kepret beras fix.doc
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Beras merupakan komoditi strategis dan penting bagi rakyat Indonesia.
Selain karena lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai
makanan pokoknya (staple food), beras juga menjadi industri yang strategis bagi
perkonomian nasional. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri beras
terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen pada tahun 2005, penyerapan
tenaga kerja mencapai 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian (agriculture employment) atau setara dengan 12,05 juta orang. Jumlah
ini adalah jumlah terbesar dibandingkan industri lain di tanah air.
Selain bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai
instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Sejarah
telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras
telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal
reformasi. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran dan campur tangan
pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang
merata dan harga yang stabil. Karena itu beras diperlakukan sebagai komoditi
yang strategis secara politis.
Pemerintah selalu berusaha agar harga beras relatif stabil. Pengertian
“stabil” tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis yakni suatu kondisi dimana
variabilitas harga antar waktu berada pada kisaran yang masih
memungkinkan bagi stakeholder (produsen dan konsumen) untuk melakukan
penyesuaian dalam jangka pendek. Bagi konsumen, determinan dari kemampuan
untuk melakukan penyesuaian adalah daya beli, sedangkan bagi produsen
determinannya adalah tingkat penerimaan yang cukup untuk menutup semua
biaya variabel.
Instabilitas harga tercermin dari variasi harga antar waktu sehingga
mencakup kenaikan maupun penurunan harga. Meskipun demikian, fokus kajian
kebijakan stabilisasi lazimnya terkait dengan kelompok sasaran. Sebagai contoh,
sasaran kebijakan pemerintah dalam penetapan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) ataupun tariff impor adalah untuk melindungi produsen. Oleh karena itu,
pengamatan dan kajian dalam konteks itu difokuskan pada fenomena penurunan
harga. Sebaliknya, oleh karena sasaran kebijakan dari Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor : 22/M-DAG/PER /10/ 2005 ataupun kebijakan pemerintah
dalam operasi pasar beras adalah untuk melindungi konsumen maka fokus kajian
diarahkan pada fenomena kenaikan harga.
Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan khususnya beras, cukup
komprehensif. Untuk melindungi produsen kebijakan yang ditempuh adalah
penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), tarif impor, buka tutup impor.
Sedangkan untuk melindungi konsumen, kebijakan yang ditempuh antara lain
adalah penetapan harga eceran tertinggi, operasi pasar beras, bantuan beras
(subsidi) kepada penduduk miskin (raskin) dan sebagainya. Eksekusi program
pengamanan HPP, pembentukan cadangan pemerintah (melalui pengadaan dalam
negeri maupun impor), operasi pasar, dan program raskin dilakukan oleh
pemerintah melalui lembaga non departemen yakni Badan Urusan Logistik
(BULOG).
PEMBAHASAN
Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan khususnya beras, cukup
komprehensif. Untuk melindungi produsen kebijakan yang ditempuh adalah
penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), tarif impor, “buka tutup impor”.
Sedangkan untuk melindungi konsumen, kebijakan yang ditempuh antara lain adalah
penetapan harga eceran tertinggi, operasi pasar beras, bantuan beras (subsidi) kepada
penduduk miskin (raskin) dan sebagainya. Eksekusi program pengamanan HPP,
pembentukan cadangan pemerintah (melalui pengadaan dalam negeri maupun
impor), operasi pasar, dan program raskin dilakukan oleh pemerintah melalui
lembaga non departemen yakni Badan Urusan Logistik (BULOG).
A. Kebijakan untuk melindungi produsen diantaranya :
1. Kebijakan HPP Beras
Kita sering mendengar kata HPP atau harga pembelian pemerintah
terutama untuk beras. Namun, tidak banyak pihak yang mengetahui, apa itu
HPP. HPP merupakan langkah dalam upaya mewujudkan stabilitas harga
beras. Salah satu instrumen kebijakan harga yang diterapkan pemerintah adalah
kebijakan harga dasar dan harga maksimum, yang selanjutnya konsep harga
dasar disesuaikan menjadi harga pembelian pemerintah (HPP).
Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan tunggal HPP
gabah-beras per 1 Januari 2003 melalui Inpres No.9/2002. Secara berkala
pemerintah menaikkan HPP gabah-beras untuk mengimbangi kenaikan harga
input dan inflasi. Saat ini melalui Inpres No.1/2010 HPP gabah-beras adalah
sebagai berikut : GKP (Rp.2.640./kg), GKG (Rp.3.300/kg), dan beras
(Rp.5.060/kg). Kebijakan HPP tersebut didukung oleh perangkat kebijakan,
institusi dan pembiayaan.
Esensi (dari penerapan) HPP tersebut adalah insentif yang diberikan
pemerintah kepada petani padi dengan cara memberikan jaminan harga di atas
harga keseimbangan (price market clearing) terutama pada saat panen raya.
Melalui kebijakan HPP ini pemerintah mengharapkan : (a) produksi padi dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri; (b) stabilitas
harga padi; dan (c) pendapatan petani dan usahatani padi meningkat. Kebijakan
penetapan HPP gabah yang dilakukan selama ini berdasarkan kadar air dan
kadar hampa, sedangkan HPP beras adalah kadar air dan butir patah beras.
Produksi gabah yang dihasilkan petani bervariasi sesuai kadar air dan
kadar hampa yang tertuang dalam tabel rafaksi. Inpres No.7 Tahun 2009
tentang Kebijakan Perberasan dan Peraturan Menteri Pertanian
No.1/Permentan/PP.130/1/2010 tentang Pedoman Harga Gabah diluar kualitas
hanya mengatur tentang harga gabah, namun belum mengatur tentang harga beras
diluar kualitas.
Kisaran Marjin Keuntungan Pedagang Beras di 4 Kabupaten Contoh, 2010
(Rp/kg).
No Uraian Nilai Jumlah Produk
1 Pembelian GKP Petani 2.700-2.750 GKP
2 Biaya “calo” 40-50 2.740-2.800 GKP
3 Buruh Bongkar Muat 20-25 2.760-2.825 GKP
4 Ongkos Angkut 35 2.795-2.860 GKP
5 Biaya “agen” 25 2.820-2.885 GKP
6 Biaya Penjemuran 20-25 2.840-2.910 GKG
7 Ongkos Giling 80-90 2.920-3.000 GKG
8 Buruh Muat ke Truk 20-25 2.940-3.025 Beras
9 Biaya Angkut ke Gudang Dolog 40-50 2.980-3.075 Beras
10 Rendemen Gabah ke Beras (%) 0.60-0.62 4.768-4.981
11 HPP Beras 5.060 Beras
12 Marjin Keuntungan 292-79 Beras
Sumber Litbang Kementan
2. Kebijakan Tarif Impor
Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor,
sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor,
kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan
masuknya uang asing ke negara kita yang dapat digunakan untuk membayar
pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Kegiatan impor dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak
dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan, tetapi tidak dapat
mencukupi kebutuhan rakyat.
a. Kebijakan Impor
Untuk melindungi produksi dalam negerinya dari ancaman produk
sejenis yang diproduksi di luar negeri, maka pemerintah suatu negara biasanya
akan menerapkan atau mangeluarkan suatu kebijakan perdagangan
internasional di bidang impor. Kebijakan ini secara langsung maupun tidak
langsung pasti akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha
untuk mendorong/melindungi pertumbuhan industri dalam negeri (domestik)
dan penghematan devisa negara.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kebijakan hambatan tarif (tariff
barrier) dan kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff barrier).
1) Hambatan Tarif (Tariff Barrier)
Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan proteksionis
terhadap barang–barang produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya
barang–barang sejenis yang diimpor dari luar negeri, dengan cara
menarik/mengenakan pungutan bea masuk kepada setiap barang impor yang
masuk untuk dipakai /dikomsumsi habis di dalam negeri.
2) Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barrier)
Hambatan non-tarif (non-tarif barrier) adalah berbagai kebijakan
perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Dr. Hamdy Hady).
A.M. Rugman dan R.M. Hodgetts mengelompokkan hambatan non-tarif
(non-tariff barrier) sebagai berikut :
a) Pembatasan spesifik (specific limitation) :
Larangan impor secara mutlak
Pembatasan impor (quota system)
Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan atas
pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota
ekspor) dari/ke suatu negara untuk melindungi kepentingan industri
dan konsumen.
Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu
Peraturan kesehatan / karantina
Peraturan pertahanan dan keamanan negara
Peraturan kebudayaan
Perizinan impor (import licence)
Embargo
Hambatan pemasaran/marketing
b) Peraturan bea cukai (customs administration rules)
Tatalaksana impor tertentu (procedure)
Penetapan harga pabean
Penetapan forex rate (kurs valas) dan pengawasan devisa (forex
control)
Consulat formalities
Packaging / labelling regulations
Documentation needed
Quality and testing standard
Pungutan administasi (fees)
Tariff classification
c) Partisipasi pemerintah (government participation)
Kebijakan pengadaan pemerintah
Subsidi dan insentif ekspor
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan
atau bantuan kepada indusrti dalam negeri dalam bentuk keringanan
pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dan lain –
lain.
Countervaling duties
Domestic assistance programs
Trade-diverting
d) Import charges
Import deposits
Supplementary duties
Variable levies
b. Produk Impor
Indonesia mengimpor barang-barang konsumsi bahan baku dan bahan
penolong serta bahan modal. Barang-barang konsumsi merupakan barang-
barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti
makanan, minuman, susu, mentega, beras, dan daging. Bahan baku dan bahan
penolong merupakan barang-barang yang diperlukan untuk kegiatan industri
baik sebagai bahan baku maupun bahan pendukung, seperti kertas, bahan-
bahan kimia, obat-obatan dan kendaraan bermotor.
Barang modal adalah barang yang digunakan untuk modal usaha
seperti mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat.
Produk impor Indonesia yang berupa hasil pertanian, antara lain, beras, terigu,
kacang kedelai dan buah-buahan. Produk impor Indonesia yang berupa hasil
peternakan antara lain daging dan susu. Produk impor Indonesia yang berupa
hasil pertambangan antara lain adalah minyak bumi dan gas, produk impor
Indonesia yang berupa barng industri antara lain adalah barang-barang
elektronik, bahan kimia, kendaraan. dalam bidang jasa indonesia
mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri.
c. Kondisi Impor Beras di Indonesia
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya
bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, petani
Indonesia bukanlah merupakan mereka yang tingkat kesejahteraannya tinggi.
Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan terpinggirkan. Mereka
sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh
pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi
sebagai petani. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi negeri
ini. Sebuah ironi karena negara ini merupakan negara peghasil beras, akan
tetapi melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit. Pada umumnya
sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras dipicu oleh produksi
atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Akan tetapi, pada
kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa
Indonesia sedang mengalami surplus beras. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam
Angka Ramalan II (ARAM II) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011
mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 2,4 persen
dibandingkan tahun 2010. Jika dikonversi ke beras, artinya pada tahun ini
produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Apabila dibandingkan dengan
konsumsi beras Indonesia sebanyak 34 juta ton per tahun, Indonesia sedang
mengalami surplus beras sebanyak kurang lebih 4 juta ton beras.
d. Kebijakan usaha pertanian di Indonesia
Menurut Surono (2001), berbagai kebijakan dalam usaha pertanian
(beras) yang telah ditempuh pemerintah pada dasarnya kurang berpihak kepada
kepentingan petani. Pertama, terdapat kebijakan tariff impor yang sangat
rendah sehingga mendorong semakin mudahnya beras impor masuk dan
melebihi kebutuhan dalam negeri. Kedua, penghapuan subsidi pupuk yang
merupakan sarana produksi utama petani dapat mengurangi produktifitas
petani. Selajutnya, teknologi yang dimiliki petani Indonesia juga sudah jauh
tertinggal sehingga kualitas beras yang dihasilkan pada umumnya kalah dengan
kualitas beras impor.
Pada tahun 1998, terdapat kebijakan tarif impor nol persen. Kebijakan
ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung produksi
gabah. Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi
terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tariff nol persen pun dihapuskan.
Hal ini dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar
domestik Indonesia semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreemet of Agriculture, World Trade Organization).
Pada tahun 1995 akhirnya kebijakan proteksi berupa tariff ad-valorem sebesar
30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tariff, terdapat juga kebijakan proteksi
non-tarrif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non-tariff
berjalan sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras
cenderung stabil. Akan tetapi, kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan
lagi jika diterapkan sekarang. Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak
populer dan sudah sangat jarang dipakai oleh negara-negara di dunia. Hal ini
dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa negara-negara untuk terbuka
terhadap negara lain. Kalaupun negara Indonesia menerapkan tariff terhadap
impor beras, tariff itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi
lebih murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas
kualitas beras lokal, beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor.
Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras nasional
selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus
dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras
melalui impor sebanyak 1,57 juta ton.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor tersebut
paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$
452,2 juta. Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu
ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand,
pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa
negara lainnya.
Alasan dilakukannya impor diantaranya adalah :
Bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan
stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS
tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang
merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih
diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang
dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan
mata.
Data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini
kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate.
Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan
angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun
ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena
SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi
beras nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan
tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para
petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi
juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari
pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar
negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian
jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas
tanaman pangan.
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga
mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut
berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi
padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di
banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun 2011
diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta
ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi
karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan
produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu,
berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat
surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus
yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh
Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih
menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti
berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya
sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap
oleh bulog.
3. Kuota Impor
Kuota impor merupakan salah satu kebijaksanaan non tarif (non tariff
barriers), yaitu kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat
menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan
internasional. Kuota impor itu sendiri diarti-kan sebagai tindakan sepihak yang
dilakukan secara sepihak dengan jalan menentukan batas maksimum jumlah
barang yang boleh diimpor selama jangka waktu tertentu. Tujuan pokoknya
adalah untuk melindungi kepentingan industri dan konsumen dalam negeri.
Misalnya kebutuhan beras untuk konsumen dalam negeri sebesar 1 juta ton.
Sedangkan kemampuan produksi beras di dalam negeri adalah sebesar 500 ribu
ton, maka yang jumlah impor yang diizinkan adalah sebesar 500 ribu ton.
Sesuai ketentuan GATT/WTO, kuota ini hanya boleh digunakan
untuk : (1) melindungi hasil pertanian; (2) menjaga keseimbangan neraca
pembayaran; dan (3) melindungi kepentingan ekonomi nasional. Jenis-jenis
kuota impor dapat dibedakan atas :
a. Absolute/unilateral quota yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak
(tanpa negosiasi)
b. Negotiated/bilateral quota yaitu sistem kuota yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan atau menurut perjanjian
c. Tariff quota yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan
mengkombinasikan sistem tarif dengan kuota
d. Mixing quota yaitu pembatasan impor bahan baku untuk melindungi
kepentingan industri dalam negeri.
B. Kebijakan Untuk Melindungi Konsumen
1. Harga Eceran Tertinggi
Kebijaksanaan harga biasanya ditujukan untuk dua pihak yaitu
produsen dan konsumen. Salah satu tugas pemerintah di manapun dan
dalam sistem ekonomi apapun ialah mengusahakan agar rakyat (konsumen)
dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokonya. Ditinjau dari
tugas pemerintah yang demikian, maka dalam kebijaksanaan harga
pemerintah berkewajiban agar harga-harga kebutuhan pokok rakyat
terjangkau oleh daya beli mereka. Dalam hal kebutuhan beras misalnya,
pemerintah mempunyai pedoman harga tertinggi (ceiling price) yang
dianggap wajar, sehingga pemerintah mengusahakan agar harga tersebut
tidak terlampaui.
Usaha untuk menetapkan semacam harga maksimum (ceiling price)
ini dilakukan pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan
kebijkasanaan pengadaan, dengan pemberian subsidi harga atau dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang pada prinsipnya bertujuan sama.
Perlindungan harga konsumen yang berupa subsidi ini tidak hanya terjadi
pada beras, tetapi dapat ditemukan juga pada komoditi-komoditi lain seperti
tepung, gandum, atau pupuk.
2. Subsidi Produk Pertanian (Beras)
Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan
utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah
dengan cangkupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu.
Pemberian insentif tidak saja didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, tetapi
juga karena desakan dan dorongan politik dan sosial. Bisa terjadi,
pemberian subsidi dan dukungan harga bagi petani lebih didominasi oleh
pertimbangan politik dan sosial. Sebagai contoh, berbagai penelitian
terdahulu telah menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani
sawah telah berlebihan sehingga pemberian subsidi harga pupuk yang terus
meningkat merupakan kebijakan yang tidak tepat dipandang dari
pertimbangan ekonomi. Namun demikian, pemberian subsidi pupuk yang
terus meningkat mendapatkan dukungan politik dari parlemen maupun
masyarakat luas karena dipandang bijaksana menolong petani yang sebagian
besar masih hidup dalam kemiskinan.
Ada dua argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah
memberikan bantuan kepada petani:
• Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani yang sebagian
besar merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kapasitas
yang memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian
sementara eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat
diperlukan
• Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal akibat
ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka
menjadi masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga
menjaga eksistensi sektor pertanian ke depan.
Beberapa fakta yang mendukung argumentasi ketidakmampuan petani
mengembangkan kapasitas produksi pertaniannnya antara lain :
Walaupun terjadi penurunan insiden kemiskinan dari 19,14% pada tahun
2000 menjadi 16.60% pada tahun 2004, namun jumlah penduduk miskin
secara absolute sangat besar yaitu sekitar 36 juta dan diperkirakan sekitar
20 juta diantarnya berada di wilayah pedesaan. Dari sekitar 20 juta
penduduk miskin di pedesaan sekitar 55 persen bergantung pada sektor
pertanian.
Walaupun surplus usahatani cukup prospekstif, sebagai contoh surplus
usahatani padi tanpa memperhitungkan lahan sebesar 61%, namun
pendapatan per kapita petani per tahun berkisar Rp 2.304.909 - Rp
2.684.865 (Rp 6.403 - Rp 7.458 per hari per kapita) atau dibawah $ 1 per
hari masih jauh dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria World
Bank $ 2 per hari per kapita.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek
Pengembangannya. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno,
et.ai., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei
2004. Jakarta.
Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan
Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.al.,
2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Sudaryanto, T., N. Syafa'at, K. Kariyasa, Syahyuti, Azhari, dan M. Maulana.
2005. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian Terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama Ini dan
Perbaikannya Ke Depan. PSEKP, Badan Litbang Pertanian, Bogor.