kasus skizofrenia
DESCRIPTION
Pembahasan Kasus SkizofreniaTRANSCRIPT
-
1
Modul Kesehatan Mental Emosional
SEORANG SISWI SMA YANG MENGALAMI GANGGUAN TIDUR DAN
KEBINGUNGAN
KELOMPOK 1
030.08.128 IRFAN SUGIYANTO
030.09.244 SUREZA LARKE WAJENDRA
030.10.056 BIMA GHOVAROLIY
030.10.070 SARAH MARGARETH FELICIA
030.10.146 KAMILAH NASAR
030.10.184 MUHAMAD ALFI AULIYA RACHMAN
030.10.185 MUHAMAD ANDANU YUNUS SLAMET
030.10.186 MUHAMAD ARFAN ERIANSYAH
030.10.226 R. IFAN ARIEF FAHRUROZI
030.10.227 RACHEL SILENCY ARITONANG
030.10.228 RACHMA TIA WASRIL
030.10.261 SUMEET HARESH VASANDANI
030.10.262 SYARFINA ROSYADAH
030.10.263 TAHARI BARGAS PRAKOSO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 6 MEI 2013
-
2
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN 3
BAB II : LAPORAN KASUS 4
BAB III : PEMBAHASAN 7
A. Identifikasi Masalah 7
B. Anamnesis 7
C. Status Mental 8
D. Pemeriksaan fisik dan lab 15
E. Diagnosis Kerja 15
F. Patofisiologi 16
G. Penatalaksanaan 20
H. Prognosis 22
TINJAUAN PUSTAKA 23
KESIMPULAN 34
DAFTAR PUSTAKA 35
-
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pada diskusi kali ini telah dibahas mengenai seorang laki-laki bernama Nn. Conny
berusia 17 tahun, seorang siswi SMA yang dibawa oleh Ibunya ke rumah sakit karena sulit tidur
dan merasa bingung. Pada anamnesis lebih lanjut, Nn. Conny merasa bingung karena dia merasa
semua berubah. Delapan bulan yang lalu, Nn. Conny cenderung menarik diri dan tidak merAwat
dirinya sendiri, terkadang bergumam sendiri, bahkan saat ini Nn. Conny sering marah-marah
tanpa sebab. Dia juga mendengar orang-orang menyindir dirinya, mengomentari dirinya dirinya,
bahkan dia berpendapat semua orang mengetahui rahasia tentang dirinya. Nn. Conny pernah
melakukan percobaan bunuh diri. Sebelumnya Nn. Conny adalah siswi yang rajin ke sekolah,
senang bergaul, banyak teman, lahir cukup bulan, memperhatikan perawatan dirinya. Tetapi pada
riwayat keluarga diketahui bahwa bibi dan paman pasien pernah mengalami gangguan jiwa. Pada
diskusi ini kami mencurigai riwayat dari keluarga inilah yang berarti ada penurunan bakat,
sehingga dengan adanya stressor, pasien dapat memperlihatkan gejala-gejala gangguan kejiwaan.
-
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Alloanamnesis mengenai pasien yang dilakukan terhadap ibu pasien:
Identitas Pasien
Nama : Nn.Conny
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 17 tahun
Alamat : -
Pekerjaan : Siswi SMA
Status : Belum menikah
Hobi : -
Riwayat psikiatri
Keluhan Utama
Pasien merasakan keluhan sulit tidur dan merasa bingung
Riwayat gangguan sekarang
- Gejala dimulai sejak 8 bulan yang lalu.
- Pasien tampak malas dan tidak mau sekolah
- Cenderung menarik diri, malas merawat diri dan sering bergumam seperti orang
kebingungan. gejala negatif pada skizofrenia (social withdrawal)
- Sering bertanya hal-hal yang tidak masuk akal seperti:
Mengapa orang-orang berubah? Derealisasi
-
5
Ibunya menurut pasien juga berubah , demikian juga dengan teman-temanya yang
dianggapnya berubah pula. Derealisasi
Apa dunia sudah mau kiamat? Pseudowaham
Apa aku ini mau gila?
- Pasien mulai marah-marah tanpa alasan yang jelas.
Ekspresi afektif pasien agak labil
- Pasien mendengar orang-orang menyindir dirinya,mengomentari dirinya.
Halusinasi auditorik third order
- Pasien mengeluhkan mengapa semua orang mengetahui tentang rahasia dirinya.
Waham siar pikiran
- Pasien pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan memotong urat nadinya.
Memiliki mood jenis hipothym
Riwayat gangguan dahulu
Tidak ada
Riwayat kelahiran dan perkembangan
- Pasien dilahirkan cukup bulan dan tidak ada masalah dalam perkembangannya.
Tidak terdapat retardasi mental
Riwayat kehidupan pribadi sebelum mengalami gangguan
- Sebelumnya Conny termasuk anak yang rajin bersekolah dan prestasi akademiknya baik.
- Diantara saudaranya Conny paling pandai disekolahnya.
- Tampak periang
- Pasien sangat memperhatikan perawatan dirinya.
- Senang bergaul dan memiliki banyak teman .
-
6
- Kehidupan beragamanya cukup baik.
Tidak ada masalah dengan kepribadian dan interaksi sosial.
Riwayat kebiasaan/hoby
- Pasien senang membaca buku novel
- Mengarang cerita faktor predisposisi untuk terjadinya skizofrenia
- Jalan-jalan ke mall.
Tidak ada masalah dengan kepribadian dan interaksi sosial.
Riwayat keluarga
- Adik perempuan ibu pasien (bibi pasien) pernah mengalami stress berat hingga mencoba
bunuh diri dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa.
- Paman pasien pernah dirawat di rumah sakit jiwa karena marah-marah tanpa alasan dan
mempunyai pikiran yang aneh-aneh.
Adanya riwayat keluarga yang memungkinkan menurunkan bakat, sehingga jika
mendapat stressor bisa menyebabkan gangguan jiwa
-
7
BAB III
PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah
1.Gangguan proses dan isi pikir: gangguan asosiasi-inkoheren dan waham nihilistik
Ditemukan bicaranya kacau yang menunjukkan adanya gangguan pada proses pikir pasien.
Kalimat yang diucapkan oleh pasien tidak teratur sehingga sulit dipahami. Pasien juga
menganggap bahwa dunia akan kiamat.
2.Gangguan persepsi: halusinasi auditorik
Menurutnya, pasien sering mendengar orang-orang menyindir dirinya, mengomentari dirinya.
Kemungkinan pasien mengalami halusinasi auditorik, baik second order maupun third order.
3.Gangguan disosiatif: depersonalisasi dan derealisasi
Pasien merasa orang-orang di sekitarnya berubah. Termasuk lingkungan tempat tinggalnya.
Bahkan, pasien pun merasa dirinya pun ikut berubah.
4.Gangguan mood: anhedonia
Minat dan perhatian pasien terhadap apa yang disukainya menurun. Pasien cenderung berdiam
diri dan menarik diri dari pergaulannya. Pasien juga mulai tidak memperhatikan perawatan
dirinya.
Anamnesis Tambahan
Riwayat gangguan sekarang
Apa sudah pernah dibawa berobat?
-
8
Apa anda pernah mengkonsumsi obat-
obatan tertentu?
(untuk mendeteksi adanya waham)
Apa pernah melihat/mendengar
sesuatu yang orang lain tidak lihat/dengar?
Apa pernah melihatsuatu benda
berubah menjadi benda lain?
Apakah akhi-akhir ini ada pikiran yang
sangat mengganggu anda?
Apa anda punya keyakinan yang tidak
dipercaya oleh orang lain?
Riwayat gangguan dahulu
Apa pasien pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya?
Kejadian apa yang sebelumnya dialami
pasien?
(untuk menanyakan apakah ada stressor sehingga membuat gejala ini timbul)
Apakah pernah berobat atau dirawat di RS? bagaimana kepatuhan berobatnya?
Bagaimana cara berpikir, perasaan dan pengendalian dirinya dulu?
A. Status Mental
I. Gambaran Umum
Penampilan
-
9
Seorang wanita muda , 17 tahun
Tampak sesuai dengan usianya
Rambut tidak tersisir rapi
Cara berpakaian terlihat seadanya
Wajah tidak di rias
Memakai sepatu
Perilaku dan aktivitas motorik
Terlihat seperti orang yang kebingungan
Pasien tampak tidak tenang
Tidak dapat duduk lama
Kadang kadang terlihat seperti bicara sendiri
Tersenyum sendiri
Kesadaan biologis :
Tidak terganggu, walaupun terlihat seperti orang yang mengantuk
II. Afek
Terbatas
Cenderung lebih tumpul
Ekspresi afek agak labil
Pengendalian kurang
Echt
Dangkal
Skala diferensiasi sempit
Tidak serasi
-
10
III. Bicara
Bicaranya agak kacau dan sering tidak menyambung
IV. Gangguan persepsi
Derealisasi
Depersonalisasi
Halusinasi third order
V. Pikiran
Proses
Produktifitas kurang
Miskin pikir
Pengendoran asosiasi
Inkoherensi
Isi
Waham dunia kiamat
Siar pikir
VI. Fungsi Intelektual
Daya konsentrasi terganggu
Perhatian terganggu
Orientasi baik
Daya ingat baik
Intelegensi di atas rata rata
-
11
Daya nilai sosial dan uji daya nilai social : baik
Daya nilai realita: ada hendaya berat dalam memnilai realita
VII. Tilikan
Derajad satu
VIII. Taraf dapat dipercaya
Dapat dipercaya
Interpretasi Status Mental:
Penampilan
Cara berpakaian pasien yang terlihat seadanya, rambut tidak tersisir rapi dan wajah tidak dirias,
menunjukkan bahwa pasien ini mengalami depresi sehingga tidak memperhatikan
penampilannya.
Hipotesis: Skizofrenia
Perilaku dan aktivitas motorik
Pasien terlihat seperti orang kebingungan, sering berbicara dan tersenyum sendiri. Pasien juga
terlihat tidak tenang dan tidak dapa duduk lama. Gejala ini mungkin disebabkan karena pasien
merasa bingung dan tidak bisa mengerti mengapa semuanya berubah, dari ibunya, teman
temannya serta lingkungan rumahnya, sehingga gejala-gejala tersebut muncul pada diri pasien.
Hipotesis: Skizofrenia
Kesadaran
Kesadaran biologis pasien tampak tidak terganggu. Hal ini menunjukkan kesadaran pasien yang
penuh terhadap dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sekitarnya sehingga kita dapat
-
12
memperoleh informasi tidak hanya melalui alloanamnesis (anamnesis yang dilakukan kepada
keluarga pasien atau orang yang bertanggung jawab terhadap pasien) tetapi juga melalui
autoanamnesis (anamnesis yang dilakukan langsung kepada pasien) sehingga kita dapat
mengetahui dengan pasti apa yang dirasakan pasien
Afek
Afek ekspresi eksternal pasien yang dapat diamati secara objektif. Pada pasien ini terdapat afek
terbatas yang menunjukkan bahwa afek pasien berada dibawah normal. Ekspresi afektifnya agak
labil dan pengendaliannya kurang, dapat diketahui juga dari perilaku pasien yang sering marah
marah tanpa alasan. Afek yang echt, dimana respons dicetuskan secara wajar. Afek yang tidak
dapat diraba rasakan dan skala diferensiasinya sempit. Selain itu pasien ini afeknya tidak serasi,
dimana tidak ada keserasian antara pikiran perasaan dan perbuatan.
Hipotesis: Skizofrenia
Bicara
Pasien terlihat bicaranya agak kacau dan sering tidak menyambung, gejala ini mungkin
disebabkan karena pasien yang selalu memikirkan kenapa sekelilingnya berubah dan pikiran-
pikiran lainnya sehingga pasien tidak dapat memfokuskan pikirannya ke hal-hal di sekitarnya.
Gangguan persepsi
Dari alloanamnesis yang dilakukan terhadap ibu pasien, dapat kita ketahui bahwa pasien
mengalami derealisasi (pasien merasakan perubahan pada lingkungan sekitarnya),
depersonalisasi (pasien merasakan dirinya berubah), serta halusinasi auditorik third order (pasien
sering mendengar orang orang menyindir dirinya dan mengomentari dirinya).
Proses pikir
-
13
Proses pikir pada pasien ini produktivitas kurang dan miskin pikir, Pengendoran asosiasi dan
inkoherensi (dalam pikirin pasien, topik yang satu belum selesai sudah pindah ke topik yang
lain).
Isi pikir
Pasien mengalami waham (isi pikir yang patologis, tidak sesuai dengan kenyataan). Siar pikir,
(dimana pasien merasa semua orang itu mengetahui rahasia tentang dirinya).
Hipotesis: Skizofrenia
Mood
Minat dan perhatian pasien terhadap apa yang disukainya menurun. Pasien cenderung berdiam
diri dan menarik diri dari pergaulannya. Pasien juga mulai tidak memperhatikan perawatan
dirinya.
Fungsi Intelektual
Daya konsentrasi dan perhatian yang terganggu
Kemungkinan dikarekan waham yang diderita pasien.
Keterangan: daya konsentrasi dapat diperiksa dengan cara menyebut mundur huruf abjad,
menghitung mundur bulan atau angka. Perhatian dapat diperiksa dengan mengeja mundur
huruf pada suatu kata.
Orientasinya baik
Keterangan: orientasi dapat diperiksa dengan menanyakan nama, identitas, serta
pertanyaan lainnya kepada pasien.
Daya ingat baik
-
14
Keterangan: Pemeriksaan daya ingat dibagi menjadi 3 (remote memory, recent past
memory, recent memory, dan immediate retention and recall).
1. Remote memory
Diperiksa dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan masa kecilnya.
2. Recent past memory
Diperiksa dengan menanyakan kejadian kejadian yang berlangsung beberapa
bulan lalu. Misalnya, apa yang pasien makan tadi pagi atau apa yang pasien
lakukan kemarin sore.
3. Immediate retention and recall
Diperiksa, dengan menyuruh pasien mengulang angka angka yang telah di
sebutkan oleh pemeriksa.
Intelegensi diatas rata rata
Menandakan tidak adanya retardasi mental
Daya nilai social dan uji daya nilai social pasien juga baik.
Pada daya nilai realita pasien terdapat hendaya berat dalam menilai realita (derealisasi)
Tilikan
Tilikan merupakat derajat kesadaran pasien terhadap penyakitnya.
Terbagi atas 6 derajat:
1. Complete denial of illness
2. Slight awareness of being sick and needing help, but denying it at the same time
3. Awareness of being sick but blaming it on others, on external factors, or on organic
factors
4. Awareness that illness is caused by something unknown in the patient
-
15
5. Intellectual insight: admission that the patient is ill and that symptoms or failures in social
adjustment are caused by the patient's own particular irrational feelings or disturbances
without applying this knowledge to future experiences
6. True emotional insight: emotional awareness of the motives and feelings within the
patient and the important persons in his or her life, which can lead to basic changes in
behavior.
Derajat tilikan pada pasien ini adalah derajat tilikan pertama., yaitu derjat dimana pasien
menoloak sepenuhnya bahwa dirinya sedang sakit.
Taraf dapat dipercaya
Taraf dapat dipercaya dapat dinilai dari kesungguh-sungguhan pasien dan ibunya dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika anamnesis.
Pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang
Pada pasien ini tidak ditemukan kelainan fisik dan kelainan lab. Hal ini menunjukan gejala-
gejala psikotik yang terdapat pada pasien tidak berasal dari penyakit organik.
Seperti halnya dengan hampir semua diagnosis kesehatan mental, tidak ada tes yang definitif
menunjukkan bahwa seseorang memiliki skizofrenia. Oleh karena itu, diagnosis gangguan pada
pasien ini dapat ditentukan dengan mengumpulkan informasi komprehensif medis, keluarga, dan
informasi kesehatan mental pasien.
Diagnosis Kerja
-
16
Setelah memperoleh berbagai hasil anamnesis dan pemeriksaan, dapat kami simpulkan diagnosis
pada pasien ini adalah skizofrenia, sedangkan episode yang sedangkan episode yang sedang
terjadi pada pasien ini belum dapat kami tentukan karena kurangnya data yang diberikan.
Diagnosis multiaksial
Aksis I : F20.0 Skizofrenia paranoid
Aksis II : Z 03.2 tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III : tidak ada diagnosis
Aksis IV : tidak ada diagnosis
Aksis V : 17 bahaya mencederai diri atau orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi dan mengurus diri.
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV-TR:
A. Gejala karakteristik:
2 atau lebih gejala berikut selama periode 1 bulan
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara tidak terorganisasi
4. Perilaku tidak terorganisasi atau perilaku katatonik
5. Gejala negatif
*hanya 1 kriteria A yang dibutuhkan bila waham bizar atau halusinasi yang terdiri dari suara
yang terus menerus mengomentari mengenai perilaku dan pikiran orang tersebut atau ada 2
atau lebih yang berbicara satu sama lain
A. Disfungsi sosial/pekerjaan
B. Durasi (Tanda adanya gangguan paling tidak harus 6 bulan)
-
17
C. Eksklusi skizoafektif dan gangguan mood
D. Eksklusi gangguan akibat zat/kondisi medik umum (Hubungan dengan gangguan
perkembangan pervasif)
Patofisologi
Etiologi dan patofisiologi dari skizofrenia belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
yang ditemukan berperan dalam proses terjadinya skizofrenia.
1. Faktor genetika:
Kecenderungan seseorang untuk menderita skizofrenia berhubungan erat dengan ada atau
tidak keluarga yang menderita skizofrenia dan seberapa dekat hubungan orang tersebut dengan
keluarga yang menderita penyakit ini (misalnya first degree relative atau second degree
relative). Ditemukan juga bahwa kecenderungan seseorang untuk menderita skizofrenia
berhubungan dengan usia ayah saat anak dilahirkan. Sebuah studi dilakukan pada pasien
skizofrenia yang tidak memiliki riwayat keluarga dan ditemukan bahwa seseorang yang
dilahirkan dari ayah yang lebih tua dari 60 tahun lebih rentan untuk terjadinya skizofrenia. Pola
transmisi genetik skizofrenia tidak diketahui namun beberapa gen ditemukan berhubungan
dengan kerentanan seseorang menderita skizofrenia yaitu gen alpha-7-nicotinic receptor, DISC1,
GRM3, COMT, NRG1, RGS4, dan G72. Mutasi dari gen DTNBP1 dan neureglin 1 ditemukan
berhubungan dengan gejala negatif dari skizofrenia.
Pada pasien ini diduga terjadinya skizofrenia berhubungan erat dengan riwayat keluarga.
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa bibi pasien pernah mengalami stres berat hingga mau
bunuh diri dan paman pasien pernah dirawat di RS jiwa karena marah-marah tanpa alasan dan
mempunyai pikiran-pikiran yang aneh-aneh. Hal ini menunjukkan bahwa pasien memiliki bakat
genetik untuk penyakit skizofrenia.
2. Faktor biokimiawi:
Gangguan pada aktivitas biokimia otak atau neurotransmitter juga mempunyai peran
yang penting dalam terjadinya skizofrenia.
-
18
Dopamin: Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Hipotesis ini dikembangan berdasarkan dua alasan: 1.obat
antipsikotik yang merupakan suati agonis reseptor dopamin (D2) efektif dan poten
menghilangkan gejala skizofrenia dan 2.obat-obatan yang menyebabkan peningkatan aktivitas
dopaminergik seperti kokain dan amfetamin bersifat psikotomimetik. Jalur dopamin yang
berhubungan dengan kelainan dopamin ialah jalur mesokortikal dan jalur mesolimbik. Neuron
dopaminergik pada jalur ini keluar dari badan sel yang terdapat di midbrain menuju ke neuron di
sistem limbik dan korteks cerebri. Hiperaktivitas dopamin pada jalur mesolimbik
berhubungan dengan gejala positif pada skizofrenia, sedangkan hipoaktivitas dopamin pada
jalur mesokortikal berhubungan dengan gejala negatif pada skizofrenia.
Serotonin: Pelepasan serotonin yang berlebihan berhubungan dengan terjadinya
gejala positif dan negatif pada skizofrenia. Dasar hipotesis ini didasarkan atas
penggunaan klozapin (antipsikotik generasi keII/ atipikal) yang efektif terhadap
gejala positif dan negatif dari skizofrenia, dimana obat ini merupakan suatu
antagonis terhadap reseptor serotonin.
-
19
Norepinefrin: Degenerasi selektif dari norepinefrin dikaitkan dengan gejala
anhedonia (gangguan kapasitas seseorang untuk mengalami rasa puas secara
emosional dan penurunan kemampuan seseorang untuk mengalami rasa senang)
pada pasien skizofrenia. Hipotesis ini belum dapat dibuktikan.
GABA: Pada beberapa pasien yang menderita skizofrenia, ditemukan bahwa
terjadi penurunan neuron GABAnergik di hipokampus. GABA, yang
merupakan suatu neurotransmitter inhibitor, mempunyai efek regulasi terhadap
aktivitas dopamin. Diduga bahwa hilangnya neuron GABAnergik menyebabkan
terjadinya hiperaktivitas neuron dopaminergik.
Asetilkolin: Studi postmortem pada pasien skizofrenia menunjukkan bahwa
reseptor muskarinik dan nikotinik menurun pada putamen caudatus,
hipokampus, dan bagian dari korteks prefrontal. Reseptor ini memiliki peran
dalam regulasi dari neurotransmitter yang berperan dalam kemampuan kognitif
seseorang. Penurunan reseptor muskarinik dan nikotinik dihubungkan dengan
gangguan kognitif pada pasien yang menderita skizofrenia.
3. Faktor susunan saraf pusat:
Beberapa kelainan pada susunan saraf pusat telah ditemukan pada pasien skizofrenia
yang mungkin berhubungan dengan terjadinya skizofrenia. CT-scan dari penderita skizofrenia
menunjukkan pembesaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel tiga dan penurunan volume
korteks cerebri. Penurunan volume substansia grissea dari korteks cerebri dapat ditemukan
pada tahap awal dari skizofrenia. Penurunan simetri juga ditemukan pada beberapa area otak
yaitu pada lobus temporal, lobus frontal, dan lobus oksipital. Penurunan simetri ini diduga
berasal dari masa fetus dimana dan merupakan indikasi terjadinya gangguan pada lateralisasi
otak saat perkembangan otak terjadi. Pada sistem limbik yang mengatur emosi dapat ditemukan
penurunan masa regio amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus (pada gambaran
MRI pasien skizofrenia). Kelainan anatomis dari korteks prefrontal juga ditemukan pada
pasien skizofrenia. Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan ataupun MRI untuk
mengetahui adakah kelainan pada susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan terjadinya
skizofrenia.
4. Faktor stress kehidupan:
Adolf Meyer menyatakan bahwa skizofrenia merupakan reaksi dari stres kehidupan.
-
20
Pada pasien ini skizofrenia terjadi tanpa adanya stressor yang kuat menunjukkan bahwa hal ini
tidak berperan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia pada pasien ini.
Penatalaksanaan
Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi:
1. Medikamentosa
2. Terapi psikososial
3. Perawatan rumah sakit (Hospitalize)
MEDIKAMENTOSA
Terapi Somatik
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada
Skizofrenia. Pada pasien dapat diberikan obat Serotonin-Dopamine Antagonists (Anti Psikotik
Atipikal) yang aman terhadap efek ekstra pyramidal dan berguna untuk mengurangi gejala
negative pada skizofrenia yaitu Clozapine, Risperidone, Olanzapine dengan dosis 2 6 mg/hari
Terapi Stabilisasi
Terapi minggu ke 2 3 dengan tujuan meningkatkan sosialisasi, perbaikan kebiasaan dan
perasaan pasien. Memerlukan 6 8 minggu untuk mendapatkan respon yang diharapkan.
Pengobatan dapat menggunakan Anti Psikotik Atipikal sama seperti terapi somatic pasien
sebagai terapi akut, namun dapat dikombinasikan dengan chlorpromazine 300 1000 mg.
Terapi Pemeliharaan
Tujuan terapi adalah mencegah kekambuhan. Terapi pasien dilanjutkan hingga 1 tahun setelah
sembuh dari episode akut. Apabila kepatuhan pasien rendah maka dibuat formulasi depot seperti
flufenazin dekanoat diberikan 2 4 minggu sekali secara i.m.
-
21
NON MEDIKAMENTOSA
Terapi Psikososial
Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan
sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal
yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi
perilaku maladaptif atau menyimpang dapat diatasi.
Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi
parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi
keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik
penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak
saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana
yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari
penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.
Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan
dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi
sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia.
Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya
paling membantu bagi pasien skizofrenia
Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi,
keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau
termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
-
22
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun
aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit
harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup,
pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat
pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan
keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup
Prognosis
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Dukungan keluarga baik Onset pada usia muda
Tidak ada gangguan neurologis Ada riwayat keluarga
Tidak ada gangguan kepribadian Tidak ada faktor pencetus
Pertama Kali mengalami serangan Gejala yang berkembang secara bertahap
dan bertahan untuk waktu yang lama
prognosisnya buruk
Interaksi sosial sebelum serangan baik Perilaku menarik diri
Berdasarkan data prognosis diatas, maka dapat disimpulkan prognosis Conny adalah Buruk.
-
23
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan
psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek dan
perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala
positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh
gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan
(afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atauisolasi diri dari pergaulan, miskin
kontak emosional (pendiam, sulit diajakbicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh,
sulit berpikir abstrak dan kehilangandorongan kehendak atau inisiatif
1.2. Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan
diberbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara
kasarhampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada
laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun
sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih
-
24
tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan
daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama
ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien
skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri
merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari
pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri. Menurut Howard, Castle, Wessely dan Murray,
1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara
laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada
beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset
untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang
perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang
mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki.
1.3. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia,
antara lain :
1.3.1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 -
1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi
kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative
trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa
gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
-
25
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga
yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
1.3.2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu
sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian- bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk
skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan.
1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat,
adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua- anak yang patogenik,
serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat
dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-
anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa
kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian.
Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi
kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit
dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.
1.4. Perjalanan Penyakit
-
26
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan
klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang
dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock,
2003; Buchanan, 2005).
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,
walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia
yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti
dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan.
Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa
diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia
menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri
kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase
residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya
satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa
penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).
1.5. Tipe-tipe Skizofrenia
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan
berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation, 1994) dan DSM-IV-TR
(American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-
IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :
1.5.1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam
konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya
adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan
-
27
tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin
juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka
berargumentasi, dan agresif.
1.5.2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan
afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan
tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat
membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
1.5.3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi
ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan,
negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi
(mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain
(echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
1.5.4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi
yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti
mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
1.5.5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi
masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan- keyakinan
negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya
delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-
pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
-
28
1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan
terapi psikososial.
1.6.1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi
dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala- gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua
obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol
(haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam
dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat
bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)
diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena
metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita
skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini.
Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan
pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah
aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
-
29
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik
(Durand, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison,
et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara
membuang stone of madness atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi
penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam
proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.
Akan tetapi, pada tahun 1950- an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita
kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
1.6.2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasipengobatan
di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan.
Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien
skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat
masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada
terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga.
2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)
Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif
merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau
lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara
lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat
inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).
Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofrenia
adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya kekambuhan
yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan
bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila
pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat
tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
-
30
diagnostik dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007). Perawatan pasien skizofrenia
cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat
kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota
keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan
kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam
kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan
bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia. Keluarga berperan
dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan kekambuhan. Penelitian pada keluarga
di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka
perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.
Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan
suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam beberapa
aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya,
yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya
pengobatan.
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN
MINUM OBAT
Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia
adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien skizofrenia adalah
pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai dengan benar tetapi banyak
dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat mereka secara rutin. Kira-kira 7%
orang-orang yang diberi resep obat-obat antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).
Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah studifollow -up sebagai contoh
menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun, tiga diantara empat pasien yang diteliti
menolak memakai obat antipsikotiknya selama paling tidak seminggu (Durand, 2007).
Adapun berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :
3.1. Penyakit
-
31
Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada
ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk
bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya
kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain.
Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia telah menunjukkan suatu
kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program
terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan kondisi. Apabila seorang
pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan sebelum waktunya,
ia akan lebih memperhatikan menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi
menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat
dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan
antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih
baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi
kepatuhan pada kebanyakan pasien.
Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang
kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan
keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah
penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit
penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai
penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan
dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka
pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.
Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya
terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk
mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien
terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan
dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.
3.2. Regimen Terapi
3.2.1. Terapi Multi Obat
-
32
Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien,
semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk
obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya,
ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan
yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.
3.2.2. Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih
mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk
pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau
malu berbuat demikian. Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga
perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar
mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis
yang sederhana dan menyenangkan.
3.2.3. Durasi dan Terapi
Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar,
apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih
besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai
penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan
dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada
pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang
berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan
sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi
kelompok.
3.2.4. Efek Merugikan
Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan
menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak
merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin
mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek
-
33
merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat
yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko. Penurunan mutu
kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting
bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan
beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu
alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan
antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat
terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.
3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda
Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak
mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat
terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis
profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan
merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi
sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika
menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa
infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali
infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi
antibiotik.
-
34
KESIMPULAN
Kelompok kami menyimpulkan bahwa diagnosis dari Nn. Connie adalah Shizophrenia karena
dilihat dari gangguan jiwa yang diderita Nn. Connie sudah lebih dari 6 bulan dan adanya waham
dan halusinasi auditorik dan adanya riwayat keluarga dimana bibi dari ibu pasien menderita hal
yang hampir sama . Sehingga dengan penatalaksaan yang tepat diharapkan kamampuan psikis
pasien dapat dikembalikan seoptimal mungkin sehingga hendaya dalam menjalani realita dalam
kehidupan sehari-hari dapat dikurangi dan Ny. Connie dapat menjadi manusia optimal secara
psikis kembali.
-
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. In: Grebb JA, Pataki CS, Sussman N, editors. Kaplan &
Sadocks Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007; p.232-7.
2. Fauci SA, Kasper LD, Longo LD, Braunwald E, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th Edition: chapter 16 - Schizophrenia, p.2721-3. McGraw Hill, New York: 2008.
3. Schizophrenia. Available at http://www.news-medical.net/health/Schizophrenia.aspx.
accessed at May 4, 2013.
4. Boeree CG. The Emotional Nervous System. Available at
http://webspace.ship.edu/cgboer/limbicsystem.html. accessed at May 4, 2013.
-
36