kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana menurut perspektif hukum...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN ISLAH DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
(Stusi Analisis Kasus Pembunuhan Yang Menewaskan Pemuda Dayak)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Disusunoleh :
Adam Rohili (111204300005)
PROGRAM PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ABSTRAK
Adam Rohili , NIM 1112043200006, Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Menurut Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif (Studi Analisis Kasus Pembunuhan Yang Menewaskan Pemuda Dayak), Strata Satu (S-1), Jurusan Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H/2017 M, 60 halaman.
Penelitian ini berjudul “Kedudukan Islah Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Menurut Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Pidana Positif (Studi Analisis Kasus Pembunuhan Yang Menewaskan Pemuda Dayak). Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia dan dalam hukum pidana Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa penelitian pustaka (library research). Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari KUHP, Undang-undang, serta kitab fiqih. Dan data sekunder diperoleh dari buku-buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa islah dalam penyelesaian tindak pidana dapat dilakukan sebagai jalan keluar yang baik, tanpa melalui proses persidangan dan menguntungkan para pihak yang terlibat baik korban maupun pelaku kejahatan. Secara spesifik islah tidak diatur dalam hukum positif Indonesia, namun proses penyelesaian islah sudah lama dikenal sebagai keadilan restoratif (restoratif justice), proses islah dalam hukum positif hendaknya diketahui penyidik agar dapat menghentikan proses peradilan ke pengadilan. Dalam hukum pidana Islam, islah dapat dilakukan atas jarimah Qisash, Diyat dan Ta’zir.Kesimpulanya adalah islah merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap baik karena menguntungkan para pihak serta dapat memperbaiki keadaan sosial suatu masyarakat
Kata kunci : Islah, Kedudukan Islah, Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana. Pembimbing : 1. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
vi
KATA PENGANTAR
بسم اللھ الرحمن الرحیم
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, karunia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KEDUDUKAN
ISLAH DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF (STUDI ANALISIS KASUS
PEMBUNUHAN YANG MENEWASKAN PEMUDA DAYAK”. Shalawat serta
salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan
umatnya dari kegelapan dunia ke zaman pencerahan ilmu pengetahuan seperti saat
sekarang ini.
Selama penulisan skripsi ini penulis menyadari banyak mengalami
kesulitan dan hambatan untuk mendapatkan data dari referensi. Namun berkat
kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan itu dapat
diselesaikan. Untuk ini penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA,
Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Pembimbing Akademik Dr. Fuad Thohari, MA, dan seluruh Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen pembimbing Skripsi, Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag. Fahmi Muhammad
Ahmadi, M. Si yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran yang baru
bagi saya dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Khusus kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda tercinta H. Ahfas dan ibunda tercinta Hj. Zurkoh yang
selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk
membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan
pernah dan mustahil penulis mampu membalas kebaikan yang telah
diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber teladan bagi
penulis dalam mengarungi kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak dan adik penulis yang selalu memberikan semangat serta
mendoakan penulis dalam perjalanan studi penulis dan penyelesaian skripsi
ini.
8. Kepada guru ngaji penulis, Abang Aziz Muslim,MA H. Mahbub
Marzuki,MA . Terimakasih telah membantu penulis dalam perjalanan studi
baik dalam bentuk materil maupun moril.
9. Kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa PH (Perbandingan Hukum)
angkatan 2012, khususnya Muhammad Aryo Purwanto, Andi Permana,
Suhadi Yazid, Achmad Furqon, Zaki Mubarok, Nova Sandy Prasetyo,
viii
Ahmad Fajri, Nurhilaluddin, Miladiyah, Mawaddah, Ronni Johan, Bukhori
Muslim,Fatima Wati, serta teman-teman lain yang selalu memberikan
semangat, dukungan, dan saran kepada penulis. Terimakasih teman-teman,
dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Penulis
menyadari itu semua sebagai pengalaman berharga yang tidak akan pernah
terlupakan.
10. Kepada sahabat-sahabat terbaikku khususnya Syifa Fauziah,Riyan Ali, Siti
Humairoh, Eva Farida, Syukrina, Samala, Ainul Yakin, Fuziah Zahra, Febry
Hastuti,Agy Sapta Pamungkas, Farhan Qorib KKN MAWAR, Grup
Marawsi AL-JADID Grup Hadroh AL-Mukhlisin Grup Gambus EL-ASL.
Terimakasih atas semangat dan dukungannya kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Terimakasih telah membuat cerita dalam hidup
penulis baik berupa canda tawa, tangis dan pengorbanan. Tetaplah selalu
menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang mana
penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa
memberkati langkah kita. Semoga Allah membalas amal baik kalian semua
dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Amin.
Jakarta, 22 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii
LEMBARPERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .... ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ………. ............................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................... 6
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 7
E. Studi Pustaka Terdahulu ............................................... 7
F. Metodelogi Penelitian ................................................... 8
G. Sistematika Penelitian ................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Hukum Pidana Islam..................................... 11
B. Islah Menurut Pidana Islam .......................................... .. 16
C. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam .................. 18
D. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam
Hukum Pidana Islam .................................................... 22
E. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam .............. 30
BAB III TINDAK PIDANA DAN KEDUDUKAN ISLAH DALAM
HUKUM POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana ............................................. 33
B. Kategori Tindak Pidana ................................................ 36
C. Unsur-unsur Tindak Pidana .......................................... 38
D. Tujuan Pemidanaan ...................................................... 40
E. Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian
Tindak Pidana ............................................................... 43
BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PIDANA MELALUI ISLAH
A. Kasus Pembunuhan Yang Menewaskan Pemuda Dayak
dan Sidang Damai Suku Madura .................................. 47
B. Efektifitas Islah Kasus Pembunuhan Yang mene-
waskan Pemuda Dayak dalam Hukum Pidana Islam ... 49
C. Efektifitas Islah Kasus Pembunuhan Yang mene-
waskan Pemuda Dayak dalam Hukum Pidana Positif .. 53
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 59
B. Saran ............................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 61
LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat agar terciptanya ketertiban. Pengertian hukum itu sendiri menurut E.
Utrecht, bahwa hukum adalah kumpulan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu
masyarakat dan ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.1Berbicara
tentang hukum, maka kita berbicara pula tentang sebuah sistem. Dewey
memandang, bahwa hukum sebagai sebuah sistem adalah serangkaian komponen-
kompenen yang saling terhubung satu sama lain baik secara langsung maupun
tidak langsung dan membentuk suatu pola.
Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara
mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak
dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan
berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang kurang jelas
harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan
hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Sehingga
dapat mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang
mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.2
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum.
Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan
sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum
pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan
dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan
penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian,
1 R. Soeroso, pengantar ilmu hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.35. 2 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti
dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers,2006, hlm 28
2
masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga masalah
kebijakan (the problem of policy).
Peradilan merupakan salah satu subsistem dalam sistem hukum positif
Indonesia. Dalam menyelesaikan perkara pidana dilakukan dalam sistem peradilan
pidana. Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi
suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulan kejahatan
dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.Penjatuhan pidana terhadap tindak
pidana tidak dapat membuat pelaku tindak pidana jera. Banyak para tindak pidana
yang telah dijatuhkan putusan namun ia melakukan kembali tindak pidana.
Disamping itu korbannya juga tidak mendapatkan penggantian, keseimbangan
juga tidak dapat dikembalikan dan rasa aman terhadap masyarakat menjadi
terganggu. Dalam situasi seperti ini dapatlah dikatakan tujuan pemidanaan tidak
tercapai.
Dengan sistem pemidanaan seperti sekarang ini banyak kepentingan
korban yang terabaikan padahal korban (victim) adalah pihak yang sesungguhnya
dirugikan dengan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (offender).
Salah satu tujuan sistem pemidanaan sekarang ini untuk menjadikan jera pelaku
agar tidak berbuat pidana lagi tidak tercapai, justru sebaliknya menjadikan pelaku
lebih ahli dalam bertindak karena bertukar pengalaman sesama nara pidana di
dalam penjara, sehingga ketika ia keluar dari penjara akan melakukan tindak
pidana lagi dan tidak tertutup kemungkinan lebih besar dan lebih sadis lagi.
Hal ini yang dapat membuat masyarakat resah karena adanya tindak
pidana yang dilakukan berulang-ulang, yang menjadikan kepentingan masyarakat
tidak terayomi oleh sistem pemidanaan sekarang ini.Dalam kehidupan sehari-hari
tidak selamanya manusia menjalani kehidupanyang wajar. Pada tempat dan masa
tertentu dia bisa mengalami hal yang di luar kemampuannya untuk menolak,
terhindar dan menguasainya. Maksudnya keadaan yang membahayakan hidupnya,
seperti ada hasutan dan ajakan dari orang lain, dalam keikutsertaannya untuk
melakukan tindak pidana atau kejahatan lainnya.
3
Adapun dampak-dampak negatif yang akan terjadi telah adanya
pelanggaran tindak pidana seperti merugikan pihak lain baik dalam material
maupun non material, merugikan masyarakat secara keseluruhan, merugikan
negara, mengganggu kestabilan dan keamanan dalam masyarakat.Dalam kondisi
masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum menjadi sangat penting,
karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Untuk menciptakan
perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar
pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah
satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintah
menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana baru.
Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflict of human interest
dan melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui
perdamaian dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri
pertikaian ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan,
sedangkan peradilan mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya
keadilan yuridisindividualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-
salahnya suatu perbuatan oleh hakim. Dalam memecahkan masalah hukum, secara
keperdataan, setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila
mampu menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian
merupakan jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan
salah satu pihak semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap
konflik yang dialami manusia.3
Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada
umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi).
Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal
yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan
tersebut, yaitu : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Meskipun demikian,
dalam tataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus.
Adapaun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian dikenal dengan
3 Moh Rifqi, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008
4
istilahwin lose solution, dimana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak
yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara umumnya
kerap menimbulkan suatu rasa “tidak enak” dibenak pihak yang kalah, sehingga
berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal ini pada
umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang
tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi ketentuan.4
Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute
Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai
bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara
yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti
negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus,
seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia)
untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak
asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan
putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai
sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui
adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau
Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian
yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak
yang bersengketa.5
Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan
pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap
ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik
dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia
seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa
budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai
4Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3 5 Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam
dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 19 Desember pukul 02.30 WIB
5
karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan
perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat,
mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam
menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama
dalam masyarakat Jawa dan Bali.6
Islah memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada
pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana
konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan pemaafan,
menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang
diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui perdamaian
dan perundingan. Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan
pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap
kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, Islah merupakan pilihan yang menjadi hak
prerogratif dari korban maupun ahli warisnya.7
Proses islah terjadi karena adanya perspektif yang berubah dari korban
dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan perspektif ini menyebabkan
cara penyelesaian yang ditempuh pun berubah tergantung kondisi dan keinginan
korban. Tetapi perubahan perspektif ini berpengaruh terhadap proses pemeriksaan
kesaksian di pengadilan, dimana dalam beberapa keterangannya saksi-saksi
cenderung mengubah “perspektifnya” atas peristiwa yang terjadi. Selama proses
pemeriksaan saksi, alasan yang dikemukakan untuk mengubah keterangan atau
mencabut keterangan dalam BAP adalah karena alasan emosional saksi yang
disebabkan oleh situasi psikologis saksi sebelum melakukan islah dan setelah
melakukan islah. islah dapat kita lihat dalam sidang damai suku dayak atas kasus
pembunuhan yang menewaskan pemuda dayak, pelaku melakukan pembunuhan
terhadap korban yang bernama Eki Persia Rianda. Hasil dari sidang damai yang di
adakan antara kedua suku pelaku di jatuhkan denda membayar sebanyak 500
6 Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang,
1991, hal. 21 7 Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul
Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal 21 Desember 2017
6
katigram emasdenganhargaemassekarangsekitarRp 564.000 atau total sekitar
RP282.000.000 kepada orang tua korban. dan dendaharus di bayar paling telat 14
harisetelahputusan di bacakan. Dan selesainya persidangan kedua belah pihak
tidak ada yang merasa di beratkan melaikan bertukar cenderamata senjata khas
masing-masing.
B. Identifikasi Masalah
Supaya pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya
identifikasi masalah, berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penyelesaian tindak pidana melalui Islah dalam pandangan
hukum Pidana Islam?
2. Bagaimana penyelesaian tindak pidana melalui Islah dalam pandangan
hukum Pidana positif?
3. Bagaimana penerapan Islah dalam tindak Pidana?
4. Bagaimana keefektifan Islah bila di terapkan dalam suatu tindak
Pidana?
5. Bagaimana hak pelaku penyelesaian tindak Pidana Melalui Islah?
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Dari masalah pokok di atas dapat di uraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Islah dalam kasuspembunuhan yang
menewaskanpemuda Dayak ?
2. Bagaimana penyelesaian tindak pidana melalui Islah dalam
pandangan hukum Pidana Islam?
3. Bagaimana penyelesaian tindak pidana melalui Islah dalam
pandangan hukum Pidana positif?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, studi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai,
yaitu:
1. Untuk mengetahui Bagaimana kedudukan Islah dalam
kasuspembunuhan yang menewaskanpemuda Dayak.
2. Untuk mengetahui mengenai pengertian dan prosedur Islah dalam
menyelesaikan tindak pidana menurut perspektif Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui secara utuh mengenai pengertian dan prosedur Islah
dalam menyelesaikan tindak pidana menurut perspektif Hukum Islam.
4. Untuk mengetahui mengenai pengertian dan prosedur Islah dalam
menyelesaikan tindak pidana menurut perspektif Hukum positif
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat di kemukakan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menambah wawasan keilmuan yang secara
spesifik mengenai penyelesaian tindak pidana secara Islah menurut
Pidana Islam dan Pidana Positif.
b. Mengetahui dalam tindak pidana seperti apa saja islah dapat
diterapkan menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.
c. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi studi koperatif dalam penelitian
selanjutnya yang membahas mengenai Islah.
E. Studi Pustaka Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, Penulis melakukan kajian pustaka dan
menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan erat dengan
topik yang akan diteliti oleh Penulis.
1. Ahmad Ramzy dengan judul “Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan
Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum
Pidana di Indonesia”. Dalam Tesisnya beliau mengatakan bahwa terdapat
8
perbedaan yang sangat besar antara penyelesaian perkara pidana menurut
hukum pidana Islam dan Restorative Justice mengenai tindak-pidana.8
2. Karya Ilmiah ditulis oleh Alef yang berjudul “Kedudukan Perdamaian
Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.”
Dalam penelitianya beliau mengatakan bahwa dalam praktek pengadilan,
perdamaian yang dilakukan anatara korban dengan pelaku tindak pidana
menjadi bahan pertimbangan meringankan yang digunakan oleh sebagian
besar hakim dalam menjatuhkan putusanya. Perdamaian yang dilakukan
antara korban dan pelaku tindak pidana tidak dapat mengahapuskan
pertanggung jawabanan atau perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa
meskipun sudah memaafkan terdakwa dan tidak menuntut terdakwa atas
perbuatanya, bahkan meminta petugas untuk membebaskan terdakwa dari
pemidanaan.9
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penulis bermaksud untuk
menulis skripsi mengenai islah, yang menitik beratkan tentang bagaimana
kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana, apakah islah dapat
berpengaruh terhadap putusan hakim baik dalam persidangan hukum positif di
Indonesia maupun hukum pidana Islam.
F. Metedologi Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari
suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai dasar
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian
dengan pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode
8 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan
Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Indonesia, 2012.
9 Alef Musyahadah , Tesis, Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan. Universitas Diponogoro, 2005.
9
kualitatif. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model
logika reflektif, yang di dalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses
berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.10
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan
penelitian kualitatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa
data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu
data yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif,
datadata yang berupa bahan hukum terdiri dari:
1. Bahan Primer adalah bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat mencakup, norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurispudensi
dan traktat.11
2. Bahan skunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti berupa buku-buku, disertasi, laporan
penelitian, makalah atau bahan” lain semacamnya.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.12
Bahan hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer
dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.
3. Tehnik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan
penelitian kulitatif. Dalam penyajianya, penelitian kualitatif yang khas
adalah dalam teks naratif. Dalam melakukan analisis terhdapa sumber dan
materi hukum pidana islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis.
10 Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi. 11Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2001),,hlm.52. 12
Soejono Soekanto, Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO, 2001), Cet V, hlm.13.
10
Sedangkan dalam melakukan analisis terhadap materi perundang-undangan
pidana khusus dan doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normative-
doktrin dengan memanfaatkan model-model interpretasi hukum.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan yang menggambarkan penulisan ini, dibagi menjadi
5 (lima) Bab sebagi berikut:
BAB I :Merupakan bab pendahuluan. Pada bab ini, memuat tentang latar
belakang penulisan, pokok permasalahan, studi pustaka terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Pada bab ini, diuraikan mengenai pandangan pandangan teoritis yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, sebagai landasan dalam
menganalisis masalah.
BAB III : Pada bab ini, menguraikan pengertian tindak pidana, katergorisasi
tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, tujuan tindak pidana, dan efektifitas
islah dalam penyelesaian tindak pidana.
BAB IV : Pada bab ini, menguraikan bagaimana penyelesaian tindak pidana
melalui islah, yaitu penyelesaian tindak pidana memlalui islah menurut hukum
Islam dan hukum positif, dan juga persamaan dan perbedaan penyelesaian tindak
pidana melalui islah menurut hukum Islam dan hukum positif.
BAB V : Bab ini merupakan kesimpulan dan saran dari apa yang sudah dibahas
dari bab satu sampai bab empat, keterbatasan penelitian dan disertai saran saran
yang dapat bermanfaat dan berguna bagi perbaikan di masa yang akan datang.
11
BAB II
ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayat atau
jarimah. Jinayat dalam istilah Hukum Islam sering disebut dengan delik atau
tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana.
Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai
beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah
bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu
mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Yang dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu
membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan meghilangkan manfaat
badan, misalnya menghilangkan salah satu panca indera. Dalam Jinayah (Pidana
Islam) dibicarakan Pula Upaya-upaya prefentif, rehabilitative, edukatif, serta
upaya-upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang toeri-teori
tentang hukuman.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu
kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada
perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan
perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang
menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah
tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa,
seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang
membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan
hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan
ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu
12
larangan larangan syara’ yang diancam Allah SWT dengan hukuman had atau
ta’zir.1
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum
positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa
atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat
menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda.
Kata jinayah berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza(mengambil) atau
sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah dalam pengertian ini
sama artinya dengan kata jarimah yang sering digunakan oleh para fukaha (ahli
fikih) di dalam kitab-kitab fikih.
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Dikalangan fuqoha’, kata jinayah berarti perbuatan perbuatan yang
dilarang menurut syara’. Meskipun demikian,pada umumnya, fuqoha’
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam
keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu,
terdapat foqoha’yang membatasi istilah jinyah pada perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Hukum qishahsh, yaitu hukum pembalasan yang sepadan terhadap suatu
kelakuan kadar kejahatan yang betu-betul disengaja dan direncanakan. Baik
qishash pada jiwa atau qishash pada anggota-anggota badan. Firman Aallah
Ta’ala: surat al-Baqarah 179:
لعلكم تتقون ولكم في القصاص حياة يا أولي اللباب
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Qishash di bagi menjadi 2 macam pertama Qishash jiwa, yaitu qishash
yang berhubungan dengan jiwa seseorang atau hak hidup seperti pembunuhan.
Pembicaraan pada masalah ini berpangkal pada pembicaraan tentang sifat
1 Rasyid, Sulaiman. 1988. Fiqih Islam. Bandung:PT. Sinar Baru Algensindo, h.173
13
pembunuhan dan pembunuh yang karena berkumpulnya sifat-sifat tersebut
bersama korban mengharuskan adanya qisasMengenai pembunuhan yang dapat
dikenai qisas haruslah sesuai dengan aturan tertentu dan syarat tertentu kedua
Qishash anggota badan (pelakuan) yaitu hukum qishash atau tindak pidana
melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota
badan.Sedangkan pelukaan itu ada dua macam yaitu pelukaan yang dikenai
qishash dan pelukaan yang dikenai diyat atau pemaafan.
Hudud adalah bentuk jamak dari kata “Had” yang artinya sesuatu yang
membatasi dua benda. Dan pada asalnya perkataan had ialah sesuatu yang
memisahkan antara dua perkara dan digunakan atas sesuatu yang membedakan
sesuatu yang lain.
Menurut syar’I, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah
ditetapkan oleh syara untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada
kejahatan yang sama. Oleh karena itu tidak termasuk ta’zir kerena ta’zir tidak ada
ketentuan hukumnya dan tidak termasuk pula qisas karena qisas adalah hak anak
adam. Kesalahan dalam jinayah hudud dianggap sebagai kesalahan terhadap hak
Allah, karena perbuatan itu menyentuh kepentingan masyarakat umum yaitu
menjelaskan ketenteraman dan keselamatan orang ramai dan hukumannya pula
memberi kebaikan kepada mereka.Kesalahan ini tidak boleh diampunkan oleh
manusia pada mangsa jinayah itu sendiri, warisnya, ataupun masyarakat umum.
Hukuman hudud wajib dikenakan pada orang yang melanggar larangan-
larangan tertentu dalam agama, misalnya zina, menuduh zina, qadzab, dan lain-
lain.Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman
Allah SWT Q.S.Al-Baqarah (2) 229:
ئك هم الظالمون فأول ومن يتعد حدود للا
Dan siapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka
itulah orang-orang yang zalim”.(Q.S.Al-Baqarah (2) : 229). 2
2 Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’I, (Jakarta : Almahira, 2010), h.259.
14
Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu
larangan-laragan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
صلى هللا عليه وسلم ) ل يحل دم امرئ مسلم; عن ابن مسعود رضي هللا عنه قال: قال رسول للا
, إل , وأني رسول للا بإحدى ثلث: الثيب يشهد أن ل إله إل للا اني, والنفس بالنفس, والتارك الز
لدينه; المفارق للجماعة ( متفق عليه
“Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku
adalah Utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga orang: janda yang
berzina, pembunuh orang dan orang yang meninggalkan agamanya
berpisah dari jama'ah." Muttafaq Alaihi.”
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti
menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong.3 Dari pengertian tersebut yang paling
relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian
kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya
kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa
yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah4 dan Wahbah Zuhaili.5
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara”6
3 Ibrahim Unais, et. al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi,
tanpa tahun, h. 598. 4 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi,
Beirut, tanpa tahun, h. 81. 5 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989, h. 197. 6 Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut,
1996, h. 236.
15
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan
untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman
dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk
menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk
menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah diatas, maka pengertian
jinayah dapat dibagi kedalam dua jenis pengertian, yaitu : pengertian luas dan
sempit. Klasifikasi ini terlihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.
1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan perbuatan yang dilarang
oleh syara’, dan dapat menagkibatkan hukum hadatau ta’zir.
2. Dalam pengertian yang sempit, jinayh merupakan perbuatan perbuatan yang
dilarang oleh syara’, dan dapat menimbulakn hukuman had bukan ta’zir. Jarimah
ta’zi
صلى هللا عليه وسلم قال: ) ل يحل قتل مسلم إل عنها, عن رسول للا في إحدى وعن عائشة رضي للا
جل يقتل مسلم ثلث خصال: زان محصن فيرجم, ور سلم فيحارب للا ا فيقتل, ورجل يخرج من ال د ا متعم
حه , وصح الحاكم ورسوله, فيقتل, أو يصلب, أو ينفى من الرض . ( رواه أبو داود, والنسائي
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali salah satu
dari tiga hal: Orang yang telah kawin yang berzina, ia dirajam; orang yang
membunuh orang Islam dengan sengaja, ia dibunuh; dan orang yang keluar dari
16
agama Islam lalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia dibunuh atau disalib atau
dibuang jauh dari negerinya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih 7
B. Islah Menurut Pidana Islam
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan kata al-islah yang artinya
memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan,
berusaha mewujudkan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan
orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, dan melakukan perbuatan
baik berperilaku sebagai orang suci.8
Secara bahasa, akar kata islah berasal dari lafazh (sholaha-yusholihu-
solahan) - صلل حلا yang berarti “baik”, yang mengalami perubahan صلل - يصلل
bentuk. Kata islah merupakan bentuk mashdar dari wazan yang berarti إقمللال
memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian pertikaian). Kata
إ صللل Sementara kata .(rusak) فسللبد س سلليئة merupakan lawan kata dari صللل
biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang
terjadi di kalangan manusia.9
Islah ialah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu
persengketaan antara dua pihak yang sedang saling berperkara. Islah merupakan
sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan
pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan
kehancuran, maka dari itu islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran,
menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan, serta yang
menimbulkan sebab-sebab yang menguatkan, yakni persatuan dan persetujuan, hal
itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.10
Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al ’afwu, bahkan
ada beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al ‘afwu. Namun, dari
Islah dan al ’afwu berbeda secara definisi maupun konsep. Secara ringkas dapat
7 Rasyid, Sulaiman. 1988. Fiqih Islam.h176 8 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997, h. 740. 9 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, h.13. 10 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, h.
455
17
disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar
pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh
pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian di
antara kedua belah pihak. Sedangkan al ’afwu adalah media penyelesaian perkara
kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang
masih memungkinkan dilakukan qisash. Dalam konteks jinayat dan lebih khusus
lagi persoalan pembunuhan, secara implisit menarik satu garis pembeda antara al
’afwu dan ishlah dengan melihat arti makna inisiatif kompensasi itu berasal.
Jikalau inisiatif pemberian kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal
dari kedua belah pihak, maka itu dikatakan ishlah (perdamaian). Sedangkan jika
inisiatif pemberian kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya
pihak korban), maka yang demikian itu masuk dalam kategori al ‘afwu
(pemaafan).11
Pembedaan antara islah dan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya
terdapat pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktik, sangat mungkinkan
terjadi persamaan teknis dalam pelaksanaannya sebagai satu metode penyelesaian
suatu jarimah. Bahwa islah merupakan konsep perdamaian secara umum untuk
masalah keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula
dalam bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan para
pihak. Sedangkan al ‘afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis
berupa pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan
konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat (kompensasi) atau
tanpa kompensasi.12
Secara istilah, islah bisa diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam
kaitannya dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara
umum, islah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa
11 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, h. 27-28. 12 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, h. 27-28.
18
perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain,
perbuatan baik lawan dari perbuatan tidak baik.13
Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua
amal perbuatannya dan segala urusannya. Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan
al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata islah mempunyai arti
mengondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus serta mengembalikan fungsinya
untuk dimanfaatkan.14
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa, ada puluhan ayat dalam Al-Qur’an
berbicara tentang kewajiban melakukan salah dan islah. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab, kata salah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan),
yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Qur’an dalam dua bentuk: Pertama islah yang selalu
membutuhkan objek; dan kedua adalah salah yang digunakan sebagai bentuk kata
sifat. Sehingga, salah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada
sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga
tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk
menghadirkan nilai tersebut dan hal yang dilakukannya itu dinamai islah.15
C. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap
sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai
bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara,
13 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, h. 27-28 14 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesiah. 27-28 15 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h. 464
19
baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-
forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.16
Islah dalam Islam merupakan satu konsep yang utuh dalam penyelesaian
suatu perkara. Secara mendasar terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dalam
proses islah, yang pertama adalah pengungkapan kebenaran. Kedua, adanya para
pihak, yaitu pihak yang berkonflik dalam hal kejahatan dan harus ada korban serta
pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Ketiga, islah merupakan
proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban.17 Terdapat anggapan selama ini bahwa dalam suatu perkara atau kasus
hukum, terutama pada kasus-kasus pidana, pilihan penyelesaian perkara melalui
peradilan menjadi pilihan utama, karena itulah satu-satunya penyelesaian perkara
yang dianggap legal di negeri ini. Namun demikian, salah satu alternatif
penyelesaian perkara yang dianggap lebih mudah sehingga tidak memerlukan
waktu yang panjang untuk selesainya sebuah perkara, yaitu dibuatnya lembaga
pemaafan. Lembaga pemaafan dapat menangani segala jenis jarimah dalam Islam,
maka dapat dikatakan bahwa ditetapkannya lembaga pemaafan dalam sistem
hukum pidana nasional menjadi sangat urgen, bukan saja karena lembaga ini
diakui dalam hukum tetapi juga karena keberadaan lembaga pemaafan ini akan
mengurangi masalah yang dihadapi oleh para pihak yang bertikai.18
Pandangan bahwa Islam sangat menekankan penyelesaian perkara di luar
mekanisme peradilan, juga dapat ditelusuri dari berbagai konsep dalam Al-
Qur’an. Yakni konsep islah19 (perdamaian), sebagaimana ditegaskan dalam QS Al
Hujurat/49 : 9.
16 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004, h. 18. 17 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, h.31. 18 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h.450 19 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
h.450
20
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(a-
Hujrat[49]: 9)
Ayat di atas menggunakan kata ( إن ). Kata ini untuk menunjukan bahwa
pertikaian antar kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang
terjadi. Karena orang-orang itu adalah orang yang beriman juga dan memiliki
tujuan yang sama. Kata iqtatalu ( إ قتتللوا ) terambil dari kata qatala ( قتلل ). Ia dapat
berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Dengan demikian, perintah fa
qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikan perangilah, karena
memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh.
Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut lebih-lebih dalam konteks ayat
ini adalah tindaklah. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman agar
segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan
tampak. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkanlah api sebelum
menjalar.20
Kata iqtatalu ( إقتتللوا ) berbentuk jamak, sedang thaaifatani (طللبتفتبن)
berbentuk dual. Sepintas mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak
demikian kenyataannya. Hal tersebut karena – menurut sementara pakar – di
sebabkan karena jika terjadi peperangan atau perkelahian antara dua kelompok,
yang akhirnya menjadi lebih dari dua orang, tetapi tetap itu menjadi dua pihak.
20 Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13,
Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 244.
21
Kata ashlihu (أصللحوا) terambil dari kata ashlaha ( أصلل ) yang asalnya adalah
shaluha ( صلل ). Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan anonim
kata fasada ( فسلد ) yang artinya rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan
demikian shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya
manfaat, sedang ishlah ( إصللل) adalah upaya menghentikan kerusakan atau
meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam
konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan. Apabila terjadi kerusakan, maka hal ini menuntut adanya islah
yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan sebagai dampaknya akan lahir
aneka manfaat dan kemaslahatan.21
Ayat di atas merupakan landasan hukum untuk memaafkan tindak pidana
Al Baghyu (pemerontakan). Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk
mendamaikan. Namun jika salah satu kelompok dari dua golongan masih
memberontak dan melampaui batas maka diperbolehkan untuk memerangi mereka
hingga mereka kembali jalan yang benar. Namun, pemberontakan yang dimaksud
ialah bahwa pemberontakan hanya dilakukan kepada kepala negara yang sah dan
berdaulat. Apabila dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu
negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak
disebut pemberontakan.22
Selain dasar hukum perdamaian dan pemaafaan di atas, dasar hukum
perdamaian juga tertera dalam hadis Nabi SAW dari Sahl bin Sa'ad ra : “bahwa
sesungguhnya penduduk Quba berperang-perangan (berkelahi) sampai mereka
berlempar-lemparan dengan batu. Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw,
Beliau bersabda: "marilah kita pergi ke sana dan kita damaikan mereka".
(HR.Imam Bukhari, Kitab Shahihul Bukhari, Terjemah, Juz III, hal 76, no
1248).23
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui doktrin Islam tentang penyelesaian
perkara adalah penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara pihak-pihak
21 Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume
13,h. 244 -245. 22 Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, h.66-67 23 Misnawati Mistiah, Samudrailmu.blogspot.com, blog ini diakses pada 29 Desember
2017 pukul 19.30 WIB
22
yang berperkara tanpa harus melalui proses hukum di depan hakim pengadilan.
Hal-hal yang saat ini baru muncul dan menunjukkan kekurangan dari sistem
peradilan konvensional, sebenarnya telah disadari dalam Islam sehingga
dianjurkan untuk tidak terburu-buru membawa setiap perkara ke pengadilan.
Karena jiwa yang telah didoktrin dengan ajaran pemaafan merupakan jiwa yang
menjadi tujuan setiap muslim untuk mencapai ketaqwaan, maka diyakini perkara
itu dapat diselesaikan di antara pihak-pihak berperkara. Doktrin Islam tentang
lembaga alternatif penyelesaian perkara pidana bahkan telah merupakan hukum
postif yang berlaku dalam negara dan masyarakat Islam mendahului doktrin
sistem hukum manapun. Lembaga itulah yang dikenal sebagai lembaga pemaafan
yang terukir dalam sejarah awal Islam.24
D. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Salah satu ketentuan mengenai hubungan antar orang perorang adalah
mekanisme penyelesaian konflik ketika manusia menghadapi sengketa hukum.
Al-Quran mengatur proses penyelesaian sengketa ini melalui jalur pengadilan
maupun di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur non
pengadilan dapat dilakukan di antaranya oleh seorang hakam (Pihak ketiga).25
Ḥakam ini berfungsi sebagai penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang
sedang berperkara. Istilah teknis penyelesaian perkara non-litigasi, Hakam sejajar
dengan mediator atau arbitrator. Menurut Amin Suma, salah seorang anggota tim
revisi KUHP, beliau pernah menyatakan bahwa salah satu konsep pertanggung
jawaban pidana dalam fikih jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga
pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia
dimaafkan oleh korban atau keluarga korban. Ketika diwawancarai oleh Nanang
Shaikhu dari UIN Online, Amin Suma mengatakan “Saya pernah menjadi tim
perumus RUU KUHP. Saya memaparkan bahwa salah satu institusi dalam pidana
Islam terdapat “pemaafan”. Institusi ini setahu saya adalah khas milik hukum
24 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h. 460. 25 Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hukam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 2 Januari 2018 Pukul 13.05.WIB.
23
pidana Islam, dalam hukum pidana lain tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang
yang melakukan pembunuhan tetapi jika pihak keluarga korban memaafkan, maka
ia bebas sama sekali dari hukum, Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian,
tetap perbuatannya harus diproses.26
Penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam dapat dilakukan
melalui lembaga “pemaafan” dengan menghadirkan Hakam di antara pihak yang
sedang berperkara. Dalam kamus Munjid disebutkan bahwa, “arbitrase” dapat
disepadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata
“hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai
pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama
dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu pengangkatan seseorang atau
lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berperkara atau lebih, guna
menyelesaikan perselisihan perkara mereka secara damai, orang yang
menyelesaikan disebut dengan “hakam”.27
Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut
istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada
seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan perkara para
pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar
pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah
adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia
dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan pengertian “tahkim”
menurut ahli hukum dari kelompok Syafi’iyah, yaitu memisahkan pertikaian
antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan
menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilakukannya.28
26 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h. 450. 27 Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 2 Januari 2018 Pukul 14.15.WIB 28 Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH
UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 2 Januari 2018 Pukul 14.45.WIB
24
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”\
Menurut Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan
bahwa Allah mewajibkan qisash jika - wahai keluarga terbunuh- menghendakinya
sebagai sanksi akibat pembunuhan. Tetapi pembalasan itu harus melalui pihak
yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Jangan menuntut seperti adat
Jahiliah, membunuh orang merdeka walau yang terbunuh adalah hamba sahaya,
jangan juga menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh
secara tidak sah hanya seorang, karena makna qisash adalah “persamaan”. Tetapi
jika keluarga teraniaya (korban) ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi
itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.29
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya
sekemanusiaan, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat yakni tebusan kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik pula. Jangan sekali-kali yang memaafkan
29 Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 1,
h. 393
25
menuntut tebusan yang tak wajar. Yang demikian itu, adalah ketetapan hukum
tersebut, yakni suatu keringanan dari Tuhan kamu agar tidak timbul dendam atau
pembunuhan beruntun, ia juga merupakan rahmat bagi keluarga korban dan
pembunuh.30
Jarimah qisash dalam fiqih jinayah ada 2, yaitu qisash karena melakukan
jarimah pembunuhan, dan qisash karena melakukan jarimah penganiayaan.
Adapun jarimah pembunuhan menurut ulama fiqih terbagi dalam 3 kategori, yaitu
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi-sengaja dan tersalah.31
Adapun sanksi hukuman qisash hanya berlaku bagi tindak pidana
pembunuhan yang pertama, yakni pembunuhan sengaja. Adapun dua jenis
pembunuhan yang lain sanksinya adalah diyat. Demikian juga sanksi pembunuhan
sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban, sanski hukumanya juga berupa
diyat. Mengenai jumlah diyat yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana adalah
berupa diyat berat, ataupun diyat ringan. Perbedaan kedua diyat tersebut terletak
pada jenis dan umur unta, tetapi jumlah untanya tetap sama baik diyat ringan
maupun diyat berat, yakni sama-sama 100 ekor unta. Untuk diyat ringan, hanya
terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain berumur 1-2 tahun, 20
ekor yang lain umurnya 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20 ekor
lagi berumur 4-5 tahun. Sedangkan diyat berat terdiri dari tiga kategori terakhir di
atas ditambah 40 ekor unta yang sedang mengandung atau bunting.32
Kasus pidana yang secara jelas dapat diserahkan kepada lembaga
pemaafan ini, adalah jarimah pembunuhan, sebab kasus itulah yang disebutkan
secara tegas dan langsung dalam Al-Qur’an, yang memberikan hak kepada
keluarga korban untuk menentukan jenis hukuman apa yang diberikan kepada
pelaku tindak pidana. Namun, ada hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa
kasus-kasus pidana yang lain pun dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga
pemaafan ini.33
30 Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 1,
h. 393 31 Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, h.5-7. 32 Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, h .5-7. 33 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h. 456.
26
Dalam wewenangnya sebagai lembaga pemaafan, hendaknya melihat
jarimah apa yang menjadi pertikaian di antara para pihak. Dalam hukum pidana
Islam, dikenal tiga macam jarimah (tindak pidana), yaitu jarimah Hudud, Qisash,
dan Ta’zir. Jarimah sendiri menurut bahasa, berasal dari kata Jarama yang artinya
berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Imam
al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat syari
(mahzurat syar’iyyah), yang diancam oleh Allah SWT dengan sanksi had atau
ta’zir.34
Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya
‘uqubah’ (hukuman) dalam syari’at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan (jani)
meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti
diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus
tindak pidana ‘qatl alkhata’ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman terhadap
hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila
kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur
jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka
kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari
pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam
perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat,
karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat
gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau walinya. Adapun dalam
perkara hudud tidak boleh ada maaf, karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang
diberikan, baik itu diberikan oleh korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah.35
Secara bahasa, lafal hadd atau hudud berarti pencegahan, dan yang
dimaksud dengan hudud Allah adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena
dilarang. Jarimah Qisash dan Diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman Qisash atau diyat. Baik Qisash maupun diyat keduanya adalah hukuman
yang sudah ditentukan oleh syara. Perbedaan qisash dengan hukuman hadd adalah
34 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h. 456.
35 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Hlm. 63.
27
bahwa hadd merupakan hak Allah (masyarakat), sedangkan qisash dan diyat
adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia
sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah “suatu hak yang
manfaatnya kembali kepada orang tertentu”. Pengertian hak manusia di sini
adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau
keluarganya. Sedangkan, jarimah ta’zir adalah jarimah yang di ancam dengan
hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi
pelajaran atau menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagaimana
dikemukakan oleh imam Al-Mawardi bahwa “Ta’zir itu adalah hukuman
pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh
syara’.36
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata ر -عز يعز yang secara etimologis
berarti ز الن د yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti , الز
ه نصز menolong dan menguatkan. Hal ini serupa dalam firman Allah SWT dalam
Q.S Al-Fath : 9 berikut :
Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)-Nya, membersarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath : 9).37
Kata ta’zir dalam ayat diatas juga memiliki arti وزا عنز ه نز عظد
yaitu membersarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (Agama
Allah). Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa
ta‟zir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.38
36 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
465-467. 37 M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136. 38 M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136.
28
Menurut Nurul Irfan dalam buku fiqih Jinayah, ta’zir ialah sanksi yang
diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan
dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk dalam kategori
hukuman hudud ataupun kafarat. Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung
oleh Alqur’an dan hadis. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, harus
tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kepentingan
umum.39 Ta’zir memang tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun,
bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di
antara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.40 Berbeda
dengan hudud, menurut Makhrus Munajat, jarimah hudud umumnya diartikan
sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh
Allah SWT, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman selain
hukum yang ditetapkan Allah. Alasan para fuqaha mengklasifikasikan jarimah
hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan yang disebut secara rinci
oleh Al-Qur’an sangat mendatangkan kemaslahatan baik perorangan maupun
kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya secara definitif disebut secara
langsung oleh lafal yang ada dalam Al-Qur’an, sementara pidana lain tidak.41
Jika mengacu pada hadis-hadis Nabi SAW yang telah dikemukakan.
"Saling memaafkanlah kalian dalam kasus-kasus hukum sebelum datang kepada
saya (untuk mendapatkan putusan), sebab kasus hukum apa saja yang sampai
kepada saya, maka saya wajib menegakkan hadd". Hadis ini mengindikasikan
bahwa kasus-kasus hukum apa pun dapat diselesaikan melalui mekanisme
Lembaga Pemaafan.42
Rasulullah bersabda dari Abu Syuraih al-Khaza‟iy berkata, “Saya
mendengar Rasulullah SAW berkata, "Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau
penganiayaan (al-khubl adalah al-jarah, yakni penganiayaan badan), maka ia
39 M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136. 40 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah,
2012, hlm. 147 41 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h.462 42 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h.465
29
berhak memilih salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya, mengambil diyat,
atau memaafkan, maka jika berkehendak yang keempat ambillah dari kedua
tangannya.”43 Dalam hadis lain pun yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari Amr
bin Syuaib dari Bapak dari Kakeknya, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Barang siapa dengan sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada
wali korbannya. Jika wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal (qisash),
mereka dapat membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka
dapat mengambil diyat (denda). Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada
wali mereka.” Kasus-kasus hukum sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan
melalui jalur non litigasi sebelum dibawa ke pengadilan. Maka, lembaga
pemaafan dapat berfungsi sebagai alternatif penyelesaian perkara sebelum kasus
itu diajukan ke pengadilan. Jika perkara-perkara yang tergolong jarimah hudud
masih diperdebatkan menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan, maka perkara-
perkara lainnya yang termasuk jarimah qisash/ diyat dan jarimah ta’zir, sama
sekali tidak ada masalah jika menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan.44
Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan atau
perdamaian adalah orang yang memiliki hak qishash. Jumhur ulama yang terdiri
atas Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
pemilik qishash adalah semua ahli waris, baik zawil furudh maupun ashabah,
laki-laki maupun perempuan dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Lain
halnya dengan Imam Malik, menurutnya pemilik hak qishash adalah ashabah laki-
laki yang paling dekat derajatnya dengan korban dan perempuan yang mewarisi
dengan syarat-syarat tertentu mereka adalah mustahik (ahli waris) qishash.45
Sedangkan, untuk jarimah qisash para ulama telah sepakat tentang
dibolehkannya perdamaian, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur.
Perdamaian dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar
43 Misnawati, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif. Samudera ilmu.blogspot.com. Artikel ini di akses pada 7 Januari 2018 pukul 19.00
WIB 44 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h.466 45 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif
Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm.30.
30
dari pada diyat, sama dengan diyat, atau lebih kecil dari diyat. Boleh juga dengan
cara tunai atau utang (angsuran), dengan jenis diyat atau selain jenis diyat dengan
syarat disetujui (diterima) oleh pelaku jarimah. Akan tetapi, dalam hukum qishash
itu terkandung dua hak, yaitu hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu),
penguasa (negara) masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta’zir. Pendapat
ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Hukuman ta’zir menurut
Malikiyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid (dera) sebanyak seratus kali,
akan tetapi menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Ishak, dan Abu Tsaur, pelaku tidak
perlu dikenakan hukuman ta’zir.
Adapun dasar pelaksanaan islah menurut Abd al-Qadir Audah selain QS.
Al-Baqarah (2):178, adalah Hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa
melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si
terbunuh apakah akan menuntut qisash atau akan mengambil diyat, hak islah
sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi). Menurut
Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada islah sama dengan hukum yang ada
pada ‘afw. Siapa yang memberi maaf maka dia telah melakukan islah. Apa yang
terjadi pada islah juga sama dengan yang terjadi pada ‘afw, yakni sama-sama
menggugurkan qisash. Maaf dalam perkara ta’zir dapat dilakukan oleh wali al-
amr. Karena ia yang mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam
tindak pidana ta’zir.46
E. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Islah atau sulh adalah suatu proses penyelesaian perkara ketika para pihak
bersepakat mengakhiri perkara mereka secara damai. Islah/ sulh memberikan
kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan
perkara. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar perkara
mereka dapat diakhiri. Al-Qur’an menganjurkan memilih sulh sebagai sarana
penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat
memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam
46 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih., h.65
31
penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman hati,
kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.47
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama
dalam menata hubungan sosial. Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat
memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat yang mengutamakan
perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kekompakan di antara individu dalam masyarakat.48
Islah dinilai mampu mengobati luka hati rakyat. Islah dapat mencegah
masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam,
melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban
sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi
menjaga agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara
“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau
melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa
depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada
penuntutan pidana.
Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang
semua manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan
antarsesama. Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-
diyat, tetapi memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.49
Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak
selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan
dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang
bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya
dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari ishlah dapat
47 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, h.465 48 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih.,h.51 49 Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,
November 2013. Artikel ini diakses pada 7 Februari 2018 pukul 12.58 WIB
32
digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Termasuk dalam
konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai
universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan
keadilan.50
Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-
Qur’an dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat
toleran dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan
kepentingan umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain
jarimah hudud. Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak
Allah yang ketentuannya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah
diharapkan dapat membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa
dendam maupun penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kembali
rukun.
50 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih., h. 53
33
BAB III
TINDAK PIDANA DAN KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM
POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana
Mendefinisikan tentang pengertian hukum tindak pidana tidaklah mudah.
Hal itu disebabkan para ahli memberikan pengertian hukum tindak pidana akan
berkaitan dengan cara pandang, batasan, dan ruang lingkup dari pengertian
tersebut.Seorang ahli hukum pidana yang memberikan pengertian tentang hukum
pidana tentu akan berimplikasi pada batasan dan ruang lingkup hukum pidana, hal
itu tentu saja akan berbeda dengan ahli hukum yang lainnya. Tidak mengherankan
apabila dijumpai banyak sekali pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh
para ahli hukum pidana yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.1
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar suatu larangan yang
diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.2 Kata tindak
pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu
strafbaar feit, terkadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa
latin delictum. Sedangkan hukum pidana negara-negara anglo-saxon
menggunakan istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.3
Pada dasarnya istilah strafbaar feit diuraikan secara harfiah yang terdiri
dari tiga kata, yaitu Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, lalu
Baar yang diterjemahkan dengan dapat dan boleh, serta kata feit yang
diterjemahkan dengan kata tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi
istilah strafbaar feit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum.
Namun, dalam kajian selanjutnya tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum
1 Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h.1 2Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I
Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 28 3Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h. 86
34
bukan perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang
melanggar aturan hukum.4
Tindak pidana menurut undang-undang diartikan sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Dengan demikian perbuatan yang dituduhkan haruslah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh suatu perturan perundang-undangan.5
Adapun istilah yang dipakai dalam hukum pidana sebagaimana yang
ditulis dalam buku Moeljatno, yaitu ‘tindak pidana’. Istilah ini muncul dari pihak
kementerian Kehakiman, istilah ini sering dipakai dalam perundang-undangan.
Meskipun kata ‘tindak’ lebih pendek dari ‘perbuatan’ tapi ‘tindak’ tidak
menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan
keadaan konkrit, sebagaimana hanya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
tindak adalah kelakukan, tingkah-laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang.6
Oleh karena tindak sebagai kata tidak terlalu dikenal, maka di dalam perundang-
undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya,
maupun dalam penjelasan undang-undang tersebut, hampir selalu dipakai pula
kata perbuatan.7
Selanjutnya, berikut adalah pengertian tindak pidana menurut beberapa
ahli hukum. Menurut Moeljatno mengartikan hukum tindak pidana adalah bagian
dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-
dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai acaman maupun sanksi pidana tertentu
bagi siapa saja yang melanggarnya.`
4Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 87 5Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005, h .1
6Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,
h.55. 7Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, h.55.
35
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada seseorang yang telah
melakukan larangan-larangan, sehingga dapat dijatuhi atau dikenakan
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan bagaimana cara pemidanaan itu dapat dilakukan apabila
orang yang diduga telah melanggar ketentuan yang berlaku.8
A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena
“perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.9 Ia
menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum
dipakai sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin Delictum). Memang jika kita
perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan istilah delik di
samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan
“perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno
Adji, di samping menggunakan istilah “perbuatan pidana” juga menggunakan
istilah “delik”.10
Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang
dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar feit atau tindak pidana adalah kelakuan yang
diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan
kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.11
Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah
dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana
itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit,
yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act
berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.12
Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai
istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh
istilah yang mewakili, yaitu 1) tindak pidana, 2) peristiwa pidana, 3) delik, 4)
pelanggaran pidana, 5) perbuatan yang boleh dihukum, 6) perbuatan yang dapat
8Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidanm, h. 2 972 Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, hl.96 10Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, h.96 11
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 88 12
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 96
36
dihukum, dan 7) perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang
dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang
diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.13
B. Kategori Tindak Pidana
Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis
perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran.14 Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP
kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).
Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal
KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.15
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau
tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undang-
undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala
in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat
perbuatan tesebut memang jahat.16
Sebaliknya, pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-
perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet
yang menentukan demikian. Namun, sejak sebelum Wetbook v. Strafrecht mulai
berlaku, pandangan seperti itu telah ditentang. Hal itu disebabkan bahwa adanya
pelangggaran juga sudah ada sebelum adanya ketentuan wet, yang memang sudah
dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.17
Pembagian delik atau tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini
muncul dalam WvS (KUHP Belanda) pada tahun 1886, yang kemudian turun ke
13
M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6
14Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.101.
15Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,h.71
16Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.101
17Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, h.71
37
KUHP Indonesia pada tahun 1918.18 Pembagian delik kejahatan dan delik
pelanggaran ini menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan
sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah
dianggap seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai
delik undang-undang, yang artinya setelah tercantum dalam undang-undang maka
hal tersebut dapat dipandang sebagai delik.19
Manurut Moeljatno, KUHP di Indonesia hanya membagi delik kejahatan
dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau ringannya pidana saja. Selain
daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi delik kejahatan adalah lebih
berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa20 :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau
kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa,
sedangkan jika menghadapi pelanggaran maka hal itu tidak perlu.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54).
Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
4. Perihal tenggang daluarsa, baik hak untuk menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada
kejahatan.
5. Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda untuk
pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang ringan lebih mudah
daripada pidana berat (pasal 65, 66-70).
Pembagian tindak pidana pun tidak hanya terbagi dalam delik kejahatan
danpelanggaran, tindak pidana pun dikategorisasikan dalam delik materiil dan
delik formil. Yang pertama adalah perbuatan pidana yang dalam perumusannya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana formil adalah
perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanya perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya, seperti
yang tercantum dalam pasal 362 KUHP dan pasal 160 KUHP. Sedangkan
18Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 106 19Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 106 20Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, h.72
38
perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggaptelah
terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi.21
Selain kategorisasi di atas, pembagian tindak pidana juga dapat dibedakan
atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang dalam
penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau
dirugikan. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya
pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan
penggelapan.22
C. Unsur-unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari atas unsur-
unsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karena hal itu, yakni suatu kejadian dalam alam lahir (kejadian
yang nyata).23
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik terdiri dari dua
golongan, yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur
objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang
semuanyadilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.24 Adapun
unsur-unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur-
unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang
terhadap suatu perbuatan yang dilakukannya.25
Menurut Mahrus Ali, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana, ketika
dikatakan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan
21
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.102. 22
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.103. 23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, h.58 24Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th),
h. 65 25P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang
Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992, h. 29
39
diancam dengan pidana bagi yang melakukanya, maka unsur-unsur perbuatan
pidana meliputi beberapa hal, yaitu26 :
1. Perbuatan itu berwujud suatu kelakukan, baik aktif maupun pasif, yang
mengakibatkan timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh
hukum.
2. Kelakukan yang timbul tersebut harus bersifat melawan hokum baik dalam
pengertianya yang formil maupun materiil.
3. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan
dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait
dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan
ketentuan pasal hokum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya,
berkaitan dengan diri pelaku delik, tempat terjadinya delik, keadaan
sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang
memberatkan pemidanaan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Moeljatno, ia mengatakan bahwa yang
merupakan unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah adanya kelakuan
dan akibat perbuatan, adanya halikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana, adanya unsure melawan
hukum yang objektif maupun unsur yang melawan hokum subyektif.27
Dalam bukunya pun Moeljatno kembali menekankan, bahwa sekalipun
dalam rumusan delik tidak terdapat unsure melawan hukum, namun jangan dikira
bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan
pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir,
namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batinya itu sifat
melawan hukum yang subjektif.28
Dalam hokum pidana, istilah “sifat melawan hukum” adalah satu frasa yang
memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hokum
umum, sifat melawan hokum khusus, sifat melawan hokum formil, dan sifat
melawan hokum materiil. Sifat melawan hokum umum diartikan sebagai syarat
26Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.100.
27Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, h.63
28Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI,h.63
40
umum dapat dipidana suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hokum khusus
biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Sifat
melawan hokum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.29
Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, adakalanya perkataan
“melawan hukum” dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik
dan ada kalanya tidak. Jika perkataan “melawan hukum” dirumuskan dan
dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti
penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidananya orang
yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang.30
Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal dua
jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.
Sifatmelawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
dalam undang-undang.31 Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil
berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya
didasarkan pada undang-undang saja, atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga
didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan dikatakan
telah memenuhi unsur melawan hukum materiil apabila perbuatan itu merupakan
pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup
dalam masyarakat.32
D. Tujuan Pemidanaan
Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan untuk diri sendiri tetapi
ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.
Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada
29Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.142. 30Tongat, Dasar-dasarHukumPidana Indonesia dalamPerspektifPembaharuan, Malang :
UUM Press, 2008, hlm. 211. 31Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.45 32
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.147
41
paksaan.33Teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan dalam
sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori
gabungan. Sedangkan teori pemidanaan dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu
teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.34 Dalam
karya tulis ini, penulis akan lebih menjelaskan teori tujuan pemidanaan Eropa
Kontinental.
1.Teori Absolut
Teori absolut bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.35 Teori
absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.36 Teori ini mirip dengan teori retribution
dalam Anglo Saxon.
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkanya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena
dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan mamfaat menjatuhkan
pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.
Maka drai itu, teori ini disebut teori absolut, karena penjatuhan pidana merupakan
hal yang mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi
keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.37
33Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 30 34
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.186 35
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.45 36Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998, hlm. 49. 37Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,h. 33
42
2.Teori Relatif
Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan
pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana
(special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa
mendatang, serta secara umumnya bertujuan untuk mencegah masyarakat luas
(general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti
kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.38
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.Wujud
pidana ini berbeda-beda, yaitu : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan.
Prevensi ini dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan khusus. Prevensi
umum yaitu bertujuan untuk menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak
melakukan delik.39 Sedangkan prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel
(Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah
mencegah niat buruk pelaku (dader) untuk mengulangi perbuatanya, atau
mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang
direncanakannya.40
3.Teori Gabungan
Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran
yang terdapat dalam teroti absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa
penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga
dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.41
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan
pidana, yaitu42 :
38
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.190. 39
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 34 40
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I, hlm. 37
41Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, h.191.
42Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 38
43
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 5).
Dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dengan demikian dapat dikatan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP
merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha
prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah
pada terpidana.43
E. Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Dalam berbagaimacam wacana aktual, restorative justice atau keadilan
restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana di
luarpengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem
ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan
proses peradilan pidana yang konvensional.
Ada beberapa manfaat diterapkannya retributive justice dalam
sistemperadilan suatu Negara. Manfaat pertama adalah bagi korban dan pelaku.
Konsepini berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus membayar
kesalahannya melalui pemenjaraan. Adapun korban sering hanya “dimanfaatkan”
sebagai saksi. Setelah proses persidangan selesai korban akan ditinggalkan sendiri
dengan segala penderitaan dan kerugiannya. Sebaliknya, restorative justice justru
akan lebih memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa 80%
korban merasakan proses yang lebih fair dalam restorative justice. Mereka merasa
lebih less upset about the crime, less apprehensive and less afraid of
43
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h.39
44
revictimization (kurang tahu tentang kejahatan, kurang memprihatinkan dan
kurang takut reviktimisasi).44
Manfaat kedua adalah bagi komunitas sekitarnya. Restorative justice tidak
hanya merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk
yang dirasakan komunitas. Program perdamaian yang menjadi icon restorative
justice diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan
masyarakat terdampak. Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah narapidana dan
residivis, dan manfaat keempat adalah menghemat biaya dan waktu.45
Realitas praktik penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui
prosedur perdamaian, terlihat bahwa pola penyelesaian yang demikian dirasa lebih
sesuai dengan adat istiadat dan atau nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya penyelesaian kasus-kasus
kriminal tertentu melalui prosedur perdamaian (conciliation procedure) dan
ataupenyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian atau
ADR, atau mediasi penal, memang dapat dibenarkan, tetapi bukan berarti dapat
dilakukan dengan serta merta, tetapi harus memperhatikan kriteria yang ada.46
Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek
sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya
perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan
pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan
kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun aspek sosiologis
yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku, latar
belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah pelaku
itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan atas
44
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus 2013, hlm.12
45Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di
Indonesia. h.12 46Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Januari 2007, hlm. 40
45
perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada korban,
serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.47
Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan
sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban
damasyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat. Restorative
justice menawarkan suatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang
terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan
mediasi. Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan
menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu
penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan. Ada beberapa keuntungan
dengan menjadikan keadilan restoratif sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan
perkara pidana. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri
permasalahan hukumannya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara
berkurang. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem
peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan menjadi berkurang.
Dengan begitu maka beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem
peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan
pun akan berkurang.48
47Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana
Melalui Prosedur Perdamaian., h. 40 48
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.05
46
Jika ingin dibandingkan sistem peradilan pidana dengan restorative justice, maka
perbandingannya adalah demikian49 :
sistem peradilan pidana restorative justice
Tujuan Menanggulangidan
Mengendalikan Kejahatan
Mencari penyelesaian atas
tindak pidana yang terjadi
Tolak
ukurkeberhasilan
Jumlah perkara yang diproses
dan di pidana yang dijatuhkan
Kesepakatan para pihak dapat
dijalankan
Tujuan akhir Mengintegrasikan pelaku
kembali ke masyarakat untuk
menjadi warga yang baik
Pemulihan
Pemulihan hubungan sosial
antar stake holder
Bentuk
penyelesaian
Pembalasan, pemaksaan,
penderitaan bagi pelaku
Pemaafan sukarela, perbaikan
untuk semua
49
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional, h.04
47
BAB IV
PENYELESAIAN KASUS PIDANA MELALUI ISLAH
A. Kasus Pembunuhan Yang Menewaskan Pemuda Dayak dan Sidang Damai
Suku Madura
Kasus pembunuhan di zaman sekarang ini marak sering terjadi, tidak
hanya melibatkan orang dewasa, kasus pembunuhanpun sudah banyak melibatkan
anak di bawah umur. Maraknya pelanggaran tindak pidana pembunuhan harusnya
bisa di cegah karena dapat merugikan orang lain. Terjadinya pembunuhan juga
dapat mengakibatkan pelaku memiliki catatan kelam dalam hukum yang bisa
mempengaruhi masa depannya.
Salah satu pembunuhanan yang menewaskan pemuda Dayak yang
bernama Eki Persia Rianda, terjadi pada sabtu pagi (2/4), jalannya persidangan
diadakan di gedung pemko Banjarmasin bukan di pengadilan. Kenapa, karena ini
adalah sidang yang dilakukan secara adat Dayak. Lebih lengkapnya sidang
perdamaian adat Dayak atau singer sahiring yang mengadili pelaku atau keluarga
pelaku yang telah melakukan pembunuhan terhadap pemuda Dayak.
Sidang yang berlaku 4 jam ini pun di jaga ketat aparat keamanan dari
satbrimob kalsel, TNI, Polda Kalsel, Polresta Banjarmasin, Polsek Banjaemasin
tengah, tak ketinggalan di dalam persidangan hadir pula beberapa orang etnis
Madura yang tergabung dalam kerukunan warga Madura (kawama) kalsel dengan
menggunakan baju ciri khas Madura.
48
48
Layaknya sidang kasus pembunuhan di pengadilan negeri, ketua sidang
atau martir pihak pelaku yang diwakili oleh ketua kawama kalsel, H Asmad dan
keluarga korban yang di wakili oleh ibunya bernama Asna Ningsih.
Menariknya, pada sidang perdamaian ini tidak ada pembelaan atau
tuntutan. Sidang perdamaian ini hanya membacakan tahapan peristiwa
pembunuhan hingga terjadinya proses perdamaian antara pelaku dengan keluarga
korban serta putusan denda pembunuhan terhadap pelaku.
Sebelumnya, ketua martir memanggil kedua belah pihak dan duduk
berada di kursi depan martir. Kemudian martir memulai sidang dengan
membacakan berita acara yang telah di ajukan kepada martir sesuai dengan
hukum adat Dayak Kalimantan berdasarkan Kapatat Tumbang Anoi 1894 yang di
buat oleh DAD kota Banjarmasin, Batamad Kapuas, dan keluarga korban.
Martir juga memanggil 4 orang saksi, dengan jeda 2 jam sidang ditutup
martir bersama 8 anggota membacakan putusan sidang perdamaian yang bersifat
final dan mengikat. Putusan yang di jatuhkan berdasarkan hukum adat Dayak
Kalimantan kepada pihak pelaku agar membayar 500 kati gram emas dengan
harga emas sekarang sekitar Rp 564.000 atau total sekitar RP282.000.000 kepada
orang tua korban. Dan denda harus di bayar paling telat 14 hari setelah putusan di
bacakan. Apabila pelaku tidak membayar akan di kenakan denda yang lebih berat,
dan tidak luput martir menanyakan kepada korban dan pelaku apakah dapat
menerima putusan yang telah dijatuhkan, Secara terpisah, dewan pertimbangan,
Dehen MH sidang perdamaian bukan mencari siapa yang salah melainkan untuk
49
49
mengambil keputusan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak sesuai dengan
norma adat Dayak.
Berdasarkan hukum adat Dayak denda sudah sesuai koridor, dimana dalam
hokum adat Dayak denda tersebut mulai dari 365 sampai 750 kati ramu atau
dalam Hukun Positif denda ini sama saja dengan hukuman minimal 5 tahun
penjara dan maksimal 10 tahun.
Dilihat dari tujuannya proses persidangan lebih mengutamakan perdamaian
bagi kedua belak pihak antara suku adat Dayak dan suku adat Madura, sehingga
dapat mengindari penjatuhan hukuman yang dikhawatirkan merugikan salah satu
pihak dan timbul rasa dendam. Dam hasil keputusan martir sudah dianggap adil
para pihak yang bersangkutan pun menerimanya dan saling tukar cenderamata
berupa ciri khas senjata masing-masing suku.
B. Efektifitas Islah Kasus Pembunuhan Yang menewaskan Pemuda Dayak
dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam, islah dapat diterapkan berdasarkan landasan
hukum yang termuat dalam Al-Qur’an, antara lain adalah surat Al-Baqarah ayat
178 :
أيها ٱلذين ءامنوا كتب عليكم ٱلقصاص في ٱلقتلى ٱل بد بٱلح حر ي ى فمن عفي لهۥ من ٱلعبد وٱلنثى بٱلنث ب ر وٱلع
ل ذ ن يه بإحس بٱلمعروف وأداء إلب كم و فيف م تخ ك أخيه شيء فٱت باع فمن ٱعتدى بعد ن ر
لهۥ عذاب رحمة لك ف ذ
١٧٨أليم
50
50
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.
Pada kasus, perbuatan yang ia lakukan menyebabkan orang lain meninggal
dunia. Dalam perspektif hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
dikenakan jarimah qisash. Namun para pihak bersepakat mengakhiri perkara
mereka secara damai, agar aara pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar
agar perkara mereka dapat diakhiri. Al-Qur’an menganjurkan memilih islah
sebagai sarana penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa
islah dapat memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan
kalah dalam penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman
hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.
Kedua adat yang bersangkutan yaitu adat Dayak dan Madura memiliki tata
nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama dalam menata hubungan sosial.
Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat,
yaitu masyarakat yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi
51
51
terciptanya persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam
masyarakat.
Di lihat dari kasaus pembunuhan yang menewaskan pemuda Dayak, Islah
dinilai mampu mengobati luka hati. Islah dapat mencegah masyarakat membuka
luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan menutup
luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta
perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi
menjaga agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara
“harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau
melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa
depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada
penuntutan pidana.
Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang
semua manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan
antarsesama. Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-
diyat, tetapi memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.
Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak
selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan
dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang
bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya
52
52
dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari islah dapat
digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Termasuk dalam
konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai
universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan
keadilan.
Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-
Qur’an dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat
toleran dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan
kepentingan umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain
jarimah hudud. Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak
Allah yang ketentuanya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah
diharapkan dapat membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa
dendam maupun penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kembali
rukun.
Islah yang dilakukan para pihak, tidaklah bertentangan dengan hukum
pidana Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa’i dan Al-Baihaqi, dari Aisyah ra, bahwa Nabi
bersabda :
ال رسول هللا صلى هللا علىه وسلم ا قىلوا دو ى الهىىا ت عترا قالت قعن عا ىشة رضي هللا عنها
اال الحدو د ته
“Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan
kejahatan atas perubuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah yang menyatakan
bahwa, hukuman hudud, qisash, diyat tidak boleh diubah-ubah oleh hakim,
sedangkan ta’zir dapat disesuaikan. Objek pertimbangan hakim dalam bidang
53
53
hudud, qisash, diyat hanya sebatas pada tindak pidananya, bukan pelakunya.
Sedangkan pada hukuman ta’zir, untuk memaafkan atau memberatkan hukuman
dapat dilihat dari dua sisi, yakni tindak pidana yang dilakukan serta siapa pelaku
tindak pidana tersbut.
C. Efektifitas Islah Kasus Pembunuhan Yang menewaskan Pemuda Dayak
dalam Hukum Pidana Positif
Pembunuhan yang menewaskan pemuda Dayak adalah bentuk
pelanggaran tindak pidana yang dapat merugikan orang lain, yang dalam hal ini ia
dikenakan pasal 336, ayat 1-2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjelaskan
bahwa sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tergantung
kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat
tindak pidana pembunuhan yang dilakukan maka ancaman pidananya juga
semakin lama Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 336 KUHP.
Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dibantu Polda Sulawesi Selatan,
berhasil menangkap seorang pelaku pembunuhan terhadap Eki Persia Rianda, 25
tahun. Polisi menangkap tersangka atas nama M. Faruk, 30 tahun, itu di Jalan
Tarakan, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu dini hari 2 Maret 2016.
Selain Faruk, tersangka Ardiansyah alias Mansyah lebih awal
menyerahkan diri ke Polresta Banjarmasin. Menurut Agung, tersangka Faruk
melarikan diri ke Makassar melalu pelabuhan di Jorong, Kabupaten Tanah
Laut. “Ditangkap pukul 02.30 WITA,Barang bukti yang turut diamankan berupa
54
54
sebilah celurit, pisau, kaos, dan sepeda motor nopol DA 6110 JL.” kata Kapolda
Kalsel.
Atas kasus yang memjadi perhatian publik ini, Brigjen Agung terpaksa
langsung menjemput Faruk memakai jet pribadi milik seorang pengusaha
tambang di Kalsel. Polisi akan menjerat para tersangka menggunakan pasal 170
KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara. Sepeti dituturkan oleh Mariana, kekasih
Eki, Eki Persia Rianda (25) tewas dibunuh 2 pemuda di dekat rumahnya. Pelaku
pembunuhan ditangkap, motifnya karena tersinggung oleh tatapan mata.
Semua berawal saat Eki dan pacarnya melaju dengan sepeda motor di
Jalan Pangeran Antasari, Banjarmasin, Sabtu (20/2) lalu. Ada 2 pemuda di dekat
lokasi tersebut, yakni Faruk (30) dan Ardiansyah. Keduanya tengah mabuk.Eki
dan Faruk bertatapan mata. Eki digertak, kemudian membalas. Cekcok terjadi,
tapi tak berlanjut karena dilerai warga sekitar. Tak sangka, Eki dibuntuti hingga
ke rumah. Di sana, pekerja showroom mobil itu ditikam dengan sebilah parang.
Nyawa pria yang hendak menikah itu tak dapat diselamatkan, meski pertolongan
medis telah dilakukan.
Kasus kriminal ini sempat memantik isu kerusuhan etnis antara Dayak dan
Madura di Banjarmasin. Lantaran Korban Eki bersuku Dayak, spanduk ancaman
dan isu serangan terhadap etnis Madura cepat menyebar lewat media sosial.
Untunglah, stakeholder lekas meredam isu ini dengan perundingan antar pihak,
demi meredam konflik terbuka.
Dalam penyelesaian tindak pidana yang menewaskan pemuda Dayak, pelaku
dan korban menggunakan peroses luar pengadilan dan membuat sidang damai
55
55
antara kedua belah pihak demi mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh
para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut, sanksi yang diberikan
kepada pelaku tindak pidana yang menewaskan pemuda dayak adalah denda atau
sanksi yang harus di bayar sebesar membayar 500 kati gram emas dengan harga
emas sekarang sekitar Rp 564.000 atau total sekitar RP282.000.000. Membayar
sanksi dapat dikatakan satu kesempatan kepada pelaku tindak pidana
(keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara
membayar sanksi untuk mengganti kerugian akibat tindak pidana yang
dilakukannya.
Alasan polisi membolehkan adanya sidang damai antara suku dayat dan
suku madura antara lain karena dalam kasus ini telah memantik isu kerusuhan
etnis antara Dayak dan Madura di Banjarmasin, dan juga isu serangan terhadap
etnis madura. Oleh karena itu untuk meredam terjadinya kerusuan di adakannya
perundingan antara dua belah pihak yang di sebut sidang damai.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 sudah
jelas bahwasanya Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban
dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam
rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang
mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan
56
56
masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan
masyarakat. Jadi dapat dikatakan atas dasar apa polisi memperbolehkan sidang
damai sedangkan kasus yang terjadi adalah tindak pidana umum yang
menghilangkan nyawa orang lain, yaitu demi menjaga keamana kenyamanan
masyarakat dan tidak terjadi perang antar suku.
Keadilan restoratif tentu dapat dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan
kriteria yang ada. Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis
dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan
hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat
ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan
kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek
sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku,
latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah
pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan,
Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia
atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada
korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.
dapat dikatakan mengutamakan restorative justice, yaitu ”suatu pemulihan
hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak
pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)
(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar
permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut
57
57
dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan
di antara para pihak.
Restorative justice sangat memiliki manfaat untuk menyelesaikan suatu
tindak pidana antara lain, lebih memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian
menunjukan bahwa 80% korban merasakan proses yang lebih fair dalam
restorative justice. Restorative justice tidak hanya merestorasi pelaku dan korban,
tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk yang dirasakan, restorative justice
diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan
masyarakat terdampak, mengurangi jumlah narapidana dan juga dapat menghemat
biaya dan waktu.
keadilan restoratif memang memiliki banyak mamfaat serta efektifitas bagi
para pihak. Mamfaat dan efektifitas yang paling dirasakan oleh para pihak adalah
bahwa pelaku tindak pidana tidak harus membayar kesalahanya melalui
pemenjaran, korban pun tidak “dimamfaatkan” sebagai saksi yang akhirnya hanya
bisa menerima takdir atas musibah yang ia terima tanpa mendapatkan ganti rugi
ataupun pemulihan, sedangkan yang pelaku kejahatan hanya membayar
kesalahanya dengan pemenjraan, meninggalkan korban tanpa memikirkan dampak
kejahatanya terhadap diri korban yang menderita, baik fisik maupun psikologis.
Dalam restorative justice, pelaku kejahatan dan korban dapat bersama-sama
menentukan jalan keluar yang menguntungkan bagi mereka.
Oleh karena itu karena pihak yang terlibat dalam kasus tindak pidana
pembunuhan yang menewaskan pemuda Dayak, maka tujuan dari sistem
restorative justice telah tercapai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yunan
58
58
Hilmi dalam jurnal hukum Rechtsvinding, bahwa tujuan akhir dari sistem ini
adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman diubah menjadi
upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian perkara pidana yang
menguntungkan semua pihak.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan tentang penyelesaian tindak pidana
melalui islah dalam hukum Islam dan hukum pidana Positif, serta analisis islah
dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang menewaskan pemuda Dayak. Maka
banyak hal yang sebenarnya dapat ditarik kesimpulan. Berikut adalah beberapa
point penting yang menjadi inti dari pembahasan skripsi penulis.
1. Dalam hukum pidana Islam, Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang
dipilih olehmasing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh
pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta
perdamaian diantara kedua belah pihak. Konsep Islah dapat dikatan
banyak kesamaan dengan Al-Afwu namun berbeda secara konsep maupun
definisi, kalua Al-Afwu yaitu media penyelesaian perkara kejahatan qisash
dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih
memungkinkan dilakukan qisash. Islah dalam hukum pidana Islah dapat
dilakukan melalui lembaga pemaaf, yakni dengan adanya seorang hakam
sebagai penengah/ pendamai diantara kedua pihak yang berperkara. Hak
iIslah diberikah kepada ahli waris korban maupun si korban yang masih
hidup. Dalam pelaksanaanya, islah dapat dilakukan untuk jarimah qisash,
diyat, serta jarimah ta’zir. Sedangkan untuk jarimah hudud, tidak
dibenarkan karena hudud merupakan hak Allah dan sangat jelas aturanya
dalam Nash.
2. Islah dalam hukum positif merupakan penyelesaian perkara di luar
pengadilan, dan dapat disebut sebuah konsep yang mencakup berbagai
bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui
cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan
konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan
60
60
pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. kebijakan ini juga dikenal dengan
keadilan restoratif (restorative justice).
3. Islah yang dilakukan dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang
menewaskan pemuda Dayak disidangkan secara adat Dayak, persidangan
berjalan tertib, hasil putusan yang dibacakan oleh martir dapat diterima
dengan baik oleh kedua pihak, artinya Islah dapat diterapkan dan
mencapai tujuan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
B. Saran
Setelah penulis menarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut.
1. Seharusnya bisa lebih memperhatikan keadaan korban dan pelaku, tidak
hanya mengedepankan sanksi tetapi melihak hak-hak korban dan pelaku
korban tidak hanya dijadikan saksi saja lalu ditinggalkan pelaku yang
menjalani hukuman, sedangkan korban harus menanggung kerugian sendiri.
2. Konsep islah dalam hukum pidana Islam seharusnya dapat menjadi
pertimbangan para penegak hukum untuk membuat undang-undang kearah
yang lebih baik, karena konsep islah jauh sudah ada terlebih dahulu di dalam
hukum Islam sebelum adanya hukum positif.
3. Dalam konsep Islah juga perlu dibuat adanya standar pelaksanaan Islah
supaya tidak terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum dalam
menangani suatu masalah hukum.
61
DAFTAR PUSTAKA
A.Wahid, Yani, Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi, Kompas, 16 Maret 2001.
A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT.
Yasrif Watampone, 2010.
Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH Jakarta, 2012.
Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung : Armico, 1984
Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII.
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013.
Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014.
Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012.
Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005.
Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur
Mahasiswa,t.th) Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Mertokusumo, Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000. Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998. Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012.
62
Prayitno, Wukir, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991.
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel
FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
Ramzy, Ahmad, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan
Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia, 2012.
Rifqi, Mohammad, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian
Konflik Dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008. Sihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume
13, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Soekanto, Soejono, Mudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet.V, Jakarta :
Indhillco, 2001. Artadi, Ibnu, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara
Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Vol.25 No.1. 2007
At-Tamimi, Umar, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian
Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, 2013.
Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian
Indonesia, November 2013. Artikel ini diakses pada 8 februari 2018 ukul 12.58 WIB.
Lasmadi, Sahuri, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia. Putri Siregar, Anistia Retenia Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.
Raharjo, Trisno, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat,
Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17, 2010.
63
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, 2013.
Tengens, Jecky, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana
Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB.
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui
Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, 2013.
Zulfa, Eva Achjani, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang
kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Universitas Indonesia.
Kala Warga Adat Dayak Gelar Sidang Damai dengan Suku Madura Digelar Mirip Persidangan Negara, Pelaku Didenda 500 Gram Emas
PELIHARA TRADISI: Persidangan adat damai di Aula Kayuh Baimbai Pemerintah Kota Banjarmasin, kemarin (2/4) pagi.
PROKAL.CO, style="text-align: justify;"> Kebudayaan lokal ternyata juga punya prosesi penyelesaian kasus hukum sendiri. Setidaknya itulah yang tergambar di Aula Kayuh Baimbai di Kantor Pemerintah Kota Banjarmasin, kemarin (2/4) pagi.
----------------------------------------
Pagi kemarin, Aula Kayuh Baimbai Kantor Pemerintah Kota Banjarmasin terlihat ramai dengan orang berpakaian adat dayak. Beberapa orang pemuda dilengkapi mandau (senjata khas suku dayak) berjaga di dalam dan di luar ruangan gedung. Ada apa gerangan?
Ternyata ada acara yang tak biasa. Itu adalah persidangan kasus pembunuhan yang menewaskan pemuda dayak bernama Eki Persia Rianda, kemarin (2/4) pagi.
Kenapa digelar di gedung pemko Banjarmasin dan bukan di pengadilan? Ternyata memang ini adalah sidang yang dilakukan secara adat dayak. Lebih lengkapnya sidang perdamaian adat dayak atau singer sahiring yang mengadili pelaku atau keluarga pelaku yang telah melakukan pembunuhan terhadap satu orang pemuda dayak.
Dari pantauan Radar Banjarmasin, sidang yang berlangsung selama 4 jam ini dijaga ketat aparat keamanan dari Satbrimob Polda Kalsel, TNI, Polda Kalsel, Polresta Banjarmasin, Polsek Banjarmasin Tengah. Dalam ruang sidang perdamaian tersebut hadir pula beberapa orang etnis Madura yang tergabung dalam Kerukunan Warga Madura (Kawama) Kalsel dengan mengenakan baju ciri khas madura.
Sidang perdamaian adat dayak ini dipimpin oleh Ketua Mantir, Alsen Bayan didampingi 8 anggota mantir serta tiga orang dewan pertimbangan kerapatan mantir perdamaian adat dayak Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Banjarmasin.
Layaknya sidang kasus pembunuhan yang biasa digelar di pengadilan negeri, ketua sidang atau Ketua Mantir memanggil pihak pelaku yang diwakili oleh Ketua Kawama Kalsel, H Asmad dan keluarga korban yang diwakili oleh ibu korban bernama Asna Ningsih.
Menariknya, pada sidang perdamaian ini tidak ada pembelaan atau tuntutan. Sidang perdamaian ini hanya membacakan tahapan peristiwa pembunuhan hingga terjadinya proses perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban serta putusan denda pembunuhan terhadap pelaku.
Sebelum Ketua Mantir membacakan tahapan peristiwa hingga terjadinya proses perdamaian dari kedua belah pihak, Ketua Mantir memanggil pihak pelaku dan keluarga korban duduk di kursi yang tepat berada di depan Ketua Mantir.
Ketua Mantir kemudian memulai sidang dengan membacakan berita acara yang telah diajukan kepada kerapatan mantir sesuai dengan hukum adat dayak Kalimantan berdasarkan Kapatat Tumbang Anoi 1894 yang dibuat oleh DAD Kota Banjarmasin, Batamad Kapuas, dan keluarga korban.
Setelah selesai membacakan berita acara, Ketua Mantir menanyakan kepada pihak pelaku yang diwakili H Asmad apakah peristiwa ini benar terjadi. Oleh H Asmad, ia mengatakan siap menaati semua hukum adat dayak. “Kita mentaati semua tapi kami minta seringan-ringannya,” ucapnya kepada Ketua Mantir. Ketua Mantir meminta tanggapan kepada ibu korban, yang dijawab ibu korban agar keputusan sidang ini diambil dengan seadil-adilnya. “Kalau sudah ada perdamaian jangan ada tawar menawar lagi,” katanya mengharapkan kepada Ketua Mantir yang memimpin sidang perdamaian hukum adat dayak. Usai mendengarkan keterangan pihak pelaku dan keluarga korban, Ketua Mantir juga memanggil 4 orang saksi dari pihak madura dan dayak hanya untuk mendengarkan jawaban benar atau tidak apakah mereka mengetahui peristiwa pembunuhan tersebut.
Setelah dijawab benar oleh saksi, sidang kemudian diskor selama 2 jam oleh Ketua Mantir karena akan dilaksanakan sidang tertutup untuk merapatkan putusan denda pembunuhan terhadap pelaku.
Selesai sidang tertutup, Ketua Mantir bersama dengan 8 anggota mantir dan dewan pertimbangan kembali membuka sidang perdamaian secara terbuka dengan tahapan membacakan keputusan sidang perdamaian yang bersifat final dan mengikat.
kerapatan mantir memutuskan bahwa berdasarkan hukum adat dayak kalimantan menjatuhkan denda kepada pihak pelaku agar membayar 500 kati ramu atau 500 gram emas dengan harga emas sekarang sekitar Rp564.000 atau total sekitar Rp282.000.000 kepada orang tua korban.
“Denda ini harus dibayar paling lambat 14 hari setelah putusan sidang ini. Apabila pihak pelaku tidak membayar maka akan dikenakan denda yang lebih berat,” kata Ketua Mantir.
Usai membacakan putusan, Ketua Mantir menanyakan kepada pihak pelaku dan keluarga korban apakah menerima putusan ini. H Asmad menyatakan menerima. Sementara itu, ibu korban juga menerima hasil putusan kerapatan mantir.
Secara terpisah, dewan pertimbangan, Dehen MH mengatakan, sidang perdamaian ini bukan untuk mencari siapa yang salah. Putusan ini diambil dengan seadil-adilnya sesuai dengan norma adat dayak.
Terkait denda pembunuhan, berdasarkan hukum adat dayak denda ini sudah sesuai koridor, dimana dalam hukum adat dayak denda tersebut mulai dari 375 sampai 750 kati ramu. “Dalam hukum positif, denda ini sama dengan hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun,” ujarnya.
Usai sidang, DAD Kota Banjarmasin dan Kawama Kalsel mengucapkan ikrar persaudaran untuk menjaga keamanan dan kedaulatan NKRI. DAD dan Kawama juga saling tukar cinderamata berupa ciri khas senjata masing-masing suku.(hni/by/ran)
http://swiestboyz.blogspot.co.id/2016/07/kala-warga-adat-dayak-gelar-sidang.html
http://kalsel.prokal.co/read/news/2361-kala-warga-adat-dayak-gelar-sidang-damai-dengan-
suku-madura