kesultanan mataram

26
Kesultanan Mataram Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (Dialihkan dari Mataram II ) Belum Diperiksa Nagari Mataram 1588 1681 Ibu kota Kota Gede (1588-1613) Kerta (1613- 1647) Plered (1647- 1681) Bahasa Jawa Agama mayoritas Islam Pemerintahan Monarki Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan - 1588-1601; t. 1584 Panembahan Senopati - 1677-1681 Susuhunan Ing Ngalogo (Paku Buwono I); Hamangku Rat II (pengasingan) Sejarah - wafat Sultan Pajang (?) 1588 - Pemberontaka n Trunajaya/Penak lukan Susuhanan Ing Ngalogo 28 November 1681

Upload: ambiyo-budiman

Post on 25-Jun-2015

396 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kesultanan Mataram

Kesultanan MataramDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas(Dialihkan dari Mataram II)

Belum Diperiksa

Nagari Mataram

← 1588 – 1681 →

Ibu kota

Kota Gede (1588-1613)Kerta (1613-1647)Plered (1647-1681)

Bahasa JawaAgama mayoritas IslamPemerintahan MonarkiPanembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan

 - 1588-1601; t. 1584Panembahan Senopati

 - 1677-1681

Susuhunan Ing Ngalogo (Paku Buwono I);Hamangku Rat II (pengasingan)

Sejarah - wafat Sultan Pajang (?)

1588

 - Pemberontakan Trunajaya/Penaklukan Susuhanan Ing Ngalogo

28 November 1681

Page 2: Kesultanan Mataram

Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Di kemudian hari enklave-enklave ini dihapus.

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.

Daftar isi

[sembunyikan] 1 Masa awal 2 Sultan Agung 3 Terpecahnya Mataram 4 Peristiwa Penting 5 Lihat pula

6 Pranala luar

[sunting] Masa awal

Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.

[sunting] Sultan Agung

Page 3: Kesultanan Mataram

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

[sunting] Terpecahnya Mataram

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

[sunting] Peristiwa Penting

1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.

1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.

Page 4: Kesultanan Mataram

1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).

1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.

1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.

1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).

1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"

1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I. 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,

yang dimanfaatkan oleh VOC. 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I

mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura. 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret. 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi

Susuhunan Amangkurat III. 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku

Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.

1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.

1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).

1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.

1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.

1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.

Page 5: Kesultanan Mataram

1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.

1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.

1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada

1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.

1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.

1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".

1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat. 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat. 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal. 1799 - Voc dibubarkan 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai

penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".

1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

Page 6: Kesultanan Mataram

KERAJAAN MATARAM KUNO

Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M.

Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.

Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.

Kerajaan Mataram di Jawa Tengah

Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.

Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai

Page 7: Kesultanan Mataram

Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).

Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.

Kerajaan Mataram di Jawa Timur

Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.

LIHAT JUGA

Sriwijaya, KerajaanKediri, Kerajaan

Page 8: Kesultanan Mataram

Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha.

Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan.

TAHUKAH KAMU Bencana alam karena letusan G. Merapi yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai paralaya atau kehancuran dunia.

Atas : Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah, merupakan candi peninggalan Kerjaan Mataram Kuno.

Sumber : Syukur, Abdul, Ensiklopedi Umum untuk Pelajar , Jilid 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Halaman 161.

Page 9: Kesultanan Mataram

Sejarah Ringkas Kerajaan Mataram Islam

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golomngan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam.

Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah

Page 10: Kesultanan Mataram

berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.

Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601-1613. Maas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak.

Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.

Page 11: Kesultanan Mataram

Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.

Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.

Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.

Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.

Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.

Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada

Page 12: Kesultanan Mataram

masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).

Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).

Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749).

Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.

Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III.

Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.

Page 13: Kesultanan Mataram

Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu bertahan melewati masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, walaupun dalam wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini menjadi empat pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Sebelumnya memang ada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Tengah) yang lain yang mendahului, seperti Demak dan Pajang. Namun sejak runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap eksis dan memiliki banyak kisah dan mitos yang selalu menyertai perkembangannya. Paling tidak bila kakek-nenek kita menceritakan, betapa Mataram berkembang dengan diringi oleh mitos perebutan kekuasaan yang panjang.

Hadirnya sebuah mitos, yang mengiringi hadir dan berkembangnya sebuah kerajaan adalah wajar. Justru aneh kalau tidak ada mitos kerajaan itu. Sebab, mitos adalah penjaga kepercayaan rakyat, sehingga dengan mitos itu, rakyat tetap percaya bahwa raja adalah utusan dan anak dewa yang berhak memimpinnya hingga akhir hayat. Walaupun mestinya mitos tersebut harusnya makin hilang, seiring dengan tumbuh kembangnya

Page 14: Kesultanan Mataram

ajaran Islam di kerajaan Mataram Islam.Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi1. Kisahnya berlangsung di pinggiran Kali Opak, di Yogyakarta sekarang. Suatu hari, adalah seorang petani bernama Ki Ageng Giring. Sementara ia mencangkul di ladang, tiba-tiba ada kelapa muda jatuh lalu terdengar suara; “barangsiapa minum air kelapa muda ini, ia dan keturunannya bakal berkuasa di Tanah Jawa”. Konon “wahyu keprabon” yang ada dalam kelapa muda itu adalah sabda wali terkenal di Jawa, Sunan Kalijaga. Ki Ageng Giring lalu membawa pulang cengkir (kelapa muda) yang masih hijau segar itu. Namun ia tak bisa segera meminumnya, karena pada saat itu ia sedang tirakat berpuasa, hingga kemudian ia pergi membersihkan diri di sungai. Tak lama kemudian datang sahabatnya, Ki Gede Pemanahan bertamu. Melihat kelapa muda tergeletak, tamu yang haus itupun segera meminumnya. Pada tetes terakhir Ki Ageng Giring muncul. Ia melihat air kelapa muda itu telah terminum oleh orang lain. Ia sangat menyesal dan kecewa. Tapi apa daya, ia hanya bisa meminta, agar “sewaktu-waktu kelak, sesudah keturunan Gede Pemanahan yang ketujuh, katurunannyalah yang akan menggantikan menguasai Jawa”.Anak lelaki Pemanahan, Sutowijoyo, ngenger (mengabdi) ke Pajang. Ia berhasil menumpas pemberontakan Adipati Jipang Panolan, Ario Penangsang, dengan tombak Kiai Plered bekal dari bapaknya. Dan Sutowijoyo diberi hadiah oleh Sultan Pajang, yaitu Sultan Hadiwijoyo, sebuah wilayah di Mataram. Saat itu Mataram memang wilayah dari Kasultanan Pajang, dan Sutowijoyo inilah yang memulai membangun dinasti Mataram hingga kini.Sutowijoyo yang bergelar Panembahan Senopati berkuasa sejak 1586 hingga 1601 dan kemudian digantikan oleh putranya Raden Mas Jolang, yang menggunakan gelar Susuhunan Hanyokrowati hingga tahun 1613. Dan pasca kekuasaan Hanyokrowati inilah Mataram mencapai puncak keemasannya ketika dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raden Mas Rangsang) hingga tahun 1646.Pada awal masa pemerintahannya saja, Mataram sudah menguasai sebagian besar wilayah Jawa Tengah sebagai hasil peninggalan penaklukan yang dilakukan oleh dua pendahulunya. Untuk itu Sang Sultan memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan wilayah timur yang terdiri dari penguasa-penguasa kecil, para bupati, yang lebih condong mengabdi pada Surabaya. 1614 ekspedisi Mataram dilakukan dengan menguasai Kediri, hingga ekspedisi itu dihentikan 1625, Mataram telah berhasil menguasai kerajaan terbesar di Jawa Timur, Surabaya. Sementara ekspansi ke barat, Mataran tak memperoleh kesulitan kecuali hingga akhir hayatnya Banten belum dikuasai. Kekuasaan Mataram di seberang lautan juga meluas, Kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat dan Kerajaan Banjarmasin di Kalimantan selatan secara tidak langsung mengakui suzereinitas Mataram. Mataram juga menjalin hubungan dengan Gowa-Tallo di Makassar, hingga Jambi dan Palembang di Sumatera. Meskipun Mataram gagal menaklukkan VOC di Batavia, nampaknya inilah wilayah kekuasaan terluas yang pernah dicapai Mataram.Begitulah, sepeninggal Sultan Agung, kerajaan Mataram yang waktu itu berada di Kota Gede, Yogyakarta, hampir tanpa penguasa yang adil dan bijaksana lagi. Kekuasaan VOC yang makin kuat kedudukannya di Jawa dan Nusantara ini membuat tarik-menarik kekua-saan atas tahta, selalu menjadi cerita yang mengiringi kisah selanjutnya.Sunan Hamangkurat I yaitu raja sesudah Sultan Agung terkenal kejam dan sering berubah-ubah pendirian. Sunan Hamangkurat Agung ini berkuasa hingga tahun 1676. Di

Page 15: Kesultanan Mataram

awal kekuasaannya, ia harus menghadapi pembe-rontakan saudara mudanya, Pangeran Puger dan memindahkan kerajaan dari Plered ke wilayah sekitar Pajang, bernama Alas Wonokerto dan selanjutnya dinamakan Kartasura Hadiningrat. Masa kekuasaan Hamangkurat II, ia perombakan pembantunya yang pro-Kompeni dan Pangeran Puger tersingkir.Tahun 1704 Pangeran Puger meninggalkan kraton dan pergi ke Semarang. Bupati Semarang, Ki Ronggo Yudowongso, menobatkannya sebagai Paku Buwono I bersama Kompeni, dan mengakibatkan perang perebutan mahkota Mataram, atau yang terkenal dengan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1709) yang berkepanjangan. Paku Buwono I bersama Kompeni berhasil menguasai Kartasura dan mengasingkan Hamangkurat III ke Ceilon, Sri Langka. Namun, meski kemenangan ini diperoleh, semenjak itu Kompeni hampir mencengkeram seluruh kekuasaan dan kebijakan Mataram.Kemenangan Paku Buwono I ini diperkuat dengan legitimasi mitos “wahyu keprabon”. Sebagaimana yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa pada saat detik-detik terakhir wafatnya Hamangkurat II, Pangeran Puger yang tengah menunggui kakandanya itu melihat adanya cahaya yang keluar dari ujung kemaluan kakandanya, yang langsung dihisap dan ditelannya. Cahaya atau air mani itu diasumsikan sebagai “wahyu keprabon”, yang dulu diriwayatkan berasal dari air kelapa muda yang di minum oleh Gede Pemanahan.Paku Buwono I wafat tanggal 22 Februari 1719, dan puteranya yang keempat dinobatkan sebagai Prabu Hamangkurat IV. Pada awal kekuasannya, ia harus berhadapan dengan pemberontakan saudaranya, Pangeran Diponegoro yang bergelar Panembahan Herucokro di Panoman, Sukowati. Perang ini berlangsung cukup lama hingga dikenal dengan Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). Perlahan-lahan Hamangkurat IV yang dibantu Kompeni berhasil mengalahkan pasukan Herucokro, hingga Panembahan Herucokro dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Perjanjian Giyanti 1755Kerajaan Mataram yang selalu diwarnai perebutan kekuasaan yang memakan korban ribuan nyawa dengan melibatkan Kompeni, mencapai puncaknya ketika terjadi pemberontakan masyarakat Tionghoa di Batavia. Pemberontakan yang dikenal dengan Geger Cino ini, merembet ke Mataram Kartasura dan memaksa Susuhunan Paku Buwono II memindahkan kerajaannya ke Solo. Di daerah tersebut segera dibangun kraton baru, yang dinamainya Surakarta Hadiningrat. Pembangunan kraton diprakarsai oleh Tumenggung Honggowongso dan Pangeran Mangkubumi, dan kepindahan ibukota kerajaan berlangsung pada hari Rabu pahing, 17 Suro Tahun Je 1670 atau tahun 1745 Masehi.Penumpasan pemberontak Tionghoa yang dilakukan oleh pasukan Mataram dan dibantu Kompeni Belanda memakan biaya yang tidak sedikit. Belanda pun meminta imbalan yang banyak atas jasanya menumpas pemberontakan Tionghoa. Sementara, sisa pemberontak lain masih banyak, dan belum dibereskan semua. Pangeran Mangkubumi yang berhasil membereskan sisa-sisa pemberontakan justru tidak dihargai oleh Paku Buwono II yang berubah pendirian. Dan dimulailah perlawanan Mangkubumi sendiri terhadap Paku Buwono II. Perang ini berlangsung berkepanjangan dan memakan korban tidak sedikit. Pasukan Paku Buwono II terus mengalami kekalahan. Kekalahan pasukan kerajaan yang berlarut-larut ini menyebabkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam

Page 16: Kesultanan Mataram

pada diri Susuhunan Paku Buwono II. Hal ini menyebabkan sang raja jatuh sakit dan tak kunjung membaik, justru semakin lama semakin memburuk keseha-tannya. Atas bantuan Belanda, 15 Desember 1749 Adipati Anom dinobatkan sebagai Susuhunan Paku Buwono III dan diikuti wafatnya Paku Buwono II lima hari kemudian.Pengikut Pangeran Mangkubumi yang mendengar hendak ditandatanganinya perjanjian kerajaan dengan Kompeni segera mengusulkan untuk mendahului penobatan Mangkubumi sebagai Susuhunan. Meski sempat ragu, Pangeran Mangkubumi yang saat itu ada di wilayah Kabanaran menyetujui penobatannya sebagai Susuhunan dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kan-jeng Susuhunan Paku Buwono Mataram Senopati ing Alogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Kabanaran.Penobatan ini memberikan pukulan yang cukup telak pada kewibawaan kerajaan di Surakarta Hadiningrat. Van Hohendorff yang menerima kabar tersebut menyatakan ketidaksahan penobatan yang dilakukan pemberontak di Kabanaran itu. Namun, kerajaan dan Kompeni pernah menawarkan damai dengan Pangeran Mangkubumi, tetapi ditolaknya. Pangeran Mangkubumi yang makin kuat dengan gelarnya Sunan Kabanaran itu justru memperluas wilayahnya hingga Jawa Barat dan Jawa Timur. Bahkan pada saat pengepungannya di Benteng Kompeni di Ungaran, ia berhasil menewaskan Gubernur van Imhoff yang kebetulan sedang berada disana. Pertempuran di benteng Ungaran dan tewasnya van Imhoff membuat pimpinan Kompeni memutuskan segera mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran mengejat Sunan Kabanaran. Sebagai pimpinan ekspedisi adalah Mayor de Clerq yang dibantu 1.000 orang pasukan kerajaan yang dipimpin Tumenggung Wiroguna, Dipoyudo dan Honggowongso.Perjuangan Sunan Kabanaran telah mencapai puncaknya di penghujung 1752, dengan takluknya Surabaya dan Madura maka hampir seluruh pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur berada dalam kekuasaannya. Pusat Susuhunan Paku Buwono III di Kerajaan Surakarta Hadiningrat makin melemah, bahkan dikisahkan hanya tinggal saiyubing payung (selebar daun payung). Kompeni pun juga makin lemah setelah mendapat pelajaran pahit dengan tewasnya van Imhoff dan de Clerq.Sementara itu di dalam tubuh Kompeni, Gubernur VOC untuk Jawa Utara, Van Hohendorff diganti oleh Nicolaas Hartingh yang lebih mahir berbahasa Jawa dan mengerti budaya Jawa. Hartingh yang mengetahui perpecahan antara Sunan Kabanaran dan Pangeran Mangkunegoro segera mengambil inisiatif berunding.Namun, perundingan dengan Sunan Kabanaran yang direncanakan di Dusun Padangan pada 22 April 1754 berhasil digagalkan oleh Pangeran Mangkunegoro. Bahkan diceritakan bahwa Pangeran Mangkunegoro terus menerus melakukan tekanan, ia menyerang Pasukan Kabanaran di Dusun Sidokarso.Pada tanggal 10 September 1754 Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi atau Sunan Kabanaran. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani. Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, namun perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan

Page 17: Kesultanan Mataram

menjadi lancar.Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pesisir Utara Jawa yang telah diserahkan pada Kompeni tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC, Mossel, atas persetujuannya tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi. Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Maret 1755 ditandatangani perjanjian di Giyanti.

Kekuasaan Mataram Islam KiniSepanjang kekuasaan Kolonial Belanda di Nusantara, Kerajaan Mataram selalu mengalami pasang-surut. Terpecahnya kerajaan Mataram menjadi dua tahun 1755, dan terbentuknya Mangkunegaran 1757 dan Paku-alaman 1812, paling tidak menunjukkan bahwa kekuasaan Mataram tidak utuh lagi akibat perebutan kekuasaan yang berke-panjangan. Hampir setiap perebutan kekuasaan selalu melibatkan pemerintah Kolonial Belanda maupun Inggris.Pasca kemerdekaan, sisa-sisa kekuasaan kerajaan Mataram ini belumlah sepenuhnya pudar. Hampir sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, di Mataram (Yogya dan Solo), kegiatan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat masih semarak. Misalnya kirab pusaka malam 1 Suro, yaitu acara mengelilingkan pusaka-pusaka kerajaan diiringi dengan diaraknya pula Kiai Slamet (nama kerbau bule) di Solo misalnya, sampai kini masih diyakini sebagai sumber keselamatan manusia. Sebaran apem (nama makanan khas) yang diperebutkan pada bulan tertentu, diyakini mampu memberikan ampunan kepada setiap pemakannya, sehingga pada acara grebeg mulud atau saparan, makanan tersebut ramai diperebutkan.Kekuatan Mataram yang dibangun antara lain dengan mitos-mitos tersebut, memang masih nampak bahkan hingga sekarang. Mitos wahyu keprabon misalnya, dan mitos-mitos lainnya, sedikit banyak masih dipercaya rakyat. Meskipun dalam ajaran Islam mitos-mitos tersebut harusnya sudah dihapus, namun dalam kenyataannya akibat pengaruh kebudayaan Jawa sebelumnya, kepercayaan terhadap mitos masih kuat.Kini, di era kemerdekaan, ketika kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara sudah dilebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebudayaan yang antara lain terdiri dari mitos setempat masih tetap ada. Dan mungkin kini, kekuatan kerajaan-kerajaan itu hanya tinggal sebagai penjada adat, sekaligus penjaga mitos kepercayaan setempat.Mataram sebagai bekas kerajaan Islam besar di Jawa juga tak lepas dari peran itu. Yogya dan Solo yang dahulu pernah berjaya hanya me-ninggalkan bekas-bekas yang sulit dilupakan. Paling tidak kita hanya akan bercerita, melihat kenyataan bahwa Kerajaan Mataram pernah menjadi kekuatan besar di Jawa.*

Page 18: Kesultanan Mataram