kekuatan partai politik islam di daerah...
TRANSCRIPT
KEKUATAN PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH
MAYORITAS MUSLIM DALAM PEROLEHAN SUARA PADA PEMILU
TAHUN 2014
(STUDI KASUS KAB. PANDEGLANG)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Prasyarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Bustomi
1111045200006
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1437 H
i
ABSTRAK
Bustomi, 1111045200006, “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah
Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus
Kab. Pandeglang)” Strata 1, Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah
Syar’iyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa sejauh mana kekuatan partai
Islam di daerah yang notabene penduduknya beragama Islam, yang pada setiap
pelaksanaan pemilu jumlah tersebut kerap kali tidak linier dengan perolehan suara
partai politik Islam.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif
dengan melakukan kajian pustaka dan dilengkapi pula dengan hasil wawancara
beberapa tokoh partai Islam di daerah tersebut. Penulis juga menggunakan data
tambahan guna memberikan nilai objektifitas pada penelitian yang didapat dari
artikel-artikel, media masa, dan lainnya yang masih berkaitan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, meskipun daerah
kab. Pandeglang merupakan daerah yang jumlah penduduknya mayoritas
beragama Islam, namun ternyata jumlah tersebut tidak bisa diandalkan bagi
tumbuh suburnya kekuatan partai politik Islam di daerah tersebut. Berdasarkan
temuan dilapangan bahwa melemahnya kekuatan partai politik Islam di daerah
Kab. Pandeglang disebabkan oleh lemahnya partai Islam dalam menata susunan
kepartaian dan pada umumnya masyarakat lebih tertarik kepada figur ketimbang
partai politik. Karena partai Islam lemah dalam penempatan tokoh/figur, alhasil
partai lain yang basisnya nasionalis dilirik karena figur yang ditampilkan menarik
dan bisa diandalkan oleh masyarakat.
Kata Kunci : Kekuatan Partai Politik Berideologi Islam, Daerah Mayoritas
Penduduk Islam
Pembimbing : Prof. Dr. Yunasril Ali., M.A
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke-hadirat Allah SWT. yang
telah memberikan nikmat dan kekuatan sehingga prosesi penyelesaian tugas akhir
kuliah ini berjalan dengan lancar. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
baginda alam, manusia sempurna sepanjang zaman Nabi Besar Muhammad SAW.
pemilik inspirasi, motivasi dan filosofi hidup untuk dijadikan pedoman bagi
mahluk bumi agar hidup berjaya dan memberikan makna/manfaat bagi sesama.
Sebagai bentuk terimakasih, rasa hormat dan rasa bangga, penulis
sampaikan kepada beberapa pihak yang telah memberikan konstribusi, baik dalam
bentuk jasa, bimbingan, motivasi, inspirasi dan do’a kepada penulis selama
menyelesaikan tahapan penyusunan skripsi ini. Mereka yang terhormat adalah:
1. Bapak Asep Saepuddin Jahar., MA, Ph.D, selaku Dekan beserta para
Pembantu Dekan dan segenap sifitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa., M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati., M.Ag, selaku ketua
dan wakil ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku dosen Penasehat Akademik
(Dosen PA), dan Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali., M.A, selaku dosen
pembimbing skripsi. Berkat kesabaran dan kepedulian beliaulah sehingga
penyusunan tugas akhir ini berjalan dengan baik dan lancar;
4. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan KPUD
iii
Kab. Pandeglang, Pengurus DPD Partai PKS dan DPC Partai PPP Kab.
Pandeglang, yang telah memberikan data, sumber informasi maupun
referensi bagi penulisan skripsi ini;
5. BIDIKMISI Kementrian Agama Republik Indonesia (KEMENAG RI),
yang telah membrikan amanah dan bantuan beastudi selama jenjang S1 di
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. “Bidikmisi Bakti untuk Negeri”;
6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Satirah dan H. Johani (Alm),
pemilik ruh, nadi dan nyawa perjuangan penulis, serta segenap keluarga
besar Satirah Usrah Kabirah, (Eteh Rodinah, Kakanda Drs. Sutisna
(Alm), Kakanda Jazuli, Eteh Rusdiyah, Kakanda Zainal Abidin, Kakanda
A. Turmudzi, Eteh Siti Fatonah, beserta pasangan dan keturunan masing-
masing), yang tiada henti memberikan doa, inspirasi, motivasi dan jalan
bagi perjalanan hidup penulis, “Untuk Mereka Pencapaian ini
Diberikan”;
7. Kawan-kawan seperjuangan di kelas Hukum Tata Negara (Siyasah)
angkatan 2011, dari alfabet A-Z terimaksaih atas kebersamaan selama
menempuh jenjang S1 di Universitas ini;
8. Keluarga Besar; Moot Court Community (MCC) UIN Jakarta, DEMA-
FSH priode 2014-2015, HMI Komfaksy Cabang Ciputat, Irmafa, FAMAN
(Forum Alumni MAN Pandeglang ). Terimakasih melalui lembaga kajian
dan organisasi tersebut, mampu mengembangkan potensi tidak hanya
dibangku kuliah tapi diluar perkuliahan. Dan terimakasih kepada aktor-
iv
aktor terhebat yang berada di dalamnya, yang selalu menginspirasi dan
memberikan motivasi “bahwa hidup tidak untuk saat ini melainkan untuk
kelak nanti, dan kiprah ataupun dedikasi diperlukan untuk pembangunan
negeri”;
9. Dan kepada semua pihak yang sudah memberikan banyak kontribusi,
semoga kebaikan yang diberikan merupakan bagian dari amal shaleh yang
Allah SWT meridhainya. dan mudah-mudahan melalui skripsi ini mampu
memberikan manfaat bagi aktifitas akademis maupun aktifitas yang
bermanfaat lainnya.
Jakarta, 21 September 2015
Bustomi
NIM.111045200006
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13
D. Review Kajian Terdahulu 15
E. Metode Penelitian 16
F. Sistematika Penulisan 18
BAB II TINJAUAN UMUM PARTAI POLITIK ISLAM 20
A. Pengertian Partai Politik Islam 20
B. Fungsi Partai Politik Islam 24
C. Munculnya Partai Politik di Indonesia 25
D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 27
1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945) 27
vi
2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965) 38
3. Periode Orde Baru (1966-1998) 47
4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1998-2014) 53
BAB III TINJAUAN UMUM KABUPATEN PANDEGLANG 61
A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang 61
1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang 61
2. Letak Geografis Kab. Pandeglang 64
3. Kependudukan Kab. Pandeglang 68
4. Arti Lambang Kab. Pandeglang 70
5. Pendidikan di Kab. Pandeglang 72
6. Keagamaan di Kab. Pandeglang 74
B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang 75
1. Hasil Perolehan Suara Pada Pemilu tahun 2014 75
2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang 77
BAB IV KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI
KAB. PANDEGLANG PADA PEMILU TAHUN 2014 80
A. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 81
1. Ideologi Partai PPP 81
2. Visi dan Misi Partai PPP 83
3. Kekuatan Partai PPP di Kab. Pandeglang 85
B. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 89
1. Ideologi Partai Partai PKS 89
vii
2. Visi dan Misi Partai PKS 91
3. Kekuatan Partai PKS di Kab. Pandeglang 92
C. Partai Bulan Bintang (PBB) 94
1. Ideologi Partai PBB 94
2. Visi dan Misi Partai PBB 95
3. Kekuatan Partai PBB di Kab. Pandeglang 96
D. Analisis Kekuatan Partai Islam di Kab. Pandeglang 98
BAB V PENUTUP 103
A. Kesimpulan 103
B. Saran 105
DAFTAR PUSTAKA 107
LAMPIRAN-LAMPIRAN 111
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas
negara hukum. Artinya bagi suatu negara demokrasi pastilah menjadikan “hukum”
sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenang-
wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan
negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang
kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga
tidak boleh sewenang-wenang.1 Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-
alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan
yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.
Demikian juga Indonesia yang dengan tegas telah memilih bentuk demokrasi
yakni dengan ketentuan terletaknya kedaulatan di tangan rakyat, jelas tak lepas dari
konsekuensi untuk menetapkan pula “negara hukum” sebagaimana telah dituangkan
ke dalam butiran ayat UUD 1945. Dalam pasal 1 ayat (3) dengan jelas dinyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2 Di dalam negera hukum segala
1 Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.
85.
2 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Amandemen ke-tiga disahkan 10 November 2001.
2
hak yang berhubungan dengan kebutuhan dan pemenuhan hajat warga negara diatur
dan dilindungi oleh undang-undang. Begitupun halnya dengan hak memilih dan hak
untuk dipilih. Sebagaimana paham demokrasi yang dianut bahwa kekuasaan ditangan
rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua warga negara memiliki hak dan
kewajiban untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan sebuah negara
dengan tujuan memajukan dan mensejahterakan warga negara,3 baik secara langsung
atau tidak langsung, yakni sebagai penentu dalam proses pemilu misalnya.
Hak politik secara eksplisit merupakan hak asasi mausia, sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 (1),4 dan Pasal 24 (1) dan (2) UU No. 39/1999.
5 Selain itu setiap
warga negara memiliki hak konstitusional untuk ikut serta di dalam penyelenggaraan
negara, sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28.6 Setiap orang berhak
bebas memilih keyakinan politiknya, termasuk jika keyakinan politik itu dianggap
merupakan ekspresi dari keagamaan (agama) yang bersangkutan, atau jika keyakinan
politik itu, misalnya dalam bentuk yang ekstrem, menyatakan perlunya negara
didasarkan pada satu agama tertentu atau negara “teokrasi, atau keyakinan politik
3 Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
4 Pasal 23 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.”
5 Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan
berserikat untuk maksud-maksud damai,” dan Pasal (2) “Setiap warga negara atau kelompok
masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lain untuk
berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan
perlindungan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan undang-undang.”
6 Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
3
marxisme.” Keyakinan politik seperti itu termasuk di dalam kebebasan yang bersifat
internal (freedom to be) yang tidak bisa (boleh) dibatasi.7
Kalau demikian, bagaimana melihat dan memahami keinginan untuk
mengaktualisasikan keyakinan politik berdasar atas agama (misalnya mendirikan
“negara agama”) di tingkat nasional maupun lokal? Seturut dengan nalar kebebasan
beragama, kebebasan mengekspresikan keyakinan politik itu bersifat dapat ditunda
penikmatannya, diatur, dan dibatasi (derogable, regulable, limitable) tetapi
pembatasannya haruslah dengan undang-undang [Pasal 28J (2)], dan jika sudah
ditetapkan dengan undang-undang maka semua orang diwajibkan mematuhinya.
Oleh karena itu untuk mendirikan partai politik (sebagai instrument yang sah
untuk ikut serta dalam pemerintahan, atau bahkan untuk mengganti pemerintah) perlu
diatur dengan undang-undang kepartaian, dan untuk pemerintahan daerah diatur
dengan undang-undang otonomi daerah. Pendek kata UUD 1945 menjamin
kebebasan berkeyakinan politik bagi setiap warga negara, dan kebebasan untuk
memperjuangkan keyakinan politiknya itu lewat lembaga-lembaga pengelolaan
konflik yang ada (misalnya parlemen). Batasan lain secara eksplisit dituangkan ke
dalam Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 bahwa “…kebebasan untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” yang juga searah dengan Pasal 28J (2)8,
7Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, Diterbitkan oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS),
Volume 3, No. 2, Januari-Juni 2011, h.131.
8 Pasal 28J (2) UUD 1945, “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
4
atau dengan kata lain ekspresi keyakinan politik (termasuk yang berdasarkan agama,
atau untuk mendirikan negara agama; atau pada ujung lain untuk mendirikan negara
komunis) dibatasi yakni sepanjang tidak melawan hukum dan tidak dilakukan dengan
cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis.9
Sebagai upaya untuk mengaktualisasikan hak politik warga negara, perlu
adanya perantara (sarana) untuk menjamin atau sebagai penghubung antara individu
dan negara, sarana tersebut yakni partai politik , sebagaimana dikatakan Miriam
Budiardjo bahwa partai politik merupaka sarana bagi warga negara untuk turut serta
atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.10
Partai politik memiliki
kekuatan besar dan penentu terlaksananya sistem demokrasi di suatu negara,
sebagaimana dikatakan Nauman yang dikutip Miriam Budiardjo, bahwasanya partai
politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.11
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yag
bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakan.12
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbnagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyrakat demokratis.
9 Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, h. 131.
10Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama, 2008),
cet. Ke-10, h. 397.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.
12 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto ( Jakarta: LP3S, 2003), h. 19.
5
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting
dalam setiap sistem demokasi. Partai memainkan peranan penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak
yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi.
Seperti yang dikatakan oleh Schattscheider (1942) sebagaimana dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, bahwa “Political parties created democracy”. 13
Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk
mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi
pemimpinnya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elit politik
dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercapai stabilitas yang
berkelanjutan.14
Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting
untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam
setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa
hal tersebut dikatakan oleh Schattscheider, “Modern democracy is unthinkable save
in terms of the parties”.15
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap
partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai
politik itu sebenarnya tidak lebih dari pada kendaraan politik bagi sekelompok elit
13 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
401.
14 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 19.
15 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 401.
6
yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai
politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan
beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the
general will atau kepentingan umum.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga
negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan
checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak
berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam
menjalankan fungsinya masing-masing, yang sering terjadi adalah partai-partai politik
yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala
proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya
sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas.
Sebaliknya, efektifitas bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prisip
checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem
kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua itu
tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas
dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada
gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan
7
berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang
bersangkutan.16
Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai
lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya
mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan
partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih
muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.17
Bahwa mayoritas penduduk Indonesia secara riil beragama Islam adalah
merupakan suatu kenyataan historis dan fakta demografis sosiologis-teologis yang
sama sekali tidak dapat dipungkiri dan sulit untuk dibantah. Berbicara Islam,
berbicara segala aspek kehidupan secara utuh, Islam sebagaimana yang diketahui dan
diyakini adalah agama pemberi rahmat atau agama rahmatan lil’alamin, untuk itu
Islam tidak mengenal kompartementalisasi (red: pengkotak-kotakan) bidang
kehidupan. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara
utuh dan komprehensif, maka bidang politik juga diatur dalam Islam. Meski ada
perbedaan pendapat yang kontroversial mengenai corak hubungan Islam dan politik,
apakah hubungannya bersifat formalistik ataukah substantif, tetapi hampir semua
ulama dan pemikir Muslim bersepakat bahwa dalam Islam pemisahan keduanya
16 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 402.
17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 397.
8
(Islam dan politik) adalah tidak mungkin.18
Untuk itu, sebagaimana Islam harus hadir
(omnipresent) dalam setiap aspek kehidupan manusia, maka demikian pula di bidang
politik. Islam pasti memberikan seperangkat doktrin atau pedoman dalam kehidupan
politik.
Sebagai agama yang sempurna (Q.S. Al-Maidah/5 : 3), bahkan paling
sempurna, Islam adalah cara hidup (way of life) yang total dan padu yang
menawarkan landasan moral dan etis bagi para pemecahan semua masalah
kehidupan; Islam adalah din (agama), dunya (dunia), dan daulah; dan sebagai agama
yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman, maka Islam pasti relevan
bagi setiap perkembangan jaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan),
inklusif di dalamnya politik. Itulah sebabnya, mengapa kita mengatakan bahwa Islam
adalah risalah yang universal (untuk semua manusia) dan mondial (untuk seantero
dunia), dan elternal (selamanya sampai akhir zaman), inilah rupanya rumusan kita
yang tidak bisa ditawa-tawar lagi.19
Pemeluk agama Islam di seluruh Tanah Air berjumlah 87,21 persen dari
seluruh penduduk Indonesia yang dewasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 214 juta
jiwa.20
Tidak berlebihan jika negara Indonesia dikatakan sebagai ranah Muslim di
18 Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern (Jakarta: PT. Mediacita,
2002), h. 236.
19 Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern, h. 236.
20 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2002), h. 115-116.
9
antara sekian banyak “negara Muslim” di berbagai penjuru dunia. Jumlah penduduk
Indonesia yang sebagaian besar memeluk agama Islam setidaknya memperkokoh hal
itu. Ironisnya, di dalam percaturan ekonomi dan politik, sebagaimana dikatakan
Zainal Abidin Amir, nasib umat Islam Indonesia berlawanan dengan jumlahnya yang
menempati urutan teratas di tengah-tengah penduduk Indonesia yang melimpah.21
Dilihat dari perspektif politik praktis, sebagaimana dikatakan oleh Faisal Ismail, alur
realitas aspirasi politik umat Islam pada dataran empirik di pentas politik nasional
tidak selamanya terkonsentrasi dan menyatu padu dalam satu wadah tunggal partai
Islam atau partai yang berbasis Islam, barangkali hal ini menjadi alasan mengapa
antara jumlah penduduk dan aspirasi politik masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam tidak linier sebagaimana pendapat yang diutarakan Zainal Abidin di
atas.22
Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Indonesia
pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur dan
keberbagaian struktur kepartaian dipentas nasional. Sepanjang perjalanan sejarah
perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum
(Pemilu) di Tanah Air, realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak
terkonsentrasi ke dalam suatu wadah tunggal partai Islam atau berbasis Isalam, akan
21 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 16.
22
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.
10
tetapi menyebar secara berpariasi ke berbagai saluran politik yang ada di panggung
arena politik nasional.23
Pakar politik Islam dari UCLA (University California Of Los Angels), Steven
Fish, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra menilai kebanyakan partai Islam di
Indonesia memiliki tujuan serupa. Namun, mereka belum mampu menunjukan
keistimewan masing-masing. Inilah penyebab mengapa partai Islam tidak pernah
menang dalam pemilu. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama
muslim, menurut Fish, partai Islam terganjal beberapa kendala. Pertama, antara partai
satu dan yang lainnya malah sibuk bersaing meraih posisi. Padahal menurutnya, jika
partai-partai Islam ini bersatu, bukan tidak mungkin suatu hari partai Islam akan
berjaya.24
Dalam masa satu setengah dasawarsa pasca Soeharto, politik Islam terlihat
jelas berada dalam posisi kian tidak menguntungkan. Untuk pemilu 2014, hanya
terdapat tiga parpol yang berasaskan Islam, yaitu: PKS, PBB, dan PPP, dua partai
lainnya, PKB dan PAN yang logonya sering digandengkan sejajar dengan logo ketiga
parpol berasaskan Islam tadi, nyatanya tidak berasaskan Islam, tetapi berdasarkan
Pancasila.
23 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.
24 Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, Republika (Jakarta), 5 Desember
2013, h. 8.
11
Dengan demikian, secara definisi keduanya bukanlah parpol Islam. Paling
banter keduanya dapat disebut sebagai parpol berbasis Muslim (Muslim-based party)
karena PKB dan PAN berbasis masing-masing warga Nahdliyyin dan
Muhammadiyah. Hal ini banyak benarnya pada masa Pemilu 1999 dan 2004, tetapi
lagi demikian pada Pemilu 2009, apalagi Pemilu 2014.
Alasannya jelas, kian sedikit warga NU yang memberikan suara kepada PKB
yang sebagian juga memberikan suaranya kepada PPP dan parpol-parpol lain. Begitu
juga dengan warga Muhammadiyah yang kian merasa tidak ada lagi hubungan
emosional dengan PAN. Mereka melihat tidak lagi ada tokoh atau figur terkemuka
Muhammadiyah menjadi pemimpin PAN.
Dalam pada itu belum terlihat tanda-tanda bahwa parpol berasas Islam
mengalami peningkatan popularitas. PPP dan PBB tampak stagnan. Tidak terlihat
langkah dan manuver untuk menarik para pemilih. Juga tidak terlihat peningkatan
popularitas kepemimpinannya yang dapat menimbulkan ketertarikan para pemilih.
Sedangkan partai PKS, sedikit banyak terimbas kasus korupsi dan pencucian
uang yang melibatkan presiden yang diamanatkan, Luthfi Hasan Ishaq. Dengan
demikian sulit kiranya perjuangan mereka untuk dapat mengangkat nama baiknya
kembali dan terpilih sebagai anggota legislatif. Karena itu ada pesimisme cukup luas,
12
PKS dalam pemilu 2014 tak bakal mampu mencapai perolehan suara pada Pemilu
2009 sekitar hampir delapan persen.25
Melihat fenomena demikian, maka dari itu hati penulis terketuk untuk
meneliti lebih jauh kenapa hal demikian bisa terjadi, terlebih kajian yang akan
diangkat oleh penulis berkenaan dengan suatu daerah yang konon daerah tersebut
sampai sekarang masih kental dengan sebutan kota santri, namun seperti halnya
penjelasan diatas di daerah inipun eksistensi partai politik yang berideologi Islam
tidak begitu diminati sebagai sasaran uatama kala menentukan keterwakilannya
melalui pemilu. Dengan maksud demikian maka judul yang akan menajadi fokus
penulis dalam menyusun dan menjawab permasalahan yang ada di dalamnya, penulis
sajikan dengan judul “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas
Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab.
Pandeglang)”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas perlu dibatasi masalah
yang akan diteliti. Sehingga bahasan yang dikaji tidak keluar dan terfokuskan
kedalam satu arah busur yang tepat.
25 Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, dalam Republika (Jakarta), 5
Desember 2013, h. 8.
13
Dalam menulis sekripsi ini objek terfokuskan pada Pemilu yang
diselenggarakan pada tahun 2014.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latarbelakang yang telah dipaparkan, maka
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana kekuatan suara partai politik Islam di Kab. Pandeglang Pada Pemilu
2014?
b. Faktor apa yang mempengaruhi kekuatan/melemahnya parpol Islam pada masa
tersebut ?
c. Apakah ada hubungan yang linier antara penduduk mayoritas beragama Islam
dengan perolehan partai politik Islam di Kab. Pandeglang ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam Penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis
diantaranya:
a. Untuk mengetahui sebebarapa besar kekuatan dan eksistensi partai politik Islam
di Kab. Pandeglang.
b. Untuk mengetahui beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap
eksistensi/pelemahan partai politik Islam.
14
c. Untuk mengetahui adakah hubungan liner antara penduduk mayoritas beragama
Islam dengan perolehan sura parpol Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah, sebagai berikuta:
a. Penulis
Bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang Politik Islam
(Siyasah Syar’iah), khususnya mengenai kajian ini, terlebih penulis adalah kelahiran
Pandeglang, jadi bisa mengetahui Pandeglang tidak sebatas wilayah dan daerah yang
agung melintang nan kaya keindahan serta kedamaian saja, (Sosial dan Budaya)
melainkan dari segi lain pula yakni segi politik.
b. Jurusan, Fakultas, dan Universitas
Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur perpustakaan,
dengan kajian dan penyajian baru, karena dirasa baru kali ini ada penelitian dengann
objek kajian kedaerahan yakni mngengkat daerah Kab. Pandeglang sebagai fokus
utama.
c. Masyarakat Umum (akademisi, praktisi, pelajar dan lainnya)
Sebagai bahan kajian keilmuan, dan penambah wawasan berkaitan dengan isu
tema Islam politik dan bagaimana eksistensinya ketika dilebur ke dalam partai politik.
Barangkali menjadi pertanyaan besar ketika secara persentasi penduduk Indonesia
15
mayoritas Islam, tapi nyatanya partai politik yang berideologi Islam kurang
diseganai.
D. Review Kajian Terdahulu
Dari beberapa penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mengenai tema partai politik Islam perlu kiranya dikedepankan
sebagai bahan perbandingan dengan hasil penelitian penulis, diantaranya:
1. Yeby Ma’asan Masyrudin, “Transisi Demokrasi Dan Perilaku Partai Islam (Studi
Tentang Kemerosotan Perolehan Suara Partai PPP Pasca Orde Baru),” Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Skripsi ini berisi tentang problematika partai PPP yang mengalami kemerosotan
suara pada setiap Pemilu dilaksanakan khusunya setelah runtuhnya rezim Orde
Baru yakni dalam kurun waktu 1999, 2004 dan 2009. Penulis skripsi dalam kajian
ini mencoba mencari akar permasalahan yang menyebabkan melemahnya suara
partai PPP pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
2. Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi
Kasus: Partai Bulan Bintang (PBB) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi yang ditulis oleh Indah Permatasari ini membahas tentang permasalahan
yang terjadi pada partai Idelogis yakni PBB dalam perolehan suara pada pemilu
1999-2009.
16
Dari kedua skripsi yang ditulis di atas baik yang ditulis oleh Yeby Ma’asan
Masyrudin dengan tema utama partai PPP, maupun yang ditulis oleh Indah Permata
Sari dengan tema utamanya partai PBB, dapat di simpulkan bahwa meskipun kedua
skripsi diatas membahas tentang permasalahan suara partai politik Islam, tetapi topik
yang diangkat merupakan partai politik Islam secara nasioanal. Beda halnya dengan
skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah partai politik Islam,
tetapi cakupan yang coba penulis analisisa adalah daerah bukan nasional. Dengan
demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan kedua
penulis diatas.
E. Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam peneitian ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif atau jenis penelitian normatif, yang dilakukan dengan cara
Library Researh (kepustakaan). Teknik pengumpulan data ini menggunakan studi
dokumenter.
2. Sumber Data
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu:
17
a. Data Primer
Sumber data primer meliputi hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu
tahun 2014, yang mana dari hasil rekapitulasi perolehan suara ini akan terlihat
seberapa signifikan perolehan suara partai politik islam.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang
memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian, antara lain
informasi yang relevan, seperti buku-buku tentang partai politik, buku-buku tentang
ketatanegaraan Indonesia, wawancara pengurus partai politik Islam di Kab.
Pandeglang, Pemerintahan setempat baik dalam lingkup kekuasaan legislatif ataupun
eksekutif, serta KPUD sebagai penyelenggara pemilu tingkat daerah yang lebih
berhadapan langsung dengan soal yang dibahas. Sumber lain pula tidak lepas dari
literatur yang berhubungan dengan tema yang dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Pengumpulan data informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan
yang ada diperpustakaan, arsip-arsip daerah, dokumen, majalah maupun lainnya.
18
4. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan langkah paling penting dalam sebuah penelitian,
terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil
temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode
deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok
permasalahan secara menyeluruh dan komparatif, yakni sebuah metode perbandingan
dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk
menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi
yang menjadi pokok penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam
sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang dibagi
dalam sub bab dan setiap bab mempunyai batasan masing-masing yang akan saling
berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:
Bab I, Dalam permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan
yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang partai politik berupa:
pengertian partai politik, ideologi partai politik yang dianut di Indonesia dan partai
politik apa saja yang menganut ideologi Islam maupun Pancasila.
19
Bab III, Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum seputar Kab.
Pandeglang baik dari segi demografis, keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi dan
kondisi politik di daerah tersebut.
Bab IV, Pada bab ini pembahasan mengenai duduk perkara permasalahan yang
dikaji yakni kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang berikut analisisnya.
Bab V, Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, meliputi kesimpulan
dari pembahasan, serta beberapa saran bekaitan dengan penulisan skripsi dari awal
sampai pembahasan ini diselesaikan.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK ISLAM
A. Pengertian Partai Politik Islam
Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau
berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah
sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang
dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempuyai sejarah cukup panjang, meskipun
juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru
dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara.
Dan ia baru ada di negara modern. Secara akumulatif studi mengenai partai politik
baru ada pada awal abad ke-201
Dalam literatur politik ditemukan beberapa definisi partai politik, secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik, dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
Carl J. Friedrich, mengemukakan bahwa partai politik:
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. IV, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), cet. 4,
h.397
21
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan
materiil.2
Sigmund Neuman dalam bukunya Modern Political Parties sebagaimana dikutip oleh
Miriam Budiardjo mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
melalui persaingan dengan suatau golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate
organization of society’s active political agents; those who are concerned
with the control of governmental polity power, and who compete for popular
support with other group or groups holding divergent views).3
Menurut Sartori Partai politik adalah:
Suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan malalui
pemilihan itu mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki
jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at election,
and is capable of placing through elections candidates for public office).4
Pengertian partai politik telah dijelaskan secara gamblang diatas. Sekarang
jika dikaitkan dengan Islam, apa yang dimaksud dengan partai politik Islam? Islam
dalam konteks ini dipahami sebagai doktrin agama yang harus diimplementasikan
dalam masyarakat serta mengatur seluruh aktivitas dan prilaku manusia di dalamnya.
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan agama
komprehensif yang sudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.
Dengan demikian, partai politik Islam dapat dipahami sebagai sebuah organisasi
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404-405
22
publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks yang berbeda-beda
melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah, baik pada level legislatif
maupun eksekutif. Proses mendapatkan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan
dalam pemilu serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program
yang tidak lepas dari nilai-nilai ideologi Islam.5
Dalam kajian ilmu politik, penggunaan “partai Islam” setidaknya memiliki
dua konotasi. Pertama, ideologi organisasi, yaitu merujuk kepada partai politik yang
menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. Ideologi organisasi dianggap penting
karena ia merupakan tujuan dan orientasi. Ideologi menjadi alat pembeda antara satu
partai dengan partai yang lain.6
Dalam pembahasan selanjutnya mengenai partai politik Islam, Menurut
Sudirman Tebba, untuk menyebut suatu partai politik itu partai Islam dia harus
memiliki ciri Islam pada salah satu dari tiga unsur, yakni; nama, asas, dan lambang.
Suatu partai disebut partai Islam apabila namanya mengandung unsur Islam atau
asasnya Islam atau lambangnya mengandung ciri Islam.7Selain itu, dikategorikannya
partai tersebut sebagai partai Islam ditandai oleh adanya personalia kepemimpinan
partai yang didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang Islam yang kuat
5 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h.9
6 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 9
7Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru (Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 18
23
(santri) serta pengambilan keputusan yang cenderung berpihak kepada kepentingan
unsur Islam.
Jika dilihat dalam konteks sekarang partai politik di Indonesia yang masih
konsisten menerapkan Islam sebagai asas atau ideologi politiknya hanyalah tiga partai
politik, yaitu ; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)8,
dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Amanat Nasional (PAN), jika dilihat dari perspektif konstitusi partai, adalah
bukan partai politik Islam yang sebenarnya, paling tidak dapat dikatakan sebagai
partai berbasis massa Islam.9 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa secara umum
partai politik Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang
berazazkan Islam, Parpol yang berplatform Islam, Parpol yang menggunakan simbol-
simbol penganut Islam maupun substansi Islam yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.10
8Pasal 3 Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang, dinyatakan; Partai ini berasaskan Islam. Lihat
juga Hasil Muktamar II Partai Bulan Bintang (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang
Periode 2005-2010), h. 25
9 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), h.124
10
Ed.Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan, 2010), h.289
24
B. Fungsi Dan Tujuan Partai Politik Islam
Pada umumnya, para ilmuan politik biasanya menggambarkan adanya 4
empat fungsi partai politik. Sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo fungsi tersebut
meliputi sarana: (i) komunikasi politik; (ii) sosialisasi politik (political socialization);
(iii) rekrutmen politik (political recruitment); dan (iv) pengatur konflik (conflic
management).11
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp sebagaimana dikutup
oleh Jimly Ashiddiqie, fungsi partai politik itu mecakup fungsi (i) mobilisasi dan
integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting
ptterns); (iii) sarana rekrutmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan.12
Sementara itu tujuan dari partai politik Islam tidak terlepas dari sebuah
institusi negara sebagai media bagi partai politik Islam untuk mewujudkan cita-cita
besar Islam. Adapun tujuan partai Islam dapat dirumuskan dalam salah satu ayat Al-
Qur’an yang berbunyi: Baldatun thayyibun warabbun ghafur yang artinya
terwujudnya sebuah negara yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera yang diridhai oleh Allah SWT. Dari tujuan itu dapat dirumuskan tiga tujuan
utama partai Islam.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,h. 405-409
12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada,
2009), h.406-407
25
1. Masyarakat yang adil. Keadaan dimana seluruh masyarakat di suatu negara tidak
ada yang merasa terintimidasi maupun terpinggirkan dari kehidupan masyarakat
yang luas serta mendapatkan hak-haknya sebagai salah seorang warga yang
mendiami suatu daerah tertentu. Keadilan meliputi segala hal yang melekat pada
mereka seperti, hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak berbicara, dan lain
sebagainya.
2. Masyarakat yang makmur dan sejahter. Setiap manusia menginginkan hidup
bahagia, dan salah satu indikator hidup bahagia adalah memperoleh kemakmuran
dan kesejahteraan hidup.
3. Masyarakat yang aman dan nyaman. Salah satu fungsi negara adalah membuat
warganya merasa aman dari berbagai bentuk kejahatan maupun tindakan kriminal
lainnya. Sedangkan nyaman adalah rasa bahagia dari segi psikologis seseorang
yang hidup dalam lingkungan tertentu. Tujuan ini merupakan tujuan dari partai
politik Islam untuk menjadikan masyarakat tidak merasa terganggu dari segala
bentuk kejahatan maupun gangguan masyarakat sekitar.13
C. Munculnya Partai Politik di Indonesia
Motivasi kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia tahun 1577 adalah
berdagang. Untuk memperlancar arus perdagangan dan meluaskan pengaruh, pada
tahun 1602 Belanda mendirikan Varenigde Oot-Indische Compagnie (VOC) sebagai
instrumen utama yang melibatkan para Bupati dalam administrasi mereka dengan
13
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 11
26
fungsi utamanya memobilisasi masyarakat untuk melaksanakan program pemerintah,
dalam hal ini VOC.14
Peperangan yang terjadi antara Belanda dan Belgia pada tahun 1820 memaksa
Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) guna menyokong biaya
perang. Keberhasilan sistem ini diikuti oleh pemberlakuan Constitutional Ordinance
tahun 1854 yang memberikan hak politik absolut kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk mengawasi kegiatan politik rakyat demi tercapainya keamanan.
Akibatnya muncul dua tendensi yang berbeda. Kehidupan politik cenderung ke
otoritarianisme, sementara liberalisme mewarnai bidang ekonomi.
Desakan kaum liberal di Belanda menyebabkan Cultuurstelsel segera
digantikan oleh Politik Etika yang mengajukan ide tentang “the Honor of Debt” atau
Politik Utang Belanda. Politik ini mendorong pemerintah Hindia menerapkan
modernisasi sektor ekonomi dan pendidikan bagi golongan pribumi. Gelombang balik
dari modernisasi ini adalah munculnya keinginan untuk mendirikan partai politik.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903,
pemerintah Belanda memberikan hak kepada pemerintahan lokal di Hindia Belanda
untuk membentuk suatu Dewan Perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk di
dewan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil-wakil dari “the Color Caste
System”, satu model yang sama dengan Constitutional Democracy. Protes terhadap
ide ini mengawali perubahan pada tahun 1916 ketika Gubernur Jenderal menyatakan
14
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 25
27
bahwa sebagian anggota Volksraad tetap ditunjuk, dan sebagaia lain dipilih. Untuk
mengisi kursi yang dipilih, maka pada tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan dibolehkannya pembentukan partai politik pada tingkat nasional.15
Mosi Tjokroaminoto dan mosi Djajadiningrat pada bulan November 1918
yang menuntut agar seluruh anggota Volksraad dipilih oleh rakyat membuahkan
reformasi politik. Rakyat dibolehkan secara bebas berserikat dan berkumpul,
meskipun pada kenyataannya polisi rahasia tetap mengawasi kegiatan politik mereka.
Dampak paling penting dari kedua mosi itu adalah diubahnya penunjukan
representatif di Volksraad dari Color Caste System ke basis assosiational group.
Setelah dipicu oleh politik etika dan Volksraad, di Indonesia tumbuh berbagai
partai yang secara garis besar dapat dipilah menurut kategori: (i) partainya keturunan
Belanda; (ii) partainya keturunan Cina; (iii) partainya orang Indonesia.16
D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia
1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945)
Jika bentuk ideal umat Islam itu beserta tugas kewajibannya untuk
kemanusiaan harus diungkapkan dalam kalimat singkat, maka yang paling baik ialah
mengutip al-Qur’an tentang gambaran yang diberikan untuk umat Rasulullah saw.:
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu
menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagipula kamu percaya kepada
15
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.26
16
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 26
28
Tuhan.” Perjuangan Islam sepanjang sejarahnya dapat dilihat sebagai usaha kaum
Muslim memenuhi gambaran al-Qur’an itu, khususnya berkenaan dengan tugas
kewajibannya bagi kemanusiaan. Tugas itu juga sering diungkapkan dalam kalimat
aslinya dalam bahasa Arab, yaitu “Amr ma’ruf nahi munkar”. Karena tugas amr
ma’ruf nahi munkar itu umat Islam selalau terlibat dalam perjuangan melawan setiap
bentuk kezaliman. Maka wajar sekali bahwa umat Islam Indonesia sepanjang
sejarahnya juga dikenal sebagai penentang-penentang gigih imperialism. Juga
bukanlah suatu kebetulan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia yang mula-mula
tumbuh secara sebenarnya berbentuk organisasi massa dalam arti modern muncul dari
kalangan Muslim melalui Sarekat Islam.17
Pada tahun 1911 di Surakarta berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama
Kong Sing. Anggota perkumpulan tersebut terdiri atas dua golongan, yaitu golongan
orang-orang jawa dan orang-orang Cina. Perkumplan ini merupakan organisasi,
koperasi, dengan tujuan untuk menjalin kerjasama diantara anggotanya dalam bidang
usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan batik, serta kerjasama
dalam urusan kematian.18
Pada mulanya perkumpulan ini dapat berjalan dengan baik, tetapi kemudian
terjadi perpecahan, sebab anggota golongan Cina yang semula hanya 50 persen
17
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
h.43-44
18
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di
Palembang (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h.34
29
berkembang menjadi 60 persen. Akibatnya lebih jauh, mereka tampak berambisi
hendak menguasai perkumpulan tersebut dan mereka ingin menyingkirkan para
anggota dari bumi putra. Selain itu, sikap orang-orang Cina menjadi lebih sombong
dengan berhasilnya revolusi Cina yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen.
Melihat sikap Cina yang makain menjadi sombong itu, para anggota orang
Jawa beranggapan, bahwa keluar dari Kong Sing adalah langkah yang tepat.
Berangkat dari masalah itu maka mereka keluar dari organisasi tersebut, yang
kemudian mereka membentuk perkumpulan baru dengan nama Sarekat Dagang
Islam.19
Serikat Dagang Islam didirikan pada 1911 di Solo,20
oleh seorang pengusaha
batik di Laweyan yang bernama H. Samanhudi. Dasar organisasi ini adalah agama,
yaitu Islam dan dasar ekonomi. SDI mula-mula diarahkan melawan kegiatan kegiatan
Cina itu yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pribumi, sisi lain
dari perlawanan itu, sekalipun tidak langsung, ditunjukan kepada Belanda yang
19
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di
Palembang,h.35
20
Mengenai tahun kelahiran atau berdirinya SDI/SI ada sebagian tokoh yang menyatakan
bahwasanya tahun berdirinya SDI/SI adalah pada tahun 1905 atau lebih awal dari berdirinya Budi
Utomo 1908, seperti K.H. Firdaus A.N. dalam karyanya Syarikat Islam Bukan Budi Utomo,
Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa (Jakarta: CV. Datayasa, 1997), h. 9
30
memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam
perdagangan dan industri.21
Pada tahun 1912, Umar Said Tjokroaminoto, mengusulkan kepada H.
Samanhudi agar perkumpulan tersebut jangan membatasi diri pada golongan
pedagang saja, tetapi diperluas, khususnya kepada umat Islam. Dengan alasan
tersebut maka kata-kata dagang dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut dihapus.
Sehingga nama perkumpulan dalam akte notarisnya 10 September 1912 itu menjadi
Sarikat Islam (SI),22
perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama,
tapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik.23
Hal ini bukan tanpa rintangan, karena pada mulanya kolonial Belanda
keberatan dan menolak kehadiran SI, tetapi kemudian diakui juga sebagai “Badan
Hukum” (Recht Persoon) pada tanggal 10 september 1912.24
Pengakuan sebagai Badan Hukum, belum berarti izin bagi gerakan politik SI,
karena SI masih dianggap Belanda sebagai organisasi berbahaya. Tetapi karena kaum
SI mendesak terus dengan keras, maka pemerintah Belanda tidak bisa
menghalanginya lagi. Akhirnya pengakuan dan izin sebagai gerakan politik yang
21
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3S, 2006),
h.80 22
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di
Palembang, h. 36
23
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.81
24
Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan
Bangsa, h. 3
31
bernama Central Sarekat Islam (CSI) datang juga pada tanggal 18 Maret 1916, yaitu
tiga hari sebelum Gubernur Jenderal Belanda Indenburg, mengakhiri masa
jabatannya.25
Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar
di seluruh kepulauan Indonesia.26
Sarikat Islam (SI) yang merupakan bentuk transformasi dari Sarikat Dagang
Islam (SDI), merupakan akar kesadaran politik Islam era modern, yang oleh Engleson
disebut sebagai partai politik Islam yang selama beberapa tahun menjadi partai
modern satu-satunya pada masa kolonial. Van Niel, sebagaimana dikutip oleh
Dhurorudin Mashad, menyebutkan bahwa SI sebagai salah satu organisasi politik
Indonesia abad 20 yang paling menonjol.27
Penyebutan itu tidak berlebihan,
mengingat SI bukan saja merupakan parpol pertama di Indonesia, tapi juga parpol
yang terbukti mampu menyadarkan lapisan luas masyarakat dari keterbelakangan dan
dari kenyataan fatalisme. SI berupaya mengubah mentalitas orang terjajah, dari sikap
pasrah menjadi aktif dengan berakar pada semangat persamaan.28
Dalam tahap awal perjalanan SI (1911-1916), sebagian besar perhatian
dicurahkan pada masalah-masalah organisasi seperti mencari pemimpin, menyusun
25
Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan
Bangsa, h.3, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h.119
26
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 84
27
Dhurorudin Masad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008), h.53
28
Dhurorudin Msad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53
32
anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah.29
Pada peiode ini, program organisasi masih bersifat umum dan luas, sehingga para
pemimpinnya belum bisa memberikan arah yang lebih tegas ke mana organisasi akan
dibawa.30
Dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis dan Agus Salim, SI
mulai memasuki periode puncak pada tahun 1916 sampai 1921. SI bukan lagi sebagai
organisasi pedagang pribumi yang berdomisili di Solo, namun ia telah berhasil
menyebar di seluruh Nusantara pada tahun 1919 dengan jumlah anggota hampir
mencapai dua setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat: pedagang,
petani, buruh, dan bangsawan pribumi.31
SI terbuka untuk setiap orang Indonesia
tanpa memandang latar belakang sosioetnis mereka, untuk itu wajar jika
kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Beda halnya
dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya bagi priyayi Jawa dan
Madura.32
Tuntasnya persoalan di bidang organisasional pada periode sebelumnya,
menyebabkan SI mampu memperhatikan secara serius beberapa persoalan, ekonomi
dan politik. Dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh sentaral, SI membagi program
29
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
30
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta, LP3S, 1998), h. 115-
116
31
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
32
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 82
33
kerjanya menjadi delapan yaitu politik, pendidikan, agama, hukum, agrarian,
pertanian, keuangan dan perpajakan.33
Mengawali periode ketiga (1921-1927), SI memecat anggota-anggotanya
yang juga berafiliasi denga Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini dilakukan untuk
mempertegas bahwa kebijakan dan kegiatannya hanya berdasarkan Islam seperti
tercantum dalam keterangan asas organisasi. SI berganti nama menjadi Partai Sarikat
Islam (PSI) melalui kongresnya di Madiun pada tanggal 17-20 Februari 1923.34
Dalam hal itu, yang cukup menarik adalah berubahnya arah politik partai
berkenaan dengan penahanan Tjokroaminoto dalam tahun 1921-1922. Penahanannya
menimbulkan protes keras dan menyingkirkan kepercayaan partai kepada pemerintah
untuk bekerja sama. Hal ini diikuti oleh suara yang menghendaki kemungkinan
dimunculkannya politik hijrah (nonkooperasi) yang kemudian semakin dipertegas
oleh hasil keputusan Kongres di Surabaya pada tanggal 8-10 Agustus 1924 yang
menyatakan bahwa partai tidak akan mempunyai seseorang wakil walaupun Dewan
Rakyat (Volksraad).35
Menginjak periode keempat (1927-1942), SI berusaha keras mempertahankan
keberadaannya dalam pentas politik waktu itu. Namun SI gagal mempertahankan
33
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 127-129
34
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29
35
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 150
34
posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional, karena berbagai faktor yang
menimpanya, diantaranya:36
Pertama, konflik internal dikalangan elit partai. Kekecewaan seorang elit
terhadap langkah politik yang ditempuh oleh elit lain atau karena perbedaan
pandangan tentang bagaimana seharusnya partai bersikap, kerapkali harus berakhir
dengan pengusiran seorang elit dari tubuh partai.
Berbagai perbedaan pendapat mengenai kebijakan masalah-masalah pribadi
mengakibatkan mundurnya atau dikeluarkannya beberapa pemimpin dan aktivis
partai yang paling penting. Abdul Muis mengundurkan diri dari kepemimpinan
organisasi itu menyusul ketidaksetujuannya dengan Tjokroaminoto dalam maslah
yang berhubungan dengan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), di
mana ia adalah ketua pelaksananya. Perbedaan sejenis mengenai masalah moral
menyebabkan Sukiman dan Surjopranoto juga mengundurkan diri dari SI.37
Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam lain terhadap SI. Seiring
dengan perjalanan SI berbagai organisasi Islam yang lain juga muncul seperti Al-
Irsyad, Muhammadiyah dari sayap modernis, dan gejala semakin terorganisasinya
golongan tradisionalis. Reputasi besar SI dan tokoh-tokohnya yang piawai dalam
berorganisasi meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi
36
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29-30
37
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2009), h.71
35
kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI sebagaimana tergambar dalam
beberapa kali Kongres Al-Islam. Tetapi karena merasa diperlakukan tidak wajar oleh
pimpinan SI, kaum tradisional menceraikannya. Sedangkan pertikaian karena
persoalan pribadi dengan Muhammadiyah pada tahun 1926 berbuntut pada keluarnya
anggota-anggota Muhammadiyah dari SI pada tahun berikutnya. Dan ketegangan
mengenai masalah agama yang tidak tergolong fundamental (furu’iyah) denga pihak
Persatuan Islam (Persis) membuat partai ini semakin menjauh dari organisasi-
organisasi Islam yang besar. Dalam kondisi demikian, SI denga percaya diri masih
berani mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan umat Islam Indonesia.
Ketiga, tantangan yang semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari
kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi
komunisme sempat merembes ke tubuh SI melalui semaun dan Darsono. Mereka
adalah tokoh SI dari cabang semarang yang kemudian terlibat konfrontasi dengan
pemimpin-pemimpin SI dari aliran Islam berkaitan dengan tuntutan agar kepolitikan
SI dibersihkan dari Islam baik sebagai dasar, unsur maupun tujuan. Sebagai gantinya
seluruh orientasi dari kegiatan partai didasarkan pada paham Marxis yang
menekankan karakter sosialistik dan revolusioner.38
Diperkenalkannya Marxisme ke
38
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30
36
dalam SI memunculkan berbagai konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin
organisasi ini.39
Ketertarikan kepada gagasan-gagasan Marxis pada mulanya berkembang di
luar gerakan-gerakan nasionalis pribumi. Di kepulauan Nusantara, gagasan-gagasan
tersebut pada mulanya diasosiasikan dengan sekelompok kecil anggota Nationale
Indische Partij (NIP, Partai Nasional Belanda ) sebuah organisasi politik Eropa
Indonesia yang dibentuk pada 1912 dan menyuarakan paham kesetaraan ras, keadilan
sosial-ekonomi dan kemerdekaan, yang didasarkan kepada kerjasama Eropa-
Indonesai. Karena ditindas oleh pemerintah kolonial, maka kelompok minoritas di
dalam partai tersebut bergabung dengan partai kiri Indische Sosiaal Democratische
Vereeniging (ISDV, Asosiasi Demokrasi Sosial Hindia Belanda), yang didirikan oleh
Hnedrik Sneevlit pada 1914. Dan ketika pada 1920 ISDV ditransformasikan menjadi
Partij der Komunisten in Indie (Partai Komunis Indonesia [PKI]), sebuah partai
komunis yang sepenuhnya beraliran komunis.40
Kedua tokoh SI yakni Semaun dan
Darso yang kelak dikeluarkan dari SI dan bergabung dengan PKI.Yang lebih
memperparah konflik diatas adalah perbedaan sudut pandang mengenai landasan
teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim,
dan Abdul Muis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan
mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur
39
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 69
40
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 67-69
37
Tengah. Sebaliknya Semaun dan Darsono lebih menghendaki disingkirkannya agama
dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh tindakan
mereka kepada prinsip-prinsip Marxsis.41
Upaya untuk mengompromikan dua bidang ideologi itu sempat dilakukan.
Namun upaya tersebut menemui jalan buntu dan tarik tambang ideologi itu
dimenangkan oleh kubu Islam. Meski demikia SI harus membayar kemenangannya
itu dengan hengkangnya sejumlah besar anggotanya.42
Kegagalan dalam menjembatani berbagai perbedaan ini, terutama dalam
watak sosialistik dan revolusioner SI, mengakibatkan perpecahan dalam organisasi
tersebut. Karena kalah dalam percaturan ini, maka pada kongres keenam SI yang
diselenggarakan di Surabaya pada 1921, faksi Marxis dikeluarkan dari organisasi
denga alasan bahwa mereka melanggar disiplin partai dengan mempertahankan
keanggotaan mereka dalam sebuah partai kominis, yakni PKI.43
Tantangan terhadap kepemimpinan SI dalam gerakan nasional ini dilanjutkan
oleh kalangan lain yang netral agama, yang biasanya disebut nasionalis. Mereka
umumnya bergabung dalam Perserikatan kemudian Partai Nasional Indonesia
dibawah pimpinan Soekarno (1901-1979). Pada tahun 1930-an tantangan itu
41
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 70
42
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30
43
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h.70
38
dilanjutkan oleh Patai indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan
Partai Indonesia Raya (Perindra). Jadi berkembanglah perpecahan dalam kalangan
umat Islam itu, mulanya dengan pihak komunis (yang masih beragama Islam), dan
kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama (yang juga sebagian besar
beragama Islam). Bila pihak komunis yang umumnya anti agama, jadi anti Islam,
golongan nasionalis yang netral agama ingin membatasi agama pada bidang
perseorangan.44
2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
Dikeluarkannya Maklumat Presiden pada tanggal 3 November 1945
merupakan langkah awal masyarakat Indonesia waktu itu untuk membentuk partai
politik dan yang kemudian akan ikut menyemarakan kontestasi pemilu legislatif pada
tahun 1946. Dengan adanya Maklumat tersebut, secara praktis sistem pemerintahan
Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer, tanpa
mengubah apalagi mengganti UUD 1945. Hal ini disambut oleh masyarakat untuk
mendirikan partai politik sebagai sarana untuk merebut kursi di legislatif dengan
beragam aliran yang dimilikinya, yakni kemudian lahirlah partai politik yang
berideologi Komunis, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan
Tradisionalisme Jawa. Partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya maklumat
44
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), h. 6
39
November 1945 oleh Alfian dibagi kepada lima bagian, yakni Nasionalis, Islam,
Sosialis, dan Kristen/Nasrani.45
Maklumat yang dikeluarkan November 1945 disambut dengan baik oleh
kalangan umat Islam, hal itu terbukti dengan langsung digelarnya Kongres Umat
Islam Indonesia selama dua hari di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah
disepakatinya pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi.
Partai Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) di dirikan pada 07
November 1945, merupakan satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia.
Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan
menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan cita-
cita Islam dalam urusan kenegaraan.46
Gagasan pembentukannya berasal dari sejumlah politisi dan pergerakan sosial
keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman penjajahan Belanda,
diantaranya Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammd
45
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.35
46
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UII
Press, 1990), h. 190
40
Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki
Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah.47
Partai Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan
menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam.48
Menurut beberapa
tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi, ada beberapa pertimbangan
yang mendorong mereka untuk membentuk partai itu menjadi “partai tunggal” Islam
Indonesia. Dari segi doktrin, sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra
tokoh-tokoh itu merujuk kepada al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam
bersatu dan jangan berpecah belah (Qs, Ali-Imran/03:103).49
Tekad menjadikan Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan
cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menampung semua
elemen umat Islam di masyarakat. Dua jenis keanggotaan Masyumi adalah
perseorangan (biasa) dan organisasi (istimewa). Anggota perseorangan disyaratkan
minimal usia 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain.
47
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan) (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 62-63
48
Zainal Abisin,Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 37
49
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h.65
41
Anggota istimewa semula terdiri atas empat organisasi yakni NU, Perikatan Umat
Islam, Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah.50
Sebagai partai tunggal Islam, Masyumi tidak menghadapi persaingan yang
berarti dari sesama partai Islam yang ketika itu memang tidak ada selain dirinya
sendiri. Partai Itu bersaing dengan partai-partai yang berideologi bukan Islam seperti,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis
Indonesia (PSI), dan partai-partai lain yang kecil. Termasuk dalam hal tersebut partai-
partai Nasionalis, Kristen, Katolik atau pun partai-partai Marxis diluar PKI. Dalam
suasana persaingan yang sedemikian rupa itu, Masyumi ingin menunjukkan bahwa
Islam yang dipegang sebagai ideologi politiknya adalah suatu “ideologi Islam yang
modern”, yaitu Islam yang di tafsirkan sedemikian rupa, sehingga diniscayakan
paling mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Indonesia.51
Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak dapat diragukan lagi.
Prestasinya paling cemerlang ditunjukkannya pada rentang 1945-1957, dalam mana
para tokohnya banyak yang mengisi posisi Menteri bahkan Perdana Menteri. Dalam
rentang waktu itu tercatat tiga tokoh Masyumi memimpin kabinet. Mereka adalah
M. Natsir, Sukiman, dan Burhanudin Harahap. Ketika nama yang disebut terakhir ini
menjabat sebagai Perdana Menteri, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya
melaksanakan pemilu yang diikuti oleh banyak partai dan berlangsung secara
50
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.37
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h.70
42
demokratis. Pemilu yang digelar pada tahun 1955 itu memiliki kualitas yang hanya
dapat ditandingi oleh pemilu 1999, tidak oleh satupun pemilu-pemilu Orde-Baru
(ORBA). Periode itu menyaksikan bahwa Masyumi mampu mendudukkan empat
atau lima orang tokohnya dalam setiap kabinet, kecuali dalam Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (1953-1955) dimana Masyumi memang tidak bersedia masuk dalam
kabinet.52
Untuk itu, jauh sebelum pemilu 1955 dilaksanakan pada tahun 1946, Sjahrir
(pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri
dalam beberapa kabinet semasa revolusi) sudah memperkirakan bahwa “jika
pemilihan umum diselenggarakan disekitar tahun itu, maka Masyumi yang saat itu
adalah gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dan
ortodok seperti NU, akan memperoleh 80% suara.53
Perkiraan Sjahrir itu bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi
antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Dalam hal ini Herbert Feith sebagaimana dikutip
Bahtiar Effendi memberi kesaksian, bahwa dalam pemilihan umum tingkat regional
yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan dalam pemilihan
umum yang diamati secara teliti di wilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta
52
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 38-39
53
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia,h. 99
43
pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih
banyak dibanding kontestan manapun.54
Untuk menggambarkan lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam
yang semakin kuat pada masa revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan
dikemukakan di sini. Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di
Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan giat setelah masa adem-ayem
pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota
236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi.
Namun demikian, karena adanya banyak partai, organisasi, dan asosiasi yang diwakili
dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya
memperoleh 54 kursi (23%). Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta
untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah
sistem demokrasi constitutional (1950-1957), tiga kabinet dipercakan
kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet
Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956).
Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk
pemerintahan, baik Masyumi maupun NU (yang memisahkan diri dari Masyumi dan
menjadi organisasi politik tersendiri pada 1952), berperan sebagai pasangan koalisi
utama. Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada
September 1955 menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU,
54
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h.99-100
44
PSII, dan Perti) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5% suara) dalam parlemen.
Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh di bawah perkiraan Sjahrir, namun itu telah
menggandakan wakil kelompok Islam dalam Parlemen.55
Namun jika dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang beragamakan Islam
kala itu mencapai 90% hal ini kurang begitu menggembirakan, karena disisilain
jumlah perolehan partai polititik non agama mencapai 60% perolehan suara. Hal
inilah yang menurut Daniel Dhakidae sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin,
kemenangan partai-partai non-agama itu disebabkan oleh masih kentalnya semangat
nasionalisme di panggung politik Indonesia sejak sebelum perang kemerdekaan
sampai dekade 1960-an.56
Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik
bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan abangan dan santri kian
menajam, sebagaimana tercermin dari perdebatan sengit di dewan Konstituante
mengenai keberadaan Piagam Jakarta dan dasar Negara. Konflik di tingkat elit itu
berakibat pula pada sulitnya memebentuk pemerintahan yang setabil. Perdebatan
mengenai dasar negara dalam tubuh Konstituante antara golongan Islam dan
Nasionalis tidak membuahkan hasil bahkan cenderung berakibatkan terjadinya
perpecahan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat situasi politik yang tidak lagi kondusif kemudian sebagai upaya
55
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h.100-101
56
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 42
45
penyelamatan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959, yang
menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan
Konstituante.57
Sejak saat itu secara resmi sistem Demokrasi Parlementer tidak lagi
menjadi sistem pemerintahan di Indonesia dan berubah menjadi Demokrasi
Terpimpin.
Dalam sistem pemerintahan yang baru ini Soekarno mengintrodusir Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang semua anggotanya diangkat oleh
presiden. Tak pelak lagi sistem Demokrasi Terpimpin memperoleh kritik keras dari
tokoh-tokoh partai sebagai sistem pemerintahan anti demokrasi. Masyumi adalah
satu-satunya partai Islam yang paling keras melancarkan kritik. Sementara NU, PSII
dan Perti mengambil langkah akomodatif terhadap kebijakan Soekarno dengan
menyatakan dukunganya dan memberikan legitimasi keagamaan atas kiprah
politiknya.58
Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak pada
dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus
1960. Keppres ini melarang keberadaan Masyumi dan PSI di pentas politik Indonesia,
karena dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI (Pemerintahan
Refolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958.
57
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 42-43
58
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 43
46
Setelah melenyapkan Masyumi dan PSI pada bulan April 1961 soekarno
membubarkan semua partai politik, karena banyaknya partai dianggap oleh Soekarno
sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam mengambil
keputusan,59
kecuali Sembilan partai politik yang lolos seleksi, diantaranya NU, PSI
dan Perti. Tetapi keberadaan Sembilan partai itu nyaris tak berguna, karena sistem
kepartaian pada Demokrasi Terpimpin bersifat “No-Party System”.
Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai jargon perjuangan yang
membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular adalah Nasakom
(Nasional, Agama, dan Komunis), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), dan lain-
lain.60
Dengan adanya pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis
mendapat posisi dominan, karena merupakan salah satu dari tiga unsur utama
disamping partai-partai agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia
(PNI). Begitu pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan
Perundang-undangan yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaan anggota
parlemen daerah, unsur Nasakom harus di perhatikan dalam penunjukkan unsur
pimpinan DPRD. Jadi bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, maka ia
59
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, Cet.VI, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2010), h. 42
60
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 42-43
47
harus diikut sertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota
DPRD tertentu.61
Pada masa Orde Lama ini pendulum kekuasaan sepenuhnya bergerak di antara
tiga kutub yang sangat kompetitif, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan
Partai Komunis. Tarik tambang diantara tiga kekuatan politik utama tersebut
menyedot sebagian tenaga dan perhatian mereka, sehingga berbagai persoalan politik
dan ekonomi yang lebih mendasar tidak memperoleh perhatatian serius. Akibatnya
Negara Demokrasi Terpimpin digerogoti oleh aneka krisis politik dan ekonomi yang
kemudian berujung pada hancurnya kekuasaan Soekarno dan Partai Komunis
menyusul percobaan kudeta 30 September 1965.62
3. Periode Orde Baru (1966-1998)
Orde Baru adalah suatu masa atau era pemerintahan nasional yang dimulai
dengan kepemimpinan Soeharto, melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) tahun 1966. Soeharto sang Jenderal Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Pangkostrad) memiliki mandat kepemimpinan untuk mengendalikan
situasi politik kenegaraan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966,
dari Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.63
Proses politik dibawah
Negara Orba berlangsung di luar aturan main demokrasi. Akibatnya Semua tindakan
61
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 43
62
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.45
63
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern
(Jakarta: Sumber Pemikiran Islam, 2003), h. 73
48
yang penting diarahkan untuk mengamankan stabilitas termasuk mengganjar para
pendukung dan memberantas para pembangkang.
Pemilu pertama Orde Baru dilaksanakan pada tangal 13 Juli 1971, dengan
Golkar yang keluar sebagai partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 62,8 %
suara. Dari tiga partai Islam yang pernah terlibat dalam pemilu 1955, hanya NU yang
berhasil meningkatkan perolehan suaranya dalam pemilu kali ini, dari 18,4 % suara
menjadi 18,67 % suara. PSII dan Perti yang pada pemilu 1955 meraup 2,9 % dan 1,3
% suara, persentase suaranya melorot menjadi 2,39 % 0,70 persen suara, jauh
dibawah persentasi Masyumi yang dapat mendulang suara 43% suara pada pemilu
1955. Kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 memberikan legitimasi konstitusional
akan pemerintahan militer di Indonesia.64
Pada masa Orde Baru tepatnya pada tahun 1973 partai-partai Islam (NU,
Partai Syarikat Islam Indonesia [PSII], Persatuan Tarbiyah Islamiyah [Perti] dan
Partai Muslimin Indonesia [Parmusi] yang kemudian mengubah nama menjadi M.I
[Muslimin indonesia]) lebur menjadi satu partai yakni dalam PPP.65
Langkah ini
dilakukan karena adanya tekanan dari rezim penguasa yang tidak dapat ditolak.66
Pada
masa ini sejak pertengahan 1970-an, bersama dengan berlangsungnya proses
64
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 50
65
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h.
83
66
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001),
h. 20
49
restrukturisasi rezim Orde Baru (1973), jumlah partai politik mengalami pembatasan,
yakni hanya ada tiga partai politik yang hidup di masa rezim Orde Baru diantaranya;
PPP, Golkar dan PDI (yang merupakan fusi dari partai Kristen dan nasionalis sekuler;
PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba) .67
Fenomena ini tidak lain
merupakan buah hasil dari produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Soeharto
dengan produk hukumnya yakni UU No. 3 tahun 1973 tentang partai politik, yang
menyederhanakan sejumlah partai politik. Untuk itulah kemudian terjadi fusi ditubuh
partai politik.68
Meskipun Partai Politik Islam yang telah memfusikan kegiatan politiknya ke
dalam PPP, secara kehidupan sosial kemasyarakatan program-program utamanya
tetap berjalan sebagaimana halnya sebelum meleburkan diri ke dalam PPP, misalnya
PSII yang tetap fokus melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bidang dakwah,
sosial dan ekonomi.69
Perampingan jumlah parpol dianggap sebagai strategi paling
kuat untuk melanggengkan kekuatan Orde Baru.70
Berdasarkan sejarahnya, PPP dibentuk sebagai hasil dari rekayasa pemerintah
Orde Baru, untuk membentuk hegemonic partysystem, yaitu sistem partai yang
67
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 234
68
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Reformasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 59
69
M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1984), h. 8
70
Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h. 277
50
hegemoni dalam kendali penguasa Orde Baru. Sebagai partai ciptaan negara, PPP
terjerat kesulitan dalam membenarkan kehadirannya di hadapan para pendukungnya,
bahkan di depan dirinya sendiri. Melihat fenomena demikian Kingsbury sebagaimana
dikutip oleh Zainal Abidin, menyimpulkan bahwa negara dibawah kendali Orba pada
dasarnya telah membatasi pertumbuhan politik Islam, sebagaimana pernah
dipergunakan oleh Soekarno terhadap Masyumi.71
Baik PPP maupun PDI keduanya
masuk dalam jaringan korporatisme Negara, sehingga fungsinya dalam perpolitikan
Negara termarjinalkan. Sebab hampir semua fungsi partai politik diambil alih oleh
birokrasi dari berbagai organisasi korporatis yang merupakan perpanjangan tangan
Golkar. Untuk itu baik PPP yang berbasis Islam maupun PDI yang berbasis
nasionalis/kerakyatan tidak pernah mampu megungguli perolehan suara Golkar pada
setiap pemilu di masa Orde Baru.72
Sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 (selama kurun waktu dua puluh enam
tahun atau selama lima kali pemilihan umum), rata-rata jumlah perolehan suara PPP
secara nasional tidak bisa melampaui ambang batas 20 persen. Fakta nyata ini
membuktikan secara jelas bahwa aspirasi politik umat Islam tidak selalu
terkonsentrasi penyalurannya ke kubu PPP. Sepanjang sejarah politik Orde Baru,
bagian terbesar aspirasi politik umat Islam tersalurkan ke kubu Golkar, partai adidaya
yang didukung oleh pemerintah dan militer. Selebihnya dalam jumlah kecil, umat
71
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 53
72
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h,
84
51
Islam menyalurkan aspirasi politiknya ke kubu PPP dan PDI yang secara politis tidak
bisa secara signifikan menyaingi, apalagi menggoyahkan dan mengalahkan posisi
Golkar selama kurun pemerintahan refresif Orde Baru.73
Artinya pemerintah bersama
Golkar tetap merupakan kekuatan politik yang dominan.74
Peristiwa yang terjadi di atas bukanlah suatu kebetulan atau dianggap natural
tanpa adanya rekayasa yang dilakukan rezim penguasa, pasalnya sebelum ikut dalam
Pemilu tahun 1970, Golkar sudah mendapat dukungan luar biasa dari pemerintah
yang memang sejak mula kelahirannya partai tersebut didesain untuk menjadi partai
pemerintah yang diproyeksikan menjadi tangan sipil Angkatan Darat dalam Pemilu.
Pada tahun 1969 Amir Machmud mengeluarkan Permendagri No. 12/1969 yang
melarang warga departemen memasuki partai politik, dan selanjutnya melalui surat
edaran Mendagri Amair Machmud memerintahkan kepada pegawai negeri untuk
menanggalkan kenggotaannya dalam parpol maupun ormas untuk menggabungkan
diri ke dalam Korp Karyawan Pemerintah Dalam Negeri (Kokarmendagri) yang
berafiliasi ke Golkar. Selanjutnya disusul dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP. No. 6/1970) yang mewajibkan seluruh pegawai negeri harus setia
kepada pemerintah dan harus memilih partai Golkar dalam pemilu.75
Aparat dan
73
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.123
74
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), h. 259
75
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 49
52
pejabat pemerintah sejak Pemilu 1971 secara terang-terangan bekerja untuk
menjamin kemenangan Golkar.76
Peranan pemerintah berimplikasi sangat menguntungkan dan mendorong
kemenangan Golkar. Disamping hal tersebut di atas, juga terdapat tindakan-tindakan
aparat seperti BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) , Kopkamtib (Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Opsus (Operasi Khusus), dan Ditjen
Sospol Departemen Dalam Negeri yang melakukan tugas atas nama kemantapan
Pleksosbud. Aparat resmi pemerintah secara efektif melakukan kontrol terhadap
kegiatan-kegiatan partai politik dan pada saat yang sama mempromosikan Golkar
sebagai mesin pemerintah dalam Pemilu.77
Jadi tidak salah jika setiap kali meghadapi
pemilu atau selama enam kali pemilu di masa Orde Baru suara Golkar selalu berada
diambang batas partai-partai lainnya yakni PPP, dan PDI. Bahkan jika dalam kurun
waktu tersebut suara PPP dan PDI digabungkan, suara keduanya tidak pernah
melampaui 40 % dari total suara pemilih, sementara Golkar selalu di atas 60%.78
Pemilu 1977 merupakan masa jaya PPP sebagai parpol Islam yang ternyata
tidak mampu diraih lagi pada 4 kali pemilu berikutnya selama Orde Baru. Pada masa
Orde Baru perolehan suara PPP dan PDI selalu naik dan turun, tepatnya selama
pemilu 1982 hingga 1997, hal ini terjadi karena selain faktor eksternal, partai tersebut
76
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 218-219
77
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 219
78
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h.
84
53
dilanda pula konflik internal. PPP sekalipun sebagai partai Islam tidak pernah
mengembangkan isu-isu agama seperti masalah syariat Islam, presiden Islam, namun
PPP tetap sebagai kekuatan parpol nomor dua di Indonesia. Karena parpol nomor
satunya tetap Golkar. Kondisi ini ikut memperkuat anggapan bahwa parpol
nasionalis/non-agama lebih diminati rakyat dari pada parpol Islam.79
4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1999-2014)
Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21
Mei 1998. Dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan telah membuka
peluang yang lebih besar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia. Peluang
tersebut terbukti dengan adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
berlaku bagi pemeluk Islam dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan
masalah keperdataan Islam yakni di undangkannya Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, kemudian disusul dengan Inpres No.1 Tahun 1991
tentang kompilasi hukum Islam,80
sertifikasi dan labelisasi halal. Juga berdirinya
Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) tahun 1990, festival Istiqlal tahun 1991 dan
1995, dan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1991, dan lain-lain.
Lengsernya Presiden Soeharto kemudian digantikan oleh Presiden Bachruddin
Jusuf Habibie (yang sebelumnya menjabat wakil presiden). Untuk mendapatkan
79
Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h. 277-278
80
Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,
2001), h. 71
54
sandaran legitimasi politik, pemerintah B.J. Habibie menyelenggarakan suatu
pemilihan umum pada tahun 1999. Pemilu tahun ini dinyatakan berlangsung luber
(langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan berjalan jurdil (jujur dan adil) dengan
sistem multi partai.
Sehingga pada pemilu 1999 ini dipenuhi oleh banyak partai politik yang
terlibat, sekaligus menandakan tumbuhnya partai politik baru, terutama partai politik
Islam. Dari total 48 patai peserta pemilu 19 partai adalah partai yang dapat
dikategorikan sebagai partai Islam.81
Partai-partai berbasis Islam yang bermunculan di
arena politik nasional pasca runtuhnya Orde Baru diantaranya, Partai Bulan Bintang
(PBB), Partai Masyumi Baru, Partai Umat Islam (PUI), Partai Keadilan (PK
[sekarang PKS]), Partai Keadilan Umat (PKU), dan Partai Nahdlatul Umat (PNU),
dan lain-lain.82
Dari seluruh partai peserta pemilu ini, hanya 21 partai yang dapat
meraih suara dan mendapat kursi di parlemen, dan menghasilkan beberapa partai
besar. Yaitu, PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB (empat partai Islam terakhir
berhasil mencapai electoral threshold). Partai-partai politik ini dapat dikelompokkan
ke dalam empat kategori: partai keagamaan; partai religius; partai demokratis; partai
nasional pragmatis; dan partai nasionalis demokratis. Dan secara ideologis, partai-
81
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii
82
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.124
55
partai politik tersebut dapat digolongkan menjadi dua kategori: partai Islam dan partai
sekuler.83
Partai politik Islam peserta pemilu ini dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok besar. Pertama, kelompok partai Islam tradisional, yang terdiri dari Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Suni (Solidaritas Uni Nasional Indonesia), partai
Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU).
Kedua, kelomok partai Islam modernis, yang terbagi menjadi dua faksi
terpisah: konservatif dan liberal. Kelompok Islam modernis konservatif bergabung
dalam partai-partai politik yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologinya.
Misalnya, PPP, PBB, dan PK (sekarang PKS). Sedangkan kelompok Islam modernis
liberal umumnya adalah orang-orang yang berasal dari Muhammadiyah dan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kelompok ini biasanya tergabung dalam partai
Golkar dan PAN.84
Banyaknya partai politik yang terlibat dalam pemilu 1999 tidak lain dari
semangat demokratisasi Indonesia yang dituangkan dalam UU. No.2 tahun 1999
tentang Partai Politik, dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak
diberlakukannya UU No. 2 tahun 1999, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan
83
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais
(Bandung:Terazu, 2005), h. 202-203
84
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais,
h. 203-204
56
Indonesia kembali ke sistem multi partai.85
Setidaknya langkah tersebut merupakan
suatu kemajuan sekaligus perlawanan atas diberlakukannya UU No. 3 tahun 1973
pada masa Orde Baru memaksa dilakukannya penyederhanaan partai politik.86
Hasil perolehan suara secara nasional dan kursi di parlemen (DPR) dari lima
partai besar pada pemilu 1999 adalah sebagai berikut: PDIP (35, 689, 073 suara/154
kursi), Golkar (23.741.749/120 kursi), PPP (11.329.905 suara/58 kursi), PKB
(13.336.982 suara/51 kursi), dan PAN (7.528.956 suara/34 kursi).87
Secara jelas fakta memperlihatkan bahwa bagian terbesar aspirasi politik umat
Islam secara dominan tidak selalu tersalurkan ke kubu partai-partai yang secara resmi
berbasis Islam. Partai berbasis Islam seperti PPP, PBB dan PK (sekarang PKS)
meraih suara jauh dibawah PDIP, begitupun halnya dengan partai berbasis massa
Islam (PKB dan PAN) tidak mampu menandingi perolehan suara PDIP. Namun disini
terdapat hal menarik, PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak
(35.689.073 suara dan 153 kursi) ternyata tidak dapat menjadikan Megawati
Soekarno putri menjadi presiden ke-empat. Dengan adanya koalisi partai-partai Islam
dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros
tengah, sehingga menjadikan posisi PDIP kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh
85
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Reformasi, h. 60
86
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Reformasi, h. 59
87
Hasil penghitungan suara KPU 1999, dikutip dalam Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam:
Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 125
57
MPR menjadi presiden adalah pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai di
DPR yang hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.88
Meskipun dalam pemilu 1999 ini perolehan suara dari masing-masing partai
politik Islam belum bisa diandalkan, sebagaimana disampaikan oleh Adeng Muchtar
Ghazali,89
tetapi menurut penulis hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi
perpolitikan umat Islam dalam kancah politik nasional, yang mana untuk kali pertama
aspirasi masyarakat Islam yang direpresentasikan dalam partai politik Islam
mengahantarkan tokoh politik Islam menjadi presiden Republik Indonesia ke-4,
berkat koalisi partai politik Islam di Parlemen yang kemudian disebut poros tengah.
Peristiwa bersejarah inilah yang barangkali sampai sekarang belum terulang
kembali, (baik dalam pemilu 2004, 2009 maupun Pemilu 2014 karena dalam kurun
waktu tersebut partai Politik Islam tidak pernah mendapatkan perolehan suara yang
mendulang, terlebih dalam masa ini pula persatuan atau keinginan untuk menyatukan
partai politik Islam menjadi satu kekuatan sebagaimana yang dipraktikan dalam poros
tengah belum pernah dilakukan bahkan parpol Islam cenderung berjalan secara
sendiri-sendiri) suatu kebangkitan politik Islam dengan semangat persatuan sesama
partai politik Islam, sehingga mampu menjawab segala kebutuhan pokok masyarakat
dan menjawab problematika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuatan besar dan
88
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 450
89
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam: Dalam Lintas Sejarah (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), h.132
58
semangat menyatukan kembali sebagaimana halnya poros tengah semoga kedepan
dapat terwujud kembali.
Pada pemilu legislatif 2004 menghasilkan peta politik baru di DPR meskipun
sebagaian besar dari tujuh partai terbesar adalah partai-partai yang sama seperti pada
Pemilu 1999. Pada pemilu kali ini partai Golkar keluar sebagai pemenang pertama
dengan merebut 128 kursi dari 550 di DPR, disusul oleh PDIP dengan perolehan
kursi 109, PPP (58), PD (55), PAN (53), PKB (52), dan PKS (45) kursi.90
Jadi secara
akumulatif pada pemilu legislatif 2004, total perolehan suara partai Islam (PPP, PBB,
PBR, PKS dan PPNU) hanya sekitar 21% saja dibandingkan sekitar 43% total
perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu 1955.91
Lagi-lagi perolehan suara
partai Islam tidak begitu signifikan, demikian pula dalam pemilu 2009. Berdasarkan
perhitungan suara pada pemilu legislatif tahun 2009, yang diikuti 44 parpol, terdiri
dari 36 partai nasionalis/non-agama, 6 parpol berazazkan Islam, PKS 7.88%, PPP
5,32%, PBB 1.79%, PBR 1.21%, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 0.4%
dan partai terbuka berplatform Islam (PKB 4.94%, dan PAN 6.01%).92
Pemilu tahun 2014 menempatkan posisi partai politik Islam tidak lebih jauh
dari pemilu tahun sebelumnya, bahkan di tahun ini perolehan suara partai politik
90
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia), h. 28
91
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, h. 30
92
Hasil penghitungan suara KPU 2009, dikutip dalam, Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika
Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h.279
59
Islam relatif menurun. Jika pada tahun sebelumnya perolehan suara partai politik
Islam masuk dalam zona sepuluh besar, maka tidak demikian halnya dengan pemilu
tahun 2014 yang menempatkan beberapa saja partai politik Islam yang masuk dalam
lingkaran sepulu besar tersebut. Partai Bulan Bintang sebagai contohnya yang hanya
memperoleh total perolehan suara nasional 1.825.750 (1,46%), sehingga dengan hasil
ini PBB tidak bisa terlibat dalam kontestasi pemilihan presiden, karena yang berhak
terlibat dan mengikuti kontestasi hanya partai politik yang masuk dalam zona sepuluh
besar. Disisi lain partai politik Islam lainnya, PKS dan PPP, hanya meraup perolehan
suara masing-masing, 8.480.204 (6,76%) dan 8.157.488 (6,53%), masih berada
dibawah partai politik yang berbasis nasionalis, PDI-P, 23.681.271 (18,95%), Golkar,
18.432.312 (14,75%), Gerindra, 14.760.371 (11.81%), Demokrat, 12.728.913
(10,19%).93
Menyimak dari realita perolehan suara pada pemilu legislatif 2004,2009 dan
2104 terdapat hal yang menarik yakni tetap menurunnya minat kaum muslim
Indonesia untuk menyalurkan hak konstitusionalnya terhadap partai-partai Islam,
sama halnya ketika pada pemilu pertama di masa reformasi 1999, perolehan suara
partai Islam tetap berada di bawah partai-partai berbasis nasionalis. Meskipun secara
sosiologis demografis umat Islam Indonesia merupakan mayoritas (sekitar 87 persen),
ternyata hanya sebagian kecil saja yang mendukung partai Islam. Hal ini
menunjukkan adanya kesenjangan antara realitas sosiologis dan realitas politik.
93
Lampiran Keputusan KPU No. 412/Kpts/KPU/Tahun 2014
60
Realitas ini sekali lagi membuktikan runtuhnya mitos “politik kuantitas” yang
menganggap mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam berbanding lurus dengan
preferensi pilihannya sehingga seolah-olah secara otomatis mereka akan memilih
partai Islam. Dengan demikian, pada saat pemilu, umat Islam tidak terikat denga
symbol keislaman dan juga tidak lagi melihat partai Islam sebagai satu-satunya
representasi keislaman dalam kehidupan politik.94
94
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, h. 30-31
61
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KABUPATEN PANDEGLANG
A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang
1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang1
Menurut Staatsblad Nederlands Indie No. 81 tahun 1828, Keresidenan Banten
dibagi tiga kabupaten: Kabupaten Utara yaitu Serang, Kabupaten Selatan yaitu Lebak
dan Kabupaten Barat yaitu Caringin.
Kabupaten Serang dibagi lagi menjadi 11 (sebelas) kewedanaan. Kesebelas
kewedanaan tersebut yaitu: Kewedanaan Serang (Kecamatan Kalodian dan
Cibening), Kewedanaan Banten (Kecamatan Banten, Serang dan Nejawang),
Kewedanaan Ciruas (Kecamatan Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Cilegon
(Kecamatan Terate, Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Tanara (Kecamatan
Tanara dan Pontang), Kewedanaan Baros (Kecamatan Regas, Ander dan Cicandi),
Kewedanaan Kolelet (Kecamatan Pandeglang dan Cadasari) Kewedanaan Ciomas
(Kecamatan Ciomas Barat an Ciomas Utara) dan Kewedanaan Anyer (tidak dibagi
kecamatan).
Menurut sejarah, pada tahun 1089 Banten terpaksa harus menyerahkan
wilayahnya yaitu Lampung kepada VOC (Batavia). Saat itu Banten dipimpin oleh
1Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
62
Sultan Muhamad menyusun strategi untuk melawan kekuasaan VOC. Sultan
Muhamad menjadikan Pandeglang sebagai wilayah untuk menyusun kekuatan.
Kekuatan kesultanan dipencar ke pelosok Pandeglang seperti di kaki Gunung Karang
dan di pantai.2
Pandeglang dalam percaturan sejarah kesultanan Banten telah terbukti
merupakan daerah yang strategis. Hal ini bisa terlihat dari berbagai peninggalan
sejarah yang terdapat di wilayah Pandeglang. Semua itu bukan hanya membekas pada
benda yang berwujud, tapi juga membekas pada kultur kehidupan masyarakat
Pandeglang.
Peninggalan sejarah kesultanan Banten masih nampak terlihat dari seni
budaya yang ada di Pandeglang. Misalnya saja, Pandeglang merupakan Kota Santri
dan Pandeglang terkenal dengan daerah yang historis, patriotis dan agamis. Julukan
ini tidak serta merta timbul dengan sendirinya, akan tetapi merupakan bentangan
sejarah telah mencatatnya.
Saat ini Pandeglang tetap merupakan wilayah yang strategis di wilayah
Provinsi Banten. Sejarah kembali mencatat, Pandeglang dengan tokoh-tokoh
masyarakatnya memberi andil besar dalam pembentukan Provinsi Banten. Sejarah
Pandeglang mencatat juga, bahwa saat dipimpin oleh Bupati H. A. Dimyati
Natakusumah, Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Swasta di
2 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus
2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
63
Kabupaten Pandeglang Bebas Biaya Sekolah dan pada tahun 2007 pembangunan
sarana pendidikan dibangun dengan menggunakan rangka baja. Kembali kepada
sejarah terbentuknya Kabupaten Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874, tanah-tanah
gubernur kecuali Bativia dan Keresidenan Priangan telah Banten telah ditentukan,
bahwa:
a. Jabatan Kliwon pada Bupati dan Patih dari Afdeling Anyer, Serang dan
Keresidenan Banten dihapuskan.
b. Bupati mempunyai pembantu, yaitu mantri Kabupaten dengan gaji 50 gulden.
c. Kepala Distrik mempunyai gelar jabatan wedana dan Onder Distrik mempunyai
jabatan Asisten Wedana.3
Berdasarkan Staatsblad 1874 NO. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874 mulai
berlaku 1 April 1874 menyebutkan pembagian daerah, diantaranya Kabupaten
Pandeglang dibagi 9 distrik atau kewedanaan. Pembagian ini menjadi Kewedanaan
Pandeglang, Baros, Ciomas, Kolelet, Cimanuk, Caringin, Panimbang, Menes dan
Cibaliung.
Menurut data tersebut di atas, Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874 telah
ada pemerintahan. Lebih jelas lagi dalam ordonansi 1877 Nomor 224 tentang batas-
batas keresidenan Banten, termasuk batas-batas Kabupten Pandeglang dalam tahun
1925 dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925
3 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus
2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
64
nomor XI. Maka jelas Kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri tidak di bawah
penguasaan Keresidenan Banten4
Dari fakta-fakta tersebut di atas dapat diambil beberapa alternatif, yaitu pada
tahun 1828 Pandeglang sudah merupakan pusat pemerintahan distrik. Pada tahun
1874 Pandeglang merupakan kabupaten. Pada tahun 1882 Pandeglang merupakan
kabupaten dan distrik kewedanaan. Dan pada tahun 1925 kabupaten Pandeglang telah
berdiri sendiri. Atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka disepakati
bersama bahwa tanggal 1 April 1874 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten
Pandeglang.
2. Letak Geografis Dan Kondisi Fisik Wilayah
Wilayah Kabupaten Pandeglang berada pada bagian Barat Daya Propinsi
Banten dan secara Geografis terletak antara 6o21’ – 7
o10’ Lintang Selatan (LS) dan
104o8’ – 106
o11’ Bujur Timur ( BT ), dengan batas administrasinya adalah:
5
- Sebelah Utar : Kabupaten Serang;
- Sebelah Timur : Kabupaten Lebak;
- Sebelah Selatan : Samudera Hindia;
4 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus
2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
5Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
66
Kabupaten. Secara umum perbedaan ketinggian di Kabupaten Pandeglang cukup
tajam, dengan titik tertinggi 1.778 m diatas permukaan laut (dpl) yang terdapat di
Puncak Gunung Karang pada daerah bagian utara dan titik terendah terletak didaerah
pantai dengan ketinggian 0 m dpl.
Daerah pegunungan pada umumnya mempunyai ketinggian ± 400 m dpl,
dataran rendah bukan pantai pada umumnya memiliki ketinggian rata-rata 30 m dpl
dan daerah dataran rendah pantai pada umumnya mempunyai ketinggian rata-rata 3 m
dpl. Kemiringan tanah di Kabupaten Pandeglang bervariasi antara 0 – 45 %; dengan
alokasi 0- 15 % areal pedataran sekitar Pantai Selatan dan pantai Selat Sunda; alokasi
15 – 25 % areal berbukit lokasi tersebar; dan alokasi 25 – 45 % areal bergunung
pada bagian Tengah dan Utara.6
Di Pandeglang terdapat 6 gunung yaitu : Gunung Karang (1.778 mdpl),
Gunung Pulosari (1.346 mdpl), Gunug Aseupan (1.174 mdpl), Gunug Payung (480
mdpl), Gunung Honje (620 mdpl) dan Gunung Tilu (562 mdpl).
Kabupaten Pandeglang ditinjau dari segi geologi memiliki beberapa jenis
batuan yang meliputi Alluvium, Undieferentiated (bahan erupsi gunung berapi),
Diocena, Piocena Sedimen, Miocena Lemistone dan Mineral Deposit. Sedangkan
6 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
67
beberapa jenis tanah yang ada di Kabupaten Pandeglang yaitu Aluvial, Grumosol,
Mediteran, dan Latosol.7
Keadaan geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah secara bersama-sama
akan membentuk pola-pola aliran sungi yang ada. Pola aliran sungai di Wilayah
Kabupaten Pandeglang pada umumnya berbentuk dendritik. Arah aliran sungai-
sungai di Wilayah ini dibedakan menjadi dua, sehingga membentuk dua daerah aliran
sungai yaitu daerah aliran dari arah Timur yang bermuara di Selat Sunda dan daerah
aliran dari arah Utara yang bermuara di Samudera Indonesia.
Wilayah Kabupaten Pandeglang mengalir 14 sungai yang berukuran sedang
sampai besar. Sungai – sungai tersebut adalah Sungai Cidano, Sungai Cibungur,
Sungai Cisanggona, Sungai Ciliman, Sungai Cihonje, Sungai Cipunagara, Sungi
Cisumur, Sungai Ciseureuhan, Sungai Cijaralang, Sungai Cikadongdong, Sungai
Ciseukeut, Sungai Cimara, Sungai Cibaliung, dan Sungai Cicanta. Dari ke-14 sungai
tersebut terbagi dalam 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS) antara lain :
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung;
2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidano;
3. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibungur;
4. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliman;
5. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri;
7 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
68
6. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh.
3. Kependudukan Kab. Pandeglang8
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan
Sensus Penduduk pada bulan Mei 2010 adalah 1.149.610 orang dengan komposisi
penduduk laki-laki sebanyak 589.056 orang dan perempuan sebanyak 560.554 orang.
Berdasarkan data di atas, rasio jenis kelamin pada tahun 2010 sebesar 105,08.
Sebaran penduduk per-kecamatan relatif tidak merata. Kecamatan dengan
penduduk terjarang yaitu Kecamatan Sumur dengan rata-rata sebanyak 88 jiwa/Km2,
sementara wilayah yang terpadat adalah Kecamatan Labuan, yaitu sebanyak 3.439
jiwa/Km2. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Pandeglang adalah
419 jiwa/Km2.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Pandeglang berdasarkan data
hasil Sensus Penduduk periode 1961 – 1971 sebesar 2,71 persen, periode 1971 –
1980 sebesar 2,15 persen, periode 1980 – 1990 sebesar 2,14 persen, periode 1990 –
2000 sebesar 1,64 persen dan 2000 – 2010 sebesar1,30 persen. Menurunnya angka
laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu wujud keberhasilan pembangunan
bidang kependudukan yang salah satunya antara lain adalah program Keluarga
Berencana (KB).
8 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
69
Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun ke
atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama penduduk
berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan; industri;
perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan.
Secara umum, pekerja di Kabupaten Pandeglang bekerja di sektor informal
(83,67%) dan sisanya bekerja di bidang formal (16,33%) dari jumlah pekerja di atas
15 tahun berjumlah 434.746 jiwa (Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2009). Dari
jumlah pekerja 434.746 jiwa, pekerja dengan status pekerjaan berusaha sendiri
memiliki proporsi yang terbesar yaitu 23,67%, sedangkan pekerja dengan status
pekerjaan berusaha dibantu buruh tidak tetap/ tidak dibayar memiliki proporsi
terkecil (2,32%).9
9 Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ
71
3. KERUCUT; Tiga buah kerucut yang tidak sama besar dan tingginya,
menggambarkan tiga buah gunung dan melambangkan bahwa Daerah Kabupaten
itu bergunung-gunung.
4. BADAK; Badak bercula satu menghadap ke kiri adalah salah satu binatang
peninggalan jaman purba yang masih hidup hingga sekarang, dan terdapat hanya
di Derah Kabupaten Pandeglang (Ujung Kulon) dengan sifat antara lain:
- Tahan Uji
- Waspada dan tabah
- Menjadi kebanggaan masyarakat.
5. PADI; Setangkai padi dengan tiga puluh tujuh butirnya melambangkan sejumlah
desa di Daerah Kabupaten Pandeglang sebnayak seratus tiga puluh tujuh desa.
6. KAPAS; Setangkai kapas dengan enam kuntum bunganya yang mekar
melambangkan sejumlah Kecamatan yang ada di Daerah Kabupaten Pandeglang
sebanyak enam belas Kecamatan.
7. MELATI; Sekuntum bunga melati berdaun bunga empat helai berwarna putih,
melambangkan jumlah kewedanaan di Daerah Kabupaten Pandeglang sebanyak
empat kewedanaan.
8. GARIS BEROMBAK; Dua garis berombak yang tidak sama panjangnya, masing-
masing melambangkan lauta yang mengelilingi sebagian besar Daerah Kabupaten
Pandeglang dan sungai-sungai yang terdapat di dalamnya.
Sementara untuk arti dari warna lambangg itu sendiri yakni:
72
1. Kuning emas, melambangkan Keagungan dan kewibawaan;
2. Putih, melambangkan kesucian;
3. Biru muda, melambangkan kesetiaan;
4. Hijau tua, melambangkan kesuburan;
5. Abu-abu kehitam-hitaman, melambangkan ketabahan.
5. Pendidikan di Kab. Pandeglang11
Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah
cukup tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Merujuk pada amanat
UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2) maka melalui jalur pendidikan
pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk Indonesia.
Peningkatan SDM saat ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluas-
luasnya kepada penduduk untuk mengecap pendidikan terutama kelompok usia
sekolah (7-24 tahun).
Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu indikator
keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Jumlah sekolah di
Kabupaten Pandeglang, dimulai dari SD sederajat pada tahun ajaran 2013/2014
sebanyak 1.031 unit. Jumlah sekolah SMP sederajat tahun ajaran 2013/2014
meningkat 317 unit dari 306. Sementara jumlah sekolah SMA sederajat pada tahun
ajaran 2013/2014 sebanyak 183 unit.
11
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015
dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
73
Rasio murid/guru SD sederajat pada tahun ajaran 2013/2014 sebesar 34,34.
Ini berarti saat ini 1 orang guru menangani sekitar 34-35 siswa. Untuk SMP sederajat
rasio murid/guru sebesar 16,55, sementara rasio murid/guru SMA sederajat pada
tahun ajaran 2013/2014 sebesar 10,41.
Pada Tahun 2009 angka melek huruf penduduk Pandeglang sebesar 94,20 %
menurun bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 96,5% dan tahun 2007 sebesar 95,61
%. Indikator lain untuk mengukur tingkat pendidikan adalah rata-rata lama sekolah
(RLS). Rata-rata lama sekolah menunjukan berapa lama penduduk pandeglang
mampu menyekolahkan anaknya. Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten
Pandeglang Tahun 2009 mencapai 6,44 tahun, Ini berarti penduduk Pandeglang baru
mampu untuk sekolah sampai tingkat SLTP kelas 1.
Selain indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, gambaran kualitas
SDM Pandeglang dapat dilihat juga dari pendidikan yang berhasil ditamatkan.
Sampai tahun 2008 rata-rata penduduk Pandeglang yang tidak/belum tamat SD/MI
sebanyak 31.70%, menamatkan tingkat SD sederajat sebesar 39,77%, tingkat SLTP
sederajat 15,45%, SLTA/SMK 9,84%, Diploma/Sarjana 3,24%.
Untuk mengetahui perkembangan program pendidikan dari sisi masyarakat,
dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka ini menunjukan persentase
anak usia sekolah yang masih bersekolah pada usia sekolah di setiap jenjang. Pada
tahun 2009 APS untuk tingkat SD sederajat sebesar 96,36 %, tingkat SLTP sederajat
sebesar 72,09 %, tingkat SLTA sederajat sebesar 46,96 %. Selain APS, untuk melihat
74
partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM). APM
merupakan persentase penduduk usia sekolah tertentu yang bersekolah pada jenjang
sekolah tersebut terhadap jumlah penduduk usia sekolah dimaksud, sedangkan APK
adalah persentase penduduk yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap
jumlah penduduk usia pendidikan tertentu. APM usia SD (7-12 tahun) sebesar 91,51
%, usia SLTP (13-15 tahun) sebesar 59,68 %, usia SMA (16-18) sebesar 32,09 %.
Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
adanya fasilitas pendidikan yang memadai, fasilitas ini meliputi jumlah gedung dan
tenaga pengajar. Pada tahun 2009 rasio jumlah gedung dan tenaga pengajar terhadap
jumlah murid sudah cukup memadai, dimana untuk tingkat SD sederajat rasio guru
murid adalah 15,93, untuk SLTP sederajat 12,23 dan untuk SLTA sederajat telah
mencapai angka 9,78. Sementara untuk rasio murid sekolah pada tahun 2009 SD
sederajat mencapai 186, SLTP sederajat 269 dan untuk SLTA sederajat mencapai
238.12
7. Keagamaan di Kab. Pandeglang
Kebebasan beragama merupakan hak dasar setiap warga negara yang di jamin
secara penuh oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 29 yang menegaskan
bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
12
RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025,h. 57-59.
75
Kabupaten Pandeglang secara kultural dan historis adalah masyarakat yang
agamis. Hal ini ditandai dengan tingginya semangat untuk melaksanakan dan
menerapkan ajaran agama dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
Pandeglang. Kondusifnya suasana kehidupan beragama di Pandeglang ini tercermin
dari harmonisnya hubungan antar pemeluk agama yang ada.
Jumlah sarana dan peribadatan berdasarkan catatan Kantor Departemen
Agama Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013, sebagaimana dikutip dalam
Pandeglang Dalam Angka,13
terdapat 1.682 buah Masjid, 2.219 Mushola/Langgar dan
2 greja. Untuk meningkatkan pendidikan keagamaan khususnya bagi anak-anak, pada
tahun 2009 sudah beroperasi 905 Madrasah Diniyah dengan 2.715 ruang kelas dan
3.626 guru. Sedangkan komposisi penganut agama di Kabupaten Pandeglang
didominasi oleh penganut agama Islam (mayoritas beragama Islam), sedangkan
sebagian kecil lainnya adalah penganut agama–agama lain yang di akui oleh negara.14
B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang
1. Hasil Perolehan Suara Parpol Pada Pemilu Legislatif 2014
Hasil perolehan suara pada pemilu tahun 2014 merupakan ancuan bagaimana
kita mengetahui basis partai politik yang berada di kabupaten pandeglang selama
periode tersebut, dan seberapa besar pula porsentase dari setiap partai khususnya
partai politik Islam sebagaimana fokus dari kajian ini.
13 Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Pandeglang, Pandeglang Dalam Angka 2014
(Pandeglang: CV. Mutiara Grafika, 2014), hal. 102.
14 RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025, h. 61-62.
76
Gambar. 115
Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara sah partai politik dalam
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Pandeglang
Tahun 2014, masing-masing partai peserta pemilu memperoleh suara: Nasdem,
54.230 (9.00%), Gerindra, 89.767 (14.90%), Demokrat, 54.909 (9.12%), PDI-P,
60.340 (10.02%), Hanura, 33.064 (4.49%), PKIP, 4.784 (0.79%), Golkar, 86.494
(14.36%), PPP, 59.326 (9.85%), PKS, 48.952 (8.13%), PBB, 31.392 (5.21%), PKB,
51.826 (8.60%), PAN, 27.264 (4.53%).
Dari hasil perolehan suara masing-masing partai tersebut diatas jika dilihat
dari porsentase antara perolehan suara parpol yang berideologi nasionalis (Nasdem,
15
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
DAPIL 1 DAPIL 2 DAPIL 3 DAPIL 4 DAPIL 5 DAPIL 6
1 PARTAI NASDEM 9.629 5.661 6.249 6.623 11.822 14.246 54.230 9,00%
2 PARTAI PKB 3.913 4.509 8.748 11.917 6.024 16.718 51.829 8,60%
3 PARTAI PKS 10.025 5.241 6.556 7.282 11.916 7.932 48.952 8,13%
4 PARTAI PDI PERJUANGAN 11.831 12.554 10.392 6.765 7.190 11.608 60.340 10,02%
5 PARTAI GOLKAR 17.998 12.481 10.699 11.070 14.017 20.229 86.494 14,36%
6 PARTAI GERINDRA 11.720 13.113 12.824 16.288 16.254 19.568 89.767 14,90%
7 PARTAI DEMOKRAT 14.268 6.425 9.088 7.849 9.501 7.778 54.909 9,12%
8 PARTAI PAN 2.824 2.204 9.411 2.881 5.816 4.128 27.264 4,53%
9 PARTAI PPP 15.921 10.555 7.996 8.742 9.664 6.478 59.326 9,85%
10 PARTAI HANURA 5.523 3.840 8.677 6.750 4.775 3.449 33.064 5,49%
11 PARTAI PBB 2.863 3.080 9.735 8.582 2.036 5.097 31.392 5,21%
12 PARTAI PKPI 1.817 993 430 896 228 420 4.784 0,79%
JUMLAH 108.332 80.656 100.775 95.644 99.243 117.701 602.351 100%
PEOLEHA SUARA SAHJUMLAH SUARA SAH %NO NAMA PARTAI POLITIK
77
Demokrat, PDI-P, Golkar, PKPI, Gerindra ) dengan yang berideologi Islam (PPP,
PBB, PKS ) dan partai yang berbasis massa Islam (PKB, PAN), maka
perbandingannya kurang lebih 65% (Partai Nasionalis) berbanding 35% (Partai Islam
dan berbasis masa Islam).
Demikian dapat disimpulkan berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara
pada pemilu legislatif, dominasi parpol di Kab. Pandeglang masih berada dibawah
bayang-bayang partai politik berideologi nasionalis
2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang
Lembaga legislatif tingkat daerah atau DPRD merupakan lembaga pembentuk
peraturan daerah (perda), atau sejenis dengan DPR sebagai lembaga pembentuk UU
pada tingkat pusat. Hanya saja penyebutan dan ruang lingkupnya saja yang berbeda.
Pada tingkat pusat lembaga legislasinya disebut DPR, sementara tingkat daerah
DPRD, semuanya sama-sama memiliki fungsi; anggaran, pengawasan, dan legislasi
(pembuat peraturan). Pada tingkat pusat selain DPR lembaga lain sebagai pembentuk
UU terdiri atas: Presiden, dan DPD, sementara pada tingkat daerah lembaga
pembentuk perda terdiri atas Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)16
, yang
semuanya itu dipilih melalui pemilihan umum.17
16
Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang dan Perda (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
144. 17
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 265.
78
Gambar. 218
Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas, jumlah kursi parpol di DPRD Kab.
Pandeglang, masing-masing parpol mendapatkan jumlah perolehan kursi: PPP (5
kursi), PBB (2 kursi), PKS (5 kursi), PKB (5 kursi), PAN (1 kursi), Golkar (8 kursi),
Gerindra (7 kursi), Nasdem (4 kursi), Hanura (2 kursi), Demokrat (6 kursi), PDIP (5
kursi) dan PKPI (0 kursi).19
18
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
19
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
DAPIL 1 DAPIL 2 DAPIL 3 DAPIL 4 DAPIL 5 DAPIL 6
1 PARTAI NASDEM 1 1 _ _ 1 1 4
2 PARTAI PKB _ 1 1 1 1 1 5
3 PARTAI PKS 1 1 _ 1 1 1 5
4 PARTAI PDI PERJUANGAN 1 1 1 _ 1 1 5
5 PARTAI GOLKAR 2 1 1 1 1 2 8
6 PARTAI GERINDRA 1 1 1 1 1 2 7
7 PARTAI DEMOKRAT 1 1 1 1 1 1 6
8 PARTAI PAN 1 _ 1 _ _ _ 1
9 PARTAI PPP 1 1 _ 1 1 _ 5
10 PARTAI HANURA 1 _ 1 _ _ _ 2
11 PARTAI PBB _ _ 1 1 _ _ 2
12 PARTAI PKPI _ _ _ _ _ _ _
JUMLAH 10 8 8 7 8 9 50
PEOLEHA SUARA SAHJUMLAH PEROLEHAN KURSINO NAMA PARTAI POLITIK
79
Informasi yang dihimpun dari media informasi di banten, mengenai jumlah
kursi di DPRD kab. Pandeglang periode 2014-2019 sebagai berikut:20
Golkar, 8 kursi ( dari 6 kursi), Gerindra, 7 kursi (dari 2 kursi), Demokrat, 6 kursi (dari
7 kursi), PDIP, 5 kursi (dari 6 kursi), PKS, 5 kursi (dari 5 kursi/tetap), PKB, 5 kursi
(dari 3 kursi), PAN, 1 kursi (dari 3 kursi), PPP, 5 kursi (dari 6 kursi), Nasdem, 4
kursi, Hanura, 2 kursi (dari 3 kursi), PBB, 2 kursi (dari 5 kursi), tahun 2009.
Dari jumlah perolehan kursi legislatif diatas apabila total perolehan kursi dari
jumlah kursi DPRD sejumlah 50 kursi dibagi menjadi dua, yakni antara perolehan
kursi partai nasionalis (Golkar, PDI-P, Gerindra, Demokrat, Nasdem, Hanura, PKIP)
dan partai Islam maupun yang berbasis massa Islam (PPP, PBB, PKS, PAN, PKB)
maka, Partai Nasionalis mendapatkan perolehan kursi 32 kursi dan Partai Islam dan
atau partai yang berbasis masa Islam medapatkan perolehan kursi 18. Demikian dapat
disimpulkan dominasi partai politik di lembaga legislatif daerah (DPRD Kab.
Pandeglang), didominasi oleh fraksi dari partai politik nasionalis.
20
Bantenpos.co, “Susunan Kursi DPRD Pandeglang 2014-2019”, diakses pada 08 Agustus
2015 dari http://bantenpos.co/arsip/2014/08/susunan-kursi-dprd-pandeglang-2014-2019/.
80
BAB IV
KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH MAYORITAS
MUSLIM PADA PEMILU TAHUN 2014
Partai politik merupakan sarana bagi terselenggaranya pelaksanaan
demokrasi. Melalui partai politik para kandidat/calon yang hendak menduduki
jabatan politik di ranah legislatif maupun eksekutif bisa melanggengkan misi
mulianya yakni sebagai perwakilan rakyat. Partai politik juga memiliki peran besar
atas kebijakan yang diambil oleh masing-masing kadernya yang menduduki kursi
DPR. Segala kebijakan yang hendak diputuskan harus terlebih dahulu dikonsultasikan
dengan partai politiknya, dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip/ideologi partai.
Begitu besarnya peran partai politik sehingga timbul beberapa sindiran yang
menyatakan bahwa sejatinya mereka yang berada di kursi DPR bukanlah perwakilan
rakyat melainkan perwakilan partai, maka untuk itu nomenklatur yang tepat untuk
digunakanpun bukan DPR melainkan DPP atau dewan perwakilan partai.
Peran partai politik sangat besar dalam setiap membuat kebijakan politik.
Sebagaimana yang diketahui bahwa partai politik yang ada memiliki beberapa parian
yakni partai yang berideologi nasionalis dan partai yang berideologi Islam. Setiap
wakil rakyat dari fraksi partai nasionalis maka misi yang dibawanyapun berdasarkan
kenasionalisannya atau kenetralannya dan cenderung sekuler. Sementara fraksi dari
golongan partai politik yang berideologi Islam misinyapun sama yakni
beratasnamakan atau disesuaikan dengan nilai-nilai transendental.
81
Sebagian besar warga indonesia adalah beragama Islam, namun kerapkali
partai Islam kalah dalam setiap pemilu dilaksanakan, dengan demikian perwakilan
dari partai Islam di DPR pun sedikit, hal itu memberi dampak aspirasi dari masyrakat
yang notabenenya mayoritas beragama Islam kurang tersalurkan, dan selebihnya
kebijakan-kebijakan dan prodak hukum yang dihasilkan akan jauh dari nilai-nilai
keislaman yang memang adalah nilai yang sesungguhnya hidup dalam bagian
terbesar warga Negara Indonesia.
Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian beserta analisisnya
terkait kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang, yang penulis pun menyadari
bahwa kerapkali pada setiap pemilu dilaksanakan suara partai politik Islam di daerah
tersebut tidak begitu menggaung. Untuk itu karena keawaman penulis maka penulis
bermaksud mencari beberapa indikator yang mempengaruhi, sehingga dengan
demikian dapat dipecahkan dan setelah itu semoga ada solusi yang bisa memecahkan
lika-likunya.
A. Partai Persatuan Pembangunan
1. Ideologi Partai PPP
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), merupakan partai yang sampai saat ini
konsisten menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sebutan lain menyatakan bahwa
82
partai ini adalah partai warisan ulama, yang dibangun sebagai bentuk kepedulian atas
perpolitikan bangsa.21
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam
perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah
menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Pancasila sesuai dengan sistem
politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984. Pada Muktamar
I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai
berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan
lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil
Presiden B.J. Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah.
Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998. Walau PPP
kembali menjadikan Islam sebagai asas, PPP tetap berkomitmen untuk mendukung
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 AD PPP
yang ditetapkan dalam Muktamar VII Bandung 2011 bahwa: “Tujuan PPP adalah
terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan
demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila di bawah rida Allah Subhanahu Wata’ala.”22
21
Wawancara Pribadi dengan Taufiq (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik DPC PPP
Kab. Pandeglang). Pandeglang, 20 Agustus 2015.
22
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “ PPP Dalam Lintas Sejarah”, diakses pada 15
September 2015 dari http://ppp.or.id/page/ppp-dalam-lintasan-sejarah/index/.
83
2. Visi dan Misi Partai PPP
Visi PPP, berdasarkan sejarah perjuangan dan jati dirinya, maka visi PPP adalah:
“Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan Negara Indonesia
yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya supremasi hukum,
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta menjunjung tinggi harkat-
martabat kemanusiaan dan keadilan sosial yang berlandaskan kepada nilai-nilai
keislaman”.23
Masyarakat madani yang dicita-citakan itu bisa dijelaskan dalam karakteristik
masyarakat Indonesia antara lain:
1. Kehidupan beragama yang rukun, saling menghormati, bergairah, bermakna, dan
inspiratif.
2. Kehidupan masyarakat yang tertib, yang ditandai dengan tegaknya hukum dan
keadilan.
3. Kehidupan sosial-budaya yang pluralis, santun, dan berkepribadian.
4. Kehidupan berpolitik yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif dalam
mewujudkan good governance yang bebas KKN.
5. Kehidupan sosial ekonomi yang adil, makmur, dan sejahtera lahir batin.
6. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, aman, dan damai dalam
persahabatan antar bangsa menuju tatanan dunia baru yang berkeadilan.
23
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14 September 2015
dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/.
84
Misi PPP (Khidmat Perjuangan). Adapun maksud Khidmat Perjuangan
tersebut dimaksudkan, antara lain:24
1. PPP berkhidmat untuk berjuang dalam mewujudkan dan membina manusia dan
masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, meningkatkan mutu
kehidupan beragama, mengembangkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama
muslim). Dengan demikian PPP mencegah berkembangnya faham-faham
atheisme, komunisme/marxisme/leninisme, serta sekularisme, dan pendangkalan
agama dalam kehidupan bangsa Indonesia.
2. PPP berkhidmat untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kewajiban
dasar manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memperhatikan nilai-nilai
agama terutama nilai-nilai ajaran Islam, dengan mengembangkan ukhuwah
basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Dengan demikian PPP mencegah dan
menentang berkembangnya neo-feodalisme, faham-faham yang melecehkan
martabat manusia, proses dehumanisasi, diskriminasi, dan budaya kekerasan.
3. PPP berkhidmat untuk berjuang memelihara rasa aman, mempertahankan dan
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengembangkan ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Dengan demikian PPP mencegah dan
menentang proses disintegrasi, perpecahan dan konflik sosial yang
membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang ber-bhineka tunggal mika.
24
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14 September 2015
dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/.
85
4. PPP berkhidmat untuk berjuang melaksanakan dan mengembangkan kehidupan
politik yang mencerminkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sejati dengan
prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian PPP mencegah
dan menentang setiap bentuk otoritarianisme, fasisme, kediktatoran, hegemoni,
serta kesewenang-wenangan yang mendzalimi rakyat.
5. PPP berkhidmat untuk memperjuangkan berbagai upaya dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridlai oleh Allah SWT,
baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Dengan demikian PPP mencegah
berbagai bentuk kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya,
pola kehidupan yang konsumeristis, materialistis, permisif, dan hedonistis di
tengah-tengah kehidupan rakyat banyak yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan.
3. Kekuatan Partai PPP
Jika menilai mengenai kekuatan suatu partai politik, apakah benar-benar
memiliki power yang besar atau justru sebaliknya hal yang sangat mudah untuk
mendapatkan sumber informasi yang akurat adalah dilihat dari perolehan suara pada
setiap pemilu diselenggarakan. Sebagaimana data hasil rekapitulasi perolehan suara
pada pemilu 2014 yang didapatkan dari Komisi Paemilihan Umum Daerah (KPUD)
Kab. Pandeglang, perolehan suara PPP tidak begitu signifikan jika dibandingkan
dengan partai yang memiliki plat form nasionalis. Dari hasil rekapitulasi suara
tersebut jumlah suara partai PPP itu sendiri hanya mencapai jumlah suara sebesar
86
59.326 atau 9.85%, masih jauh di bawah partai Gerindra, 89.767 (14.90%), Golkar,
86.494 (14.36%), PDI-P, 60.340 (10.02%), bahkan hampir berselisihan dengan partai
Demokrat 54.909 (9.12%, yang padahal dimasa itu partai tersebut sedang mengalami
degredasi karena ada beberapa kadernya yang terjerat skandal korupsi.25
Berdasarkan hasil rekapitulasi pada pemilu 2014 tersebut dapat disimpulkan
partai PPP di daerah Kab. Pandeglang yang notabene penduduknya beragama Islam
tidak memberikan dampak signifikan bagi tingginya tingkat perolehan suara partai
tersebut hal itu tentunya menimbulkan banyak pertanyaan para pemerhati politik
Islam. Kenapa bisa demikian, apakah faktor apatisme masyarakat terhadap partai
Islam, atau memang ada kendala lain yang sehingga perolehan suara parpol Islam
tidak mendulang. Keterangan dari salah seorang pengurus DPC partai PPP barangkali
bisa memberikan gambaran dan pencerahan atas pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan jawaban.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari pengurus parpol tersebut
menjelaskan bahwa pada prinsipnya beliau pun mengakui kondisi partai PPP
sekarang ini berada dalam titik kelemahan, baik dari prolehan suara yang didapat,
maupun dari struktur atau kesolidan internal kepengurusan partai itu sendiri.
25
TEMPO.CO, “Anas dan 466 Politikus yang Dijerat Kasus Korupsi”, diakses pada 04
Oktober 2015 dari http://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/063609068/anas-dan-466-politikus-yang-
dijerat-kasus-korupsi.
87
Menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi elektabilitas partai PPP
menurun diantaranya:26
1. Menurunnya perolehan suara partai PPP tidak lain faktor utamanya adalah
dari internal partai itu sendiri (pengurus partai), yang belum memaksimalkan
kinerjanya yang telah disepakati dalam program kerja. Jadi program kerja
yang sudah ada tidak dimaksimalkan, terutama yang memiliki preferensi
tinggi, misalkan program kerja yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat, baik bersifat sosial maupun keagamaan, baik menifestasinya
dalam bentuk bakti sosial maupun kegiatan pengajian-pengajian keagamaan
yang langsung dimotori oleh PPP. karena agenda tersebut tidak berjalan
dengan baik maka dampaknya dapat dirasakan sendiri, padahal jika
dimaksimalkan tentu melalui kegiatan tersebut dapat menarik simpati
masyarakat terhadap partai, masyarakat pun bisa merasakan bentuk nyata dari
kehadiran partai Islam dilingkungannya. Karena jarang tersentuh alhasil
masyarakat pun bertanya-tanya dan lambat laun mengarah ke dalam kondisi
yang meriskankan dan menyebabkan masyarakat tabu dengan partai Islam,
apatis dan pada akhirnya mereka tidak bisa membedakan mana partai Islam
dan mana partai yang bukan berlandaskan Islam. Justru faktor tersebutlah
yang barangkali menjadi faktor partai Islam melemah dan partai nasionalis
mendulang dalam porsentase perolehan suaranya, karena disaat partai PPP
26
Wawancara Pribadi dengan Taufiq (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik DPC PPP
Kab. Pandeglang). Pandeglang, 20 Agustus 2015.
88
tidak begitu menyentuh terhadap geresroot disisilain partai nasionalis
memainkan perannya dengan mengambil simpati masyarakat dengan program
kerja dan aksi nyatanya.
2. Tradisi kaderisasi lambat laun mulai memudar, karena untuk konteks sekarang
ini dalam setiap pencalonan pada pemilu baik legislatif atau kepala daerah
partai tidak memfokuskan kepada kader yang memang benar-benar didikan
partai (kader militan), melainkan siapa saja yang memiliki potensi, memiliki
jaringan dan berlatarbelakang ekonomi mapan. Hal itu memang tidak tidak
selamanya buruk, namun kerapkali timbul kecemburuan sosial, yang
dampaknya adalah solidaritas terganggu.
Selain itu masyarakat sekarang mulai menunjukkan titik kejenuhan dengan
pola pergerakan partai Islam yang tidak terlihat secara signifikan kerjanya dimata
masyarakat, bahkan masyarakat sendiri menganggap tidak ada perbedaan antara
partai Islam dengan partai Nasionalis, yakni pada akhirnya semua bermuara pada
perebutan kursi kekuasaan, bahkan anggapan masyarakat Islam yang dijadikan
ideologi partai hanya sebagai simbol yang digunakan untuk menarik simpati
masyarakat saja selebihnya tidak. Anggapan itu diperkuat dengan beberapa kasus
pidana yang dialami oleh figur terkemuka partai politik Islam.27
27
Wawancara Pribadi dengan KH. Ujang Rafiuddin (Tokoh Masyarakat Kec. Majasari),
Pandeglang, 01 Oktober 2015.
89
B. Partai Keadilan Sejahtera
1. Ideologi Partai PKS
Partai PKS merupakan salah satu partai yang sampai saat ini konsisten dengan
menajadikan Islam sebagai asas atau ideologi partai, selain tetap mengamalkan nilai-
nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Partai ini dibanguna atas dasar misi
berdakwah, karena dakwah dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, baik
penerapannya maupun dalam penyampaiannya, baik di bidang sosisal, keagamaan,
budaya, politik dan lainnya. Salah satu bukti atau tindakan nayata bahwa partai ini
adalah partai Islam, yakni partai konsisten mengadakan diskusi kegamaan, baik
dalam bentuk pengajian maupun liko (diskusi) sesama kader, dan ini merupakan
bagian dari program kerja partai, yang memiliki tujuan untuk membina umat. Selain
itupula partai selalu hadir dan cepat tanggap dalam setiap terjadi musibah atau
bencana alam, sehingga manfaat dari aktifitas partai dan kehadirannya dirasakan oleh
masyarakat.28
Partai PKS merupakan partai politik yang besar dan disegani keberadaannya,
baik karena kiprahnya sebagai pengawal berjalannya ketatanegaraan Indonesia,
maupun sebagai pengawal atas berjalannya sistem demokrasi di negeri ini. Hal itu
28
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27
Agustus 2015.
90
dibuktikan dengan tetap terlibat dalam proses berjalannya pelaksanaan pemerintahan,
dan dengan adanya beberapa kader yang berada dalam lingkungan eksekutif maupun
legislatif sangat memberikan banyak kontribusi baik sebagai pelaksana maupun
sebagai oposisi.
Partai PKS merupakan partai yang sangat menjunjung tinggi sistem
perkaderan di dalam tubuh partai, baik dalam tingkat pusat maupun daerah. Hal ini
dilakukan untuk memelihara nilai-nilai partai tetap terjaga dan agar terciptanya kader-
kader yang berkualitas. Partai PKS adalah partai yang lebih mengedepanknan kader
dalam setiap bursa pencalonan anggota legislatif maupun eksekutif, daripada
mengusung orang atau tokoh yang memiliki kualitas, elektabilitas, dan kekuatan masa
untuk bersiteru dalam proses pemilu dengan atas nama partai PKS. Langkah ini
merupakan salah satu strategi partai demi menjaga sistem kaderisasi partai tetap
berjalan. Sehingga pertimbangannya menang dan kalah tetap mengedepankan
kader.29
Berdasarkan sejarah partai PKS merupakan partai yang kelahirannya melalui
gerakan sosial bernama tarbiyah yang kemudian menjadi partai politik. Basis sosial
partai ini adalah kelompok muslim terdidik, muda dan kelas menengah kota. Diantara
partai-partai politik Islam lainnya, PKS seringkali melakukan aksi-aksi ekstra-
institusional untuk menarik perhatian publik. PKS tampil sebagai partai kader yang
menerapkan standar ketat dalam proses rekrutmen dan pelatihan anggota-anggotanya.
29
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27
Agustus 2015.
91
PKS juga bergerak melalui dakwah kampus seperti Lembaga Dakwah Kampus
(LDK), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), sebagai bagian
dari strategi dalam rangka memperluas jaringan, rekrutmen, organisasi dan sebagai
wadah mahasiswa baik dalam berdakwah maupun dalam menyuarakan suara ketidak
puasan atas kebijakakn publik. Sebagai partai Islam PKS aktif menggalang
konstituennya secara berkelanjutan, bukan hanya pada waktu pemilu, dan
dibandingkan partai lain PKS memiliki rekam jejak dan reputasi baik dalam
menggalang kerja-kerja sosial.30
2. Visi dan Misi Partai PKS
Sesuai dengan ideologi PKS yang mengedepankan Islam sebagai sistem hidup
yang bersifat universal. PKS memiliki cita-cita menjadikan Indonesia sebagai
masyarakat madani atau sering disebut sebagai baldatun thayyibun wa rabbun
ghaffur. Sehingga untuk mewujudkannya PKS memilikii visi-misi dan perjuangan
kepartaian yang mencerminkan keinginan untuk tetap eksis.
Dalam visi PKS terbagi dua yakni visi khsusus dan visi umum. Visi khusus
PKS adalah partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi maupun opini
dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Sedangkan visi umumnya
yakni, sebagai partai dakwah penegak keadailan dan kesejahteraan dalam bingkaian
persatua umat dan bangsa.
30
Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 5.
92
Sedangkan misi partai PKS adalah; pertama, menyebarluaskan dakwah Islam
dan mencetak kader-kadernya sebagai anasir taghyir; kedua, mengembangkan
institusi-institusi masyarakat yang Islami; ketiga, membangun opini umum yang
Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif, dan
membawa rahmat; keempat, membangun kesadaran politik dan advokasi masyarakat;
kelima, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten
dan kontinyu dalam bingkai hukum Islam; keenam, aktif melakukan komunikasi,
silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat untuk
terwujudnya Ukhwah Islamiyah dan Wihdatul Ummat dengan berbagai komponen;
ketujuh, ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak
kedzaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.
Visi dan Misi PKS sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk kebangkitan
Islam. oleh karena itu, PKS sangat membutuhkan dakwah sebagai instrumen utama
untuk melakukan reislamisasi masyarakat dan mengembalikan umata Islam Indonesia
pada identitas dan nilai-nilai agama.31
3. Kekuatan Partai PKS
Dilihat dari hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu 2014 yang
dihimpun Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kab. Pandeglang, jumlah suara
partai PKS mencapai 48.952 (8.13%), dengan 5 (lima) perolehan jumlah kursi di
31
Burhanudin Muhtadi, Dilema PKS Anatara Suara dan Syariah (Jakarta: Gramedia, 2012),
h. 189.
93
DPRD dari total jumlah kursi 50 yang diperebutkan di DPRD. Jumlah ini sama
dengan PPP (5 Kursi), PKB (5 Kursi), dan masih dibawah Golkar (8 Kursi), Gerindra
(7 Kursi), dan demokrat (6 Kursi).32
Berdasarkan keterangan yang dihimpuna dari sekretaris jendaral DPD PKS
mengenai tingkat kekuatan partai Islam khususnya PKS beliau memaparkan, pada
dasarnya untuk setiap pemilu yang diadakan di Pandeglang itu bukan lagi persoalan
persaingan ideologi partai politik, melainkan lebih kepada persaingan antar figur para
kandidat peserta pemilu. Besar tidaknya perolehan suara partai, faktor partai politik
tidak begitu signifikan, justru untuk konteks sekarang yang lebih berpengaruh dan
yang memiliki peranan penting atas perolehan suara lebih kepada faktor calon. Jadi
kecendrungan konstituen tidak lagi mengarah kepada seberapa kuat dan seberapa
religiuskah partai tersebut, melainkan lebih kepada seberapa kuat tingkat eksistensi,
pengaruh dan elektabilitas calon peserta pemilu. Masyarakat pada umumnya untuk
menentukan pilihannya lebih melihat dari faktor calon, dari partai manapun ia
diusung.33
Pada periode sebelum tahun 2009 persaingan ideologi memang pernah
memainkan ritme pemilu di Kab. Pandeglang, namun lambat laun mulai mengkikis.
Dimulai dari tahun 2009 persaingan ideologi mulai tidak terlihat seperti halnya
periode sebelumnya, meskipun persaingan yang lebih menitik beratkan kepada calon
32
Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara oleh KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014
33
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27
Agustus 2015.
94
mulai menguat, namun pengaruh ideologi pada pemilu tahun ini juga tidak bisa
dianggap sepele. Barulah pada pemilu 2014 persaingan antar kekuatan ideologi
benar-benar kurang terlihat, melainkan persaingan figur calon yang memiliki peranan
penting disini.34
Untuk konteks partai PKS sendiri sebenarnya bisa membongkar perolehan
suara, asal saja partai PKS berani mengusung figur yang sudah matang dan memiliki
kekuatan personal, namun hal itu tidak berlaku bagi partai PKS karena PKS lebih
menekankan sistem kaderisasi. Siapapun calon dan seberapa kuat kandidat tersebut,
PKS tetap mengutamakan kader yang itu adalah benar-benar kader PKS.
C. Partai Bulan Bintang
1. Ideologi Partai Bulan Bintang
Partai Bulan Bintang merupakan partai politik yang kemunculannya tidak lain
didasarkan atas dalil-dalil Al-Quran. Asas Islam bagi Partai Bulan Bintang (PBB)
memiliki makna bahwa partai ini meyakini dengan sungguh-sungguh kebenaran Al-
Qur’an sebagai agama Allah SWT. yang diturunkan melalui manusia mulia Nabi
Muhammad SAW. untuk mengeluarkan umat manusia dari belenggu kekafiran
menuju jalan keimanan.35
34
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27
Agustus 2015.
35
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP
PBB, 2010), h. 64.
95
Asas yang diemban adalah Islam, mengikuti Partai Masyumi tempo dulu
sebagai salah satu partai politik Islam di Indonesia yang berperan pada masa
Demokrasi Parlementer. PBB adalah partai yang berasaskan Islam dan meyakini
negara haruslah berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Langkah untuk merealisasikan
tekad tersebut diyakini harus melalui parlemen.
2. Visi dan Misi Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Bulan Bintang merupakan partai yang berasaskan Islam, dengan visinya
yakni terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami. Dan misi partai ini
adalah membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beriman dan bertakwa,
mandiri, berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dam turut
menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagaimana dikatakan
pula oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa Visi-Misi partai ini adalah, bertujuan
menerapkan alinea keempat UUD 1945 berdasarkan etika dan moral Islam. Islam
yang Universal dan tidak ditolak oleh siapapun kecuali orang yang apriori.36
Tujuan
Umum dari kehadiran partai ini adalah terwujudnya cita-cita nasional bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 dan berkembangnya
kehidupan demokrasi dengan menghormati kedaulatan rakyat dalam Negara
36
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah? (Jakarta: Alvabet, 1999),
h 54.
96
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. sedangkan
tujuan khusus didirikannya partai ini adalah mewujudkan tegaknya syariat Islam.37
Perjuangan Partai Bulan Bintang untuk menegakkan syariat Islam oleh negara
dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga negara khususnya lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif sebagai gerakan struktural dan melalui proses transformasi,
informasi dan pengetahuan serta pemberdayaan masyarakat sebagai gerakan budaya.
Tujuan pendirian partai politik secara struktural adalah membentuk pemerintah
apabila mendapat dukungan masyarakat melalui pemilihan umum, oleh karena itu
demi menegakkan syariat Islam oleh negara tahapan perjuangan Partai Bulan Bintang
adalah, mengikuti pemilihan umum, memenangkan pemilihlan umum, dan
membentuk pemerintahan.38
3. Kekuatan Partai PBB
Pada pemilu 2014 jumlah suara PBB di Kab. Pandeglang berdasarkan hasil
rekapitulasi KPUD setempat mencapai 31.392 (5.21%), dengan perolehan jumlah
kursi di DPRD sebanyak 2 kursi. Perolehan suara ini merupakan hasil terkecil jika
dibandingkan dengan perolehan suara partai Islam lainnta yakni PPP, 59.326 (9.85%)
dengan perolehan 5 kursi di DPRD, dan PKS, 48.952 (8.13%) dengan perolehan 5
kursi di DPRD. Dengan demikian kekuatan partai PBB di Kab. Pandeglang sama
37
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar II Partai Bualan Bintang (Jakarta: DPP
PBB, 2005), h. 26.
38
Bambang Setyo, Simpul-simpul Perjuangan Islam di Indonesia: Sejarah Kebangkitan dan
Kiprah Partai Bulan Bintang (Bandung: 2001), h. 4.
97
halnya dengan partai Islam lainnya yakni tidak begitu signifikan apabila
dibandingkan dengan kekuatan partai nasionalis. Jika dianalisa secara keseluruhan
faktor yang mempengaruhi merosotnya perolehan suara partai PBB tidak jauh dengan
kedua partai Islam yang telah disinggung diatas, yakni masalah internal, figur caleg
atau ketokohan dan kalah bersaing dengan partai lainnya.
Sebagai data pelengkap dan pendukung, perlu kiranya disinggung hasil
muktamar III PBB 2010 sebagai berikut:39
Pada pemilu 2009 perolehan susara PBB sangat menurun dan tidak dapat
melampaui ambang batas parlementary threshold sebanyak 2,5%. Sehubungan
dengan itu DPP PBB melaui lembaga survey indevenden dari Uiniversitas Indonesia
melakukan survey untuk mengetahui penyebabnya. Hasilnya terdapat lima fakator
yang mempengaruhi penurunan suara PBB yaitu:
1. Figur caleg tidak dikenal atau tidak popular;
2. Pengurus partai kurang dikenal dan tidak dekat dengan masyarakat;
3. Program dan isu tidak sesuai dengan aspirasi rakyat;
4. Citra pimpinan dan pengurus jarang diliput media massa;
5. Kinerja anggota legislatif dan kepala daerah yang berasal dari PBB tidak aspiratif
dan kurang terpublikasi.
39
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP
PBB, 2010), h. 129.
98
Menurut Tumpal Danil (Wakil Sekjen DPP PBB), figur caleg, pengurus partai
dan citra pimpinan kurang populer di masyarakat karena kurangnya publikasi dan
jarang diliput oleh media massa. Permasalahannya kemudia dibutuhkan dana yang
cukup besar untuk mempopulerkan caleg dan partai seperti dengan memasang iklan.40
Pemimpin yang berkarismatik juga penting dalam mempertahankan kekokohan suatu
partai.
Masalah yang dijelaskan diatas sebenarnya sama pula dengan permaslahan
yang dihadapi oleh PBB di daerah, dan apabila partai PBB di Kab. Pandeglang
menginginkan untuk keluar dari zona tersebut tidak lain solusinya harus mampu
menjawab permasalahan yang disebutkan diatas.
D. Analisis Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah kab. Pandeglang
Berdasarkan data yang dihimpun baik dari leteratur, dokumen pembantu
maupun dari wawancara langsung dengan beberapa tokoh masyarakat dan tokoh
partai politik Islam di Kab. Pandeglang, pada dasarnya semua tokoh tersebut
membenarkan atas melemahnya kekuatan partai politik Islam di Pandeglang,
terutama pada periode pemilu lima tahun terakhir (2009-2014). Merekapun
menyadari banyak hal yang seharusnya dibenahi, baik dari internal maupun jaringan
keluar. Terkait lika-liku permasalahan eksistensi partai politik Islam yang melemah,
40
Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi Kasus:
Partai Bulan Bintang (Pbb) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 20014, h. 62.
99
terdapat beberapa alasan yang dapat dijadikan acauan dari hasil wawancara penulis
dengan beberapa tokoh tersebut;
Sebagaimana penjelasan dari pengurus PPP, bahwa melemahnya kekuatan
PPP di Pandeglang tidak lain faktor utamanya adalah internal parpol, baik solidaritas
antar pengurus, maupun dari komitmen untuk melaksanakan program kerja yang
langsung bersentuhan dengan masyarakat. Utnuk menjawab permasalahan itu
menurut penulis tidak lain solusi utamanya adalah benahi internal partai, hilangkan
sikap egosentris antar pengurus dan maksimalkan langkah tersebut dengan
musyawarah mufakat. Dan terkait program kerja yang kurang berjalan dengan baik,
sebaiknya harus ada kesadaran sendiri dari pengurus partai, kemudian tekankan pada
evaluasi mingguan atau bulanan terkait sejauhmana kinerja yang telah dilaksanakan,
sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi akan mudah untuk dipecahkan.
Memang ini bukanlah permasalahan mudah, namun bukan pula permasalhan sulit
apabila semuanya menginginkan yang terbaik bagi kekuatan partai.
Penjelasan berikutnya hasil wawancara penulis dengan pengurus Partai PKS,
yang menyatakan bahwa sebenarnya permasalahan partai politik di Kab. Pandeglang
khususnya partai politik Islam yang tingat elektabilitasnya mulai melemah, untuk
konteks sekarang bukan lagi faktor ideologi yang dominan bermain, malainkan faktor
figur atau kandidat calon peserta pemilu. Karena masyarakat sekarang pada umumnya
memilih atau tidaknya terhadap partai politik tertentu bukan lagi karena
ketertarikannya dengan partai tertentu, melainkan lebih kepada calon tertentu dari
100
partai manapun calon tersebut diusung. Meskipun faktor partai juga memiliki peran
didalamnya namun faktor figurlah yang memiliki dominasi penuh terhadap seberapa
besar jumlah suara yang diperoleh.
Faktor lain dari penjelasan tokoh partai politik Islam di atas, adalah faktor
eksternal yakni masyarakat mulai tidak memberikan respek terhadap kehadiran partai
Islam. Hal itu bukan tanpa alasan, melainkan karena masyarakat itu sendiri sudah
merasa acuh dengan jargon yang beratas namakan Islam. Masyarakat Pandeglang
sekarang pola pemikirannya sudah dewasa, tidak sepertihalnya dahulu. Masyarakat
lebih teliti untuk menentukan pilihannya, jika dahulu pilihan itu ditunjukkan kepada
partai yang memiliki jargon , simbol, dan visi-misi keislaman, masyarakat sekarang
lebih kepada realisasinya, karena penilaian masyarakat janji-janji yang diberikan
hanya sebatas janji belaka selebihnya sama saja yakni kalau sudah menang dalam
perhelatan pemilu, sedikitpun tidak merasa tersentuh oleh pejabat pemerintah yang
ketika pada pencalonannya mengatasnamakan rakyat dan membawa aspirasi
masyarakat, terlebih mulai maraknya kasus yang melanda partai Islam, baik kasus
pidana maupun kicruh kepengurusan dan itu memiliki dampak besar terhadap
kepercayaan masyarakat terhadap partai Islam. Secara umum masyarakat sekarang
dalam menentukan pilihannya lebih melihat kepada figur itu sendiri, dan tidak begitu
memperhatikan dari partai mana ia diusung.41
41
Wawancara dengan beberapa warga masyarakat Kab. Pandeglang. Pandeglang 01 Oktober
2015.
101
Selain itu faktor money politic (Politik Uang) sangat memberikan pengaruh
besar terhadap perolehan suara suatu partai politik, ditambah lagi di daerah
Pandeglang pengaruh Golkar dengan figur sentralnya keluarga Alm. H. Hasan Shohib
yang terkenal sebagai penguasa Banten sangat dominan. Jadi selain ketokohan yang
dijadikan pilihan utama, faktor siapa dan sebesar apa uang yang diberikan itu tidak
kalah pentingnya pula. Terlebih Kab. Pandeglang merupakan daerah yang secara
porsentase pendidikan (masyarakat melek hurup) masih rendah, inilah yang
menjadikan suburnya praktik money politik karena atara lemahnya pendidikan dengan
praktik politik uang sangat berbanding lurus.42
Hemat penulis Permaslahan ini sebenarnya bisa diatasi apabila partai Islam
berani mengambil langkah yang revolusioner. Karena pada prinsipnya apabila
memang demikian kenyataan dilapangan berarti itu merupakan indikasi besar bahwa
nilai-nilai apatis atau ketidak pedulian terhadap partai Islam sudah menghinggapi
masyarakat di Kab. Pandeglang. Segala peristiwa yang terjadi apapun bentuknya pasti
ada permulaan atau sebab musababnya, dan hemat penulis sebab musabab masyarakat
apatis terhadap partai Islam karena pelaku partai Islam itu sendiri yang tidak mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, dan semestinya Ideologi Islam
bukan sekedar platform saja melainkan dituangkan dan diimplementasikan kepada
perbaikan, pelayanan dan pembinaan masyarakat.
42
Wawancara pribadi dengan Dr. Djawahir Hejazziey , SH.,MA (Akademisi). Jakarta 21
Oktober 2015
102
Berdasarkan beberapa statemen dari pengurus partai yang telah penulis
himpun tersebut, solusi penulis untuk menjawab permasalahan tersebut sebagai
beriku:
1. Benahi struktur kepengurusan dan tingkatkan komitmen partai terkait agenda
atau program kerja partai, terutama yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat.
2. Kemudian untuk permaslahan faktor partai tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perolehan suara, melainkan faktor calon atau kandidat peserta
pemilu, hemat penulis jika ada keseriusan dari pelaku partai Islam agar memiliki
peranan penting sebagai pelaksana pemerintah baik legislatif maupun eksekutif,
sebaiknya ada pembinaan serius kepada anggota yang akan disusung, dan yang
paling utama adalah selalu menghadirkan tokoh yang akan diusung di hadapan
masayarakat. Sehingga masyarakat merasakan kehadiaran dan kinerjanya
meskipun figur tersebut belum memiliki peranan di pemerintahan.
3. Partai Islam harus mampu menciptakan tokoh atau figur, karena ketokohan
kandidat memiliki peranan besar bagi kepentingan suara partai politik Islam.
4. Persatuan ditubuh partai Islam akan mampu memberikan perubahan yang
signifikan, dalam artian perlu adanya peleburan partai Islam menjadi satu
kekuatan (satu kendaraan politik), dan nantinya semua aspirasi masyarakat untuk
partai Islam hanya tersalurkan melalui satu jalur, dan tidak terpecah-pecah atau
terbagi-bagi sepertihalnya sekarang.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan menganalisa pada penelitian ini, maka
penulis adapat memberikan jawaban terkait rumusan masalah dan tujuan dari
penelitian ini. Jawaban dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Kekuatan patai politik Islam di Kab. Pandeglang, masih dibawah bayang-bayang
partai nasionalis jika dilihat dari setiap pemilu diadakan. Padahal Pandeglang
adalah daerah yang terkenal dengan julukan seribu kiayi (sebutan tokoh
keagamaan setingkat ulama), dan sejuta santri atau daerah ini adalah daerah 97%
beragama Islam.
Pada pemilu terakhir (tahun 2014) jumlah perolehan suara keseluruhan dari partai
Islam mencapai 35%, dan jika di gabung dengan partai yang berbasis masa Islam,
maka porsentasenya mencapai 40% saja, dibanding dengan perolehan suara partai
nasionalis. Di kursi DPRD partai Islam dan jika digabung dengan partai yang
berbasis masa Islam hanya mampu mendudukan 18 wakilnya (PPP, 5 kursi, PBB
2 kursi, PKS 5 kursi, PKB 5 kursi, dan PAN 1 kursi) dari 50 kursi yang
diperebutkan. Untuk itu dominasi partai politik di DPRD Pandeglang mayoritas
diisi oleh partai nasionalis dengan 32 kursi (Golkar 8 kursi, Gerindra 7 kursi,
Demokrat 6 kursi, PDIP 5 kursi, Nasdem 4 kursi, dan Hanura 2 kursi). Dengan
104
demikian partai Islam di daerah Kab. Pandeglang tidaka memiliki kekuatan yang
sangat signifikan.
2. Melemahnya kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang disebabkan oleh
beberapa faktor; pertama, faktor internal partai baik mengenai solidaritas antar
pengurus partai maupun kurangnya mobilisasi masa, baik dalam bentuk sosial,
pembinaan maupun keagamaan; kedua, pada setiap pemilu figur yang diusung
partai Islam kurang memiliki kekuatan masa dan elektabilitas; ketiga yang
menjadikan faktor melemahnya partai Islam adalah, karena masyarakat Kab.
Pandeglang pada umumnya selain sudah mulai kehilangan kepercayaan terhadap
partai Islam. selain itu masyarakat dalam menentukan pilihan tidak lagi
menjadikan faktor partai sebagai alasan ia memilih calon tertentu, melainkan
lebih kepada calon atau figurnya dari partai manapun calon tersebut disusung.
Selain faktor figur yang menjadi pertimbangan masyarakat (konstituen), satu lagi
faktor yang memiliki pengaruh besar adalah faktor Money Politic (Politik Uang).
Jadi masyarakat sekarang tidak lagi terfokus kepada partai pengusung, melainkan
lebih kepada siapa figurnya dan berapa besaran tipsnya.
3. Mayoritas penduduk beragama Islam di Pandeglang sampai 97%, ternyata tidak
bisa dijadikan jaminan sebagai sumber kekuatan partai Islam, terbukti dari setiap
pemilu diadakan sebagaimana data terakhir disebutkan diatas. Dengan demikian
untuk konteks Kab. Pandeglang antara penduduk beragama Islam dengan partai
politik Islam tidak terdapat hubungan yang linier.
105
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian penulis mengenai tema partai Islam di daerah Kab.
Pandeglang, terdapat catatan untuk langkah partai politik Islam kedepan, antaralain
sebagai berikut:
1. Hemat penulis untuk kedepan agar partai Islam mampu mengembalikan
marwahnya sebagaimana yang pernah dicapai terdahulu, yakni harus serius
dalam menjalankan roda kepengurusan, baik dari sisi solidaritas antar
pengurus maupun komitmen terhadap program kerja yang sudah disepakati,
terutama program kerja yang memiliki ekses yang bersentuhan dengan
masyarakat, sebagai bagian dari mobilisasi masa.
2. Partai politik Islam kedepan fokus membenahi kekuatan di luar, tidak lagi
mengurusi permasalahan internal, seperti halnya konflik dualisme
kepengurusan yang diperlihatkan oleh partai PPP. karena imbas tersebut tidak
hanya berpengaruh di pusat saja, melainkan imbas pula ke cabang-cabang
partai di daerah.
3. Langkah berikutnya yang harus dilakukan partai Islam yakni memberikan
pembinaan kapada kadernya, dan menghadirkan kader tersebut dihadapan
masyarakat dengan agenda yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan begitu
lambat laun, selain kader tersebut memiliki kompeten dan memiliki
elektabilitas tinggi. Tidak hanya dipandang baik oleh masyarakat tetapi
memang memiliki kebaikan dalam diri sendiri.
106
4. Agar kekuatan partai Islam menjadi padu dan menjadi satu kekuatan, untuk
itu partai Islam cukup dengan satu kekuatan, dan partai Islam yang sudah ada
sekarang melakukan fusi kedalam satu rumah besar partai umat Islam.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Amir, Zainal. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3S, 2003.
Ali Ahmad, Haidar, Ed. Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan,
2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT.Rajagrafindo
Persada, 2009.
__________. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Azra, Azyumardi. “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”. Republika, 5 Desember
2013.
Basyaib, Hamid dan Hamid, Abidin. Mengapa Partai Islam Kalah?. Jakarta:
Alvabet, 1999.
BPJS Kab. Pandeglang. Pandeglang Dalam Angka 2014. Pandeglang: CV.
Mutiara Grafika, 2014.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.10. Jakarta: PT. gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Bulan Bintang. Hasil Muktamar II Partai
Bulan Bintang. Jakarta: DPP PBB, 2005.
__________. Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang. Jakarta: DPP PBB, 2010.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesi. Jakarta: Paramadina, 2009.
108
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Hanafie, Haniah. “Partai-partai Islam di Indonesia”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Haris, Syamsuddin. Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ihza Mahendra, Yusril. Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami
(Pakistan). Jakarta: Paramadina, 1999.
Ismail, Faisal. Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta:
Departemen Agama RI, 2002.
__________. Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
Kencana Syafii, Inu dan Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika
Aditama, 2010.
M.A. Gani. Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1984.
Madjid, Nurcholis. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,
1999.
__________. Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern. Jakarta: PT. Mediacita,
2002.
109
Masad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008.
MD, Mahfud. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2001.
__________. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2009
Muchtar Ghazali, Adeng. Perjalanan Politik Umat Islam: Dalam Lintas Sejarah.
Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Gramedia,
2012.
Noer, Delia. Partai Isalm di Pentas Nasional. Jakarta: Mizan, 2000.
__________. Gerakan Modern Islam di Indonesia. 1900-1942, Jakarta, LP3S,
1998.
Nurcholish Madjid Society (NCMS). Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban.
Jakarta, 2011.
Permatasari, Indah. “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi
Kasus: Partai Bulan Bintang (Pbb) 1999-2009”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Ridho Al-Hamdi. Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013
110
RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025
Setyo, Bambang. Simpul-simpul Perjuangan Islam di Indonesia: Sejarah
Kebangkitan dan Kiprah Partai Bulan Bintang. Bandung: 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UII Press, 1990.
Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta:
LP3S, 2006.
Syam, Firdaus. Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia
Modern. Jakarta: Sumber Pemikiran Islam, 2003.
Tebba, Sudirman. Islam Menuju Era Reformasi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana
Yogya, 2001.
__________. Islam Pasca Orde Baru. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M.
Amien Rais. Bandung: Terazu, 2005.
Wawancara Pribadi dengan Pak. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang).
Pandegelang. 27 Agustus 2015.
Wawancara Pribadi dengan Taufiq. SIP (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik
DPC PPP Kab. Pandeglang). Pandeglang. 20 Agustus 2015.
Wulandari, Triana dan Muhtaruddin, Ibrahim. Sarekat Islam dan Pergerakan
Politik di Palembang. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan
Nasional, 2001.
111
Website
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14
September 2015 dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/.
Website Resmi Kab. Pandeglang. “Sejarah Singkat Kab. Pandeglang”. diakses
pada 08 Agustus 2015 dari
http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ
Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945
UU No. 39/1999
Keputusan KPU No. 412/Kpts/KPU/Tahun 2014.