keadilan qisas diyat - himaihuinsuka | just another … · · 2011-11-07dari jiwa yang terbunuh)....
TRANSCRIPT
Memahami Keadilan Hukum Tuhan dalam Qisas dan Diyat
Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum
pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan
pembunuhan dan penganiayaan. Allah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana
ini dalam al-Qur'an dengan beberapa hikmah yang terkandung, antara lain
terjaminnya kehidupan ekonomi keluarga korban, menghilangkan budaya ketidakadilan
yang dalam al-Qur'an dicotohkan dengan pembebasan budak, hubungan muslim dan
non-muslim, dan adanya alternatif pemidanaan.
Kata kunci: qisas, diyat, fiqh, hikmah
A. Pendahuluan
Qisas-diyat merupakan salah satu aturan dalam syari’at Islam mengenai hukum
pidana dan berlaku bagi tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan dengan
pembunuhan dan penganiayaan. Qisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās bermakna
an yaf’ala bil-fā’il mi £la mā fa’ala1 yang berarti melakukan seperti apa yang telah
dilakukan pelakunya. Sedangkan diyat yang berasal dari bahasa Arab ad-diyat
(singular) atau diyāt (plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang
berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang diberikan sebagai ganti
* Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. 1 Luis Ma’luf, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 631.
dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari ad-diyat adalah al-wad³. Huruf ta’ digunakan
sebagai ganti dari huruf wau yang dibuang sebagaimana dalam kata ‘iddat.2
Dalam beberapa segi, aturan mengenai qisas-diyat ini mempunyai beberapa
keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh aturan-aturan jarimah lain, seperti dalam
hudud maupun ta'zir. Keunikan-keunikan itu antara lain adalah, pertama, posisi qisas-
diyat dalam hukum pidana Islam. Dalam literatur-literatur fiqh disebutkan bahwa aturan
mengenai qisas-diyat ini tidak termasuk ke dalam pembahasan mengenai hudud, namun
berdiri sendiri sebagai cabang dari jinayat (hukum pidana Islam).
Kedua, aturan-aturan mengenai qisas-diyat dalam al-Qur’an lebih banyak dari
pada aturan-aturan jarimah yang lain. Paling tidak ada lima ayat al-Qur’an yang
membahas mengenai qisas-diyat ini.3 Ketiga, sanksi pidana bagi jarimah qisas-diyat
lebih komprehensif dan menyediakan berbagai macam alternatif pidana bagi pelakunya.
Pidana dengan berbagai alternatif ini tidak dikenal dalam bentuk jarimah-jarimah yang
lain, khususnya dalam jarimah hudud.
B. Potret Historis Pidana Qisas-Diyat Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, sanksi pidana pembunuhan dikenal dalam beberapa
bentuk. Bagi kaum Yahudi diberlakukan pidana qisas yang telah ditetapkan dalam kitab
sucinya, Taurat. Sedangkan kaum Nasrani hanya diberlakukan diyat. Namun pada masa
Arab Jahiliyyah, berlaku hukum pembalasan yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan
mereka.4 Sebagai gambaran Bani Nazir yang memposisikan derajatnya lebih tinggi
daripada Bani Quraizah beranggapan bahwa jika ada anggota Bani Nazir yang
2 Ibid., hlm. 895. 3 Ayat al-Qur'an yang dijadikan dalil penetapan sanksi qisas-diyat terdapt dalam surat al-Baqarah
ayat 178-179, Surat an-Nisa ayat 92 dan 93, serta Surat al-Maidah ayat 43. 4 Wahbah az-Zuhaily, At-Tafsīr al-Munīr fī al-'Aqīdah wa asy-Syarī'ah wa al-Minhāj, (Beirut: Dar
al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), Jilid I-II, hlm. 105.
membunuh salah seorang anggota Bani Quraizah, maka tidak dibalas dengan pidana
mati (qisas), namun cukup dibayar dengan denda seratus wasaq kurma.5
Syari’at Nabi Musa mengenai qisas tersebut dituangkan dalam Kitab Keluaran
Pasal 21:
“Sesungguhnya barangsiapa memukul manusia dan (mengakibatkan manusia itu) mati, maka ia harus dibunuh. Dan jika orang laki-laki berlaku aniaya terhadap laki-laki lain sehingga ia membunuhnya secara licik, maka engkau harus mengambil dari mazbah-ku agar orang itu dibunuh. Barangsiapa memukul ayah dan ibunya, maka ia harus dihukum mati. Jika terjadi penganiayaan, maka balaslah jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, gigi dengan gigi, tangan dengan tangan, kaki- dengan kaki, luka dengan luka, relah (dibalas) dengan rela”.6 Dalam syari’at Nabi Isa sebagian berpendapat bahwa hukuman mati bagi
pembunuh tidak ada dasarnya sama sekali. Mereka berargumen dengan kitab kelima
yang memuat sabda Nabi Isa:
“Janganlah engkau membalas kejahatan dengan kejahatan, akan tetapi jika seseorang menempeleng pipi kananmu maka berilah juga pipi kirimu. Dan (jika) ada orang yang memusuhimu dan mengambil bajumu, maka berikanlah baju itu kepadanya. Dan (jika) ada orang yang menghinamu satu mil, maka pergilah bersamanya sejauh dua mil”.7 Pendapat ini didukung oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Um yang menyatakan
bahwa bagi kaum Injil (Nasrani) diwajibkan memaafkan pembunuh dan tidak
membunuhnya.8 Sebagian yang lain berpendapat bahwa syari’at Nabi Isa mengenal
adanya pidana mati dengan berdasar pada apa yang telah diucapkan oleh Nabi Isa:
5 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ān al’Adzīm
Jilid I, (ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth.), hlm. 209. Sebagai gambaran, 1 wasaq sama dengan 60 gantang. Jika 1 gantang sama dengan 3,125 kg maka Bani Nazir kurang lebih membayar 18.750 kg (18,75 ton) kurma kepada Bani Quraizah. Namun sebaliknya, jika anggota Bani Quraizah membunuh salah seorang anggota Bani Nazir, maka Bani Quraizah diwajibkan membayar denda dua kali lipat, yaitu sebanyak 200 wasaq (± 37,5 ton) kurma. Sebagai standar ukuran perbandingan ini, penulis mengambil kesebandingan ukuran wasaq dan gantang dalam Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 778 dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 291.
6 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II: 431. 7 Ibid. 8 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang,
tth.), hlm. 279.
“Aku tidak datang untuk menghapuskan an-namūs (aturan hukum yang telah ada sebelumnya), namun aku datang untuk menyempurnakannya”.9 Hal ini berarti syari’at Nabi Isa tidak menghapuskan syari’at Nabi Musa dalam
kitab Taurat yang diturunkan lebih dahulu, namun lebih pada penyempurnaan.
Pandangan demikian juga selaras dengan al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 50.
Adanya setting historis atas ketentuan qisas bagi pelaku pembunuhan baik di
masa Arab Jahiliyyah, maupun ketentuan qisas bagi kaum Yahudi dan Nasrani dapat
ditarik benang merah hubungan antara syari’at Islam tentang qisas-diyat dengan pidana
yang dikenal pada masa pra-Islam. Dengan adanya ketentuan qisas-diyat dalam al-
Qur’an, Allah menghapuskan sistem pemidanaan Jahiliyyah yang tidak adil dalam
tindak pidana pembunuhan. Di samping itu, Allah juga menyempurnakan syari’at Islam
sebagai syari’at agama samawi terakhir dengan menetapkan berbagai macam alternatif
pemidanaan bagi pelaku pembunuhan sebagai bentuk keringanan dan rahmat. Dzālika
takhfīfun min rabbikum wa rahmah.
C. Implikasi Ketentuan Qisas-Diyat dalam al-Qur’an
Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan hal yang haram dilakukan
dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat. Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja)
mendapatkan balasan sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 93, yaitu
dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai serta dikutuk oleh Allah.
Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir, membunuh seseorang dengan sengaja
merupakan dosa besar yang dalam beberapa ayat al-Qur'an disejajarkan dengan dosa
9 As-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, II: 432.
syirik.10 Namun demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai dapat diterima atau
tidaknya taubat seseorang yang telah membunuh dengan sengaja.11
Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di dunia adalah sebagaimana telah
disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 178 dan 179, yaitu:
a. diberikan sanksi pidana qisas yang setara kepada pelaku pembunuhan tersebut; atau
b. membayar diyat (ganti rugi) kepada keluarga korban dengan syarat keluarga korban
memberikan maaf kepada pelaku pembunuhan.
Surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang pembunuhan yang dilakukan tanpa
adanya unsur kesengajaan. Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah
memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai kaffarah (penebus dosa)
serta diwajibkan membayar diyat atau ganti rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua
kategori sanksi pidana dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:
a. jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan dengan pelakunya,
maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu memerdekakan hamba sahaya.
b. jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai dengan kaum
mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu membayar diyat atau ganti rugi kepada
keluarga korban serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai
kaffarah-nya.
Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-aturan pidana dalam al-
Qur’an, termasuk di dalamnya aturan mengenai qisas dan diyat, masuk dalam kategori
lafdz yang khafi, dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah lafdz yang maknanya terang tapi
10 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafs³r al-Qur’ān al’Adzīm,
(ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth.), I: 535. 11 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān, (Damaskus: Maktabah
al-Ghazali, tth.), I: 504-505. Lihat juga Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Adzīm…, I: 536.
tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz dzahir adalah lafaz yang
maknanya segera dipahami tetapi pemahaman itu tidak sesuai dengan konteks kalimat
dan lafdz nass adalah lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks kalimat.
Ketiga lafaz tersebut masih mungkin untuk ditafsiri, ditakwil dan dapat menerima
naskh.12 Dalam ushul fiqh untuk memperjelas dan menemukan makna yang tepat dari
tiga jenis lafaz tersebut masih memerlukan pentakwilan dan ijtihad.
Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah ayat 178 merupakan
lafdz dalam kategori khafi, dalam arti bahwa maknanya terang yaitu “pembunuhan”
namun belum jelas mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian
muncul pertanyaan, siapa yang membunuh? siapa yang dibunuh? Bagaimana cara
membunuhnya?. Contoh lain adalah pembayaran diyat. Al-Qur'an hanya menyebutkan
kewajiban membayar diyat jika si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan
yang tidak disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa yang
berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an.
Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan hukum Islam dengan dasar
beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan qisas-diyat
dalam al-Qur’an, serta berusaha melakukan ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang
ditanyakan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun yang muncul kemudian
adalah adanya perbedaan penafsiran karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau
aliran dalam hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri.
Apabila keluarga korban atau wali terbunuh memberikan maaf kepada pelaku
pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan membayar diyat dengan jumlah tertentu. Para
12 Ali Hasaballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islāmi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 263-268.
fuqaha berbeda pendapat mengenai jumlah diyat yang harus dibayarkan kepada
keluarga korban. Selengkapnya, jumlah diyat berdasarkan pembagian jenis pembunuhan
menurut ulama fiqh dapat dilihat dalam tabel berikut.13
Tabel 1. Jumlah Diyat Berdasarkan Pembagian Jenis Pembunuhan Menurut Beberapa Ulama Fiqh
Imam Pembagian Jenis Pembunuhan dan Jumlah Diyatnya
'Amd Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
Khata'
25 onta bintu
makhadz 25 onta bintu labun 25 onta hiqqah 25 onta jadza'ah
30 onta hiqqah 30 onta jadza'ah
20 onta bintu makhadz 20 onta ibnu labun 20 onta bintu labun 20 onta hiqqah 20 onta jadza'ah
Malik
Total 100 onta Total 60 onta Total 100 onta
Mugaladzah Mukhafafah
'Amd Syibh al-'amd Khata' 30 onta hiqqah
30 onta jadza'ah 40 onta khālifah
20 onta bintu
makhadz 20 onta bintu labun 20 onta ibnu labun 20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
asy-Syafi'i
Total 100 onta Total 100 onta
'Amd Syibh al-'amd
(Mugaladzah)
Khata'' Hanafi
- 25 onta bintu
makhadz 25 onta bintu labun 25 onta hiqqah
25 onta jadza'ah
20 onta ibnu
makhadz 20 onta bintu
makhadz 20 onta bintu labun 20 onta hiqqah
20 onta jadza'ah
13 Diolah kembali dari Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 322-325.
- Total 100 onta Total 100 onta
Keterangan :
Ibnu Makhadz : onta jantan berumur satu tahun masuk dua tahun.
Bintu Makhadz : onta betina berumur satu tahun masuk dua tahun. Ibnu Labun : onta jantan berumur dua tahun masuk tiga tahun. Bintu Labun : onta betina berumur dua tahun masuk tiga tahun Hiqqah : onta yang berumur tiga tahun masuk empat tahun.
Jadza'ah : onta yang berumur empat tahun masuk lima tahun. Khālifah : onta yang sedang bunting.14
Menurut Imam Hanafi, jenis diyat hanya ada dua macam yaitu diyat kesalahan
dan diyat syibh al-'amd (menyerupai kesengajaan). Diyat kesengajaan tidak ada karena
untuk setiap pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja harus dilaksanakan qisas
kecuali jika dimaafkan oleh keluarga korban. Hal ini didasarkan hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Abbas bahwa "bagi kesengajaan adalah qawad, dan
tidak ada ganti rugi padanya".15 Dalam menentukan diyat kesalahan, Imam Hanafi
mendasarkan diri pada hadis at-Turmudzi "Rasulullah menetapkan dalam hal diyat
kesalahan adalah 20 bintu makhadz, 20 ibnu makhadz, 20 bintu labun, 20 jadza'ah, dan
20 hiqqah".16
Hadis yang mempunyai sanad Ali bin Sa'id al-Kindi al-Kufi, Ibnu Abi Zaidah, al-
Hajjāj, Zaid bin Hubair, Hasyf bin Malik, dari Abdullah bin Mas'ud ini merupakan
hadis marfu'.
Namun demikian, pendapat Imam Hanafi ini berbeda dengan perkataan Ali bin
Abi Thalib mengenai diyat kesalahan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Ali
berkata, "(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah seperempatan, 25
hiqqah, 25 jadza'ah, 25 bintu labun, 25 bintu makhadz." 17 Hadis ini berasal dari
14 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 384-385. 15 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 324. 16 At-Turmudzi dalam Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, Edisi Kedua, Global Islamic Software
Company, 1991-1997, CD ROM, hadis nomor 1307. 17 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 384, hadis nomor 4552.
Hannād, Abu al-Ahwash, Abi Ishaq, 'Ashim bin Dhamrah. Perkataan sahabat Ali
tersebut di atas juga berbeda dengan hadis riwayat Abu Dawud yang lain, yaitu hadis
yang bersanad dari Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Abdullah, Sa'id,
Qatadah, Abdi Rabbih, Abi 'Iyadh dari Utsman bin 'Affan dan Zaid bin Tsabbit bahwa
"(Diyat) dalam (pembunuhan karena) kesalahan adalah 30 hiqqah, 30 bintu labun, 20
ibnu labun, 20 bintu makhadz."18
Adanya ketentuan dalam kedua hadis ini yang berbeda karena kedua-duanya
berhenti kepada sahabat-sahabat Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan
Zaid bin Tsabit. Dalam ilmu hadis, berhentinya sanad hadis kepada sahabat Nabi
disebut dengan hadis mauquf.
Disebabkan adanya perbedaan dalam dasar atau dalil diyat kesalahan ini, maka
muncullah perbedaan di antara para fuqaha dalam menetapkannya. Jika dikembalikan
kepada al-Qur'an, persoalan ini juga tidak selesai karena al-Qur'an tidak menyebutnya
secara terperinci. Oleh karena itu, dipilihlah ketentuan-ketentuan yang lebih kuat, yaitu
ketentuan sebagaimana yang dipegangi oleh ulama Hanafi. Hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas'ud adalah hadis yang marfu' yang tentunya lebih kuat daripada
hadis yang mauquf.
Masalah jumlah diyat mugaladzah (berat) juga terdapat beberapa hadis yang
berbeda. Tabel berikut ini menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut.19
Tabel 2. Perbedaan Jumlah Diyat Mugaladzah dalam Beberapa Riwayat
Perawi Jumlah Diyat Keterangan Abu Dawud dari Utsman bin Affan dan
40 jadza'ah bunting 30 hiqqah
18 Ibid, hadis nomor 4554. 19 Diolah kembali dari Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 326-327.
Zaid bin Tasbit 30 bintu labun Abu Dawud dari Abdullah bin Umar, Ibnu Majah Asy-Syafi'I
100 onta, 40 di antaranya bunting
Diyat khata' syibh al-'amd
Abu Dawud dari Ashim bin Dhamrah
33 hiqqah 33 jadza'ah 34 berumur 2 tahun penuh 1 khilfah
'Alaqamah dan al-Aswad dari Abdillah
25 hiqqah 25 jadza'ah 25 bintu labun
25 bintu makha«
Syibh al-'amd
Mengenai ada atau tidaknya jenis diyat syibh al-'amd para fuqaha juga berbeda
pendapat. Namun yang paling kuat adalah pendapat yang meniadakan adanya syibh al-
'amd. Argumentasi yang digunakan dalam menolak adanya syibh al-'amd adalah
sebagai berikut.
a. Banyak ulama-ulama hadis, seperti Abu Umar bin Abd al-Bar, Ibnu Rusyd,
menganggap bahwa hadis-hadis tentang syibh al-'amd adalah hadis yang lemah
karena bersifat mudztharib.20 Sedangkan Imam Malik menentang adanya syibh al-
'amd dan menyatakan bahwa syibh al-'amd adalah batil, kecuali dalam kasus
pembunuhan ayah terhadap anaknya.
b. Dalam al-Qur'an, hanya diatur mengenai pembunuhan yang sengaja (surat al-
Baqarah 178) dan pembunuhan yang tidak sengaja (surat an-Nisa 92). Oleh karena
itu, hadis tentang syibh al-'amd tidak dapat dijadikan dalil atau hujjah dan batal
secara hukum.
20 Dalam ilmu hadis hadis mudtharib adalah mā ukhtulifa fī sanadihi aw fī matnihi aw fīhimā
biziyādah aw naq¡ ma'a 'adami imkāni al-jam'i aw at-tarjīhi (hadis yang diperselisihkan dalam sanad atau matannya, atau kedua-duanya sebab adanya tambahan atau pengurangan dengan tidak adanya kemungkinan untuk disatukan atau ditarjihkan.Hafidz Hasan al-Mas'udi, Minhah al-Mugits fī 'Ilm Mustalah al-Hadis, penerjemah Aziz Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1997), hlm. 51.
Argumentasi ini membawa implikasi juga kepada jumlah diyat kesengajaan. Diyat
kesengajaan yang didasarkan dan disamakan dengan diyat syibh al-'amd sebagaimana
dikemukakan Imam asy-Syafi'i juga disangsikan kebenarannya. Hal ini dikarenakan
hadis tentang diyat syibh al-'amd diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib ditolak oleh
beberapa ahli hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hibban.21
Dengan demikian, hadis yang dijadikan dalil dalam aturan mengenai diyat
kesengajaan tinggal hadis yang bersumber dari Ibnu Syihab sebagaimana yang
dipegangi Imam Maliki dalam Muwatha'-nya yaitu bahwa "Yahya telah menceritakan
dari Malik, sesungguhnya Ibnu Syihab berkata tentang diyat kesengajaan jika diterima
(maafnya) adalah 25 bintu makhadz, 25 bintu labun, 25 hiqqah, dan 25 jadza'ah." 22
Jika diperhatikan sanadnya, jelas hadis ini hadis mursal atau terputus, yaitu tidak
disebutkan nama sahabat terakhir yang berhubungan dengan Rasulullah secara
langsung. Dengan demikian tidak terdapat hadis yang ¡ahih atau pun yang marfu' yang
menyatakan tentang diyat kesengajaan. Menurut Abu Tsaur dan Ibnu Rusyd
sebagaimana dikutip oleh Haliman23, karena ketiadaan hadis yang ¡ahih atau marfu'
tentang diyat kesengajaan ini berarti diyat kesengajaan disamakan dengan diyat
kesalahan.
Pembayaran diyat pada dasarnya diberikan dalam bentuk hewan onta. Hal ini
dikarenakan pada waktu itu onta merupakan harta yang cukup berharga. Akan tetapi
beberapa hadis menunjukkan adanya kebolehan membayar diyat dalam bentuk uang.
Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik menetapkan diyat bisa digantikan dengan uang
21 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 328. 22 Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik Syarh 'alā Muwata' Mālik,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 59. 23 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 329.
12.000 dirham. Hadis Abu Dawud dari Ibnu Abbas menunjukkan keterangan tersebut,
yaitu "sesungguhnya seorang laki-laki dari Bani 'Adi dibunuh, maka Nabi menetapkan
diyatnya 12.000".24
Pandangan ini berbeda dengan Imam Hanafi yang menetapkan diyat sebesar
10.000 dirham. Pandangan ini didasarkan pada hadis Abdullah bin Umar bahwa Nabi
telah memutuskan mengenai diyat terbunuh dengan 10.000 dirham.25
Selanjutnya Imam asy-Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Hanafi mempunyai
pendapat yang sama dalam hal pembayaran diyat dapat diangsur selama tiga tahun.26
Malik dalam Muwatha' menyebutkan dasar hadisnya bahwa "Yahya telah menceritakan
kepadaku dari Malik bahwa dia (Malik) mendengar bahwa diyat dipotong (dicicil)
dalam tiga tahun atau empat tahun. Malik berkata, "Tiga adalah (pendapat) yang lebih
kusukai dalam masalah ini (cicilan)". 27
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pertama, jumlah diyat pembunuhan kesengajaan disamakan dengan diyat pembunuhan
karena kesalahan merupakan pendapat yang terkuat di antara pendapat yang lain.
Kedua, diperbolehkan bentuk diyat hewan (onta) digantikan dengan bentuk uang dan
dilakukan dengan cara angsuran. Jika jumlah diyat diambil dari pendapat Hanafi yang
berjumlah 100 onta dan digantikan uang, maka penentuannya didasarkan pada harga
onta pada masa itu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin al-Khathab.28
D. Rekonstruksi dan Reaktualisasi Hukum Islam tentang Qisas-Diyat
24 al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 383, hadis nomor 4546. 25 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 330. 26 Ibid., hlm. 331. 27 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik…, hlm. 59. 28 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hlm. 382, hadis nomor 4542. Jika harga seekor onta
sekarang adalah 2250 riyal dan kurs rupiah terhadap riyal adalah Rp. 2.500,- maka seekor onta kurang lebih berharga Rp. 5.625.000,00. Dengan demikian diyat yang harus dibayarkan 'aqilah (keluarga pelaku tindak pidana) dalam masalah pembunuhan tidak sengaja kepada keluarga korban kurang lebih sebesar Rp. 562.500.000,00 (setengah milyar lebih).
Sering kali terdapat anggapan bahwa hukum Islam identik dengan syari'at Islam.
Di sini tidak ada pemisahan antara hukum Islam (fiqh) yang merupakan hasil ijtihad
para ulama dengan syari'at Allah yang identik dengan wahyu. Hal ini berimbas pada
adanya anggapan bahwa hukum Islam (fiqh) bersifat absolut dan suci, yang tidak bisa
menerima perubahan dan pengembangan.29 Intelektual Islam sekaliber Muhammad
Muslehuddin pun menganggap bahwa hukum Islam adalah "sistem hukum buatan
Tuhan".30
Pengaburan istilah antara hukum Islam, syari'ah Islam, dan fiqh pada hakikatnya
tidak ada masalah. Namun pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam, yang
identik dengan fiqh karena merupakan hasil ijtihad manusia, dengan syari'ah yang
identik dengan wahyu, yang berada di luar jangkauan manusia, harus diletakkan pada
posisi sebenarnya.31 Dengan demikian akhirnya disadari bahwa karena hukum Islam
merupakan hasil ijtihad fuqaha maka adalah wajar jika fuqaha dalam menetapkan
ijtihadnya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial dan politik.
Oleh karena itu, dalam melakukan ijtihad mengenai qisas-diyat para fuqaha
kadangkala, bahkan dapat dikatakan sering, mempunyai hasil yang berbeda-beda,
seperti yang telah diungkapkan di awal. Satu ulama pun kadangkala mempunyai
pandangan yang berbeda karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.32
Bagi masyarakat muslim, perbedaan-perbedaan di antara para fuqaha itu bukan
menjadi masalah yang besar. Justru sebaliknya menunjukkan adanya kekayaan wacana
hukum dalam Islam, sehingga masyarakat muslim pada suatu tempat dan pada suatu
29 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 47-48. 30 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. ix. 31 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional…, hlm. 49. 32 Sebagai contoh adalah qaul qadim dan qaul jadid-nya Imam asy-Syafi'i. Zaitunah Subhan,
Tafisr Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur'an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 9.
waktu bebas memilih antara pendapat-pendapat itu yang sesuai dengan kondisi
sosialnya atau melakukan rekonstruksi reaktualisasi sendiri dengan dasar nilai-nilai
kebenaran Islam.
Terdapat beberapa persoalan dalam hukum Islam tentang qisas-diyat yang telah
dikemukakan para fuqaha. Jika persoalan ini dicermati berdasarkan ukuran kondisi
sosial dan politik negara-negara modern dan pluralis, maka muncullah aturan-aturan
hukum Islam yang bias. Persoalan-persoalan itu antara lain diuraikan di bawah ini.
1. Kedudukan Perempuan
Dalam memahami surat al-Baqarah ayat 178 bahwa "… perempuan (dibalas)
dengan perempuan…" para fuqaha berbeda pendapat. Al-Hasan, Atha, dan Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa berdasarkan ayat ini seorang laki-laki tidak dipidana mati
sebab membunuh perempuan.33 Pendapat ini jelas mengandung pengertian yang bias
jika dilihat dengan kaca mata keadilan gender. Dalam hal ini, perempuan "dihargai"
separo dari laki-laki.
Pendapat ini dibantah oleh jumhur al-'ulama yang menyatakan bahwa dalam
konteks pembunuhan perempuan oleh laki-laki maka dasar hukum yang digunakan
adalah surat al-Maidah ayat 45 " … jiwa dibalas dengan jiwa…". Ayat ini menjelaskan
"jiwa" secara umum, artinya baik laki-laki maupun perempuan. Di samping itu jumhur
al-'ulama berpegangan juga pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Ibnu Majah bahwa "orang-orang Islam darahnya sama".34
Bias gender demikian juga muncul dalam masalah diyat. Berdasarkan hadis dari
Mua'z, Kahalani dan Syaukani menyebutkan bahwa Nabi menetapkan diyat perempuan
33 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān
al’Adzīm…, I: 210. 34 Al-Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dāwud, hlm. 637, hadis nomor 2751, dan Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Mājah, dalam Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, hadis nomor 2673.
adalah separuh dari diyat laki-laki. Menurut Kahalani hadis ini ijma'. Asy-Syafi'i,
Hadawiyah, dan Hanafiyah mendasarkan dalil ini untuk menentapkan bahwa diyat
penganiayaan perempuan setengah diyat laki-laki.35
Adanya pertentangan dalam masalah matan atau isi dan logika pada beberapa
hadis tentang diyat perempuan yang diriwayatkan oleh orang yang sama terdapat dalam
kitab Muwata' Imam Malik. Dalam bab 'aql al-mar'ah disebutkan hadis berikut.
و حدثين حيىي عن مالك عن حيىي بن سعيد عن سعيد بن املسيب أنه كان يقول تعاقل املرأة الرجـل إىل
ثلث الدية إصبعها كإصبعه وسنها كسنه وموضحتها كموضحته ومنقلتها كمنقلته و حدثين عن مالـك
املـرأة أـا عن ابن شهاب وبلغه عن عروة بن الزبري أما كانا يقوالن مثل قول سعيد بن املسيب يف
تعاقل الرجل إىل ثلث دية الرجل فإذا بلغت ثلث دية الرجل كانت إىل النصف من دية الرجل قال مالك
وتفسري ذلك أا تعاقله يف املوضحة واملنقلة وما دون املأمومة واجلائفة وأشباههما مما يكون فيـه ثلـث
. 36الرجلالدية فصاعدا فإذا بلغت ذلك كان عقلها يف ذلك النصف من عقل
Sedangkan dalam bab ma jā'a fī 'aql al-ashābi' Imam Malik menyebutkan hadis
Sa'id bin al-Musayyib yang lain sebagai berikut.
و حدثين حيىي عن مالك عن ربيعة بن أيب عبد الرمحن أنه قال سألت سعيد بن املسيب كـم يف إصـبع
إصبعني قال عشرون من اإلبل فقلت كم يف ثالث فقال ثالثون املرأة فقال عشر من اإلبل فقلت كم يف
من اإلبل فقلت كم يف أربع قال عشرون من اإلبل فقلت حني عظم جرحها واشتدت مصيبتها نقـص
عقلها فقال سعيد أعراقي أنت فقلت بل عامل متثبت أو جاهل متعلم فقال سعيد هي السـنة يـا ابـن
.37أخي
35 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 317. 36 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwīr al-Hawālik…, hlm. 61. 37 Ibid., hlm. 65.
Berdasarkan hadis yang pertama, perempuan dapat menerima diyat 1/3 dari diyat
laki-laki. Jika diyat tersebut melebihi 1/3 diyat laki-laki maka perempuan menerima 1/2
diyat laki-laki. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah jika diyat empat jari laki-laki
adalah 100 ekor onta, maka diyat perempuan adalah 1/3-nya, yaitu 33 ekor onta.
Namun hal ini berbeda dengan matan hadis kedua bahwa diyat empat jari
perempuan adalah 20 ekor onta. Di samping itu, dalam hadis kedua tersebut Sa'id bin al-
Musayyib menetapkan diyat empat jari perempuan lebih kecil daripada tiga jari
perempuan. Ketika ditanyakan tentang hal itu Sa'id bin al-Musayyab tidak menyebukan
dasar hukumnya dan hanya menyebutkan bahwa ini adalah sunnah.
Beberapa hadis yang berisi tentang diyat perempuan di atas justru menimbulkan
kekaburan persoalan walaupun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh satu orang
perawi, yakni Malik dari Sa'id bin al-Musayyib. Bahkan ditinjau dari logika, matan
hadis ini terasa saling bertentangan. Posisi atau kedudukan hadis-hadis itu pun mursal.
Oleh karena itu lebih tepat kiranya dikembalikan kepada al-Qur'an. Ternyata ayat-
ayat tentang qisas-diyat dalam al-Qur'an sama sekali tidak membedakan antara laki-laki
dan perempuan. Ayat-ayat yang lain pun sama sekali tidak membedakan posisi
perempuan terhadap laki-laki, apalagi merendahkan "harga" wanita terhadap laki-laki.
Bahkan secara tegas disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 97 bahwa ganjaran tergantung
pada perbuatan dan keimanannya, bukan pada jenis kelaminnya.
"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan jiwa dalam syari'at adalah
sama, baik laki-laki dan perempuan. Hal ini diakui oleh asy-Syafi'i dalam qaul jadīd-
nya bahwa qisas berlaku antara laki-laki dan perempuan, dan sebaliknya.38 Demikian
pula disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang telah disebutkan di muka bahwa
al-muslimūn tatakāfa'u dimā'uhum.
2. Kedudukan Non Muslim
Kedudukan non muslim mendapatkan perhatian sendiri dari para fuqaha. Jumhur
ulama, yakni Imam Maliki, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Hanbali berpendapat bahwa
seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir.39 Yang termasuk
da;a, kategori orang kafir adalah orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, kafir dzimmi,
mu'ahad, dan mustakmin.40
Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa seorang muslim yang
membunuh orang kafir tetap dipidana mati. Demikian pula sebaliknya. Argumentasi
ulama-ulama Hanafiyyah adalah:41
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 hanya mewajibkan hukum bunuh
bagi pembunuhan. Ketentuan ini bersifat umum, baik muslim maupun dzimmi.
Sedangkan ayat "orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba,
dan perempuan dengan perempuan…" dimaksudkan untuk menghilangkan
tindakan berlebihan sebagaimana yang berlaku pada zaman Jahiliyyah.
38 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 321. 39 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Azīm, I:
210; ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 174. 40 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 310. Ali ash-Shabuni menjelaskan dasar
pemikiran jumhur ulama ini bahwa pertama, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 178 menjelaskan mengenai kesepadanan pidana qisas, termasuk masalah ideologinya. Kedua, adanya dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhāri, at-Turmudzi, an-Nasā'i, Abu Dāwud, Ibn Mājah, dan Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda "seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir". Ketiga adanya dalil 'aqli bahwa orang kafir sama seperti binatang karena kekufurannya yang melampaui batas sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 55. Lihat ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 174-175.
41 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 175-177.
2. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 45 bersifat umum berkenaan dengan
hukuman qisas umat terdahulu. Syari'at umat terdahulu juga berlaku bagi umat
Islam selama tidak ada ketentuan nas yang menghapusnya.
3. Firman Allah dalam surat al-Isra' ayat 33 bahwa "…barang siapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya…" ini pun juga bersifat umum untuk semua orang yang terbunuh, baik
muslim maupun dzimmi.
4. Hadis riwayat Baihaqi dari Abdurrahman bin al-Bilmani bahwa Rasulullah pernah
membunuh seorang muslim karena membunuh kafir dzimmi, kemudian Rasulullah
bersabda "aku menghormati orang yang memenuhi tanggunganku".
5. Kesepakatan ulama yang mewajibkan hukum potong tangan bagi muslim yang
mencuri barang milik orang kafir dzimmi. Oleh karena itu, persamaan ini berlaku
juga bagi qisas. Kehormatan darah adalah lebih besar daripada hartanya.
Adanya pendapat Imam Hanafi yang berbeda dengan fuqaha demikian tentunya
tidak terlepas dari setting sosiologis tempat kediaman Imam Hanafi. Imam Hanafi
tinggal di Kuffah Irak, yang notabene adalah kota besar dengan kehidupan keagamaan
yang beragam (majemuk). Oleh karena itu, Imam Hanafi lebih toleran dalam
memandang hubungan Islam dengan non Islam. Sebagai hasil ijtihadnya, beliau juga
tidak memasukkan riddah (murtad) sebagai tindak pidana hudud sebagaimana pendapat
fuqaha lainnya.42
Aspek kedua yang membedakan Imam Hanafi dengan imam-imam madzhab yang
lain adalah sistem ijtihad. Ijtihad Imam Hanafi didasarkan kepada al-Qur'an, Sunnah,
ijma', qiyas, istihsan, dan 'urf. Akan tetapi karena beliau menetapkan syarat yang sangat
ketat bagi diterimanya hadis maka dalam realitasnya perbandingan penggunaan volum
42 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘alā al-Mazhab al-‘Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, tth.), hlm. 8-9.
dalil-dalil itu adalah al-Qur'an, qiyas, ijma', hadis, istihsan dan terakhir 'urf. Imam
Hanafi lebih banyak/besar mempergunakan qiyas daripada hadis. Kemungkinan ini juga
tak lepas dari jarak kota Kuffah di Irak yang jauh dari kota Madinah, sebagai kota
sumber perawi dan ahli hadis.
Visualisasi penggunaan dalil Imam Hanafi digambarkan sebagai berikut.43
Sistem ijtihad yang dipakai Imam Hanfi tersebut juga tidak terlepas dari peran
gurunya. Guru beliau pada tingkat pertama adalah Hammad bin Sulaiman. Hammad
berguru pada Ibrahim an-Nakha'i. Sedangkan an-Nakha'i adalah murid 'Alaqamah bin
Qais an-Nakha'i. Ketiga-tiganya adalah tokoh ahl ar-ra'yi pada masa tabi'in. 'Alaqamah
merupakan murid Abdullah bin Mas'ud, salah seorang tokoh ahl ar-ra'yi di kalangan
sahabat Nabi.44 Oleh karena itu wajarlah apabila Imam Hanafi memiliki kecenderungan
memperbesar qiyas sebagai bentuk ar-ra'yi (pendapat) daripada hadis.
Di negara-negara modern yang masyarakatnya lebih plural/majemuk dan
hubungan antara Islam dengan non Islam terjalin dengan harmonis, sebagaimana di
Indonesia, ketentuan sebagaimana pendapat Imam Hanafi lebih dapat diterima. Oleh
karena itu, perlu kiranya dilakukan redefinisi mengenai kedudukan non muslim dalam
konsep hukum tata negara Islam dan hukum internasional Islam yang selama ini telah
43 Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998), hlm. 74. 44 Ibid, hlm. 75.
Al-Qur'an
Qiyas
Ijma'
Hadis Istih san
dihasilkan oleh para fuqaha. Konsep fiqh klasik mengenai dar al-¥arb dan dar al-Islām
pun perlu dikoreksi kembali agar sesuai dengan tata kehidupan modern yang
harmonis.45
Dalam masalah qisas-diyat sendiri, al-Qur'an tidak secara tegas membedakan
antara orang Islam dengan non Islam. Aturan dalam al-Qur'an itu berbicara mengenai
pembunuhan secara umum. Dalil hadis riwayat Bukhari yang digunakan ber-¥ujjah
adanya perbedaan antara muslim dan non muslim sebagaimana disebutkan ash-Shabuni
bersifat mauquf, yakni berhenti pada sahabat Ali bin Abi Thalib.
"Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin al-Fadhl, telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Uyainah, telah menceritakan kepadaku Mutharrif, ia berkata, "Saya mendengar asy-Sya'bi berkata, "Saya mendengar Abu Juhaifah berkata,
"Saya bertanya kepada Ali ra«iyallāhu 'anhu, "Apakah dalam dirimu ada sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an?". Abu Juhaifah berkata dalam kesempatan lain, "Apa yang tak ada pada manusia?". Ali menjawab, "Demi Dzat yang menciptakan biji, ruh, dan jiwa, tidak ada dalam diriku kecuali apa yang ada dalam al-Qur'an, kecuali Allah memberikan kefahaman kepada hamba-Nya tentang kitab-Nya dan
apa yang ada dalam ¡ahīfah." Saya (Abu Juhaifah) bertanya, "Apa yang ada dalam
¡ahīfah?". Ali menjawab, "Pembayaran denda, pembebasan tawanan, dan seorang muslim tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir." Sangat jelas bahwa hadis ini berisi pembicaraan Abu Juhaifah dengan Ali bin Abi
Thalib, bukan sabda Nabi sendiri. Hadis yang menyebutkan bahwa "seorang muslim
tidak akan dibunuh karena (membunuh) orang kafir" sebagai sabda Nabi secara
langsung adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah.
Sanad hadis tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Perawi dan Sanad Hadis Lā yuqtalu muslim bikāfir
Perawi Sanad At-Turmudzi Isa bin Ahmad
Ibnu Wahb Usamah bin Zaid Amr bin Syua'ib
45 Qodry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional…, hlm. 37.
Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi
Ibnu Majah Hisyam bin Amr Hatim bin Ismail Abdurrahman bin Ayyas Amr bin Syu'aib Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi
Ahmad Husain bin Muhammad dan Hasyim bin Qasim Muhammad bin Rasyid al-Khuza'i Sulaiman bin Musa Amr bin Syua'ib Syu'aib bin Muhammad Abdullah bin Amr bin al-Ashi
Tampak dalam tabel itu seorang sanad hadis bernama Amr bin Syu'aib. Padahal
sebagaimana telah dipaparkan di muka bahwa para ahli hadis seperti Jalaluddin asy-
Suyuthi dan Ibnu Hibban menyangsikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin
Syu'aib.46
Adanya ketentuan hukum Islam yang intoleran juga muncul dalam ketentuan
mengenai diyat orang non muslim menurut ulama klasik. Menurut Imam Malik diyat
orang non muslim adalah setengah dari diyat muslim. Sedangkan Imam asy-Syafi'i
berpendapat diyat orang Yahudi dan Nasrani adalah 1/3, dan diyat orang Majusi adalah
1/5. Berdasarkan hadis-hadis yang dijadikan dalil argumentasi dalam masalah ini
ternyata terdapat beberapa titik masalah, antara lain munculnya perbedaan jumlah diyat
non muslim dan adanya nama sanad Amr bin Syu'aib. Sedangkan hadis riwayat Baihaqi
baik dari az-Zuhri, Ikrimah, ataupun dari Ibnu Umar justru menetapkan jumlah diyat
yang sama.47 Oleh karena itu, perselisihan ini selayaknya dikembalikan kepada
46 Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam…, hlm. 328-329. 47 Ibid., hlm. 312-315.
ketentuan al-Qur'an yang tidak membedakan secara tegas perbedaan diyat muslim
dengan non muslim, sebagaimana pendapat Hanafiyyah.
E Hikmah Ketetapan Qisas-Diyat
Pada dasarnya ayat-ayat qisas-diyat dalam al-Qur'an adalah untuk mengajak
kepada kemurahhatian dan mengurangi kekejaman dan pembalasan yang diberlakukan
pada masa pra-Islam. Syarī’ah Islam kemudian datang untuk mengajarkan persamaan
(equality) dan kemurahhatian (mercy) dengan menetapkan bahwa pembunuhan dibalas
dengan pembunuhan (qisas) dan penganiayaan dibalas dengan penganiayaan. Namun
jika pembunuh dimaafkan, dengan membayar diyāt yang reasonable, maka hal itu
adalah lebih baik.48 Selain itu, qisas sebagai hukuman yang tertinggi, disyaratkan
dengan ketat dan harus dipastikan bahwa si pembunuh melakukannya dengan sengaja
dan memenuhi unsur kesalahan. Jika terdapat keraguan (doubt/asy-syubhat) dalam
pelaku atau dalam pembuktiannya, maka qisas tidak dapat dilakukan.49
48 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam…, hlm. 88. 49 Ibid.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi bahwa hikmah adanya hukuman qisas-
diyat adalah keberlangsungan hidup manusia di dunia, tindakan preventif agar manusia
tidak saling membunuh yang akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, serta
menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.50 Sementaara itu, hikmah diyat
adalah demi kepentingan kedua belah pihak. Dari pihak pembunuh, dengan membayar
denda secara damai kepada pihak keluarga korban, dia akan merasa aman dan akan ada
kesempatan untuk bertaubat kembali ke jalan yang benar karena merasakan berharganya
kehidupan. Sementara bagi keluarga korban, diyat yang diterima secara damai akan
dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya dan meringankan sedikit
kesedihannya.
Allah mensyari'atkan qisas untuk menjaga darah dan jiwa manusia serta
menghilangkan dendam dan fitnah di antara umat manusia.51 Dengan diberlakukannya
qisas, maka jiwa seseorang terlindungi karena orang yang akan membunuhnya --dengan
mengetahui adanya ancaman pidana mati-- akan mengurungkan niatnya. Di samping itu,
calon pelakunya juga akan terlindungi jiwanya karena mengurungkan niatnya untuk
membunuh. Oleh sebab itu dalam ayat "walakum fi al-qisās hayātun…" terkandung
makna kehidupan yang sangat luas, yaitu bagi orang yang akan dibunuh, pembunuh,
keturunan-keturunannya serta masyarakat secara luas. Ayat "walakum fi al- qisās
hayātun…" juga terkandung makna tujuan pemidanaan, yakni demi terciptanya
kemaslahatan. Qisas bukan bertujuan untuk melakukan penyiksaan terhadap pelaku.
Dengan demikian Allah tidak berfiman "walakum fi al-qi¡ā¡ intiqāmun…" (Dan dalam
qisas terdapat (makna) penyiksaan bagimu).52
50 Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri' wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 346. 51 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān…, I: 175. 52 Ibid., hlm. 176.
Bersamaan dengan ditetapkannya pidana qisas bagi pelaku pembunuhan, Allah
mensyari'atkan juga pemaafan kepada pelaku. Hal ini berarti qisas bukanlah pidana
yang bersifat mutlak, namun sebaliknya bersifat relatif dengan bergantung pada
pemaafan dari pihak keluarga korban. Dengan demikian syari'at Islam sangat
memperhatikan eksistensi pihak keluarga korban sebagai pemutus ada tidaknya qisas.
Selanjutnya, jika qisas dimaafkan maka pelaku diwajibkan untuk membayar diyat
sebagai bentuk ganti rugi atas kematian korban. Pembayaran diyat sebagai ganti rugi ini
memiliki makna yang sangat baik, karena kebutuhan ekonomi keluarga korban tidak
lepas dari perhatian oleh syari'at Islam. Pentingnya diyat ini sangat dirasakan apabila
korban adalah orang yang bertanggung jawab atas nafkah keluarganya. Walaupun
dalam kajian fiqh seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa jumlah diyat menjadi
titik perbedaan di antara fuqaha, namun dapat diambil kesimpulan bahwa kesemuanya
menetapkan diyat dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini tentu untuk menjamin
kelangsungan hidup kelaurga korban pada masa-masa selanjutnya.
Ketentuan bagi pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 92, menyuguhkan
beberapa hikmah. Pertama, walaupun tidak ada pidana qisas, diyat tetap harus
dibayarkan kepada keluarga korban karena bagaimanapun juga akibat pembunuhan itu
berimplikasi pada kehidupan ekonomi keluarga korban. Apalagi jika korban adalah
orang yang berkewajiban menyokong ekonomi keluarga, seperti ayah atau suami. Untuk
itu, jaminan kelangsungan ekonomi harus tetap ada bagi keluarga korban.
Kedua, di samping pembayaran diyat, Allah juga mensyari'atkan pidana kaffarat
atau penebusan dosa atas pembunuhan itu. Bentuk kaffarah adalah pembebasan budak
perempuan. Dengan kaffarah ini secara tak langsung Allah tidak menyetujui adanya
perbudakan di kalangan muslim dan hendak menghapuskannya. Cara penghapusan
perbudakan oleh Allah ini tidak dilakukan dengan serta merta, namun secara tadrij
(bertahap) karena perbudakan sudah sangat membudaya sejak jaman Jahiliyyah sampai
Islam datang. Di samping itu, bentuk kaffarah ini sangat strategis dan memenuhi aspek-
aspek keadilan dalam upaya penghapusan perbudakan di kalangan muslim, yaitu
memerdekakan budak perempuan yang mukmin. Kaum perempuan, termasuk budak,
dipandang lemah dalam hal fisik dan sering kali mengalami eksploitasi fisik dan seks
dari majikannya.
Ketiga, adanya pidana yang berbeda bagi muslim diukur ada tidaknya permusuhan
di antara pembunuh dengan korbannya. Jika tidak ada permusuhan antara kaum
pembunuh dengan korbannya, walaupun antara orang Islam dengan orang non-Islam
(yang telah ada perjanjian damai) maka pidana lebih berat, yaitu dengan membayar
diyat kepada keluarga korban dan membebaskan seorang budak perempuan mukmin.
Sedangkan jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara kaum mukmin yang bermusuhan,
maka pidananya lebih ringan yaitu hanya membayar kaffarah dalam bentuk
membebaskan seorang budak perempuan mukmin. Ketentuan seperti ini menunjukkan
bahwa derajat hubungan antara orang muslim dengan non muslim --jika ada perjanjian
damai, termasuk di dalamnya kafir dzimmi-- adalah lebih mulia di sisi Allah, sehingga
Allah menentukan pidana yang lebih berat (diyat dan kaffarah). Sebaliknya, jika
hubungan antara muslim satu dengan muslim yang lain tidak harmonis, sehingga
muncul permusuhan, maka oleh Allah diletakkan dalam derajat yang rendah. Oleh
karena itu jika terjadi pembunuhan tak sengaja antara muslim dengan muslim lain,
namun karena di antara keduanya ada permusuhan maka Allah memberikan pidana
yang lebih ringan yaitu hanya berupa kaffarah (pembebasan budak) tanpa adanya diyat
bagi keluarga korban. Secara tak langsung, Allah memberikan hikmah agar setiap
pemeluk agama terhadap pemeluk agama lain hidup dalam keharmonisan.
Keempat, salah satu bentuk keringanan Allah terhadap hamba-Nya dalam masalah
pembunuhan tak sengaja ini adalah ditetapkannya pidana puasa bagi pelaku yang tidak
mampu membayar diyat atau membayar pembebasan budak. Bentuk alternatif
pemidanaan ini menunjukkan fleksibelitas syari'at Islam. Jika seorang terpidana tak
mampu untuk membayar diyat atau membayar pembebasan budak, maka alternatif
terakhir adalah diwajibkan berpuasa sebagai bentuk penggemblengan pribadi. Oleh
karena bertujuan penggemblengan pribadi ini, maka wajar jika periode puasa yang
ditetapkan melebihi puasa Ramadlan dengan pelaksanaan yang berturut-turut.
F Penutup
Keadilan Allah sangat tampak dalam syari'at Islam tentang qisas-diyat. Sistem
pemidanaan akibat pembunuhan, baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja,
sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan kekayaan hikmah
yang terkandung di dalamnya. Selain itu, ijtihad para fuqaha untuk mengaplikasikan
aturan-aturan qisas-diyat dengan bersumber pada al-Qur'an dan hadis menunjukkan
keanekaragaman dalam hukum Islam. Semuanya bertujuan agar hukum Islam yang
bersumber dari al-Qur'an dan hadis itu tetap bisa save di muka bumi. Oleh karena itu,
perlu kiranya usaha yang tak henti dari para ahli hukum Islam untuk menggali hikmah
atau nilai-nilai filosofi syari'at Islam dalam al-Qur'an dan hadis, tak terkecuali syari'at
Islam tentang qisas dan diyat, agar keadilan Allah dapat terwujudkan di muka bumi.
Insya Allah.
Daftar Pustaka
Azizy, Qodry, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Bisri, Adib, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. Bukhari, al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-,
Sahih al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Dawud, al-Hāfidz Abu, Sunan Abi Dāwud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1997. Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan
Bintang, tth.
Hasaballah, Ali, Usul al-Tasyri’ al-Islāmi, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971. Ibn Katsir,al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il, Tafsīr al-Qur’ān
al’Adzim, ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth. Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘alā al-Mazhab al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al Fikr, tth.
Jurjawi, al-, Hikmah at-Tasyri' wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Ma’luf, Luis, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Mas'udi, Hafidz Hasan al-, Minhah al-Mugits fī 'Ilm Mustalah al-Hadits, Penerjemah Aziz Masyhuri, Solo: Ramadhani, 1997.
Mausū'ah al-Hadits asy-Syarīf, edisi kedua, Global Islamic Software Company, 1991-1997, CD ROM.
Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Sabiq, As-Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Shabuni, ‘Ali ash-, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.
Subhan, Zaitunah, Tafisr Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur'an, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Suyuthi, al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-, Tanwīr al-Hawālik Syarh 'alā Muwata' Mālik, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Zuhaily, Wahbah az-, At-Tafsīr al-Munīr fī al-'Aqīdah wa asy-Syarī'ah wa al-Minhāj, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1991.