kata pengantarriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/pdf/... · 2018. 9. 7. · cara yang...
TRANSCRIPT
| 1
| i
KATA PENGANTAR
Buletin Inovasi Pertanian sebagai media komunikasi di bidang pengkajian dan
pengembangan teknologi pertanian menyajikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang
menjadi mandat institusi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau.
Pada Volume 2 No 2 Desember 2016 Buletin Inovasi Pertanian menyajikan makalah
tentang: 1). Analisis pendapatan usahatani beberapa varietas unggul baru padi pada
agroekosistem lahan sawah pasang surut Provinsi Riau; 2) Kajian pemupukan mikro
majemuk pada kelapa sawit di lahan pasang surut Provinsi Riau; 3) Sistem perkreditan
pada lembaga pembiayaan keuangan mikro mendukung model Pengembangan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP) di Provinsi Riau; 4) Pengaruh urin sapi dan NPK organik
terhadap produksi tanaman pare; 5) Uji adaptasi galur-galur padi lahan pasang surut
Kabupaten Siak Provinsi Riau; 6) Antisipasi invasi OPTK A2 clauvibacter michiganensis
subsp. michiganensis pada tanaman cabai di Provinsi Riau; 7) Pengujian masa simpan
brownies pada Kelompok Wanita Tani Sri Rejeki.
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada tim redaksi yang telah
memberikan saran dan pemikiran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Buletin
Inovasi Pertanian dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang nyata untuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ketua Dewan Redaksi
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 1-4
| ii
DAFTAR ISI
No. Judul Tulisan Hal
1. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH PASANG SURUT PROVINSI RIAU
Anis Fahri, Usman, Marsid Jahari dan Emisari R ...................... 1-4
2. KAJIAN PEMUPUKAN MIKRO MAJEMUK PADA KELAPA SAWIT DI
LAHAN PASANG SURUT PROVINSI RIAU
Nurhayati, Masganti, Hery Widyanto ........................................ 5-12
3. SISTEM PERKREDITAN PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN
KEUANGAN MIKRO MENDUKUNG MODEL PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PEDESAAN (PUAP) DI PROVINSI RIAU
Oni Ekalinda ........................................................................... 13-20
4. PENGARUH URIN SAPI DAN NPK ORGANIK TERHADAP
PRODUKSI TANAMAN PARE
Ali Usmardianto dan Marsid Jahari ........................................... 21-30
5. UJI ADAPTASI GALUR-GALUR PADI LAHAN PASANG SURUT
KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU
Emisari Ritonga ...................................................................... 31-42
6. ANTISIPASI INVASI OPTK A2 CLAUVIBACTER MICHIGANENSIS
SUBSP. MICHIGANENSIS PADA TANAMAN CABAI DI PROVINSI RIAU
Suhendri Saputra, Rika Nurbayani Ginting dan Sri Swastika ....... 43-49
7. PENGUJIAN MASA SIMPAN BROWNIES PADA KELOMPOK
WANITA TANI SRI REJEKI Siti Fuadah Chusna dan Viona Zulfia …………………………………….. 50-60
| 1
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH PASANG SURUT
PROVINSI RIAU
Anis Fahri, Usman, Marsid Jahari dan Emisari R 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Analisis kelayakan usahatani beberapa varietas unggul baru padi pada agrekosistem lahan pasang
surut di Provinsi Riau dilaksanakan di Desa Kuala Cenaku, Kecamatan Kuala Cenaku, Kabupaten
Indragiri Hulu, Provinsi Riau, pada bulan April sampai September 2016. Penelitian ini bertujuan menganalisis usahatani beberapa varietas unggul baru padi di agroekosistem lahan pasang surut
Provinsi Riau. Menggunakan analisis kelayakan usahatani B/C ratio. Varietas yang digunakan adalah varietas Inpara-1, Inpara-3, Inpara-9 dan Varietas Ciherang. Hasil penelitian menunjukkan
Inpara-9 memberikan hasil gabah tertinggi (6,17 t/ha) dibandingkan dengan ketiga varietas
lainnya. Kemudian disusul oleh varietas Inpara-1 (5,92 t/ha), Inpara-3 (5,45 t/ha) dan terendah varietas Ciherang (5,38 t/ha).
Kata Kunci : produktivitas, varietas unggul baru, agroekosistem lahan pasang surut.
ABSTRACT
The studies of several superior paddy seeds on tidal rice field agro-ecosystem of Riau Province
were conducted on April to September 2016 in Kuala Cenaku Village Kuala Cenaku District Indragiri Hulu Regency of Riau Province. These studies aimed to determine if the usage of several superior
seeds in Riau Province were viable. The data were analyzed using criteria revenue cost analysis ratio R/C. The superior seeds used were Inpara-1, Inpara-3, Inpara-9 and Ciherang. The result
shows that the Inpara-9 provide the highest grain yield (6.17 T.ha-1) among the other varieties.
Inpara-1 provided grain yield (5.92 T.ha-1), Inpara-3 provided grain yield (5.45 T.ha-1) and Ciherang gave the lowest grain yield (5.38 T.ha-1).
Keywords: productivity, new superior seed, tidal land agroecosystem
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 1-4
| 2
PENDAHULUAN
Provinsi Riau merupakan salah satu
wilayah yang belum mampu mencukupi
kebutuhan beras dari produksi sendiri.
Sebagian besar 44,10 ton (55,12 %)
kebutuhan beras didatangkan dari daerah lain.
Padahal potensi lahan untuk pertanaman padi
cukup luas, yakni setidaknya terdapat 73.603
ha lahan rawa pasang surut yang tersebar di
Kabupaten Indragiri Hilir, Siak, Pelalawan, dan
Rokan Hilir. Produktivitas padi lahan pasang
surut masih cukup rendah sekitar 3-4 ton/ha
dan penanaman umumnya hanya satu kali
dalam setahun (BPS Riau, 2014).
Lahan pasang surut akan menjadi
tumpuan ketahanan pangan masa depan
karena lahan sawah irigasi sangat rentan
terhadap alih fungsi seperti yang sudah terjadi
di Pulau Jawa. Target produksi harus dicapai
melalui peningkatan produktivitas tanaman
dengan penggunan varietas unggul baru.
Permasalahannya, peningkatan produktivitas
tidak mudah karena terbatasnya VUB baru
yang adaptif dan berproduksi tinggi.
Penggunaan varietas unggul baru adalah
pendekatan teknologi dasar dalam
mengintroduksikan teknologi pada PTT padi
yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian
dan ditujukan untuk meningkatkan produksi
padi dan pendapatan petani (Badan Litbang
Pertanian, 2007).
Cara yang efektif dan efisien untuk
meningkatkan produksi padi nasional secara
berkelanjutan adalah meningkatkan
produktivitas melalui ketepatan pemilihan
komponen teknologi dengan memperhatikan
kondisi lingkungan biotik, lingkungan abiotik
serta pengelolaan lahan yang optimal oleh
petani termasuk pemanfaatan residu dan
sumberdaya setempat yang ada (Makarim &
Las, 2005).
Varietas unggul merupakan salah satu
komponen utama teknologi dalam peningkatan
produktivitas padi. Penggunaan varietas
unggul berdaya hasil yang tinggi, tahan
terhadap hama dan penyakit utama dapat
meningkatkan dan menjaga kestabilan
produksi. Ikhwani (2014) melaporkan dengan
jarak tanam legowo 2:1 dan penggunaan
varietas Inpari 17 pada lahan sawah di Cianjur
menghasilkan 8,68 ton GKG. Selain itu
komponen hasil tanaman padi peka terhadap
ketersediaan air tanah. Ismail et al. (2003)
melaporkan bahwa curah hujan dan kadar air
tanah berkorelasi dengan jumlah gabah isi,
jumlah malai/rumpun dan bobot 1000 butir
gabah.
Menurut Suharno, et al. (2000), biaya
usahatani adalah semua pengeluaran yang
dipergunakan dalam usahatani. Biaya
usahatani dibedakan menjadi dua yaitu biaya
tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap
adalah biaya yang besarnya tidak tergantung
pada besar kecilnya produksi yang akan
dihasilkan, sedangkan biaya tidak tetap adalah
biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh
volume produksi. Penelitian ini bertujuan
memperoleh kelayakan ekonomi usahatani
beberapa varietas unggul baru padi di
agroekosisitem lahan pasang surut Provinsi
Riau.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada
agroekosistem lahan sawah pasang surut Desa
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 1-4
| 3
Kuala Cenaku, Kecamatan Kuala Cenaku,
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada
MT 2016 dari bulan April - September 2016.
Analisis usahatani terhadap VUB padi dilakukan
pada areal seluas 1 ha. Beberapa varietas
unggul baru padi yang digunakan adalah
varietas Inpara-1, Inpara-3, Inpara-9 dan
Varietas Ciherang yang ada di lokasi.
Pengumpulan data melalui wawancara dan
observasi. Jenis dan sumber data dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui
observasi langsung dan wawancara dengan
responden dengan bantuan pengisian daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan
sebelumnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Sedangkan data sekunder yang
diperoleh dari lembaga atau instansi yang
berhubungan dengan penelitian ini seperti
Dinas Pertanian, BPP (Balai Penyuluh
Pertanian), serta literatur-literatur yang
relevan. Data ditabulasi dan dianalisis untuk
menghitung pendapatan usahatani. Secara
matematis pendapatan usahatani dapat ditulis
sebagai berikut :
π = Y. Py – Σ Xi.Pxi - BTT
Keterangan :
π = Pendapatan (Rp)
Y = Hasil produksi (Kg)
Py = Harga hasil produksi (Rp)
Xi = Faktor produksi (i = 1,2,3,….,n)
Pxi = Harga faktor produksi ke-i (Rp)
BTT = Biaya tetap total (Rp)
Untuk mengetahui usahatani
menguntungkan atau tidak secara ekonomi
dianalisis dengan menggunakan nisbah atau
perbandingan antara penerimaan dengan biaya
(Revenue Cost Ratio).
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai
berikut:
B/C = PT / BT
Keterangan:
B/C = Nisbah penerimaan dan biaya
PT = Penerimaan Total (Rp)
BT = Biaya Total (Rp)
(Rustiadi etal., 2011)
Adapun kriteria pengambilan keputusan
adalah sebagai berikut:
· Jika B/C > 1, maka usahatani mengalami
keuntungan, penerimaan lebih besar dari
biaya.
· Jika B/C < 1, maka usahatani mengalami
kerugian karena penerimaan lebih kecil
dari biaya.
· Jika B/C = 1, maka usahatani mengalami
impas karena penerimaan sama dengan
biaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum varietas unggul baru
yang ditanam mempunyai prospek yang cukup
baik untuk dikembangkan pada lahan rawa
pasang surut pada lokasi penelitian, karena
mampu memberikan hasil gabah yang cukup
tinggi, berada pada kisaran hasil sesuai
deskripsi dan mempunyai rasa nasi pera yang
disukai masyarakat di Kabupaten Indragiri
Hulu.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 1-4
| 4
Tabel 1. Penggunaan input produksi
usahatani padi.
Input usahatani Volume Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
Bibit (tanaman / ha) 25 15.000 375.000 Urea (kg/ha) 150 6.000 900.000 SP-36 (kg/ha) 100 6.500 650.000 KCl (kg / ha) 100 6.500 650.000 Herbisida/Pengendali OPT (l / ha)
4 75.000 300.000
Tenaga Kerja (HOK / ha)
Persemaian 3 80.000 240.000 Pengolahan Tanah 20 80.000 1.600.000 Tanam 26 80.000 2.080.000 Penyiangan 20 80.000 1.600.000 Pemupukan 2 80.000 160.000 Panen 20 80.000 1.600.000 Pascapanen 12 80.000 9.60.000
Jumlah (Rp/ha) 11.115.000
Sumber : Data diolah
Tabel 2. Rata-Rata produksi dan pendapatan
usahatani padi
Uraian Perlakuan (varietas)
Inpara 1 Inpara 3 Inpara 9 Ciherang Rata2
Produksi GKP
(kg /ha)
5.920 5.450 6.170 5.380 5.730
Harga (Rp/kg)
4.000 4.000 4.000 4.000 4.000
Penerimaan (Rp/ha)
23.680.000 21.800.000 24,680.000 21.520.000 22.920.000
Biaya input
(C) (Rp/ha)
11.115.000 11.115.000 11.115.000 11.115.000 11.115.000
Pendapatan (B)
(Rp/ha)
12.565.000 10.685.000 13.565.000 10.405.000 11.805.000
B/C ratio 1,13 0,96 1,22 0,94 1,06
KESIMPULAN
1. Dari keempat varietas tersebut, Inpara-9
memberikan hasil gabah tertinggi (6,17
ton/ha) dibandingkan dengan ketiga
varietas lainnya. Kemudian disusul oleh
varietas Inpara-1 (5,92 t/ha), Inpara-3
(5,45 t/ha) dan terendah varietas
Ciherang (5,38 t/ha) .
2. Hasil usahatani menunjukkan penggunaan
varietas Inpara-9 menghasilkan
pendapatan tertinggi sebesar
Rp. 13.565.000/ha dengan nilai B/C ratio
1,22 diikuti varietas Inpara-1 Rp.
12.565.000 dengan nilai B/C ratio 1,13
kemudian varietas Inpara-3
Rp. 10.685.000 dengan nila.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Propinsi
Riau Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik. Propinsi Riau.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk
Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 40
Hal.
Ismail,B.P., B. Suprihatno, H. Pane, dan I. Las. 2003. Pemanfaatan penciri abiotik
lingkungan dalam seleksi simultan galur padi gogorancah toleran kekringan.
Dalam : B. Suprihatno et al. (eds). Buku
2. Kebijakan Pemberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p.319-328.
Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Irigasi melalui Pengembangan Model
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Dalam Suprihatno et al. (Penyunting). Inovasi teknologi Padi Menuju Swasembada Beras
Berkelanjutan. Puslitbangtan, Badan
Litbang Pertanian. Hal. 115-127. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011.
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID) Crespent Press
dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Suharno, Idris, M. Darwin, Sahardi dan
Subandi. 2000. Keunggulan dan Peluang
Pengembangan Padi Varietas Konawe. Laporan Hasil Pengkajian/Penelitian
BPTP Sulawesi Tenggara. 19p. Ikhwani. 2014. Dosis Pupuk Dan Jarak Tanam
Varietas Unggul Baru Padi. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol 33 (3) Hal 188-195. Puslitbangtan.
Badan Litbang Pertanian.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 5-14
| 5
KAJIAN PEMUPUKAN MIKRO MAJEMUK PADA KELAPA SAWIT DI LAHAN PASANG SURUT PROVINSI RIAU
Nurhayati, Masganti dan Hery Widyanto 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan komoditas strategis yang mendukung pertumbuhan perekonomian Indonesia, apalagi dengan kondisi semakin menipisnya sumber minyak bumi dan gas alam di dunia. Selain pupuk makro, pupuk mikro juga sangat penting untuk pertumbuhan dan hasil tanaman kelapa sawit. Penelitian pemberian pupuk mikro majemuk terhadap tanaman kelapa sawit telah dilaksanakan di lahan pasang surut tipe C di Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui respon pupuk mikro majemuk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 (empat) perlakuan dosis pupuk, yang diulang 3 (tiga) kali. Perlakuan yang digunakan berturut-turut adalah (pohon/tahun): A) 5 kg NPK Phonska; B) 3 kg Mikro Majemuk + 5 kg NPK Ponska; C) 5 kg Mikro Majemuk + 5 kg NPK Ponska ; D) 5 kg Mikro Majemuk + 5 kg NPK Kebomas. Variabel pengamatan yang dikumpulkan adalah: produksi, biaya tenaga kerja, harga TBS, analisis usaha tani, dan pendapatan petani. Hasil analisis tanah awal menunjukkan kandungan hara lokasi kegiatan pada kisaran sangat rendah sampai rendah. Satu tahun pengamatan menunjukkan perlakukan C memberikan produksi TBS tertinggi sebesar 30,62 ton/ha, disusul dengan perlakuan D sebesar 30,22 ton/ha, perlakuan B sebesar 29,7 ton/ha, dan terakhir perlakuan A sebesar 29,4 ton/ha. Hasil perhitungan R/C ratio menunjukkan bahwa usahatani ini efisien. Nilai tertinggi dihasilkan perlakuan A disusul perlakuan B dan C, dan terendah perlakuan D. Efektifitas tertinggi dihasilkan dari perlakuan C dengan nilai RAE 100%.
Kata kunci: pupuk, kelapa sawit, pasang surut
ABSTRACT
As the world’s supply of oil and gas continue to diminish, oil palm becomes a strategic commodity
that support Indonesian economic growth. Micronutrients are very important for oil palm growth and yield. This study was conducted in Siak Kecil District, Bengkalis Regency. The experimental
design used was group randomized design with 4 fertilizer dosages treatments and 3 replications for all 4 treatments. The treatments were A) 5 kg NPK Phonska; B) 3 kg Micro Compound Fertilizer
+ 5 kg NPK Ponska; C) 5 kg Micro Compound Fertilizer + 5 kg NPK Ponska; D) 5 kg Micro Compound Fertilizer + 5 kg NPK Kebomas. Data and parameters that observed including yield,
labor cost, oil palm fresh fruit bunches (FFB) price, farming system analysis, and the farmers’
income. Preliminary soil analysis result shows the soil nutrient content on the study site in the range very low to low. The study result indicate the following: the treatment C give the highest
yield 30.62 T.ha-1, treatment D give yield 30.22 T.ha-1, and the treatment give the lowest yield. The result of R / C ratio shows that oil palm production is efficient. The highest value is obtained
by treatment A followed by treatment of B and C, and the lowest was treatment D. The highest
effectiveness resulted from treatment C with 100% value RAE.
Keywords : fertilizer, oil palm, tidal land
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 6
PENDAHULUAN
Perkembangan perkebunan kelapa sawit
di Indonesia meningkat pesat dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir dari lahan seluas
1.126.677 ha pada tahun 1990 menjadi
4.158.077 ha pada tahun 2000, kemudian
meningkat menjadi 7.824.623 ha pada tahun
2010 (Ditjenbun, 2010). Dari total luas lahan
kelapa sawit di atas, Provinsi Riau memiliki luas
lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu
sekitar 1.815.313 ha atau sekitar 23% dari luas
lahan kelapa sawit di Indonesia (Ditjenbun,
2010). Perkembangan luasan areal kelapa sawit
yang cukup pesat tersebut antara lain didorong
oleh stabilnya harga komoditas kelapa sawit di
pasaran internasional. Untuk memenuhi
permintaan pasar akan komoditas kelapa sawit,
maka harus dilakukan inovasi-inovasi
diantaranya teknologi optimasi produktivitas
lahan.
Saat ini, pengembangan perkebunan
kelapa sawit sudah mulai banyak dilakukan
pada lahan pasang surut. Luas lahan pasang
surut di Indonesia sekitar 8,354 juta Ha, terluas
berada di Sumatera (2,502 juta Ha),
Kalimantan (2,301 juta Ha), Papua (2,262 juta
Ha), dan sisanya di Sulawesi dan Maluku (0,932
juta Ha) (BBSDLP, 2014). Seperti diketahui,
lahan pasang surut merupakan lahan marjinal
yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
areal budidaya kelapa sawit, pada karakteristik
lahan maupun luasannya. Meskipun demikian,
terkait dengan karakteristik tanahnya,
pengembangan kelapa sawit di lahan pasang
surut dihadapkan pada berbagai tantangan baik
dalam pengelolaan lahan, kultur teknis maupun
investasi untuk pembangunan infrastruktur.
Untuk mempertahankan produktivitas
tanaman kelapa sawit tetap stabil dan
mengoptimumkan produktivitasnya, maka
pemupukan menjadi penting. Permasalahan
yang muncul di lapangan, adalah ketersediaan
unsur hara di dalam tanah yang belum optimal,
sehingga belum memenuhi kebutuhan hara
tanaman, kurangnya unsur hara akan
menimbulkan gejala defisiensi yang spesifik
selain turunnya pertumbuhan dan hasil
produksi tanaman kelapa sawit, sedangkan
kelebihan unsur hara terutama unsur hara
mikro dapat menyebabkan keracunan tanaman.
Jika pemberian pupuk tidak tepat, maka
pertumbuhan tanaman akan tertekan (Lubis,
1992; Pahan, 2007). Pemupukan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan hara tanaman
(berlebihan atau kekurangan) selain tidak
efisien, mengganggu keseimbangan hara dalam
tanah, dan tanaman juga dapat mencemari
lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut,
diperlukan suatu rekomendasi pemupukan yang
tepat sehingga produktivitas tanaman dapat
ditingkatkan.
Pupuk mikro majemuk dikembangkan
untuk perkebunan kelapa sawit dan dapat
digunakan di berbagai kondisi dan jenis lahan
perkebunan kelapa sawit, termasuk salah
satunya di lahan pasang surut. Pupuk ini
mengandung unsur: CaCO3, B, Zn, dan Cu.
Fungsi dari unsur-unsur hara ( Ca, B, Zn dan
Cu) dan dampak yang di akibatkan bila terjadi
kekurangan pada tanaman antara lain: (1)
Kalsium (Ca), berfungsi untuk mengurangi
keasaman yang berlebihan dalam cairan sel,
memperlambat permeabilitas dinding sel, dan
pada pertumbuhan akar rambut. Dampak dari
kekurangan unsur Ca adalah titik tumbuh pada
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 7
pucuk dan akar mati, kuncup bunga dan buah
gugur prematur, warna buah yang tidak
merata, buah menjadi retak – retak, tangkai
bunga membusuk, buah kosong karena bijinya
gagal terbentuk, daun muda berwarna cokelat
dan terus menggulung, daun terpilin dan
mengerut. (2) Borium (B), berfungsi untuk
membantu sintesa protein, membantu
metabolisme karbohidrat, mengatur kebutuhan
air di dalam tanaman, membentuk serat dan
biji, dan merangsang proses penuaan tanaman
sehingga jumlah bunga dan hasil panen
meningkat. Dampak dari kekurangan unsur B
menyebabkan titik tumbuh tanaman tidak
berkembang. (3) Seng (Zn), berfungsi sebagai
katalisator dalam pembentukan protein,
mengatur pembentukan asam indoleasetik,
berperan aktif dalam transformasi karbohidrat.
Dampak dari kekurangan unsur Zn
menyebabkan daun muda klorosis, tumbuh
memanjang berbentuk sabit, ditemukan bercak
– bercak warna pucat di antara tulang daun,
pada daun tua becak – bercak tersebut di
sepanjang tulang daun utama. (4) Cuprum
(Cu), berfungsi sebagai katalisator dalam
proses pernafasan dan perombakan
karbohidrat, salah satu elemen dalam
pembentukan vitamin A, secara tidak langsung
juga berperan dalam pembentukan klorofil.
Dampak dari kekurangan unsur Cu
menyebabkan daun muda akan menguning,
pertumbuhannya tertekan kemudian akan
berubah menjadi putih, sedangkan pada daun –
daun tua akan gugur (Mengel and Kirby, 1987;
Darmosarkoro, 2003; Leiwakabessy dan
Sutandi).
Penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui respon pupuk mikro majemuk
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman
kelapa sawit di lahan pasang surut.
METODE PENELITIAN
Pengujian pupuk Micro Majemuk untuk
tanaman kelapa sawit dilaksanakan di kebun
kelapa sawit di Desa Sungai Siput, Kecamatan
Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, selama 1,5
tahun dimulai bulan Januari 2013 hingga Juni
2014.
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 4 (empat) perlakuan yang diulang 3
(tiga) kali. Adapun jumlah tanaman dalam
setiap perlakuan terdiri dari 14 pohon antara
perlakuan dipisahkan oleh satu baris tanaman
sebagai “border”, luasan kegiatan sekitar 2
(dua) hektar. Susunan perlakuan disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan dan Dosis Pupuk Kelapa
Sawit
No Perlakuan Dosis Pupuk (Kg/Pohon/Thn)
Pupuk Mikro
Majemuk
Pupuk NPK
1 A 0 (Kontrol) Phonska 5 kg/pohon/tahun
2 B 3 Phonska 5 kg/pohon/tahun
3 C 5 Phonska 5 kg/pohon/tahun
4 D 5 NPK Kebomas 5 kg/tahun
Tanaman kelapa sawit ditanam dengan
pola segitiga sama sisi masing-masing 9
(sembilan) m. Tanaman border yang dipupuk
sesuai anjuran perusahaan/kebiasaan petani
setempat.
Pupuk NPK dan Mikro Majemuk
diberikan 2 (dua) kali setahun pada awal dan
akhir musim hujan (Januari dan Juli). Sebelum
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 8
dilakukan pemupukan, piringan tanaman kelapa
sawit dibersihkan dari rumput dan kotoran
lainnya. Aplikasi pupuk dilakukan dengan cara
penaburan secara merata mulai dari 0,5 m dari
pohon sampai pinggiran piringan melingkar
tanaman. Pemupukan NPK dan Mikro Majemuk
dilakukan secara bersamaan dengan
diaduk/dicampur secara merata. Pada areal
berteras, 2/3 pupuk disebar pada bagian dalam
teras dekat dinding bukit dan sisanya 1/3
diberikan pada bagian luar teras.
Pemeliharaan dengan cara
membersihkan gulma dalam piringan agar
pupuk yang diberikan dapat diserap tanaman
secara optimal.
Sebelum dilakukan pemupukan, contoh
tanah diambil selanjutnya dianalisis sifat kimia
meliputi pH (H2O dan KCl), C-organik, N-total, P
dan K total (ekstrak HCl 25%), P-tersedia Bray
1, nilai tukar kation Ca, Mg, K dan Na ekstrak
NH4O-Ac 1N pH 7, kejenuhan basa dan
kapasitas tukar kation (KTK). Contoh daun juga
diambil untuk dianalisis kandungan hara N, P,
K, Ca, Mg dan S. Contoh tanaman dianalisis
mengikuti prosedur baku Eviati dan Sulaiman,
2009.
Pengambilan sampel daun di lahan
dengan sistem diagonal, diambil 30 helai dari 3
(tiga) tanaman. Anak contoh tersebut
selanjutnya digabung menjadi satu, untuk
selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Analisis daun berguna untuk mengetahui
keadaan tanaman pada saat itu. Pelepah yang
dijadikan sample adalah pelepah ke 17. Pelepah
ke 17 merupakan pelepah yang terletak pada
spiral yang sama dengan pelepah 1 (pelepah 1
adalah pelapah termuda yang telah membuka
sempurna). Posisi pelepah 17 terletak berlawan
dengan posisi spiral, apabila spiral tanaman
kelapa sawit ke kanan, maka posisinya sedikit
agak ke kiri dan sebaliknya. Daun tersebut
sangat sensitif terhadap lingkungan
tumbuhnya, baik itu respon pemupukan,
pemeliharaan tumbuhan maupun faktor
lainnya. Analisa daun dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui apakah tanaman dalam
kondisi sehat atau tidak (kebutuhan nutrisinya
terpenuhi atau tidak).
Setelah pemupukan dilakukan
pengambilan contoh daun setelah setahun
perlakuan pemupukan untuk mengetahui
kandungan hara N, P, K, Ca, Mg dan S dalam
daun yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
keseimbangan hara dalam tanaman.
Analisis tanaman bertujuan untuk
mengetahui status hara tanaman atau adanya
kahat hara, juga dapat digunakan untuk
menetapkan kebutuhan pupuk dengan cara
mengkombinasikan status hara tanah dan
kebutuhan tanaman. Prosedur pengambilan
contoh tanaman (daun) untuk analisis jaringan
tanaman berdasarkan metode baku (Jones, et
al., 1991), yaitu daun-daun tengah (tanpa lidi)
pada pelepah ke 17 dan daun-daun tengah
(tanpa lidi) pada pelepah ke 9.
Kegiatan pemanenan dilakukan setiap
dua minggu atau mengikuti kebiasaan
setempat, hasil panen (kelapa sawit) ditimbang
jumlah dan bobot Tandan Buah Segar (TBS)
nya, data hasil panen selanjutnya digabung dan
dihitung secara akumulasi per satu bulan sekali
untuk mendapatkan nilai produktivitasnya.
Data yang diperlukan untuk analisis
usahatani menggunakan jenis data primer dan
sekunder. Parameter pengamatan yang
dikumpulkan adalah: luas lahan perkebunan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 9
sawit, varietas yang digunakan, produksi, umur
kelapa sawit, biaya tenaga kerja, harga TBS,
dan pendapatan petani.
Kelayakan usahatani kelapa sawit
dihitung dari besaran R/C dan B/C rasio. Untuk
membandingkan efektivitas pupuk yang diteliti
terhadap pu.
RAE (%) = Produksi perlakuan – Produksi kontrol
Produksi standar – produksi control
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis tanah awal
Analisis tanah awal dilakukan terhadap
contoh tanah yang mewakili kedalaman 0-20
cm dan 20-40 cm (Tabel 2). Tanah bereaksi
masam (pH rendah). Nilai pH menunjukkan
banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di
dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di
dalam tanah, semakin masam tanah tersebut.
Nilai pH tanah pada kedalaman 0-20 cm adalah
4,4 dan pada kedalaman 20-40 cm lebih rendah
sebesar 4,3; keduanya termasuk kriteria sangat
masam. Kondisi pH mendekati netral, transfer
kation-kation akan lebih mudah, sehingga hara
dalam keadaan tersedia untuk pertumbuhan
tanaman. Usaha untuk meningkatkan pH tanah
dapat dilakukan dengan pemupukan dan
pengapuran.
Tabel 2. Hasil Analisis Awal Sampel Tanah
No Parameter Hasil Analisis Kriteria
Penilaian
Kedalaman (cm)
0-20 20-40 0-20 20-40
1. pH H2O 4,4 4,3 sangat
masam
sangat
masam
2. pH KCl 3,6 3,5 - -
3. C-organik (%) 1,85 0,77 rendah sangat
rendah
4. N-total (%) 0,17 0,09 rendah sangat
rendah
5. C/N Rasio 11 9 sedang rendah
6. P-tersedia (ppm) 5 2 rendah sangat
rendah
7. KTK (me/100 g) 10,30 9,60 rendah rendah
8. Al-dd (me/100 g) 0,52 0,34 - -
9. H-dd (me/100 g) 3,09 5,5 - -
10. Fe (ppm) 171 56 sangat
tinggi
sangat
tinggi
11. Cu (ppm) 0,2 0,1 sangat
rendah
sangat
rendah
12. Zn (ppm) 3,0 1,5 cukup cukup
13. Mn (ppm) 20 9 tinggi tinggi
C organik tanah menunjukkan kadar
bahan organik yang terkandung dalam tanah.
Terlihat bahwa kandungan C-organik tanah
pada kisaran rendah sampai sangat rendah.
Nitrogen tanah merupakan unsur esensial bagi
tanaman. Bahan organik merupakan sumber N
utama di dalam tanah. Kadar N tanah biasanya
sebagai indikator basis untuk menentukan dosis
pemupukan Urea. Fungsi N adalah memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman
yang tumbuh pada tanah yang cukup N,
berwarna lebih hijau. Gejala kekurangan N,
tanaman tumbuh kerdil, pertumbuhan akar
terbatas dan daun-daun kuning dan gugur.
Kadar N tanah di lokasi kegiatan berkisar dari
rendah sampai sangat rendah.
P-tersedia tanah di lokasi kegiatan
berkisar dari rendah sampai sangat rendah.
X 100%
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 10
Sumber unsur P di tanah untuk tanaman
bersumber dari mineral yang terdapat dalam
tanah, bahan organik tanah, dan pupuk buatan
seperti TSP atau SP36. Kapasitas Tukar Kation
(KTK) tergolong pada kriteria rendah. KTK
merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah
dengan KTK tinggi mampu menyerap dan
menyediakan unsur hara lebih baik daripada
tanah dengan KTK rendah. KTK tanah
menggambarkan kation-kation tanah seperti
kation Ca, Mg, Na dan K dapat ditukarkan dan
diserap oleh perakaran tanaman.
Kandungan unsure mikro Fe dan Mn
tergolong pada criteria tinggi sampai sangat
tinggi, sedangkan Zn pada kriteria sedang dan
Cu pada kriteria rendah. Unsur mikro adalah
unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah yang relatif kecil, namun sangat
penting dan mutlak di perlukan oleh tanaman
sebagai makanan, bila berlebihan akan menjadi
racun bagi tanaman tersebut. Kekurangan
unsur mikro ini dapat diatasi dengan pemberian
pupuk seperti Petro Kalsipalm, yang selain
memiliki kandungan unsur makro juga
mengandung unsur mikro.
Hasil analisis Daun Kelapa Sawit Awal
Tabel 3. Hasil Analisis Awal Sampel Daun
Kelapa Sawit
No Unsur Hasil Analisis Kriteria
1 N (%) 2,54 optimum
2 P (%) 0,167 optimum
3 K (%) 0,69 defisiensi
4 Mg (%) 0,45 optimum
5 B (ppm) 13 defisiensi
Dari hasil analisis daun tanaman kelapa
sawit diperoleh bahwa kondisi N, P, dan Mg
tanaman berada dalam kondisi optimum.
Sementara kandungan K dan B mengalami
defisiensi.
Pupuk Mikro Majemuk sangat baik
digunakan untuk mencukupi kebutuhan hara
makro dan mikro. Pupuk ini mengandung
unsur : CaCO3 min. 80%; B min 1%; Zn min.
0,5%; Cu min. 0,5%; Kadar Air Max. 5% dan
pH 7-9. Borium berfungsi untuk membantu
sintesa protein, membantu metabolisme
karbohidrat, mengatur kebutuhan air di dalam
tanaman, membentuk serat dan biji, dan
merangsang proses penuaan tanaman sehingga
jumlah bunga dan hasil panen meningkat.
Dampak dari kekurangan unsur B menyebabkan
titik tumbuh tanaman tidak berkembang.
Produksi TBS Kelapa Sawit
Tandan Buah Segar (TBS) merupakan
variabel agronomi perkembangan generatif
yang menggambarkan produkvitas tanaman
kelapa sawit. Produksi TBS kelapa sawit
dipengaruhi oleh jenis klon dan faktor
lingkungan (Lumbangaol 2012). Produksi
kelapa sawit pada setiap perlakuan pemupukan
sangat bervariasi, akan tetapi TBS pada
perlakuan B, C, dan D berada di atas perlakuan
A (kontrol).
Produksi TBS perbulan bervariasi selama
16 bulan pengamatan (Gambar 1), terlihat
produksi terendah pada bulan Maret tahun
2013 dan November 2013, tertinggi pada bulan
Juli 2013 dan Desember 2013. Hasil penelitian
Nurhayati et al (2014), melaporkan ada
kecenderungan tinggi muka air tanah
mempengaruhi produksi TBS bulanan.
Penurunan produksi TBS terlihat setelah dua
bulan penurunan muka air tanah, dan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 11
peningkatan produksi terlihat setelah dua bulan
kenaikan muka air tanah.
Gambar 1. Produksi TBS selama 16 bulan pengamatan
Total produksi TBS selama setahun
pengamatan (Juni 2013 - Mei 2014) (Gambar 2)
menunjukkan bahwa perlakukan C dan D
memberikan produksi TBS tertinggi sebesar
30,62 ton/ha, disusul dengan perlakuan D
sebesar 30,22 ton/ha..
Gambar 2 . Total produksi TBS selama satu tahun pengamatan
Hasil Analisis Usahatani
Berdasarkan hasil analisis usahatani
(Tabel 8) menunjukkan hasil yang tertinggi
terdapat pada perlakuan C dengan keuntungan
Rp. 30.720.596,-
Kelayakan usahatani kelapa sawit
dihitung dari besaran R/C ratio. Hasil
perhitungan R/C ratio usaha pertanaman kelapa
sawit berkisar antara 4,0–5,5 tertinggi pada
perlakuan A. Hasil ini menunjukkan bahwa
keseluruhan analisis ekonomi R/C ratio usaha
pertanaman kelapa sawit berada di atas angka
1, sehingga usahatani kelapa sawit yang ada
efisien untuk diusahakan. Tingginya nilai R/C
rasio ini disebabkan tanaman kelapa sawit telah
berumur 7-10 tahun. Perlakuan C memberikan
nilai RAE yang paling tinggi daripada perlakuan
lainnya yaitu 100%, artinya mempunyai
efektivitas yang paling tinggi dari perlakuan
lainnya.
Tabel 4. Hasil analisis usahatani
Biaya usahatani:
A B C D
a. Tenaga kerja (Rp.)
4.630.500 4.657.785 4.751.529 4.711.569
b. Sarana
produksi (Rp.)
2.192.000 3.014.000 3.562.000 4.820.000
Total (Rp.) 6.822.500 7.671.785 8.313.529 9.531.569
Penerimaan:
Produksi
(ton/ha/th)
29,41 29,68 30,62 30,22
Penerimaan
(Rp.)
37.491.375 37.839.450 39.034.125 38.524.125
Laba (Rp.) 30.668.876 30.167.665 30.720.596 28.992.556
B/C ratio 4,5 3,9 3,7 3,0
R/C ratio 5,5 4,9 4,7 4,0
RAE - 25 100 67
KESIMPULAN
1. Perlakukan C (5 kg Mikro Majemuk + 5 kg
NPK Phonska/pohon/tahun) memberikan
produksi TBS tertinggi sebesar 30,62
ton/ha, disusul dengan perlakuan D (5 kg
Mikro Majemuk + 5 kg NPK
Kebomas/pohon/tahun) sebesar 30,22
ton/ha, perlakuan B (3 kg Mikro Majemuk
+ 5 kg NPK Phonska/pohon/tahun)
sebesar 29,7 ton/ha, dan terakhir
perlakuan A (5 kg NPK
Phonska/pohon/tahun) sebesar 29,4
ton/ha.
2. Hasil perhitungan R/C ratio usaha
pertanaman kelapa sawit berkisar antara
4,0–5,5. Hasil ini menunjukkan bahwa
keseluruhan analisis ekonomi R/C ratio
usaha pertanaman kelapa sawit berada di
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 12
atas angka 1, sehingga usahatani kelapa
sawit yang ada efisien untuk diusahakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Kelapa Sawit dan Kebutuhan Unsur
Hara. http: //WordPress.com. 10
Desember 2012 BBSDLP. 2014. Sumberdaya Lahan Pertanian
Indonesia: Luas, Penyebaran dan
Potensi. Laporan Teknis 1/BBSDLP/10/2014, Edisi ke-1. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor. 56 Hlm.
Darmosarkoro, W. 2003. Defisiensi dan
malnutrisi hara pada tanaman kelapa sawit. Dalam. Lahan dan Pemupukan
Kelapa Sawit. Darmosakoro, W; Sutarta, ES, dan Winarna (eds), Pusat Penelitian
Kelapa Sawit. Medan. Hal.93-98.
Darmosarkoro, W., E.S. Sutarta dan Winarna. 2003. Teknologi pemupukan tanaman
kelapa sawit. Dalam. Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal:113-
134. Ditjenbun. 2010. http: // ditjenbun.deptan.go.id
Eviati dan Sulaiman. 2009. Petunjuk Teknis. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan
Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 234 Hal.
Jones, Jr., J.B. Wolf, and H. A. Mills. 1991.
Plant Analysis Handbook. Micro-Macro Publ. Co. Athens, Georgia.
Leiwakabessy, F.M dan A. Sutandi. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Departemen Tanah.
Fakultas pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Lubis, A.U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis
Jacq) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat, Bandar Kuala.
Mengel, K. and E. Kirby. 1987. Principles of Plant Nutrition. International Potash
Institute. Bern, Switzerland.
Ngurah D. 2012. Budidaya dan Pemeliharaan Tanaman Perkebunan. http:
//WordPress.com. 10 Desember 2012. Nurhayati, S. Saputra, A.D. Putra, I.N. Istina,
dan A. Jamil. Pengelolaan Kesuburan
Tanah, Produktivitas dan Keuntungan
Sistem Tumpangsari (Kelapa Sawit + Nenas) di Lahan Gambut Provinsi Riau.
Pahan, I. 2007. Panduan Kelapa sawit. Penebar Swadaya. Jakarta
Watulunyu. 2010. Lahan Rawa Pasang Surut untuk Budidaya Kelapa Sawit. http:
//WordPress.com. 10 Desember 2012
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 13
SISTEM PERKREDITAN PADA LEMBAGA PEMBIAYAAN KEUANGAN MIKRO MENDUKUNG MODEL PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS
PEDESAAN (PUAP) DI PROVINSI RIAU
Oni Ekalinda 1)
1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Kehadiran kelembagaan keuangan mikro di pedesaan sangat membantu petani dalam mengatasi kelangkaan permodalan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai : (i) Sistem perkreditan pada lembaga pembiayaan keuangan, (ii) partisipasi rumah tangga tani dalam pemanfaatan lembaga pembiayaan keuangan dan (iii) keragaan pembiayaan usahatani bantuan pemerintah ( PUAP). Penelitian telah dilaksanakan di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2013. Lokasi pengambilan sampel ditentukan secara purposif Random Sampling, yaitu daerah yang telah melakukan akses terhadap lembaga pembiayaan keuangan baik formal maupun non formal. Jumlah responden pada setiap Kabupaten sebanyak 60 orang rumah tangga tani dan 6 orang yang melakukan perkreditan non formal. Hasil penelitian menunujukkan : (i) lembaga keuangan yang banyak diakses oleh petani adalah lembaga keuangan non formal dimana sistem pengembalian kredit maupun jangka waktu pengembaliannya disesuaikan dengan jenis komoditas pertanian dominan yang diusahakan, jenis pinjaman yang diberikan yaitu uang atau sarana produksi; (ii) partisipasi rumah tangga petani dalam memanfaatkan lembaga keuangan terutama non formal cukup tinggi (sekitar 30%). Pada umumnya kredit yang dipinjam petani digunakan untuk kegiatan produktif. Kredit yang dipinjam pada umumnya dalam bentuk sarana produksi yang dikembalikan setelah panen dalam bentuk hasil produksi, (iii) tingkat pengembalian pinjaman yang berasal dari dana PUAP tergolong lancar yaitu sekitar 98 % dari total pinjaman pada setiap periode peminjaman.
Kata kunci : Sistem perkreditan, lembaga pembiayaan keuangan mikro, Model Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan ( PUAP)
ABSTRACT
Many financial institutions have been established to help farmers to overcome the lack of funding.
This study aimed to obtain information regarding: (i) The financing system on the financing institutions, (ii) the rural household participation that able to access financial institutions and (iii)
the performance of Rural Agribusiness Development Program (PUAP). The study was conducted in Kampar Regency and Indragiri Hilir Regency in 2013. The study site was chosen by the purposive
sampling. These two study site had made access to the financial institutions both formal and non-
formal. The number of respondents in each regency were 60 farm households and 6 respondents who perform non-formal credit. The research result shows: (i) the financial institutions that are
accessible to farmers is non-formal financial institution where the system of loan repayment and repayment periods adjusted to the type of dominant cultivated agricultural commodities, the types
of loans are money or the production input; (ii) the participation of farm households when
accessing financial institutions, especially non-formal is high at almost 30% from respondents. In general, farmers need loans for production activities. The loans are borrowed in the form of
production input that is returned after harvest. (3) Around 98% of the repayment are classified as performing loans.
Keywords : financing system, microfinance institutions, Rural Agribusiness Development Program (PUAP).
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 14
PENDAHULUAN
Pengembangan ekonomi kerakyatan dan
pengembangan dunia usaha menjadi issue
kunci dalam program pembangunan di Riau.
Termasuk dalam program pemberdayaan
ekonomi kerakyatan antara lain adalah
pengentasan kemiskinan, mendorong sektor
prioritas dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat melalui pengembangan komoditas
unggulan. Pemberdayaan usaha kecil seperti
usahatani, dipandang akan mampu
menggerakkan ekonomi pedesaan dan pada
gilirannya akan berdampak pada tumbuhnya
ekonomi nasional (Ihwan, 2007).
Menurut Ashari (2006), kegiatan
perekonomian pada umumnya masih banyak
didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan
kecil dengan pelaku utamanya petani, buruh
tani, pedagang sarana produksi dan hasil
pertanian dengan permasalahan utama adalah
kelangkaan modal yang merupakan siklus mata
rantai kemiskinan pada masyarakat pedesaan.
Terkait dengan program pemberdayaan
ekonomi disektor pertanian, permasalahan
utama yang mendasar adalah adanya
tenggang waktu yang relatif lama antara saat
tanam hingga saat panen dengan risiko usaha
yang cukup besar, seperti kegagalan panen
akibat faktor internal dan eksternal dalam
pengelolaan usahatani (Dirjen Pembiayaan,
2004). Kondisi ini menjadi kendala bagi petani
untuk dapat memanfaatkan dana yang tersedia
pada lembaga keuangan formal, (Khusnul,
2011). Menurut Wirjono (2005), pemberian
akses yang luas terhadap terhadap sumber-
sumber pembiayaan kecil dan mikro dari
lembaga keuangan mikro sangat membantu
masyarakat miskin yang memiliki kemauan dan
kemampuan produktif untuk mengembangkan
usahanya. Kanjeng (2013), menyatakan
bahwa lembaga keuangan mikro yang
merupakan salah satu pilar dalam proses
intermediasi keuangan dipedesan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk
produksi, konsumsi dan menyimpan hasil
usaha. Menurut Sumarno (2009), bantuan
modal dengan perbaikan kelembagaan petani
merupakan salah satu bagian untuk melakukan
pemberdayaan ekonomi petani terutama dalam
penyediaan modal usahatani dan
menumbuhkan kembangkan unit-unit usaha
produktif dipedesaan.
Kelembagaan ekonomi yang
diunggulkan pada masa yang akan datang
adalah lembaga ekonomi yang dapat
mentransformasikan ekonomi tradisi menjadi
pembentuk struktur ekonomi pasar, yang
dicirikan sebagai berikut : (1) petani (produsen)
haruslah menjadi pemilik saham terhadap
keseluruh jaringan kegiatan ekonomi desa
sehingga secara kolektif petani adalah
penguasa jaringan agribisnis;
(2) keorganisasian petani meliputi keseluruhan
jaringan agribisnis ; (3) Output suatu usahatani
tidak hanya bahan mentah tetapi juga
komoditas olahan yang telah meperoleh
perlakuan iptek serta (4) adanya hubungan
kemitraan antar pelaku agribisnis dengan
menerapkan azas keterbukaan dan demokrasi
(Badan Pengkajian dan Kebijakan Perdagangan,
2013)
Tripanaji (2003), menyatakan bahwa
peran lembaga pembiayaan mikro sangat besar
artinya terutama dalam mengatasi kesulitan
permodalan petani. Model Pengembangan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 15
Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang
diluncurkan pemerintah, diharapkan dapat
menjadi salah satu pionir dalam menumbuhkan
kelembagaan keungan mikro dipedesaan yang
sangat dibutuhkan petani dalam meperlancar
usaha produktif dipedesaan. Menurut Syukri et
al (2008), untuk menumbuh kembangkan
kelembagaan pembiayaan mikro dipedesaan
sangat diperlukan kesiapan baik dana maupun
manajemen dalam pengelolaan dan pelayanan
pinjaman kepada masyarakat tani, sehingga
dapat menjangkau lebih banyak petani dan
kedepan diharapkan akan tumbuh usahatani
yang berorientasi bisnis dimana petani terlibat
secara keseluruhan dalam kegiatan agribisnis
yang dilakukannya.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Pengkajian
Pengkajian ini dilaksanakan di
Kabupaten Kampar dan Kabupaten Indragiri
Hilir Tahun 2013.
Metode Pengambilan Sampel
Lokasi pengambilan sample ditentukan
secara purposif Random Sampling yaitu daerah
yang telah melakukan akses terhadap lembaga
pembiayaan keuangan baik formal maupun non
formal. Jumlah responden pada setiap
kabupaten sebanyak 60 orang rumah tangga
tani dan 6 orang yang melakukan perkreditan
non formal. Pemilihan sampel responden
ditentukan berdasarkan perannya dalam
aktifitas pemberian kredit kepada masyarakat
desa. Data yang telah terkumpul selanjutnya
ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Perkreditan Pada Lembaga
Pembiayaan Keuangan Koperasi Unit Desa (KUD)
Sistem kredit yang diterapkan oleh
Koperasi Unit Desa (KUD) terlihat pada tabel 1,
untuk Kabupaten Kampar berkisar antara 6 –
10 bulan, dan Kabupaten Indragiri Hilir 4 bulan.
Dalam penetapan waktu pengembalian
tergantung kesepakatan anggota. Jenis
pinjaman yang diberikan KUD adalah sarana
produksi (pupuk) dan pelayanan jasa traktor.
Bentuk pengembalian pinjaman dalam bentuk
natura (gabah) yang dibayar setelah panen,
kecuali untuk jasa traktor di kabupaten Kampar
dibayarkan dalam bentuk uang yang
dikembalikan setelah panen. Suku bunga yang
dikenakan untuk peminjam bervariasi antara
1 – 2 % per bulan. Untuk pinjaman sarana
produksi KUD tidak dapat menyediakan
sepanjang waktu sesuai dengan kebutuhan
petani, hal ini dikarenakan terbatasnya modal
KUD, dan tidak semua petani (anggota) yang
akses dengan KUD. Hampir semua KUD di
Kecamatan yang diamati tidak aktif
melaksanakan fungsinya, bahkan KUD tersebut
cendrung bubar (tidak ada lagi), hal ini
disebabkan karena manajemen KUD yang
buruk dan tidak ada keterbukaan antara
pengurus KUD dengan anggotanya baik dari
segi administrasi maupun keuangan.
Aksesibilitas petani dalam
memanfaatkan jasa KUD di Kabupaten Kampar
lebih baik dibandingkan Kabupaten Indragiri
Hilir. Petani biasanya memanfaatkan jasa KUD
untuk kegiatan usahatani padi, terutama dalam
penyediaan pupuk dan jasa traktor untuk
pengolahan tanah. Bentuk pengembalian
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 16
pinjaman bisa dalam bentuk natura (gabah)
atau dalam bentuk uang yang disesuaikan
dengan nilai jenis pinjaman.
Tabel 1: Sistem Perkreditan Melalui Koperasi
Unit Desa (KUD) di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Indragiri Hilir,
2013
Uraian Kampar Ind.Hilir
Air Tiris Kampar
Kiri Hilir
Tem
puling
Enok
Jangka waktu
pengembalian kredit (bulan)
6
10
4
4
Jenis dan jumlah pinjaman/ orang
:
a. Pupuk (ku) 2,5 2,5 0 0
b. Bibit (Rp000)
0 0 0 0
c. Obat-obatan (Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor
(ha)
2 2 0 0
Nilai pinjaman (Rp 000 ) :
a. Pupuk
(Rp000)
250 250 0 0
b. Bibit (Rp000)
0 0 0 0
c. Obat-obatan (Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor (ha)
400 400 0 0
Bentuk pengembalian berdasarkan jenis pinjaman :
a. Pupuk Gabah gabah - -
b. Bibit (Rp000)
- - - -
c. Obat-obatan (Rp000)
- - - -
d. Jasa traktor
(ha )
uang uang - -
Nilai
pengembalian (Rp000)
a. Pupuk (Rp000)
300 275 0 0
b. Bibit (Rp000)
0 0 0 0
c. Obat-obatan
(Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor
(ha )
450 450 0 0
Perbankan
Dalam mekanisme peminjaman uang,
perbankan jauh lebih baik dibanding lembaga
keuangan lain. Hal ini disebabkan karena
adanya aturan dan sanksi yang jelas terhadap
peminjam. Kelayakan peminjam ditelusuri dari
persyaratan baik secara administrasi maupun
kemampuan dalam membayar pinjaman.
Kendati dari segi ketersediaan dana pinjaman,
bank tidak mengalami kesulitan dalam
penyediaanya, namun tidak semua orang dapat
memanfaatkan jasa bank, terutama petani. Hal
ini disebabkan karena sulitnya persyaratan yang
ditetapkan bank untuk dipenuhi oleh petani,
disamping itu adanya tenggang waktu yang
cukup lama antara permohonan pinjaman
dengan pencairan kredit. Sedangkan untuk
kebutuhan usahatani, petani memerlukan uang
tunai dalam waktu yang cepat. Jauhnya jarak
lokasi petani dengan keberadaan bank, juga
menyulitkan petani untuk melakukan akses ke
bank. Dari tabel 2, terlihat bahwa petani yang
melakukan transaksi pinjaman dengan bank,
hanya terkait dengan bantuan dana yang
diberikan oleh pemerintah, sedangkan pinjaman
murni dengan pihak bank tidak ada dilakukan
oleh petani.
Tabel 2. Sistem Perkreditan Melalui Perbankan
(BRI) di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Indragiri Hilir, 2013.
Uraian Kampar Ind.Hilir
Air Tiris Kampar Kiri Hilir
Tem puling
Enok
Persyaratan pinjaman:
a. Jaminan surat tanah
b. Jaminan lainnya
V -
V -
V -
V -
Rata-rata nilai pinjaman/ org :
a. Usahatani 2.000 2.000 2.000 2.000 b. Usaha dagang 2.000 2.000 0 0 c. Industri Rumah
tangga 3.000 4.000 0 0
d. Lain-lain 0 0 0 0 Jangka waktu pengembalian kredit (bulan)
Usahatani 6 6 6 6 Usaha dagang 12 12 0 0 Industri rumah tangga
12 12 0 0
Tingkat bunga per tahun (%)
3 3 3 3
Lembaga Keuangan Non Formal
Dalam pemberian kredit pada sistem
yang digunakan oleh lembaga keuangan non
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 17
formal agak bervariasi pada setiap desa. Variasi
yang terjadi baik dalam bentuk pengembalian
kredit maupun jangka waktu pengembaliannya
yang biasanya disesuaikan dengan jenis
komoditas pertanian dominan yang diusahakan
masing-masing desa. Demikian pula
pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk
yang berbeda pula menurut jenis pinjaman
yang diberikan yaitu uang atau sarana
produksi. Pinjaman dalam bentuk pupuk atau
uang, pengembalian kredit pada umumnya
dilakukan dalam bentuk hasil produksi, kecuali
di Kabupaten Kampar pengembalian dibayarkan
dalam bentuk uang. Pengembalian kredit dalam
bentuk uang dilakukan oleh pedagang sarana
produksi, sedangkan kredit yang dibayarkan
dalam bentuk gabah (hasil produksi) dilakukan
oleh penggilingan padi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pengembalian kredit dalam bentuk hasil
produksi lebih disukai. Pola demikian terjadi
untuk berbagai jenis pinjaman namun cendrung
lebih berlaku untuk pinjaman yang bernilai lebih
tinggi dan sangat dibutuhkan oleh petani
seperti pupuk dan jasa traktor atau pinjaman
uang yang bernilai lebih dari Rp 100.000.
Adanya kecendrung tersebut cukup beralasan
mengingat aktifitas perkreditan non formal
umumnya dilakukan oleh perseorangan yang
juga terlibat dalam perdagangan hasil produksi
seperti pemilik penggilingan padi atau
pedagang hasil bumi. Kondisi ini sesuai dengan
hasil penelitian Dahlan (2009) bahwa lembaga
keuangan non formal memiliki keunggulan yang
relatif tidak dimiliki lembaga keuangan lainnya
yaitu mudah diakses oleh petani, memiliki
fleksibelitas/keluwesan dalam melakukan
transaksi dan lebih memahami kedaan sosial
budaya masyarakat. Dengan demikian, melalui
pengembalian dalam bentuk hasil produksi,
pemberi kredit non formal tidak hanya
memperoleh keuntungan dari jasa pemberian
kredit tetapi juga dari hasil penjualan sarana
produksi maupun hasil produksi. Sedangkan
bagi pemilik penggilingan padi juga
memperoleh keuntungan lain dalam bentuk
pemenuhan kapasitas penggilingan yang
dimiliki.
Sebenarnya, pemberi kredit tidak
mengharuskan peminjam membayar dalam
bentuk hasil produksi. Petani dapat saja
mengembalikan dalam bentuk uang, akan
tetapi bunga yang dikenakan relatif tinggi yaitu
15-20 %, hal ini dikarenakan pengembalian
dalam bentuk uang menyebabkan keuntungan
yang diperoleh dari penjualan hasil produksi
tidak diperoleh pemberi pinjaman. Petani lebih
menyukai pengembalian dalam bentuk hasil
produksi karena selain praktis juga nilai bunga
yang dibayar lebih ringan.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 18
Tabel 3. Sistem perkreditan sarana produksi
pada Lembaga Keuangan Non Formal di Kabupaten Kampar dan Kabupaten
Indragiri Hilir , 2013.
Uraian Kampar Ind.Hilir
Air Tiris Kampar Kiri Hilir
Tem puling
Enok
Jangka waktu pengembalian kredit (bulan)
4 6 4 4
Jenis dan jumlah pinjaman:
a. Pupuk (ku) 75 60 35 25
b. Bibit (Rp 000) 0 0 0 0
c. Obat-obatan (Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor (ha) 9 15 5 3
Nilai pinjaman (Rp 000)
a. Pupuk (Rp 000) 250 250 100 100
b. Bibit (Rp 000) 0 0 0 0
c. Obat-obatan (Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor (ha) 2 2 2 2
Bentuk pengembalian berdasarkan jenis pinjaman :
a. Pupuk uang uang gabah gabah
b. Bibit - - - -
c. Obat-obatan - - - -
d. Jasa traktor uang uang gabah gabah
Nilai pengembalian (Rp 000)
a. Pupuk 300 300 125 125
b. Bibit (Rp000) 0 0 0 0
c. Obat-obatan (Rp000)
0 0 0 0
d. Jasa traktor (ha) 250 250 0 0
Tabel 4. Sistem perkreditan non sarana
produksi pada Lembaga Keuangan Non Formal di Kabupaten Kampar dan
Kabupaten Indragiri Hilir, 2013.
Uraian Kampar Ind. Hilir
Air Tiris Kampar Kiri Hilir
Tempuling Enok
Cara pengembalian kredit:
a. Ijon - - - -
b. Bayar saat panen
- - - V
Jangka waktu pengembalian kredit (bulan) :
a. 3 – 4 bulan - - - V
b. 1 – 2 bulan - - - -
Bentuk pengembalian
- - - gabah
Nilai pinjaman (Rp 000)
- - - 225
Jumlah pengembalian dalam
bentuk hsl produksi (ku)
a. 3 – 4 bulan - - - 2,25
b. 1 – 2 bulan - - - -
Bunga per bulan (%)
a. 3 – 4 bulan - - - 8
b. 1 – 2 bulan - - - -
Partisipasi Rumah Tangga Tani Dalam
Pemanfaatan Lembaga Pembiayaan
Keberadaan lembaga keuangan untuk
pembiayaan usahatani dan kebutuhan rumah
tangga lainnya sangat dibutuhkan oleh petani
dipedesaan. Indikasi tersebut terlihat pada
tabel 5, dimana hampir 30 % responden di
Kecamatan yang diamati memiliki pinjaman.
Pada umumnya kredit yang dipinjam petani
digunakan untuk kegiatan produktif
(usahatani). Sumber peminjaman kredit adalah
lembaga keuangan non formal. Kredit yang
dipinjam pada umumnya dalam bentuk sarana
produksi yang dikembalikan setelah panen
dalam bentuk natura (hasil produksi).
Peminjam kredit yang paling tinggi terlihat di
Kabupaten Kampar.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 19
Tabel 5. Tingkat Partisipasi Rumah Tangga
Tani Dalam Pemanfaatan Lembaga Perkreditan di Kabupaten Kampar dan
Kabupaten Indragiri Hilir, 2013
Uraian Kampar Ind.Hilir
Air Tiris Kampar Kiri Hilir
Tem puling
Enok
Jumlah responden
30 30 30 30
Jumlah responden peminjam
kredit
11
(36 %)
13
(43%)
2
(6%)
5
(17)
Jenis kredit yg
dipinjam (responden)
a. sarana produksi
11 (36%)
13 (43%)
2 (6%)
4 (16%)
b. uang 0 0 0 1
Sumber kredit yang digunakan (responden)
a. KUD / BRI - - - -
b. Lembaga NoFormal
V V V V
Sumber kredit
saprodi (resp)
a. KUD / BRI - - - -
b. Lembaga Non
formal
11
(36%)
13
(43%)
2
(6%)
5
(17
Sumber kredit dalam bentuk uang (responden)
a. KUD / BRI - - - -
b. Lembaga Non Formal
- - 1 -
Keragaan Pembiayaan Usahatani Bantuan
Pemerintah (PUAP)
Pendekatan pembinaan dengan pola
kelembagaan petani ternyata lebih efektif. Hal
ini terlihat dari tingkat pengembalian pinjaman,
dimana sekitar 98 % tingkat pengembalian
adalah lancar dengan posisi modal kelompok
tani yang diperoleh dari bunga pinjaman masih
memiliki deposit (kelebihan) untuk cadangan
modal kelompok atau dapat juga digunakan
untuk kegiatan produktif lainnya. Hal ini
menunjukkan sebenarnya dari segi
kemampuan, petani dapat melakukan
pembayaran pinjaman, hanya saja untuk
memperbaiki perilaku petani dalam hal
mengembalikan pinjaman , memang diperlukan
sanksi dan aturan-aturan yang jelas serta
pengawasan yang ketat dari institusi terkait.
Tabel 6. Keragaan Pembiayaan Usahatani
Bantuan Pemerintah (PUAP) di Kabupaten Kampar dan Kabupaten
Indragiri Hilir, 2013
Uraian Ind. Hilir
Kampar
Tempuling Enok Air Tiris
Kampar Kiri Hilir
Jenis Usaha yang didanai :
a. Usahatani V V V V b. Industri
Rumah Tangga V V - V
c. Usaha Dagang - V - - Jumlah Kelompok Tani yang terlibat (kelompok)
467
97
81
63
Rataan Jumlah modal per kelompok saat ini (Rp000)
1.185
1.100
1.000
500
Tingkat bunga per thn (%)
5 3 5 7
Kelancaran Pengembalian pinjaman ( %)
a. lancar 100 98 96 95 b. kurang lancar 0 2 4 5 c. macet 0 0 0 0 Pengawasan : a. intensif V - - - b. Kurang intensif - V V V c. Tidak intensif - - - - Perkembangan jumlah peserta
a. tetap - V - V b.makin banyak V - - - c. makin sedikit - - -
KESIMPULAN
1. Lembaga keuangan yang banyak diakses
oleh petani adalah lembaga keuangan non
formal, sedangkan lembaga keungan
formal hanya dimanfaatkan oleh sebagian
kecil petani.
2. Dari tingkat partisipasi petani dalam
pemanfaatan lembaga perkreditan terlihat
bahwa lebih dari 30 % petani dapat
mengakses melalui peminjaman kredit.
Sumber peminjaman kredit adalah lembaga
keuangan non formal. Kredit yang dipinjam
pada umumnya dalam bentuk sarana
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 13-20
| 20
produksi yang dikembalikan setelah panen
dalam bentuk natura (hasil produksi).
3. Pendekatan pembinaan dengan pola
kelembagaan petani (PUAP) lebih efektif,
terbukti sekitar 98 % tingkat pengembalian
adalah lancar dengan posisi modal
kelompok tani yang diperoleh dari bunga
pinjaman masih memiliki deposit
(kelebihan) untuk cadangan modal
kelompok atau dapat juga digunakan untuk
kegiatan produktif lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pembangunan,2006,
Analisis Kebijakan Pertanian, volume 4 no
2, juni 2006, 146-164, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Bogor Badan Pengkajian dan Kebijakan Perdagangan,
2013, Analisis Peran Lembaga Pembiayaan dalam UMKM, Kementrian
Perdagangan, Jakarta.
Dahlan Tampubolon, Lembaga Keuangan Mikro Pedesaan di Kabupaten Bengkalis, Tesis
Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Riau, 2009
Direktorat Pembiayaan 2004, Kelembagaan dan
Pola Pelayanan Keuangan Mikro untuk Sektor Pertanian, Jakarta, Direktorat
Pembiayaan , Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian.
I Gde Kanjeng Baskara, Lembaga Keuangan
Mikro di Indonesia , Jurnal Buletin Studi Ekonomi, vol 18 no 2, 2013
Ihwan Susila, Analisis Efisiensi Lembaga Keuangan Mikro, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vio 8 no 2, hal 223 – 242, Fakultas Ekonomi Muhammadiyah
Surakarta, 2007
Khusnul Ashar, Analisis Terhadap Kesinambungan Lembaga Pembiayaan
Pedesaan Dalam Mendukung Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Journal Of
Indonesian Apllied Economics, vol 5 no 1,
2011
Sumarno, 2009, Pengembangan Usahatani
berdasarkan sosial ekonomi dan agroklimat, Balai Penelitian Tanaman
Pangan,Maros Syukri Lukman, Niki Lukviarman, Harif Amali
Rivai, Tafdil Husni, Syafrizal, Maruf, 2008, Kajian Upaya Penguatan Peranam
Mikcobanking dan Pendekatan
Pembiayaan Kelompok dalam Rangka Pengembangan UMK di Sumatera Barat,
Center for bankning research 2008. Tripranaji, 2003, Penajaman Analisis
Kelembagaan Dalam Perspektif Penelitian
Sosiologi Pertanian Dan Pedesaan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Pusat penelitian
Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, 2003
Wiloeyo wirjo wijono, Pemberdayaan lembaga keuangan mikro sebagai salah satu pilar
system keuangan nasional : Upaya
konkrit memutus mata rantai kemiskinan, Jurnal kajian ekonomi dan keuangan,
Edisi khusus, Jakarta, 2005
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 21
PENGARUH URIN SAPI DAN NPK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI TANAMAN PARE
Ali Usmardianto 1) dan Marsid Jahari 2)
1) Peneliti Pada Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau
2) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Pengaruh Urin Sapi dan NPK Organik terhadap produksi tanaman pare. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian urin sapi dan NPK Organik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pare. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Simpang Tiga Kotamadya Pekanbaru selama tiga bulan terhitung mulai bulan Desember 2012 sampai Februari 2013. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor, faktor pertama adalah pemberian urin sapi (U) yang terdiri dari 4 taraf yaitu U0 (kontrol), U1 (10 ml /100 ml air), U2 (15 ml /100 ml air), U3 (20 ml/100 ml air). Faktor kedua adalah pemberian pupuk NPK Organik (P) terdiri dari 4 taraf yaitu : P0 (kontrol), P1 (15 g/tan), P2 (30 g/tan.), P3 (45 g/tan). Parameter yang diamati adalah umur berbunga, umur panen pertama, jumlah buah yang dipanen, berat buah pertanaman sampel, jumlah buah sisa. Data pengamatan dianalisis secara statistik dan dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ pada taraf 5%. Hasil penelitian menyatakan bahwa secara interaksi urin sapi dan NPK Organik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati. Secara tunggal pemberian urin sapi memberikan pengaruh nyata terhadap umur panen, jumlah buah yang dipanen, berat buah pertanaman dan jumlah buah sisa. Perlakuan urin sapi terbaik terdapat pada perlakuan 20 ml/100 ml air. Secara tunggal pemberian NPK Organik memberikan pengaruh nyata terhadap semua parameter. Perlakuan terbaik NPK Organik terdapat pada pemberian 30 g/tanaman. Kata Kunci: Tanaman pare, urin sapi, NPK Organik
ABSTRACT
Effects of cow urine and organics NPK fertilizer on yield of bitter melon. The purpose of this study was to determine the effect of cow urine and Organic NPK on the growth and yield of bitter melon. The research conducted in Pekanbaru, during December - February 2013. The experimental design was Completely Randomized Design with two factors. The first factor was the provision of cow urine (U), which consists of four levels ; U0 (control), U1 (10 ml/100 ml water ), U2 (15 ml/100 ml water), U3 (20 ml/100 ml water). The second factor was the Organic NPK fertilizer (P) consists of four levels ; P0 (control), P1 (15 g / plant), P2 (30 g/plant ), P3 (45 g/plant). The parameters observed were the flowering date ( HST ), the age of first harvest ( HST), the amount of fruit harvested (g), the weight of the fruit crop samples (gram), the amount of residual fruit (fruit). Data were analyzed statistically and continued with further test of HSD at the level of 5%. The study states that in the interaction of cow urine and Organic NPK fertilizer no significant effect on all parameters observed. In single aplication of cow urine significant effect on the time of harvest, the amount of fruit, fruit weight and number of fruit leftovers. The best treatment is contained in the U3 (20 ml/100 ml of water). Organic NPK aplication give significant effect on all parameters. The best treatment is P2 (30 g/plant ) Keywords : bitter melon, cow urine, NPK Organic
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 22
PENDAHULUAN
Tanaman Pare (Momordica charantia)
termasuk jenis sayuran dataran rendah,
rasanya pahit-pahit sedap, sehingga banyak
disukai masyarakat. Pare adalah salah satu
jenis sayuran yang berpotensi bila
dibudidayakan secara intensif. Selain itu pare
juga sebagai komoditas usaha tani yang
menguntungkan dan menjadi bahan dagangan
di pasar lokal hingga pasar swalayan, karena
mengandung gizi yang tinggi dan lengkap serta
berkhasiat sebagai obat penyembuh penyakit.
Rukmana (2003) mengemukakan
bahwa Kandungan gizi buah pare tiap 100 gram
buah mentah (segar) adalah air: 91,2 gram,
kalori: 29,0 gram, protein: 1,1 gram, lemak:
1,1 gram, karbohidrat: 0,5 gram, kalsium:
45,0 mg., zat besi: 1,4 mg., fosfor: 64,0
mg., vitamin A: 18,0 SI, vitamin B: 0,08 mg,
vitamin C: 52,0 mg. Manfaat buah pare antara
lain: merangsang nafsu makan, memperlancar
pencernaan dan sebagai obat malaria.
Prospek pengembangan tanaman pare
di pasar cukup cerah, namun budidaya
tanaman pare ditingkat petani masih bersifat
usaha sampingan. Pada umumnya budidaya
tanaman pare dilakukan usaha kecil-kecilan di
lahan pekarangan dan tegalan tanpa
pemeliharaan yang intensif (Hendro, 2003),
dengan demikian produksi dan
pertumbuhannya kurang maksimal
dibandingkan dengan tanaman pare yang
dibudidayakan secara intensif. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian yang berkaitan dengan budidaya
tanaman pare, terutama yang berhubungan
dengan pemupukan agar diperoleh
pertumbuhan dan produksi buah yang
optimal.
Kendala utama dalam
membudidayakan pare adalah belum
tercapainya produksi yang optimal. Untuk
meningkatkan produktivitas, diperlukan zat
pengatur tumbuh untuk merangsang
terbentuknya bunga betina yang lebih banyak.
Zat pengatur tumbuh pada tanaman
merupakan senyawa organik, dimana dalam
jumlah sedikit dapat mendukung proses
fisiologis tanaman. Zat pengatur tumbuh (ZPT)
alami yang dapat digunakan diantaranya
adalah urin sapi.
Zat pengatur tumbuh berfungsi untuk
memacu pertumbuhan, pembentukan bunga
dan pemasakan buah. Dahulu urin sapi belum
dikenal oleh masyarakat petani karena urin sapi
ini mempunyai bau yang tidak sedap, namun
dengan perkembangan teknologi, para peneliti
telah menemukan bahwa urin sapi mempunyai
banyak manfaat untuk tanaman. Urin sapi
dapat digunakan sebagai ZPT yang sifatnya
alami, mudah diperoleh petani, ramah
lingkungan, dapat dilakukan dengan mudah
dan memiliki harga yang murah sehingga
terjangkau oleh petani.
Urin sapi dapat berperan sebagai ZPT
dan juga sebagai PPC yang mengandung unsur
nitrogen dalam bentuk amoniak. Amoniak dapat
menyebabkan tingginya suhu urin sapi, kondisi
ini dapat diturunkan dengan dengan bantuan
bakteri pengurai melalui proses pemeraman.
Penggunaan zat pengatur tumbuh juga
mempunyai peran penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Pemakaian zat
pengatur tumbuh dalam upaya mendapatkan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 23
hasil yang maksimal dan sesuai dengan
keinginan yang kita harapkan.
Pupuk NPK Organik Granul
mengandung unsur makro dan mikro yang
sangat dibutuhkan tanaman seperti Nitrogen
(N), Phospor (P), dan Kalium (K), Ca, Mg, S dan
senyawa organik lain yang bermanfaat bagi
tanaman, seperti asam humik dan asam
fulvat. Dengan sifat dan karakternya
tersebut pupuk NPK Organik granul
berkemampuan menjadi generator
mikrobialogi di dalam tanah, memberi
sumbangan nutrisi bagi tanaman, dengan
demikian akan mengurangi pemakaian dosis
pupuk kimia. Bagi tanaman semusim, sayuran,
padi dan palawija lainnya, aplikasi pupuk
organik dapat menggantikan 100 % semua
jenis pupuk kimia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan
Simpang Tiga - Pekanbaru selama tiga bulan
terhitung mulai bulan Desember 2012
sampai dengan Februari 2013. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua
faktor, faktor pertama adalah pemberian urin
sapi (U) yang terdiri dari empat taraf, dan
faktor kedua adalah pupuk NPK Organik (P)
yang juga terdiri dari empat taraf. Sehingga
terdapat 16 kombinasi perlakuan dengan tiga
ulangan maka ada 48 unit percobaan. Masing
- masing unit percobaan terdiri dari empat
tanaman dan dua diantaranya dijadikan
sebagai tanaman sampel. Adapun perlakuan
yang digunakan lebih rinci sebagai berikut:
Faktor Pertama: Pemberian urin sapi (U)
U0 : Tanpa pemberian Urin sapi
U1 : 10 ml Urin Sapi / 100 ml air(10%
U2 : 15 ml Urin Sapi / 100 ml air (15 %)
U3 : 20 ml Urin Sapi / 100 ml air (20 %)
Faktor Kedua: Pemberian pupuk NPK Organik
Granul (P)
P0 : Tanpa pemberian pupuk NPK
P1: 15 g/ tanaman
P2 : 30 g/ tanaman
P3 : 45 g/ tanaman
Dengan demikian diperoleh 16
kombinasi perlakuan dan 3 ulangan, sehingga
jumlah plot yang digunakan dalam penelitian
sebanyak 48 plot. Pada masing-masing plot
terdiri dari empat tanaman dan dua diantaranya
dijadikan sebagai tanaman sampel, jumlah
tanaman seluruhnya sebanyak 192 tanaman.
Persiapan Tempat Penelitian
Pengolahan tanah dilakukan dua kali.
Pengolahan tanah pertama dilakukan dengan
cara mencangkul tanah berbentuk bongkahan-
bongkahan tanah besar, dan pengolahan tanah
kedua dilakukan penggemburan tanah dengan
tujuan agar drainase dan aerase tanah menjadi
lebih baik. setelah tanah menjadi gembur baru
dilakukan pembuatan plot atau bedengan,
dengan ukuran 120 cm x 120 cm, dengan jarak
antar plot 50 cm.
Perendaman Benih dan Penanaman
Benih direndam dalam air selama 1,5
jam, kemudian benih siap ditanam ke dalam
lobang yang telah disediakan dengan
memasukan satu benih/lobang dengan jarak
tanam 60 cm x 60 cm.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 24
Pemberian urin sapi
Urin sapi yang sudah disaring, dimasukkan
dalam wadah tertutup dan dibiarkan selama 24
jam agar kadar panas urin sapi tersebut
berkurang. Selanjutnya urin tersebut diberikan
sesuai dengan konsentrasi pada perlakuan. Urin
sapi diaplikasikan dengan menggunakan alat
semprot ketanaman dengan interval satu kali
satu minggu dimulai dari tanaman berumur
satu minggu sampai tanaman berbunga 50%.
Pemberian pupuk NPK Organik
Pemberian pupuk NPK Organik
diaplikasikan hanya sekali yaitu pada saat
tanam. pemberian pupuk NPK Organik
diberikan dengan cara membuat alur melingkar
batang dengan jarak sekitar 10 cm dari lobang
tanam pada kedalaman sekitar 5 cm.
Pemeliharaan dan Panen
Penyiangan dilakukan mulai tanaman
berumur dua minggu setelah tanam sampai
tanaman berbunga dengan interval satu
minggu sekali. Pemasangan turus dilakukan 5
hari setelah tanam, turus terbuat dari kayu
dan tali dengan ukuran panjang kayu 2 m
yang ditancapkan disisi pinggir tanaman.
Pembungkusan buah dilakukan pada saat
tanaman sudah mengeluarkan bakal buah
dengan menggunakan pembungkus 24riteri.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman
dilakukan secara intensif sesuai dengan tingkat
serangan di lapangan. Untuk menghindari lalat
buah dilakukan pembungkusan buah. Panen
dilakukan bila buah pare sudah memenuhi
24riteria seperti ukuran buah, bintil-bintil
permukaan kulit tampak jelas dan keriputnya
masih agak rapat dan bila dipatahkan belum
memiliki serat kasar. Panen dapat dilakukan
sebanyak tiga kali dengan interval waktu 6
hari.
Data Pengamatan
Data yang akan dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah: umur berbunga, umur
panen, jumlah buah yang dipanen, berat buah
pertanaman, dan jumlah buah sisa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Umur Berbunga (hari)
Pemberian urin dan pupuk NPK Organik
secara interaksi dan urin sapi secara tunggal
tidak berpengaruh nyata, sedangkan pemberian
NPK Organik secara tunggal berpengaruh nyata
terhadap umur berbunga. Data pada Tabel 1
terlihat bahwa pemberian NPK Organik secara
tunggal berpengaruh nyata terhadap umur
berbunga pada tanaman Pare. Tanaman lebih
cepat berbunga pada perlakuan P2 dan P1
disebabkan karena dengan pemberian NPK
organik dengan dosis 15-30 g/tanaman dapat
membantu ketersediaan unsur hara nitrogen
dalam tanah.Pembungaan merupakan awal
yang menentukan terbentuknya organ hasil
suatu pertanaman, perubahan tunas apical atau
aksilar dari vegetatif menjadi tunas bunga
merupakan dari aktifitas hormon yang
berlangsung pada tanaman tersebut yang
umumnya dirangsang oleh kondisi lingkungan
tertentu misalnya suhu dan perubahan panjang
hari (lama penyinaran). Data umur berbunga
tanaman Pare disajikan pada Tabel 1.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 25
Tabel 1. Umur berbunga tanaman pare
dengan pemberian urin sapi dan pupuk NPK Organik (hari).
Konsentrasi urin sapi
%
Dosis NPK Organik (g/tanaman) Rerata
0 (P0) 15 (P1) 30 (P2) 45 (P3)
0 (U0) 25,67 24,67 24,67 24,67 24,92
10 (U1) 26,00 25,33 25,00 25,33 24,42
15 (U2) 27,00 23,33 24,00 26,00 25,08
20 (U3) 26,67 26,67 23,00 25,33 24,67
Rerata 26,34 c 24,25 a 24,17 a 25,33 b
KK = 5,94 % BNJ-P: 0,42
Angka-angka pada kolom yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNJ pada taraf 5%
Lingga (2003) mengatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi pembungaan
diantaranya metabolisme karbohidrat dan N
ratio yang tinggi biasanya dapat merangsang
cepatnya terbentuk bunga, meskipun hara
mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah
sedikit namun perannya sangat dibutuhkan oleh
tanaman terutama pada masa pertumbuhan
awal. Adapun kandungan unsur hara Nitrogen
juga dapat mempengaruhi penyerapan unsur
hara makro lain. Molibdenum (Mo) berperan
dalam proses fiksasi N dan sebagai katalisator
dalam mereduksi N (Lakitan,1998).
Umur panen pertama (hari)
Hasil pengamatan terhadap umur
panen setelah dianalisis sidik ragam
menunjukkan bahwa secara interaksi
pemberian urin sapi dan pupuk NPK Organik
tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap umur panen, sedangkan secara
tunggal perlakuan urin sapi dan NPK Organik
berpengaruh nyata terhadap pengamatan umur
panen. Data umur panen disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Umur panen tanaman pare dengan
perlakuan urin sapi dan NPK Organik.
Konsentrasi
urin sapi %
Dosis NPK Organik (g/tanaman) Rerata
0 (P0) 15 (P1) 30 (P2) 45 (P3)
0 (U0) 42,33 41,67 40,00 42,00 41,50 d
10 (U1) 41,33 41,00 39,67 39,67 40,42 c
15 (U2) 41,00 40,33 38,67 40,00 40,00 b
20 (U3) 40,33 39,33 38,00 38,67 39,08 a
Rerata 41,25 d 40,58 c 39,08 a 40,09 b
KK = 1,68 % BNJ U/P = 0,19
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNJ pada taraf 5%
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
perlakuan urin sapi secara tunggal berpengaruh
nyata terhadap umur panen tanaman pare.
Perlakuan U3 (20 ml urin sapi) yaitu 39,08 hari
berbeda nyata dengan perlakuan U2 (15 ml urin
sapi) yaitu 40,00 hari, perlakuan U1 (10 ml urin
sapi) yaitu 40,42 hari dan U0 (tanpa perlakuan
urin sapi) yaitu 40,50. Sedangkan secara
tunggal perlakuan NPK Organik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap umur panen,
dimana perlakuan P2 (30 g/tan.) yaitu 39,08
hari yang berbeda dengan perlakuan P3(45 g/
tan) yaitu 40,09 hari, perlakuan P1 (15 g /tan)
yaitu 40,58 hari dan P0 yaitu 41,25 hari.
Pemberian urin sapi secara tunggal
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
umur panen tanaman pare, dimana perlakuan
terbaik terdapat pada perlakuan pemberian urin
sapi U3 (20 ml urin sapi/100 ml air) yaitu 39,08
hari. Cepatnya umur panen pada perlakuan U3
(20 ml urin sapi) ini di sebabkan zat pengatur
tumbuh IAA yang terdapat pada urin sapi dapat
diserap dengan baik karena konsentrasi yang
tepat, sehingga proses fisiologi tanaman
berjalan dengan baik dan dapat mempercepat
umur panen. Sedangkan pemberian NPK
Organik secara tunggal menghasilkan umur
panen tercepat terdapat pada perlakan P2 (30
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 26
g/tan.) yaitu 39,08 hari dimana pemberian NPK
Organik dengan dosis 30 g/ tan.) merupakan
dosis yang tepat dalam mempengaruhi umur
panen pare.
Hadi dkk. (2004) mengemukakan
bahwa urin sapi mengandung zat pengatur
tumbuh IAA ini dikarenakan sapi merupakan
hewan yang memakan jaringan tumbuh-
tumbuhan yang terdapat di dalamnya auksin
dan IAA, auksin ini tidak dapat dicerna dalam
tubuh sapi. Dengan demikian secara tidak
langsung urin sapi dapat menggantikan fungsi
hormon tumbuh sintetis yang berasal dari IBA
dan IAA. Selanjutnya Anty (1987) menyatakan
bahwa urin sapi mengandung zat perangsang
tumbuh yang dapat digunakan sebagai
pengatur tumbuh diantaranya adalah IAA yang
mempercepat proses pertumbuhan tanaman.
Selain mengandung zat pengatur tumbuh IAA,
urin sapi juga mengandung unsur hara yang
dapat menambah unsur hara yang dibutuhkan
tanaman, maka dari itu pemberian urin sapi
pada konsentrasi yang tepat dapat
mempercepat umur panen tanaman pare.
Penggunaan zat pengatur tumbuh harus
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, zat
pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa
organik yang bukan hara yang dalam jumlah
tepat dapat mendukung proses fisiologi
tanaman.
Perlakuan NPK organik secara tunggal
berpengaruh nyata terhadap umur panen pada
tanaman pare. Cepatnya umur panen pada
perlakuan P2(30 g /tan) disebabkan karena
faktor umur muncul bunga tanaman, dimana
pada perlakuan P2 (30 g / tan) bunga lebih
dahulu muncul dibandingkan dengan perlakuan
lain. Cepatnya umur berbunga dapat
mempengaruhi umur panen pada tanaman
pare, dimana semakin cepat muncul bunga
maka mempengaruhi umur panen pada
tanaman tersebut. Hal ini disebabkan jumlah
bahan organik yang berasal dari NPK organik
sangat mempengaruhi pertumbuhan populasi
mikroorganisme tanah. Mikroorganisme dalam
tanah berperan dalam merombak bahan-bahan
organik menjadi materi-materi yang lebih halus
dan membentuk struktur tanah yang kaya akan
bahan organik, sehingga kebutuhan nutrisi
tanaman terpenuhi. Dengan meningkatnya
keragaman mikroorganisme tanah akan
memperbaiki kesehatan dan kualitas tanah
yang pada akhirnya juga memperbaiki
pertumbuhan tanah (Marsono, dkk., 2002).
Jumlah buah pertanaman (buah)
Hasil pengamatan terhadap jumlah
buah yang dipanen dari hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa secara interaksi
pemberian urin sapi dan NPK Organik tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap
pengamatan jumlah buah yang dipanen, akan
tetapi perlakuan urin sapi dan NPK Organik
secara tungggal memberikan pengaruh yang
nyata terhadap umur panen. Data hasil
pengamatan jumlah buah yang dipanen
disajikan pada Tabel 3.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 27
Tabel 3. Jumlah buah yang dipanen dengan
pemberian urin sapi dan NPK Organik
Konsentrasi
urin sapi %
Dosis NPK Organik (g/tanaman) Rerata
0 (P0) 15 (P1) 30 (P2) 45 (P3)
0 (U0) 8,67 9,67 11,00 10,00 9,83 d
10 (U1) 11,67 13,00 12,67 11,00 12,08 b
15 (U2) 10,33 10,00 13,67 11,33 11,33 c
20 (U3) 12,33 11,33 13,33 11,08 13,25 a
Rerata 10,75 c 11,33 b 13,33 a 11,08 b
KK = 2,09 % BNJ U/P = 0,32
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNJ pada taraf 5%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara
tunggal pemberian urin sapi menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap pengamatan
jumlah buah yang dipanen dimana perlakuan
U3 (20 ml/100 ml air) yaitu 13,25 buah berbeda
nyata dengan perlakuan U1(10 ml urin sapi/100
ml air) yaitu 12,08 buah, perlakuan U2 (10 ml
urin sapi/100 ml air) yaitu 11,33 buah dan U0
(tanpa pemberian urin sapi) yaitu 9,83 buah.
Secara tunggal perlakuan NPK Organik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pengamatan jumlah buah yang dipanen,
dimana perlakuan P2 (30 g/ tan ) yaitu 13,33
buah berbeda nyata dengan perlakuan P1
(15/tan) yaitu 11,33 buah, perlakuan P3 (45
g/tan.) yaitu 11,08 buah dan P0 (tanpa
perlakuan ) yaitu 10,75 buah, namun
perlakuan P1 (15 g/tan.) yaitu 11,33 buah tidak
berbeda nyata dengan perlakuan P3 ( 45 g/tan)
yaitu 11,08 buah.
Pemberian urin sapi secara tunggal
menghasilkan jumlah buah pare terbanyak
terdapat pada U3 (20 ml/100 ml air) yaitu 13,25
buah, dimana urin sapi pada konsentrasi U3 (20
ml/100 ml air) sudah dalam kondisi yang tepat
sehingga zat pengatur tumbuh IAA yang
terdapat dalam urin sapi dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh tanaman tersebut. sedangkan
pemberian NPK Organik secara tunggal
menghasilkan jumlah buah pare terbanyak
pada dosis P2(30 g/ tanaman) yaitu 13,33
buah. Urin sapi mengandung ZPT IAA, IBA
yang dalam konsentrasi tepat dapat membantu
dalam proses pertumbuhan tanaman,
sedangkan pada konsentrasi rendah ZPT
tersebut tidak berpengaruh dan apabila terlalu
banyakpun akan menghambat pertumbuhan
tanaman pare. Urin sapi dengan konsentrasi
U3(20%) merupakan jumlah yang tepat dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Selain mengandung ZPT IAA, urin
sapi juga mengandung unsur hara bagi
tanaman. Menurut Haseh (2003)
mengemukakan bahwa jenis dan kandungan
urin sapi adalah Nitrogen 1,00%, Phosfor 0,50
%, Kalium 1,50 % dan air sekitar 92,0%.
Berat buah pertanaman (g)
Hasil pengamatan terhadap berat buah
pare berdasarkan sidik ragam menunjukkan
bahwa secara interaksi perlakuan dengan urin
sapi dan NPK Organik tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pengamatan
berat buah pertanaman, akan tetapi perlakuan
urin sapi dan NPK Organik secara tunggal
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pengamatan berat buah pertanaman. Data
pengamatan hasil berat buah pertanaman
disajikan pada Tabel 4.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 28
Tabel 4. Berat buah pertanaman dengan
perlakuan urin sapi dan NPK Organik
Perlakua
n Urin sapi
Perlakuan NPK Organik (gram/tanaman) Rerata
0 (P0) 15 (P1) 30 (P2) 45 (P3)
0 (U0) 1156,06 1885,95 2251,96 1948,40 1885,59 c
10 (U1) 1749,04 2421,12 2868,50 2409,00 2361,91 b
15 (U2) 1422,96 1574,94 2451,75 1796,05 1811,43 c
20 (U3) 2189,37 2959,56 3221,67 2365,32 2683,98 a
Rerata 1704,36c 2210,39b 2269,46a 2129,29b
KK = 1,87 % BNJ U/D = 118,80
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNJ pada taraf 5%.
Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa
secara tunggal perlakuan urin sapi
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
pengamatan berat buah pertanaman, dimana
perlakuan U3 (20 ml Urin sapi/100 ml) yaitu
2683,98 gram berbeda nyata dengan
perlakuan U1(10 ml urin sapi /100 ml air) yaitu
2361,91gram, perlakuan U2 (15 ml urin
sapi/100 ml air) yaitu 1811,43 gram dan U0
(tanpa perlakuan).
Hal ini dikarenakan urin sapi yang
digunakan memberikan pengaruh pada jumlah
berat buah pertanaman, pemberian urin sapi
secara tunggal menghasilkan berat buah per
plot terdapat pada perlakuan urin sapi U3 (20 ml
urin sapi /100 ml air) yaitu 3091,48 gram,
dimana dengan perlakuan urin sapi 20 ml urin
sapi/100 ml air sudah dalam kondisi yang tepat
sehingga zat pengatur tumbuh IAA yang
terdapat dalam urin sapi dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh tanaman pare. Menurut
Lingga (1991) bahwa urin sapi mengandung
Nitrogen 1 %, Fospor 0,50 %, Kalium 1,50 %
dan air 92 % jadi selain mengandung zat
pengatur tumbuh (ZPT) urin sapi juga
mengandung unsur hara yang dibutuhkan
tanaman, walaupun persentase kecil namun
dapat membantu kebutuhan unsur hara pada
tanaman.
Pupuk NPK organik yang digunakan
mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik tanah
dan mendorong kehidupan jasad renik.
Kemantapan agregat tanah yang dikandungnya
akan membuat tanah menjadi gambur, subur
dan kaya humus. Dengan demikian banyaknya
kandungan humus tanah juga akan
meningkatkan kapasitas tukar kation tanah,
yang akan menciptakan lingkungan seperti
peredaran udara dan air yang baik bagi
tanaman. Menurut Witriyono (1993) respons
tanaman pare terhadap zat pengatur tumbuh
sangat bervariasi sesuai dengan musim, tempat
penanaman, konsenstrasi dan varietas yang
digunakan.
Rismunandar (1990) menyatakan
bahwa berat buah merupakan hasil aktivitas
berupa karbohidrat dan protein yang terdapat
dalam jaringan tanaman. Menurut Syarif (1986)
bahwa untuk pembentukan jaringan tanaman
dibutuhkan beberapa unsur hara diantaranya
unsur hara N dengan pemberian unsur hara
yang seimbang maka pertumbuhan tanaman
akan berlangsung secara optimal sehingga
berat buah juga optimal. Secara tunggal
perlakuan NPK Organik memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pengamatan berat buah
pertanaman. Dimana perlakuan P2 (30
gram/tan) yaitu 2698,46 gram berbeda nyata
dengan perlakuan P1 (15 gram/tan.) yaitu
2210,39 gram, perlakuan D3 (45 gram/tan.)
yaitu 2129,69 gram dan P0 (tanpa perlakuan)
yaitu 1704,36 g namun perlakuan P1 (15
gram/tan) yaitu 2210,39 gram tidak berbeda
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 29
nyata dengan perlakuan P3 (45 gram/tan.
yaitu 2129,69 gram.
Lingga (2003) mengatakan bahwa
pupuk NPK organik disamping berfungsi
menambah unsur hara juga memperbaiki sifat
fisik tanah. Hara yang dikandungnya dapat
dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhan
vegetatif maupun generatif tanaman. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal, pupuk harus
diberikan dalam jumlah yang cukup sesuai
dengan kebutuhan tanaman, tidak berlebihan
dan tidak kekurangan. Rendahnya buah yang
dihasilkan pada perlakuan P0 (tanpa perlakuan
NPK organik) disebabkan karena tanaman
kurang mendapatkan unsur hara sehingga
berakibat kurang baik bagi pertumbuhan dan
produksi yang dihasilkan. Apabila suatu
tanaman kekurangan unsur hara maka akan
terlihat gejala pertumbuhan menjadi tidak
normal, tanaman menjadi kerdil dan
pertumbuhan tanaman menjadi terhambat,
sehingga akan mempengaruhi produksi.
Jumlah buah sisa (buah)
Hasil pengamatan terhadap jumlah
buah sisa berdasarkan sidik ragam
menunjukkan bahwa secara interaksi perlakuan
urin sapi dan NPK Organik tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap jumlah buah sisa
akan tetapi perlakuan urin sapi dan NPK
Organik secara tunggal memberikan pengaruh
nyata terhadap pengamatan jumlah buah sisa.
Data pengamatan jumlah buah sisa disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata jumlah buah sisa dengan
perlakuan urin sapi dan NPK Organik
Konsentrasi
urin sapi
Perlakuan NPK Organik (gram/tanaman) Rerata
0 (P0) 15 (P1) 30 (P2) 45 (P3)
0 (U0) 1,17 1,33 1,67 2,00 1,54 d
10 (U1) 2,17 2,33 2,50 3,00 2,50 c
15 (U2) 3,17 3,33 3,33 3,50 3,33 b
20 (U3) 4,33 4,67 5,33 6,17 5,13 a
Rerata 2,71 b 2,92 b 3,21 a 3,67 a
KK = 2,52 % BNJ U/P =0,5
Angka-angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut BNJ pada taraf 5%.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa secara
tunggal pemberian urin sapi menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap pengamatan
jumlah buah sisa dimana perlakuan U3 (20
ml/100 ml air) yaitu 5,13 buah yang berbeda
nyata dengan perlakuan U2 yaitu 3,33 buah,
dan berbeda nyata dengan U1 yaitu 2,5 buah
dan sangat berbeda nyata dengan U0 (tanpa
pemberian urin sapi) yaitu1,5 buah. Sedangkan
secara tunggal perlakuan NPK Organik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pengamatan jumlah buah yang dipanen,
dimana perlakuan P3 (45 g/ tan) yaitu 3,67
buah dan tidak berbeda nyata dengan
perlakuan P2 (30/tan.) yaitu 3,21 dan berbeda
nyata dengan perlakuan P1 (15 gram/tan) yaitu
2,92 buah dan P0 (tanpa perlakuan) yaitu 2,71
buah, hal ini disebabkan urin sapi dan NPK
Organik yang digunakan memberikan pengaruh
pada berat buah sisa. Pemberian urin sapi dan
NPK Organik secara tunggal menghasilkan
jumlah buah sisa terberat terdapat pada
perlakuan U3 (20 ml urin sapi/100 ml air) dan
NPK Organik pada P3 (45 gram/plot). Jumlah
buah sisa yang terbanyak terdapat pada
perlakuan U3 (urin sapi 20 ml/100 ml air)
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 21-30
| 30
dikarenakan jumlah konsentrasi yang diberikan
sudah tepat, sehingga zat pengatur tumbuh
IAA yang terkandung dalam urin sapi dapat
dimanfaatkan tanaman dalam proses
fisiologisnya. sedangkan pada perlakuan U0, U1
dan U2 konsentrasi yang diberikan kurang
tepat, sehingga produksi pada jumlah buah
kurang maksimal. Menurut Suriatna (1987)
bahwa respon tanaman terhadap pemberian
pupuk akan lebih meningkat bila menggunakan
jenis pupuk, dosis, waktu dan cara pemberian
yang tepat. Selanjutnya didukung oleh
Prihmantoro (1995) yang mengemukakan
kekurangan atau kelebihan unsur hara tidak
baik untuk pertumbuhan pare.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Interaksi antara urin sapi dan pupuk NPK
Organik untuk semua perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
semua parameter yang diamati.
2. Pemberian urin sapi secara tunggal
berpengaruh nyata terhadap parameter:
umur panen, jumlah buah, berat buah,
jumlah buah sisa. Perlakuan terbaik
terdapat pada pemberian urin sapi 20
ml/100 ml air.
3. Pemberian NPK Organik secara tunggal
berpengaruh nyata terhadap semua
parameter yaitu umur berbunga, umur
panen, jumlah buah, jumlah buah sisa.
Perlakuan yang terbaik terdapat pada
perlakuan pemberian 30 g/tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anty. 1987 Pemanfaatan urin sapi sebagai zat perangsang tumbuh IAA terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman jagung.
Buletin INSTIPER, 13 (1): 23-27 Bogor. Hadi, Setiono. 2004. Urin Sapi Bangkitkan
Harapan Petani. Bogor :IPB Press. Hasieh. 2003. Pemanfaatan Urin Sapi Untuk
Meningkatkan Produksi Tanaman
Jagung. Menara Pertanian. Bogor. Hendro. 2003. Bercocok tanam pare. Penebar
Swadaya. Jakarta Lakitan, B. 1998. Pengantar Fisiologis
Tumbuhan. Raja Grapindo. Jakarta.
Lingga, P. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Marsono dan Sigit, P. 2002.Pupuk Akar Jenis dan Aplikasinya. Penebar Swadaya.
Jakarta. Prihmantoro, H. 1995. Memupuk Tanaman
Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rismunandar. 1990. Membudidayakan Tanaman Buah-Buahan. Sinar Baru.
Bandung. Rukmana, 2003. Budidaya Pare. Kanisius,
Yokyakarta
Suriatna, S. 1987. Pupuk dan Pemupukan Mediatama. Sarana Perkasa, Tengerang
Syarif, E.S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.
Bandung. Witriyono H, 1993. Peningkatan Produksi
Pare. Yogyakarta: UGM Press.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 31
UJI ADAPTASI GALUR – GALUR PADI LAHAN PASANG SURUT KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU
Emisari Ritonga 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Kegiatan penelitian Dilaksanakan pada lahan pasang surut yaitu Desa Tua Indrapura Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2014 sampai Juni 2014.
Ada 11 galur yang di uji yaitu G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20, G23, G45, G53.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 11 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan Bahwa adaptasi galur berpengaruh sangat Nyata terhadap pertumbuhan tanaman
yaitu pada tinggi tanaman G7 (119,12 cm), jumlah anakan G53 (16,67 batang), anakan produktif G53 (15,00 batang ), panjang malai G7 (34,67 cm), gabah bernas G1 (209,00 butir),produksi G4
(6,27 ton/ha) dan berat 1000 butir G23 (28,03 g). Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa galur yang dapat beradaptasi dan dapat dikembangkan diKabupaten Siak adalah G4 (6.27
t/ha), namun demikian tingkat produktivitas padi galur tersebut masih di bawah potensi genetiknya.
Kata Kunci: Keragaan, varietas, padi
ABSTRACT
This research conducted on tidal land in Tua Indrapura Village of Bunga Raya District, Siak Regency. It was conducted during February - June 2014. There were 11 rice elite lines tested,
namely G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20, G23, G45, G53. The experimental design used was
randomized block design (RBD) 11 treatments and three replications. The results indicates that the adaptation of rice elite lines had a significant effect on plant growth, namely the G7 plant height
(119.12 cm), the number of seedlings G53 (16.67 rod), productive tiller G53 (15.00 rod), panicle length G7 (34, 67 cm), grain pithy G1 (209.00 grains), G4 production (6.27 tonnes/ha) and 1000
grain weight G23 (28.03 g). Based on the results above, it concluded that the rice elite lines able
to adapt and develop in Siak Regency is G4 (6.27 t / ha). However, the rice elite lines’ productivity levels are still below their genetic potential.
Keywords : performance, variety, paddy
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 32
PENDAHULUAN
Indonesia mempunyai lahan pasang
surut diperkirakan seseluas 24.7 juta hektar
terdapat di daerah Sumatera, Kalimantan, dan
Irian Jaya, sedangkan 9,53 juta ha diantaranya
berpotensi di kembangkan untuk pertanian.
Namum demikian, rata-rata hasil panen dari
lahan pasang surut 3-4 t/ha GKP pemanfaatan
belum optimal. Di Provinsi Riau setidaknya
terdapat 24.982.03 ha lahan pasang surut
yang tersebar di Kabupaten Indaragiri Hilir,
Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir (BPS, 2011).
Untuk mendukung ketahanan pangan
pemerintah telah menetapkan target produksi
beras nasional sebesar 10 juta ton pada tahun
2014. Hal ini menjadi pemicu dalam inovasi
pertanian, sekaligus sebagai langkah nyata
dalam upaya pencapaian swasembada dan
swasembada berkelanjutan. Pemanfaatan
lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa
pasang surut untuk tujuan meningkatkan
produksi dan swasembada pangan serta
menjadikan lahan rawa sebagai lumbung
pangan nasional, terus diupayakan dengan
berbagai cara, baik melalui inovasi maupun
penggalian dan pengembangan kearifan lokal
Pengembangan varietas unggul
tanaman ditentukan oleh banyak factor dan
tujuan yang ingin dicapai dalam suatu produksi
pertanian diantaranya adalah factor lingkungan
makro tempat tumbuh varietas yang
bersangkutan dan varietas unggul tanaman
yang akan dikembangkan. Provinsi Riau
merupakan salah satu provinsi yang potensial
untuk pengembangan padi sawah karena
terdapat lahan yang cukup luas, baik lahan
sawah berpengairan maupun lahan sawah
pasang surut. Menurut Dinas Tanaman Pangan
Provinsi Riau (2011), terdapat evaluasi
program operasi pangan Riau 96.000 ha sawah
berpengairan tetapi yang telah dimanfaatkan
untuk usaha budidaya padi hanya seluas
43.000 ha sementara lahan pasang surut yang
potensial dijadikan sawah seluas 240.000 ha.
Provinsi Riau mempunyai lahan sawah potensial
cukup luas tetapi masih kekurangan beras
300.000 ton per tahun karena produksi padi
baru mencapai 350.000 ton per tahun,
sedangkan konsumsi mencapai 650.000 ton per
tahun.
Lahan pasang surut memiliki sifat yang
spesifik yaitu dipengaruhi air pasang baik
secara langsung maupun tidak langsung.jadi,
pertanian lahan pasang surut adalah sistem
pertanian yang sistem pengairannya
memanfaatkan luapan air sungai akibat pasang
surutnya air laut oleh daya tarik bulan secara
diurnal (Buurman dan Balsem, 1990). Tipologi
lahan pasang surut dikelompokkan ke dalam
empat kelompok (Widjaja, 1986 dan Manwan,
dkk, 1992), yaitu : 1. Lahan potensial, yaitu
wilayah lahan pasang surut yang tanahnya
mempunyai lapisan sulfidik, berkadar pirit
sekitar 2%, dan lapisan tersebut berada pada
kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan
tanah, tekstur tanahnya liat, kandungan N dan
P tersedia rendah, kandungan pasir kurang
dari 5 persen, kandungan debu 20 % dan
derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5. Secara
umum lahan ini lebih potensial untuk budidaya
padi, karena mempunyai tingkat kendala lahan
yang lebih kecil, dan daya dukung
agronomisnya juga lebih baik. Lahan ini secara
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 33
agronomis sangat potensial dan baik untuk
menerapkan pola tanam dua kali setahun, padi-
padi, namun kenyataan yang ada pola tanam
padi sekali setahun masih merupakan pola
tanam yang dominan. 2. Lahan salin, yaitu
wilayah yang terkena intrusi air asin. Wilayah
inii umumnya berada lebih dekat ke laut, dan
termasuk tipe luapan A atau peralihan A ke B,
pada musim kemarau masih dapat terluapi air
pasang. Akibatnya, pada musim kemarau, air
asin dapat masuk pada wilayah ini. Kandungan
natrium (Na) dalam larutan tanah 8% sampai
dengan 15% selama lebih dari 3 bulan dalam
setahun. Ciri-ciri lahan salin adalah pH < 8.5,
dan didominasi oleh garam-garam Na,Ca, dan
Mg dalam bentuk klorida maupun sulfat yang
menyebabkan rendahnya ketersediaan N, P,
Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam tanah, tekanan
osmotik tinggi, lemahnya pergerakan air dan
udara, serta rendahnya aktivitas mikroba tanah.
Salinitas menyebabkan perubahan morfologi,
fisiologi, biokomia dan anatomi pada tanaman
(Tester dan Davenport, 2003; Flowers, 2004).
Pada umumnya lahan ini diusahakan padi sekali
setahun dan jika terlambat tanam dapat
beresiko terhadap air asin, sedangkan
pertanaman musim hujan masih sangat sedikit
dan sering beresiko terhadap serangan air
berlumpur yang dapat menempel pada daun
dan berpotensi mengganggu produksi padi. 3.
Lahan sulfat asam, yaitu wilayah lahan pasang
surut yang tanahnya mempunyai lapisan
sulfidik yang berkadar lebih dari 2%, lapisan
tersebut berada pada kedalaman kurang dari
50 cm dari permukaan tanah dan berdasarkan
tingkat oksidasinya lahan sulfat masam ini
dibagi lagi lahan sulfat masam potensial yaitu
lahan sulfat masam yang belum mengalami
oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu
lahan sulfat masam yang telah mengalami
oksidasi. Untuk budidaya padi, tipologi lahan
sulfat masam mempunyai kendala yang lebih
besar terutama kemasaman tanah yang tinggi,
kadar pirit yang tinggi lebih dari 2% dapat
menimbulkan keracunan bagi tanaman,
disamping tingkat kesuburannya rendah. Padi
umumnya ditanam sekali setahun di musim
kemarau (MK). 4. Lahan gambut, yaitu lahan
yang terbentuk dari bahan organik yang dapat
berupa bahan jenuh air dengan kandungan
karbon organik sebanyak 12% sampai dengan
18% atau bahan tidak pernah jenuh air dengan
kandungan karbon organik sebanyak 20%.
Permasalahan usahatani di lahan
pasang surut masih cukup kompleks. Selain
kondisi lahan yang sub-optimal, sarana dan
prasarana yang masih terbatas, aspek sosial
kultural petani juga sering menjadi penghambat
bagi inovasi. Sebelum suatu penemuan varietas
unggul baru dilepaskan ke petani perlu adanya
suatu pengujian galur harapan tersebut yang
dapat dilakukan baik melalui uji daya hasil,
maupun uji multilokasi. Pada uji daya hasil,
varietas unggul hasil pemuliaan diuji dengan
beberapa varietas pembanding. Hondrade dan
Hondrade (2002) menyatakan bahwa beberapa
kriteria dalam pengujian galur harapan hasil
pemuliaan, terutama padi yang diidentifikasi
diantaranya adaptasi untuk kondisi lokal (uji
multilokasi), produktifitas (uji daya hasil), dan
uji resistensi. Cara yang umum dilakukan untuk
mengenali galur ideal adalah dengan menguji
seperangkat galur harapan pada beberapa
lingkungan Fagi et al. (2001) .
Salah satu hasil pemuliaan yang dicirikan
dengan malai yang lebat dan panjang, produksii
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 34
mencapai 10-30% lebih tinggi dari varietas
unggul (IR 64, Way Apu Buru, Ciherang, dan
Memberamo), jumlah anakan 8-10, perakaran
dalam, batang kuat, daun tegak, tebal dan
berwarna hijau, serta berumur 100-120 hari,
(Aswidinoor, et al, 2008).
Pertumbuhan dan hasil tanaman di
pengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Salah
satu faktor lingkungan yang berperan terhadap
pertumbuhan dan hasil tersebut adalah iklim,
salah satu faktor iklim yang berpengaruh
terhadap tanaman adalah ketinggian tempat
dari permukaan laut. Menurut Chanber, (1976),
ketinggian tempat mengakibatkan perbedaan
temperatur,radiasi matahari,angin dan kabut.
Suatu kultivar yang akan dilepaskan
selalu memiliki daya hasil tinggi, diharapkan
juga memiliki stabilitas tinggi terhadap rentang
lingkungan tertentu (subandi, 1981) suatu
varietas dikatakan stabil jika koefisien regresi
(b1) sama dengan 1 dan simpangan regresi
(Sd1) mendekati nol (Cberhanr dan Russel,
1966). Koefisien regresi 1 atau mendekati 1
memiliki makna bahwa penampilan karakter
suatu genetik akan meningkat 1 unit dengan
bertambahnya 1 indek lingkungan .
Subandi,1981. Pusat penelitian tanaman Bogor.
Berbagai inovasi teknologi telah dihasilkan
Badan Litbang Pertanian di lahan pasang surut,
diantaranya peningkatan intensitas
pertanaman (IP) dari satu kali menjadi dua kali
merupakan salah satu strategi utama dalam
upaya meningkatkan produksi padi lahan sawah
pasang surut.
Percobaan adaptasi teknologi dirancang
untuk menduga wilayah adaptasi dari suatu
teknologi produksi baru, dimana adaptasi
teknologi pada suatu lokasi dinyatakan dalam
bentuk keunggulannya antar teknologi yang
diuji serempak pada lokasi tersebut. Tujuan
utama dari percobaan seperti itu adalah
memberikan satu saran atau lebih tentang
bentuk praktek baru yang merupakan
perbaikan atau dapat menggantikan praktek
yang dilakukan petani sekarang ini (Gomez dan
Gomez, 1995). Selanjutnya Gomez dan Gomez
(1995) menyatakan bahwa dasar utama dalam
memilih lokasi pengujian adalah menunjukkan
area geografis. Lokasi yang khusus untuk
percobaan adaptasi teknologi dipilih yang
menunjukkan area geografis atau wilayah
lingkungan yang merupakan wilayah adaptasi
teknologi yang diteliti.Percobaan teknologi
adaptasi pada beberapa lokasi umumnya
mempunyai gugus perlakuan yang sama dan
menggunakan rancangan percobaan yang
sama.
Permasalahan rendahnya produktivitas
usahatani padi lahan pasang surut diduga
berkaitan erat dengan persoalan efisiensi
penggunaan input. Alokasi penggunaan input
juga diduga masih belum optimal. Salah satu
indikator dari efisiensi adalah jika sejumlah
output tertentu dapat dihasilkan dengan
menggunakan sejumlah kombinasi input yang
lebih sedikit dan dengan kombinasi input-input
tertentu dapat meminimumkan biaya produksi
tanpa mengurangi output yang dihasilkan.
Dengan biaya produksi yang minimum akan
diperoleh harga output yang lebih kompetitif
(Kurniawan, 2008). Tujuan Penelitian ini adalah
memperoleh galur - galur padi tipe baru
spesifik lahan pasang surut yang bisa
dikembangkan di Kabupaten Siak.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 35
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan Desa Tua Indra
Pura Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak
dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai Juni
2014. Bahan yang digunakan adalah: 11 jenis galur
padi pasang surut (G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17,
G20,G23, G45, G53), jarak tanam 20 x 20 cm,
jumlah tanaman per lubang 1 batang, /ha, TSP 150
kg/ha, KCl 50 kg/ha, diberikan bersamaan dengan
Furadan 16 kg/ha satu hari sebelum tanam dengan
cara ditabur, pupuk susulan Urea 50 kg/ha dan KCl
50 kg/ha diberikan pada umur 35 hst, penyiangan
menggunakan herbisida, pengendalian terhadap
hama dan penyakit dengan metode PHT, dolomit,
pupuk kandang (1ton/ha), herbisida, pestisida. Alat
yang digunakan adalah cangkul, parang babat, sabit,
gunting, bagan warna daun, plastik pagar, tali,
kantong plastik, perangkap tikus, karung, timbangan
digital, timbangan 10 kg, meteran, moisture tester,
kamera, dan alat tulis. Penelitian dilapangan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
perlakuan 3 ulangan. Setiap petak perlakukan
berukuran 5 m x 5 m, jarak antar petak 0.5 m.
Panen dilakukan saat 95 % bulir pada malai telah
berwarna kuning. Hasil dengan membuat ubinan 2,5
meter x 2,5 meter dihitung dengan menimbang
seluruh hasil panen dari setiap plot lalu
dikonversikan ke t/ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis ragam terhadap paramater
vegetatif tinggi tanaman (cm), jumlah anakan
(batang), jumlah anakan produktif (batang)
berpengaruh nyata (tabel 1).
Tabel 1: Tinggi Tanaman (cm), Jumlah
Anakan (batang), Jumlah Anakan Produktif (batang) Galur-Galur Padi
lahan Pasang Surut
Galur Parameter
Tinggi Tanaman
Jumlah Anakan
Anakan Produktif
G1 112.01 8.33 b 5.00
G3 110.10 7.33 b 6.67
G4 112.45 8.67 b 8.00
G6 115.31 8.00 b 7.33
G7 119.12 8.00 b 7.00
G8 109.76 7.00 b 6.67
G17 112.98 8.67 b 7.67
G20 115.33 7.67 b 9.00
G23 111.69 8.67 b 8.00
G45 106.01 6.33 b 6.67
G53 103.49 16.67 a 15.00
Rerata 102.06 8.67 7.82 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5 %.
Jumlah Anakan (cm)
Genotipe berbeda menunjukkan
penampilan yang berbeda setelah berinteraksi
dengan lingkungan. Tarjoko dkk (1996)
menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman sampai
pemasakan buah. Pada tanaman padi populasi
tanaman akan mempengaruhi tinggi tanaman
(Bostoni dan Sutarto, 1978). G23,G4,G3 di Siak,
memiliki respon yang baik terhadap penyerapan
unsur hara pada lahan pasang surut, sehingga
hara yang tersedia baik di dalam tanah maupun
dari pupuk yang diberikan dapat dipergunakan
untuk pertumbuhan tinggii tanaman sehingga
Galur G1 tanaman utama menunjukkan tinggi
tanaman yang lebih tinggi. Tinggii tanaman
merupakan karakter agronomis yang penting
dalam seleksi pada lahan pasang surut dengan
tipe genangan tinggi. Tanaman yang rendah
kurang sesuai ditanam di lahan pasang surut,
karena genangan air yang tinggi dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman padi
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 36
terhambat dan matii (Sutami, 2004). Meskipun
demikian faktor tinggi dan rendah tanaman
bukanlah menjadi ukuran dalam menentukan
daya hasil suatu Galur padi.
Meningkatnya jumlah anakan, maka
jumlah daun akan meningkat sehingga potensii
fotosintesis juga meningkat, dan akan diperoleh
asimilat lebih banyak yang merupakan salah
satu penyusun organ tanaman. Sesuai dengan
pendapat Jhonson (1978), bahwa dengan
bertambahnya luas daun menyebabkan
bertambahnya aktifitas fotosintesis, sehingga
pertumbuhan tanaman akan lebih cepat.
Analisis ragam terhadap jumlah anakan
tanaman menunjukkan bahwa interaksi lokasi
dan galur berpengaruh nyata terhadap jumlah
anakan. Disisi lain , jumlah anakan maximum
dapat mencerminkan keviguran. Jumlah
anakan yang cepat bertambah pada fase
vegetative menunjukkkan kemampuan galur
untuk mengakumulasi biomassa lebih cepat per
satuan waktu. Menurut Sinaga et al (2014)
kevigoran tanaman yang dapat dilihat dari
pertambahan bobot rumpun yang pesat pada
stadia vegetative.
Galur mengahasilkan tanaman
terbanyak pada galur Siak G53 (16.00)
terendah G8 (7.00). Vergara (1995)
menyatakan bahwa kesanggupan dalam
membentuk anakan yang baik menjamin
jumlah anakan per satuan luas meskipun
beberapa tanaman mati pada stadia awal
pertumbuhan. Anakan tegak menghasilkan
penyebaran cahaya yang lebih baik. Umumnya
tanaman padi memproduksi anakan lebih
sedikit di musim kemarau dari pada di musim
hujan. Fagi et al. mengemukakan bahwa padi
tipe baru memiliki ciri jumlah anakan 8 – 10.
Jumlah anakan (produktif) sangat berperan
dalam menentukan potensi hasil galur-galur.
Jumlah Anakan Produktif (batang)
Analisis terhadap anakan produktif
menunjukkan bahwa interaksi lokasi dan galur
berpengaruh nyata terhadap anakan produktif
lahan pasang surut dilakukan uji lanjut BNJ 5
%. Anakan produktif per rumpun atau per
satuan luas merupakan penentu terhadap
jumlah malai dengan demikian anakan
produktif merupakan salah satu komponen hasil
yang berpengaruh langsung terhadap tinggi
rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001).
Dari data ini terlihat bahwa kemampuan
membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh
interaksi genetik dan lingkungan tumbuhnya.
Pembentukan anakan produktif sangat
menentukan jumlah malai dari tanaman padi.
Makin banyak anakan produktif makin banyak
jumlah malai. Terdapat korelasi antara jumlah
malai dengan hasil, karena makin banyak
jumlah malai makin tinggi hasil tanaman padi.
Peningkatan suhu di siang hari pada musim
kemarau dapat meningkatkan jumlah anakan,
suhu udara yang tinggii diperlukan pada fase
vegetatif untuk merangsang pembentukan
anakan (Fagi dan Las, 1988).
Suatu galur dapat dikatakan adaptif
apabila dapat tumbuh baik pada wilayah
penyebarannya, dengan produksi yang tinggi
dan stabil, mempunyai nilai ekonomis tinggi,
dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan
(Somaatmadja, 1995 dalam Susilawati, dkk,
2005). Penampilan dari berbagai galur biasanya
bervariasi pada lingkungan yang berbeda. Hal
ini menunjukkan adanya interaksi antara
genotipe dengan lingkungan. Adaptabilitas
merupakan kemampuan tanaman untuk tetap
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 37
menghasilkan pada berbagai lingkungan,
karena hal itu hasil adalah suatu kriteria
penting untuk mengevaluasi daya adaptasi
varietas.
Anakan produktif berasal dari anakan
total yang telah mengalami perubahan, seperti
terjadi pembengkakan pada ruas batang.
Menurut Yoshida (1981) batang tanaman padi
terdiri dari ruas yang dibatasi oleh buku batang.
Pada permulaan stadia tumbuh, batang padi
memiliki pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas
yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut
kemudian memanjang dan berongga setelah
tanaman memasuki stadia reproduktif. Oleh
karena itu, stadia produktif disebut juga
sebagai perpanjangan ruas tanaman padi. Hal
ini diduga merupakan salah satu daya adaptasi
galur-galur padi terhadap kondisi kekeringan,
karena tanaman yang hidup pada daerah
kekeringan akan berusaha untuk
mengefisiensikan penggunaan air yaitu salah
satu dengan dengan penurunan jumlah anakan
sehingga akan mengurangi transpirasi dan
mengoptimalkan distribusi asimilat ke dalam
jumlah anakan yang terbatas.
Panjang Malai (cm)
Perbedaan secara nyata menunjukkan
lebih sedikit dari galur pembanding, Jumlah
panjang malai per rumpun dari galur yang diuji
termasuk tipe sedang. Hal ini diduga bahwa
pada saat fase pertumbuhan generatif
tanaman kekurangan air. Panjang malai
merupakan salah satu komponen hasil yang
dapat menentukan produksi, dengan panjang
malai diharapkan jumlah gabah per malai
semakin banyak. Jumlah gabah menentukan
komponen hasil per malai ini lebih banyak
dipengaruhi oleh aktivitas tanaman selama fase
reproduktif yaitu dari primordia sampai
penyerbukan. Jumlah gabah per malai
merupakan komponen yang sangat penting .
Fotosintesa yang terhambat membuat
karbohidrat yang dihasilkan rendah. Menurut
Harjadii (1988) bahwa karbohidrat yang
meningkat maka dapat meningkatkan proses
pertumbuhan sel dalam membentuk sel-sel
baru, pembesaran sel-sel dan pembentukan
jaringan tanaman. Pratiwi dkk (2009 dalam
Ikhwani 2010) bahwa terdapat hubungan
negative antara panjang malai dan jumlah
malai, semakin banyak jumlah malai, semakin
pendek malainya. Panjang malai yang panjang
akan mempengaruhi jumlah gabah yang
diperoleh, hal ini diperjelas oleh Tiur (2009),
semakin panjang malai berpengaruh terhadap
jumlah gabah per malai. Jumlah gabah yang
terbentuk pada masing-masing malai menurut
Darwis (1979).
Tabel 2. Paramater Generatif : Panjang Malai
(cm), Jumlah Gabah Bernas (butir), Hasil (t/ha), Berat 1000 Butir (gram)
Tanaman Ratun Galur-Galur Padi Lahan Pasang Surut Kabupaten
Pelalawan Provinsi Riau.
Galur Parameter
Panjang Malai (cm)
Jumlah Gabah Bernas
(gram)
Hasil (t/ha)
Berat 1000 Butir
(gram)
G1 28.00 c 209.00 4.48 b 25.20 b
G3 31.67 b 200.07 4.13 b 21.63 b
G4 33.67 b 220.67 6.27 a 26.67 b
G6 30.33 b 166.00 3.64 b 24.63 b
G7 34.67 a 175.00 4.59 b 26.63 b
G8 27.00 c 147.33 3.70 b 26.10 b
G17 29.67 c 142.33 4.34 b 22.03 b
G20 26.33 c 157.33 5.09 b 20.80 b
G23 31.33 b 155.33 3.90 b 28.03 a
G45 22.33 c 164.00 3.97 b 24.03 b
G53 30.33 b 192.67 4.73 b 26.33 b
Rerata 29.58 175.43 4.47 24.69
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil sama berarti berbeda tidak nyata menurut UJI BNJ pada taraf 5
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 38
Dari penelitian Rosmini dan Saleh
(1998) dan Rosmini (1999) yang telah
dilaksanakan pada lahan pasang surut sulfat
masam menyatakan bahwa galur-galur padi
memperlihatkan adaptabilitas dan akseptabilitas
yang baik dan tahan terhadap keracunan besi
serta memberikan potensi hasil yang lebih
tinggi. Dengan potensi hasil dan penampilan
yang baik ditunjukkan oleh galur-galur terpilih
tersebut maka petani akan memperoleh
keuntungan dan sumber pendapatan yang
layak bagi usahataninya. Kemampuan
beradaptasi baik yang dimiliki oleh galur-galur
terpilih maka penggunaan paket teknologi
(penggunaan pupuk, pestisida serta
pengolahan tanah) dapat ditekan sehingga
dalam proses produksi kerusakan terhadap
lingkungan tidak akan terjadi, dan petani
mampu memproduksi pangan yang terjangkau
oleh konsumen.
Jumlah Gabah Bernas (butir)
Analisis terhadap jumlah gabah bernas
tanaman menunjukkan bahwa interaksi lokasii
dan galur berpengaruh nyata terhadap jumlah
gabah bernas. Data jumlah gabah bernas
tanaman galur-galur padi lahan pasang surut
dilakukan uji lanjut BNJ 5 %. Tinggi rendahnya
persentase gabah bernas per malai disebabkan
oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap
galur terhadap kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan terutama pada fase reproduktif
dan pemasakan. Semakin tinggi persentase
gabah bernas maka semakin rendah persentase
gabah hampa. Dikemukakan oleh Suwarno et
all (1988) bahwa potensi hasil tinggi
merupakan salah satu sifat yang diperlukan
bagi varietas unggul.
Jumlah gabah per rumpun sangat
ditentukan oleh ketersediaan air pada saat
stadia pembentukan bunga. Air yang tidak
tersedia mengakibatkan semakin besarnya
kegagalan proses penyerbukan dikarenakan
semakin banyaknya polen yang mandul. Akan
tetapi dalam penelitian ini cekaman kekeringan
tidak terjadi pada fase pembungaan, cekaman
kekeringan terjadi pada fase vegetatif. Hal ini
diduga tanaman pada kondisi kekurangan air
sebelum memasuki fase pembungaan, terlebih
dahulu mengalami penghambatan proses
pertumbuhan vegetatif. Organ vegetatif yang
kurang sempurna mengakibatkan sedikitnya
fotosintat yang terbentuk, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap kurang normalnya
polen (mandul) sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan jumlah gabah per rumpun yang
terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan
tanaman yang mendapatkan kecukupan air.
(Santoso, 2008)
Pada persentase gabah isi per malai
pembentukan dan pengisian buah sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara P.
Menurut Rinsema (1983) dalam Sarkawi (1995)
unsur P mempunyaii pengaruh positif dalam
meningkatkan produksi gabah, bila jumlah
kelarutan P kecil, akibatnya tanaman tidak
mampu berproduksi dengan baik. Jumlah
gabah yang terbentuk pada setiap malaii
ditentukan pada fase reproduktif, Sarief (1986).
Rendahnya ketersediaan hara pada
fase reproduktif menyebabkan terhambatnya
beberapa proses metabolisme tanaman yang
berdampak pada penurunan hasil tanaman.
Kekurangan phosphor dapat mengakibatkan
perkembangan akar terhambat, terhambatnya
pembentukkan bunga, dan penurunan jumlah
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 39
biji (hakim, 1986). Kekurangan unsur P dapat
berakibat hasil tanaman pada bunga dan buah
menurun, karena unsur P berperan sangat
penting dalam proses pembelahan sel,
pemasakan buah atau pembentuk biji dan
sebagai penyusun lemak dan protein.
Kurangnya bernas pada pengisian bulir
padi diakibatkan pada unsur hara yang tersedia
telah terserap pada masa fase vegetatif
tanaman sehingga pada fase generatif pengisin
bulir padi mengakibatkan kekurangan salah
satu unsur hara. Dimana unsur hara yang
sangat berperan dalam pengisian bulir yaitu
unsur P dan K. Menurut Agustina (1990)
menjelaskan bahwa unsur P yang cukup akan
meningkatkan efisiensi fungsi dari penggunaan
N. Nitrogen merupakan bagian integral dari
klorofil yang sangat berperan dalam peristiwa
fotosintesis dan sebagian besar hasil
fotosintesis tersebut tersimpan dalam biji
(bulir). Selain itu nitrogen juga diperlukan
untuk membentuk protein gabah. Protein
tersebut tidak mungkin disusun tanpa adanya
fotosintesis (Dwi Saputro, 1988).
Hasil (ton/ha)
Analisis terhadap Hasil (ton/ha)
tanaman menunjukkan bahwa galur
berpengaruh nyata terhadap hasil (ton/ha)
dilakukan uji lanjut BNJ 5 %. Hasil panen
tanaman tertinggi pada G4 sedangkan terendah
pada G6 di dukung oleh malai yang panjang
dengan jumlah bulir bernas yang tinggi.
Adaptasi yang nyata ini bermakna bahwa
setidaknya terdapat galur yang gagall
memertahankan peringkatnya pada lokasi
tertentu. Namun demikian, tingkat produktivitas
padi Galur tersebut masih di bawah potensi
genetiknya. Hal ini membuktikan bahwa
perbaikan berbagai aspek teknik budidaya di
wilayah pengkajian masih perlu untuk terus
disempurnakan. Berkaitan dengan
kecenderungan ini, Suprihatno et al.(2007)
menyatakan bahwa hasil ubinan untuk padi
hibrida maupun IR 64 masih di bawah hasil
potensi. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan
sistem budidaya tanaman padi (misalnya,
kesehatan tanah dan teknik budidaya) perlu
dilakukan.
Uji adaptasi merupakan salah satu
persyaratan apabila suatu galur/mutan/hibrida
baru hasil pemuliaan dan atau introduksi akan
dilepas sebagai suatu varietas unggul. Tujuan
uji adaptasi ini adalah untuk mengetahui
keunggulan dan interaksi galur/mutan/hibrida
terhadap lingkungan. (Syukur, 2012). Salah
satu faktor yang menentukan hasil gabah
persatuan luas dari suatu varietas padi adalah
jumlah anakan produktif. Hal ini sejalan seperti
yang dinyatakan oleh Zairin dkk (2009) bahwa
umur tanaman, jumlah anakan produktif,
jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan
bobot 1000 butir merupakan karakter
agronomis yang berpengaruh langsung
terhadap hasil gabah.
Salah satu yang menjadi masalah
dalam pertanaman padi di lahan pasang surut
sulfat masam adalah masalah keracunan besi,
sehingga salah satu tujuan dalam melakukan
evaluasi galur-galur padi adalah untuk
mendapatkan varietas yang toleran terhadap
keracunan Fe Menurut Harahap et al., (1989),
keracunan Fe merupakan kendala yang utama
di lahan pasang surut. Menurut Ismunadji et.all,
(1989), keracunan Fe dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat dan kematian pada
tanaman padi. Keracunan besi pada tanaman
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 40
padi menimbulkan gejala fisiologis yang
kompleks yang disebabkan oleh kondisi
tanaman dan medium tumbuh yang
mengandung Fe yang berlebihan (Makarim dan
Suhartini, 1993). Menurut Suhaimi et al.(2000),
program pemuliaan dalam pembentukan
varietas unggul padi pasang surut tidak hanya
diprioritaskan pada potensi hasil yang tinggi,
tapi juga umur yang pendek.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mendapatkan tanaman yang memiliki
keunggulan pada kondisi lingkungan yang luas
adalah dengan melakukan uji adaptasi. Uji
multilokasi umumnya digunakan untuk
mengevaluasi tanaman pada suatu hamparan
yang luas yang merupakan target untuk
lingkungan pertumbuhan tanaman (Berger et
al., 2007). Uji multilokasi genotype baru sering
menampilkan perbedaan hasil yang berubah-
ubah dari satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Suatu genotype memberikan hasil tertinggi di
lokasi tertentu namun belum tentu di lokasi
lainnya. Terdapatnya perbedaan antara rata-
rata hasil dengan potensi hasil disebabkan
karena adanya kerentanan terhadap berbagai
cekaman biotik dan abiotik (Shah et al., 2005).
Stabilitas hasil diukur berdasarkan variasi hasil
dari berbagai kondisi lingkungan (Cleveland,
2001). Menurut Susilawati et al. (2010) bahwa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi cekaman salinitas pada lahan-lahan
pertanaman padi adalah dengan
mengembangkan varietas-varietas padi yang
tahan terhadap cekaman lingkungan salinitas.
Sangakkara (2001) mengemukakan tiga hal
yang dapat dilakukan yaitu: (1) perbaikan
pengelolaan tanaman, (2) seleksi dan perakitan
varietas yang mampu beradaptasi pada kondisi
cekaman, dan (3) bioteknologi untuk rekayasa
verietas tahan salinitas.
Berat 1000 butir (g)
Kemampuan galur G 23 menghasilkan
berat 1000 butir (g) yang tinggi menunjukkan
bahwa galur - galur tersebut memiliki
kemampuan beradaptasi yang lebih baik pada
kondisi lingkungan dan lahan pasang surut.
Menurut Vergara (1995), penyebab kehampaan
bulir diantaranya rebah, kurang intensitas
cahaya, serangan penyakit, pemberian pupuk
terlalu banyak, suhu rendah sedangkan
kelembaban tinggi pada masa pembungaan,
dan suhu rendah pada saat pembentukan
malai. Intensitas cahaya matahari yang rendah
dapat menyebabkan jumlah gabah per malai
yang sedikit. Lokasi uji adaptasi merupakan
bentuk lingkungan yang berbeda dimana
keragaman hasil. Dengan adanya lingkungan
yang berbeda dapat ditentukan galur padi
pasang surut tipe baru yang mampu
beradaptasi.
Bobot 1000 butir gabah secara tidak
langsung menggambarkan besar atau kecilnya
gabah suatu galur atau varietas padi.
Galur/varietas yang gabahnya besar, bobot
1000 butirnya akan tinggi, demikian pula
sebaliknya. Ukuran gabah dipengaruhi oleh sifat
genetik serta daya adaptasinya dengan
lingkungan tumbuhnya. Di dataran tinggi pada
musim kemarau dengan suhu yang rendah
sangat berpengaruh terhadap bobot 1000 butir
gabah, (Fagi dan Las, 1988). Berbedanya bobot
1000 butir gabah merupakan sifat tanaman
dimana kemampuan suatu varietas/galur
menghasilkan gabah yang banyak sering
berlawanan dengan kemampuan untuk
menghasilkan gabah yang besar dan berat,
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 41
namun produksi yang tinggi juga dapat dicapai
dengan jumlah gabah yang banyak walaupun
ukurannya tidak begitu besar (Simanulang,
2001). Hasil padi ditentukan oleh komponen
hasil seperti jumlah gabah isi per malai dan
bobot 1000 butir. Korelasi hasil nyata dengan
bobot 1000 butir dan gabah isi per malai
merupakan salah satu acuan kriteria seleki
untuk mendapatkan hasil tinggi.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa galur pasang surut pada pertumbuhan
vegetatif tertinggi pada tinggi Tanaman G7
(119,12 cm), jumlah anakan G53 (16,67 batang
), anakan produktif G 53 (15,00 batang )
sedang pengamatanan parameter panjang
malaii G7 (34,67 cm), Gabah bernas G1 (209,00
butir),hasil G4 (6,27 ton/ha),berat 1000 butir
G23 (28,03 g) yang dapar beradaptasi baik dan
dapat dikembangkani Kabupaten Siak adalah
G4 (6.27 t/ha).
DAFTAR PUSTAKA
Aswidinnoor, H., M. Sabran, Masganti dan Susilawati. 2008. Perakitan Varietas
Unggul Padi Tipe Baru dan Padi Tipe
Baru Ratun Apesifik Lahan Pasang Surut Kalimantan untuk Mendukung Teknologi
Budidaya Dua Kali Panen Setahun. LPPM IPB. Bogor. 30 hal.
Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 18/03/Th.
XIV.Chambers,1976, Klimatologi .Dasar Bagian
Klimatologi Pertanian. Departemen.Ilmu pengetahuan Alam.IPB
Buurman,P. dan Balsem,T.1990.land Unit Classfication for the reconnais sance soil
survey of sumatera. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Chanber. 1976. Pembentukan Varietas Padi
Sawah dataran Tinggi Toleran Cekaman Suhu Rendah
Fagi,A.M. dan Las 1988. Lingkungan Tumbuhan
Padi In: M.Ismunadji,dkk (eds). Padi Buku I. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor Fagi, A. M., B. Abdullah, dan S. Kertaadmaja.
2001. Peran Padi sebagai Sumber Daya
Genetik Padi Modern. Dalam. Budidaya Padi, Prosiding Diskusi Panel dan
Pameran Budaya Padi. Flower, Tj. 2004. Improving Crop Salt
Tolerance. Journal Of Experimental
botany. 55 (396) : 307 – 319. Gomez, K. A. and A. A. Gomez. 1995. Uji
Multilokasi. dalam. E. Sjamsuddin, J. Hakim,N.,M.y. Nyakpa, A.M. Lubis,S.g
Nugroho,M.A.Diha, G.B Hong, dan H.Barley, 1986. Dasar-Dasar Ilmu tanah
Universitas Lampung, Lampung
Hardjadi, M.S, 1991, Pengantar Agronomi , PT. Gramedia, Jakarta.
Hondrade, R., and E. Hondrade. 2002. Upland Rice Varietal Acces, Test and
Multiplication (ATM), p. 54. In : J.R.
Witcombe, L.B. Parr, and G.N. Atlin (Eds.). Breeding Rainfed Rice for
Drought-prone Environments: Integrating Conventional and Participatory Plant
Breeding in South and Southeast Asia. IRRI. Philippines.
Ikhwani, E.Suhartatik,A.k. Makarim 2010.
Pengaruh Waktu, Lama dan Kekeruhan Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Padi Sawah IR64.sub I Jurnal Pertanian Tanaman Pangan Vol : 29
Johnson, R.R. 1978. Growth and yield of maize
as affected by early - season devoliations agronomy. Jurnal No. 70 : 1 – 4 p.
Kurniawan, A. Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani
Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten
Tanah Laut Kalimantan Selatan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Makarim,A.K.,D.Pasaribu,Z.Zaeni and
I.Las.2003. Analisis dan Sintesis Hasil Pengelolaaan Tanaman dan Sumberdaya
Terpadu (PTT) dalam Program
P3T.IAARD,Dept.Of Agriculture Manwan, I., Ismail,I.g., Alihamsyah,T., dan
Partohardjono. 1992. Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut. Dalam Prosiding
Pertemuan Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian lahan Rawa Pasang
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 31-42
| 42
Surut dan Lebak, Cisarua 7-8 Maret
1992.
Parlin H. Sinaga.2014. Screening of Rice
Genotypes and Evaluation of their Ratooning Ability in Tidal Swamp Area.
Graduate School of Plant Breeding and
Biotechnology, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural
University. Pelalawan Dalam Angka, 2011. Laporan
Tahunan .Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan
Rosmini, H., M. Saleh. 1998. Daya Hasil Galur Padi di Lahan Pasang Surut. Laporan
Hasil Penelitian 1998/1999B. alittra Banjarbaru.8 hal.
Rosmini, H. 1999. Penampilan Daya Hasil Galur
Padi di Laban Pasang Sumt. Laporan Hasil Penelitian 1999/2000. Balittra
Banjarbaro. 8 hal. Simanulang, Z, A. 2001. Kriteria Seleksi Untuk
Sifat Agronomis dan Mutu. Pelatihan dan
koordinasi Program Pemuliaan Partifatif (Shuttke Breeding) dan Uji Multi Lokasi.
Sukamandi 9-14 April 2001. Balai Penelitian Padi Sukamandi.
Somaatmadja, S., 1995. Peningkatan Produksi Kedelai melalui Perakitan Varietas. Dalam
Susilawati., Uji Multilokasi GalurHarapan
dan Varietas Padi Terpilih di Lahan Pasang Surut.
Subandi. 1981. Perbaikan varietas. Dalam Subandi M. Syam dan A. Wijono (Eds)
pp: 81-100. Puslitbangtan Bogor. 432
hal. Susilawati., B.S. Purwoko. 2011. Pengujian
Varietas dan Dosis Pupuk Setelah Panen Untuk Meningkatkan Potensi Ratun-Padi
Di Sawah Pasang Surut J. Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian . Vol : 12(1).
Surakarta 28 Agustus 2001. Yayasan Padi Indonesia.
Sutami, 2004. Penampilan Fenopik karakter Hasil galur Harapan padi rawa di Lahan
Pasang Surut.
Tester,M,and R,davenport. 2003 Na Tolerance and Na Transport In Higher Plants.
Annuals Botany. 91:503,527 Vegara, 1995 Uji Adaftasi galur padi sawah Tipe
Baru ( Oryza sativa L) di Kabupaten
Madiun, Jawa Timur dan Kabupaten Maros Sulawesi Selatan
Widjaya Adhi I.P.G.1986. Pengelolaan Lahan Pasang Surut dan Lebak, jurnal Litbang
Pertanian V (1) 1986. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop
Science. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 43-49
| 43
ANTISIPASI INVASI OPTK A2 Clauvibacter michiganensis subsp. Michiganensis PADA TANAMAN CABAI DI PROVINSI RIAU
Suhendri Saputra 1), Rika Nurbayani Ginting (2), Sri Swastika 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
2) POPT Ahli pada Badan Karantina Pertanian Kls. 1 Wilayah Pekanbaru
ABSTRAK
Cabai merah merupakan komoditas strategis pertanian yang mendapat perhatian serius dari
pemerintah dan pelaku usaha akibat kontribusinya terhadap perekonomian nasional.Dengan segala permasalahannya, pemerintah telah bekerja keras menyeimbangkan harga cabai melalui program-
program unggulan dan berhenti mengimpor karena produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri tidak hanya menciptakan ketergantungan, namun ada dampak ikutan yang sangat
membahayakan, yaitu masuknya hama dan penyakit atau OPT dari luar yang sebelumnya tidak
ada di Indonesia yang dapat menyebabkan gagal panen. Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) adalah organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan Pemerintah untuk
dicegah masuknya kedalam dan tersebar di dalam wilayah negara Republik Indonesia.Clavibacter michiganensis adalah patogen penyebab penyakit kanker atau busuk bakteri umumnya pada
tanaman Solanaceae.C. Michiganensis Subsp. Sepedonicus (Cms) juga telah terdeteksi berada di
Indonesia pertama kali pada tahun 2009 di Jawa Barat.
Kata Kunci : Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK), C. michiganensis, Patogen.
ABSTRACT
The red chili is a strategic agricultural commodity that gets serious attention from Indonesian government and business actors due to its contribution to the national economy. With all the
problems, the government has worked hard to balance the price of peppers through excellent
programs and stop importing because imported products that flood the domestic market not only create dependency, but there are very dangerous follow-up effects, namely the entry of pests and
diseases or OMO from outside the Previously none in Indonesia could cause crop failure. Quarantine Plant Quarantine Organism (OPTK) is a plant-disturbing organism established by the
Government to be prevented from entering into and spreading within the territory of the Republic of Indonesia. Clavibacter michiganensis is a common pathogen of cancer or bacterial decay in
Solanaceae.C plants. Michiganensis Subsp. Sepedonicus (Cms) has also been detected in Indonesia
for the first time in 2009 in West Java.
Keywords: Quarantine Plant Quarantine Organism (OPTK), C. michiganensis, Pathogen
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 44
PENDAHULUAN
Cabai merah merupakan komoditas
strategis pertanian yang mendapat perhatian
serius dari pemerintah dan pelaku usaha akibat
kontribusinya terhadap perekonomian nasional.
Terobosan inovasi teknologi baru difokuskan
pada penggunaan benih unggul lokal dan
hibrida tersertifikasi, teknologi pemupukan
secara lengkap dan berimbang, penggunaan
pupuk organik terstandarisasi dan penggunaan
kapur sebagai unsur pembenah tanah,
teknologi pengendalian hama dan penyakit
secara terpadu, serta penanganan pasca panen
yang prima. Perencanaan tanam harus
didasarkan pada dinamika permintaan pasar
menurut tujuan dan segmen pasar, serta
preferensi konsumen (Saptana dkk, 2013).
Dengan segala permasalahan
komoditas cabai di negeri ini, pemerintah telah
bekerja keras menyeimbangkan harga cabai
melalui program-program unggulan dan
berhenti mengimpor komoditas cabai karena
produk impor yang membanjiri pasar dalam
negeri tidak hanya menciptakan
ketergantungan, namun ada dampak ikutan
yang sangat membahayakan, yaitu masuknya
hama dan penyakitatau OPT dari luar yang
sebelumnya tidak ada di Indonesia yang dapat
menyebabkan gagal panen.
Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina (OPTK) adalah semua organisme
pengganggu tumbuhan yang ditetapkan
Pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam
dari tersebarnya di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Berdasarkan
keberadaannya, OPTK terbagi menjadi 2
kategori yaitu OPTK Kategori A1 dan Kategori
A2. OPTK Kategori A1 adalah organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang belum
ada di Negara Indonesia, sedangkan OPTK
Kategori A2 adalah organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang sudah ada di wilayah
Negara Republik Indonesia namun masih
terbatas di wilayah wilayah tertentu.
Clavibacter michiganensis adalah
patogen penyebab penyakit kanker atau busuk
bakteri umumnya pada tanaman Solanaceae.
Dalam lampiran No. 51/permentan/
KR.010/9/2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
93/Permentan/Ot.140/12/2011 Tentang Jenis
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Disebutkan Bahwa C. Michiganensis Subsp.
Sepedonicus Merupakan Optk Kategori A1 yang
menyerang tanaman famili Solanaceae dan C.
michiganensis subsp. Nebraskensis pada
tanaman inang famili Graminae. Sedangkan C.
michiganensis subsp. Michiganensis merupakan
OPTK Kategori A2 dengan kisaran tanaman
inang Capsicum frutescens, Capsicum annuum,
Lycopersicum esculentum, Solanum melongena,
S. mammosum, S.dauglas, S. nigrum, S.
trifolium yang terbawaakar, batang, daun,
bunga, buah, biji dan media tanam. Di
Indonesia keberadaan C. michiganensis subsp.
Michiganensis (Cmm) dilaporkan terdeteksi di
wilayah Sumatera (Barat, Selatan) dan Jawa
(Jawa Barat, Jawa Timur, Banten). Pengujian
Cmm ini dilakukan dengan melakukan isolasi
dari tanaman yang bergejala dan identifikasi
lebih lanjut dengan uji Biolog, ELISA dan PCR.
Penelitian telah dilakukan oleh
Anwar.A, Satriyas I dan Sudarsono pada tahun
2004 untuk mendeteksi bakteri Cmm pada
benih tomat komersial yang beredar di
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 45
Indonesia. Menggunakan benih dari produsen
utama benih tomat di Indonesia dan benih
impor dan diuji di Laboratorium PRI
Wageningen dan EWSI Jawa Barat sebanyak 22
lot benih, dengan metode IF test minimal 6 lot
diduga membawa patogen Cmm dan
dilanjutkan dengan uji patogenitas,
hipersensitivitas, ELISA, dan amplifikasi PCR
minimal 3 lot yang positif Cmm (Anwar dkk,
2004).
C. Michiganensis Subsp. Sepedonicus
(Cms) juga telah terdeteksi berada di Indonesia
pertama kali pada tahun 2009 di Jawa Barat.
Masuknya Cms pada tanaman kentang
merupakan salah satu bukti sulitnya tugas
Badan Karantina Pertanian. Sebelumnya, kedua
patogen ini tidak terdapat di Indonesia karena
merupakan organisme pengganggu tanaman
karantina (OPTK) A1 (Suganda, 2014). Sejak
2013 dijumpai pula penyakit busuk cincin yang
disebabkan oleh bakteri Cms menyerang
kentang di dataran medium. Dalam EPPO
(2006) dilaporkan bahwa patogen tersebut
menyerang tanaman kentang di daerah beriklim
dingin. Dengan demikian didapatinya serangan
Cms di dataran medium di daerah tropik
merupakan fenomena baru (Prabaningrum dkk,
2014).
Menurut hasil penelitian Kurniasih
tahun 2009, tanaman yang dapat menjadi
inang Cmm berdasarkan inokulasi buatan
adalah tomat, terung, paprika, cabai besar,
cabai rawit, ketimun, semangka, melon, kacang
hijau, kacang panjang, kedelai dan jagung
Cmm yang digunakan adalah isolat yang
diperoleh dari Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian Jakarta yang diisolasi dari tanaman
tomat yang bergejala kanker batang dari Solok,
Sumatera Barat.
Kasus masuknya patogen yang
sebelumnya tidak ada di suatu negara dapat
disebabkan karena perdagangan benih antar
negara atau pertukaran plasma nutfah tanpa
melalui prosedur karantina yang efektif.
Melokalisir penyebaran patogen Cmm ini
melalui perlakuan benih dengan berbagai seed
treatment dapat menjadi salah satu alternatif
yang dilakukan. Melihat potensi kerugian yang
disebabkan Cmm perlu dilakukan upaya
pencegahan penyebaran Cmm yang lebih luas
di wilayah Indonesia. Karena bakteri menyukai
kondisi lembab atau hangat, mereka sangat
penting di daerah tropik, subtropik dan yang
suhunya hangat (Direktorat Perlindungan
Tanaman Hortikultura, 2008).
Penelitian lain yang dilakukan
sebelumnya oleh Zainal dkk pada tahun 2008
pada 74 sampel tanaman tomat yang
menunjukkan gejala serangan Cmm terdapat
24 sampel dengan koloni seperti Cmm. Dari uji
lanjut yaitu fisiologis, reaksi hipersensitif dan
patogenisitas 18 diidentifikasi sebagai Cmm.
Meskipun tingkat serangan tergolong rendah
namun Cmm telah ada di wilayah Indonesia
dan menyebar di Sumatera dan Jawa.
Mengingat kisaran inang yang luas dan dapat
menyerang tanaman cabai yang menjadi
komoditas strategis maka Cmm perlu mendapat
perhatian dan menjadi tanggungjawab bersama
dalam distribusi benih dan mematuhi regulasi
karantina tumbuhan.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan dengan
literatur review dengan mencari referensi teori
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 46
yang relevan dengan kasus atau permasalahan
melalui pengumpulan data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari jurnal, buku, dokumentasi,
dan internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Patogen C. Michiganensis subsp.
Michiganensis (Cmm)
Domain : Bacteria
Phylum : Actinobacteria Class : Actinobacteria
Subclass : Actinobacteridae Order : Actinomycetales
Suborder : Micrococcineae
Family : Microbacteriaceae Genus : Clavibacter
Species : Clavibacter michiganensis subsp. Michiganensis (CABI, 2016)
Nama lain bakteri Cmm antara lain
Corynebacterium michiganense pv.
Michiganense, Erwinia michiganensis
(=michiganense) dan Pseudomonas
michiganense (CABI, 2016). Famili
Corynebacterium memiliki satu genus yaitu
Corynebacterium yang terdiri dari fakultatif
aerob, katalase positif, berbentuk batang lurus
dengan bagian ujung meruncing atau sering
terlihat membulat (Willey et al, 2008).
Gambar 1. Clavibacter michiganensis subsp. Michiganensis
(Sumber : CTAHR, 2014)
Patogen Cmm dikenal dengan patogen
mata burung dan layu vaskular pada tanaman
tomat (CABI, 2016).Penyakit vaskular bakteri
dapat disebabkan oleh beberapa genera
bakteri, seperti Erwinia, Ralstonia,
Xanthomonas, danClavibacter. Mekanisme
penyakit layu vaskular dapat terjadi karena
penyumbatan pada pembuluh xilem, adanya
daya racun exopolysaccharides (EPS), dan
serangan enzimatik pada jaringan tanaman
(Jahr, 2000).
Cmm berada di dalam pembuluh xylem
dan pada konsentrasi massa bakteri yang tinggi
menyebabkan gangguan fisik pada transport air
sehingga tanaman menjadi layu (Jahr, 1999).
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa xylem
dipenuhi oleh massa bakteri dan terdapat 2
(dua) tilosis yang menggembung ke lumen
pada pembuluh xylem.
Gambar 2. Penampang melintang batang tanaman
tomat yang terinfeksi Cmm (Sumber : Jahr, 1999)
Gejala Serangan
Pada daun gejala yang umum adalah
nekrotik dan klorotik yang disebabkan adanya
koloni bakteri pada jaringan parenkim daun.
Bakteri ini berpindah dari jaringan pembuluh ke
jaringan parenkim karena kemampuannya
mendegradasi dinding sel dengan enzim
ekstraseluler seperti selulase dan pektinase.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 47
Tanaman yang terserang menunjukkan
gejala awal berupa bercak dan layu pada daun
bagian bawah. Daun layu menggulung ke atas
ke arah dalam, warnanya menjadi kecoklatan
dan mengering. Seringkali terjadi pada satu sisi
daun saja. Gejala layu akan menjalar dari satu
daun ke daun lainnya hingga keseluruhan daun.
Pada batang, tunas dan tangkai daun terlihat
adanya garis berwarna terang biasanya
diantara lipatan periol dan batang. Pada
akhirnya garis tersebut menjadi retak dan
terbentuk kanker pada batang. Buah yang
terbentuk kecil dan terdapat bintik berwarna
putih yang akan menjadi kecoklatan dan
menyerupai mata burung, yaitu bintik coklat
dikelilingi halo berwarna putih (Agrios, 2005).
Gambar 3. Gejala Cmm pada buah tomat (B.N Dhanvantari cit CABI, 2016)
Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniasih pada tahun 2009 untuk melihat reaksi
11 jenis tanaman terhadap inokulasi Cmm
dengan 2 (dua) metode yaitu metode
pengguntingan petiol daun pertama dan injeksi
pada batang. Gejala yang muncul antara lain
berupa nekrotik, klorotik dan layu.
Gambar 4. Tanaman dari famili Solanaceae yang terinfeksi Cmm; a. Klorotik (terung),
b. Nekrotik pada tulang daun (cabai rawit), c. Nekrotik pada lamina daun (cabai besar),
d. Nekrotik pada lamina daun (paprika), e. Layu (tomat)
(Sumber : Kurniasih, 2009)
Identifikasi dan pengamatan patogen
Cmm di lapangan dapat tidak konsisten dengan
uji laboratorium. Gejala infeksi Cmm di
lapangan sering menyerupai gejala yang
disebabkan oleh Xanthomonas spp. yang
menyerang tanaman tomat. Kesalahan
identifikasi gejala di lapangan ini mudah diatasi
dengan Gram reaction test karena
Xanthomonas spp adalah bakteri negatif
sedangkan Cmm adalah gram positif (Zainal
dkk, 2008).
Pada tahun 1999 di Ohio ditemukan
Cmm pada Capsicum annuum L. yang
umumnya menyerang tanaman tomat. Patogen
ini tidak menimbulkan gejala penyakit namun
berperan sebagai sumber inokulum bagi tomat
(Ivey et al, 2000). Penelitian yang dilakukan di
Korea Selatan ditemukan subspesies baru yaitu
C.michiganensis subsp capsici tipe strain
PFOO8T (=KACC 18448T = LGM 29047T) yang
menyebabkan kanker bakteri pada tanaman
paprika (Oem-Ji et al, 2016).
Strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit pada tanaman
dapat dilakukan berdasarkan bagaimana cara
penyebaran patogen dari satu tanaman ke
tanaman lain. Cmm merupakan bakteri dari
genus Corynebacteria yang non motil dan dapat
menular melalui bagaian tanaman yang sakit,
tanah yang mengandung bakteri serta dapat
terbawa oleh benih. Sanitasi lahan dari sisa
tanaman yang terinfeksi dan membakarnya
dapat mencegah serangan pada musim tanam
berikutnya. Pada lahan yang diduga atau
pernah terinfeksi oleh patogen dapat
disterilisasi baik secara biologi maupun kimiawi,
sterilisasi secara biologi dapat dilakukan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 48
menggunakan agen hayati seperti jamur
Gliocladium virens dan Trichoderma koningii.
Sterilisasi secara kimiawi dapat menggunakan
fungisida berbahan aktif seperti Copper oxide
56%.
Penyebaran melalui benih dapat
dilakukan seed treatment dengan cara
perendaman menggunakan air steril maupun
air hangat 520C atau minyak cengkeh dosis
0,5% yang tidak menyebabkan penurunan
viabilitas dan vigor Cmm >99% (Anwar, 2004).
Zainal et al (2010) menggunakan bebagai
ekstrak tanaman untuk seed treatment seperti
Temulawak, sirih hutan dan kulit kayu manis
masing-masing dosis 5%, minyak cengkeh
0,5% dapat mengeliminasi 98-99% Cmm pada
benih tomat.
Pengawasan dan pemantauan di
lapangan harus ditingkatkan melalui instansi
terkait yaitu petugas karantina dan penyuluh
pertanian di daerah dengan cara peningkatan
sumber dayanya maupun pemantauan rutin di
lapangan. Peningkatan SDM dapat dilakukan
melalui pelatihan, workshop dan sosialisasi
undang-undang karantina tanaman maupun
penyebaran brosur di lapangan.
KESIMPULAN
1. Clavibacter michiganensis adalah patogen
penyebab penyakit kanker atau busuk
bakteri umumnya pada tanaman
Solanaceae.
2. Pada lampiran No. 51/permentan/KR.010/
9/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/
Ot.140/12/2011 Tentang OPTK Disebutkan
Bahwa C. Michiganensis Subsp merupakan
OPTK Kategori A2 dengan kisaran tanaman
inang Capsicum frutescens, Capsicum
annuum, Lycopersicum esculentum,
Solanum melongena,S. mammosum,
S.dauglas, S. nigrum, S. trifolium yang
terbawaakar, batang, daun, bunga, buah,
biji dan media tanam.
3. Michiganensis (Cmm) dilaporkan terdeteksi
di wilayah Sumatera (Barat, Selatan) dan
Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, Banten)
4. Sanitasi lahan dari sisa tanaman sakit dan
membakarnya dapat mencegah serangan
pada musim tanam berikutnya. Sterilisasi
lahan secara biologi menggunakan agen
hayati seperti jamur Gliocladium virens dan
Trichoderma koningii. Sterilisasi secara
kimiawi dapat menggunakan fungisida
berbahan aktif seperti Copper oxide 56%.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, 2005, Plant Pathology, Fifth Edition,
California, Academic Press
Anwar A, Ilyas S, Sudarsono, 2004, Deteksi bakteri Clavibacter michiganensis
subsp michiganensis pada benih
tomat komersial yang beredar di Indonesia, Jurnal Perlindungan
Tanaman 10(2) 74 – 86 CABI, 2016, http://www.cabi.org/isc/datasheet/
15338, Visited Juni 2017
CTAHR, 2014, https://www.ctahr.hawaii.edu/ site/News.aspx?yr=2014, visited Juni
2017 Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura,
2008, Pedoman Pengelolaan Koleksi
dan Identifikasi OPT (khusus untuk patogen penyakit tanaman) Pada
Tanaman Hortikultura, Jakarta EPPO, 2006, 'Clavibacter michiganensis subsp.
sepedonicus' , Bull. OEPP/ EPPO vol. 36, pp. 99-109 Ivey, 2000,
http://apsjournals.apsnet.org/doi/abs/
10.1094/PDIS.2000.84.7.810C, visited Juni 2017
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 49
Jahr, 1999, Interactions between Clavibacter
michiganensis and its host plants, Minireview, Environmental
Microbiology (1999) 1(2), 113–118, Germany
Jahr, 2000, The Endo-b-1,4-glucanase CelA of Clavibacter michiganensis subsp.
Michiganensis Is a Pathogenicity
Determinant Required for Induction of Bacterial Wilt of Tomato, MPMI Vol.
13, No. 7, 2000, pp. 703–714. Kurniasih, 2009, Reaksi Beberapa Tanaman dan
Beberapa Varietas Tomat terhadap
Inokulasi Clavibacter michiganensis subsp michiganensis, Tesis, Sekolah
Pasca Sarjana, IPB, Bogor Oem-Ji et al, 2010,
https://doi.org/10.1094/PDIS.2000.84.7.810C, Volume 84, Number 7 Page
810, visited Juni 2017
Permentan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 93/Permentan/Ot.140/12/2011
Tentang Jenis Organisme Pengganggu
Tumbuhan Karantina Prabanningrum dkk, 2014, Teknologi Budidaya
Kentang di Dataran Medium, Monografi No. 34, Balitsa, Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Saptana, N.K. Agustin, dan A.M. Ar-Rozi. 2013.
Kinerja Produksi Dan Harga Komoditas Cabai Merah. Policy Brief
Analisis Kebijakan .Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian
Suganda. T, 2014, Strategi Pengendalian Patogen Dan Trend Praktik
Pengendaliannya Dalam
Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian, Makalah Utama Seminar
Nasional “Strategi Perlindungan Tanaman Untuk Meningkatkan Daya
Saing Produk Pertanian”, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran,
Jatinangor, Sumedang.
Willey et all, 2008, Microbiology, Seventh edition, Ms Graw Hill, New York
Zainal, 2010, Efektivitas Ekstrak Tumbuhan untuk Mengeliminasi Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis pada Benih Tomat, J. Agron. Indonesia 38 (1) : 52 – 59
Zainal, A., A. Anwar, U. Khairul, Sudarsono.
2008. Distribution of Clavibacter michiganensis subsp.michiganensis in
various tomato production centers in Sumatera and Java. Microbiology
Indonesia 2:63-68.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 50
PENGUJIAN MASA SIMPAN BROWNIES PADA KELOMPOK WANITA TANI SRI REJEKI
Siti Fuadah Chusna 1, Viona Zulfia 2)
1) Peneliti pada Balai Pelatihan Pertanian Jambi
2) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Uji ketahanan brownies sangat penting dilakukan untuk mengetahui sampai berapa lama brownies
dapat dipasarkan. Bila sudah diketahui masa simpannya, brownies harus ditarik dari pasaran agar tidak menyebabkan konsumen sakit. Selain itu dengan mengetahui masa kadaluarsa brownies juga
dapat direncanakan tempat pemasarannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menginformasikan daya tahan brownies dari tepung terigu; brownies dari tepung kasava; dan brownies dari tepung terigu + tepung kasava. Diharapkan dengan mengetahui daya tahan tiap
jenis brownies, KWT “Sri Rejeki” dapat menginformasikan masa kadaluarsa brownies yang diproduksi ke konsumen. Penelitian dilakukan dengan metode eksploratoris untuk memperoleh
informasi tentang masa simpan tiga jenis brownies. Penelitian dilakukan dengan tiga tahap
kegiatan yaitu : a. Pembuatan tepung kasava; b. Pembuatan tiga jenis brownies; c. Uji masa simpan tiga jenis brownies. Masa simpan 3 (tiga) jenis brownies adalah tiga hari. Setelah tiga hari
sebaiknya brownies tidak dikonsumsi lagi meski setelah tiga hari rasanya belum berubah kecuali di bagian yang ditumbuhi jamur.
Kata kunci : masa simpan, brownies, tepung terigu, tepung kasava
ABSTRACT
Storability Test on brownies cake was very important to determine how long brownies capable of
being marketed without loss of freshness or usability. As brownies cake loss its freshness, it should withdrawn from the market to avoid consumer pain. In addition, the expiration date of brownies
capable help producer to determine where to market their products. The research aimed to obtain information regarding shelf life of brownies cake which use of wheat flour; cassava flour; and
wheat flour + cassava flour. The research was conducted using exploratory method to obtain the
shelf life information of three types brownies. There were three research phase: 1) made cassava flour; 2) made three type brownies; 3) tested the storable period of three types brownies. The
storability period of three type brownies were three days. After three days, brownies cake should no longer be consumed, as it may unsafe even though the flavor unchanged.
Keywords: shelf life, brownies, wheat flour, cassava flour
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 51
PENDAHULUAN
Brownies merupakan salah satu kue
yang banyak disukai masyarakat. Brownies
adalah salah satu jenis roti namun memiliki
bentuk yang bantat dan terbuat dari
coklat sehingga dinamakan brownish
(kecoklatan) atau biasa disebut brownies.
Nama brownies sendiri diambil karena cake
tersebut dominan berwarna cokelat pekat
(brown), ditambah lagi karena bahan bakunya
juga terdiri dari aneka cokelat seperti dark
chocolate, cokelat pasta dan cokelat bubuk
(Rahman, F., 2015).
Brownies yang beredar di pasaran
sangat banyak macamnya, baik dari segi jenis
maupun variasi isian dan toppingnya. Sebagian
pembuat brownies tidak memperhatikan proses
pembuatan brownies yang benar dan bersih
sehingga mempercepat brownies yang
dipasarkan kadaluarsa. Sebagian pedagang
tidak mau rugi sehingga tetap menjual
brownies yang sudah kadaluarsa. Beberapa ciri
brownies yang sudah kadaluarsa antara lain
adalah : 1). brownies yang telah disimpan lebih
dari 7 hari pada suhu ruang, 2). Teksturnya
keras, 3). Aroma coklat tidak terlalu kuat,
mungkin juga timbulnya bau apek, 4). terdapat
jamur berwarna putih dalam jumlah banyak
(melebihi batas Standar Nasional Indonesia
yaitu 1 x 102 koloni/gram), 5). Pada saat ditarik
setelah dipotong terdapatseperti benang halus,
6). Terdapat rasa selain rasa coklat, kadang
terasa seperti mint (Widyatun, D., 2012).
Brownies merupakan salah satu contoh
produk pangan semi basah. Pangan semi basah
mempunyai kadar air antara 10-40%. Hal ini
terlihat pada kadar air yang dihasilkan, yaitu
berkisar antara 13,93-17,70%. Rendahnya
kadar air pada brownies menyebabkan
brownies memiliki umur simpan lebih kurang
selama 7 hari pada suhu ruang (Aufari, S.,
2013).
Berkaitan dengan berkembangnya
industri pangan skala usaha kecil-menengah,
dipandang perlu untuk mengembangkan
penentuan umur simpan produk sebagai bentuk
jaminan keamanan pangan. Penentuan umur
simpan di tingkat industri pangan skala usaha
kecil-menengah sering kali terkendala oleh
faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan
kurangnya pengetahuan produsen pangan.
Umur simpan produk pangan adalah selang
waktu antara saat produksi hingga konsumsi di
mana produk berada dalam kondisi yang
memuaskan berdasarkan karakteristik
penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai
gizi. Pada saat baru diproduksi, mutu produk
dianggap dalam keadaan 100%, dan akan
menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan
atau distribusi. Selama penyimpanan dan
distribusi, produk pangan mengalami
kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai
uang, daya tumbuh, dan kepercayaan
(Herawati, H., 2008).
Selama ini pembuat brownies secara
home industri jarang sekali melakukan uji
ketahanan brownies yang dihasilkan. Uji
ketahanan brownies sangat penting dilakukan
untuk mengetahui sampai berapa lama
brownies dapat dipasarkan. Bila sudah
diketahui batas waktunya brownies harus
ditarik dari pasaran agar tidak menyebabkan
konsumen sakit. Selain itu dengan mengetahui
masa kadaluarsa brownies juga dapat
direncanakan tempat pemasarannya. Masa
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 52
kadaluarsa brownies harus dicantumkan pada
kemasan brownies.
Kelompok Wanita Tani (KWT) “Sri
Rejeki” belum pernah melakukan uji masa
simpan brownies dari tepung terigu; brownies
dari tepung kasava; dan brownies dari tepung
terigu + tepung kasava. Diduga Brownies dari
tepung terigu; brownies dari tepung kasava;
dan brownies dari tepung terigu + tepung
kasava mempunyai masa simpan yang sama.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui dan menginformasikan daya tahan
brownies dari tepung terigu; brownies dari
tepung kasava; dan brownies dari tepung terigu
+ tepung kasava sehingga dapat dapat
menentukan waku kadarluarsa dari brownies.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) Jambi Kecamatan
Mestong dan Kelompok Wanita Tani (KWT) “Sri
Rejeki” di Desa Sebapo Kecamatan Mestong
Provinsi Jambi pada tanggal 10-23 Nopember
2014.
Bahan dan Alat
Alat yang digunakan adalah parutan,
saringan, nampah, penumbuk/alu, mixer,
timbangan, pisau, kompor, pengukus, baskom,
sendok makan, cetakan brownies, panci,
baskom stainless dan ayakan.
Sedangkan bahan yang digunakan
adalah : 15 butir telur, 150 gram tepung terigu,
150 gram tepung kasava, 3 sendok teh baking
powder, 600 gram gula halus, 525 ml minyak
goreng, 150 gram coklat bubuk, 750 gram
coklat masak.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode eksplanatoris untuk menguji
beberapa jenis anti koagulan
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode
eksploratoris untuk memperoleh informasi
tentang masa simpan tiga jenis brownies.
Penelitian dilakukan dengan tiga tahap kegiatan
yaitu :
Tahap 1 Pembuatan tepung kasava
Prosedurnya adalah sebagai berikut: 1).
Singkong dikupas (singkong yang sudah
dikupas sebaiknya direndam air bersih agar
tidak menjadi coklat) kemudian dicuci sampai
bersih (sebaiknya dicuci menggunakan air
mengalir), 2) Setelah bersih singkong diparut
seperti kelapa kemudian diperas, 3). Hasil
perasan kemudian dijemur sampai kering, 4).
Setelah kering ditumbuk sampai halus
kemudian diayak dan yang masih kasar atau
tidak lolos ayakan dapat ditumbuk lagi sampai
halus.
Tahap II. Pembuatan tiga jenis brownies
Tahapannya adalah sebagai berikut: 1).
Kocok lepas telur dengan gula halus kemudian
lelehkan coklat masak kemudian dinginkan, 2).
Campur tepung dan coklat bubuk kemudian
ayak., 3). Tambahkan tepung dan coklat bubuk
yang telah diayak ke dalam kocokan telur dan
tambahkan baking powder kemudian aduk
sampai rata, 4). Tambahkan minyak goreng
dan coklat masak leleh kemudian aduk rata, 5).
Olesi cetakan brownies dengan sedikit minyak
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 53
goreng secara merata kemudian tuang adonan
kedalam cetakan, 6). Rebus air dan setelah
mendidih gunakan untuk mengukus adonan. 7).
Kukus sampai matang (sebaiknya pada saat
mengukus, tutup pengukus dilapisi kain lap
bersih agar uap air tidak masuk ke adonan), 8).
Tepung yang digunakan dalam pembuatan
brownies disesuaikan dengan perlakuan yaitu :
brownies terigu menggunakan 100 gram
tepung terigu, brownies kasava menggunakan
100 gram tepung kasava, dan brownies
campuran menggunakan 50 gram tepung terigu
+ 50 gram tepung kasava;
Tahap III. Uji masa simpan tiga jenis
brownies
Uji masa simpan dilakukan selama
tujuh hari dengan mengamati rasa, aroma,
warna, tekstur, dan jamur dari tiga jenis
brownies. Brownies yang diamati diletakkan
dalam kemasan tertutup dan disimpan pada
suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari
dengan waktu yang sama dengan mencatat
semua hasil pengamatan
Parameter Pengamatan
Adapun parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah :1). Rasa, 2). Aroma, 3).
Warna, 4). Tesktur dan 5). Jamur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan pangan pada industri
komersial umumnya bertujuan memperpanjang
masa simpan, mengubah atau meningkatkan
karakteristik produk (warna, cita rasa, tekstur),
mempermudah penanganan dan distribusi,
memberikan lebih banyak pilihan dan ragam
produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai
ekonomis bahan baku, serta mempertahankan
atau meningkatkan mutu, terutama mutu gizi,
daya cerna, dan ketersediaan gizi (Herawati,
H., 2008).
Umur simpan adalah kurun waktu
ketika suatu produk makanan akan tetap aman,
mempertahankan sifat sensori, kimia, fisik dan
mikrobiologi tertentu serta sesuai dengan
keterangan pelabelan data nutrisi, ketika
disimpan pada kondisi tertentu. Keterangan
mengenai umur simpan diinformasikan kepada
konsumen produk makanan dalam bentuk label
supaya mereka dapat mengetahui waktu dan
kondisi antara waktu pembelian hingga
konsumsi. Secara umum, ada tiga macam
komponen penting yang berhubungan dengan
umur simpan, yaitu perubahan mikrobiologis
(terutama untuk produk dengan umur simpan
yang pendek), serta perubahan kimia dan
sensori (terutama untuk produk dengan waktu
simpan menengah hingga lama) (Anonim,
2013).
Brownies kukus dan panggang, secara
umum tidak terlalu berbeda. Perbedaannya,
yang kukus mempunyai kadar air lebih tinggi
daripada panggang, sehingga mempunyai umur
simpan yang jauh lebih rendah (Saragih, IP.,
2011). Makanan dinyatakan telah kadaluarsa
jika telah terjadi perubahan–perubahan yang
tidak dikehendaki dari sifat asalnya. Secara
umum tanda-tanda makanan yang telah
mengalami kadaluwarsa adalah adanya bau
tidak enak, timbulnya jamur/kapang, atau
adanya bubuk putih. Proses kadaluwarsa terjadi
karena adanya aktivitas mikrobiologi yang
berkembang pada makanan tersebut atau
proses fermentasi dari mikroorganisme
pathogen tersebut. Proses ini terjadi karena
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 54
daya tahan makanan tersebut telah berkurang
sehingga mikroorganisme dapat hidup dan
berkembang (Akhmad, 2009).
Rasa
Setelah penampilan, rasa memegang
posisi kedua yang menentukan diterima atau
tidaknya suatu produk makanan oleh
konsumen. Rasa adalah kesan sensori dari
suatu pangan atau substansi lain dan dikenali
terutama oleh indera perasa dan pembau.
Secara alami setiap bahan makanan (kecuali air
murni) memiliki kandungan senyawa yang
memberikan citarasa yang khas. Dalam proses
pengolahan bahan pangan seperti
pencampuran, pengeringan, dan
pemanggangan, senyawa-senyawa ini dapat
saling bereaksi sehingga memberikan rasa yang
berbeda dibanding dengan bahan-bahan
asalnya. Rasa alami atau yang terbentuk
selama pengolahan dikenal dengan sebutan
intrinsicflavor (Nur Gomo, A.T., 2016 dalam
Santoso, U. dkk 2016).
Pengamatan terhadap rasa brownies
dilakukan untuk melihat perubahan rasa tiga
jenis brownies dalam waktu tujuh hari. Hasil
pengamatan terhadap rasa tiga jenis brownies
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan rasa tiga jenis brownies
Penga-matan hari ke
Jenis Brownies
Brownies terigu
Brownies kasava
Brownies terigu + kasava
1 Manis Manis legit Manis
2 Manis Manis Manis
3 Manis Manis Manis 4 Manis Manis Manis 5 Manis Manis Manis 6 Manis Manis Manis
7 Manis pahit
Manis pahit Manis pahit
Dari hasil pengamatan pada Tabel 1,
menunjukkan bahwa rasa ketiga jenis brownies
dapat bertahan sampai hari ke enam,
sedangkan pada hari ketujuh rasa brownies
mulai berubah dari yang semula manis menjadi
manis pahit. Pengamatan rasa brownies
dilakukan dengan mencicipi brownies setiap
hari pada waktu yang sama sebanyak ± 50
gram.
Rasa merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan penerimaan atau
penolakan bahan pangan oleh konsumen.
Walaupun aroma dan tekstur bahan pangan
baik, akan tetapi rasanya tidak enak maka
konsumen akan menolak produk tersebut. Rasa
dapat dinilai sebagai tanggapan terhadap
ransangan yang berasal dari senyawa kimia
dalam suatu bahan pangan yang memberi
kesan manis, pahit, asam dan asin (Aufari, S.
2013).
Pada pembuatan brownies rasa
dipengaruhi oleh penggunaan gula, coklat
batang dan coklat bubuk dengan jumlah yang
sama pada tiap perlakuan (Fatimah, S. dan
Rahayu, D. 2016). Pada gula, coklat batang dan
coklat bubuk memberikan rasa manis dan
berasa coklat pada brownies. Rasa manis pada
coklat diperoleh dari penambahan padatan gula
dalam proses formulasinya. Beberapa asam
amino bebas seperti glisin dan alanin serta
beberapa peptida juga memberikan rasa manis
(Fatimah, S. dan Rahayu, D. 2016).
Aroma
Indera pembau digunakan untuk
menilai bau atau aroma suatu produk pangan.
Aroma adalah rasa dan bau yang sangat
subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang
mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 55
berbeda. Meskipun mereka dapat mendeteksi,
tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang
berlainan. Timbulnya aroma makanan
disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang
mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan
setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara
memasak yang berbeda akan menimbulkan
aroma yang berbeda pula.
Bau makanan banyak menentukan
kelezatan makanan serta citarasa bahan
pangan itu sendiri. Perubahan nilai gizi seperti
lemak selama penyimpanan dapat membentuk
ketengikan pada bahan pangan. Bahan pangan
yang mudah terserang ketengikan oksidatif
lebih aman disimpan pada suhu rendah (Aufari,
S. 2013).
Pengamatan terhadap aroma brownies
dilakukan untuk melihat perubahan aroma tiga
jenis brownies dalam waktu tujuh hari. Hasil
pengamatan terhadap aroma tiga jenis
brownies selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Pengamatan aroma tiga jenis brownies
Penga-matan hari
ke
Jenis Brownies
Brownies terigu
Brownies kasava
Brownies terigu + kasava
1 Coklat Coklat harum
Coklat
2 Coklat Coklat Coklat
3 Coklat Coklat Coklat
4 Coklat Aroma
ubi Coklat
5 Coklat Aroma
ubi Coklat
6 Coklat Tengik Sedikit tengik
7 Coklat Tengik Sedikit tengik
Hasil pengamatan pada Tabel 2
menunjukkan bahwa aroma yang dapat
bertahan sampai hari ketujuh adalah aroma
pada brownies tepung terigu. Sedangkan
aroma pada brownies tepung kasava hanya
dapat bertahan sampai hari ketiga. Untuk
brownies tepung terigu+ brownies tepung
kasava aroma coklatnya bertahan sampai hari
ke lima.
Aroma brownies sangat dipengaruhi
oleh coklat yang digunakan dalam pembuatan
brownies. Oleh karena itulah aroma brownies
yang dominan adalah aroma coklat. Brownies
yang menggunakan berbagai macam bahan
tambahan bisa jadi yang tercium nantinya
adalah aroma bahan tambahannya, misalnya
kejunyu atau kacang almondnya.
Aroma pada brownies dipengaruhi oleh
penggunaan bahan coklat batang dan coklat
bubuk dengan jumlah yang sama pada setiap
perlakuan (Fathullah, 2013 dalam Fatimah, S.
dan Rahayu, D. 2016). Coklat batang dan
coklat bubuk ketika dipanaskan akan
menimbulkan aroma coklat yang tajam
sehingga aroma pada tepung tertutup.
Komponen aroma coklat terbentuk selama
penyangraian biji kakao dari calon pembentuk
cita rasa seperti asam amino, peptida, gula
pereduksi dan kuinon. Senyawa-senyawa
tersebut terbentuk selama proses penyiapan
biji, khususnya selama fermentasi dan
pengeringan ( Fatimah, S. dan Rahayu, D.
2016).
Warna
Warna merupakan komponen yang
sangat penting dalam menetukan kualitas atau
derajat penerimaan dari sesuatu bahan pangan.
Warna yang menarik akan meningkatkan
derajat penerimaan atau nilai sesuatu bahan
pangan. Warna pada hakekatnya merupakan
gelombang elektromagnetis dengan panjang
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 56
gelombang tertentu yang dipancarkan atau
dipantulkan oleh suatu bahan. Warna pangan
dapat dibedakan atas warna alami dan warna
buatan atau tiruan (sintesis). Warna alami
adalah warna yang telah dimiliki oleh bahan
pangan sebagai hasil proses pertumbuhan atau
perubahan kimia dari zat-zat terkandung dalam
bahan tersebut, selama proses pengolahannya.
Warna buatan atau tiruan adalah warna yang
diberikan pada bahan pangan dengan
memberikan senyawa-senyawa kimia kedalam
bahan tersebut (Anonim, 2013).
Pengamatan terhadap warna brownies
dilakukan untuk melihat perubahan warna tiga
jenis brownies dalam waktu tujuh hari. Hasil
pengamatan terhadap warna tiga jenis
brownies selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Pengamatan warna tiga jenis
brownies
Penga-matan hari ke
Jenis Brownies
Brownies terigu
Brownies kasava
Brownies terigu + kasava
1 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
2 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
3 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
4 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
5 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
6 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
7 Coklat tua Coklat tua Coklat tua
Hasil pengamatan pada Tabel 3
menunjukkan bahwa warna ketiga jenis
brownies tidak berubah sampai hari ketujuh
yaitu tetap coklat tua. Warna brownies sangat
dipengaruhi oleh coklat yang digunakan dalam
pembuatan brownies. Bila menggunakan dark
coklat maka warna brownies akan semakin
gelap.
Warna merupakan alat sensori pertama yang
dapat dilihat langsung oleh konsumen. Suatu
bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya
sangat baik tidak akan dimakan apabila
memiliki warna yang tidak sedap dipandang
atau memberikan kesan telah menyimpang dari
warna yang seharusnya. Sumber utama warna
brownies berasal dari dark chocolate yang
digunakan (Aufari, S. 2013).
Warna pada brownies disebabkan
karena formula bahan (coklat blok dan coklat
bubuk) yang digunakan dalam jumlah sama
(Fathullah, 2013 dalam Fatimah, S. dan
Rahayu, D. 2016). Timbulnya warna coklat
pada brownies juga dapat disebabkan oleh
reaksi pencoklatan (reaksi maillard) karena
adanya protein dan gula dalam bahan dasar
pembuatan brownies. Pada proses pengolahan,
adanya panas, gula dan asam amino dari
protein bereaksi dengan gugus aldehida atau
keton dari gula pereduksi dan menghasilkan
warna coklat (Fatimah, S. dan Rahayu, D.
2016). Bahan dalam brownies seperti telur
memiliki kandungan protein, sifat protein jika
dipanaskan (kukus dan panggang) akan
berubah menjadi kecoklatan sehingga
mempengaruhi warna brownies (Fatimah, S.
dan Rahayu, D. 2016).
Tekstur
Tekstur produk merupakan parameter
penting untuk berbagai jenis produk. Tekstur
merupakan salah satu faktor yang menentukan
mutu produk makanan. Tekstur merupakan ciri
suatu bahan sebagai akibat perpaduan dari
beberapa sifat fisik yang meliputi ukuran,
bentuk, jumlah dan unsur-unsur pembentukan
bahan yang dapat dirasakan oleh indera peraba
dan perasa, termasuk indera mulut dan
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 57
penglihatan. Produk pangan dibuat dan diolah
tidak semata-mata untuk tujuan peningkatan
nilai gizi, tetapi juga untuk mendapatkan
karakteristik fungsional yang menuruti selera
organoleptik bagi konsumen. Karakteristik
fungsional tersebut diantaranya berhubungan
dengan sifat tekstural produk pangan olahan
seperti kerenyahan, keliatan, dan sebagainya
(Midayanto, D.N. dan Sudarminto, S.Y., 2014).
Pengamatan terhadap tekstur brownies
dilakukan untuk melihat perubahan tekstur tiga
jenis brownies dalam waktu tujuh hari. Hasil
pengamatan terhadap tekstur tiga jenis
brownies dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan tekstur tiga jenis brownies
Pengamatan
hari ke Jenis Brownies
Brownies terigu
Brownies kasava
Brownies terigu + kasava
1 Lembut Lebih
lembut Lembut
2 Lembut Lembut Lembut 3 Lembut Lembut Lembut 4 Lembut Lembut Lembut 5 Lembut Lembut Lembut
6 Agak keras Agak keras Agak keras
7 Keras Keras Keras
Dari hasil pengamatan pada Tabel 4
menunjukkan bahwa tekstur ketiga jenis
brownies dapat bertahan sampai hari ke lima,
sedangkan pada hari ke enam rasa brownies
mulai berubah dari yang semula lembut
menjadi agak keras. Bahkan pada hari ke tujuh
ketiga jenis brownies mulai mengeras.
Menurut Aufari, S. (2013), penambahan
lemak pada adonan brownies bertujuan untuk
memberikan rasa gurih, melembutkan,
memberikan flavor, dan meningkatkan nilai gizi.
Penggunaan lemak juga dapat meningkatkan
rasa, menyebabkan produk menjadi tidak cepat
keras, dan menjadikannya lebih empuk.
Produk pangan yang mengandung kadar
sukrosa tinggi, umumnya bersifat higroskopis
dan mudah mengalami penurunan mutu selama
penyimpanan yang disebabkan oleh terjadinya
penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini
akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air
dapat bermigrasi ke dalam produk selama
penyimpanan dengan menembus kemasan.
Semakin besar perbedaan antara kelembaban
relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan
kadar air produk pangan, maka air semakin
mudah bermigrasi.
Berdasarkan penelitian roti manis
mengalami penurunan tingkat kesukaan
konsumen terhadap karakteristik sensoriknya,
kemungkinan produk brownies juga mengalami
hal yang sama karena merupakan produk
bakery yang umur simpannya tidak panjang.
Pada proses pemasakan terjadi
peristiwa terlepasnya air yang terikat dalam gel
pati pada suhu dan selang waktu tertentu.
Meningkatnya suhu saat pemasakan
mengakibatkan penguapan air. Uap yang
bertekanan tinggi tersebut mendorong dan
mendesak jaringan gel. Akibatnya terjadi
pengosongan dalam jaringan tersebut dan
membentuk rongga-rongga udara pada
brownies serta berpengaruh terhadap tekstur
brownies (Fatimah, S. dan Rahayu, D. 2016).
Brownies kukus memiliki tekstur yang
lembut karena dalam proses pengukusan
brownies tidak menghilangkan banyak uap air
karena proses pengukusan menggunakan uap
air. Brownies panggang mempunyai tekstur
halus karena proses pemanggangan yang lama
sehingga kandungan air dalam adonan banyak
yang menguap dan proses pemanggangan
menggunakan udara panas dalam oven.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 58
Tekstur (saat dikunyah) brownies dipengaruhi
oleh tingkat kehalusan tepung yang digunakan.
Tingkat kehalusan tepung umumnya
berpatokan pada tepung terigu. Terigu
diperoleh dari hasil penggilingan dengan mesin
standart dan pengayakan pada ukuran saringan
tertentu. Menurut SNI 01737512009 syarat
mutu tepung terigu mempunyai kehalusan,
dengan lolos ayakan 212 μm (mesh No.70)
(Fatimah, S. dan Rahayu, D. 2016).
Jamur
Jamur adalah organisma yang
memerlukan temperatur hangat dan
kelembaban tinggi untuk tumbuh. Selain itu
jamur menyukai makanan yang dapat
memberinya “nutrisi” untuk tumbuh. Roti
misalnya, bahan pembuat roti adalah tepung
yang dibubuhi ragi agar mengembang. Ragi
merupakan “nutrisi” yang dibutuhkan jamur
untuk berkembang. Karena jamur tidak dapat
membuat zat tepungnya sendiri, maka ia
mengambil nutrisinya dari lingkungan sekitar.
Jika roti disimpan di tempat lembab dan
hangat, maka jamur tumbuh pesat (Anonim,
2015).
Pengamatan terhadap jamur dilakukan untuk
melihat pertumbuhan jamur pada tiga jenis
brownies dalam waktu tujuh hari. Hasil
pengamatan terhadap jamur pada tiga jenis
brownies dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengamatan jamur pada tiga jenis
brownies
Pengamatan hari ke
Jenis Brownies
Brownies terigu
Brownies kasava
Brownies terigu + kasava
1 - - -
2 - - -
3 - - -
4 Tumbuh jamur Tumbuh
jamur Tumbuh jamur
5
Jamur kecoklatan
Jamur putih kusam
Jamur kehijauan
6
Jamur kecoklatan
Jamur putih kusam
Jamur kehijauan
7
Jamur kecoklatan
Jamur putih kusam
Jamur kehijauan
Hasil pengamatan pada Tabel 5
menunjukkan bahwa jamur pada ketiga jenis
brownies mulai terlihat pada hari ke empat.
Setelah hari ke empat jumlah jamur yang
tumbuh semakin banyak. Hal tersebut berarti
sebaiknya brownies hanya dikonsumsi sampai
hari ke tiga.
Menurut Dilla (2016), ketahanan
brownies hanya selama 3 hari pada suhu
ruangan. Namun jika diletak di ruangan yang
bersuhu dingin (dikulkas) bisa sampai 10 hari.
Ciri-ciri brownies yang sudah tidak layak
dikosumsi lagi antara lain adalah munculnya
jamur berwarna putih dan mulai berbau.
Semakin lama penyimpanan maka
jumlah jamur semakin banyak. Salah satu
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur
adalah suhu penyimpanan. Peningkatan jamur
terjadi karena adanya mikroba mesofilik yang
tumbuh selama penyimpanan. Mikrooorganisme
mesofilik mempunyai kemampuan untuk
tumbuh pada suhu 15o-30o C. Produk pangan
semi basah belum menunjukkan tanda-tanda
kerusakan pada jumlah mikroba berkisar antara
103-105. Sedangkan pada jumlah mikroba
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 59
berkisar antara 106-107 telah menunjukkan
tanda-tanda kerusakan seperti berlendir dan
penyimpangan bau. Pada jumlah mikroba
berkisar antara 108-1010 telah terjadi perubahan
stuktur produk (lunak, hancur,dan berair)
(Aufari, S. 2013).
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan tiga jenis brownies
selama tujuh hari diperoleh hasil masa simpan
tiga jenis brownies adalah tiga hari yang
ditandai dengan tumbuh jamur pada brownies
yang diikuti perubahan fisik lainya seperti :
1. Perubahan rasa pada hari keenam
untuk ketiga jenis brownies
2. Perubahan aroma pada hari ke 7 untuk
jenis brownies terigu, hari ke 3 untuk
jenis brownies kasava dan hari ke 5
brownies terigu +cassava
3. Perubahan warna pada hari ke 7 untuk
ketiga jenis brownies
4. Perubahan tekstur pada hari ke 5 untuk
ketiga jenis brownies
SARAN
1. Setelah tiga hari sebaiknya brownies tidak
dikonsumsi lagi meski meski setelah tiga
hari rasanya belum berubah kecuali di
bagian yang ditumbuhi jamur
2. Perlu dilakukan pengamatan masa simpan
brownies dengan berbagai komposisi bahan
terutama gula, karena gula dapat berfungsi
sebagai pengawet alami, semakin banyak
gula maka akan semakin lama daya tahan
brownies
3. Sebaiknya mencantumkan masa kadaluarsa
brownies di kemasan
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad. 2009. Makanan Kadaluarsa.http:// gbenk.blogspot.com/2009/12/ makanan-
kadaluwarsa.html (2 Februari 2015).
Anonim. 2013. Umur Simpan. http://id.wikipedia.org/wiki/Umur_simpan
(16 Januari 2015) Anonim. 2015. Kinetika Reaksi Dalam
Pengolahan Pangan. http://web.ipb.
ac.id/~tepfteta/elearning/media/Teknik%20Pengolahan%20Pangan/bab2.php(16
Januari 2015) Aufari, S. 2013. Studi Pembuatan Brownies
Dengan Campuran Tepung Terigu Dan
Tepung Empulur Batang Pisang Kepok (Musa paradisiaca formatypica).
repository.unand.ac.id/20531/1/artikel%20SH%20tia.pdf (3 Februari 2015).
Dilla. 2016. Kenali Ciri-ciri Makanan Expired pada Brownies Amanda. Bertuah
Pos.Com (BPC) Pekanbaru. Rabu, 06
Januari 2016. http://bertuahpos.com/lifestyle/kenali-
ciriciri-makanan-expired-pada-brownies-aman.html. 27 Februari 2017.
Fatimah, S. dan Rahayu, D. 2016. Pengaruh
Substitusi Tepung Buah Bogem (Sonneratia caseolaris) dan Teknik
Pemasakan terhadap Sifat Organoleptik Brownies. Program Studi Tata Boga,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya. e-journal Boga, Volume 5, No.
1, Edisi Yudisium Periode Februari 2016,
Hal 201 – 210. Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan
Pada Produk Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Jurnal
Litbang Pertanian, 27(4), 2008.
tekpan.unimus.ac.id/wp.../p3274082_penentuan_umur_simpan-libre.pdf (3
Februari 2015). Midayanto, D.N. dan Sudarminto, S.Y., 2014.
Penentuan Atribut Mutu Tekstur Tahu
Untuk Direkomendasikan Sebagai Syarat Tambahan Dalam Standar Nasional
Indonesia. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya
Malang. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4 p.259-267, Oktober 2014.
Nur Gomo, A.T. 2016 dalamSantoso, U. dkk
2016. Memilih Perisa Tahan Panas Untuk Produk Yang Dipanggang dalam Pangan
Indonesia Yang Diimpikan Kumpulan Artikel Pemikiran Anggota PATPI.
Interlude. Yogyakarta.
Buletin Inovasi Pertanian, Volume : 2 No. 2, Desember 2016 : 50-60
| 60
Rahman,F., 2015.
http://www.academia.edu/8041524/II_TINJAUAN_PUSTAKA (20 Januari 2015).
Saragih, P., 2011. Penentuan Kadar Air pada Cake Brownies dan Roti Two in One
Nenas dan Es.[Skripsi]. Universitas Sumatera Utara.
Medan.repository.usu.ac.id/bitstream/123
456789/27760/3/Chapter%20II.pdf (3 Februari 2015).
Widyatun, D., 2012. Reportase Investigasi Brownies dan Bolu Kukus Berbahaya.
http://jurnalbidandiah.blogspot.com/201
2/06/reportase-investigasi-brownies-dan-bolu.html (2 Februari 2015).