya 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   Sumber: World Economic Forum (WEF), 2010  

 

Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global

Indonesia(44)

Singapura(3)

Jepang(6)

Korea(22)

Malaysia(26)

Cina(27)

Thailand(38)

Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 66 5 20 15 49 60 59

5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 95 15 21 34 99 92 96

5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 89 30 34 1 73 88 54

5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 40 1 35 57 23 53 66

5.04 Kualitas Matematika dan Sains 46 1 28 18 31 33 57

5.05 Kualitas Manajemen Sekolah 55 6 65 47 35 63 58

5.06 Akses Internet di Sekolah 50 5 40 12 36 22 43

5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal

52 19 13 39 25 50 69

5.08 Pelatihan Staf 36 4 6 42 13 57 62

Pilar 12: Inovasi 36 9 4 12 24 26 52

12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 44 11 15 25 32 39 59

12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 38 6 19 23 22 25 42

12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 10 2 23 33 35 40

Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global

Indonesia(44)

Singapura(3)

Jepang(6)

Korea(22)

Malaysia(26)

Cina(27)

Thailand(38)

Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 66 5 20 15 49 60 59

5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 95 15 21 34 99 92 96

5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 89 30 34 1 73 88 54

5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 40 1 35 57 23 53 66

5.04 Kualitas Matematika dan Sains 46 1 28 18 31 33 57

5.05 Kualitas Manajemen Sekolah 55 6 65 47 35 63 58

5.06 Akses Internet di Sekolah 50 5 40 12 36 22 43

5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal

52 19 13 39 25 50 69

5.08 Pelatihan Staf 36 4 6 42 13 57 62

Pilar 12: Inovasi 36 9 4 12 24 26 52

12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 44 11 15 25 32 39 59

12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 38 6 19 23 22 25 42

12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 10 2 23 33 35 40

Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global (Indonesia) 2009-2010 2010-2011

Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 69 66

5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 93 95

5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 90 89

5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 44 40

5.04 Kualitas Matematika dan Sains 50 46

5.05 Kualitas Sekolah Manajeman 51 55

5.06 Akses Internet di Sekolah 59 50

5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal

48 52

5.08 Pelatihan Staf 33 36

Pilar 12: Inovasi 39 36

12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 43 44

12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 43 38

12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 31

Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global (Indonesia) 2009-2010 2010-2011

Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 69 66

5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 93 95

5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 90 89

5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 44 40

5.04 Kualitas Matematika dan Sains 50 46

5.05 Kualitas Sekolah Manajeman 51 55

5.06 Akses Internet di Sekolah 59 50

5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal

48 52

5.08 Pelatihan Staf 33 36

Pilar 12: Inovasi 39 36

12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 43 44

12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 43 38

12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 31

Page 5: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

Sebagaimana  jenjang  pendidikan  lainnya,  pembangunan  pendidikan  tinggi  juga 

masih menyisakan  permasalahan  terkait  pemerataan  akses, mutu  dan  relevansi;  serta 

otonomi  (tata  kelola).2  Terkait  pemerataan  akses,  jenjang  PT merupakan  yang  paling 

tinggi ketimpangan antara keluarga kurang mampu dan keluarga mampu. Susenas 2008 

menunjukkan jumlah mahasiswa dari keluarga tidak mampu hanya 9,3 persen, yaitu: 4,19 

persen  berada  di  kuantil  1  dan  5,10  persen  berada  di  kuantil  2.  Terkait  mutu,  hasil 

akreditasi  yang  dilakukan  BAN, misalnya, menunjukkan  keragaman  kualitas  PT.  Dalam 

konteks  global,  penilaian  dari  lembaga  internasional  semisal  THES  dan  Webometrik 

menunjukkan hanya sebagian kecil PT saja yang masuk kelas dunia. Selanjutnya,  terkait 

relevansi  juga  belum  menunjukkan  hasil  yang  signifikan  yang  ditandai  adanya 

kecenderungan  peningkatan  pengangguran  lulusan  PT  yang  mencakup  pendidikan 

diploma, akademi dan universitas, dari sekitar 585.348 pada tahun 2004 menjadi 673.628 

pada Agustus  2006 dan meningkat  lagi menjadi 961.001 pada Agustus  2008.  (Sakernas 

BPS 2004‐2008). 

Jika dikaitkan dengan  tingkat penyerapan dalam dunia kerja sebagai  refleksi dari 

relevansi pendidikan, pembangunan pendidikan tinggi masih menyisakan tantangan yang 

semakin  berat.  Tantangan  ini  ditunjukkan  dengan  adanya  kecenderungan  peningkatan 

angka pengangguran lulusan pendidikan tinggi sebagaimana tergambar dalam Gambar 1.2 

di bawah ini. 

2 D. Bruce Johnstone, Alka Arora & William Experton (1998) memetakan lima tema terkait pendidikan tinggi, yaitu:  (1)  expansion  and  diversification;  (2)  fiscal  pressure;  (3)  market:  (4)  the  demand  for  greater accountability; and (5) the demand for greater quality and efficiency. 

Page 6: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

Gambar 1.2. Potret Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi

92,77

8 144,4

63

348,

107

107,5

16 21

5,320

38

5,41

8

101,0

17 20

7,505

395,

538

102,5

80 19

4,605

375,

601

94,44

5 183,6

29

395,

554

151,0

85 17

9,231

409,

890

175,9

66

221,2

25

566,

588

269,2

69

250,5

98

626,

202

136,6

58 22

6,025

598,

318

-

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

2004 2005(Feb)

2005(Nov)

2006(Feb)

2006(Agust)

2007(Feb)

2007(Agust)

2008(Feb)

2008(Agust)

Diploma I/II Academy/ Diploma III University 

Sumber: Survey Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2004‐2008.  

Dengan demikian, permasalahannya adalah PT masih belum sepenuhnya mampu 

menghasilkan  lulusan  dengan  kualitas  dan  kompetensi  yang  sesuai  dengan  kebutuhan 

pembangunan; serta rendahnya intensitas, kualitas, dan relevansi penelitian. 

Selanjutnya, terkait otonomi yang dimiliki PT. Otonomi tersebut dimaknai sebagai 

pemberian kekuasan dan kebebasan peguruan  tinggi, sehingga  tidak ada satu kekuatan 

lain  di  luar  yang  berhak  untuk  mengendalikan.  Pemahaman  seperti  itu,  tentu  saja 

membutuhkan  asumsi‐asumsi. Asumsi  yang  terpenting  adalah  terjaminnya  kepentingan 

dan  kepuasan  para  stakeholder,  yaitu  perguruan  tinggi,  pemerintah,  dan  masyarakat. 

Dalam  pelaksanaannya,  idealita  otonomi  PT  bukan  tanpa masalah.  Apalagi  tantangan 

otonomi  PT  di  era  transisi  saat  ini,  di  mana  setiap  perubahan,  apalagi  perubahan 

paradigma,  senantiasa  melahirkan  berbagai  ekses  dan  berbagai  ketidakakuratan 

penafsiran  yang  pada  akhirnya  berdampak  menciptakan  biaya  sosial  dan  berbagai 

ketidakefisienan.   

Salah  satu  isu  krusial  terkait  otonomi  adalah masalah  akuntabilitas  pengelolaan 

pendanaan  PTN.  Sebagaimana  diketahui,  di  samping  mendapat  alokasi  APBN  dalam 

beragam bentuknya, PTN  juga menerima pemasukan  yang  tidak kecil  yang berasal dari 

masyarakat, dan hasil dari kerja sama/usaha. Terkait pengelolaan pendanaan pendidikan 

tinggi, Bikas  S.  Sanyal & Michela Martin  (2006) memetakan  enam  kecenderungan baru, 

Page 7: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

yaitu:  (1) perluasan akses pendidikan tinggi secara massif;  (2) keterbatasan kemampuan 

negara  untuk  membiayai  perluasan  yang  massif  bersamaan  dengan  kehadiran  sektor 

swasta; (3) rasionalisasi untuk berbagi peran dalam membiayai pendidikan bersama orang 

tua dan mahasiswa; (4) bersamaan dengan pentingnya akuntabilitas dan value of money; 

(5)  kemunculan penyedia  asing  sejalan dengan General Agreement on  Trade  in  Services 

(GATS); dan (6) perlunya penyesuaian dalam pendanaan pemerintah untuk menurunkan 

semakin besarnya kesenjangan.   

Sejalan dengan hal tersebut, maka sasaran pembangunan pendidikan tinggi dalam 

kurun  waktu  lima  tahun  ke  depan  diarahkan  untuk:  (1)  meningkatnya  kualitas  dan 

relevansi  pendidikan,  yang  ditandai  dengan meningkatnya  proporsi  program  studi  PT 

yang  terakreditasi  menjadi  sebesar  90,0  persen;  bertambahnya  jumlah  PT  bertaraf 

internasional  (world  class  university) menjadi  10  PT; makin  banyaknya  PT  yang masuk 

dalam peringkat besar dunia (TOP 500 THES) menjadi sebesar 7 PT; dan (2) meningkatnya 

pembiayaan pendidikan yang berkeadilan  yang ditandai dengan meningkatnya proporsi 

mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bagi keluarga miskin. 

Selanjutnya,  sesuai  dengan  Keputusan  Menneg  PPN/Kepala  Bappenas  No. 

PER. 01/M.PPN/09/2005  tentang  Organisasi  dan  Tata  Kerja  Kantor Menneg  PPN/Badan 

Perencanaan  Pembangunan  Nasional,  tugas  pokok  Direktorat  Agama  dan  Pendidikan 

adalah  melaksanakan  penyiapan  perumusan  kebijakan,  koordinasi,  sinkronisasi 

pelaksanaan  penyusunan  dan  evaluasi  perencanaan  pembangunan  nasional  di  bidang 

agama  dan  pendidikan  serta  pemantauan  dan  penilaian  atas  pelaksanaannya.  Sejalan 

dengan tugas pokok tersebut serta memperhatikan perkembangan dan permasalahan di 

atas, Direktorat Agama  dan  Pendidikan BAPPENAS bermaksud melakukan  pendalaman 

dengan melakukan Kajian Pendanaan Pendidikan Tinggi.  

Kajian  ini  dimaksudkan  untuk  digunakan  sebagai  masukan  bagi  kementerian 

terkait  dalam  menentukan  kebijakan  pemerintah  dalam  memperkuat  tata  kelola 

pelayanan  pendidikan  tinggi  agar  dapat  menjawab  isu  strategis  yang  dihadapi  pada 

pembangunan  pendidikan  tinggi  sejalan  dengan  arah  kebijakan  dan  program 

pembangunan pendidikan tinggi dalam RPJMN 2010‐2014, Rencana Strategis Kementerian 

Pendidikan Nasional serta Rencana Strategis Kementerian Agama. 

Page 8: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

 

1.2. PERUMUSAN MASALAH  

Pokok permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan 

tingi, khususnya masalah pendanaan PT, secara sederhana adalah terkait perlunya upaya 

untuk  mensinergikan  berbagai  pendanaan  yang  diperoleh  perguruan  tinggi,  sehingga 

mampu didayagunakan dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pendidikan tinggi 

di Indonesia. 

 

1.3. TUJUAN KAJIAN 

Melakukan  review  terhadap arah kebijakan dan pelaksanaan  (sudah, sedang dan 

akan) pendanaan pendidikan tinggi.  

Memetakan  kendala,  hambatan,  dan  peluang  dalam  mensinergikan  berbagai 

sumber  pendanaan  untuk  meningkatkan  pemerataan  akses  dan  peingkatan 

kualitas PT.  

Mencermati  lesson  learned  (pembelajaran)  terkait  pengelolaan  pendanaan 

pendidikan tinggi.  

Menyusun  alternatif  kebijakan  dan  strategi  implementasinya  sinergi  berbagai 

sumber pendanaan pendidikan  tinggi  untuk pemerataan  akses  dan peningkatan 

kualitas.  

1.4. SASARAN 

Tersusunnya  rekomendasi  kebijakan  tentang  strategi  dalam  mensinergikan 

berbagai  sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  dalam  rangka  pemerataan  akses  dan 

peningkatan kualitas PT.  

1.5. RUANG LINGKUP 

Melakukan kajian atas kondisi pelaksanaan otonomi pendidikan tinggi.  

Melakukan  identifikasi  terhadap kekuatan dan kelemahan  tata kelola pendanaan 

pendidikan tinggi yang telah dan sedang dilaksanakan.  

Menyusun  rekomendasi  kebijakan  untuk  menyinergikan  berbagai  sumber 

pendanaan pendidikan tinggi.  

Page 9: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

 

BAB II 

METODOLOGI KAJIAN 

 

2.1.  Desain Kajian  

Kajian  Strategi  Pendanaan  Pendidikan  Tinggi  difokuskan  pada  pemetaan, 

pembentukan  model,  analisis,  dan  interpretasi  atas  berbagai  peraturan  perundangan 

yang terkait dengan pendanaan pendidikan tinggi dan pelaksanaan pendanaannya baik di 

tingkat  nasional,  Kementerian  Pendidikan  Nasional  (Kemendiknas)  dan  Kementerian 

Agama  (Kemenag)  dan  juga  di  tingkat  satuan pendidikan  (perguruan  tinggi). Kajian  ini 

menggunakan kerangka analisis yang disebut inductive and deductive analyses, yang lazim 

dipakai dalam suatu penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif.  

Pendekatan  qualitative  analysis  digunakan,  karena  pada  bagian  ini  materi  yang 

menjadi  bahan  kajian  adalah  sejumlah  dokumen  seperti  Undang  Undang,  Peraturan 

Pemerintah, Keputusan Menteri, dan bahan‐bahan  lain yang relevan. Dalam pendekatan 

ini,  tentu  saja  kajian  yang  dilakukan  lebih  bersifat  analisis‐deskriptif  yang  mengulas 

mengenai  isu‐isu  penting  yang  bersinggungan  dengan  ruang  lingkup  pembahasan. 

Pendekatan quantitative analysis digunakan mengevaluasi pelaksanaannya berdasar data‐

data  kuantitatif  (struktur  pendanaan  pendidikan  tinggi,  baik  tingkat  nasional maupun 

tingkat satuan pendidikan) guna membentuk model‐model yang sangat membantu dalam 

rekomendasi‐rekomendasi kebijakan. 

Kerangka analisis  ini dimulai dengan kategorisasi dan pengelompokan mekanisme 

pendanaan  dan  kelembagaan  yang  bersumber  pada  dokumen  atau  material,  untuk 

kemudian  dilakukan  pemetaan  (mapping)  untuk  selanjutnya  dilakukan  afirmasi, 

konfirmasi,  dan  interpretasi  atas  dokumen  atau  material  tersebut  di  dalam 

pelaksanaannya.  

Kerangka  inductive and deductive analyses bekerja dalam suatu  jalinan yang utuh di 

dalam  rangkaian  kegiatan  penelitian  sebagaimana  diutrakan  oleh Quinn  Patton  (2002), 

“Inductive  analysis  involves  discovering  patters,  themes,  and  categories  in  one’s  data. 

Findings emerge out of the data through the analyst’s interaction with the data, in contrast 

to deductive analysis where the data are analyzed according to an existing  framework …. 

Page 10: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

Once patters, theme, and categories have been established through  inductive analysis, the 

final, confirmatory stage of qualitative analysis may be deducative  in testing and affirming 

the authenticity and appropriateness of the content analysis.”3 

Secara teknis, rangkaian kajian ini akan melalui langkah‐langkah sebagai berikut: (1) 

menyusun  kerangka  acuan  kerja  dan  rencana  kerja;  (2)  melakukan  studi  pustaka;  (3) 

mereview  terhadap  konsistensi  kebijakan  dan  implementasi  kebijakan;  (4)  round  table 

discusion  (RTD);  (5)  kunjungan  ke  lapangan;  (6)  workshop;  dan  (7)  seminar.  Dalam 

pelaksanaannya, dilakukan  juga focused group discussion (FGD) yang melibatkan ahli‐ahli 

pendidikan  dan  para  pakar  di  bidang  lain  yang  relevan.  Forum  ini  dimaksudkan  untuk 

mengembangkan  wacana  akademik  dan  diskursus  intelektual  (intellectual  discourse), 

terutama  untuk  tema/materi  kajian  yang menjadi  fokus  utama  pembahasan  termasuk 

dalam perumusan alternatif pendanaan pendidikan tinggi. Dengan demikian, hasil kajian 

ini  diharapkan  lebih  maksimal,  karena  telah  mengikuti  kaidah‐kaidah  akademik  dan 

menggunakan metolodologi dalam suatu penelitian kualitatif yang sudah baku. 

Berdasarkan  uraian  metodologis  tersebut,  kerangka  analisis  dalam  kajian  ini 

diilustrasikan pada gambar 2.1.    

Gambar 2.1. Kerangka Analisis Kajian 

3  Quinn‐Patton, Michael  (2002).  Qualitative  Research  and  Evaluation Methods.  London,  New  Delhi:  Sage Publications. 

Pelaksanaan Pendanaan Dikti

Peraturan Perundangan

Pendanaan Dikti

Analisis Deduktif

Studi Pustaka

Analisis Induktif

Konfirmasi

Afirmasi

Interpretasi

RTD/ Workshop/

Seminar

Kunjungan Lapangan

Protokol Wawancara dan focus group of

discussion

Page 11: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

10 

2.2   Instrumen Kajian 

 

Data  kajian  yang  digunakan  adalah  data  primer  dan  data  sekunder.  Instrumen 

untuk memperoleh data primer berupa kuesioner (angket) dan dokumentasi.   Data‐data 

tersebut digunakan untuk melihat perkembangan   pendanaan pendidikan tinggi dengan 

kualitas  pendidikan,  dan  melihat  permasalahan‐permasalahan  yang  timbul  selama 

pendidikan  berlangsung.  Adapun  kisi‐kisi  instrumen  data  primer  dan  sekunder  dapat 

dilihat pada table 2.1. 

Tabel 2.1. Data Instrumen Kajian 

 No 

 Aspek yang dilihat 

 Perihal 

 Sumber 

 1  Perundang‐undangan 

Undang‐undang  No  20, 1997 

Undang‐undang No  2, 2003  

Peraturan  Pemerintah  No 60, 1999 

Peraturan  Pemerintah  No 152, 2000 

Peraturan  Pemerintah  No 153, 2000 

Peraturan  Pemerintah  No 154, 2000 

Peraturan  Pemerintah  No 155, 2000 

Peraturan  Pemerintah  No 56, 2003 

Peraturan  Pemerintah  No 6, 2004 

Peraturan  Pemerintah  No 19, 2005 

Peraturan  Pemerintah  No 23, 2005 

Peraturan  Pemerintah  No 48, 2008 

Keputusan  Menteri keuangan  No  115/2001 

Peraturan  Menteri Pendidikan Nasional No    2, 2005 

Keputusan  Dirjen  Dikti  Diknas No. 28, 2002  

 

  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 

Sistem  Pendidikan  Nasional (Sisdiknas) 

Pendidikan Tinggi   

Penetapan UI sebagai BHMN  

Penetapan UGM sebagai BHMN  

Penetapan IPB sebagai BHMN  

Penetapan ITB sebagai BHMN  

Penetapan USU sebagai BHMN  

Penetapan UPI sebagai BHMN  

Standar Pendidikan Nasional  

Pengelolaan  Keuangan  Badan Layanan Umum (BLU) 

Pendanaan Pendidikan   

Tatacara  Penggunaan  PNBP pada Perguruan Tinggi Negeri 

Subsidi silang Biaya Operasional Pendidikan  (BOP)  Pendidikan Tinggi 

Penyelenggaraan  Program Reguler dan Non Reguler di PT 

  Kemendiknas (Internet) 

Bappenas (Internet) 

Lainnya (Internet) 

Page 12: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

11 

2  Pendanaan Pendidikan Tinggi  Data Kuantitatif  Kemendiknas  Kemenag 

Perguruan Tinggi 1  

Arah Kebijakan perguruan tinggi  Renstra PT  LAKIP  Kuesioner 

2  Laporan Keuangan  Kuesioner  LAKIP 

4  Tingkat Pencapaian Sasaran  Kuesioner  LAKIP 

 Sedangkan  data  sekunder  diperoleh  dari  Kementerian  Pendidikan  Nasional  dan 

Kementerian Agama  yang  digunakan  untuk melihat  peta  pendanaan  pendidikan  tinggi 

secara makro. 

 

2.3  Populasi, Sampel, dan Sumber dan Jenis Data 

2.3.1. Populasi 

Populasi  yang  digunakan  dalam  kajian  ini  adalah  seluruh  perguruan  tinggi  baik 

perguruan  tinggi negeri maupun perguruan  tinggi negeri agama  islam, yang  tersebar di 

seluruh Indonesia. 

 

2.3.2   Sampel 

Sampel  yang  digunakan  dalam  kajian  ini  diambil  dengan  purposive  sampling 

method,  dengan mempertimbangkan  keterwakilan  perguruan  tinggi  seluruh  Indonesia 

yang dikelompokkan berdasarkan BHMN, BLU, dan Non BHMN‐Non BLUl baik perguruan 

tinggi negeri maupun perguruan tinggi negeri agama islam. 

Sampel‐sampel perguruan  tinggi negeri dan perguruan  tinggi  agama  islam dipilih 

berdasar kategori tersebut ditentukan atas dasar : 

Perguruan  tinggi  negeri  atau  perguruan  tinggi  negeri  agama  islam  mewakili 

setiap wilayah, baik wilayah Barat, Tengah, dan Timur 

Budgeting survey 

Adapun  sampel‐sampel  yang  dipilih,  dikelompokkan  dalam  tiga  kategori  BHMN, 

BLU, dan Non BHMN‐Non BLU, terdapat dalam tabel 2.2 dibawah ini. 

 

 

 

Page 13: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

12 

Tabel 2.2. Sampel Perguruan Tinggi  

  

Berdasar  kelengkapan  data  survey,  dari  23  perguruan  tinggi  negeri  hanya  20 

perguruan  tinggi  negeri  yang memiliki  data  lengkap  sesuai  dengan  kebutuhan  kajian. 

Sedangkan ketiga perguruan  tinggi negeri yang  tidak memiliki kelengkapan data   dapat 

dilihat pada table 2.3 dibawah ini. 

Tabel 2.3. Sampel Perguruan Tinggi Tanpa Kelengkapan Data  

No  Nama PTN  Keterangan 1  Universitas Lambung Mangkurat  Tidak ada laporan keuangan  2  Universitas Mataram  Tidak ada laporan keuangan 3  IAIN Mataram  Tidak ada laporan keuangan 

      

No  Nama Perguruan Tinggi  Kategori  

Keterangan           1  ITB  BHMN  Kemendiknas 2  UPI  BHMN  Kemendiknas3  Universitas Sumatera Utara  BHMN  Kemendiknas4  UGM  BHMN  Kemendiknas5  UI  BHMN  Kemendiknas6  IPB  BHMN  Kemendiknas7  UNPAD  BLU  Kemendiknas8  Universitas Negeri Jakarta  BLU  Kemendiknas9  Universitas Hasanudin  BLU  Kemendiknas10  Universitas Negeri 11 Maret  BLU  Kemendiknas11  UIN Sunan Gunung Djati  BLU  Kemenag 12  UIN Kalijaga  BLU  Kemenag 13  UIN Alaudin  BLU  Kemenag 14  UIN Jakarta  BLU  Kemenag 15  Universitas Negeri Medan  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas16  Universitas Negeri Makasar  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas17  Universitas Lambungmangkurat  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas18  Universitas Patimura  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas19  Universitas Mataram  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas20  IAIN Medan  Non BHMN‐Non BLU  Kemendiknas 21  IAIN Ambon  Non BHMN‐Non BLU  Kemenag 22  IAIN Antasari   Non BHMN‐Non BLU  Kemenag 23  IAIN Mataram  Non BHMN‐Non BLU  Kemenag 

Page 14: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

13 

2.3.3 Sumber dan Jenis Data 

Kajian  ini memerlukan  data‐data  baik  yang  berkaitan  dengan  peraturan  dan  juga 

pelaksanan  pendanaan  pendidikan  tinggi  baik  pada  tingkat  nasional  maupun  tingkat 

satuan pendidikan, yang meliputi: 

1. Perundang‐undangan yang terkait dengan keuangan negara, perbendaharaan negara 

dan pendanaan pendidikan serta pendanaan pendidikan tinggi; 

2. Data perkembangan pendanaan pendidikan tinggi di Kemendiknas dan Kemenag; 

3. Data perguruan tinggi dengan berbagai model kelembagaan dan pendanaannya; 

4. Data perkembangan perguruan tinggi;  

Data perkembangan perguruan tinggi yang diperlukan dalam kajian ini dibagi dalam 

dua jenis data, yaitu: 

Data kualitatif 

Data  ini memuat kebijakan‐kebijakan yang tertuang dalam Renstra Perguruan Tinggi 

(acuan  Renstra  Dikti)  masing‐masing,  guna  melihat  arah  kebijakannya  dalam 

pembangunan pendidikan tinggi baik fisik maupun non‐fisik. Data Renstra Perguruan 

Tinggi tersebut lebih difokuskan pada tujuan dan sasarannya selama 2006‐2009. 

Data Kuantitatif 

Data yang diperlukan mencerminkan perkembangan perguruan  tinggi selama 2006‐

2009, dan 2010. Data‐data tersebut meliputi : 

a. Data penerimaaan dan pengeluaran perguruan tinggi setiap tahun 

Berdasar  data  ini,  dihasilkan  peta  sumber  pendanaan  dan  peta  pengeluaran 

perguruan tinggi 

b. Berdasar  LAKIP  perguruan  tinggi  diperoleh  tingkat  pencapaian  sasaran  setiap 

tahun 

c. Berbagai sumber pendanaan pendidikan tinggi 

Data  sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  diperoleh  berdasar  sampel‐sampel 

perguruan  tinggi  yang  dipilih.  Sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  dapat  dilihat  lebih 

jelas dalam struktur keuangan penerimaan dan pengeluaran dan LAKIP perguruan tinggi  

 

 

 

 

Page 15: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

14 

2.4 Teknik Analisis Data 

 

2.4.1. Analisa Kualitatif dan Kuantitatif 

Mengacu pada tujuan kajian, pendanaan dan kualitas pendidikan tinggi merupakan 

dua parameter  yang  harus dinilai dan  diukur  selama proses pendidikan  tinggi berjalan. 

Cara mengukur pendanaan dan kualitas pendidikan tinggi nya sendiri, tidak terlepas dari 

bagaimana arah dan kebijakan‐kebijakan yang dibentuk pemerintah dan setiap perguruan 

tinggi  hanya  menterjemahkan,  menjabarkan,  dan  melaksanakannya  dalam  bentuk 

Renstra Perguruan Tinggi. Begitu  juga halnya  isi Renstra Perguruan Tinggi, memuat arah 

dan  kebijakan  perguruan  tinggi,  khususnya  pendanaan  dan  kualitas  perguruan  tinggi, 

yang diimplentasikan dalam tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam masa tertentu.  

Data kuantitatif diperoleh berdasar data historis baik secara makro maupun mikro. 

Data makro menggambarkan  kondisi  pendidikan  tinggi  dengan  pendekatan  kuantitatif 

(data pendanaan pendidikan dari Kemendiknas/Kemenag),  sedangkan data mikro  (data 

keuangan perguruan tinggi) yang dihasilkan dari survey selama proses pengumpulan data 

di lapangan.  

Begitu  juga  halnya  dengan  teknik  analisa  dengan  pendekatan  kualitatif,  dimana 

pendekatan ini dibuat dengan memetakan dan mengelompokkan arah dan kebijakan baik 

makro maupun mikro yang bersangat erat hubungannya dengan pendanaan pendidikan 

tinggi.  Agar  lebih  jelas,  kami  ilustrasikan  dalam  bentuk  flowchart  pada  gambar  2.2 

dibawah ini.  

Gambar 2.2. Flowchart Pengkuran Kinerja 

 

 

Page 16: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

15 

Alat  pengukuran  kinerja  diatas  menggambarkan  proses  analisa  yang  dilakukan 

dalam kajian ini. analisa yang dilakukan menghasilkan sebagai berikut : 

1. Struktur  pendanaan  pendidikan  tinggi  (Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana 

Bantuan dan Kerjasama) 

2. Struktur biaya‐biaya proses pendidikan  tinggi  (Gaji dan  tunjangan, Biaya Operasional 

Pendidikan‐BOP,  pemeliharaan,  pembangunan,  pengabdian  masyarakat,  penelitian, 

kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain) 

3. Arah dan kebijakan‐kebijakan pendidikan tinggi, baik makro maupun mikro 

4. Tingkat keberhasilan pendidikan tinggi secara mikro 

5. Kendala,  hambatan,  dan  peluang  dalam  proses  pendidikan,  terutama  pendanaan 

pendidikan tinggi 

6. Model kinerja pendanaan terhadap pelaksanaan arah dan kebijakan pendidikan tinggi 

 

2.4.2. Pendekatan Ekonometrika 

Secara  harfiah,  ekonometri  diartikan  sebagai  “ukuran‐ukuran  ekonomi”. 

Sedangkan  pengertian  global  ekonometri,  Nachrowi  Djalal  (2002),  adalah  “suatu  ilmu 

yang mempelajari analisa kuantitatif dari fenomena ekonomi dalam artian secara umum”. 

Secara teori dan prinsip, teknik ekonometri merupakan gabungan antara teori ekonomi, 

matematika ekonomi, statistika ekonomi, dan matematika statistik. 

Penerapan pendekatan ekonometrika dilakukan dalam kajian  ini karena variabel‐

variabel yang digunakan, secara teoritis mempunyai hubungan antar variabel. Hubungan 

tersebut  dapat  diekspresikan  dalam  bentuk  persamaan  yang menghubungkan  variabel 

terikat Y dengan satu atau  lebih variabel bebas      . Jika terdapat hanya satu 

variabel  bebas,  maka  model  yang  diperoleh  disebut  model  regresi  linear  sederhana. 

Adapun  model  regresi  tersebut  dapat  dituliskan  sebagai 

 , dimana N merupakan banyaknya observasi.  

Sedangkan jika variabel bebas yang digunakan lebih dari satu variabel bebas, model 

yang diperoleh disebut model  regresi  linear ganda. Adapun model  regresi  linear ganda 

dituliskan  sebagai  ,  dimana      adalah 

koefisien dengan   (Banyaknya observasi)  

Page 17: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

16 

Sedangkan dalam kajian ini, data yang dihasilkan merupakan kombinasi antara data 

antar ruang dengan data runtun waktu yang disebut data panel. Penggunaan data panel 

dimaksudkan  untuk memperbanyak  jumlah  observasi  kajian,  karena  jika menggunakan 

data  antar  ruang  atau  runtun  waktu  saja,  observasi  kajian  relatif  sedikit.  Data  panel 

digunakan karena jika menggunakan Ordinary Least Square (OLS) biasa, apabila dilakukan 

terpisah  diasumsikan  bahwa  parameter  regresi  tidak  berubah  antar  waktu  dan  tidak 

berbeda antar unit‐unit  individunya. Alasan kedua dengan OLS biasa, akan terjadi asumsi 

yang  sempit  tentang asumsi klasik; Homoskedasticity dan auto‐correlation pada variabel 

kesalahan (Gujarati, 1995).4  

Menurut Hsio (1995),5 penggunaan data panel dalam kajian ekonomi mempunyai 

beberapa keunggulan dibandingkan dengan data runtun waktu atau data unit biasa. Salah 

satunya adalah memberikan peneliti sejumlah data yang lebih besar sehingga menaikkan 

derajat kebebasan   (degrees of freedom) dan menghasilkan estimasi ekonometrika yang 

efisien. Secara umum bentuk model regresi data panel adalah sebagai berikut : 

 

Dimana i = 1, 2, 3,....N merupakan unit cross section, dan t = 1,2,3, dan 4 dalam satuan 

waktu tahunan yang merupakan waktu pada time series.   Dan   merupakan variabel tak 

bebas dari individu I pada waktu t, dan   adalah nilai dari k non‐stochasyics explanatory 

variable  untuk  individu  I  pada waktu  t  dalam model  regresi  klasik  dianggap    dan    

adalah  sama  untuk  semua  unit  individu,  sedangkan  panel  data  memberikan  estimasi 

koefisien yang berbeda untuk parameter    atau juga    .   

Ada  beberapa  mekanisme  kerja  dan  tahapan‐tahapan  yang  dikerjakan  dalam 

membuat analisa secara ekonometri. Tahapan‐tahapan  ekonometri tersebut meliputi : 

1. Membuat suatu hipotesa/pernyataan 

2. Menduga model ekonometri untuk menguji hipotesis yang telah dibuat 

3. Mengestimasi parameter model 

4. Melakukan verifikasi model 

4 Damodar N.Gujarati,  Basic Econometrics, 3rd Edition. New York:McGraw‐Hill, 1995. ISBN 0‐07‐025214‐9. 5 Hshiao Cheng (1995),” Analysis of Panel Data” ;Economic Socienty, Monograph No.11,Cambridge University Press.  

Page 18: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

17 

5. Membuat prediksi 

6. Membuat model untuk membuat kebijakan 

 

a. Penerapan Terhadap Kasus 

Model  yang  digunakan  untuk  membuat  hubungan  antara  satu  variable  terikat 

(tingkat pencapaian sasaran) dan 3 variabel bebas  (dana pemerintah, dana masyarakat, 

dan  dana  bantuan &  kerja  sama) merupakan  bentuk model  regresi  linear  ganda.  Dan 

model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : 

 

Dimana : 

      : Tingkat Pencapaian Sasaran 

      : Dana Pemerintah pada perguruan k dan waktu ke t 

      : Dana Masyarakat pada perguruan k dan waktu ke t 

      : Dana Bantuan & Kerja sama pada perguruan k dan waktu ke t 

                                : Koefisien, dengan i=1, 2, dan 3     

  : Koefisien, dengan k = 1,2,...., N dan  i = 1,  2, dan  3   

 

Sebelum  melangkah  lebih  jauh  terhadap  model,  terlebih  dahulu  perlu  dibuat 

hipotesa‐hipotesa  yang  akan  digunakan  dalam  pengujian  terhadap model‐model  yang 

dibentuk. Hipotesa‐hipotesa tersebut antara lain sebagai berikut : 

1. Gabungan BHMN, BLU, dan Non BHMN‐Non BLU 

Pendanaan  PT  (Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama)    berpengaruh  secara  bersamaan  terhadap  peningkatan  kualitas 

Pendidikan Tinggi  

2. BHMN 

Pendanaan  PT  (Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama)    berpengaruh  secara  bersamaan  terhadap  peningkatan  kualitas 

Pendidikan Tinggi BHMN 

 

 

Page 19: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

18 

3. BLU 

Pendanaan  PT  (Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama)    berpengaruh  secara  bersamaan  terhadap  peningkatan  kualitas 

Pendidikan Tinggi BLU 

4. Non BHMN‐Non BLU 

Pendanaan  PT  (Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama)    berpengaruh  secara  bersamaan  terhadap  peningkatan  kualitas 

Pendidikan Tinggi Non BHMN‐Non BLU 

Hipotesa‐hipotesa  tersebut  diatas  harus  diuji  apakah  hipotesa  yang  dibuat  sesuai 

atau  tidak  sesuai.  Pengujian  hipotesa  yang  telah  dibuat  dapat  dilakukan  dengan 

menggunakan uji hipotesa (uji t). Uji t ini dilakukan dengan kriteria sebagai berikut : 

 

1. Jika   , maka pada derajat kesalahan tertentu hubungan X terhadap 

Y adalah signifikan 

2. Jika    , maka pada derajat kesalahan tertentu hubungan X terhadap 

Y adalah tidak signifikan. 

 

Untuk kasus ini, variabel bebas terdiri dari 3 (tiga) variabel yaitu   terhadap 

suatu  variabel  terilat  Y,  jadi  tidak  cukup  hanya  dilakukan  dengan  uji  t  saja,  tetapi  juga 

dengan  uji  F.  Uji  F  ini  dimaksudkan  untuk  melihat  sejauhmana  tingkat  signifikansi 

hubungan keserentakan   terhadap  . Uji‐uji ini biasanya dimasukkan dalam golongan 

first order test. 

 

b. Menaksir Parameter‐Parameter Dalam Model Regresi Linear Ganda  

 

Ada  dua pendekatan mendasar  yang  digunakan dalam menganalisis data panel, 

yaitu : 

1. Pendekatan Fixed Effect yang menetapkan bahwa   adalah sebagai kelompok yang 

spesifik atau berbeda dalam constant term dalam model regresinya. 

Page 20: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

19 

2. Pendekatan Random Effect, meletakkan   adalah gangguan spesifik kelompok, sama 

dengan    , kecuali untuk masing‐masing kelompok,  tetapi gambaran  tunggal  yang 

memasukkan regresi sama untuk setiap periode. 

3. Common Effect 

4. None Effect  

Dalam Kajian ini, pengolahan data panel menggunakan porgram software E‐Views 

agar  lebih  memudahkan  dalam  mendapatkan  Output  yang  sesuai  dan  memenuhi 

prasyarat‐prasyarat  yang  harus  dipenuhi.  Dalam model  yang  dihasilkan  ,  karena 

pada saat tidak ada suntikan dana yang masuk ke perguruan tinggi atau dengan kata lain 

 maka  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  (TPS)  yang  dihasilkan  sebesar  .  Dan  hal 

tersebut menjadikan penafsiran yang menyimpang.  

c. Pemeriksaan Model 

Pemeriksaan model  ini  dilakukan  untuk melihat  apakah    merupakan  taksiran 

yang  paling  baik  untuk  .  Secara  umum  sifat‐sifat  taksiran  yang  diinginkan  adalah 

sebagai berikut : 

1. Tepat (tidak melenceng) 

2. Kalaupun ada penyimpangan diusahakan sekecil mungkin 

 

Sifat‐sifat taksiran yang utama adalah sebagai berikut : 

1. Tak Bias  

  Bila   adalah  taksiran dari    (suatu parameter), maka     dikatakan  taksiran  tak bias 

jika: 

 

2. Efisien 

Bila   keduanya merupakan  taksiran  tak bias untuk  , maka   dikatakan  lebih 

efisien dari   jika 

    

3. Terbaik dan Tak Bias (BUE : Best Unbiased Estimator) 

Bila   merupakan taksiran tak bias untuk  , maka   dikatakan sebagai taksiran terbaik 

dan tak bias untuk   bila untuk setiap taksiran tak bias untuk   , sebut  , berlaku 

 

Page 21: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

20 

4. BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) 

  Bila    mempunyai  hubungan  yang  linear  terhadap  terhadap  nilai  sampel,,  dan 

dikatakan BLUE bila   untuk setiap   Linear Unbiased Estimator untuk 

 

d. Standar Error dari Taksiran Least Square 

Metode  yang  digunakan  untuk membuat model  didasarkan  pada  prinsip‐prinsip 

untuk  meminimalkan  error.  Oleh  karena  itu,  ketepatan  dari  taksiran  ditentukan  oleh 

Standard Error dari masing‐masing taksiran.  

e. Ukuran Goodness Of Fit ( ) 

Ukuran  ini  untuk  digunakan  untuk  memeriksa  model  regresi  yang  terestimasi 

cukup  baik  atau  tidak.  Artinya  seberapa  dekatk  garis  regresi  yang  terestimasi  dengan 

data. Ukuran yang biasa digunakan untuk keperluan ini adalah Goodness of Fit ( ).  

f. Uji Asumsi  

• Uji Homoskedastisitas 

Homoskedastisitas merupakan  salah  satu  asumsi  klasik  yang  harus  dipenuhi  oleh 

penaksir  OLS  (Ordinary  Least  Square).  Penyimpangan  terhadap  asumsi 

homoskedastisitas  tersebut disebut sebagai heteroskedastisitas. Homoskedastisitas 

dapat  terjadi bila distribusi  suatu probabilitas  tetap  sama dalam  suatu observasi x, 

dan varian setiap residual adalah sama untuk semua nilai variabel penjelas yakni ; 

    

               

             

Uji homoskedastisitas dilakukan untuk mengetahui  varian dari gangguan observasi  

yang dilakukan seragam atau tidak. 

• Uji Otokorelasi 

Autokorelasi  dapat  terjadi  apabila  variabel  gangguan  pada  periode  tertentu 

berkorelasi  dengan  variabel  gangguan  pada  periode  yang  lain.  Bila  hal  ini  terjadi, 

maka akan dihasilkan penaksir  yang  tidak efisien, walaupun estimasinya  tidak bias. 

Page 22: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

21 

Dalam suatu persamaan regresi mengandung otokorelasi berarti, variabel gangguan 

dapat dituliskan sebagai berikut :  

 

Artinya  bahwa  nilai  yang  diharapkan  dari  dua  nilai  gangguan  yang  berbeda 

( ) adalah tidak sama dengan nol. Dengan kata  lain, gangguan dalam suatu 

observasi periode tertentu dipengaruhi oleh nilai gangguan pada periode yang lain.  

• Uji Linearitas 

Uji  ini dapat digunakan untuk melihat spesifikasi model yang akan digunakan dalam 

suatu  estimasi  sudah benar  atau belum. Uji  ini dilakukan  karena  adanya  kesalahan 

spesifikasi model dapat berakibat  ketidakefisienan dari penaksir. Guna mengetahui 

linearitas  suatu model, maka  digunakan  general  test  of  spesification/ramsey  RESET 

test. 

• Uji Normalitas 

Asumsi  normalitas  dalam model  linear  klasik  berarti  bahwa  variabel  pengganggu 

distribusi secara normal. Bila asumsi  ini tidak terpenuhi dalam model estimasi, maka 

koefisien  parameter  masih  tidak  bias  dan  terbaik  tetapi  tidak  dapat  dilakukan 

penaksiran terhadap reliabilitas dengan uji signifikansi klasik, baik uji F maupun uji t.  

g. Teknik Analisa Korelasi 

Korelasi  adalah  suatu  teknik  statistik    yang  digunakan  untuk mencari  hubungan 

antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif. Dua variabel dikatakan berkorelasi 

apabila  perubahan  pada  variabel  yang  satu  akan  diikuti  perubahan  pada  variabel  lain 

secara  teratur, dengan arah yang  sama atau dapat pula dengan arah yang berlawanan. 

Tanda arah korelasi antara dua variabel dapat dibedakan  menjadi : 

1. Positif, jika perubahan pada salah satu variabel diikuti oleh perubahan variabel lainnya 

secara teratur dengan gerakan yang sama. 

2. Negatif,  jika perubahan pada  salah  satu  variabel diikuti oleh  variabel  lainnya  secara 

teratur dengan gerakan yang berlawanan. 

3. Nol,  jika  kenaikan  nilai  variabel  yang  satu  kadang‐kadang  disertai  dengan  turunnya 

nilai variabel yang lain, atau kadang‐kadang diikuti diikuti kenaikan variabel lainnya. 

 

Page 23: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

22 

Untuk  lebih memudahkan  dan membayangkan,  jika  ada  variabel  X  dan  Y, maka 

korelasi antara X dan Y dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : 

 

 

Dimana   adalah korelasi antara X dan Y, dengan  

 

 , 

 dan    adalah deviasi standar X dan Y, dan   

 

2.5. Proses Pembentukan Rekomendasi Kebijakan 

  Model berperan sangat penting dalam membentuk rekomendasi kebijakan. Model‐

model  yang  dibentuk  dalam  kajian  ini  terdiri  dari  tiga  jenis model  yang  digabungkan 

menjadi satu model gabungan. Ketiga model tersebut adalah model berdasar pendekatan 

ekonometrika, model berdasar  lesson  learned, dan model berdasar pemetaan hambatan 

dan peluang dalam pendanaan   pendidikan tinggi. Untuk  lebih  jelasnya, kami  ilustrasikan 

pada gambar 2.3 dibawah ini.  

Gambar 2.3. Proses Rekomendasi Kebijakan 

 

 

 

  Model pendekatan ekonometrika dihasilkan empat jenis model dari empat kategori. 

Adapun  model‐model  tersebut  adalah  model  gabungan  antara  BHMN,  BLU,  dan 

Konvensional, model BHMN, model BLU, dan model Konvensional.  Masing‐masing model 

diterjemahkan dalam kaidah dan logika untuk pendanaan Pendidikan Tinggi. 

Model  pendekatan  lesson  learned  dibangun  atas  data‐data  hasil  pencermatan 

pembelajaran  dari  berbagai  negara  yang  bersumberkan  dari  jurnal/paper/hasil 

Page 24: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

23 

seminar/workshop  yang  dikelompokkan  berdasar  substansi  pendanaan  Pendidikan 

Tinggi.  

Model pemetaan hambatan/peluang pendanaan pendidikan  tinggi selama proses 

pembelajaran  berlangsung.  Model  ini  diperoleh  melalui  wawancara  dan  Laporan 

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Perguruan Tinggi. 

Dasar‐dasar yang harus diperhatikan dalam pembentukan rekomendasi kebijakan adalah 

sebagai berikut :  

1. Visi Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi) 

2. Misi Dikti Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi) 

3. Tujuan Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi) 

4. Asumsi‐asumsi Dasar Pendanaan Pendidikan Tinggi 

Beberapa  hal  yang  diukur  dan  menjadi  obyek  penelitian  dalam  kajian  ini  adalah 

sebagai berikut : 

Target Kualitas (Value) 

Yang dimaksud target kualitas adalah nilai yang diharapkan Pemerintah (DIKTI) guna 

meningkatkan kualitas proses Pendidikan Tinggi. Dalam hal ini, target kualitas (Value)  

dianalogikan  ke  dalam  tingkat  pencapaian  sasaran  pendidikan  tinggi  baik  PTN 

maupun PTAIN 

Dana Pemerintah 

Batasannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008. 

Dana Masyarakat 

Proses pengembangan Pendidikan Tinggi memakan dana yang cukup besar, sehingga  

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas Pendidikan Tinggi, 

tetapi tidak membebankan masyarakat. 

Dana Bantuan dan Kerjasama 

Karena  Dana  Pendidikan  Tinggi  yang  diperlukan  untuk  pengembangan  Pendidikan 

Tinggi  cukup  besar,sedangkan  realisasi  Pendanaan  yang  bersumber  dari  Dana 

Bantuan dan Kerjasama relatif kecil dibandingkan dengan Dana Pemerintah dan Dana 

Masyarakat, maka  yang  harus  dipikirkan  adalah  bagaimana  agar  pendanaan  yang 

bersumber  dari  dana  bantuan  dan  kerjasama  relatif  meningkat  dan  terus 

berkembang.  

 

Page 25: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

24 

BAB III 

STUDI PUSTAKA 

 

3.1.   Studi Pustaka 

3.1.1.   Potret Pembangunan Pendidikan Tinggi 

Sejak  era  reformasi  pada  tahun  1998,  dunia  pendidikan  di  Indonesia mengalami 

banyak perubahan. Salah satu perubahan tersebut adalah adanya amandemen UUD 1945 

yang  berimplikasi  pada  pembangunan  bidang  pendidikan,  terutama  dalam  hal 

pembiayaan pendidikan. Pendidikan adalah  salah  satu prioritas pembangunan nasional, 

dan  karenanya  terus  ditingkatkan  oleh  pemerintah,  baik  dalam  hal  pendanaan, 

pengelolaan hingga peningkatan kualitas pendidikan.  

Salah  satu  jenjang  pendidikan  yang  mendapatkan  prioritas  tersebut  adalah 

Pendidikan Tinggi. Pada  tahun 2010, pendidikan  tinggi mendapatkan alokasi pendanaan 

kedua  terbesar setelah pendidikan dasar. Selain  itu meskipun harus diakui masih belum 

ideal, namun kini perguruan tinggi  lebih maju dibandingkan pada masa Orde Baru. Salah 

satu  indikator  dari  kemajuan  tersebut  adalah  fakta  bahwa  kini  beberapa  PTN  masuk 

dalam kategori terbaik di dunia.6   

Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, atau 

sekitar tahun 1900‐an. Berdirinya perguruan tinggi di jaman kolonial, bukan dengan tujuan 

untuk  mencerdaskan  masyarakat  pribumi,  tapi  lebih  sebagai  politik  etis.  Hal  ini 

disebabkan,  Eropa  sedang  bergiat mencapai masa  pencerahannya  (enlighten)  dengan 

membangun  universitas, maka    bangsa‐bangsa  Eropa  yang mempunyai  daerah  jajahan 

juga membuat universitas di daerah  jajahan masing‐masing. Namun pendirian universitas 

tersebut  tidak  ditujukan  untuk masyarakat  pribumi,  tapi  lebih  ditujukan  untuk  bangsa 

6  Lihat,  http://www.webometrics.info  dan  www.timeshighereducation.co.uk.,  dalam  kategori  500 universitas  terbaik  2005‐2008.  Lihat  juga  dalam  makalah  Tatang  Muttaqien,  Quo  Vadis  BHP:  Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Mengenai masuknya beberapa universitas  Indonesia dalam dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008, juga dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, mantan Rektor UGM, dalam Rapat Dengan Pendapat antara Dewan Pendidikan Tinggi dengan komisi X DPR RI, tanggal 20 Januari 2011, ‘meski belum masuk 200  terbaik dunia, namun universitas di  Indonesia dari  tahun ke  tahun menunjukan perbaikan ranking dunia’, papar Sofyan. Risalah rapat DPR RI, tanggal 20 Januari 2011.   

Page 26: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

25 

penjajah yang sedang berada di negara jajahan atau jurusan yang dibuka di negara jajahan 

adalah jurusan yang dibutuhkan dalam rangka untuk melanggengkan penjajahan. 7  

Setelah  Indonesia  merdeka  pada  tahun  1945,  dikembangkanlah  pembidangan 

profesional  (teknik  di  Bandung,  pertanian  di  Bogor,  dan  kesehatan  di  Surabaya)  yang 

merupakan  cabang dari Balai Perguruan Tinggi dengan  kampus utama di  Jakarta,  yang 

kemudian menjadi Universitas Indonesia. Tak lama kemudian berdiri dua perguruan tinggi 

swasta yang didirikan, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) di tahun 1945 di Yogyakarta 

dan Universitas Nasional (Unas) pada tahun 1949 di Jakarta. 8   

Seiring  dengan  semangat  pembukaan  UUD  1945,  untuk  mencerdaskan  bangsa, 

maka  satu  persatu  berdirilah  universitas‐universitas  di  berbagai  daerah.  Universitas 

Gadjah Mada  (UGM), di Yogyakarta pada  (1949), Universitas Airlangga Surabaya  (1954), 

Universitas Hasanuddin  di Ujung  Pandang  (1956),  Institut  Teknologi  Bandung  atau  ITB 

(1959), dan Institut Pertanian Bogor atau IPB (1963). Selama tahun 1950, ada 9 universitas 

baru dan 3 Sekolah Tinggi Keguruan (IKIP) yang berdiri. 9  

Pada masa Orde Lama semakin lama pendirian perguruan tinggi semakin menjamur. 

Hal  ini  disebabkan  karena  dua  hal.  Pertama,  dengan  deklarasi  kemerdekaan  Indonesia 

1945, Perlawanan terhadap penjajahan Belanda semakin kuat, hingga   puncaknya adalah 

konflik memperebutkan  Irian  Jaya,  yang  berakhir  pada  Indonesia merebut  Irian  Jaya. 

Implikasi  dari  kemenangan  Indonesia  tersebut,  Belanda  di  akhir  tahun  1950‐an 

mengeluarkan  kebijakan  untuk menarik  semua Guru Besar  atau Profesor  dari berbagai 

Perguruan Tinggi di Indonesia. 10 

Menyikapi kebijakan pemerintah Belanda, di awal  1960‐an pemerintah Orde Lama, 

mengirim  banyak mahasiswa  ke  Rusia  dan  Amerika.  Namun  sayang, mahasiswa  yang 

berangkat studi ke Rusia tidak dapat kembali ke  Indonesia setelah peristiwa G 30/S/PKI. 

7 R. Murray Thomas, A Chronicle of Indonesian Higher Education (Singapore: Chopmen,  1973), 36‐46., dalam Singgih Tri Sulistiyono, Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad, Makalah yang dipresentasikan di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan (Nagoya: 26 July 2007). Penulis  adalah  dosen  di  Departemen  Sejarah  dan  Sekretaris  Pusat  Studi  Asia,  Universitas  University, Semarang. 8 Mochtar Buchori & Abdul Malik, “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, in: Altbach & Umakoshi (eds), Asian Universities, 253. , dalam ibid,. 9 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (History Education of Indonesia), (Bandung, Jemmars, 1983), 142., Lihat dalam ibid,.  10 R. Murray Thomas, A Chronicle……dalam, Ibid,.

Page 27: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

26 

Sementara  mahasiswa  yang  belajar  ke  Amerika  dapat  kembali,  dan  mengembangkan 

berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 11  

Kedua,  disahkannya Undang‐undang Pendidikan,  yaitu UU No.  22  Tahun  1961. UU 

Pendidikan    tersebut, memerintahkan  untuk mendirikan Universitas  di  setiap  Provinsi, 

pada  saat  itu  ada  23  provinsi,  maka  didirikanlah  23  Perguruan  Tinggi.  Selain  itu,  UU 

Pendidikan  ini  juga memberikan  dasar bagi partisipasi  swasta  dalam pendidikan  tinggi, 

yang  memungkinkan  setiap  warga  negara  untuk  mendirikan  sekolah‐sekolah  swasta 

baru.12 

Meskipun perguruan tinggi pasca kemerdekaan sudah berjalan selama dua dekade, 

namun  arah  kebijakan pemerintah pada  saat  itu masih belum  jelas. Hal  tersebut dapat 

dipahami sebab selama pemerintah Orde Lama lebih fokus pada urusan politik, sehingga 

masalah  pendidikan  terabaikan. Kebijakan  yang  berbeda  terjadi  pada masa Orde Baru, 

yaitu  di  bawah  kepemimpinan  Presiden  Soeharto  membuat  Kebijaksanaan  Dasar 

Pengembangan  Pendidikan  Tinggi  (KDPPT  I  1975‐1985)  tahun  1975.  Kebijakan  tersebut 

memuat  tujuan  pengembangan,  peran  dan  fungsi  pendidikan  tinggi,  dasar  dan  arah 

pembinaan  dan  pengembangan,  langkah  pembinaan,  kelembagaan  pendidikan  tinggi, 

serta pembiayaan dan alokasi anggaran. 13  

Pada  tahap  berikutnya,  yaitu  tahun  1985‐1995,  pengembangan  pendidikan  tinggi 

diarahkan  pada  konsolidasi  hasil  yang  telah  diperoleh  selama  periode  pengembangan 

sebelumnya.  Pengembangan  tersebut  berupa  peningkatan  kapasitas  kelembagaan, 

infrastruktur,  manajemen,  produktivitas,  relevansi  dan  mutu.  Selanjutnya  pada  tahap 

ketiga (1996‐2005), dibangun Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 

(KPPTJT) yang ditujukan untuk mengupayakan perbaikan sistem melalui 3 program induk, 

yaitu: penataan sistem, peningkatan relevansi dan mutu; serta pemerataan. Pada saat ini,  

yaitu  tahun  2003‐2010,  Kerangka  Pengembangan  Pendidikan  Tinggi  Jangka  Panjang 

(Higher  Education  Long  Term  Strategy)  difokuskan  untuk menjawab  tiga  isu  strategis, 

yaitu: daya saing nasional, dan otonomi PT, serta kesehatan organisasi. 

11 Buchori & Malik, “The Evolution …dalam, Ibid,. 12 Lihat Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 22, Tahun 1961 13Lihat presentasi Dr. Ir. Taufik Hanafi, ‘Kajian Pendidikan Tinggi’, MURP, Direktur Agama dan Pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta 25 Juni 2010.

Page 28: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

27 

Amanat  dari  amandemen  UUD  1945  yang  mewajibkan  pemerintah  untuk 

menganggarkan  sekurang‐kurangnya  20 persen dari APBN dan APBD untuk membiayai 

pendidikan, cukup mendorong berbagai universitas untuk lebih maju. Selain penambahan 

anggaran,  tentu saja berbagai kebijakan pemerintah baik pengelolaan maupun otonomi 

yang diberikan,  sangat mendorong PTN dan PTAN untuk  lebih maju. Hal  ini bisa dilihat 

dari  500  rangking  universitas  terbaik  di  dunia,  terdapat  7  universitas  dari  Indonesia.  14 

Demikian  juga ditingkat ASEAN, Universitas di  Indonesia ada pada urutan ketiga setelah 

Singapura dan Thailand. 15  

 

3.1.2. Pendidikan Tinggi: Kualitas versus Pemerataan 

Kondisi pembangunan pendidikan  tinggi di  Indonesia masih  jauh dari memuaskan. 

Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya kualitas   pendidikan tinggi. Laporan penelitian 

menunjukan bahwa sampai tahun 2007, untuk total 4.370.000 siswa, ada 231.000 dosen, 

dari  jumlah  penduduk  220  juta.  Hanya  lima  persen  (atau  11.000)  di  antara  mereka 

memperoleh Ph.D,  yang  lainnya  adalah Magister  (32 persen), dan  Sarjana  (60 persen).  

Dengan kata lain, satu orang yang bergelar Ph.D harus menghadapi 400 mahasiswa.16 

Rendahnya  kualitas pendidikan  di  Indonesia  juga bisa  dilihat  dari  tingginya  angka 

pengangguran yang lulus dari perguruan tinggi. Data dari BPS, pada tahun 200817  jumlah 

sarjana menganggur  hampir mencapai 600.000 orang. Hal tersebut merupakan indikator 

yang  menunjukkan  bahwa  banyak  perguruan  tinggi  di  Indonesia  yang  belum  bisa 

menghasilkan  lulusan  dengan  kualitas  yang  dapat memenuhi  harapan  dan  kebutuhan 

lapangan kerja. 

14  Lihat,  http://www.webometrics.info  dan  www.timeshighereducation.co.uk.,  dalam  kategori  500 universitas  terbaik  2005‐2008.  Lihat  juga  dalam  makalah  Tatang  Muttaqien,  Quo  Vadis  BHP:  Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Mengenai masuknya beberapa universitas  Indonesia dalam dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008, juga dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, mantan Rektor UGM, dalam Rapat Dengan Pendapat antara Dewan Pendidikan Tinggi dengan komisi X DPR RI, tanggal 20 Januari 2011, ‘meski belum masuk 200  terbaik dunia, namun universitas di  Indonesia dari  tahun ke  tahun menunjukan perbaikan ranking dunia’, papar Sofyan. Risalah rapat DPR RI, tanggal 20 Januari 2011 15 Lihat, http://www.webometrics.info  dan www.timeshighereducation.co.uk.,  dalam  kategori  peringkat universitas di ASEAN. 16 Rizal Z. Tamin, ‘Strategic Positioning’, dalam Higher Education Sector Assesment, Final Report, 2008. World Bank, BAPPENAS, dan Depdiknas. 17  BPS, Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), 2008. 

Page 29: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

28 

Selain  persoalan  kualitas  pemerintah  Indonesia  juga  menghadapi  persoalan 

pemerataan  akses  terhadap  layanan  pendidikan  tinggi.  Seluruh  warga  negara  berhak 

untuk mendapatkan pendidikan yang  layak termasuk  jenjang pendidikan tinggi, terlepas 

dari latar belakang kesukuan maupun ekonominya. Saat ini, terdapat 82 Perguruan Tinggi 

Negeri  (PTN)  dan  lebih  dari  2800  Perguruan  Tinggi  Swasta  (PTS)  serta  1  Universitas 

Terbuka. Perguruan tinggi di Indonesia menampung kurang lebih 4,5 juta mahasiswa dari 

sekitar  25  juta penduduk usia  18‐24  tahun,  sehingga  angka partisipasi  kasar pendidikan 

tinggi sekitar 17 persen.   

Sadar akan  rendahnya angka APK dibanding dengan negara ASEAN  lainnya, maka 

sejak  tahun  2003,  Dirjen  Dikti  menyusun  strategi  Pengembangan  Pendidikan  Tinggi 

Jangka Panjang (Higher Education Long Term Strategy, HELTS) 2003‐2010. Kata kunci dari 

strategi tersebut adalah penempatan perguruan tinggi sebagai kunci untuk memperkuat 

daya  saing  bangsa  melalui  peningkatan  mutu  pendidikan  tinggi  agar  mampu 

mengembangkan  potensi mahasiswa  secara  optimal.  Untuk  bisa melaksanakan  peran 

tersebut serta lebih cepat dan fleksibel mengantisipasi perubahan yang terjadi, perguruan 

tinggi harus otonom dan memiliki tata kelola yang sehat. 18 

Selanjutnya,  dalam mengembangkan  perguruan  tinggi  di  Indonesia,  Departemen 

Pendidikan Nasional telah mencanangkan tiga pilar pengembangan sebagai berikut: 

1. Pemerataan dan perluasan akses, 

2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, 

3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.    

Pemerataan  dan  perluasan  akses  merupakan  respon  terhadap  kebutuhan  masifikasi 

pendidikan  tinggi. Meskipun  perguruan  tinggi  didorong  untuk memobilisasi  partisipasi 

swasta dan masyarakat dalam pendanaan pendidikan tinggi, akses masyarakat khususnya 

dari  kelompok  kurang  mampu  untuk  masuk  ke  perguruan  tinggi  berkualitas  harus 

dilindungi dan dijamin. Agar lulusan perguruan tinggi dapat berkontribusi positif terhadap 

peningkatan daya saing bangsa, maka mutu dan relevansi pendidikan tinggi haruslah baik. 

Peningkatan  mutu  didorong  melalui  berbagai  bentuk  pendanaan  kompetisi  untuk 

pengembangan institusi.  

18 http://www.dikti.go.id/Archive2007/kpptjp/kpptjp.html

Page 30: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

29 

Persoalan  dilematis  yang  dihadapi  Indonesia  juga  pernah  dialami  Inggris.  Inggris 

juga menghadapi masalah  pendidikan  yang  sama  yakni, merosotnya  kualitas  akademik 

dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi. 

Guru  besar  ekonomi  dari  London  School  of  Economics  (LSE),  Prof.  Nicholas  Barr, 

yang  sering  melakukan  riset  ekonomi  pendidikan,   mengajukan  resep  cukup  menarik 

untuk  dipelajari.19  Barr mengatakan    subsidi  penuh  dan  pembebasan  biaya  pendidikan 

tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Pada 

pelaksanaannya,  subsidi  di  Inggris  selalu  kurang  menguntungkan  kelompok  miskin 

sehingga  selama  bertahun‐tahun,  akses  keluarga  kurang mampu  ke  pendidikan  tinggi 

hanya  15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu. Sebaliknya, di Amerika 

yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu mencapai 43 persen. 

Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak 

progresif.  Namun,  mereka  mengharapkan  penerimaan  pemerintah  dari  pajak  lebih 

digunakan  untuk  pendidikan  pra‐sekolah,  menurunkan  angka  drop‐outs  pada  SLTA, 

meningkatkan  kualitas  pendidikan  kejuruan,  serta  program  khusus  untuk  anak‐anak 

keluarga tidak mampu. 

Belajar  dari  kegagalan  masa  lalu  dalam  pelaksanaan  student  loans,  Pemerintah 

menjamin  pembayaran  kembali  melalui  pembayaraan  pinjaman  melalui  potongan  gaji 

bersamaan  dengan  pemungutan  pajak  penghasilan.  Pembayaran melalui  pemotongan 

gaji ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah 

mengangsur  lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur  lebih besar. Opsi 

ini pada dasarnya  ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan, dari kelompok mampu 

yang tidak lagi menerima subsidi, ke kelompok tidak mampu. 

Persoalan  akses  di  Indonesia  tidak  hanya  persoalan  ekonomi  sebagaimana 

dipaparkan  sebelumnya,  namun  juga  ada  masalah  geografis.  Disparitas  Regional  di 

pendidikan menengah  secara  signifikan mempengaruhi  kesempatan  untuk mengakses 

pendidikan tinggi. Sebagai contoh, pencapaian siswa dari DKI secara signifikan lebih baik 

daripada  yang  berasal  dari  pulau  terluar.  Karena  kualitas  pendidikan  sekunder 

19 Nicholas Barr , Financing Higher Education: Comparing the Options,  The Guardian, June 12, 2003, London. 

Page 31: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

30 

dipengaruhi  oleh  pendidikan  dasar,  perbaikan  hanya  akan  efektif  bila  rencana  yang 

sistematis dan komprehensif di tempat. 

Dalam menangani masalah  ini, muncul  kreatifitas  dari  berbagai  perguruan  tinggi. 

Meski banyak perguruan tinggi yang terbaik ada di pulau Jawa, namun setiap perguruan 

tinggi menginginkan bahwa mereka mempunyai kualifikasi nasional dan bukan perguruan 

tinggi  lokal. Adapun  cara untuk membuat dirinya menjadi  ‘nasional’ mereka melakukan 

pencarian siswa yang ‘berbakat’ dengan memberikan beasiswa untuk kuliah di perguruan 

tinggi mereka. 

Dalam membuat dirinya  ‘menasional’  IPB sejak tahun 1980‐an IPB memperkenalkan 

skema  kepanduan, model  yang  dipilih  adalah mengundang  sekolah  di  semua  provinsi 

untuk mencalonkan  siswa  terbaik mereka  untuk melanjutkan  studi  di  IPB  tanpa  harus 

mengikuti ujian masuk. Pada  tahun 2008 sebagian besar  (80 persen) dari perekrutan di 

IPB  dilakukan melalui  skema  ini.  Tak  lama  kemudian, UI,  ITB,  dan UGM melakukan  hal 

yang  sama,  meski  angka  perekrutannya  tidak  sebanyak  IPB.  Sejak  pemerintah  bisa 

memainkan peran penting dengan memberikan beasiswa, rekomendasi  ini adalah untuk 

memperkenalkan  skema  beasiswa  bagi  mereka  yang  telah  dipilih.  Sebuah  proporsi 

minimum  tertentu  siswa  dari  kelompok  kurang  mampu  juga  bisa  dikenakan  sebagai 

kelayakan bagi lembaga untuk menerima bantuan beasiswa. 

3.2.   Landasan Hukum Pendanaan Pendidikan Tinggi 

3.2.1.   Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 

Salah  satu  tujuan  kemerdekaan  bangsa  Indonesia,  sebagaimana  tertulis  dalam 

Pembukaan  UUD  1945,  dengan  jelas menyatakan  bahwa  tujuan  terbentuknya  Negara 

adalah  untuk mencerdaskan  kehidupan  bangsa.  Pembukaan  UUD  1945  secara  implicit 

menegaskan pentingnya pendidikan bagi seluruh masyarakat  Indonesia untuk kemajuan 

bangsa. 

Bertitik  tolak dari amanat pembukaan UUD  1945, maka batang  tubuh UUD  1945, 

pasal 31, ayat 4, secara eksplisit menyatakan bahwa  ‘negara memprioritaskan anggaran 

pendidikan sekurang‐kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja 

Negara  (APBN)  serta  dari  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Daerah  (APBD)  untuk 

memenuhi  kebutuhan  penyelenggaraan  pendidikan  nasional’.  Pasal  ini  secara  jelas 

Page 32: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

31 

mewajibkan  negara  untuk  mengalokasikan  anggaran  di  semua  tingkatan  pemerintah 

sekurang‐kurangnya  dua  puluh  persen  (20persen).  Dengan  kata  lain  Negara 

bertanggungjawab atas pembiayaan pendidikan di semua jenjang pendidikan. 

3.2.2.    Undang Undang (UU)               

Undang‐Undang No. 20 Tahun 1997 

Seperti  telah disinggung  di  atas,  untuk biaya pendidikan maka perguruan  tinggi 

dibenarkan  menerima  dana  dari  masyarakat,  namun  didasari  untuk  tidak  mencari 

keuntungan.  Untuk  penerimaan  tersebut,  pemerintah  mengkategorikannya  sebagai 

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diatur dalam Undang‐Undang No. 20 tahun 

1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Besarnya dana yang akan didapat 

dari  masyarakat  untuk  keperluan  perguruan  tinggi  sebagaimana  tersebut  di  atas 

dipertimbangkan berdasarkan:  1. Dampak  terhadap masyarakat & kegiatan usahanya, 2. 

Biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah, 3. Aspek keadilan.  

 

Undang‐undang No. 20 Tahun 2003 

Lebih  jauh,  amanat  UUD  1945  ini  dijabarkan  lebih  detail  dalam  UU  Sistem 

Pendidikan  Nasional  (Sisdiknas)  Nomor  20  Tahun  2003.    UU  Sisdiknas  ini menjelaskan 

yang dimaksud dengan perguruan tinggi, sebagaimana dalam pasal 19,  ‘Pendidikan tinggi 

merupakan  jenjang pendidikan  setelah pendidikan menengah  yang mencakup program 

pendidikan diploma,  sarjana, magister,  spesialis, dan doktor  yang diselenggarakan oleh 

pendidikan  tinggi.’  Selain  itu  perguruan  tinggi  juga mempunyai  tanggung  jawab  yaitu 

menyelenggarakan  pendidikan,  penelitian,  dan  pengabdian  kepada  masyarakat. 

Selanjutnya, UU Sisdiknas  juga menjelaskan mengenai Pendanaan Pendidikan, pasal 46, 

ayat  1, menyatakan,  ‘Pendanaan  pendidikan menjadi  tanggung  jawab  bersama  antara 

Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat.  Secara  lebih  jelas,  pasal  49, 

menyatakan sebagai berikut: 

1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan 

minimal  20 persen  dari Anggaran  Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) pada 

Page 33: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

32 

sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja 

Daerah (APBD).20 

2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran 

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan 

diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang 

berlaku. 

4) Dana  pendidikan  dari  Pemerintah  kepada  pemerintah  daerah  diberikan  dalam 

bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 

 

3.2.3.    Peraturan Pemerintah (PP) tentang BHMN   

Perguruan  tinggi merupakan  tulang  punggung  kemajuan  atau  kemunduran  suatu 

negara.  Karenanya  perguruan  tinggi  di  berbagai  negara,  merupakan  badan  otonomi 

tersendiri. Pemikiran  tentang otonomi kampus  inilah yang memberikan  inspirasi kepada 

pemerintah  untuk  memberikan  keleluasaan  bagi  perguruan  tinggi  untuk  mandiri. 

Kemandirian  kampus  ini  oleh  pemerintah  diberikan  payung  hukum  berbentuk  Badan 

Hukum Milik Negara (BHMN). 

Langkah selanjutnya pemerintah memberikan percobaan bagi beberapa perguruan 

tinggi  yang  siap untuk otonomi. Karenanya pemerintah mengeluarkan  surat  keputusan 

(SK)  berupa  peraturan  pemerintah.  Peraturan  Pemerintah  Republik  Indonesia  No.  152 

Tahun 2000 menetapkan Universitas  Indonesia  (UI) sebagai Badan Hukum Milik Negara 

(BHMN),  untuk  Universitas  Gajah  Mada  (UGM)  )  berdasarkan  peraturan  pemerintah 

Republik Indonesia No.153 tahun 2000, untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) berdasarkan 

peraturan  pemerintah Republik  Indonesia No.154  tahun  2000,  untuk  Institut  Teknologi 

Bandung (ITB) berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia No.155 tahun 2000, 

untuk  Universitas  Sumatera  Utara  (USU)  berdasarkan  peraturan  pemerintah  Republik 

Indonesia  No.53  tahun  2003,  dan  terakhir  Universitas  Pendidikan  Indonesia  (UPI) 

berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia No.6 tahun 2004. 

20 Interpretasi atas pasal 49, ayat 1,  ini telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 19 Oktober 2005, secara  mutlak  bahwa  pemerintah  baik  pusat  maupun  daerah,  diwajibkan  mengalokasikan  anggaran sebanyak  20persen,  termasuk  gaji  Pegawai  Negeri  Sipil  yang  bekerja  di  setiap  Perguruan  Tinggi  dan mengecualikan pendidikan kedinasan. 

Page 34: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

33 

Salah  satu  poin  penting  dari  otonomi  perguruan  tinggi  adalah  dalam  masalah 

kekayaan  dan  pendanaan.  Terkait  dengan  kekayaan  dan  pendanaan,  semua  SK  yang 

mengatur masalah kekayaan dan pendanaan hampir sama untuk semua perguruan tinggi. 

Menurut peraturan pemerintah, pasal 9, ‘kekayaan awal universitas merupakan kekayaan 

negara  yang  dipisahkan  dari  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Negara  (APBN)’, 

‘besarnya kekayaan awal universitas adalah seluruh kekayaan negara yang tertanam pada 

universitas, kecuali  tanah  yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan 

perhitungan  yang  dilakukan  bersama  oleh  Departemen  Pendidikan  Nasional  dan 

Departemen  Keuangan.  Selanjutnya  mengenai  optimalisasi  kekayaan,  peraturan 

pemerintah  mengaturnya,  pemanfaatan  kekayaan  berupa  tanah  menjadi  pendapatan 

universitas dan dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi universitas; selain  itu, 

kekayaan awal universitas tidak dapat dipindah tangankan. 

Selain  tanah,  kekayaan  lain  dalam  segala  bentuk,  termasuk  kekayaan  intelektual, 

fasilitas,  dan  benda  di  luar  tanah  tercatat  sah  sebagai  hak milik  universitas;  kekayaan 

intelektual  terdiri  atas  hak  paten,  hak  cipta,  dan  bentuk‐bentuk  kekayaan  intelektual 

lainnya  yang  dimiliki  sepenuhnya  atau  sebagian  oleh  universitas;  adapun  tatacara 

perolehan, penggunaan, dan pengelolaan kekayaan  intelektual diatur  lebih  lanjut dalam 

keputusan  Majelis  Wali  Amanat  sesuai  dengan  peraturan  perundang‐undangan  yang 

berlaku. 

Terkait  dengan masalah  pendanaan,  peraturan  pemerintah  pasal  12 menyatakan, 

pembiayaan  untuk  penyelenggaraan,  pengelolaan,  dan  pengembangan  universitas 

berasal dari : (1) Pemerintah, (2) Masyarakat; (3) Pihak luar negeri; dan (4) Usaha, dan (5) 

tabungan  universitas.  Dana  yang  berasal  dari  pemerintah  merupakan  dana  Anggaran 

Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) yang  terdiri atas, anggaran  rutin dan anggaran 

pembangunan. Adapun  dana  dari masyarakat merupakan  dana  pendamping  bagi  dana 

pemerintah untuk pembiayaan rutin. Penerimaan dana dari masyarakat dimasukan dalam 

kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 

Peraturan pemerintah ini menjelaskan secara lebih detail tentang Pendidikan Tinggi. 

Mulai dari secara definisi Perguruan Tinggi, Tujuan, Penyelenggara, Kurikulum, Penilaian 

Page 35: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

34 

Hasil Belajar, Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan, Gelar dan  Sebutan  Lulusan 

hingga pembiayaan perguruan tinggi. 

Dalam  peraturan  pemerintah  tersebut,  disebutkan  secara  eksplisit  bahwa 

pembiayaan perguruan  tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan 

pihak  luar  negeri.  Terkait  dengan  dana  masyarakat,  maka  sumber  dana  yang  boleh 

diperoleh dari masyarakat bersumber sebagai berikut: 

a) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); 

b) Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; 

c) Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; 

d) Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; 

e) Sumbangan dan hibah dari perorangan,  lembaga Pemerintah atau  lembaga non‐

Pemerintah; dan 

f) Penerimaan dari masyarakat lainnya. 

Meskipun  ada  pemasukan  dari  masyarakat,  namun  semangat  dari  penerimaan 

dana  masyarakat  tersebut  bukan  didasarkan  pada  prinsip  mencari  keuntungan, 

sebagaimana termaktub pada ayat 5, “usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari 

masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan”. 

Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008. 

Secara  lebih  rinci  pemerintah menjelaskan  tentang  pendanaan  pendidikan  dalam 

peraturan pemerintah No. 48  tahun 2008. Peraturan pemerintah  ini menjelaskan secara 

terperinci mengenai mana  tanggungjawab pemerintah baik pusat maupun daerah serta 

masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat pada peraturan ini sebagaimana 

disebutkan dalam pasal 2, adalah 1.Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan 

masyarakat,  2.  Peserta  didik,  orang  tua  atau wali  peserta  didik,  3.  Dan  siapapun  yang 

mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 

Selanjutnya  dalam  peraturan  ini  yang  dimaksud  dengan  biaya  pendidikan, 

sebagaimana  pasal  3,  meliputi,  1.  Biaya  satuan  pendidikan,  2.  Biaya  penyelenggaraan 

dan/atau  pengelolaan  pendidikan,  3.  Dan  biaya  pribadi  peserta  didik.  Demikian  juga 

mengenai  investasi  yang  merupakan  tanggungjawab  pemerintah  sebagaimana 

disebutkan dalam pasal 4. 

Page 36: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

35 

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005.  

Untuk menjaga persamaan  kualitas  serta pembiayaan pendidikan  secara nasional, 

maka  pemerintah  mengeluarkan  Peraturan  Pemerintah  No.19  tahun  2005  mengenai 

standar  nasional  pendidikan.  Dalam  peraturan  ini  dijelaskan  standar    yang  mengatur 

komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama 1 tahun yang terdiri dari 

biaya, 1. Biaya Investasi satuan pendidikan dan 2. Biaya Operasi satuan pendidikan. 

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005  

Inovasi  perguruan  tinggi  untuk  membiayai  dirinya  sendiri  semakin  terbuka, 

pemerintahpun  memberikan  peluang  bari  perguruan  tinggi  untuk  melakukan  inovasi 

dalam  mencari  sumber  dana.  Peluang  yang  diberikan  oleh  pemerintah  dalam  hal 

pendanaan diatur dalam peraturan pemerintah no. 23  tahun 2005   tentang pengelolaan 

keuangan Badan Layanan Umum. 

Badan Layanan Umum  (BLU) merupakan    instansi di  lingkungan pemerintah  yang 

dibentuk  untuk memberikan  pelayanan  kepada masyarakat  berupa  penyediaan  barang 

dan/atau  jasa  yang  dijual  tanpa  mengutamakan  mencari  (prinsip  efisiensi  dan 

produktivitas).  Pola  pengelolaan  keuangan  Badan  Layanan  Umum  berupa  keleluasaan 

untuk menerapkan  praktek‐praktek  bisnis  yang  sehat  guna memajukan  kesejahteraan 

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Lembaga dengan  status BLU dapat membuat Rencana Bisnis dan Anggaran  yang 

berisi  program,  kegiatan,  target  kinerja,  dan  anggaran  suatu  BLU.  Dengan  status  BLU 

dengan  tujuan  dapat  meningkatkan  pelayanan  kepada  masyarakat  dalam  rangka 

memajukan  kesejahteraan  umum  dan  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  dengan 

memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan 

produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Suatu lembaga pemerintah dapat 

diizinkan mengelola keuangan dengan PPK‐BLU harus memenuhi persyaratan substantif, 

teknis, dan administratif. 

3.2.4.    Peraturan Menteri (Permen)              

Keputusan Menteri Keuangan  No.115/kmk.06/2001.  

Page 37: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

36 

Terkait  dengan  PNBP,  pemerintah  mengeluarkan  Keputusan  Menteri  Keuangan  

No.115/kmk.06/2001  tentang  tata cara penggunaan dan penerimaan negara bukan pajak 

pada perguruan tinggi negeri. Keputusan  tersebut menjelaskan bahwa uang penerimaan 

dari masyarakat  tersebut wajib disetor  langsung  ke  kas negara  serta  langsung dikelola 

dalam  sistem APBN. Uang  tersebut hanya bisa dicairkan oleh Bendaharawan Pengguna  

untuk kegiatan operasional dan investasi perguruan tinggi. 

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005.  

Inovasi pembiayaan di perguruan tinggi sangat beragam diantara ada subsidi silang. 

Dalam  hal  ini  pemerintah mengeluarkan  peraturan Menteri  Pendidikan  Nasional  No.2 

tahun  2005  tentang  subsidi  silang  biaya  operasi  perguruan  tinggi.  Dalam  peraturan 

menteri ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan subsidi silang adalah subsidi yang 

diberikan oleh peserta didik yang mampu secara finansial kepada peserta didik yang tidak 

mampu secara finansial, dalam menanggung biaya operasi PT. 

Adapun  maksud  subsidi  silang  ini  untuk  memberikan  kesempatan  kepada 

masyarakat  untuk  berperan membantu  pendanaan  pendidikan  bagi  peserta  didik  yang 

tidak mampu secara finansial tetapi mampu secara akademik. Sedangkan tujuannya agar 

terselenggaranya  pelayanan  pendidikan  yang  bermutu  bagi  peserta  didik  yang  tidak 

mampu secara finansial. 

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No. 44 TAHUN 2006. 

Untuk memajukan pendidikan pemerintah tidak hanya membantu pendidikan yang 

dikelola  pemerintah,  namun  pemerintah  juga  memberikan  bantuan  bagi  lembaga 

pendidikan  yang  diselenggarakan  oleh  masyarakat  dan  lembaga  kemasyarakatan. 

Bantuan  ini  diatur  dalam  Peraturan Menteri  Pendidikan  Nasional   No.  44  tahun  2006, 

tentang   bantuan untuk  lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan 

lembaga kemasyarakatan 

Bantuan  yang  dimaksud  dalam  peraturan menteri  adalah  pemberian    sementara 

untuk  memenuhi  sebagian  kebutuhan  lembaga  pendidikan  (masyarakat  dan  lembaga 

kemasyarakatan  dari  Kemdiknas)  yang  dianggarkan  dalam    DIPA  Sekjen  Kemdiknas  . 

Adapun lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat salah satunya jenjang PT, 

Page 38: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

37 

diantaranya  universitas/institut,  sekolah  tinggi,  politeknik,  dan  akademi;  dan  satuan 

pendidikan nonformal yaitu lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat 

kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, dan satuan pendidikan yang sejenis.  

Adapun  tujuan dari bantuan  ini agar meningkatkan peran serta masyarakat dalam 

penyelenggaraan  dan  peningkatan  mutu  pendidikan.  Jenis  bantuan  biasanya  dalam 

bentuk  uang  satu  kali  dalam  satu  tahun  anggaran.  Adapun  sasaran  bantuan  adalah 

lembaga  lembaga  pendidikan      masyarakat  dan/atau  lembaga  kemasyarakatan  yang 

mengajukan usulan bantuan kepada Kemdiknas. 

Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdiknas No. 28/DIKTI/ Kep/2002. 

Terkait  pendanaan  dari  pemerintah  masih  sangat  terbatas,  maka  beberapa 

perguruan  tinggi  negeri,  membuat  program  non  reguler.  Dalam  hal  ini,  Departemen 

Pendidikan  Nasional  mengeluarkan  keputusan  Dirjen  Dikti  No.  28/DIKTI/Kep/2002 

mengenai penyelenggaraan program reguler dan non reguler di perguruan tinggi negeri. 

Dalam keputusan  ini dijelaskan bahwa biaya pendidikan untuk non reguler tidak dibantu 

pemerintah  (non  subsidi)  dan  juga  biaya  pendidikannya  lebih  tinggi  dari  yang  reguler. 

Untuk  penetapan  biaya  pendidikannya  dilakukan  oleh  Senat  Perguruan  Tinggi 

bersangkutan.  

3.3. Pendanaan Pendidikan Tinggi: Pembelajaran dari Negara Lain 

Lebih  dari  setengah  abad  Indonesia  merdeka,  berbagai  universitas  baik  swasta 

maupun negeri hampir ada di setiap provinsi di Indonesia, sumber daya manusia juga tak 

kalah mumpuni, berbagai ajang olimpiade tingkat internasional berhasil diraih oleh pelajar 

Indonesia,  namun  muncul  pertanyaan  yang  sangat  mendasar,  mengapa  sistem 

pendidikan di Indonesia masih mahal dan belum dapat menjangkau seluruh masyarakat? 

Dalam  studi  ini  beberapa  negara  akan  dijadikan  contoh  bagaimana  mereka 

mengelola pendidikan  tinggi, khususnya universitas,  institut dan  lembaga  tinggi  lainnya, 

baik  negeri  maupun  swasta.  Dalam  hal  ini  ada  empat  negara  yang  dijadikan  contoh, 

diantaranya  Amerika  Serikat,  Australia, Malaysia,  India,  dan  Inggris. Malaysia  dijadikan 

contoh, sebab sebagai negara yang pernah belajar pada  Indonesia,  India sebagai negara 

Page 39: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

38 

‘miskin’,  Australia,  Inggris,  dan  Amerika  adalah  negara  maju,  dimana  pengelolaan 

terhadap perguruan tinggi layak untuk dicontoh. 

3.3.1.  Amerika Serikat 

Sistem pendidikan tinggi di Amerika adalah yang terbaik di dunia. Namun demikian, 

Amerika masih  terus meningkatkan  sistem  pendidikannya.  Seperti  juga  Negara‐negara 

lain,  Amerika  juga  mempunyai  persoalan  pembiayaan  pendidikan  tinggi  untuk 

meningkatkan akses. Para pembuat kebijakan  telah berusaha menghilangkan hambatan 

dengan cara meningkatkan hibah (grants) untuk para mahasiswa. Namun demikian, hibah 

yang diberikan kepada para mahasiswa masihterlalu mahal, tidak efisien dan efektif, serta 

tidak berkeadilan. 

Dengan masalah  pembiayaan  pendidikan  tinggi  seperti  di  atas, maka  pemerintah 

federal harus terlibat dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Bantuan yang diberikan oleh 

pemerintah  federal  lebih  fokus pada masalah efisiensi pada setiap  level bantuan. Meski 

masalah pembiayaan bukan satu‐satunya masalah yang sangat penting, namun masalah 

pembiayaan harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. 

Pemerintah  Amerika  selama  ini  paling  tidak  telah  mengeluarkan  uang  sekitar  2 

persen  dari  GDP  untuk  pembiayaan  pendidikan  tinggi,  terutama  untuk  promosi  akses. 

Para  pembuat  kebijakan  sekarang  ini  telah  berencana  untuk  secara  substansial 

memperluas  program  saat  ini.  Hal  ini  belajar  dari  pengalaman  internasional, mungkin 

menunjukkan pendekatan yang lebih baik. 

Di sisi lain, para mahasiswa juga mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk kuliah 

di perguruan tinggi Amerika. Dalam logika ekonomi Amerika, semakin tinggi pengeluaran 

per‐mahasiswa di Amerika, maka mencerminkan semakin tinggi penghasilan masyarakat 

di  Amerika.  Di  Amerika,  selain  membayar  biaya  kuliah,  mahasiswa  juga  perlu  untuk 

membayar kamar dan biaya hidup  lainnya, yang dijumlahkan bisa mencapai sekitar $  10. 

000  hingga  $  11.000.  Jika  dijumlahkan  secara  rata‐rata,  setiap  mahasiswa  dapat 

menghabiskan  uang  sebesar  $  10.000  hingga  $  23.000  pertahun,  tergantung  dimana 

seseorang kuliah. 

Page 40: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

39 

Masalah  biaya  ini  merupakan  penghalang  yang  utama  bagi  mahasiswa,  apakah 

mereka mampu untuk mendaftar. Selain biaya kuliah,  itu seperti dijelaskan di atas, biaya 

hidup  di  Amerika  juga  terbilang  berat.  Bagi mahasiswa  yang mempunyai  kemampuan 

keuangan  pertanyaan  yang  muncul  adalah  apakah  mereka  perlu  atau  harus  kuliah. 

Jawabannya  terhadap  pertanyaan  ini  adalah  tergantung  seberapa  banyak  biaya  yang 

akan dikeluarkan untuk kuliah. 

Bagi  yang  rata‐rata berpenghasilan  sebesar  $  22.000 pertahun, bagi  lulusan  SMA, 

dan biaya kuliah  serta biaya hidup dalam kisaran  $  22.000  sampai  $ 35.000, maka akan 

menjadi sesuatu yang memberatkan. Perlu dijadikan catatan,  terlepas dari apakah biaya 

kuliah  diukur  dengan  biaya  hidup,  apakah  dapat  mencukupi.  Berbeda  dengan 

pemahaman  secara umum, pada  sebagian  kecil di beberapa  lembaga, biaya  kuliah dan 

biaya hidup merupakan hambatan utama untuk kuliah.   Bagi sebagian besar mahasiswa, 

hambatan utama dalam kuliah adalah kebutuhan untuk menutup biaya hidup, sementara 

kerja sampingan sebagai mahasiswa hanya yang dibayar normal. 

Meski berbiaya mahal, namun  lulusan perguruan tinggi di Amerika sangat dihargai. 

Pada tahun 2005, rata‐rata usia 35‐44 tahun bujangan pemegang gelar memperoleh $ 54. 

800,  jauh  lebih besar dibandingkan dengan usia yang sama 35‐44 tahun, namun dengan 

hanya ijazah SMA.  

Seperti  juga  di  beberapa  Negara  lain,  di  Amerika  ada  juga  keluarga  yang  yang 

berpendapatan  rendah,  sehingga  kesulitan  untuk  membayar  kuliah  termasuk  biaya 

hidupnya. Dalam hal  ini, pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan untuk membiayai 

keluarga miskin tersebut. Diantara kebijakan tersebut subsidi pemerintah, hibah (grant), 

pinjaman mahasiswa, dan pajak konsesi. Selain  itu pemerintah  juga  ikut campur  tangan 

dalam pendidikan tinggi untuk keperluan lain, seperti penelitian. 

Pinjaman akan sangat bernilai apakah secara prinsip dalam bilangan kuantitatif atau 

secara  biaya  anggaran  (nilai  subsidi),  keduanya  tergantung  pada  tujuan  dari  pinjaman 

tersebut.  Untuk  program  pemerintah  dalam  membantu  mahasiswa  hingga  saat  ini 

pemerintah Amerika telah mengeluarkan sekitar $ 200 miliar per tahun atau 2 persen dari 

PDB. 

Page 41: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

40 

Salah  satu  bentuk  pinjaman  dari  pemerintah  yang  terkenal  adalah  pinjaman 

Stafford.  Pola  pinjaman  ini  ada  dua,  pertama,  pinjaman  langsung  yang  diberikan  dari 

Departemen  Federal  Pendidikan.  Sedangkan  yang  kedua,  pinjaman  yang  diberikan  dari 

bank‐bank  swasta  atas  jaminan pemerintah. Pada  tahun  2005,  23 persen dari pinjaman 

Stafford dibuat melalui program pinjaman mahasiswa langsung. Ada dua model pinjaman 

Stafford,  disubsidi  dan  yang  tidak  disubsidi.  Perbedaan  keduanya  adalah  bagi  yang 

bersubsidi tidak ada bunga yang dikenakan pada pinjaman sampai 6 bulan setelah  lulus. 

Pinjaman Stafford pada tahun 2005‐2006 setengahnya merupakan pinjaman bersubsidi.  

Anggota  legislatif  di  Amerika  baru‐baru  ini mengeluarkan  undang‐undang  untuk 

menurunkan  suku bunga  subsidi  pinjaman  Stafford. Hal  ini mendapat  dukungan  publik 

Amerika,  berdasarkan  jajak  pendapat  88  persen  orang  Amerika  mendukung  hal  ini. 

Namun, usulan  ini  tampaknya  tidak perlu dan mahal, dengan subsidi yang  tidak  terarah 

ternyata tidak meningkatkan akses. Karena sebagian besar pemegang pinjaman Stafford 

sudah meminjam sampai pada batasnya, kendala yang paling penting bukanlah  lunasnya 

pengembalian  tapi ketersediaan keuangan  itu  sendiri. Dengan adanya  subsidi, memang 

menjadi lebih sulit untuk meningkatkan batas pinjaman.  

Program  lain dari pemerintah untuk membantu mahasiswa adalah program Grant 

Pell.  Grant  Pell  Ini  diberikan  kepada  keluarga  berpenghasilan  lebih  rendah  lagi  untuk 

membayar  pengeluaran  pendidikan  mereka.  Tahun  2005‐06,  pemerintah  Federal  dan 

Negara memberikan  $  19 milyar    dan  $  7 milyar.    Sebagian besar hibah  Federal  adalah 

melalui program Hibah  Pell. Pemerintah  federal  setiap  tahun mengeluarkan  $  13 milyar  

untuk 5,3 juta siswa, rata‐rata setiap siswa mendapatkan sekitar $ 2.400.21 

Seperti dicatat sebelumnya, Komisi Spellings mendorong untuk adanya peningkatan 

Pell  Grants  sekitar  dua‐pertiga.  Usulan  komisi  Spelling  ini,  telah  diterima  oleh  bagian 

administrasi, Kongres dan masyarakat pendidikan tinggi. Namun, bagaimana pembiayaan 

ini  dilakukan masih  belum  ada  kejelasan.  Tujuan  hibah  Pell  adalah  untuk memfasilitasi 

akses ke pendidikan tinggi untuk anak‐anak dari yang lebih rendah pendapatan keluarga. 

Seperti dijelaskan sebelumnya, tujuan ini tampaknya cocok untuk meningkatkan akses ke 

perguruan tinggi.  21 Kevin Dougherty,  Financing Higher Education in the United States: Structure, Trends, and Issues, 2004, Columbia University. 

Page 42: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

41 

3.3.2.  Australia 

Australia sebagai Negara maju mempunyai sejarah panjang mengenai pembiayaan 

perguruan  tinggi.  Meski  Australia  menggunakan  system  parlementer,  dimana 

pemerintahnya diwarnai dengan pergantian yang cepat, namun semua pemimpin bangsa 

Australia  mempunyai  pandangan  yang  sama  mengenai  pentingnya  dunia  pendidikan. 

Sehingga  pergantian  kepemimpinan  pemerintah  Australia  tidak  berdampak  signifikan 

bagi perubahan dalam dunia pendidikan. 

Sejak  berdirinya  Universitas  Sydney  tahun  1851,  kemudian  disusul  Universitas 

Adelaide  1874, Universitas Tasmania  1890, Universitas Queensland  1909 dan Universitas 

Western Australia  1911, universitas dibiayai dari dana pemerintah, dana masyarakat dan 

dari dana hibah swasta.  

Menurut  Tom  Karmel,  1998,  dana  pemerintah  yang  dikeluarkan  pemerintah 

Australia untuk pendidikan  sangat besar. Tidak kurang dari 60 persen dari dana  secara 

keseluruhan  dialokasikan  untuk  pendidikan.  Dana  tersebut  didistribusikan  ke  berbagai 

universitas  dengan  tidak  sama  rata,  tergantung  pada  keperluan.  Universitas Western 

Australia  pernah  memperoleh  48  persen  demikian  juga  Universitas  Tasmania  pernah 

mendapatkan 72 persen dari total anggaran pemerintah.   

Penting  dicatat  dalam  sejarah,  bahwa  pada  masa  awal  berdirinya  universitas  di 

Australia  sebagai  badan  otonom  yang  dibentuk  berdasarkan  undang‐undang  dengan 

kebebasan yang sangat besar dalam kegiatan universitas. Luasnya otonomi yang dimiliki 

universitas,  sehingga  tidak  berada  di  bawah  departemen manapun,  dengan  demikian 

pemerintah sulit untuk melakukan intervensi terhadap universitas. 

Ada  tiga  hal  yang menjadi  perhatian  pemerintah  Australia  secara  serius,  setelah 

perang.  Pertama,  kembali  menempatkan  tentara  pada  posisinya,  kedua,  perhatian 

pemerintah  pada  kemajuan  ilmu  pengetahuan,  ketiga,  bantuan  pembangunan 

internasional. Perhatiannya pada  ilmu pengetahuan dibuktikan oleh pemerintah dengan 

memberikan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa.  

Pada  dekade  1970‐an  perhatian  pemerintah  Australia  terhadap  dunia  pendidikan 

semakin besar, hal  ini bisa terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah Australia 

Page 43: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

42 

membebaskan biaya kuliah di semua universitas, baik bagi masyarakat yang tidak mampu 

maupun yang berada.  

Sebelum  tahun  1973, mahasiwa  diwajibkan membayar  uang  kuliah,  kalaupun  ada 

yang  tidak  membayar  kuliah  hanya  diperuntukan  bagi  mereka  yang  mempunyai  nilai 

akademis yang sangat baik. Namun sejak  1973 semua uang kuliah dihapuskan dan sejak 

1973 universitas dibiayai tanpa kontribusi langsung dari mahasiswa.22 

Pada  tahun  1987  Menteri  Pendidikan  Australia,  John  Dawkin,  membuat  sebuah 

kebijakan yang  sangat  terkenal. Dalam pandangan Dawkins  tantangan utama ke depan 

adalah  menemukan  keseimbangan  yang  tepat  antara  mempertahankan  system 

pendidikan  tinggi  yang  mampu  mengambil  pendekatan  jangka  panjang  dan 

menggunakan  pendidikan  tinggi  untuk menangani masalah  ekonomi  dan  social  dalam 

skala nasional.  

Seiring  dengan  pemikiran  John  Dawkin,  pada  tahun  1989  pemerintah  juga 

memperkenalkan  program  Higher  Education  Contribution  Scheme  (HECS)  atau  Skema 

Kontribusi  Pendidikan  Tinggi.  Program  ini  bukan  hanya memberikan  beasiswa,  namun 

juga  peningkatan  kualitas  dan  perluasan  akses  bagi  seluruh  masyarakat  Australia. 

Program ini untuk memenuhi target pemerintah dalam mengejar pembangunan ekonomi, 

dimana para  lulusan universitas diharapkan dapat memasuki  lapangan kerja yang sesuai 

dengan latar belakang pendidikannya.  

Higher  Education  Contribution  Scheme  (HECS)  secara  operasional  dapat  dikatakan 

sebagai subsidi silang. Biaya kuliah dibebankan kepada mereka yang mampu membayar 

kuliah di perguruan tinggi. Sementara bagi kalangan yang tidak mampu untuk membayar 

kuliah pemerintah memberikan pinjaman,  yang dapat dibayar  secara berangsur  setelah 

lulus dan mendapatkan kerja. 

Dengan kata  lain, dalam kurun waktu dua puluh  tahun  terakhir, sektor pendidikan 

tinggi di Australia  telah mengalami perubahan  yang  luar biasa. Perubahan  yang  terjadi 

tidak  hanya  pada  aspek  pendanaan  tapi  juga  aspek    organisasi,  pengawasan,  dan 

22 Tom Karmel,  Higher Education in Australia A case study, (Berlin:Paper of Conference, 1998). 

 

Page 44: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

43 

partisipasi.  Pada  sektor  organisasi  misalnya  dari  awal  1970‐an  sampai  dengan  1988, 

pendidikan tinggi di Australia  itu terdiri dari tiga sektor yang terpisah: universitas, kolese 

pendidikan  lanjutan  (CAEs)  dan  pendidikan  tinggi  teknis  yang  diawasi  oleh 

Persemakmuran  Komisi  Pendidikan  Tersier  (the  Commonwealth  Tertiary  Education 

Commission).  

Di bawah Komisi Pendidikan Tinggi ( Tertiary Education Commission) yang didirikan 

oleh  pemerintah  Frase,  tahun  1988,  mengeluarkan  kebijakan  bahwa  semua  biaya 

pendidikan tinggi diberikan secara gratis, kecuali beberapa perguruan tinggi swasta yang 

beroperasi di sektor pelatihan kejuruan. 

Agar  terjadi  keseimbangan  dalam  pendanaan  perguruan  tinggi,  mahasiswa  asli 

Australia  kuliah  gratis, maka  pada  bulan  Desember  1988,  pemerintah mengumumkan 

perubahan kebijakan untuk pendidikan  siswa  internasional. Efektif  sejak  1  Januari  1990, 

semua  siswa  asing  baru  itu  harus  membayar  biaya  penuh  siswa.  Untuk  memastikan 

bahwa siswa  internasional tidak menggantikan siswa Australia atau memperoleh subsidi 

silang dari pembayar pajak Australia, Pemerintah menetapkan minimal biaya kuliah.23 

Kebijakan  John  Dawkin  berimplikasi  pada  meningkatnya  kesempatan  untuk 

berpartisipasi  dalam  pendidikan  tinggi,  meningkatkan  lulusan  tenaga  kerja  untuk 

membantu meningkatkan daya saing ekonomi Australia, membuat pendidikan tinggi lebih 

responsive  terhadap  kebutuhan  nasional,  terakhir menyediakan  lingkungan  yang  lebih 

fleksibel untuk pendidikan tinggi.  Berdasarkan data rasio pendaftaran bruto untuk sektor 

pendidikan seluruh  tersier meningkat dari 24 persen pada  tahun  1975 sampai 72 persen 

pada  tahun  1995.  Pada  tahun  1997,  50  persen  penduduk  usia    20  sampai  24  tahun 

berpartisipasi  dalam  beberapa  bentuk  pendidikan  tinggi. Antara  tahun  1996  dan  2004, 

terdapat peningkatan pendaftaran siswa hampir 50 persen. 

Kebijakan  yang  dibuat  tahun  1989  juga  berdampak  pada  program  penelitian  di 

Australia. Tujuan dari kebijakan tersebut agar program riset akan semakin dibiayai sesuai 

dengan  apa  yang mereka  lakukan,  bukan  dibagikan berdasarkan  nama besar  lembaga. 

Dana  penelitian  harus  dialokasikan  secara  kompetitif,  dan  tepat  sasaran  ke  lembaga‐ 23 Bruce Chapman and Chris Ryan, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, (Australian National University: Economics Program Research School of Social Sciences, 2003)  

Page 45: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

44 

lembaga  penelitian,  kelompok  peneliti  maupun  individu  yang  paling  mampu 

menggunakan secara efektif, layak untuk mendapatkan bantuan dana tersebut.  

Dalam memajukan dunia pendidikan, pemerintah  tidak hanya mengeluarkan dana 

dari  APBN,  namun  pemerintah  Australia,  pada  tahun  1993,  mendorong  berbagai 

perusahaan  atau  industri  untuk melakukan  kerjasama  dengan  perguruan  tinggi  secara 

lebih  intensif. Hal  ini  ditindaklanjuti  dengan  penandatanganan  kerjasama  segitiga  yaitu 

pemerintah,  industri  dan  perguruan  tinggi.  Selain  itu, masing‐masing  perguruan  tinggi 

juga melakukan kerjasama dengan perusahaan atau  industri, sesuai dengan kepentingan 

masing‐masing. Kerjasama ini sangat membantu pembiayaan perguruan tinggi. Selain itu, 

kerjasama  ini  pada masa  Perdana Menteri  Paul  Keating,  kerjasama  antara  perusahaan 

atau industri dengan perguruan tinggi dapat meningkatkan produktifitas perusahaan dan 

universitas sebesar 2 persen.  

Krisis  ekonomi  yang  terjadi  tahun  1997  juga  mengenai  Australia.  Di  bawah 

kepemimpinan Perdana Menteri John Howard, melakukan penghematan terhadap fiskal 

dan  belanja  publik,  termasuk  biaya  untuk  dunia  pendidikan.  Pemerintah  Howard 

mengusulkan pemotongan anggaran untuk dana bantuan operasi universitas, sebesar 1,8 

miliar dollar selama empat tahun. Menteri baru, Senator Amanda Vanstone, memutuskan 

untuk menyebarkan penghematan biaya beban melalui langkah‐langkah berikut: 

Pengurangan biaya hibah operasi universitas 1997‐2000, sebanyak 6 persen selama 

empat tahun.  

Mendorong universitas‐universitas untuk memungut biaya, sejak tahun 1998, 

kepada mahasiswa program sarjana dalam negeri. 

Penghapusan  penasehat  independen  dan  badan  pengawas,  dalam  Dewan 

Pendidikan Tinggi. 

Penghematan  ini menuai protes dari berbagai kalangan, baik akademisi, LSM  juga 

partai oposisi. Protes besar‐besaran terjadi di berbagai negara bagian, namun pemerintah 

tetap pada keputusannya, mengurangi dana bantuan untuk pendidikan. Badai protes dari 

berbagai  kalangan  membuat  pemerintah  bimbang,  maka  pada  akhir  tahun  1999 

pemerintah  mengeluarkan  kebijakan  baru.  Pemerintah  menawarkan  tambahan  dana 

untuk  suplementasi  gaji.  Hal  ini  dilakukan,  dengan  universitas  yang  mau  melakukan 

Page 46: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

45 

reformasi manajemen  dan  administrasi.  Program  ini memberikan  tambahan  sebesar  2 

persen dari komponen gaji.  

Tak  lama  berselang  pada  Januari  2001,  pemerintah  kembali  mengeluarkan 

kebijakan dengan mengumumkan bantuan sebesar 2,9 miliar dollar, bantuan pemerintah 

dan setengah diberikan untuk perguruan  tinggi. Dana yang cukup besar  ini dialokasikan 

untuk  penelitian  kompetitif,  penelitian  infrastruktur  atas  penawaran  kolaboratif, 

beasiswa  untuk  2000 mahasiswa  untuk  program  yang  telah  ditentukan  serta  bantuan 

untuk mahasiswa program pascasarjana. 

Dengan  sistem  yang  terus  dikembangkan,  pendidikan  tinggi  Australia  yang  kini 

terdiri dari 37 perguruan  tinggi milik negara dan 3 perguruan  tinggi  swasta,  3  lembaga 

pendidikan  terakreditasi  dan  86  penyelenggara  pendidikan  tinggi  swasta  termasuk 

perguruan  tinggi  teologi. Di  bawah  reformasi  yang  terkandung  dalam Undang‐Undang 

Dukungan  Pendidikan  Tinggi  Higher  Education  Support  Act  (HESA)  tahun  2003, 

Commonwealth Grant  Scheme  (CGS)  telah menggantikan  sistem operasi  block  grant. Di 

bawah  sistem  CGS  37  perguruan  tinggi  akan  masuk  ke  dalam  Perjanjian  Pendanaan 

tahunan  dengan  pemerintah  yang menetapkan  sejumlah  program  yang  akan  dibiayai. 

Dengan  sistem  baru  ini,  pemerintah  telah mendorong meningkatnya  partisipasi  siswa 

sebesar  2,5  persen  mulai  tahun  2005.  Demikian  juga  meningkatnya  bantuan  untuk 

bangunan sebesar 7,5 persen pada 2007. 24 

 3.3.3.  Malaysia  

Malaysia  merupakan  negara  berkembang  di  dunia  ketiga  yang  mempunyai 

kemajuan  cepat  dalam  berbagai  bidang.  Di  bandingkan  negara‐negara  tetangganya 

seperti  Indonesia,  Thailand,  Filipina  kecuali  Singapura, Malaysia  terbilang  negara  yang 

paling cepat dalam membangun sistem pendidikan. Di era 1970‐an guru‐guru di Malaysia 

mulai dari guru Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, hampir  semuanya didatangkan 

dari  Indonesia,  namun  di  era  1990‐an  mahasiswa  dari  Indonesia  mengambil  program 

doktoral di Malaysia. Sebuah kondisi  yang  terbalik hanya  terjadi dalam kurun waktu  20 

24 Michael Gallagher, Australia  and Argentina. A  Comparative  analysis  from  the mid  1970’s  (Buenos Aires: ANU‐UBA, 2007)   

Page 47: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

46 

tahun.  Hal  ini  terjadi,  karena  perhatian  pemerintah  Malaysia  terhadap  pendidikan 

memang terbilang sangat tinggi. 25   

Pendidikan  tinggi  di Malaysia  dibagi menjadi  2  sektor: publik  (baca: negeri)  dan 

non‐publik  (baca:  swasta).  Di  sektor  publik,  terdapat  20  universitas  dan  6  university 

colleges, (istilah university college digunakan untuk pendidikan tingkat tinggi yang mampu 

memberikan gelar  sarjana  sendiri,  tetapi belum mencapai  status  universitas). Di  sektor 

non‐publik  ada  559  lembaga dari berbagai  jenis  termasuk:  universitas  dan  dan  kampus 

asing. Selain itu, masih ada kategori politeknik sebanyak 24 institusi.  

Dalam  beberapa  dekade  terakhir,  pemerintah Malaysia  telah melakukan  upaya 

yang cukup  signifikan dalam memperbaiki  sistem pendidikan  tinggi  secara keseluruhan. 

Hal yang paling krusial dihadapi pemerintah Malaysia dalam menangani perguruan tinggi 

adalah masalah pembiayaan dan akses. Dalam hal akses ke pendidikan tinggi, pada tahun 

1965  sampai  2005  masyarakat  Malaysia  yang  dapat  mengakses  ke  perguruan  tinggi 

kurang dari  30 persen. Rendahnya  akses masyarakat ke perguruan  tinggi, menjadi  ‘PR’ 

bagi pemerintah Malaysia untuk melakukan terobosan kebijakan. Maka lahirlah kebijakan 

baru  dari   Kementerian  Pendidikan, bahwa pada  tahun  2010  ini,  akses  serta partisipasi 

masyarakat  ke  pendidikan  tinggi  dapat mencapai  40  persen  orang muda  (usia  18‐24). 

Dengan  kata  lain,  akan  terjadi  peningkatan  pendaftaran  dari  650.000 mahasiswa  pada 

tahun 2005 menjadi 910.000 mahasiswa pada tahun 2010. 

Beragamnya  etnis  di  Malaysia  juga  berkontribusi  dalam  persoalan  akses  ke 

perguruan  tinggi. Masalah  akses pendidikan  tinggi  terus menimbulkan pertentangan di 

antara berbagai kelompok etnis di Malaysia. Kuota ras (dimana sebelumnya orang Melayu 

mendapat kuota tertentu di setiap universitas negeri) telah dihapuskan pada tahun 2002. 

Akses ke perguruan tinggi negeri kini harus berdasarkan pada kemampuan. Meski kuota 

orang Melayu sudah dihapuskan, namun perdebatan tidak otomatis berhenti. Bagi orang 

Melayu asli,  atau Bumiputera, adanya kuota di perguruan tinggi negeri, bukan merupakan 

prioritas atau pemanjaan, sebab orang melayu untuk masuk ke perguruan  tinggi negeri 

harus melalui program/matrikulasi pra‐universitas, selain itu mereka juga harus membayar 

biaya  pendidikan  dan  biaya  lainnya,  belum  lagi  biaya  hidup  (meskipun  akomodasi  di 

25 Hal ini bisa terlihat dari mahasiswa Indonesia yang kuliah program doctoral di Malaysia pada era 1990‐an yaitu Yusril  Ihza Mahendra (USM, mantan Menkumham), Muhammad Nur (UM, Sekretaris program pasca sarjana Universitas Nasional,) Amir Santoso, (USM, sekretaris program pasca sarjana UniversitasIndonesia,) dan masih banyak lagi yang lain.

Page 48: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

47 

kampus disubsidi oleh pemerintah). Sedangkan bagi non‐bumiputera dapat mengakses 

perguruan  tinggi  negeri  dengan  berbekalkan  ijazah    Sijil  Tinggi  Persekolahan Malaysia 

(STPM ) setingkat SMA. 

Masalah  lain  yang  cukup  rumit  di Malaysia  adalah masalah  'korporatisasi,'  atau 

‘swastanisasi’.  ‘Swastanisasi’  ini menjadi dilema bagi pendidikan tinggi di Malaysia sebab 

di  satu  sisi  pendidikan  tinggi  milik  pemerintah  ini  menginginkan  untuk  mendapatkan 

otonomi, namun di sisi lain masih membutuhkan bantuan keuangan dari pemerintah yang 

sangat besar.  

Dalam beberapa dekade  terakhir, Malaysia  telah melakukan proses  transformasi 

ekonomi  dari  produksi  massal  dan  tenaga  kerja  yang  relatif  tidak  terampil  on  mass 

production  and  relatively  unskilled  labor  kepada  produksi  pengetahuan  yang  kreatif. 

Dalam  melaksanakan  perubahan  ini,  negara  telah  mengalokasikan  8  persen  (RM  11,3 

miliar)  dari  total  pengeluaran  pemerintah  (APBN)  hanya  untuk  pendidikan  tinggi. 

Persentase ini relatif tinggi, sebab subsidi biaya kuliah yang diberikan langsung ke kampus 

belum masuk di dalamnya. 

Besarnya  investasi  pemerintah  pada  pendidikan  tinggi,  mengakibatkan 

pemerintah  terlalu  jauh  terlibat  di  perguruan  tinggi,  karenanya muncul  keinginan  dari 

perguruan tinggi untuk otonom. Katerbatasan universitas dalam mengelola dirinya sangat 

terasa  ketika  universitas  tidak  dapat menentukan  sendiri  untuk menseleksi mahasiswa 

yang berkualitas sesuai dengan kompensasi dalam persaingan di setiap fakultas.  

Apa  yang  terjadi  sekarang,  pemerintah  sangat  dominan  dalam  mengatur 

masuknya mahasiswa  ke  universitas.  Saat  ini,  siswa  ditugaskan  ke  universitas  tertentu 

berdasarkan nilai rata‐rata yang mereka peroleh. Sementara itu, pengelola fakultas adalah 

pegawai  negeri  sipil  dengan  gaji  tinggi,  demikian  juga  dengan wakil  rektor  dan  dekan 

yang diangkat oleh negara.  

Pada  tahun  1997,  pemerintah  membentuk  Dana  Nasional  Pendidikan  Tinggi 

Corporation, National Higher  Education  Fund  Corporation  (NHEFC),  sebuah  direktorat di 

Departemen Pendidikan Tinggi yang memberikan pinjaman bersubsidi untuk siswa yang 

kuliah di  lembaga swasta. Pada  tahun 2000, pemerintah  juga memperpanjang pinjaman 

Page 49: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

48 

kepada  siswa yang kuliah di perguruan  tinggi negeri. Antara  1997 dan 2005, uang  yang 

dikeluarkan NHFEC sekitar RM 15,1 miliar untuk sekitar 800.000 siswa.26  

Meskipun  program  pinjaman  ini  telah  dirasakan  manfaatnya  oleh  banyak 

mahasiswa, namun masih tetap dilakukan perbaikan disana sini untuk efisiensi yang lebih 

besar.  Saat  ini  tidak  ada  pembatasan  berapa maksimal  pendapatan  yang  tidak  boleh 

menerima  pinjaman,  dengan  demikian  banyak  orang  kaya  yang mendapat  keuntungan 

dengan adanya pinjaman dari pemerintah. Pinjaman yang sekarang berlaku berdasarkan 

jenis  gelar  yang  dikejar,  yang  mungkin  akan  menimbulkan  bias  dalam  mendukung 

mahasiswa.  Saat  sekarang  ini  ada  sekitar  21  persen  dari  pinjaman  diberikan  kepada 

mahasiswa yang belajar universitas swasta, dan pada tahun 2005 sampai  2007 meningkat 

menjadi 32 persen. Meskipun persentase siswa penerima pinjaman belajar di universitas 

swasta telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat berharap mayoritas 

pinjaman akan diberikan kepada siswa yang belajar di perguruan tinggi negeri, mengingat 

perbedaan dalam hal biaya. 

Isu  paling  penting  yang  dihadapi  program  pinjaman  ini  adalah  kesinambungan 

keuangan.  Secara  umum,  kepatuhan  dalam membayar  pinjaman masih  sangat  rendah, 

karenanya Departemen Keuangan memotong anggaran ke NHEFC dalam beberapa tahun 

terakhir.  NHEFC  melaporkan  bahwa  uang  yang  dipulangkan  dari  pinjaman  hanya  25 

persen dari apa yang seharusnya kembali. Hal ini menyebabkan NHEFC meminjam uang ke 

lembaga lain dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.      

       

3.3.4.   India  

Dana untuk pendidikan tinggi di India datang dari tiga sumber yang berbeda, yaitu, 

pemerintah,  biaya  pendapatan  dari  mahasiswa  dan  sumber  pendapatan  lain  dari 

filantropi,  industri, penjualan publikasi, dan  lain  lain. Ketergantungan pendidikan  tinggi 

pada biaya dari pemerintah sangat tinggi yaitu 49,4 persen, dan tingkat ketergantungan 

ini semakin tinggi  menjadi 75,9 persen pada tahun 1986‐1987. Di sisi lain, pendapatan dari 

mahasiswa menurun drastis dari 36,8 persen menjadi  12,6 persen  selama periode  yang 

26 G.Sivalingam,  Privatization of Higher Education in Malaysia, Monash University Malaysia, 2004. 

 

Page 50: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

49 

sama.  Sementara  sumber‐sumber  lain  seperti  filantropi,  industri  serta  kerjasama hanya 

sekitar 10 persen sepanjang periode.  

Biaya  pendidikan  tinggi  di  India,  sekitar  tiga‐perempat  dari  total  pengeluaran 

ditanggung oleh pemerintah. Karena pendidikan tinggi bagi pemerintah India merupakan 

bagian yang tak dapat dipisahkan dari aktifitas negara. Sampai dengan tahun 1986‐1987, 

sumber dana dari non‐pemerintah seperti biaya SPP dan sumbangan lainnya yang bersifat 

sukarela relatif kecil.  

Di  sisi  lain,  kebutuhan  sistem  pendidikan  tinggi  semakin  berkembang  pesat. 

Namun sayangnya, anggaran publik tidak cukup dana, terutama untuk sektor pendidikan. 

Menyadari  kekurangan  tersebut,  maka  dalam  dekade  terakhir,  beberapa  eksperimen 

alternatif mulai diberlakukan seperti biaya siswa, pinjaman mahasiswa, pajak pascasarjana 

dan privatisasi diintensifkan. 

Meskipun  akses mahasiswa  semakin  bertambah  secara  absolut,  namun  hanya  7 

persen dari penduduk pada kelompok usia 17‐24 yang dapat belajar di pendidikan tinggi di 

India. Meski sudah ada kemudahan akses, namun anak muda  lebih cenderung atau  lebih 

menyukai belajar di luar negeri. Jika dilihat dari persentase ini, maka bisa dikatakan bahwa 

akses mahasiswa  ke  perguruan  tinggi  terbilang  kecil.  Hal  ini  semakin  disadari  bahwa 

anggaran publik untuk pendidikan masih sangat kurang.  

Seiring dengan  reformasi ekonomi dan pemotongan anggaran publik khususnya 

untuk  biaya  pendidikan  tinggi,  sejumlah  panitia  telah  dibentuk  untuk meneliti masalah 

alternatif mobilisasi  sumber  daya  keuangan.  Semua  panitia memiliki  konsensus  bahwa 

salah satu sumber utama pendapatan adalah biaya dari siswa. Panitia merekomendasikan 

untuk peningkatan biaya dan dalam segala macam biaya. Dengan demikian, paling tidak di 

dapatkan  sedikitnya  15  persen  sampai  25persen  biaya  di  dapatkan  dari mahasiswa  itu 

sendiri.27  

Hal  ini  masih  menjadi  perdebatan  di  masyarakat  India,  namun  pemerintah 

sekarang  sedang  berusaha  keras  untuk  tetap memberikan  subsidi  terhadap  perguruan 

tinggi  dengan  jumlah  yang  lebih  besar. Usaha  pemerintah  ini  juga  dalam  rangka,  agar 

27 P. Geetha Rani, Economic Reforms and Financing Higher Education in India. (Selected Paper: New Delhi) 

 

Page 51: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

50 

kalangan  ekonomi menengah  ke  atas  untuk  berpartisipasi  mengkuliahkan  anaknya  di 

dalam negeri.  

 

3.3.5.  Inggris                   

Pendanaan pendidikan tinggi di Inggris ada dua model, pertama untuk yang kuliah 

full time dan kedua untuk yang kuliah part time (di  Indonesia  tidak mengenal part time, 

semua mahasiswa kuliah full time). Untuk mahasiswa yang full time biaya yang disubsidi 

oleh  pemerintah  dua  kali  lipat  dibandingkan  dengan  biaya  yang  diberikan  pada 

mahasiswa part time. Hal  ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi siswa 

dalam memasuki perguruan tinggi di Inggris. Sebab Inggris tingkat partisipasi siswa untuk 

memasuki perguruan tinggi di Inggris, menurut standar internasional, terbilang rendah. 

Terobosan  kebijakan  yang  dilakukan  pemerintah  Inggris  dengan  memberikan 

subsidi  lebih  banyak  pada  mahasiswa  full  time  ternyata  cukup  berhasil  meningkat 

partisipasi mahasiswa untuk kuliah full time. Berdasarkan data statistik, pada tahun 1980 

hanya 13 persen orang muda yang kuliah full time, sedangkan pada tahun 1999 meningkat 

menjadi  34  persen  dan  tahun  2010  pemerintah  menetapkan  target  angka  partisipasi 

mahasiswa  yang  kuliah  full  time  menjadi  50persen.  Demikian  juga,  kalau  dilihat  dari 

partisipasi angka jender terjadi peningkatan, partisipasi perempuan untuk kuliah full time 

hampir menyamai  laki‐laki,  jika  dipersentasikan  55persen  laki‐laki:45persen  perempuan. 

Besarnya  bantuan  subsidi  yang  dilakukan  pemerintah  dapat mengurangi  beban  siswa 

sebanyak 50 persen. 

Perubahan  angka partisipasi  ini dalam  20  tahun  terakhir  ini,  turut  juga merubah 

kondisi perekonomian, sebab semakin banyak  lulusan universitas yang bekerja di sektor‐

sektor  formal dengan gaji memadai. Maka semakin meningkat pendapatan masyarakat. 

Bantuan  yang diberikan pada mahasiswa  tidak hanya bantuan  langsung berupa  subsidi 

yang  diberikan  ke  universitas,  namun  juga  diberikan  bantuan  dalam  bentuk  voucher. 

Voucher  ini  digunakan  bagi  mereka  yang  telah  memenuhi  persyaratan  masuk  ke 

universitas,  voucher  ini  bisa  digunakan  untuk  biaya  kursus mata  kuliah  yang  dianggap 

tertinggal.  Voucher  juga  dapat  digunakan  membantu  keluarga  mahasiswa  yang 

kekurangan. Namun  demikian,  voucher  ini mengundang  perdebatan  yang  cukup  lama, 

Page 52: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

51 

namun seiring dengan waktu dan perdebatan yang panjang, pada akhirnya voucher dapat 

diterima, sebagai salah satu mekanisme bantuan pemerintah.  

Meski  pemerintah  memberikan  subsidi  kepada  para  mahasiswa,  bukan  berarti 

mahasiswa  tidak  membayar  sama  sekali.  Sejak  tahun  1997  siswa  di  Inggris  telah 

diwajibkan  untuk  memberikan  kontribusi  terhadap  pendidikan.  Ini  pada  awalnya 

ditetapkan  sebesar  1.000  foundsterling,  kontribusi  ini  untuk  menguji  sejauhmana 

keseriusan  kuliah  di  universitas. Namun  kontribusi  ini  hanya  ditunaikan oleh  42 persen 

mahasiswa,  19  persen  hanya  memberikan  kontribusi  parsial  atau  setengahnya  dan 

selebihnya tidak memberikan kontribusi. Selain  itu, ada hal yang tidak bisa dihindari oleh 

mahasiswa yaitu membayar setiap mata kuliah, dimana harganya semua mata kuliah tidak 

ada yang berbeda.28  

Pemerintah  Inggris  memberikan  kebebasan  yang  sangat  luas  pada  pihak 

universitas untuk mengatur berapa biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. 

Ada beberapa pertimbangan dalam memutuskan berapa biaya kuliah yang harus dibayar 

oleh mahasiswa. Pertama,  laporan keuangan membuktikan bahwa pemasukan uang dari 

mahasiswa mempunyai kontribusi yang  signifikan. Kedua,  setiap universitas mempunyai 

perbedaan  dalam  menentukan  struktur  biaya,  misalnya  mata  kuliah  campuran  yang 

menuntut  keseimbangan  antara  kegiataan  dan  pengajaran,  penelitian  dan  transfer 

teknologi,  demikian  juga  apakah mereka  akan  fokus  pada  regional  atau  internasional, 

demikian  juga  dengan  struktur  upah mereka.  Poin  dua  ini  sebelumnya memang  tidak 

pernah  ada,  dengan  kata  lain  struktur  biaya  yang  terjadi  sekarang memang  berbeda 

dengan 40  tahun  yang  lalu. Ketiga, perencanaan  yang dibuat  sekarang memang    tidak 

berhubungan dengan biaya pengajaran, demikian juga dengan kualitas infrastruktur.  

Mekanisme penghitungan biaya kuliah  tergantung  kemampuan masyarakat.  Jika 

universitas  menghitung  biaya  kuliah  dengan  nilai  yang  maksimum,  maka  akan  dapat 

menghasilkan uang yang sangat banyak. Untuk biaya kuliah di Inggris, bagi warga negara 

Inggris mencapai 4 ribu founsterling, sedangkan bagi mahasiswa yang berasal bukan dari 

Uni Eropa mencapai sekitar 7  ribu untuk mata kuliah berbasis di  ruang kelas dan 9  ribu 

untuk mata kuliah berbasis di labolatorium serta 17 ribu untuk mata kuliah di klinik. 

28 Nicholas Barr,Financing Higher Education: Comparing the Options,  The Guardian, June 12, 2003, London. 

 

Page 53: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

52 

Metode pembiayaan dengan nilai maksimal akan menghadapi masalah yaitu tidak 

berpartisipasinya masyarakat  yang  berpenghasilan  rendah.  Jika  demikian  halnya, maka 

akses  ke  perguruan  tinggi  akan  mengalami  kesulitan  atau  kemunduran.  Kondisi  ini 

menuntut kebijakan yang komprehensif. Pertama, pembayaran tetap ada, namun melalui 

mekanisme pinjaman. Pada dasarnya skema pinjaman yang dapat menghasilkan sumber 

tambahan bagi universitas. Selain itu, pinjaman juga untuk meningkatkan akses masuk ke 

perguruan tinggi.29  

Kebijakan  pinjaman  yang  diberikan  pemerintah  kepada  mahasiswa  mempunyai 

tujuan  agar  kesan  pembayaran  di  muka  bisa  berkurang.  Tujuan  selanjutnya,  untuk 

menghilangkan persepsi bahwa pendidikan menjadi  sesuatu  yang konsumtif. Pada  saat 

yang  sama,  dana  pinjaman  yang  diberikan  kepada mahasiswa  bukan  berasal  dari  dana 

publik.  

Sebagaimana  disampaikan  sebelumnya,  bahwa  akses  ke  perguruan  tinggi  di 

Inggris,  berdasarkan  standar  internasional  terbilang  rendah.  Namun  setelah  berbagai 

kebijakan pendanaan untuk perguruan tinggi diperbaiki, maka akses ke perguruan tinggi 

menjadi  semakin  membaik.  Dengan  adanya  pinjaman,  voucher  dll,  bagi  masyarakat 

berpenghasilan  rendah  sangat  amat membantu,  sehingga masuk  ke  perguruan  tinggi 

tidak  menjadi  sesuatu  yang  elitis.  Lebih  jauh,  ketersediaan  kredit  bagi  mahasiswa, 

memberikan solusi yang sangat efektif, meski tidak menyelesaikan seluruh persoalan. Hal 

ini  dapat  terlihat  dari  bukti  terbaru  yang  menegaskan  bahwa  kombinasi  biaya  dan 

pinjaman dapat meningkatkan akses.  

Pelajaran yang didapatkan dari berbagai Negara adalah sebagai berikut; 

Pelajaran yang didapatkan dari Amerika: 

1. Pembiayaan perguruan tinggi tidak sentralisasi, tapi desentralisasi. Dengan kata  lain 

pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota alokasi anggarannya lebih difokuskan untuk 

PT yang ada di daerahnya. 

2. Beragamnya  pola  pemberian  beasiswa  yang  diberikan  pemerintah  layak  untuk 

dipertimbangkan di Indonesia. 

3. Dengan  decentralisasi  akan  semakin  mudah  bagi  pemerintah  untuk  memberikan 

beasiswa kepada putra daerahnya. 

29 Ibid,. 

Page 54: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

53 

Urgensi desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu : 

1. Untuk membangun kompetisi yang sehat antar provinsi atau kabupaten/kota dalam 

ilmu pengetahuan.  

2. Untuk mempercepat pembangunan sumber daya manusia di setiap daerah  

3. Keunggulan setiap daerah akan terjaga dan terartikulasikan dalam ilmu pengetahuan 

4. Pada  saat  ini  pendidikan  nasional  juga  masih  dihadapkan  pada  beberapa 

permasalahan  yang  menonjol  (1)  masih  rendahnya  pemerataan  memperoleh 

pendidikan;  (2) masih  rendahnya  kualitas  dan  relevansi  pendidikan;  dan  (3) masih 

lemahnya manajemen pendidikan, di  samping belum  terwujudnya  kemandirian dan 

keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi.30 

Pelajaran yang didapatkan dari Australia; 

1. Meski  berganti  kepemimpinan  nasional  (Perdana  Menteri)  namun  program 

pendidikan  tetap  menjadi  skala  prioritas,  sehingga  pada  setiap  kepemimpinan 

perubahan kebijakan terhadap pendidikan semakin membaik. 

2. Pemerintah dalam mengembangkan pendidikan  juga memfasilitasi untuk kerjasama 

antara Universitas dengan dunia Industri. 

3. Dana  dari  pemerintah  dikelola  oleh  lembaga  tersendiri  di  bawah  Kementerian 

Pendidikan.  

Pelajaran yang didapatkan dari Malaysia; 

1. Visi yang  jelas dari pemerintah Malaysia tentang pendidikan on mass production and 

relatively  unskilled  labor  to  creative  productive  knowledge.  Dalam  konteks  ini 

pemerintah melihat bahwa ilmu pengetahuan sebagai industri. 

2. Implikasi  dari  visi  ini  pemerintah Malaysia  berani mengeluarkan  anggaran  sebesar 

apapun. Karena ilmu pengetahuan adalah industri yang memerlukan investasi. 

3. Hanya kurang lebih 20 tahun Malaysia sudah mendapatkan ‘hasil’ dari investasinya 

4. Dana  dari  pemerintah  dikelola  oleh  lembaga  tersendiri  di  bawah  Kementrian 

Pendidikan. 

30  Sumber  pendanaan  yang  berasal  dari  APBD  Propinsi,  umumnya  sebagian  besar  diperuntukkan  bagi pendidikan  tingkat  dasar  dan  menengah.  Hanya  sebagian  kecil  yang  dialokasikan  untuk  mendukung kegiatan  di  tingkat  pendidikan  tinggi.  Sumber  dana  dari  APBD  propinsi  ini  dialokasikan  untuk penyelenggaraan pendidikan yang ada diwilayah propinsi tersebut. Adapun sumber pendanaan dari APBD Kabupaten/Kota  seluruhnya  untuk mendukung  penyelenggaraan  pendidikan  di wilayah  tersebut.  Hal  ini sesuai dengan semangat desentralisasi.  

Page 55: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

54 

Pelajaran yang didapatkan dari India; 

1. Kebergantungan  terlalu  tinggi  pada  dana  pemerintah  tidak menjamin  kualitas  dan 

akses pendidikan tinggi menjadi semakin baik. 

2. Buruknya  kualitas  pendidikan  di  dalam  negeri, membuat mahasiswa  banyak  yang 

sekolah ke luar negeri. Dari hal ini dapat di analisa bahwa untuk Indonesia selain harus 

terus meningkatkan kualitas pendidikan, juga perlu mengangkat citra bahwa ‘produk’ 

dalam negeri juga tidak kalah oleh luar negeri. 

3. Tidak  ada  upaya  dari  pemerintah  untuk  menjadikan  universitas  menjadi  lembaga 

mandiri 

Pelajaran yang didapatkan dari Inggris; 

1. Adanya  jaminan  dari  pemerintah  bagi  keluarga  kurang mampu  untuk melanjutkan 

kuliah di perguruan tinggi 

2. Besarnya  subsidi  dari  pemerintah  untuk  mahasiswa  tidak  menjamin  tinggi  akses 

partisipasi masyarakat. 

3. Dana  dari  pemerintah  dikelola  oleh  lembaga  tersendiri  di  bawah  Kementrian 

Pendidikan. 

    

     

BAB IV  POTRET MAKRO DAN MIKRO PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI 

 4.1. Potret Makro Pendanaan Pendidikan Tinggi 

Amandemen  UUD  1945,  yang  dilakukan  pada  tahun  1999  hingga  tahun  2002, 

memberikan dorongan yang signifikan dalam hal pendanaan bagi dunia pendidikan. UUD 

1945 hasil amandemen mengamanahkan, dalam pasal 31 ayat 4, “Negara memprioritaskan 

anggaran pendidikan  sekurang‐kurangnya dua puluh persen dari  anggaran pendapatan 

Page 56: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

55 

dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi 

kebutuhan  penyelenggaraan  pendidikan  nasional”.  Pasal  31  ayat  4  ini,  mewajibkan 

pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dari APBN dan APBD sekurang‐kurangnya 20 

persen.  Sejak  terbentuknya  pemerintahan  baru  dimana  Susilo  Bambang  Yudhoyono 

terpilih  sebagai  Presiden  dan  Jusuf  Kalla  sebagai  wakil  Presiden,  maka  upaya  untuk 

manjalankan UUD 1945 sangat terlihat.  

 

Gambar 4.1  Perkembangan Pendanaan Pendidikan Tinggi 2004‐2010 (Milyar  Rupiah)   

           

Sumber data Dirjen Pendidikan Tinggi  

Jika  kita  lihat  gambar  4.1.  maka  sangat  jelas  kenaikan  anggaran  pada  setiap 

tahunnya, baik anggaran pembangunan, dana rutin, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak 

(PNBP) secara keseluruhan terus meningkat. Dana pembangunan pada tahun 2004 hanya 

2,364 milyar  rupiah  ,  sedangkan  pada  tahun  2009  sebesar  9,640  milyar  rupiah,  dana 

pembangunan ini digunakan untuk membangun infrastruktur. Sedangkan dana rutin yang 

juga  terus meningkat,  pada  tahun  2004  sebesar  3,386 milyar  rupiah  dan  tahun  2009 

menjadi  6,829 milyar  rupiah,  lebih  banyak  digunakan  untuk  gaji  dosen  dan  karyawan. 

Terakhir  dana  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak  (PNBP)  menunjukan  peningkatan 

partisipasi masyarakat  dalam membiayai  pendidikan  tinggi,  tapi  di  sisi  lain,  hal  ini  juga 

harus  di  waspadai,  karena  ini  bermakna  perguruan  tinggi  semakin  komersil,  karena 

semakin banyaknya dana masyarakat yang masuk ke perguruan tinggi.  

 

Page 57: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

56 

Tabel  4.1. Peta Alokasi Anggaran Pendidikan Tinggi 2006‐2010  Kementerian Pendidikan Nasional 

No  KEGIATAN ALOKASI DANA (x 1.000) 

2006  2007  2008  2009  2010 

1  ALOKASI KEGIATAN PUSAT 

1.860.128.782  2.162.435.687  1.961.785.143  2.194.367.126  1.985.108.194 

2   ALOKASI PTN 

5.327.524.017  7.401.290.320  7.602.313.051  11.280.587.027  14.124.559.332 

 a. BHMN   940.466.361  1.347.472.295  1.277.296.521  1.979.327.722  2.722.910.770 

 b. PTN BLU  

     2.316.823.100  3.902.846.977 

 c. PTN Non BLU  

4.387.057.656  6.053.818.025  6.325.016.530  6.984.436.205  7.498.801.585 

3  ALOKASI Non PTN  65.635.321  75.552.805  204.684.829  219.560.632  257.415.198 

 a. Bantuan                  124.150.000  

         110.000.000  

         155.000.000  

 b. Hibah Kompetitif  

65.635.321  75.552.805  80.534.829  109.560.632  102.415.198 

4   PNBP  2.250.503.375  3.150.705.200  3.900.000.000  5.317.077.446  6.489.129.648 

TOTAL   9.503.791.495  12.789.984.012  13.668.783.023  19.011.592.231  22.856.212.372 

Sumber Data Dirjen Pendidikan Tinggi 2010  

Tabel  4.1,    memberikan  informasi  alokasi  dana  pendidikan  tinggi  yang  terus 

meningkat. Alokasi anggaran ini terdiri dari empat numenklatur, Kegiataan Pusat, Alokasi 

PTN,  Alokasi  non  PTN,  dan  PNBP.  Alokasi  anggaran  untuk  kegiataan  pusat  terjadi 

fluktuatif,  tahun  2006  sebesar    1,86  triliun  rupiah,  tahun  2007  terjadi  kenaikan menjadi 

2,162  triliun  rupiah,  dan  tahun  2008  kembali  terjadi  penurunan  sebesar    1,961  triliun 

rupiah,  tahun 2009  terjadi kenaikan menjadi 2,194  triliun  rupiah dan  tahun 2010 kembali 

menurun menjadi 1,985 triliun rupiah. 

Sedangkan untuk alokasi anggaran untuk Pendidikan Tinggi Negeri  (PTN)  secara 

keseluruhan pada  setiap  tahunnya  terjadi  kenaikan  yang  signifikan. Tahun  2006 alokasi 

anggaran  untuk  PTN  sebesar  5,327  triliun  rupiah  dan  tahun  2010  sebesar  14,125  triliun 

rupiah.  Demikian  juga  alokasi  anggaran  untuk  non  PTN  setiap  tahunnya  mengalami 

kenaikan  yang  signifikan.  Tahun  2006  alokasi  anggaran  untuk  non  PTN  sebesar  65,64 

milyar rupiah dan tahun 2010 sebesar 257,42 milyar rupiah. 

Page 58: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

57 

Pada saat yang sama, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)  juga mengalami kenaikan 

yang  signifikan. Tahun  2006, PNBP  sebesar  2,250  triliun  rupiah dan  tahun  2010  sebesar  

6,489 triliun rupiah. 

 

Tabel 4.2. Peta Alokasi Anggaran Pendidikan Tinggi Islam  2006‐2010 Kemenag (x 1000)  

No  Kegitan  2006  2007  2008  2009  2010 

1 Alokasi Kegiatan Pusat  54,517,900  59,583,800  132,191,250  120,220,000  215,938,000 

2  Alokasi PTAIN  1,949,556,478  982,183,372  592,829,450  1,818,785,765  1,679,109,100    a. BLU  0  0  0  130,856,914  304,055,233 

  b. PTN Konvensional  0  0  0  0  0 

   c. Hibah/Pinjaman  325,000,000  237,373,373  495,509,400  316,454,400  279,523,000    d. Lain‐lain  1,624,556,478  744,809,999  97,320,050  1,371,474,451  1,095,530,867 3  Aloaksi Non PTAIN  0  0  0  0  0    a. Bantuan  0  0  0  0  0    b. Hibah Kompetitif  0  0  0  0  0    c. Lain‐lain  0  0  0  0  0 4  PNBP  4,573,756  145,760,320  283,964,654  345,995,352  199,283,832 

   Total  2,008,648,134  1,187,527,492  1,008,985,354  2,285,001,117  2,094,330,932 Sumber Kementerian Agama 2010  

Demikian  juga  terjadi kenaikan anggaran untuk pendidikan di bawah Kementrian 

Agama.  Tabel  4.2.    menunjukan  pengalokasian  dana  pendidikan  tinggi  di  bawah 

Kementrian Agama yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi anggaran ini terdiri 

dari empat numenklatur, Kegiataan Pusat, Alokasi PTAIN, Alokasi non PTAIN, dan PNBP. 

Alokasi  anggaran  untuk  kegiataan  pusat  terjadi  kenaikan  dari  tahun  ke  tahun. 

Tahun  2006  sebesar    54,518 milyar  rupiah,  dan    tahun  2010 menjadi  215 milyar  rupiah. 

Sedangkan  alokasi  secara  keseluruhan  untuk  PTAIN  terjadi  fluktuasi.  Tahun  2006, 

anggaran  sebesar    1,95  triliun  rupiah,  tahun  2007  terjadi  penurunan  menjadi  sebesar 

kurang  lebih  982  milyar  rupiah,  tahun  2008  terjadi  penurunan  lagi,  menjadi  sebesar 

kurang  lebih 593 milyar rupiah, tahun 2009 terjadi kenaikan, menjadi sebesar 1,82 triliun 

rupiah dan tahun 2010 terjadi penurunan, menjadi sebesar 1,68 triliun rupiah. Sementara 

alokasi untuk non PTAIN tidak ada. 

Terakhir, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami fluktuasi. Tahun 

2006, PNBP sebesar 4,54 milyar rupiah, tahun 2007 mengalami kenaikan drastis menjadi 

sebesar kurang  lebih 146 milyar rupiah, tahun 2008 kembali mengalami kenaikan drastis, 

Page 59: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

58 

menjadi sebesar kurang lebih 283 milyar rupiah, tahun 2009 lagi‐lagi mengalami kenaikan 

drastis, menjadi sebesar 346 milyar rupiah dan tahun 2010 mengalami penurunan drastis, 

menjadi sebesar 199 milyar rupiah. 

Untuk  melihat  bagaimana  pelaksanaan  pendidikan  tinggi  secara  makro  baik 

perguruan  tinggi  negeri  maupun  perguruan  tinggi  negeri  agama  islam,  khususnya 

pelaksanaan kebijakan dalam hal pendanaan pendidikan  tinggi bisa dilihat pada gambar 

4.2. Peta Pendanaan  PTN  dan  PTAN. Berdasar hasil olahan,  struktur pendanaan makro 

Pendidikan  Tinggi    baik  Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama memiliki komposisi yang tidak merata. Hal ini terbukti dengan peran besarnya 

pemerintah dalam mendanai Pendidikan Tinggi di  Indonesia  yaitu  sebesar 59,92 persen 

dari  kebutuhan  Pendidikan  Tinggi.  Dana  Pemerintah  yang  dimaksud  sebagian  besar 

disalurkan   melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama diluar Kementerian  lain  

dan Pemerintah Daerah.   

 

Gambar 4.2. Peta Pendanaan PTN dan PTAN   

 Dana  Masyarakat  memiliki  kontribusi  terhadap  kebutuhan  Pendidikan  Tinggi 

sebesar 28,78 persen. Dana Masyarakat yang dimaksud sebagian besar berasal dari dana 

Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan/Dana Penyelenggaraan Pendidikan  (SPP/DPP), 

selain  dana  yang  bersumber  dari  penerimaan  mahasiswa  baru,  sumbangan  wajib, 

sumbangan  sukarela,  persatuan  orang  tua,  dan  lai‐lain.  Sedangkan  sumber  pendanaan 

Pendidikan  Tinggi paling  kecil berasal dari Dana Bantuan dan Kerjasama,  yaitu  sebesar 

8,50 persen dari kebutuhan Pendidikan Tinggi. 

Sedangkan hasil yang diperoleh atas dana‐dana yang diinvestasikan ke Pendidikan 

Tinggi memberikan output  yang  relative baik  yaitu  sebesar 86,20 persen, artinya dana‐

Page 60: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

59 

dana yang diterima Pendidikan Tinggi dijalankan dan dialokasikan relatif baik guna proses 

pembelajaran  Pendidikan  Tinggi.  Agar  lebih  jelasnya  dapat  dilihat  pada  gambar  4.3. 

Tingkat Pencapaian Sasaran PTN dan PTAN. 

Gambar 4.3. Tingkat Pencapaian Sasaran PTN dan PTAN 

  

Setelah melihat dari sisi kuantitatif, perlu dilihat kondisi lingkungan selama proses 

pencarian  alternatif‐alternatif  dana  pendidikan  tinggi.  Selama  proses  pendanaan 

pendidikan  tinggi,  ada  hambatan‐hambatan  yang  ditemukan  selama  proses pendanaan 

pendidikan  tinggi.  Selain  itu,  kondisi  ini merupakan bahan masukan dalam membentuk 

model  yaitu  faktor  kondisi  pendidikan  tinggi  dilihat  dari  hambatan  dan  peluangnya 

pendidikan  tinggi  dalam  mengoptimalkan  pendanaan  pendidikan  tinggi.  Adapun 

hambatan‐hambatan yang ditemukan selama proses pendanaan pendidikan tinggi adalah 

sebagai berikut : 

1. Tingkat  seleksi  sumber  pendanaan  untuk    penelitian  berskala  nasional  dan 

internasional semakin sulit dan tidak termonitor dengan baik 

2. Pengelolaan Asset Tetap dan Tak Tetap belum tertata dengan dengan baik 

3. Analisa dan Perencanaan kebutuhan biaya dalam alokasi   DIPA‐APBN belum optimal,  

terbukti dengan adanya : 

a. Munculnya  kebutuhan mendadak  yang  tak  terduga  dan  bersifat mendasar  dan 

berpengaruh  terhadap  kelancaran  proses  pembelajaran,  yang  tidak  tercover 

dalam dikumen perencanaan tahunan 

b. Kekurangan dana yang dikarenakan adanya perubahan kurs ataupun  inflasi, yang 

mengakibatkan tidak mencukupinya kebutuhan yang direncanakan 

4. Belum  tersedianya  sistem  akutansi  standar  bagi  pendidikan  tinggi,  sehingga 

menimbulkan banyak kebocoran‐kebocoran keuangan 

5. Belum semua fakultas atau pendidikan tinggi, memiliki dana abadi  

Page 61: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

60 

6. Terbatasnya  dana  bagi  pengadaan,  fasilitas,  dan  pengembangan  infrastruktur 

pendidikan  tinggi  guna  meningkatkan  mutu  pendididkan  tinggi  agar  mampu 

mengembangakan potensi mahasiswa secara optimal  

7. Masih  rendahnya  penerimaan  pendanaan  misalkan  penerimaan  dana  masyarakat, 

unit‐unit bisnis,investasi, atau , khususnya untuk PT BHMN 

 

Hambatan‐hambatan  tersebut  diatas  ditemukan  pada  semua  perguruan  tinggi. 

Tetapi  selain  hambatan  yang  ditemukan  dalam  proses  pendanaan  alternatif,  ada  juga 

peluang‐peluang pendidikan tinggi dalam proses pendanaan pendidikan tinggi meskipun 

belum  terealisasi  secara  optimal.  Adapun  peluang‐peluang  tersebut  adalah  sebagai 

berikut : 

1. Tersedianya  skema pendanaan  riset  yang disediakan oleh pemerintah maupun non‐

pemerintah, dan produk risetnya sendiri bisa dipasarkan. 

2. Manajemen  asset  yang  optimal  sangat  berguna  sebagai  sumber  pendanaan 

alternative. 

3. Pendapatan  yang diperoleh dari pemamfaatan  kekayaan  awal  (berasal dari pendiri) 

tidak termasuk PNBP. 

4. Pegelolaan  dana  abadi  secara  optimal  guna  membantu  pembiayaan  pembelajaran 

pendidikan tinggi. 

5. Peningkatan kerjasama mitra industri guna memanfaatkan hasil riset. 

6. Hubungan kerjasama yang baik antara pendidikan tinggi dengan berbagai pihak,baik 

instansi  pemerintah  maupun  swasta,  dalam  negeri  dan  luar  negeri,  akan 

meningkatkan penerimaan pendidikan tinggi. 

7. Pertumbuhan  mahasiswa  baik  lokal  maupun  luar  negeri  sangat  membantu  dalam 

meningkatkan sumber penerimaan pendidikan tinggi. 

8. Akses yang  luas guna pengembangan   jejaringan baik nasional maupun  internasional, 

samakin mudah untuk meningkatkan kemitraan pendidikan tinggi 

9. Sumber pendanaan untuk publikasi  internasional yang menyangkut keunggulan atau 

masalah lokal semakin banyak 

10. Pengembangan jejaring kerjasama dengan alumni dan stakesholder 

 

4.2. Potret Mikro Pendanaan Pendidikan Tinggi 

Page 62: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

61 

4.2.1. BHMN 

a. IPB 

Gambar 4.4. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IPB (Milyar Rupiah) 

 

  

Berdasarkan  laporan keuangan  IPB,  sebagaimana dalam gambar 4.4 penerimaan 

dan  pengeluaran  pendanaan  IPB  selama  empat  tahun,  dari  tahun  2006  hingga  tahun 

2009, mengalami  surplus  (penerimaan  lebih besar dari pengeluaran).    Surplus  terbesar 

dihasilkan pada tahun 2009, kurang  lebih 40 milyar rupiah. Sedangkan surplus terendah, 

dihasilkan pada tahun 2006 yaitu sebesar 3 milyar rupiah. 

Berdasarkan gambar 4.5 di atas  selama 4  tahun,  tahun  2006 hingga  tahun 2009 

terjadi fluktuasi dalam struktur penerimaan dana. Seperti diketahui, sumber   pendanaan 

pendidikan tinggi berasal dari tiga sumber. Pertama, dana dari pemerintah, kedua, dana 

dari masyarakat dan ketiga dana dari bantuan dan kerjasama.  

Pada  tahun  2009,  dana  yang  diterima  IPB  dari  pemerintah, memiliki  persentasi 

terbesar selama 4 tahun terakhir yaitu sebesar 49,45 persen atau 309 milyar rupiah. Dan 

jika dilihat secara keseluruhan,  range dana  IPB dari pemerintah, diluar dana masyarakat 

dan dana bantuan dan kerjasama  yaitu antara 35,41 persen – 49,45 persen.  Dan selama 4 

tahun  terakhir,  sebagian  besar  dana  pemerintah  yang  diterima  IPB  berasal  dari 

Kementerian  Diknas,  kecuali  pada  tahun  2009,  dana  IPB  dari  pemerintah  selain  dari 

kementerian  Diknas,  24  persen  diperoleh  kementrian  lain.  Sedangkan  dana  IPB  dari 

pemerintah, tidak pernah mendapatkan dana pendidikan tinggi dari pemerintah daerah. 

Dan range dana IPB yang diperoleh dari dana masyarakat, yaitu antara 30,96 persen – 41 

Page 63: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

62 

persen.    Pada  tahun  2006,  dana  IPB  terbesar  dari  dana masyarakat  yaitu  sebesar  41 

persen. Dana masyarakat (gambar 4.6) yang dihasilkan sebagian besar berasal dari dana 

SPP/DPP,antara 68 persen  ‐ 85 persen. Dan dana masyarakat dari penerimaan mahasiswa 

baru dan sumbangan sukarela, mempunyai kontribusi yang cukup besar, sedangkan dana 

masyarakat dari sumbangan wajib, persatuan orang tua mahasiswa, dan lainnya (wisuda) 

relatif sangat kecil. 

 Gambar 4.5. Peta Pendanaan IPB (Milyar Rupiah) 

   

Gambar 4.6. Peta Pendanaan IPB dari Masyarakat 

  

Page 64: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

63 

  

Gambar 4.7. Peta Pendanaan IPB dari Bantuan dan Kerjasama 

  

Secara  kasat mata,  dapat  dilihat  bahwa  dana  IPB  dari  pemerintah  relatif  lebih 

besar  dibanding  dengan  dana  dari  masyarakat.  Begitu  juga  halnya  dengan  dana  dari 

bantuan dan kerja sama. Range dana IPB yang bersumber dari bantuan dan kerjsa sama, 

yaitu  antara  14,60  persen  –  24,87  persen,    dan  dana  bantuan  dan  kerjasama  terbesar 

diperoleh  pada  tahun  2008.  Adapun  dana  bantuan  dan  kerjasama  (gambar  4.7)  yang 

dihasilkan  selama  4  tahun  terakhir,  sebagian  besar  berasal  dari  hubungan  kerjasama 

dalam  negeri.  Dan  dana  bantuan  dan  kerjasama  memiliki  peran  yang  relatif  besar 

terhadap  IPB,  sedangkan  dana  bantuan  dan  kerjasama  dari masyarakat,  dunia  usaha, 

BUMN, BUMD, kerjasama luar negeri, dan lainnya relatif kecil. 

 Gambar 4.8. Peta Pengeluaran IPB 

Page 65: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

64 

  

Dengan melihat peta pengeluaran IPB (gambar 4.8), dapat dilihat  bahwa lebih dari 

30 persen dana  IPB digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai, dan biaya operasional 

pendidikan  (BOP)  ,  dan  dana  IPB  terbesar  kedua  lebih  difokuskan  pada  peningkatan 

kualitas  SDM  dan  mahasiswa  melalui  penelitian‐penelitian  baik  nasional  maupun 

internasional.  Dan  peta  pengeluaran  IPB  terhadap  pembangunan  IPB  dan  hubungan 

kerjasama  dalam  negeri  dengan  berbagai  pihak  dan  lain‐lain  relatif  cukup  besar. 

Sedangkan alokasi  terhadap pemeliharaan, pengabdian masyarakat, dan kerjasama  luar 

negeri  relatif kecil. 

Untuk lebih jelasnya, bagaimana perkembangan IPB selama 4 Tahun terakhir dapat 

dilihat dalam Tabel 4.3. atau Tabel Kinerja IPB dibawah  ini. Berdasarkan matriks tersebut 

menggambarkan    struktur  kinerja  IPB  ,  baik  dari  sisi  kinerja  kebijakan maupun  kinerja 

keuangan  selama  4  tahun  terakhir.  Jika  dilihat  dari  struktur  pendanaan  IPB,  sumber 

dananya  terbesar  diperoleh  dari  Dana  Pemerintah  yaitu  sebesar  42,54  persen,  dana 

masyarakat sebesar 37,66 persen, dan dana bantuan dan kerjasama sebesar 19,80 persen. 

Hal  tersebut menggambarkan  komposisi  struktur  pendanaannya  sendiri,  relatif  cukup 

merata.  

Dan  jika  dilihat  dari  sisi  alokasinya  sendiri,  dana‐dana  IPB  sebesar  51,39  persen 

digunakan untuk biaya Gaji & tujangan, dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP), sisanya 

digunakan  untuk  kebutuhan‐kebutuhan  lainnya  misalkan  pemeliharaan,  penelitian, 

pengabdian masyarakat,  kerjasama  dalam  negeri,  kerjasama  luar  negeri,  dan  lain‐lain. 

Tetapi  ada  yang  menarik,  IPB  lebih  memfokuskan  pada  kualitas  SDM  baik  kualitas 

mahasiswa, dosen, dan manajemen pelayanannya. Hal  ini  terbukti, dengan alokasi dana 

Page 66: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

65 

IPB yang digunakan untuk penelitian relative cukup besar yaitu sebesar 20,32 persen. Ini 

menggambarkan    arah  dan  kebijakan  IPB  dilaksanakan  dalam proses pendidikan  tinggi 

relatif  konsisten.  Selain  itu,  pembangunan  infrastruktur  IPB  selama  4  tahun  ini, masih 

terus dikembangkan. Begitu juga halnya hubungan kerjasama IPB dengan berbagai pihak 

baik  hubungan  kerjasama  dalam  negeri  maupun  luar  negeri,  walaupun  hubungan 

kerjasama  IPB  dengan  luar  negeri masih  perlu  ditingkatkan. Dan  secara  umum,  sesuai 

dengan arah dan kebijakan  IPB  (RENSTRA –  IPB), Tingkat Pencapaian Sasaran  IPB yang 

dilaksanakan  selam  4  tahun  terakhir  relatif  sukses  yaitu  sebesar  96,78  persen.  dan  ini 

menunjukkan bahwa semua perencanaan IPB selama 4 tahun telah terpenuhi. 

 Tabel 4.3. Kinerja IPB 

                          

b. ITB  

Gambar 4.9. Peta Penerimaan dan Pengeluaran ITB (Milyar Rupiah) 

Page 67: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

66 

  

Laporan  keuangan  ITB  (gambar  4.9)  dari  tahun  2006‐2009  terus  mengalami 

kerugian  artinya  pengeluaran  lebih  besar  dibandingkan  dengan  penerimaan,  tercatat 

pengeluaran  tertinggi  setelah  dikurangi  penerimaan  pada  tahun  2008  yakni  sebesar 

minus 235 milyar rupiah dan kerugian terkecil pada tahun 2006 yakni sebesar 124 milyar 

rupiah.  

 

Gambar 4.10.  Peta Pendanaan ITB 

    

Page 68: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

67 

Gambar 4.11.  Peta Pendanaan ITB (Persen) 

  

 Gambar 4.12.  Peta Pendanaan ITB dari Masyarakat (Persen) 

  

 

Gambar 4.13.  Peta Pendanaan ITB dari Bantuan dan Kerjasama (Persen) 

 

Page 69: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

68 

 Berdasarkan gambar 4.10 dan 4.11 di atas  terlihat bahwa pendanaan berasal dari 

tiga  sektor,  yakni  pemerintah,  dana masyarakat,  dan  bantuan  dan  kerjasama.  Alokasi 

pendanaan  terbesar  berasal  dari  bantuan  kerjasama  mencapai  nilai  angka  229  milyar 

rupiah  atau  sebesar  50,46  persen.  Pendanaan  tersebut  berdasarkan  range  terendah 

sampai  tertinggi  yakni  antara 67 milyar  rupiah  –  229 milyar  rupiah. Dengan persentase 

range  antara  22,32 persen  –  50,46 persen. Pendanaan  tersebut berasal dari dua  sektor 

pendanaan  yakni  bantuan  masyarakat  dan  lain‐lain.  bantuan  masyarakat  yang  masuk 

berada pada kisaran 59 persen – 87 persen  dan dana lain‐lain sebesar antara 13 persen – 

41 persen. Alokasi kedua berasal dari alokasi dana masyarkat, yakni berada pada kisaran 

144 milyar  rupiah  –  236 milyar  rupiah  dengan  range  persentase  31,65  persen  –  50,48 

persen.  Alokasi  tersebut  (gambar  4.12)  seluruhnya  bersumber  dari  dana  SPP/DPP, 

sedangkan penerimaan mahasiswa baru, dan lain‐lain tidak memberikan dana. 

Alokasi  berikutnya  adalah  dari  pemerintah  dengan  pendanaan  antara  81 milyar 

rupiah – 233 milyar  rupiah. Dengan nilai persentase antara  17,89 persen – 35,52 persen, 

pendanaan tersebut seluruhnya berasal dari kementerian Diknas sedangkan kementerian 

lain dan pemerintah daerah tidak memberikan dana. 

 

Gambar 4.14.  Peta Pengeluaran ITB (Persen) 

  

Pengeluaran  terbesar  ITB  (gambar  4.14)  adalah  untuk  BOP  dan  biaya  gaji  dan 

tunjangan  yakni  mencapai  di  atas  60  persen,  sedangkan  untuk  dana  pemeliharaan, 

penelitian, pengabdian masyarakat, pembangunan berada pada level di bawah 30 persen, 

sedangkan  untuk  kerjasama  baik  dalam  negeri maupun  luar  negeri  dan  lain‐lain  tidak 

pernah tercatat melakukan pengeluaran dana.  

 

Page 70: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

69 

Tabel  4.4  menunjukan  bahwa  kinerja  ITB  ,  baik  dari  untuk  sektor  keuangan 

maupun untuk kinerja menunjukan nilai yang kurang baik, hal  ini bisa dilihat dari sumber 

dana  yang  diperoleh  ITB  berasal  dari  dari  tiga  sektor  yakni  pemerintah  sebesar  24,50 

persen, dana masyarakat sebesar 36,02 persen dan dana bantuan dan kerjasama sebesar 

39,47  persen.  Alokasi  dana  terbesar  pengeluaran  adalah  untuk  gaji  pegawai  dan  BOP 

mencapai nilai 68,35 persen dengan nilai pengeluaran mencapai 51,18 persen, dan alokasi 

untuk  dana  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian  masyarakat,  pembangunan  berada 

pada  level di bawah 20 persen,  sedangkan untuk kerjasama baik dalam negeri maupun 

luar  negeri  dan  lain‐lain  tidak  pernah  tercatat melakukan  pengeluaran  dana. Dari  peta 

pengelolaan  keuangan  tersebut  berimbas  kepada  alokasi  kerja  berdasarkan  nilai 

perencanaan  kerja  yang  mencapai  angka  diambang  batas  kurang  terealisasinya 

perencanaan yakni sebesar 57,58  persen. 

 Tabel 4.4. Kinerja ITB 

                 

  

 

 

 

 

 

Page 71: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

70 

c. UPI 

Gambar 4.15. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UPI (Milyar Rupiah) 

  

Laporan  keuangan  (gambar  4.15)  UPI  4  tahun  terakhir  yakni  tahun  2006‐2009 

tercatat terus mengalami kenaikan, surplus (penerimaan setelah dikurangi pengeluaran) 

terbesar  pada  tahun  2007  yakni  sebesar  59  milyar  rupiah,  dan  surplus  penerimaan 

terendah adalah 2 milyar rupiah yakni tahun 2008. 

Gambar 4.16. Peta Pendanaan UPI 

  

 

 

 

 

Gambar 4.17. Peta Pendanaan UPI (Persen) 

Page 72: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

71 

  

 

Gambar 4.18. Peta Pendanaan UPI dari Masyarakat 

 

 

Peta  pendanaan  (gambar  4.16  dan  4.17),  dana  yang masuk  dalam  kas UPI  pada 

tahun  2006‐2009  terbagi  kepada  tiga  alokasi  yakni  Pemerintah,  dana masyarakat  dan 

bantuan dan kerjasama.  Bantuan pemerintah berada pada range antara 78 milyar  rupiah 

– 163 milyar rupiah dengan nilai tertinggi 163 milyar rupiah yakni tahun 2009, alokasi dana 

dari  pemerintah  berasal  dari  Kementerian  Diknas,  kementerian  lain  dan  Pemerintah 

daerah, namun seluruh pendanaan UPI dari sektor pemerintah berasal dari kementerian 

Diknas. 

Page 73: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

72 

Alokasi  pendanaan  lainnya  (gambar  4.18)  adalah  dari  dana  masyarakat  yakni 

dengan range antara 73 milyar rupiah – 183 milyar rupiah, dana tersebut berasal dari tiga 

posko yakni SPP/DPP, penerimaan mahasiswa baru dan dana lain‐lain. dana terbesar yang 

diperoleh UPI berasal dari dana  lain‐lain yakni dengan range antara 74,82 persen – 83,89 

persen,  kemudian  dana  dari  SPP/DPP  sebesar  range  14,41  persen  –  21,43  persen,  dan 

terakhir dana dari sektor penerimaan mahasiswa baru sebesar 1,71 persen – 3,75 persen. 

Laporan pengeluaran (gambar 4.19) berdasarkan grafik di atas menunjukan bahwa 

pengeluaran  terbesar dialokasikan untuk  tiga  sektor  yakni gaji dan  tunjangan pegawai, 

BOP dan dana lain‐lain (wisuda) yakni mencapai kisaran di atas 20 persen ‐ 45 persen. 

   

Gambar 4.19. Peta Pengeluaran UPI  (Persen) 

  

Kinerja UPI (tabel 4.5) bila dilihat dari  tiga sektor yakni pendanaan yang meliputi 

sumber dana dan alokasi penggunaan dana serta  implikasi terhadap  tingkat pencapaian 

kerja  bisa  dilihat  bahwa  terjadi  korelasi  positif  yakni  tingkat  ketercapaian  kerja  sangat 

memuaskan  yakni  sebesar  89.72  persen. Data  tersebut  bisa  tercapai  karena  dukungan 

dari sumber dana dan alokasi pengeluaran yang tepat guna. Sumber dana terbesar yang 

masuk kepada UPI adalah dari dana masyarakat yakni sebesar 43,14 persen dan sisanya 

berasal dari pemerintah  yakni  sebesar 41,62 persen,  sedangkan dana  yang berasal dari 

bantuan dan kerjasama sebesar 15,24 persen. 

Dari  sumber  dana  tersebut  alokasi  yang  paling  besar  adalah  gaji  dan  tunjangan 

pegawai,  BOP  dan  dana  lain‐lain  (wisuda) mencapai  96,21  persen  sedang  kan  sisanya 

Page 74: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

73 

untuk  pemeiharaan,  penelitian,  pembangunan,  kerjasama  dalam  negeri,  dan  kerjasama 

luar negeri di bawah 5 persen. 

               

Tabel 4.5. Kinerja UPI     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 75: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

74 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

d. UGM 

Gambar 4.20. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UGM (Milyar Rupiah) 

  

  

Laporan penerimaan dan pengeluaran UGM (gambar 4.20) selama 4 tahun terakhir 

terus  mengalami  kenaikan  di  bandingkan  dengan  pengeluaran,  tercatat  penerimaan 

terendah diperoleh pada  tahun 2006 sekitar  15 milyar  rupiah, dan penerimaan  tertinggi 

setelah di kurangi pengeluaran pada tahun 2009 sebesar 366 milyar rupiah. 

 

Gambar 4.21. PetaPendanaan UGM 

Page 76: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

75 

    

Gambar 4.22. PetaPendanaan UGM (Persen) 

    

Gambar 4.23. PetaPendanaan UGM  dari Masyarakat (Persen) 

Page 77: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

76 

   

Gambar  4.21  dan  4.22 menunjukan  bahwa  sektor  pendanaan  UGM  berasal  dari 

Pemerintah, Dana Masyarakat dan bantuan dan kerjasama. Selama kurun waktu 4 tahun 

terakhir yakni  tahun 2006 sampai 2009, pendanaan  terbesar diperoleh dari sektor Dana 

masyarakat dari range 55,11 persen – 64,09 persen. Terhitung pendanaan terbesar pada 

tahun  2009  yakni  sebesar  846 milyar  rupiah  dengan  persentase  sebesar  58,19  persen, 

dana  tersebut  diperoleh  dari  SPP/DPP  hampir  setiap  tahun  dari  tahun  2006  ‐  2010 

pendanaan dari sektor SPP/DPP mencapai 90 persen dan dana lain‐lain sebesar di bawah 

10 persen,  kecuali  tahun  2009 dana SPP/DPP  sebesar 80 persen dengan  sokongan dari 

dana  sumbangan sukarela 8 persen dan dana lain‐lain 13 persen. 

       Gambar 4.24. PetaPendanaan UGM  dari Bantuan dan Kerjasama (Persen) 

 

Page 78: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

77 

 Pendanaan  terbesar  kedua  berasal  dari  pemerintah  yakni  antara  26,46  persen  ‐

35,14  persen,  pada  tahun  2009  mencapai    511  milyar  rupiah  atau  35,14  persen,  dana 

tersebut  seluruhnya  berasal  dari  Kementerian  Pendidikan  Nasional.  Sektor  pendanaan 

lainnya adalah berasal dari bantuan dan kerjasama  terbesar diperoleh pada  tahun 2008 

yakni sekitar 216 milyar rupiah atau 18,43 persen. Pendanaan tersebut berasal daribantuan 

dan  kerjasama  kementrian  dalam  negeri  dengan  persentase  tertinggi  sebesar  49,72 

persen pada tahun 2006, dan bantuan lain‐lain tertinggi sebesar 61,87 persen pada tahun 

2008. 

Pengeluaran  UGM  (gambar  4.25)  terbesar  diperuntukan  pada  sektor  gaji  dan 

tunjangan  pegawai,  biaya  operasional  dan  dana  lain‐lain  dengan  kisaran  pengeluaran 

mencapai  25  persen,  pengeluaran  terbesar  lainnya  adalah  untuk  biaya  penelitian  baik 

untuk  penelitian  nasional maupun  internasional  dengan  besar  pengeluaran  antara  3‐14 

persen,  sedangkan  untuk  pengeluaran  seperti,  pemeliharaan,  pengabdian masyarakat, 

pembangunan,  kerjasama  dalam  negeri,  dan  kerjasama  luar  negeri  relatif  kecil  yakni 

berada di bawah kisaran 5 persen. Dan gambaran umum peta UGM akan  terlihat dalam 

tabel kinerja UGM di bawah ini. 

    

Gambar 4.25. Peta Pengeluaran  UGM (Persen) 

  

Tabel 4.6. Kinerja UGM 

Page 79: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

78 

               

         

 Kinerja  UGM  (tabel.4.6)  berdasarkan  berdasarkan  sumber  dana,  alokasi  dan 

sasaran menunjukan kinerja yang baik yakni dengan ketercapaian tingkat sasaran dengan 

rata‐rata mencapai 84,23 persen, angka tersebut cukup signifikan.  

Alokasi  kinerja  berdasarkan  sumber  dana  berdasarkan  kepada  tiga  posko  yakni 

pemerintah,  dana masyarakat  dan  bantuan  dan  kerjasama  lain.  alokasi  dana  terbesar 

diperoleh dari dana masyarakat yakni mencapai 59,85 persen, alokasi berikutnya adalah 

dari pemerintah yakni sebesar 29,42 persen dan sisanya dana dari bantuan dan kerjasama 

sebesar    10,73 persen.   dengan melihat angka persentase pendanaan UGM bisa disebut 

bahwa mayoritas pendanaan UGM berasal dari dana masyarakat. 

Sektor  pengeluaran  dana  terbesar  UGM  yakni  untuk  biaya  gaji  dan  tunjangan 

pegawai, BOP, dan dana  lain‐lain yakni berada dikisaran 25 persen, atau  julah  total  tiga 

alokasi  tersebut  sebesar  77,28  persen,  sedangkan  untuk  pemeliharaan,  pembangunan, 

pengabdian masyarakat, kerjasama dalam negeri dan kerjasama  luar negeri berada pada 

level di bawah 5 persen. 

Page 80: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

79 

Data  penerimaan  dan  pengalokasian  dana  tersebut  berujung  pada  konsistensi 

pegawai  dalam  bekerja  sehingga  sesuai  dengan  arah  dan  kebijakan  UGM  (Renstra  – 

UGM),  dengan  tingkat  ketercapaian  mencapai  84,23  persen,  artinya  kebijakan  yang 

dikeluarkan UGM sangat memuaskan. 

e. UI  

Gambar 4.26. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UI (Milyar Rupiah) 

 Laporan penerimaan dan pengeluaran UI  (gambar 4.26) pada  tahun 2006  ‐ 2009 

terus  mengalami  (surplus  peningkatan  penerimaan  dari  pada  pengeluaran).  Nilai 

penerimaan terendah adalah tahun 2006 sebesar 83 milyar rupiah dan paling tinggi tahun 

2009 sebesar 382 milyar rupiah.  

 

Gambar 4.27. Peta Pendanaan UI 

 

Page 81: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

80 

 

Gambar 4.28. Peta Pendanaan UI (Persen) 

  

Sumber pendanaan seperti diketahui  (gambar 4.27 dan 4.28) di atas, pendanaan 

terbesar  yang  diterima  oleh  UI  berasal  dari  dana masyarakat  yakni  antara  426 milyar 

rupiah tahun 2008 sampai 775 milyar rupiah pada tahun 2010, dengan range antara 48,98 

persen – 57,21 persen.  

Adapun  untuk  dana  dari  pemerintah  yakni  tahun  2006  ‐  2009  antara  124 milyar 

rupiah – 364 milyar rupiah atau dengan range   antara yakni 15,93 persen – 24,14 persen. 

Pendanaan  terakhir  berasal  dari  alokasi  dana  bantuan  dan  kerjasama.  Terhitung  nilai 

pemasukan semakin meningkat dari  tahun 2006  ‐ 2008 yakni antara  196 milyar  rupiah – 

387 milyar  rupiah  kemudian menurun  pada  tahun  2009 menjadi  320 milyar  rupiah  dan 

meningkat kembali pada  tahun 2010 menjadi 368 milyar rupiah, adapun nilai persentase 

berada pada  range  terendah  22,50 persen pada  tahun  2009 dan  tertinggi  33,94 persen 

tahun 2008. 

Gambar 4.29. Peta Pengeluaran UI 

Page 82: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

81 

  

Pengeluaran  terbesar yang dikeluarkan UI  (gambar 4.29) dari  tahun 2006  ‐ 2009 

untuk gaji pegawai yakni mencapai 50 persen  atau berada pada kisaran pertahun antara 

43  persen‐52  persen.  Pengeluaran  terbesar  lainnya  adalah  untuk  dana  lain‐lain,  BOP, 

penelitian, pengabdian masyarakat,  dan pembangunan    pengeluaran berada  di  level di 

bawah 20 persen. 

Adapun untuk ketercapaian dan gambaran umum peta UI bisa dilihat dalam table 

4.7  .Universitas  Indonesia  sebagai  salah  satu Universitas  terkemuka di  Indonesia dalam 

kinerja  (tabel 4.7) seperti  terlihat dalam  tabel, begitu dinamis. Untuk mengukur  tingkat 

ketercapaian  ada  beberapa  instrument  yang  mendukung  ketercapaian  tersebut 

diantaranya:  sumber  dana,  alokasi  yang  berujung  pada  tingkat  ketercapaian  sebuah 

program  atau  kerja.Tabel  kinerja menunjukan  bahwa  sumber  dana  yang  diperoleh  UI 

berasal  dari pemerintah  sebesar  18,21 persen, dana masyarakat  sebesar  54 persen  dan 

bantuan  dan  kerjasama  sebesar  27,79  persen.    Hal  ini  menunjukan  bahwa  sumber 

penerimaan yang paling dominant adalah dana masyarakat. Alokasi tesebut diperuntukan 

bagi kesejahteraan pegawai yakni sebesar 49,43 persen, BOP sebesar  17,68 persen dan 

pengeluaran paling tinggi lainnya adalah untuk dana lain‐lain sebesar 15,94 persen. untuk 

sektor  lainnya  seperti  penelitian,  pengabdian  masyarakat,  dan  pembangunan  

pengeluaran  berada  di  level  di  bawah  10  persen,  bahkan  untuk  kerjasama  baik  dalam 

negeri maupun luar negeri tidak mengeluarkan pendanaan. 

Page 83: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

82 

 Tabel 4.7. Kinerja UI 

   

                       

 

Dari sumber dana dan alokasi berujung kepada tinggi dan rendahnya tingkat pencapaian 

kinerja UI. Seperti terlihat dalam matrik tingkat ketercapaian UI masih berada di atas 50 

persen atau sebesar 67,16 persen. 

f. USU 

Gambar 4.30. Peta Penerimaan dan Pengeluaran USU (Milyar rupiah) 

Page 84: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

83 

  

Berdasar peta penerimaan dan pengeluaran USU (gambar 4.30) dari tahun 2006 ‐ 

2009  terlihat bahwa penerimaan USU  terus meningkat dengan puncaknya  tahun  2009. 

Surplus (penerimaan dikurangi pengeluaran USU) penerimaan terendah pada tahun 2006 

sebesar 20 milyar rupiah dan tertinggi sebesar 113 milyar rupiah, namun mengalami minus 

pada  tahun  2008  yakni  jumlah  pengeluaran  di  atas  jumlah  penerimaan  atau  merugi 

sebesar 2 milyar rupiah.  

 

Gambar 4.31. Peta Pendanaan USU 

  

Gambar 4.32. Peta Pendanaan USU (Persen) 

Page 85: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

84 

  

Gambar 4.33. Peta Pendanaan USU dari Pemerintah (Persen) 

 

     

Gambar 4.34. Peta Pendanaan USU dari Masyarakat(Persen) 

Page 86: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

85 

  

 

Pendanaan USU  (gambar 4.31 dan 4.32) yang berasal dari pemerintah  105 milyar 

rupiah  ‐  215 milyar  rupiah,  dengan  nilai  persentase  39,14  persen  –  48,21  persen.  Dana 

tersebut berasal dari kementerian pendidikan nasional berada di kisaran 88 persen – 100 

persen pada  tahun 2008, pemasukan  lain adalah dari pemerintah daerah  sebesar 8  ‐  12 

persen.  

Alokasi  dana  masyarakat  menempati  urutan  terbesar,  dari  tahun  2006  ‐  2010 

berada di kisaran 113 milyar rupiah ‐ 293 milyar rupiah, atau dalam persentase antara 51,79 

persen – 60,86 persen. Alokasi tersebut berasal dari SPP/DPP sebesar di atas 50 persen 

atau berada di kisaran 69 persen – 85 persen. Sedangkan pendanaan yang berasal dari 

penerimaan mahasiswa baru,  sumbangan wajib,  sumbangan  sukarela, persatuan orang 

tua, dan lain‐lain berada di bawah 20 persen. 

Laporan pengeluaran USU (gambar 4.35) terhitung dari tahun 2006  ‐ 2009 dalam 

persentase  adalah  untuk  keperluan  beberapa  posko,  diantaranya  gaji  dan  tunjangan 

pegawai,  biaya  operasional,  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian  masyarakat, 

pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain. 

Pengeluaran  terbesar  yang  dikeluarkan  USU  adalah  untuk  gaji  dan  tunjangan 

pegawai,  dan  BOP  mencapai  80  persen  sedangkan  untuk  pemeliharaan,  penelitian, 

Page 87: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

86 

pengabdian masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama  luar negeri, 

dan lain‐lain masih berada di bawah 20 persen. 

 Gambar 4.35. Peta Pengeluaran  USU 

  

 

Kinerja USU  berdasarkan  tabel.4.8  bisa  di  tarik  kepada  dua  bagian  besar  yakni  

berdasar keuangan dan kebijakan. Keuangan USU di turunkan menjadi dua bagian besar 

yakni sumber dana dan untuk alokasi. Seperti terlihat di bawah, sumber dana USU berasal 

dari    dana  pemerintah  sebesar  42,30  persen,  dana masyarakat mencapai  57,70  persen 

sedangkan untuk sektor bantuan adan kerjasama relative sangat kecil.  

Sumber  dana  tersebut  dialokasikan  pada  beberapa  sektor  yakni  yang  terbesar 

adalah untuk gaji dan tunjangan pegawai, dan BOP mencapai 84,63 persen,   sedangkan 

sisanya hanya berada di bawah 5 persen. Dari alokasi dana  tersebut berimplikasi positif 

terhadap  kebijakan  yang  dikeluarkan  oleh  USU  sehinga  tingkat  ketercapaian  sasaran 

sangat memuaskan yakni mencapai 86,70 persen. 

 

 

Page 88: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

87 

Tabel 4.8. Kinerja USU 

 

 

 

 

 

 

 

 

      

 

 

 

 

 

 

4.2.2. BLU 

a. Universitas Padjadjaran (UNPAD)  

Gambar 4.36. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNPAD (Milyar Rupiah) 

 

Page 89: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

88 

Laporan penerimaan dan pengeluaran UNPAD (gambar 4.36) selama kurun waktu 

4  tahun  terakhir  yakni  tahun  2006  ‐  2009  terus mengalami  surplus  (penerimaan  lebih 

besar dari pengeluaran). Surplus terkecil adalah atahun 2006 yakni 64 milyar rupiah dan 

surplus tertinggi sebesar tahun 2008 sebesar 320 milyar rupiah. 

 

Gambar 4.37. Peta Pendanaan  UNPAD 

   

Gambar 4.38. Peta Pendanaan UNPAD (Persen) 

 

Page 90: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

89 

Gambar 4.39. Peta Pendanaan UNPAD  dari Masyarakat 

  

Peta  pendanaan  UNPAD  (gambar  4.37  dan  4.38)  selama  kurun waktu  4  tahun 

terhitung tahun 2006 – 2009, memberikan dana dengan range 29 persen – 55 persen, dan 

seluruh pendanaan  tersebut berasal dari  kementerian pendidikan Nasional  sebesar  100 

persen,  sedangkan  untuk  kementerian  lain  dan  pemerinah  daerah  tidak mendapatkan 

dana. 

Alokasi dana masyarakat  (gambar 4.39) dari  tahun  2006  ‐  2010 berada pada   44 

persen ‐ 68 persen, alokasi tersebut berasal dari penerimaan mahasiswa baru dengan nilai 

tertinggi 3 persen, SPP/DPP  sebesar antara 36 persen – 50 persen dan  lain‐lain  sebesar 

antara  49  persen‐53  persen.  Alokasi  dana  lainnya  berasal  dari  bantuan  dan  kerjasama 

yakni berada pada    1 persen  – 4 persen,  alokasi  tersebut berasal dari  kerjasama dalam 

negeri yakni sebesar antara Rp. 8 milyar – Rp. 25 milyar. 

 

Page 91: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

90 

Gambar 4.40. Peta Pengeluaran UNPAD   

 

 

Pengeluaran  terbesar  UNPAD  (gambar  4.40)  adalah  untuk  sektor  gaji  dan 

tunjangan  pegawai,  yakni  mencapai  di  atas  50  persen,  sedangkan  untuk  BOP, 

Pemeliharaan,  pemeliharaan,  penelitian,  Pengabdian  masyarakat,  pembangunan, 

kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐lain seluruhnya berada pada 

kisaran 0 persen ‐ 20 persen. 

Tabel 4.9 menunjukan bahwa kinerja UNPAD  , baik dari sektor keuangan maupun 

untuk  kinerja  menunjukan  nilai  yang  baik,  hal  ini  bisa  dilihat  dari  sumber  dana  yang 

diperoleh UNPAD berasal  dari  dari  tiga  sektor  yakni  pemerintah  sebesar  35,36 persen, 

dana masyarakat  sebesar  62,02  persen  dan  dana  bantuan  dan  kerjasama  sebesar  2,62 

persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah gaji pegawai dengan nilai pengeluaran 

mencapai  51,18  persen,  dan  alokasi  untuk  BOP,  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian 

masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐

lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di bawah 20 persen. 

Dari  peta  pengelolaan  keuangan  tersebut  berimbas  kepada  alokasi  kerja 

berdasarkan  nilai  perencanaan  kerja  yang  mencapai  angka  yang  sangat  memeuaskan 

yakni 83,36 persen. 

 

 

Page 92: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

91 

Tabel 4.9. Kinerja UNPAD                                               

Page 93: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

92 

b. UNIVERSITAS HASANUDIN (UNHAS)  

Gambar 4.41. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNHAS 

 

 

Laporan penerimaan UNHAS (gambar 4.41) selama 3 tahun dari tahun 2006‐2008 

mengalami  kenaikan  dan  sebaliknya  pada  tahun  2009,  justru  sebaliknya  penerimaan 

UNHAS mengalami penurunan,  bahkan  pengeluaran UNHAS pun  lebih  besar  dari  pada 

penerimaan.  

Gambar  4.42  dan  4.43  dibawah  menunjukan  bahwa  alokasi  pendanaan  dari 

pemerinah  berasal  dari  kementerian Diknas, Kementerian  lain  dan  pemerintah  daerah, 

untuk  alokasi  ini mayoritas  pendanaan  untuk UNHAS  berasal  dari  kementerian  Diknas 

yakni  range  antara  1  milyar  rupiah  sampai  970 milyar  rupiah.  Selain  itu,  gambar  juga 

menunjukan bahwa  sektor pendanaan UNHAS dari  sektor dana masyarakat  seluruhnya 

berasal dari penerimaan mahasiswa baru termasuk  SPP/DPP yakni sebesar 100 persen. 

           

Page 94: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

93 

Gambar 4.42. Peta Pendanaan UNHAS 

   

Gambar 4.43. Peta Pendanaan UNHAS (Persen) 

  

Demikian  juga dengan bantuan dan kerjasama yang pernah dilakukan oleh UNHAS 

yakni yang  terbesar  selama 2006  ‐ 2008  seluruhnya dari bantuan  (lain‐lain)  sebesar  100 

persen dan tahun 2009 pendanaan selain dari sektor lain‐lain yang mencapai 70 persen – 

80 persen ditambah oleh kerjasama dalam negeri yang mencapai 17 persen ‐ 20 persen 

Page 95: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

94 

Peta  pengeluaran  dari  UNHAS  (gambar  4.44)  selama  4  tahun  terbesar  adalah 

untuk gaji dan tunjangan pegawai mencapai antara 41 persen ‐ 60 persen, dan alokasi lain 

seperti  BOP,  Pemeliharaan,  penelitian  dan  pengabdian  masyarakat,  pembangunan, 

kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri dan lain‐lain berada di bawah 30 persen. 

 Gambar 4.44. Peta Pengeluaran UNHAS  

   

Tabel  4.10  menunjukan  bahwa  kinerja  UNHAS  ,  baik  dari  baik  untuk  sektor 

keuangan  maupun  untuk  kinerja  menunjukan  nilai  yang  baik,  hal  ini  bisa  dilihat  dari 

sumber  dana  yang  diperoleh  UNHAS  berasal  dari  dari  tiga  sektor  yakni  pemerintah 

sebesar  53,39  persen,  dan  masyarakat  sebesar  26,64  persen  dan  dana  bantuan  dan 

kerjasama  sebesar  22,97  persen.  Alokasi  dana  terbesar  pengeluaran  adalah  untuk  gaji 

pegawai  dan  BOP  mencapai  70  persen  sedangkan  untuk  alokasi  BOP,  pemeliharaan, 

penelitian,  pengabdian  masyarakat,  pembangunan,  kerjasama  dalam  negeri  dan 

kerjasama  luar negeri serta  lain‐lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di 

bawah 20 persen. 

Dari  peta  pengelolaan  keuangan  tersebut  berimbas  kepada  alokasi  kerja 

berdasarkan  nilai  perencanaan  kerja  yang  mencapai  angka  yang  sangat  memeuaskan 

yakni  90,95  persen.  Pencapaian  tersebut merupakan  hasil  dari  kerjasama  pengaturan 

pendanaan dengan perencanaan kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. 

 

Page 96: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

95 

Tabel 4.10. Kinerja UNHAS    

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

c. UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET (UNS Surakarta)  

Gambar 4.45. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNS Surakarta (Milyar Rupiah) 

  

Page 97: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

96 

Laporan penerimaan dan pengeluaran UNS Surakarta (gambar 4.45) terhitung dari 

2006  ‐  2009  mengalami  peningkatan  setiap  tahunnya.  Tercatat  surplus  (penerimaan 

dikurangi pengeluaran)  terkecil  adalah  35 milyar  rupiah dan  surplus  tertinggi mencapai 

252 milyar rupiah.  

 

Gambar 4.46. Peta Pendanaan UNS Surakarta 

   

Gambar 4.47. Peta Pendanaan UNS Surakarta (Persen) 

  

 

Page 98: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

97 

 

Gambar 4.48. Peta Pendanaan UNS Surakartadari Masyarakat 

   

Berdasarkan  alokasi  dana  untuk  UNS  (gambar  4.46  dan  4.47)  selama  4  tahun,  

dana terbesar yang diperoleh UNS berasal dari dana masyarakat dengan range antara 46 

persen  ‐ 58 persen, alokasi tersebut berasal dari SPP/DPP, penerimaan mahasiswa baru, 

dan  lain‐lain,  namun  alokasi  terbesar  adalah  dari  SPP/DPP  yakni  mencapai  antara  50 

persen sampai 87 persen, dan alokasi dana lain‐lain seperti (wisuda) dengan nilai tertinggi 

mencapai 43 persen, serta alokasi dana penerimaan mahasiswa baru di bawah 5 persen.  

Alokasi berikutnya berasal dari dana pemerintah yakni antara range 38 persen ‐ 42 

persen. Alokasi  tersebut seluruhnya berasal dari kementerian Pendidikan Nasional yakni 

mencapai  100 persen.  Sedangkan untuk  kementerian  lain dan pemerintah daerah  tidak 

mendapatkan dana. 

Alokasi  selanjutnya  berasal  dari  bantuan  dan  kerjasama,  yakni  mencapai  nilai 

terbesar  yakni  12  persen,  Alokasi  pendanaan  kerjasama  seluruhnya  berasal  dari 

kementerian dalam negeri yakni mencapai nilai 100persen pertahunnya. 

 

 

 

 

Page 99: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

98 

 

Gambar 4.49. Peta Pengeluaran UNS Surakarta 

 

 

Peta pengeluaran UNS (gambar 4.49) terbesar diperuntukan bagi gaji pegawai dan 

tunjangan yakni mencapai kurang  lebih 50 persen, sedangkan untuk BOP, Pemeliharaan, 

pemeliharaan,  penelitian,  Pengabdian  masyarakat,  pembangunan,  kerjasama  dalam 

negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐lain seluruhnya berada pada kisaran 1 persen ‐ 

23 persen.  

Tabel  4.11.  menunjukan  bahwa  kinerja  UNS  ,  baik  dari  untuk  sektor  keuangan 

maupun untuk kinerja menunjukan nilai  yang baik, hal  ini bisa dilihat dari  sumber dana 

yang diperoleh UNS berasal dari dari tiga sektor yakni pemerintah sebesar 41,03 persen, 

dan masyarakat  sebesar  52,54  persen  dan  dana  bantuan  dan  kerjasama  sebesar  6,44 

persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah gaji pegawai dengan nilai pengeluaran 

mencapai  48,66  persen,  dan  alokasi  untuk  BOP,  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian 

masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐

lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di bawah 20 persen. 

Dari  peta  pengelolaan  keuangan  tersebut  berimbas  kepada  alokasi  kerja 

berdasarkan nilai perencanaan kerja yang mencapai angka yang sangat memuaskan yakni 

88,95 persen. 

 

Page 100: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

99 

Tabel 4.11. Kinerja UNS Surakarta                                   

            

Page 101: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

100 

d. UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA (UNJ)  

Gambar 4.50. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNJ 

  

 

Laporan penggunaan alokasi dana UNJ  (gambar 4.50)  terhitung dari tahun 2007‐

2009  tercatat  mengalami  kenaikan.  Penerimaan  berada  di  atas  pengeluaran,  surplus 

terrendah adalah pada  tahun 2008 yakni nilai penerimaan dan pengeluaran sama besar, 

meskipun nilai penerimaan dan pengeluaran berada jauh dari penerimaan tahun lainnya.   

 

Gambar 4.51. Peta Pendanaan UNJ 

  

Page 102: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

101 

Seperti  diketahui  peta  pendanaan UNJ  (gambar  4.51)  berasal  dari  tiga  kategori 

yakni pemerintah, dana masyarakat, dan bantuan dan kerjasama, namun untuk bantuan 

dan kerjasama selama kurun waktu 2007‐2009  belum pernah ada pendanaan.   

 

Gambar 4.52. Peta Pengeluaran UNJ 

  

Data pengeluaran UNJ (gambar 4.52) dari tahun 2007‐2009 terbagi kepada empat 

sektor yakni belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja sosial. Sektor yang 

paling  besar  alokasi  pengeluarannya  adalah  biaya  belanja  pegawai.  Belanja  terbesar 

adalah untuk belanja pegawai yakni mencapai angka 65 persen. Alokasi berikutnya adalah 

untuk belanja barang, terhitung antara 29 persen ‐ 48 persen, serta alokasi belanja modal 

antara  11  persen  ‐  15  persen,  dan  terakhir  untuk  belanja  social  yakni  sebesar  antara  5 

persen ‐ 6 persen.  

Berdasar  tabel  4.12 menggambarkan    struktur  kinerja UNJ,  baik  dari  sisi  kinerja 

kebijakan maupun  kinerja  keuangan  selama  4  tahun  terakhir.  Jika  dilihat  dari  struktur 

pendanaan dan kinerja UNJ dapat dilihat dengan pendekatan koreasi positif, yakni dari 

sumber dana  yang berasal dari pemerintah  sebesar  51,83 persen  dan  dana masyarakat 

yang mencapai 48,17 persen dan pendanaan bantuan dan kerjasama relative sangat kecil. 

Alokasi dana tersebut diperuntukan pada belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, 

Page 103: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

102 

belanja sosial. Sektor yang paling besar alokasi pengeluarannya adalah belanja pegawai 

dengan persentase belanja pegawai terbesar diantara belanja lainnya yakni sebesar 45,49 

persen, belanja barang sebesar 36,55 persen dan sisanya untuk belanja modal dan belanja 

sosial relatif kecil yakni di bawah 20 persen. 

 

Tabel 4.12. Kinerja UNJ Jakarta 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber  dana  dan  alokasi  dana  tersebut  berimbas  kepada  perencanaan  kinerja 

yang  terus meningkat yakni mencapai 93,88 persen,  ini artinya  terdapat korelasi positif 

yang  sangat  signifikan  antara  pengelolaan  keuangan  dengan  kinerja  yang  telah 

direncanakan. 

     

Page 104: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

103 

e. UIN ALAUDIN  

Gambar 4.53. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Alaudin (Milyar Rupiah) 

  

Berdasarkan  laporan  keuangan  UIN  Alaudin,  (gambar  4.53)  penerimaan  dan 

pengeluaran pendanaan UIN Alaudin selama 4 tahun, dari 2006 hingga 2009, mengalami 

fluktuasi.  Pada  tahun  2007 UIN  Alaudin mengalami  kerugian  (pengeluaran  lebih  besar 

daripada penerimaan) sebesar 32 milyar rupiah.  

 Gambar 4.54. Peta Pendanaan UIN Alaudin 

  

Berdasarkan peta pendanaan (gambar 4.54), dapat dipahami bahwa sumber dana 

terbesar  UIN  Alaudin  berasal  dari  pemerintah.    Tahun  2007  dana  yang  diterima  UIN 

Page 105: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

104 

Alaudin  dari pemerintah  sebesar  126 milyar  rupiah  (  93,72  persen)  –  368 milyar  rupiah 

(95,32 persen).  

 Gambar 4.55. Peta Pendanaan UIN Alaudin (Persen) 

  

 

Gambar 4.56. Peta Pendanaan UIN Alaudin  dari Pemerintah 

  

 

 

Page 106: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

105 

Gambar 4.57. Peta Pendanaan UIN Alaudin  dari Masyarakat 

   

Gambar  4.56, menjelaskan  bahwa  sumber  dana  pemerintah  untuk  UIN  Alaudin 

sebagian besar berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional. dalam lima tahun terakhir, 

tahun 2006  ‐ 2007 merupakan dua tahun dengan presentase terendah bagi UIN Alaudin 

karena  hanya  menerima  99  persen.  Sementara  itu,  pada  dua  tahun  yang  sama, 

pemerintah daerah hanya memberikan alokasi dana sebesar 1 persen.  Sedangkan  tahun 

2008  ‐  2009  UIN  Alaudin  menerima  100  persen  dana  dari  kementerian  pendidikan 

Nasional.       

Gambar  4.57,  menjelaskan  sumber  pendanaan  UIN  Alaudin  selama  lima  tahun  

terakhir  berdasar  dana  masyarakat.    dana  masyarakat  terbesar  yang  diperoleh  UIN 

Alaudin pada lima tahun terakhir bersumber dari SPP/DPP. sedangkan sumber pendanaan 

yang lain relative lebih kecil presentasenya.  

Gambar  4.58  menjelaskan  peta  pengeluaran  UIN  Alaudin  dalam    lima  tahun 

terakhir. Pengeluaran  terbesar  terjadi pada  tahun  2008  yang digunakan untuk gaji dan 

tunjangan pegawai dengan presentase sebesar 63 persen. Menyusul setelah  itu, bidang 

yang presentasenya besar adalah kerjasama luar negeri yang diselenggarakan pada tahun 

2009 dengan besar presentase 57 persen.  

  

Page 107: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

106 

Gambar 4.58. Peta Pengeluaran UIN Alaudin    

  

Tabel  4.  13 menggambarkan    struktur  kinerja UIN  Alaudin,  baik  dari  sisi  kinerja 

kebijakan maupun  kinerja  keuangan  selama  3  tahun  terakhir.  Jika  dilihat  dari  struktur 

pendanaan  UIN  Alaudin,  sumber  dananya  terbesar  diperoleh  dari  pemerintah  yaitu 

sebesar 94,05 persen, dana masyarakat  5,95 persen, dan dana bantuan  dan  kerjasama 

relative  sangat  kecil.  Hal  tersebut menggambarkan  komposisi  struktur  pendanaannya 

sendiri, belum merata.  

Dan  jika dilihat dari  sisi  alokasinya  sendiri,  dana‐dana UIN Alaudin  sebesar  27,75 

persen digunakan untuk biaya gaji & tunjangan, dan BOP (Biaya Operasional Pendidikan), 

sisanya  digunakan  untuk  kebutuhan‐kebutuhan  lainnya  misalkan  pemeliharaan, 

penelitian, pengabdian masyarakat, kerjasama dalam negeri, kerjasama  luar negeri, dan 

lain‐lain. UIN Alaudin lebih memfokuskan kerjasama dengan lembaga lain. Hal ini terbukti, 

dengan  alokasi  dana UIN Alaudin  yang  digunakan  untuk  penelitian  relatif  cukup  besar 

yaitu  sebesar  25,75  persen.  Ini  menggambarkan    arah  dan  kebijakan  UIN  Alaudin 

dilaksanakan dalam proses pendidikan tinggi masih dalam tahap pengembangan jaringan. 

Selain  itu,  pembangunan  infrastruktur  UIN  Alaudin  selama  5  tahun  ini,  masih  terus 

dikembangkan.  hal  ini  terbukti  dari  presentase  anggaran  sebesar  16,47persen.  secara 

umum, sesuai dengan arah dan kebijakan UIN Alaudin (RENSTRA – UIN Alaudin), Tingkat 

Pencapaian Sasaran UIN Alaudin yang dilaksanakan selam 5 tahun terakhir sebesar 82,81 

persen belum tercapai.  

 

 

 

Page 108: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

107 

Tabel 4.13. Tabel Kinerja UIN Alaudin 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 109: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

108 

f. UIN SUNAN GUNUNG DJATI (UIN SGD)  

Gambar 4.59. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN SGD (Milyar Rupiah) 

  

Laporan  penerimaan  dan  pengeluaran  UIN  SGD  (gambar  4.59)  tercatat  selama 

kurun  4  tahun  yakni  antara  tahun  2006  ‐  2009  terus mengalami  kenaikan  dengan  nilai 

pengeluaran  yang  sangat minim.  Surplus  (penerimaan  setelah  dikurangi  pengeluaran) 

terendah adalah tahun 2006 yakni sebesar 47 milyar rupiah dan surplus tertinggi adalah 

tahun 2009 yakni mencapai 283 milyar rupiah. 

 

Gambar 4.60. Peta Pendanaan UIN SGD 

  

Page 110: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

109 

 

Gambar 4.61. Peta Pendanaan UIN SGD (Persen) 

   

Pendanaan (gambar 4.60 dan 4.61) tersebut seperti dijelaskan di atas berasal dari 

beberapa  sektor,  yang  paling  signifikan  adalah  dari  sektor  pemerintah,  yakni  dana 

terbesar  tahun 2009   mencapai 329 milyar  rupiah dan  terkecil 77 milyar  rupiah. Adapun 

dana  lain yang menjadi pemasok UIN SGD adalah dana masyarakat, namun dengan nilai 

yang tidak terlalu signifikan yakni berada di kisaran 12 milyar rupiah – 18 milyar rupiah. 

 Gambar 4.62. Peta Pengeluaran UIN SGD  

  

Page 111: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

110 

Pengeluaran  terbesar  UIN  SGD  (gambar  4.62)  adalah  untuk  belanja  gaji  dan 

tunjangan  pegawai  yakni mencapai  di  atas  75  persen  sedangkan  untuk  biaya  lainnya 

relatif  kecil  yakni  di  bawah  20  persen  dengan  alokasi  untuk  pembangunan,  BOP  dan 

pengabdian masyarakat. 

 Tabel 4.14. Kinerja UIN SGD 

               

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 112: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

111 

Berdasar  tabel  4.14,  struktur  kinerja  UIN  SGD,  baik  dari  sisi  kinerja  kebijakan 

maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur 

pendanaan, sumber dana terbesar yang diperoleh UIN SGD berasal dari Pemerintah yaitu 

sebesar  90,38  persen,  dan  dana  masyarakat  sebesar  9,62  persen,  sedangkan  untuk 

pendanaan dari sektor bantuan dan kerjasama relative tidak ada. 

Sumber  dana  tersebut  dialokasikan  untuk  gaji  dan  tunjangan  pegawai  sebesar 

88,76 persen, sedangkan untuk dana pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat, 

kerjasama  dalam  negeri,  kerjasama  luar  negeri,  dan  lain‐lain masih  berada  di  bawah  5 

persen. Secara umum, kinerja UIN SGD dari kebijakan pendanaan dan kinerja berkorelasi 

positif,  yakni  dengan  capaian  realisasi  kinerja mencapai  75,79  persen,  artinya UIN  SGD 

masih  mampu  merealisasikan  rancangan  atau  perencanaan  yang  telah  tersusun 

sebelumnya. 

 g. UIN KALIJAGA 

 

Gambar 4.63. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Kalijaga (Milyar Rupiah) 

 

 

Berdasarkan  laporan  keuangan  UIN  Kalijaga  (gambar  4.63),  penerimaan  dan 

pengeluaran  pendanaan  UIN  Kalijaga  selama  empat  tahun,  dari  2006  hingga  2009, 

mengalami fluktuasi. Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2006, kurang lebih 162 milyar 

rupiah. Sedangkan surplus terendah, dihasilkan pada tahun 2007 yaitu sebesar 53 milyar 

Page 113: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

112 

rupiah. Sementara  itu, pada  tahun 2009 UIN Kalijaga mengalami kerugian  (pengeluaran 

lebih besar daripada pemasukan) sebesar 27 milyar rupiah.  

 

Gambar 4.64. Peta Pendanaan UIN Kalijaga 

  

Berdasarkan  peta  pendanaan  diatas  (gambar  4.64),  dapat  dipahami  bahwa 

sumber  terbesar  UIN  Kalijaga  berasal  dari  pemerintah.    Pada  tahun  2006,  dana  yang 

diterima  UIN  Kalijaga  dari  pemerintah  sebesar  286 milyar  rupiah.  Hal  ini menunjukan 

bahwa dalam 4 tahun terakhir, tahun 2006 merupakan tahun terbesar dalam penerimaan 

dana  bagi  UIN  Kalijaga.  Sedangkan  tahun  2008  dana  yang  diterima  UIN  kalijaga  dari 

pemerintah, sebesar 74 milyar rupiah. 

Gambar 4.65. Peta Pendanaan UIN Kalijaga (Persen) 

  

Page 114: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

113 

 Gambar  4.65 menjelaskan  bahwa  sumber  dana  pemerintah  untuk  UIN  Kalijaga 

sebagian  besar  berasal  dari  Kementerian  Pendidikan  Nasional.  Pada  tahun  2006  UIN 

Kalijaga mendapatkan bantuan dari kementrian pendidikan nasional  sebesar 286 milyar 

rupiah. Sedangkan  tahun 2008 UIN Kalijaga menerima dana dari kementerian pendidikan 

Nasional sebesar 74 milyar rupiah.   

 

Gambar 4.66. Peta Pendanaan UIN Kalijaga dari Masyarakat 

  

 

Gambar 4.67. Peta Pendanaan UIN Kalijaga dari Bantuan dan Kerjasama 

  

Page 115: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

114 

Gambar  4.67  menjelaskan  peta  pedanaan  UIN  kalijaga  berdasar  bantuan  dan 

kerjasama.  Pada  tahun  2008  UIN  Kalijaga  mendapatkan  pendanaan  dari  pemerintah 

dengan presentase 80 persen. Sedangkan pada tahun 2007, UIN Kalijaga nmendapatkan 

pendanaan dari dunia usaha sebesar 10 persen. 

 

Gambar 4.68. Peta Pengeluaran UIN Kalijaga   

  

Gambar  4.68 menjelaskan  peta  pengeluaran  UIN  Kalijaga  dalam    empat  tahun 

terakhir. Pengeluaran terbesar terjadi pada tahun 2007 dan 2009 yang digunakan untuk 

biaya  operasional  dan  kerjasana  internasional  pegawai  dengan  presentase  sebesar  47 

persen,  menyusul setelah itu, bidang yang presentasenya besar adalah gaji dan tunjangan 

pegawai yang diselenggarakan pada tahun 2009 dengan besar presentase 30 persen.  

Berdasar  tabel  4.15,  struktur  kinerja UIN Kalijaga, baik dari  sisi  kinerja  kebijakan 

maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur 

pendanaan, sumber dana  terbesar yang diperoleh UIN Kalijaga berasal dari Pemerintah 

yaitu  sebesar 81,81 persen,  dan  dana masyarakat  sebesar  11,25 persen,  dan pendanaan 

dari sektor bantuan dan kerjasama mendapatkan pendanaan sebesar 6,93 persen. 

Sumber dana  tersebut dialokasikan untuk gaji dan  tunjangan pegawai serta BOP 

sebesar  61,66  persen,  sedangkan  untuk  dana  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian 

masyarakat,  kerjasama  dalam  negeri,  dan  lain‐lain  masih  berada  di  bawah  5  persen. 

Terdapat poin yang menarik dari   dari matriks tersebut, yakni pengeluaran untuk alokasi 

Page 116: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

115 

kerjasama  luar negeri  relative besar  yakni  28,83 persen hal  ini menunjukan bahwa UIN 

Kalijaga  sering melakukan  kerjasama  dengan  luar  negeri  baik  dalam  bentuk  kerjasama 

fisik maupun kerjasama penelitian dan pengembangan. 

 

Tabel 4.15. Kinerja UIN Kalijaga 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Secara  umum,  kinerja  UIN  Kalijaga  dari  kebijakan  pendanaan  dan  kinerja 

berkorelasi positif,  yakni dengan  capaian  realisasi kinerja mencapai 92,11 persen artinya 

UIN  Kalijaga  masih  mampu  merealisasikan  rancangan  atau  perencanaan  yang  telah 

tersusun sebelumnya. 

 

Page 117: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

116 

h. UIN SYARIF HIDAYATULLAH (UIN JAKARTA)  

Gambar 4.69. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Jakarta 

  

Berdasarkan laporan keuangan UIN Jakarta (gambar 4.69), penerimaan dan pengeluaran 

pendanaan UIN Jakarta selama  lima tahun, dari 2006 hingga 2009, mengalami fluktuasi. 

Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2009, kurang lebih 21 milyar rupiah. Sementara itu, 

pada  tahun  2008  UIN  Jakarta mengalami  kerugian  (pengeluaran  lebih  besar  daripada 

pemasukan) sebesar 33 milyar rupiah.  

 

Gambar 4.70. Peta Pendanaan UIN Jakarta 

  

 

Page 118: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

117 

Gambar 4.71. Peta Pendanaan UIN Jakarta (Persen) 

   

Gambar 4.72. Peta Pengeluaran UIN Jakarta  

  

Page 119: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

118 

Gambar  4.70,  4.71  dan  4.72  diatas  menjelaskan  peta  pengeluaran  UIN  Jakarta 

dalam  empat  tahun  terakhir.  pengeluaran  terbesar  terjadi  pada  tahun  2007  yang 

digunakan  untuk  gaji  dan  tunjangan  pegawai  dengan  presentase  sebesar  48  persen, 

menyusul  setelah  itu, masih  dalam  keperluan  yang  sama,    gaji  dan  tunjangan  pegawai 

pada tahun 2006 adalah bidang yang presentasenya besar 42 persen.  

Berdasar  tabel  4.16,  struktur  kinerja UIN  Jakarta,  baik  dari  sisi  kinerja  kebijakan 

maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur 

pendanaan,  sumber dana  terbesar  yang diperoleh UIN  Jakarta berasal dari Pemerintah 

yaitu sebesar 58,12 persen, dan dana masyarakat sebesar 41,88 persen, sedangkan untuk 

pendanaan dari  sektor bantuan dan kerjasama  tidak mendapatkan pendanaan. Sumber 

dana  tersebut dialokasikan untuk gaji dan  tunjangan pegawai  serta BOP  sebesar 68,08 

persen,  sedangkan  untuk  dana  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian  masyarakat, 

kerjasama  dalam  negeri,  kerjasama  luar  negeri,  dan  lain‐lain masih  berada  di  bawah  5 

persen. Terdapat poin  yang menarik dari   dari  tabel  tersebut,  yakni pengeluaran untuk 

alokasi  pembangunan  yang  relatif  besar  yakni  25,28  persen  hal  ini menunjukan  bahwa 

selama 5 tahun terakhir UIN Jakarta sedang melakukan pembangunan fisik gedung baru. 

Secara  umum,  kinerja  UIN  Jakarta  dari  kebijakan  pendanaan  dan  kinerja 

berkorelasi positif, yakni dengan capaian realisasi kinerja mencapai 96,96 persen artinya 

UIN  Jakarta  masih  mampu  merealisasikan  rancangan  atau  perencanaan  yang  telah 

tersusun sebelumnya. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 120: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

119 

 

Tabel 4.16. Kinerja UIN Jakarta 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

              

Page 121: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

120 

4.2.3. Non BHMN‐Non BLU a. Universitas Negeri Makasar (UN Makasar) 

 Gambar 4.73. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UN Makasar (Milyar Rupiah) 

  

Laporan  keuangan  UN  Makasar  (gambar  4.73),  penerimaan  dan  pengeluaran 

pendanaan  UN  Makasar  selama  4  tahun,  dari  2006  hingga  2009,  mengalami  surplus 

(penerimaan lebih besar dari pengeluaran).  Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2009 

dan  2008  yakni,  kurang  lebih 63 milyar  rupiah.  Sedangkan  surplus  terendah, dihasilkan 

pada tahun 2006 dan 2009 yaitu sebesar 26 milyar rupiah. 

 

Gambar 4.74. Peta Pendanaan UN Makasar 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 122: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

121 

 

Gambar 4.75. Peta Pendanaan UN Makasar  

   

Berdasarkan  gambar  4.74  dan  4.75  di  atas,  selama  4  tahun  2006  hingga  2009 

terjadi fluktuasi dalam struktur penerimaan dana.   Pada tahun 2009, dana yang diterima 

UN Makasar dari pemerintah (gambar 4.75), memiliki dana penerimaan terbesar selama 4 

tahun terakhir yaitu sebesar 198 milyar rupiah. Dan  jika dilihat secara keseluruhan, range 

dana  UN  Makasar  dari  pemerintah,  diluar  dana  masyarakan  dan  dana  bantuan  dan 

kerjasama  selama 4 tahun terakhir, seluruh dana pemerintah yang diterima UN Makasar 

berasal  dari  Kementerian  Diknas,  sedangkan  dana  dari  pemerintah  dari  sektor 

kementerian lain dan pemerintah daerah tidak pernah mendapatkan dana. 

Gambar 4.76. Peta Pendanaan UN Makasar dari Pemerintah 

 

Page 123: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

122 

Gambar 4.77. Peta Pendanaan UN Makasar dari Masyarakat 

  

Dan  range  dana  UN Makasar  yang  diperoleh  dari  dana masyarakat,  yaitu  yang 

terbesar berasal dari SPP/DPP antara 93,04 persen – 95,22 persen yakni pada tahun 2007‐

2009. Dan dana masyarakat (gambar 4.77) dari penerimaan mahasiswa baru relative kecil 

yakni hanya pada  tahun 2007  ‐ 2009 yakni berada di bawah  10 persen. Dan  tahun 2007 

terdapat pendanaan dari sektor lain‐lain (wisuda) yang relative sangat kecil. 

 

Gambar 4.78. Peta Pengeluaran UN Makasar  

  

Dengan  melihat  peta  pengeluaran  UN  Makasar  (gambar  4.78),  dapat  dilihat  

bahwa  lebih  dari  50  persen  dana  UN  Makasar  digunakan  untuk  gaji  dan  tunjangan 

pegawai.  Sedangkan  dana  untuk  BOP  lebih  dari  20  persen  disusul  dengan  biaya 

Page 124: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

123 

pembangunan di atas  10 persen. Untuk  lebih  jelasnya bagaimana perkembangan kinerja 

UN Makasar selama 4 tahun dapat dilihat dari matrik kerja berikut ini. 

 Tabel 4.17. Kinerja UN Makasar 

                         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berdasar  tabel 4.17  tersebut menggambarkan  struktur  kinerja UN Makasar, baik 

dari sisi kinerja kebijakan maupun kinerja keuangan selama 4  tahun  terakhir. Jika dilihat 

dari  struktur  pendanaan,  sumber  dana  terbesar  diperoleh  dari  Dana  Pemerintah  yaitu 

Page 125: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

124 

sebesar  78,10  persen,  dana masyarakat  21,90  persen,  sedangkan  pendanaan  dari  dana 

bantuan dan kerjasama  relative  sangat kecil. Alokasi pengeluaran UN Makasar  terbesar 

dikeluarkan untuk biaya Gaji &  tujangan, dan BOP  (Biaya Operasional Pendidikan) yakni 

sebesar 80,17 persen,  sisanya  digunakan untuk  kebutuhan‐kebutuhan  lainnya misalkan, 

kerjasama  dan  lain‐lain.  Dana  terbesar  lainnya  yang  cukup  besar  adalah  untuk 

pembangunan yakni sebesar 13,73 persen. ini menggambarkan bahwa terdapat beberapa 

kali pembangunan  fisik meskipun  tidak  terlalu besar. Secara umum, arah dan kebijakan 

UN Makasar sesuai dengan Tingkat Pencapaian Sasaran UN Makasar yang dilaksanakan 

selama 4  tahun  terakhir  relatif sukses yaitu sebesar 93,95 persen. Dan  ini menunjukkan 

bahwa semua perencanaan UN Makasar selama 4 tahun telah terpenuhi. 

 

 b. Institute Agama Islam Negeri Antasari  (IAIN Antasari)  

Gambar 4.79. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Antasari (Milyar Rupiah) 

  

 

Laporan penerimaan dan pengeluaran yang dihasilkan oleh IAIN Antasari (gambar 

4.79) mengalami pluktuasi namun tingkat penerimaan masih berada di atas pengeluaran, 

meskipun  penerimaan  relatif  kecil  berada  di  atas  pengeluaran.  Dari  gambar  tersebut 

terlihat bahwa surplus (penerimaan setelah dikurangi pengeluaran) untuk  IAIN Antasari, 

surplus terendah terdapat pada tahun 2008 yakni sebesar 1 milyar.  

 

Page 126: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

125 

 Gambar 4.80. Peta Pendanaan IAIN Antasari 

  

 Peta pendanaan IAIN Antasari dari  tahun 2006 ‐ 2009 (gambar 4.80) hanya berasal  

dari pemerintah dan masyarakat. Pendanaan terbesar berasal dari dana pemerintah yakni 

mencapai  nilai  rata‐rata  90  persen,  dan  dana  tersebut  seluruhnya  berasal  dari 

Kementerian  Agama.  Sedangkan  untuk  kementerian  lain  dan  pemerintah  daerah  tidak 

pernah memberikan bantuan dana. 

Pendanaan  lainnya  berasal  dari  dana masyarakat  (gambar  4.81)  yakni mencapai 

angka antara 3 persen –  11 persen, adapun  sumber dana  terbesar  tersebut berasal dari 

dana  SPP/DPP  yakni  kisaran  antara  88 persen‐ 96 persen  sedangkan  untuk pendanaan 

dari penerimaan mahasiswa baru dan lain‐lain berada di bawah kisaran 10 persen.  

 Gambar 4.81. Peta Pendanaan IAIN Antasari dari Masyarakat 

  

Page 127: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

126 

Gambar 4.82. Peta Pengeluaran IAIN Antasari   

   

Peta pengeluaran IAIN Antasari (gambar 4.82) diperuntukan bagi beberapa sektor 

yakni  gaji  dan  tunjangan  pegawai,  belanja  barang,  belanja  sosial  dan  belanja  modal. 

Pengeluaran terbesar adalah untuk gaji dan tunjangan dengan range antara 47 persen ‐ 71 

persen,  untuk  belanja modal  berada  pada  range  6  persen  ‐  35  persen,  belanja  barang 

antara 9 persen  ‐19 persen, dan  terakhir belanja sosial antara 5 persen  ‐  16 persen. Dari 

data tersebut terlihat bahwa perhatian IAIN Antasari cukup besar kepada alokasi belanja 

modal, yang diantaranya  juga untuk operasional pendidikan. Untuk mengetahui  tingkat 

keberhasilan pencapaian IAIN Antasari bisa dilihat dari table 4.18 berikut ini.  

Kinerja  IAIN  Antasari  berdasarkan  kinerja  bila  dilihat  dari  tiga  sektor  yakni 

pendanaan  yang  meliputi  sumber  dana  dan  alokasi  penggunaan  dana  serta  implikasi 

terhadap tingkat pencapaian kerja bisa dilihat bahwa terjadi korelasi positif yakni tiglkat 

ketercapaian  kerja  sangat memuaskan  yakni  sebesar  96,52  persen.  Data  tersebut  bisa 

tercapai karena dukungan dari sumber dana dan alokasi pengeluaran yang tepat guna. 

Sumber dana  terbesar yang masuk kepada  IAIN Antasari adalah dari pemerintah 

yakni  sebesar  92,60  persen  dan  sisanya  berasal  dari  dana masyarakat  yakni  sebesar  8 

persen,  sedangkan dana  yang berasal dari bantuan dan  kerjasama  tidak mendapatkan, 

artinya  adalah  dana  yang  mampu  menopang  IAIN  Antasari  seluruhnya  berasal  dari 

pemerintah. 

Page 128: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

127 

Dari  sumber  dana  tersebut  alokasi  yang  paling  besar  adalah  untuk  gaji  dan 

tunjangan  pegawai  sebesar  57,18  persen,  dilanjutkan  oleh  belanja  modal  dan  belanja 

sosial sebesar 19,54 persen dan sisanya adalah untuk belanja barang sebesar 14,11 persen. 

Secara kasat mata terlihat bahwa terdapat alokasi dana yang cukup besar untuk belanja 

sosial, artinya secara kelembagaan IAIN Antasari menyadari akan pentingnya kualitas dan 

sosialisasi lembaga melalui belanja sosial. 

 

Tabel 4.18. Kinerja IAIN Antasari 

                                   

Page 129: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

128 

 c. Universitas Pattimura (UNPATI) 

 

Gambar 4.83. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNPATI (Milyar Rupiah) 

  

Laporan  penerimaan  dan  pengeluaran UNPATI  (gambar  4.83)  4  tahun  terakhir, 

terhitung  tahun  2006  ‐  2009  mengalami  pluktuasi,  penerimaan  terrendah  setelah 

dikurangi pengeluaran adalah tahun 2008 yakni sebesar 7,8 milyar rupiah.  

Peta pendanaan UNPATI (gambar 4.84)  terhitung tahun 2006  ‐ 2009 berasal dari 

tiga alokasi yakni pemerintah, dana masyarakat, dan bantuan dan kerjasama. Terhitung 4 

tahun  terakhir,  penerimaan  dari  sektor  pemerintah  merupakan  penerimaan  terbesar 

yakni dari 94 milyar rupiah sampai dengan 191 milyar rupiah. Adapun pendanaan tersebut 

seluruhnya  berasal  dari Kementerian  Pendidikan Nasional,  sedangkan  kementerian  lain 

dan Pemerintah Daerah tidak memberikan pendanaan. 

Gambar 4.84. Peta Pendanaan UNPATI 

 

Page 130: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

129 

  

Pendanaan lainnya adalah dari dana masyarakat dengan range 6,255 milyar rupiah 

‐   24.794 milyar  rupiah. Data penerimaan dana masyarakat  tersebut  terbagi kepada  tiga 

sektor  yakni  penerimaan  mahasiswa  baru,  SPP/DPP  dan  lain‐lain,  terhitung  4  tahun 

terakhir  pendanaan  terbesar  berasal  dari  SPP/DPP  yakni  hampir  100  persen    dan 

mengingat ada pemasukan dari sektor penerimaan mahasiswa baru sebesar 2,60 persen.  

Peta  pengeluaran  UNPATI  (gambar  4.85)  4  tahun  terakhir  seperti  terlihat  pada 

gambar di atas, paling besar digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai range 32 persen 

–  70 persen. Dana pengeluaran  terbesar  lainnya  relatif  sama  yakni  berada  di  kisaran  2 

persen ‐ 28 persen untuk biaya operasional, pembangunan, penelitian, dan lain‐lain. 

 

Gambar 4.85. Peta Pengeluaran UNPATI 

  

 

Tabel  4.19  memperlihatkan  bahwa  arah  kebijakan  UNPATI  terbagi  kepada  dua 

bagian besar  yakni:  untuk  alokasi pendanaan dan  kebijakan. Untuk  alokasi pendanaan, 

sumber dana yang dimiliki oleh UNPATI berasal dari pemerintah, dana masyarakat, dan 

bantuan  dan  kerjasama,  namun  sumber  dana  terbesar  berasal  dari  pemerintah  yakni 

sebesar 85,17 persen,  dana masyarakat sebesar 10,66 persen, dan terakhir dana bantuan 

dan kerjasama sebesar 5,56 persen. 

Page 131: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

130 

Tabel 4.19. Kinerja UNPATI 

 

                                            

Page 132: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

131 

Pendanaan  tersebut  dialokasikan  untuk  beberapa  sektor  seperti  gaji  dan 

tunjangan  pegawai,  biaya  operasional  dan  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian 

masyarakat,  pembangunan,  kerjasama  dalam  negeri,  kerjasama  luar  negeri,  lain‐lain. 

namun  alokasi  dana  terbesar  adalah  untuk  gaji  pegawai  dan  pembangunan mencapai  

44,07 persen, biaya operasional sebesar 21,35 persen, biaya pembangunan sebesar 15,64 

persen, serta biaya  lain‐lain mencapai  14,69 persen. Sedangkan dana untuk sektor yang 

lainnya  di bawah  5 persen. Dari  lingkaran  kerja  untuk  sumber dan pengalokasian  dana 

tersebut, berdampak kepada tingkat pencapaian UNPATI yang mencapai angka tertinggi 

yakni 81,80 persen, hal  ini membuktikan bahwa pengalokasian dana  terprogram  secara 

baik, sehingga dapat mencapai tingkat pencapaian tertinggi. 

  d. Universitas Negeri Medan (UNIMED) 

 Gambar 4.86. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNIMED (Milyar Rupiah) 

  

 Laporan keuangan penerimaan dan pengeluaran UNIMED gambar 4.86) dari tahun 

2006‐2009,  surplus  (penerimaan  UNIMED  terus  meningkat  dari  tahun  ke  tahun). 

Peningkatan  terbesar dana pemerintah untuk UNIMED selama  tahun 2006 – 2009 yaitu 

pada tahun 2009 sebesar 54 milyar rupiah dibandingkan tahun 2008.  

 

 

 

Page 133: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

132 

Gambar 4.87. Peta Pendanaan  UNIMED 

    

Gambar 4.88. Peta Pendanaan  UNIMED (Persen) 

   

Seperti terlihat (gambar 4.87 dan 4.88) di atas pendanaan USU,  dana pemerintah 

berasal  dari  Kementerian  Diknas,  kementerian  lain,  dan  pemerintah  daerah.  Sumber 

pendanaan  dari  pemerintah  seluruhnya  berasal  dari  kementerian Diknas,  yakni  dengan 

peningkatan tiap tahunnya anatara dari 122 milyar rupiah – 193 milyar rupiah. Sedangkan 

Page 134: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

133 

untuk kementerian lain dan pemerintah daerah relative sangat rendah dalam memberikan 

pendanaan untuk UNIMED.  

Secara  umum,  Pendanaan USU    berasal  dari  pemerintah  dan masyarakat. Dana 

masyarakat menempati posisi  tertinggi dalam pendanaan USU. Pendanaan berasal dari 

dana masyarakat (gambar 4.87) menempati posisi kedua yakni antara 8 milyar rupiah ‐ 14 

milyar rupiah. Pendanaan tersebut berasal dari SPP/DPP, terbesar pada tahun 2006‐2007 

yakni  sebesar  42 persen,  kemudian menurun  di  tahun  2008  ‐  2009 menjadi  30 persen, 

kemudian sumber dana dari orang tua mencapai 30 persen – 43 persen, dan terakhir dana 

lain‐lain mencapai 30 persen – 43 persen. 

Alokasi pendanaan berdasarkan bantuan dan kerjasama (gambar 4. 87) sebesar antara 

2 milyar  rupiah  sampai  10 milyar  rupiah, bantuan  dana  tersebut berasal dari  kerjasama 

dengan pemerintah khususnya  (beasiswa dikti) yakni sebesar 95 persen  (gambar 4.90). 

Sedangkan kejasama lain berasal dari pemerintah dalam negeri yakni sebesar 5 persen.  

 

Gambar 4.89. Peta Pendanaan  UNIMED dari Masyarakat 

 

  

 

Gambar 4.90. Peta Pendanaan  UNIMED dari Bantuan dan Kerjasama 

Page 135: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

134 

   

Gambar 4.91. Peta Pengeluaran  UNIMED   

  

Pengeluaran  terbesar  untuk UNIMED  (gambar  4.91) diperuntukan pada  gaji dan 

tunjangan pegawai yakni hampir mencapai 90 persen, dan untuk posko lain seperti biaya 

operasional dan pemeliharaan di bawah 10 persen. 

       

Page 136: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

135 

Tabel 4.20. Kinerja UNIMED                            

 

 

 

 

 

 

Tabel 4.20   menunjukan bahwa alokasi pendaan untuk UNIMED didominasi oleh 

pemerintah yakni sebesar 89,95 persen sedangkan dana lainnya seperti dana masyarakat 

dan bantuan dan kerjasama hanya 10 persen. Jadi dana yang diperoleh UNIMED hampir 

seluruhnya  berasal  dari  dana  pemerintah.  Pengeluaran  UNIMED  terbesar  dialokasikan 

untuk gaji pegawai yakni sebesar 88,28 persen sedangkan untuk sektor seperti BOP dan 

pemeliharaan di bawah 10 persen. Penerimaan pendanaan dan pengeluarannya, ternyata 

berimbas  kepada  tingkat  pencapaian  yang  telah  direncanakan  oleh  UNIMED,  seperti 

Page 137: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

136 

terlihat  di  atas  tingkat  pencapaian  UNIMED  mencapai  94.80persen  hal  ini  termasuk 

sangat besar dan berhasil. 

 

e. Institute Agama Islam Negeri Medan (IAIN Medan) 

Gambar 4.92.  Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Medan (Milyar Rupiah) 

  

Laporan  penerimaan  dan  pengeluaran  IAIN Medan  (gambar  4.92)  tahun  2006  ‐ 

2009  berada  di  bawah  90 milyar  rupiah  per  tahun.  Dengan  surplus  (penerimaan  dan 

pengeluaran terus meningkat), penerimaan terendah sebesar 3 milyar rupiah pada tahun 

2006 dan tertinggi sebesar 12 milyar rupiah pada tahun 2010.  

 Pendanaan  terbesar  diterima  dari  pemerintah  (gambar  4.94  dan  gambar  4.93), 

selama 4 tahun dana yang diperoleh IAIN Medan berada dikisaran 38 milyar rupiah sampai 

72 milyar rupiah. Dengan nilai tertinggi sebesar 72 milyar rupiah dengan persentase antara 

80,89  persen  –  95,22  persen.  Dana  dari  alokasi  pemerintah  berasal  dari  dua  yakni 

kementerian  departemen  agama  dan  pemerintah  daerah.  Dana  terbesar  yang  pernah 

dikeluarkan kementerian Agama adalah 67 milyar  rupiah dan dan dana dari pemerintah 

daerah terbesar mencapai Rp. 10 milyar. Sedangkan dari dana masyarakat (gambar 4.95) 

selama 4 tahun terakhir, berada di kisaran 2 milyar rupiah ‐ 27 milyar rupiah, dengan range 

persentase antara 4,98 persen –  19,11 persen. Hampir seluruhnya dana dari sektor dana 

masyarakat  yakni  100  persen  berasal  dari  SPP/DPP  kecuali  pada  tahun  2009  terdapat 

sektor  lain‐lain yang menyumbang sebesar 16 persen dan sektor penerimaan mahasiswa 

baru sebesar 9 persen. 

 

Page 138: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

137 

Gambar 4.93.  Peta Pendanaan IAIN Medan 

  

 Gambar 4.94.  Peta Pendanaan IAIN Medan dari Pemerintah 

   

Gambar 4.95.  Peta Pendanaan IAIN Medan dari Masyarakat 

  

Page 139: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

138 

Gambar 4.96.  Peta Pengeluaran IAIN Medan   

  

Peta pengeluaran IAIN Medan (gambar 4.96) terbesar untuk gaji pegawai dan lain‐

lain yakni mencapai 50 persenan, sedangkan untuk sektor lainnya berada jauh di bawah 10 

persen kecuali pembangunan yang pernah mencapai 13 persen. 

Tabel  4.21  menunjukan  bahwa  alokasi  pendaan  untuk  IAIN  Medan  hampir 

ddominasi  oleh  pemerintah  yakni  sebesar  89,27  persen  serta  dana  dari  masyarakat 

sebesar  10,73  persen  sedangkan  untuk  bantuan  dan  kejasama  dengan  lembaga  baik 

pemerintah  nasional  maupun  internasional.  Dana  yang  diperoleh  IAIN Medan  hampir 

seluruhnya berasal dari dana pemerintah. 

Pengeluaran IAIN Medan terbesar dialokasikan untuk gaji pegawai dan sektor lain‐

lain yakni mencapai 83,70 persen, sedangkan untuk pendanaan lainnya hanya mencapai di 

bawah  10persen.  Yang  menarik  adalah  alokasi  pendanaan  untuk  lain‐lain,  mengingat 

alokasi tersebut tidak diketahui, untuk apa dan bagaimana proses keluarnya. Penerimaan 

pendanaan  dan  pengeluarannya,  ternyata  berimbas  kepada  tingkat  pencapaian  yang 

telah  direncanakan  oleh  IAIN Medan,  seperti  terlihat  di  atas  tingkat  pencapaian  IAIN 

Medan mencapai 86,79 persen hal ini termasuk sangat besar dan berhasil. 

 

 

 

 

 

Page 140: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

139 

Tabel 4.21. Kinerja IAIN Medan 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

f. Institute Agama Islam Negeri Ambon (IAIN Ambon)  

Gambar 4.97.  Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Ambon (Milyar Rupiah) 

 

Page 141: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

140 

 Laporan keuangan penerimaan dan pengeluaran  IAIN Ambon  (gambar 4.97) dari 

2006‐2009,    surplus  penerimaan  dan  pengeluaran  hampir  di  semua  tahun  berada  di 

bawah  50 milyar  rupiah.  Surplus  penerimaan  setelah  dikurangi  pengeluaran  terendah 

pada tahun 2006 yakni 2 milyar rupiah dan tertinggi tahun 2010 42 milyar rupiah. 

 

Gambar 4.98.  Peta Pendanaan IAIN Ambon 

      

           

 

Gambar 4.99.  Peta Pendanaan IAIN Ambon (Persen) 

 

Page 142: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

141 

 Sumber dana yang di dapat IAIN Ambon (gambar 4.98 dan 4.99) dari tahun 2006 ‐ 

2009 , sebagian  berasal dari pemerintah seperti terlihat dana yang diterima IAIN Ambon  

dari pemerintah seluruhnya berasal dari kementerian Departemen Agama   dengan range 

adalah antara 2 milyar  rupiah – 38   milyar  rupiah atau dengan persentase antara 80,09 

persen – 90,28 persen.  

Sumber dana lain adalah dari dana masyarakat (gambar 4.100) yakni 2 milyar rupiah ‐ 4 

milyar rupiah atau dengan persentase antara 9,72 persen – 19,91persen. Sumber dana dari 

masyarakat  terbesar  diperoleh  dari  SPP/DPP  yakni  sebesar  95  persen,  dan penerimaan 

mahasiswa baru 5 persen. 

 Gambar 4.100.  Peta Pendanaan IAIN Ambon dari Masyarakat 

  

 

 

 

 

 

 

Page 143: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

142 

Gambar 4.101.  Peta Pengeluaran  IAIN Ambon  

  

Untuk  pengeluaran  rutin  IAIN  Ambon  (gambar  4.101)  yakni  gaji  dan  tunjangan 

pegawai,  biaya  operasional  dan  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian  masyarakat, 

pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, lain‐lain. 

Sektor pengeluaran terbesar untuk gaji dan tunjangan pegawai sebesar 32 persen ‐ 

59 persen, BOP sebesar antara 4 persen  ‐ 24 persen, dan   pembangunan  18 persen  ‐ 32 

persen. Sedangkan untuk alokasi lain masih berada di bawah 5 persen. 

Tabel  4.22 memeperlihatkan  bahwa  arah  kebijakan  IAIN Ambon  terbagi  kepada 

dua  bagian  besar  yakni  untuk  alokasi  pendanaan  pendidikan  tinggi  dan  kebijakan 

pendidikan tinggi. Untuk alokasi pendanaan, sumber dana yang dimiliki oleh IAIN Ambon 

berasal dari pemerintah dan dana masyarakat, namun sumber dana terbesar berasal dari 

pemerintah yakni sebesar 84,22 persen dan dana masyarakat sebesar 15,78 persen. 

Pendanaan  tersebut  dialokasikan  untuk  beberapa  sektor  seperti  gaji  dan 

tunjangan  pegawai,  biaya  operasional  dan  pemeliharaan,  penelitian,  pengabdian 

masyarakat,  pembangunan,  kerjasama  dalam  negeri,  kerjasama  luar  negeri,  lain‐lain. 

namun  alokasi  dana  terbesar  adalah  untuk  gaji  pegawai  dan  pembangunan mencapai  

86,81 persen, artinya hampir semua alokasi dana terpusat untuk gaji dan pembangunan 

fisik. Sedangkan untuk alokasi lain masih berada di bawah kisaran 20 persen. 

Page 144: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

143 

 

Tabel 4.22. Kinerja IAIN Ambon 

                                           

Page 145: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

144 

Dari  lingkaran kerja untuk sumber dan pengalokasian dana  tersebut, berdampak 

kepada  tingkat  pencapaian  IAIN  Ambon  yang  mencapai  angka  tertinggi  yakni  93,64 

persen,  hal  ini  membuktikan  bahwa  pengalokasian  dana  terprogram  secara  baik, 

sehingga dapat mencapai tingkat pencapaian tertinggi. 

                                         

Page 146: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

145 

BAB V  POTRET DAN HUBUNGAN KEBIJAKAN DAN PELAKSANAAN  

PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI   

5.1. Potret Pendanaan Pendidikan Tinggi 

5.1.1. PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN) 

Semangat  PT  BHMN  adalah  untuk meningkatkan  otonomi  PT,  termasuk  dalam 

pengelolaan  pendanaannya  sekalipun  subsidi  dana  pemerintah  tetap  signifikan.  Jika 

dipetakan dalam tiga sumber pendanaan PT, yaitu: pemerintah, masyarakat serta bantuan 

dan    kerjasama. Dari  ketika  sumber pendanaan  tersebut,  selama  empat  tahun  terakhir 

penerimaan pendanaan PT didominasi oleh kontribusi dana masyarakat  yang mencapai 

7,43 triliun rupiah  atau sebesar 50 persen dari total penerimaan enam PT BHMN tersebut 

sebagaimana  terlihat  dalam  Gambar  5.1.  Dana  masyarakat  tersebut  sebagian  besar 

diperoleh dari Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dan Dana Penyelenggaraan 

Pendidikan (DPP).  

Besarnya  kontribusi  dana  masyarakat  patut  disyukuri  sebagai  wujud  tingginya 

partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan  tinggi namun di 

sisi  lain,  besarnya  kontribusi  tersebut  juga  berhubungan  dengan  besarnya  beban  yang 

harus  ditanggung  masyarakat  yang  anaknya  belajar  di  PT  BHMN.  Di  sinilah  perlunya 

regulasi  yang  tepat  dan  terukur  sehingga  partisipasi  yang  terjadi  benar‐benar  sesuai 

dengan  kemampuan  masyarakat  dan  tetap  memperhatikan  adanya  masyarakat  yang 

kurang mampu. 

Di  sisi  lain,  kontribusi  pemerintah  dalam  pendanaan  PT  BHMN  secara  nominal 

masih  relatif  tinggi  sehingga  selama kurun waktu empat  tahun  terakhir untuk enam PT 

BHMN  saja mencapai 4,38  triliun  rupiah. Sekalipun demikian, besaran nominal  tersebut 

tidal paralel dengan proporsi total pendapatan perguruan tinggi sehingga kontribusi dana 

pemerintah hanya berkisar antara 30 persen dari total penerimaan pendapatan enam PT 

BHMN.  

Sedangkan dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari bantuan dan kerjasama, 

relatif  rendah  yaitu  sebesar  kurang  lebih  20 persen dari dana Pendidikan Tinggi BHMN 

atau 2,93  triliun  rupiah  selama 4  tahun  terakhir. Hal  tersebut menggambarkan persepsi 

publik (BUMN, BUMD, Industri serta luar negeri) terhadap PT BHMN masih rendah. 

Page 147: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

146 

Gambar 5.1. Peta Pendanaan PT BHMN 

 

 Selanjutnya, ditilik dari aspek pengeluaran, selama empat tahun terakhir struktur 

pengeluaran PT BHMN mengalami kecenderungan  sebagaimana  terlihat dalam Gambar 

5.2. Dilihat dari aspek pengeluaran yang terbesar dialokasikan untuk membayar gaji dan 

tunjangan karyawan PT BHMN yang mencapai 4,1 triliun rupiah atau sekitar 28 persen dari 

total pengeluaraan PT BHMN. Pengeluaran tersebar selanjutnya adalah biaya operasional 

pendidikan (BOP) dan penelitian dan pengabdian masyarakat (P2M) yang masing‐masing 

mencapai sekitar 26 persen dan 22 persen. Prioritas pengeluaran untuk gaji dan tunjangan 

serta  biaya  operasional  pendidikan  tersebut  ditujukan  untuk meningkatkan  kualitas  PT 

BHMN  yang  secara  faktual  nampak  signifikan  sebagaimana  pencapaian  beberapa  PT 

BHMN masuk PT kelas dunia versi THES. Di samping itu, sekalipun pengeluaran untuk P2M 

secara  proporsional  masih  sekitar  22  persen  namun  angka  tersebut  cukup  signifikan 

dibanding dengan PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU.  

Upaya  untuk  meningkatkan  kualitas  PT  dilakukan  melalui  pemilihan  prioritas 

sehingga alokasi pendanaannya tidak sama rata sehingga terjadi peningkatan kualitas PT 

yang signifikan dan tetap memberikan alokasi yang sepadan untuk PT  lainnya agar tidak 

mengurangi  dan mengganggu  proses  pembelajaran  PT.  Pilihan  prioritas  ini  tentu  saja 

menjadikan  PT  BHMN  untuk  sementara waktu  lebih  fokus  pada  peningkatan  BOP  dan 

P2M sehingga dalam batas tertentu upaya perbaikan dan pengembangan infrastruktur PT 

BHMN  sedikit  lebih  tertinggal.  Kenyataan  tersebut  ditunjukkan  dengan  terbatasnya 

Rp 4,38 Triliun Rp 2,93 Triliun

Rp 7,43 Triliun

Page 148: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

147 

alokasi untuk  investasi/pembangunan yang hanya mencapai 5‐7 miliar rupiah atau sekira 5 

persen selama kurun waktu empat tahun terakhir. 

 

Gambar 5.2. Struktur Pengeluaran PT BHMN 

  

Ada  tujuh  PT  BHMN  dan  terpilih  enam  PT  BHMN  sehingga  mampu 

merepresentasikan perkembangan pendanaan PT BHMN secara keseluruhan dalam kurun 

waktu  empat  tahun  terakhir.  Secara  ilustratif,  peta  pendanaan  tersebut  dapat  dilihat 

dalam Gambar 5.3. di bawah ini.  

Dengan  melihat  gambar  5.3.  di  atas  nampak  selama  empat    tahun  terakhir, 

Universitas Gadjah Mada  (UGM) memiliki penerimaan  terbesar  yang mencapai Rp. 4.24 

triliun, disusul oleh Universitas Indonesia (UI) sebesar Rp. 4.18 triliun. Ditilik dari sumber 

dananya, UGM  dan UI menerima  dana  pemerintah  yang  terbesar  selama  empat  tahun 

terakhir. Sekalipun demikian, jika ditilik dari komposisi pendanaannya, alokasi pemerintah 

untuk UGM dan UI masing‐masing hanya mencapai  29 persen dan  18 persen dari  total 

penerimaan kedua PT BHMN tersebut.  

 

 

 

Rp 4,1 triliun

Rp 0,23 triliun

Rp 3,14 triliun

Rp 3,72 triliun

Rp 0,7 triliun

Rp 0,57 triliun

Rp 0,01 triliun

Rp 1,94 triliun

Page 149: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

148 

Gambar 5.3. Peta Pendanaan PT BHMN  

  

Adapun alokasi terkecil pemerintah untuk PT BHMN selama empat tahun terakhir 

adalah  Universitas  Pendidikan  Indonesia  (UPI),  yaitu  sebesar    490 milyar  rupiah  atau 

sekitar 42 persen dari total penerimaan UPI. Dilihat dari besaran prosentase penerimaan 

dari pemerintah,  secara berurutan prosentase  terbesar  adalah  untuk  Institut Pertanian 

Bogor (IPB), UPI dan Universitas Sumatera Utara (USU). Besarnya prosentase dana dari 

pemerintah  menunjukkan  tingkat  kontribusi  pemerintah  terhadap  PT  BHMN  tersebut 

sekaligus  tingkat  keterbatasan  kemampuan  PT  BHMN  tersebut  dalam  mencari 

pendanaannya sendiri.  

Selanjutnya,  dilihat  dari  kemampuannya  dalam  menggalang  dana  masyarakat 

selama empat  tahun  terakhir, UGM dan UI menduduki posisi  tertinggi dengan besaran 

mencapai masing‐masing  sebesar  2,5  triliun  rupiah(64 persen)  dan  2,2  triliun  rupiah(54 

persen). Kemampuan penggalangan dana masyarakat di satu sisi merupakan keberhasilan 

dalam meningkatkan pendanaan namun di sisi lain menunjukkan tingkat ketergantungan 

PT BHMN terhadap pendanaan dari masyarakat yang sebagian besarnya dari mahasiswa. 

Ditilik dari prosentasenya, PT BHMN yang mampu menggalang dana masyarakat terbesar 

adalah  UGM,  USU  dan  UI,  yaitu masing‐masing  sebesar  64  persen,  58  persen  dan  54 

persen  sekalipun  secara nominalnya penerimaan USU dalam kurun waktu empat  tahun 

terakhir jauh di bawah UGM dan UI. Menariknya posisi UI yang terendah dalam menerima 

alokasi  dana  pemerintah  juga  terkecil  dalam  kemampuannya  menggalang  dana 

Page 150: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

149 

masyarakat, yaitu sebesar   519 milyar rupiah atau sekitar 43 persen dari total penerimaan 

UPI selama 4 tahun terakhir. 

Selanjutnya,  PT  BHMN  yang mampu menggalang  pendapatan  dari  penerimaan 

dana  bantuan  dan  kerja  sama,  secara  nominal UI menduduki  peringkat  tertinggi  yang 

mencapai     1,15 triliun rupiah dan disusul ITB sebesar 789 miliar rupiah. Namun demikian, 

secara proporsi, penerimaan dana bantuan dan kerja sama terbesar adalah ITB sebesar 39 

persen  dari  total  penerimaan  ITB  selama  empat  tahun  terakhir  dan  disusul  UI  yang 

mencapai 28 persen.  

 

5.1.2. PT Badan Layanan Umum (BLU) 

Pola dan kecenderungan umum pengelolaan pendanaan PT BLU memiliki struktur 

pendanaan yang berbeda dengan pola pendanaan PT BHMN yang  terlihat dari  struktur 

dan  besaran  kontribusi  antara  pemerintah,  masyarakat  dan  bantuan‐kerjasama 

sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.4.  

 

Gambar 5.4. Peta Pendanaan PT BLU 

 

 Gambar  5.4.  memperlihatkan  besarnya  alokasi  dana  pemerintah  baik  secara 

nominal maupun proporsional dibanding penerimaan dari masyarakat dan bantuan‐kerja 

sama. Berdasar data di atas, selama empat  tahun  terakhir PT BLU yang  terdiri dari PTN 

dan  PTAIN  memperoleh  penerimaan  yang  sangat  besar  dari  dana  pemerintah  yang 

Rp 5,21 triliun

Rp 140 milyar

Rp 3,34 triliun

Page 151: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

150 

mencapai      5,21  triliun  rupiah  atau  sekira  60  persen  dari  total  penerimaan  PT  BLU. 

Sekalipun PT BLU didominasi oleh pendanaan pemerintah namun penerimaan nominal PT 

BLU tersebut tetap di bawah PT BHMN. Hal ini tak dapat dilepaskan dari besarnya jumlah 

mahasiswa PT BHMN dan bervariasinya program studi PT BHMN sehingga ada beberapa 

program studi yang unit cost‐nya sangat mahal semisal Fakultas Kedokteran Umum dan 

Kedokteran Gigi. Di samping itu, dengan rerata PT BHMN yang mapan dan besar sehingga 

lebih mampu berkompetisi dalam memperoleh dana tambahan dari pemerintah. 

Penerimaan dana masyarakat dalam PT BLU relatif lebih kecil dibanding dana yang 

diperoleh dari pemerintah sehingga  total dana masyarakat PT BLU selama kurun waktu 

empat  tahun  hanya  mencapai      3,34  triliun  rupiah  atau  sebesar  38  persen  dari  total 

penerimaan  PT  BLU.  Beragamnya  PT  BLU  berdampak  pada  kecilnya  penerimaan  dana 

bantuan dan kerja sama yang hanya mencapai   140 miliar rupiah atau sekitar 2 persen dari 

total penerimaan PT BLU. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum PT BLU memiliki 

keterbatasan  dalam  upaya  menggalan  dana  bantuan  dan  kerja  sama.  Keterbatasan 

kemampuan  ini  dapat  dimaklumi  karena  kondisi  PT  BLU  yang  bervariasi  dan  sebagian 

besar PTN yang tidak terlalu mapan seperti PT BHMN.  

Dengan  demikian, maka  tingkat  ketergantungan  PT BLU pada  dana pemerintah 

masih sangat besar dan menjadi penyangga utama di samping dana masyarakat. Adapun 

dana yang berasal dari bantuan dan kerjasama, hanya sebagai dana penunjang PT BLU. 

Dilihat  dari  aspek  pengeluaran,  sebagaimana  PT  BHMN,  sebagian  besar 

pengeluaran  PT  BLU  diperuntukkan  untuk  gaji  dan  tunjangan  serta  biaya  operasional 

pendidikan sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.5. di bawah ini. 

Dengan melihat struktur pengeluaran di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa PT 

BLU mengalokasikan dana untuk berbagai kebutuhan yang berkaitan erat dengan proses 

pembelajaran  PT  dan  hanya  sebagian  kecil  saja  untuk  P2M.  Mengancik  pada  rincian 

pengeluaran  PT  BLU,  sebagian  besar  pengeluaran  PT  BLU  yaitu  sebesar      2,65  triliun 

rupiah  atau  sekitar  47 persen  dari  total pengeluaran PT BLU  digunakan untuk  gaji dan 

tunjangan.  Selanjutnya, biaya opersaional pendidikan  (BOP) mendapat  alokasi  terbesar 

kedua, yaitu sebesar     1,06 triliun rupiah atau sekitar 19 persen dari total pengeluaran PT 

BLU selama empat tahun terakhir.  

 

 

Page 152: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

151 

Gambar 5.5. Pengeluaran PT BLU 

 

 Dengan segala keterbatasannya, PT BLU mengalokasikan dana untuk investasi dan 

pembangunan sebesar     700 miliar  rupiah atau sekitar  12 persen dari  total pengeluaran. 

Kenyataan  ini menunjukkan bahwa prioritas PT BLU berbeda dengan PT BHMN, di mana 

PT  BLU  lebih  pada  infrastruktur  dibanding  penguatan  SDM  dan  PT  BHMN  lebih  pada 

penguatan SDM dibanding  investasi dan pembangunan. Perbedaan lain antara PT BHMN 

dan PT BLU adalah terkait pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan masyarakat 

serta bantuan dan kerjasama yang relatif kecil dibanding PT BHMN.  

 5.1.3. PT NonBHMN‐NonBLU   

Pendanaan Pendidikan Tinggi Konvesional terdiri dari beberapa Perguruan Tinggi 

Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) seluruh Indonesia. Dalam 

penelitian  ini,  tidak  semua PTN dan PTAIN  yang masuk kategori PT NonBHMN‐NonBLU   

disurvey. Beberapa PTN dan PTAIN yang secara geografis mewakili wilayah barat, wilayah 

tengah, dan wilayah timur dijadikan sampel dalam penelitian ini.  

Berdasarkan  peta  pendanaan  di  bawah  ini  (perhatikan  gambar  5.6.),  struktur 

pendanaan  PT  NonBHMN‐NonBLU  didominasi  dana  pemerintah  yaitu  kurang  lebih 

84persen atau  1.902 triliun rupiah, dari alokasi pendanaan PT NonBHMN‐NonBLU, selama 

4 tahun terakhir. Sedangkan sumber dana masyarakat relatif rendah yaitu sebesar kurang 

lebih  14persen  atau  sebesar      307  milyar  rupiah,  selama  4  tahun  terakhir.  Hal  ini 

Rp 370 milyar

Rp 180 milyar

Rp 500 milyar

Rp 1,06 triliun

Rp 2,65 triliun

Rp 70 milyar

Rp 700 milyar

Rp 160 milyar

Page 153: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

152 

menunjukkan  bahwa  dana  pendidikan  pendidikan  tinggi  yang  dibebankan  kepada 

masyarakat relatif rendah.  

  

Gambar 5.6. Peta Pendanaan PT Non BHMN‐Non BLU 

 

 Disisi lain,  PT NonBHMN‐NonBLU    kurang aktif dalam menjalin dan mencari dana 

bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya dengan dunia usaha dan dunia 

industri. Hal ini dapat dilihat dari besaran dana bantuan dan kerjasama, yang diterima  PT 

NonBHMN‐NonBLU    yaitu hanya 2persen atau sebesar  50 milyar rupiah selama 4 tahun 

terakhir.  Dan  secara  umum,  sumber  pendanaan    PT  NonBHMN‐NonBLU        sangat 

tergantung dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 

Disisi lain, PT NonBHMN‐NonBLU    kurang aktif dalam menjalin dan mencari dana 

bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya dengan dunia usaha dan dunia 

industri. Hal  ini dapat dilihat dari besaran dana bantuan dan kerjasama, yang diterima PT 

NonBHMN‐NonBLU    yaitu hanya 2persen atau sebesar   50 milyar rupiah selama 4 tahun 

terakhir.  Dan  secara  umum,  sumber  pendanaan  PT  NonBHMN‐NonBLU        sangat 

tergantung dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 

Berdasarkan data yang diolah dan hasilnya terlihat pada gambar 5.7., menunjukan 

peta pengeluaran PT NonBHMN‐NonBLU bahwa alokasi pengeluaran Gaji dan Tunjangan 

merupakan pengeluaran terbesar yaitu kurang  lebih 50 persen atau sebesar   976 milyar 

rupiah  selama  4  tahun  terakhir.  Alokasi  untuk  BOP  dan  Penelitian  dan  pengabdian 

masyarakat sebesar kurang lebih 15persen atau kurang lebih   289 milyar  rupiah selama 4 

Rp 50 milyar

Rp 307 milyar

Rp 1,9 triliun

Page 154: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

153 

tahun  terakhir.  Begitu  juga  halnya  dengan  pengeluaran  untuk  pembangunan  dan 

hubungan  kerjasama  luar  negeri  yaitu  kurang  lebih  sebesar  7persen  dan  6persen  dari 

dana PT NonBHMN‐NonBLU      . Selebihnya pengeluaran untuk pemeliharaan, penelitian 

dan pengabdian, kerjasama dalam dan luar negeri berada pada angka di bawah 2persen.   

 

Gambar 5.7. Peta Pengeluaran PT Non BHMN‐Non BLU 

 

  5.1.4. Perbandingan BHMN, BLU, dan NonBHMN‐NonBLU 

 Untuk melihat bagaimana perbandingan peta pendanaan pendidikan  tinggi baik 

BHMN, BLU, maupun NonBHMN‐NonBLU, dapat dilihat dari peta pendanaan dibawah  ini 

(Gambar  5.8).  Dana  pemerintah  lebih  banyak  diberikan  pada  pendidikan  tinggi  BHMN 

walaupun  dari  jumlah  nominal  uang  relatif  kecil  dibandingkan  dengan  BLU,  tetapi  jika 

dilihat dari sisi rasio jumlah perguruan tinggi, (BLU 8 perguruan tinggi, sedangkan BHMN 

6  perguruan  tinggi),  maka  perguruan  tinggi  BHMN  relatif  lebih  besar  dibandingkan 

dengan perguruan tinggi BLU. 

 

 

 

 

Rp 288 milyar

Rp 24 milyar

Rp 289 milyar

Rp 976 milyar

Rp 124 milyar

Rp 150 milyar

Rp 112 milyar

Page 155: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

154 

 

 

 

Gambar 5.8. Peta Pendanaan Pendidikan Tinggi 

 

  

Begitu  juga halnya dengan sumber pendanaan pendidikan tinggi dari masyarakat. 

jumlah  dana  masyarakat  yang  diterima  pendidikan  tinggi  BHMN  jauh  lebih  besar 

dibandingkan pendidikan  tinggi BLU, walaupun dari  sisi persentase perbedaannya  tidak 

terlalu mencolok.  

Jika BHMN dan BLU dibandingkan dengan pendidikan  tinggi konvensional, akan 

terlihat  perbedaannya  sangat mencolok.  Berdasarkan  potret  mikro  pendidikan  tinggi, 

sebagian  besar  sumber  pendanaan  dari  masyarakat  berasal  dari  SPP/DPP.  Hal  ini 

menunjukkan  bahwa  SPP/DPP  pendidikan  tinggi  konvensional  relatif  rendah,  sehingga 

tidak  membebani  masyarakat  untuk  melanjutkan  pendidikan  tinggi.  Berbeda  halnya 

dengan SPP/DPP di perguruan  tinggi BHMN dan BLU, yang  lebih mahal. Hal  ini menjadi 

beban  bagi  masyarakat    untuk  menimba  ilmu  di  pendidikan  tinggi  BHMN  dan  BLU, 

khususnya masyarakat yang tak mampu. 

Berdasar  peta  pendanaan  pendidikan  tinggi  yang  berasal  dari  bantuan  dan 

kerjasama,  BHMN  sangatlah  agresif  dalam  mencari  dan  menggalang  dana  untuk 

membantu proses belajar dan mengajar di pendidikan tinggi. Berbeda dengan pendidikan 

Rp

140

mily

ar

Rp

3,34

tril

iun

Rp

5,2

1 tri

liun

Rp

2,93

tril

iun

Rp

4.38

trili

un

Rp

7,4

3 tri

liun

Rp

1,9

0 tri

liun

Rp

307

mily

ar

Rp

50

mily

ar

Page 156: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

155 

tinggi BLU dan pendidikan  tinggi konvensional yang  tidak memiliki daya untuk mencari 

dana bantuan dan kerjasama, sehingga pendanaan pendidikan tinggi sangat bergantung 

pada dana dari pemerintah.  

 

5.2. Hubungan Kebijakan Pendidikan Tinggi dan Pelaksanaan Pendanaan  Pendidikan 

Tinggi 

Hubungan  antara  kebijakan  dan  pelaksanaan  pendanaan  pendidikan  tinggi 

digambarkan  dalam  4  (empat)  model  untuk  setiap  kategori,  baik  makro(gabungan), 

BHMN,  BLU,  maupun  konvensional.  Model  makro  merupakan  gabungan  dari  semua 

model  kategori  BHMN,  BLU,  dan  NonBHMN‐NonBLU. Untuk  lebih  jelasnya  bagaimana 

hubungan ke 4 model tersebut dapat dilihat dibawah ini. 

 

5.2.1. MAKRO 

Dalam  mendalami  peta  makro  pendanaan  PT  dan  keterkaitannya  dengan 

pencapaian  sasaran  pembangunan  PT,  dibuat  suatu  model  bewrdasarkan  hipotesa‐

hipotesa yang menguji hubungan keduanya. Hipotesa tersebut adalah sebagai berikut: 

      :    

  Artinya dana pemerintah, dana masyarakat, dan dana bantuan dan 

kerjasama  tidak berpengaruh  terhadap  tingkat pencapaian sasaran 

pembangunan pendidikan tinggi secara simultan 

      :    

Artinya dana pemerintah atau dan dana masyarakat atau dan dana 

bantuan dan  kerjasama berpengaruh  terhadap  tingkat pencapaian 

sasaran pembangunan pendidikan tinggi secara simultan 

 

Untuk  mengetahui  bagaimana  hubungan  pendanaan  Pendidikan  Tinggi  (Dana 

Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama)  terhadap  Tingkat 

Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi,  dapat  dilihat  pada  hasil  olahan  dengan 

menggunakan  software  statistika  yaitu  EVIEWSi.  Berdasar  table  5.1  dijelaskan  bahwa 

struktur  pendanaan  Pendidikan  Tinggi  memiliki  peran  besar  terhadap  peningkatan 

Page 157: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

156 

`kualitas  Pendidikan  Tinggi.    Berdasar  tabel  tersebut,  model  yang  dihasilkan  dapat 

dituliskan sebagai berikut : 

 

  

  Dimana   

  : Tingkat Pencapaian Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P) 

      : Dana Masyarakat (M) 

      : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

 

Tabel 5.1. Hasil Olahan  Model Makro 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dependent Variable: S     Method: Panel EGLS (Cross‐section weights)   Date: 12/27/10   Time: 21:07     Sample: 2006 2009     Cross‐sections included: 18     Total panel (balanced) observations: 72   Linear estimation after one‐step weighting matrix 

         

Variable Coefficie

nt  Std. Error  t‐Statistic  Prob.            P  0.940375  0.012369  76.02559  0.0000 M  0.828004  0.013948  59.36517  0.0000 B  0.725536  0.071071  10.20858  0.0000            Weighted Statistics              

R‐squared  0.995685      Mean dependent var  2.601232 Adjusted R‐squared  0.995560      S.D. dependent var  2.321821 S.E. of regression  0.154703      Sum squared resid  1.651383 F‐statistic  7961.766      Durbin‐Watson stat  0.724205 

Prob(F‐statistic) 0.00000

0                  Unweighted Statistics              

R‐squared  ‐0.730011      Mean dependent var  0.859367 Sum squared resid  1.831460      Durbin‐Watson stat  0.510902 

                  

Page 158: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

157 

 

Berdasar model  dan  hipotesa  yang  dibentuk,  diperoleh model  secara  simultan 

yang  memberikan  informasi  bahwa        ditolak,  artinya  Dana  Pemerintah,  Dana 

Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  berpengaruh  secara  simultan  terhadap 

Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi.  

 

Model  yang  dihasilkan  memberikan  informasi  bagaimana  peran  masing‐masing 

koefisien  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi.  Agar  lebih  jelas 

bagaimana peran masing‐masing koefisien nya adalah sebagai berikut : 

• Dana Pemerintah 

Nilai  koefisien  0.940375  memberikan  nilai  yang  cukup  diterima  pada  tingkat 

kepercayaan  95  persen.  Nilai  tersebut  memberikan  informasi  bahwa  jika  Dana 

Pemerintah dinaikkan  1 persen maka kontribusinya    terhadap Tingkat Pencapaian 

Sasaran  Pendidikan  Tinggi  naik  sebesar  0,94    persen.  Dan  nilai  tersebut 

menjelaskan  bahwa  besaran  dana  yang  diinvestasikan  Pemerintah, memberikan 

kontribusi terhadap peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi. 

• Dana Masyarakat 

Nilai  koefisien  0.828004  sangat  signifikan  pada  tingkat  kepercayaan  95persen, 

dikarenakan  nilai  signifikansi  yang  dihasilkan  kurang  dari  5  persen.  Koefisien 

tersebut memberikan gambaran bahwa  jika Dana Masyarakat naik sebesar 1 persen 

maka  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi  naik  sebesar  0,83  persen.  

Artinya besaran dana yang diperoleh dari masyarakat memberikan hasil  terhadap 

perkembangan kualitas Pendidikan Tinggi. 

• Dana Bantuan dan Kerjasama 

Nilai  koefisien  0.725536  memberikan  gambaran  bahwa  Dana  Bantuan  dan 

Kerjasama  berpengaruh  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran Pendidikan  Tinggi. 

Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa  jika Dana Bantuan dan Kerjasama naik 

sebesar 1 persen maka kontribusi  terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan 

Tinggi  juga naik sebesar 0,73 persen. Dan nilai tersebut mengindikasikan terhadap 

peningkatan  kualitas  Pendidikan  Tinggi  disebabkan  oleh  adanya  kontribusi  Dana 

Page 159: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

158 

Bantuan  dan Kerjasama  sebesar  0,6 persen. Nilai  tersebut  cukup  signifikan pada 

tingkat kepercayaan 95 persen. 

5.2.2. BHMN  Dalam model  ini  dibangun  oleh  3(tiga)  variable  bebas  (Dana  Pemerintah,  Dana 

Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama)    dan  1(satu)  variable  tak  bebas  yaitu 

Tingkat Pencapaian Sasaran PTN‐BHMN. Keempat variable tersebut dibentuk dalam suatu 

model sebagai berikut : 

  

  Dimana   

Y  : Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P) 

      : Dana Masyarakat (M) 

      : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

  : Koefisien, dengan i = 1,  2, dan 3 

 

Berdasar hipotesa yang dibentuk, dimana : 

    :    

  Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan 

kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran 

Pendidikan Tinggi BHMN secara bersamaan 

    :    

Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana 

Bantuan dan kerjasama berpengaruh  terhadap Tingkat Pencapaian 

Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN secara bersamaan 

 

Berdasar  hasil  uji  olahan  dengan menggunakan  software  EVIEWS,  pada  tingkat 

kepercayaan  sebesar  95persen  dihasilkan  bahwa    ditolak  artinya  Dana  Pemerintah, 

Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  berpengaruh  terhadap  Tingkat 

Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi  BHMN. Hasil  uji  hipotesa  tersebut  dapat  dilihat 

pada  table dibawah  ini, dimana nilai Prob(F‐Statistik)  sebesar 0.000000  lebih  kecil dari 

Page 160: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

159 

5persen.  Sedangkan  berdasar  akurasi modelnya, model  yang  dihasilkan  sangatlah  baik 

yaitu sebesar 0.986161, karena mencerminkan kesempurnaan model.  

Sedangkan uji hipotesa untuk setiap  variable  bebasnya yaitu Dana Pemerintah (P) 

atau  Dana  Masyarakat  (M)  atau  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  (B)  memiliki  nilai 

signifikansi  yang  cukup  untuk  diterima  sebagai  variable‐variabel  yang memiliki  potensi 

yang berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN 

 

Tabel 5.2. Hasil Olahan Model PT BHMN 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dan model yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 

 

 

Dependent Variable: S     Method: Panel EGLS (Cross‐section weights)   Date: 12/27/10   Time: 22:41     Sample: 2006 2009     Cross‐sections included: 6     Total panel (balanced) observations: 24   Linear estimation after one‐step weighting matrix 

         

Variable Coefficie

nt  Std. Error  t‐Statistic  Prob.            P  1.354353  0.075206  18.00863  0.0000 M  0.638053  0.068087  9.371168  0.0000 B  0.334155  0.106717  3.131224  0.0050            Weighted Statistics              

R‐squared  0.986161      Mean dependent var  1.284964 Adjusted R‐squared  0.984843      S.D. dependent var  0.743465 S.E. of regression  0.091530      Sum squared resid  0.175932 F‐statistic  748.2390      Durbin‐Watson stat  1.212656 

Prob(F‐statistic) 0.00000

0                  Unweighted Statistics              

R‐squared  0.615289      Mean dependent var  0.803924 Sum squared resid  0.206101      Durbin‐Watson stat  1.083426 

                  

Page 161: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

160 

Berdasar model  tersebut,  dapat  dilihat  bahwa  variable  Dana  Pemerintah,  Dana 

Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama memiliki hubungan yang positif terhadap 

Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN.  

Jika  dijelaskan  satu  persatu  variabelnya  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran 

Pendidikan Tinggi BHMN, maka diperoleh sebagai berikut: 

• Dana Pemerintah 

Nilai 1.354353 sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen (dilihat berdasar 

nilai signifikansinya yang  lebih  lebih kecil dari 5persen) dan memberikan kesimpulan 

bahwa  variable  Dana  Pemerintah  memberikan  pengaruh  terhadap  Tingkata 

Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi  BHMN.  Seberapa  besar  pengaruhnya  dapat 

dijelakan  sebagai  berikut  :  jika  Dana  Pemerintah  dinaikkan  sebesar  1persen    akan 

memberikan  kontribusi  sebesar  1,35  persen  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran 

pendidikan tinggi BHMN, dan hal tersebut memberikan indikasi terhadap peningkatan 

kualitas pendidikan tinggi BHMN sebesar 1,35  persen atas investasi Pemerintah.  

• Dana Masyarakat 

Nilai  koefisien    signifikan  pada  tingkat  kepercayaan  95  persen,  dan 

menyimpulkan  adanya  pengaruh  Dana  Masyarakat  terhadap  Tingkat  Pencapaian 

Sasaran  pendidikan  tinggi  BHMN.  Nilai  koefisien  tersebut  menjelaskan  bahwa  jika 

Dana Masyarakat    dinaikkan  sebesar  1persen    akan memberikan  kontribusi  sebesar 

0,64  persen    terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  pendidikan  tinggi  BHMN,  dan 

kesimpulan tersebut mengindikasikan terhadap kualitas pendidikan tinggi BHMN 

• Dana Bantuan dan Kerjasama 

Nilai koefisien 0.33415 relatif paling kecil dibandingkan niali koefisien Dana Pemerintah 

dan  Dana Masyarakat.  Nilai  tersebut  dapat  diterima  pada  tingkat  kepercayaan  95 

persen.  Dan  berdasar model  secara  keseluruhan  dapat  dijelaskan  bahwa  jika  Dana 

Bantuan dan Kerjasama   naik sebesar  1persen   akan memberikan kontribusi sebesar 

0.33   persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran PTN‐BHMN, dan hal tersebut  juga 

memberikan indikasi terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi BHMN 

     

Page 162: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

161 

 5.2.3. BLU 

Model  umum  yang  digunakan  pada  kategori  BLU,  sama  dengan  model  yang 

digunakan pada kategori model BHMN dikarenakan variable‐variabel yang digunakannya 

adalah sama. Dan yang membedakannya adalah perguruan tinggi‐perguruan tinggi yang 

dijadikan sample dalam pelaksanaan proses pendidikan tinggi. Adapun model umumnya 

adalah sebagai berikut :   

  

  Dimana   

Y  : Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P) 

      : Dana Masyarakat (M) 

      : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

  : Koefisien, dengan i = 1,  2, dan 3 

 

Berdasar hasil olahan statistic, bagaimana hubungan antara variable bebas (Dana 

Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama) dan variable tak bebas 

(Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU), dapat dilihat pada tabel 5.3. 

Untuk  mengetahui  seberapa  besar  hubungan  dan  pengaruh  variable  bebas 

terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi  BLU  dapat  dilihat  dari model 

selanjutnya. Tetapi  sebelum melanjutkannya, perlu dilihat kembali bagaimana hipotesa‐

hipotesa yang telah dibentuk tersebut. Adapun hipotesa tersebut adalah sebagai berikut : 

  

    :    

  Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan 

kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran 

Pendidikan Tinggi BLU secara bersamaan 

    :    

Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana 

Bantuan dan kerjasama berpengaruh  terhadap Tingkat Pencapaian 

Sasaran Pendidikan Tinggi BLU secara bersamaan 

 

Page 163: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

162 

Tabel 5.3. Hasil Olahan Model PT BLU 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hipotesa tersebut diatas harus diuji kebenarannya berdasar model yang dihasilkan. 

Berdasar hasil olahan dengan EVIEWS, diperoleh model sebagai berikut : 

   

  Dimana   Y  : Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P)       : Dana Masyarakat (M)       : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

  : Koefisien, dengan i = 1,  2, dan 3 

Dependent Variable: S     Method: Panel EGLS (Cross‐section weights)   Date: 12/27/10   Time: 22:48     Sample: 2006 2009     Cross‐sections included: 7     Total panel (balanced) observations: 28   Linear estimation after one‐step weighting matrix 

         

Variable Coefficie

nt  Std. Error  t‐Statistic  Prob.            P  0.912404  0.009684  94.21908  0.0000 M  0.858422  0.012354  69.48537  0.0000 B  1.053412  0.074663  14.10896  0.0000            Weighted Statistics              

R‐squared 0.99890

0      Mean dependent var  4.526489 Adjusted R‐squared  0.998812      S.D. dependent var  5.017061 S.E. of regression  0.172911      Sum squared resid  0.747457 F‐statistic  11352.95      Durbin‐Watson stat  0.755565 

Prob(F‐statistic) 0.00000

0                  Unweighted Statistics              

R‐squared  ‐5.671116      Mean dependent var  0.879450 Sum squared resid  0.975856      Durbin‐Watson stat  0.029559 

                  

Page 164: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

163 

 Berdasar    hasil  uji  hipotesa  dapat  disimpulkan  bahwa      ditolak,  artinya Dana 

Pemerintah,  Dana Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  berpengaruh  secara 

simultan terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU.  

Hal  ini dapat dilihat berdasar Table   yang memberikan nilai yang sangat signikan 

pada  tingkat  kepercayaan  95persen.    Selain  itu  juga,  model  yang  dihasilkan  memiliki 

tingkat akurasi  sebesar 0.998900  (R‐Square). Dan  ini menjelaskan bahwa  tingkat  residu 

yang dihasilkan relative sangat kecil dikarenakan kesempuranaan model yang dihasilkan. 

Dan jika melihat bagaimana masing‐masing koefisien yang dihasilkan dalam model 

tersebut,  apakah  signifikan  atau  tidak,  dan  bagaimana  interpretasinya  dapat  dilihat 

sebagai berikut : 

• Dana Pemerintah 

Berdasar Table Coefficients  , nilai koefisien 0.912404 merupakan nilai yang signikan 

pada tingkat kepercayaan 95 persen. Interpretasi terhadap nilai koefisien tersebut 

adalah  jika Dana Pemerintah naik 1 persen akan memberikan kontribusi   terhadap 

Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi   BLU sebesar 0,91 persen. Dan nilai 

tersebut mengindikasikan terhadap kualitas pendidikan tinggi BLU 

• Dana Masyarakat 

Nilai  koefisien  yang  dihasilkan  adalah  0.858422  (perhatikan  Table). Nilai  tersebut 

sangat  signifikan  pada  tingkat  kepercayaan  95persen,  dikarena  nilai  signifikansi 

yang  dihasilkan  kurang  dari  5persen.  Nilai  koefisien  tersebut  memberikan 

gambaran bahwa  jika Dana Masyarakat dinaikkan sebesar 1persen maka kontribusi 

yang  diberikan  sebesar  0,86  persen  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran 

Pendidikan  Tinggi  BLU.  Dan  nilai  tersebut  mengindikasikan  terhadap  kualitas 

pendidikan tinggi BLU 

• Dana Bantuan dan Kerjasama 

Nilai  koefisien  yang  dihasilkan  pada  table  Coefficients  sebesar  1.053412  sangat 

signifikan  pada  selang  kepercayaan  95  persen.  Nilai  koefisien  tersebut 

menyimpulkan  adanya  pengaruh Dana  Bantuan  dan Kerjasama  terhadap  Tingkat 

Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi  BLU. Nilai  koefisien  tersebut menjelaskan 

bahwa  jika  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  dinaikkan  sebesar  1persen  akan 

memberikan kontribusi  sebesar 1,05  persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran 

Page 165: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

164 

Pendidikan  Tinggi  BLU.  Dan  nilai  tersebut  mengindikasikan  terhadap  kualitas 

pendidikan tinggi BLU 

  

5.2.4. NONBHMN‐NONBLU 

Pembentukan  model  lainnya  (pendekatan  ekonometrika)  memiliki  variabel‐

variabel  yang  sama  baik  variabel  bebas  maupun  variabel  tak  bebas.  Dan  yang 

membedakannya  dengan  Pendidikan  Tinggi  BHMN  dan  Pendidikan  Tinggi  BLU  adalah 

khususnya  system  pengelolaan  keuangan  dalam    proses  pendidikan  tinggi.  Pendidikan 

Tinggi  NonBHMN‐NonBLU memiliki  system  pengaturan  dan  pengelolaan  yang  relative 

masih tradisional. 

Model yang dibentuk juga merupakan model linear karena faktor dana, baik Dana 

Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  berbanding  lurus 

dengan  Tingkat  Pencapaian  Sasarannya  atau  dengan  kata  lain  faktor  dana  sangat 

berperan  dalam  peningkatan  kualitas  pendidikan  tinggi.  Model  umum  yang  dibentuk 

adalah sebagai berikut: 

  

  Dimana   

Y  : Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P) 

      : Dana Masyarakat (M) 

      : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

  : Koefisien, dengan i = 1,  2, dan 3 

 Berdasar  Table  5.4,  hubungan  Dana  Pemerintah,  Dana  Masyarakat,  dan  Dana 

Bantuan  dan  Kerjasama  terhadap  Tinngkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi 

NonBHMN‐NonBLU  sangat  beragam.  Hal  ini  dikarenakan  masing‐masing  Pendidikan 

Tinggi  Konvensionanl  memiliki  kemampuan  pendanaan  yang  variatif  juga.    Untuk 

mengetahui  hubungan  dan    kontribusi  baik  masing‐masing  variabel  maupun  semua 

variabel  secara  simultan  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi 

NonBHMN‐NonBLU  hanya  dapat  dilihat  dari  Tabel.  Berdasar  tabel  tersebut  dapat 

dituliskan model regresinya sebagai berikut : 

 

Page 166: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

165 

  

  Dimana   

Y  : Sasaran (S) 

      : Dana Pemerintah (P) 

      : Dana Masyarakat (M) 

      : Dana Bantuan & Kerja sama (B) 

  : Koefisien, dengan i = 1,  2, dan 3 

 

 

Tabel 5.4. Hasil Olahan Model PT Non BHMN‐Non BLU 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dependent Variable: S     Method: Panel EGLS (Cross‐section weights)   Date: 12/27/10   Time: 22:54     Sample: 2006 2009     Cross‐sections included: 5     Total panel (balanced) observations: 20   Linear estimation after one‐step weighting matrix 

         

Variable Coefficie

nt  Std. Error  t‐Statistic  Prob.            

P 0.88580

9  0.034786  25.46423  0.0000 M  1.138831  0.146323  7.783007  0.0000 B  0.332447  0.535194  0.621171  0.5427            Weighted Statistics              

R‐squared  0.985026      Mean dependent var  1.685082 Adjusted R‐squared  0.983265      S.D. dependent var  0.899441 S.E. of regression  0.116356      Sum squared resid  0.230160 F‐statistic  559.1589      Durbin‐Watson stat  1.373366 

Prob(F‐statistic) 0.00000

0                  Unweighted Statistics              

R‐squared  0.008120      Mean dependent var  0.897784 Sum squared resid  0.259918      Durbin‐Watson stat  2.704526 

                  

Page 167: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

166 

Model tersebut bisa menjelaskan sesuatu  jika dilakukan terlebih dahulu dilakukan 

uji terhadap hipotesa. Hipotesa‐hipotesa tersebut perlu diuji guna mendapatkan substansi 

model linear tersebut. Adapun hipotesa‐hipotesa tersebut adalah sebagai berikut : 

  

    :    

  Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan 

kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran 

Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU secara bersamaan 

 

    :    

Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana 

Bantuan dan kerjasama berpengaruh  terhadap Tingkat Pencapaian 

Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU secara bersamaan 

Berdasar Table 5.4, diketahui bahwa   diterima artinya   Dana Pemerintah, Dana 

masyarakat, dan Dana bantuan dan Kerjasama berpengaruh secara bersamaan terhadap 

Tingkat Pencapaian  Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU. Hal  ini dapat dilihat 

pada table, bahwa nilai signifikannya diterima pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dan 

memiliki akurasi model sebesar 0.989026 atau dengan kata lain bahwa Dana Pemerintah, 

Dana  Masyarakat,  dan  Dana  Bantuan  dan  Kerjasama  berpengaruh  secara  simultan 

sebesar  98,90    persen  terhadap  Tingkat  Pencapaian  Sasaran  Pendidikan  Tinggi 

NonBHMN‐NonBLU. 

Tetapi  jika dilihat satu persatu variabel bebasnya (perhatikan Tabel)  , hanya dana 

Pemerintah  dan  dana  Masyarakat  yang  berpengaruh  terhadap  Tingkat  Pencapaian 

Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU, sedangkan Dana Bantuan dan Kerjasama 

tidak berpengaruh. Hal  ini dapat dilihat dari nilainya  yang  tidak  signifikan pada  tingkat 

kepercayaan 95 persen. Agar  lebih  jelas bagaimana  interpretasi masing‐masing  sumber 

dana, dapat dilihat sebagai berikut : 

• Dana Pemerintah 

Nilai  koefisien  0.885809  diterima  pada  tingkat  kepercayaan  95persen  dan  dapat 

diinterpretasikan  bahwa  jika  Dana  Pemerintah  dinaikkan  sebesar  1  persen    akan 

memberikan kontribusi  sebesar 0,89 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran 

Page 168: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

167 

Pendidikan  Tinggi  NonBHMN‐NonBLU.  Dan  nilai  tersebut  mengindikasikan 

terhadap kualitas pendidikan tinggi NonBHMN‐NonBLU 

• Dana Masyarakat 

Nilai  koefisien  1.138831, dengan nilai  signikan  sebesar  0.000  dapat  diterima pada 

selang kepercayaan 95persen. Nilai koefisien tersebut dapat diartikan sebagai  jika 

Dana Masyarakat naik  1 persen   akan memberikan kontribusi   sebesar  1,14 persen 

terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU. Dan 

nilai  tersebut  mengindikasikan  terhadap  kualitas  pendidikan  tinggi  NonBHMN‐

NonBLU 

 

                                

Page 169: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

168 

BAB VI  

ANALISA KEBIJAKAN PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI 

 

Besarnya kebutuhan pendanaan pembangunan pendidikan tinggi akan dihadapkan 

pada  terbatasnya  sumber  daya  yang  tersedia  sehingga  diperlukan  strategi  yang  tepat 

dalam mensinergikan keterbatasan dana pemerintah, masyarakat serta bantuan dan kerja 

sama.  Strategi  tersebut  ditawarkan  sebagai  bahan  pertimbangan  dalam  mengambil 

langkah dan alternatif kebijakan dengan dasar dan rujukan pertimbangan yang memadai, 

tepat dan akurat.  

Alternatif  kebijakan  disusun  dengan  merujuk  pada  alternatif  model  yang 

merupakan hasil ekstrapolasi berbagai data kuantitatif dan dukungan pendalaman berupa 

data  dan  informasi  kualitatif.  Model  kuantitatif  diperoleh  berdasarkan  peta 

kecenderungan  dan  kondisi  pembangunan  pendidikan  tinggi,  baik  di  tingkat  makro 

nasional  dan  juga  di  tingkat mikro  perguruan  tinggi. Model  ini  berusaha mendekatkan 

antara pendanaan pendidikan tinggi dengan kinerja pendidikan tinggi yang terukur secara 

kuantitatif. Model kualitatif diperoleh dari hasil pemetaan hambatan dan rintangan serta 

peluang pengembangan pendidikan  tinggi  dalam mencari  sumber pendanaan  dan  juga 

pengelolaan  pendanaannya. Di  samping  itu, model  kualitatif  juga merupakan  berbagai 

pembelajaran (lesson learned) dari berbagai alternatif kebijakan yang dilakukan di negara 

lain  yang  diperkaya  dengan  berbagai  bahan  seminar,  workshop,  lokakarya  dan  jurnal 

penelitian baik nasional maupun internasional. 

Merujuk pada Undang‐Undang No.  20/2003  tentang  Sistem Pendidikan Nasional 

(SPN) yang dioperasionalisasikan dalam PP No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, 

maka  tanggung  jawab  pendanaan  pendidikan  merupakan  tanggung  jawab  bersama 

antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam kajian ini, sumber 

pendanaan masyarakat  diperluas menjadi  dua  kelompok  besar  yaitu  dana masyarakat 

yang  berasal  dari  SPP/DPP  dan  semacamnya  serta  dana masyarakat,  biasanya  instansi 

atau dunia usaha berupa dana bantuan dan kerja sama.  

Berdasarkan  model  yang  dihasilkan,  dapat  disimpulkan  baik  secara  komposit 

maupun per kategori, bagaimana pengaruh masing‐masing sumber pendanaan terhadap 

Page 170: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

169 

peningkatan  kualitas  pendidikan  tinggi. Model  tersebut  dapat  disederhanakan  dengan 

tabel 6.1. dibawah ini.  

Tabel 6.1. Koefisien Model  

Kategori  Pendanaan 

Pemerintah  Masyarakat  Bantuan & Kerjasama 

Makro  0.940  0.828  0.726 

BHMN  1.354  0.638  0.334 

BLU  0.912  0.858  1.053 

NonBHMN‐NonBLU  0.886  1.139  0.332 

 

Tabel di atas menunjukkan bahwa selama empat tahun terakhir, dana pemerintah 

baik  secara  makro  di  tingkat  nasional  maupun  dalam  kerangka  mikro  di  satuan 

penyelenggaran  pendidikan  tinggi  (PT  BHMN,  PT  BLU  dan  PT  NonBHMN‐NonBLU) 

merupakan  sumber  pendanaan  yang  relatif  besar  pengaruhnya  terhadap  tingkat 

pencapaian  sasaran  pembangunan  pendidikan  tinggi  dibandingkan  dengan  dana 

masyarakat serta dana bantuan dan kerjasama.  

Karena  semua  koefisien  bertanda  positif  (+)  maka  setiap  sumber  pendanaan 

pembangunan pendidikan  tinggi memiliki hubungan  yang positif  atau berbanding  lurus 

terhadap  peningkatan  kualitas  pendidikan  tinggi  dengan  ilustrasi  persamaan  sebagai 

berikut: 

 

 

 

 

Persamaan  tersebut menyiratkan  bahwa  pemerintah  perlu menentukan  berapa 

besar  tingkat kualitas yang diharapkan baik dalam  jangka pendek,  jangka menenga dan 

jangka panjang. Jika tingkat kualitas pendidikan tinggi yang diharapkan sudah ditentukan 

Pemerintah, maka harus diperhatikan bagaimana kondisi sumber pendanaan yang berasal 

dari pemerintah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika pemerintah telah menentukan 

tingkat  kenaikan  kualitas  pendidikan  tinggi  maka  harus  diimbangi  dengan  tingkat 

kenaikan  sumber pendanaan  yang berasal dari Pemerintah. Hal  ini dikarenakan  sumber 

pendanaan  Pemerintah baik  secara makro  nasional maupun  di  tingkat mikro  di  satuan 

Page 171: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

170 

penyelenggaran  pendidikan  tinggi  (PT  BHMN,  PT  BLU  dan  PT  NonBHMN‐NonBLU) 

memiliki  kontribusi  yang  relatif  lebih  besar  dibandingkan  dengan  sumber  pendanaan 

lainnya.  

Di  samping  itu,  sesuai dengan amanat konstitusi yang diperkuat dengan UU No. 

20/2003 tentang SPN, besarnya jumlah dana pemerintah yang dikeluarkan harus merujuk 

pada  amanat  tersebut,  termasuk  untuk  pendanaan  pendidikan  tinggi.  Untuk 

meningkatkan  efektivitas  dan  efisiensi  pendanaan  pendidikan  tinggi  ditawarkan 

alternative  strategi  yang  harus  diterapkan  dalam  mensinergikan  sumber  pendanaan 

pemerintah, masyarakat  serta  dana  bantuan  dan  kerjasama melalui  skenario  kebijakan 

sebagai berikut. 

I. Skenario Pertama 

Pada  skenario  ini,  sumber  pendanaan  dari  masyarakat  harus  meningkat  guna 

meningkatkan  kualitas  pendidikan  tinggi.  Sedangkan  kondisi  sumber  pendanaan  dari 

bantuan dan kerjasama bisa meningkat atau tidak sama sekali (tidak diperhatikan). Agar 

lebih jelas, perhatikan ilustrasi dibawah ini. 

 

 

 

 

 

 

• Jika  sumber  pendanaan  dari  bantuan  dan  kerjasama  meningkat,  maka 

peningkatan kualitas pendidikan tinggi akan semakin cepat secara periodik karena 

diimbangi  dengan  peningkatan  sumber  pendanan  baik  dari  Pemerintah  dan 

Masyarakat. Kondisi pendanaan pendidikan tinggi seperti ini sangat ideal. Skenario 

ini  belum  bisa  diterapkan  di  Indonesia  saat  ini    dikarenakan  banyak  faktor, 

misalkan : 

1. Kondisi perekonomian masyarakat belum stabil, hal ini dapat dilihat dari masih 

banyaknya  tingkat  kemiskinan  di  Indonesia.  Selain  itu,  dengan  adanya 

peningkatan  sumber  pendanaan  dari  masyarakat  artinya  biaya‐biaya 

pendidikan  tinggi yang dibebankan terhadap masyarakat  juga semakin  tinggi. 

atau

Page 172: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

171 

Dan  akibatnya,  akan  terjadi  peningkatan  biaya  SPP/DPP  dan  sumbangan‐

sumbangan lainnya baik sumbangan wajib maupun sumbangan sukarela. 

2. Kemampuan  sumber  daya  manusia  pada  pendidikan  tinggi,  belum  merata. 

Dengan  adanya  peningkatan  sumber  pendanaan  baik  dari  pemerintah, 

masyarakat, maupun bantuan dan kerjasama tanpa adanya pengelolaaan yang 

baik  dan  benar  akan  menyebabkan  terjadinya  ketidakefektifan  dan 

ketidakefisienan. 

3. Percepatan  peningkatan  kualitas  pendidikan  tinggi  harus  diimbangi  dengan 

penyediaan  infrastruktur pendidikan tinggi, baik bangunan dan peralatan dan 

perlengkapan  pembelajaran  pendidikan  tinggi.  Jika  penyediaan  infrastruktur 

berlangsung  bertahun‐tahun,  secara  tidak  langsung,  masyarakat  akan  ikut 

menanggung biaya pendidikan tinggi yang sangat besar. 

 

Jika  dana  pemerintah  dan  dana masyarakat mengalami  kenaikan  setiap waktu, 

ditambah adanya kenaikan    sumber pendanaan dari bantuan dan kerjasama dan 

pada  saat  yang  sama,  nilai  kualitas  pendidikan  tinggi  belum  ditentukan  oleh 

pemerintah, maka  akan  terjadi  banyak  penyimpangan.  Penyimpangan  ini  terjadi 

karena,  dana  melimpah,  namun  pendidikan  tinggi  tidak  memiliki  arahan  yang 

sesuai dengan  kebijakan‐kebijakan  yang bersifat  internal maupun  eksternal.  Jika 

nilai  kualitas pendidikan  tinggi  telah  ditentukan  dan  terdapat  peningkatan  dana 

pemerintah,  dana  masyarakat,  dan  dana  bantuan  dan  kerjasama,  maka 

berdasarkan  sumber  pendanaan  yang  maksimal  dapat  dihasilkan    percepatan 

kualitas pendidikan tinggi yang maksimal juga.  

• Jika  tingkat kualitas pendidikan  tinggi naik dan  sumber pendanaan dari bantuan 

dan  kerjasama  tidak  meningkat  atau  bahkan  cenderung  menurun    maka 

sumber pendanaan dari Pemerintah dan Masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi. 

Hal  ini  dikarenakan  distribusi  sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  mengalami 

pengerucutan,  dari  3  sumber  pendanaaan  pendidikan  tinggi menjadi  2  sumber 

pendanaan pendidikan tinggi.  

 

 

 

Page 173: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

172 

Dari  pemaparan  di  atas,  dapat  disimpulkan  adanya  peningkatan  kualitas 

pendidikan  tinggi  yang  diimbangi  dengan  adanya  peningkatan  sumber  pendanaan 

pemerintah, masyarakat, dan bantuan dan kerjasama akan lebih meringankan beban yang 

ditanggung  masyarakat.  Sebab  dalam  hal  ini,  tanggungan  pendanaan  akan 

terdistribusikan  kepada  pemerintah, masyarakat  dan  bantuan  dan  kerjasama.  Berbeda 

jika  dibandingkan  peningkatan  kualitas  pendidikan  tinggi  yang  hanya  diimbangi  dari 

sumber pendanaan dari pemerintah dan masyarakat. Kondisi ini akan sangat membebani 

masyarakat,  sebab  tanggungan  pendanaan  hanya  dibebankan  pada  pemerintah  dan 

masyarakat. 

 

II. Skenario Kedua 

Skenario  ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, dengan tidak menaikan 

beban biaya pendidikan tinggi yang bersumber dari masyarakat, namun tetap dengan  

kualitas  pendidikan  tinggi  yang  diharapkan.  Jadi  disimpulkan  bahwa  peningkatan 

kualitas  pendidikan  tinggi  diimbangi  dengan  peningkatan  sumber  pendanaan  dari 

Pemerintah dan Bantuan dan kerjasama. Agar  lebih  jelas, perhatikan  ilustrasi dibawah 

ini. 

 

 

 

 

 

Pada skenario  ini, dibagi menjadi 2 kondisi berdasar sumber pendanaan dari bantuan 

dan kerjasama. Kedua kondisi tersebut antara lain sebagai berikut : 

• Jika  sumber  pendanaan  dari  bantuan  dan  kerjasama  ditingkatkan  dengan 

sumber  pendanaan  masyarakat  yang  tetap  atau  menurun  maka  sumber 

pendanaan dari pemerintah yang diperlukan guna peningkatan kualitas pendidikan 

tinggi  nya  pun  harus  besar.  Langkah  yang  diambil  guna  peningkatan  sumber 

pendanaan  dari  bantuan  dan  kerjasama  adalah  pelaksanaan  dan  optimalisasi 

program‐program  yang  dibentuk  dalam  RENSTRA  Perguruan  Tinggi  dalam 

menjalin  kerjasamaa  dengan  berbagai  pihak,  baik  pihak  pemerintah  maupun 

swasta baik di dalam negeri maupun  luar negeri. Optimalisasi program‐program 

atau

Page 174: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

173 

pendukung  dalam  hal meningkatkan  sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  dari 

bantuan  dan  kerjasama  harus  didukung  oleh  SDM  yang  kuat  dalam  hal 

pembentukan akses  yang  sebesar‐besarnya dalam pencarian  sumber pendanaan 

pendidikan tinggi alternatif.  

• Jika  sumber  pendanaan  pendidikan  tinggi  yang  berasal  dari  bantuan  dan 

kerjasama tidak naik atau menurun   maka tugas pemerintah semakin berat 

dikarenakan  sebagian besar dana pendidikan  tinggi bersumber dari pemerintah. 

Akibatnya,  pemerintah  sendiri    harus  mencari  berbagai  alternatif  sumber 

pendanaan  guna  menambah  pendanaan  pendidikan  tinggi,  agar  kualitas 

pendidikan tinggi sesuai dengan harapan. 

 

Dengan demikian, adanya penurunan sumber pendanaan masyarakat mengakibatkan 

sumber  pendanaan  lainnya  harus  lebih  ditingkatkan  guna  memastikan  terjaminnya 

kualitas pendidikan tinggi yang terus‐menerus. 

 

Berdasar  kemungkinan‐kemungkinan  yang  terjadi  diatas,  dapat  disimpulkan  beberapa 

strategi  alternatif  yang  digunakan  dalam  hal  pendanaan  pendidikan  tinggi  sebagai 

berikut: 

1. Secara  makro,  pendanaan  pendidikan  tinggi  berperan  sangat  besar  dalam  proses 

pembelajaran pendidikan tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Secara 

kategoris PT BHMN memiliki sumber pendanaan terbesar berasal dari masyarakat, dan 

juga berdasarkan potret mikro PT BHMN,  sumber  dana masyarakat  sebagian besar 

berasal  dari  SPP/DPP.  Hal  ini mengindikasikan  beban  yang  ditanggung masyarakat 

untuk  memperoleh  pendidikan  tinggi,  sangatlah  berat.  Sebagai  alternatif  adalah 

pendidikan tinggi harus optimalisasi berbagai sumber pendanaan pendidikan tinggi baik 

secara  internal  (optimalisasi  pengelolaan  asset  baik  yang  berwujud  maupun  tak 

berwujud,  pengembangan  unit‐unit  bisnis,  investasi,  system  pencatatan  keuangan, 

dan  lain  lain) maupun eksternal  (optimalisasi hubungan kerjasama yang baik dengan 

berbagai  instansi  pemerintah  dan  swasta  baik  dalam  negeri maupun  luar  negeri), 

tanpa mengurangi standar kualitas yang diharapkan pendidikan tinggi.  

2. Berdasar  kondisi  pendanaan  PT  BHMN,  PT  BLU,  dan NonBHMN‐NonBLU  sangatlah 

berbeda.Dana penerimaan PT BHMN dari pemerintah  jauh  lebih besar dibandingkan 

Page 175: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

174 

untuk  PT  BLU  dan  PT  NonBHMN‐NonBLU.  Oleh  karenanya,  diperlukan  distribusi 

pendanaan  pendidikan  tinggi  yang  berasal  dari  pemerintah  dan  lebih  memberikan 

kesempatan  kepada masyarakat  yang  tidak mampu  tapi memiliki  kompetensi  tingg, 

misalnya melalui  peningkatan  jumlah  dan  besaran  beasiswa  dan  voucher  untuk  bias 

belajar di PT. 

3. Berdasar data pendanaan PT BHMN, dana yang berasal dari bantuan dan kerjasama PT 

BHMN relatif lebih besar dibandingkan PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU. Untuk itu, 

diperlukannya kemampuan akses yang  luas guna pengembangan  jejaring baik nasional 

maupun  internasional,  khususnya bagi pendidikan  tinggi PT BLU dan PT NonBHMN‐

NonBLU  yang masih memiliki  sumber pendanaan  dari  bantuan  dan  kerjasama  yang 

masih  rendah.  Selain  itu  juga,  rendahnya  hubungan  kerjasama  pendidikan  tinggi 

dengan Dunia Usaha  dan Dunia  Industri,  sehingga  diperlukannya  peran  pemerintah 

sebagai  intermediary  dalam membantu  PT  dalam  guna menjalin  hubungan  kerjasama 

pendidikan tinggi dan dunia usaha dan dunia industri. 

 

 

     

                 

Page 176: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

175 

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI  

 7.1. Kesimpulan 

Secara umum, struktur pendanaan PT baik PT negeri maupun PT agama islam negeri 

di  Indonesia bersumber dari dana pemerintah, dana masyarakat, dan dana bantuan dan 

kerjasama.  Ketiga sumber pendanaan PT tersebut memiliki komposisi dan pengaruh yang 

berbeda‐beda untuk masing‐masing kategori, baik kategori BHMN, BLU, dan Non‐BHMN 

dan  Non‐BLU.  Dari  ketiga  kategori  sumber  pendanaan,  dana  pemerintah masih  tetap 

mendominasi pendanaan untuk PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU. Sedangkan untuk PT 

BHMN  memiliki  kecenderungan  umum  yang  berbeda,  di  mana  kontribusi  dana 

masyarakat relatif lebih besar dibandingkan dana pemerintah. 

Jika  dilihat  dari  pelaksanaannya,  secara  makro  sumber  pendanaan  pendidikan  

memberikan  kontribusi  yang  signifikan  bagi  peningkatan  kualitas  PT.  Begitu  halnya 

dengan kategorik,   sumber dana PT memiliki pengaruh  juga terhadap kualitas PT. Tetapi 

sumber pendanaan dari pemerintah dan masyarakat berpengaruh  lebih besar  terhadap 

peningkatan kualitas PT dibandingkan dengan sumber dana dari bantuan dan kerjasama. 

Berdasar besaran  dan  proporsinya,  kontribusi  dana bantuan  dan  terhadap  penerimaan 

pendapatan PT relatif kecil sehingga berdampak pada signifikansi dampak dana bantuan 

dan kerja sama yang relatif lebih kecil juga terhadap peningkatan kualitas PT BLU dan PT 

NonBHMN‐NonBLU.  Kondisi  ini  sedikit  berbeda  untuk  PT  BHMN,  di  mana  sekalipun 

nominal  dan  proporsinya  tak  sebesar  dana  pemerintah  dan  dana  masyarakat  namun 

masih relatif besar dibandingkan dengan rerata yang diterima PT BLU dan PT NonBHMN‐

NonBLU sehingga keberadaan dana bantuan dan kerja sama  juga penting dan signifikan. 

Kemampuan dan jejaring PT memiliki kecenderungan pada peningkatan besaran bantuan 

dan kerja sama sehingga semakin memperkuat SDM PT BHMN yang secara umum relatif 

jauh lebih baik dibanding PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU.  

PT memiliki SDM yang masih terbatas dalam kompetensi dan profesionalisme guna 

menunjang pelaksanaan peningkatan kualitas PT. Kompetensi dan profesionalisme SDM 

yang  dimaksud  erat  hubungannya  terhadap  kinerja  PT  baik  kinerja  eksternal maupun 

internal PT.  Kinerja eksternal PT, dapat dilihat dari hubungan PT dengan dunia luar PT. Hal 

Page 177: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

176 

ini dapat dilihat dari kurangnya      jejaring kerjasama PT dengan pihak  luar PT, khususnya 

hubungan atau kerjasama antara PT dengan dunia usaha dan dunia  industri masih relatif 

terbatas  sehingga  kontribusinya  relatif  lebih  kecil,  terutama  dalam  hal  pengembangan 

unit‐unit  bisnis  dan  investasi  serta  riset  inovatif  yang  dapat meningkatkan  penerimaan 

pendanaan PT dan kapasitas secara signifikan.  

Namun demikian, khusus PT BHMN, hubungan kerjasama dengan dunia usaha dan 

industri  cenderung  semakin meningkat  dan berkontribusi  signifikan. Hal  ini merupakan 

kombinasi kapasitas PT BHMN yang relatif mapan dan sistem manajemen kerja sama PT 

BHMN  yang  relatif  lebih  fleksibel,  khususnya  dalam  tata  kelola  pendanaan  dibanding 

dengan  PT  BLU  apalagi  dengan  PT NonBHMN‐NonBLU  yang  belum  terealisasi  dengan 

baik.   Selain  itu  juga, PT BHMN ditunjang dengan adanya sistem akutansi tersendiri yang 

lebih  fleksibel  dan  akuntabel  sehingga  responsif  dan  tetap  menjamin  terhindarnya 

berbagai kesalahan manajemen dan ketidakefisienan. 

 

 

 

7.2. Rekomendasi Kebijakan 

Berdasar  kebijakan  dan  pelaksanaan  kebijakan,  khususnya  dalam  peningkatan 

penerimaan/pendapatan  pendanaaan  PT  guna  peningkatan  kualitas  PT  diperlukan 

rekomendasi  kebijakan    agar  pelaksanaannya  lebih  baik.  Adapun  rekomendasi‐

rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut : 

1. Keragaman  kemampuan  PT  menuntut  adanya  kebijakan  afirmatif  untuk 

meningkatkan keadilan dan pemerataan pendanaan dan kualitas PT.  

2. Diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pendanaan PT BHMN sehingga peningkatan 

alokasi  dana  pemerintah  berkorelasi  dengan  penyeimbangan  penggalangan  dana 

masyarakat sehingga biaya PT BHMN relatif terjangkau dan tidak malah berdampak 

sebaliknya  dimana  penambahan  alokasi  pemerintah  bersamaan  dengan 

meningkatnya dana masyarakat.  

3. Memperkuat  kerja  sama  antara  PT  BHMN  dengan  dunia  usaha  dan  dunia  industri 

dalam  kegiatan  penelitian  dan  pengembangan.  Di  samping  itu,  perlu  diperkuat 

berbagai  kelembagaan  yang mampu mendorong  dan memfasilitasi PT BLU  dan  PT 

Page 178: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

177 

NonBHMN‐NonBLU  untuk meningkatkan  kapasitas  dan  jejaring  dalam membangun 

kerja sama dengan dunia usaha dan industri. 

4. Memperkuat  kapasitas  sumber  daya  manusia  dalam  meningkatkan  kemampuan 

untuk  mengelola  dan  mengawasi  berbagai  dana  dan  aset  PT  sehingga  semakin 

akuntabel, efektif dan efisien. 

5. Seiring  dengan  semakin  besarnya  dana masyarakat  untuk  PT  BHMN mapan maka 

biaya  PT  BHMN  mapan  secara  umum  relatif  lebih  tinggi  sehingga  peluang  calon 

mahasiswa  kurang  mampu  akan  semakin  kecil.  Untuk  itu  diperlukan  perluasan 

cakupan dan peningkatan besaran beasiswa untuk calon mahasiswa kurang mampu 

agar memperoleh kesempatan yang sama mengenyam pendidikan di PT terkemuka. 

Di  samping perluasan beasiswa  juga perlu dikembangkan berbagai  skema bantuan 

pembiayaan PT untuk calon mahasiswa kurang mampu seperti pinjaman mahasiswa 

(student loan) dan voucher. 

6. Mendorong  peningkatan  kerja  sama  pemerintah  daerah  dan  perguruan  tinggi 

sehingga  PT  mampu  memperluas  kerja  sama  dan  sekaligus  meningkatkan 

pendapatannya  dan  pemerintah  daerah  mendapat  manfaat  untuk  mendidik  dan 

menyiapkan sumber daya manusia daerah yang handal dan kompetitif. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 179: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

178 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA  

Bagyo Y. Moeliodihardjo, 2008, Higher Education Sector Assesment, Final Report, World Bank, BAPPENAS, dan Depdiknas. 

Nicholas Barr, 2003, Financing Higher Education: Comparing the Options,  The Guardian, June 12, London. 

P. Geetha Rani, Economic Reforms and Financing Higher Education in India. 

G.Sivalingam, 2004, Privatization of Higher Education in Malaysia, Monash University Malaysia 

Kevin Dougherty, 2004, Financing Higher Education in the United States: Structure, Trends, and Issues, Columbia University. 

David Greenaway and Michelle Haynes Source, 2003, Funding Higher Education in the UK: The Role of Fees and Loans, The Economic Journal, Vol. 113, No. 485. 

Tom Karmel, 1998, Higher Education in Australia A case study, Paper of Conference, Berlin. 

Bruce Chapman and Chris Ryan, 2003, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, Economics Program Research School of Social Sciences,  Australian National University. 

Bruce Chapman and Chris Ryan, 2003, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, Economics Program Research School of Social Sciences,  Australian National University. 

Michael  Gallagher,  2007,  Australia  and  Argentina.  A  Comparative  analysis  from  the mid 1970’s, ANU‐UBA, Buenos Aires.  

Quinn‐Patton, Michael, 2002, Qualitative Research and Evaluation Methods. London, New Delhi: Sage Publications. 

Damodar N.Gujarati, 1995,  Basic Econometrics, 3rd Edition. New York: McGraw‐Hill. Hshiao Cheng, 1995, Analysis of Panel Data : Economic Society, Monograph, Cambridge University Press 

Nachrowi Djalal, 2002 ,  Penggunaan Teknik Ekonometri, Rajawali Pers, Jakarta. 

‘Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’, 2006, Sekretariat Jenderal, MPR RI. 

Page 180: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

179 

 Undang‐Undang Nomor  20,”Penerimaan Negara Bukan Pajak”,  Tahun 1997. 

Undang‐Undang Nomor 20,”Sistem Pendidikan Nasional”,  Tahun 2003. 

Peraturan Pemerintah Nomor  60,”Pendidikan Tinggi”, Tahun 1999. 

Peraturan Pemerintah Nomor 152 ,”Penetapan UI sebagai BHMN”, Tahun 2000. 

Peraturan Pemerintah Nomor 153 ,”Penetapan UGM sebagai BHMN”, Tahun 2000. 

Peraturan Pemerintah Nomor 154 ,”Penetapan IPB sebagai BHMN”, Tahun 2000. 

Peraturan Pemerintah Nomor 155 ,”Penetapan ITB sebagai BHMN”, Tahun 2000. 

Peraturan Pemerintah Nomor 56 ,”Penetapan USU sebagai BHMN”, Tahun 2003. 

Peraturan Pemerintah Nomor 6 ,”Penetapan UPI sebagai BHMN”, Tahun 2004. 

Peraturan Pemerintah Nomor 30 ,”Penetapan UNAIR sebagai BHMN”, Tahun 2006. 

Peraturan Pemerintah Nomor,”Standar Pendidikan Nasional”, Tahun 2005.  

Peraturan Pemerintah Nomor 23,”Pengelolaan Keuangan BLU”, Tahun 2005.  

Peraturan Pemerintah Nomor  48,”Pendanaan Pendidikan”, Tahun 2008. 

Peraturan Menteri  Pendidikan Nasional  Nomor  2,”Subsidi  Silang  BOP  Pendidikan  Tinggi”, Tahun 2005. 

 

Website: 

www.kemendiknas.go.id. 

www.kemenag.go.id. 

www.depkeu.go.id. 

www.setneg.go.id. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 181: KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PERGURUAN TINGGI

180