ketokohan sawerigading di tana luwu (studi pustaka …
TRANSCRIPT
KETOKOHAN SAWERIGADING DI TANA LUWU (STUDI PUSTAKA
PRINSIP HIDUP SAWERIGADING DALAM PERUBAHAN SOSIAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
SRI WAHYUNI
105381120016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JANUARI, 2021
iii
iv
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Alamat : Jalan Sultan Alauddin No. 259 Makassar Fax (0411) 860 132
Makassar 90221 www.fkip-unismuh-info
SURAT PERNYATAAN
Mahasiswa yang bersangkutan:
Nama : Sri Wahyuni
Stambuk : 105381120016
Jurusan : Pendidikan Sosiologi
DenganJudul : Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu (Studi Pustaka
Prinsip Hidup Sawerigading Dalam Perubahan Sosial)
Dengan menyatakan bahwa Skripsi yang saya ajukan di depan Tim
Penguji adalah hasil karya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau
dibuatkan oleh siapapun. Demikian pernyataan ini saya buat da saya bersedia
menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Februari 2021
Yang Membuat Pernyataan
Sri Wahyuni
v
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Alamat : Jalan Sultan Alauddin No. 259 Makassar Fax (0411) 860 132
Makassar 90221 www.fkip-unismuh-info
SURAT PERJANJIAN
Mahasiswa yang bersangkutan:
Nama : Sri Wahyuni
Stambuk : 105381120016
Jurusan : Pendidikan Sosiologi
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai skripsi ini, saya akan
menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun)
2. Dalam penyusunan skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan
pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam menyusun skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2 dan 3 saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Februari 2021
Yang Membuat Perjanjian
Sri Wahyuni
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Sabar bukan tentang berapa lama kau bisa menunggu. Melainkan bagaimana
perilakumu saat menunggu
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
Kedua orang tuaku, keluargaku, dan sahabat yang telah memberi ku semangat,
motivasi serta doa dan keikhlasan nya dalam mendukung penulisan
mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
vii
ABSTRAK
Sri Wahyuni. 2021. Ketokohan Sawerigading Di Tana Luwu (Studi Pustaka
Prinsip Hidup Sawerigading Dalam perubahan Sosial) Skripsi. Program Studi
Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar. Di bimbing oleh Kaharruddin sebagai pembimbing I
dan Indah Ainun Mutiara sebagai pembimbing II.
Skripsi ini bertujuan: 1).Untuk mengetahui Ketokohan Sawerigading di
Tana Luwu. 2).Untuk mengetahui bagaimana Prinsip Hidup Sawerigading dalam
Perubahan Sosial Masyarakat di Tana Luwu. Metode yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kajian
pustaka dengan metode pengumpulan data melalui data primer dengan
pengumpulan dari buku, jurnal, skripsi dan lain-lain. Dengan menggunakan teori
warisan budaya dan teori perubahan sosial.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa Sawerigading adalah
tokoh dalam masyarakat dan sebagai perekat atau penghubung suku bangsa yang
ada di Sulawesi Selatan. Sawerigading tokoh dari peristiwa-peristiwa kultural
yang meliputi berbagai kejadian, dan memandangnya sebagai cikal bakal
pemimpin bagi kaumnya, Adapun empat sifat-sifat Sawerigading, yang pertama
sikap Getteng atau teguh dalam pendiriannya, yang kedua sifat Warani atau
berani, yang ketiga
Sawerigading juga memiliki prinsip hidup dalam perubahan sosial dalam
masyarakat, yaitu membangun nilai-nilai seperti nilai Religius, nilai kesatuan,
nilai etis, nilai keperkasaan, nilai estetis, dan nilai historis. Selain memiliki sifat
dan nilai-nilai utama dalam diri Sawerigading, Sawerigading juga memiliki nilai
kebudayaan, yaitu arif dan bijaksana, mengutamakan negeri dan nama baik,
mengutamakan keselamatan rakyat, Dermawan, nilai solidaritas, dan kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Kata Kunci: Ketokohan Sawerigading dan Prinsip Hidup Sawerigading
viii
ABSTRAC
Sri Wahyuni. 2021. Characteristics of Sawerigading in Tana Luwu
(Literature Study of the Principles of Life of Sawerigading in Social Change)
Thesis. Sociology Education Study Program, Teacher Training and Education
Faculty, Muhammadiyah University of Makassar. Guided by Kaharruddin as
mentor I and Indah Ainun Mutiara as mentor II.
This thesis aims: 1) To determine the character of Sawerigading in Tana
Luwu. 2) To find out how the Sawerigading Life Principles in Community Social
Change in Tana Luwu. The method used in this research is descriptive qualitative
research with a literature review approach with data collection methods through
primary data by collecting from books, journals, theses and others. By using the
theory of cultural heritage and social change theory.
Based on the results of the study, it shows that Sawerigading is a figure in
society and as a glue or a link between ethnic groups in South Sulawesi.
Sawerigading is a character from cultural events that includes various incidents,
and sees him as the forerunner of a leader for his people.
Sawerigading also has the principle of living in social change in society,
namely building values such as religious values, unity values, ethical values,
strength values, aesthetic values, and historical values. In addition to having the
main characteristics and values in Sawerigading, Sawerigading also has cultural
values, namely wisdom and wisdom, prioritizing the country and good name,
prioritizing the safety of the people, generosity, the value of solidarity, and just
and civilized humanity.
Keywords: Sawerigading Characteristics and Sawerigading Life Principles
ix
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره الره بسم الله
Alhamdulillah Puji Syukur Kehadiran Allah SWT yang senantiasa
memberi berbagai karunia dan nikmat yang tak terhingga kepada seluruh
makhluk-Nya terutama kita selaku hamba-Nya. Salam dan salawat kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallalahu Alaihi Wasalam yang
merupakan panutan kita sampai akhir Zaman. Dengan keyakinan itu penulis dapat
menyelesaikan kewajiban akan demi dalam Skripsi penelitian. Meskipun upaya-
upaya untuk tersusunnya Skripsi penelitian baik telah dilakukan secara maksimal
akan tetapi sebagaimana manusia biasa tentu ada kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam proposal ini. Oleh karena itu, dengan terbuka saya mengaharapkan
adanya masukan-masukan yang dapat lebih menyempurnakan Skripsi penelitian
ini. Keberhasilan penyelesaian Skripsi penelitian ini ditentukan oleh berbagai
faktor. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada:
Orangtua Ayahanda Abidin dan Ibunda Hj Rosiana yang tidak hentinya
memotivasi dan mendoakan anaknya , Terima kasih kepada saudara saya yang
tercinta terkhusus yang telah memberikan Pendidikan kedisiplinan, doa, dan
nasihat tiada hentinya memotivasi dalam pembuatan Skripsi ini sampai selesai,
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar,
Erwin Akib, M. Pd., Ph.D. dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar,
Drs. H. Nurdin, M. Pd ketua Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas
Muhammadiyah Makassar, Kaharuddin,S.Pd., M.Pd.,Ph.D. dosen pembimbing 1
dan Indah Ainun Mutiara, S, Pd., M. Pd dosen pembimbing 2 yang telah
x
memberikan kritik dan saran yang senantiasa menjadi arah dan dorongan dalam
penyelesaian Skripsi penelitian ini, segenap Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
atas bekal ilmu yang telah diberikan kepada penulis sejak pertama menjadi
mahasiswa.
Akhir kata saya berharap agar Skripsi ini dapat menjadi masukan yang
bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semoga segala
usaha penulis bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin ya Rabbal alamin
Makassar, 20 Januari 2021
Sri Wahyuni
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN .................................................................................. v
MOTTO DAN PESEMBAHAN ................................................................... vi
ABSTRAK BAHASA INDONESIA ............................................................. vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS .................................................................. viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
E. Definisi Operasional............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 8
A. Tinjauan Konsep ................................................................................ 8
1. Konsep Ketokohan ......................................................................... 8
2. Karakteristik Ketokohan ................................................................ 8
3. Sawerigading .................................................................................. 12
B. Tinjauan Teori .................................................................................... 13
1. Teori Warisan Budaya “Davidson” ................................................ 13
xii
2. Teori Perubahan Sosial “Robert H. Lauer” .................................... 14
C. Kerangka Pikir .................................................................................. 14
D. Penelitian Relevan .............................................................................. 16
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 18
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian........................................................... 18
B. Waktu dan Tempat ............................................................................... 19
C. Fokus Penelitian ................................................................................... 19
D. Jenis Dan Sumber Data ........................................................................ 19
E. Instrumen Penelitian............................................................................. 20
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 20
G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 20
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN OBJEK PENELITIAN .. 22
A. Sejarah Tana Luwu .............................................................................. 22
B. Kondisi Umum Tana Luwu .................................................................. 24
C. Keadaan Geografis ............................................................................... 24
D. Kepadatan Penduduk ............................................................................ 25
E. Keadaan Sosial Budaya ....................................................................... 26
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 29
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 29
1. Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu ...................................... 29
2. Prinsip Hidup Sawerigading dalam perubahan Sosial Masyarakat 32
B. Pembahasan .......................................................................................... 40
1. Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu ...................................... 40
2. Prinsip Hidup Sawerigading dalam Perubahan Sosial Masyarakat 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 59
A. Kesimpulan .......................................................................................... 59
xiii
B. Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki banyak tokoh pejuang yang memiliki sikap,
perilaku, dan menjadi panutan bagi bangsanya atau masyarakatnya. Ketokohan
yaitu yang memiliki daya tarik, kekuasaan, sehingga menjadi pahlawan atau
kerajaan di masa lalu. Seorang pejuang atau tokoh pahlawan yang memiliki kisah
hidup yang dapat menimbulkan Mitos, Sejarah, dan Legenda. Bagi masyarakat
yang ingin mengetahui kisah tokoh pahlawan.
Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang
mempertahankan keseimbangan masyarakat misalnya perubahan dalam unsur
geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Hal ini dapat mengakibatkan suatu
pergeseran dalam pola hubungan diantara individu dengan individu atau
kelompok dengan kelompok dalam masyarakat atau unsur dalam suatu sistem
(Putra, 2018: 48). Masa yang telah menjadi sejarah dan memiliki dimensi kultural
yang telah menjadi pemahaman masyarakat pada masa Sawerigading.
Sawerigading digambarkan sebagai sosok pahlawan dan memiliki sifat kejantanan
dan keperkasaan yang menjadi ciri khasnya.
Kisah Sawerigading merupakan sumber sejarah lokal yang ada di daerah
Sulawesi, dan di dalam kisah Sawerigading terdapat nilai-nilai positif yang sangat
relevan di tengah kehidupan masyarakat diantaranya nilai kebersamaan, Nilai
Etika, Nilai Ekologis. Saat ini banyak perilaku remaja yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai positif yang terdapat dalam kisah Sawerigading. Seperti membangkang
2
kepada orang tua dan guru, tidak menjaga dan merusak lingkungan dan lain
sebagainya. Maka dari itu Remaja perlu dikenali nilai-nilai positif yang terdapat
dalam kisah Sawerigading sehingga dapat dijadikan pedoman dalam berperilaku
baik dalam kehidupan seharihari (Yusuf, 2018).
Sawerigading adalah nama seorang putra raja Luwu dari Kerajaan Luwu
Purba, Sulawesi selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal
dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti
di atas bambu betung. Jadi Nama Sawerigading berarti keturunan dari orang yang
lahir di atas bambu betung Sawerigading lahir pada tahun 564 M.
Sawerigading terlahir dari seorang Ibu Maddaratakku bernama We Datu
Senggeng dari Kerajaan Tompo Tikka dan Nama bapaknya ialah Batara Lattu
yang merupakan Pajung/Datu yang ke II di Kerajaan Luwu. Sawerigading
dilahirkan dalam keadaan kembar. Saudara kembarnya adalah seorang putri yang
diberi nama Etenri Abeng (We Tenri Abeng). Sawerigading termasuk pemuda
yang gagah perkasa dan tangkas, bentuk hidung dan sinar matanya yang menarik,
bentuk gigi dan bibirnya yang kemerah-merahan yang sangat mempesona.
Seluruh pasangan anggota badannya sangat serasi (Kern, 1989:108). Dalam kitab
Galigo bahwa pengembaraan Sawerigading kerap menggunakan perahu
(Wakkang).
Sawerigading merupakan sosok manusia yang mempunyai watak yang
berdimensi ganda yakni cinta dan dendam, benci dan sayang, tegar dan cengeng,
lembut dan kasar, halus dan keras sejauh mana sifat pribadi sawerigading,
tergantung dari rangsangan-rangsangan yang diterimanya dari luar ia tidak
3
menerima kompromi hanya ada dua pilihan hitam atau putih. Karena itu,
gambaran tentang sawerigading tidaklah sesempurna dengan tokoh-tokoh
pangeran yang seperti kita dengar sebelumnya. Kadang-kadang ia sangatlah
cengeng sampai menangis terisak-isak lalu ia ditegur oleh pengawalnya agar ia
berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar. Hal seperti ini
dapat dilihat ketika cinta sawerigading kepada adik kembarnya we tenriabeng
ditolak. Sawerigading juga memiliki sifat yang mudah tersinggung, emosional,
dan sering mengamuk sambil membabi buta bila perasaannya kurang baik,
sehingga ia tidak mempertimbangkan resiko nya. Namun sebagai seorang
pangeran ia juga memiliki sifat kejantanan dan keperkasaan. Sebagai putra
bangsawan sawerigading seorang tokoh yang besar sebagai salah satu tanda
kebesaran sawerigading ia selalu menggunakan pakaian kebesaran raja yang
semua terbuat dari emas, berupa payung kebesaran yang terbuat dari emas, cincin
emas yang semuanya turun dari langit yang dibawah oleh leluhurnya, di
pinggangnya selalu melekat keris emas sebagai symbol keberanian dan kejan
tangannya. Ada 4 sifat yang melekat pada diri Sawerigading yakni Getteng
(Teguh pendirian), Warani (Berani), Lempuq (Jujur), Macca (Pintar)
(Muslaini, 2019).
Keteguhan Sawerigading dalam mempertahankan Prinsipnya sangat lah
kuat ini dilihat ketika berbagai cobaan dan godaan yang datang tidak
menggetarkan semangatnya untuk tetap menggulung layar perahunya sebelum
sampai di tujuannya. Godaan-godaan tersebut bukannya menyulut kan hati
Sawerigading untuk pergi ke cina malahan cobaan-cobaan tersebutlah yang
4
semakin membakar semangatnya untuk pergi ke cina. Maka dari itu Sawerigading
juga dipanggil dengan sebutan La mampu ara Elo (Orang yang tak terbantahkan).
Untuk mempertahankan sifat Getteng (Teguh pendirian) harus dibarengi sifat
Keberanian nya juga. Keberanian Sawerigading tertantang ketika Sewerigading
dihadapkan oleh dua ancaman yakni Ancaman dalam dirinya sendiri dan kekuatan
yang berasal dari luar diri manusia ketika iya dihadapkan bujukan, rayuan dan
sesuatu yang mempesona yang dapat melonggarkan dan melepaskan prinsip
hidupnya. Disini membutuhkan keberanian moral yang luar biasa ketika
mempertahankan yang mana dianggap benar dan dianggapnya salah (Kern, R.A
1993).
Keteguhan dan keberanian Sawerigading itu bukan saja terlihat dalam
beberapa peristiwa kepada musuh-musuh sawerigading melainkan dalam hal
mengungkapkan sejarah leluhurnya, perasaan hatinya, kebahagiaan nya, maupun
perasaan lain yang seharusnya di pendam dalam hati. Oleh karena itu sifat teguh
dan keberaniannya hanya dapat diiringi dengan kejujuran dalam bersikap,
berbicara, maupun dalam bertindak. Kejujuran yang dimaksudkan bukan saja jujur
sesama manusia tetapi juga kepada diri sendiri dan kepada Dewa. Kejujuran
Sawerigading terlihat saat Sawerigading berterus terang dan terbuka kepada
pengawal-pengawalnya dan musuh-musuhnya. Kejujuran yang paling dramatis
dalam kisah Sawerigading dalam epos la galigo yakni ketika sawerigading tidak
berdaya melawan perasaan cintanya kepada saudara kembarnya yakni we
Tenriabeng. Sawerigading harus mengungkapkannya walaupun ia mengetahui
risikonya sangatlah berat (Ahmad, 2009).
5
Penokohan yang diperankan oleh Sawerigading menggambarkan
perwatakan dasar manusia berdasarkan proses penciptanya. Perwatakan dasar
manusia adalah segenap sifat alamiah manusia yang keturunan dari sifat-sifat
langit dan bumi yang menjadi sumber asal penciptaan manusia. Bagaimanapun
adanya keragaman kisah tentang proses penciptaan jagad raya dan manusia yang
dituturkan atau dibahasakan oleh Bangsa-Bangsa di dunia, ada benang merah
yang secara sinopsis dapat ditarik sebagai sebuah manolog tentang kehadiran
manusia di bumi. Uraian tersebut dalam bentuk benang merah itu berwujud telaah
atau tafsir (Pongsibanne, 2010:267).
Adapun peninggalan yang ditinggalkan Sawerigading yang masih dilihat
sampai sekarang, yaitu Museum La Galigo bertempat Benteng Ujung Pandang
(Fort Rotterdam), dan Istana Kedatuan Luwu yang sekarang menjadi museum
Kota Palopo.
Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut tentang ‘Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu (Studi Pustaka Prinsip
Hidup Sawerigading Dalam Perubahan Sosial)”. Dengan harapan agar masyarakat
mengetahui sejarah Sawerigading di Tanah Luwu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas kajian yang dibahas oleh peneliti adalah:
1. Bagaimana Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu?
2. Bagaimana Prinsip Hidup Sawerigading dalam Perubahan Sosial Masyarakat
di Tanah Luwu?
6
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah yang di sebutkan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu.
2. Untuk mengetahui bagaimana Prinsip Hidup Sawerigading dalam Perubahan
Sosial Masyarakat di Tanah Luwu.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada parah ilmuwan yang akan meneliti dibidang Sejarah khususnya yang
bersangkutan dengan Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu.
2. Manfaat Praktis
Sebagai peneliti sosial, Penelitian ini memberikan manfaat berupa
informasi tentang Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai berikut:
a. Memberikan pengetahuan tentang ketokohan Sawerigading di Tana Luwu.
b. Memberikan masukan kepada khususnya kepada masyarakat Luwu dapat
menjadikan bahan penuntun untuk memahami bagaimana Ketokohan
Sawerigading di Tana Luwu.
7
E. Definisi Operasional
Pada penelitian ini, menggunakan beberapa istilah-istilah yang memiliki
definisi sebagai berikut:
1. Ketokohan Sawerigading adalah Putra Raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba,
dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu Sawe yang
berarti menetas ( lahir), dan Ri Gading yang berarti diatas bambu betung.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep
1. Konsep Ketokohan
Ketokohan dalam perjalanan sejarah di Indonesia memiliki pengaruh kuat
dalam mempengaruhi masyarakat. Ketokohan Sawerigading merupakan salah
satu contoh rill adanya peran tokoh sebagai tokoh sejarah di masyarakat di Tanah
Luwu. Ketokohan terbentuk melalui latar sosial-budaya, keluarga, pendidikan,
karier dan pekerjaan, serta pengalaman hidup yang dilaluinya sejak lahir sampai
akhir hayatnya (Ekadjati, 1976).
Ketokohan berasal dari kata tokoh, yaitu artinya pemimpin yang baik yang
dapat dijadikan contoh dan dapat diteladani sifat-sifat baiknya. Ketokohan seperti
halnya dengan peristiwa dalam karya fiksi dalam kehidupan sehari-hari, selalu di
emban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu, pelaku yang mengembang cerita
dalam cerita fiksi sama sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
2. Karakteristik Ketokohan
Ketokohan berasal dari kata tokoh, yaitu artinya pemimpin yang baik yang
dapat dijadikan contoh dan dapat diteladani sifat-sifat baiknya. Ketokohan seperti
halnya dengan peristiwa dalam karya fiksi dalam kehidupan sehari-hari, selalu di
emban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu, pelaku yang mengembang cerita
dalam cerita fiksi sama sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Ketokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan-menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
9
watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jonnes,
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita Nurgyantoro, (2005:165). Dengan kata lain,
ketokohan sama dengan ethos, yaitu gabungan antara kinerja seseorang yang bisa
di percaya dan di pertanggungan jawabkan, atraksi dan kekuasaan. Orang yang
memiliki ketokohan disebut juga sebagai pahlawan politik.
Penokohan yang diperankan oleh Sawerigading menggambarkan
perwatakan dasar manusia berdasarkan proses penciptanya. Perwatakan dasar
manusia adalah segenap sifat alamiah manusia yang berderivasi dari sifat-sifat
langit dan bumi yang menjadi sumber asal penciptaan manusia (Pongsibanne,
2010:267).
Sawerigading merupakan sosok manusia bugis yang mempunyai watak
yang berdimensi ganda yakni cinta dan dendam, benci dan sayang, tegar dan
cengeng, lembut dan kasar, halus dan keras sejauh mana sifat pribadi
sawerigading, tergantung dari rangsangan-rangsangan yang diterimanya dari luar
ia tidak menerima kompromi hanya ada dua pilihan hitam atau putih
(Muslaini,2019 ).
Karena itu, gambaran tentang Sawerigading tidaklah sesempurna dengan
tokoh-tokoh pangeran yang seperti kita dengar sebelumnya. Kadang-kadang ia
sangatlah cengeng sampai menangis terisak-isak lalu ia ditegur oleh pengawalnya
agar ia berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar. Hal seperti
ini dapat dilihat ketika cinta Sawerigading kepada adik kembarnya We
Tenriabeng ditolak. Sawerigading juga memiliki sifat yang mudah tersinggung,
10
emosional, dan sering mengamuk sambil membabi buta bila perasaan atau
sirihnya tanpa mempertimbangkan resiko nya.
Keteguhan Sawerigading dalam mempertahankan Prinsipnya sangatlah
kuat ini dilihat ketika berbagai cobaan dan godaan yang datang tidak
menggetarkan semangatnya untuk tetap menggulung layar perahunya sebelum
sampai di tujuannya. Godaan-godaan tersebut bukannya menyulut kan hati
Sawerigading untuk pergi ke cina malahan cobaan-cobaan tersebutlah yang
semakin membakar semangatnya untuk mencari cina. Maka dari itu Sawerigading
juga dipanggil dengan sebutan La mampu ara Elo (Orang yang tak terbantahkan).
Untuk mempertahankan sifat Getteng (Teguh pendirian) harus dibarengi sifat
Keberanian nya juga. Keberanian Sawerigading tertantang ketika Sewerigading
dihadapkan oleh dua ancaman yakni Ancaman dalam dirinya sendiri dan kekuatan
yang berasal dari luar diri manusia ketika iya dihadapkan bujukan, rayuan dan
sesuatu yang mempesona yang dapat melonggarkan dan melepaskan prinsip
hidupnya. Disini membutuhkan keberanian moral yang luar biasa ketika
mempertahankan yang mana dianggap benar dan dianggapnya salah (Kern, R.A
1993).
Keteguhan dan keberaniannya Sawerigading itu bukan saja terlihat dalam
beberapa peristiwa kepada musuh-musuh Sawerigading melainkan dalam hal
mengungkapkan sejarah leluhurnya, perasaan hatinya, kebahagiaan nya, maupun
perasaan lain yang seharusnya di pendalaman dalam hati. Karena itu sifat teguh
dan keberaniannya hanya dapat dilihat dengan kejujuran dalam bersikap,
berbicara, maupun dalam bertindak. Kejujuran yang dimaksudkan bukan saja jujur
11
sesama manusia tetapi juga kepada diri sendiri dan kepada Dewa. Kejujuran
Sawerigading terlihat saat Sawerigading berterus terang dan terbuka kepada
pengawal-pengawalnya dan musuh-musuhnya. Kejujuran yang paling dramatis
dalam kisah Sawerigading dalam epos La Galigo yakni ketika Sawerigading tidak
berdaya melawan perasaan cintanya kepada saudara kembarnya yakni we
tenriabeng. Sawerigading harus mengungkapkannya walaupun ia mengetahui
resikonya sangatlah berat (Ahmad, 2009).
Peran Sawerigading sebagai tokoh magis terlihat saat para pasukan
sawerigading kewalahan menghadapi pasukan-pasukan la tenrinyiwiq,
sawerigading tumpuan terakhir dari mereka agar kiranya memohon kepada dewa
untuk menurunkan bantuan di dunia dalam waktu sekejap bantuan itu turun dari
langit dan menghancurkan pasukan-pasukan la tenrinyiwiq. Sedangkan peran
Sawerigading sebagai seorang keturunan dewa ketika Sawerigading
menghidupkan pasukan-pasukannya yang mati dalam peperangan, mendatangkan
dan memberhentikan bencana yang dibuat oleh alam dan dapat berbicara kepada
binatang-binatang.
Peran Sawerigading sebagai raja terlihat ketika ia menaklukkan para
pengawal dan pasukan-pasukan Sawerigading dalam perintahnya dialah penentu
kebijaksanaan diatas perahu yang dikendarai nya untuk mencari cina. Memerintah
dan menjalankan tradisi kekuasaan yang diwarisi oleh leluhurnya.
Meskipun demikian Sawerigading bukannya seorang raja yang otoriter,
segala sesuatu yang berhubungan dengan operasionalisasi kekuasaan dan
pelaksanaan kerajaan dilimpahkan kepada para pembantu-pembantunya.
12
Sawerigading adalah Seorang raja yang besar dan tak tertandingi, perahunya besar
dan banyak perahu-perahu kecil yang mengiringinya, pasukan yang ribuan
sebagai bukti kekuasaannya. Tujuh kali pasukan Sawerigading berperang dalam
pencarian tanah cina enam pimpinan musuhnya semua mati dan kepalanya
digantung di perahu sawerigading sebagai tandak keperkasaan nya menumpas
musuh.
3. Sawerigading
Sawerigading yang merupakan seorang putra Raja Luwu dari Kerajaan
Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal
dari dua kata, yaitu Sawe yang berarti menetas ( lahir ), dan Ri Gading yang
berarti di atas bambu betung. Jadi Sawerigading berarti keturunan dari orang yang
menetas (lahir) di atas bambu betung. Nama ini dikenal melalui cerita yang
termuat dalam Sureq Galigo (Kern, 1989).
Sawerigading merupakan sosok manusia bugis yang mempunyai watak
yang berdimensi ganda yakni cinta dan dendam, benci dan sayang, tegar dan
cengeng, lembut dan kasar, halus dan keras sejauh mana sifat pribadi
Sawerigading, tergantung dari rangsangan-rangsangan yang diterimanya dari luar
ia tidak menerima kompromi hanya ada dua pilihan hitam atau putih. Karena itu,
gambaran tentang Sawerigading tidaklah sesempurna dengan tokoh-tokoh
pangeran yang seperti kita dengar sebelumnya. Kadang-kadang ia sangatlah
cengeng sampai menangis terisak-isak lalu ia ditegur oleh pengawalnya agar ia
berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar. Hal seperti ini
dapat dilihat ketika cinta Sawerigading kepada adik kembarnya We Tenriabeng
13
ditolak. Sawerigading juga memiliki sifat yang mudah tersinggung, emosional,
dan sering mengamuk sambil membabi buta bila perasaannya kurang baik,
sehingga ia tidak mempertimbangkan resiko nya (Muslaini, 2019).
Sawerigading adalah urutan yang banyak disebut generasi yang ke empat
dari galib nya pemuda-pemuda yang mendapatkan istri yang banyak dan
merupakan benih dari langit dan bumi. Kisah Sawerigading menceritakan tentang
kisah langit dan bumi bawah serta bumi atas. Sawerigading dijuluki sebagai anak
Dewa dan memiliki legenda pada benda-benda alam di setiap daerah tempat
tinggal Sawerigading.
Cerita Sawerigading dapat mengungkapkan nilai budaya seperti
keagamaan yang menceritakan tentang dunia gaib dan konsep kejadian manusia,
seperti hanya yang digambarkan dunia Dewa-Dewa di langit, di bumi (Mulatau)
yang keturunan Dewa-Dewa.
B. Tinjauan Teori
1. Teori Warisan Budaya “Davidson”
Menurut Davidson warisan budaya merupakan produk atau hasil budaya
fisik dari tradisi-tradisi berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai
dari masa lalu yang kemudian menjadi elemen pokok bagi jati diri suatu
kelompok atau bangsa (Amalia: 2013)
Adapun alasan peneliti mengambil teori ini karena adanya warisan atau
peninggalan yang ditinggalkan oleh Sawerigading berupa Keris, kapal Pinisi dan
benda-benda bersejarah lainnya. Nilai-nilai yang menjadi landasan dan panutan
14
sebagai bentuk warisan nilai dari sejarah Kerajaan Luwu (To Ciung Maccae ri
Luwu)
2. Teori Perubahan Sosial “Robert H. Lauer”
Menurut Robert H. Lauer perubahan sosial terlebih dahulu menjelaskan
definisi perubahan sosial dengan alasan bahwa teori-teori perubahan sosial di
masa lalu yang telah dibangun di atas mitos-mitos tentang perubahan sosial, mitos
membentuk pola pikir yang menyimpang, trauma dan ilusi yang merupakan
kendala memahami perubahan sosial sebagai hakekat kehidupan manusia
(Nursalam dkk:2016).
Adapun alasan peneliti mengambil teori ini karena Sawerigading memilki
tempat yang berpindah-pindah dan memiliki perubahan dari setiap daerah yang
ditempati sehingga menimbulkan teori-teori perubahan sosial atau peninggalan
Sawerigading. Maka dari itu menimbulkan mitos atau perspektif bagi masyarakat
yang menemukan peninggalan Sawerigading di Sulawesi Selatan.
C. Kerangka Pikir
Sawerigading adalah seorang putra raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari
dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di
atas bambu betung. Jadi Sawerigading berarti keturunan dari orang yang lahir di
atas bambu betung Sawerigading lahir pada tahun 564 M.
Perjalanannya pun di teruskan ke Barat mengarungi Laut Jawa dan
Singgah di Pulau Bali dan mendapat tantangan yang pertama dalam perjalanannya
dan berhasil dikalahkan oleh Sawerigading. Dari peristiwa itulah penamaan Bali
15
diberikan dan jika diterjemahkan ke dalam bahasa Luwu, Bali berarti Lawan.
Seterusnya Sawerigading melanjutkan perjalanannya melalui Lautan Tiongkok
dan tiba di Benua Cina. Dalam perjalanan Sawerigading kembali ke tanah
kelahirannya banyak menurunkan anak buahnya di daerah Palu Sulawesi Tengah
karena daerah tersebut sangat subur yang dialiri sungai yang sangat jernih dan
kemudian melanjutkan kembali perjalanannya ke Luwu.
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pikir Analisis Ketokohan Sawerigading
Prinsip Hidup
Sawerigading dalam
Perubahan Sosial
Masyarakat di Tana Luwu
Ketokohan
Sawerigading
Sawerigading di Tana Luwu
Sawerigading tokoh
dari peristiwa-peristiwa
yang menghubungkan
suku bangsa.
Nilai kebersatuan, nilai
keperkasaan, nilai
religius, nilai etis, nilai
estetis, dan nilai
historis.
16
D. Penelitian Relevan
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Analisis Ketokohan
Sawerigading sebagai berikut.
1. Siti Muazaroh (2016) mengkaji tentang Cultural Capital dan Kharisma Kiai
dalam dinamika politik (Studi Ketokohan K.H. Maimun Zubair). Hasil
penelitian, Cultural capital merupakan sebuah nilai ataupun budaya yang telah
diterima dan diyakini masyarakat maupun memberikan jaminan tertentu.
Metode nya yaitu penelitian kualitatif menggunakan metode deskriptif analytic.
Sumber data penelitian ini didapatkan dari pengamatan langsung melalui teknik
wawancara langsung dengan tokoh bersangkutan yaitu K.H Maimun beserta
orang-orang terdekat nya. Analisis data menggunakan analisis induktif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan tentang kepemimpinan seorang tokoh K.H.
Maimun Zubair dalam menyebarkan agamanya, sedangkan penelitian saya
tentang ketokohan sawerigading di Tana Luwu yang membahas tentang
seorang pemimpin.
2. Maimunah Zarkasyi (2012) meneliti tentang Sheikh Muhammad Arsyad Al-
Banjari, Ketokohan dan Sumbangannya. Hasil penelitian, Sheikh Muhammad
Arsyad Al-Banjari adalah seorang tokoh ulama fiqh mazhab Shafi` di Asia.
Beliau turut dikenali sebagai ahli dalam bidang Tauhid dan tasawuf.
Ketokohannya diakui dan dicatatkan dalam jaringan ulama dari Timur Tengah
dan Asia yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di pulau Kalimantan
Selatan.. Dalam bidang keagamaan beliau berjuang merubah kebodohan
masyarakat Islam menjadi Muslim yang taat. Beliau menyelamatkan aqidah
17
masyarakat Islam daripada kepercayaan dan aliran yang menyimpang, seperti
kehidupan keagamaan yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf berpaham Wahdah
al-Wujud yang menyeleweng. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tentang
seorang tokoh ulama yang menyebarkan Islam di masyarakat di Asia.
Sedangkan penelitian saya tentang ketokohan sawerigading di Tana Luwu
membahas tentang seorang pemimpin yang memperjuangkan daerahnya.
3. Dedi Arliyanto Wibowo (2019) meneliti tentang Pengembangan Bahan Ajar
Ketokohan Raden Ajeng Kartini sebagai Pelopor Gerakan Emansipasi Wanita
Indonesia dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Sejarah Peserta Didik SMAN
1 Pancangan Jepara. Hasil penelitian, Pembelajaran sejarah melalui
pengembangan bahan ajar ketokohan Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor
gerakan emansipasi wanita Indonesia merupakan sebuah pembaharuan dalam
pengajaran Kesadaran sejarah generasi muda Indonesia sedikit demi sedikit
mulai terkikis dengan banyaknya pengaruh asing yang masuk ke Indonesia,
baik itu dalam hal kebudayaan, teknologi, maupun produk-produk luar negeri
yang membanjiri Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tentang
seorang pemimpin pelopor gerakan emansipasi wanita Indonesia. Sedangkan
penelitian saya tentang ketokohan Sawerigading di Tana Luwu membahas
tentang seorang pemimpin yang memperjuangkan daerahnya.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan
pendekatan kajian pustaka, Creswel (2010) mengemukakan bahwa kajian pustaka
yaitu menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian yang lain
berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan
penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam
penelitian-penelitian sebelumnya. Sementara menurut pandangan Suryabrata
(1983:19), penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang
menggambarkan secara mendalam tentang situasi serta keadaan yang sebenarnya.
Sedangkan menurut pendapat Ratna (2013:53) dan Endraswara (2013:61)
mengartikan kualitatif deskriptif yaitu upaya untuk menafsirkan tentang suatu
objek atau peristiwa, seperti Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu di antaranya:
pengaruh Ketokohan Sawerigading dan Prinsip kehidupan terhadap perubahan
sosial masyarakat di Tana Luwu.
Pendekatan kajian pustaka digunakan untuk menggambarkan terkait
peristiwa seperti Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu di antaranya: Ketokohan
Sawerigading dan Prinsip hidup Sawerigading dalam perubahan sosial masyarakat
di Tana Luwu. Sebagaimana pendapat kajian pustaka yaitu bahan bacaan yang
mungkin pernah dibaca dan dianalisis, baik yang sudah dipublikasikan maupun
sebagai koleksi pribadi (Prastowo, 2012:80).
19
B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dalam waktu kurang lebih 2 bulan pada tahun
2020, peneliti melaksanakan tugasnya untuk menganalisis. Penelitian ini di
lakukan dengan menggunakan pendekatan kajian pustaka terkait peristiwa, seperti
Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu di antaranya: pengaruh Ketokohan
Sawerigading dan Prinsip kehidupan terhadap perubahan sosial masyarakat di
Tana Luwu.
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu.
Legenda Sawerigading memiliki sejarah atau peninggalan serta sumpah
Sawerigading yang belum diketahui kebanyakan masyarakat. Maka dari itu objek
penelitian ini memfokuskan pada.
1. Ketokohan Sawerigading di Kabupaten Luwu.
2. Prinsip Hidup Sawerigading dalam Perubahan Sosial Masyarakat di
Tanah Luwu.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana
data tersebut bersumber dari buku, jurnal dan blog yang dianggap ilmiah dan
relevan untuk menjawab rumusan masalah. Data yang dikumpul akan di analisis
secara kualitatif deskriptif.
20
E. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian kualitatif ditujukan kepada peneliti, oleh
karena itu instrumen penelitian disini ialah peneliti sendiri. Adapun instrumen
penelitian sebagai berikut:
a) Pengumpulan data dokumen
b) Alat tulis sebagai kode data dokumen
c) Buku pencatatan data dokumen.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka, dengan kata lain
studi ini berkaitan dengan kepustakaan sebagai berikut:
1. Sumber data Sekunder berupa bahan-bahan pelengkap yang sesuai
dengan tema skripsi. Data ini didapat melalui buku dan artikel internet.
2. Memilih dan menganalisis bahan-bahan yang sudah dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam data pustaka.
3. Terakhir yang penulis lakukan adalah memberikan kesimpulan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan peneliti dimulai dengan analisis konten
merupakan suatu proses yang dilakukan dengan cara mencari dan menyusun
secara rinci data yang telah diperoleh sebelumnya dari hasil data melalui buku dan
artikel, internet yang dilakukan dan catatan lainnya, sehingga mudah dipahami
dan dapat di informasikan kepada orang lain. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik analisis data secara kualitatif, yang dilakukan
21
dengan cara menggambarkan dan mendeskripsikan hasil yang didapat di
lapangan.
22
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN OBJEK PENELITIAN
A. Sejarah Tana Luwu
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan
Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang
mewilayahi Tana Toraja (Makale, 45 Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka
(Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Sejarah Luwu ini dikenal pula
dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan
Sawerigading. Pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki
pusat Kedatuan Luwu di Palopo. Hal ini membuat sistem pemerintahan di Luwu
dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
1. Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh pihak Belanda.
2. Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak Swapraja. Pada tahun 1942,
Jepang berhasil menghalau pemerintah Hindia Belanda dan menguasai Luwu.
Sistem pemerintahan yang diterapkan sama, hanya saja rakyat diberi kebebasan
berusaha, bercocok tanam dan nelayan.
Hal tersebut tentu saja membuat hasil- hasil bumi masyarakat Belopa dan
sekitarnya lebih meningkat, sehingga diberi julukan “pabbarasanna Tana Luwu”,
(lumbung pangan Tanah Luwu). Dalam masa pemerintahan Jepang, yaitu tentara
Dai Nippon, kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan sipil, sedangkan
pemerintahan militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan
pemerintahan sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara
ketat oleh pemerintahan militer Jepang. Yang menjadi pemerintahan sipil atau
23
Datu Luwu pada 46 masa itu ialah "Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian
diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemudian bergelar "Andi Djemma.”
Pada bulan April 1950 Andi Djemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai
Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi
lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale,
Rantepao dan Kolaka. Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan
RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik
Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu
Andi Djemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari
Wilayah Kesatuan Republik Indonesia.” Pemerintah Pusat mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi
Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk daerah yang berstatus Kerajaan.
Peraturan Pemerintah No.56 tahun 1951 tentang Pembentukan Gabungan
Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan
wilayahnya dibagi menjadi 7 (tujuh) daerah Swatantra. Satu di antaranya adalah
daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja
dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo. Tahun 1953 Andi Djemma
Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi. Berselang 47
beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-
Undang Darurat, antara lain: 1. Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang
Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. 2. Undang-Undang
Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone,
Wajo dan Soppeng, serta penghapusan sistem pemerintahan Swpraja. Dengan
24
dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 3/1957, maka daerah Luwu menjadi
daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja, disertai berakhirnya pula
pemerintahan sistem kerajaan Luwu. Datu Luwu Andi Djemma langsung menjadi
Bupati/Datu Luwu kala itu. Dengan berlakunya UU No. 29 tahun 1959 tentang
terbentuknya daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, sistem Swatantra dihapus.
Pada waktu itu, wilayah kabupaten Dati II Luwu dibentuk 16 kecamatan dan salah
satu diantaranya adalah Kecamatan Bajo dengan ibu kotanya Belopa.
B. Kondisi Umum Tana Luwu
Kabupaten Luwu merupakan salah satu daerah yang berada dalam
wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah Kabupaten Luwu terbagi
dua wilayah akibat pemekaran Kota Palopo yaitu Kabupaten Luwu Bagian
Selatan yang terletak di sebelah selatan Kota Palopo dan wilayah Kabupaten
Luwu Bagian Utara yang terletak di sebelah utara Kota Palopo. Kabupaten Luwu
memiliki luas wilayah sekitar 3.000,25 Km2 atau 3.000.250 Ha dengan jumlah
penduduk keseluruhan mencapai 359.209 jiwa pada tahun 2019, dengan mayoritas
mata pencaharian penduduknya bergerak pada sektor pertanian dan perikanan.
Secara umum karakteristik bentang alam Kabupaten Luwu terdiri atas kawasan
pesisir/pantai dan daratan hingga daerah pegunungan yang berbukit hingga terjal,
dimana berbatasan langsung dengan perairan Teluk Bone dengan panjang garis
pantai sekitar 116,161 Km (RTRW Kabupaten Luwu).
C. Keadaan Geografis
Ditinjau dari segi geografis, Kabupaten Luwu terletak di bagian utara
Provinsi Sulawesi Selatan, dimana posisi Kabupaten Luwu terletak 2º.34’.45” –
25
3º.30’.30” LS dan 120º.21’.15” – 121º.43’.11” BT. Secara administratif,
Kabupaten Luwu memiliki batas sebagai berikut:
Sebelah Utara: Kabupaten Luwu Utara dan Kota Palopo Sebelah Timur:
Teluk Bone Sebelah Selatan: Kota Polopo dan Kabupaten Wajo Sebelah Barat:
Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Enrekang dan
Kabupaten Sidrap. Dilihat dari letak geografis, Kabupaten Luwu cukup strategis.
Palopo, yang terletak di jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan daerah
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Pelabuhan Tanjung Ringit di Palopo
menjadikan Kabupaten Luwu sebagai pintu gerbang Sulwesi Selatan bagian utara,
pelabuhan ini merupakan salah satu pintu penghubung untuk mendistribusikan
hasil pertanian Luwu ke Luar daerah.
D. Kepadatan Penduduk
Kepadatan Penduduk di Kabupaten Luwu, dengan luas 3000,25 km2 ,
Kabupaten Luwu didiami oleh 359.209 jiwa atau dengan kepadatan sebesar 123
jiwa/ km2, kepadatan penduduk Kabupaten Luwu telah meningkat 49 dari 122
jiwa/km2 pada tahun 2018 menjadi 123 jiwa/km2 atau meningkat sebanyak 1 jiwa
km2 . Jika dilihat persebaran di setiap kecamatan nampak bahwa Kecamatan
Lamasi merupakan wilayah terpadat dengan kepadatan sebesar 535 jiwa/Km2
diikuti oleh Kecamatan Belopa Utara sebesar 478 jiwa/km2 , Kecamatan Belopa
sebesar 288 jiwa/km2 , Kecamatan Walenrang Timur sebesar 279 jiwa/km2 ,
Kecamatan Ponrang Selatan sebesar 271 jiwa/km2 , Kecamatan Ponrang sebesar
268 jiwa/km2 , Kecamtan Suli sebesar 260 jiwa/km2 , Kecamtan Lamasi Timur
sebesar 235 jiwa/km2 , Kecamatan Bajo sebesar 233 jiwa/km2 , Kecamatan
26
Kamanre 210 jiwa/km2 , Kecamatan Bua sebesar 154 jiwa/km2 , Kecamatan bajo
Barat sebesar 147 jiwa/km2 , kecamatan Larompong Selatan sebesar 138
jiwa/km2 , Kecamatan Larompong sebesar 93 jiwa/km2 , Kecamatan Bua
Ponrang sebesar 86 jiwa/km2 , Kecamatan Walenrang Utara sebesar 78 jiwa/km2
, Kecamatan Basse Sangtempe Utara sebesar 66 jiwa/km2 , Kecamatan
Walenrang Barat sebesar 41 jiwa/km2 , sedangkan wilayah dengan kepadatan
penduduk terendah di Kecamatan Latimojong yaitu 13 jiwa/km2 .
E. Keadaan Sosial Budaya
Masyarakat di Kabupaten Luwu menggunakan bahasa Luwu sebagai
bahasa daerah utama karena mayoritas penduduknya adalah suku Luwu. Bahasa
Luwu ini digunakan oleh sebagian besar 52 penduduk dari Tana Luwu, dari empat
kabupaten dan kota, masing- masing Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur
dan kota Palopo. Bahasa Luwu, termasuk serumpun dengan bahasa Toraja.
Bahasa Luwu ini digunakan selaku bahasa percakapan penduduk setempat, mulai
dari Selatan perbatasan dengan Buriko Kabupatan Wajo sampai dengan daerah
Kabupaten Luwu Timur Malili. Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar,
dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana
Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti
“Laut”.
Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku.
Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus
sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari
langit diutus oleh ayahnya Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di
27
dunia tengah. Raja terakhir dari kerajaan Luwu adalah Andi Djemma yang
bergelar Petta Matinro’e ri Amaradekanna yang memerintah mulai tahun 1935-
1965 Masehi. Beliau merupakan raja yang sangat dikagumi dan di bangga-
banggakan oleh rakyatnya bahkan raja-raja lain di Sulawesi Selatan karena
keberaniannya dalam menghadapi penjajah Belanda. Kerajaan Luwu merupakan
kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam
sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ri Bandang yang
berasal dari Aceh. Hal- 53 hal mistik banyak mewarnai proses awal masuknya
Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato Sulaiman dan Dato ri Bandang datang ke
Luwu dengan menggunakan kulit kacang. Mereka pertama kali tiba di Luwu
tepatnya di Desa Lapandoso, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu. Penduduk di
Kabupaten Luwu juga terdiri atas beberapa etnis lokal dan etnis pendatang yang
telah lama tinggal di Kabupaten Luwu dan masuk melalui akulturasi budaya
seperti melalui perdagangan dan nelayan. Sementara itu terdapat juga etnis
pendatang sebagai transmigran dengan latar belakang budaya yang berbeda,
antara lain: Bugis, Jawa dan Bali yang dominan terdapat di Kecamatan Lamasi.
Masyarakat Jawa datang secara transmigrasi yang diprakarsai oleh
pemerintah belanda, mereka datang dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,
mereka telah menetap dan membangun kecamatan tersebut. Mata pencaharian
utama mereka adalah bertani, sawah dan berkebun, selain itu banyak juga diantara
mereka berprofesi sebagai pedagang. Jumlahnya telah berkembang dengan pesat,
selain perkawinan antara sesama suku jawa terjadi juga perkawinan antara suku
terutama suku Jawa dan Luwu yang merupakan suku pribumi. Sedangkan suku
28
Bugis dan Toraja merupakan imigran yang datang dari wilayah lain yang masih
masuk dalam wilayah Sulawesi Selatan. Suku Bugis yang mendiami Lamasi
berprofesi sebagai pedagang sedangkan suku Toraja bertani adalah profesi utama
mereka. Oleh 54 karena keuletan dan kerja keras mereka akhirnya Kecamatan
Lamasi berkembang menjadi daerah lumbung pangan bagi Kabupaten Luwu.
29
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu mencari informasi
dan membaca berbagai literatur yang berkaitan dengan tokoh Sawerigading yang
terdapat pada buku-buku, jurnal, skripsi dan beberapa artikel lainnya yang
berkaitan dengan Sawerigading. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan
sebelumnya di berbagai sumber didapatkan hasil penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu
Beberapa pernyataan dalam buku, artikel, jurnal dan skripsi yang berisi
tentang Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu. Pernyataan pertama
dikemukakan oleh Zulkifli Yusuf dalam jurnal nya yang berjudul Perancangan
Desain Karakter Untuk Memperkenalkan Nilai-Nilai Dari Kisah Sawerigading
Bagi Remaja Di Sulawesi, berikut pernyataannya yaitu sebagai berikut:
Ampe Madecengna (Nilai moral/Sifat baik) Sawerigading
(Yusuf, 2018:5).
Dari kutipan di atas dapat di ketahui bahwa Ampe madecengna artinya
Sawerigading memiliki nilai moral dan sifat baik sebagai seorang pemimpin di
masyarakat. Dia tidak akan di jadikan sebagai tokoh di dalam masyarakat jika
Sawerigading tidak memiliki nilai-nilai yang positif dan sifat yang baik.
Pernyataan selanjutnya di kemukakan oleh Lebbe Pongsibanne dalam
bukunya Autentisitas Budaya Bugis: Jejak Sawerigading Sebagai Perekat Bangsa
dalam Epik I La Galigo berikut pernyataannya yaitu sebagai berikut:
30
Sawerigading seorang pelaut yang ulung, keteguhan hatinya mampu
mengirim dia pada kepekaan mengatasi semua kesulitan di laut.
(Pongsibanne, 2010:7).
Dari kutipan tersebut dapat di uraikan bahwa Sawerigading seorang pelaut
yang ulung. Mengapa Sawerigading dikatakan pelaut ulung karena ada pepatah
mengatakan, tak ada pelaut ulung yang dilahirkan dari Samudra yang diam tapi
pasti di lahirkan dari sosok yang teguh menghadapi Samudra yang penuh dengan
badai. Dalam pengembaraan nya tersebut, ia digambarkan singgah di suatu tempat
yang memunculkan cerita-cerita yang berkaitan dengannya. Kehadirannya
tersebut selalu di kaitkan dengan asal usul raja setempat dan berdirinya daerah
tersebut, bahkan di daerah tersebut selalu terdapat benda-benda yang berhubungan
dengan Sawerigading. Contohnya di dekat Malili, terdapat Gunung Belah
(Bulupulo), yang terbelah akibat tertimpa pohon Welenreng yang di tebang oleh
Sawerigading untuk di jadikan perahu.
Kecerdasan dan ketangkasan nya yang luar biasa membuat Sawerigading
di segani dan di kagumi di setiap tempat (Pongsibanne, 2010:8).
Dari kutipan di atas dapat di ketahui bahwa Sawerigading memiliki
kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa dan ia di segani dan di kagumi di
setiap tempat yang ia datangi. Kecerdasan Sawerigading di lihat pada saat ia
memperbaiki perahu, menyambung kembali papan yang telah terlepas satu dari
yang lainnya, hingga utuh menjadi perahu. Kecerdasan inilah yang di warisi oleh
masyarakat, dan kembangkan hingga sekarang.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Andini Perdana dalam jurnal
nya yang berjudul Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan di
Museum La Galigo. Berikut pernyataannya yaitu:
31
Sawerigading sebagai perekat atau penghubung suku bangsa di Sulawesi
Selatan, (Perdana, 2019:120).
Dari kutipan di atas dapat di uraikan bahwa Sawerigading dikatakan
sebagai perekat bangsa di Sulawesi Selatan karena cerita tentang Sawerigading
tidak hanya di kenal di Suku Bugis, melainkan di semua Suku di Sulawesi
Selatan. Maka dari itu Sawerigading di katakan perekat bangsa di Sulawesi
Selatan, karena menghubungkan suku bugis dengan suku-suku yang lain.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Matulada dalam bukunya yang
berjudul Sawerigading Folkatle Sulawesi, berikut pernyataannya yaitu sebagai
berikut:
Sawerigading tokoh dari peristiwa-peristiwa kultural yang meliputi
berbagai kejadian, yang memandangnya sebagai cikal bakal
kepemimpinan kaumnya.
(Matulada, 1990:1).
Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa Sawerigading di anggap
sebagai tokoh di dalam masyarakat, karena adanya kultural atau budaya yang
meliputi kejadian, dan memandang sebagai cikal bakal kepemimpinan kaumnya.
Banyaknya kejadian atau peristiwa yang mendasarkan pada benda-benda alam,
seperti Bulupoloe di dekat Malili, dikatakan bahwa ini bekas tertimpa pohon
Welenrang yang rebah karena di tebang dan di jadikan perahu oleh Sawerigading.
Dikatakan juga bahwa di Gunung Kandora, daerah Mengkedek, Tana Toraja
terdapat batu yang di duga jelmaan We Pinrakati, yaitu istri Sawerigading yang
meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput nya di dunia roh. Di Enrekang
terdapat batu di daerah Bambapuang, jika di lihat dari jauh nampak sebagai
anjungan perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Sedangkan di
32
Selayar terdapat Gong Nekara yang selalu iya bawah pada saat berlayar dan di
bunyikan pada saat memasuki pelabuhan. Dan masih banyak lagi daerah-daerah
yang pernah di singgahi Sawerigading.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Erli Yetti dalam jurnal nya yang
berjudul Legenda Danau Lindu Sulawesi Tengah, adapun pernyataannya sebagai
berikut:
Selama pelayaran nya Sawerigading memiliki 4 sifat utama yang melekat
pada diri Sawerigading yakni getteng (teguh pendirian), warani (berani),
lempuq (jujur), dan macca (pintar). (Yetti, 2016:292).
Dari pernyataan di atas dapat kita uraikan bahwa keteguhan dan
keberaniannya Sawerigading itu bukan saja terlihat dalam beberapa peristiwa
kepada musuh-musuh Sawerigading, melainkan dalam hal mengungkapkan
sejarah leluhurnya, perasaan hatinya, kebahagiaan nya, maupun perasaan lain
yang ia pendam dalam hatinya. Karena itu, sifat teguh dan keberaniannya hanya
dapat di lihat bila diiringi dengan kejujuran dalam bersikap, berbicara, maupun
dalam bertindak. Ke empat sifat Sawerigading inilah yang di kagumi oleh
Masyarakat dan menjadi prinsip hidup pada masa yang akan datang. Nah Di
sinilah ketokohan Sawerigading di kenal karena sifat-sifatnya yang di kagumi
oleh masyarakat setempat.
2. Prinsip Hidup Sawerigading dalam perubahan Sosial Masyarakat
Beberapa pernyataan dalam buku, artikel atau jurnal yang berisi tentang
Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu. Pernyataan pertama dikemukakan oleh
Matulada dalam bukunya yang berjudul Sawerigading Folkatle Sulaewesi, berikut
pernyataannya yaitu sebagai berikut:
33
Sawerigading adalah seorang tokoh lagendaris yang dikenal oleh hampir
seluruh kelompok etnik di Sulawesi. (Matulada, 1990:7).
Dari kutipan di atas dapat di uraikan bahwa Sawerigading seorang tokoh
legendaris yang di kenal oleh hampir seluruh kelompok etnik di seluruh Sulawesi.
Ketokohan Sawerigading tersebut di lihat dari nilai-nilai religius nya, yang
menyebarkan Islam di seluruh Sulawesi. Sawerigading juga di kenal oleh
masyarakat karena memiliki sifat teguh dan keberanian dalam menyebarkan Islam
di Sulawesi. Maka dari itu Sawerigading tidak hanya di anggap tokoh masyarakat
di Luwu saja, tetapi ketokohannya menyebar hingga seluruh Sulawesi.
Sawerigading terdapat dalam bentuk tradisi lisan,(Matulada, 1990:8).
Dari pernyataan di atas dapat diuraikan bahwa Sawerigading di kenal
melalui opini yang di sebarkan melalui tradisi lisan. Melalui tradisi lisan kisah
Sawerigading di kenal dan di kagumi oleh masyarakat, karena adanya nilai luhur,
sikap, dan pandangan yang ada pada diri Sawerigading. Maka Sawerigading di
kenal oleh seluruh masyarakat dan menerapkan nilai-nilai luhur dan sikap pada
dirinya sendiri. Dan di Sulawesi selatan sendiri ia dikenal sebagai cikal bakal para
penguasa negeri-negeri Bugis, Makassar mandar. Maka Sawerigading
menyampaikan pada masa kini tentang peradaban masa lalu, yang diceritakannya
tentang masa lalu itu sangat menyentuh kehidupan nyata kelompok-kelompok
etnik atau lapisan tertentu masyarakat di banyak wilayah persebarannya, dan pada
waktu yang berbeda-beda. Sawerigading sendiri menyusup ke dalam peradaban,
untuk memperkaya lapisan-lapisan yang telah ada sebelumnya dan membawanya
ke dalam realitas Kultur, atau kenyataan budaya. Kenyataan budaya itu apabila
dihubungkan dengan realitas sosial dengan cara mengaktualisasikannya kedalam
34
kenyataan, maka menjadilah dia pangkalan rujukan bagi peristiwa-peristiwa atau
silsilah sesuatu kaum tertentu.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Zulkifli Yusuf dalam jurnal nya
yang berjudul Perancangan Desain Karakter Untuk Memperkenalkan Nilai-Nilai
dari Kisah Sawerigading Bagi Remaja, berikut pernyataannya yaitu sebagai
berikut:
Nilai kebersatuan, walaupun tokoh legendaris sawerigading
dikategorikan sebagai manusia yang berwatak keras dan sering
berperang, namun rasa kasih sayang dan maaf masih menggores bekas
perilaku Sawerigading luntur dari sumpahnya untuk tidak kembali lagi
ke kampung halaman setelah di tolak cintanya oleh saudara kandungnya
We/Tenriabeng, karena tidak sampai hati melihat istrinya sodai/We
Cudai berdua dengan anaknya Lagaligo untuk berlayar dari Tana Cina
untuk menemui mertuanya. Digarisbawahi lagi orang-orang kulawi
yang mengatakan ‘Sawerigadang datang bukan untuk berkelahi, tetapi
untuk menyelamatkan manusia” (Yusuf dan Aditya 2018:4).
Dari pernyataan di atas dapat diuraikan bahwa Sawerigading dikategorikan
sebagai manusia yang berwatak keras dan sering berperang, namun rasa kasih
sayang dan maaf masih menggores bekas perilakunya yang mengucap sumpah
untuk tidak akan kembali lagi ke Luwu, setelah di tolak cintanya oleh saudara
kandungnya sendiri, yaitu We Tenriabeng, karena tidak sampai hati melihat
istrinya, yaitu We Cudai dan anaknya I La Galigo ia nekat melanggar sumpahnya
sendiri untuk pergi berlayar dari tanah Cina untuk menemui orang tuanya. Maka
kembalilah Sawerigading ke tanah leluhurnya tanah tumpah darahnya walaupun
rasa kecewa nya masih menekan hatinya, dan resiko menghadapi adat ‘Ri
Lompangi Tana` karena sumpahnya. Dan kita bisa melihat bahwa sawerigading
lebih mementingkan persahabatan dan perdamaian daripada pertumpahan dara.
Dan Sawerigading bertujuan untuk menghubungkan suatu wilayah daratan dan
35
kepulauan Luwuk Banggai. Digarisbawahi lagi orang-orang kulawi yang
mengatakan ‘Sawerigadang datang bukan untuk berkelahi, tetapi untuk
menyelamatkan manusia.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Zulkifli Yusuf dalam jurnal nya
yang berjudul Perancangan Desain Karakter Untuk Memperkenalkan Nilai-Nilai
dari Kisah Sawerigading Bagi Remaja di Sulawesi, berikut pernyataannya yaitu
sebagai berikut:
Nilai `Keperkasaan` Ide, sarana, dan keperkasaan merupakan komponen
yang tak terpisahkan untuk merealisasikan suatu cita-cita. Semangat
keperkasaan inilah yang melekat pada diri sawerigading untuk
mengunjungi setiap sudut pelabuhan, antara lain Bima, Sunda, Singa
Raja, Tana Cina dan lain-lain. Perahu werenrengnge yang digelari I
Lattiwajo anging laloe merupakan symbol keperkasaan kebaharian yang
harus diteladani oleh generasi masa kini dan mendatang (Yusuf dan
Aditya, 2018:4).
Dari pernyataan di atas dapat diuraikan bahwa Sawerigading merupakan
laki-laki perkasa yang ingin mewujudkan cita-citanya. Semangat keperkasaan
inilah yang melekat pada diri Sawerigading untuk mengunjungi setiap pelabuhan,
antara lain Bima, Sunda, Singa Raja, Tana Cina dan pelabuhan lainnya. Adapun
perahu Werenrengnge yang di gelari Lattiwajo anging laloe yang merupakan
simbol keperkasaan kebaharian yang harus diteladani oleh generasi masa kini dan
mendatang. Kita bisa lihat bahwa laut merupakan potensi perhubungan dan
perekonomian dan laboratorium raksasa ilmu pengetahuan, dan merupakan tetesan
budaya Werenrengnge. Jadi tidak heran kalau Pinisi telah memukau dunia
pelayaran tradisional seluruh dunia.
Nilai Religius, tokoh sawerigading yang sering dianggap setengah dewa,
yang memiliki kekuatan supranatural, pernah mengakui dirinya sebagai
anak sang pencipta, ternyata sawerigading adalah manusia yang
36
mengakui adanya tuhan tunggal pencipta yang harus di sembah (Yusuf
dan Aditya 2018:4).
Dari pernyataan di atas dapat diuraikan bahwa Sawerigading yang sering
di anggap setengah Dewa, yang memiliki kekuatan supranatural, dan ia pernah
mengakui dirinya sebagai anak sang pencipta. Dan ternyata Sawerigading adalah
manusia yang mengakui adanya Tuhan pencipta yang harus di sembah. Kita bisa
melihat bahwa Sawerigading dan keluarganya pergi berziarah dan mencari berkah
Tuhan di Tana Suci Mekah. Kemudian Sawerigading menganjurkan kepada
masyarakat untuk membangun tempat Ibadah yang di beri Nama mesjid, dan
sempat ada yang keliru tentang ucapan Sawerigading yang menganggap jika
mengunjungi mesjid di Tompo Tikka sama hal nya dengan menunaikan haji di
Baitullah. Padahal Sawerigading hanya mengharapkan kepada cucu-cucunya di
kemudian hari datang berkunjung di Tana Suci Mekah. Dan disini kita bisa lihat
keyakinan Sawerigading terhadap adanya Tuhan pencipta ketika ia gagal
menuntut ilmu.
Nilai Etis Sawerigading sebagai tokoh sentral, walaupun dia banyak
menentukan namun tetap taat terhadap nilai-nilai adat istiadat yang
disepakati, ia sangat menjunjung tinggi lembaga Institusional masyarakat.
(Yusuf dan Aditya, 2018:5).
Dari pernyataan di atas dapat di uraikan bahwa Sawerigading adalah
pribadi yang taat terhadap nilai-nilai adat istiadat yang di sepakati. Dan ia sangat
menjunjung tinggi lembaga Institusional masyarakat, dan rela di pisahkan dari
adiknya We Tenriabeng demi kemaslahatan umum. Sawerigading juga terlalu
mendengarkan nasehat ibunya, saudara kandungnya, bahkan sepupunya
Lapananreng dan orang-orang di sekelilingnya.
37
Nilai Estetis, di dalam cerita sawerigading, disamping menyenangi
burung, ayam, anjing dan kuda, juga sangat gemar akan wanita-wanita
yang memiliki keindahan tubuh dan wajah cantik. Dari emosi estetikanya,
ia sebagai manusia kadang kala lupa daratan (Yusuf dan Aditya, 2018:5).
Dari pernyataan di atas dapat diuraikan bahwa Sawerigading mempunyai
hobi tersendiri yaitu menyenangi burung, ayam, anjing, dan kuda. Tidak hanya
menyenangi hewan-hewan saja, tetapi ia juga sangat gemar akan wanita-wanita
yang memiliki keindahan tubuh dan wajah cantik. Di lihat dari emosi estetikanya,
ia sebagai manusia kadang kala lupa daratan. Sawerigading juga mendapatkan
lingkungan yang indah dan harmonis. Dan salah satu kegemaran yang di senangi
Sawerigading yaitu mengadakan penghijauan dan menanam tumbuh-tumbuhan
yang bermanfaat bagi manusia seperti pepaya.
Nilai Historis, peristiwa-peristiwa masa lampau tidak semuanya
dikategorikan sejarah, tetapi masa lampau yang bisa hidup dihidangkan
setiap waktu (Yusuf dan Aditya, 2018:5).
Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa Nilai historis menurut Louis
Gottschalk merupakan peristiwa-peristiwa masa lampau yang bisa hidup dan
dihidangkan setiap waktu. Sedangkan menurut Sartono Kartodiharo, bahwa
sejarah adalah rekaman masa silang yang objektif yang terungkap oleh kehidupan
manusia melalui pengembangan informasi, tulisan, dokumen, parasasti, yang tidak
akan terulang. Hidup dan pengulangan nya itulah disebut sejarah dan sejarah pada
hakekatnya merupakan proses menelusuri eksistensi bangsa, masyarakat dan demi
seseorang itu sendiri secara ekstensional.
Pernyataan selanjutnya dikemukakan oleh Wiwik Pertiwi dalam bukunya
yang berjudul Kajian Nilai Budaya Naska Kuna Mapalina Sawerigading Ri
Saliweng Langi, adapun pernyataannya sebagai berikut:
38
Dalam menjalankan kekuasaan sebagai pangeran mahkota disamping
kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi dalam pelayaran Sawerigading
tidak mengambil keputusan dan bertindak sendiri. Melainkan sebagai dari
kewenangannya dilimpahkan kepada pembantu-pembantu utamanya
(Pertiwi dkk, 1998:163-164).
Kutipan di atas menunjukkan dua sikap dengan nilai berbeda dalam
menanggapi masalah yang sama. Sikap pertama ditampilkan oleh tokoh La
pananrang dan La massaguni, dimana keduanya ingin menghadapi kekasaran dan
penghinaan lawan dengan mengangkat senjata dalam pertarungan. Namun sikap
tersebut dipandang dengan kurang arif dan kurang bijaksana terutama karena
dapat menimbulkan pertempuran sengit yang diduga akan mengorbankan nyawa
para laskar Luwu. Demikianlah, maka tokoh La sinilele menampilkan sikap kedua
yang dianggap jauh lebih arif fan lebih bijaksana, yaitu sikap sabar dan tetap
berkepala dingin menghadapi rongrongan pihak musuhnya.
Mengutamakan kepentingan negeri dan nama baik (Pertiwi dkk,
1998:165-166).
Dari pernyataan di atas dapat di uraikan bahwa Sawerigading lebih
mengutamakan kepentingan dan nama baik keluarga dan Negeri Luwu daripada
harta benda dan kekayaan yang melimpah. Dan kita bisa lihat dimana sikap ini
tercermin dalam ketika berbicara dengan Guttu Tallemma, dia adalah Raja dari
Negeri Saliweng Langi. Disini Raja Guttu Tallemma menawarkan perdamaian
kepada pihak Sawerigading, dengan syarat Sawerigading harus melupakan
pertikaian terhadap pihak Kerajaan Saliweng Langi. Akan tetapi Sawerigading
menolak, walaupun di Tana Luwu termasuk melarat dan bukan orang kaya,
namun demikian ia pantang menerima pemberian yang berupa suap. Kita bisa
39
melihat bahwa Sawerigading tidak sudi memanfaatkan kedudukannya sebagai
pangeran mahkota untuk mengambil keuntungan, terutama dari pihak musuh.
Mengutamakan keselamatan rakyat (Pertiwi dkk, 1998:166).
Dari pernyataan di atas dapat di uraikan bahwa Sawerigading lebih
mengutamakan rakyatnya daripada dirinya sendiri. Di lihat dari ketika laskar
pengawalnya berperang melawan laskar kerajaan Rumpa Mega yang ternyata
menampilkan sikap kesatria sejati. Saat berperang Sawerigading tidak hanya
bersembunyi di belakang kekuatan laskarnya, tetapi ia pun terjun ke pertempurang
bersama pengawal dan sepupu-sepupunya. Kita bisa lihat bahwa sawerigading
adalah seorang pangeran mahkota yang tidak segan membunuh ataupun terbunuh
untuk membela keselamatan rakyatnya.
Dermawan, Satu diantara nilai budaya luhur yang ditampilkan dalam
naskah kuno lontarak galigo ialah sifat kedermawanan raja (Pertiwi dkk,
1998:167).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Raja Luwu sangat memperhatikan
pemerataan pangan kepada para anggota keluarga, raja-raja sahabat, raja-raja
taklukkan serta rakyat banyak. Dalam hal ini pelaksanaan upacara selamatan
merupakan sat diantara media pemerataan bagi kesejahteraan semua pihak. Ini
sekaligus membuktikan bahwa dalam mengendalikan kekuasaan negeri/kerjaan,
sang raja berdaulat mendukung keberadaan nilai kedermawanan.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Pertiwi dkk, 1998: 171).
Dari pernyataan di atas dapat di uraikan bahwa sejak masa silam leluhur
orang bugis di kawasan Luwu, telah menerapkan nilai kemanusiaan yang adil dan
40
beradab. Dimana setiap orang mengharapkan sikap saling mencintai antara
sesama manusia tampah melihat perbedaan latar suku bangsa.
B. Pembahasan
1. Ketokohan Sawerigading di Tanah Luwu
Ketokohan dapat diartikan sebagai pemimpin yang baik yang dapat
dijadikan contoh dan dapat diteladani sifat-sifat baiknya. Ketokohan seperti
halnya dengan peristiwa dalam karya fiksi dalam kehidupan sehari-hari, selalu di
emban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu, pelaku yang mengembang cerita
dalam cerita fiksi sama sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Cerita ini sampai kepada warga Nelayan Bugis Pagutan dan sekaligus
menjadi dasar pijakan bagi sebagian mereka untuk melakukan ritual
Massorongritasi. Namun demikian, fakta sejarah tersebut masih diperlukan telaah
secara kritis dengan memilah-milih antara fakta sejarah sebenarnya dengan cerita
mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan silsilah tersebut. Karena, nilai-nilai
mitos dan legenda dipandang masih sangat dominan dalam memberikan warna-
warni cerita tentang Sawerigading, terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita,
tempat dan peristiwa cerita, sesuai ciri-ciri yang dikategorikan dengan mitos dan
legenda.
Sawerigading memiliki masa awal pengaruh dan persebarannya ke
wilayah-wilayah yang luas, sebagaimana yang ditunjukkan masa kini . Masa awal
pengaruh dan persebaran mite Sawerigading dalam suatu wilayah dan kebudayaan
tertentu. Pada wilayah persebaran mite Sawerigading di Sulawesi selatan yang
dapat di sebut “ masa Sawerigading” menempati waktu yang diperkirakan sekitar
41
abad ke-sepuluh, sezaman dengan sriwijaya dan pengaruh persebaran ajaran
Hindu-Budha di Nusantara. Juga kehadiran pengaruh kebudayaan Cina pada
Zaman itu, menjadi dambaan yang diidealisasikan sebagai suatu nilai panutan.
Menurut Perdana (2019:14) di beberapa daerah di Sulawesi selatan,
Sawerigading memiliki symbol mitologis berupa kebudayaan materi yang bersifat
sacral. Dalam tradisi lisan La Galigo pelaut ulung yang pelayaran nya sampai ke
negeri Cina. Dalam penggambaran nya tersebut ia digambarkan singgah di suatu
tempat yang memunculkan cerita-cerita yang berkaitan dengannya. Kehadirannya
tersebut selalu dikaitkan dengannya. Kehadirannya tersebut selalu dikaitkan
dengan asal usul raja setempat dan berdirinya daerah tersebut selalu terdapat
benda-benda yang berhubungan dengan Sawerigading, contohnya di dekat Malili
terdapat gunung belah (bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa pohon Walenreng
yang ditebang oleh Sawerigading untuk dijadikan perahu di Cerekang yang
disebut dengan kapal Pinisi. Selain itu, Peninggalan-peninggalan Sawerigading
lainnya berupa Kris atau benda-benda bersejarah lainnya
Hal ini dapat dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Davidson
mengenai warisan budaya. Menurut Davidson warisan budaya disini dapat
diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi berbeda dan
prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang kemudian
menjadi elemen pokok bagi jati diri suatu kelompok atau bangsa. Menurut
Davidson warisan budaya merupakan produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-
tradisi berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu
yang kemudian menjadi elemen pokok bagi jati diri suatu kelompok atau bangsa.
42
Selain peninggalan benda-benda bersejarah terdapat pula peninggalan
nilai-nilai yang dapat mencerminkan sifat Sawerigading. Nilai-nilai yang menjadi
landasan dan panutan sebagai bentuk warisan nilai dari sejarah Kerajaan Luwu
(To Ciung Maccae ri Luwu) , nilai-nilai yang di maksud adalah:
a. Warani (Berani)
Seorang pemimpin seharusnya memiliki sifat ini, yang bermakna berani
mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan pemerintahan karena apabila
seorang pemimpin tidak berani, maka dengan mudah di pengaruhi oleh orang lain
atau lebih jauh oleh bawahannya. Warani berarti berani bertindak dan berani
mengambil resiko.
b. Lempu’ (jujur)
Dalam perkataan bugis jujur di sebut lempuk. Menurut arti logatnya jujur
sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks, ada
kalanya kata ini berarti ikhlas, benar, baik, atau adil.
Jujur adalah sikap yang menyatakan sesuai dengan sesungguhnya dan apa
adanya, tidak ditambahi atau dikurangi. Adapun yang dimaksud dengan jujur
menurut pemikiran Maccae ri Luwu sebagai tolak ukur daripada nilai lempu
(jujur) tersebut, yaitu:
a. Orang yang bersalah padanya dimaafkan
b. Dia dipercaya dan tidak mengkhianati kepercayaan itu
c. Tidak serakah atau tidak menginginkan yang bukan haknya
d. Tidak dituntutnya suatu kebaikan, kalau hanya dia yang Menikmati nya, hanya
untuk kepentingan pribadinya.
43
Jujur mengandung arti yang sangat luas karena kejujuran itu sumbernya
dari hati. Jujur merupakan kesesuaian antara hati, perkataan dan perilaku yang kita
tampilkan. Jika diantara ketiganya ada yang tidak sesuai maka itu merupakan sifat
yang sebaliknya yaitu bohong ataupun dusta. Berkata jujur dan berperilaku jujur
itu sangat susah kita temui saat ini, banyak orang sudah menggunakan jurus
kebohongan untuk mencapai sesuatu yang ia inginkan. Misalnya dalam hal
mengelola keuangan daerah dengan mencatat hal-hal yang tidak sesuai dengan
yang semestinya. Padahal perilaku jujur akan menjadikan kita sebagai seseorang
yang senantiasa di percaya oleh orang lain.
Orang yang beriman selalu mendasarkan tindakannya pada kebenaran dan
menyerukan melaksanakan kebaikan yang dalam istilah agama disebut amar
makruf, nahi Munkar. Perintah untuk melaksanakan kebaikan dan mencegah
kemungkaran diprioritaskan pada diri sendiri dan lingkungan keluarga, kemudian
kepada masyarakat umum.
Lempu’ (Kejujuran), berarti juga ikhlas, benar, baik, atau adil. Sehingga
kata-kata tersebut berlawanan dengan kata culas, curang, khianat, seleweng,
buruk, tipu, aniaya dan semacamnya (Ahmad, 2009). Lempu’ memiliki beberapa
indikator misalnya dapat dilihat dari nasehat Tociung seorang cendekiawan Luwu
yang disampaikan kepada calon raja (datu) Soppeng. La Manussa’
Toakkarangeng, beliau menyatakan empat indikasi perbuatan jujur:
Eppa’I gau’na Lempu’e: risalaie naddampeng, riparennuangie
temmaceko, bettuanna risanresi teppabbelang, temmangoangenngi Tania
olona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudecengi.
44
Artinya:
[Ada empat perbuatan yang disebut jujur, yakni memaafkan orang yang
berbuat salah kepadanya, dipercaya lalu tak curang, disandari lalu tak
berdusta, tidak serakah terhadap yang bukan haknya, tidak memandang
kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika
dinikmati bersama] (Rahim, 1985:145).
Perkataan jujur dalam konteks budaya Luwu merupakan penilaian perilaku
yang sangat terpuji dan dihormati. Perkataan orang dahulu, bahwa jika orang
harus merasa segan atau takut maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada
orang yang jujur. Memang kadang-kadang orang yang jujur tidak laku di dalam
pasaran keadilan dan kebenaran, ada kalanya orang jujur tersingkir dalam
penderitaan. Kata Karaenta Icinara mengingatkan pula: jangan jenuh dalam
penderitaan. Usahakan sekuat-kuat daya menegakkan nilai kejujuran sebab orang
jujur meskipun tenggelam akan timbul juga.
3. Getteng (Teguh)
Getteng adalah salah satu paseng yang bisa bermakna keteguhan,
ketegasan serta kesetiaan pada keyakinan. Keteguhan hati adalah sifat penting
seorang yang beriman. Orang beriman tidak pernah kehilangan keteguhan,
ketegasan, serta kesetiaan pada keyakinan (Latif, 2012:105). Getteng atau
keteguhan yang dimaksud disini selain berarti teguh, kata ini pun dapat diartikan
sebagai pendirian yang tetap atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh
dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Nilai keteguhan ini terikat pada makna
45
yang positif. Ini dinyatakan dalam pappaseng to maccae ri Luwu (To ciung),
bahwa Eppa’I gau’na gettengnge iyanaritu (empat perbuatan nilai keteguhan):
a. Tessalaie janci (tak mengingkari janji)
b. Tessorosi ulu ada’ (tak mengkhianati kesepakatan)
c. Telluka anu pura, teppinra assituruseng (tak membatalkan keputusan, tak
Mengubah kesepakatan)
d. Mabbicarai naparapi, mabbinru’I teppupi napaja (jika berbicara dan berbuat,
tak berhenti sebelum rampung).
Ungkapan ini menggambarkan bahwa orang yang memiliki keteguhan,
ketegasan, serta kesetiaan pada keyakinan dapat menghargai tiga hal yaitu harga
diri yang tercermin dalam hal menghargai janji dan menghormati ikrar, keyakinan
yang tercermin dalam watak yang tidak mau berubah pada keputusan yang telah
disepakati, serta tanggungjawab yang tercermin dalam konsistensi dalam
menyelesaikan suatu urusan. Yang dimaksud dengan getteng merupakan suatu
perilaku yang memegang teguh prinsip-prinsip yang telah dibuatnya dan
berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran (tongeng). Selain itu, sesuai dengan
pemikiran Maccae ri Luwu, ada beberapa bentuk perilaku yang dapat
mengindikasikan seseorang itu memiliki sifat getteng (teguh), yakni:
a. Tidak mengingkari janji dan tidak melangkahi (mengkhianati) perjanjian.
b. Tidak mengurai barang jadi.
c. Tidak mengubah keputusan.
d. Ketika mengadili, nanti telah putus barulah berhenti.
46
Prinsip Getteng yang berarti ketegasan atau keteguhan berpegang pada
keyakinan yang benar. Nilai ini dapat ditelaah dari sikap yang ditunjukkan dewan
adat kerajaan Luwu dalam Paupau Rikadong Arung Masala Ulike, dalam suatu
dialog yang memberikan pilihan pada Datu Luwu. Dua pilihan itu berbentuk telur
sebutir yang rusak ataukah telur yang banyak. Pilihan itu bermakna apakah Datu
memilih mempertahankan kehadiran puteri tunggalnya yang berpenyakit kulit di
dalam istana ataukah memilih kepentingan, keselamatan, dan ketentraman rakyat
banyak. Bilamana Datu memilih putrinya, jelas dewan adat akan meninggalkan
Datu, atau menurunkan Datu dari tahtanya.
Dewan adat melakukan hal itu sebagai pertanda ketegasan dan keteguhan
nya berpegang pada prinsip adat kerajaan yang diyakininya, yaitu prinsip
pengayoman kepada rakyat. Datu Luwu yang juga berpegang pada prinsip adat
kerajaan, memahami bahwa dirinya pun harus menunjukkan sikap Getteng dengan
melawan perasaan subjektif nya sebagai seorang ayah dengan memilih “telur yang
banyak”. Hal itu berarti bahwa puteri raja harus ripali (disingkirkan) dari kerajaan
(Ahmad, 2009:101). Getteng atau teguh pada pendirian dalam Islam disebut
sebagai “Istiqamah” seorang yang Istiqamah dianalogikan seperti batu karang di
tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun dipukul oleh
gelombang yang besar.
4. Macca (pintar)
Sifat macca mutlak untuk dimiliki seorang pemimpin. Manakala bawahan
(yang dipimpin) lebih pintar daripada pemimpinnya, akibatnya pemimpin akan
jadi kurang/tidak berwibawa di hadapan bawahannya. Yang lebih berbahaya
47
adalah ketika kepintaran seorang bawahan disalahgunakan untuk maksud
memenuhi ambisi/kepentingan pribadinya, sementara pemimpinnya sendiri tidak
mengetahui akan hal itu.
2. Prinsip Hidup Sawerigading dalam perubahan Sosial Masyarakat
Sawerigading seorang tokoh lagendaris yang dikenal oleh hampir seluruh
kelompok etnik di Sulawesi. Persebaran cerita Sawerigading merata di seluruh
Sulawesi. Sawerigading di pandang sebagai tokoh yang menghubungkan
matarantai tali kekerabatan di antara kelompok-kelompok etnik di Sulawesi, dan
sebagai peletak dasar peradaban (culture hero). Di Sulawesi Selatan ia dikenal
sebagai cikal bakal para penguasa negeri-negeri Bugis, Makassar Mandar. Di
beberapa daerah, Sawerigading terdapat dalam bentuk tradisi lisan, sebagai cerita
suci yang penuturannya hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu.
Sawerigading menyampaikan pada masa kini sulawesi, tentang peradaban masa
lalu. Masa lalu yang disampaikannya itu menyentuh kehidupan nyata kelompok-
kelompok persekutuan hidup kaum kelompok etnik atau lapisan tertentu
masyarakat dibanyak wilayah persebaran, dan pada banyak waktu yang berbeda-
beda. Sawerigading menyusup kedalam peradaban, menindih atau memperkaya
lapisan-lapisan yang telah ada sebelumnya dan membawanya ke dalam realitas
kultur, atau kenyataan budaya. Kenyataan budaya itu apabila dihubungkan dengan
realitas sosial dengan cara mengaktualisasikannya kedalam kenyataan, maka
menjadilah dia pangkalan rujukan bagi peristiwa-peristiwa atau silsilah sesuatu
kaum (Matulada, 1990:7).
48
Mengungkapkan nilai legenda Sawerigading berarti meninjau Tokoh
utamanya dengan segala peristiwa yang berlaku kepadanya. Adapun nilai-nilai
utama yang sangat relevan di tengah kehidupan masyarakat yang sedang
membangun, yaitu:
1. Nilai Kebersatuan
Walaupun tokoh legendaris Sawerigading dikategorikan sebagai manusia
yang berwatak keras dan sering berperang, namun rasa kasih dan sayang dan maaf
masih menggores bekas perilaku Sawerigading luntur dari sumpahnya untuk tidak
kembali lagi ke kampung halamannya setelah ditolak cintanya oleh saudara
kandungnya We Tenriabeng. Setelah iya menjelaskan hubungan kekeluargaan dan
kekerabatan yang tidak terpisahkan. Digarisbawahi lagi orang-orang kulawi yang
mengatakan ‘Sawerigadang datang bukan untuk berkelahi, tetapi untuk
menyelamatkan manusia.
2. Nilai keperkasaan
Nilai keperkasaan merupakan komponen yang tak terpisahkan untuk
merealisasikan suatu cita-cita. Semangat keperkasaan inilah yang melekat pada
diri Sawerigading untuk mengunjungi setiap sudut pelabuhan, antara lain Bima,
Sunda, Singa Raja, Tana Cina dan lain-lain. Perahu werenrengnge yang digelari I
Lattiwajo anging laloe merupakan symbol keperkasaan kebaharian yang harus
diteladani oleh generasi masa kini dan mendatang. Mendarah daging kan
semangat dan kecintaan akan laut yang mendominasi kan Nusantara ini. Laut
merupakan potensi perhubungan dan perekonomian dan Laboratorium raksasa
ilmu pengetahuan.
49
3. Nilai religius
Tokoh sawerigading yang sering dianggap setengah dewa, yang memiliki
kekuatan supranatural, pernah mengakui dirinya sebagai anak sang pencipta,
ternyata sawerigading adalah manusia yang mengakui adanya tuhan tunggal
pencipta yang harus di sembah. Nampak jelas dalam cerita sawerigading di
Bualemo pagimana Luwuk Banggai, “bahwa setelah sawerigading
memperistrikan so da yi di tanah cina, maka iya bersama dengan keluarganya (so
da yi dan anaknya galiligo) berziarah dan mencari berkah tuhan di tanah suci
mekah/baitullah”. Juga setelah kembali dari mekah dan menetap di Tompo tikka
ia sempat menganjurkan kepada masyarakat untuk membangun tempat ibadah
yang diberi nama masigi. Tempat ini jelas dapat dilihat Desa Nipa Kecamatan
pagimana. Sejergadi (Sawerigading) menganjurkan kepada cucunya pergi
berziarah ke mekah untuk menyaksikan bekas kunjungan nya di tanah suci.
Paham yang meyakini bahwa mengunjungi Masigi di Tompo’ tikka sama halnya
dengan menunaikan haji di baitullah, merupakan paham yang keliru. Justru
Sawerigading mengharapkan cucu-cucunya di kemudian hari datang berkunjung
di tanah suci mekah. Keyakinan Sawerigading terhadap adanya tuhan pencipta
yang tunggal, terlihat setelah iya gagal menuntut ilmu “agar selalu hidup abadi
dan mudah belia” (Tuo Temmate Malolo Pulana)” (Yusuf dan Aditya 2018:4).
4. Nilai etis
Sawerigading sebagai tokoh sentral, walaupun dia banyak menentukan
namun tetap taat terhadap nilai-nilai adat istiadat yang disepakati, ia sangat
menjunjung tinggi lembaga Institusional masyarakat. Dia rela di pisahkan dari
50
adiknya We Tenriabeng demi kemaslahatan umum. Ia terlalu mendengar nasehat
ibunya, saudara kandungannya, bahkan sepupunya Lapananrang dan orang-orang
di sekelilingnya (Yusuf dan Aditya, 2018:5).
5. Nilai estetis
Di dalam cerita disamping menyenangi burung, ayam, anjing dan kuda,
juga sangat gemar akan wanita-wanita yang memiliki keindahan tubuh dan wajah
cantik. Dari emosi estetikanya, ia sebagai manusia kadang kala lupa daratan.
Saweigading juga mendapatkan lingkungan, yang indah dan harmonis. Salah satu
kesenangan sawerigading adalah mengadakan penghijauan, dan menanam
tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat langsung bagi manusia, seperti papaya (pulau
papaya di Kecamatan Banggai). (Yusuf dan Aditya, 2018:5).
6. Nilai Historis
Peristiwa-peristiwa masa lampau tidak semuanya dikategorikan sejarah,
tetapi masa lampau yang bisa hidup dihidangkan setiap waktu. Menurut Sartono
Kartodirdjo, bahwa sejarah adalah rekaman masa silang yang objektif yang
terungkap oleh kehidupan manusia melalui pengembangan informasi, tulisan,
dokumen, parasasti, tidak akan terulang. Hidup dan pengulangan nya itulah yang
disebut sejarah dan sejarah pada hakekatnya merupakan proses menelusuri
eksistensi bangsa, masyarakat dan demi seseorang itu sendiri secara esensional.
(Yusuf dan Aditya, 2018:5).
Demikianlah Sawerigading diterima persebarannya ke banyak wilayah
peradaban di Sulawesi dan sekitarnya. Setiap wilayah persebaran menampilkan
versi dan karakteristik yang menampilkan realitas budaya setempat bagi
51
masyarakat Luwu. Tindakan maupun ucapan toko Sawerigading selaku pangeran
mahkota Kerajaan Luwu ternyata menampilkan cukup banyak nilai-nilai budaya
luhur antara lain:
a. Arif dan bijaksana
Dalam menjalankan kekuasaan sebagai pangeran mahkota disamping
kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi dalam pelayaran sawerigading tidak
mengambil keputusan dan bertindak sendiri. Melainkan sebagai dari
kewenangannya dilimpahkan kepada pembantu-pembantu utamanya. Hal ini
terlihat ketika Raja rumpa mega bermaksud memaksakan kehendak sendiri untuk
merampas seluruh armada sawerigading yang sedang berlabuh di Saliweng Langi.
Menghadapi sikap bermusuhan dari baginda raja Rumpa Mega yaitu Guttu
Tallemma bersama putra-putranya. Sawerigading tidak bertindak gegabah,
melainkan dengan penuh kepercayaan, persoalan tersebut diserahkannya kepada
sepupu-sepupunya yaitu La Pananrang, La Massaguni dan La Sinilele. Kearifan
dan kebijaksanaan sang pangeran dilaksanakan dengan sungguh hati oleh ketiga
sepupu, sekaligus pembantu utamanya itu. Anggapan ini sesuai dengan informasi
lontarak sebagai berikut:
“Makkedde teri lapananrang lamassaguni appangarau lasinilel
mapatatumppu imenek wakkae le ri wirinna lepaloyange/neiyya Sa mattekaiwi La
rumpa langi/muita sai le orowane mattebba gajang dikessik e/masommenge
matteppa timu tonrong ngadai padanya datu/natallalo bacci la sinilele tuju mtae
sappo sisenna/nagiling ronnang lasinilele mamiccu lamppe tuncuki jari sappo
sisenna ronnang makkeda magi naiiyo La pananrang La Massaguni marakka
52
rakka mappadiaolo temmu itai Le ri mundringmu napotouoe pengenmmerenna
Le luwue/kuwa uwani tori paremmak la pananrang, la massaguni sorok
macconkkong ripenpola na jonccongngenge.
Artinya:
Berkata dengan suara isak tangis La pananrang sera La massaguni
titakanlah wahai La sinilele untuk merapatkan perahu di pinggir sungai. Biar ku
seberangi/kaudatangi la Rumpa Langi dan Lihatlah yang namanya laki-laki
bertarung dengan Kris diatas pasir. Melawan orang yang lancing mulut,
Meremehkan sesamanya rajanya. Betapa marahnya laisinilele melihat sepupunya
maka iya pun meludah lalu menudingkan jari telunjuknya sambil berkata wahai
La pananrang dan La masaaguni mengapa engkau buru-buru memulai
(pertikaian), tanpa memikirkan keselamatannya orang-orang Luwu dan orang-
orang Ware. La Pananrang dan La massaguni bagaikan orang kena sirep lalu
kembali duduk di ruangan perahu.
Kutipan diatas menunjukkan dua sikap dengan nilai berbeda dalam
menanggapi masalah yang sama. Sikap pertama ditampilkan oleh tokoh La
pananrang dan La massaguni, dimana keduanya ingin menghadapi kekasaran dan
penghinaan lawan dengan mengangkat senjata dalam pertarungan. Namun sikap
tersebut dipandang dengan kurang arif dan kurang bijaksana terutama karena
dapat menimbulkan pertempuran sengit yang diduga akan mengorbankan nyawa
para laskar Luwu. Demikianlah, maka tokoh La sinilele menampilkan sikap kedua
yang dianggap jauh lebih arif fan lebih bijaksana, yaitu sikap sabar dan tetap
53
berkepala dingin menghadapi rongrongan pihak musuhnya. Sikap serta kebijakan
yang ditempuh La sinilel ketika itu tertera dalam naskah Lontarak sebagai berikut:
“Killing makkeda La sini Lele keruk jiawamu tao marajae. Kusompa wali
alaebbi remmu/aga paiyyo naposanrenseng ininna wakku kutakkadapi pasore
wakka ri saliwiwenna le lenagi e naiya rituh toh maraja e ri maelok mu mala
rappawak masapposiseng/Iyana ritu kuwassimenagi tao marajae/alawo
riwuhbilakko ketti/soronggak riwu le sebbu kati.
Artinya:
Lalu Berkata La sinilele, Kur jiwamu paduka yang agung. Hamba
menghaturkan samba sujud di hadapan kemuliaanmu hanya dikau lah tumpuan
pengharapan ku maka aku berlabuh disaliweng langi ini. Adapun keinginanmu
wahai paduka Nan agung untuk menawan ku ber sepupu, ku mohonkan ampunan
dibawa keagungan mu. Ambillah harta benda yang banyak.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sang tokoh La sinilele menempuh
jalur diplomasi untuk menghadapi ancaman musuhnya yang bakal menimbulkan
pertempuran sengit. Kebijakan ini ditempuhnya, demi menjaga keselamatan jiwa
dari segenap lascar pengawal. Baik dari negeri luwu maupun negeri watampare.
Ini membuktikan, bahwa dalam Lontak Galilo terkandung nilai budaya luhur yang
berorientasi pada system kepemimpinan yang dilandasi nilai kearifan dan
kebijaksanaan.
b. Mengutamakan kepentingan negeri dan nama baik
Dalam mengendalikan orang banyak Sawerigading selaku pangeran
mahkota ternyata lebih mengutamakan kepentingan dan nama baik keluarga
54
beserta Negeri Luwu daripada harta benda/kekayaan yang melimpah ruah. Sikap
ini tercermin dalam sikap tokoh Sawerigading ketika berdialog dengan Guttu
Tellemma, sang raja di negeri Saliweng Langi. Dalam dialog itu, Guttu Tellemma
menawarkan perdamaian kepada pihak Sawerigading, dengan syarat
Sawerigading mau melupakan pertikaian yang terjadi dengan pihak kerajaan
Saliweng Langi.
Menanggapi uluran perdamaian tersebut sawerigading menyatakan, bahwa
memang leluhurnya di Tana Luwu termasuk melarat dan bukan orang kaya,
namun demikian mereka sangat pantang menerima pemberian dari siapapun
dengan dali suap. Ini berarti bahwa sewerigading tidak sudi memanfaatkan
kedudukannya sebagai pangeran mahkota untuk mengambil keuntungan, terutama
dari pihak musuh.
c. Mengutamakan keselamatan rakyat
Sawerigading selaku pimpinan perang ketika laskar pengawalnya
berperang melawan laskar kerjaan Rumpa Mega ternyata menampilkan sikap
kesatria sejati. Dalam hubungan ini Sawerigading tidak hanya bersembunyi di
belakang kekuatan laskarnya, tetapi iya pun terjun ke panca pertempuran bersama
dengan segenap pengawal termasuk ke tujuh puluh enam sepupunya.
Pada saat laskar pengawal Sawerigading seluruhnya tewas di tengah
musuh, Sawerigading mengajukan tuntutan kepada Raja Rumpa Mega untuk
kembali menghidupkan segenap Laskar bersangkutan. Padahal ketika itu segenap
laskar dimaksud sudah ditelan oleh makhluk halus yang disebut “Paddengngeng”
untuk memuntahkan para laskar yang telah mereka telan. Berdasarkan uraian
55
tersebut dijelaskan bahwa Sawerigading adalah seorang pangeran mahkota yang
tidak segan membunuh ataupun terbunuh untuk membela keselamatan rakyatnya.
d. Dermawan
Satu diantara nilai budaya luhur yang ditampilkan dalam naskah kuno
Lontarak Galigo ialah sifat kedermawanan raja. Sikap ini ditampilkan oleh tokoh
cerita Batara Lattu, ayahanda Sawerigading. Sebagaimana diceritakan dalam
serial Lontarak Galigo, ketika Sawerigading dengan seluruh pasukannya kembali
di negeri leluhurnya yaitu Tana Luwu, maka orangtuanya mengadakan upacara
selamatan. Upacara itu dimaksud untuk memberikan semangat hidup yang
tangguh kepada putranya
Upacara selamatan tersebut ternyata berlangsung secara ramai, dibarengi
dengan penyembelihan hewan kurban sebanyak ribuan ekor. Dalam pada itu,
upacara tidak hanya diramaikan secara terbatas diantara keluarga raja, melainkan
Batara Lattu selaku raja berdaulat telah menyebarkan undangan ke seluruh
penjuru, terutama di wilayah persahabatan dan wilayah kerajaan taklukan nya.
Sehubungan dengan itu segenap raja sahabat dan raja-raja taklukkan bersama
dengan rakyat banyak ikut menikmati segenap sajian yang ada.
Uraian singkat tersebut hal ini menunjukkan bahwa Raja Luwu sangat
memperhatikan pemerataan pangan kepada para anggota keluarga, raja-raja
sahabat, raja-raja taklukkan serta rakyat banyak. Dalam hal ini pelaksanaan
upacara selamatan merupakan sat diantara media pemerataan bagi kesejahteraan
semua pihak. Ini sekaligus membuktikan bahwa dalam mengendalikan kekuasaan
negeri/kerjaan, sang raja berdaulat mendukung keberadaan nilai kedermawanan.
56
e. Nilai solidaritas
Hampir dalam setiap lembaran serial naskah kuno Lontak Galigo
ditonjolkan nilai solidaritas yang cukup tinggi. Nilai-nilai solidaritas tersebut
tercermin pada beberapa hal pokok yaitu Kehidupan gotong royong. Dalam
naskah Lontarak Galigo yang diceritakan antara lain bahwa pada saat perahu atau
armada perahu Gawerigading sedang mengalami.
g. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sejak Zaman silam leluhur orang bugis di kawasan Luwu telah
menerapkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana setiap orang
mengharapkan mendukung sikap saling mencintai antara sesame manusia tampah
membedakan latar suku bangsa. Dalam serial naskah Galigo yang menjadi sasaran
pengkajian ini gagasan kemanusiaan tercermin pada dialog antara tokoh
Sawerigading dan Guttu Tallemma seperti tertera dalam kutipan di bawah ini.
“Berkata pula Punna Lipuwe ri Rumpa Mega, bahwa kur jiwamu wahai
Lasappe Wali Alebbi remmu/selamat sejahteralah wahai Datuk penakluk seluruh
kolong langit dan seluruh permukaan bumi. Janganlah hendaknya wahai Kati
Riluwu Lebbi ri Ware dikau merasa tersinggung karena engkau telah ku sambut
dengan senjata. Padahal engkau jugalah yang menyebut dirimu Datu Jawa,
sehingga paman mu percaya, Tampa mengetahui bahwa engkau adalah
keluarganya
Filsafat dasar ataupun nilai-nilai yang mengatur pranata hidup masyarakat
Sulawesi Selatan tetap mengacu pada kebiasaan lama, sebagaimana yang
dinarasikan oleh I la Galigo. Filsafat hidup secara fundamental, dipahami sebagai
57
nilai-nilai sosiokultural yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai
patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan
berharganya nilai normatif ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada
setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya.
Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola
pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi
usaha.
Mengenai nilai-nilai motivasi yang terkandung dalam filsafat hidup, pada
dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala Zaman “ajaib”
berlangsung yakni Lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh
belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara
hidup. Tak terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet
nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini
tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak
dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomi
dari pengamalan aplikatif pengaderan. Makna pengaderan dalam konteks ini
adalah keseluruhan Norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah
laku terhadap sesama manusia dan ter-hadap pranata sosialnya yang membentuk
pola tingkah laku serta pandangan hidup.
Menurut Robert H. Lauer perubahan sosial terlebih dahulu menjelaskan
definisi perubahan sosial dengan alasan bahwa teori-teori perubahan sosial di
masa lalu yang telah dibangun di atas mitos-mitos tentang perubahan sosial, mitos
membentuk pola pikir yang menyimpang, trauma dan ilusi yang merupakan
58
kendala memahami perubahan sosial sebagai hakekat kehidupan manusia.
Sawerigading memilki tempat yang berpindah-pindah dan memiliki perubahan
dari setiap daerah yang ditempati sehingga menimbulkan teori-teori perubahan
sosial atau peninggalan Sawerigading. Maka dari itu menimbulkan mitos atau
perspektif bagi masyarakat yang menemukan peninggalan Sawerigading Sulawesi
Selatan
59
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah di paparkan pada bab sebelumnya yaitu
mengenai Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu (Studi Pustaka Prinsip Hidup
Sawerigading Dalam Perubahan Sosial, maka penulis dapat menyimpulkan hasil
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Ketokohan Sawerigading di Tana Luwu
Bahwa Sawerigading adalah tokoh dalam masyarakat dan sebagai perekat
atau penghubung suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan. Sawerigading tokoh
dari peristiwa-peristiwa kultural yang meliputi berbagai kejadian, dan
memandangnya sebagai cikal bakal pemimpin bagi kaumnya, Adapun empat sifat-
sifat Sawerigading, yang pertama sikap Getteng atau teguh dalam pendiriannya,
yang kedua sifat Warani atau berani, yang ketiga sifat Empuk atau jujur, yang ke
empat sifat Macca atau pintar.
2. Bagaimana Prinsip Hidup Sawerigading Dalam Perubahan Sosial
Masyarakat di Tana Luwu
Sawerigading juga memiliki prinsip hidup dalam perubahan sosial dalam
masyarakat, yaitu membangun nilai-nilai seperti nilai Religius, nilai kesatuan,
nilai etis, nilai keperkasaan, nilai estetis, dan nilai historis. Selain memiliki sifat
dan nilai-nilai utama dalam diri Sawerigading, Sawerigading juga memiliki nilai
kebudayaan, yaitu arif dan bijaksana, mengutamakan negeri dan nama baik,
60
mengutamakan keselamatan rakyat, Dermawan, nilai solidaritas, dan kemanusiaan
yang adil dan beradab.
B. Saran
Adapun saran saya yaitu saya berharap bagi masyarakat khususnya
generasi-generasi muda saat ini. Luwu agar memperbanyak membaca mengenai
sejarah tentang Tokoh Sawerigading. Karna saya melihat masih banyak yang tidak
mengetahui tentang sejarah Sawerigading. Dan sebaiknya pembaca tidak
membaca saja karena dalam sejarah Sawerigading terdapat banyak pelajaran
mengenai nilai-nilai kehidupan yang dapat di aplikasikan dalam bermasyarakat.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2009). Mengenal Sosok Sawerigading Lebih jauh,
https://www.kompasiana.com/labolong/mengenal-sosok-sawerigading-
lebih-jauh_54fdda06a33311436550f86e, diakses 19 juli 2020.
Amalia. (2013). Kajian Sosial Budaya Tentang Warisan Budaya Masyarakat.
Universitas Pendidikan Indonesia
A. Rahman, Rahim, (1985). Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung
Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS.
Creswel John w. (2016). Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif Dan
Campuran. Pustaka Pelajar
Endraswara, Suwardi. (2013). Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Caps
Ekadjati, E.S. 1976. Sejarah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Dedi Arliyanto Wibowo (2019) meneliti tentang Pengembangan Bahan Ajar
Ketokohan Raden Ajeng Kartini sebagai Pelopor Gerakan Emansipasi
Wanita Indonesia dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Sejarah Peserta
Didik SMAN 1 Pancangan Jepara. Skripsi
Kern, R.A. (1989). I La Galigo Cerita Bugis Kuno Terjemahan La Side Dan
Sagimun M.D. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
Latif Syarifuddin. (2012). Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam
Perspektif Nilai Bugis. Jurnal Al- Ulum. 12 (1)
Maimunah Zarkasyi (2012) meneliti tentang Sheikh Muhammad Arsyad Al-
Banjari, Ketokohan dan Sumbangannya. Skripsi
Matulada. (1990). Sawerigading Folktale Sulawesi. Departemen Pendidikan
Kebudayaan
Muslaini, Hidayat. (2019). Kisah Sejarah Sawerigading Terjadi Pada Abad Ke-17
(Online),
(https://www.indonesiasejarahbangsa.wordpress.com/2019/10/07/kisah-
sejarah-sawerigading-terjadi-pada-abad-ke-17/, diakses 18 Juli 2020.
Nursalam, Suardi dan Syarifuddin. (2016). Teori Sosiologi Klasik, Modern,
Posmodern, Saintifik, Hermeneutic, Kritis, Evaluatif dan Integratif.
Yogyakarta: Penerbit Writing Revolution
62
Nurgyantoro, Burhan. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada.
Perdana Andini. (2019). Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan Di
Meseum La Galigo. Pangadereng, 5 (1).
Pertiwi Wiwik, Hartati, Hamid Panrangi Dan Airlangga. (1998). Kajian Nilai
Budaya Naskah Kuna Mapalina Sawerigading Ri Saliweng Langi.
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Pongsibanne, Lebba. (2010). Autentisitas Budaya Bugis Jejak Sawerigading
sebagai Perekat Bangsa dalam Epik I La Galigo. Yogyakarta: PT. INCO.
Putra Maharidiawan. (2018). Hukum Dan Perubahan Sosial (Tinjuan Terhadap
Modernisasi Dari Aspek Kemajuan Teknologi). Jurnal Morality, 4 (1). 48-
59.
Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sartono Kartodirdjo. (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT Grandmedia Pustaka Utama.
Suryabrata, S. (1983). Metodologi penelitian. Jakarta: Rajawali.
Siti Muazaroh (2016) mengkaji tentang Cultural Capital dan Kharisma Kiai dalam
dinamika politik (Studi Ketokohan K.H. Maimun Zubair). Skripsi
Wibowo, Arliyanto Dedi. (2019), Pengembangan Bahan Ajar Ketokohan
Raden.Ajeng Kartini Sebgai Pelopor Gerakan Emansipasi Wanita
Indonesia Dalam Rangka Peningktatan Kesadaran Sejarah Peserta Didik
SMAN 1 Pecangaan Jepara. Semarang.
Yetti Erli. (2016). Legenda Danau Lindu Sulawesi Tengah: Struktur Naratif.
Kandai. 12 (2)
Yusuf Zulkifli dan Aditya Krisna Dimas. (2018). Perancangan Desain Karakter
Untuk Memperkenalkan Nilai- Nilai Dari Kisah Sawerigading Bagi Remaja
di Sulawesi. Universitas Telkom. 5 (3).
L
A
M
P
I
R
A
N
DOKUMENTASI
( Buku I La Galigo )
( Buku Sawerigading )
( Buku Legacy Tana Luwu )
( Buku Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Mapalina Sawerigading Ri Saliweng
Langi )
( Buku Kedatuan Luwu )
Barang peninggalan Sawerigading
Kris Emas
Sarung Keris (Jonga-Jonga) model Perahu Layar dan Timpa Laja
Monumen (Toddopuli Temmalara) perjuangan wasiat sawerigading.
Kapal Phinisi
Buku Sureq Galigo dari Abad Ke-19
Foto Sawerigading
RIWAYAT HIDUP
Sri Wahyuni, lahir di Cendana Kecamatan Burau
Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan
pada tanggal 21 Maret 1998, merupakan anak ketiga
dari 5 bersaudara. Peneliti lahir dari pasangan suami
istri Bapak Abidin dan Hj. Rosiana. Adapun riwayat
pendidikan yaitu peneliti menyelesaikan Sekolah Dasar
Negeri 103 Lumbewe tahun 2010, pada tahun itu peneliti melanjutkan pendidikan
di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Burau tamat pada tahun 2013 , kemudian
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Luwu Timur selesai
tahun 2016. Pada tahun 2016 peneliti melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi, tepatnya Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada program Studi Pendidikan Sosiologi. Selama
menjadi mahasiswa. Peneliti menyelesaikan kuliah Strata Satu (SI) pada tahun
2021.
20%SIMILARITY INDEX
20%INTERNET SOURCES
2%PUBLICATIONS
2%STUDENT PAPERS
1 6%
2 1%
3 1%
4 1%
5 1%
6 1%
7 1%
8 1%
9 1%
Sri Wahyuni 105381120016ORIGINALITY REPORT
PRIMARY SOURCES
repository.unhas.ac.idInternet Source
pettaamin.blogspot.comInternet Source
hasrumjaya.blogspot.comInternet Source
repository.uinjkt.ac.idInternet Source
lpdpvii.blogspot.comInternet Source
ejournal.stkipbbm.ac.idInternet Source
arifuddinali.blogspot.comInternet Source
eprints.ulm.ac.idInternet Source
libraryeproceeding.telkomuniversity.ac.idInternet Source