ketoksikan akut sari wortel (daucus carota l.) kajian ... · kajian terhadap histologi ginjal dan...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

KETOKSIKAN AKUT SARI WORTEL (Daucus carota L.)KAJIAN TERHADAP HISTOLOGI GINJAL DAN KADAR KREATININ
SERTA UREUM SERUM PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Rocha Ifahyana Siagian
NIM : 068114106
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010

ii
ACUTE TOXICITY OF CARROT JUICE (Daucus carota L.)CONCERNING ABOUT KIDNEY HISTOLOGY AND CONCENTRATION
CREATININ WITH UREUM SERUM OF STRAIN WISTAR FEMALE RATS
SKRIPSI
Presented as partitial fulfilment of the requirement To obtain Sarjana Farmasi (S.Farm)
In Faculty of Pharmacy
By :
Rocha Ifahyana Siagian
NIM : 068114106
FACULTY OF PHARMACYSANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA2010

iii

iv

v
HALAMAN PERSEMBAHAN
”Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat”
”Ketika kumohon kebijaksanaan, Allah memberiku masalah untuk kupecahkan”
”Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir”
”Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi”
”Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong”
”Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan”
” Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan” (Mazmur)
Kupersembahkan karyaku ini untuk :
Tuhan Yesusku, Bapa yang selalu menopangku saat ku tak mampu dan
mengangkatku saat kuterjatuh serta memberiku kekuatan.
Papi dan mamiku untuk segala doa, cinta dan perhatiannya.
Kakak-kakakku dan adikku yang selalu memberikan semangat.
Almamaterku.

vi

vii
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat rahmat-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Ketoksikan Akut Sari Wortel (Daucus carota L.) Kajian terhadap Histologi
Ginjal dan Kadar Kreatinin serta Ureum Serum pada Tikus Betina Galur Wistar”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kesuksesan penyusunan ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari
banyak pihak, baik berupa materiil, moral, tenaga, maupun doa. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, masukan, dan
perhatiannya yang besar serta saran dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Phebe Hendra, Msi., PhD., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah
menyediakan waktu untuk memberikan saran dan masukan demi
kesempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah
menyediakan waktu untuk memberikan saran dan masukan demi
kesempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc yang menyempatkan waktu untuk
membantu saya memahami mengenai analisis data penelitian dengan uji
statistik dan metode penelitian ini.

viii
5. Romo Drs. P. Sunu Hardiyanto, S.J., M.Sc. yang menyempatkan waktu untuk
membantu saya memahami uji statistik yang saya gunakan dalam penelitian
ini.
6. Ibu Prof. Drh. Kurniasih, MVSc., PhD. selaku dosen yang mengamati hasil
pemeriksaan histopatologi organ ginjal dari penelitian ini.
7. Para karyawan dan laboran Laboratorium Farmakologi-Toksikologi (Pak
Heru, Pak Parjiman, dan Mas Kayat), yang telah banyak membantu selama
penelitian ini.
8. Kedua orang tuaku yaitu Bapak Haden Siagian dan Ibu Murniati Sitorus yang
telah memberikan kasih sayang yang besar dan memberikan dukungan dalam
doa dan perhatian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Saudara-saudara kandungku yaitu kakak Yenny, abang Denny, kakak Putri,
adikku Nina, dan adikku Indra, serta seluruh keluarga besarku atas semua
perhatian, dukungan, serta doa yang tiada hentinya selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
10. Abang Renyus, sebagai kekasih saya yang turut memberikan dukungan dan
perhatian, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
11. Kakak mitra yang memberikan semangat setiap hari melalui alat komunikasi
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Abang Kris yang memberikan dukungan dengan meminjamkan printer
sehingga dapat terselesaikan skripsi ini.
13. Sahabat dan teman-teman terkasih Reni, Shiela, Manik, Gesi, Angga, Rio,
Tito, Anis, Melki, serta teman-teman kost Muria dan mbak Niken. Terima

ix

x

xi
INTISARI
Ketoksikan akut adalah tingkat efek toksik suatu senyawa pada hewan uji tertentu, yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberiannya pada dosis tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan potensi toksisitas akut berdasarkan harga LD50, menilai gejala toksik, spektrum efek toksik yang timbul, dan pengaruh dosis pemberian sari wortel (Daucus carota L.) terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan ditinjau dari histologi ginjal dan parameter biokimia seperti kadar kreatinin dan ureum serum.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 30 subyek uji. Hewan uji dibagi dalam 5 kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Tiap kelompok terdiri atas 6 ekor hewan uji. Kelompok I adalah kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun, kelompok II sampai V adalah kelompok yang diberikan sari wortel sekali pemejanan dengan dosis masing-masing 66,55g/kg BB; 79,86 g/kgBB; 95,83 g/kg BB; 115 g/kg BB. Analisis statistik menggunakan Shapiro-Wilk, Uji One-Way ANOVA, General Linear Model Multivariate, serta Paired T-Test.
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian sari wortel tidak menunjukkan gejala efek toksik. Potensi ketoksikan akut sari wortel pada tikus betina galur Wistar yang diperoleh berupa harga LD50 semu yaitu >115 g/kg BB. Berdasarkan analisis histopatologi organ ginjal menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan jaringan ginjal. Selain itu, berdasarkan analisis statistik menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian sari wortel terhadap kadar kreatinindan ureum serum pada waktu 24 jam dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel mulai dari dosis 66,55 g/kg BB hingga 115 g/kg BB.
Kata kunci : ketoksikan akut, histopatologi ginjal, sari wortel, kadar kreatinin dan ureum serum

xii
ABSTRACT
Acute Toxicant is a combination toxic effect level of a specific tested animal, that happens in 24 for hours after the giving on a sole dosage. This research aims to establish acute toxical potency based on LD50 value, to estimate toxic symptom, emerged toxical effect spectrum, and the dosage effect of giving carrot juice (Daucus carota L.) to the emerged toxical effect shape, observed from kidney histology and biochemistry parameter i.e. kreatinin degree and ureumserum.
This is such a same-direction system complete random pure experimental research, that uses 30 experimental subjects. The experiment animals are divided into 5 groups, consisted of control group and treatment group. Every group consists of 6 experimental animals. The first group is the group in which no treatment is given, while the second until the fifth group are the groups given carrot juice for every exposure with 66,55 g/kg BB; 79,86 g/kg BB; 95,83 g/kgBB; 115 g/kg BB dosage per each. The statistical analysis uses Shapiro-Wilk, One-Way ANOVA examination, General Linear Model Multivariate, and Paired T-Test.
Based on result retrieved, it is shown that the giving of carrot juice does not point out the toxic effect symptom. The potential gotten of the carrot juice acute toxicant of strain Wistar female rats is mien LD50, i.e. >115 g/kg BB. By reffering to the kidney organ histopatology analysis, it is shown that there is no kidney network damage. Besides, based on the analysis, the statistic shows that there is no effect of the giving the carrot juice of kreatinin and serum ureum degree in 24 hours and the 14th day after carrot juice is exposured starting from 66,55 g/kg BB to 115 g/kg BB dosage.
Keywords: acute toxic, kidney histology, carrot juice, kreatinin degree and ureumserum

xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................ vi
PRAKATA ..................................................................................................... vii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ............................................... x
INTISARI ...................................................................................................... xi
ABSTRACT ..................................................................................................... xii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiv
BAB I. PENGANTAR
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
1. Permasalahan ......................................................................... 3
2. Keaslian penelitian ................................................................ 4
3. Manfaat penelitian ................................................................ 7
B. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8
1. Tujuan umum ......................................................................... 8
2. Tujuan khusus ....................................................................... 9

xiv
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
A. Sistematika Tanaman Wortel (Daucus carota L.) ........................ 10
1. Taksonomi tanaman ............................................................... 10
2. Morfologi ............................................................................... 10
3. Kandungan kimia ................................................................... 11
4. Kegunaan di masyarakat ........................................................ 12
B. Beta Karoten ................................................................................. 12
C. Toksikologi ................................................................................... 15
1. Definisi toksikologi ............................................................... 15
2. Asas umum toksikologi ......................................................... 16
a. Kondisi efek toksik ........................................................... 16
b. Mekanisme efek toksik ..................................................... 17
c. Wujud efek toksik ............................................................. 18
d. Sifat efek toksik ................................................................ 19
3. Jenis uji toksikologi ............................................................... 20
a. Uji ketoksikan tak khas .................................................... 20
b. Uji ketoksikan khas .......................................................... 21
D. Uji Toksisitas Akut ....................................................................... 21
E. Median Lethal Dosage (LD50) ...................................................... 23
F. Anatomi dan Fisiologi Ginjal ....................................................... 25

xv
G. Nefropati Toksik ........................................................................... 27
1. Glumerulonefropati ................................................................ 28
2. Nefropati tubulus proksimal .................................................. 28
3. Nefropati tubulus distal .......................................................... 29
H. Kreatinin dan Ureum Serum ......................................................... 29
1. Kreatinin serum ........................................................................ 29
2. Ureum serum ............................................................................ 30
I. Landasan Teori ............................................................................. 31
J. Hipotesis ....................................................................................... 32
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................................... 33
B. Variabel dan Definisi Operasional ............................................... 33
1. Variabel utama ........................................................................ 33
2. Variabel pengacau ................................................................... 34
3. Definisi Operasional ............................................................... 35
C. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 36
1. Alat ........................................................................................ 36
2. Bahan .................................................................................... 36
D. Tata Cara Penelitian ...................................................................... 37
1. Penyiapan hewan uji .............................................................. 37
2. Pengelompokkan hewan uji .................................................. 37
3. Pengumpulan bahan ............................................................... 38
4. Determinasi tanaman ............................................................. 38

xvi
5. Pembuatan larutan sampel ..................................................... 38
6. Penentuan dosis ..................................................................... 39
7. Pengamatan ........................................................................... 40
8. Uji toksisitas .......................................................................... 41
9. Pengambilan darah dan pemeriksaan kadar kreatinin dan
ureum serum ......................................................................... 42
a. Pengambilan darah sebelum pemejanan sari wortel ........ 42
b. Pengambilan darah setelah pemejanan sari wortel ........... 43
10. Pembuatan dan pemeriksaan preparat histopatologi ............ 43
E. Tata Cara Analisis Hasil .............................................................. 44
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Determinasi Tanaman .................................................................... 46
B. Jalan Penelitian .............................................................................. 46
C. Uji Toksisitas Akut ........................................................................ 48
D. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Organ Ginjal ............ 50
E. Pemeriksaan Kadar Kreatinin dan Ureum Serum .......................... 58
1. Pemeriksaan kadar kreatinin serum ........................................ 60
2. Pemeriksaan kadar ureum serum ............................................ 66
F. Analisis Berat Organ Ginjal Relatif ............................................... 73
G. Analisis Berat Badan ..................................................................... 77
H. Rangkuman Pembahasan ............................................................... 81

xvii
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 87
B. Saran ............................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 89
LAMPIRAN ................................................................................................... 94
BIOGRAFI PENULIS ..................................................................................... 137

xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Klasifikasi potensi ketoksikan suatu senyawa ...................... 25
Tabel II. Hasil pengamatan secara kualitatif gejala-gejala efek toksik
tikus betina galur Wistar pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan pemberian sari wortel selama waktu
pengamatan mulai dari 3 jam setelah pemberian sari wortel
hingga hari ke-14 ................................................................... 48
Tabel III. Jumlah kematian tikus betina galur Wistar pada waktu
pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 49
Tabel IV. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus betina
galur Wistar akibat pemberian sari wortel 1x dengan waktu
pengamatan 24 jam setelah pemejanan .................................. 52
Tabel V. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus betina
galur Wistar akibat pemberian sari wortel 1x dengan waktu
pengamatan pada hari ke-14 setelah pemejanan .................... 54
Tabel VI. Purata kadar kreatinin serum ± SE tikus betina galur Wistar
sebelum pemberian sari wortel (Daucus carota L.) .............. 61
Tabel VII. Purata kadar kreatinin serum ± SE tikus betina galur Wistar
pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 61

xix
Tabel VIII. Purata kadar kreatinin serum ± SE pada tikus betina galur
Wistar sebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah
pemberian sari wortel (Daucus carota L.) ............................. 62
Tabel IX. Purata kadar kreatinin serum ± SE tikus betina galur Wistar
pada waktu pengamatan hari ke-14 setelah pemejanan sari
wortel (Daucus carota L.) ..................................................... 64
Tabel X. Purata kadar kreatinin serum ± SE pada tikus betina galur
Wistar sebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14
setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.) ................. 65
Tabel XI. Purata kadar ureum serum ± SE pada tikus betina galur
Wistar pada waktu sebelum pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 67
Tabel XII. Purata kadar ureum serum ± SE tikus betina galur Wistar
pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 67
Tabel XIII. Purata kadar ureum serum ± SE pada tikus betina galur
Wistar sebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah
pemberian sari wortel (Daucus carota L.) ............................. 69
Tabel XIV. Purata kadar ureum serum ± SE tikus betina galur Wistar
pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 70

xx
Tabel XV. Purata kadar ureum serum ± SE pada tikus betina galur
Wistar sebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14
setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.) ................. 71
Tabel XVI. Rata-rata berat organ ginjal relatif akibat 1x pemberian sari
wortel pada pengamatan 24 jam setelah pemejanan .............. 75
Tabel XVII. Rata-rata berat organ ginjal relatif akibat 1x pemberian sari
wortel pada pengamatan hari ke-14 setelah pemejanan ......... 75
Tabel XVIII. Rata-rata berat badan hari ke-0, ke-7, dan ke-14 tikus betina
galur Wistar akibat 1x pemberian sari wortel (Daucus
carota L.) ............................................................................... 79

xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur kimia beta karoten ............................................ ............13
Gambar 2. Anatomi ginjal ................................................................. ...........26
Gambar 3. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar pada kelompok kontrol (tidak diberikan perlakuan
apapun) dengan perbesaran 200x menggunakan
pengecatan hematoksilin-eosin ...................................................53
Gambar 4. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar pada kelompok perlakuan yang diberikan sari
wortel (dosis 66,55 g/kg sampai 115 g/kg BB) dengan
perbesaran 200x menggunakan pengecatan hematoksilin-
eosin.............................................................................................53
Gambar 5. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar pada kelompok kontrol (tidak diberikan apapun)
dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan
hematoksilin-eosin.......................................................................54
Gambar 6. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 66,55 g/kg BB
dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan
hematoksilin-eosin ......................................................................55

xxii
Gambar 7. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 79,86 g/kg BB
dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan
hematoksilin-Eosin .....................................................................55
Gambar 8. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 95,83 g/kg BB
dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan
hematoksilin-Eosin ......................................................................56
Gambar 9. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur
Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 115 g/kg BB
dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan
hematoksilin-Eosin ......................................................................56
Gambar 10. Diagram batang purata kadar kreatinin serum sebelum
pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari
wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar ..........63
Gambar 11. Diagram batang purata kadar kreatinin serum sebelum
pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian
sari wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur
Wistar ..........................................................................................65
Gambar 12. Diagram batang purata kadar ureum serum sebelum
pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari
wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar ..........68

xxiii
Gambar 13. Diagram batang purata kadar ureum serum sebelum
pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian
sari wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur
Wistar ..........................................................................................71
Gambar 14. Diagram persentase purata berat organ ginjal pada tikus
betina galur Wistar pada waktu 24 jam setelah pemberian
sari wortel (Daucus carota L.) ....................................................75
Gambar 15. Diagram persentase purata berat organ ginjal pada tikus
betina galur Wistar pada hari ke-14 setelah pemberian sari
wortel (Daucus carota L.) ........................................................... 76
Gambar 16. Grafik purata berat badan tikus betina galur Wistar pada
hari ke-0, 7, dan 14 hari setelah pembe-rian sari wortel
(Daucus carota L.) ......................................................................80

xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat determinasi tanaman wortel ....................................... 94
Lampiran 2. Surat pembelian tikus putih betina galur Wistar sebanyak
30 ekor di LPPT, Universitas Gadjah Mada ....................... 95
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan histopatolgi organ ginjal tikus betina
galur Wistar pada pengamatan 24 jam setelah pemberian
sari wortel ............................................................................ 97
Lampiran 4. Hasil pemeriksaan histopatolgi organ ginjal tikus betina
galur Wistar pada pengamatan hari ke-14 setelah
pemberian sari wortel .......................................................... 98
Lampiran 5. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum
sebelum pemberian sari wortel yang dilakukan oleh LPPT-
UGM ................................................................................... 99
Lampiran 6. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum
24 jam setelah pemberian sari wortel yang dilakukan oleh
LPPT-UGM ......................................................................... 101
Lampiran 7. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum
14 hari setelah pemberian sari wortel yang dilakukan oleh
LPPT-UGM ......................................................................... 102
Lampiran 8. Data penimbangan berat organ ginjal relatif tikus betina
galur Wistar.......................................................................... 103

xxv
Lampiran 9. Data penimbangan berat badan tikus betina galur
Wistar................................................................................... 103
Lampiran 10. Skema proses penomoran hewan uji dengan cara random... 103
Lampiran 11. Gambar umbi wortel ........................................................... 104
Lampiran 12. Gambar Juice Extractor ..................................................... 104
Lampiran 13. Tikus putih betina galur Wistar dan foto timbangan .......... 104
Lampiran 14. Sari wortel yang diperoleh dengan menggunakan Juice
Extractor ............................................................................. 105
Lampiran 15. Sari wortel disaring menggunakan saringan teh biasa
(penyaringan 1) .................................................................... 105
Lampiran 16. Penyaringan sari wortel menggunakan kertas saring
(penyaringan 2) .................................................................... 106
Lampiran 17. Sari wortel yang diperoleh dari hasil penyaringan ke-2 ...... 106
Lampiran 18. Pemberian sari wortel pada tikus betina galur Wistar ....... 107
Lampiran 19. Gambar makroskopis organ ginjal pada kelompok kontrol
dan perlakuan....................................................................... 107
Lampiran 20. Data berat organ ginjal relatif ............................................. 108
Lampiran 21. Data berat badan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 .............. 114
Lampiran 22. Data kadar kreatinin serum.................................................. 118
Lampiran 23. Data kadar ureum serum...................................................... 125
Lampiran 24. Perhitungan LD50 sari wortel ke manusia ........................... 130
Lampiran 25. Perhitungan dosis sari wortel .............................................. 133

xxvi
Lampiran 26. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala toksik tikus betina
kelompok kontrol yang tidak diberi sediaan uji................... 135
Lampiran 27. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala toksik tikus betina
kelompok perlakuan (dosis 66,55 g/kgBB sampai 115
g/kgBB) yang diberi sediaan uji .......................................... 136

1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Obat tradisional merupakan obat yang dibuat dari bahan atau paduan
bahan-bahan yang diperoleh dari tanaman, hewan atau yang belum berupa zat
murni dan digunakan secara turun-temurun (Soesilo, 1992). Pemanfaatan tanaman
obat sebagai sumber obat tradisional telah banyak digunakan dan diupayakan
adanya pemeliharaan atau peningkatan taraf kesehatan. Hal ini diduga karena
bahan alami yang digunakan lebih aman dibandingkan obat-obat kimia atau
sintetik. Selain itu, obat tradisional juga memiliki berbagai kelebihan yaitu mudah
diperoleh, harga relatif murah karena bisa ditanam sendiri dan relatif tanpa efek
samping (Muhlisah, 2003).
Salah satu tanaman obat tradisional yang dikenal adalah wortel. Wortel
merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat baik sebagai
sayuran (Pitojo, 2004) maupun sebagai obat (Rukmana, 1995). Bagian dari wortel
yang berkhasiat salah satunya adalah umbi wortel. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa umbi wortel memiliki khasiat sebagai anti-inflamasi dan
anti-ulserogenik (Wehbe, Mroueh, and Daher, 2009), anti-analgesik (Putra, 2003),
hepatoprotektif (Nuraeni, 2003), menurunkan kolesterol, anti-kanker, anti-stroke
(Afriansyah, 2007), berkhasiat sebagai diuretik (Dalimartha, 2007), busung lapar,
penyakit gagal ginjal, diare kronik, disentri kronik (Perry and Metzger, 1980).
Dengan demikian, banyak masyarakat yang lebih menyukai penggunaan obat-obat

2
tradisional dibandingkan obat-obat kimia. Namun, tetap perlu hati-hati dalam
menggunakan obat-obat tradisional karena penggunaan secara berlebihan (dosis
berlebih) dapat bersifat toksik di dalam tubuh (Koeman, 1987). Dalam wortel
terkandung senyawa beta karoten yang akan dikonversi oleh tubuh menjadi
vitamin A (Rukmana, 1995). Vitamin A yang ditemukan dalam wortel dinamakan
karotenoid provitamin A. Bila mengkonsumsi karotenoid provitamin A dalam
dosis tinggi dapat menyebabkan hiperavitaminosis A yang dapat berlangsung akut
maupun kronis (Pitojo, 2004). Selain itu, beta karoten dapat berperan sebagai
prooksidan, dimana bila aktivitas prooksidan terjadi dalam sel normal maka dapat
menyebabkan kerusakan oksidatif yang menekan integritas sel dan menginduksi
transformasi neoplastik (Masotti, Casali, and Galeotti, 1988). Dengan demikian,
perlu dilakukan uji praklinik pada obat-obat tradisional untuk dapat menentukan
keamanan melalui uji toksisitas dan uji farmakologi (Anonim, 2000). Karena
penelitian mengenai keamanan penggunaan wortel masih kurang terkait dengan
uji toksisitas wortel, maka perlu dilakukan penelitian mengenai ketoksikan akut
sari wortel (Daucus carota L.).
Uji ketoksikan akut merupakan suatu pengujian untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut dari suatu zat dalam jangka waktu 24 jam melalui nilai LD50
(Median Lethal Dosage), menilai berbagai gejala toksik, melihat berbagai
spektrum efek toksik, mengetahui mekanisme kematian dari hewan uji (Anonim,
2000). Uji ketoksikan akut memiliki spektrum yang luas yang mencakup semua
organ, namun pada penelitian ini lebih dikhususkan terhadap organ ginjal karena
ginjal merupakan sasaran utama dari efek toksik dan sebagai organ ekskresi (Lu,

3
2006), sehingga peneliti tertarik ingin meneliti apakah sari wortel bersifat toksik
terhadap organ ginjal dengan melihat adanya perubahan struktural (histopatologi)
yang dilakukan secara mikroskopis, serta melakukan pemeriksaan terhadap kadar
kreatinin dan ureum serum yang merupakan parameter biokimia untuk melihat
adanya perubahan biokimia dalam tubuh setelah diberikan sari wortel. Dari hal
diatas, maka peneliti melakukan penelitian tentang ketoksikan akut sari wortel
(Daucus carota L.) kajian terhadap histologi organ ginjal dan kadar kreatinin serta
ureum serum pada tikus betina galur Wistar. Sepanjang pengetahuan peneliti,
penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
a. Apa saja gejala ketoksikan yang timbul akibat pemejanan akut sari
wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar?
b. Berapa besar potensi ketoksikan akut sari wortel (Daucus carota L.)
pada tikus betina galur Wistar yang dinyatakan dengan Median Lethal
Dosage (LD50)?
c. Apakah pemberian sari wortel (Daucus carota L.) dapat menyebabkan
efek toksik ditinjau dari histopatologi organ ginjal?
d. Bagaimana pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
ditinjau dari kadar kreatinin dan ureum serum (perubahan biokimia)?

4
2. Keaslian penelitian
Beberapa penelitian mengenai khasiat dan keamanan tanaman wortel
adalah sebagai berikut :
a. The Potential Role of Daucus carota L. Aqueous and Methanolic Extracts
on Inflammation and Gastric Ulcers in Rats (Wehbe, dkk., 2009).
Ekstrak aquadest dan metanol dari Daucus carota L. memberikan aktivitas
antiinflamasi pada dosis dari 400 dan 140 mg/kgBB dengan masing-
masing sebesar 90,9 dan 58,6%. Sedangkan pada inflamasi kronis,
menunjukkan bahwa dengan dosis 400 dan 140 mg/kgBB memberikan
aktivitas antiinflamasi sebesar 58 dan 44,1%. Ekstrak aquadest dan
metanol Daucus carota L. signifikan menunjukkan perlindungan terhadap
ulkus lambung yang diinduksi etanol dengan rasio masing-masing 46,8
kuratif dan 68,7% dengan dosis 250 mg/kgBB.
b. Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada Mencit
Putih Betina Galur Wistar (Putra, 2003).
Air perasan umbi wortel memiliki efek analgesik pada mencit putih betina
yang ditunjukkan dengan adanya penurunan persen geliat. Persen proteksi
geliat pada masing-masing dosis yaitu: dosis 1,25 ml/kg BB; 2,5 ml/kgBB;
10 ml/kgBB; 20 ml/kgBB sebesar 29,72%; 43,68%; 67,36%; 60,74%; 31,
18%.

5
c. Efek Hepatoprotektif Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.)
Terhadap Mencit Jantan Terinduksi CCl4 (Nuraeni, 2003).
Air perasan umbi wortel (Daucus carota L.) mempunyai efek
hepatoprotektif terhadap mencit jantan terinduksi CCl4 dosis 3,92
ml/kgBB. Efek hepatoprotektif ditandai dengan menurunnya aktivitas
GPT-serum dan menurunnya derajat kerusakan sel hati mencit akibat
hepatotoksikan CCl4. Efek hepatoprotektif air perasan umbi wortel dosis
0,14; 0,392; 1,162; 3,50; 10,50 dan 31,50 ml/kgBB berturut-turut sebesar
10,53%; 12,83%; 18,87%; 28,26%; 35,70%; dan 77,12%. Dosis efektif
(ED50) air perasan umbi wortel pada mencit 20 gram terinduksi CCl4
sebesar 12,189 ml/kgBB.
d. Purple Carrot (Daucus carota L.) Polyacetylenes Decrease
Lipopolysaccharide-Induced Expression of Inflammatory Proteins in
Macrophage and Endothelial Cells (Metzger, Barnes, dan Reed, 2008).
Kandungan poliasetilen yang terdapat dalam wortel memiliki efek
antiinflamasi yang tinggi yang ditunjukkan dengan sekresi protein IL-6
dan TNF- R turun menjadi 77 and 66% dalam sel endotelial dengan dosis
pemberian 6,6 and 13,3 µg/mL dari fraksi LH-20. Poliasetilen diisolasi dan
menurunkan NO dalam sel makrofag sebanyak 65% tanpa sitotoksik.
e. Pengaruh Pemberian Wortel (Daucus carota L.) terhadap Jumlah Sel
Radang Limfosit Submukosa Bronkiolus Tikus (Rattus norvegicus) Strain
Wistar yang Dipapar Asap Rokok Kretek Subkronik (Khairani, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sel radang

6
limfosit meningkat secara signifikan (p=0,000, uji Posthoc) pada
kelompok yang dipapar asap rokok (sel limfosit = 609 ± 30,65942 sel)
dibanding kontrol negatif (sel limfosit 61,75 ± 6,60177 sel), dan menurun
secara bermakna pada kelompok 250 mg/hari (p=0,011 dengan sel
limfosit= 499,25 ± 40,72162 sel), kelompok 500 mg/hari (p=0,000 dengan
sel limfosit = 237 ± 59,40258 sel, serta kelompok 750 mg/hari (p = 0,037
dengan sel limfosit = 440,75 ± 43,78261 sel) dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif.
f. Toksisitas Akut Sari Wortel (Daucus carota L.) Kajian terhadap Organ
Lambung, Ginjal, Hati pada Mencit Putih Betina Galur Balb/c (Karlina,
2009).
LD50 semu yang diperoleh >16,7 ml/kgBB. Pemberian sari wortel
menyebabkan perubahan sikap, beringas, dan takikardi. Hasil histopatologi
menunjukkan radang pada organ lambung, dan ginjal yang bersifat
terbalikkan, serta nekrosis pada organ hati (24 jam setelah pemberian).
Peningkatan aktivitas SGPT terjadi secara bermakna melalui uji statistik
dengan tingkat kepercayaan 95%, tetapi tidak menyebabkan peningkatan
kadar kreatinin serum secara signifikan.
g. Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) pada Tikus
Jantan Wistar : Kajian terhadap Organ Ginjal dan Kadar Kreatinin Serum
(Thejo, 2009).
Jus wortel memiliki efek toksik pada ginjal ditunjukkan dengan adanya
hemorrhage, nekrosis tubulus dan glomerulus, namun tidak ada hewan uji

7
yang mati (LD50 semu > 8,750 g/kgBB). Efek toksik bersifat terbalikkan.
Tidak ada perbedaan signifikan antara kadar kreatinin serum perlakuan jus
wortel dengan kontrol negatif. Kadar kreatinin serum pada penelitian ini
tidak berkorelasi dengan kondisi ginjal.
h. Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) pada Tikus
Jantan Wistar : Kajian terhadap Organ Hati dan Kadar SGPT (Novianti,
2009).
Jus wortel tidak menyebabkan kematian hewan uji (LD50 semu > 8,750
g/kgBB). Pemberian jus wortel tidak menimbulkan gejala toksik.
Pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa jus wortel menyebabkan
perubahan struktural sel hati seperti hemorrhage, nekrosis, degenerasi
hidrofik, dan pembentukan jaringan fibroblast yang bersifat terbalikkan.
Jus wortel tidak mempengaruhi aktivitas SGPT.
Sejauh ini, penelitian tentang ketoksikan akut sari wortel (Daucus carota
L.) kajian histologi organ ginjal dan kadar kreatinin serta ureum serum pada tikus
betina galur Wistar belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
Penelitian ketoksikan akut sari wortel (Daucus carota L.) kajian histologi
organ ginjal dan kadar kreatinin serta ureum serum pada tikus betina galur Wistar,
diharapkan mempunyai manfaat :
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
bidang ilmu kefarmasian tentang ketoksikan akut sari wortel (Daucus

8
carota L.) pada tikus betina galur Wistar serta melihat pengaruh
ketoksikan pada fungsi organ ginjal. Selain itu dapat juga bermanfaat bagi
pengembangan penelitian toksikologi terhadap tanaman/bahan alam.
b. Manfaat praktis
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang toksisitas akut
sari wortel dan pengaruh ketoksikan akut sari wortel terhadap fungsi organ
ginjal.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum :
a. Mengetahui gejala ketoksikan yang timbul akibat pemejanan tunggal sari
wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar.
b. Mengetahui besar potensi ketoksikan akut sari wortel (Daucus carota L.)
pada tikus betina galur Wistar yang dinyatakan dengan Median Lethal
Dosage (LD50).
c. Mengetahui pemberian sari wortel (Daucus carota L.) dapat menyebabkan
efek toksik ditinjau dari histopatologi organ ginjal.
d. Mengetahui pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L.) ditinjau
dari kadar kreatinin dan ureum serum yang merupakan parameter biokimia
terhadap adanya gangguan fungsi ginjal.

9
2. Tujuan khusus :
1. Mengetahui hubungan antara dosis sari wortel dengan gambaran
histopatologi organ ginjal pada tikus betina galur Wistar setelah
pemejanan sari wortel.
2. Mengetahui hubungan antara dosis pemberian sediaan uji dengan kadar
kreatinin dan ureum serum.
3. Mengetahui hubungan antara hasil histopatologi organ ginjal dengan kadar
kreatinin dan ureum serum.
4. Mengevaluasi sifat efek toksik yang terjadi.

10
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Sistematika Tanaman
1. Taksonomi tanaman
Divisio : Spermatophyta
Sub-divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Umbelliferales
Familia : Apiaceae
Genus : Daucus
Spesies : Daucus carota L. (Backer and Van Den Brink, 1968)
2. Morfologi
Wortel termasuk jenis tanaman sayuran umbi semusim, berbentuk
semak (perdu) yang tumbuh tegak dengan ketinggian antara 30-100 cm atau
lebih, tergantung jenis atau varietasnya. Tanaman wortel berumur pendek
yaitu berkisar antara 70-120 hari, tergantung dari varietasnya (Cahyono,
2002).
Wortel terdiri atas daun dan umbi seperti batang, dan akar. Sifat dari
daun wortel adalah majemuk menyirip ganda dua atau tiga, dan anak-anak
daunnya berbentuk lancet atau garis dengan bagian pinggirnya bercangap
melekat pada tangkai daun yang ukurannya agak panjang. Sedangkan

11
batangnya berbentuk umbi yang dikonsumsi oleh manusia. Bentuk umbi
wortel bermacam-macam dan bervariasi, tergantung varietas dan kultivarnya.
Bentuk umbi wortel yang dikenal ada 3 macam, yaitu berbentuk bulat panjang
dengan ujung runcing, bulat panjang dengan ujung tumpul, dan bentuk
kombinasi dari keduanya. Selain itu ada juga yang berbentuk percabangan.
Umbi wortel berwarna kuning atau jingga (Cahyono, 2002).
Akar umbi wortel adalah akar tunggang yang berubah fungsinya
sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan (misalnya karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, dan air). Kulit umbi wortel adalah tipis dan
berwarna kuning kemerahan atau jingga karena kandungan karoten yang
tinggi. Daging umbi wortel bertekstur renyah, serta rasanya manis (Cahyono,
2002).
3. Kandungan kimia
Dalam setiap 100 g umbi wortel segar mengandung 42,00 kalori;
protein 1,20 g; lemak 0,30 g; karbohidrat 9,30 g; kalsium 39,00 mg; fosfor
37,00 mg; zat besi 0,30 g; vitamin A 12.000,00 SI; vitamin B1 0,06 mg;
vitamin C 6,00 mg; air 88,20 g, bagian yang dapat dicerna 88,00 g (Rukmana,
1995). Kandungan lain yang telah diketahui antara lain pyrrolidine, daucine,
daucosterne, minyak yang penting adalah imonene, pinene, cineole. Di dalam
benih berisi asam tiglat, asaran, bisabol (Perry and Metzger, 1980). Wortel
juga mengandung karotenoid, fenolik, poliasetilene, isokumarin,
sesquiterpenes, dan antosianin (Metzger, dkk., 2008). Kandungan lainnya
adalah -karoten (Rukmana, 1995).

12
4. Kegunaan di masyarakat
Bagian dari wortel yang dikonsumsi oleh masyarakat di dunia ini
adalah bagian umbinya. Masyarakat menggunakan umbi wortel sebagai
pengobatan dan bahan makanan. Hal ini karena dalam wortel terkandung
vitamin A yang berasal dari -karoten. Di dalam tubuh, -karoten diubah
menjadi vitamin A. Sebagai pengobatan, umbi wortel digunakan untuk
penyakit seperti diuretik, busung lapar, penyakit gagal ginjal, diare kronik,
disentri kronik, nutrisi makanan, obat kuat, gangguan pencernaan, karminatif
dan sedatif untuk semua organ (Perry and Metzger, 1980). Selain itu, khasiat
wortel juga dimanfaatkan untuk mengobati kejang jantung, eksim, cacing
kremi, mata minus, tekanan darah tinggi, dan radang lambung (Pitojo, 2004).
Umbi wortel juga dapat digunakan sebagai pencegahan rabun senja,
antibakteri dalam rongga mulut, mencegah pembentukan asam urat dengan
mengunyah umbi yang telah dikupas atau hasil perasannya (Rukmana, 1995).
Menurut hasil penelitian National Cancer Institute tahun 1991, wortel
mengandung senyawa beta-karoten. Senyawa ini dapat mencegah benzopiren
penyebab kanker paru-paru (Rukmana, 1995).
B. Beta Karoten
Karotenoid merupakan senyawa isoprenoid dan tetraterpenoid C40
yang terdapat dalam plastida jaringan tanaman, baik yang melakukan
fotosintesis maupun tidak. Dalam kloroplas, karotenoid berperan sebagai
pigmen aksesoris dalam pengambilan cahaya (Krinsky, 1989). Beta karoten
termasuk dalam golongan karotenoid dan telah diidentifikasi lebih dari 600

13
jenis karoten yang berbeda, antara lain: karoten, lutein, dan lycopen. Beta
karoten yang terdapat pada wortel, pepaya, sayur mayur yang berwarna
kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai antioksidan (Anonim,
2003).
Beta karoten berkhasiat sebagai antioksidan spesifik untuk
menetralkan oksigen singlet reaktif dan mencegah pembentukan radikal
peroxyl akibat peroksidasi lipida (Tjay dan Rahardja, 2002). Beta karoten
menghambat proses peroksidasi lipid dalam membran, tetapi hanya pada
konsentrasi singlet oxygen yang rendah. Beta karoten biasanya digunakan
sebagai suplemen nutrisi maupun prekursor vitamin A. Namun, beta karoten
lebih berperan sebagai detoksifikasi berbagai bentuk oksigen (Krinsky, 1989).
Gambar 1. Struktur kimia beta karoten (Anonim, 1979).
Beta karoten dapat berperan sebagai antioksidan dan prooksidan.
Senyawa kimia dan reaksi yang dapat menghasilkan spesies oksigen yang
potensial bersifat toksik dinamakan prooksidan. Sebaliknya, senyawa dan
reaksi yang mengeluarkan spesies oksigen tersebut, menekan pembentukannya
atau melawan kerjanya disebut antioksidan. Dalam sebuah sel normal terdapat
keseimbangan oksidan dan antioksidan yang tepat. Meskipun demikian,
keseimbangan ini dapat bergeser ke arah prooksidan ketika produksi spesies

14
oksigen tersebut sangat meningkat atau ketika kadar antioksidan menurun.
Keadaan ini dinamakan ”stress oksidatif” dan dapat mengakibatkan kerusakan
sel yang berat jika stress tersebut masif atau berlangsung lama (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Ketika aktivitas prooksidan terjadi dalam sel yang telah mengalami
transformasi (perubahan), senyawa tersebut akan berpotensi sebagai
antioksidan. Namun, ketika aktivitas prooksidan beta karoten terjadi dalam sel
normal, maka akan dihasilkan kerusakan oksidatif yang menekan integritas sel
dan menginduksi transformasi neoplastik (Masotti, dkk., 1988).
Beta karoten pada kadar oksigen yang tinggi dapat mengalami
autooksidasi (Null, 2000). Menurut Murata dan Kawanishi (2000), anion
radikal superoksida yang dibentuk akibat proses autooksidasi beta karoten
yang kemudian didismutasi dengan H2O2 yang dapat merusak DNA. Dengan
terjadinya kerusakan DNA maka terjadi gangguan dalam biosintesis protein.
Bila tidak segera dinetralkan oleh tokoferol (vitamin E) dan asam askorbat
(viatmin C), dapat menginisiasi kerusakan sel seperti neoplasma. Salah satu
produk oksidasi dari beta karoten adalah beta apo-8’-karotenal (Null, 2000).
Studi in vitro menunjukkan bahwa retinal dan apo karotenal memiliki
toksisitas yang tinggi. Reaksi antara produk oksidatif dengan asam amino
mengakibatkan penurunan jumlah asam amino bebas dalam sel. Hal ini akan
menyebabkan kegagalan translokasi nukleotida adenin, meningkatkan stres
oksidatif dalam mitokondria (Siems, et al, 2002).

15
Beta karoten yang berperan sebagai prooksidan akan dimodulasi oleh
Fe dalam jaringan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Garcia (1998),
pemberian beta karoten pada tikus yang telah diberi canthacanthin (suplemen
yang mengandung Fe) dapat menyebabkan penyerapan Fe meningkat sehingga
akan menyebabkan pembentukan kompleks karotenoid dengan Fe yang dapat
larut dalam lumen usus, kemudian mencegah efek penghambatan polifenol
pada absorpsi Fe. Ada keuntungan yang diperoleh dari sifat beta karoten
sebagai agen oksidatif yang selektif terhadap sel tumor (Null, 2000).
C. Toksikologi
1. Definisi toksikologi
Menurut Loomis (1978), pengertian toksikologi adalah ilmu yang
mempelajari aksi berbahaya dari zat kimia atas sistem biologi. Loomis
menjelaskan lebih jauh bahwa toksikologi merupakan suatu sifat relatif yang
digunakan dalam membandingkan senyawa yang satu dengan senyawa lain
dengan menunjuk ke suatu efek berbahaya atas jaringan biologi tertentu. Selain
Loomis, menurut Lu (2006), toksikologi merupakan kajian tentang hakikat dan
mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem
biologi, dimana toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan
kekerapan efek toksik tersebut dengan terpejannya makhluk hidup tersebut. Doull
dan Bruce (1986) juga mendefinisikan hal yang sama tentang toksikologi. Mereka
mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh zat kimia
yang merugikan atas sistem biologis. Sedangkan definisi ketoksikan atau

16
toksisitas adalah kapasitas suatu zat kimia atau bahan beracun untuk menimbulkan
efek toksik tertentu pada makhluk hidup (Priyanto, 2007).
Timbulnya efek toksik dalam suatu organisme dapat disebabkan karena
adanya pengaruh dari suatu zat yang tergantung pada banyaknya zat tersebut
terakumulasi di dalam tubuh organisme tersebut. Banyaknya zat tersebut berkaitan
dengan seberapa besar ukuran keracunan dari suatu zat. Menurut Koeman (1987)
ukuran keracunan ditentukan oleh dosis pada waktu tejadi keracunan. Paracelcus
(1443-1541) juga menyatakan bahwa pada dasarnya antara obat dan racun adalah
sama, namun yang membedakannya adalah dosis. Sehingga yang menjadi
perhatian adalah pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologis, yang pusat
perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001).
Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa dengan adanya racun
potensial pada organisme belum tentu menimbulkan keracunan (Mutschler, 2000)
dan ketoksikan suatu zat kimia ditentukan oleh dosis senyawa tersebut.
Berdasarkan atas alur timbulnya efek toksik suatu senyawa maka ada
empat asas utama yang perlu dipahami dalam toksikologi yaitu meliputi kondisi
pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek
toksik atau pengaruh racun berbahaya (Donatus, 2001).
2. Asas umum toksikologi
a. Kondisi efek toksik
Berbagai keadaan atau faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan
absorpsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun di dalam tubuh, sehingga
menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran serta

17
toksisitasnya atau keefektifan antaraksinya dengan sel sasaran disebut kondisi
efek toksik. Kondisi efek toksik antara lain kondisi pemejanan yang meliputi jenis
pemejanan (akut, subkronis, kronis), jalur pemejanan (intravaskular dan
ekstravaskular), lama dan kekerapan pemejanan, saat pemejanan, dan takaran atau
dosis pemejanan (Loomis, 1978).
Kondisi makhluk hidup meliputi keadaan normal (misalnya berat badan,
umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah,
status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, ritme sirkadian, ritme diurenal)
dan keadaan tak normal (misalnya penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati,
dan ginjal) (Donatus, 2001).
b. Mekanisme efek toksik
Berdasarkan sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi efek toksik zat
kimia dibagi menjadi dua yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka
ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi racun
pada tempat aksi di dalam sel sasaran. Mekanisme ini sering disebut mekanisme
langsung atau primer. Pada mekanisme luka intrasel, racun mungkin berada dalam
bentuk zat kimia induk atau metabolit reaktif (produk metabolisme), sebelum
berada di sel sasaran (Glaister, 1986).
Setelah masuk dalam sel sasaran salah satu atau kedua bentuk senyawa
tersebut kemungkinan akan berantaraksi dengan sel sasaran molekuler yang khas
atau tak khas, melalui salah satu dari beberapa mekanisme reaksi kimia yang
mungkin (reaksi pendesakkan, ikatan kovalen, substitusi, peroksidasi) dan lain
sebagainya (Donatus, 2001). Timbulnya respon toksik pada mekanisme luka

18
intrasel pada dasarnya sebagai perubahan atau kekacauan biokimia, fungsional,
atau struktural (Glaister, 1986).
Sedangkan luka ekstrasel adalah luka sel yang terjadi secara tidak
langsung, dimana aksi racun dari suatu zat terjadi di lingkungan luar sel.
Mekanisme ini sering disebut mekanisme tak langsung atau sekunder (Donatus,
1990). Bila racun berada di lingkungan ekstrasel, maka akan mengganggu sistem
mekanisme metabolik dan pengaturan aktivitas sel sehingga menimbulkan
perubahan struktur atau fungsi sel (Glaister, 1986).
c. Wujud efek toksik
Perubahan biokimia, fungsional, dan struktur pada dasarnya merupakan
wujud efek toksik. Namun tidak berarti bahwa efek toksik zat beracun sepenuhnya
dapat terpisah dengan tegas ke dalam tiga jenis wujud dasar efek toksik itu,
melainkan sering merupakan campuran, karena ketiganya merupakan proses yang
saling berkaitan (Donatus, 2001).
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan biokimiawi, meliputi jenis wujud
efek toksik yang berkaitan dengan respon dan perubahan atau kekacauan biokimia
terhadap luka sel, akibat antaraksi antara zat beracun dan tempat aksi tertentu,
yang sifatnya terbalikkan. Termasuk dalam jenis wujud efek toksik ini antara lain
penghambatan respirasi sel, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan
gangguan pasok energi (Donatus, 2001).
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional meliputi jenis efek
toksik yang berkaitan dengan antaraksi zat beracun dengan reseptor atau tempat
aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi

19
homeostatis tertentu. Jenis wujud efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan
pernafasan, gangguan sistem saraf pusat, hipertensi, atau hipotensi, hiperglikemia
atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit, perubahan
kontraksi atau relaksasi otot dan hipotermi atau hipertermi (Loomis, 1978).
Efek toksik berdasarkan perubahan struktural, meliputi jenis wujud efek
toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang akhirnya terwujud
sebagai kekacauan struktural. Sehubungan dengan masalah ini, terdapat respon
histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni degenerasi,
proliferasi, dan inflamasi atau perbaikan. Jenis wujud efek toksik ini berkaitan
dengan respon dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat
antaraksi zat racun dan sel sasaran yang sifatnya terbalikkan (Glaister, 1986).
d. Sifat efek toksik
Pada dasarnya hanya terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yaitu
terbalikkan dan tak terbalikkan. Ciri khas dari wujud efek toksik yang terbalikkan
antara lain bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu
telah habis, maka reseptor tersebut akan kembali ke kedudukan semula; efek tokik
yang ditimbulkan akan cepat kembali ke kedudukan semula; efek toksik yang
ditimbulkan akan kembali normal; dan ketoksikan beracun tergantung pada
takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racunnya (Lu, 1995).
Ciri khas dari wujud efek toksik yang bersifat tak terbalikkan antara lain
kerusakan yang terjadi sifatnya menetap; pemejanan berikutnya dengan racun
menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya
penumpukkan efek toksik; dan pemejanan dengan takaran yang sangat kecil

20
dalam jangka panjang akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang
ditimbulkan oleh pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka pendek
(Donatus, 2001).
3. Jenis uji toksikologi
Pada umumnya, jenis uji toksikologi dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas.
a. Uji ketoksikan tak khas, yaitu uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada
aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ini adalah : (1) uji
ketoksikan akut; (2) uji ketoksikan subkronis; (3) uji ketoksikan kronis
(Donatus, 2001).
1) Uji toksisitas akut, dilakukan dengan memberikan zat kimia yang
sedang diuji sebanyak satu kali, atau beberapa kali dalam jangka waktu 24
jam (Lu, 1995).
2) Uji toksisitas jangka panjang, (juga dikenal dengan uji subakut atau
uji subkronis) dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-
ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu
kurang lebih 10 % dari masa hidup hewan, yaitu tiga bulan untuk tikus dan
satu atau dua tahun untuk anjing (Lu, 1995).
3) Uji toksisitas jangka panjang, dilakukan dengan memberikan zat
kimia berulag-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-
kurangnya sebagian besar masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk

21
mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Lu,
1995).
b. Uji ketoksikan khas, yaitu uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada aneka ragam
jenis hewan uji (Donatus, 2001). Termasuk dalam uji ketoksikan khas adalah:
uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, keratogenitikan, reproduksi,
kulit dan mata, serta perilaku (Loomis, 1978).
D. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut merupakan uji yang termasuk dalam uji ketoksikan tak
khas, dimana uji ini merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang dilakukan
pertama kali dalam rangkaian uji toksikologi. Salah satu definsi uji toksisitas akut
yang didefinsikan oleh Donatus (2001) sebagai suatu uji yang dirancang untuk
menentukan efek toksik dari suatu senyawa yang akan terjadi dalam jangka waktu
24 jam setelah pemejanan dalam takaran (dosis/konsentrasi) tertentu. Jangka
waktu pengamatan harus cukup panjang sehingga efek yang muncul lambat
termasuk kematian, tidak luput dari pengamatan. Jangka waktu pengamatan
biasanya dilakukan 7 sampai 14 hari (Donatus, 2001).
Takaran dosis yang dianjurkan minimal terdiri dari empat peringkat dosis,
berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh
hewan uji sampai dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir
seluruh hewan uji. Pemberian senyawa uji diberikan berdasarkan jalur
penggunaan pada manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani.

22
Untuk pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali kasus tertentu selama 7-14
hari, dimana pengamatan dilakukan terhadap gejala-gejala klinis, jumlah hewan
yang mati dan histopatologi organ (Donatus, 2001).
Dari uji toksisitas akut akan diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif yaitu penampakan klinis dan morfologi efek toksik senyawa uji yang
dapat digunakan untuk menentukan potensi ketoksikan akut senyawa relatif
terhadap senyawa lain dan data kuantitatifnya digunakan untuk memperkirakan
dosis pada uji lain.
Hodgson dan Lewi (2000), menyatakan bahwa dalam uji ketoksikan akut
senyawa yang diberikan dapat diabsorpsi dengan cepat sehingga menghasilkan
efek toksik segera tetapi dapat juga menghasilkan efek toksik yang tertunda. Efek
toksik segera ini ditunjukkan dari pengamatan 24 jam dari saat pemejanan
sedangkan untuk efek toksik tertunda ditunjukkan setelah hari ke-14.
Hewan uji yang biasa digunakan untuk penelitian uji toksikologi ini
disarankan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat, baik jantan maupun betina.
Menurut Donatus (2001), WHO menyarankan bahwa pemilihan hewan uji
didasarkan pada bukti yang diperoleh dari uji ketoksikan akut dan uji metabolik.
Pemilihan ini didasarkan pada ukurannya yang sesuai, kemudahan mendapatkan,
dan banyaknya informasi toksikologi dari berbagai zat kimia pada hewan-hewan
tersebut. Salah satu hewan uji yang digunakan adalah tikus putih. Menurut
Setiabudy (2007) tikus putih yang digunakan biasanya yang berumur 2-3 bulan
dengan berat badan 180-200 gram. Setiabudy (2007) juga mengatakan bahwa bila
dalam penelitian ingin menggunakan 2 jenis hewan uji yang dibedakan

23
berdasarkan jenis kelamin yaitu tikus putih jantan dan betina maka sebaiknya
dilakukan evaluasi terpisah karena respon dari keduanya berbeda.
Setelah suatu senyawa yang bersifat toksik diberikan, maka dilakukan
penilaian terhadap jumlah hewan uji yang mati dan dilakukan juga pengamatan
terhadap waktu kematiannya untuk dapat memperkirakan Median Lethal Dosage
(LD50). LD50 yang diperoleh adalah sebagai data kuantitatif. Sedangkan data
kualitatifnya berupa spektrum efek toksik yaitu dengan mengamati gejala-gejala
efek toksik setelah pemejanan dari suatu senyawa.
E. Median Lethal Dosage (LD50)
Seperti penjelasan sebelumnya, telah dikatakan bahwa dalam mengukur
tingkat ketoksikan dari hasil uji toksikologi akut, maka dapat diukur secara
kualitatif (berdasarkan spektrum efek toksik) dan kuantitatif (berdasarkan LD50).
LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara stasistik
diharapkan akan membunuh 50% hewan coba. Pengujian ini juga dapat
menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya,
serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam
pengujian yang lebih lama (Lu, 2006). Namun, terkadang sangat sulit untuk
menentukan LD50 bila tingkat toksisitasnya terlalu rendah. Untuk menentukan
LD50 secara tepat dipilih suatu dosis yang akan membunuh sekitar separuh jumlah
hewan-hewan itu, dosis lain yang akan membunuh lebih dari separuh (kalau bisa
kurang dari 90%), dan dosis ketiga yang akan membunuh kurang dari separuh
(kalau bisa lebih dari 10%) dari hewan-hewan itu. Sering digunakan empat dosis

24
atau lebih dengan harapan bahwa sekurang-kurangnya tiga diantaranya akan
berada dalam rentang dosis yang dikehendaki (Lu, 2006).
LD50 akan lebih tepat bila digunakan lebih banyak hewan untuk tiap dosis
dan bila rasio antara dosis yang berurutan lebih kecil. Banyak peneliti
menggunakan 40-50 hewan per LD50 dan memilih rasio 1,2-1,5. Lu mengatakan
bahwa kadang untuk menentukan LD50 yang lebih tepat, maka rasio antara dosis-
dosis yang berurutan harus lebih kecil. Untuk dapat menunjukkan tiadanya variasi
yang berarti dan tiadanya perbedaan yang besar dalam toksisitas (Lu, 2006).
Dengan demikian, rasio yang digunakan tergantung dari penelitian, tetapi
dengan harapan dapat menggambarkan LD50 yang tepat sehingga tidak terlalu
menunjukkan variasi yang berarti. Selain itu, rasio yang digunakan terhadap
peringkat dosis haruslah sama. Terdapat tiga metode yang paling sering
digunakan untuk menghitung harga LD50 yakni metode grafik Lithfield and
Wilcoxon, metode kertas grafik probit logaritma Miller dan Tainter, dan metode
rata-rata bergerak Thompson-Well, yang pada dasarnya didasarkan pada
kekerabatan antara peringkat dosis dan % hewan yang menunjukkan respons. Dari
harga LD50 yang diperoleh, selanjutnya klasifikasi zat kimia sesuai dengan
toksisitas relatifnya. Klasifikasi lazim adalah sebagai berikut :

25
Tabel. I. Klasifikasi potensi ketoksikan suatu senyawa (Loomis, 1978)
Kategori LD50
Luar biasa toksik 5 mg/kg atau kurang
Sangat toksik 5-50 mg/kg
Cukup toksik 50-500 mg/kg
Sedikit toksik 0,5-5 g/kg
Praktis tidak toksik 5-15 g/kg
Relatif kurang berbahaya
>15 g/kg
F. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal berfungsi untuk mengekskresi cairan (termasuk xenobiotik yang
larut dan konjugatnya) dari darah melalui urin dan meregulasi air dan garam
dalam tubuh seperti kalium dan natrium. Disamping itu, hormon dan enzim yang
diproduksi oleh ginjal penting dalam mengatur tekanan darah, pH, metabolisme
kalsium, dan produksi sel darah merah (Stine and Brown, 1996).
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak di kedua
sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutup atas ginjal kiri terletak
setinggi kosta sebelas. Ginjal terletak didekat daerah abdominal dekat dengan
dinding posterior, diluar rongga peritoneum. Sisi medial setiap ginjal merupakan
daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan
limfatik, suplai saraf, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke kandung
kemih dimana merupakan tersimpannya urin hingga dikosongkan. Jika ginjal
dibagi dua secara melintang, dua daerah yang dapat digambarkan adalah korteks

26
dibagian luar dan medula dibagian dalam. Medula ginjal terbagi menjadi beberapa
massa jaringan yang disebut piramida ginjal (Guyton and Hall, 1997).
Gambar 2. Anatomi ginjal (Sukmarini, 2008)
Ginjal dikelilingi oleh pelindung lemak dan terletak di luar rongga
peritoneal sekitar seperempat (1300 ml dara per menit) bersirkulasi melalui ginjal.
Darah memasuki hilum dari masing-masing ginjal melalui arteri renalis. Sebagian
difilter, dan diproses untuk membentuk urin. Darah meninggalkan ginjal melalui
vena renalis. Urin dikumpulkan di dalam pelvis ginjal, meninggalkan ginjal
melalui ureter, disimpan di dalam kandung kemih dan dikeluarkan melalui uretra
(Lu, 1995). Struktur yang menonjol dalam ginjal adalah nefron, kira-kira
berjumlah 1,3 x 106. Setiap nefron tersusun dari glomerulus yang dikelilingi oleh
struktur yang disebut kapsula Bowman, tubulus proximal, tubulus distal, dan
kumpulan pembuluh darah yang ada disekitarnya (Stine and Brown, 1996),

27
lengkung Henle yang mengosongkan diri ke duktus koligen (Price dan Wilson,
1985). Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Glomerulus
didarahi oleh sistem kapiler bertekanan tinggi yang menghasilkan ultrafiltrat dari
plasma. Filtrat yang terkumpul dalam kapsul Bowman mengalir melalui tubulus
berkelok proksimal, ansa Henle, dan tubulus distal, dan kemudian mengalir lewat
kumpulan tubulus ke dalam piala ginjal dan dibuang sebagai urin (Lu, 1995).
Selain fungsi ginjal di atas, ginjal juga dapat berperan penting dalam
mempertahankan homeostasis air dan elektrolit dalam tubuh. Ginjal dikenal juga
sebagai pembuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau yang
diproduksi oleh metabolik, serta sebagai pengontrol volume dan komposisi cairan
tubuh, air, serta semua elektrolit dalam tubuh. Keseimbangan antara asupan
(akibat pencernaan atau produksi metabolik) dan keluaran (akibat ekskresi atau
konsumsi metabolik) sebagian besar dipertahankan oleh ginjal (Stine and Brown,
1996).
G. Nefropati Toksik
Ginjal sangat rentan terhadap efek toksik obat-obatan dan bahan-bahan
kimia, karena ginjal menerima 25 % darah dari curah jantung, sehingga sering
kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar. Selain itu ginjal merupakan jalur
ekskresi untuk kebanyakan obat, sehingga terjadi insufisiensi ginjal yang
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan
tubulus ginjal (Price dan Wilson, 1995). Efek toksik zat beracun dari ginjal dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan sifat dasarnya seperti berikut :

28
1. Glumerulonefropati
Glumerulus merupakan organ target yang jarang dipengaruhi oleh bahan
beracun. Organ ini dapat dipengaruhi oleh bahan beracun baik secara langsung
maupun tidak langsung. Salah satu perubahan glumerulus adalah perubahan
permeabilitasnya terhadap protein-protein plasma (Glaister, 1986). Perubahan
yang ditunjukkan dengan meningkatkan permeabilitas glumerulus yang
disebabkan oleh protein-protein uria, kebocoran glumerulus karena protein-
protein yang bermolekul besar, sampai ke urin. Hal ini disebut proteinuria.
Beberapa toksikan juga dapat menurunkan fungsi membran glumerulus dan dapat
mengeluarkan anion-anion yang banyak (Stine and Brown, 1996).
2. Nefropati tubulus proksimal
Nefrotoksisitas biasanya terjadi di bagian tubulus proximal. Hal ini
dikarenakan pada tubulus proksimal terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus
proksimal, sehingga kadar ketoksikan pada tubulus proksimal sering lebih tinggi.
Dengan demikian tempat ini sering merupakan sasaran efek toksik (Lu, 1995).
Biasanya kondisi ini mengandung beberapa tipe degenerasi, kadang-kadang
disertai dengan reaksi inflamasi dan perbaikan tergantung dari tempat dan luasnya
luka. Kelainan tubulus proksimal dapat berupa hidrofobik (vakuola), inklusi, dan
nekrosis. Hidrofobik terjadi dengan meningkatnya cairan dibagian sel sitoplasma
di tubulus proksimal. Ini merupakan tahap awal hingga terjadinya nekrosis.
Inklusi dapat terjadi pada nukleus dan sitoplasma yang lain. Inklusi sitoplasma
sering disebabkan karena keracunan dari bahan-bahan kimia. Nekrosis sering
terjadi pada bagian sel epitelium tubulus proksimal (Glaister, 1986).

29
3. Nefropati tubulus distal
Efek toksik yang sering ditemui pada tubulus distal adalah kristaluria, dan
nekrosis papila ginjal. Hal tersebut berhubungan dengan fungsi tubulus distal
dalam mengatur keseimbangan air, elektrolit, dan asam-basa (Glaister, 1986).
H. Kreatinin dan Ureum Serum
Kreatinin dan ureum serum merupakan beberapa tes fungsi ginjal yang
digunakan untuk menggambarkan adanya gangguan fungsi ginjal. Menurut Baron
(1990), tes fungsi ginjal memiliki dua tujuan utama yaitu dapat mendeteksi
kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal dan menentukan derajat kerusakan
fungsi ginjal. Sekali kerusakan ginjal terdeteksi, maka tes-tes fungsi ginjal
memperlihatkan kelainan, dan kegagalan ginjal berkembang bila ada
ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan keseimbangan. Tes fungsi ginjal
yang dilakukan dapat melalui uji diagnostik yang digunakan untuk dapat
mendeteksi adanya penyakit ginjal karena banyak penyakit ginjal serius yang
tidak menimbulkan gejala sampai fungsi ginjal sudah terganggu. Kedua
pemeriksaan ini hanyalah sebagian kecil dari tes pemeriksaan fungsi ginjal
lainnya sebagai indikasi adanya gangguan fungsi pada organ ginjal (Baron, 1990).
1. Kreatinin serum
Kreatinin adalah hasil perombakan kreatine, semacam senyawa berisi
nitrogen yang terutama ada dalam otot. Enzim kreatinin fosfokinase (CPK,
creatine phosphokinase) melakukan fosforilasi kreatine menjadi suatu senyawa
fosfat yang kaya akan energi yang ikut serta dalam reaksi-reaksi yang

30
memerlukan energi (Widmann, 1995). Kreatinin disintesis di hati dan ditemukan
juga dalam otot rangka dan darah, dan diekskresikan dalam urin (Sutedjo, 2006).
Jumlah kreatinin dalam darah dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
kegagalan ginjal yaitu dengan mengukur laju filtrasi glomerolus (Glomerular
filtration rate=GFR). Peningkatan kreatinin dalam darah tidak dipengaruhi diet
dan masukan cairan. Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya
penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Peningkatan kadar
kreatinin darah cenderung tetap / tidak banyak berubah dibandingkan kadar ureum
(Sutedjo, 2006).
Dalam mengukur nilai GFR juga dipengaruhi oleh nilai kreatinin, ureum,
dan volume urin 24 jam. Bila GFR turun, maka kreatinin plasma meningkat.
Kreatinin plasma merupakan indeks GFR yang lebih cermat karena kecepatan
produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot yang sedikit sekali
mengalami perubahan. Konsentrasi kreatinin plasma normal besarnya 0,7 sampai
1,5 mg per 100 ml (Price and Wilson, 2006). Sedangkan menurut Cockroft and
Gault (1976), kreatinin plasma normal berkisar antara 0,7 sampai 1,2 mg/dl.
2. Ureum serum
Ureum merupakan senyawa yang berasal dari metabolisme asam amino
yang diubah oleh hati menjadi ureum. Ureum bermolekul kecil mudah berdifusi
ke cairan ekstrasel, dipekatkan dan dieksresikan melalui urin lebih kurang 25
g/hari. Konsentrasi ureum dalam darah bukan untuk mengukur fungsi glomerulus
yang ideal, karena peningkatannya dalam darah dipengaruhi oleh banyak faktor di
luar ginjal (Sutedjo, 2006). Namun menurut Widmann (1995), banyaknya ureum

31
dapat menggambarkan semua jalur metabolisme protein yang banyak ragamnya.
Bila mekanisme ekskresi ginjal terganggu, maka penetapan kadar ureum yang
meningkat dalam darah lebih mudah dilakukan daripada mengukur turunnya
ekskresi ureum. Meningkatnya kadar ureum dalam darah dinamai uremia.
Keadaan itu paling sering disebabkan oleh ekskresi ureum yang terhambat oleh
kegagalan fungsi ginjal.
I. Landasan Teori
Umbi wortel telah digunakan sebagai diuretik, pengobatan busung lapar,
penyakit gagal ginjal, diare kronik, nutrisi makanan, obat kuat, gangguan
pencernaan, karminatif, dan sedatif untuk semua organ tubuh (Perry dan Metzger,
1980), kejang-kejang, jantung, eksim, cacing kremi, mata minus, tekanan darah
tinggi, dan radang lambung (Pitojo, 2004). Selain itu, umbi wortel dapat juga
digunakan sebagai pencegahan rabun senja, antibakteri dalam rongga mulut
mencegah pembentukan asam urat dengan mengunyah umbi yang telah dikupas
atau hasil perasaannya (Rukmana, 1995).
Ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik (Lu, 1995). Ginjal
sangat rentan terhadap efek toksik obat-obatan dan bahan-bahan kimia, karena
ginjal menerima 25% darah dari curah jantung, sehingga sering kontak dengan zat
kimia dalam jumlah besar. Selain itu ginjal merupakan jalur ekskresi untuk
kebanyakan obat, sehingga bila terjadi kerusakan ginjal dapat mengakibatkan
penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi cairan pada tubulus ginjal (Price
dan Wilson, 1995). Kerusakan ginjal dapat diidentifikasi melalui kreatinin dan

32
ureum serum yang merupakan parameter biokimia yang digunakan untuk
mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal. Sekali kerusakan ginjal terdeteksi,
maka tes-tes fungsi ginjal memperlihatkan kelainan, dan kegagalan ginjal
berkembang bila ada ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan
keseimbangan (Baron, 1990). Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan
adanya penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Peningkatan
kadar kreatinin darah cenderung tetap / tidak banyak berubah dibandingkan kadar
ureum (Sutedjo, 2006). Bila mekanisme ekskresi ginjal terganggu, maka
penetapan kadar ureum yang meningkat dalam darah lebih mudah dilakukan
daripada mengukur turunnya ekskresi ureum. Meningkatnya kadar ureum dalam
darah dinamai uremia. Keadaan itu paling sering disebabkan oleh ekskresi ureum
yang terhambat oleh kegagalan fungsi ginjal (Widmann, 1995).
J. Hipotesis
Pemberian sari wortel (Daucus carota L.) dapat menyebabkan efek toksik
yang ditunjukkan dengan kerusakan organ ginjal (histopatologi) dan perubahan
fungsi organ ginjal (kadar kreatinin dan ureum serum) pada tikus betina galur
Wistar.

33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan
menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Pada penelitian ini subjek uji
berjumlah 30 ekor yang terbagi dalam 5 kelompok yang terdiri dari 1 kontrol dan
4 perlakuan yang diberi sari wortel (Daucus carota L.) menurut peringkat dosis
yang ditentukan dari hasil orientasi. Tiap kelompok masing-masing terdiri dari 6
ekor hewan uji.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas
Dosis sari wortel merupakan sejumlah (gram) sari wortel tiap satuan kg
berat badan subyek uji. Dosis sari wortel terbagi dalam 4 peringkat dosis.
Peringkat dosis sari wortel yang dibuat dalam 4 peringkat dosis yaitu :
1) Peringkat dosis I : 66,55 g/kg BB
2) Peringkat dosis II : 79,86 g/kg BB
3) Peringkat dosis III : 95,83 g/kg BB
4) Peringkat dosis IV : 115 g/kg BB

34
b. Variabel tergantung : jumlah kematian hewan uji (LD50), gejala efek toksik,
sifat efek toksik, wujud efek toksik, dan perubahan fungsi ginjal (ditunjukkan
dengan hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum dalam darah).
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
1) Bahan uji : umbi wortel yang diperoleh dari warung sayur-sayuran dekat
Instiper dimana warung tersebut memperolehnya dari daerah
Tawangmangu pada tanggal 4 September 2009.
2) Hewan uji : tikus putih yang berjumlah 30 ekor.
3) Berat badan hewan uji: 150-200 gram (dengan variasi yang
diperbolehkan sebesar kurang lebih 10%) yang diadaptasikan selama 1
minggu.
4) Jenis kelamin: Betina.
5) Galur hewan uji: Wistar.
6) Umur hewan uji : 2 – 3 bulan.
7) Zat gizi dalam pakan : hewan uji diberikan makanan 10% dari berat
badannya.
8) Kualitas udara : hewan uji dibuat dengan kondisi yang sama mulai dari
pemeliharaan sampai pada percobaan penelitian dengan suhu ruangan
yang sama yaitu 28oC.
b. Variabel pengacau tak terkendali
Kondisi patologis tikus : meski keadaan fisik berstatus sehat, belum dapat
menjamin keadaan ginjal berstatus sehat.

35
3. Definisi operasional
a. Sari wortel adalah sejumlah cairan yang diperoleh dari umbi wortel dengan
menggunakan juice extractor yang kemudian disaring dengan penyaring
biasa untuk memisahkan sari dan ampas kasar (berukuran besar), kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan sari dari
ampas (berukuran kecil) agar tidak menyumbat di dalam syringe dan mudah
diinjeksikan secara oral ke hewan uji.
b. Uji toksisitas akut adalah tingkat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
dalam waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel dengan dosis tunggal
pada tikus betina galur Wistar yang bertujuan untuk menetapkan potensi
toksisitas akut melalui Median Lethal Dosage (LD50), menilai gejala toksik,
wujud efek toksik, spektrum efek toksik yang timbul akibat pemberian sari
wortel (Daucus carota L.).
c. Harga Median Lethal Dosage (LD50) adalah dosis tunggal yang dapat
menyebabkan 50 % kematian hewan uji akibat pemberian akut sari wortel
(Daucus carota L.).
d. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum dalam darah merupakan dua dari
beberapa parameter biokimia yang digunakan untuk mengetahui terjadinya
gangguan fungsi ginjal setelah pemberian akut sari wortel (Daucus carota
L.).

36
C. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
a. Alat-alat gelas seperti : labu ukur, pipet tetes, corong pisah, gelas ukur
b. Microtube
c. Juice extractor
d. Kamera Hp
e. Kandang tikus (menggunakan ember yang sedang)
f. Kertas saring
g. Mikropipet
h. Pot unguenta
i. Seperangkat alat bedah (gunting, jarum pentul, pinset)
j. Spuit injeksi oral
k. Stop watch
l. Timbangan (analyitical balance)
m. Timbangan tikus
2. Bahan
a. Subyek uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar dengan
berat badan 150-200 gram, umur berkisar antara 2-3 bulan, dan berjumlah
30 ekor yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan LPPT Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
b. Umbi wortel segar diperoleh dari warung sayur di daerah Instiper,
Maguwoharjo, Yogyakarta, dimana warung tersebut memperolehnya dari
daerah Tawangmangu.

37
c. NaCl 0,9% fisiologis, digunakan untuk membilas organ ginjal sebelum
dilakukan penimbangan organ ginjal. NaCl diperoleh dari Laboratorium
Biofarmasetika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
d. Pakan merk AD 5 dan minum merk Agua.
e. Formalin 10%, yang digunakan untuk mengawetkan organ ginjal yang
diperoleh dari Laboratorium Biofarmasetika Univeritas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
D. Tata Cara Penelitian
1. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan berjumlah 30 ekor tikus putih betina galur
Wistar. Sebelum perlakukan, tikus tersebut diadaptasikan atau dikarantinakan
sesuai dengan lingkungan Laboratorium Imono selama 10 hari. Selama adaptasi
tersebut tikus diberi pakan pelet dan diberi minum ad libitium. Pakan yang
diberikan disesuaikan dengan berat badan dari tikus yaitu 10% BB per hari.
Sedangkan minum yang diberikan adalah aqua galon sebanyak 240 ml per hari.
2. Pengelompokkan hewan uji
Penelitian ini menggunakan hewan uji berjumlah 30 ekor tikus betina yang
akan dikelompokkan ke dalam lima kelompok secara random. Pengelompokan
hewan uji dilakukan secara random menggunakan proses penomoran pada hewan
uji, kemudian dilanjutkan dengan pengundian. Masing–masing tikus diberi kode
nomor uji, dan pada sangkar diberi etiket. Pada proses ini hewan uji dibagi ke
dalam 5 kelompok yaitu satu kelompok sebagai kelompok kontrol (tidak diberikan

38
perlakuan apapun) dan empat kelompok yang lain sebagai kelompok perlakuan
yang diberikan sari wortel menurut peringkat dosis. Tiap kelompok masing-
masing terdiri dari 6 ekor hewan uji. Perwakilan satu hewan uji dari masing-
masing kelompok dipelihara dalam satu kandang. Pada penelitian ini dilakukan
replikasi sebanyak 3 kali untuk masing-masing kelompok pada pengamatan yaitu
3 kali replikasi pada waktu pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel dan
3 kali replikasi pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel.
3. Pengumpulan bahan
Bahan uji yang digunakan adalah umbi wortel yang diambil sarinya. Umbi
wortel (Daucus carota L.) diperoleh dari warung sayur didekat Instiper,
Maguwoharjo, Yogyakarta, dimana warung tersebut memperoleh wortel dari
daerah Tawangmangu pada tanggal 4 September 2009. Wortel tersebut dipilih
dengan melihat warna yang orange, segar, bersih, dan tidak busuk.
4. Determinasi tanaman
Tanaman Wortel (Daucus carota L.) yang akan digunakan dalam
penelitian ini dideterminasi di bagian Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
5. Pembuatan larutan sampel
Umbi wortel dipilih tanpa adanya luka pada umbinya, dikupas, ditimbang
beratnya sebanyak 400,4 g dan dicuci bersih kemudian dipotong agak kecil.
Setelah itu potongan wortel dimasukkan ke dalam juice extractor dan hasilnya
disaring dengan menggunakan penyaring biasa (saringan teh) untuk memisahkan

39
sari dari ampas kasar yang berukuran besar, kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan kertas saring untuk memisahkan sari dari ampas yang berukuran
kecil, sehingga akan diperoleh sari wortel (sari wortel yang diperoleh adalah 174
ml). sari wortel yang diperoleh diharapkan tidak menyumbat di syringe dan dapat
diberikan pada hewan uji secara oral. Pembuatan sari wortel harus selalu dibuat
baru.
Skema kerja:
Umbi wortel dikupas
Ditimbang, cuci bersih
Dipotong agak kecil, masukkan dalam juice extractor
Ambil sarinya, saring dengan penyaringan biasa kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan kertas saring
Sari wortel (siap diberikan pada hewan uji)
6. Penentuan dosis
Pada orientasi digunakan dosis tertinggi yang secara teknis masih bisa
diberikan dan tidak melebihi volume maksimum yang masih boleh diberikan
kepada hewan uji (5,0 ml/100g BB). Dari hasil orientasi didapatkan dosis
tertingginya yaitu: 115 g/kg BB dan diharapkan mematikan seluruh hewan uji.
Dari dosis tertinggi kemudian dibuat peringkat dosis dengan faktor perkalian tetap
yaitu 1,2. Maka dari faktor perkalian tersebut peringkat dosisi yang akan
diberikan kepada hewan uji diperoleh peringkat dosis I yaitu 66,55 g/kg BB,

40
peringkat dosis II yaitu 79,86 g/kg BB, peringkat dosis III yaitu 95,83 g/kg BB,
peringkat dosis IV yaitu 115 g/kg BB, dan kelompok kontrol tidak diberikan
perlakuan apapun. Berikut adalah data perhitungan dosis.
Penimbangan Wortel = 400,4 g
Sari yang diperoleh = 174 ml
Csari wortel = 2,3 g/ml
= 2300 mg/ml
Volume maksimum pemberian pada tikus = 5 ml/100 g BB
C1 x V = BB x D
2300 mg/ml x 5 ml = 100 g x D
D = 115 mg/g BB
D = 115 g/kg BB (sebagai peringkat dosis IV)
Faktor pengali yang digunakan sebesar 1,2, maka:
Peringkat dosis III = 115 g/kg1,2 = 95,83 g/kg BBPeringkat dosis II = 95,83 g/kg1,2 = 79,86 g/kg BBPeringkat dosis I = 79,86 g/kg1,2 = 66,55 g/kg BB
7. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi :
a. Pengamatan fisik terhadap gejala–gejala toksik, wujud efek toksik, serta
sifat efek toksik. Pengamatan dilakukan terutama 3 jam setelah

41
pemberian sediaan uji, 24 jam pertama setelah pemberian sediaan uji
dan sekali sehari selama pengamatan sampai hari ke-14.
b. Kematian hewan uji pada masing – masing kelompok yang diamati 3
jam pertama sampai pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel.
c. Pemeriksaan histopatologi organ ginjal yang dilakukan pada waktu 24
jam dan 14 hari setelah pemberian sari wortel.
d. Penimbangan berat badan dilakukan mulai hari ke-0 (saat pemejanan
sari wortel) hingga hari ke-14.
e. Penimbangan berat organ ginjal dilakukan setelah hewan uji dibedah
pada waktu pengamatan 24 jam dan hari ke-14 setelah pemberian sari
wortel.
f. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum dengan mengambil darah
pada hewan uji dilakukan 3 hari sebelum pemberian sari wortel (Daucus
carota L.), 24 jam dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel.
8. Uji toksisitas
Sari wortel yang telah disiapkan, diinjeksikan secara oral kepada tikus, dan
kemudian dilakukan pengamatan terhadap perilaku tikus selama 3 jam pertama
(dengan membandingkan antara perilaku tikus yang mendapatkan perlakuan sari
wortel dengan perilaku tikus sebagai kontrol), dan dicatat pada blanko data.
Pengamatan fisik gejala-gejala pada seluruh tikus betina tiap kelompok
dilakukan terus menerus selama 3 jam pertama serta sesering mungkin selama 24
jam pertama setelah pemberian sari wortel. Apabila saat pengamatan langsung
terdapat hewan uji yang mati, maka langsung dilakukan pembedahan dan

42
pengambilan organ ginjal dari masing-masing tikus betina. Apabila tidak ada
hewan uji yang mati pada masa akhir 24 jam setelah pemberian sari wortel, hewan
uji dikorbankan secara fisik dengan dislokasi leher, kemudian dilakukan
pembedahan pada bagian perut secara melintang dari 3 ekor tikus betina dari
masing-masing tingkatan dosis, dan kontrol. Kemudian sisa tikus betina lainnya
yang masih hidup pada masing-masing kelompok dibiarkan sampai 14 hari.
Dalam rentang waktu 14 hari tersebut tetap dilakukan pengamatan dan
penimbangan berat badan.
9. Pengambilan darah dan pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum
a. Pengambilan darah sebelum pemejanan sari wortel
Pengambilan darah sebelum pemejanan dilakukan tiga hari sebelum
pemejanan, dimana semua hewan uji diambil sampel darahnya melalui vena
orbitalis. Kemudian sampel darah segera diukur agar tidak terjadi lisis.
Sebelum pengambilan darah, seluruh hewan uji terlebih dahulu dipuasakan
sehari sebelumnya. Pengambilan darah pada waktu sebelum pemberian sari
wortel diasumsikan sebagai nilai normal kadar kreatinin dan ureum serum
yang akan dibandingkan dengan kadar kreatinin dan ureum serum setelah
pemejanan sari wortel. Hal ini dikarenakan tidak ditemukan literature yang
jelas yang digunakan sebagai acuan nilai normal kadar kreatinin dan ureum
serum pada tikus betina galur Wistar. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum
dalam darah digunakan sebagai parameter biokimia untuk menentukan
adanya gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum
dalam darah dianalisis di LPPT Unit I Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

43
b. Pengambilan darah setelah pemejanan sari wortel
Setelah 24 jam pemejanan sari wortel, tiga ekor hewan uji dari tiap
kelompok perlakuan dan kontrol diambil sampel darahnya melalui vena
orbitalis. Kemudian darah segera diukur untuk mencegah terjadinya lisis. Sisa
hewan uji lainnya akan diambil sampel darahnya setelah hari ke-14 dengan
perlakuan yang sama. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum dalam darah
pada waktu 24 jam dan hari ke-14, dianalisis di LPPT Unit I Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
10. Pembuatan dan pemeriksaan preparat histopatologi
Setelah hewan uji diambil darahnya, kemudian hewan uji dinekropsi lalu
dibedah untuk mengambil organ tubuhnya. Pada penelitian ini, hewan uji dibedah
dengan menggunakan seperangkat alat-alat bedah untuk mengambil organ ginjal
dari tiap masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol. Organ ginjal yang telah
diambil, diamati secara makroskopis. Setelah itu, dicuci dengan NaCl fisiologis,
kemudian ditimbang dan difiksasi menggunakan formalin 10% untuk diawetkan.
Pada proses ini juga dilakukan hal yang sama terhadap tikus betina yang masih
hidup sampai pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel yang akan dibedah.
Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
dengan pengecatan Hematoksilin–Eosin. Sedangkan untuk pemeriksaan preparat
histopatologi organ ginjal diinterpretasikan oleh Prof. drh. Kurniasih, MVSc.,
PhD., Fakultas Kedoteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

44
Pemeriksaan dilakukan dengan cara membandingkan antara kelompok perlakuan
dan kontrol di bawah mikroskop cahaya.
E. Tata Cara Analisis Hasil
Data yang didapat dari penelitian yaitu LD50, spektrum efek toksik, data
histopatologi dan kadar kreatinin dan ureum serum.
1. Data kematian hewan uji digunakan untuk mengetahui harga LD50 yang
kemudian dapat ditentukan potensi ketoksikannya. Harga LD50 dihitung dari
jumlah hewan uji yang mati pada masing–masing kelompok, menggunakan
metode kertas grafik logaritma Miller dan Tainter dan secara kuantitatif
digunakan untuk menentukan potensi ketoksikan akut mengikuti ketentuan
Loomis (1978). Jika sampai batas volume maksimal yang boleh diberikan
tidak menimbulkan kematian hewan uji, maka peringkat dosis tertinggi
sebagai LD50 semu.
2. Gejala ketoksikan dapat dilakukan dengan mengamati tingkah laku hewan uji
selama percobaan, lalu membandingkan tingkah laku kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan yang dipejankan sari wortel. Pengamatan tingkah
laku hewan uji yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran 9.
3. Histopatologi dilakukan dengan membandingkan histopatologi organ ginjal
pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dari masing–masing
peringkat dosis sari wortel pada waktu 24 jam dan hari ke-14 setelah
pemejanan sari wortel.
4. Dilakukan uji distribusi normal terlebih dulu dengan menggunakan Shapiro
Wilk, karena subyek uji penelitian yang digunakan < 50. Sedangkan bila > 50,

45
uji distribusi normal dilakukan menggunakan Kolmogorrov-Smirnov. Data
dikatakan terdistribsui normal bila p>0,05 (menggunakan taraf kepercayaan
95%).
5. Kadar kreatinin dan ureum serum dianalisis dengan analisis statistik yaitu One
Way ANOVA (bila data berdistribusi normal) atau Uji Friedmann (bila data
tidak berdistribusi normal) digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan
pada setiap waktu pemeriksaan darah dan bila ada perbedaan (p<0,05) maka
dilanjutkan dengan Post Hoc Test, Scheffe untuk melihat perbedaannya antar
kelompok perlakuan terhadap kontrol. Setelah itu, dilanjutkan dengan uji
Paired T-Test untuk melihat adanya perbedaan antar kelompok perlakuan dan
kontrol dengan membandingkan antara kadar kreatinin dan ureum serum pada
waktu sebelum perlakuan dengan setelah perlakuan untuk mengetahui ada
tidaknya perubahan selama perlakuan (syaratnya subyek uji yang digunakan
sama).
6. Berat badan hewan uji dari hari ke-0, hari ke-7, dan hari ke-14 dianalisis
dengan General Linear Model, Multivariate, kemudian dilanjutkan dengan uji
Post Hoc Tets, Scheffe.
7. Berat organ ginjal relatif dari masing–masing kelompok perlakuan dianalisis
dengan One-Way ANOVA yang dilanjutkan dengan Post Hoc Tets, Scheffe.

46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan tentang ketoksikan akut pemberian sari wortel
(Daucus carota L.) dengan kajian histologi ginjal dan kadar kreatinin serta ureum
serum pada tikus betina galur Wistar meliputi: determinasi tanaman wortel;
jalannya penelitian; hasil uji toksisitas sari wortel (Daucus carota L.) berupa
harga LD50, gejala toksik, wujud efek toksik, sifat efek toksik; pemeriksaan
histopatologi ginjal (cacat mikroskopik); pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum
serum yang berfungsi untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal;
penimbangan berat organ ginjal relatif (kelainan makroskopik); penimbangan
berat badan tikus pada hari ke-0, ke-7, dan hari ke-14.
A. Determinasi Tanaman
Penelitian ini dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap tanaman
wortel melalui proses determinasi yang dilakukan oleh LPPT Unit I Biologi
Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang dapat dilihat pada lampiran
I. Berdasarkan hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tanaman wortel (Daucus carota L.).
B. Jalan Penelitian
Penelitian ini menggunakan subyek uji sebanyak 30 ekor tikus betina galur
Wistar yang terbagi secara acak menjadi 5 kelompok yang terdiri dari kelompok
kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) dan kelompok perlakuan dengan 4

47
peringkat dosis (diberikan sari wortel sesuai peringkat dosis). Tiap kelompok
terdiri atas 6 ekor hewan uji. Penentuan pemilihan subyek uji dilakukan dengan
metode random yaitu dengan cara penomoran terhadap subyek uji. Penomoran
dilakukan dengan menandai bagian tubuh dari subyek uji dengan angka yang
dimulai dari angka 1 hingga 30. Setelah itu dilakukan pengundian nomor dengan
menggunakan potongan kertas sebanyak 30 potongan yang mewakili nomor dari
masing-masing subyek uji. Hasil pengundian yang dilakukan dengan penomoran
hewan uji dapat dilihat pada lampiran 10. Pada penelitian ini dilakukan replikasi
sebanyak 3 kali untuk masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol yang akan
dibagi dalam dua waktu pengamatan yaitu 24 jam dan hari ke-14 setelah
pemejanan sari wortel. Setelah itu setiap hewan uji pada kelompok perlakuan
dipejankan sari wortel. Sedangkan hewan uji yang termasuk kelompok kontrol
tidak diberikan perlakuan apapun. Namun, seharusnya untuk kelompok kontrol
dapat diberikan aquadest dengan dosis maksimum seperti pada kelompok
perlakuan yaitu 115 g/kg BB. Penggunaan aquadest pada kelompok kontrol
digunakan sebagai pembanding terhadap kelompok perlakuan yang diberikan sari
wortel. Pada kelompok perlakuan dibagi dalam 4 peringkat dosis dengan
peringkat dosis masing-masing sebesar 66,55; 79,86; 95,83; 115 g/kg BB. Pada
dosis terendah yaitu 66,55 g/kg BB, diperkirakan tidak menimbulkan efek toksik
sama sekali dan pada dosis tertinggi yaitu 115 g/kg BB dimaksudkan dapat
menyebabkan kematian pada seluruh hewan uji.

48
C. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut merupakan suatu pengujian yang dilakukan untuk
menetapkan potensi toksisitas akut pemberian sari wortel pada tikus betina
berdasarkan LD50, serta mengamati gejala-gejala toksik setelah pemberian sari
wortel.
Pengamatan terhadap gejala-gejala toksik dilakukan dengan melihat tanda
munculnya efek toksik secara kualitatif yang diamati pada 3 jam pertama,
kemudian dilanjutkan pengamatan 24 jam. Setelah itu, pengamatan dilakukan
setiap hari berikutnya pada waktu yang lebih kurang sama hingga hari ke-14.
Pengamatan gejala toksik yang diamati dapat dilihat pada lampiran 24. Data
pengamatan gejala toksik dapat disajikan dalam tabel II.
Tabel II. Hasil pengamatan secara kualitatif gejala-gejala efek toksik tikus betina galur Wistar pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuanpemberian sari wortel selama waktu pengamatan mulai dari 3 jam setelah pemberian sari wortel hingga hari ke-14.
Kelompok Perlakuan N Gejala Toksik
Kontrol Tidak diberikan apapun 6 -
Dosis I Sari wortel, dosis 66,55 g/kg BB 6 -
Dosis II Sari wortel, dosis 79,86 g/kg BB 6 -
Dosis III Sari wortel, dosis 95,83 g/kg BB 6 -
Dosis IV Sari wortel, dosis 115 g/kg BB 6 -
Keterangan : (-) tidak menunjukkan gejala toksik
Berdasarkan tabel II, yang merupakan hasil pengamatan secara kualitatif
terhadap gejala-gejala toksik menunjukkan bahwa tidak ada gejala-gejala toksik
yang ditimbulkan oleh seluruh hewan uji pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan setelah pemberian sari wortel. Hal ini berarti pemberian sari wortel
secara oral dengan peringkat dosis mulai dari dosis 66,55 g/kg BB; dosis 79,86

49
g/kg BB; dosis 95,83 g/kg BB; dosis 115 g/kg BB pada tikus betina galur Wistar
tidak menunjukkan adanya gejala efek toksik.
Penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan pengamatan secara kuantitatif
terhadap jumlah kematian hewan uji yang dinyatakan dengan harga Median
Lethal Dosage (LD50). Harga LD50 menggambarkan bahwa dengan pemberian
dosis tunggal dari senyawa uji yang digunakan (sari wortel) diharapkan dapat
membunuh 50% hewan uji. Namun, saat pengamatan 24 jam setelah pemberian
sari wortel tidak ditemukan satupun hewan uji yang mati.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini potensi ketoksikan tidak dapat
ditentukan berdasarkan data jumlah kematian hewan uji akibat pemberian sari
wortel. Hal ini dikarenakan, pada dosis tertinggi yang diharapkan mampu
membunuh semua hewan uji tidak mengakibatkan kematian pada hewan uji. Data
dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Jumlah kematian tikus betina galur Wistar pada waktu pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok Perlakuan N Jumlah tikus yang mati
Respon(%)
LD50 semu
Kontrol Tidak diberikan apapun
6 0 0
˃ dosis tertinggi 115
g/kg BB
Dosis I Sari wortel, dosis 66,55 g/kg BB
6 0 0
Dosis II Sari wortel, dosis 79,86 g/kg BB
6 0 0
Dosis III Sari wortel, dosis 95,83 g/kg BB
6 0 0
Dosis IV Sari wortel, dosis 115 g/kg BB
6 0 0
Berdasarkan data tabel III, harga LD50 tidak dapat ditentukan dengan
menggunakan analisis probit (Miller Tainter Methode) sebab tidak ada hewan uji
yang mati (harga % respon adalah 0) pada kelompok perlakuan mulai dari dosis

50
terendah yaitu 66,55 g/kg BB hingga dosis tertinggi yaitu 115 g/kg BB. Harga LD50
baru dapat dihitung bila ada dosis yang mampu mematikan seluruh hewan uji.
Maka, potensi toksisitas yang diperoleh merupakan harga LD50 semu. LD50 semu
merupakan dosis tertinggi dari suatu senyawa (sari wortel) yang masih dapat
dipejankan atau diberikan kepada hewan uji. Dengan demikian, harga LD50 semu
sari wortel untuk tikus betina galur Wistar adalah >115 g/kg BB. Jika
dikonversikan ke manusia maka dosis 115 g/kg BB pada tikus betina galur Wistar
setara dengan 18,4 g/kg BB pada manusia. Hasil tersebut mempunyai makna
toksikologi bahwa potensi ketoksikan akut pemberian sari wortel menurut kriteria
Loomis (1978) termasuk dalam kategori relatif kurang berbahaya. Data LD50
semu sari wortel yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui indeks terapi
yang merupakan parameter keamanan dari suatu senyawa bila ED50 sari wortel
terhadap organ ginjal diketahui. Namun, sepanjang pengetahuan peneliti, nilai
ED50 sari wortel terhadap ginjal terkait khasiatnya sebagai diuretik, penyakit gagal
ginjal, dan batu ginjal belum diketahui. Dengan demikian, tidak dapat diketahui
indeks terapi sari wortel terhadap organ ginjal.
D. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Organ Ginjal
Pemeriksaan organ ginjal dilakukan melalui pengamatan makroskopis dan
pengamatan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan mengamati
kondisi organ ginjal secara langsung dengan dilihat warnanya, dibandingkan
ukurannya, dan diraba sebelum dibuat preparat histopatologi. Bila terjadi
kerusakan maka penampakkan organ ginjal akan terlihat berbeda dengan organ
ginjal yang normal. Pada waktu 24 jam setelah pemejanan sari wortel, tiga ekor

51
tikus betina dari setiap kelompok perlakuan dan kontrol dinekropsi kemudian
dibedah dan diambil organ ginjalnya. Kemudian sisanya tetap dipelihara sampai
hari ke-14 tanpa pemejanan sari wortel. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan
bahwa organ ginjal tikus betina galur Wistar yang diambil pada waktu 24 jam dan
14 hari setelah pemberian sari wortel masih dalam kondisi normal, karena antara
kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, yaitu konsistensi
kenyal, warna merah agak tua, tidak ada pembengkakan, atau kelainan lainnya.
Gambar dapat dilihat pada lampiran 19.
Setelah itu dilakukan pengamatan mikroskopis dengan menggunakan
mikroskop atau disebut dengan pemeriksaan histopatologi. Pengamatan
histopatologi yang dilakukan bertujuan untuk melihat adanya kerusakan jaringan
organ dalam ginjal serta spektrum efek toksik sari wortel terhadap organ ginjal.
Pada pembuatan preparat histopatologi organ ginjal dilakukan dengan
menggunakan pengecatan HE (Hematoxylin-Eosin), dimana hematoxylin
berfungsi untuk memberikan warna biru pada inti sel, dan eosin berfungsi untuk
memberikan warna merah pada sitoplasma, jaringan ikat, dan lainnya. Pengecatan
HE berfungsi agar dapat mengamati jaringan hingga intisel dari organ ginjal
dengan menggunakan mikroskop. Pemeriksaan histopatologi organ ginjal
dilakukan pada waktu 24 jam dan hari ke-14 setelah pemejanan sari wortel pada
kelompok perlakuan berdasarkan tingkatan dosis. Hal ini dapat dilihat pada tabel
IV serta gambar hasil analisis histopatologi dengan mikroskop.

52
Tabel IV. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus betina galur Wistarakibat pemberian sari wortel 1x dengan waktu pengamatan 24 jam setelah pemejanan
Replikasi Kelompok Perlakuan (Dosis dalam g/kg BB)Kontrol PSW
Dosis I PSW
Dosis II PSW
Dosis III PSW
Dosis IV 1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -
Keterangan : PSW = pemberian sari wortel - = normal I = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BBKontrol = tidak diberikan apapun
Berdasarkan data tabel IV, dapat dilihat pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan menunjukkan hasil pemeriksaan histopatologi yang diperoleh
normal, yaitu tidak ada kerusakan jaringan organ ginjal. Hal ini juga dapat
diperjelas pada gambar 3 (kelompok kontrol) dan gambar 4 (kelompok perlakuan)
yang merupakan gambar irisan melintang organ ginjal secara mikroskop.
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa tubulus dan
glomerulus masih dalam keadaan normal. Penyajian hasil pemeriksaan
histopatologi pada kelompok perlakuan hanya ditampilkan satu gambar yang
mewakili kelompok perlakuan karena pada kelompok perlakuan untuk semua
peringkat dosis mulai dari dosis 66,55 g/kg BB; dosis 79,86 g/kg BB; dosis 95,83
g/kg BB; dosis 115 g/kg BB pemberian sari wortel menunjukkan hasil yang
normal atau tidak ada kerusakan jaringan organ ginjal.

53
Gambar 3. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar pada kelompok kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) dengan perbesaran 200x menggunakan pengecatan hematoksilin-eosin.a. Glomerulus b. Tubulus
Gambar 4. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar pada kelompok perlakuan yang diberikan sari wortel (dosis 66,55 g/kgsampai 115 g/kg BB) dengan perbesaran 200x menggunakan pengecatan hematoksilin-eosin.a. Glomerulus b. Tubulus
Pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan mikroskop dilanjutkan
dengan mengamati jaringan organ ginjal pada hari ke-14 setelah pemberian sari

54
wortel. Hal ini dapat ditunjukkan pada tabel V, dan gambar histopatologi ke-5, 6,
7, 8, 9.
Tabel V. Hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal tikus betina galur Wistarakibat pemberian sari wortel 1x dengan waktu pengamatan pada hari ke-14 setelah pemejanan.
Replikasi Kelompok Perlakuan (Dosis dalam g/kg BB)Kontrol PSW
Dosis IPSW
Dosis IIPSW
Dosis III PSW
Dosis IV 1 - - - - -2 - - - Degenerasi
vakuoler-
3 - - - Degenerasi vakuoler
Degenerasi vakuoler
Keterangan : PSW = pemberian sari wortel - = normal I = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BBKontrol = tidak diberikan apapun
Gambar 5. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar pada kelompok kontrol (tidak diberikan apapun) dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan hematoksilin-eosin.a. Glomerulus b. Tubulus

55
Gambar 6. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 66,55 g/kg BB dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan hematoksilin-eosin.
a. Glomerulus b. Tubulus
Gambar 7. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 79,86 g/kg BB dengan perbesaran 400x menggunakan pengecatan hematoksilin-Eosin.
a. Glomerulus b. Tubulus

56
Gambar 8. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 95,83 g/kg BB dengan perbesaran 400xmenggunakan pengecatan hematoksilin-Eosin.a. Glomerulus b. Tubulus distal c. Degenerasi vakuoler
Gambar 9. Irisan melintang jaringan organ ginjal tikus betina galur Wistar akibat pemberian sari wortel dosis 115 g/kg BB dengan perbesaran 400xmenggunakan pengecatan hematoksilin-Eosin.a. Glomerulus b. Tubulus distal c. Degenerasi vakuoler
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi pada hewan uji ditemukan
adanya kerusakan jaringan organ ginjal berupa degenerasi vakuoler pada dosis III
(95,83 g/kg BB) replikasi II, III; dosis IV (115 g/kg BB) replikasi III. Degenerasi

57
merupakan perubahan morfologi akibat jejas-jejas non-fatal, sehingga
mengakibatkan gangguan dalam metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak
pada sel. Degenerasi vakuola ini ditunjukkan dengan inti yang tampak membesar
dan bergelembung serta kromatinnya jarang dan tidak eosinofilik. Degenerasi
vakuola secara mikroskopik tampak membentuk vakuola-vakuola yang jernih,
yang tersebar dalam sitoplasma, kadang-kadang vakuola kecil-kecil bersatu
membentuk vakuola lebih besar sehingga inti sel terdesak ke pinggir dan
akibatnya sel ginjal mengalami gangguan yang dapat menyebabkan
hilang/luruhnya sel ginjal (Himawan, 1992). Kerusakan jaringan organ ginjal
berupa degenerasi vakuola pada penelitian ini tidak diketahui penyebabnya karena
hanya ditemukan pada dosis III (95,83 g/kg BB) pada replikasi II, III; dan dosis
IV (115 g/kg BB) pada replikasi III. Sehingga hal ini tidak dapat menunjukkan
bahwa kerusakan jaringan organ ginjal yang terjadi dikarenakan pemberian sari
wortel terhadap hewan uji. Dengan demikian, kerusakan jaringan organ ginjal
yang diperoleh setelah hari ke-14 pemberian sari wortel pada dosis 95,83 g/kg BB
dan dosis 115 g/kg BB, dapat disebabkan karena kondisi patologis dari hewan uji
yang tidak dapat dikendalikan.
Terkait dengan pemeriksaan histopatologi dilakukan evaluasi terhadap
spektrum efek toksik. Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat terbalikkan
(reversibilitas) atau keberpulihan spektrum efek toksik yang terjadi. Suatu
spektrum efek toksik dikatakan reversible bila setelah zat uji berhenti dipejankan
maka kerusakan sel-sel akan berhenti dan tidak bertambah parah, kemudian
berangsur-angsur akan terjadi pemulihan kembali ke keadaan normalnya.

58
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan organ ginjal, maka tidak
dapat menunjukkan adanya reversibilitas (terbalikkan) maupun irreversibilitas
(tak terbalikkan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian sari wortel
mulai dari dosis 66,55 g/kg BB; dosis 79,86 g/kg BB; dosis 95,83 g/kg BB; dosis
115 g/kg BB tidak mempengaruhi histopatologi organ ginjal.
E. Pemeriksaan Kadar Kreatinin dan Ureum Serum
Ginjal merupakan salah satu organ vital yang mempunyai beberapa fungsi
utama yaitu menyaring produk hasil metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh,
menjaga keseimbangan cairan tubuh, dan mempertahankan pH cairan tubuh.
Dalam menjalankan fungsinya banyak kondisi yang dapat mempengaruhi fungsi
kerja ginjal baik secara akut maupun secara kronis. Ada beberapa pemeriksaan
laboratorium klinik yang merupakan parameter biokimia yang digunakan untuk
mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal. Pada penelitian ini, pemeriksaan
parameter biokimia yang dilakukan adalah mengukur kadar kreatinin dan ureum
dalam darah. Kedua parameter ini diharapkan dapat membantu menemukan
penyebab adanya gangguan fungsi ginjal dan menunjukkan tingkat kerusakan
ginjal setelah diberikan sari wortel (Daucus carota L.).
Kreatinin disintesis terutama dalam otot skelet dan sebagian kecil
disintesis di hati, pankreas, dan ginjal. Sintesis kreatinin relatif konstan tetapi
dapat terjadi peningkatan kreatinin bila terjadi kerusakan otot. Sebagian kecil
kreatinin juga disintesis di tubulus. Bila terjadi kegagalan ginjal, kreatinin ditahan
bersama unsur nitrogen nonprotein (NPN) darah lainnya. Kreatinin secara umum
diproduksi tubuh dalam jumlah yang tetap dan dilepaskan ke dalam darah. Jika

59
terdapat gangguan pada fungsi filtrasi ginjal maka kadar kreatinin dalam darah
akan meningkat dan kenaikan ini dapat digunakan sebagai indikator gangguan
fungsi ginjal.
Pada analisis kadar ureum dalam darah, kerusakan ginjal terjadi jika kadar
ureum meningkat dalam darah, dan bukan penurunan ureum dalam darah.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum dalam darah
adalah masukan protein yang tinggi, perdarahan saluran cerna, dan peningkatan
katabolisme protein seperti infeksi, luka bakar, dan pemberian kortikosteroid.
Sedangkan terjadi penurunan ureum dalam darah dapat disebabkan oleh masukan
protein yang berkurang, diet, penyakit hati, dan malnutrisi berat (Sutedjo, 2006).
Pada penelitian ini, pemeriksaan darah hewan uji dilakukan sebelum
pemberian sari wortel, 24 jam setelah pemberian sari wortel, dan 14 hari setelah
pemberian sari wortel. Pemeriksaan darah sebelum pemberian sari wortel
bertujuan agar mengetahui kadar kreatinin dan ureum serum yang dapat
diasumsikan sebagai nilai normal kreatinin dan ureum serum sebelum dipejankan
sari wortel. Hal ini dikarenakan sampai sekarang nilai kreatinin dan ureum serum
pada tikus normal tidak ditemukan dalam literature yang tersedia. Sedangkan
pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum pada waktu pengamatan 24 jam
setelah pemberian sari wortel bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan
kadar kreatinin dan ureum serum setelah dipejankan sari wortel sebagai petunjuk
adanya gangguan fungsi ginjal. Sedangkan pemeriksaan kadar kreatinin dan
ureum serum pada waktu pengamatan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel,
dilakukan untuk melihat sifat reversibilitas (terbalikkan) kadar kreatinin dan

60
ureum serum. Data kadar kreatinin dan ureum serum dianalisis dengan
menggunakan Shapiro-Wilk untuk mengetahui data yang diperoleh terdistribusi
normal. Analisis statistik Shapiro-Wilk digunakan karena subyek uji berjumlah
kurang dari 50. Setelah itu, bila data terdistribusi normal, dilanjutkan dengan
menggunakan One-Way ANOVA dan Post Hoc Test, Scheffe untuk menganalisis
kadar kreatinin dan ureum serum antar kelompok perlakuan dibandingkan dengan
kontrol pada masing-masing waktu pemeriksaan. Setelah itu, analisis dilanjutkan
dengan Paired T-Test untuk mengetahui adanya perubahan kadar kreatinin atau
ureum serum setelah pemejanan sari wortel dengan membandingkan kadar
kreatinin atau ureum serum yang diukur secara berulang yaitu membandingkan
kadar kreatinin atau ureum serum pada waktu sebelum perlakuan dan 24 jam
setelah perlakuan; kemudian membandingkan kadar kreatinin atau ureum serum
pada waktu sebelum perlakuan dan hari ke-14 setelah perlakuan dengan syarat
subyek uji yang digunakan sama antara sebelum dan setelah pemberian sari
wortel. Berikut akan dibahas masing-masing parameter biokimia yang digunakan
dalam penelitian ini.
1. Pemeriksaan kadar kreatinin serum
Pada penelitian ini, pemeriksaan kadar kreatinin serum sebelum
perlakuan dilakukan terhadap semua hewan uji. Berikut data kadar kreatinin
serum sebelum pemberian sari wortel.

61
Tabel VI. Purata kadar kreatinin serum ± SE tikus betina galur Wistar sebelum pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 6 0,43 ± 0,03
Dosis I (66,55 g/kg BB) 6 0,42 ± 0,03 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 6 0,40 ± 0,04 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 6 0,40 ± 0,05 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 6 0,37 ± 0,06 tb
Keterangan :
tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Berdasarkan analisis statistik dengan One Way ANOVA, diketahui bahwa
kadar kreatinin serum antar kelompok perlakuan dan kontrol sebelum
pemejanan berbeda tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,853
(p>0,05) (tabel VI). Kemudian setelah pemejanan sari wortel, 24 jam
kemudian tiga hewan uji dari masing-masing kelompok dilakukan
pemeriksaan terhadap kadar kreatinin serum untuk melihat ada atau tidaknya
perbedaan kadar kreatinin serum antar perlakuan terhadap kontrol. Sisa hewan
uji lainnya diperiksa kadar kreatinin serumnya setelah hari ke-14. Berikut data
kadar kreatinin serum pada waktu 24 jam setelah pemejanan.
Tabel VII. Purata kadar kreatinin serum ± SE tikus betina galur Wistar pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 3 0,43 ± 0,09Dosis I (66,55 g/kg BB) 3 0,53 ± 0,03 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 3 0,57 ± 0,03 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 3 0,57 ± 0,06 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 3 0,47 ± 0,03 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Dari hasil analisis statistik dengan One Way ANOVA, kadar kreatinin
serum antar kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu 24 jam setelah

62
perlakuan berbeda tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p)=0,377
(p>0,05) (tabel VII).
Kemudian analisis dilanjutkan dengan menggunakan Paired T-Test
untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian sari wortel terhadap perubahan
kadar kreatinin serum. Bila setelah diuji dengan statistik menunjukkan
perbedaan secara bermakna, maka dilanjutkan dengan membandingkan kadar
kreatinin serum antar kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum
perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan. Berikut data kadar kreatinin serum.
Tabel VIII. Purata kadar kreatinin serum ± SE pada tikus betina galur Wistarsebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) ± SESebelum pemberian sari wortel 24 jam setelah pemberian sari
wortelKontrol 3 0,47 ± 0,07 0,43 ± 0,08 tb
Dosis I 3 0,43 ± 0,03 0,53 ± 0,03 tb
Dosis II 3 0,43 ± 0,03 0,57 ± 0,03 tb
Dosis III 3 0,47 ± 0,03 0,57 ± 0,07 tb
Dosis IV 3 0,43 ± 0,03 0,47 ± 0,03 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kadar kreatinin serum pada waktu
sebelum pemberian sari wortel (p>0,05)Kontrol = tidak diberikan apapunI = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BB

63
Gambar 10. Diagram batang purata kadar kreatinin serum sebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar
Berdasarkan hasil analisis statistik, kadar kreatinin serum sebelum
perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan didapatkan nilai signifikansi (p)
sebesar 0,012. Nilai p<0,05 menunjukkan berbeda bermakna. Kemudian
dilanjutkan analisis statistik terhadap antar kelompok perlakuan dan kontrol
pada waktu sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan untuk
mengetahui adanya perbedaan bermakna tersebut. Dari hasil analisis tersebut,
kadar kreatinin serum antar kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu
sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan menunjukkan perbedaan
tidak bermakna (p>0,05) (tabel VIII). Walaupun terlihat pada gambar 10 yang
menunjukkan bahwa purata pada dosis 66,55 g/kg BB dan 79,86 g/kg BB
menunjukkan adanya perbedaan kadar kreatinin serum sebelum perlakuam

64
dan 24 jam setelah perlakuan, tetapi secara statistik dikatakan berbeda tidak
bermakna.
Setelah itu, pemeriksaan kadar kreatinin serum dilanjutkan pada sisa
hewan uji yang masih hidup sampai hari ke-14. Analisis data dilakukan
dengan One Way ANOVA. Berikut data kadar kreatinin serum setelah hari ke-
14.
Tabel IX. Purata kadar kreatinin serum ± SE pada tikus betina galur Wistarpada waktu pengamatan hari ke-14 setelah pemejanan sari wortel(Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 3 0,43 ± 0,03
Dosis I (66,55 g/kg BB) 3 0,30 ± 0,06 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 3 0,37 ± 0,03 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 3 0,33 ± 0,03 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 3 0,30 ± 0,00 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Berdasarkan hasil statistik, kadar kreatinin serum antar kelompok
perlakuan dan kontrol pada waktu pengamatan hari ke-14 setelah pemejanan
menunjukkan perbedaan tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p) sebesar
0,126 (p>0,05) (tabel IX). Kemudian analisis kadar kreatinin serum
dilanjutkan dengan membandingkan kadar kreatinin serum pada waktu
sebelum perlakuan dan hari ke-14 setelah perlakuan. Dari hasil analisis
statistik menggunakan Paired T-Test menunjukkan perbedaan tidak bermakna
dengan nilai signifikansi (p) sebesar 1,000 (p>0,05). Kemudian dilanjutkan
analisis terhadap antar kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum
perlakuan dan hari ke-14 setelah perlakuan. Dari hasil uji statistik yang

65
diperoleh menunjukkan berbeda tidak bermakna (p>0,05) (tabel X). Artinya
kadar kreatinin serum sebelum pemberian sari wortel dan 14 hari setelah
pemberian sari wortel sama. Hal ini juga dapat dilihat pada gambar 13.
Tabel X. Purata kadar kreatinin serum ± SE pada tikus betina galur Wistarsebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) ± SESebelum pemberian sari wortel 14 hari setelah pemberian sari wortel
Kontrol 3 0,40 ± 0 0,43 ± 0,03Dosis I 3 0,40 ± 0,06 0,30 ± 0,06 tb
Dosis II 3 0,37 ± 0,07 0,37 ± 0,03 tb
Dosis III 3 0,33 ± 0,09 0,33 ± 0,03 tb
Dosis IV 3 0,30 ± 0,10 0,30 ± 0 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kadar kreatinin serum pada waktu
sebelum pemberian sari wortel (p>0,05)Kontrol = tidak diberikan apapunI = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BB
Gambar 11. Diagram batang purata kadar kreatinin serum sebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.) pada tikus betina galur Wistar

66
Dengan demikian, pemberian sari wortel tidak mempengaruhi kadar
kreatinin serum mulai dari dosis terendah yaitu 66,55 g/kg BB sampai dosis
tertinggi yaitu 115 g/kg BB. Berdasarkan data yang diperoleh dengan uji
statistik yang digunakan, menunjukkan bahwa pada pemeriksaan kadar
kreatinin serum tidak dapat menentukan sifat reversibilitas, karena sari wortel
yang dipejankan tidak mempengaruhi kadar kreatinin pada waktu 24 jam
setelah perlakuan.
Pemeriksaan kadar kreatinin serum dapat dihubungkan dengan hasil
pemeriksaan histopatologi ginjal yang menunjukkan bahwa pemberian sari
wortel tidak menyebabkan kerusakan organ ginjal dan tidak mempengaruhi
kadar kreatinin serum pada kelompok perlakuan mulai dari dosis terendah
yaitu 66,55 g/kg BB sampai dosis tertinggi yaitu 115 g/kg BB pada waktu 24
jam setelah perlakuan.
2. Pemeriksaan kadar ureum serum
Pada penelitian ini, juga dilakukan pemeriksaan kadar ureum serum
dengan tujuan yang sama yaitu sebagai parameter biokimia untuk mengetahui
ada atau tidak adanya gangguan fungsi ginjal setelah dipejankan sari wortel.
Pemeriksaan kadar ureum juga dilakukan sebanyak tiga kali seperti pada
pemeriksaan kadar kreatinin serum yaitu sebelum pemberian sari wortel, 24
jam dan 14 hari setelah pemberian sari wortel. Pemeriksaan kadar ureum
serum pada waktu sebelum perlakuan dilakukan pada seluruh hewan uji.
Analisis statistik dilakukan dengan One Way ANOVA. Berikut data kadar
ureum serum sebelum pemberian sari wortel.

67
Tabel XI. Purata kadar ureum serum ± SE tikus betina galur Wistar pada waktu sebelum pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Ureum Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 6 52,90 ± 3,81Dosis I (66,55 g/kg BB) 6 50,30 ± 2,37 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 6 50,35 ± 2,52 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 6 46,13 ± 3,88 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 6 49,07 ± 3,61 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Berdasarkan analisis statistik, kadar ureum serum antar kelompok
perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum pemberian sari wortel
menunjukkan berbeda tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p) sebesar
0,698 (p>0,05). Kemudian setelah pemejanan sari wortel, pada waktu
pengamatan 24 jam dilakukan pemeriksaan kadar ureum serum terhadap tiga
hewan uji pada masing-masing kelompok, dan sisa hewan uji lainnya
diperiksa setelah hari ke-14. Berikut data kadar ureum serum pada waktu 24
jam setelah perlakuan.
Tabel XII. Purata kadar ureum serum ± SE tikus betina galur Wistar pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Ureum Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 3 21,53 ± 2,17Dosis I (66,55 g/kg BB) 3 21,97 ± 3,32 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 3 19,70 ± 1,46 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 3 21,30 ± 4,99 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 3 16,77 ± 0,49 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Berdasarkan hasil analisis statistik, kadar ureum serum antar kelompok
perlakuan dan kontrol pada waktu 24 jam setelah perlakuan menunjukkan
berbeda tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,719 (p>0,05).

68
Namun, saat dilakukan uji statistik dengan Paired T-Test untuk mengetahui
ada atau tidaknya perubahan kadar ureum serum setelah pemejanan yang
dibandingkan dengan kadar ureum serum pada waktu sebelum perlakuan,
maka diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti
berbeda bermakna. Artinya kadar ureum serum sebelum pemberian sari
wortel dan 24 jam setelah pemberian sari wortel tidak sama. Analisis ini
dapat diperjelas pada gambar 12, yang menunjukkan bahwa purata kadar
ureum serum pada waktu 24 jam setelah perlakuan menunjukkan terjadinya
penurunan dibandingkan kadar ureum serum sebelum pemberian sari wortel.
Penurunann kadar ureum serum ini terjadi pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan.
Gambar 12. Diagram batang purata kadar ureum serum sebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carotaL.) pada tikus betina galur Wistar

69
Kemudian dilanjutkan analisis antar kelompok perlakuan dan kontrol
pada waktu sebelum pemberian dan 24 jam setelah perlakuan. Data kadar
ureum serum dapat dilihat pada tabel VIII.
Tabel XIII. Purata kadar ureum serum ± SE pada tikus betina galur Wistarsebelum pemberian sari wortel dan 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Ureum Serum (mg/dl) ± SESebelum pemberian sari
wortel 24 jam setelah pemberian sari
wortel
Kontrol 3 54,20 ± 7,89 21,53 ± 2,17 bb
Dosis I 3 53,90 ± 2,93 21,97 ± 3,32 bb
Dosis II 3 48,17 ± 4,08 19,70 ± 1,46 bb
Dosis III 3 44,70 ± 3,87 21,30 ± 4,99 bb
Dosis IV 3 42,53 ± 3,18 16,77 ± 0,49 bb
Keterangan : bb = berbeda bermakna terhadap kadar ureum serum pada waktu sebelum
pemberian sari wortel (p>0,05)Kontrol = tidak diberikan apapunI = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BB
Berdasarkan hasil analisis statistik yang diperoleh menunjukkan
perbedaan bermakna (p<0,05) pada kelompok kontrol maupun pada
kelompok perlakuan (tabel XIII). Namun, penurunan kadar ureum serum
yang terjadi pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak mengindikasikan
terjadinya gangguan ginjal, karena pada kelompok kontrol (tidak diberikan
apapun) juga mengalami penurunan kadar ureum serum. Hal ini menunjukkan
bahwa penurunan kadar ureum serum ini tidak dapat dikatakan karena
pengaruh pemberian sari wortel. Penurunan kadar ureum serum yang terjadi
dapat disebabkan karena kondisi patologis dari hewan uji.

70
Pemeriksaan kadar ureum serum dilanjutkan pada pengamatan hari ke-
14 untuk melihat adanya reversibilitas. Analisis statistik dilakukan dengan
One Way ANOVA. Berikut data kadar ureum serum setelah hari ke-14.
Tabel XIV. Purata kadar ureum serum ± SE tikus betina galur Wistar pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Ureum Serum (mg/dl) ± SE
Kontrol (tidak diberikan perlakuan apapun) 3 43,27 ± 4,09Dosis I (66,55 g/kg BB) 3 39,70 ± 5,66 tb
Dosis II (79,86 g/kg BB) 3 44,30 ± 2,76 tb
Dosis III (95,83 g/kg BB) 3 42,63 ± 1,77 tb
Dosis IV (115 g/kg BB) 3 44,03 ± 0,75 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p>0,05)
Berdasarkan analisis statistik, kadar ureum serum antar kelompok
perlakuan dan kontrol pada hari ke-14 setelah perlakuan menunjukkan
berbeda tidak bermakna dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,882 (p>0,05).
Kemudian, dilanjutkan analisis statistik kadar ureum serum sebelum
perlakuan dan hari ke-14 setelah perlakuan dengan uji statistik Paired T-Test
yang membandingkan kadar ureum pada waktu sebelum perlakuan dan hari
ke-14 setelah perlakuan. Data dapat dilihat pada tabel XV.

71
Tabel XV. Purata kadar ureum serum ± SE pada tikus betina galur Wistar sebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok N Mean Kadar Ureum Serum (mg/dl) ± SESebelum pemberian sari
wortel 14 hari setelah pemberian sari
wortel
Kontrol 3 51,60 ± 2,93 43,27 ± 4,09 tb
Dosis I 3 46,70 ± 2,54 39,70 ± 5,66 tb
Dosis II 3 52,53 ± 3,21 44,30 ± 2,76 tb
Dosis III 3 47,57 ± 7,62 42,63 ± 1,77 tb
Dosis IV 3 55,60 ± 3,49 44,03 ± 0,75 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kadar ureum serum pada waktu sebelum
pemberian sari wortel (p>0,05)Kontrol = tidak diberikan apapunI = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BB
Gambar 13. Diagram batang purata kadar ureum serum sebelum pemberian sari wortel dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carotaL.) pada tikus betina galur Wistar
Berdasarkan hasil analisis statistik, kadar ureum serum sebelum
perlakuan terhadap kadar ureum serum pada hari ke-14 setelah perlakuan
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,001. Nilai p lebih kecil dari 0,05

72
menunjukkan bahwa berbeda bermakna. Artinya kadar ureum sebelum
pemberian sari wortel dan 14 hari setelah pemberian sari wortel tidak sama.
Bila dilihat pada gambar 13, menunjukkan adanya perbedaan kadar ureum
serum pada kelompok kontrol, dosis II (79,86 g/kg BB), dan dosis IV (115
g/kg BB) pada waktu sebelum perlakuan dan 14 hari setelah perlakuan.
Namun, setelah dianalisis secara statistik menggunakan Paired T-Test, kadar
ureum serum antara kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum
perlakuan dan 14 hari setelah perlakuan menunjukkan berbeda tidak
bermakna (p>0,05) (tabel XV). Dengan demikian, menunjukkan bahwa
pemberian sari wortel dari dosis terendah yaitu 66,55 g/kg BB hingga dosis
tertinggi yaitu 115 g/kg BB tidak mempengaruhi kadar ureum pada hari ke-14
setelah pemberian sari wortel, dan dapat menunjukkan adanya reversibilitas
kadar ureum serum dari hewan uji bila dibandingkan dengan kadar ureum
serum pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel. Pemeriksaan kadar
ureum serum menunjukkan adanya hubungan dengan hasil pemeriksaan
histopatologi organ ginjal pada waktu 24 jam setelah perlakuan. Hal ini
ditunjukkan bahwa setelah pemberian sari wortel tidak menyebabkan
kerusakan jaringan organ ginjal dan tidak mempengaruhi kadar ureum serum
karena penurunan kadar ureum serum juga terjadi pada kelompok kontrol
sehingga dapat dikatakan penurunan yang terjadi karena kondisi patologis
dari hewan uji.
Berdasarkan pemeriksaan darah melalui dua parameter biokimia yaitu
kadar kreatinin dan ureum serum yang digunakan untuk mengidentifikasi

73
adanya gangguan fungsi ginjal menunjukkan bahwa pemberian sari wortel
tidak mempengaruhi kadar kreatinin dan ureum serum. Menurut Rubenstein,
et al., (2003) bahwa kreatinin serum bukan merupakan indikator sensitif
untuk menunjukkan kerusakan ginjal gejala ringan sampai sedang. Sedangkan
ureum serum kurang efektif dalam menggambarkan adanya gangguan fungsi
ginjal dikarenakan ureum serum dapat dipengaruhi oleh banyak faktor di luar
ginjal, seperti gangguan hati, diet, berkurangnya masukan protein, dll
(Sutedjo, 2006).
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum pada
penelitian ini, ada beberapa kekurangan yang menyebabkan data yang
diperoleh berfluktuatif, yaitu:
1. Pengambilan darah sebelum perlakuan berjarak tiga hari dari pemejanan
sari wortel sehingga tidak dapat mengetahui kondisi patologis dari hewan
uji sehari sebelum pemejanan sari wortel.
2. Pengambilan darah pada waktu 24 jam setelah pemejanan hanya dilakukan
pada 50% dari seluruh jumlah hewan uji pada tiap kelompok masing-
masing sehingga kemungkinan fluktuasi data yang diperoleh menjadi
besar.
3. Kemungkinan sampel darah yang diukur mengalami lisis.
F. Analisis Berat Organ Ginjal Relatif
Penimbangan berat organ ginjal relatif terhadap berat tubuh hewan uji
merupakan suatu data yang berguna untuk mengidentifikasi kemungkinan organ
ginjal tersebut sebagai sasaran kerusakan organ setelah pemberian sari wortel.

74
Penelitian ini dilakukan dengan penimbangan berat organ ginjal relatif setelah
pemeriksaan secara makroskopis. Analisis berat organ ginjal relatif dilakukan
dengan cara menghitung berat organ sebagai persentase berat badan total (saat
dinekropsi). Berdasarkan pernyataan yang dinyatakan oleh Gad (2001), maka
pada penelitian ini berat organ ginjal relatif diperoleh dari hasil bagi antara berat
organ ginjal akhir (saat dinekropsi) dengan berat tubuh total akhir hewan uji
sebelum dinekropsi.
Perhitungan berat organ ginjal relatif ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan antara berat ginjal relatif hewan uji pada masing-masing
kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Apabila terdapat
perbedaan bermakna berat organ ginjal relatif, maka perbedaan tersebut dapat
dijadikan indikator adanya kerusakan organ ginjal secara makroskopis. Data organ
ginjal relatif dianalisis menggunakan One-Way ANOVA, untuk melihat perbedaan
berat organ ginjal relatif antar kelompok perlakuan yang diberi sari wortel dengan
kelompok kontrol yang tidak diberikan apapun dengan data terdistribusi normal.
Analisis yang dilakukan untuk mengetahui data terdistribusi normal dilakukan
dengan menggunakan Shapiro-Wilk karena subyek uji yang digunakan berjumlah
kurang dari 50, dimana subyek uji penelitian yang digunakan berjumlah 30 ekor.
Hasil analisis berat organ ginjal relatif tikus betina galur Wistar dapat dilihat pada
tabel XVI dan XVII serta gambar 14 dan 15.

75
Tabel XVI. Rata-rata berat organ ginjal relatif akibat 1x pemberian sari wortelpada pengamatan 24 jam setelah pemejanan
Kelompok N Purata berat organ ginjal (%) ± SE(standard error)
Signifikansi
Kontrol 3 0,73 ± 0,04 -I 3 0,79 ± 0,01 tbII 3 0,82 ± 0,03 tbIII 3 0,80 ± 0,05 tbIV 3 0,73 ± 0,01 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p > 0,05)I = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BBKontrol = tidak diberikan apapun
Tabel XVII. Rata-rata berat organ ginjal relatif akibat 1x pemberian sari wortel pada pengamatan hari ke-14 setelah pemejanan
Kelompok N Purata berat organ ginjal (%) ± SE (standard error)
Signifikansi
Kontrol 3 0,82 ± 0,02 -I 3 0,77 ± 0,07 tbII 3 0,79 ± 0,03 tbIII 3 0,79 ± 0,01 tbIV 3 0,76 ± 0,03 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p > 0,05)I = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BBKontrol = tidak diberikan apapun
Gambar 14. Diagram persentase purata berat organ ginjal pada tikus betina galur Wistar pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)

76
Gambar 15. Diagram persentase purata berat organ ginjal pada tikus betina galur Wistar pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Berdasarkan data yang didapat dari gambar 9 dan 10, menunjukkan bahwa
pada pengamatan 24 jam dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel, purata
berat organ ginjal relatif bila dibandingkan antar kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol tidak dapat menggambarkan kerusakan organ ginjal karena
purata berat organ ginjal relatif menunjukkan tidak ada perbedaan. Hal ini
diperjelas pada tabel XVI dan XVII.
Berdasarkan tabel XVI dan XVII, setelah dilakukan analisis menggunakan
One-Way ANOVA, menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan yang
dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk waktu pengamatan 24 jam
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,246. Nilai p lebih besar dari 0,05
menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol (tidak diberikan apapun) dengan
kelompok perlakuan (diberikan sari wortel) berbeda tidak bermakna. Demikian
halnya dengan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel, diperoleh nilai

77
signifikansi (p) sebesar 0,790. Nilai p lebih besar dari 0,05 menunjukkaan bahwa
antar kelompok kontrol (tidak diberikan apapun) dengan kelompok perlakuan
(diberikan sari wortel) berbeda tidak bermakna. Dari kedua hasil analisis statistik
dengan dua waktu pengamatan yang berbeda menunjukkan bahwa berat organ
ginjal relatif pada kelompok kontrol dan perlakuan sama. Hal ini berarti
pemberian sari wortel tidak mempengaruhi berat organ ginjal relatif yang
merupakan salah satu pemeriksaan secara makroskopis yang menunjukkan adanya
kerusakan organ ginjal.
G. Analisis Berat Badan
Perubahan berat badan hewan uji berkaitan erat dengan kondisi fisik
hewan tersebut. Perubahan tersebut dapat meningkat dan menurun tergantung
kecukupan gizi yang terkandung dalam pakan. Gad (2001) menyebutkan bahwa
berat badan sering digunakan sebagai indikasi sensitif adanya efek merugikan.
Berat badan hendaknya dipantau setidaknya seminggu sekali, dan berguna untuk
memantau perkembangan fisik hewan uji dan mengawasi kemungkinan adanya
pengaruh senyawa uji terhadap kondisi fisik hewan uji tersebut.
Pada penelitian ini, penimbangan hewan uji dilakukan setiap hari mulai
dari hewan uji tersebut diadaptasikan untuk dapat melihat pertumbuhan dari
hewan uji yaitu dengan bertambah besar ukuran tubuh akibat berkembangnya sel
yang ditandai dengan adanya kenaikan berat badan. Namun, pada analisis data
statistik yang digunakan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 yang bertujuan agar dapat
mengamati secara jelas adanya kenaikan atau penurunan berat badan setiap
minggunya sampai hari ke-14.

78
Penimbangan berat badan hewan uji yang dianalisis pada hari ke-0
berguna untuk menghitung volume pemberian senyawa uji yaitu sari wortel.
Sedangkan berat badan hari ke-7 dan hari ke-14 berguna untuk dapat menghitung
kenaikan berat badan hewan uji, apakah selama seminggu tersebut terjadi
kenaikan berat badan yang cukup signifikan dari tiap-tiap kelompok perlakuan
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Perubahan berat badan masing-masing kelompok hewan uji dianalisis
secara statistik dengan menggunakan metode yang sesuai yaitu menggunakan
General Linear Model (Two-Way ANOVA) dan dilanjutkan dengan Multivariate
Scheffe, Post Hoc Test yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pada masing-
masing kelompok baik kelompok perlakuan yang dibandingkan dengan kelompok
kontrol, serta melihat perubahan berat badan dari hewan uji pada hari ke-0, hari
ke-7, dan hari ke-14. Perubahan berat badan dapat digunakan sebagai salah satu
tanda umum suatu kondisi fisik dari hewan uji. Perubahan berat badan dapat
disebabkan karena jumlah asupan makanan yang dikonsumsi atau karena adanya
suatu penyakit yang menyerang tubuh. Bila adanya suatu penyakit dapat
menyebabkan kurangnya nafsu makan yang berdampak penurunan berat badan
karena konsumsi makanan yang tidak cukup. Data perubahan berat badan dapat
dilihat pada tabel VIII.

79
Tabel XVIII. Rata-rata berat badan hari ke-0, ke-7, dan ke-14 tikus betina galur Wistar akibat 1x pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Kelompok Berat badan rata-rata tikus betina (gram) ± SE Signifikansi
Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14
Kontrol 145,933 ± 4,905 151,267 ± 1,338 154,067 ± 3,060 -
I 153,733 ± 2,603 160,133 ± 1,507 163,333 ± 4,221 tb
II 144,000 ± 2,802 151,067 ± 4,697 152,467 ± 5,640 tb
III 143,400 ± 5,557 151,533 ± 3,003 154,667 ± 4,067 tb
IV 147,667 ± 2,831 158,33 3 ± 1,659 162,467 ± 2,096 tb
Keterangan : tb = perbedaan tidak bermakna terhadap kontrol (p > 0,05)I = sari wortel dosis 66,55 g/kg BBII = sari wortel dosis 79,86 g/kg BBIII = sari wortel dosis 95,83 g/kg BBIV = sari wortel dosis 115 g/kg BBKontrol = tidak diberikan apapun
Berdasarkan data yang ada, menunjukkan bahwa berat badan hewan uji
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mulai dari dosis terendah 66,55
g/kg BB hingga dosis tertinggi 115 g/kg BB setelah hari ke-7 dan hari ke-14
terjadi peningkatan berat badan. Selain itu, bila dibandingkan berat badan hewan
uji pada kelompok kontrol dan perlakuan menunjukan bahwa pada dosis 66,55
g/kg BB dan dosis 115 g/kg BB purata berat badan hewan uji berada diatas purata
berat badan kelompok kontrol. Sedangkan pada dosis 79,86 g/kg BB; dosis 95,83
g/kg BB; dan dosis 115 g/kg BB menunjukkan bahwa purata berat badan hewan
uji berada didekat puarata berat badan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat
pada grafik perubahan berat badan pada gambar 16.

80
Gambar 16. Grafik purata berat badan tikus betina galur Wistar pada hari ke-0, 7, dan 14 hari setelah pemberian sari wortel (Daucus carota L.)
Berdasarkan analisis statistik menggunakan General Linear Model, berat
badan hewan uji pada pengamatan hari ke-0, ke-7, dan ke-14, diperoleh nilai
signifikansi (p) sebesar 0,372; 0,104; 0,329. Nilai p lebih besar dari 0,05
menunjukkan berat badan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 berbeda tidak
bermakna. Hal ini berarti berat badan hewan uji pada hari ke-0, hari ke-7, dan hari
ke-14 sama. Selain itu, berdasarkan uji analsis statistik dengan General Linear
Model berat badan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diperoleh
nilai signifikansi (p) > 0,05. Nilai p lebih besar dari 0,05 menunjukkan berbeda
tidak bermakna. Dengan demikian, pemberian sari wortel pada dosis 66,55 g/kg
BB hingga dosis 115 g/kg BB tidak mempengaruhi berat badan dari hewan uji.

81
H. Rangkuman Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari wortel
terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan setelah pemberian sari wortel
(Daucus carota L.) dengan kajian histologi organ ginjal dan kadar kreatinin serta
ureum serum. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengevaluasi sifat reversibilitas
efek toksik yang ditimbulkan akibat pemberian sari wortel secara akut.
Berdasarkan hasil pengamatan secara kualitatif terhadap gejala-gejala
toksik selama waktu pengamatan mulai dari 3 jam dan sampai pada hari ke-14
setelah pemberian sari wortel menunjukkan bahwa tidak ada gejala-gejala toksik
yang ditimbulkan oleh hewan uji pada kelompok kontrol dan semua kelompok
perlakuan yang diberikan sari wortel. Setelah itu, dilakukan pengamatan secara
kuantitatif terhadap jumlah kematian dari hewan uji yang dinyatakan dengan
harga LD50. Harga LD50 yang diperoleh berupa LD50 semu yaitu >115 g/kg BB.
Jika dikonversikan ke manusia maka dosis 115 g/kg BB pada tikus betina galur
Wistar setara dengan 18,4 g/kg BB pada manusia. Hasil tersebut mempunyai
makna toksikologi bahwa potensi ketoksikan akut pemberian sari wortel menurut
kriteria Loomis (1978) termasuk dalam kategori relatif kurang berbahaya.
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan makroskopis dengan mengamati
kondisi organ ginjal secara langsung. Berdasarkan hasil pengamatan pada waktu
24 jam dan hari ke-14 setelah pemberian sari wortel menunjukkan bahwa organ
ginjal tikus betina galur Wistar masih dalam kondisi normal, karena antara
kelompok kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, yaitu konsistensi
kenyal, warna merah agak tua, tidak ada pembengkakan, atau kelainan lainnya.

82
Kemudian dilanjutkan pengamatan secara mikroskopik untuk melihat adanya
kerusakan jaringan organ dalam ginjal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi organ ginjal pada waktu
pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel menunjukkan hasil yang
normal, yaitu tidak adanya kerusakan organ ginjal. Sedangkan hasil analisis
histopatologi pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel, menunjukkan adanya
kerusakan organ ginjal yaitu degenerasi vakuoler pada dosis III (95,83 g/kg BB);
dosis IV (115 g/kg BB). Kerusakan jaringan organ ginjal berupa degenerasi
vakuola pada penelitian ini tidak diketahui penyebabnya karena hanya ditemukan
pada dosis III (95,83 g/kg BB) pada replikasi II, III; dan dosis IV (115 g/kg BB)
pada replikasi III. Sehingga kerusakan jaringan organ ginjal yang terjadi tidak
dikarenakan pemberian sari wortel terhadap hewan uji. Dengan demikian,
kerusakan jaringan organ ginjal yang diperoleh setelah hari ke-14 pemberian sari
wortel pada dosis 95,83 g/kg BB dan dosis 115 g/kg BB, dapat disebabkan karena
kondisi patologis dari hewan uji yang tidak dapat dikendalikan. Terkait dengan
pemeriksaan histopatologi, maka tidak dapat menentukan sifat reversibilitas
(terbalikkan) maupun irreversibilitas (tak terbalikkan). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemberian sari wortel mulai dari dosis 66,55 g/kg BB; dosis
79,86 g/kg BB; dosis 95,83 g/kg BB; dosis 115 g/kg BB tidak mempengaruhi
histopatologi organ ginjal.
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan darah terhadap kadar kreatinin
dan ureum serum untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal. Berdasarkan
analisis statistik, kadar kreatinin serum pada waktu sebelum perlakuan dan 24 jam

83
setelah perlakuan menunjukkan berbeda bermakna dengan nilai signifikansi (p)
sebesar 0,012 (p<0,05). Kemudian dilanjutkan analisis statistik terhadap antar
kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum perlakuan dan 24 jam
setelah perlakuan untuk mengetahui adanya perbedaan bermakna tersebut. Dari
hasil analisis, kadar kreatinin serum antar kelompok perlakuan dan kontrol pada
waktu sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan menunjukkan perbedaan
tidak bermakna (p>0,05). Walaupun terlihat pada purata kadar kreatinin serum
yang menunjukkan bahwa pada dosis 66,55 g/kg BB dan 79,86 g/kg BB adanya
perbedaan kadar kreatinin serum sebelum perlakuam dan 24 jam setelah
perlakuan, tetapi secara statistik dikatakan berbeda tidak bermakna.
Kemudian analisis kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan
membandingkan kadar kreatinin serum pada waktu sebelum perlakuan dan hari
ke-14 setelah perlakuan. Dari hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan tidak
bermakna dengan nilai signifikansi (p)=1,000 (p>0,05). Kemudian dilanjutkan
analisis terhadap antar kelompok perlakuan dan kontrol pada waktu sebelum
perlakuan dan hari ke-14 setelah perlakuan. Dari hasil uji statistik yang diperoleh
menunjukkan berbeda tidak bermakna (p>0,05).
Dengan demikian, pemberian sari wortel tidak mempengaruhi kadar
kreatinin serum mulai dari dosis terendah yaitu 66,55 g/kg BB sampai dosis
tertinggi yaitu 115 g/kg BB. Berdasarkan data yang diperoleh dengan uji statistik
yang digunakan, menunjukkan bahwa pada pemeriksaan kadar kreatinin serum
tidak dapat menentukan sifat reversibilitas, karena secara statistik setelah sari

84
wortel dipejankan tidak mempengaruhi kadar kreatinin pada waktu 24 jam setelah
perlakuan.
Selain pemeriksaan kadar kreatinin serum juga dilakukan pemeriksaan
terhadap kadar ureum serum. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan
kadar ureum serum pada waktu sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan
diperoleh nilai signifikansi (p)=0,000 (p<0,05). Hal ini berarti berbeda bermakna.
Demikian halnya analisis terhadap antar kelompok perlakuan dan kontrol pada
waktu sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan yang menunjukkan
perbedaan bermakna. Analisis ini dapat diperjelas pada gambar 14, yang
menunjukkan bahwa purata kadar ureum serum pada waktu 24 jam setelah
perlakuan terjadi penurunan dibandingkan kadar ureum serum sebelum pemberian
sari wortel. Penurunann kadar ureum serum ini terjadi pada kelompok kontrol
maupun kelompok perlakuan. Namun, hal ini tidak mengindikasikan terjadinya
gangguan ginjal, karena pada kelompok kontrol (tidak diberikan apapun) juga
mengalami penurunan kadar ureum serum. Dengan demikian, penurunan kadar
ureum serum tidak dapat dikatakan karena pengaruh pemberian sari wortel.
Penurunan kadar ureum serum yang terjadi dapat disebabkan karena kondisi
patologis dari hewan uji.
Pemeriksaan kadar ureum serum dilanjutkan pada pengamatan hari ke-14
untuk melihat adanya sifat reversibilitas. Berdasarkan hasil analisis statistik, kadar
ureum serum sebelum perlakuan terhadap kadar ureum serum pada hari ke-14
setelah perlakuan diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,001. Nilai p lebih kecil
dari 0,05 menunjukkan bahwa berbeda bermakna. Namun, setelah dianalisis

85
secara statistik menunjukkan kadar ureum serum antara kelompok perlakuan dan
kontrol pada waktu sebelum perlakuan dan 14 hari setelah perlakuan berbeda
tidak bermakna (p>0,05). Dengan demikian, pemberian sari wortel dari dosis
terendah yaitu 66,55 g/kg BB hingga dosis tertinggi yaitu 115 g/kg BB tidak
mempengaruhi kadar ureum pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel, dan
dapat menunjukkan sifat reversibilitas kadar ureum serum dari hewan uji bila
dibandingkan dengan kadar ureum serum pada waktu 24 jam setelah pemberian
sari wortel.
Berat organ ginjal relatif merupakan indikator terjadinya kerusakan ginjal
secara makroskopik. Berdasarkan analisis statistik, menunjukkan bahwa pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan untuk waktu pengamatan 24 jam
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0,246 (p>0,05). Demikian halnya dengan
hari ke-14 setelah pemberian sari wortel, diperoleh nilai signikansi (p) sebesar
0,790 (p>0,05). Hal ini berarti pemberian sari wortel tidak mempengaruhi berat
organ ginjal relatif yang merupakan salah satu pemeriksaan secara makroskopis
yang menunjukkan adanya gangguan organ ginjal.
Berat badan sering digunakan sebagai indikasi sensitif adanya efek
merugikan. Perubahan berat badan hewan uji berkaitan erat dengan kondisi fisik
hewan tersebut. Berdasarkan data yang ada, menunjukkan bahwa berat badan
hewan uji pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mulai dari dosis
terendah 66,55 g/kg BB hingga dosis tertinggi 115 g/kg BB setelah hari ke-7 dan
hari ke-14 terjadi peningkatan berat badan. Berdasarkan data analisis statistik,
berat badan hewan uji pada pengamatan hari ke-0, ke-7, dan ke-14, diperoleh nilai

86
signifikansi (p) sebesar 0,372; 0,104; 0,329. Nilai p lebih besar dari 0,05
menunjukkan berat badan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 berbeda tidak
bermakna. Dengan demikian, pemberian sari wortel pada dosis 66,55 g/kg BB
hingga dosis 115 g/kg BB tidak mempengaruhi berat badan dari hewan uji.
Bila penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Thejo (2009) tentang Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.)
pada Tikus Jantan Wistar: Kajian terhadap Organ Ginjal dan Kadar Kreatinin
Serum, diperoleh nilai LD50 semu jus wortel lebih besar dari 8,750 g/kg BB
dengan efek toksik pada organ ginjal yang ditimbulkan setelah 24 jam berupa
hemorrhagic, nekrosis tubulus dan glomerulus mulai pada kelompok kontrol (25
ml/kg BB), kelompok perlakuan dari dosis I (1,094 g/kg BB) hingga dosis IV
(8,750 g/kg BB). Sedangkan pada penelitian ini LD50 semu sari wortel yang
diperoleh lebih besar dari 115 g/kg BB dan tidak menunjukkan efek toksik pada
waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel. Berdasarkan perbandingan LD50
semu dan hasil histopatologi organ ginjal setelah diberikan wortel dalam bentuk
jus dan sari, maka kemungkinan efek toksik jus wortel lebih besar dibandingkan
dengan sari wortel. Hal ini diduga jumlah kandungan senyawa yang terdapat pada
jus wortel berbeda dengan sari wortel.
Namun, pemberian jus wortel maupun sari wortel tidak menunjukkan
adanya gejala-gejala klinis, tidak mempengaruhi berat organ ginjal relatif, berat
badan hewan uji, serta kadar kreatinin serum yang secara statistik yaitu berbeda
tidak bermakna (p>0,05) pada kelompok perlakuan terhadap kontrol.

87
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu:
1. Tidak ada gejala toksik yang ditunjukkan oleh hewan uji setelah
pemejanan sari wortel (Daucus carota L.) dari dosis terendah 66,55 g/kg
BB hingga dosis tertinggi 115 g/kg BB.
2. Potensi efek toksik yang diperoleh dinyatakan dengan harga LD50 semu
yaitu >115 g/kg BB.
3. Pemberian sari wortel (Daucus carota L.) tidak menyebabkan efek
toksik berdasarkan pemeriksaan histopatologi organ ginjal secara
mikroskopis pada tikus betina galur Wistar. Selan itu, tidak dapat
menentukan sifat terbalikkan dan tidak terbalikkan pada pemeriksaan
histopatologis.
4. Pemberian sari wortel (Daucus carota L.) terhadap tikus betina galur
Wistar tidak mempengaruhi kadar kreatinin serum sehingga tidak dapat
menentukan sifat reversibilitas. Demikian halnya dengan kadar ureum
serum. Namun, pada pemeriksaan kadar ureum serum dapat menentukan
sifat reversibilitas terkait penurunan kadar ureum serum yang
disebabkan kondisi patologis hewan uji.

88
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan :
1. Perlu dilakukan penelitian tentang uji farmakologi untuk mengetahui
ED50 sari wortel (Daucus carota L.) terkait khasiatnya sebagai diuretik,
gagal ginjal, dan batu ginjal.
2. Perlu dilakukan identifikasi senyawa yang terkandung pada jus wortel
dan sari wortel (Daucus carota L.) secara kualitatif dan kuantitatif.
3. Perlu dilakukan uji toksisitas akut sari wortel (Daucus carota L.) kajian
terhadap histologi ginjal, kadar kreatinin serta ureum serum dengan
pengambilan darah praperlakuan sehari sebelum pemejanan sari wortel,
dan pengambilan darah terhadap seluruh hewan uji pada waktu
pengamatan 24 jam setelah pemejanan sari wortel (Daucus carota L.).

89
DAFTAR PUSTAKA
Afriansyah, N., 2007, Wortel : Antioksidan, Penurun Kolesterol, dan Risiko Stroke, http://www.kompas.com, diakses tanggal 25 Sepstember 2009.
Anonim, 1979, The Merck Index An Encyclopedia of Chemical and Drugs, 9th edition, 313-314, Merck and Co, INC, USA.
Anonim, 2000, Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, 15-20, DepKes RI, DitJen POM Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.
Anonim, 2003, Beta Karoten, http://www.nusaindah.tripod.com, diakses tanggal 15 Desember 2009.
Backer, C.A., & van den Brink, R.C.B., 1968, Flora of Java, Volume I, 3-9, 11, N.V.P., Noordroff, Goningen, Netherlands.
Backer, C.A., & van den Brink, R.C.B., 1968, Flora of Java, Volume III, 171-172, 178, N.V.P., Noordroff, Goningen, Netherlands.
Baron, D. N., 1990, Kapita Selekta Patologi Klinik, edisi ke-4, diterjemahkan oleh Andrianto P dan Gunawan J, Terjemahan dari: A Short Textbook of Chemical Pathology, 113-231, EGC, Jakarta.
Cahyono, B., 2002, Wortel, Teknik Budidaya dan Analisis, 15-20, 27-31, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Cockroft, D. W., and Gault, M. H. 1976, Prediction Creatinine Clearence from Serum Creatinine, Nephron, 31-34, Atlanta, USA.
Dahlan, M.S., 2001, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, edisi 3, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Dalimartha, S., 2007, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, jilid 2, 197-199, Trubus Agriwidya, Jakarta.
Donatus, I. A., 1990, Toksikologi Dasar, 95-100; 125-132; 163-168, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta.

90
Donatus, I. A., 2001, Toksikologi Dasar, 1-5, 200-211, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Doull and Bruce, 1986, The Basic Science of Poisons, 3rd edition, 11-15; 35-39, Elmwood Avenue & Rochester, New York.
Gad, S.C., 2001, Statistics for Toxicologists, in Hayes, A. W., (Ed), Principles and Methods of Toxicology, 4th edition, 349, Francis and Taylor, Philadelphia.
Garcia, M.N., 1998, Vitamin A and β-Carotene Can Improve Nonheme Iron Absorption From Rice, Wheat and Corn by Humans, Journal of Nutrition, 128, 646-650.
Ghozali, I., 2008, Desain Penelitian Eksperimen, Teori, Konsep, dan Analisis Data dengan SPSS 16.0, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Glaister, J. R., 1986, Priciples of Toxicologycal Pathology, 95-103, Francis and Taylor, London.
Guyton, A. C. and Hall, J. E., 1997, Textbook of Medical physiology, 9nd
edition, 287-294, diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Alex Santoso, Ken Ariata Tengadi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Himawan S, 1992, Kumpulan Kuliah Patologi, 12-34, UI Press, Jakarta.
Hodgson, E., and Levi, P.P., 2000, A Text Book of Modern Toxicology, 161, Toxicology Program North Carolina State University Raleigh, Mc. Graw Higher Education, North Carolina.
Karlina, 2009, Toksisitas Akut Sari Wortel (Daucus carota L.) Kajian terhadap Organ Lambung, Ginjal, Hati pada Mencit Putih Betina Galur Balb/c, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.
Khairani, M., 2008, Pengaruh Pemberian Larutan Wortel (Daucus carota)Terhadap Jumlah Sel Radang Limfosit Submukosa Bronkiolus Tikus (Rattus norv), Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.

91
Koeman, J.H., 1987, Pengantar Umum Toksikologi, diterjemahkan oleh Yudono, R.H., 60, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Krinsky, N. I., 1989, Antioxidant Functions of Carotenoids, Free Radical Biol. Med., 7, 617-635.
Loomis, 1978, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus, edisi 3, 3; 16; 22; 228-230, IKIP Semarang Press, Semarang.
Lu, F. C., 1995, Basic Toxicology Fundamental Target Organ, and Risk Assesment, Toksikologi Dasar, 85-97, edisi 2, alih bahasa oleh : Edi Nugroho, UI Press, Jakarta.
Lu, F.C., 2006, Toksikologi Dasar, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, Edisi II, 86-88, UI-Press, Jakarta.
Masotti, L., Casali, E., Galeotti, T., 1988, Lipid Peroxidation in Tumor Cells, Free Radical Biol. Med., 4, 377-386.
Metzger, B.T., Barnes, D.M., Reed, J.D., 2008, Purple Carrot (Daucus carota L.) Polyacetylenes Decrease Lipopolysaccharide-Induced Expression of Inflammatory Proteins in Macrophage and Endothelial Cells, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 56, 3554-3560.
Muhlisah, F., 1999, Temu-Temuan dan Empon-empon Budidaya dan Manfaatnya, 11, Kanisius, Yogyakarta.
Murata, M., and Kawanishi, 2000, Oxidative DNA Damage by Vitamin A and Its Derivate Via Superoxide Generation, J. Boil Chem, 275, 2003-2008.
Mutschler, E, 2000, Arzneimittelwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto, M. B, dan Ranti, A. S, Dinamika Obat, edisi 5, 177-178, Penerbit ITB, Bandung.
Novianti, 2009, Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) pada Tikus Jantan Wistar : Kajian terhadap Organ Hati dan Kadar SGPT, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.
Null, G., 2000, Beta Carotene, New England Journal Medicine, www.Garynul.com/document/beta_carotene.htm, diakses tanggal 17 Desember 2009.

92
Nuraeni, E., 2003, Efek Hepatoprotektif Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) Pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Perry and Metzger, 1980, Clinical Manifestations of Human Vitamin and Mineral Disorders: A Resume Williams and Wilkins, Modern Nutrition in Health and Disease, 9th edition, A Waverly Company, Baltimore.
Pitojo, S., 2004, Benih Wortel, 12, 33 – 36, Kanisius, Yogyakarta.
Price, C.A., and Wilson, L.M., 1985, Patofisiologi, Konsep Klinik Proses –Proses Penyakit, edisi ke- 2, bagian 1 EGC, Jakarta.
Price, C.A., dan Wilson, L.M., 2006, Pathophisiology, Clinical Concepts of Disease Processes, diterjemahkan oleh Peter Anugrah, edisi IV, 426, C.V. EGC, Jakarta.
Priyanto, 2007, Toksisitas Obat, Zat Kimia dan Terapi Antidotum,1, 65, Lenkofi, Jakarta.
Putra, A. D. K., 2003, Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Rubenstein, D., Wayne, D., Bradley, J., 2003, Lecture Notes on Clinical Medicine, Lecture Notes Kedokteran Klinis, 6th ed., 229, alih bahasa oleh dr. Annisa Rahmalia, Erlangga, Yogyakarta.
Rukmana, R., 1995, Bertanam Wortel, 14-17; 27, Kanisius, Yogyakarta.
Setiabudy, R., 2007, Farmakologi dan Terapi, edisi V, 820-842, Universitas Indonesia, Jakarta.
Siems, W., Sammerburg, O., Schild, I., Augustin, W., Langhans, C. D., and Wiswedel, I., 2002, Beta Carotene Cleavage Product Induce Oxidative Stress In Vitro by Impairing Mitochondria Respiration, FASEB J, 10, 1096.
Soesilo, S., 1992, Peranan Jamu dan Obat Tradisional dalam Pelayanan Kesehatan Masyarakat dalam Antropologi Kesehatan Indonesia, edis II, 1-11, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

93
Stine, K. B., and Brown, T. M., 1996, Priciples of Toxicology, 74-80, Lewis Publishers, CRC Press. Inc, USA.
Sukmarini, 2008, Nefrologi Klinik, 2nd edition, 68, Penerbit ITB, Bandung.
Sutedjo, A. Y., 2006, Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium, 77-82, Amara Books, Yogyakarta.
Thejo, D., 2009, Pengaruh Pemberian Akut Jus Wortel (Daucus carota L.) pada Tikus Jantan Wistar : Kajian terhadap Organ Ginjal dan Kadar Kreatinin Serum, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, edisi V, 295-298, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Wehbe, Mroueh, and Daher, 2009, The Potential Role of Daucus carota Aqueous and Methanolic Extracts on Inflammation and Gastric Ulcers in Rats, Journal of Complementary and Integrative Medicine, 6 , 1553-3840.
Widmann, F. K.,1995, Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, diterjemahkan oleh Siti B. K., R. Gandasubrata., J. Latu., Penerbit Buku Kedokteran EGC, 254-257, Jakarta.

94
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat determinasi tanaman wortel

95
Lampiran 2. Surat pembelian tikus putih betina galur Wistar sebanyak 30
ekor di LPPT, Universitas Gadjah Mada

96

97
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan histopatolgi organ ginjal tikus betina galur
Wistar pada pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel

98
Lampiran 4. Hasil pemeriksaan histopatolgi organ ginjal tikus betina galur
Wistar pada pengamatan hari ke-14 setelah pemberian sari
wortel

99
Lampiran 5. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum
sebelum pemberian sari wortel yang dilakukan oleh LPPT-Unit
I-UGM

100

101
Lampiran 6. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum 24
jam setelah pemberian sari wortel yang dilakukan oleh LPPT-
UGM

102
Lampiran 7. Surat hasil pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum serum 14
hari setelah pemberian sari wortel yang dilakukan oleh LPPT-
UGM

Lampiran 8. Data penimbangan berat organ ginjal relatif tikus betina galur Wistar
Lampiran 9. Data penimbangan berat badan tikus
Kel Hari keRep I Rep II
Kontrol 147,4 153,6
Dosis I 158,4 153,4Dosis II 145,4 138,6
Dosis III 134,2 153,4Dosis IV 144,4 149,2
Lampiran 10. Skema proses penomoran hewan uji dengan cara random
kontrol
18
3
14
29
10
2
dosis I
1
4
Rep.24 jam setelah pemberian sari wortel
KontrolDosis
I
I 0,77 0,77II 0,76 0,80III 0,66 0,81
Data penimbangan berat organ ginjal relatif tikus betina galur istar
. Data penimbangan berat badan tikus betina galur Penimbangan berat badan (gram)
Hari ke-0 Hari ke-7Rep II Rep III Rep I Rep II Rep III Rep I153,6 142,0 153,4 148,8 151,6 167,4
153,4 149,6 160,4 162,6 157,4 177,6138,6 146,6 144,6 148,8 160,2 155,8
153,4 143,2 156,8 146,4 151,4 174,8149,2 148,2 161,6 156,2 157,2 178,0
Lampiran 10. Skema proses penomoran hewan uji dengan cara random
subyek uji (30 ekor)
Randomisasi
dosis I
15
9
8
25
dosis II
6
5
27
13
19
16
dosis III
7
12
26
11
28
24
dosis IV
Penimbangan berat organ ginjal relatif (%)
jam setelah pemberian sari wortel 14 hari setelah pemberian sari wortelDosis Dosis
IIDosis
IIIDosis
IVKontrol
Dosis I
Dosis
0,77 0,76 0,86 0,72 0,85 0,91 0,750,80 0,81 0,85 0,72 0,79 0,69 0,840,81 0,88 0,70 0,75 0,82 0,71 0,79
103
Data penimbangan berat organ ginjal relatif tikus betina galur
betina galur Wistar
Hari ke-14Rep II Rep III
163,4 164,0
184,6 166,6163,2 176,6
159,2 168,4170,0 169,8
Lampiran 10. Skema proses penomoran hewan uji dengan cara random
28
24
dosis IV
30
17
23
21
20
22
14 hari setelah pemberian sari wortelDosis
IIDosis
IIIDosis
IV
0,75 0,80 0,710,84 0,81 0,790,79 0,78 0,78

104
Lampiran 11. Gambar umbi wortel
Lampiran 12. GambarJuice Extractor
Lampiran 13. Tikus putih betina galur Wistar dan foto timbangan
Foto tiks putih betina galur wistar

105
Foto timbangan
Lampiran 14. Sari wortel yang diperoleh dengan menggunakan Juice
Extractor
Lampiran 15. Sari wortel disaring menggunakan saringan teh biasa
(penyaringan 1)

106
Lampiran 16. Penyaringan sari wortel menggunakan kertas saring
(penyaringan 2)
Lampiran 17. Sari wortel yang diperoleh dari hasil penyaringan ke-2

107
Lampiran 18. Pemberian sari wortel pada tikus betina galur Wistar
Lampiran 19. Gambar makroskopis organ ginjal pada kelompok kontrol dan perlakuan
Pada pengamatan 24 jam setelah pemberian sari wortel
kontrol dosis 66,55 g/kgBB dosis 95,83 g/kgBB
dosis 79,86 g/kg BB dosis 115 g/kgBB

108
Pada pengamatan 14 hari setelah pemberian sari wortel
Kontrol dosis 66,55 g/kgBB dosis 95,83 g/kgBB
dosis 79,86 g/kg BB dosis 115 g/kgBB
Lampiran 20. Data berat organ ginjal relatif
Uji Distribusi Normal
Case Processing Summary
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
KELOMPOKkontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
sehari (24jam) setelahpemberian sariwortel
14 hari setelahpemberian sariwortel
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases

109
a. Pengamatan berat organ ginjal yang dilakukan pada 24 jam setelah pemberian sari wortelExploreKelompok
Descriptives
3 .7300 .06083 .03512 .5789 .8811 .66 .77
3 .7933 .02082 .01202 .7416 .8450 .77 .81
3 .8167 .06028 .03480 .6669 .9664 .76 .88
3 .8033 .08963 .05175 .5807 1.0260 .70 .86
3 .7300 .01732 .01000 .6870 .7730 .72 .75
15 .7747 .06151 .01588 .7406 .8087 .66 .88
3 .8200 .03000 .01732 .7455 .8945 .79 .85
3 .7700 .12166 .07024 .4678 1.0722 .69 .91
3 .7933 .04509 .02603 .6813 .9053 .75 .84
3 .7967 .01528 .00882 .7587 .8346 .78 .81
3 .7600 .04359 .02517 .6517 .8683 .71 .79
15 .7880 .05759 .01487 .7561 .8199 .69 .91
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Total
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Total
sehari (24jam) setelahpemberian sariwortel
14 hari setelahpemberian sariwortel
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Tests of Normality
.356 3 . .818 3 .157
.292 3 . .923 3 .463
.211 3 . .991 3 .817
.365 3 . .797 3 .107
.385 3 . .750 3 ,728
.175 3 . 1.000 3 1.000
.356 3 . .818 3 .157
.196 3 . .996 3 .878
.253 3 . .964 3 .637
.343 3 . .842 3 .220
KELOMPOKkontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
sehari (24jam) setelahpemberian sariwortel
14 hari setelahpemberian sariwortel
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.

110
Descriptives
.7300 .03512
.5789
.8811
.
.7600
.004
.06083
.66
.77
.11
.
-1.680 1.225
. .
.7933 .01202
.7416
.8450
.
.8000
.000
.02082
.77
.81
.04
.
-1.293 1.225
. .
.8167 .03480
.6669
.9664
.
.8100
.004
.06028
.76
.88
.12
.
.492 1.225
. .
.8033 .05175
.5807
1.0260
.
.8500
.008
.08963
.70
.86
.16
.
-1.708 1.225
. .
.7300 .01000
.6870
.7730
.
.7200
.000
.01732
.72
.75
.03
.
1.732 1.225
. .
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
24 jam setelahpemberian sari wortel
Statistic Std. Error

111
One way
Post Hoc Test
Descriptives
24 jam setelah pemberian sari wortel
3 .7300 .06083 .03512 .5789 .8811 .66 .77
3 .7933 .02082 .01202 .7416 .8450 .77 .81
3 .8167 .06028 .03480 .6669 .9664 .76 .88
3 .8033 .08963 .05175 .5807 1.0260 .70 .86
3 .7300 .01732 .01000 .6870 .7730 .72 .75
15 .7747 .06151 .01588 .7406 .8087 .66 .88
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
ANOVA
24 jam setelah pemberian sari wortel
.021 4 .005 1.613 .246
.032 10 .003
.053 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Berat Organ Ginjal Relatif 24 jam setelah pemberian sari wortel
Scheffe
-,06333 ,04633 ,759 -,2361 ,1095
-,08667 ,04633 ,512 -,2595 ,0861
-,07333 ,04633 ,655 -,2461 ,0995
,00000 ,04633 1,000 -,1728 ,1728
,06333 ,04633 ,759 -,1095 ,2361
-,02333 ,04633 ,991 -,1961 ,1495
-,01000 ,04633 1,000 -,1828 ,1628
,06333 ,04633 ,759 -,1095 ,2361
,08667 ,04633 ,512 -,0861 ,2595
,02333 ,04633 ,991 -,1495 ,1961
,01333 ,04633 ,999 -,1595 ,1861
,08667 ,04633 ,512 -,0861 ,2595
,07333 ,04633 ,655 -,0995 ,2461
,01000 ,04633 1,000 -,1628 ,1828
-,01333 ,04633 ,999 -,1861 ,1595
,07333 ,04633 ,655 -,0995 ,2461
,00000 ,04633 1,000 -,1728 ,1728
-,06333 ,04633 ,759 -,2361 ,1095
-,08667 ,04633 ,512 -,2595 ,0861
-,07333 ,04633 ,655 -,2461 ,0995
(J) kelompokdosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
(I) kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval

112
b. Pengamatan berat organ ginjal yang dilakukan pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortelExplore Kelompok
Descriptives
.8200 .01732
.7455
.8945
.
.8200
.001
.03000
.79
.85
.06
.
.000 1.225
. .
.7700 .07024
.4678
1.0722
.
.7100
.015
.12166
.69
.91
.22
.
1.680 1.225
. .
.7933 .02603
.6813
.9053
.
.7900
.002
.04509
.75
.84
.09
.
.331 1.225
. .
.7967 .00882
.7587
.8346
.
.8000
.000
.01528
.78
.81
.03
.
-.935 1.225
. .
.7600 .02517
.6517
.8683
.
.7800
.002
.04359
.71
.79
.08
.
-1.630 1.225
. .
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
Lower Bound
Upper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
14 hari setelahpemberian sari wortel
Statistic Std. Error

113
One way
Post Hoc Tests
Descriptives
14 hari setelah pemberian sari wortel
3 .8200 .03000 .01732 .7455 .8945 .79 .85
3 .7700 .12166 .07024 .4678 1.0722 .69 .91
3 .7933 .04509 .02603 .6813 .9053 .75 .84
3 .7967 .01528 .00882 .7587 .8346 .78 .81
3 .7600 .04359 .02517 .6517 .8683 .71 .79
15 .7880 .05759 .01487 .7561 .8199 .69 .91
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
ANOVA
14 hari setelah pemberian sari wortel
.007 4 .002 .422 .790
.040 10 .004
.046 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Berat Organ Ginjal Relatif 14 hari setelah pemberian sari wortel
Scheffe
,05000 ,05147 ,912 -,1420 ,2420
,02667 ,05147 ,990 -,1653 ,2186
,02333 ,05147 ,994 -,1686 ,2153
,06000 ,05147 ,845 -,1320 ,2520
-,05000 ,05147 ,912 -,2420 ,1420
-,02333 ,05147 ,994 -,2153 ,1686
-,02667 ,05147 ,990 -,2186 ,1653
,01000 ,05147 1,000 -,1820 ,2020
-,02667 ,05147 ,990 -,2186 ,1653
,02333 ,05147 ,994 -,1686 ,2153
-,00333 ,05147 1,000 -,1953 ,1886
,03333 ,05147 ,978 -,1586 ,2253
-,02333 ,05147 ,994 -,2153 ,1686
,02667 ,05147 ,990 -,1653 ,2186
,00333 ,05147 1,000 -,1886 ,1953
,03667 ,05147 ,969 -,1553 ,2286
-,06000 ,05147 ,845 -,2520 ,1320
-,01000 ,05147 1,000 -,2020 ,1820
-,03333 ,05147 ,978 -,2253 ,1586
-,03667 ,05147 ,969 -,2286 ,1553
(J) kelompokdosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
(I) kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval

114
Lampiran 21. Data berat badan pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14
Uji Distribusi Normal
General Linear Model
Case Processing Summary
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
3 100,0% 0 ,0% 3 100,0%
kelompok perlakuankontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
berat badan hari ke-0
berat badan hari ke-7
berat badan hari ke-14
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Descriptives
3 145.933 8.4955 4.9049 124.829 167.037 136.8 153.6
3 153.733 4.5092 2.6034 142.532 164.935 149.4 158.4
3 144.000 4.8539 2.8024 131.942 156.058 138.6 148.0
3 143.400 9.6250 5.5570 119.490 167.310 134.2 153.4
3 147.667 2.8308 1.6344 140.635 154.699 144.4 149.4
15 146.947 6.7614 1.7458 143.202 150.691 134.2 158.4
3 151.267 2.3180 1.3383 145.508 157.025 148.8 153.4
3 160.133 2.6102 1.5070 153.649 166.618 157.4 162.6
3 151.067 8.1347 4.6966 130.859 171.274 144.6 160.2
3 151.533 5.2013 3.0030 138.613 164.454 146.4 156.8
3 158.333 2.8729 1.6586 151.197 165.470 156.2 161.6
15 154.467 5.7305 1.4796 151.293 157.640 144.6 162.6
3 154.067 5.3003 3.0601 140.900 167.233 148.8 159.4
3 163.333 7.3112 4.2211 145.171 181.495 155.4 169.8
3 152.467 9.7680 5.6395 128.202 176.732 144.6 163.4
3 154.667 7.0437 4.0667 137.169 172.164 146.6 159.6
3 162.467 3.6295 2.0955 153.450 171.483 159.8 166.6
15 157.400 7.5161 1.9406 153.238 161.562 144.6 169.8
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Total
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Total
kontrol
Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Total
Berat Badan Hari Ke-0
Berat Badan Hari Ke-7
Berat Badan Hari Ke-14
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Between-Subjects Factors
kontrol 3
dosis I 3
dosis II 3
dosis III 3
dosis IV 3
1
2
3
4
5
KelompokValue Label N

115
Tests of Normality
,235 3 . ,978 3 ,713
,196 3 . ,996 3 ,878
,280 3 . ,938 3 ,518
,200 3 . ,995 3 ,862
,373 3 . ,780 3 ,067
,224 3 . ,984 3 ,762
,207 3 . ,992 3 ,831
,295 3 . ,919 3 ,450
,178 3 . 1,000 3 ,958
,320 3 . ,883 3 ,334
,334 3 . ,860 3 ,266
,225 3 . ,984 3 ,756
,242 3 . ,973 3 ,685
,214 3 . ,989 3 ,803
,378 3 . ,768 3 ,051
kelompok perlakuankontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
berat badan hari ke-0
berat badan hari ke-7
berat badan hari ke-14
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Descriptive Statistics
145.933 8.4955 3
153.733 4.5092 3
144.000 4.8539 3
143.400 9.6250 3
147.667 2.8308 3
146.947 6.7614 15
151.267 2.3180 3
160.133 2.6102 3
151.067 8.1347 3
151.533 5.2013 3
158.333 2.8729 3
154.467 5.7305 15
164.933 2.1572 3
176.267 9.0738 3
165.200 10.5432 3
167.467 7.8418 3
172.600 4.6776 3
169.293 7.8332 15
Kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Total
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Total
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Total
BB hari ke-0
BB hari ke-7
BB hari ke-14
Mean Std. Deviation N
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
1.068 4 10 .421
2.193 4 10 .143
1.317 4 10 .328
BB hari ke-0
BB hari ke-7
BB hari ke-14
F df1 df2 Sig.
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependentvariable is equal across groups.
Design: Intercept+Kelompoka.
Univariate Tests
206.597 4 51.649 1.192 .372 .323 4.766 .251
433.440 10 43.344
232.400 4 58.100 2.556 .104 .506 10.223 .508
227.333 10 22.733
295.989 4 73.997 1.314 .329 .345 5.257 .275
563.040 10 56.304
Contrast
Error
Contrast
Error
Contrast
Error
Dependent VariableBB hari ke-0
BB hari ke-7
BB hari ke-14
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Partial EtaSquared
Noncent.Parameter
ObservedPower
a
The F tests the effect of Kelompok. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Computed using alpha = .05a.

116
Pairwise Comparisons
-7.800 5.375 .177 -19.777 4.177
1.933 5.375 .727 -10.044 13.911
2.533 5.375 .648 -9.444 14.511
-1.733 5.375 .754 -13.711 10.244
7.800 5.375 .177 -4.177 19.777
9.733 5.375 .100 -2.244 21.711
10.333 5.375 .083 -1.644 22.311
6.067 5.375 .285 -5.911 18.044
-1.933 5.375 .727 -13.911 10.044
-9.733 5.375 .100 -21.711 2.244
.600 5.375 .913 -11.377 12.577
-3.667 5.375 .511 -15.644 8.311
-2.533 5.375 .648 -14.511 9.444
-10.333 5.375 .083 -22.311 1.644
-.600 5.375 .913 -12.577 11.377
-4.267 5.375 .446 -16.244 7.711
1.733 5.375 .754 -10.244 13.711
-6.067 5.375 .285 -18.044 5.911
3.667 5.375 .511 -8.311 15.644
4.267 5.375 .446 -7.711 16.244
-8.867* 3.893 .046 -17.541 -.192
.200 3.893 .960 -8.474 8.874
-.267 3.893 .947 -8.941 8.408
-7.067 3.893 .100 -15.741 1.608
8.867* 3.893 .046 .192 17.541
9.067* 3.893 .042 .392 17.741
8.600 3.893 .052 -.074 17.274
1.800 3.893 .654 -6.874 10.474
-.200 3.893 .960 -8.874 8.474
-9.067* 3.893 .042 -17.741 -.392
-.467 3.893 .907 -9.141 8.208
-7.267 3.893 .092 -15.941 1.408
.267 3.893 .947 -8.408 8.941
-8.600 3.893 .052 -17.274 .074
.467 3.893 .907 -8.208 9.141
-6.800 3.893 .111 -15.474 1.874
7.067 3.893 .100 -1.608 15.741
-1.800 3.893 .654 -10.474 6.874
7.267 3.893 .092 -1.408 15.941
6.800 3.893 .111 -1.874 15.474
-11.333 6.127 .094 -24.984 2.318
-.267 6.127 .966 -13.918 13.384
-2.533 6.127 .688 -16.184 11.118
-7.667 6.127 .239 -21.318 5.984
11.333 6.127 .094 -2.318 24.984
11.067 6.127 .101 -2.584 24.718
8.800 6.127 .181 -4.851 22.451
3.667 6.127 .563 -9.984 17.318
.267 6.127 .966 -13.384 13.918
-11.067 6.127 .101 -24.718 2.584
-2.267 6.127 .719 -15.918 11.384
-7.400 6.127 .255 -21.051 6.251
2.533 6.127 .688 -11.118 16.184
-8.800 6.127 .181 -22.451 4.851
2.267 6.127 .719 -11.384 15.918
-5.133 6.127 .422 -18.784 8.518
7.667 6.127 .239 -5.984 21.318
-3.667 6.127 .563 -17.318 9.984
7.400 6.127 .255 -6.251 21.051
5.133 6.127 .422 -8.518 18.784
(J) Kelompokdosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
(I) Kelompokkontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Dependent VariableBB hari ke-0
BB hari ke-7
BB hari ke-14
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig.a
Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forDifference a
Based on estimated marginal means
The mean difference is significant at the .05 level.*.
Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments).a.

117
Post Hoc TestsKelompok
Multiple Comparisons
Scheffe
-6,133 4,7677 ,795 -23,916 11,650
4,133 4,7677 ,939 -13,650 21,916
4,067 4,7677 ,943 -13,716 21,850
,400 4,7677 1,000 -17,383 18,183
6,133 4,7677 ,795 -11,650 23,916
10,267 4,7677 ,385 -7,516 28,050
10,200 4,7677 ,390 -7,583 27,983
6,533 4,7677 ,757 -11,250 24,316
-4,133 4,7677 ,939 -21,916 13,650
-10,267 4,7677 ,385 -28,050 7,516
-,067 4,7677 1,000 -17,850 17,716
-3,733 4,7677 ,957 -21,516 14,050
-4,067 4,7677 ,943 -21,850 13,716
-10,200 4,7677 ,390 -27,983 7,583
,067 4,7677 1,000 -17,716 17,850
-3,667 4,7677 ,960 -21,450 14,116
-,400 4,7677 1,000 -18,183 17,383
-6,533 4,7677 ,757 -24,316 11,250
3,733 4,7677 ,957 -14,050 21,516
3,667 4,7677 ,960 -14,116 21,450
-8,867 3,8756 ,331 -23,322 5,589
,067 3,8756 1,000 -14,389 14,522
-,267 3,8756 1,000 -14,722 14,189
-7,067 3,8756 ,535 -21,522 7,389
8,867 3,8756 ,331 -5,589 23,322
8,933 3,8756 ,325 -5,522 23,389
8,600 3,8756 ,358 -5,856 23,056
1,800 3,8756 ,994 -12,656 16,256
-,067 3,8756 1,000 -14,522 14,389
-8,933 3,8756 ,325 -23,389 5,522
-,333 3,8756 1,000 -14,789 14,122
-7,133 3,8756 ,527 -21,589 7,322
,267 3,8756 1,000 -14,189 14,722
-8,600 3,8756 ,358 -23,056 5,856
,333 3,8756 1,000 -14,122 14,789
-6,800 3,8756 ,569 -21,256 7,656
7,067 3,8756 ,535 -7,389 21,522
-1,800 3,8756 ,994 -16,256 12,656
7,133 3,8756 ,527 -7,322 21,589
6,800 3,8756 ,569 -7,656 21,256
-11,333 6,1267 ,522 -34,185 11,519
-,267 6,1267 1,000 -23,119 22,585
-2,533 6,1267 ,996 -25,385 20,319
-7,667 6,1267 ,810 -30,519 15,185
11,333 6,1267 ,522 -11,519 34,185
11,067 6,1267 ,543 -11,785 33,919
8,800 6,1267 ,726 -14,052 31,652
3,667 6,1267 ,984 -19,185 26,519
,267 6,1267 1,000 -22,585 23,119
-11,067 6,1267 ,543 -33,919 11,785
-2,267 6,1267 ,997 -25,119 20,585
-7,400 6,1267 ,828 -30,252 15,452
2,533 6,1267 ,996 -20,319 25,385
-8,800 6,1267 ,726 -31,652 14,052
2,267 6,1267 ,997 -20,585 25,119
-5,133 6,1267 ,946 -27,985 17,719
7,667 6,1267 ,810 -15,185 30,519
-3,667 6,1267 ,984 -26,519 19,185
7,400 6,1267 ,828 -15,452 30,252
5,133 6,1267 ,946 -17,719 27,985
(J) kelompok perlakuandosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
kontrol
dosis I
dosis II
dosis III
dosis IV
Dependent VariableBerat badan hari ke-0
Berat badan hari ke-7
Berat badan hari ke-14
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Based on observed means.

118
Lampiran 22. Data kadar kreatinin serum
1. Kadar kreatinin serum sebelum pemberian sari wortel dengan menggunakan
uji One Way ANOVA.
Descriptives
kadar kreatinin serum (mg/dl)
6 ,433 ,0816 ,0333 ,348 ,519 ,4 ,6
6 ,417 ,0753 ,0307 ,338 ,496 ,3 ,5
6 ,400 ,0894 ,0365 ,306 ,494 ,3 ,5
6 ,400 ,1265 ,0516 ,267 ,533 ,2 ,5
6 ,367 ,1366 ,0558 ,223 ,510 ,1 ,5
30 ,403 ,0999 ,0182 ,366 ,441 ,1 ,6
kontrol
dosis I (66550,9mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
kadar kreatinin serum (mg/dl)
,588 4 25 ,674
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
kadar kreatinin serum (mg/dl)
,015 4 ,004 ,333 ,853
,275 25 ,011
,290 29
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffea
6 ,367
6 ,400
6 ,400
6 ,417
6 ,433
,873
kelompok perlakuandosis IV (115000mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis I (66550,9mg/kg BB)
kontrol
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000.a.

119
Post Hoc Tests
2. Kadar kreatinin serum pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel
dengan menggunakan uji One Way ANOVA.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffe
,0167 ,0606 ,999 -,184 ,218
,0333 ,0606 ,989 -,168 ,234
,0333 ,0606 ,989 -,168 ,234
,0667 ,0606 ,873 -,134 ,268
-,0167 ,0606 ,999 -,218 ,184
,0167 ,0606 ,999 -,184 ,218
,0167 ,0606 ,999 -,184 ,218
,0500 ,0606 ,951 -,151 ,251
-,0333 ,0606 ,989 -,234 ,168
-,0167 ,0606 ,999 -,218 ,184
,0000 ,0606 1,000 -,201 ,201
,0333 ,0606 ,989 -,168 ,234
-,0333 ,0606 ,989 -,234 ,168
-,0167 ,0606 ,999 -,218 ,184
,0000 ,0606 1,000 -,201 ,201
,0333 ,0606 ,989 -,168 ,234
-,0667 ,0606 ,873 -,268 ,134
-,0500 ,0606 ,951 -,251 ,151
-,0333 ,0606 ,989 -,234 ,168
-,0333 ,0606 ,989 -,234 ,168
(J) kelompok perlakuandosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Test of Homogeneity of Variances
kadar kreatinin serum (mg/dl)
2,000 4 10 ,171
LeveneStatistic df1 df2 Sig.

120
Descriptives
kadar kreatinin serum (mg/dl)
3 ,433 ,1528 ,0882 ,054 ,813 ,3 ,6
3 ,533 ,0577 ,0333 ,390 ,677 ,5 ,6
3 ,567 ,0577 ,0333 ,423 ,710 ,5 ,6
3 ,567 ,1155 ,0667 ,280 ,854 ,5 ,7
3 ,467 ,0577 ,0333 ,323 ,610 ,4 ,5
15 ,513 ,0990 ,0256 ,458 ,568 ,3 ,7
kontrol
dosis I (66550,9mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
ANOVA
kadar kreatinin serum (mg/dl)
,044 4 ,011 1,179 ,377
,093 10 ,009
,137 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffea
3 ,433
3 ,467
3 ,533
3 ,567
3 ,567
,601
kelompok perlakuankontrol
dosis IV (115000mg/kg BB)
dosis I (66550,9mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.

121
Post Hoc Tests
3. Kadar kreatinin serum pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffe
-,1000 ,0789 ,803 -,394 ,194
-,1333 ,0789 ,601 -,428 ,161
-,1333 ,0789 ,601 -,428 ,161
-,0333 ,0789 ,996 -,328 ,261
,1000 ,0789 ,803 -,194 ,394
-,0333 ,0789 ,996 -,328 ,261
-,0333 ,0789 ,996 -,328 ,261
,0667 ,0789 ,944 -,228 ,361
,1333 ,0789 ,601 -,161 ,428
,0333 ,0789 ,996 -,261 ,328
,0000 ,0789 1,000 -,294 ,294
,1000 ,0789 ,803 -,194 ,394
,1333 ,0789 ,601 -,161 ,428
,0333 ,0789 ,996 -,261 ,328
,0000 ,0789 1,000 -,294 ,294
,1000 ,0789 ,803 -,194 ,394
,0333 ,0789 ,996 -,261 ,328
-,0667 ,0789 ,944 -,361 ,228
-,1000 ,0789 ,803 -,394 ,194
-,1000 ,0789 ,803 -,394 ,194
(J) kelompok perlakuandosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Descriptives
kadar kreatinin serum (mg/dl)
3 ,433 ,0577 ,0333 ,290 ,577 ,4 ,5
3 ,300 ,1000 ,0577 ,052 ,548 ,2 ,4
3 ,367 ,0577 ,0333 ,223 ,510 ,3 ,4
3 ,333 ,0577 ,0333 ,190 ,477 ,3 ,4
3 ,300 ,0000 ,0000 ,300 ,300 ,3 ,3
15 ,347 ,0743 ,0192 ,306 ,388 ,2 ,5
kontrol
dosis I (66550,9mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum

122
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffe
,1333 ,0516 ,233 -,059 ,326
,0667 ,0516 ,793 -,126 ,259
,1000 ,0516 ,481 -,093 ,293
,1333 ,0516 ,233 -,059 ,326
-,1333 ,0516 ,233 -,326 ,059
-,0667 ,0516 ,793 -,259 ,126
-,0333 ,0516 ,978 -,226 ,159
,0000 ,0516 1,000 -,193 ,193
-,0667 ,0516 ,793 -,259 ,126
,0667 ,0516 ,793 -,126 ,259
,0333 ,0516 ,978 -,159 ,226
,0667 ,0516 ,793 -,126 ,259
-,1000 ,0516 ,481 -,293 ,093
,0333 ,0516 ,978 -,159 ,226
-,0333 ,0516 ,978 -,226 ,159
,0333 ,0516 ,978 -,159 ,226
-,1333 ,0516 ,233 -,326 ,059
,0000 ,0516 1,000 -,193 ,193
-,0667 ,0516 ,793 -,259 ,126
-,0333 ,0516 ,978 -,226 ,159
(J) kelompok perlakuandosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis IV (115000 mg/kgBB)
kontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1 mg/kgBB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66550,9 mg/kgBB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Test of Homogeneity of Variances
kadar kreatinin serum (mg/dl)
2,000 4 10 ,171
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
kadar kreatinin serum (mg/dl)
,037 4 ,009 2,333 ,126
,040 10 ,004
,077 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

123
4. Data kadar kreatinin serum dengan menggunakan uji Paired T-Test
a. Kadar kreatinin serum sebelum perlakuan dan 24 jam setelah pemejanan
1) kontrol
2) dosis I (66,55 g/kg BB)
3) dosis II (79,86 g/kg BB)
kadar kreatinin serum (mg/dl)
Scheffe a
3 ,300
3 ,300
3 ,333
3 ,367
3 ,433
,233
kelompok perlakuandosis I (66550,9mg/kg BB)
dosis IV (115000mg/kg BB)
dosis III (95833,3mg/kg BB)
dosis II (79861,1mg/kg BB)
kontrol
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.a.
Paired Samples Test
,0333 ,0577 ,0333 -,1101 ,1768 1,000 2 ,423
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
-,0667 ,0900 ,0232 -,1165 -,0168 -2,870 14 ,055
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
-,1333 ,0577 ,0333 -,2768 ,0101 -4,000 2 ,057
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)

124
4) dosis III (95,83 g/kg BB)
5) dosis IV (115 g/kg BB)
b. kadar kreatinin serum sebelum perlakuan dan hari ke-14 setelah pemejanan
1) kontrol
2) dosis I (66,55 g/kg BB)
3) dosis II (79,86 g/kg BB)
Paired Samples Test
-,1000 ,1000 ,0577 -,3484 ,1484 -1,732 2 ,225
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
-,0333 ,1155 ,0667 -,3202 ,2535 -,500 2 ,667
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
-,0333 ,0577 ,0333 -,1768 ,1101 -1,000 2 ,423
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
,1000 ,1000 ,0577 -,1484 ,3484 1,732 2 ,225
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
,0000 ,1000 ,0577 -,2484 ,2484 ,000 2 1,000
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)

125
4) dosis III (95,83 g/kg BB)
5) dosis IV (115 g/kg BB)
Lampiran 23. Data kadar ureum serum
1. kadar ureum serum sebelum pemberian sari wortel
Paired Samples Test
,0000 ,2000 ,1155 -,4968 ,4968 ,000 2 1,000
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
,0000 ,1732 ,1000 -,4303 ,4303 ,000 2 1,000
kadar kreatinin (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar kreatinin(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Descriptives
kadar ureum (mg/dl) sebelum perlakuan
6 52,900 9,3336 3,8104 43,105 62,695 42,9 69,4
6 50,300 5,7952 2,3659 44,218 56,382 42,4 57,9
6 50,350 6,1724 2,5199 43,872 56,828 40,0 57,9
6 46,133 9,4935 3,8757 36,171 56,096 37,1 62,4
6 49,067 8,8315 3,6054 39,799 58,335 38,5 61,8
30 49,750 7,8332 1,4301 46,825 52,675 37,1 69,4
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
kadar ureum (mg/dl) sebelum perlakuan
,482 4 25 ,748
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
kadar ureum (mg/dl) sebelum perlakuan
144,793 4 36,198 ,554 ,698
1634,602 25 65,384
1779,395 29
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

126
Post Hoc Tests
2. kadar ureum serum pada waktu 24 jam setelah pemberian sari wortel
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar ureum (mg/dl) sebelum perlakuan
Scheffe
2,6000 4,6685 ,988 -12,908 18,108
2,5500 4,6685 ,989 -12,958 18,058
6,7667 4,6685 ,718 -8,741 22,275
3,8333 4,6685 ,952 -11,675 19,341
-2,6000 4,6685 ,988 -18,108 12,908
-,0500 4,6685 1,000 -15,558 15,458
4,1667 4,6685 ,936 -11,341 19,675
1,2333 4,6685 ,999 -14,275 16,741
-2,5500 4,6685 ,989 -18,058 12,958
,0500 4,6685 1,000 -15,458 15,558
4,2167 4,6685 ,934 -11,291 19,725
1,2833 4,6685 ,999 -14,225 16,791
-6,7667 4,6685 ,718 -22,275 8,741
-4,1667 4,6685 ,936 -19,675 11,341
-4,2167 4,6685 ,934 -19,725 11,291
-2,9333 4,6685 ,982 -18,441 12,575
-3,8333 4,6685 ,952 -19,341 11,675
-1,2333 4,6685 ,999 -16,741 14,275
-1,2833 4,6685 ,999 -16,791 14,225
2,9333 4,6685 ,982 -12,575 18,441
(J) kelompok perlakuandosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Descriptives
kadar ureum (mg/dl) pada waktu 24 jam setelah perlakuan
3 21,533 3,7608 2,1713 12,191 30,876 18,7 25,8
3 21,967 5,7501 3,3198 7,683 36,251 18,4 28,6
3 19,700 2,5239 1,4572 13,430 25,970 17,0 22,0
3 21,300 8,6504 4,9943 -,189 42,789 12,6 29,9
3 16,767 ,8505 ,4910 14,654 18,879 15,9 17,6
15 20,253 4,7257 1,2202 17,636 22,870 12,6 29,9
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
kadar ureum (mg/dl) pada waktu 24 jam setelah perlakuan
2,020 4 10 ,167
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
kadar ureum (mg/dl) pada waktu 24 jam setelah perlakuan
54,397 4 13,599 ,527 ,719
258,260 10 25,826
312,657 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

127
Post hoc tests
3. kadar ureum serum pada hari ke-14 setelah pemberian sari wortel
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar ureum (mg/dl) pada waktu 24 jam setelah perlakuan
Scheffe
-,4333 4,1494 1,000 -15,910 15,043
1,8333 4,1494 ,995 -13,643 17,310
,2333 4,1494 1,000 -15,243 15,710
4,7667 4,1494 ,852 -10,710 20,243
,4333 4,1494 1,000 -15,043 15,910
2,2667 4,1494 ,988 -13,210 17,743
,6667 4,1494 1,000 -14,810 16,143
5,2000 4,1494 ,809 -10,277 20,677
-1,8333 4,1494 ,995 -17,310 13,643
-2,2667 4,1494 ,988 -17,743 13,210
-1,6000 4,1494 ,997 -17,077 13,877
2,9333 4,1494 ,970 -12,543 18,410
-,2333 4,1494 1,000 -15,710 15,243
-,6667 4,1494 1,000 -16,143 14,810
1,6000 4,1494 ,997 -13,877 17,077
4,5333 4,1494 ,872 -10,943 20,010
-4,7667 4,1494 ,852 -20,243 10,710
-5,2000 4,1494 ,809 -20,677 10,277
-2,9333 4,1494 ,970 -18,410 12,543
-4,5333 4,1494 ,872 -20,010 10,943
(J) kelompok perlakuandosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Descriptives
kadar ureum (mg/dl) pada hari ke-14 setelah perlakuan
3 43,267 7,0784 4,0867 25,683 60,850 38,5 51,4
3 39,700 9,8046 5,6607 15,344 64,056 31,6 50,6
3 44,300 4,7885 2,7647 32,405 56,195 39,9 49,4
3 42,633 3,0746 1,7751 34,996 50,271 39,1 44,7
3 44,033 1,3051 ,7535 40,791 47,275 43,0 45,5
15 42,787 5,3554 1,3827 39,821 45,752 31,6 51,4
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
kadar ureum (mg/dl) pada hari ke-14 setelah perlakuan
3,112 4 10 ,066
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
kadar ureum (mg/dl) pada hari ke-14 setelah perlakuan
40,877 4 10,219 ,283 ,882
360,640 10 36,064
401,517 14
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

128
Post hoc tests
4. data kadar ureum serum dengan Paired T-Test
a. kadar ureum serum sebelum perlakuan dan 24 jam setelah perlakuan
1). Kontrol
2). Dosis I (66,55 g/kg BB)
Multiple Comparisons
Dependent Variable: kadar ureum (mg/dl) pada hari ke-14 setelah perlakuan
Scheffe
3,5667 4,9033 ,967 -14,722 21,856
-1,0333 4,9033 1,000 -19,322 17,256
,6333 4,9033 1,000 -17,656 18,922
-,7667 4,9033 1,000 -19,056 17,522
-3,5667 4,9033 ,967 -21,856 14,722
-4,6000 4,9033 ,921 -22,889 13,689
-2,9333 4,9033 ,984 -21,222 15,356
-4,3333 4,9033 ,935 -22,622 13,956
1,0333 4,9033 1,000 -17,256 19,322
4,6000 4,9033 ,921 -13,689 22,889
1,6667 4,9033 ,998 -16,622 19,956
,2667 4,9033 1,000 -18,022 18,556
-,6333 4,9033 1,000 -18,922 17,656
2,9333 4,9033 ,984 -15,356 21,222
-1,6667 4,9033 ,998 -19,956 16,622
-1,4000 4,9033 ,999 -19,689 16,889
,7667 4,9033 1,000 -17,522 19,056
4,3333 4,9033 ,935 -13,956 22,622
-,2667 4,9033 1,000 -18,556 18,022
1,4000 4,9033 ,999 -16,889 19,689
(J) kelompok perlakuandosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
kontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
(I) kelompok perlakuankontrol
dosis I (66,55 g/kg BB)
dosis II (79,86 g/kg BB)
dosis III (95,83 g/kg BB)
dosis IV (115 g/kg BB)
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Paired Samples Test
8,3333 2,5106 1,4495 2,0965 14,5701 5,749 2 ,029
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
31,9333 6,2780 3,6246 16,3379 47,5288 8,810 2 ,013
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)

129
3). Dosis II (79,86 g/kg BB)
4). Dosis III (95,83 g/kg BB)
5). Dosis IV (115 g/kg BB)
b. kadar ureum serum sebelum perlakuan dan 14 hari setelah perlakuan
1). kontrol
2). dosis I (66,55 g/kg BB)
Paired Samples Test
28,4667 7,7822 4,4931 9,1345 47,7988 6,336 2 ,024
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
23,4000 2,1794 1,2583 17,9859 28,8141 18,596 2 ,003
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
25,7667 4,8952 2,8263 13,6062 37,9271 9,117 2 ,012
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
32,6667 15,6404 9,0300 -6,1863 71,5197 3,618 2 ,069
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 24 jam setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
7,0000 9,7709 5,6412 -17,2722 31,2722 1,241 2 ,340
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)

130
3). dosis II (79,86 g/kg BB)
4). dosis III (95,83 g/kg BB)
5). dosis IV (115 g/kg BB)
Lampiran 24. Perhitungan LD50 sari wortel ke manusia
LD50 semu sari wortel pada tikus betina adalah 115 g/kg BB
Konversi LD50 semu sari wortel dari tikus (200g) ke manusia (70 kg) dengan nilai
konversi = 56,0, maka:
LD50 semu sari wortel manusia = x 200 g x 56,0 = 1288 g/70 kg BB
= 18,4 g/kg BB
Lampiran 25. Perhitungan Dosis sari wortel
- Penimbangan wortel = 400,4 g
- Volume sari yang diperoleh = 174 ml
- Konsentrasi sari wortel = 2,3 g/ml = 2300 mg/ml
Volume maksimum yang boleh diberikan pada tikus = 5 ml/ 100 g BB
Paired Samples Test
8,2333 5,5221 3,1882 -5,4843 21,9509 2,582 2 ,123
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
4,9333 11,0699 6,3912 -22,5659 32,4326 ,772 2 ,521
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Test
11,5667 7,0288 4,0581 -5,8937 29,0271 2,850 2 ,104
kadar ureum (mg/dl)sebelum pemberian sariwortel - kadar ureum(mg/dl) 14 hari setelahpemberian sari wortel
Pair1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)

131
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . 5 ml = 100 g . D
D = 115 mg/g BB
D = 115 g/kg BB (Peringkat IV)
Peringkat Dosis IV = 115 g/kg BB (:1,2)
Peringkat Dosis III = 95,83 g/kg BB (:1,2)
Peringkat Dosis II = 79,86 g/kg BB (:1,2)
Peringkat Dosis I = 66,55 g/kg BB
a. BOX I
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 153,6 g . (66,55 mg/g)
V1 = 4,4 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 157,8 g . (79,86 mg/g)
V1 = 5,5 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 148,2 g . (95,83 mg/g)
V1 = 6,2 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 156,4 g . (115 mg/g)
V1 = 7,8 ml
b. BOX II
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 153,8 g . (66,55 mg/g)
V1 = 4,4 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 151, 6 g . (79,86 mg/g)
V1 = 5,3 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 154,4 g . (95,83 mg/g)
V1 = 6,4 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 154,0 g . (115 mg/g)
V1= 7,7 ml

132
c. BOX III
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 153,4 g . (66,55 mg/g)
V1 = 4,4 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 138,6 g . (79,86 mg/g)
V1 = 4,8 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 153,4 g . (95,83 mg/g)
V1 = 6,4 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 149,2 g . (115 mg/g)
V1 = 7,5 ml
d. BOX IV
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 139,4 g . (66,55 mg/g)
V1 = 4,0 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 147,8 g . (79,86 mg/g)
V1 = 5,1 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 148,6 g . (95,83 mg/g)
V1 = 6,2 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 149,6 g . (115 mg/g)
V1 = 7,5 ml
e. BOX V
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 158,4 g . (66,55 mg/g)
V1 = 4,6 ml
C1 . V1 = BB . D
230 0 mg/ml . V1 = 145,4 g . (79,86 mg/g)
V1 = 5,0 ml

133
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 134,2g . (95,83 mg/g)
V1 = 5,6 ml
C1 . V1 = BB . D
2300 mg/ml . V1 = 144,4 g . (115 mg/g)
V1 = 7,2 ml

134
Lampiran 25. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala toksik tikus betina kelompok kontrol yang tidak diberi sediaan ujiPerilaku Pengamatan Hari ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14Perilaku Perub. Sikap - - - - - - - - - - - - - - -
Vokalisasi - - - - - - - - - - - - - - -Gelisah - - - - - - - - - - - - - - -Menjilat - - - - - - - - - - - - - - -
Gerakan Menggaruk - - - - - - - - - - - - - - -Kedutan - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - -Menggeliat - - - - - - - - - - - - - - -Ataksia - - - - - - - - - - - - - - -
Paralisis - - - - - - - - - - - - - - -Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - -Keterpaksaan gerak - - - - - - - - - - - - - - -
Kereaktifan terhadap rangsangan Keberangasan - - - - - - - - - - - - - - -Kepasifan - - - - - - - - - - - - - - -Anestesia - - - - - - - - - - - - - - -Hiperestesia - - - - - - - - - - - - - - -
Refleks Serebral dan spinal Lemah /tidak ada - - - - - - - - - - - - - - -Ukuran pupil Miosis - - - - - - - - - - - - - - -
Midriasis - - - - - - - - - - - - - - -Sekresi Salivasi - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - -Nafas Bradipnea - - - - - - - - - - - - - - -
Dipsnea - - - - - - - - - - - - - - -Palpitasi kardiak Bradikardia - - - - - - - - - - - - - - -
Takikardia - - - - - - - - - - - - - - -Aritmia - - - - - - - - - - - - - - -
Pucat - - - - - - - - - - - - - - -Kulit Kemerahan - - - - - - - - - - - - - - -
Eritema - - - - - - - - - - - - - - -
Oedem - - - - - - - - - - - - - - -Melepuh - - - - - - - - - - - - - - -
Rambut Rontok - - - - - - - - - - - - - - -Kondisi Umum Berat badan (*) - - - - - - - - - - - - - - -
Tidak makan - - - - - - - - - - - - - - -Kematian - - - - - - - - - - - - - - -
Keterangan : (+) : Hewan uji menampakkan gejala toksik (-) : Hewan uji tidak menampakkan gejala toksik (*) : Data berat badan tikus terlampir

135
Lampiran 27. Hasil pemeriksaan kualitatif gejala toksik tikus betina kelompok perlakuan (dosis 66,55 g/kgBB sampai 115 g/kgBB)yang tidak diberi sediaan uji
Perilaku Pengamatan Hari ke-0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Perilaku Perub. Sikap - - - - - - - - - - - - - - -Vokalisasi - - - - - - - - - - - - - - -Gelisah - - - - - - - - - - - - - - -Menjilat - - - - - - - - - - - - - - -
Gerakan Menggaruk - - - - - - - - - - - - - - -Kedutan - - - - - - - - - - - - - - -Tremor - - - - - - - - - - - - - - -Menggeliat - - - - - - - - - - - - - - -Ataksia - - - - - - - - - - - - - - -
Paralisis - - - - - - - - - - - - - - -Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - -Keterpaksaan gerak - - - - - - - - - - - - - - -
Kereaktifan terhadap rangsangan Keberangasan - - - - - - - - - - - - - - -Kepasifan - - - - - - - - - - - - - - -Anestesia - - - - - - - - - - - - - - -Hiperestesia - - - - - - - - - - - - - - -
Refleks Serebral dan spinal Lemah /tidak ada - - - - - - - - - - - - - - -Ukuran pupil Miosis - - - - - - - - - - - - - - -
Midriasis - - - - - - - - - - - - - - -Sekresi Salivasi - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - -Nafas Bradipnea - - - - - - - - - - - - - - -
Dipsnea - - - - - - - - - - - - - - -Palpitasi kardiak Bradikardia - - - - - - - - - - - - - - -
Takikardia - - - - - - - - - - - - - - -Aritmia - - - - - - - - - - - - - - -
Pucat - - - - - - - - - - - - - - -Kulit Kemerahan - - - - - - - - - - - - - - -
Eritema - - - - - - - - - - - - - - -
Oedem - - - - - - - - - - - - - - -Melepuh - - - - - - - - - - - - - - -
Rambut Rontok - - - - - - - - - - - - - - -Kondisi Umum Berat badan (*) - - - - - - - - - - - - - - -
Tidak makan - - - - - - - - - - - - - - -Kematian - - - - - - - - - - - - - - -
Keterangan : (+) : Hewan uji menampakkan gejala toksik (-) : Hewan uji tidak menampakkan gejala toksik (*) : Data berat badan tikus terlampir

136
BIOGRAFI PENULIS
Rocha Ifahyana Siagian adalah anak ke-4 dari lima
bersaudara dari pasangan bapak Haden Siagian dan
ibu Murniati Sitorus. Lahir di Nabire-Papua pada
tanggal 9 September 1988. Pendidikan awal dimulai di
Taman Kanak-kanak Pertiwi pada tahun 1992-1994.
Kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Dasar
Inpres Kota Baru Nabire pada tahun 1994-2000.
Dilanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 01 Nabire pada tahun 2000-
2003. Tahun 2003-2006 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas
Adhi Luhur Le Cocq Darmanville Nabire, kemudian menempuh pendidikan di
Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2006. Selama
menempuh kuliah, penulis aktif dalam kegiatan fakultas, antara lain : mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2009, pernah menjadi asisten dosen
praktikum Kimia Analisis, Farmasi Fisika, dan Toksikologi Dasar. Selain itu,
penulis pernah mengikuti kegiatan Pengabdian Masyarakat tentang HIV/ AIDS.